Download - Hubungan Industrial - j. Punuhsingon
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah
adanya perjanjian kerja. Dalam pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan
hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian,
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh.1
Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan Kesepakatan Kerja
Bersama (KKB) / Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada. Demikian halnya dengan
peraturan perusahaan, substansinya tidak boleh bertentangan dengan KKB/PKB.
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidtovereenkoms, mempunyai beberapa
pengertian. Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut :
“Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu buruh, mengikatkan
diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan dengan upah selama
waktu yang tertentu.” 2
UU No. 13 Tahun 2003 pasal 1 angka 14 memberikan pengertian, yakni : “Perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.”3
Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja, adalah sebagai berikut:
a. Adanya unsur work atau pekerjaan
b. Adanya Unsur Perintah
c. Adanya Upah
Sedangkan syarat sahnya Perjanjian Kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam UU
1 Lalu Husni, SH., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 53.
2 Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. II, 1999, hal. 382.3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, CV. Tamita Utama, Jakarta, 2003, hal. 6.
1
No. 13 Tahun 2003 pasal 52 ayat (1), yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat
atas dasar :
1. Kesepakatan kedua belah pihak ;
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan umum,
kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban pekerja/buruh dalam pasal
1603,1603a, 1603b dan 1603c yang pada intinya adalah sebagai berikut :
1. Pekerja/buruh wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas
utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian, dengan
seizin pengusaha dapat diwakilkan. Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja sangat
pribadi karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan
perundangan-undangan, jika pekerja meninggal dunia maka hubungan kerja berakhir
dengan sendirinya (PHK demi hukum).
2. Pekerja/buruh wajib menaati aturan dan petunjuk majikan; dalam melakukan
pekerjaan pekerja/buruh wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha.
Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan
perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.
3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika pekerja/buruh melakukan
yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai
dengan prinsip hukum, pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.
Pada pihak pengusaha mempunyai kewajiban yang harus dilakukan, antara lain:
1. Kewajiban membayar upah;
2. Kewajiban memberikan istirahat/cuti;
3. Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan;
4. Kewajiban memberikan surat keterangan.
Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar manajemen organisasi
perusahaan yang dijalankan oleh seorang manager untuk menempatkan pekerja sebagai
pihak yang selalu diatur, namun meliputi baik di dalam maupun di luar tempat kerja yang
berkaitan dengan pengaturan hubungan kerja.
2
Di Indonesia industrial relations merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.4
Konflik menurut Ronny Hanitijo, “adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak-
pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan
dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya
masing-masing”.5
Sedangkan menurut Joni Emirzon, memberikan pengetian “konflik/perselisihan/
percekcokkan adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang
akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerjasama”. 6
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalahnya adalah sebagai berikut:
Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan dan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Menurut UU No. 2 Tahun 2004.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan Hubungan Industrial.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai
4 Lalu Husni, SH., M.Hum., Penyelesaian Hubungan Industrial, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.5 Ronny Hanitijo, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Majalah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1984, hal. 2.6 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 2.
3
pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi data itu.
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.
BAB IIPENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BERDASARKAN UU NO. 2 TAHUN 2004
4
A. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
1. Jenis Perselisihan hubungan Industrial
Menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi:
a. Perselisihan hak;
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adany perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama (pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004).
b. Perselisihan kepentingan;
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama pasal 1 angka 3 UU No. 2
Tahun 2004).
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja;
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak (pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004).
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (pasal 1 angka 5 UU No. 2
Tahun 2004).
5
2. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan
a. Penyelesaian melalui Bipartit
UU No. 2 Tahun 2004 mengharuskan setiap perselisihan hubungan industrial yang
terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mufakat (pasal 3) Perundingan Bipartit adalah perundingan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Penyelsaian secara bipartit dalam kepustakaan mengenai Alternative Disputes
Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara negosiasi. Secara umum
negosiasi berarti upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan tanpa
melibatkan pihak lain dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar
kerjasama yang harmonis dan kreatif.
