Download - Hukum Keuangan Negara
BAHAN AJAR
HUKUM KEUANGAN NEGARA
PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN
SPESIALISASI AKUTANSI
TIM PENYUSUN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TAHUN 2011
i | P a g e
KATA PENGANTAR
Materi bahan ajar ini merupakan kutipan dari Buku HKN yang sedang dalam proses
penyelesaian; yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi bapak/ibu dosen yang mendapat
tugas memberikan kuliah Hukum Keuangan Negara (HKN). Pada awalnya mata kuliah HKN
ini bernama HAKN atau Hukum Administrasi Keuangan Negara. Seiring dengan berjalannya
waktu materi mata kuliah HAKN nampak semakin menitik beratkan kearah permasalahan
teknis Administrasi Keuangan, sementara bobot pembelajaran Hukum Keuangannya sendiri
semakin jauh berkurang. Keadaan yang demikian tentu segera dicari jalan pemecahannya
mengingat pula kebutuhan pemahaman masalah hukum keuangan bagi lulusan STAN
semakin menjadi tuntutan para user; sehingga mulai tahun akademik 2010/2011 HAKN
dipisahkan menjadi dua mata kuliah yakni HKN dan AKN atau Hukum Keuangan Negara
dan Administrasi Keuangan Negara yang materi muatannya sangat jauh berbeda.
Melihat latar belakang proses kelahiran mata kuliah HKN seperti tersebut diatas,
maka bagi para Dosen sangat diharapkan pemahamannya terhadap ilmu hukum; khususnya
HAN/HTUN, HTN maupun bidang hukum Pidana/Perdata. Hal ini agar memudahkan dalam
proses pembelajarannya, misalnya seorang lawyer (yang kebetulan merelakan waktunya
untuk kegiatan mengajar) tidak perlulah “terlalu asyik” menerangkan proses beracara di
Pengadilan; seperti teknik membuat surat gugatan dan sebagainya tetapi bisa
memanfaatkan pengetahuannya tentang “teknik” pembuatan kontrak yang benar dengan
pihak III dalam kegiatan PBJ Pemerintah, maupun tentang kelemahan-kelemahan yang
sering dilakukan aparat dalam menghadapi kasus-kasus di Pengadilan.
Bahan ajar ini sengaja dibuat sangat singkat dan tidak pula disertai power point
dengan maksud para dosen untuk lebih mudah berimprovisasi dalam proses
pembelajarannya, termasuk membuat ppt versi masing-masing; tentu saja setelah
mencermati dengan baik setiap session materi bahan ajar ini. Sebagai contoh ketika
pemberian materi kuliah “Pengelolaan BMN” angkatlah suatu kasus dimana dalam suatu
DIPA SATKER tidak ditemukan kegiatan pembuatan Lapangan tennis, yang ada adalah
pembuatan Lapangan Parkir, tetapi Kepala Satker berkeinginan kuat untuk membuat
Lapangan Tenis; sementara untuk revisi DIPA diprediksi tidak memungkinkan. Bagaimana
hal ini bisa terlaksana tanpa melanggar hukum dan lulus tehadap LHP dari APIP?. Tentu
saja semua jawabannya ada pada materi kuliah “Pengelolaan BMN” tersebut. Sekali lagi
kejelian dan kecermatan dalam memahami materi bahan ajar serta disertai pengalaman
para Dosen akan membuat perkuliahan menjadi menarik dan selalu ditunggu para
mahasiswa.
ii | P a g e
Materi kuliah HKN adalah suatu materi kuliah yang dinamis dalam arti apa yang
menjadi topik di media atau di masyarakat harus bisa dijawab oleh HKN, begitu juga laju
perkembangan tata pemerintahan harus bisa diantisipasi oleh HKN; menyikapi hal ini para
dosen dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut.
Jakarta, Agustus 2011
Tim Penyusun HKN
iii | P a g e
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
PENDAHULUAN................................................................................................................ vii
A Deskripsi Singkat.............................................................................................. vii
B Prasyarat Kompetensi...................................................................................... vii
C Standar Kompetensi......................................................................................... vii
D Kompetensi Dasar............................................................................................ vii
E Relevansi Dasar............................................................................................... vii
BAB I KEUANGAN NEGARA 1
A Definisi Keuangan Negara............................................................................... 1
B Ruang Lingkup Keuangan Negara................................................................... 4
C Pengertian-Pengertian Lain....................................... 5
BAB II KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 7
A Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara......................... 7
B Pelaksanaan Keuangan Daerah...................................................................... 9
C Pelaksanaan Keuangan Negara...................................................................... 11
D Hubungan Kekuasaan Negara dengan Tujuan Bernegara.............................. 16
E Aktualisasi Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Baik.................................................................................. 18
BAB III PENGERTIAN DAN SITILAH-ISTILAH KEUANGAN NEGARA DALAM
UNDANG-UNDANG 21
A Pengertian Keuangan Negara.......................................................................... 21
B Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah.................................................. 22
C Pengertian APBN............................................................................................. 22
D Pengertian Penerimaan, Pengeluaran, Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan…………………………………………………………………………. 23
E Pengertian Tahun Anggaran............................................................................ 23
F Pengertian Surplus Penerimaan ..................................................................... 24
BAB IV KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 25
A Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan 25
iv | P a g e
Keuangan Negara...........................................................................................
B Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara.......................... 26
C Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.......................... 26
BAB V KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI
RUGI (1) 29
A Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara....................................... 29
B
Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan
Negara.............................................................................................................. 30
C Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP........................................................... 31
BAB VI KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI
RUGI (2) 36
A Pengertian Sanksi Administratif………………………....................................... 36
B Ketentuan Mengenai Sanksi Administratif........................................................ 37
C Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan
Hukuman.......................................................................................................... 38
D Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1/2004..... 39
E Prosedur dan Ketentuan Ganti Rugi................................................................ 39
F Prosedur dan Ketentuan Ganti Rugi................................................................ 40
BAB VII Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 42
A Pengertian Badan Layanan Umum.................................................................. 43
B Tujuan dan Asas.............................................................................................. 44
C Persyaratan, Penetapan, dan Pencabutan Status BLU................................... 45
D Standar dan Tarif Layanan............................................................................... 48
E Pengelolaan Keuangan BLU............................................................................ 49
F Tata Kelola, Pembinaan, dan Pengawasan..................................................... 57
BAB VIII PENGELOLAAN BMN 68
A Pengertian Barang Milik Negara...................................................................... 68
B Dasar Hukum Pengelolaan BMN..................................................................... 68
C Asas dan Lingkup Pengelolaan BMN............................................................... 62
D Pejabat Pengelola BMN................................................................................... 62
E Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran.................................................. 62
F Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan… 63
G Peniaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan....................... 73
v | P a g e
H Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan.......................................... 87
I Ganti Rugi dan Sanksi...................................................................................... 88
BAB IX ASPEK LEGAL PENGADAAN BARANG DAN JASA (1) 97
A Penunjukkan kepada Pengguna Barang/Jasa................................................. 97
B Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan....................................................... 98
C Pemaketan Pekerjaan...................................................................................... 100
D Penetapan Sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa…. 101
BAB X PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN
NEGARA (1) 105
A Pengertian Umum............................................................................................ 105
B Lingkup Pemeriksaan....................................................................................... 105
C Standar pemeriksaan Keuangan Negara......................................................... 106
D Pelaksanaan Pemeriksaan............................................................................... 107
E Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan.................................................................... 108
F Investigasi dan Temuan Kasus Pidana............................................................ 108
BAB XI PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN
NEGARA (2) 110
A Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut……………………………………………. 110
B Pengenaan Ganti Rugi…………………………………………………………….. 112
C Ketentuan Pengenaan Pidana……………………………………………………. 113
D Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)……………………………………………… 115
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 119
vi | P a g e
PENDAHULUAN
A. Diskripsi Singkat
Hukum Keuangan Negara dalam modul ini membahas materi dari sisi aspek
hukumnya APBN mulai dari pengertian keuangan Negara, perencanaan anggaran,
penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pelaporan sampai dengan
pertanggungjawabanya yang selama ini dikenal dengan perencanaan anggaran.
B. Prasyarat Kompetensi
Mahasiswa yang mengikuti Mata kuliah HKN terlebih dahulu harus telah menempuh dan
lulus mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Ilmu Ekonomi (PIE), dan
Keuagan Publik.
C. Standar Kompetensi
Mahasiswa yang megikuti mata kuliah HKN sudah memiliki pengetahuan tentang dasar-
dasar filosofi pengertian tentang hukum, darimana hukum itu berasal, mengapa hukum itu
harus ditaati, sumber-sumber hukum, mahzab-mahzab atau teori-teori tentang hukum, tata
hukum, tata urutan perundang-undangan dsb., pengetahuan di bidang ekonomi mahasiswa
sudah memiliki pengetahuan dasar-dasar filosofi pengantar ekonomi, da di bidang keuangan
public mahasiswa sudah mengatuhi dan mengerti tentang peran Negara dalam kegiatan
sekonomi untuk membiayai tugas-tugasnya melaksanakan tugas umum pemerintaha dan
pembagunan.
D. Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti kuliah HKN adalah
mahasiswa memahami dan mengerti tentang aspek hukum pengelolaan keuangan Negara
RI mulai dari perencanaan anggaran, penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran,
pencatatan dan pelaporan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban anggaran.
E. Relevansi Dasar
Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Ilmu Ekonomi, Keuangan Publik
mempuyai relevansi dasar bagi mahasiswa yang akan mengikuti kuliah Hukum Keuangan
Negara…Mata kuliah ini membahas aspek hukum Negara sebagai badan hokum public
bagaimana mencari pembiayaan melalui sumber-sumber yang diperkenankan oleh undang-
undang, bagaimana mengelolanya, dan akhirnya membelanjakaya serta
mempertaggungjawabkan kepada rakyat melalui DPR sebagai pemberi mandat.
1 | P a g e
BAB
KEUANGAN NEGARA
A. Definisi Keuangan Negara
Untuk memahami Hukum Keuangan Negara harus berangkat terlebih dahulu
dari pengertian Keuangan Negara. Banyak para ahli memberikan terhadap
pengertian Keuangan Negara. Disini akan dikutip beberapa pendapat.
1. Menurut M. Ichwan K.N.
Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif dengan angka-
angka yang antara lain diwujudkan dalam mata uang, yang akan dijalankan
untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun.
2. Menurut GEODHART, K.N.
Keuangan negara adalah keseluruhan UU yang ditetapkan secara periodik yang
memberikan kekuasan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai
periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk
menutup pengeluaran tersebut.
Jadi unsur-unsur keuangan menurutnya:
Periodik
Pemerintah sebagai pelaksana anggaran
Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang yaitu wewenang
penerimaan dan wewenang pengeluaran.
Bentuk anggaran berupa suatu UU
3. Menurut John F. Due K.N. is A Budget is general sense of term, is a financial
plan for specific period time… a government budget, therefore is a statement of
1 Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan
memahami definisi keuangan negara, ruang lingkup keuangan negara, dan
pengertian lain yang terkait.
2 | P a g e
proposed expenditures and expected revenues for the coming period together
with data of actual expenditures and revenues for current and past period.
Government Budget Adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau
belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama
dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode
mendatang dan periode yang telah lampau.
Dengan demikian unsur-unsur KN menurut John F. Due adalah:
Anggaran belanja memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan
penerimaan dari tahun2 yang sudah lalu.
Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang.
Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan.
Untuk suatu periode tertentu.
4. M. Marsono
Anggaran Negara adalah suatu rencana pekerjaan keuangan yang pada satu
pihak mengandung jumlah pengeluaran yang setinggi-ingginya yang mungkin
diperlukan untuk membiayai kepentingan Negara pada satu masa depan, dan
pada pihak yang lain merupakan perkiraan pendapatan yang mungkin dapat
diterima dalam masa tersebut.
5. M. Subagio
Anggaran Negara adalah suatu rencana yang diperlukan untuk membiayai
segala kegiatannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk menjalankan
pemerintahan disertai taksiran besarnya penerimaan yang didapat dan
digunakan membelanjakan pengeluaran tersebut.
Unsur-unsur K.N. menurutnya:
Kebijakan pemerintah tercermin dalam angka-angka.
Rencana pemasukan untuk membiayai pengeluaran.
Memuat data pelaksanaan anggaran satu tahun yang lalu.
Menunjukkan sektor yang diprioritaskan.
Menunjukkan maju mundurnya pencapaian sasaran.
Merupakan petunjuk bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakannya
untuk satu tahun mendatang.
3 | P a g e
Dari beberapa defenisi tersebut dapat disimpulkanKeuangan Negara adalah:
1. Semua kekayaan atau harta Negara dan utang Negara begitupun segala hal
yang menyangkut dengan harta atau utang tersebut baik yang berwujud atau
tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang.
2. Keuangan Negara biasa juga disebut dengan Anggaran Negara
(Budget). Bahkan UU No. 17 tahun 2003 menyebutnya dengan istilah
APBN/APBD.
Dengan demikian Anggaran Negara dapat kita lihat dari tiga sudut pandang, yaitu:
1. Sudut Administratif, berarti ditinjau dari sudut Penatausahaan Penerimaan dan
Pengeluaran Negara dengan memperhatikan keseimbangan yang logis diantara
keduanya.
2. Sudut Konstitusi, berarti hak untuk turut menentukan anggaran Negara dari
Badan Perwakilan Rakyat (Volksvertegenwoordiging) yang pada umumnya
dicantumkan dalam suatu konstitusi Negara. (Pasal 23 UUD 1945). Hal ini
sebagai konsekwensi pelaksanaan ajaran Trias Politika Montesque meskipun
tiori tersebut tidak murni lagi dianut.
