Download - INKONTINENSIA FEKAL
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
Dosen Pembimbing:
DR. H.AMIR FAUZI, SPOG (K)
INKONTINENSIA FEKAL
Oleh
Dr. Ratna Dewi Puspita Sari
Dr. Gita Dianty
Dr. Rosalina
1. Diagnosis dan penatalaksanaan.
a. Gejala dan tanda
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan
jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi
tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik.
Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
b. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa:
- Riwayat pekerjaan, yang mengandalkan tenaga sehingga meningkatkan tekanan
intraabdominal
- Riwayat sembelit
- Riwayat reproduksi termasuk indikasi dan tindakan pada persalinan
- Riwayat kerusakan saraf, hal ini dapat disebabkan oleh :
o melahirkan,
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
o kebiasaan BAB yang keras,
o stroke,
o cacat fisik akibat cedera, dan
o penyakit yang mempengaruhi saraf seperti diabetes dan multiple sclerosis.
- Riwayat diare
- Riwayat kerusakan panggul
- Riwayat BAB jarang
- Mencari adanya faktor penyebab timbulnya inkontinensia fekal antara lain :
1. Sembelit
Sembelit merupakan salah satu penyebab paling umum inkontinensia fekal. Sembelit
juga menyebabkan otot-otot rektum meregang dan melemahkan otot-otot sehingga
mereka tidak bisa menahan feses di rektum cukup lama.
2. Kerusakan otot
Inkontinensia fekal dapat disebabkan oleh cedera pada salah satu atau kedua anus
sfingter internal dan eksternal. Ketika rusak, otot-otot tidak cukup kuat untuk
melakukan pekerjaan mereka dan tinja bisa bocor keluar. Pada wanita, kerusakan
yang sering terjadi ketika melahirkan. Risiko cedera paling besar jika dokter
menggunakan forsep atau melakukan episiotomi. Operasi wasir juga dapat merusak
sfingter.
3. Kerusakan saraf
Inkontinensia fekal dapat disebabkan oleh kerusakan saraf yang mengontrol sfingter
anus. Jika saraf yang mengontrol sfingter cedera, otot-otot tidak bekerja dengan baik
dan inkontinensia dapat terjadi. Kerusakan saraf dapat disebabkan oleh melahirkan,
kebiasaan BAB yang keras, stroke, cacat fisik akibat cedera, dan penyakit yang
mempengaruhi saraf seperti diabetes dan multiple sclerosis.
4. Kapasitas rektum
Biasanya, rektum mengalami peregangan untuk menahan tinja sampai Anda bisa ke
kamar mandi. Tapi dubur dengan operasi, radiasi pengobatan, dan penyakit radang
usus dapat menyebabkan jaringan parut yang membuat dinding-dinding rektum kaku
dan kurang elastis. Rektum maka tidak dapat meregang untuk menampung sebanyak
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
mungkin sehingga terjadi inkontinensia fekal. Penyakit inflamasi usus juga dapat
mengiritasi dinding dubur, membuat mereka tidak mampu menahan feses.
5. Diare
Diare, atau kotoran, lebih sulit untuk dikendalikan daripada feses padat karena diare
mengisi dubur dengan lebih cepat.
6. Disfungsi panggul
Kelainan panggul otot dan syaraf dapat menyebabkan inkontinensia feses. Contohnya
termasuk: - gangguan kemampuan rektum untuk merasakan feses di rektum
- penurunan kemampuan untuk otot dalam lubang anus untuk buang air
besar
- prolaps rektum
- rectocele
- kelemahan panggul
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan peninjang untuk menegakkan diagnosis inkontinensia fekal antara lain:
1. Fluoroscopy
Hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan lunak dan
otot pelvis.
2. Ultrasound, yakni anal endosonography
Merupakan metode pemeriksaan terhadap morfologi dari internal anal sphicter (IAS),
extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis dan septum rektovaginal.
3. MRI, yakni endoanal MRI
Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal endosonography namun
memiliki kelebihan dalam mendeteksi dan mengklasifikasikan fistula anal.
d. Faktor risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inlontinensia fekal antara lain:
1. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, kontrol diet
2. Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari
3. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat.
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
4. Faktor psikologik
5. Kebiasaan
6. Posisi
7. Nyeri
8. Kehamilan : menekan rectum
9. Operasi & anestesi
10. Obat-obatan
11. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
12. Kondisi patologis
13. Iritan
2. Tindakan operatif pada kasus fistula rektovaginal kecil.
Teknik transversal untuk perbaikan fistula rektovaginalis yang kecil meliputi insisi sirkuler
pada muara fistula (gambar 1).
