40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning
Pada simulasi transportasi pisang ambon, kemasan yang digunakan adalah
kardus/karton dengan tipe Regular Slotted Container (RSC) double flute dengan
tipe flute B/C, dengan tebal 6-7 mm. RSC adalah peti karton yang bergelombang
untuk menahan kekuatan tekan. Dimensi ukuran kardus yang digunakan adalah
(pxlxt) 540mm x 350mm x 450mm untuk kapasitas 15 kg. Pemilihan ukuran
didasarkan pada kapasitas produk yang akan dikemas yaitu seberat 15kg.
Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan
Jenis kemasan yang dipilih untuk pengemasan pisang ini didasarkan pada
kemasan yang umumnya digunakan untuk transportasi dan distribusi buah-
buahan. Kardus yang memiliki flute ganda terlihat lebih kuat dan kokoh serta
mampu menahan pengaruh tumpukan yang lebih banyak daripada single flute.
Sehingga dapat lebih meredam setiap goncangan yang terjadi selama transportasi.
Kemasan kardus tersebut dikombinasikan dengan dua jenis perlakuan
bahan pengisi kemasan dan satu jenis perlakuan tanpa bahan pengisi.
41
Gambar 9 Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang dengan bahan pengisi kertas (kiri) serta pelepah dan daun pisang (kanan)
Gambar 10 Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang tanpa bahan pengisi
Dari setiap kemasan kardus, diambil masing-masing 1/3 bagian untuk
kemudian disimpan pada tiga suhu yaitu suhu 10 C, 15 C, dan suhu ruang.
Percobaan dilakukan masing-masing tiga kali ulangan. Jumlah pisang ambon
yang diisikan ke dalam masing-masing kardus sebanyak 15kg.
Gambar 11 Penataan pisang telungkup (kiri) dan terlentang (kanan)
42
B. Tingkat Kerusakan Mekanis
Setelah simulasi transportasi, dilakukan pengamatan terhadap kerusakan
mekanis yang terjadi sebagai dampak dari adanya goncangan yang terjadi pada
kemasan selama kegiatan simulasi transportasi dilakukan. Pengamatan tingkat
kerusakan mekanis dilakukan secara visual pada penampakan luar pisang.
Parameter kerusakan pisang yang diamati adalah luka gores, luka memar, dan
luka pecah. Seringkali kerusakan tersebut terlihat ketika pisang disimpan.
Berikut ini adalah jenis-jenis kerusakan yang dialami produk:
Luka gores
Luka pecah
Luka memar
Luka pada daging buah
Gambar 12 Jenis-jenis kerusakan pada pisang setelah penyimpanan selama 6 hari pada suhu ruang
Kerusakan pisang pada masa penyimpanan lebih banyak terjadi pada
pisang di suhu 27ºC (dapat dilihat di Lampiran 7) karena respirasi berlangsung
lebih cepat dan kerusakan dapat diakibatkan juga karena kegiatan pengamatan,
seperti mengangkat pisang hingga terlepas dari bonggolnya dan rusak.
43
Kualitas buah pisang dapat dilihat dari 4 aspek. Salah satu aspek tersebut
adalah aspek yang dapat dilihat dari luar oleh mata yaitu aspek visual meliputi
kesegaran, kerusakan atau cacat buah. Kerusakan mekanis yang dialami masing-
masing kemasan digambarkan oleh grafik sebagai berikut:
Gambar 13 Grafik persentase kerusakan pisang setelah simulasi transportasi
Dari Grafik diatas terlihat bahwa kerusakan terbanyak dialami oleh
kemasan yang tidak berbahan pengisi dengan posisi menelungkup ke atas (AX)
sebanyak 6.22%, sedangkan kemasan tidak berbahan pengisi menelungkup ke
bawah (AY) memiliki kerusakan sebesar 4.61%.
