1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara nasional kebutuhan daging sapi di Indonesia masih kurang sekitar
135 juta ton (35%) dari jumlah kebutuhan 385 juta ton per tahun. Semantara itu
di Provinsi Aceh kebutuhan daging sapi sekitar 30.210 ton dan hanya dapat
dipenuhi secara internal dari sapi lokal sekitar 87,25% sisanya lebih kurang 4.000
ton didatangkan dari Provinnsi luar Aceh (Badan investasi Aceh, 2009). Padahal
populasi sapi di Provinsi Aceh mencapai 671,086 ekor (BPS Aceh, 2010). Apabila
25% saja dari jumlah tersebut bisa sebagai sumber daging dan rata-rata minimal
dapat menghasilkan 150 kg per ekor sebenarnya Aceh tidak kekurangan daging
bahkan dapat mengekspor daging sapi. Salah satu penyebab tidak terpenuhinya
kebutuhan daging di Provinsi Aceh adalah kondisi ternak kurang baik,
produktivitas HMT yang rendah, SDM peternak dan petugas yang kurang
menunjang sehingga mengakibatkan angka service per conception (S/C) >2,
conception rate (CR) kurang dari 70% , Calving Interval (CI) di atas 16 bulan,
Estrus post partus masih di atas 90 hari. Oleh karena itu Pemerintah Aceh secara
positif merespon program Kementerian Pertanian tentang Program
Pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong dengan menerapkan
program pengembangan kawasan peternakan dan wilayah sumber bibit sapi
potong pada tahun 2015.
BPTP Aceh sebagai salah satu UPT Badan Litbang Pertanian berkewajiban
untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Salah satu program utama
Badan Litbang Pertanian untuk sub sektor peternakan adalah perakitan inovasi
teknologi untuk peningkatan produktivitas ternak dan tanaman pakan ternak,
dan diseminasi dan promosi hasil penelitian serta pengembangan peternakan.
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi peternakan
untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Teknologi dimaksud
diantaranya; Peningkatan Mutu Genetik Sapi Potong, Pengelolaan Kandang
Kelompok, Perbaikan Performans Reproduksi Sapi Potong, Model Integrasi Sapi
Sawit, Ransum Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian dan Perkebunan Ramah
Lingkungan, Teknologi Percepatan Penyediaan Bibit dan Bakalan Sapi Potong,
Diseminasi Teknologi Sapi Potong dan Pendampingan PSDSK, Percepatan
Penyediaan Bibit dan Bakalan Sapi Potong untuk Peningkatan Bobot Potong.
2
Kegiatan pengembangan kawasan pertanian nasional komoditi
peternakan berbasis sapi potong direncanakan di 4 kabupaten yaitu Aceh Besar,
Aceh Jaya dan Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Berdasarkan hasil kegiatan
pendampingan PSDSK maka kegiatan pengembangan kawasan sapi potong
difokuskan kepada kegiatan diseminasi teknologi pakan (jerami fermentasi,
introduksi rumput unggul dan leguminosa), pemberian mineral, pemuliabiakan
(IB dan INKA) dan pengendalian parasit interna.
1.2. Tujuan
Meningkatkan populasi sapi potong di Provinsi Aceh dengan dukungan
IPTEK guna memenuhi kebutuhan daging sapi potong.
1.3. Keluaran yang Diharapkan
Peningkatan populasi sapi potong mendukung tercapainya swasembada
daging sapi potong di Provinsi Aceh yang di dukung oleh aspek teknis
(teknologi), manajemen, dan arah kebijakan yang sinergi antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
1.4. Hasil yang Diharapkan
Melalui kegiatan pendampingan diharapkan akan terjadi:
1. Sinkronisasi kegiatan pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi
potong baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota pada
Dinas/Instansi terkait.
2. Tersebarluasnya komponen paket teknologi melalui pendekatan
pemeliharaan ternak terpadu dalam upaya meningkatkan produktivitas
daging sapi potong.
3. Terjadinya peningkatan produktivitas daging sapi potong di lokasi
kegiatan.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Petani memahami dan menerapkan teknologi penunjang keberhasilan
pembibitan (PKP) terdiri dari teknologi pakan, reproduksi, manajemen
pemeliharaan, dan arah kebijakan yang memihak kepada peternak.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Ternak Sapi Potong
Sapi adalah salah satu jenis ternak terpenting dari jenis-jenis hewan
ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan
kebutuhan manusia lainya. Ternak sapi menghasilkan 50% kebutuhan daging di
dunia, 95% kebutuhan susu, dan kulitnya menghasilkan sekitara 85% kebutuhan
kulit untuk sepatu. Sapi adalah salah satu genus dari famili Bovidae. Ternak atau
hewan-hewan lainya yang termasuk famili ini ialah Bison, banteng (Bibos),
kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan Anoa.
Peranan ternak sapi dalam pembangunan peternakan cukup besar
terutama dalam pengembangan misi peternakan yaitu sebagai berikut
(Surayatiyah, 2006):
1. Sumber pakan hewani asal ternak, berupa daging dan susu
2. Sumber pendapatan masyarakat terutama petani peternak
3. Penghasilan devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan
nasional
4. Menciptakan angkatan kerja
5. Sasaran konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk
kandang
6. Pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam ritus adat/kebudayaan.
Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor
produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan
produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur,
yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengelolaan. Manajemen mencakup
pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak.
Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan
pengaturan tenaga kerja (Abidin, 2002).
Menurut Soeharto (1990) dalam Surayatiyah (2009) usaha ternak dapat
digolongkan dalam 4 jenis:
1. Usaha yang bersifat tradisional yaitu petani/peternak kecil yang mempunyai
1-2 ekor ternak ruminansi besar. Usaha ini hanya bersifat sambilan dan
untuk sampingan saja.
4
2. Usaha backyard, yaitu petani/peternak yang tujuan usahanya selain untuk
memenuhi kebutuhannya juga untuk dijual. Golongan pada usaha ini telah
memakai input teknologi, manajemen, dan pakan yang rasional. Dalam
perkembangannya ditunjang dengan sistem PIR
3. Usaha komersil, yaitu petani/peternak yang telah benar-benar menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi, profit oriented, dan efisiensi. Usaha ini meliputi
usaha pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan dan lain-lain.
Secara garis besar ada dua bentuk usahatani yang telah dikenal yaitu
usahatani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation,
estate, enterprise). Pada umumnya yang dimaksud usahatani adalah usaha
keluarga sedangkan yang lain adalah perusahaan pertanian (Suryantini, 2004).
2.2 Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno
1998). Lawrie (1991) mendefinisikan daging sebagai sesuatu yang berasal dari
hewan termasuk limpa, ginjal, otak serta jaringan lain yang dapat dimakan.
Soeparno (1998) menjelaskan lebih lanjut keadaan fisik daging dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan,
2. Daging yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin),
3. Daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku),
4. Daging masak,
5. Daging asap, dan
6. Daging olahan.
Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari hewan
yang sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran berada dalam pengawasan
petugas rumah potong hewan serta terbebas dari pencemaran mikroorganisme.
Secara fisik, kriteria atau ciri-ciri daging yang baik adalah berwarna merah segar,
berbau aromatis, memiliki konsistensi yang kenyal dan bila ditekan tidak terlalu
banyak mengeluarkan cairan. Daging sebagai sumber protein hewani memiliki
nilai hayati (biological value) yang tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak,
5
70% air, 3,5% zat-zat non protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya
(Forrest et al. 1992). Komposisi daging menurut Lawrie (1991) terdiri atas 75%
air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut.
Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9%
lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan yang akan
menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak
(Romans et al. 1994).
Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino
esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin,
glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin,
lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan
dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan
pada suhu 70°C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen,
sedangkan pemanasan pada suhu 160 °C akan menurunkan jumlah lisin hingga
50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asam
amino (Lawrie 1991). Kandungan lemak pada daging menentukan kualitas
daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang
nyata pada komposisi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan
ternak tidak memamah biak adalah karena adanya hidrogenasi oleh
mikroorganisme rumen (Soeparno 1998). Lawrie (1991) menyatakan lemak sapi
kaya akan asam stearat, asam palmitat dan asam oleat.
Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi.
Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu protein
sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma
adalah protein larut air karena umumnya dapat diekstrak oleh air dan larutan
garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan miosin, serta sejumlah kecil
troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini memiliki sifat larut dalam larutan
garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri
atas protein kolagen, elastin, dan retikulin (Muchtadi & Sugiono 1992).
Pada tahun 2010, total produksi daging nasional mencapai 2,366 juta ton,
dan 0,472 juta ton (19,05%) berasal dari daging sapi dan kerbau. Bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2009), produksi daging mengalami
peningkatan sebanyak 7,311%, dan produksi daging sapi potong juga mengalami
peningkatan sebanyak 6,63%. Produksi daging sapi pada tahun 2010 lebih
6
rendah (7,914 ton) dibandingkan pada tahun 2007 (12,146 ton), namun lebih
tinggi dibandingkan pada tahun 2008 (7,322 ton) dan 2009 (7,614) (Dirjen
Peternakan dan Keswan, 2011).