Gambar 1. Fistula rektovaginalis kecil dengan garis bayangan insisi inisial
Dengan traksi pada dinding vagina dan traksi yang berlawanan pada sisi fistula, vagina
kemudian dipisahkan dari dinding rektum yang berada dibawahnya dengan cara diseksi
tajam, dan hal ini dilakukan disekeliling vagina (gambar 2).
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
Gambar 2. Insisi dinding vagina, mobilisasi
vagina posterior dari kanalis analis anterior di
bawahnya.
Mobilisasi yang lebar ini nantinya akan membantu pendekatan daerah luka yang tidak
tertarik. Sewaktu dinding vagina dimobilisasi dari rektum yang berada di bawahnya,
keseluruhan traktus fistula dieksisi termasuk batas kecil di mukosa rektal (gambar 3), yang
akan mengubah fistula menjadi sebuah luka baru.
Gambar 3. Eksisi traktus fistula
Dengan jari telunjuk pada tangan pembedah yang non-dominan dilakukan pengangkatan dan
dorongan pada dinding rektum anterior, jahitan pertama dilakukan secara ekstramukosal,
meliputi sebagian muskularis dan sub mukosa, dengan jahitan dengan benang 3.0 absorbable
(gambar 4).
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
Gambar 4. Penjahitan ekstramukosa di dinding anterior dari kanalis analis.
Dilakukan penjahitan di sepanjang fistula, dimana nantinya masing-masing jahitan akan
dikencangkan berurutan di tempat mereka dilakukan. Jahitan pertama dengan benang dimulai
dan ditarik penuh sekitar 5-8 mm di atas dan dibawah tempat traktus fistula untuk
memastikan penutupan yang sempurna. Lapisan kedua dimulai 5 mm diatas jahitan
sebelumnya dan menjauh sekitar 5 mm dari tempat penutupan fistula, dengan membalik
jahitan awal ke dalam rektum, dan tidak ada jahitan yang terletak di dalam lumen rektum.
Gambar 5. A: Inversi jahitan awal dengan aproksimasi
muskularis pada kanalis analis. Bagian lapisan otot polos yang
menebal ini adalah sfingter anal internal. B: Pandangan samping
menunjukkan penutupan lapisan pertama dan kedua dalam
kanalis analis.
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
Sewaktu dinding rektum direkonstruksi, bagian bawah dari otot puborektalis dan sfingter
anal eksternal didekatkan untuk menambah lapisan ketiga dalam proses penutupan (gambar
6A), dimana digunakan untuk merekonstruksi dinding rektum anterior. Perawatan harus
dilakukan agar pendekatan ini tidak terlalu ketat sehingga akan terjadi jahitan yang melewati
dinding posterior vagina, yang akan menyebabkan dispareunia. Sewaktu dinding muskuler
didekatkan, dinding vagina dijahit dengan jahitan 3.0 delayed absorbable, dan secara akurat
diletakkan untuk mendukung aposisi primer dari tepi yang baru pada dinding vagina (gambar
6B).
Gambar 6. A: Rekonstruksi kanalis anal dengan aproksimasi
bagian puborektalis dan sfingter anal eksternal. B: Jahitan
interrupted dalam aproksimasi dinding posterior vagina.
Terkadang, traktus fistula sangat dekat dengan sfingter anal eksternal sehingga membuat
penutupan ini menjadi sulit. Dalam situasi seperti ini penyambungan kulit, sfingter dan
corpus perineum dapat dilakukan secara terpisah dan fistulanya akan dibuat menjadi laserasi
derajat empat (gambar 7).
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
Gambar 7. Bayangan insisi korpus perineum
dan dinding vagina posterior dengan eksisi
traktus fistula.
Traktus fistula ini kemudian dieksisi, dan dinding vagina posterior dimobilisasi dari dinding
anal anterior (gambar 8).
Gambar 8. Mobilisasi vagina posterior dari kanalis anal
anterior dengan konversi fistula rektovaginalis menjadi
luka derajat empat.
Kanalis analis kemudian direkonstruksi dengan jahitan interrupted atau jelujur dengan
menggunakan benang delayed absorbable dengan melakukan aproksimasi mukosa di kanalis
analis. Jahitan awal ini kemudian dibalik dengan lapisan kedua pada jahitan interrupted
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
dengan benang delayed absorbable yang dilakukan aproksimasi jaringan yang tertarik paad
sfingter anal internal, sehingga menyebabkan rekonstruksi kanalis analis (gambar 9).
Gambar 9. Dua lapisan rekonstruksi kanalis anal
Ujung yang diretraksi pada sfingter anal eksternal diaproksimasi pada garis tengah dari ujung
ke ujung dengan benang delayed absorbable (gambar 10).
Gambar 10. Anastomosis ulang pada sfingter anal
eksternal yang diretraksi dengan jari telunjuk pembedah
berada dalam kanalis anal.