Jenis kerusakan yang dialami kemasan dengan perlakuan AX yaitu memar
dan goresan pada bagian kulit punggung pisang akibat benturan dengan kemasan
kardus. Sedangkan kerusakan yang dialami AY adalah memar dan goresan pada
kulit pisang-pisang terpinggir pada bagian sisiran. Kerusakan terkecil dialami
oleh kemasan berbahan pengisi kertas dengan posisi menelungkup ke bawah (BY)
sebesar 0.4%.
Dari hasil olah data statistik dengan SAS, jenis bahan pengisi berpengaruh
terhadap banyaknya kerusakan mekanis yang terjadi, sedangkan pengaruh
penataan tidak berpengaruh.
44
Pisang jenis ambon kuning akan mudah terlepas dari bonggolnya ketika
pisang tersebut memiliki tingkat kematangan yang maksimum. Berbeda halnya
dengan pisang jenis ambon lumut yang relatif lebih kuat. Jenis kerusakan yang
banyak terjadi adalah jenis luka gores pada tubuh pisang.
C. Susut Bobot
Masing-masing jenis pisang mempunyai kulit yang beragam pula
ketebalannya, sehingga beragam pula bagian yang dapat dimakan (bdd), yaitu
berkisar 65-85%. Pada bagian buah mentah berat kulit adalah 80% dari berat buah
segar, sedang pada buah pisang matang menurun menjadi 40% dan pada kedaan
lewat matang menjadi sekitar 33% (Soedarmo dan Sediaoetama 1985 dalam Lan
1989).
Ketika buah telah dipetik, kandungan air buah akan berkurang karena
proses transpirasi. Transpirasi adalah penguapan air dalam sel, baik stomata, lenti
sel maupun retakan pada kutikula. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi
yang terjadi pada permukaan relatif besar, maka penguapan dan kehilangan air
dapat terjadi lebih cepat dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena kerusakan
yang dialami buah mengakibatkan buah kehilangan pelindung alami yang dapat
meminimalisir proses transpirasi sehingga transpirasi akan berlangsung lebih
cepat.
Umumnya semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka akan semakin
tinggi pula laju penurunan bobot. Proses respirasi dan transpirasi gas yang
dihasilkan seperti karbon akan menguap bersama air transpirasi menyebabkan
susut bobot.
a. Suhu 10 C
Susut bobot diamati dengan menghitung bobot produk sebelum dan
setelah pengamatan. Grafik penurunan susut produk pada suhu 10 C dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.
45
Gambar 14 Grafik susut bobot pisang pada suhu 10ºC
b. Suhu 15ºC
Gambar 15 Grafik susut bobot pisang pada suhu 15ºC
c. Suhu Ruang (27ºC)
46
Gambar 16 Grafik susut bobot pisang pada suhu ruang (27ºC)
Dilihat dari ketiga Grafik diatas, dapat dibandingkan susut bobot
pisang pada suhu berbeda. Setelah penyimpanan selama 6 hari, susut bobot
tertinggi pada suhu 10ºC sekitar 25 gram, suhu 15ºC sekitar 35 gram, dan
pada suhu ruang (27ºC) sekitar 65 gram. Susut bobot terus bertambah hingga
pengamatan pada hari ke 11, nilainya mencapai 2 kali lipat bahkan lebih pada
suhu penyimpanan 15ºC. Pengamatan pada suhu ruang (27ºC) berhenti setelah
6 hari dikarenakan kondisi pisang yang sudah tidak layak simpan (busuk).
Kadar air dalam pisang mempengaruhi tingkat penerimaan produk
oleh konsumen. Hal ini berdasarkan uji coba ketika kandungan air yang hilang
lebih banyak karena umur simpan yang lama, rasa pisang akan menjadi relatif
tidak enak.
Dari hasil uji statistik, didapatkan koefisien deteminasi (R2) 43%.