2.3 Pemberian Pakan (feeding)
Usaha ternak sapi potong yang efisien dan ekonomis bisa menjadi
kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utama
adalah pakan. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup
dan kesehatan terjamin. Pemberian pakan kepada ternak sapi potong bertujuan
untuk kebutuhan pokok hidup dan perawatan tubuh serta keperluan berproduksi
(Sugeng, 2005). Selanjutnya Sugeng (2005), menyatakan bahwa pemberian zat-
zat pakan yang disajikan harus disesuaikan dengan tujuannya masing-masing.
Tujuan pemberian pakan dibedakan menjadi dua yaitu makanan perawatan
untuk mempertahankan hidup dan kesehatan, serta makanan produksi untuk
pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan pakan sapi tropis berbeda
dengan sapi subtropis. Sapi tropis yang adaptasinya terhadap lingkungan cukup
bagus membutuhkan pakan relatif lebih sedikit daripada sapi subtropis. Menurut
Natasasmita dan Mudikdjo (1979), bahan pakan dikelompokkan menjadi dua
yaitu:
1. Menurut asalnya pakan terdiri dari :
- hijauan alami (rumput lapangan),
- hijauan tanaman (rumput gajah),
- hasil limbah pertanian (jerami),
- hasil limbah industri (bungkil),
- hasil pengawetan (silase, selai).
2. Menurut kandungan zat makanan dan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan
ternak terdiri dari :
- hijauan kering,
- hijauan segar,
- silase,
- sumber energi,
- sumber protein,
- sumber mineral,
- sumber vitamin,
7
- makanan tambahan.
Pengelolaan pakan akan sangat menentukan tingkat keberhasilan
pemeliharaan sapi. Oleh karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami.
Ketersediaan padang penggembalaan pada pemeliharaan ternak sapi diperlukan
sekali sebagai sumber pakan hijauan. Pemberian pakannya dapat dilakukan
dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan pada ternak sapi yang
ada di dalam kandang. Pemberian pakan seperti ini disebut cut and carry. Selain
itu, rumput juga dapat dikonsumsi langsung oleh sapi di areal padang
penggembalaan berdasarkan pada stocking rate (daya tampung) padang
penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT
(Unit Ternak) (Santosa, 2005). Ketersediaan pakan harus mencukupi kebutuhan
ternak, baik yang berasal dari hijauan/rumput, maupun pakan konsentrat yang
dibuat sendiri atau berasal dari pabrik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).
Menurut Santosa (2005) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa
pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya yaitu :
1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di
daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan
kesulitan mencarinya;
2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dalam jumlah
yang mencukupi keperluan;
3. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin
mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;
4. Bahan pakan diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang
sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan tersebut maka
usahakanlah agar digunakan satu macam saja;
5. Bahan pakan harus dapat diganti dengan bahan pakan lain yang kandungan
zat-zat makanannya hampir setara;
6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak
menampakkan perbedaaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.
2.4 Reproduksi (breeding)
Sapi dapat dikembangbiakan dengan dua metode yang umum dikenal,
yaitu:
8
1. Metode alamiah yaitu sapi jantan pemacek dikawinkan dengan sapi betina
yang sedang birahi, sperma sapi jantan pemacek untuk perkawinan alamiah
hanya mampu melayani 120 ekor sapi betina/tahun,
2. Metode inseminasi buatan (IB), metode ini lebih populer dikenal dengan
kawin suntik. Perkawinan dilakukan dengan bantuan peralatan khusus dan
manusia (inseminator), seekor sapi jantan pemacek sebagai sumber sperma
dapat dipergunakan untuk mengawini sapi betina sampai 20.000 ekor/tahun
(Hernowo, 2006).
Perkawinan keluarga merupakan perkawinan antara individu yang
mempunyai hubungan keluarga yang dekat, misalnya antara anak dengan bapak.
Tujuan sistem perkawinan yang demikian adalah:
1. Meningkatkan kemurnian, sehingga daya menurunkan sifat bertambah.
2. Memungkinkan timbulnya sifat jelek, sehingga segera dapat dilakukan
penyisihan. Ternak yang sifatnya jelek tidak dikembangbiakkan (Hernowo,
2006).
Menurut Santosa (2005) keterampilan dalam melihat tanda-tanda berahi
ternak sapi betina sangat menentukan keberhasilan perkawinan ternak sapi.
Tandatanda yang lazim nampak pada ternak sapi adalah:
1. Sapi betina tidak tenang (gelisah)
2. Nafsu makan berkurang,
3. Sering melenguh
4. Mendekati pejantan
5. Sering menaiki sapi lain
6. Jika dinaiki akan diam.
Selain itu Santosa (2005) menyatakan tanda khusus dari vulva adalah
keadaannya yang tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening. Bila
sudah terlihat tanda-tanda berahi, secepatnya sapi betina tersebut dikawinkan.
Perkawinan akan berhasil apabila dilakukan terutama pada 15-18 jam setelah
tanda-tanda berahi mulai tampak. Apabila perkawinan dilakukan sebelum
mencapai 6 jam setelah tanda berahi tampak maka perkawinan kurang berhasil.
Namun apabila perkawinan dilakukan setelah 28 jam setelah tanda-tanda berahi
tampak maka perkawinan akan mengalami kegagalan.
9
2.5. Manajemen Pemeliharaan
Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan mempercepat
penyebaran ternak besar oleh peternak adalah dengan cara pemeliharaan ternak
tersebut. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi
perkembangbiakan serta terjaminnya kesehatan ternak (Hernowo, 2006).
Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip
pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu: pengawasan lingkungan,
pengawasan status kesehatan, pengawasan pegawai, pengawasan makan dan
air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan
ternak (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Sistem pemeliharaan sapi potong
dikategorikan dalam tiga cara yaitu:
3.5.1. Pemeliharaan ekstensif
Sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang pengembalaan dan digembalakan
sepanjang hari, mulai pagi sampai sore hari. Selanjutnya mereka digiring
kekandang terbuka yakni kandang tanpa atap. Di dalam kandang, sapi itu tidak
diberi pakan tambahan lagi (Sugeng, 2005).
3.5.2. Pemeliharaan Semi Intensif
Pada siang hari sapi-sapi diikat dan ditambatkan di ladang, kebun, atau
pekarangan yang rumputnya subur. Kemudian sore harinya sapi-sapi tadi
dimasukkan ke dalam kandang sederhana yang dibuat dari bahan bambu, kayu,
atap genteng atau rumbia, dan sebagainya, yang lantainya dari tanah
dipadatkan. Pada malam hari mereka diberi pakan tambahan berupa hijauan
rumput atau dedaun-denaunan. Terkadang juga mereka masih diberi pakan
penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam (Sugeng,
2005).
3.5.3. Pemeliharaan Intensif
Pada umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif hampir
sepanjang hari berada di dalam kandang. Peternak memberi pakan sebanyak
dan sebaik mungkin sehingga cepat menjadi gemuk dan kotorannya pun cepat
bisa terkumpul dalam jumlah yang lebih banyak sebagai pupuk. Sapi–sapi
memperoleh perlakuan yang lebih teratur atau rutin dalam hal memberikan
pakan, pembersihan kandang, memandikan sapi, menimbang, mengandalikan
penyakit (Sugeng, 2005). Program peningkatan usaha peternakan sapi potong
10
tradinasional ke arah usaha peternakan yang lebih maju dan menguntungkan
tidak terlepas dari:
1. Penggunaan bibit sapi potong yang baik dan unggul
2. Perbaikan makanan, baik kualitas maupun kwantitas
3. Menerapkan cara pengelolaan dan pemeliharaan yang baik
4. Penjagaan dan perawatan ternak sapi potong, terutama penjagaan kesehatan
5. Menciptakan pemasaran hasil ternak sapi potong yang menguntungkan.
Untuk meningkatkan usaha peternakan tradinasional menuju usaha yang
lebih maju, petani-peternak memporoleh fasilitas adalah:
1. Pemberian fasilitas kredit bunga rendah persyaratan lunak
2. Pemberian fasilitas penyuluhan intensif melalui bentuk kontak peternak dan
kelompok peternak
3. Pemberian sarana produksi peternakan, obat-obatan, dan vaksinasi
4. Pemberian penyuluhan dan pengenalan bibit rumput unggul melalui kebun
pembibitan rumput
5. Pemberian penyuluhan dalam melamarkan hasil produksi melalui koperasi ata
pedagang ternak (Murtidjo, 1990).
2.6. Limbah Kotoran Sapi
Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran
yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat
dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah
yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang
mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah
yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urin, air dari
pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas
atau dalam fase gas. Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat
unit pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan
kapasitas produksi limbah yang dihasilkan (Direktorat Jenderal Peternakan,
2000).
Limbah peternakan yang berupa kotoran dan sisa pakan dapat
menurunkan mutu lingkungan dan dapat mengganggu kesehatan. Kotoran
ternak yang tercecer akan terbawa oleh aliran air hujan ke daerah-daerah yang
lebih rendah dan selanjutnya akan menyebabkan penyakit (Setiawan, 1996).
11
Penanganan limbah yang biasa dilakukan peternak adalah dengan menampung
di kolam terbuka sehingga fermentasi aerob dan degradasi senyawa organik
berlangsung sangat lambat (Widarto dan Suryana, 1995).
Untuk menangani limbah tersebut dapat dilakukan beberapa cara
penanganan seperti mengubah kotoran sapi padat atau feses menjadi pupuk
kandang, serta pemanfaatan urine sapi yang bisa diubah menjadi pupuk cair.
Kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan untuk energi alternatif seperti biogas. Selain
itu kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan air tawar.