3. Dari Sudut Undang-Undang/Peraturan Pelaksanaan, berarti Keseluruhan
ketentuan UU yang ditetapkan secara priodik, yang memberikan kekuasaan
eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai priode tertentu.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan sebutan
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah Rencana
Keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh dewan perwakilan
rakyat. (berarti Anggaran) dipandang dari sudut konstitusi. Menurut UU No. 17 Tahun
2003, Keuangan Negara adalah Semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Dengan demikian Keuangan Negara menurut penulis adalahSemua
kekayaan atau harta Negara dan utang Negara begitupun segala hal yang
menyangkut dengan harta atau utang tersebut baik yang berwujud atau tidak
berwujud yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya semua kekayaan
atau harta daerah dan utang daerah karena daerah juga merupakan bagian dari
negara (Pasal 18 UUD 1945)
4 | P a g e
Dasar hukum Pengelolaan Keuangan Negara dapat ditemui dalam UUD 1945
Pasal 23, terutama ayat (1) yang berbunyi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang dan dilksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Ayat (2) RancanganUU APBN diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan
DPD.Ayat (3) Apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh
Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.
Beberapa Ketentuan di bidang pengelolaan keuangan Negara yang perlu
diketahui:
UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan
Keuangan Negara
UU APBN
Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa InstansiPemerintah,
Peraturan Pemerintah No. 8/2006 tentang Revisi Keppres 80/2003, terakhir
Perpres No. 54 th 2010
PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
PP 21/2004 tentang RKA-KL
B. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Yang termasuk lingkup keuangan negara RI adalah:
1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman.
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum, Pemerintahan
Negara, dan melakukan pinjaman.
3. Penerimaan dan pengeluaran Negara
4. Penerimaan dan pengeluaran daerah
5. Kekayaan Negara dan kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
Negara/daerah.
5 | P a g e
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum
7. Kekayaan yang diperoleh pihak lain dengan mempergunakan fasilitas
pemerintah.
C. Pengertian-Pengertian Lain
1. Pengertian APBN adalah rencana kerja keuangan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk jangka waktu tertentu biasanya dalam satu tahun anggaran.
2. APBN atau biasa juga disebut perbendaharaan Negara. Perbendaharaan itu
sendiri dapat didekati dari beberapa sudut.:
a. Dari segi obyek, seluruh hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang meliputi: uang, barang, utang-piutang dan investasi.
b. Dari segi subyek, seluruh harta dan utang yang dimiliki dan/atau dikuasai
oleh Pemerintah, termasuk yang dikelola oleh Badan Layanan Umum seperti
rumah sakit dan perguruan tinggi negeri.
c. Dari segi proses, seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan harta dan utang
sesudah APBN/APBD ditetapkan
d. Dari segi tujuan, seluruh kegiatan pengelolaan harta dan utang dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam APBN/APBD.
3. Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah adalah perusahaan yang didirikan
dengan modalnya minimal 51% atau lebih dimiliki oleh negra atau daerah.
Perusahaan tersebut merupakan Badan Usaha milik Negara/Daerah yang
bersangkutan.
4. Pengertian tahun anggaran adalah tahun pelaksanaan dari suatu anggaran yang
telah ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR. Saat ini tahun anggaran
sama dengan tahun fiskal yaitu dimulai dario l Januari sampai dengan 31
Desember tahun yang berjalan.
5. Pengertian Penerimaan adalah semua pendapatan yang diterima negara dan
yang akan dipergunakan untjuk membiayai pengeluaran negara. Sedang belanja
adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh negara dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Sedang Pembiayaan adalah penerimaan yang
akan dibayar kembali dan pengeluaran yang akan diterima kembali.
6 | P a g e
6. Defisit Anggaran
Defisit anggaran merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi APBN di saat angka belanjanya melebihi jumlah pendapatan. Terdapat
empat pilihan cara untuk mengukur defisit anggaran, yang masing-masing
dikenal dengan sebutan (i) defisit konvensional; (ii) defisit moneter; (iii) defisit
operasional; dan (iv) defisit primer.
7. Defisit Konvensional
Defisit yang dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total
pendapatan termasuk hibah.
8. Defisit Moneter
Merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok
hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang).
9. Defisit Operasional
Merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal.
10. Defisit Primer
Merupakan selisih antara belanja ( di luar pembayaran pokok dan bunga hutang)
dengan total pendapatan.
11. Pembiayaan
Dalam keadaan defisit tentunya diperlukan tambahan dana agar kegiatan yang
telah direncanakan tetap dapat dilaksanakan. Dana tersebut bias berasal dari
dalam negeri maupun luar negeri. Upaya untuk menutup defisit disebut sebagai
pembiayaan defisit (deficit financing). Upaya ini dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk misalnya
a. hutang;
b. menjual asset milik negara; dan
c. memperoleh hibah.
7 | P a g e
BAB
KEKUASAAN PENGELOLAANKEUANGAN NEGARA
A. Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan (Pasal 6 UU No.
17/2003). Kekuasaan ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan khusus.
Kewenangan yang bersifat umum yaitu penetapan arah, kebijakan umum,
strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman
pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan susunan rencana kerja
kementerian Negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan serta pedoman
pengelolaan penerimaan Negara.
Sedangkan yang termasuk kewenangan yang bersifat khusus yaitu
keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan penelolaan APBN, keputusan
rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan asset dan piutang
Negara.
Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang
kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan
lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna
anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Dari pernyataan tersebut, maka presiden dapat disebut sebagai Chief
Executive Officer (CEO) dimana presiden memiliki kekuasaan paling sentral dan
tertinggi dalam mengatur keuangan negara dengan fungsi:
1. Pembinaan dan koordinasi pembagian kekuasaan keuangan negara.
2 Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan
memahami tentang pengelolaan keuangan negara baik di pusat maupun di
daerah.
8 | P a g e
2. Penelitian dan pengembangan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan yang
telah berlaku dalam UU.
3. Pelaksanaan pembuatan dan pengajuan RAPBN.
Sedangkan, Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief
Financial Officer (CFO) sedangkan menteri teknis/pimpinan lembaga berperan
sebagai Chief Operating Officers (COOs).
Dalam rangka mewujudkan asas desentrailsasi dalam penyelenggaraan Negara,
Presiden dapat menyerahkan sebagian kekuasaan tersebut diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku pengelola keuangan daerah. Adapun terkait dengan
penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter sebagai bagian dari keuangan
Negara dilaksanakan oleh bank sentral.
Berikut adalah rincian pembagian kekuasaan keuangan negara lebih lanjut
dari keterangan di atas:
1. Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Menteri Teknis/Pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran atau pengguna
barang kementerian negara atau lembaga yang dipimpinnya.
3. Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah untuk mengelola keuangan
PRESIDEN SEBAGAI
CEO
MENTERI
TEKNIS
SEBAGAI
COO
MENTERI
KEUANGAN
SEBAGAI
CFO
9 | P a g e
daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan
kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-
fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih
antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya
mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing
kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.
B. Pelaksanaan Keuangan Daerah
1. Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah
Untuk mengakomodasi berbagai perkembangan dalam sistem kelembagaan
Negara dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan,
pemerintai telah mengeluarkan Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Undang-Undang tersebut menetapkan prinsip-prinsip yang
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah
dimuat dalam UU tersendiri tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan
Keuangan.
Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota selaku
pengelola keuangan daerah. Kekuasaan atas keuangan daerah tersebut diatur
dalam UU Keuangan Negara pasal 6 ayat (2) huruf c sebagai berikut:
a) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku
pejabat pengelola APBD
b) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat
pengguna anggaran/barang daerah
Pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD
b) Menyusun Rancangan APBD dan Rancangan Perubahan APBD
c) Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
Peraturan Daerah
10 | P a g e
d) Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah
e) Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggung jawaban
pelaksanaan APBD
Sedangkan pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas
sebagai berikut:
a) Menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya
b) Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
c) Melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya
d) Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak
e) Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja
yang dipimpinnya
f) Mengelola barang milik / kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya
g) Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya.
Pemerintah pusat juga membagi keuangannya kepada daerah antara lain
tercermin dalam APBN sebagai Belanja Daerah. Bentuk pembagian/transfer
pemerintah pusat ke daerahnya dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Pendapatan yang ditunjuk/ diserahkan, meliputi pajak, royalti, pungutan yang
semula dikenakan oleh pemerintah pusat, tetapi diserahkan sebagian atau
seluruhnya kepada pemerintah daerah.
b) Subsidi, yang dibayarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota
c) Pembiayaan Sektoral, berupa pengeluaran pemerintah pusat untuk proyek-
proyek yang dilakukan pemerintah daerah
d) Pinjaman
2. Makna Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah
Seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pembagian kekuasaan keuangan
Negara kepada daerah sesungguhnya merupakan cermin dari berjalannya Otonomi
Daerah yang pada dasarnya tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat 5 yang
berbunyi, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
11 | P a g e
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.”
Selain itu juga. Pemerintah pusat dalam hal ini berusaha mengadakan
pemerataan di setiap daerah seperti halnya yang tercantum pada UU …. yang
berbunyi “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah
suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta
pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan
kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan
kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya”
Penyerahan kekuasaan keuangan Negara dari Presiden/Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah juga mempertimbangkan adanya keanekaragaman
kondisi daerah.
C. Pelaksanaan Kekuasan Keuangan Negara
1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai
tujuan bernegara.
Sistem administrasi keuangan negara diatur dengan berbagai ketentuan,
diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Kebijakan dan kegiatan APBN diuraikan sejak dari perencanaan anggaran,
penyusunan dan penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran, dan pemeriksaan pertanggungjawaban pelaksanaan
anggaran.
Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Sektor Publik menjadi semakin signifikan. Dalam perkembangannya, APBN telah
menjadi instrumen kebijakan multi fungsi yang digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan bernegara. Hal tersebut terutama terlihat dari komposisi dan
besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan
kepada masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi APBN dapat berjalan secara
12 | P a g e
optimal, maka sistem anggaran dan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran
harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami
banyak perkembangan. Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di
bidang keuangan negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem
pengelolaan anggaran negara di Indonesia terus berubah dan berkembang sesuai
dengan dinamika manajemen sektor publik.
Pemerintah telah menerapkan pendekatan anggaran berbasis kinerja,
anggaran terpadu dan kerangka pengeluaran jangka menengah pada tahun
anggaran 2005 dan 2006. Ternyata masih banyak kendala yang dihadapi, terutama
karena belum tersedianya perangkat peraturan pelaksanaan yang memadai,
sehingga masih banyak terjadi multi tafsir dalam implementasi di lapangan. Dalam
periode itu pula telah dikeluarkan berbagai peraturan pemerintah, peraturan menteri
keuangan, peraturan dirjen dan sebagainya guna menutup kelemahan-kelemahan
tersebut.
Dalam rangka merespon perubahan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang keuangan negara itu, makalah Sistem Administrasi Keuangan
Negara perlu direvisi dan disempurnakan. Hal ini akan sangat membantu para
peserta diklat untuk memahami secara lebih mudah materi peraturan yang baru.
Fungsi perencanaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak dibahas secara
rinci. Akan tetapi, pembahasan mengenai keuangan negara lebih difokuskan pada
fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sesuai dengan ketentuan
undang-undang di bidang keuangan negara.
Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian di bidang keuangan harus
dilakukan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
13 | P a g e
Memajukan kesejahteraan umum.
Mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat APBN, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang
memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran
(1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban
APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
3. Fungsi APBN
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan
negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan
nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan secara umum.
APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran
yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan
dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.
Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan. Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat
menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun
tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka
negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan
tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun
proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah
14 | P a g e
dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa
berjalan dengan lancar.
Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat
untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk
keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta
meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
4. Prinsip penyusunan APBN
Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:
Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.
Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.
Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan
penuntutan denda.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:
Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
Semaksimah mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan
memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
5. Azas penyusunan APBN
APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:
Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.
Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.
Penajaman prioritas pembangunan
Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang Negara
15 | P a g e
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun
anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember.
APBD terdiri atas:
a. Anggaran pendapatan, terdiri atas:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain
2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas
pemerintahan di daerah.
c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
7. Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara:
a. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa
dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk
dilaksanakan.
b. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
d. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
e. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan
sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.
16 | P a g e
f. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam
penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
g. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekono-mian
daerah.
D. Hubungan Kekuasaan Negara dengan Tujuan Bernegara
1. Pengertian Tujuan dan Fungsi Negara Secara Universal
Antara tujuan dan fungsi negara merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Namun demikian keduanya memiliki arti yang berbeda
yaitu:
No. Tujuan Fungsi
1.
2.
3.
Berisi sasaran–sasaran yang hendak dicapai yang telah ditetapkan. Menunjukkan dunia cita yakni suasana ideal yang harus dijelmakan/diwujud kan. Bersifat abstrak – ideal.
Mencerminkan suasana gerak, aktivitas nyata dalam mencapai sasaran. Merupakan pelaksanaan atau penafsiran dari tujuan yang hendak dicapai. Bersifat riil dan konkrit.
Apabila kita hubungkan dengan negara, maka:
Tujuan menunjukkan apa yang secara ideal hendak dicapai oleh suatu negara,
sedangkan Fungsi adalah pelaksanaan cita–cita itu dalam kenyataan.
a. Tujuan Negara
Rumusan tujuan sangat penting bagi suatu negara yaitu sebagai pedoman:
Penyusunan negara dan pengendalian alat perlengkapan negara.
Pengatur kehidupan rakyatnya.
Pengarah segala aktivitas–aktivitas negara.
