Download - Isi Meningitis Bakterial
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan
terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk,
fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal
(LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi
akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan
durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala
klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
B. TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini terbagi atas dua, yakni tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah
untuk memahami setiap materi yang di berikan dosen-dosen, sehingga dapat
berguna kelak dalam memahami materi-materi berikutnya, yang berupa
pemahaman akan Syndrome Metabolik. Sedangkan tujuan khusus nya adalah
sebagai pemenuhan tugas PBL yang diberikan oleh tutor.
2
BAB II
ISI
A. PEMERIKSAAN
Dalam rangka menegakkan diagnosis, berbagai pemeriksaan perlu
dilakukan. Pada anak pemeriksaan sistem saraf pusat (SSP) terutama ditujukan
terhadap fungsinya. Karena itu erat sekali hubungannya dengan pemeriksaan
mental, tumbuh kembang fisik, dan tingkah laku nya. Pemeriksaan tidak boleh
dibatasi menurut aturan-aturan tertentu, dan sepanjang wawancara pemeriksa
secara tidak langsung harus tetap memperhatikannya, melihat bagaimana
reaksinya terhadap orang tuanya, orang asing dan lingkungan disekitarnya.
Akan tetapi sementara pemeriksa harus tampak tegas dan berusaha
memperoleh petunjuk-petunjuk penting pada setiap saat ada kesempatan,
dalam pikirannya sudah harus terpatri pemeriksaan apa saja yang harus
dikerjakan, disesuaikan dengan usia anak, sepanjang dapat dilakukan.1
a. ANAMNESIS
Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama
terhadap pasiennya atau keluarga dekatnya mengenai masalah yang
menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan kesehatan. Wawancara
yang baik sering kali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu.
Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang
mendalam tentang gejala (symptom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit
akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis
kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan
selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama,
riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetric dan ginekologi (khusus wanita),
riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan system dan
3
anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan,
obat-obatan, lingkungan). Pada pasien usia lanjut perlu pula dievaluasi
status fungsionalnya. Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang
surut kesehatannya, termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya.2
Seni membuat anamnesis yang baik termasuk membiarkan pasien
menceritakan kisahnya, dan pada waktu yang sama mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada gejala-gejala klinis yang dapat
memberikan informasi yang berhubugan dengan usaha menegakkan
diagnosis dan menetapkan terapi. Sering secara tidak sadar pasien
memberitahukan informasi klinis yang amat diperlukan dengan ungkapan
sepele yang mungkin tidak akan diperoleh jika pengambilan anamnesis ini
berupa pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, atau
lebih parah lagi, berupa kuesioner yang harus diisi pasien. Kesabaran
mendapatkan anamnesis yang jelas dari kata-kata pasien sendiri dan dalam
waktu yang cukup bebas, merupakan bagian penting dalam latihan klinis.
Dengan semakin meningkatnya keterampilan seorang klinisi, proses diatas
dapat dicapai dalam waktu yang relative pendek. Berdasarkan
pengalaman, informasi yang berguna juga dapat diperoleh dari sumber
lain, seperti sikap pasien, tingakah laku, emosi, dan pakaian.3
Anamesis diperoleh dengan menitik beratkan kepada masalah yang
terlihat oleh orangtua anak, dilanjutkan dengan :1
Riwayat obsetri, terutama rincian mengenai riwayat kehamilan,
persalinan. Berat lahir dan masa gestasi seringkali juga berguna untuk
ditanyakan, demikian pula keadaan pasca kelahiran, terutama apakah
ada sianosis atau kejang, aktivitasnya, dan daya isapnya.
Untuk anak kecil, harus ditanyakan bagaimana tumbuh kembangnya
dan dilakukan pemeriksaan singkat terhadap hal tersebut. Jika terdapat
kelainan, pemeriksaan harus dilakukan lebih lengkap. Utnuk anak yang
berusia lebih tua, harus pula ditanyakan prestasi sekolahnya. Kadang-
kadang diperlukan ujian khusus untuk status intelegensianya.
4
Pertanyaan juga harus diajukan untuk hal yang menyangkut trauma
atau terjatuh, riwayat kejang dan riwayat kejang dalam keluarga,
riwayat meningitis, ensefalitits, atau riwayat pemberian obat-obatan
yang mungkin berpengaruh terhadap SSP.
Riwayat keluarga, anggota keluarga lainnya, perilaku belakangan ini,
dan kemampuan motoriknya juga patut ditanyakan. Riwayat
pemberian makanan juga penting
Contoh pertanyaan yang dapat ditanyakan pada orang yang
mengetahui kondisi si anak (allo-anamnesis) yakni apakah ada :
Trauma kepala
Gangguan konvulsif (kejang), epilepsy
Perubahan mengenai suasana hati (mood), tingkah laku, pikiran,
depresi
Penggunaan obat
Alergi, gigitan serangga, syok anafilaktik
Penyakit terdahulu yang berat serta perawatan dirumah sakit
sebelumnya
b. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk
memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Terdiri atas inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Sikap sopan santun dan rasa hormat
terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang dipriksa harus diperhatikan
dengan baik oleh pemeriksa.4
Pemeriksaan fisis harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan
umum pasien. Dengan penilaian keadaan umum ini dapat diperoleh kesan
apakah pasien dalam keadaan distress akut yang memerlukan pertolongan
segera, atau pasien dalam keadaan yang relative stabil sehingga
pertolongan dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang
lebih lengkap.5
Pemeriksaan harus mencakup :6,7
5
1. Gejala vital. Periksan jalan nafas, kadaan respirasi dan sirkulasi.
Pastikan bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak
membutuhkan pasokan oksigen yang kontinu, demikian glukosa.
Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati dalam waktu 5 menit. Karena itu,
harus ada sirkulasi darah untuk menyampaikan oksigen dan glukosa ke
otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah
adalah singkat.
2. Kulit. Perhatikan tanda trauma, simata penyakit hati, bekas suntikan,
kulit basah karena keringat (misalnya pada hipoglikemi, syok), kulit
kering (misalnya pada koma diabetic), perdarahan misalnya demam
berdarah, DIC).