Artinya hanya 43% keragaman nilai susut bobot yang dijelaskan oleh faktor
suhu, bahan pengisi, dan cara tumpukan. Sedangkan sisanya 57% keragaman
dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah disebutkan. Koefisien
keragaman (CV) yang didapat sebesar 11.97, berarti data cenderung homogen
sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.
47
Faktor suhu, bahan pengisi, dan cara penataan ternyata berpengaruh
nyata/signifikan terhadap susut bobot pisang yang telah diuji, hal ini
ditunjukkan dengan nilai < 0.0001 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun
berpengaruh nyata/signifikan terhadap susut bobot produk.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa susut bobot terendah
dialami oleh kardus CY10 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus berbahan
pengisi pelepah pisang dengan posisi menelungkup pada suhu 10ºC. Hal ini
dikarenakan suhu refrigerator dengan suhu 10ºC memiliki kelembaban yang
tinggi (80-90%).
D. Kekerasan
Kekerasan merupakan salah satu dari parameter kesegaran buah yang
nilainya tergantung pada ketebalan kulit buah, kandungan total zat padat, dan
kandungan pati pada bahan. Perubahan kekerasan buah pisang diukur dengan
menggunakan alat yang dinamakan Rheometer. Nilai kekerasan yang tinggi
pada Rheometer menandakan bahwa buah tersebut masih memiliki kekerasan
yang tinggi. Nilai yang tinggi tersebut mengekspresikan bahwa buah yang
diuji mampu menahan gaya maksimum yang ditunjukkan sebesar pada nilai
yang tertera pada Rheometer.
Kekerasan akan menurun ketika buah semakin masak. Dimana,
berbagai hasil tanaman mengandung senyawa pektin yaitu senyawa kimia
golongan karbohidrat. Zat ini terdapat didalam dinding sel dan lamella tengah
yang berfungsi sebagai zat perekat. Pada proses pemasakan terdapat enzim
pektinmetilasterase dan poligalakturonase yang mampu memecah senyawa
pektin menjadi senyawa lain. Penurunan tingkat kekerasan salah satunya
disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase. Penyebab lainnya adalah
pecahnya protopektin yang berdampak pada lemahnya dinding sel dan
turunnya kohesi yang mengikat sel satu sama lain (Pantastico et al., 1989).
Kerusakan mekanis akan dapat menurunkan nilai kekerasan buah
karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah akan
48
menjadi rusak sehingga sel-sel penyusun jaringan pada permukaan buah akan
terpisah dari ikatannya.
Dari hasil pengamatan, nilai kekerasan pisang ambon berangsur-
angsur menurun seiring dengan perubahan warna, dan masa simpan yang
bertambah. Namun, laju penurunan tingkat kekerasan berbeda-beda untuk
setiap produk yang disimpan pada suhu berbeda.
Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC lebih lambat dari segi
penurunan kekerasan. Hal ini dikarenakan pemeraman dengan suhu rendah
yang mendekati suhu pembekuan akan menghambat proses respirasi dan
aktivitas etilen untuk mematangkan buah.
Dari hasil uji statistik mengenai kekerasan, didapatkan koefisien
deteminasi (R2) 82.81%. Artinya 82.81% keragaman tingkat kekerasan bisa
dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan. Sedangkan sisanya
17.19% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah
disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 29.33, artinya
data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.
Faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan ternyata berpengaruh
nyata/signifikan terhadap tingkat kekerasan buah pisang yang diuji, hal ini
ditunjukkan dengan nilai 0.0024 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun
berpengaruh nyata/signifikan terhadap kekerasan produk yang ditunjukkan
dengan nilai <0.0001.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekerasan terendah
dialami oleh kardus AX27 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus tidak
berbahan pengisi dengan posisi telentang pada suhu 27ºC (suhu ruang). Hal
ini dikarenakan pisang yang disimpan pada suhu ruang akan mengalami
proses pematangan yang lebih cepat karena proses respirasi yang lebih tinggi
sehingga tingkat kekerasan pun akan menurun dengan cepat.
