4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sukun
Tanaman sukun termasuk dalam famili Urticaceae, Genus Artocarpus
(Nangka-nangkaan) dan species Artocarpus communis (Sutikno, 2008).
Beberapa sebutan lokal untuk sukun antara lain sukin, di Siam dikenal dengan
nama sake, di Malaysia dikenal sebagai bandarese, serta dalam bahasa inggirs
disebut Breadfruit (Pitojo, 1992). Sukun (Breadfruit) dinamakan demikian karena
tekstur buah yang mempunyai rasa mirip dengan roti, tanaman ini berasal dari
Malaysia, dan ditanam di seluruh wilayah tropika basah. Buah sukun berbentuk
bulat telur atau lonjong. Kulit buahnya cenderung agak kasar, namun ada juga
yang berkulit halus. Buah sukun memiliki warna hijau muda kuningan. Daging
buah berwarna putih krem dengan ketebalan sekitar 7 cm. Teksturnya kompak
dan berserat halus, dengan rasa agak manis dan memiliki aroma yang spesifik.
Tanaman sukun biasanya berbuah dua kali dalam setahun. Panen raya
pada bulan Januari-Februari dan panen susulan pada bulan Juli-Agustus. Maju
mundurnya musim panen dipengaruhi oleh datangnya musim hujan. Apabila
musim kemarau basah, maka produksi pada bulan Juli-Agustus akan mengalami
peningkatan dibandingkan dengan saat musim kemarau kering. Buah sukun di
luar musim buah biasanya berjumlah sedikit, sehingga harganya lebih tinggi
dibandingkan saat panen raya (Pitojo, 1992).
Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan pangan semakin penting, sejak
pemerintah mencanangkan program difersifikasi pangan. Buah sukun di
pedesaaan masih belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di daerah yang
petaninya belum mengenal teknologi pengolahan (Angkasa dan Nazarudin,
1996), Tetapi di beberapa daerah sudah memanfaatkannya untuk digunakan
untuk makan pagi. Di daerah Sumenep misalnya, pada panen raya sukun tidak
terpasarkan, sehingga sukun digunakan sebagai pakan ternak atau terbuang
begitu saja.
Buah sukun sebagai bahan pangan mempunyai nilai gizi yang cukup
tinggi dibanding dengan sumber karbohidrat yang lain, terlihat tidak jauh
berbeda, bahkan mempunyai energi per 100 g bahan dalam bentuk tepung (302
kal) lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu (158 kal), ubi jalar merah (125
5
kal), maupun kentang hitam (142 kal), selain itu juga diketahui bahwa tepung
sukun mempunyai kandungan protein (3,6 g), calcium (5,8 mg), Fe (1,1 mg), dan
P (165,5 mg) yang terbilang cukup tinggi (Sutikno, 2008).
Buah sukun sebagai bahan pangan memiliki kandungan nutrisi yang
cukup tinggi, dari 100 gram buah mentah dapat dihasilkan 108 kalori dan
kandungan karbohidrat 28,2 gram, 59 miligram fosfor, vitamin C sebanyak 17
miligram (Sutikno, 2008). Buah sukun mempunyai potensi sebagai bahan
pangan alternatif untuk pengganti beras (difersifikasi pangan) dalam mendukung
ketahanan pangan (Edahwati, dkk., 2013). Untuk difersifikasi makanan, buah
sukun dapat diolah menjadi produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.
Tepung sukun sangat prospektif untuk dikembangkan, selain sebagai cara untuk
mengawetkan buah sukun sewaktu musim panen juga dapat diolah menjadi
berbagai produk olahan, antara lain : krupuk, mie, kue, dll.
Sukun merupakan buah yang mudah diperoleh, mudah dibudidayakan
dan cocok sebagai tanaman penghijauan yang juga dapat tumbuh didaerah
tropis, asalkan mendapat air yang cukup (Fatmawati, 2012). Pohon sukun dapat
berbuah sejak berumur 3 tahun. Setiap kali pohon dipanen, sekurang-kurangnya
dua kali dalam setahun. Karena bisa dikatakan pohon yang berumur tujuh tahun
dapat dipetik tidak kurang dari 200 sampai 300 buah perpohonnya dengan berat
antara 1,5 kg sampai 2 kg. Untuk pohon yang dirawat dan dipupuk, beratnya bisa
mencapai tidak kurang 3 kg per buah (Fatmawati, 2012)..