Setiap negara pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan
Undang–Undang Dasarnya. Tujuan masing–masing negara sangat dipengaruhi
oleh tata nilai sosial, kondisi geografis, sejarah pembentukannya serta pengaruh
politik dari penguasa negara. Secara umum negara mempunyai tujuan antara
lain sebagai berikut:
Memperluas kekuasaan semata
17 | P a g e
Menyelenggarakan ketertiban umum
Mencapai kesejahteraan umum
b. Fungsi Negara
Secara umum terlepas dari ideologi yang dianutnya, setiap negara
menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yang mutlak harus ada. Fungsi
tersebut adalah sebagai berikut:
Melaksanakan penertiban (Law and order): untuk mencapai tujuan bersama
dan mencegah bentrokan–bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus
melaksanakan penertiban. Dalam fungsi ini negara dapat dikatakan sebagai
stabilisator.
Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Pertahanan: fungsi ini sangat diperlukan untuk menjamin tegaknya
kedaulatan negara dan mengantisipasi kemungkinan adanya serangan yang
dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa (negara). Untuk itu negara
dilengkapi dengan alat pertahanan.
Menegakkan keadilan: fungsi ini dilaksanakan melalui lembaga peradilan.
Keseluruhan fungsi negara tersebut di atas diselenggarakan oleh pemerintah
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Fungsi negaradapat juga
diartikan sebagai tugas organisasi negara. Secara umum tugas negara meliputi:
Tugas Essensial adalah mempertahankan negara sebagai organisasi politik
yang berdaulat, meliputi: (a). Tugas internal negara yaitu memelihara
ketertiban, ketentraman, keamanan, perdamaian dalam negara serta
melindungi hak setiap orang; dan (b). Tugas eksternalyaitu mempertahankan
kemerdekaan/kedaulatan negara.
Tugas Fakultatif adalah menyelenggarakan dan memperbesar kesejahteraan
umum.
Beberapa pendapat para ahli tentang tujuan negara:
Plato: tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia.
Roger H Soltau: tujuan negara adalah mengusahakan agar rakyat
berkembang serta mengembangkan daya cipta sebebas mungkin.
John Locke: tujuan negara adalah menjamin suasana hukum individu secara
alamiah atau menjamin hak–hak dasar setiap individu.
18 | P a g e
Harold J Laski: tujuan negara adalah menciptakan keadaan agar rakyat dapat
memenuhi keinginannya secara maximal.
Montesquieu: tujuan negara adalah melindungi diri manusia sehingga dapat
tercipta kehidupan yang aman, tentram dan bahagia.
Aristoteles: tujuan negara adalah menjamin kebaikan hidup warga negaranya.
UUD 1945 Alinea ke IV dari Pembukaan Undang‐undang Dasar 1945, yang
menyatakan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejahteraan umum, (ii) mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial”.
E. Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik.
1. Mewujudkan Pemerintahan yang Baik
Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa
lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak
pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden
memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk
dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai
administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang
baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan
pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah
ditetapkan. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk
melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar
tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan
pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan
pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara
termasuk dalam pengelolaan keuangan negara, yang memiliki fungsi normatif,
fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Adanya Hukum Keuangan Negara secara
khusus memberikan kepastian adanya kepercayaan publik (public trust) bahwa
para penyelenggara Negara melakasankan tugas dan fungsi bersumber hokum
dan aturan. Disisi lain memberikan kepastian hukum bagi pengelenggara Negara
19 | P a g e
dalam melaksanakan tugas kedepan dipayungi oleh hukum. Seperti telah
disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan
memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen
yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah
dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus
menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada
pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah
melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini
digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma
pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan,
dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan
dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan
mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan
pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi
administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian,
pelaksanaan fungsi-fungsi Hukum Keuangan Negara adalah dengan membuat
penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan,
sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara
maupun warga masyarakat.
2. Implementasi pemikiran tersebut antara lain:
a. Tercermin dalam pasal 2 dan pasal 7 ayat 1 UU 17 Tahun 2003. Hal ini karena
tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, hanya
dapat direalisasikan melalui tugas layanan umum pemerintahan (kewajiban
negara, pasal 2 UU KN) yang dapat dijalankan melalui kekuasaan atas
pengelolaan keuangan negara.
b. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden didelegasikan
kepada:
Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
20 | P a g e
Diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
21 | P a g e
BAB
PENGERTIAN DAN ISTILAH-ISTILAH
KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG
A. Pengertian Keuangan Negara
1. Menurut UUD 1945
a. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (pasal 23:
ayat 1)
b. Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
Catatan:Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat
pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya,
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pertanggungjawaban. (Pasal 1 ayat 8; UU 15 Tahun 2006 tentang BPK)
2. Menurut Undang-undang:
a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut. (UU 17/2003; Pasal 1 ayat 1)
b. Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.( UU 17/2003; pasal 3
ayat 1)
3 Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami
mengenai pengertian keuangan negara, pengertian perusahaan miliki negara/daerah,
pengertian APBN, pengertian tahun anggaran, dan pengertian surplus penerimaan.
22 | P a g e
B. Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah
1. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Pusat. (Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya
disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan.<Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003>)
2. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Catatan:Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan
negara?Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut
Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan.
Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan
dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2000 tentang Perseroan Terbatas.
3. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan
modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
C. Pengertian APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
2. APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap
tahun ditetapkan dengan undang-undang.
3. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap
tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
23 | P a g e
4. APBN/APBD mempunyai fungsi-fungsi: otorisasi, perencanaan (lihat PP 20 dan
21 Th 2004 tentang RKP dan RKAKL), pengawasan (lihat UU N0. 15 Tahun
2004, UU No.15 Tahun 2006, Peraturan BPK No.1 Tahun 2007 dsb), alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.
5. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
APBN. (lihat PP 39 Th 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah)
6. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
APBD.
D. Pengertian Penerimaan, Pengeluaran, Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan.
1. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
2. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. (lihat PP 39 Th
2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah).
3. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
4. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
5. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih.
6. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
7. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
8. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
9. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
E. Pengertian Tahun Anggaran.
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember. (pasal 4 UU 17/2003)
24 | P a g e
Catatan:
Tahun Anggaran (TA) yang berlaku dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember diperkenalkan mulai Tahun Anggaran 2000 dimana sebelumnya TA
adalah mulai tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
Pada masa peralihan yaitu pada tahun 2000, TA berlaku dari 1 April sd 31
Desember.
F. Pengertian surplus penerimaan.
1. Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
2. Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (diatas) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan (modal/saham
pemerintah) pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Catatan:
Surplus Penerimaan Negara tersebut dimungkinkan bilamana Pendapatan >
Belanja
25 | P a g e
BAB
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN
KEUANGAN NEGARA
A. Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan
Negara
1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(Pengertian Kekuasaan Pemerintahan adalah sebagaimana tertuang dalam: (i)
pasal 4 ayat 1 UUD 1945: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”[kewenangan atributif] dan (ii)
pasal 5 ayat 2 UUD 1945 yakni “Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” dan pasal-pasal
tentang “Kementerian Negara, Pemerintahan Daerah”); [hal ini bermakna
Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan, maka berkewajiban
menjalankan Undang-undang].
Catatan: Pernyataan bahwa “kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan” …… mengandung makna: siapapun yang
menguasai Pemerintahan berarti mengusai Keuangan Negara.
2. Presiden secara otomatis karena perannya dalam Pemerintahan yang bila
dikaitkan dengan Keuangan Negara haruslah sebagai “penguasa” atas
Keuangan Negara tersebut, karena HAL KEUANGAN (pasal 23 UUD 1945)
dipergunakan sebagai sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia SERTA mencapai kesejahteraan umum dan
4
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami
mengenai Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan
Negara, Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara, dan Pengertian
Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.
26 | P a g e
untukkemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar
disatu sisi dan keharusan seorang Presiden sebagai kepala pemerintahan yang
mendapat tugas untuk melaksanakan hal tersebut.
B. Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara.
1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan
bernegara.
2. Tujuan bernegara tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:”……….melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”
3. Tujuan Negara (tujuan bernegara) yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945
tersebut yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa” diperlukan adanya biaya atau dana yang memadai, karena wujud
“perlindungan bangsa” tersebut bisa berupa peningkatan anggaran “Hankam”
maupun “Kepolisian”; begitu juga wujud “mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat
berupa peningkatan anggaran “pendidikan” dsb.
4. Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan
bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (diatas) setiap tahun disusun
APBN dan APBD.
C. Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.
1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara oleh Presiden sebagian
diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah
untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
2. Hubungan Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara dan Tujuan
bernegara
a. Pokok-pokok pikiran:
1) Tujuan bernegara (pengertian, definisi dsb)…..alinea IV Pembukaan UUD
1945.
27 | P a g e
2) Siapa yang harus menjalankan/yang mempunyai kewajiban
menjalankan/mencapai “tujuan bernegara” tersebut…….. (benarkah)
Pemerintah.
3) Dengan cara bagaimana untuk mencapai “tujuan bernegara” tersebut…
Kewenangan dan Penyediaan Dana
4) Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara………(harus) dikuasai oleh
Pemerintah.
b. Aplikasinya bisa berupa:
1) Tercermin dalam pasal 2 dan pasal 7 ayat 1 UU 17 Tahun 2003. Hal ini karena
tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
hanya dapat direalisasikan melalui tugas layanan umum pemerintahan
(kewajiban negara, pasal 2 UU KN) yang dapat dijalankan melalui kekuasaan
atas pengelolaan keuangan negara.
2) Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden didelegasikan*)
kepada:
Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
Diserahkan**) kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
CATATAN:
*) “didelegasikan” merupakan konsep pelimpahan wewenang dalam HAN atau HTUN
dimana si penerima delegasi mengambil alih seluruh tugas dan tanggung jawab
dari si pemberi delegasi. Keika pendelegasian sedang berlangsung, si pemberi
delegasi tidak berhak lagi turut campur terhadap apa yang sudah di
delegasikannya sepanjang belum/tidak ada pencabutannya.
**) Istilah “diserahkan” mengacu kepada kaidah OTONOMI DAERAH. [UUD 1945
pasal 18 ayat 5:”.. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.**)…” dan psl 18A ayat 2:”… Hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
28 | P a g e
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang. **….”
Latihan Soal:
1. Presiden secara otomatis karena perannya dalam Pemerintahan haruslah
sebagai “penguasa” atas Keuangan Negara tersebut. Jelaskan jawaban Saudara.
2. Buatlah analisa (secara) menyeluruh tentang “pokok-pokok pikiran” Hubungan
Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara dan Tujuan bernegara
3. Apapengertian “didelegasikan” dan “diserahkan”, dalam konteks kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Negara berada ditangan Presiden yang telah dalam
kondisi kedua hal tersebut.
29 | P a g e
BAB
KETENTUAN MENGENAI PIDANA,
SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (1)
A. Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara
Undang-Undang tentang APBN/APBD merupakan pedoman pengelolaan
keuangan dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap pejabat
pengelola keuangan dan setiap penyimpangan akan dikaitkan dengan adanya sanksi
hukum.
Sanksi hukum yang dikenakan berupa pemidanaan maupun sanksi
administratif.Setiap pejabat pengelola keuangan yang terbukti melakukan
penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan
denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
5
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami
mengenai Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara, Pengenaan Pidana
berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara, Pengenaan Pidana berdasarkan
KUHP, Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR
30 | P a g e
Catatan:
PENYIMPANGAN ------------------------------------------------- SANKSI HUKUM
PEMIDANAAN SANKSI ADMINISTRATIF
“pejabat pengelola keuangan”
KEGIATAN laks APBN
Penyimp> kegiatan ANGGARAN pidana penjara
denda
B. Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara
1. Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan
denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.(Pasal 34 ayat 1 UU 17/2003)
2. Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran
yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah
tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan
ketentuan undang-undang. (Pasal 34 ayat 2 UU 17/2003)
3. Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud
pada uraian: “Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan”, ditemukan unsur pidana, Badan
31 | P a g e
Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.Putusan pidana tidak membebaskan dari
tuntutan ganti rugi.
4. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana.
C. Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP
Pasal-pasal pemidanaan dalam KUHP adalah: 209, 210, 387, 388, 415,
416,417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP; dan tentang gratifikasi yakni pada
pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P.
Catatan:
Pasal 209
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat
dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 210
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang
menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau
adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
32 | P a g e
(2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara
pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 415
Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
terus-menerus atau untuk sementara waktu,Yang dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan
uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
*)Selanjutnya Pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 387
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorang pemborong
atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada waktu
membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan,
melakukan sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakan amanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi
pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan
perbuatan yang curang itu.
Pasal 388
(1) Barang siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau
Angkatan Darat melakukan perbuat.an curang yang dapat membahayakan
kesempatan negara dalam keadaan perang diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi
penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan perbuatan yang
curang itu.
Pasal 416
Seorang pejabat atau orang lain yang diheri tugas menjalankan suatu jabatan umum
terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu
atau memalsu buku buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
33 | P a g e
Pasal 417
Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
terus-menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan,
menghancurkan. merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang
diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa yang
berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasai nya karena
jabatannya, atau memhiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan atau memhikin
tak dapat di pakai barang-barang itu, atau menolong sebagai pembantu dalam
melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
Pasal 418
Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya
harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 419
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:
1. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji
itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat.
Atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 420
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:
1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa
hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
menjadi tugasnya;
2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat
untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal
34 | P a g e
diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat
tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.
(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu
diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 421
Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Pasal 422
Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barana paksaan,
baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 423
Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang
untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 435
Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta
dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan mengurus atau
mengawasinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiah.
D. Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR( UU Tindak
Pidana Korupsi / UU No.31 Th 1999 diubah dengan UU No.20 Th 2001 )
1. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara; dipidana penjara dengan penjara
35 | P a g e
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
(Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999)
2. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara;
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 3 UU No.31/1999)
3. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
Latihan Soal
1. Apa pengertian PENYIMPANGAN KEBIJAKAN, yang telah ditetapkan dalam
undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD.