12
III. PROSEDUR
3.1. Ruang Lingkup
Lingkup kegiatan pada tahun 2016 adalah pendampingan pada kabupaten
yang telah ditetapkan sebagai kawasan sapi potong yaitu Kabupaten Aceh Jaya,
Aceh Besar dan Aceh Tamiang. Kegiatan pendampingan juga didampingi oleh
koordinator wilayah yang dibantu oleh penyuluh pendamping di tingkat
kabupaten. Pelaksanaan kegiatan dimulai bulan Januari sampai dengan bulan
Desember 2016.
Pelaksanaan program pengembangan kawasan pertanian nasional
komoditi peternakan berbasis sapi potong didasarkan kepada Keputusan Menteri
Pertanian RI No 43/Kpts/PD.410/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi
Potong, Kerbau, Kambing, Sapi Perah, Domba, dan Babi, juga didasarkan pada
kenyataan bahwa sampai saat ini Provinsi Aceh masih belum swasembada daging
sapi. Pengembangan kawasan peternakan sapi potong dilaksanakan melalui
optimalisasi sumberdaya lokal, artinya upaya swasembada tersebut akan lebih
banyak menggerakkan secara optimal kemampuan produksi dan produktivitas
ternak lokal. Selain itu juga akan dioptimalkan segala potensi sumberdaya alam,
sumberdaya teknologi dan sumberdaya finansial dalam negeri serta
pemberdayaan peternak. Program ini sepenuhnya diupayakan untuk mengangkat
pendapatan dan kesejahteraan peternak rakyat, untuk itu upaya-upaya
pemberdayaan lebih diarahkan kepada kegiatan-kegiatan untuk peningkatan
daya saing, promosi dan partisipasi masyarakat.
Penerapan teknologi peternakan dan penyampaian materi penyuluhan
pada masing-masing kelompok peternak dan petugas bersifat optional. Materi
diseminasi disampaikan dengan metoda tatap muka dan demontrasi plot.
Pendampingan melibatkan dinas/instansi terkait, petugas lapang, dan kelompok
tani secara partisipatif.
3.2. Pendekatan
Kegiatan diseminasi teknologi mendukung program pengembangan
kawasan peternakan berbasis sapi potong dilakukan secara partisipatif di
kelompok terpilih melibatkan peneliti penyuluh BPTP Aceh, dinas/instansi terkait,
petugas, dan kelompok tani/peternak.
13
3.3. Tahapan Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan kegiatan Diseminasi Teknologi Mendukung
program pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong antara lain:
(1) Apresiasi dan koordinasi kegiatan dengan Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten, (2) Pengumpulan data sekunder tentang sapi potong, (3) Penyedian
hijauan pakan ternak (rumput unggul, leguminosa pohon dan jerami fermentasi),
(4) Teknologi pemberian mineral, (5) Teknologi pengendalian parasit interna, (6)
Temu teknis dan temu lapang, (7) Melaksanakan bimbingan manajemen
pemeliharaan, (8) Monitoring dan evaluasi kegiatan, (9) Analisa data dan
Pelaporan.
(1). Apresiasi & Koordinasi Kegiatan dengan Pemerintah Provinsi &
Kabupaten
Koordinasi dilaksanakan pada dinas/instansi terkait baik di tingkat Provinsi
maupun Kabupaten dengan tujuan untuk mengetahui arah kebijakan program
pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong di tingkat Provinsi dan
Kabupaten, masalah dan hambatan yang dihadapi, kebutuhan teknologi serta
metoda dan media diseminasi yang diinginkan peternak.
(2). Pengumpulan Data Sekunder Tentang Sapi Potong
Pengumpulan data sekunder dilaksanakan di setiap lokasi kegiatan yang
terpilih. Pengumpulan data meliputi catatan populasi dan data keluar-masuk
ternak di provinsi Aceh.
(3). Melaksanakan Bimbingan Penerapan Teknologi PKP
Bimbingan penerapan teknologi PKP terhadap sapi potong dilakukan oleh
peneliti BPTP Aceh, bersama-sama dengan petugas dinas setempat yang
dilakukan secara partisipatif. Bimbingan tersebut dilaksanakan untuk memberikan
bekal keterampilan terhadap peternak dalam hal manajemen pemeliharaan induk
bunting, penggunaan pakan, serta teknologi reproduksi. Bimbingan penerapan
teknologi dilakukan baik secara teori maupun praktek di lapangan.
(4). Melaksanakan Pelatihan Petani dan Petugas
Pelatihan petani dan petugas dilaksanakan untuk menyiapkan tenaga-
tenaga terampil dan profisional dalam berbagai aspek usaha ternak sapi potong
14
seperti pakan, reproduksi, kesehatan hewan, pengolahan dan pemanfaatan
kotoran sapi untuk pembuatan pupuk organik. Upaya tersebut berbentuk
kegiatan lapangan untuk aspek teknis, dan manejemen. Tujuan pelatihan petani
dan petugas adalah:
1. Mengembangkan pengetahuan petani sapi potong dalam aspek pakan,
reproduksi, manejemen, dan pengolahan limbah kotoran sapi.
2. Mengembangkan kemampuan menyusun formulasi ransum berbagai jenis
pakan (konsentrat, complete feed, feed additive, sumber serat, dll).
3. Mengembangkan ketrampilan petani dalam aplikasi teknologi usaha ternak
sapi potong, pengolahan limbah ternak dan limbah pertanian untuk produksi
pakan dan pupuk organik.
Kegiatan ini bertujuan untuk membekali petani dan petugas dengan
pengetahuan tentang teknologi tepat guna, mengembangkan keterampilan dan
menumbuhkan kelembagaan sesuai fungsi dan kebutuhan petani. Kegiatan
dilaksanakan melalui metode pertemuan dan diskusi secara partisipatif,
kunjungan lapang dan praktik tentang aplikasi teknologi.
(5). Melaksanakan Bimbingan Manajemen Pemeliharaan
Bimbingan manajemen pemeliharaan sapi potong dilaksanakan secara
bersama-sama antara Peneliti/Penyuluh BPTP dengan Petugas Dinas setempat.
Bimbingan manajemen pemeliharaan antara lain mencakup penyediaan pakan
dan pengelolaan kandang.
(6). Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan secara periodik untuk
mengetahui keragaan teknologi, adopsi teknologi, dan dampak aplikasi teknologi
pada setiap lokasi sasaran. Secara umum kegitan Monev direncanakan akan
dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu pada awal kegiatan, pertengahan dan akhir
kegiatan pendampingan. Aspek yang dimonitoring dan dievaluasi meliputi aspek
teknis, sosial ekonomis dan kelembagaan.
(7). Analisis Data dan Pelaporan
Data teknis ditabulasi dan dianalsis secara deskriptif. Pelaporan dibuat
sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan pendampingan.
Pelaporan dilakukan pada tengah dan akhir tahun pelaksanaan kegiatan.
15
3.4. Bahan dan Alat
(1). Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan Diseminasi
Teknologi Mendukung Swasembada Daging Sapi Kerbau terdiri:
- bahan pakan,
- bahan suplemen, mineral,
- Trichoderma,
- bahan kompos,
- dekomposor,
- Plastik hitam
- ATK/ komputer supplies, dll.
(2). Alat
Alat yang dibutuhkan untuk kegiatan ini yaitu:
- Peralatan kandang
- Alat pembuatan garam blok
Alat perbanyakan starter trichoderma
16
Tabel 1. Tenaga yang Terlibat dalam Kegiatan
No. Nama Lengkap/ NIP
Jabatan
dalam Kegiatan
Uraian Tugas
Alokasi
Waktu Jam/Mg
1. Dr. Iskandar Mirza/
19630316 199403 1 001
Penanggung
Jawab
Mengkoordinir Kegiatan
mulai dari perencanaan,
pelaksanaan di lapangan sampai pelaporan
15
2.
Ir. Syarifah Raihanah/ 19610603 199603 2 001
PNK
Membantu dalam pelaksanaan di lapangan dan
penulisan laporan 20
3.
Abdul Azis, SPi, M.P/ 19661231 199302 1 001
Peneliti
Membantu dalam
pelaksanaan di lapangan dan penulisan laporan
20
4. Zuardi Effendi, SP/
PNK
Membantu dalam
pelaksanaan di lapangan dan
penulisan laporan
20
5. P.M Teknisi Membantu dalam
pelaksanaan di lapangan 20
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pokok dan kegiatan operasional pada program PSDSK (Gambar
1) dianggap masih sesuai dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan
kawasan peternakan. Tidak semua kegiatan pokok dan kegiatan operasional
dapat diterapkan pada kelompok binaan karena persoalan dalam budidaya ternak
pada setiap kelompok berbeda-beda. Dengan demikian, teknologi yang
diterapkan di kelompok yang dilakukan pendampingan bersifat opsional sesuai
dengan kebutuhan petani. Secara umum program yang diterapkan meliputi
pemberian mineral, pengendalian parasit interna dan penyediaan hijauan pakan
ternak.
4.1. Gambaran Umum Peternakan Sapi Potong dan Kerbau di Provinsi Aceh
Terdapat beberapa kendala dalam usahatani sapi potong di provinsi Aceh
diantaranya; susah mendapatkan bakalan yang berkualitas terutama untuk sapi
penggemukan; system penjualan ternak dari petani ke pedagang masih dengan
system taksiran dan kredit, pakan hijauan (rumput) tidak tersedia sepanjang
tahun; sistem budidaya yang masih kurang sentuhan teknologi. Posisi Provinsi
Aceh saat ini masih kekurangan daging sapi yang ditandai dengan harga daging
dapat mencapai 130.000/kg.