Buah sukun merupakan buah yang memiliki kandungan karbohidrat
tinggi, memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah kandungan phospor yang
tinggi dibandingkan dengan zat gizi lainnya. Kandungan phospor yang tinggi
dapat menjadi buah alternatif untuk meningkatkan gizi masyarakat. Phospor
memiliki peranan penting dalam pembentukan komponen sel esensial, yang
berperan dalam pelepasan energi, karbohidrat dan lemak serta mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh (Fatmawati, 2012). Sedangkan kekurangan dari
buah sukun sendiri adalah buah sukun mudah busuk setelah dipetik jadi cara
menanggulanginya adalah dibuat tepung sukun. Karena setelah dijadikan tepung
masa simpannya akan semakin panjang dan tahan lama.
6
Pitojo (1992) menuliskan sistematika tanaman sukun (Artocarpus altilis)
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg
Gambar 2.1 Buah Sukun (Dokumentasi Penelitian, 2014)
Seperti umumnya buah – buahan, sukun mudah mengalami reaksi
browning setelah dikupas, hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga
terbentuknya warna pencoklatan, yang akan berdampak pada pembuatan tepung
sukun (Edahwati, dkk., 2013). Terbentuknya warna coklat pada bahan pangan
yang nantinya akan dibuat tepung dapat dihindari dengan cara mencegah
seminimal mungkin adanya kontak antara bahan yang yang telah dikupas
dengan udara, salah satu caranya yaitu dengan cara direndam dalam air
(Sutikno, 2008).
2.2 Tepung Sukun
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi
yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat
komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk dan lebih cepat dimasak
sesuai kebutuhan modern yang serba praktis (Winarno, 2002). Berdasarkan
kadar karbohidrat yang cukup tinggi (27%), buah sukun berpeluang untuk diolah
menjadi tepung. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan olahan dapat
7
mensubtitusi penggunaan terigu sampai 50 hingga 100% tergantung jenis produk
yang akan dibuat.
Dalam pembuatan tepung sukun ada tahapan–tahapan yang harus
diperhatikan yaitu pemilihan bahan baku, pengupasan, pencucian, pembelahan,
perendaman, pengirisan tipis, penjemuran, dan yang terakhir penggilingan.
Apabila dalam proses pembuatan tepung sukun tidak memenuhi persyaratan
kualitas maka akan mengakibatkan tepung sukun yang dihasilkan cenderung
berwarna kecoklatan (Fatmawati, 2012). Adapun langkah proses pembuatan
tepung sukun secara umum, adalah sebagai berikut :
1.Pemilihan
Untuk mendapatkan tepung dengan warna yang baik, maka dipilih buah
sukun yang berumur cukup tua (berumur 80 hari terhitung dari munculnya bunga
betina), memiliki tekstur yang keras, dan kulit tidak mengalami cacat fisik.
2.Pengupasan dan Pemotongan
Pengupasan dan pemotongan dilakukan dalam waktu yang singkat, buah
sukun yang sudah dipotong tipis (Chip) direndam ke dalam air yang bersih
3.Perendaman
Perendaman sebaiknya dilakukan minimal 15 menit, perendaman
bertujuan untuk mengurangi reaksi pencoklatan yang diakibatkan oleh oksigen.
4.Pengeringan
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering kabinet, dalam
waktu kurang lebih 20 jam agar Chip kering secara merata
5.Penghalusan
Penghalusan menggunakan blender dan setelahnya tepung diayak
menggunakan ayakan 80 mesh (Suprapti, 2002).