Jelaskan bentuk dan jenis dari Penyimpangan Kebijakan tsb.disertai contoh.
2. Apa pengertian PENYIMPANGAN KEGIATAN ANGGARAN
Jelaskan bentuk dan jenis dari Penyimpangan Kegiatan Anggaran tsb., disertai
contoh.
3. Apa syarat seseorang dapat dipidana?
4. Bagaimana “menarik” seseorang untuk dapat dikenai sanksi pidana dengan
dakwaan melakukan “kegiatan penyimpangan anggaran?”
36 | P a g e
BAB
KETENTUAN MENGENAI PIDANA,
SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (2)
A. Pengertian Sanksi Administratif
Hukuman yang dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil dan atau Calon
Pegawai Negeri Sipil karena melanggar Peraturan perundangan, antara lain:
1. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara,
Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;
2. menyalahgunakan wewenangnya;
3. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
4. menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara;
5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan
barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak
sah;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan Negara;
7. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam
terhadapbawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan
kerjanya;
8. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga
yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau
6
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami menganai
Pengertian Sanksi Administratif, Ketentuan mengenai Sanksi Administratif, Prosedur
Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman, dan Ganti Rugi dan
Tuntutan Ganti Rugi.
37 | P a g e
mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan;
9. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat
Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;
10. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
11. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya
sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
12. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
13. membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena
kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;
14. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk
mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
15. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam
ruang lingkup kekuasaannya;
16. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam
ruang lingkup kekuasaannya tetapi yang jumlah dan sifat pemilikan itu
sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung
atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
17. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan,
menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang
berpangkat Pembina (golongan ruang IV/a) ke atas atau yang memangku
jabatan eselon I;
18. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan
tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 Tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diubah dengan PP No.53 Th 2010)
B. Ketentuan mengenai Sanksi Administratif
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundangundangan
pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman
disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum.
38 | P a g e
1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:
a. tegoran lisan;
b. tegoran tertulis; dan
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun;
b. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1
(satu) tahun; dan
c. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.
4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:
a. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling
lama 1 (satu) tahun;
b. pembebasan dari jabatan;
c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil; dan
d. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
C. Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman
1. Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum
wajib memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan
pelanggaran disiplin itu.
2. Pemeriksaan dilakukan:
a. secara lisan, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang
menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis
hukuman disiplin, sebagaimana nomor B.3 diatas.
b. secara tertulis, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang
menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil
39 | P a g e
yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis
hukuman disiplin, sebagaimana nomor B.4 diatas.
c. Pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran
disiplin, dilakukan secara tertutup.
D. Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1 /2004
Pasal 59:
(1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar
hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti
kerugian tersebut.
(3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat
daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui
bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah
yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak mana pun.
E. Prosedur dan ketentuan Ganti Rugi (UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
dan Peraturan Pelaksanaannya)
Dalam sengketa Tata Usaha Negara, putusan Pengadilan yang mengabulkan
permohonan tergugat yang berisi antara lain pencabutan atau pembatalan
Keputusan TUN yang disengketakan, dan dalam hal segketa Kepegawaian ada juga
pemberian Rehabilitasi dan Ganti Rugi, maka hal-hal mengenai Ganti Rugi diatur
dalam:
Pasal 120
(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar
40 | P a g e
ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
F. Prosedur dan ketentuan Tuntutan Ganti Rugi
Pasal 60 (UU NO 1 Tahun 2004):
(1) Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor
kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu
diketahui.
(2) Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa
kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian
negara dimaksud.
(3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak
dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan lembaga yang
bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Latihan Soal:
1. Mengapa pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan
pelanggaran disiplin, dilakukan secara tertutup. Jelaskan.
2. Mengapa pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang berakibat akan mendapatkan
Jenis hukuman disiplin berat harus dilakukan secara tertulis? Jelaskan dan
uraikan bagaimana pelaksanaannya.
3. Adakah upaya Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran
disiplin untuk melakukan upaya pembelaan diri? Bandingkan upaya pembelaan
diri tersebut bilamana Jenis hukuman disiplin berat telah dijatuhkan.
41 | P a g e
4. Pasal 60(1)…” Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung
atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
kerugian negara itu diketahui”. Ceriterakan dengan mengambil contoh kasus,
sehingga pasal diatas menjadi jelas dalam pelaksanaannya.
5. Bandingkan dan telaah pasal tentang TGR antara paket UU Keuangan dengan
ICW.
Referensi untuk Ganti Rugi dapat dipelajari pada:
1. UU No. 15 Tahun 2006 dan penggantinya tentang BPK
2. Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007
3. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007
4. RPP tentang TGR (Rancangan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara/Daerah Terhadap Bendahara)
42 | P a g e
BAB
PENGELOLAAN KEUANGAN
BADAN LAYANAN UMUM
Dasar Hukum:
UU NO.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69:
Pasal 68
(1) Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
(2) Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang
tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk
menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan
(3) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh
Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang
bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
(4) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh
pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala
satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang
pemerintahan yang bersangkutan.
Pasal 69
(1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran
tahunan.
7 Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami
mengenai pengertian Badan Layanan Umum, tujuan dan asas, persyaratan, penetapan,
dan pencabutan status blu, standar dan tarif layanan, pengelolaan keuangan blu, tata
kelola, dan pembinaan dan pengawasan.
43 | P a g e
(2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan
Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja
Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah.
(3) Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan
anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2)
dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.
(4) Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa
layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
(5) Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari
masyarakat atau badan lain.
(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (4) dan nomor (5) dapat
digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang
bersangkutan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum
diatur dalam peraturan pemerintah.
A. Pengertian BADAN LAYANAN UMUM
1. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
2. Pola Pengelolaan Keuangan <PPK> Badan Layanan Umum, yang selanjutnya
disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang
sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, sebagai
pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
44 | P a g e
3. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah
dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan,
target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
4. Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur
layananminimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat.
5. “Praktek bisnis yang sehat”adalah penyelenggaraan fungsi organisasi
berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian
layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
B. Tujuan Dan Asas
Tujuan:
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
Asas:
1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya
berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang
bersangkutan.
2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak
terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi
induk.
3. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas
pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang
didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.
4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota.
5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian
keuntungan.
45 | P a g e
6. Rencana kerja dan anggaran(RKA-BLU) serta laporan keuangan dan kinerja BLU
(LKK-BLU) disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran (RKA-KLPD) serta laporan keuangan dan kinerja
(LKK-KLPD) kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis
yang sehat.
C. PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN STATUS BLU
1. Persyaratan:
(1) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan
dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan: substantif, teknis, dan
administratif.
(2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi
apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan
umum yang berhubungan dengan:
Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila:
kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi(TUPOKSI)nyalayak
dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana
direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya; dan
kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat
sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi
apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh
dokumen berikut:
pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
pola tata kelola;
46 | P a g e
rencana strategis bisnis;
laporan keuangan pokok;
standar pelayanan minimum; dan
laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen.
(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada nomor (4) disampaikan oleh unit
instansi berkenaan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk
mendapatkan persetujuan (rekomendasi) sebelum disampaikan kepada
Menteri Keuangan/Gubernur /Bupati /Walikota, sesuai dengan
kewenangannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud pada nomor (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
/gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya.
(Lihat:Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.02/2006)
2. Penetapan:
(1) Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah
yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk
menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota,
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah
yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada nomor (1)
untuk menerapkan PPK-BLU.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dapat berupa pemberian
status BLU secara penuh atau status BLU bertahap.
(4) Status BLU secara penuh diberikan apabila seluruh persyaratan
sebagaimana dimaksud pada nomor (3.1.) telah dipenuhi dengan
memuaskan.
(5) Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis
sebagaimana dimaksud dalam (3.1.) “ketentuan Persyaratan” nomor (2) dan
nomor (3) telah terpenuhi, namun persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam “ketentuan Persyaratan” nomor (4) belum terpenuhi secara
memuaskan.
47 | P a g e
(6) Status BLU-Bertahap sebagaimana dimaksud pada nomor (3) berlaku paling
lama 3 (tiga) tahun.
(7) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan
penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD.
3. Pencabutan:
(1) Penerapan PPK-BLU berakhir apabila:
a) dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya;
b) dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan
usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan
kewenangannya; atau
c) berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang
dipisahkan.
(2) Pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1)
huruf a dan huruf b dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak
memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan “3.1.Persyaratan”.
(3) Pencabutan status sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c dilakukan
berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usul pencabutan sebagaimana
dimaksud pada nomor (1) huruf b diterima.
(5) Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada nomor
(4) terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak.
(6) Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat
diusulkan kembali untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan
dalam ketentuan “3.1.Persyaratan”.
48 | P a g e
D. STANDAR DAN TARIF LAYANAN
1. Standar Layanan:
(1) Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar
pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri /pimpinan lembara
/gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dapat
diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
(3) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan
nomor (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan
kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
2. Tarif Layanan:
(1) BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan.
(2) Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada nomor (1) ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar
perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
(3) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) diusulkan oleh BLU
kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sebagaimana
dimaksud pada nomor (3) selanjutnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
(5) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (3) dan nomor (4) harus
mempertimbangkan:
kontinuitas dan pengembangan layanan
daya beli masyarakat;
asas keadilan dan kepatutan; dan
kompetisi yang sehat.
49 | P a g e
E. PENGELOLAAN KEUANGAN BLU
1. Perencanaan dan Penganggaran
a. Perencanaan
(1) BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu
kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL)
atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
(2) BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis
bisnis sebagaimana dimaksud pada nomor (1).
(3) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (2) disusun berdasarkan basis
kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya.
(4) RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan
yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan
APBN/APBD.
b. Penganggaran
(1) BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD
untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran
SKPD, atau Rancangan APBD.
(2) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disertai dengan usulan
standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan
dihasilkan.
(3) RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala
SKPD diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan
kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran
SKPD, atau Rancangan APBD.
(4) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji
kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan
RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD
sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD.
(5) BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar
penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.
2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran BLU (DIPA/DPA)
(1) RBA BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 nomor (5) PP No.23
Tahun 2005 digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen
50 | P a g e
pelaksanaan anggaran BLU untuk diajukan kepada Menteri
Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dokumen pelaksanaan anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada
nomor (1) paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja,
proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang
akan dihasilkan oleh BLU.
(3) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember
menjelang awal tahun anggaran.
(4) Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada
nomor (3) belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan
kewenangannya, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi
sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu.
(5) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri
Keuangan/PPKD sebagaimana dimaksud pada nomor (3) menjadi
lampiran dari perjanjian kinerja (semacam “Petunjuk Operasional/PO-
BLU”) yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan
lembara/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
dengan pimpinan BLU yang bersangkutan.
(6) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri
Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana
dimaksud pada nomor (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang
bersumber dari APBN/APBD oleh BLU.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pengajuan, penetapan,
perubahan RBA dan dokumen pelaksanaan anggaran BLU diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
3. Pendapatan dan Belanja
1) Pendapatan
(1) Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan
sebagai pendapatan BLU.
51 | P a g e
(2) Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada
masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau
badan lain merupakan pendapatan operasional BLU.
(3) Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan
pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan.
(4) Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya
merupakan pendapatan bagi BLU.
(5) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan
nomor (4) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai
RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PP No. 23 Tahun 2005.
(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (2), nomor (3), dan
nomor (4) dilaporkansebagai pendapatan negara bukan pajak(PNBP)
kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah.
2) Belanja
(1) Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya
yang dituangkan dalam RBA definitif.
(2) Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan
kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah
pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat.
(3) Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada nomor (2)
berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA.
(4) Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana
dimaksud pada nomor (3) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan
/gubernur /bupati/ walikota atas usulan menteri/pimpinan lembaga/kepala
SKPD, sesuai dengan kewenangannya.
(5) Dalam hal terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan
tambahan anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD
melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya.
(6) Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
52 | P a g e
4. Pengelolaan Kas
1) Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai
berikut:
a) merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;
b) melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan
c) menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
d) melakukan pembayaran;
e) mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan
f) memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan
tambahan.
2) Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat.
3) Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan
menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada nomor 1) huruf c dibuka oleh
pimpinan BLU pada bank umum.
5) Pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf f
dilakukan sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan
risiko rendah.
5. Pengelolaan Piutang dan Utang
1) Pengelolaan Piutang
(1) BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang,
jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak
langsung dengan kegiatan BLU.
(2) Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis,
transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah,
sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(3) Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat
yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang.
(4) Kewenangan penghapusan piutang secara berjenjang sebagaimana
dimaksud pada nomor (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri
53 | P a g e
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Pengelolaan Utang
(1) BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional
dan/atau perikatan peminjaman dengan pihak lain.
(2) Utang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis,
transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang
sehat.
(3) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka
pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional.
(4) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka
panjang ditujukan hanya untuk belanja modal.
(5) Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara
berjenjang berdasarkan nilai pinjaman.
(6) Kewenangan peminjaman sebagaimana dimaksud pada nomor (5) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
(7) Pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud pada nomor (1)
merupakan tanggung jawab BLU.
(8) Hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun
sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-
undang.
6. Investasi
(1) BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas
persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan
pendapatan BLU.
7. Pengelolaan Barang
a. Pengadaan
(1) Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi
dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.
54 | P a g e
(2) Kewenangan pengadaaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada
nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam
Peraturan MenteriKeuangan/gubernur/bupati/walikota.
b. Pengelolaan
(1) Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau
dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis.