Tata cara penyelesaian secara bipartit (negosiasi) dalam UU No. 2 Tahun 2004
diatut dalam pasal 6 dan 7, yang pada intinya adalah:
a) Perundingan untuk mencari penyelesaian secara musyawarah
untuk mencapai mufakat yang dilakukan oleh para pihak harus dibuatkan
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
b) Jika musyawarah yang dilakukan mencapai kesepakatan
penyelesaian, dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
c) Perjanjian Bersama tersebut bersifat mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
d) Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang
melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan
Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
e) Apabila Perjanjian Bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh
salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama di daftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi.
6
f) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan
Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk
diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Alternatif, disebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikat baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara
litigasi di pengadilan negeri (pasal 6 ayat 1).
3. Penyelesaian Melalui Mediasi
Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan melalui seorang penengah yang
disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak
ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak
yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang
disengketakan.
UU No. 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Mediasi Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (pasal 1 angka 11)
Sedangkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disaebut mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan (pasal 1 angka 12).
7
4. Penyelesaian Melaui Konsiliasi
Penyelesaian melalui konsiliasi ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang
atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan
atau memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihannya secara damai. Konsiliator ikut serta secara aktif memberikan solusi
terhadap masalah yang diperselisihkan.
Dalam UU No. 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa Konsiliasi Hubungan Industrial
yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawaraha yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral (pasal 1 angka 13).
Sedangkan Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disaebut mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan
oleh menteri untuk bertugas melakukan konsiliasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
(pasal 1 angka 14).
5. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur dalam UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
berlaku di bidang sengketa bisnis. Karena itu arbitrase hubungan industrial yang
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 merupakan peraturan khusus bagi
penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial, sesuai dengan asas hukum
lex specialis derogat lex generali.
UU No. 30 Tahun 1999 memberikan definisi arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan atas suatu
8
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa
(pasal 1 angka 1).
B. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
1. Wewenang Absolut
Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perkara-perkara tersebut
haruslah perkara yang merupakan kewenangannya. Menurut Sudikno Mertokusumo
(1998:78) yang dimaksud dengan kompetensi absolut atau wewenang mutlak lembaga
peradilan adalah wewenang lembaga pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik
dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama). Misalnya kewenangan peradilan umum (negeri) adalah
memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan
pidana.
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum. Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut dari
Pengadilan Hubungan Industrial disebutkan dalam pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004,
yakni Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:
a. Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak.
b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
c. Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
d. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Berikut ini adalah alur penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU
No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
9
Kasasi pada Mahkamah Agung
Selain wewenang absolut sebagaimana disebutkan diatas, dalam hukum acara perdata
juga dikenal wewenang nisbi atau kompetensi relatif dari pengadilan, untuk menjawab
pertanyaan: Pengadilan manakah yang berwenang mengadili suatu sengketa?
Jawabannya disebutkan dalam pasal 118 ayat 1 HIR (Het Herziene Inlandsch
Reglement= Reglement Indonesia yang diperbaharui), pasal 142 ayat 1 Rbg
(Rechtsreglement Buitengewesten (Reglement Hukum Acara Untuk Daerah Luar Jawa
dan Maduara) bahwa Pengadilan di tempat tinggal/alamat tergugat yang berwenang
memeriksa suatu gugatan. Ketentuan ini sangat bijaksana karena seorang tergugat
tidak dapat dipaksa menghadap ke pengadilan tempat tinggal penggugat karena belum
tentu terbukti kebenarannya atau dikabulkan oleh pengadilan. Selain itu harus
dihormati hak-hak dari tergugat dan harus dianggap pihak yang benar sampai ada
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan tersebut berlaku untuk perkara perdata pada umumnya, sedangkan
mengenai wewenang nisbi atau kompetensi relatif dari Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Pengadilan Hubungan Industrialpada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja yang memeriksa suatu gugatan
(pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004).