Tingkat kematangan buah sukun sangat berperan terhadap warna tepung
yang dihasilkan. Sukun yang baik diolah menjadi tepung (warna tepung putih,
rendemen tinggi) yaitu buah mangkal yang dipanen disaat berumur 80 hari
terhitung dari munculnya bunga betina pada pohon (Widowati, dkk., 2002). Bobot
kotor buah sukun sekitar antara 1.200-2500 gr kandungan daging buah sekitar
81,21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan
menghasilkan sawut kering sebanyak 15-20% dan tepung yang diperoleh
sebesar 13-18%, tergantung tingkat kematangan dan jenis sukun. Dalam tepung
sukun, masih terbawa ampas daging buahnya sehingga tingkat kehalusan yang
dicapai adalah 80 mesh. Sementara dalam tepung sukun terkandung unsur gizi
8
yang cukup tinggi sesuai dengan pendapat Suprapti, (2002), unsur gizi tepung
sukun tersebut dapat diihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Kandungan Gizi Tepung Sukun per 100 g buah
Zat Gizi Tepung Sukun
Karbohidrat (g) 78,2
Lemak (g) 2,72
Protein (g) 3,6
Vitamin B1 (mg) 0,34
Vitamin B2 (mg) 0,17
Vitamin C (mg) 47,6
Kalsium (mg) 58,8
Fosfor (mg) 165,2
Zat Besi (mg) 1,1
Sumber : (Suprapti, 2002)
Tepung buah sukun telah dimanfaatkan dalam pembuatan berbagai jenis
makanan seperti cake sukun, bubur sumsum, pastel, frest role cake, nastar, roti,
mie dan lain-lain. Kandungan karbohidrat yang jumlahnya hampir sama dengan
tepung terigu menjadi salah satu alternatif agar tepung sukun disukai oleh
konsumen. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan dapat mensubstitusi
penggunaan tepung terigu 50% hingga 100% tergantung dari jenis produknya.
Tepung sukun memiliki kandungan kadar protein 4,72%, kandungan ini jauh lebih
rendah dari tepung terigu. Rendahnya kandungan protein pada tepung sukun
mengakibatkan kemampuan pengembangan adonan kue rendah. (Widowati,
dkk., 2002)
Tepung sukun mengandung amilopektin 77,48% dan amilosa 22,52%
(Agustin, 2011). Sifat tepung sukun mencerminkan perilaku tepung sukun dan
kaitannya dengan kesesuaiannya saat diolah menjadi berbagai produk olahan
makanan (Sutarji, dkk., 2003). Beberapa sifat tepung sukun yang penting adalah
kapasitas hidrasi tepung sukun yang bernilai lebih tinggi dari tepung terigu, yaitu
290% sedangkan tepung terigu bernilai 191,55% (Dameswary, 2012). Bentuk
dan ukuran granula pati sebagai sifat mikroskopis hidrasi tepung sukun dan
warna. Kapasitas hidrasi menunjukkan jumlah air yang dapat diserap oleh
tepung. Sifat ini memberikan pengaruh yang besar terhadap sifat dari adonan
yang akan terbentuk.
9
Kendala dalam pembuatan tepung sukun ialah terjadinya warna browning
saat diproses menjadi tepung. Cara yang biasa dilakukan adalah merendam
buah sukun yang telah dikupas dalam air bersih, atau dilakukan pengukusan
(Blanching) terhadap chips sukun dengan tujuan untuk menonaktifkan enzim
yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung. Lama
pengukusan kira-kira selama 5-10 menit, tergantung dari banyaknya bahan yang
digunakan (Sutikno, 2008).
Menurut (Suprapti, 2002), tepung sukun yang memiliki kandungan kadar
air tinggi, akan lebih mudah dan lebih cepat mengalami kerusakan bila
dibandingkan dengan tepung sukun yang memiliki kadar air rendah. Tepung
sukun memiliki sifat higroskopis (mudah menyerap air dari udara), dengan
demikian dalam penyimpanannya harus dikemas dengan bahan pengemas yang
kedap udara dan air, yang bertujuan untuk meminimalis terjadinya penyerapan
kelembapan oleh tepung. Selain itu, pengemasan juga betujuan untuk
menghindari terjadinya pencemaran tepung sukun yang diakibatkan oleh debu
dan bahan pencemar lainnya, termasuk juga kondisi lembab lingkungan sekitar.
Adanya mikroorganisme dan serangga juga menjadi penyebab rusaknya tepung
bila tidak dilakukan penanganan dan penyimpanan dengan baik.
2.3 Pati
Pati merupakan komponen terbesar dari tepung, kandungan pati pada
tepung kira-kira sebesar 75-80% dari berat kering tepung (Wirawan, 2000).
Molekul pati tersusun atas unit-unit glukosa sehingga disebut homopolisakarida
dengan ikatan α glikosidik. Meskipun pati tersusun hanya oleh unit-unit glukosa
tetapi rantai glukosa berikatan dengan 2 cara yaitu ikatan α 1-4 dan berstruktur
lurus disebut amilosa, dan amilopektin yang mempunyai rantai cabang dengan
ikatan α 1-6 dan ikatan α 1-4 pada bagian yang lurus (Wurzburg, 1982).