Ketiadaan bahan pengisi dalam kemasan pun berpengaruh terhadap
kekerasan terutama setelah simulasi transportasi. Cara penataan pun beresiko
pada kondisi fisik pisang seperti yang ditunjukkan pada Grafik 1, pisang
49
dalam kardus AX memiliki kerusakan tertinggi karena pisang dalam kardus
tersebut lebih banyak yang bersentuhan dengan permukaan kemasan.
Sebaliknya, penurunan tingkat kekerasan terendah dialami oleh pisang yang
disimpan pada kardus AX10 (Pisang yang disimpan dalam refrigerator 10ºC
tanpa bahan pengisi dan dengan posisi terlentang).
E. Perubahan Warna Perubahan warna merupakan petunjuk kasar untuk mengetahui
tahapan kematangan pisang. Simmonds menambahkan bahwa selama
pematangan, klorofil lambat laun akan terdegradasi dan muncul warna kuning
dari pigmen karoten dan xantofil. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
degradasi klorofil antara lain pH, enzim klorofilase, dan oksigen (Wills et. al.,
dalam Aini 1994). Selain itu, warna merupakan salah satu parameter buah
yang mampu menarik perhatian konsumen.
Selama proses pematangan akan terjadi perubahan warna kulit buah
pisang mulai dari hijau ketika masih mentah hingga menjadi kuning pada saat
matang penuh dan akhirnya busuk. Warna kulit buah menunjukkan indeks
kematangan atau sering disebut sebagai tanda-tanda kematangan suatu buah.
Perubahan warna, penampakan buah dan kelunakan buah merupakan
tanda-tanda buah matang. Pada pisang raja bulu tanda matang adalah pada
saat warna kulit buah berwarna kuning oranye. Sedangkan daging buah
berubah dari warna putih menjadi kekuningan. Getah pada kulit dan daging
buah berkurang dengan pertambahan waktu pematangan. Ujung dan pangkal
buah mengerut dibandingkan ketika buah masih dalam keadaan mentah.
Pengamatan perubahan warna dilakukan secara visual dengan mencocokannya
pada color plate yang dikemukakan oleh Loesecke (1949).
Dari hasil pengamatan, perubahan warna pisang yang disimpan pada
berbagai suhu menunjukkan nilai yang tidak sama sesuai dengan tingkat
kematangannya. Pisang yang disimpan pada suhu ruang menunjukkan
50
perubahan warna yang lebih cepat dibandingkan dengan pisang yang disimpan
pada suhu yang lain.
Pisang dalam suhu ruang yang mula-mula berwarna hijau berubah
warna menjadi kuning oranye dalam waktu simpan 4-5 hari dan menjadi
kuning kecoklatan pada hari ke 7-8. Sedangkan pisang yang disimpan dalam
suhu 15ºC berubah warna menjadi kuning setelah disimpan selama 6-8 hari.
Suhu simpan 15ºC ini adalah suhu optimum untuk suhu simpan pisang.
Tanda kematangan pisang cara lambat mulai terjadi pada hari ke 7,
matang optimal pada hari ke 9 dan berwarna kecoklatan atau timbul
pembusukan pada hari ke 11 (Toemali 1982 dalam Lan 2008). Pada pisang
pematangan cara cepat yaitu pemeraman dengan daun gamal terlihat buah
mulai menunjukkan tanda matang pada hari ke-2 setelah diperam dan matang
optimal pada hari ke-4. Setelah hari ke- 4 mulai timbul tanda kerusakan.
Laju perubahan warna yang terjadi pada pisang yang disimpan pada
suhu ruang memang paling cepat. Namun, ketika diamati daging buah pada
pisang yang berkulit kecoklatan memiliki kenampakan yang masih baik dan
beraroma kuat.