(2) Pengalihan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada nomor (1)
dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan.
(3) Penerimaan hasil penjualan barang inventaris sebagai akibat dari
pengalihan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan
pendapatan BLU.
(4) Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris sebagaimana
dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan nomor (3) dilaporkan kepada
menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait.
(5) BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali
atas persetujuan pejabat yang berwenang.
(6) Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana
dimaksud pada nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan
jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan
sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan pendapatan BLU.
(8) Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud
pada nomor (2) dan nomor (3) dilaporkan kepada mnteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD terkait.
(9) Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung
dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(10) Tanah dan bangunan BLU disertifikatkan atas nama Pemerintah
Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
(11) Tanah dan bangunan yang tidak digunakan BLU untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsinya dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan
55 | P a g e
lembaga/kepala SKPD terkait dengan persetujuan Menteri Keuangan
/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
8. Penyelesaian Kerugian
Setiap kerugian negara/daerah pada BLU yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah.
9. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan
a. Sistem Informasi
BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan
kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat.
b. Sistem Akuntansi
(1) Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen
pendukungnya dikelola secara tertib.
(2) Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang diterbitkan oleh Asosiasi
profesi akuntansi Indonesia.
(3) Dalam hal tidak terdapat standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada
nomor (2), BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang
spesifik setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(4) BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan
mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis
layanannya dan ditetapkan oleh
menteri/pimpinanlembara/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
c. Pelaporan
(1) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 nomor
(2) PP No. 23 Tahun 2005, setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi
anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas
laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja.
(2) Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU
dikonsolidasikan dalam laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada
nomor (1).
56 | P a g e
(3) Lembar muka laporan keuangan unit-unit usaha sebagaimana dimaksud
pada nomor (2) dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU.
(4) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1)
disampaikan secara berkala kepada menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, untuk
dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disampaikan
kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD serta kepada Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.
(6) Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
laporan pertanggungjawaban keuangan kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(7) Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan
kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
(8) Laporan pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa
ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Akuntabilitas Kinerja
(1) Pimpinan BLU bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU
sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.
(2) Pimpinan BLU mengihktisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU
secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 nomor (1)PP Nomor 23 Tahun 2005.
11. Surplus dan Defisit
a. Surplus
Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya
kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai
dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum
Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.
57 | P a g e
b. Defisit
(1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun
anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat
mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU
dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.
F. Tata Kelola, Pembinaan Dan Pengawasan
1. Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian
a. Kelembagaan
Dalam hal instansi pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya
untuk menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dari instansi
pemerintah tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh
menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
b. Pejabat Pengelola
(1) Pejabat pengelola BLU terdiri atas:
a) Pemimpin;
b) Pejabat keuangan; dan
c) Pejabat teknis.
(2) Pemimpin sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf a berfungsi
sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang
berkewajiban:
a) menyiapkan rencana strategis bisnis BLU;
b) menyiapkan RBA tahunan;
c) mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan
d) menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan
keuangan BLU.
(3) Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf b)
berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban:
58 | P a g e
a) mengkoordinasikan penyusunan RBA;
b) menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU;
c) melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;
d) menyelenggarakan pengelolaan kas;
e) melakukan pengelolaan utang-piutang;
f) menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi
BLU;
g) menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; dan
h) menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
(4) Pejabat teknis BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c)
berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing
yang berkewajiban:
a) menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;
b) melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan
c) mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya.
c. Kepegawaian
(1) Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai
negeri sipil dan/atau tenaga profesional non pegawai negeri sipil sesuai
dengan kebutuhan BLU.
(2) Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai
BLU yang berasal dari pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
nomor (1) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang kepegawaian.
2. Pembinaan dan Pengawasan
1) Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala
SKPD terkait.
2) Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD sesuai
dengan kewenangannya.
3) Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan
nomor (2) dapat dibentuk dewan pengawas.
4) Pembentukan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada nomor (3)
berlaku hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut
59 | P a g e
laporan realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi
syarat minimum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
5) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan
keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan.
6) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah daerah dibentuk dengan
keputusan gubernur/bupati/walikota atas usulan kepala SKPD.
3. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern yang
merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pemimpin BLU.
2) Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh pemeriksa ekstern
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Remunerasi
1) Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan
remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan
profesionalisme yang diperlukan.
2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada nomor 1) ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.
5. Ketentuan Lain
(1) Investasi yang telah dimiliki atau dilakukan oleh instansi pemerintah pada
badan usaha dan/atau badan hukum sebelum ditetapkan menjadi PPK-BLU
dianggap telah mendapat persetujuan investasi dari Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005 pada
saat instansi pemerintah dimaksud ditetapkan menjadi PPK-BLU.
(2) Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, status Badan Usaha
Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) beralih menjadi
instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
6. Ketentuan Peralihan
(1) Perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara dengan kekayaan
negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan PPK-BLU setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5
PP No. 23 Tahun 2005.
60 | P a g e
(2) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, Badan
Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) yang
statusnya beralih menjadi PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (2) PP No.23 Tahun 2005, wajib melakukan penyesuaian.
(3) Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan BLU berlaku paling lambat 31 Desember 2005.
Latihan Soal:
1. Dikatakan bahwa “……Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005,
status Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan)
beralih menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU…..”. Jelaskan
ciri-ciri Perusahaan Jawatan (Perjan) tersebut, kelebihan dan kekurangannya.
2. Banyak Perguruan tinggi berupaya meraih status Badan Hukum Milik Negara tapi
mengapa ITS 10 Nopember Surabaya lebih memilih menerapkan PPK-BLU?
Jelaskan.
3. Pengelolaan Keuangan BADAN LAYANAN UMUM tertuang dalam UU NO.1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69. Jelaskan apa
yang menjadi idea dasar dari PPK-BLU tersebut.
4. Jelaskan korelasi antara Tarif Layanan dengan:
a. kontinuitas dan pengembangan layanan;
b. daya beli masyarakat;
c. asas keadilan dan kepatutan; dan
d. kompetisi yang sehat.
5. Dalam pelaksanaannya PPK-BLU ada kelebihan dan kekurangannya. Jelaskan.
61 | P a g e
BAB
PENGELOLAAN BMN
A. Pengertian Barang Milik Negara
1. Barang milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah
2. Barang milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah
3. Perolehan yang sah meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Dasar Hukum Pengelolaan BMN
1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
2. pasal 48 ayat (2) dan pasal 49 ayat (6) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006jo PP Nomor 38 Tahun 2008
8
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami
Pengertian Barang Milik Negara, Dasar Hukum Pengelolaan BMN, Azas dan Lingkup
Pengelolaan BMN, Pejabat Pengelola BMN, Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran,
Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian,
Penghapusan, Pemindahtangan, Penatausahaan, Pengendalian dan Pengawasan serta
Ganti Rugi dan Sanksi
62 | P a g e
C. Azas dan Lingkup Pengelolaan BMN
1. Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas:
fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai.
2. Pengelolaanbarang milik negara/daerah meliputi: (disebut Siklus Barang)
a. perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
b. pengadaan;
c. penggunaan;
d. pemanfaatan;
e. pengamanan dan pemeliharaan;
f. penilaian;
g. penghapusan;
h. pemindahtanganan;
i. penatausahaan;
j. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
D. Pejabat Pengelola BMN
1. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola barang
milik Negara
2. Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik
daerah. (istilah saya: “Pemegang Kuasa Pengelola Barang Milik Daerah).
3. Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah
pengguna barang milik negara.
4. Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa
pengguna barang milik negara dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.
5. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah kuasa pengguna barang milik
daerah dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.
E. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran
1. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian negara/Lembaga/satuan kerja perangkat
daerah (RKA-KL-SKPD) setelah memperhatikan ketersediaan barang milik
negara/daerah yang ada.
63 | P a g e
2. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan
standar harga.
3. Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau
dinas teknis terkait.
4. Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan
oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya.
5. Pengguna barang menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik
negara/daerah kepada pengelola barang.
6. Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usultersebut dengan
memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang
untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik
Negara/Daerah(RKBMN/D).
F. Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan
1. Pengadaan
Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-
prinsip: efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/ tidak
diskriminatif dan akuntabel. (catatan: Lihat Keppres 80 Th 2003 jo Perpres 54
Th 2010)
Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.( catatan: Lihat PP No. 36 Tahun 2005
>Perpres 36/2005)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang
milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden.
2. Penggunaan
a. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) barang milik negara oleh pengelola barangdengan cara sebagai berikut:
Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya
kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan
Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status
penggunaan barang milik negara dimaksud.
64 | P a g e
2) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikotadengan tata cara sebagai
berikut:
Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya
kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan;
Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul
penggunaan dimaksud kepada gubernur/bupati/walikota untuk ditetapkan
status penggunaannya.
b. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah, dapat juga untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam
rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi
kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.
c. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan
ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk
kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang
dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan.
d. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah
dan/atau bangunan yang tidak digunakan kepada:
1) pengelola barang untuk barang milik negara; atau
a) gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik
daerah.Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah
dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena
sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi
instansi bersangkutan.
b) Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah
dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena
sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi
instansi bersangkutan.
2) Dalam menetapkan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan
dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan;
b) hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.
65 | P a g e
3) Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut:
ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya;
dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah;
dipindahtangankan
Pengguna barang milik negara yang tidak menyerahkan tanah
dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan
tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola
barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan
tanah dan/atau bangunan dimaksud.
Pengguna barang milik daerah yang tidak menyerahkan tanah
dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan
tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan kepada
gubernur/bupati/walikota dikenakan sanksi berupa pembekuan dana
pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud.
Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai dengan Pasal
16 ayat (1) dicabut penetapan status penggunaannya.
3. Pemanfaatan
a. Kriteria Pemanfaatan:
1) Pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud (dalam ayat:” Pengelola barang menetapkan barang
milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh
pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan
tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan “) dilaksanakan oleh pengelola
barang.
2) Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud (dalam ayat:” Gubernur/bupati/walikota menetapkan
barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan
oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk
menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan”)
dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota.
66 | P a g e
3) Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan
yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang
dengan persetujuan pengelola barang.
4) Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.
5) Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan
pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan
kepentingan umum
b. Bentuk-bentuk Pemanfaatan
1) Sewa
(1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan denganbentuk:
a) penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang
sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola;
b) penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bengunan yang
sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada
gubernur/bupati/walikota;
c) penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih
digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (3) PP 6/2006;
d) penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau
bangunan.
(2) Penyewaan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.
(3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota.
(4) Penyewaan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah
mendapat persetujuan pengelola barang.
(5) Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain
sepanjang menguntungkan negara/daerah.
67 | P a g e
(6) Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima
tahun dan dapat diperpanjang.
(7) Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut, ditetapkan pada:
a) barang milik negara oleh pengelola barang;
b) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota.
(8) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-
menyewa,yang sekurang-kurangnya memuat:
a) pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
b) jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu;
c) tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan
selama jangka waktu penyewaan;
d) persyaratan lain yang dianggap perlu.
(9) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya
wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.
2) Pinjam Pakai
(1) Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah.
(2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua
tahun dan dapat diperpanjang.
(3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-
kurangnya memuat:
a) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;
b) jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu;
c) tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan
selama jangka waktu peminjaman;
d) persyaratan lain yang dianggap perlu.
3) Kerjasama Pemanfaatan
Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain
dilaksanakan dalam rangka:
a) mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah
b) meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.
68 | P a g e
Bentuk Kerja Sama
(1) Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan
dengan bentuk:
a) kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau
bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada
pengelola barang;
b) kerja sama pemanfaatan barang milik daerah atas tanah dan/atau
bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada
gubernur/bupati/ walikota;
c) kerja sama pemfaatan atas sebagian tanah dan /atau bangunan yang
masih digunakan oleh pengguna barang;
d) kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain
tanah dan/atau bangunan,
(2) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.
(3) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang
setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota.
(4) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana
dimaskud dalam ayat (1) huruf c dan d dilaksanakan oleh pengguna
barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
Ketentuan Kerjasama
(1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerahdilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalamAnggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya
operasional/pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap
barang milik negara/daerah di maksud;
b) mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali
untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat
dilakukan penunjukan langsung;
69 | P a g e
c) mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke
rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan
hasil kerjasama;
d) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan
hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim
yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
e) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan
hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola
barang;
f) selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemafaatan
dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik
negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatn;
g) jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun
sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
(2) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama
pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah.
4) Bangun Guna Serah Dan Bangun Serah Guna ( BGS dan BSG )
(1) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah
dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi
penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan
pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi; dan
b) Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah untk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.
(2) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik Negara
sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola
barang.
(3) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola
barang setelah mendapat pesetujuan gubernur/bupati/walikota.
70 | P a g e
(4) Tanah yang status penggunaanya ada pada pengguna barang dan telah
dapat direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pengguna barang yang bersangkutan dapat dilakukan bangun guna serah
dan bangun serah guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada:
a) pengelola barang untuk barang milik negara;
b) gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah.
(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna sebagaimaa dimaksud pada
ayat (4) dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan
pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok
dan fungsinya.
Penetapan
Penetapan status penggunaan barang milik negara/ daerah sebagai hasil dari
pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan oleh:
(1) pengelola barang untuk barang milik negara, dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga
terkait;
(2) gubernur/ bupati/ walikota untuk barang milik daerah, dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah
tekait.
Jangka Waktu
(1) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama
tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani.
(2) Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna
dilaksanaka melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-
kurangnya lima peserta/ peminat.
(3) Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah
ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi
kewajiban sebagai berikut:
a) membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/ daerah setiap
tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim
yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
b) tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahkantangankan
objek bangun guna serah dan bangun serah guna;
71 | P a g e
c) memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna.