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan, salah satu caranya
adalah dengan menggunakan air panas, adanya air dan energi panas yang
cukup, mengakibatkan pati mengalami pembengkakan yang selanjutnya akan
mengakibatkan pati terpecah. Granula pati yang Pecah menyebabkan granula
fraksi amilosa pati mengalami leaching. Fraksi terlarut pada pati disebut amilosa
dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa merupakan polimer
linier yang mengandung 500-2000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan α -(1,4)
sedangkan pada amilopektin, tidak hanya mengandung ikatan α -(1,4) namun
10
juga mengandung ikatan α -(1,6) sebagai titik percabangannya (Winarno, 2008).
Amilosa memberikan sifat keras pada karakteristik produk sedangkan
amilopektin menyebabkan sifat lengket, amilosa juga sangat berpengaruh
terhadap karakteristik gel pati yang dihasilkan (Widodo et al., 2005).
Perbandingan amilosa dan amilopektin di alam secara umum adalah 25% dan
75% (Eliasson dan Magnus, 2006). Berikut merupakan tabel perbandingan
karakteristik antara amilosa dan amilopektin.
Tabel 2.2 Karakteristik Amilosa dan Amilopektin
Karakteristik Amilosa Amilopektin
Struktur Tidak bercabang Bercabang Panjang rantai ~10
3 unit glukosa 20-25 unit glukosa
Derajat Polierisasi 103 10
4-10
5
Reaksi iodium Berwarna biru Berwarna merah dan ungu Kekuatan Helix Kuat Lemah Kestabilan dalam larutan Tidak Stabil Stabil Retrogradasi Cepat Lambat Sifat Gel Keras dan irreversible Lunak dan reversible Sifat Film
Kuat
Rapuh
Chen et al (2003)
2.4. Karakteristik Fisiko-Kimia Pati
2.4.1 Gelatinisasi
Gelatinisasi merupakan proses membengkaknya granula pati yang
diakibatkan oleh pemanasan didalam media air. Granula pati tidak larut dalam air
dingin, namun granula pati dapat mengembang didalam air panas. Suhu
pemanasan yang meningkat akan seiring dengan membengkaknya granula pati.
Pembengkakan granula pati akan menyebabkan terjadinya pemekatan antar
granula pati. Pembengkakan granula pati pada awalnya bersifat reversible (dapat
kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati,
pembengkakan granula pati menjadi bersifat irreversible (tidak dapat kembali).
Kodisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut
gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa tersebut dinamakan suhu
gelatinisasi.
Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran dari granula dari pati, semakin
besar ukuran granulanya, memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak
menyerap air sehingga mudah membengkak dan pati lebih mudah mengalami
gelatinisasi (Purnamasari dkk., 2010). Suhu gelatinisasi tergantung juga pada
11
konsentrasi pati. Makin kental suatu larutan, maka suhu tersebut makin lambat
tercapai. Suhu gelatinisasi pada tiap jenis pati berbeda-beda dan memiliki suatu
kisaran, misalnya pada jagung 62-70C, beras 68-78C, gandum 54,5-64C,
kentang 58-66C dan tapioka 52-64C.
2.4.2 Retrogradasi
Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah
mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa dapat
terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak
dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati
yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak
yang tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang
terdispersi ke dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi,
selama pati masih dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih
memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati
mendingin, energi pada air tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan
molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa dapat
berikatan kembali antara satu dengan yang lain serta berikatan dengan cabang
amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula pati, dengan demikian molekul-
molekul tersebut menggabungkan bulir-bulir pati yang bengkak menjadi
semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 2002).
Retrogradasi pasta pati ataupun larutan pati memiliki beberapa efek,
diantaranya: (1) peningkatan viskositas; (2) terbentuknya kekeruhan; (3)
terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas; (4) terjadi presipitasi pada
partikel yang tidak larut; (5) terbentuknya gel; (6)terjadinya sineresis pada pasta
pati (Swinkels, 1985). Retrogradasi merupakan proses yang kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur
pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan
keberadaan komponen lain.