Salah satu faktor penyebab tingginya harga daging karena belum
cukupnya ketersediaan bakalan untuk digemukkan. Kondisi ini menyebabkan
peternak harus membeli bakalan dari luar Aceh dengan harga/unit cost yang
relatif tinggi. Meskipun posisi provinsi Aceh masih kekurangan daging, namun
posisi tawar peternak umumnya masih tetap rendah, sehingga peternak belum
mendapatkan keuntungan yang maksimal. Harga ternak masih ditetapkan
berdasarkan taksiran dan umumnya tidak dibayar tunai terutama sapi hasil
penggemukan, sedangkan untuk sapi bakalan umumnya dibayar tunai. Sampai
saat ini belum terlihat peluang untuk meningkatkan daya tawar peternak dalam
sistem jual-beli. Meskipun di setiap kabupaten/kota peternak sudah membentuk
kelompok, namun keberadaan kelembagaan peternak tersebut belum mampu
memenuhi kebutuhan finansial peternak. Tambahan lagi lembaga finansial yang
18
➢
Penyediaan bakalan/daging
sapi lokal
Peningkatan produktivitas
dan reproduktivitas
sapi lokal
Pencegahan pemotongan sapi betina produktif (8)
Pengaturan stock daging sapi di dalam
negeri
Penyediaan Bibit sapi lokall
• Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal (1)
• Pengembangan pupuk organik dan biogas (2)
• Integrasi tanaman-ternak (3)
• Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH (4)
• Penyelamatan sapi betina produktif (8)
• Optimalisasi IB & INKA (5)
• Penyediaan dan pengembangan pakan dan air (6)
• Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan keswan (7)
• Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan (9)
• Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC (10)
• Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (Program KUPS) (11)
• Penguatan stock sapi bakalan dan daging sapi (12)
• Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging (13)
Gambar 1. Kegiatan pokok dan kegiatan operasional PSDS
19
berkeinginan untuk memberi pinjaman untuk usaha peternakan sapi potong
masih sangat terbatas.
Gambaran populasi ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) di provinsi
Aceh mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Dinas Kesehatan Hewan dan
Peternakan Provinsi Aceh (2016) melaporkan bahwa antara tahun 2012-2015
pertumbuhan kerbau mengalami penurunan sebesar 27,44 persen, sedangkan
pada periode tahun 2013-2014 dan 2014-2015 pertumbuhannya mengalami
kenaikan masing-masing 16,20% dan 32,03% (Tabel 3).
Tabel 2. Populasi kerbau provinsi Aceh tahun 2012-2015
Kabupaten/Kota Tahun
2012 2013 2014 2015
Simeulue 34.256 22.412 35.120 35.820
Aceh Singkil 751 745 763 844
Aceh Selatan 6.399 5.142 6.132 6.185
Aceh Tenggara 456 352 448 543
Aceh Timur 11.455 4.082 4.122 10.412
Aceh Tengah 13.244 11.918 12.156 12.728
Aceh Barat 20.082 18.863 20.393 22.893
Aceh Besar 16.139 10.864 11.189 30.133
Pidie 9.720 6.285 6.473 10.836
Bireun 3.406 1.363 1.402 1.946
Aceh Utara 4.510 2.142 2.184 5.426
Aceh Barat Daya 6.375 3.558 3.664 4.200
Gayo Lues 9.402 9.185 9.368 9.032
Aceh Tamiang 457 276 278 582
Nagan Raya 9.207 8.321 8.321 9.100
Aceh Jaya 3.226 2.387 2.479 4.325
Bener Meriah 2.351 2.197 2.600 3.790
Pidie Jaya 2.071 1.463 2.275 2.375
Kota Banda Aceh 99 40 66 36
Kota Sabang 108 42 105 115
Kota Langsa 316 155 165 167
Kota Lhok Seumawe 119 36 255 6
Kota Subulussalam 145 122 123 253
Jumlah 154.294 111.950 130.081 171.747
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data diolah
Meskipun gambaran tingkat pertumbuhan sapi potong berbeda dengan pertumbuhan kerbau namun polanya cenderung sama, dimana pada periode tahun 2012-2013 mengalami penurunan rata-rata 19,98%, sedangkan pada
20
periode tahun 2013-2014 dan periode tahun 2014-2015 mengalami
peningkatan rata-rata 2,31% dan 40,32% (Tabel 4).
Tabel 3. Populasi sapi potong provinsi Aceh tahun 2012-2015
Kabupaten/Kota Tahun
2012 2013 2014 2015
Simeulue 1.881 1.039 2.038 2.764
Aceh Singkil 3.907 3.709 3.783 4.308
Aceh Selatan 1.982 1.944 1.832 2.293
Aceh Tenggara 5.859 3.682 5.047 4.755
Aceh Timur 70.874 48.444 45.030 69.616
Aceh Tengah 7.044 5.480 5.644 8.089
Aceh Barat 4.195 4.695 4.869 5.968
Aceh Besar 72.874 60.221 62.027 108.084
Pidie 55.513 46.252 47.639 66.869
Bireun 58.366 49.074 50.546 47.980
Aceh Utara 90.388 65.307 67.266 105.214
Aceh Barat Daya 2.010 1.167 2.186 2.169
Gayo Lues 5.524 5.078 5.230 5.954
Aceh Tamiang 54.672 47.984 49.423 68.169
Nagan Raya 9.032 9.398 9.252 11.021
Aceh Jaya 17.355 13.084 13.204 19.276
Bener Meriah 968 903 1.321 3.035
Pidie Jaya 19.625 17.229 18.505 21.393
Kota Banda Aceh 1.915 2.194 1.678 2.196
Kota Sabang 2.336 2.052 2.235 3.076
Kota Langsa 7.094 5.487 5.907 7.328
Kota Lhok Seumawe 9.548 7.858 6.907 8.028
Kota Subulussalam 2.209 1.940 1.988 2.702
Jumlah 505.171 404.221 413.557 580.287
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data sudah diolah
Data tersebut menunjukkan bahwa populasi kerbau mengalami
penurunan yang lebih tinggi dibandingkan sapi potong. Antara tahun 2013-2014
jumlah populasi sapi potong dan kerbau mengalami peningkatan masing-masing
2,31 dan 16,20 persen (Tabel 4 dan 5). Peningkatan populasi tersebut tidak
sebanding atau lebih rendah dibandingkan dengan angka penurunan populasi
pada tahun sebelumnya (19,98 dan 27,44 persen versus 2,31 dan 16,20) (Tabel
2, 3, 4 dan 5). Kondisi ini mengakibatkan provinsi Aceh masih mengalami devisit
terutama terhadap komoditas sapi yang ditandai dengan pemasukan ternak dan
hasil ternak sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluarannya (Tabel
8).
21
Tabel 4. Jumlah pemotongan sapi potong provinsi Aceh tahun 2012-2015
Kabupaten/Kota Tahun
2012 2013 2014 2015
Simeulue 48 33 45 43
Aceh Singkil 144 144 146 302
Aceh Selatan 263 270 300 345
Aceh Tenggara 719 739 767 1.204
Aceh Timur 2.927 2.891 2.948 5.708
Aceh Tengah 380 412 420 592
Aceh Barat 558 245 285 278
Aceh Besar 8.004 10.084 10.336 14.440
Pidie 1.110 1.164 1.193 1.108
Bireun 9.229 9.885 10.132 5.006
Aceh Utara 3.810 6.387 6.973 8.014
Aceh Barat Daya 171 181 191 212
Gayo Lues 487 74 78 140
Aceh Tamiang 2.813 2.985 3.014 3.160
Nagan Raya 234 862 934 225
Aceh Jaya 923 808 822 651
Bener Meriah 126 64 75 376
Pidie Jaya 6.101 1.538 1.645 886
Kota Banda Aceh 3.315 3.550 3.638 3.654
Kota Sabang 528 676 713 779
Kota Langsa 1.708 1.454 1.525 2.329
Kota Lhok Seumawe 987 258 260 2.168
Kota Subulussalam 384 411 421 205
Jumlah 44.969 45.115 46.861 51.825
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data diolah
Angka pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh jumlah pemotongan, keluar-
masuk ternak, angka kematian dan berbagai parameter reproduksi lainnya.
Jumlah pemotongan sapi pada tahun 2012-2015 (Tabel 6) menunjukkan trend
yang terus meningkat (periode 2012-2013 meningkat 0,32%, periode 2013-2014
meningkat 3,87%, periode 2014-2015 meningkat 10,59%) , sedangkan
pemotongan kerbau (Tabel 7) tidak menunjukkan trend yang sama seperti
pemotongan sapi (periode 2012-2013 menurun 8,84%, periode 2013-2014
meningkat 6,41%, periode 2014-2015 meningkat 11,10%). Pada Tabel 6 dan 7
menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi lebih tinggi dibandingkan dengan
jumlah pemotongan kerbau. Kondisi ini disamping disebabkan karena populasi
kerbau yang relatif lebih rendah dibandingkan jumlah populasi sapi sehingga
22
kerbau lebih sukar di peroleh di pasaran, juga dikarenakan pada
umumnya masyarakat Aceh lebih suka mengkonsumsi daging sapi.