3. Kepala. Perhatikan tanda trauma, hematoma di kulit kepala,
hematoma disekitar mata, perdarahan di liang telingan dan hidung.
4. Thoraks, jantung, paru, abdomen, ekstremitas.
c. PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Pada tiap penderita koma atau kesadaran menurun harus dilakukan
pemeriksaan neurologis.perhatikanlah sikap penderita waktu berbaring
apakah tenang dan santai yang menandakan bahwa penurunan kesadaran
tidak dalam. Adanya gerakan menguap dan menelan menandakan bahwa
turunnya kesadaran tidak dalam. Kelopak mata yang terbuka dan rahan
yang tergantung di dapatkan pada penurunan kesadaran yang dalam. Perlu
diketahui bahwa tidak ada batasan yang tegas antara tingkat kesadaran.
Secara umum data dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang
dibutuhkan untuk membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan
tingkat kesadaran.7
1. GCS (GLASGOW COMA SCALE)
GCS digunakan untuk memperhatikan tanggapan (respons)
penderita terhadap rangsang dan member nilai pada respons tersebut.
Tanggapan / respons penderita yang perlu diperhatikan adalah :7
6
7
2. CRANIAL NERVE 1-12
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan
tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan
foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan
nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah
olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV),
trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis
(VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus
(XII). Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf
kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf motorik, tetapi juga
mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersarafinya.
Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III,
VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang
parasimpatis sistem saraf otonom.
8
1) Cranial Nerve I (Olfaktorius)8
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus
dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan
dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang
atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakit-penyakit yang
mengenai bagian basal lobus frontalis.
Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang
tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-
rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah
satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang
lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien
diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut
dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.
2) Cranial Nerve II (Optikus) 8
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity),
penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus
okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari
tangan, dan gerakan tangan.
Kartu Snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter
antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan
yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang
bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata
(visus 6/6).
9
Jari Tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi
bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya
adalah kurang lebih 2/60.
Gerakan Tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter
tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya
kurang lebih 1/310.
ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan
informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan
mulai dair mata hingga korteks oksipitalis. Penglihatan
perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan
perimetri / kompimetri.
Konfrontasi
Jarak antara pemeriksa – pasien : 60 – 100 cm. Objek
yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah
jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa /
ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan
kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain
dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus
menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah
objek tersebut. Syarat pemeriksaan lapang pandang
pemeriksa harus normal.
Perimetri / Kopimetri
Lebih teliti dari tes konfrontasi. Hasil pemeriksaan di
proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
10
iii. Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf
aferennya dari saraf occulomotorius. Ada dua macam refleks
pupil.
Respon Cahaya Langsung
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping
(sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak
berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat
reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan
ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan
normal pupil yang disinari akan mengecil.
Respon Cahaya Konfensional
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak
pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri
maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa
(katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina
sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus.
Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis
yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari
diskus optikus.
v. Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
11
3) Cranial Nerve III(Okulomotorius) 8
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
i. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka
batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang
sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak
mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain,
atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas
(untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata
secara kronik pula.
ii. Gerakan bola mata
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau
ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus
ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat
ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola
mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus
(juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
iii. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
Bentuk dan ukuran pupil
Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaan pupil sebesar 1mm masih dianggap normal
Refleks pupil
o Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
o Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
o Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat
hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan
berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut
12
konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata
tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris
berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh
memandang jauh dan disuruh memfokuskan matanya
pada suatu objek diletakkan pada jarak 15 cm
didepan mata pasien dalam keadaan normal terdapat
konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek
akomodasi.
4) Cranial Nerve IV(Troklearis) 8
Meliputi :
i. Gerak mata kelateral bawah
ii. Strabismus Konvergen
iii. Diplopia
5) Cranial Nerve V (Trigeminus) 8
i. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut
dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain.
Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum
yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum
ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah
terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan
menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang
menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan
pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul
menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah
yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga
lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang
melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena
13
sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2.
Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai
siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi
pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup
kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan
kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh
mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas
pada kulitnya.
ii. Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi
otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh
mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi
masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh
membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan
tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya.
Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang
berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
iii. Refleks
Jaw Refleks (Refleks Rahang)
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita
membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar)
kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk
mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan
negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif
lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi
UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.
Refleks Kornea
Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujung
nya dibuat runcing. Hal ini mengakibatkan
14
dipejamkannya mata (m.Orbicularis okuli). Pada
pemeriksaan ini harus dijaga agar datang nya kapas ke
mata tidak diketahui oleh pasien, misalnya dengan
menyuruh nya melirik kearah yang berlawanan dengan
arah datang nya kapas. Pada gangguan nervus V sensorik,
reflex ini negative atau berkurang. Sensitifitas kornea
diurus oleh nervus V sensorik cabang oftalmik.
6) Cranial Nerve VI (Abdusens) 8
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus
konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila
memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul
letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
7) Cranial Nerve VII (Fasialis) 8
i. Tes kekuatan otot
Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri)
kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata
tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
Memperlihatkan gigi (asimetri)
Mencucukan bibir dan menggembungkan pipi
ii. Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang
disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
8) Cranial Nerve VIII (Vestibula Koklearis / Akustikus) 8
i. Pemeriksaan Pendengaran
Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari
adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana
timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi
15
kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan
gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram
digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi
dipakai tes Schwabach, Rinne dan Weber.
Test Schwabach
Garpu tala di bunyikan kemudian ditempatkan dekat
telinga penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan
bunyi lagi, garpu tala tersebut diletakkan didekat telinga
pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa,
maka dikatakan tes Schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi
dan pangkal nya di tekankan pada tulang mastoid
penderita. Suruh ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah
tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan
ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih
mendengarnya, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek (untuk konduksi tulang).
Test Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan
pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila
bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut
sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan
norma anda masih terdengar pada meatus akustikus
eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada
meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne
negatif.
Test Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi
dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian
tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga
16
yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih
keras pada telinga yang abnormal.
ii. Pemeriksaan Vestibuler
Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi :
Untuk Menilai Nistagmus
o Hallpike Manouver
Pada tes ini pasien disuruh duduk ditempat tidur
periksa. Kemudian ia direbahkan sampai kepalanya
tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30O di
bawah horizon. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri,
kepala diluruskan kembali, lalu ditolehkan ke kanan.