2.4.3 Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan
Daya kembang pati atau swelling power merupakan kenaikan volume dan
berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling
power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang di dalam air. Swelling
power yang tinggi mempengaruhi kemampuan pati untuk mengembang semakin
12
tinggi pula di dalam air. Menurut Suriani (2008) Nilai swelling power perlu
diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan
untuk proses produksi, sehingga saat pati mengalami swelling, wadah yang
digunakan masih bisa menampung pati tersebut.
Menurut Leach (1959) Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada
kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga
tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula. Berbagai faktor yang
menentukan daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dan
amilopektin, (2) bobot molekul dari fraksi fraksi tersebut, (3) distribusi bobot
molekul, (4) derajat percabangan, (5) panjang dari cabang molekul amilopektin
terluar yang berperan dalam kumpulan ikatan (Leach, 1959).
Kelarutan merupakan kemampuan pati untuk terlarut dalam air. Nilai
kelarutan berkolerasi dengan kadar amilosa. Granula menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi nilai kelarutan. Gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik pada
granula memiliki kecenderungan untuk berikatan secara hidrogen dengan gugus
hidroksil yang berdekatan dan membentuk struktur yang teratur, sehingga
memiliki barrier yang cukup baik terhadap difusi moekul lain kedalam granula pati
termasuk molekul air. Reily (1985) menjelaskan bahwa semakin banyak ikatan
hidrogen yang terbentuk maka akan mengakibatkan larutan pati semakin tidak
larut kedalam air.
Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen
antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula
pati akan menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika
granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling).
Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah
antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga
terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang,
sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat
dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Ketika molekul pati sudah benar-
benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di
luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki
rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang
akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan
granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan
13
lebih banyak mengeluarkan amilosa (Fleche, 1985). Selain itu, Mulyandari (1992)
juga melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati,
sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak
mengeluarkan amilosa.
Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan
meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk
tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat
supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power.
Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati dari umbi-
umbi yang lain.
2.4.4 Karakteristik Pati Sukun
Pati sukun didapat dari buah sukun yang berumur cukup tua. Untuk
mendapatkan pati sukun, buah sukun dikupas bersih dan dipotong-potong lalu
dihaluskan dengan cara diparut atau diblender. Untuk melarutkan tepung dan
memisahkannya dari ampas, tambahkan air ke dalam hasil parutan sukun.
Penyaringan bisa dilakukan berulang kali hingga seluruh pati terlarut.
Selanjutnya biarkan pati mengendap dengan memperhatikan lapisan air di
bagian atasnya. Semakin jernih air menandakan pengendapan semakin baik.
Setelah air endapan dibuang, jemur pati di bawah terik matahari sampai kering.
Pati sukun yang sudah kering dapat disimpan dalam plastik (Nopianto, 2012).
Pati sukun tersusun atas dua polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua
polimer ini sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan perekat (starch
gum) untuk kebutuhan industri kertas, keramik, kosmetik, cat, percetakan, dan
plywood karena merupakan bahan organik yang sifatnya ramah lingkungan
(Hooltzapple, 2009). Komponen karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun
berada dalam bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6,9%), total gula (4,07%)
dan gula reduksi (2,65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati
sukun dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Komposisi Pati Sukun
Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%)
Protein Kasar 0.53 Lemak 0.39
Air 10.83 Amilosa 22.52
Abu 1.77 Amilopektin 77.48
Akanbi et al (2009)
14
Sama seperti pati dari sumber lain, molekul pati pada sukun tersusun atas
dua komponen makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer itu
disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain dan diikat
melalui ikatan glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua
makromolekul tersebut terletak pada percabangan yang terbentuk pada struktur
liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi
pada granula pati, seperti pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Struktur amilosa dan amilopektin (Taggard, 2000)
Amilosa memiliki struktur yang lurus dan didominasi dengan ikatan α-
(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin memiliki ikatan yang sama dengan
amilosa namun memiliki titik percabangan ikatan di α-(1,6) (Winaro, 2008).
Gugus hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain
membentuk struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985).
Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu dengan lain
dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada
percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang satu dengan cabang yang
lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).
Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-
beda, demikian juga dengan berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi
amilopektin yang lebih besar apabila dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun
memiliki kandungan amilosa yang terbilang beragam, tergantung varietas dan
tempat dimana tanaman tersebut tumbuh. Sebagai contoh kadang amilosa
15
tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar 17-20%, sedangkan
untuk tepung sukun Cilacap, Kediri Bone dan Kepulauan Seribu berkisar antara
11-17% (Prabawati & Suismono 2009).
Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun
menjadi penting apabila tepung sukun tersebut dipakai sebagai bahan baku,
maupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan
amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel
dan struktur bihun yang diproduksi dari bahan baku beras (Juliano & Sakurai
1985). Pembentukan gel yang baik berpengaruh terhadap tingkat kelengketan
produk bihun yang dihasilkan nantinya, semakin baik gel yang dihasilkan maka
tingkat kelengketan yang terbentuk semakin berkurang. Pati suku yang berasal
dari Indonesia memiliki kandungan amilosa yang tergolong rendah (11-20%),
tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat fungsional lainnya yang berpotensi
untuk diolah menjadi produk pangan seperti bihun.
Seperti pati pada umumnya, pati sukun juga memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya adalah sifatnya yang mudah mengembang, memiliki
viskositas break down yang rendah pada saat dipanaskan pada suhu 95°C dan
diaduk secara mekanik (Loos et al., 1981). Untuk mengatasi hal tersebut, maka
perlu dilakukan modifikasi pati sehingga didapatkan sifat-sifat yang cocok untuk
aplikasi tertentu. Beberapa motode yang dapat digunakan untuk memodifikasi
pati antara lain rekayasa genetika, konversi dengan hidrolisis secara enzimatis
dan asam, cross-linking, derivatisasi secara kimia dan fisik. Namun didalam
pengaplikasiannya, modifikasi secara fisik dinilai lebih sederhana dan lebih
aman, karena tidak meninggalkan residu berbahaya.
2.5 Modifikasi Pati
Menurut Glicksman (1969), modifikasi pati adalah pati yang diberi
perlakuan tertentu yang bertujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk
memperbaiki sifat sebelumnya, atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya.
Pati termodifikasi merupakan pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat
suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi), atau dengan
mengganggu struktur asalnya (Fleche, 1985). Perlakuan ini dapat mencakup
penggunaan panas, alkali, asam, zat pengoksidasi, atau bahan kimia lainnya
yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta
struktur molekul pati. Modifikasi ini bertujuan untuk mengatasi beberapa sifat
16
alami pati yang kurang menguntungkan, diantaranya, ketidak seragaman pati
dalam membentuk gel, tidak tahan terhadap suhu tinggi, tidak tahan proses
mekanis, kelarutan pati yang terbilang terbatas, dan mudah mengalami sineresis
pada gelnya (Pomeranz, 1991). Sifat fisiko kimia dipengaruhi oleh modifikasi pati
berkaitan dengan pengaplikasiannya dalam produk olahan makanan tertentu,
misalnya modifikasi kimia dapat menghasilkan pati yang resisten terhadap
kondisi asam sehingga dapat digunakan untuk produk yang dalam
pengolahannya menggunakan asam.
Didalam pengaplikasiannya, teknologi modifikasi pati diklasifikasikan
menjadi empat kategori yaitu modifikasi secara fisik, kimia, enzim dan genetik.
Keempat modifikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan variasi turunan baru
dan sesuai dengan yang diinginkan dengan merubah sifat fisiko kimia sehingga
memiliki fungsi yang spesifik terhadap produk tertentu (Neelam et al, 2012).
Penggunaan teknik modifikasi bergantung pada sifat fisik-kimia dan atribut
fungsional tertentu dari suatu produk. Biasanya untuk menghasilkan jenis pati
yang diinginkan, perlu dilakukan kombinasi antar metode modifikasi pati.
Modifikasi pati secara fisik banyak diaplikasikan untuk merubah struktur
granula pati, selain itu modifikasi pati secara fisik juga dipilih untuk merubah sifat-
sifat dasar alami pati yang kurang menguntungkan. Modifikasi ini dapat
menyebabkan terjadinya pengaturan kembali dan peningkatan derajat asosiasi
rantai molekul penyusun pati. Keadaan ini didukung dengan melelehnya daerah
kristalin, yang kemudian pembentukan daerah kristalin kembali atau reorientasi.