Tabel 5. Jumlah pemotongan kerbau provinsi Aceh tahun 2012-2015
Kabupaten/Kota Tahun
2012 2013 2014 2015
Simeulue 1.196 1.253 1.300 1.268
Aceh Singkil 37 40 40 207
Aceh Selatan 1.055 1.162 1.265 1.089
Aceh Tenggara 449 447 490 268
Aceh Timur 73 76 127 278
Aceh Tengah 1.002 1.047 1.032 1.579
Aceh Barat 3.690 1.637 1.934 1.748
Aceh Besar 2.445 3.472 3.541 4.379
Pidie 194 369 370 611
Bireun 116 38 30 90
Aceh Utara 117 224 228 592
Aceh Barat Daya 773 558 672 446
Gayo Lues 345 114 112 92
Aceh Tamiang ND ND ND 8
Nagan Raya 619 944 1.005 712
Aceh Jaya 356 129 144 309
Bener Meriah 570 204 225 734
Pidie Jaya 409 417 425 211
Kota Banda Aceh 573 598 598 495
Kota Sabang 78 98 112 109
Kota Langsa 103 103 115 70
Kota Lhok Seumawe 3 12 12 0
Kota Subulussalam 30 33 30 45
Jumlah 14.233 12.975 13.807 15.340
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data sudah diolah
Alasan dari sebagian masyarakat lebih menyukai daging sapi karena serat
daging sapi lebih halus dibandingkan daging kerbau. Alasan ini tidak berlaku
disebagian besar masyarakat Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Aceh Selatan dan
Aceh Singkil.
23
Tabel 6. Pemasukan, pengeluaran ternak dan hasil ternak sapi dan kerbau provinsi Aceh tahun 2012-2014
Uraian Pemasukan
Total Pengeluaran
Total 2012 2013 2014 2012 2013 2014
Sapi potong (ekor) 33.476 86.191 87.052 206.719 29.691 30.284 30.586 90.561
Kerbau (ekor) 8.945 13.735 13.872 36.552 13.942 14.055 14.195 42.192
Daging sapi (kg) 253.177 258.240 260.822 772.239 ND 128.596 129.881 -
Daging kerbau (kg) ND ND ND ND ND ND
Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2014, data sudah diolah
4.2. Penentuan Lokasi dan Gambaran Umum Lokasi Kegiatan
Kegiatan pendampingan diawali dengan melakukan kordinasi dengan
Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Aceh Besar,
Dinas Pertanian dan Peternakan Aceh Jaya, dan Dinas Pertanian dan Peternakan
Aceh Tamiang. Oleh karena pendampingan yang dilaksanakan oleh BPTP bersifat
mendampingi program yang dilaksanakan oleh dinas, maka penentuan lokasi di
Kabupaten terpilih sesuai dengan arah dan tujuan program pengembangan
kawasan peternakan. Tahapan berikutnya adalah menentukan calon lokasi
pendampingan dengan cara melakukan pengamatan langsung ke kelompok
ternak sapi potong binaan dinas dan melaksanakan FGD. Konsep pendampingan
pengembangan kawasan yang diterapkan mengacu kepada konsep LL dan SL.
Penerapan konsep ini didasarkan kepada pengalaman lapangan yang
mengindikasikan bahwa peternak akan lebih mudah mengadopsi suatu teknologi
peternakan yang sudah berhasil di tingkat masyarakat, tambahan lagi mengingat
banyak sekali kelompok ternak yang harus dilakukan pendampingan sementara
biaya operasional dan SDM yang tersedia sangat terbatas sehingga pola
pendampingan diarahkan kepada kelompok ternak yang potensial dan
mempunyai peluang untuk berhasil di masing-masing kabupaten.
Hasil pengamatan di semua kelompok binaan menunjukkan bahwa
kendala utama yang dihadapi oleh peternak adalah masalah pakan baik pada
sistem budidaya penghasil bakalan maupun pada sistem budidaya penggemukan.
Dari aspek hijaun pakan ternak, bahwa di semua kelompok binaan telah tersedia
24
hijauan rumpu gajah namun jumlahnya belum mencukupi, sedangkan
pemberian leguminosa dan pemberian mineral belum dilakukan oleh petani. Dari
aspek breeding, pola yang dilaksanakan oleh petani adalah dengan cara kawin
alam. Pola perkawinan yang diterapkan oleh peternak berpotensi terjadinya
inbreeding karena belum memperhatikan rotasi/pergantian pejantan. Oleh
karena itu kegiatan yang dilaksanakan pada program pendampingan mengacu
kepada persoalan saat ini yang dihadapi oleh kelompok ternak yaitu penanaman
rumput potong, rumput gembala, leguminosa pohon dan pemberian mineral.
Terkait dengan pembangunan hijauan pakan ternak, Dinas Kesehatan
Hewan dan Peternakan Provinsi pada tahun 2014 telah melaksanakan program
Optimalisasi Padang Pengembalaan dan Pengembangan Kebun HMT,
Pemeliharaan Kebun HMT dan Padang Gembala seluas 30 ha.
Dalam rangka meningkatkan populasi sapi potong di provinsi Aceh,
Pemerintah Aceh telah mengalokasi anggaran yang bersumber dari dana reguler,
migas dan otsus untuk pengadaan dan penyebaran bibit sapi potong sebanyak
5.073 ekor yang terdiri dari sapi betina sebanyak 3.058 ekor dan sapi jantan
sebanyak 2.015 ekor pada kegiatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi Potong
yang didistribusikan ke semua kabupaten/kota.
4.3. Kegiatan Pendampingan dan Diseminasi
Berdasarkan hasil identifikasi potensi dan masalah dan dilanjutkan
dengan Focus Group Discussion (FGD) maka ditetapkan beberapa kegiatan yang
sangat dibutuhkan oleh kelompok untuk meningkatkan produktivitas sapi
mereka. Kegiatan dimaksud adalah sebagai berikut:
A. Pembuatan Mineral Blok
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mineral blok terdiri dari
ultra mineral, garam dapur dan semen, dengan perbandingan 1:7:2. Semua
bahan tersebut dicampur secara merata. Selanjutnya ditambah air secukupnya
sampai adonan tersebut siap untuk dicetak. Cetakan yang digunakan dapat
berupa timba atau wadah lainnya sesuai dengan keinginan yang berukuran
sedang (hasil cetakan kira-kira mempunyai berat 0-5-1 kg). Adonan yang telah
dicampur secara merata siap untuk dicetak ke dalam wadah yang telah dilapisi
dengan kantong plastic. Melapisi cetakan dengan plastic diperlukan agar adonan
25
yang telah kering mudah dikeluarkan dari cetakan. Adonan yang telah dicetak
selanjutnya dikering-anginkan selama 2 hari, kemudian dikeringkan dibawah
sinar mata hari. Mineral blok yang telah kering siap diberikan kepada ternak
dengan cara menggantungkannya di kandang.
Sampai saat ini petani telah melakukan beberapa kali pembuatan garam
blok. Dampak pembuatan garam blok tidak sebaik dampak dari pembuatan
jerami fermentasi, karena manfaat dari pemberian garam blok tidak terlihat
seperti pada jerami fermentasi. Fungsi jerami fermentasi hampir sama dengan
rumput, sehingga jika ketersediaannya terbatas maka langsung terlihat
pengaruhnya kepada produktivitas ternak, sedangkan garam blok lebih berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan mikronutrien. Defisiensi mikronutrien tidak secara
langsung dapat dilihat pengaruhnya. Hal ini menyebabkan petani belum secara
maksimal menerapkannya. Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih maksimal
untuk meyakinkan petani bahwa kebutuhan mikronutrien sama pentingnya
dengan kebutuhan makronutrien pada ternak.
B. Pengembangan Hijauan Pakan Ternak
Jenis hijauan pakan ternak yang dikembangkan terdiri dari rumput gajah
mini dan legum indigofera ditanam di 2 lokasi kawasan yaitu Kabupaten Aceh
Jaya dan Aceh Besar.
Gambaran Umum Kawasan Pendampingan
1. Kabupaten Aceh Jaya
Keberadaan sapi Aceh sebagai salah satu rumpun sapi lokal Indonesia
telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
2907/Kpts/OT.140/6/2011 tanggal 17 Juni 2011. Dengan ditetapkan sapi Aceh
sebagai salah satu rumpun sapi lokal Indonesia, maka Pemerintah Pusat,
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Aceh Jaya telah melakukan upaya penetapan
Pulo Raya sebagai kawasan pemurnian plasma nutfah sapi Aceh dengan surat
Keputusan Bupati Aceh Jaya Nomor 25 tahun 2011.
Desa Kuala Bakong merupakan salah satu desa yang terletak di
kecamatan Sampoiniet yang merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai
potensi yang cukup baik untuk pengembangan sapi Aceh dan telah ditetapkan
26
sebagai salah satu kecamatan untuk dijadikan sebagai wilayah sumber bibit sapi
Aceh.
Penunjukan Kabupaten Aceh Jaya sebagai wilayah sumber bibit
didasarkan atas beberapa hal:
✓ Kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh yang menjadikan Pulo Raya
sebagai kawasan pemurnian plasma nutfah sapi Aceh (Keputusan
Bupati Aceh Jaya Nomor 25 tahun 2011), yang mana Pulo Raya berada
pada kecamatan Sampoiniet.