Penderita disuruh agar tetap embuka matanya agar
pemeriksa dapat melihat sekitarnya munul nistagmus.
Perhatikan kapan nistagmus muncul, berapa lama
berlangsung serta jenisnya. Kemudian tanyakan pada
pasien apa yang ia rasakan.
o Elektronistagmografi
Pada pemeriksaan dengan alat ini diberikan stimulus
kalori keliang telinga dan lamanya serta cepatnya
nistagus timbul dapat dicatat pada kertas,
menggunakan teknik yang mirip dengan
elektrokardiografi.
Untuk menilai keseimbangan
o Stepping Test
Penderia disuruh berjalan ditempat dengan mata
tertutup sebanyak 50 langkah dengan kecepatan
seperti jalan biasa. Sebelumnya dikatakan kepada nya
bahwa ia harus berusaha agar tetap ditempat, dan
17
tidak ebranjak dari tempanya selama tes ini. Hasil tes
dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita
berjarak lebih dari 1 meter dari tempat semulanya,
atau badan terputar lebih dari 30O.
o Past Pointing
Penderita disuruh merentangkan lengannya dan
telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa.
Kemudian ia disuruh menutup mata mata,
mengangkat lengannya tinggi-tinggi sampai vertical)
dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada
gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk
(deviasi), demikian juga dengan gangguan cerebral.
9) Cranial Nerve IX (Glossofaringeus) & Cranial Nerve X (Vagus)
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan
maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi
kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan
disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka
mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah
terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah”
jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya
kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik
kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX
adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen
motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan
spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia
merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan.
Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara
refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini
18
menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh
berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus
laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga
rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
10) Cranial Nerve XI (Asesorius) 8
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien
mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius
dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien
disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan
pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.
11) Cranial Nerve XII (Hipoglosus) 8
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam
keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi
(kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi
dapat unilateral atau bilateral.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi
yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower
motorneuron unilateral.
Pasien diminta menekan lidah pada pipi.
3. REFLEKS FISIOLOGIS
1) Refleks Dalam9
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh
rangsangan, dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi.
Reflex dalam juga dinamai reflex regang otot (muscle stretch
reflex). Telah dikemukakan bahwa timbulnya reflex ini karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai
jawaban otot berkontraksi. Rasa regang (ketok) ini ditangkap oleh
reseptor rasa proprioseptif.
19
Refleks Glabela
Pukulan singkat pada glabela atau sekiar daerah supraorbitalis
mengakibatkan kontraksi singkat kedua otot orbikularis okulis.
Pusat reflex ini terletak di pons.
Refleks Rahang Bawah
Penderita disuruh membuka mulutnya sendiri dan telunjuk
pemeriksa ditempatkan melintang di dagu. Setelah itu, telunjuk
di ketok dengan ketok-refleks (refleks hammer) yang
mengakibatkan berkontraksinya otot maseter sehingga mulut
merapat. Pusat rflek ini terletak di pons.
Refleks Biceps
Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil
menempatkan ibu jari si atas tendon otot biceps. Ibu jari
kemudian diketok; hal ii mengakibatkan gerakan fleksi lengan
bawah. Pusat reflek ini terletak di C5-C6.
Refleks Triceps
Pegang lengan bawah pasien yang disemifleksikan. Ketok pada
tendon insersi m.triseps, yang berada sedikit di atas olekranon.
Lengkung refleks ini melalui nervus radialis yang pusatnya
terletak di C6-C8.
Refleks Brakioradialis (Refleks Radius)
Lengan bawah difleksikanserta dipronasikan sedikit. Kemudian
diketok pada prosesus stiloideus radius.lengan bawah akan
berfleksi & bersupinasi. Lengkung refleks melalui nervus
radialis yang pusatnya terletak di C5-C6
20
Refleks Ulna
Lengan bawah disemifleksi dan semipronasi. Kemudia diketok
pada prosesus stiloideus dan ulna. Hal ini mengakibatkan
gerakan pronasi pada lengan bawah dan kadang-kadang juga
gerakan aduksi pada pergelangan tangan. Lengkung reflex
melalui nervus medianus yang pusatnya terletak di C5-Th-1
Refleks Flexor Jari-jari
Tangan pasien yang ditumpukan pada dasar yang agak keras
disupinasikan dan jari-jari difleksikan sedikit.telunjuk
pemeriksa ditempatkan menyilang pada permukaan volar
falang jari-jari. Kemudian telunjuk pemeriksa diketok. Pada
keadaan normal, jari-jari pasien akan berfleksi enteng demikian
juga falang akhir ibu jari. Pada lesi pyramidal, fleksijari-jari
lebih kuat. Nilai patologiknya lebih penting jika terdapat
asimetri antara jari kanan dan kiri. Lengkung reflex ini malalui
nervus medianus yang pusatnya di C6-Th1.
Refleks – Dalam Dinding Perut
Dinding perut pasin, yang disuruh berbring ditekan sedikit
dengan jari telunjuk atau dengan penggaris, kemudian di ketok.
Otot dinding perut akan berkontraks. Terlihat pusar akan
bergerak kearah otot yang berkontraksi. Lengkung reflex ini
melalui Th6-Th12. Pada orang normal, kontraksi dinding perut
sedang saja, pada orang yang penggeli, rekasi ini dapat kuat.
Reaksi dinding perut ini mempunyai nilai yang penting bila
ditinjau bersama-sama dengan refeleks superficialis dinding
perut. Bila reflex dalam – sinding perut meninggi, sedang
reflex superficial – dinding perut negative, maka hal ini dapat
21
menandakan adanya lesi pyramidal pada tempat yang lebih atas
dari Th6.
Refleks Kuadriceps Femoris / KPR (Refleks Tendon Lutut,
Refleks Patella)
Pada pemeriksaan reflex ini, tungkai diflexikan dan
digantungkan, misalnya pada tepi tempat tidur. Kemudian
diketok pada tendon muskulus kuadriceps femoris, dibawah
atau diatas patella (biasanya dibawah patella). Kuadriceps
femoris akan berkontraksi dan mengakibatkan gerakan ekstensi
tungkai bawah. Lengkung reflex ini melalui L2-L4.