Perubahan molekul tersebut berdampak nyata terhadap sifat reologi pati, yaitu
adanya perubahan suhu gelatinisasi, kapasitas menyerap air dan sifat pasta
yang dihasilkan. Menurut Neelam et al (2012) modifikasi fisik yang sering
digunakan yaitu Annealing, Heat moisture treatmen (HMT), retrogradasi,
freezing, ultra high pressure treatment, inhibitor, plasma treatment, gelatinisasi
dan osmotic-pressure treatment, selain karena pengaplikasiannya yang terbilang
sederhana, modofikasi pati secara fisik juga tidak melibatkan bahan kimia
didalam pengaplikasiannya, sebab dikhawatirkan akan meninggalkan residu
apabila menggunakan bahan kimia berbahaya. Berikut ini merupakan tabel
beberapa contoh tujuan dan aplikasi dari modifikasi fisik.
17
Tabel 2.4 Teknik Modifikasi Pati Fisik dan Aplikasinya
Teknik modifikasi Pati secara fisik
Tujuan Aplikasi
Pregelatinisasi Menghasilkan pati yang dapat terdispersi (larut) dalam air dingin (bersifat instan)
Makanan bayi, food powder, salad dressing, cake mixes, pudding
Annealing Menghasilkan pati dengan sifat termo stabil, kelarutan rendah dan tinggi suhu gelatinisasi.
Mie instan, Produk bakery, bihun, dan produk cetak
HMT (heat moisture treatment
Menghasilkan pati yang rendah leaching amilosa, rendah daya bengkak, menurunkan viskositas puncak, dan meningkatkan kestabilan terhadap panas
Produk tersterilisasi seperti penstabil untuk ikan dalam kaleng, dan produk mie instan,
Freezing Menghasilkan pati yang tinggi retrogradasi,
Pengawetan makanan , produk kering dan produk lyophilisasi
(Wurzburg, 1986) (Neelam et al, 2012)
Menurut Bemller dan Whistler (1996) Modifikasi pati dibidang pangan
memiliki peran fungsional dalam memberikan sifat viskositas yang spesifik,
meningkatkan stabilitas free-thawing pada produk pasta, meningkatkan
kejernihan pasta yang dihasilkan, meningkatkan gloosy pasta, meningkatkan
formasi gel dan kekuatan gel, menurunkan sineresis, merubah interksi dengan
substansi lain, meningkatkan stabilitas terhadap kondisi yang ekstrim, (lebih
stabil terhadap asam, dan panas), dan daya kembang.
Perlakuan pemanasan pada suhu diatas suhu gelatinisasi (80-120oC)
dikombinasikan dengan pengaturan kadar air (kurang dari 35%) atau lebih
dikenal dengan modifikasi fisik secara Heat-moisture treatment pada pati.
Modifikasi fisik diketahui dapat mempengaruhi karakteristik pati tanpa
menyebabkan perubahan yang signifikan pada kenampakan granula pati.
Penelitian yang dikembangkan oleh Lorenz and Kulp (1981) pada ubi kayu, pada
jagung oleh Abraham (1993), pada oat dan yam oleh (Hoover and Vasanthan
(1994), Eerlingen et al (1997) pada kentang dan sukun oleh Collado and Corke
(1999). Beberapa penelitian tersebut masih mengukur perubahan-perubahan pati
dari sisi viskoamilografinya, dan belum mengarahkan modifikasi tersebut untuk
18
menghasilkan produk tertentu. Adapun perbedaan antara pati alami dan pati
termodifikasi yang dapat dilihat pada gambar 2.4.