✓ Kecamatan Sampoiniet yang diusulkan sebagai salah satu wilayah
sumber bibit relatif lebih luas dari kecamatan lain dan merupakan
daratan yang terdekat dari Pulo Raya sebagai lokasi pemurnian sapi
Aceh.
✓ Kondisi agroklimat yang baik dan berada pada dataran sedang.
Tabel 7. Populasi Sapi Potong di Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2011-2014
No Kecamatan Tahun
2011 2012 2013 2014
1 Teunom 2.982 2.964 2.204 2.777
2 Panga 3.417 3.637 2.599 2.904
3 Krueng Sabee
1.503 1.607 1.465 1.704
4 Setia Bakti 1.550 1.753 1.665 1.887
5 Sampoiniet 2.883 1.971 1.731 1.813
6 Jaya 2.379 1.302 706 927
7 Pasie Raya 0 1.723 763 1.207
8 Darul Hikmah
0 1.131 1.031 1.086
9 Indra Jaya 0 1.267 920 1.065
Jumlah 14.714 17.355 13.084 15.370 Sumber : Database Peternakan Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2014
Profil kelompok binaan program SITT
Kelompok ternak Duglanggang beranggotakan 25 orang, memiliki rata-
rata jumlah keluarga 3 orang, rata-rata umur kepala keluarga 26 tahun dan rata-
rata pendidikan 9 tahun, pengalaman bertani sawit 5 tahun dengan pengalaman
beternak sapi 1 tahun. Pekerjaan anggota kelompok 100% sebagai petani sawit
27
(dan sapi). Memiliki kebun kelapa sawit rata-rata 2 ha/anggota dengan umur
tanaman 5-6 tahun. Kelompok memiliki 20 ekor ternak sapi lokal aceh betina
yang berumur ±10 bulan, dengan sistem pemberian pakan 100% digembalakan
diareal perkebunan sawit milik anggota kelompok. Bantuan dari pemerintah
berupa 2 unit kandang 4 x 6 m serta rumah kompos 4 x 6 m (1 unit) yang
semuanya berasal dari paket bantuan APBN 2015.
Bimbingan Teknis
Hasil dari pertemuan yang dilaksanakan pelaksanaan bimbingan teknis
dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 2015. Peserta yang hadir berjumlah 34
orang yang berasal dari beberapa instansi (Tabel 1)
Tabel 8. Pelaksanaan bimbingan teknis
Bimbingan teknis
Pelaksanaan 27 Agustus 2015
Jumlah petani yang hadir 25
Lolit kambing 2
BPTP 2
Disnak Kabupaten 6
Disnak Provinsi 1
Penyuluh 4
Total : 34
Dari hasil bimbingan teknis kelompok ternak mampu melaksanakan beberapa
teknologi yang di introduksi seperti : Pembuatan mineral blok, pembuatan
mikro organisme loka dan
penanaman rumput unggul berupa : Gajah mini, setaria dan Indigofera
dengan total luas lahan 1 ha. Rumput tersebut sudah dapat dipanen dan
diberikan kepada ternak jantan untuk penggemukan. Tata kelola perkawinan
dapat dilakukan dengan mengseleksi pejantan yang ada sehingga tidak terjadi
perkawinan sedara (Inbreeding).
28
Gambar 1. Kebun rumput kelompok seluas 1 ha.
Pengukuran parameter teknis
Parameter teknis yang diperoleh menunjukkan pada awal kegiatan berat badan sapi rata-rata 84 kg umur ±10 bulan, meningkat pada akhir kegiatan menjadi 163 kg umur ±23 bulan, parameter BCS (Body condition score) / skor kondisi tubuh 3-4 sebesar 80% menurun pada akhir kegiatan menjadi 40%, sedangkan BCS 4-5 rendah pada awal kegiatan (20%) meningkat 60% pada akhir kegiatan. Ternak sapi pada awal kegiatan (November 2015) seluruh ternak yang dimiliki belum ada yang kawin, namun pada April 2016 sudah 100% kawin dan pada November 2016 ternak bunting sebanyak 90% dan sudah mulai beranak 10% (2 ekor). Tabel 9. Parameter terukur ternak sapi dari awal sampai akhir kegiatan.
Parameter Hasil pengukuran
Pelaksanaan Nov Januari April Juli Nov
2015 2016 2016 2016 2016
Rataan Umur (bulan) 10 13 16 19 23
BCS skala 1-2 (%) -
BCS skala 2-3 (%) -
BCS skala 3-4 (%) 80 80 90 85 40
BCS skala 4-5 (%) 20 20 10 15 60
Bobot badan (kg) 84 93 109 128 163
Sudah kawin sejak datang (%) - 80 20 - -
Sudah bunting (%) - - 100 100 90
Sudah beranak (%) - - - - 10
BCS = Body Condition Score
29
Dari hasil pengamatan tersebut diatas, pemeliharaan ternak sapi aceh
dalam sistem integrasi dengan cara digembalakan dapat meningkatkan
produktivitasnya. Pada ternak sapi Bali Matondang dan Talib (2015) melaporkan
integrasi sawit-sapi pada sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan
ekstensif mampu meningkatkan produktivitas dan populasi sapi Bali, memberikan
tambahan penghasilan dari hasil penjualan sapi.
Gambar 2. Pengukuran parameter teknis lingkar dada.
Komposisi botanis
Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap
seluruh tanaman yang tumbuh bersamanya (Susetyo,1980), umumnya sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur kelapa sawit, curah hujan
dan letak geografis Liang (2007).
30
Tabel 10 Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umur 6 tahun di Kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya.
No Jenis tanaman Komposisi botani
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Paspalum conjugatum Ottochloa nodosa Asistasia intrusa Cyphrus rotundis Axonopus conpresus Clemerotides sperma Boraria latifolia Cyrtucocum oxyphlum Agratum conyzoides Phyllanthus niruri Stracytarphita indica
45,2 35,0 5,7 3,5 2,1 2,0 1,3 1,6 1,3 1,2 1,1
Hasil penelitian ini (Tabel 3) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang
tumbuh di bawah perkebunan kelapa sawit rakyat umur 6 tahun, Kecamatan
Setia Bakti terdapat 11 spesies rumput merupakan hijauan alam didominasi oleh
Paspalum conjugatum (45,2%), Ottochloa nodosa (35,2%), diikuti oleh Asistasia
intrusa (5,7%). Tingginya proporsi P. Conjugatum dan O. nodusa menunjukkan
bahwa spesies ini lebih tahan terhadap naungan dibandingkan kesepuluh spesies
lainnya.
Produksi hijauan
Berdasarkan hasil pengukuran produksi hijauan yang tumbuh di bawah
kelapa sawit pada penelitian ini, setelah dilakukan konversi ke dalam 1 hektar
yang selanjutnya dikurangi dengan luas piringan dalam 1 hektar maka rata-
rata produksi hijauan segar sebesar 4.334 kg/ha. Dengan kandungan bahan
kering (BK) 19,16% produksi BK yang diperoleh menjadi 827,79 kg/ha. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa produksi hijauan yang diperoleh tergolong
rendah dengan yang dilaporkan oleh Taufan et al. (2014) produksi berat
kering tanaman pada perkebunan umur 3 tahun adalah 3.205,1 kg/ha
menurun menjadi 1.165,4 kg/ha pada perkebunan umur 6 tahun.
31
Kapasitas tampung
Kapasitas tampung adalah kemampuan suatu padang penggembalaan
atau maksimum stocking rate dalam suatu area padang penggembalaan yang
tidak menyebabkan kerusakan vegetasi atau sumber daya lain yang ada di area
tersebut. Penentuan kapasitas tampung ternak dalam suatu padang
penggembalaan sangat penting, untuk menghindari overgrazing (penggembalaan
berlebihan) atau undergrazing (penggembalaan kurang). Ketepatan stocking rate
dan kapasitas tampung sangat menentukan keberhasilan sistem pengelolaan
penggembalaan. Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas
tampung per hektar tanaman kelapa sawit diperoleh hasil sebesar 0,50 ST/ha,
lebih rendah dibandingkan hasil pengamatan Taufan et al. (2014) pada umur 6
tahun 0,71 ST/ha diperkebunan sawit Kabupaten Kutai Karta Negara. Namun
jauh lebih tinggi dibanding hasil penelitian Farizaldi (2011) sebesar 0,18 ST/ha
pada lahan perkebunan sawit umur 5 tahun di Kabupaten Batang Hari Provinsi
Jambi. Secara alami, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh jaya Provinsi
Aceh memiliki potensi yang baik sebagai sumber hijauan pakan sapi potong.
2. Profil Kelompok Pendampingan Kawasan Aceh Jaya
Program pendampingan dilaksanakan di Desa Kuala Bakong Kecamatan
Sampoinit Kabupaten Aceh Jaya pada kelompok ternak Sapue Pakat dengan
jumlah anggota 12 orang, Ilah Daya 22 orang dan Makmu Jaya 16 orang dengan
kepemilikan sapi rata rata diatas 5 ekor dengan total jumlah ternak pada
kelompok yang dibina sebanyak 327 ekor. Total anggota dari 3 kelompoktani
ternak ini adalah 50 orang. Kelembagaan kelompok ternak tersebut dibentuk
pada tahun 2014 (Sapeu Pakat), 2015 (Makmue Jaya) dan 2016 (Ilah Daya).