(4) Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagai barang milik negara/daerah
hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan
langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.
(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan
surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:
a) pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
b) objek bangun guna serah dan bangun serah guna;
c) jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna;
d) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
e) persyaratan lain yang dianggap perlu.
(6) Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah
guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah
daerah.
(7) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun
guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Penyerahan
(1) Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek
bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu
pegoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional
pemerintah.
(2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek
bangun guna serah kepada gubernur/bupati/ walikota pada akhir jangka
waktu pegoperasian, setelahdilakukan audit oleh aparat pegawasan
fungsional pemerintah.
(3) Bangun serah guna barang milik kekayaan negara dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) mitra bangun serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah
guna kepada pengelola barang segera setelah selesainya
pembangunan;
b) mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara
tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;
72 | P a g e
c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah
guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional
pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh pegguna
barang.
(4) Bangun serah guna barang milik kekayaan daerah dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan
serah guna kepada gubernur/ bupati/ walikota segera setelah
selesainya pembangunan;
b) mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara
tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;
c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah
guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional
pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh gubernur/
bupati/walikota;
Lain-Lain
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang
milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
4. Pengamanan
a. Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib
melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam
penguasaannya.
b. Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a
meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum.
Sertifikasi/Bukti Kepemilikan
(1) Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.
(2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti
kepemilkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah
yang bersangkutan.
(3) Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukit kepemilikan atas nama pengguna barang
73 | P a g e
(4) Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukit kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang bersangkutan.
Filling/Penyimpanan
(1) bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib
dan aman.
(2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/ atau
bangunan dilakukan oleh pengelola barang.
(3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/ atau
bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang.
(4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola
barang.
5. Pemeliharaan
a. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas
pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya.
b. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada huruf a berpedoman pada Daftar
Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB).
c. Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah.
Evaluasi
(1) Kuasa pengguna anggaran wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang
yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampakan daftar
hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala.
(2) Pengguna barangatau pejabat yang ditunjuk ,meneliti laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang
yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan
evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/ daerah.
G. Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan.
1. Penilaian
Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan
neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik
negara/ daerah.
74 | P a g e
Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan
neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP):
a. Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka
pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh
pengelola barang.
b. Penilaian barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan dalam
rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan
oleh gubernur/ bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang
ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota.
c. Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah
menggunakan NJOP.
d. Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan bditetapkan oleh:
pengelola barang untuk barang milik negara;
gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah
2. Pelaksanaan
a. Penilaian barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dalam rangka
pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan
oleh pengguna barang.
b. Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka
pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh
pengelola barang.
c. Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar.
d. Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan bditetapkan oleh:
pengguna barang untuk barang milik negara;
pengelola barang untuk barang milik daerah.
75 | P a g e
3. Penghapusan
Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:
a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna;
b. penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah.
(1) Penghapusan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal
41 huruf (a), dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah
tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna
barang;
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
penerbitan surat keutusan penghapusan dari:
pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk
barang milik negara;
pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota
atas usul pengelola barang untuk barang milik daerah.
(3) Pelaksanaan atas penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang.
Penghapusan diikuti dengan pemusnahan:
(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf b dilakukan dalam hal barang milik
negara/daerah di maksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan
atau karena sebab-sebab lain.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
penerbitan surat keputusan penghapusan dari:
pengelola barang untuk barang milik negara;
pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota
untuk barang milik daerah.
Persyaratan Penghapusan diikuti dengan pemusnahan:
(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan
dilakukan apabila barang milik negara/ daerah dimaksud:
tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat
dipindahtangankan; atau
alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.
76 | P a g e
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk
barang miliki negara;
pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah
mendapat persetujuan ubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan
dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang.
4. Pemindahtanganan
Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tidak lanjut atas penghapusan barang
milik negara/daerah meliputi:
a) penjualan;
b) tukar-menukar;
c) hibah;
d) penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.
(1) Pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
untuk:
a) tanah dan/atau bangunan;
b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat
persetujuan DPR.
(2) Pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
untuk:
a) tanah dan/atau bangunan;
b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD.
(3) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a
tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila:
a) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
b) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah
disediakan dalam dokumen penganggaran;
c) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
d) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
77 | P a g e
e) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan, yang jika statuskepemilikannya dipertahankan tidak layak secara
ekonomis.
Proses Perolehan Persetujuan:
(1) Usul untuk memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1) diajukan oleh pengelola barang.
(2) Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota.
Pelaksanaan Pemindahtanganan:
(1) Pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a) untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat
persetujuan Presiden;
b) untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola
barang;
(2) Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang
setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
Pemindahtanganan untuk selain tanah dan bangunan:
(1) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang
bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan
oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola
barang.Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan
yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang
setelahmendapat persetujuan Presiden;
(2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diajukan oleh pengelola barang.Pemindahtanganan barang milik daerah
selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan
78 | P a g e
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah
mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
e. Penjualan
1) Barang
(1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan
pertimbangan:
untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle;
secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual;
sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.
(2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang,kecuali
dalam hal-hal tertentu.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
barang milik negara/daerah yang bersifat khusus;
barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh
pengelola barang.
2) Tanah dan Bangunan
(1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan oleh:
pengelola barang untuk barang milik negara;
pengelola barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan oleh:
pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang
untuk barang milik negara;
pengelola barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
3) Selain Barang, Tanah dan Bangunan
(1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf(a)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang
untuk diteliti dan dikaji;
79 | P a g e
b) pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola
barang;
c) pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan
oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;
d) pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau
tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna
barang dalam bataskewenangannya;
e) untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden atau DPR,
pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan
pertimbangan atas usulan dimaksud;
f) penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk
penjualan sebagaimana dimaksud pada butir e dilakukan setelah
mendapat persetujuan Presiden atau DPR.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b
dilakukan denagn ketentuan sebagai berikut:
a) pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola
barang;
b) pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan
oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;
c) pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau
tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna
barang dalam batas kewenangannya;
d) untuk penjualan yang memerlukan persetujuan
gubernur/bupati/walikota atau DPRD, pengelola barang mengajukan
usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud.
(3) Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk
penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan setelah
mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD.
(4) Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke
rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah.
f. Tukar Menukar (Ruistlaag)
(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan
pertimbangan:
80 | P a g e
a) untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan;
b) untuk optimalisasi barang milik negara/daerah; dan
c) tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah.
(2) Tukar menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak:
a) pemerintah daerah;
b) badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah
lainnya;
c) swasta.
(3) Tukar menukar barang milik daerah dapat dilakukan dengan pihak:
a) pemerintah pusat;
b) badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah
lainnya;
c) swasta.
Wujud Tukar Menukar
(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa:
a) tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola
barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk
barang milik daerah;
b) tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak
sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
c) barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.
(2) Penetapan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang akan
dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:
a) pengelola barang untuk barang milik negara;
b) gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas
kewenangannya.
(3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
oleh:
a) pengelola barang untuk barang milik negara;
b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
81 | P a g e
(4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan
oleh:
a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara;
b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan
oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengelola barang mengkaji perlunya tukar menukar tanah dan/atau
bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
b) pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan
dipertukarkan sesuai batas kewenangannya;
c) tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses
persetujuan dengan berpedomam pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (1)
dan Pasal 48 ayat (1);
d) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti
harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai
alasan/pertimbangan, kelengkapan data, data hasil pengkajian tim intern
instansi pengguna barang;
b) penegelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut
dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola
barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai dengan batas
kewenangannya;
d) pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman
pada persetujuan pengelola barang;
e) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti
harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
82 | P a g e
Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana berikut:
a) pengelola barang mengajukan usul tukar menukar tanah dan/atau
bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai alasan/pertimbangan,
dan kelengkapan data;
b) gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji alasan.pertimbangan
perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis,
ekonomis, dan yuridis;
c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku,
gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menyetujui dan
menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan;
d) tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses
persetujuan dengan berpedoman pada kententuan pada Pasal 46 ayat (2)
dan Pasal 48 ayat (2);
e) pengelola barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman
pada persetujuan gubernur/bupati/walikota;
f) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti
harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) buruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai
alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern
instansi pengguna barang;
b) pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut
dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola
barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas
kewenangannya;
d) pengguna barang melaksanakan tukar-menukar dengan berpedoman
pada persetujuan pengelola barang;
e) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti
harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
83 | P a g e
g. Hibah
(1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk
kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan
pemerintahannegara/daerah.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a) bukan merupakan barang rahasia negara;
b) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak;
c) tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan
penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.
Wujud Hibah:
(1) Hibah barang milk negara/daerah dapat berupa:
a) tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola
barang untuk barang milik negara dan ubernur/bupati/walikota untuk
barang milik daerah;
b) tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan
untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;
c) barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.
(2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan
yang akan dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan oleh:
a) pengelola barang untuk barang milik negara;
b) gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas
kewenangannya.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:
a) pengelola barang untuk barang milik negara;
b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 91) huruf b dilaksanakan oleh:
a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelolabarang untuk
barang milik negara;
b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
84 | P a g e
(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh
pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
Pasal 60
(1) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkanpertimbangan dan
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;
b) pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan
dihibahkan sesuai batas kewenangannya;
c) proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada
ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);
d) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan
dalam berita acara serah terima barang.
(2) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai
dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim
intern instansi pengguna barang;
b) pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;
c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola
barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas
kewenangannya;
d) pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada
persetujuan pengelola barang;
e) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan
dalam berita acara serah terima barang.
Pasal 61
(1) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengelola barang mengajukan usul hibah tanah dan/atau bangunan
kepada gubernur/bupati/walikota disertai dengan alasan/pertimbangan,
dan kelengkapan data;
85 | P a g e
b) gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji berdasarkan
pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58;
c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang
berlaku,gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk
menetapkan dan/atau menyetujui tanah dan/atau bangunan yang akan
dihibahkan;
d) proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada
ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);
e) pengelola barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada
persetujuan Gubernur/bupati/walikota;
f) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan
dalam berita acara serah terima barang.
(2) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pengguna barang mengajukan usulan kepada PengelolaBarang disertai
alas an/pertimbangan, kelengkapan data,dan hasil pengkajian tim intern
instansi pengguna barang;
b) pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan
syarat sebagaimana dimaksud dalam
c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlak,pengelola barang
dapat mempertimbangkan untukmenyetujui sesuai batas
kewenangannya;
d) pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedomanpada
persetujuan pengelola barang;
e) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan
dalam acara serah terima barang.
5. Penatausahaan
a. Pembukuan
(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus melakukan pendaftaran
dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa
Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan
dan kodefikasi barang.
86 | P a g e
(2) Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik
negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik
Negara/Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi
barang.
(3) Penggolongan dan kodefikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Penggolongan dan kodefikasi barang daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat
pertimbangan Menteri Keuangan.(Pasal 67)
b. Penyimpanan
(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus menyimpan dokumen
kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan
yang berada dalam penguasaannya.
(2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau
bangunan yang berada dalam pengelolaannya. (Pasal 68)
c. Inventarisasi
(1) Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah
sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), terhadap barang milik negara/daerah
yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang
melakukan inventarisasi setiap tahun.
(3) Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola barang selambat-
lambatnyatiga bulan setelah selesainya inventarisasi.(Pasal 69)
Ketentuan inventarisas:
Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa
tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurang-
kurangnya sekali dalam lima tahun. (Pasal 70)
d. Pelaporan
(1) Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna
Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan
(LBKPT)untuk disampaikan kepada pengguna barang.
87 | P a g e
(2) Pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Pengguna Semesteran
(LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan
kepada pengelola barang.
(3) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah
(LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan.
(4) Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna
Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik
Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunansebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah
(LBMN/D) berdasarkan hasil penghimpun-an laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).(Pasal 71).
e. Bahan Pembuatan Neraca
Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah
pusat/daerah. (Pasal 72).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan barang milik Negara diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan.(Pasal 73)
H. Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan
1. Pengendalian
(1) Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap
penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada di
bawah penguasaannya.
(2) Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna
barang.
(3) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat
pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan
dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
88 | P a g e
(4) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai ketentuan perundang-
undangan.(Pasal 75).
2. Pengawasan
(1) Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi
atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan
barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan,
pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai
ketentuan yang berlaku.
(2) Sebagai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola
barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit
atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan
barang milik negara/daerah.
(3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-
undangan. (Pasal 76)
3. Pembinaan
(1) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik
negara/daerah.
(2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan
pengelolaan barang milik negara.
(3) Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan
pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan
sebagaimana ayat (1).
I. GANTI RUGI dan SANKSI
(1) Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian,
penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik
negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
(2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
89 | P a g e
REFERENSI:
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA(STATE PROPERTY MANAGEMENT)
Oleh: Pokja RPP Pengelolaan BMN/D pada KPMK
A. PENGANTAR
BMN/D memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi
konflik kepentingan. Gambaran umum pengelolaan BMN/D selama ini adalah:
1. Belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status
kepemilikannya
2. Belum tersedianya database yang akurat dalam rangka penyusunan Neraca
Pemerintah.
3. Pengaturan yang ada belum memadai dan terpisah-pisah.
4. Kurang adanya persamaan persepsi dalam hal pengelolaan BMN/D.
Makalah ini dimaksudkan untuk menguraikan mengenai pokok-pokok pengaturan
pengelolaan Barang Milik Negara sesuai UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta arah penyusunan pedoman pelaksanaan di bidang
pengelolaan BMN, sebagai tindaklanjut dari UU No. 1 Tahun 2004.