Refleks Triceps Surae (Refleks Tendon Achiles)
Tungkai bawah diflexikan sedikit, kemudian kita pegang kaki
pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsoflexi ringan pada
kaki. Setelah iitu, tendon achiles diketok. Hal ini
mengakibatkan berkontraksinya m.triseps surae dan
memberikan gambaran flexi pada kaki. Lengkung reflex ini
melalui S1,S2.
2) Refleks Superficial9
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang
mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada dibawahnya atau di
sekitarnya.
Refleks Kornea
Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujung nya
dibuat runcing. Hal ini mengakibatkan dipejamkannya mata
(m.Orbicularis okuli). Pada pemeriksaan ini harus dijaga agar
datang nya kapas ke mata tidak diketahui oleh pasien, misalnya
dengan menyuruh nya melirik kearah yang berlawanan dengan
arah datang nya kapas. Pada gangguan nervus V sensorik,
reflex ini negative atau berkurang. Sensitifitas kornea diurus
22
oleh nervus V sensorik cabang oftalmik. Reflex kornea juga
akan menghilang atau berkurang bila terdapat kelumpuhan
m.Orbicularis okuli, yang disarafi oleh nervus VII (facialis).
Refleks Superficial – Dinding Perut
Reflex ini dibangkitkan dengan jalan menggores dinding perut
dengan benda yang agak runcing, misalnya kayu geretan atau
kunci. Bila positive, maka otot (m.Rektus abdominis) akan
berkontraksi. Reflex ini dilakukanpada berbagai lapangan
dinding perut, yaitu di epigastrium (otot yang berkontraksi
diinervasi oleh Th6-Th7), perut bagian atas (Th7, Th9), perut
bagian tengah (Th9, Th11), perut bagian bawah (Th11, Th12,
dan lumbal atas). Pada kontraksi otot, terliha pusar bergerak
kearah otot yang berkontraksi.
Reflex superficialis dinding perut sering negative pada wanita
normal yang banyak anak (sering hamil), yang dinding
perutnya lembek, demikian juga pada orang gemuk dan lanjut
usia, juga pada bayi baru lahir sampai usia 1th. Pada orang
muda yang otot-otot dinding perutnya berkembang dengan
baik, bila reflex ini negative mempunyai nilai patologis. Bila
reflex superficialis dinding perut negative disertai reflex dalam
dinding perut yang meninggi hal ini menunjukkan adanya lesi
traktus pyramidalis ditempat yang lebih atas dari Th6.
Reflex superficialis dinding perut cepat lelah, dia akan
menghilang setelah beberapa kali dilakukan.
Refleks Kremaster
Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggores atau
menyentuh bagian medial pangkal pahan. Terlihat skrotum
berkontraksi. Pada lesi traktus piramidalis, reflex ini negative.
Reflex ini dapat negative pada orang lanjut usia, penderita
23
hidrokel, varikokel, orkhitis atau epididimis. Lengkung reflex
melalui L1, L2.
Reflex Anus Superficialis
Bila kulit disekitar anus dirangsang, misalnya dengan tusukan
ringan atau goresan, hal ini mengakibatkan otot sfingter
eksternus berkontraksi. Lengkun reflex ini melalui S2-S4, S5.
Refleks Telapak Kaki, Refleks Plantar
Kaki dilemaskan keudian telapak kaki digores dengan benda
yang agak runcing. Pada orang normal terlihat jawaban berupa
kaki melakukan gerakan plantar flexi. Pada orang penggeli
gerakan ini disertai gerakan menarik kaki. Pada orang dengan
lesi traktus piramidalis, didapatkan gerakan atau jawaban yang
lain, yaitu dorsoflexi ibu jari kaki serta gerakan mekar
(fanning) jari-jari yang lainnya.
4. REFLEKS PATOLOGIS
1) Refleks Babinski9
Untuk membangkitkan reflex babinski, penderita disuruh
berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan. Kita pegang
pergelangan kaki upaya kaki tetap ditempat. Untuk merangsang
dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak runcing.
Goresan harus dilakukan perlahan, jangan sampai menyebabkan
rasa nyeri, sebab hal ini menimbulkan reflex menarik kaki (flight
reflex). Goresan dilakukan pada telapak kaki bagian lateral, mulai
dari tumit menuju pangkal jari. Jika reaksi positive, kita dapatkan
gerakan dorsoflexi ibu jari, yang dapat disertai gerakan mekarnya
jari-jari lainnya.
24
Dapat dilakukan dengan berbagai cara :
Cara Chaddock : Rangsang diberikan dengan jalan
menggoreskan bagian lateral maleolus.
Cara Gordon : Memencet (mencubit) otot betis.
Cara Oppenheim : Mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis
anterior. Arah mengurut kebawah (distal).
Cara Gonda : Memencet (menekan) satu jari kaki dan
kemudian melepaskannya sekonyong-konyong.
Cara Schaefer : Memencet (mencubit) tendon Achilles.
2) Klonus9
Salah satu gerakan kerusakan pyramidal ialah adanya
hyperflexi. Bila hyperflexi ini hebat dapat terjadi klonus. Klonus
ialah kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bila otot diregangkan
secara pasif. Klonus merupakan reflex-regang-otot (muscle stretch
reflex) yang meninggi dan dapat dijumpai pada lesi supranuklir
(upper motor neuron, pyramidal). Ada orang normal yang
mempunyai hyperflesi fisiologis, pada mereka ini dapat terjadi
klonus, tetapi klonusnya berlangsung singkat dan disebut klonus
abortif. Bila klonus berlangsung lama (yang terus berlangsung
selama rangsang diberikan), hal ini dianggap patologis. Klonus
dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot, yang meningi.
Hal ini menunjukkan adanya hyperflexi yang patologis, yang
disebabkan oleh lesi pyramidal.
Pada lesi pyramidal (Upper Motor Neyron Supranuklir) kita
sering mendapatkan klonus dieprgelangan kaki, lutut, dan
pergelangan tangan.