Bentuk kelompok adalah kuasi kelompok, dimana ada pengakuan atas
kepemilikan masing-masing anggota kelompok. Pola budidaya yang dipraktikkan
oleh peternak adalah secara ekstensif, ternak digembalakan di padang
penggembalaan dari pagi sampai dengan sore hari dan pada malam hari
dikandangkan. Sebelum kegiatan pendampingan, kebutuhan nutrisi untuk
aktivitas produksi dan reproduksi hampir seluruhnya tergantung pada rumput
alam yang ada di padang penggembalaan dan hanya sebagian kecil peternak ada
yang memberikan rumput tambahan yang diperoleh dari luar lokasi. Setelah
pendampingan, umumnya peternak telah memberikan rumput tambahan yang
32
diperoleh dari kebun hijauan demplot, dan peternak juga sudah mulai terbiasa
menggunakan leguminosa/indigofera sebagai sumber protein.
Permasalahan di lapangan
Peternak memelihara ternak secara konvensional dengan dilepas
dipadang penggembalaan dari pagi hingga sore dengan rumput alam seadanya
tanpa memperhatikan kebutuhan ternak baik pakan hijauan, minum dan pakan
tambahan bagi ternaknya sehingga performance ternak tidak bagus, sapi
kebanyakan kurus.untuk memenuhi hijauan pakan ternak pada malam hari,
Rumput gajah mini sudah pernah ditanam 3 ha tetapi ada masalah dengan
kepemilikan lahan kelompok yang sudah diminta kembali sehingga harus kembali
ditanam dilahan yang baru. Berhubungan masih dalam keadaan musim kemarau
rumput tersebut belum bisa ditanam kembali.
Menurut hasil kuisioner yang kami wawancarai kepada anggota Sistem
perkawinan tidak diperhatikan dengan baik, ternak kawin secara alami tidak
terkontrol dipadang penggembalaan sehingga terjadi in breeding yang
menyebabkan anak lahir kerdil.
Gambar 3 : Performance Sapi dikelompoktani makmoe jaya, Kabupaten Aceh Jaya
Sistem perkandangan juga tidak tertata dengan Kondisi kandang sudah
tidak layak untuk pemeliharaan sapi,karena kandang sudah hampir roboh dan
rusak sehingga tidak dapat melindungi ternak dari angin dan hujan.
33
Masalah kesehatan yang sering terjadi adalah mencret dan cacingan,
karena ternak di lepas di padang penggembalaan mudah terinfeksi telur cacing
yang berkembang biak ditanah dan rumpu, peternak tidak memberikan obat
cacing secara rutin terhadap ternaknya.
Karena pengetahuan mereka masih terbatas tentang pakan dan pakan
tambahan ternak, Peternak belum memberikan pakan tambahan dan konsengtrat
untuk memacu pertumbuhan berat badan ternak.
Kelembagaan kelompoktani belum berjalan dengan baik, kelompok belum
mempunyai uang kas, bel um mempunyai buku kelengkapan administrasi,
pertemuan rutin bulanan berjalan cukup baik setiap 1 bulan sekali.
Gambar 4 : diskusi dan pengisian kuisioner dikelompoktani Makmue Jaya,
Sapoe Pakat dan Ilah Daya, Kabupaten Aceh Jaya
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan
dilapangan
Melihat permasalahan yang ada dilapangan, maka laangkah-langkah yang
dilakukan dalam pendampingan kawasan peternakan berbasis sapi potong di
kelompoktani Makmue Jaya, Sapoe Pakat dan Ilah Daya adalah:
1. Manajemen Pakan
Kondisi eksisting peternak yang melepaskan ternaknya ke padang
penggembalaan dari pagi hingga sore hari menyebabkan kondisi ternak tidak
34
bagus karena tidak diberi hijauan, rumput alami yang tersedia dipadang
penggembalaan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup tenak.
Untuk itu perlu upaya pendampingan mengenai hijauan pakan ternak, yaitu
dengan memperkenalkan rumput lapang, rumput potong unggul dan
indigofera sebagai leguminosa kepada peternak.
Tahap awal pendampingan dengan membantu pengadaan bibit rumput
gajah mini yang ditanam di lahan seluas 3 ha, serta penanaman indigofera.
2. Manajemen perkandangan
Kondisi perkandangan yang ada saat ini sangat tidak layak untuk
pemeliharaan ternak, kandang sudah rusak dan hamir roboh bahkan tidak
bisa loagi melindungi ternak dar angin dan hujan pada malam hari.
Pendampingan yang dilakukan adalah perbaikan terhadap kandang kandang
tenak dikelompoktani makmue jaya, sapoe pakat dan ilah daya dengan
kandang semi intensif dengan sistem kandang koloni. Sehingga pemberian
pakan dan kontrol kesehatan ternak dapat dilakukan pada saat ternak sudah
dikandangkan di sore hari.
3. Manajemen pemeliharaan
dengan manajemen perkandangan yang sudah diperbaiki maka manajemen
pemeliharaan juga diatur dengan baik. Pada pagi hari hingga sore hari
ternak dilepas ke padang pemnggembalaan dengan makan rumput alam
yang ada di padang penggembalaan secara adlibitum, kemudian pada sore
hari ternak kembali kekandang, diberikan pakan rumput potong (rumput
gajah mini) dan leguminosa indogofera 10% dari berat badan ternak untuk
pemenuhan protein dan TDN sesuai dengan kebutuhan ternak.
4. Manajemen perkawinan
Selama ini sistem perkawinan ternak merupakan sistem perkawinan alami
yang tidak terkontrol dengan tingkat in breeding sangat tinggi, sehingga
anak yang dilahirkan semakin kecil dan kerdil. Untuk itu perlu dilakukan
pendampingan tentang manajemen perkawinan ternak, yaitu dengan
memberikan materi mengenai gejala birahi ternak betina, waktu perkawinan
yang tepat dan ciri-ciri pejantan yang baik. Rotasi pejantan unggul sangat
penting dilakukan untuk menghindari in breeding mendapatkan pedet yang
sehat dan unggul.
35
5. Manjemen kesehatan ternak
Peternak tidak pernah memperhatikan kondisi kesehatan ternak dengan
baik, terutama pemberian obat cacing. Untuk itu pendampingan yang
dilakukan adalah dengan program pemberian obat cacing rutin kepada
ternak.
Populasi Sapi di Kelompoktani Pendampingan Kawasan Peternakan
Aceh Jaya
No Nama
peternak Kelompok
tani
Jumlah ternak
Total Betina Jantan
Induk Anak Dws Anak
1 Asnawi Ilah Daya 4 6 0 1 11
2 Idris A Ilah Daya 1 0 0 1 2
3 Jumatillah Ilah Daya 5 3 2 4 14
4 Ilhami Ilah Daya 3 1 0 1 5
5 m. asari Ilah Daya 2 0 0 0 2
6 Jamalumhamdi Sapoe Pakat 30 8 2 2 42
7 Qaisir Sapoe Pakat 3 3 1 1 8
8 Fahrurrazi Sapoe Pakat 0 3 0 0 3
9 Syafari Sapoe Pakat 5 6 0 4 15
10 Burhanuddin Makmue Jaya 5 4 1 2 12
11 Zamzami Makmue Jaya 4 1 0 2 7
12 Muhrizal Makmue Jaya 1 1 1 0 3
13 Marzumi Makmue Jaya 2 0 1 0 3
14 Zulkifli, A Makmue Jaya 0 0 4 0 4
15 Zainal Abidin Makmue Jaya 1 0 0 0 1
16 Zahuri Makmue Jaya 3 7 3 2 15
17 Usman Makmue Jaya 1 2 0 0 3
18 Adami, ys Makmue Jaya 1 1 0 1 3
2. Kabupaten Aceh Besar Tabel 12. Lokasi pendistribusian Sapi Potong di Kawasan Kabupaten Aceh Besar
Sumber Dana OtsusTahun 2015
Lokasi Nama Kelompok Jumlah Ternak
Bunting Jtn Btn
Kecamatan: Lembah Seulawah
Desa: Gp. Lamtamot Riung Bahagia 2 21 3
Gp. Suka Mulia Blang Bereu Eut 2 21 4
Gp. Suka Damai Puloek Rayeuk 2 21 5
Gp. Paya Keureuleh Semangat Baru 2 21 2
Gp. Lambaro Tunong Hudep Bersama 2 21 5
36
Lokasi Nama Kelompok Jumlah Ternak
Bunting Jtn Btn
Gp. Lamkubu Cot Kandeh 2 21 6
Gp. Saree Aceh Blang Tanoh adang 0 16 3
Kematan : Seulimeum
Desa: Gp. Leungah Beumakmu Batee Meulesong 2 21 8
Gp. Lamteuba Droe Batee Lamseni 2 21 5
Gp. Lambada Makmu Beurata 2 21 5
Gp. Pulo Sapeu Pakat 2 21 7
Gp. Blang Tingkeum Ternak Batee Dua 2 21 7
Kecamatan: Kota Jantho
Desa: Gp. Jalin Ingin Maju 0 23 5
Gp. Jantho Baru Sukadamai 0 23 1
Gp. Teureubeh Berkah Ilahi 0 23 0
Gp. Cucum Ingin Maju 0 23 1
Kecamatan: KUTA COT GLIE
Desa: Gp. Lambeugak Makmu Beusare 2 21 3
Gp. Bak Sukon Alue Meuh 2 21 2
Kecamatan: INDRAPURI
Gp. Reukih Dayah Tani Glee Karong 2 21 5
Gp. Sihom Lhok Ternak Sihom Lhok 2 21 3
Gp. Manggra Makmue Sejahtera 2 21 4
Gp. Lamlubok Kareung Sijuk 2 21 2
Gp. Cot Kareung Bina Insan 0 12 2
Kecamatan: KUTA MALAKA
Desa: Gp. Reuleung Geulumpang
Sapeu Pakat 0 22 0
Gp. Leupung Cut Sepakat Bersama 0 22 0
Gp. Lam Ara Cut Bina Ternak 0 22 0
Gp. Lam Ara Cut Bacut-Bacut Na Sabee 0 22 0
Gp. Lamsiteh Harekat Fonna 0 22 0
Gp. Tumbo Baro Taruna Tani 0 22 0
Kecamatan: LHOONG
Desa: Gp. Cundien Tuan Di Glee Beung 0 21 5
Kecamatan: LHOKNGA
37
Desa: Gp. Mns. Baro Lamlhom
Blang Kulu 0 21 3
Total 34 651 96
C. Manajemen Perawatan Pedet
Pedet yang berumur sampai 4 bulan pertama mudah mengalami
kematian. Penyebab kematian pada umumnya karena kurang pakan, pneumonia
dan komplikasi gangguan pencernaan. Angka kematian dapat ditekan apabila
peternak cermat dalam merawat pedetnya. Pedet yang baru lahir tidak
mempunyai kekebalan tubuh (antibodi), dan hanya akan diperoleh dari kolostrum
induknya. Oleh karena itu kolostrum pertama harus sudah diberikan kepada
pedet dalam waktu 1 jam pertama sesudah lahir. Apabila dalam 1 jam pertama
pedet belum mendapat kolostrum maka peternak harus memaksa pedet minum.