B. PENGATURAN PENGELOLAAN BMN SESUAI UU 1/2004 DAN UU 17/2003
Undang-undang No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan pengelolaan BMN
dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Adapun pokok-pokok pengaturan
pengelolaan BMN sesuai Undang-undang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44
UU No. 1/2004), yang selanjutnya perlu pengaturan yang jelas mengenai hak dan
kewajiban antara pengelola dan pengguna;
2. Barang Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004).
Dengan demikian, pemanfaatan BMN oleh pengguna diarahkan untuk
penyelenggaraan Tupoksi masing-masing.
3. Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah
mendapat persetujuan DPR (Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).
90 | P a g e
4. Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas adalah untuk
pemindahtanganan BMN yang berupa tanah dan bangunan, dengan beberapa
pengecualian. Persetujuan DPR juga diperlukan untuk pemindahtanganan BMN
diluar tanah dan bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah). Sedangkan pemindahtanganan BMN diluar tanah dan
bangunan yang bernilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan Presiden, dan yang bernilai sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan Menteri Keuangan (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2004).
5. Penjualan BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal
48 UU No. 1 Tahun 2004).
6. BMN yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan
atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 2004). Yang perlu diatur lebih lanjut adalah apakah sertifikasi
tanah tersebut atas nama Pemerintah RI atau atas nama Pemerintah RI c.q
Menteri Keuangan atau atas nama Pemerintah RI c.q. instansi/
kementerian/lembaga pengguna , karena masing-masing alternatif memiliki
implikasi yang berbeda. Demikian juga untuk sertifikasi tanah-tanah pemerintah
daerah. Dalam kaitannya dengan sertifikasi tanah dalam penjelasan pasal 49
ayat (1) UU No. 1/2004 diamanatkan perlunya pengaturan pelaksanaan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara berkoordinasi dengan
lembaga yang bertanggungjawab di bidang pertanahan;
7. Bangunan Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004).
8. Khusus untuk tanah dan bangunan (pasal 49 ayat (3)) apabila tidak dimanfaatkan
untuk menunjang Tupoksi wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan.
9. BMN dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas
tagihan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilarang digadaikan
atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang untuk
dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf c dan d UU
No. 1 Tahun 2004).
91 | P a g e
10. Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan BMN diatur
dengan peraturan pemerintah (Pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004).
C. BATASAN PENGATURAN DALAM RPP
1. Negara
Pengertian atau batasan ”Negara” dalam kata ”Barang Milik Negara (BMN)”
adalah Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga
adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No.
17/2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
2. Barang Milik Negara (BMN)
Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak
terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada
Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang
belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan
terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang
dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat
lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sedangkan untuk barang-
barang yang berasal dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas,
mana yang termasuk sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-
barang yang berasal dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut
ketentuan perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah
ditetapkan sebagai Barang Milik Negara .
3. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1
Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan
Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya,
perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan,
penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut
merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik
negara/daerah (asset management cycle).
92 | P a g e
D. LANDASAN PEMIKIRAN PENGELOLAAN BMN
Landasan-landasan pemikiran yang digunakan dalam pengaturan
pengelolaan BMN meliputi:
1. Landasan Filosofi
Hakekat BMN/D merupakan salah satu unsur penting penyelenggaraan
pemerintahan dalam kerangka NKRI untuk mencapai cita-cita dan tujuan berbangsa
dan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh
karena itu, pengelolaan BMN/D perlu dilakukan dengan mendasarkan pada perturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan
dimaksud.
2. Landasan Operasional
Landasan Operasional Pengelolaan BMN/D lebih berkaitan dengan
kewenangan institusi atau Lembaga Pengelola/Pengguna Barang milik negara, yang
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pengelolaan Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD
1945 adalah Negara adalah badan penguasa atas barang negara dengan
hak menguasai dan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Instansi pengelolanya adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang
diberikan wewenang untuk itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional,
Tambang oleh Departemen Sumber Daya Mineral dan Energi, laut dan
kekayaannya oleh Departemen Kelautan dan sebagainya. Pengaturan atas
pengelolaan barang milik negara dalam ruang lingkup ini telah diatur dalam
berbagai undang-undang.
Pengelolaan Barang milik negara yang bersumber pada pasal 23 UUD 1945
adalah Negara sebagai Pemerintah Republik Indonesia yang dapat memiliki
barang atau sesuatu sebagai aset kekayaan pemerintah dengan tujuan untuk
menjalankan roda pemerintahan. Instansi pengelola adalah Presiden yang
didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan instansi pengguna adalah
kementerian negara/lembaga.
3. Landasan Yuridis
Acuan dasar dalam pengelolaan BMN/D tertuang dalam UU No. 17 Tahun
2003 dan UU No 1 Tahun 2004, khususnya Bab VII dan Bab VIII pasal 42 s/d pasal
93 | P a g e
50. Untuk itu seluruh Peraturan Perundang-undangan yang ada perlu dikaji kembali
termasuk penerapannya untuk disesuaikan dengan acuan trsebut di atas.
4. Landasan Sosiologis
Rasa ikut memiliki ( sense of bilonging ) masyarakat terhadap BMN/D
merupakan wujud kepercayaan kepada pemerintah yang antara lain diwujudkan
dalam bentuk keterlibatannya dalam merawat dan mengamankan BMN/D dengan
baik. Namun, masih ditemui adanya pandangan sebagian anggota masyarakat
bahwa BMN adalah milik rakyat secara bersama, yang diwujudkan adanya usaha-
usaha untuk memanfaatkan dan memiliki BMN/D tanpa memperhatikan kaidah-
kaidah hukum yang berlaku, misalnya penguasaan, penyerobotan, atau penjarahan
tanah-tanah negara. Pengaturan yang memadai mengenai pengelolaan BMN/D
antara lain diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengamanan dan optimalisasi pendayagunaan BMN/D dengan selalu mendasarkan
pada kaidah-kaidah atau ketentuan yang berlaku.
E. AZAS-AZAS PENGELOLAAN BMN
Pengelolaan BMN dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai
berikut:
1. Azas fungsional
Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah dibidang
pengelolaan BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai
fungsi, wewenang, dan tangung jawab masing-masing.
2. Azas kepastian hukum
Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan
perundang-undangan, serta azas kepatutan dan keadilan.
3. Azas transparansi (keterbukaan)
Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri
terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang
benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN.
4. Efisiensi
Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang
diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan Tupoksi pemerintahan secara
optimal.
94 | P a g e
5. Akuntanbilitas publik
Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertaggungjawabkan kepada
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.
6. Kepastian nilai
Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN.
Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam Penyusunan Neraca
Pemerintah dan pemindahtanganan BMN.
F. LINGKUP PENGATURAN PENGELOLAAN DALAM RPP
Untuk merumuskan siklus yang lebih lengkap, maka ruang lingkup Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang sedang dalam
proses pembahasan, yang khusus terkait dengan pengelolaan BMN meliputi:
1. Pengertian, maksud dan tujuan, asas-asas, lingkup BMN;
2. Pejabat pengelolaan BMN, yang berkedudukan sebagai pengelola, dan
pengguna BMN beserta hak dan kewajibannya);
3. Perencanaan Kebutuhan dan Pengadaan, yang terkait dengan perencanaan
kebutuhan BMN dan perolehan (kegiatan atau proses suatu kekayaan/barang
menjadi BMN), terutama yang berasal dari pengadaan;
4. Penguasaan, Penetapan Status dan Penggunaan, mengenai ketentuan
penetapan BMN pihak yang berhak menggunakan dan batasan hak,
kewenangan dan kewajiban dalam penggunaan BMN.
5. Pemanfaatan, yang berisi tentang ketentuan pemanfaatan BMN, pihak yang
berhak menentukan pemanfaatan BMN, dan batasan hak, kewenangan dan
kewajiban dalam pemanfaatan BMN;
6. Pengamanan, yang berisi tentang pengaturan pengamanan dari segi
administrasi, hukum dan fisik;
7. Penilaian, tentang ketentuan mengenai penilaian BMN dalam rangka
pemanfaatan, pemindahtanganan, dan pelaporan BMN;
8. Penghapusan, mengenai pertimbangan penghapusan, tindak lanjut
penghapusan, dan prosedur penghapusan;
9. Pemindahtangan, mengenai ketentuan-ketentuan mengenai penjualan,
pertukaran, hibah, penyertaan pemerintah atas BMN;
95 | P a g e
10. Penatausahaan, pengaturan tentang pendataan atas seluruh kekayaan yang ada
pada seluruh kementerian negara/lembaga baik di lingkungan Pemerintah Pusat
dan kekayaan yang ada pada pihak lain, misalnya BUMN dan Badan Usaha
lainnya; kegiatan pencatatan dan pembukuan; dan kegiatan pelaporan;
11. Pengawasan/Pengendalian, pengaturan tentang pengawasan atau pengendalian
atas penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN;
12. Sanksi/Tuntutan Ganti Rugi terkait dengan pengelolaan BMN
G. TAHAP PENYELESAIAN PENYUSUNAN RPP
Tahap-tahap yang telah dilaksanakan dalam penyusunan RPP dimaksud
meliputi:
1. Seminar ”Naskah Akademis”;
2. Menghimpun masukan-masukan dari nara sumber terkait;
3. Penyusunan pointers pengaturan di bidang pengelolaan BMN;
4. Drafting materi ke dalam RPP
Tahapan-tahapan berikutnya dalam penyelesaian RPP meliputi:
1. Penyelesaian drafting RPP dan penyempurnaan legal draftingnya
2. Seminar draft RPP
3. Penyeahan RPP kepada KPMK sampai dengan penyelesaian menjadi PP pada
Sekretariat Negara;
96 | P a g e
Rangkuman
Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak
terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada
Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang
belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan
terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang
dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1
Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan
Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya,
perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan,
penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut
merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik
negara/daerah (asset management cycle).
Latihan Soal
1. Apa yang dimaksud dengan BMN?
2. sebutkan dasar hukum pengelolaa BMN?
3. Sebutkan dan jelaskan azas-azas pengelolaan BMN?
97 | P a g e
BAB
ASPEK LEGAL PENGADAAN
BARANG DAN JASA (1)
A. Penunjukkan kepada Pengguna Barang/Jasa
1. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui:
a. Swakelola; dan/atau
b. pemilihan Penyedia Barang/Jasa.
2. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini meliputi:
a. Barang;
b. Pekerjaan Konstruksi;
c. Jasa Konsultansi; dan
d. Jasa Lainnya.
3. Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. efisien;
b. efektif;
c. transparan;
d. terbuka;
e. bersaing;
f. adil/tidak diskriminatif; dan
g. akuntabel.
Ketika DIPA sudah di sahkanKegiatan yang harus dilakukan adalah penerbitan
Surat Keputusan Penunjukan Pengguna Barang/Jasa
1) Setelah menerima SK Penunjukan pengguna barang/jasa, KPA (dalam hal ini
sebagai pejabat pengadaan) yang ditujuk melalui kewenangan PA, segera
9
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami
berbagai aspek legal dalam pengadaan barang dan jasa.
98 | P a g e
membuat persiapan-persiapan yang berhubungan dengan tugas dan
fungsinya.
2) Pengguna barang/jasa (dalam hal ini KPA) diharuskan mengetahui
pentingnya perencanaan
3) KPA mengetahui tugas pokok dan syarat-syarat sebagai pengguna
barang/jasa
4) PA mengawasi pelaksanaan anggaran
5) Perencanaan pangadaan barang/jasa (termasuk PBJ secara swakelola)
mulai dari spesifikasi teknis Barang/Jasa; Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
rancangan Kontrak dilaksanakan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen)
B. Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan
1. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyusun team kerja dengan
memperhatikan syarat-syarat pembentukannya sesuai dengan Perpres no 54
tahun 2010.
2. Perencanaan pengadaan
Lingkup perencanaan:
a. PA/KPA membuat rencana umum dan pembiayaan pengadaan;
b. PPK membuat rencana (teknis)termasuk spesifikasi, HPS, dan hal-hal yang
bersifat teknis lainnya pengadaan;
c. ULP membuat rencana pelaksanaan (pelelangan/seleksi) pengadaan.
3. Perpres 54/2010 mewajibkan pembentukan ULP dapat diselesaikan paling lambat
pada tahun 2014 dan berbentuk struktural di seluruh K/L/D/I serta dibentuk
berdasarkan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan
Institusi.
4. Anggota Kelompok kerja ULP:
a. Berjumlah gasal minimal 3(tiga) orang
b. Dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan.
c. Dapat dibantu aanwijzer
5. Dalam penyusunan Panitia/Pejabat Pengadaanharus memperhatikan:
a. Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai
paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh
ULP atau 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan.
99 | P a g e
b. Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh ULP atau 1
(satu) orang Pejabat Pengadaan.
c. Pengadaan Langsung dilaksanakan oleh 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan.
6. Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan memenuhipersyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalammelaksanakan tugas;
b. memahami pekerjaan yang akan diadakan;
c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugasULP/Pejabat
Pengadaan yang bersangkutan;
d. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
e. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabatyang menetapkannya
sebagai anggota ULP/PejabatPengadaan;
f. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuaidengan
kompetensi yang dipersyaratkan; dan
g. menandatangani Pakta Integritas.