Klonus Kaki. Klonus ini dibangkitkan dengan cara
meregangkan otot triceps surae betis. Pemeriksaan menempatkan
tangannya ditelapak kaki penderita, kemudian telapak kaki ini
didorong dengan cepat (dikejutkan) sehingga terjadi dorso flexi
25
sambil seterusnya diberikan tahanan enteng. Hal ini menyebabkan
teregangnya otot betis. Bila ada klonus, maka terlihat gerakan
ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantar flexi dan dorso
flexi secara bergantian.
Klonus Patela. Klonus ini dibangkitkan dengan cara
meregangkan otot kuadriceps femoris. Kita pegang patella
penderia, kemudian didorong dengan kejutan (dengan cepat)
kearah distal sambil diberikan tahan enteng. Bila terdapat klonus,
akan telihat kontraksi ritmik otot kuadriceps yang mengakibatkan
gerakan bolak-balik dari patella. Pada pemeriksaan ini tungkai
harus diekstensikan serta dilemaskan.
3) Reflex Hoffman Tromer9
Pada orang normal, reflex flexor jari-jari kaki tidak ada atau
enteng saja karena ambang rfleks tinggi. Akan tetapi pada keadaan
patologik, ambang reflex menjadi rendah dan kita dpatkan reflex
yang kuat. Reflex inilah yang merupakan dasar dari reflex
Hoofman Tromer.
Refleks Hoofman-Trommer positive dapat disebabkan oleh
lesi pyramidal, tetapi dapat disebabkan juga oleh peningkatan
reflex yang melulu fungsional, akan tetapi bila reflex pada sisi
kanan berbeda dengan yang kiri, maka hal ini dapat dianggap
sebagai keadaan patologis.
Cara membangkitkan reflex Hoffman-Trommer. Tangan
penderita kita pegang pada pergelangan dan jari-jarinya disuruh
flexi serta dientengkan. Kemudian jari tengah penderita kita jepit
diantara telunjuk dan jari tengah kita. Dengan ibu jari kita, gores
kuat (snap) ujung jari tengah penderita. Hal ini menyebabkan flexi
jari telunjuk serta flexi dan aduksi ibu jari, bila reflex positive.
Kadang juga diserta flexi jari lain.
26
5. SISTEM MOTORIK
1) Otot6
- Ukuran : atropi / hipertropi
- Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan
- Kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi
Derajat kekuatan motorik : 6
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas
4 : Ada gerakan tapi tidak penuh
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi
2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi
bumi.
1 : Hanya ada kontraksi
0 : Tidak ada kontraksi sama sekali
2) Gait (keseimbangan)
Menggunakan Romberg Test. Pada tes ini penderita berdiri dengan
satu kaki yang satu nya didepan kaki yang lain ; tumit kaki yang
satu berada didepan jari-jari kaki yang lain (tandem). Lengan
dilipat pada dada dan mata kemudia ditutup. Tes ini berguna
menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang normal mampu
berdiri dalam sikap Romberg selama 30detik atau lebih. 6
6. SISTEM SENSORIK
Test pada sistem sensorik berupa tes pada perasa nyeri, suhu, raba
halus, gerak, getar, sikap, tekan, refered pain. 6
7. CEREBRAL FUNCTION
1) Pemeriksaan Tunjuk Hidung
Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya ke
samping, kemudian disuruh menyentuh hidungnya dengan
telunjuk. Pada lesi serebelar telunjuk tidak sampai dihidung tetapi
27
melewatinya dan sampai di pipi. Cara kedua, pasien disuruh
menunjuk telunjuk pemeriksa kemudian menunjuk hidungnya
berulang-ulang.10
2) Tandem Walk
Tandem Walk adalah sebuah gaya (metode berjalan atau berlari) di
mana ujung kaki menyentuh belakang tumit kaki depan disetiap
langkah. Neurologists kadang-kadang meminta pasien untuk
berjalan dalam garis lurus menggunakan tandem walk sebagai
ujian untuk membantu mendiagnosis ataxia, terutama ataksia
truncal, karena penderita gangguan ini akan memiliki gaya goyah.
Namun, hasilnya tidak pasti, karena banyak gangguan atau masalah
dapat menyebabkan kiprah goyah (seperti kesulitan visi dan
masalah dengan motor neuron atau asosiatif korteks ).
3) Diasdokokinesia
Hal ini merupakan ketidakmampuan melakukan gerakan yng
berlawanan berturut-turut. Suruh pasien merentangkan kedua
lengannya kedepan, kemudian suruh ia mensupinasi dan pronasi
lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat. 10
8. KAKU KUDUK
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelianan
rangsang selaput otak. Terdapat 3 cara untuk melakukan pemeriksaan
kaku kuduk :
1) Flexi Kepala. Untuk pemeriksaan kaku kuduk dapat dilakukan
dengan tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang
sedang berbaring. Kemudia kepala ditekuk (flexi) dan diusahakan
agar dagu mencapai dada. Selama penekukan ini diperhatikan
adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk, kta dapatkan tahanan
dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat
28
ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat kepala tidak dapat
ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.11
2) Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Untuk memeriksa tanda ini dilakukan dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita
tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positive, amka
tindakan ini mengakibatkan flexi kedua tungkai. Sebelumnya perlu
diperhatikan apakah tungkai nya tidak lumpuh, tentulah tungkai
tidak akan diflexikan. 11
3) Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai diflexikan pada
persendian panggul, sedangkan tungkai yang satu lagi berada
dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula
terflexikan, maka disebut tanda brudzinski II positive. 11
4) Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring diflexikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90O.
Setelah iyu tungkai bawah di ekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135O,
antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan
rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda
kernig positive. Pada meningitis tandanya biasanya positif
bilateral. 11
29
5) Tanda Lasegue
Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien yang sedang berbaring
diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai
diangkat lurus, di bengkokan (flexi) pada persendian panggulnya.
Tungkai yang satunya lagi harus dalam keadaan lurus (ekstensi).
Pada keadaan normal kita dapat mencapai sudut 70O sebelum
timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan
tahanan sebelum kita mencapai 70O, maka tanda lasegue positive. 11
d. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Begitu diagnosis meningitis dicurigai, dianjurkan untuk melaukan
pemeriksaan CSS segera. Satu-satunya alasan menunda pungsi lumbal
adalah bila terapat kecurigaan kuat akan lesi massa intracranial.