Pisang akan mengalami chilling injury pada suhu dibawah 13ºC. Hal
ini terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu 10ºC, warna pisang menjadi
hijau kekuningan namun nilai total padatan terlarut relatif rendah. Akan tetapi,
pisang tersebut tetap berwarna kuning setelah 3-4 minggu.
Selain itu, warna kulit pisang dipengaruhi oleh kondisi pisang sebelum
penyimpanan. Setelah dilakukan simulasi transportasi, terdapat pisang yang
rusak akibat gesekan dengan pisang yang lain atau dengan dinding kemasan
sehingga warna kulit menjadi hitam seperti dibawah ini.
51
Gambar 17 Pisang yang terkena chilling injury (kiri) dan kulit kehitaman karena kerusakan mekanis (kanan)
Kulit pisang yang berubah warna dari kuning hingga berbintik cokelat,
tidak selalu diartikan sebagai pisang yang busuk, seperti yang ditunjukkan
oleh gambar dibawah ini, pisang yang berwarna oranye kecoklatan masih
memiliki daging buah yang bagus.
Gambar 18 Daging buah pisang dengan warna kulit buah oranye berbintik cokelat
Dari hasil uji statistik mengenai perubahan warna kulit, didapatkan
koefisien deteminasi (R2) 82.33%. Artinya 82.33% keragaman perubahan
warna bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan cara tumpukan.
Sedangkan sisanya 17.67% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor
yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 22.18,
artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.
Faktor suhu, bahan pengisi, dan cara penataan ternyata berpengaruh
nyata/signifikan terhadap perubahan warna kulit buah pisang yang diuji, hal
52
ini ditunjukkan dengan nilai 0.0008 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan
pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap perubahan warna kulit produk
yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perubahan warna yang
kecil terjadi pada kardus AX10 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus
tanpa bahan pengisi dengan posisi terlentang pada suhu 10ºC. Hal ini terjadi
karena kejadian chilling injury seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Sebaliknya, perubahan warna kulit yang besar dialami oleh pisang yang
disimpan pada suhu ruang.
F. Total Padatan Terlarut (TPT) Menurut Winarno (1981) menyatakan bahwa rasa manis pada pisang
terjadi karena perubahan kandungan pati menjadi fruktosa dan glukosa sampai
pati tersebut habis sedangkan jumlah sukrosa meningkat. Lebih lanjut beliau
mengatakan kenaikan TPT terjadi karena terhidrolisisnya karbohidrat menjadi
senyawa glukosa dan fruktosa. Sedangkan penurunan TPT terjadi krena kadar
gula sederhana yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid, dan
asam.
Menurut Sjaifullah (1996), kandungan total padatan terlarut pada suatu
bahan menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada bahan tersebut.
Pengamatan total kandungan gula berguna sebagai indikator adanya
perubahan atau kerusakan dalam bahan. Proses respirasi yang berlangsung
pada produk pertanian selama penyimpanan, akan menggunakan substrat pada
jaringan bahan tersebut. Ada tiga jenis substrat yang digunakan dalam proses
respirasi hasil panen produk pertanian, yaitu asam lemak, gula (karbohidrat)
dan asam amino (Pantastico, 1989). Sehingga semakin lama penyimpanan,
maka semakin banyak substrat gula yang digunakan untuk respirasi akan
menurunkan kandungan gula dalam buah.
Komponen utama buah pisang yang telah matang adalah air yang
mencapai 75% dengan karbohidrat sebagai penyusun keduanya sekitar 20-
25%. Kandungan gula buah pisang terdiri dari gula pereduksi yaitu glukosa
53
dan fruktosa, serta gula non pereduksi yanitu sukrosa dan kandungannya
cukup tinggi sekitar 17% (Wills et al. 1981 dalam Aini 1994). Kandungan
pati pada buah pisang menurun selama pematangan dari sekitar 20-25% pada
pisang mentah menjadi 1-6% pada pisang matang sedangkan total padatan
terlarut meningkat dari mentah sekitar 5-7% menjadi sekitar 27%.