7. Tugas pokok dan kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan meliputi:
a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. menetapkan Dokumen Pengadaan;
c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website K/L/D/I
masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta
menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan
Nasional;
e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau
pascakualifikasi;
f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran
yang masuk;
g. khusus untuk ULP:
1) menjawab sanggahan;
2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
100 | P a g e
a) Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau
b) Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa
Konsultansi yang bernilaipaling tinggi Rp10.000.000.000,00
(sepuluhmiliar rupiah);
3) menyerahkan salinan Dokumen Pemilihan PenyediaBarang/Jasa kepada
PPK;
4) menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
C. Pemaketan Pekerjaan
Kegiatan yang harusdilakukanadalah:PejabatPenggunaBarang/Jasa bersama
Panitia penggadaan barang/jasa wajib memaksimalkan penggunan produksi dalam
negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil
1. Pengguna barang/jasa diwajibkan:
a. menetapkan sebanyak-banyaknyapaket usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha
Kecil serta koperasikecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan
sehat,kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis.
b. PA mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa di masing-
masing K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja
dan anggaran K/L/D/I disetujui oleh DPR/DPRD.
2. Pengguna barang/jasa dilarang:
a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yangtersebar di beberapa
lokasi/daerah yang menurut sifatpekerjaan dan tingkat efisiensinya
seharusnya dilakukandi beberapa lokasi/daerah masing-masing;
b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis
pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya
dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil;
c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud
menghindari pelelangan; dan/atau
d. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif
dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
101 | P a g e
3. Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan
a. Jadual pelaksanaan pekerjaan meliputi: pelaksanaan pemilihan penyedia
barang/jasa, waktu mulai dan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, dan waktu
serah terima akhir hasil pekerjaan;
b. Pembuatan jadual pelaksanaan pekerjaan disusun sesuai dengan waktu
yang diperlukan serta dengan memperhatikan batas akhir tahun
anggaran/batas akhir efektifnya anggaran.
4. Biaya Pengadaan:
Pengguna barang/jasa wajib menyediakan biaya yang diperlukan untuk
proses pengadaan.
D. Penetapan sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa
Kegiatan yang haru sdilakukan adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Metoda Pemilihan Penyedia Barang Jasa Pemborongan/Jasa
Lainnya:
a. Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa pemborongan/Jasa lainnya:
1) Pelelangan
a) Pelelangan Umum
b) Pelelangan Sederhana
Untuk pengadaan Barang/JasaLainnya yang:
Tidak kompleks
Bernilai ≤ Rp. 200 juta
Pasca kualifikasi
Pengumuman min 3 hari
2) Penunjukan Langsung
3) Pengadaan Langsung(Untuk pengadaan ≤ Rp.100 jt)
4) Sayembara/Kontes
b. Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi:
1) Seleksi
a) Seleksi Umum
b) Seleksi Sederhana
2) Penunjukan Langsung
3) Pengadaan Langsung
102 | P a g e
4) Sayembara
2. PenetapanmetodaPenyampaianDokumenPenawaran:
a. Metoda Satu sampul
1) Untuk pelaksanaan Seleksi Sederhana
2) Untuk metode evaluasi pagu anggaran dan biaya terendah
b. Metoda dua sampul
1) Tidak dapat digunakan untuk pengadaan Pekerjaan Konstruksi.
c. Metoda Dua
1) Tidak dapat digunakan utk pengadaan Jasa Konsultansi
2) Tidak ada penyetaraan teknis
3. Metode evaluasi penawaran
a. Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Barang / Pekerjaan
Konstruksi / Jasa Lainnya terdiri atas:
1) sistem gugur;
2) sistem nilai; dan
3) sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.
b. Metode evaluasi penawaran untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya pada prinsipnya menggunakan penilaian sistem gugur.
c. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks,
dapat menggunakan metode evaluasi sistem nilai atau metode evaluasi penilaian
biaya selama umur ekonomis.
d. Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi dapat
dilakukan dengan menggunakan:
e. metode evaluasi berdasarkan kualitas;
1) mengutamakan kualitas penawaran teknis sebagai faktoryang menentukan
terhadap hasil/manfaat (outcome) secara keseluruhan; dan/atau
2) lingkup pekerjaan yang sulit ditetapkan dalam KAK
f. metode evaluasi berdasarkan kualitas dan biaya;
1) lingkup, keluaran (output), waktu penugasan dan hal-hal lain dapat
diperkirakan dengan baik dalam KAK; dan/atau
2) besarnya biaya dapat ditentukan dengan mudah, jelas dan tepat.
103 | P a g e
g. metode evaluasi berdasarkan Pagu Anggaran;
1) sudah ada aturan yang mengatur (standar);
2) dapat dirinci dengan tepat; atau
3) anggarannya tidak melampaui pagu tertentu.
h. metode evaluasi berdasarkan biaya terendah.
digunakan untuk pekerjaan yang bersifat sederhana dan standar.
Rangkuman
Pada prinsipnya PBJ dilakukan melalui pelangan umum. Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa dilakukan melalui:
1. Swakelola; dan/atau
2. pemilihan Penyedia Barang/Jasa.
Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. efisien;
2. efektif;
3. transparan;
4. terbuka;
5. bersaing;
6. adil/tidak diskriminatif; dan
7. akuntabel
Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa Pemborongan/Jasa lainnya:
1. Pelelangan
a. Pelelangan Umum
b. Pelelangan Sederhana
2. Penunjukan Langsung
3. Pengadaan Langsung(Untuk pengadaan ≤ Rp.100 jt)
4. Sayembara/Kontes
Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi:
1. Seleksi
a. Seleksi Umum
b. Seleksi Sederhana
2. Penunjukan Langsung
104 | P a g e
3. Pengadaan Langsung
4. Sayembara
Metode evaluasi penawaran
Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Barang / Pekerjaan
Konstruksi / Jasa Lainnya terdiri atas:
1. sistem gugur;
2. sistem nilai; dan
3. sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.
Latihan Soal
1. Mengapa diperlukan PBJ?
2. Sebutkan dasar hukum PBJ?
3. Sebutka dan uraikan apa yang mejadi tanggungjawab panitia pengadaan?
4. Sebutkan dan jelaskan metoda evaluasi penawaran pengadaan PBJ?
105 | P a g e
BAB
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN
TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (1)
A. Pengertian Umum
1. Pemeriksaan:adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang
dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan
informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2. Pengelolaan Keuangan Negara: adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola
keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
3. Tanggung Jawab Keuangan Negara: adalah kewajiban Pemerintah untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
B. Lingkup Pemeriksaan
1. Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
2. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
3. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan
oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara( a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan
tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
10
0 Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan menguasai
pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
106 | P a g e
c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f.
Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/ perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai
oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau
kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah).
4. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan
undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada
BPK dan dipublikasikan.
5. Pemeriksaan sebagaimana dimaskud dalam nomor 1 dan 2 diatas terdiri atas
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.
6. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
7. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara
yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan
aspek efektivitas.
8. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk
dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada nomor (6) dan (7).
9. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor (3) dan (4) dilaksanakan
berdasarkan standar pemeriksaan.
10. Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada nomor (9) disusun oleh BPK,
setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
C. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
1. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar
umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib
dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa.
2. Standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana dimaksud sekurang-
kurangnya memuat (persyaratan) hal-hal sebagai berikut:
107 | P a g e
a. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah,
atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan jajaran pimpinan objek
pemeriksaan;
b. Pemeriksa tidak mempunyai kepentingan keuangan baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan objek pemeriksaan;
c. Pemeriksa tidak pernah bekerja atau memberikan jasa kepada objek
pemeriksaan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
d. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan kerja sama dengan objek
pemeriksaan; dan
e. Pemeriksa tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
kegiatan objek pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultansi,
pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereview laporan keuangan
objek pemeriksaan.(Pasal 31 ayat 4 UU 15 Tahun 2006 tentang BPK)
D. Pelaksanaan Pemeriksaan
1. Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan,
penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian
laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.
2. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan,
saran, dan pendapat lembaga perwakilan.
3. Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana
dimaksud pada nomor (4.2.), BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan
pertemuan konsultasi.
4. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor
(4.1.), BPK dapat pula mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank
sentral, dan masyarakat.
5. Pemanfaatan Kinerja Aparat Pemeriksa Intern
a. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat
pengawasan intern pemerintah.
b. Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan hasil
pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.
108 | P a g e
c. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan
pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas
nama BPK
E. Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan
1. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
2. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan
segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas
yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam
pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
3. melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen
pengelolaan keuangan negara;
4. meminta keterangan kepada seseorang;(dapat melakukan pemanggilan kepada
seseorang).
5. memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu
pemeriksaan;
6. Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan
pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern
pemerintah.
F. Investigasi Dan Temuan Kasus Pidana
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap
adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
1. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan
hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
bersama oleh BPK dan Pemerintah.
109 | P a g e
Rangkuman
Pengelolaan Keuangan Negara: adalah keseluruhan kegiatan pejabat
pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Tanggung Jawab Keuangan Negara: adalah kewajiban Pemerintah untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Patokan
untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar
pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa disebut dengan
Standar Pemeriksaan. Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan
pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta
penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan
mandiri oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Latihan Soal
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan pengelolaan tanggungjawab
keuangan Negara? Sebutkan landasan hukumnya.
2. Bagaimana batas lingkup kewenangan pemeriksaan pengelolaan keuangan
Negara?
3. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana, langkah-
langkah apa yang harus dilakukan oleh pemeriksa?
110 | P a g e
BAB
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN
TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (2)
A. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut
1. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP):
a. Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai
dilakukan.
b. Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim
pemeriksaan.
c. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
d. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi.
e. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
f. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan,
kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada
laporan hasil pemeriksaan.
2. Tindak Lanjut LHP (Penyampaian LHP):
(1)Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.
(2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah
disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
11
Tujuan Instruksional Khusus:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan menguasai
tentang hasil pemeriksaan dan tindak lanjut
111 | P a g e
(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada
DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
(6)Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(7) Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur bersama
oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.
3. Penyampaian LHP ke DPR:
(1) Ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang
bersangkutan.
(2) Ikhtisar hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.
(3) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga
perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum.
(4) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan
perundangundangan.
4. Tindak Lanjut LHP:
(1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
(2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang
tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
(3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima.
112 | P a g e
(4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5)Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan
semester.
5. Tindak Lanjut DPR:
(1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan
melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.
(2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti
hasil pemeriksaan.
(3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3).
B. Pengenaan Ganti Rugi.
1. Prosedur Ganti Rugi:
(1) BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu
pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi,
setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang
merugikan keuangan negara/ daerah.
(2) Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya
ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian negara/daerah kepada bendahara bersangkutan.
(4) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.
(5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan
113 | P a g e
perseroanyang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur
dalam undang-undang tersendiri.
2. Penyelesaian Ganti Rugi:
(1) Menteri /pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan
negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan
penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah
dimaksud.
(2) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
C. Ketentuan Pengenaan Pidana.
1. Sanksi Pidana Bagi Pejabat Atau Aparat:
a. Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan
dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk
kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 (yakni: a. meminta
dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara; b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset,
lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali
dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang
perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya; c. melakukan penyegelan
tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan
negara; d. meminta keterangan kepada seseorang; e. memotret, merekam
dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
b. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau
menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
114 | P a g e
10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
c. Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
d. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen
yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Sanksi Pidana Bagi Pemeriksa(1):
a. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang
diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan sebagaiamana dimaksud
dalam Pasal 10 melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b. Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan
kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan /atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
3. Sanksi Pidana Bagi Pemeriksa <dan Terperiksa>(2):
a. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan
yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam ) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
b. Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti
rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima
ratus juta rupiah).
115 | P a g e
D. Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ).
1. Pengertian-pengertian:
a. Badan Pemeriksa Keuangan,: yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga
negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2. Keanggotaan:
a. BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan
dengan Keputusan Presiden.
b. Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota.
c. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR.
d. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
e. BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang
akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
3. Tugas-Tugas BPK:
(1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara.
(3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
116 | P a g e
(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan
ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib
disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
(5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan
pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai
dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK.
4. Wewenang BPK:
a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun
dan menyajikan laporan pemeriksaan;
b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara;
c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik
negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha
keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,
surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;
d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan Negara (SPKN) setelah
konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib
digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara;
f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang
bekerja untuk dan atas nama BPK;
117 | P a g e
h. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah.
5. Tindak Lanjut LHP BPK:
(1) BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya.
(2) DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing
lembaga perwakilan.
(3) Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota
BPK atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD
diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai
dengan kewenangannya.
(5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka
untuk umum.
6. Ketentuan Pidana:
(1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan
yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU 15-2006 tentang BPK huruf a
(yakni: Anggota BPK dilarang: a. memperlambat atau tidak melaporkan hasil
pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang
berwenang), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi
dan/atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan
tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud
118 | P a g e
dalam Pasal 28 UU 15-2006 tentang BPK huruf b (yakni: Anggota BPK
dilarang: b. mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau
dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang
melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang
terkait dengan dugaan adanya tindak pidana), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Rangkuman
Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tindak Lanjut LHP (Penyampaian LHP):
(1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.
(2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah
disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
Tindak Lanjut LHP: Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil
pemeriksaan.
Latihan Soal
1. Bagaimana prosedur penetapan ganti rugi? Jelaskan!
2. Bagaimana penerapan sanksi bagi pemeriksa yang dalam pelaksanaan tugasnya
melakukan perbuatan melawan hukum?
3. Bagaimana penanganan atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)?
119 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Pertama: Buku Teks
Richard , A. Musgrave dan B. Musgrave Peggy. Keuangan Negara Dalam Teori Dan
Praktik. Edisi Kelima . Jakarta: Erlangga. 1991.
Suparmoko. Keuangan Negara. Edisi 5. Yogyakarta: BPFE, 2000.
Bagian Kedua: Dokumen Publik
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke Empat.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
120 | P a g e
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Rencana Kerja
Dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga.
Perauturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Uang
Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Instansi Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.02/2006 Tentang Persyaratan
Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi
Pemerintah Untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum.
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara.
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan omor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.