Diagnosis pasti meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil
analisa cairan serebrospinal dari pungsi lumbal.
Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal
TesMeningitis
BakterialMeningitis Virus Meningitis TBC
Tekanan LP
Warna
Jumlah sel
Jenis sel
Protein
Glukosa
Meningkat
Keruh
> 1000/ml
Predominan
PMN
Sedikit
meningkat
Normal/menurun
Biasanya normal
Jernih
< 100/ml
Predominan MN
Normal/meningkat
Biasanya normal
Bervariasi
Xanthochromia
Bervariasi
Predominan MN
Meningkat
Rendah
Kontraindikasi pungsi lumbal:
30
o Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena
kontaminasi dari infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.
o Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh
karena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau
sereberal.
o Kelainan pembekuan darah.
o Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan
memasukan jarum pada ruang interspinal.
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
e. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Dilakukan CT sCan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
B. ETIOLOGI
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB).
HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-
negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.12
- Streptococcus pneumonia.
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram
positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6,
7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan
bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi
insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan
lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di
parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu
dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S.
pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell
anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional.
Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat.
31
Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi
sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang
ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural,
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya. 12
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi
nasofaring dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang
bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar
antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang
berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin
pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna.
Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan
resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan
makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini
merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang
telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin,
trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak
tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan
memiliki penetrasi adekuat ke SSP.12
- Neisseria meningitides
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti
ginjal dan sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan
secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-
135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis
pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini
dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius
dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik.
Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7
hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal
(C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit
kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif. 12
32
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak
insidensi tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau
petekiae sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya
memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam
setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai
dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang
muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit
pada sediaan apus darah tepi.12
- Haemophilus influenzae tipe B (HIB)
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya
bervariasi dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB
meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi
dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan -
3th. Menjelang usia 3th, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi
HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul
poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari
manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari
sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.12
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada
beberapa hari awal penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen
ini sudah resisten terhadap ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh
bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang.
Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan
sekuelae.12
C. PATOFISIOLOGI
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada
inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri
akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti
33
barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses
menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme : Invasi ke
dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri.
Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media,
malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi
intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari
pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem
komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ
yang letaknya jauh termasuk SSP.
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam
SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat
bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada
SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade
inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan
molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan
neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri
khas meningitis bacterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap
produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri
merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru
memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri
(seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like
receptor).
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag,
limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen
endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua
mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin
intrasisternal.
34
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin
(PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses
inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi
bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul
radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah
banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB).
PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di
intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi
peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai
komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan
terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon
terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran
darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis
neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma
ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi
edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas
selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan
tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow
(CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan
konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan
hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak
terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal
sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi
penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema
interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat
pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik
(peningkatan permeabelitas BBB).
35
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan
adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan
menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis
keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural,
palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan
deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti
jantung.
D. DIAGNOSIS
a. WORKING DIAGNOSIS
Meningitis bakterialis adalah peradangan pada ruang subarachnoid
(terletak dalam lapisan-lapisan jaringan yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) yang disebabkan oleh bakteri. Ruang subarachnoid
terletak antara lapisan tengah (mater arakhnoid) dan lapisan dalam tipis
(piameter) dari jaringan (disebut meninges) yang menutupi otak dan
sumsum tulang belakang. Ruang ini berisi cairan cer ebrospinal, yang
mengalir melalui meninges, mengisi ruang-ruang internal dalam otak, dan
membantu bantal otak dan sumsum tulang belakang.1
Ketika bakteri menyerang ruang subarachnoid, akhirnya sistem
kekebalan tubuh bereaksi terhadap penjajah, dan sel kekebalan berkumpul
untuk mempertahankan tubuh terhadap mereka. Hasilnya adalah
peradangan. Peradangan yang parah dapat menyebar ke pembuluh darah di
dalam otak, kadang-kadang menyebabkan gumpalan terbentuk. Sehingga
stroke dapat terjadi. Peradangan juga dapat menyebabkan kerusakan
meluas ke jaringan otak, menyebabkan pembengkakan (edema) dan daerah
perdarahan kecil.1
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik
meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea,
apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat,
shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis
pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis
36
adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging
fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable,
lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul
tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.1
b. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. KEJANG DEMAM KOMPLEKS
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu (suhu rektal lebih dari 38OC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (di luar rongga kepala). Menurut Consensus Statement
on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada
bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang dapat berupa kejang
tonik atau tonik-klonik.15
Kejang terbagi atas dua, yakni kejang demam simplex dan kejang
demam kompleks. Kejang demam simpleks durasinya singkat (<15
menit), dapat berhenti sendiri, tidak berulang dalam 24jam, 80%
diantara seluruh kejang demam. Sedangkan kejang demam kompleks
durasinya >15 menit, berulang lebih dari 1x dalam 24jam. 15
2. ENSEFALITIS
Ensefalitis berarti ada inflamasi jaringan otak, seringkali akibat
infeksi virus, tetapi pada sepertiga kasus penyebanya tidak dapat
ditemukan. Dalam beberapa hal keadaannya tumpang tindih dengan
meningitis virus.
Gambaran klinis pada ensefalitis bervariasi sesuai dengan
penyebabnya. Secara umum mirip dengan meningitis bakterialis,
disertai demam, sakit kepala, kaku kuduk, tangis menjerit, kejang,
stupor, dan koma.
E. PENATALAKSANAAN
37
Meningitis adalah keadaan yang paling darurat pada bidang pediatric.
Diagnosis harus dicurigai dan segera dikonfirmasi dengan lumbal punksi
dalam setengah jam sampai 1 jam setelah anak masuk rumah sakit. Cairan
intravena yang sesuai dan antibiotika dengan spectrum luas harus segera
diberikan dalam waktu 1 jam. Dalam 12jam harus dapat diketahui bakteri
penyebab yang sebenarnya dan antibiotic diubah dengan yang sesuai. Biakan
darah yang diambil bersamaan dengan tindakan punksi lumbal dapat
merupakan konfirmasi kuman penyebabnya.1
Pada berbagai rumah sakit digunakan antibiotic baku yang berbeda.