Akan tetapi, nilai total padatan terlarut akan menurun kembali ketika
pisang busuk. Hal ini dikarenakan perombakan gula dalam pisang menjadi
alkohol. Proses ini ditandai dengan munculnya senyawa volatil seperti aroma
tidak sedap (busuk) pada pisang. Selain itu, akan timbul pula jamur pada
bonggol dan kulit pisang. Untuk mencegah hal tersebut, biasanya dilakukan
penyemprotan fungisida sebelum pisang dikemas.
Gambar 19 Jamur yang tumbuh pada bonggol (kiri) dan kulit (kanan) pisang
Pengujian kadar total padatan terlarut pada pisang mentah seringkali
sulit dilakukan karena belum berbentuk pasta dan seringkali lengket karena
kandungan getah yang masih tinggi. Sedangkan ketika buah pisang
menguning, daging buah ketika dihancurkan berbentuk menjadi pasta
sehingga pengukuran dengan refraktometer menjadi lebih mudah.
Dari Tabel 2 dapat kita lihat bahwa kandungan karbohidrat pisang
ambon sekitar 25.8%. Dari hasil pengukuran total padatan terlarut pisang yang
diujikan, diperoleh nilai yang hampir mendekati angka tersebut yaitu sebesar
27% ketika masak. Memang jika dibandingkan dengan pisang yang lain
seperti pisang raja atau pisang mas, rasa pisang ambon tidak terlalu manis.
54
Dari hasil uji statistik mengenai total padatan terlarut, didapatkan
koefisien deteminasi (R2) 77.60%. Artinya 77.60% keragaman nilai total
padatan terlarut bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan.
Sedangkan sisanya 22.40% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor
yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 14.91,
artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.
Faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan ternyata berpengaruh
nyata/signifikan terhadap nilai total padatan terlarut buah pisang yang diuji,
hal ini ditunjukkan dengan nilai <0.0001 (<0.05). Selain itu, masa
penyimpanan pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap nilai total padatan
terlarut produk yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai total padatan terlarut
terkecil dialami oleh kardus AX10. Hal ini diduga karena pengaruh chilling
injury yang terjadi sehingga terjadi penyimpangan yang dapat dilihat dari ciri
fisik seperti warna dan penyimpangan kematangan.
G. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan
konsumen terhadap produk yang diujikan. Hal-hal yang diujikan antara lain
warna kulit buah, kekerasan, rasa, aroma dan warna daging buah. Tingkat
kesukaan diekspresikan dengan 5 skala, yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak
suka), 3 (biasa), 4 (suka), 5 (sangat suka).
Pengujian dilakukan 2 kali setelah buah pisang dikeluarkan dari ruang
penyimpanan. Dikarenakan tingkat kematangan produk pada berbagai suhu
tidaklah sama, maka uji ini dilakukan pada dua tahap. Tahap pertama
dilakukan setelah penyimpanan 4 hari khusus untuk produk yang disimpan
dalam suhu ruang. Produk yang disimpan pada suhu 15ºC dan suhu 10ºC tidak
diujikan karena belum menunjukkan tanda-tanda masak sehingga belum layak
untuk diujikan/dimakan.
55
Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC menunjukkan tanda-tanda
kematangan seperti warna kulit buah yang kuning oranye pada minggu ke 3-4,
namun tidak diujikan untuk organoleptik dikarenakan rasa buah pisang yang
tidak enak dan kering. Hal ini diasumsikan karena produk kehilangan banyak
kadar air dan pisang tersebut sebelumnya telah mengalami chilling injury.
Berikut ini adalah hasil pengujian organoleptik yang ditunjukkan lewat
grafik dibawah ini.