Ini akan menghasilkan penutupan resisten yang pas terhadap rongga pada jari kelingking
pembedah. Cara lain, pada titik ini ahli bedah dapat melakukan sfingteroplasty overlapping
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Korpus perineum kemudian direkonstruksi dengan
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
cara tertentu sehingga terdapat dukungan yang signifikan pada rekonstruksi sfingter anal, dan
pintu masuk vagina tidak terganggu (gambar 11).
Gambar 11. Rekonstruksi korpus perineum
dengan penjahitan subkutikuler pada kulit
perineum.
Pengalaman yang ada dengan pendekatan flap transanal terhadap fistula rectovaginal
melibatkan bagian bawah dari septum rektovaginalis. Rothenberger dan kolega melaporkan
sebuah teknik yang menggunakan flap endorektal yang terdiri dari mukosa, submukosa, dan
serabut otot sirkuler. Flap ini dua kali lebarnya pada bagian dasar daripada pada puncaknya.
Merke memperoleh 32 keberhasilan dari 35 pasien dengan fistula rektovaginalis. Hexter dan
kawan-kawanmelaporkan angka keberhasilan penyembuhanfistula yang tinggi juga dan
perbaikan kontinensia anal, yang menekankan beberapa titik untuk perbaikan yang berhasil
melalui flap endorektal: (a) mengelevasi flap rektal setidaknya 4 cm dari fistula, (b)
melakukan eksisi pada traktus fistula, (c) membiarkan luka vagina terbuka untuk drainase,
dan (d) menggunakan flap elips untuk menghindari devaskularisasi dari puncak flap. Peneliti
yang lain melaporkan efikasi derajat tinggi pada flap endorektal untuk memperoleh
penyembuhan dan perbaikan fistula yang berkaitan dengan gangguan sfingter anal.
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
3. Tindakan reparasi ruptura perinei derajat III dan IV.
Ruptura perinei derajat III Robekan tingkat II + termasuk otot sfingter ani eksterna
maupun otot sfingter ani interna.
IIIa : Robekan < 50% tebal otot sfingter ani eksterna.
IIIb : Robekan > 50% tebal otot sfingter ani eksterna.
IIIc : Robekan seluruh otot sfingter ani eksterna dan interna.
Ruptura perinei derajat IV Robekan tingkat III + mukosa anus.
Reparasi ruptura perinei derajat III dan IV:
aproksimasi ujung ke ujung (end to-end approximation) baik dengan jahitan
interuptus (interrupted) atau jahitan angka delapan (figure of eight).
dengan inkontinensia alvi teknik overlap pada saat menjahit sfingter.
Prinsip reparasi:
a. menjahit luka mukosa rektum harus sedemikian rupa sehingga tepi mukosanya
menghadap ke lumen rektum.
b. arah mukosa ke lumen rektum, dengan tujuan menghindari terjadinya fistula
rektovaginal dan infeksi terhadap luka jahitan serta untuk dapat melakukan jahitan
demikian, salah satu jari dapat ditempatkan pada rektum sehingga mukosanya dapat
dilihat dengan baik.
c. setelah mukosa rektum dapat dijahit dengan semestinya, submukosa dijahit untuk
menutupinya sebagai lapisan kedua dan menambah kuatnya septum rektovaginalis.
d. sarung tangan yang dipergunakan harus diganti untuk melindungi jari dalam rektum
dan dalam menjahit selanjutnya, untuk menghindari kontaminasi bakteri.
e. sfingter ani dipegang dengan dua klem Ellis dan dijahit dengan benang halus, kuat,
dan diresorbsi lambat dengan dua sampai empat jahitan simpul.
f. submukosa vagina dijahit sehingga menambah kuat perlindungan dari kemungkinan
terlepasnya luka jahitan.
g. himen sebagai titik sentral dipegang dengan benang, tetapi belum diikat simpul untuk
memudahkan orientasi.
Tugas Bedah Ginekologi III 2009
h. jahitan mulai dari dalam submukosa vagina, dapat secara berkelanjutan atau dengan
jahitan simpul.
i. setelah bagian dalam vagina dapat ditata sesuai dengan keadaan anatomisnya, barulah
benang pada himen dieratkan.
j. selanjutnya, jahitan pada dinding perineum dengan mudah dapat diteruskan sesuai
dengan situasi anatomis semula.
Diagram teknik penjahitan end-to end dengan menggunakan
jahitan angka delapan.
Penjahitan sfingter ani interna menggunakan jahitan matras (E sfingter ani eksterna, A epitel anus)
Penjahitan robekan perineum derajat empat menggunakan teknik overlap pada sfingter ani eksterna. Epitel anus (A) dan sfingter ani interna (I) juga telah dijahit