Beberap patokan adalah :1
♥ Sebagai pengobatan awal harud dipakai antibiotic berspektrum luas
(seringkali kombinasi ampisilin dan kloramfenikol) sampai
didapatkan hasil biakan dan resistensi yang sesuai.
♥ Antibiotic harus selalu diberikan melalui intravena. Lebih baik
penderita dalam keadaan sedikit dehidrasi, karena ada
kemungkinan terdapat edema otak sebagai ketidak sesuaian ADH.
♥ Manitol dapat bermanfaat apabila terdapat bukti peningkatan TIK
yang menetap
♥ Antikonvulsan harus diberikan sebagai tindakan profilaksis.
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif
agresif yang dini dan pemilihan antimikroba empiric yang tepat untuk
kemungkinan pathogen. Tindakan suportif umum diindikasikan bagi setiap
pasien yang menderita patologi intrakranium berat. Pasien koma atau dengan
gangguan reflex muntah harus dikosongkan isi lambungnya dan
dipertimbangkan untuk intubasi guna melindungi jalan nafas.13
Terapi antibiotic awal. Pendekatan terapeutik pada penderita dengan
dugaan meningitis bakteri tergantung dari sifat manifestasi awal penyakit.
Anak dengan penyakit yang memburuk dengan cepat selama kurang dari 24
jam, bila tidak ada kenaikan TIK, harus mendapat antibiotic segera sesudah
dilakukan PL. jika ada tanda-tanda kenaikan TIK atau penemuan-penemuan
38
neurologis fokal, antibiotic harus diberikan tanpa melakukan PL dan sebelum
melakukan CT scan. Kenaikan TIK harus diobati secara bersamaan.14
Golongan Obat Contoh Obat Dosis
Cephalosporin Generasi I
Sefadroksil, Sefaleksin
250-500 mg/ 6 jam per hari
Cephalosporin Generasi II
Sefaklorm, Sefduroksim
PO : 250-500mg/8 jam per hari ; IM/IV : 500mg- 1g /8 jam per hari
Cephalosporin Generasi III
Sefotaksim, Seftriakson, Seftazidim
IM/IV : 500mg- 1g /6-8 jam per hari
Cephalosporin Sefepim, Sefpirom IM/IV : 1g/ 12 jam
39
Generasi IV
Pilihan dalam terapi awal dalam kurung empiric untuk meningitis pada
bayi dan anak imunokompeten harus didasarkan pada kerentanan antibiotic H.
influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan M. meningitides. Antibiotic harus
mencapai kadar bakterisid pada CSS. Sefalosporin generasi ketiga, seftriakson
atau sefotaksim, mewakili terapi baku untuk meningitis bakteri. Dosis
seftriakson 100mg/kg/24 jam diberikan sehari sekali atau 50mg/kg/dosis,
diberikan setiap 24 jam. Dosis sefotaksim adalah 200m/kg/24 jam, diberikan
setiap 6 jam. Kedua obat mencapai kadar bakterisid tinggi pada CSS.
Penderita yang alergi terhadap antibiotic betalaktam harus diobati dengan
kloramfenikol 200mg/kg/24 jam, diberikan setiap 6 jam. Walaupun
kloramfenikol adalah bakteriostatik terhadap banyak bakteri, obat ini
bakterisid terhadap 3 kuman di atas. Penggunanaan kloramfenikol sekarang
dicadangkan untuk penderita yang tidak dapat mentoleransi sefalosporin
karena kadar serum perlu dipantau selama terapi dan kloramfenikol
mempunyai kemungkinan pengaruh yang merugikan seperti anemia aplastik,
sindrom bayi abu-abu seperti syok, dan supresi sum-sum tulang tergantung
dosis. 14
Jika penderita dicurigai meningitis gram negatif, terapi awal dapat
memasukkan seftazidin dan aminoglikosid. 14
Lama terapi antibiotik. Meningitis H. influenzae tipe B tidak
terkomplikasi harus diobati selama total 7-10 hari. Sesudah penentuan bahwa
organisme sensitife pada ampisilin dan tidak menghasilkan betalaktamase,
erapi antimikroa awal dapat dirubah ke ampisilin. 14
Jika S. pneumonia dibiakkan dari CSS, isolate harus di uji untuk resistensi
penisilin. Resistensi relatif terhadap penisilin (MIC 0,1-1,0 gr/mL), ada pada
5 - 25% isolat S. pneumonia, dan organism yang sangat resisten (MIC >b2,0
g/mL) ditemukan pada sejumlah kecil penderita. Meningitis yang
disebabkan oleh isolate S. pneumoniae yang relative resisten dapat diobati
dengan sefotaksim atau seftriakson, sedang kloramfenikol adalah obat pilihan
40
untuk organism yang sangat resisten jika organisme sensitive terhadap
antibiotic. Jika ada juga yang resisten terhadap kloramfenikol, vankomisin
adalah obat pilihan. Terapi untuk meningitis pneumokokus sensitive penisilin
tidak terkomplikasi harus diselesaikan dengan penisilin IV 300.000 U/kg/24
jam, diberikan setiap 4 - 6 jam selama 10 - 14 hari. 14
Penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam selama 5 - 7 hari merupakan pengobatan
pilihan untuk meningitis N. meningitides tidak terkomplikasi. Jarang isolat
meningokokus menunjukkan resistensi terhadap penisilin relative (0,25 - 0,5
g/ml) dan absolute (> 250 g/ml) dan organisme ini mungkin memerlukan
terapi selingan. 14
Penderita yang mendapat antibiotic IV atau oral sebelum PL dan tidak
mempunyai pathogen yang dapat diketahui (pada pewarnaan gram, biakan,
atau deteksi antigen) tetapi mempunyai bukti infeksi bakteri akut atas dasar
profil CSSnya harus terus mendapat terapi dengan seftriakson atau sefotaksim
selama 7-10 hari. Jika tanda-tanda setempat ada atau anak tidak berespon
terhadap pengobatan, focus parameningeal mungkin ada dan CT scan harus
dilakukan. 14
Efek samping terapi antibiotic meningitis adalah phlebitis, demam obat,
ruam, muntah, kandidiasis oral, dan diare. Seftrialson dapat menyebabkan
pseudolithiasis kandung empedu reversible, dapat dideteksi dengan USG
abdomen. 14
Perawatan pendukung. Penilaian berulang medic dan neurologi
penderita dengan meningitis bakteri sangat penting untuk mengenali tanda-
tanda awal komplikasi kardiovaskuler, SSS, dan metabolik. Frekuensi nadi,
tekanan darah, dan frekuensi pernapasan harus sering dipantau. Penilaian
neurologic, termasuk reflek pupil, tingkat kesadaran, kekuatan motorik, tanda-