2.4 Perbedaan Pati Alami dan Pati Termodifikasi
Sifat Pati Alami Pati Temodifikasi
Sineresis Pati alami mudah mengalami sineresis
Pati termodifikasi tidak mudah mengalami sineresis
Suhu Pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi
Pati termodifikasi tahan terhadap suhu tinggi
Viskositas Pati akan menghasilkan viskositas suspensi pati yang tidak seragam
Menghasilkan viskositas suspensi pati yang seragam
Proses Pati alami tidak tahan proses mekanik
Pati termodifikasi tahan proses mekanik
Kelarutan Kelarutan pati yang terbatas di dalam air
Kelarutan pati tidak terbatas di dalam air
Sumber : Aulia (2013)
2.6 Modifikasi Pati Fisik Metode Annealing
Annealing merupakan modifikasi pati fisik yang pada pengaplikasiannya
mengkombinasikan antara panas dan suhu, dimana kadar air yang digunakan
terbilang berlebih, yaitu sekitar (>65%) dengan temperatur di bawah suhu
gelatinisasi (Neelam et al., 2012). Annealing merupakan jenis modifikasi pati fisik
yang tergolong bersifat hidrotermal, maksudnya adalah modifikasi fisik pati yang
mengkombinasikan antara kadar air dengan suhu yang nantinya diharapkan
akan mampu mempengaruhi sifat pati tanpa merubah penampakan granula pati
(Zondag, 2003). Faktor yang mempengaruhi seberapa besar efek pada
modifikasi tersebut tergantung pada kadar air, temperatur dan waktu perlakuan
(Gomez et al., 2004). Reorganisasi molekul-molekul pati yang diakibatkan
pengaruh annealing mengakibatkan terjadinya perubahan sifat fisiko-kimia dari
pati tersebut. Menurut Elliason dan Magnus (2006), perubahan yang terjadi
akibat perlakuan annealing diantaranya yaitu menurunnya kelarutan,
meningkatkan suhu gelatinisasi, mempersempit range gelatinisasi, meningkatkan
kerentanan terhadap enzim α-amilase, kestabilan pasta dan kristalinitas,
menurunkan viskositas puncak dan menurunkan trend retrogradasi.
19
Pada pengaplikasiannya, modifikasi secara annealing masih diberlakukan
pada skala kecil dan skala laboratorium, sehingga perlu adanya pengujian lebih
lanjut terhadap skala yang lebih besar agar dapat diidentifikasi titik-titik krisis
dalam produksi pati modifikasi pada skala komersial, sehingga nantinya
pemanfaatannya lebih luas lagi.
Modifikasi pati menggunakan metode annealing dapat diaplikasikan
dalam pembuatan produk bakery, dan mie instan. Nilai pati yang mengalami
penurunan akibat pengaruh annealing dinilai cocok untuk diaplikasikan terhadap
produk mie instan, selain itu menurunnya nilai kelarutan dapat memperkecil
cooking loss pada mie instan.
Menurut Gomez, et al., (2004) perlakuan annealing mengarah kepada
penyusunan molekul pati dengan memodifikasi sifat fisikokima dari pati tersebut.
Swelling power dan kelarutan merupakan prinsip dari perubahan yang
diinginkan, selain itu peningkatan suhu gelatinisasi, menstabilkan sifat pasta dan
serta meningkatkan puncak viskositas dari pati. Perubahan sifat fisiko-kimia pati
yang termodifikasi annealing dipengaruhi oleh komposisi susunan rantai pati
dalam daerah amorf, dan kristalin dari granula pati alaminya (Jayakody dan
Hoover, 2008). Modifikasi secara annealing bertujuan untuk memperoleh bentuk
amilopektin dan molekul pati yang lebih terorganisasi.
Menurut Adebowale, etl al., (2005) semakin tinggi suhu pemanasan
mengakibatkan sweling power dan kelarutan semakin tinggi, lama inkubasi juga
berpengaruh terhadap peningkatkan nilai swelling power dan kelarutan (Gomez,
et al., 2004). Penyusunan kembali molekul pati dalam granula terjadi selama
proses annealing berlangsung, selain itu peningkatan kelarutan juga mengalami
peningkatan selama proses annealing, hal itu disebabkan terjadinya peristiwa
amylose leaching karena terjadi interaksi antara amilosa dan amilopektin yang
mengakibatkan amilopektin helix meningkat selama proses annealing
berlangsung. Akibat perlakuan annealing, pati memiliki sifat breakdown
dibandingkan pati alaminya. Nilai breakdown mempengaruhi kestabilan pati,
dimana semakin kecil nilai breakdown maka ketidakstabilan pati semakin
meningkat saat dilakukan proses pengadukan dan pemanasan.
Modifikasi annealing mirip dengan modifikasi secara heat-moisture
treatment, hal itu dikarenakan keduanya dapat memodifikasi sifat fisiko-kimia pati
tanpa merusak struktur granulanya, meskipun kedua metode tersebut memiliki
perbedaan pada threatmentnya. Proses modifikasi pati metode annealing
20
biasanya menggunakan suhu di bawah suhu gelatinisasinya (Neelam et al.,
2012). Penggunaan suhu di bawah suhu gelatinisasi bertujuan untuk mencegah
kerusakan dari granula pati, biasanya suhu yang digunakan sekitar 50 oC.