Pedet yang baru lahir perlu dipotong tali pusarnya dengan menggunakan pisau
atau gunting yang steril untuk menghidari terjadinya infeksi pada pusar.
Selanjutnya celupkan tali pusar ke dalam cairan iodium 10%. Lakukan hal itu
setiap hari sampai tali pusar kering. Hal lain yang perlu mendapat perhatian
khusus adalah alas kandang pedet. Usahakan agar alasnya tetap dalam keadaan
kering. Alas kandang dapat berupa jerami kering atau serbuk gergaji. Alas
kandang yang basah/lembab adalah media yang baik untuk berkembangnya
sumber penyakit. Selain itu alas kandang yang basah akan mengganggu
kesehatan kulit pedet.
Kepada petani juga telah diajarkan cara penanganan mastitis yang sering
dialami oleh induk sapi post partum. Saat ini baru satu kali kejadian mastitis
pada induk sapi post partum. Meskipun penyakit ini jarang terjadi namun
memberikan dampak yang sangat jelek pada pertumbuhan anak karena
kebutuhan susu untuk pedet tidak cukup.
D. Pemberian Pakan Tambahan
Pada umur satu minggu pedet harus dilatih untuk mengenal konsentrat.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menempelkan konsentrat ke mulutnya.
Sediakan sedikit konsentrat dalam kotak dan diganti setiap hari agar selalu
tersedia konsentrat yang baru. Konsentrat starter untuk pedet sebaiknya
mengandung 16 - 18% protein dengan kandungan energi tinggi dan juga
38
mengandung suplemen vitamin A dan D, disamping tepung tulang. Hal ini untuk
menghindarkan kekurangan konsumsi kalsium dan pospor. Pedet sudah harus
diperkenalkan dengan hijauan pada minggu pertama setelah lahir. Pada saat
memperkenalkan hijauan sebaiknya diberikan hijauan yang muda dan berkualitas
baik. Sebaiknya setiap hari disediakan rumput segar secukupnya untuk
merangsang perkembangan rumen pedet yang akan mempengaruhi
pertumbuhan pedet selanjutnya.
Praktek penggunaan konsentrat susah untuk diterapkan karena petani
harus membelinya. Oleh karena itu dalam program pendampingan ini pemberian
konsentrat tidak diprioritaskan. Konsentrat merupakan sumber protein bagi
ternak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut telah ditanam
tanaman gamal sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein. Pada saat
ini telah ditanaman gamal sebagai tanaman pagar lebih kurang 300 batang.
Jumlah tanaman gamal yang sudah ditanam ini masih sangat kurang.
Idealnya, untuk tujuan penggemukan, satu ekor sapi dewasa memerlukan 5 kg
leguminosa setiap harinya. Jumlah tersebut dapat dipenuhi dari 200 batang
tanaman legum pohon.
E. Pengendalian Parasit Interna
Manajemen pemeliharaan yang dipraktekkan oleh petani dengan cara
menggembalakan pada lahan sawah dan perkebunan sangat rawat terhadap
serangan parasit cacing nematoda maupun trematoda. Oleh karena itu
diperlukan strategi penanggulangannya. Kepada petani telah diajarkan
manajemen pemberian obat cacing. Pemberian obat cacing harus diberikan
secara rasional. Pemberian obat cacing terlalu sering dapat mengakibatkan
bahaya resistensi cacing terhadap obat cacing, sedangkan pemberian obat cacing
dengan interval yang terlalu jauh dapat mengakibatkan penurunan produktivitas
ternak. Pemberian obat cacing dari golongan yang sama dalam periode waktu
yang lama dapat mengakibatkan penurunan efektivitas dari obat cacing tersebut.
Oleh karena itu diperlukan rotasi penggunaan obat cacing dari satu golongan
tertentu kepada golongan lainnya. Misalnya pada tahun ini digunakan obat
cacing dari golongan benzimidazole, tahun berikutnya sebaiknya digunakan dari
golongan levamisole.
39
Sebelum dan sesudah pemberian obat cacing dilakukan pemeriksaan telur
cacing dengan metoda McMaster. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat
tingkat infestasi cacing dengan melihat jumlah telur cacing nematoda per gram
tinja (ttgt) atau egg per gram (EPG) dan efektivitas dari obat cacing yang
digunakan. Metode yang digunakan adalah Metode McMaster.
Cara kerja:
1. Tinja yang sudah dikoleksi ditimbang sebanyak 2 gram
2. Digerus sampai dengan halus
3. Dimasukkan ke dalam tabung yang mempunyai tanda/ukuran 30 ml
4. Ditambah dengan air sampai dengan tanda 30 ml dan homogenkan sampai
merata
5. Ambil 1 ml dari larutan tersebut, tambahkan dengan 1 ml larutan gula
ssheather (500 gram sukrosa; 320 ml air; 6,5 gram fenol cair) dan
homogenkan
6. Letakkan dengan segera beberapa tetes ke dalam kamar hitung McMaster.
Kamar hitung dapat dibuat dengan menggarisi gelas penutup seluas 10 mm3
dan letakkan gelas penutup tersebut dengan permukaan yang bergaris di
bawah, di atas dua buah gelas objek dengan tinggi 1 mm satu di atas yang
lain. Dengan demikian volume kamar hitung dengan tinggi 1 mm luas 10 x 10
mm sama dengan 100 mm3.
7. Sediaan tersebut dibiarkan beberapa menit agar telur mengapung ke atas
8. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop
Pada kegiatan pendampingan ini, obat cacing yang digunakan adalah
golongan benzimidazole.
40
V. KESIMPULAN
Dari hasil pendampingan yang dilakukan sejak tahun 2011-2015 dapat
disimpulkan bahwa:
1. Teknologi yang diadopsi oleh petani adalah teknologi yang mudah
dilaksanakan dan low external input.
2. Teknologi yang sudah diadopsi dengan baik adalah teknologi
fermentasi jerami dengan menggunakan starter trichoderma sp.
3. Teknologi garam blok belum diadopsi dengan baik oleh petani
41
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peternakan, 2008. Pedoman Teknis Program Percepatan
Pencapaian Swasembada Daging Sapi. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta
Badan Investasi dan Promosi NAD. 2008. Aceh Dalam Menuju Ketahanan Pangan
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006, Statistik Peternakan Tahun 2005. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Dinas Peternakan, 2008. Data Base Peternakan Provinsi Aceh. Banda aceh.
Diwyanto, K., A. Priyanti dan D. Zainuddin 1996. Pengembangan Ternak berwawasan Agribisnis di Pedesaan dengan Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Pemilihan Bibit yang Tepat. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV (1):6 – 15.
Iskandar-Mirza, Yenni-Yusriani dan A. Azis. 2007. Pemanfaatan Jerami Fermentasi sebagai Pakan Sapi pada Lahan Sawah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian, Medan, 6 Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 645-652.
Mersyah, R. 2005. Desain budi daya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan’ Disertasi, Sekolah Pasca sarjana , Institut Pertanian Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2010. Rekomendasi tenologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.
Santi, W.P.2008. Respons Penggemukan sapi PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB terhadap pemberian jerami padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi’ Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi protein ransum sapi potong berbasis jerami dan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30(3) : 207- 217.
42
Talib, C. 2001. Pengembangan sistem perbibitan sapi potong nasional . Wartozoa 11(1): 10-19.
Wijono, D.B., Maryono, dan P.W. Prihandini. 2004. Pengaruh stratifikasi fenotipe terhadap laju pertumbuhan sapi potong pada kondisi foundation stock. hlm. 16- 20. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.