tanda saraf cranial, dan evaluasi kejang, haru sering dibuat Selma 71 jam
pertama, bila resiko komplikasi neruologis besar. 14
Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pesien
meningitis. Syndrome sekresi hormone antidiuretik yang tidak tepat (SIADH,
syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar
41
30% pasien meningitis, dan jika ditemukan harus dilakukan pembatasan
cairan. Pembatsan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan deplesi
volume, yang jika ekstrem dapat menuju pada ketidakadekuatan volume
sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi sementara menunggu
pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH, pembatasan
cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yang
tepat, sampai kelebihan hormone antidiuretik pulih ; bila tidak terdapat
SIADH, cairan harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan derajat
kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara seksama. 13
F. PENCEGAHAN
Pencegahan meningitis saat ini terdiri atas 2 bentuk, kemoprofilaksis
terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap
penyakit serta imunisasi aktif. Sekarang kemoprofilaksis diindikasikan untuk
mencegah meningitis sekunder yang disebabkan oleh H. influenzae dan N.
meningitidis. 13
Imunisasi aktif pada H.influenzae telah menghasilkan pengurangan
dramatis pada penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-85% pada
eningitis akibat organism tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi
sebagai rangkaian imunisasi tiga dosis pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 13
G. KOMPLIKASI
a. Ventrikulitis
b. Efusi Subdural
c. Gangguan Cairan Elektrolit
d. Meningitis Berulang
e. Abses Otak
f. Paresis, Paralisis
g. Gangguan Pendengaran
42
h. Hydrochepalus
i. RM
j. Epilepsi
H. EPIDEMIOLOGI
Aspek penting yang harus dipertimbangkan mencakup usia, etnik, musim,
factor penjamu, dan pola resistensi antibiotic regional diantara pathogen yang
mungkin.14
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respon imunologi terhadap
pathogen spesifik yang lemah yang terkait dengan umur muda14
I. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada jenis bakteri nya, usia penderita, kecepatan
pengobatan efektif yang dilakukan, dan efisiensi pengobatan. Angka kematian
berbeda-beda pada berbagai kasus. Jika terjadi penyembuhan, biasanya
sembuh sempurna, tapi biasanya diiringi oleh gejala-gejala sisa.
BAB III
PENUTUP
Meningitis bakterial merupakan salah satu jenis penyakit infeksi pada
selaput pembungkus otak atau meningen serta cairan yang mengisi ruang
subarakhnoid. Meningitis bakterial sering disertai dengan peradangan parenkim
otak atau yang disebut dengan meningoensefalitis. Meningitis dapat disebabkan
43
oleh bakteri, virus, jamur, dan agen lainnya. Meningitis bakterial merupakan
penyakit yang serius atau penyakit kedaruratan medik apabila tidak ditangani
dengan baik dan tepat.
Meningitis bakterial merupakan karakteristik inflamasi pada seluruh
meningen, dimana organisme masuk kedalam ruang arahnoid dan subarahnoid.
Meningitis bakterial merupakan kondisi emergensi neurologi dengan angka
kematian sekitar 25 %. Meningitis bakterial jika cepat dideteksi dan mendapatkan
penanganan yang tepat akan mendapatkan hasil yang baik. Meningitis bakterial
sering disebut juga sebagai meningitis purulen atau meningitis septik. Bakteri
yang dapat mengakibatkan serangan meningitis adalah; Streptococcus
pneuemonia (pneumococcus), Neisseria meningitides, Haemophilus influenza,
(meningococcus), Staphylococcus aureus, dan Mycobacterium tuberculosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Penyakit Sistem Neurologis. In : Saputra L. Sinopsis Pediatri. Ed 1. Jakarta :
Binapura Aksara Publisher, 2007. H 345
2. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 25-6.
44
3. Gray.H, Dawkins.K, Morgan.J, Simpson.I. Pengambilan Anamnesis
Kardiovaskuler. Lectures Notes Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbitan
Erlangga ; 2003. H. 1 – 2.
4. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h.
29.
5. Pemeriksaan umum dalam buku diagnosis fisis pada anak ; Editor, Iskandar
Wahidayat, Corry S. Matondang, Sudigdo Sastrasmaro; Jakarta: Balai penerbit
FKUI , 1991.
6. Tedjasukmana R. Pemeriksaan Fisik Neurologis. Modul Blok 22 : Neurlogy
and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA, 2010.
7. Lumbantobing SM. Kesadaran. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 8 – 12.
8. Lumbantobing SM. Saraf Otak. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 21 - 84.
9. Lumbantobing SM. Refleks. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 135 - 49.
10. Lumbantobing SM. Sistem Motorik. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8.
11. Lumbantobing SM. Rangsang Selaput Otak (Iritasi Meningeal). Neurologi
Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H
107 - 8.
12. http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview
13. Tureen J. Meningitis. In : Rudolph A, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar
Pediatri Rudolph. Ed 20. Vol 1. Jakarta : EGC, 2006. H 610 - 4.
14. Prober CG. Infeksi System Saraf Sentral. In : Nelson WE, Behrman RE,
Kliegman R, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed 15. Vol 2. Jakarta :
EGC, 2000. H 872 – 80.
15. Langi B. Kejang Demam. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta :
FK UKRIDA, 2010.
45
16. Langi B. Meningitis Bakterial. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour.
Jakarta : FK UKRIDA, 2010.