Gambar 20 Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu ruang
Dari Grafik 20 terlihat bahwa tingkat kesukaan tertinggi untuk warna
kulit adalah pisang dengan perlakuan AY, BX dan BY sebesar 4.2 kuantitatif
atau diantara suka dan sangat suka. Skor tertinggi untuk kekerasan adalah BX
sebesar 4.5, untuk rasa adalah BX sebesar 4, untuk aroma adalah CX sebesar
4.1 dan untuk warna daging buah adalah CX sebesar 4.2.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pisang yang disimpan
pada suhu 15ºC memiliki tingkat penerimaan yang terbaik dari segi kekerasan,
sedangkan pisang yang disimpan pada suhu ruang memiliki tingkat
penerimaan yang terbaik dari segi aroma.
56
Pisang yang disimpan pada refrigerator memiliki aroma yang kurang
kuat dibandingkan dengan pisang yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini
dikarenakan udara yang berada dalam refrigerator bersirkulasi sehingga
perlahan-lahan aroma pisang yang merupakan senyawa volatil tersebut
menghilang.
Berikut ini adalah Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan
pada suhu 15ºC setelah waktu penyimpanan 8 hari. Pisang yang disimpan
pada suhu 10ºC tidak diujikan karena belum cukup masak untuk diujikan.
Gambar 21 Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu 15ºC
Dari Grafik 21 terlihat bahwa tingkat kesukaan (skor) tertinggi untuk
warna kulit adalah pisang dengan perlakuan CY sedangkan skor terendah adalah
pisang dengan perlakuan BY dan CX. Skor tertinggi untuk tingkat kekerasan
adalah pisang pada perlakuan BY, untuk rasa pada perlakuan AX, untuk aroma
pada perlakuan CX, dan untuk warna daging skor responden tertinggi pada pisang
dengan perlakuan AX.
H. Masa Simpan Pisang
Dari hasil pengamatan, pisang yang disimpan pada suhu ruang mengalami
busuk yang dominan setelah penyimpanan 6 hari, pisang yang disimpan pada
57
suhu 15ºC mampu bertahan hingga waktu penyimpanan 2-3 minggu, sedangkan
pisang yang disimpan pada suhu 10ºC mampu disimpan hingga 4 minggu.
Selain itu, bahan pengisi turut mempengaruhi umur kematangan pisang
terutama yang disimpan dengan bahan pengisi pelepah pisang karena biasa
digunakan untuk memeram. Berikut ini adalah perbedaan tingkat kematangan
pisang yang disimpan pada kardus berbahan pengisi berbeda pada waktu simpan
8 hari.
Gambar 22 Pisang dalam kemasan kardus dengan tanpa bahan pengisi (kiri), bahan pengisi potongan kertas (tengah) dan bahan pengisi pelepah serta daun
pisang (kanan)
Dari gambar diatas terlihat bahwa pisang yang disimpan dengan bahan
pengisi pelepah pisang setelah 8 hari mengalami bintik kecoklatan berbeda
dengan pisang yang disimpan pada kardus yang lainnya.
I. Kesetaraan Simulasi Transportasi Guncangan selama simulasi transportasi menggunakan meja simulator
diekspresikan dalam bentuk amplitudo getaran. Hasil konversi frekuensi dan
amplitudo selama simulasi transportasi berdasarkan konversi angkutan truk
selama satu jam dijalan luar kota dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Konversi frekuensi dan amplitudo meja simulator selama simulasi transportasi terhadap jarak tempuh (panjang jalan)
Jam Frekuensi (Hz)
Amplitudo (cm)
Jalan Luar Kota (km)
Jalan Aspal Buruk (km)
Jalan Buruk Berbatu (km)
1
2
3
3.26
3.44
3.62
3.2
3.5
3.8
212.30
484.40
787.42
54.02
123.25
200.34
51.73
118.04
191.87
58
Dari hasil perhitungan pada lampiran 1 diperoleh bahwa simulasi yang
dilakukan dapat disetarakan dengan perjalanan sekitar 223 km. Trek ini
maksimum setara dengan perjalanan dari daerah penghasil pisang Purwakarta ke
Pelabuhan Merak.