2. Hakim -hakim Ed-Hoc dan Hakim Kasasi
Para Pihak Dalam Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian Melalui Mediasi, Konsiliasi Yang Tidak Berhasil
10
Tingkat Pertama Mengenai Perselisihan Hak, dan Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja
Tingkat Pertama dan Terakhir Mengenai
Perselisihan Antarserikat
Pekerja/Buruh Dalam Satu Perusahaan
Pengadilan Hubungan Industrial
Sebagai organ pengadilan, hakim memegang peranan penting dalam rangka
penegakkan hukum dan keadilan. Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrialterdiri
dari hakim karier pada Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc yakni hakim yang pengangkatannya atas usul serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan
Ketua MA (pasal 61).
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden
atas usul Ketua MA. Calon Hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua MA dan nama yang
disetujui oleh menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi
pengusaha.
Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan, sebagai:
a. Anggota Lembaga Tertinggi Negara.
b. Kepala Daerah/Kepala Wilayah.
c. Lembaga legislatif tingkat daerah.
d. Pegawai Negeri Sipil.
e. Anggota TNI/Polri.
f. Pengurus Partai Politik.
g. Pengacara.
h. Mediator.
i. Konsiliator.
j. Arbiter; atau
k. Pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.
Jika ada Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud di atas,
jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
3. Sub-Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Kepaniteraan dalam pengadilan merupakan salah satu bagian yang penting khususnya
dalam penyelenggaraan administrasi pengadilan maupun jalannya persidangan.
11
Karena itu UU No. 2 Tahun 2004 mengatur mengenai hal ini mulai pasal 74 s.d pasal
80.
Pada Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial, dibentuk
Sub-Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang
Panitera Muda. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda dibantu oleh beberapa
orang Panitera Pengganti.
Sub-Kepaniteraan mempunyai tugas:
a. Menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan
Industrial, dan
b. Membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku
perkara.
Sub-Kepaniteraan bertanggungjawab atas penyampaian pemberitahuan putusan dan
penyampaian salinan putusan.
Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Perrsyaratan, tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Panitera Mudan dan Panitera Muda Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita
Acara. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera
Pengganti.
4. Pengajuan Gugatan
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Umum dilakukan dengana pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pembuatan surat gugatan dalam sengketa perdata di pengadilan harus dilakukan secara
jelas dan cermat.
HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) atau Rbg hanya mengatur mengenai cara
mengajukan gugatan, sedangkan persyaratan mengenai isis dan gugatan tidak ada
ketentuannya. Kekurangan ini diatasi oleh adanya pasal 119 HIR/pasal 143 Rbg yang
12
memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasihat atau
bantuan kepada pihak penggugat dalam mengajukan gugatan. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap (Sudikno
Mertokusumo, 1998:50).
Ketentuan mengenai persyaratan isi gugatan dapat dijumpai dalam pasal 8 No. 3 Rv.
(Reglement op de Rechtsvordering), yang menetapkan gugatan harus memuat:
1. Identitas para pihak.
Identitas para pihak maksudnya adalah cirri-ciri dari penggugat dan tergugat,
meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat dan lain-lain yang dianggap perlu
dapat dicantumkan pada bagian ini
2. Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan-alasan tuntutan atau yang dikenal dengan istilah
fundamentum petendi.
Fundament petendi terdiri dari dua bagian yakni bagian yang menguraikan tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum.
Uraian tentang kejadian-kejadian merupakan penjelasan tentang duduk perkara,
sedangkan uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hubungan hukum
yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
3. Tuntutan atau petitum
Tuntutan atau petitum adalah apa yang oleh penggugat minta atau harapkan agar
diputuskan oleh hakim. Jadi petitum ini akan mendapatkan jawabannya didalam
dictum atau amar putusan.
5. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
UU No. 2 Tahun 2004 mengatur secara lengkapmengenai tata cara pemeriksaan di
persidangan. Pasal 57 menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus
dalam UU ini. Dengan demikian, terhadap hal-hal yang sudah diatur dalam UU No. 2
Tahun 2004, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam UU yang bersangkutan,
13
sedangkan terhadap hal-hal yang belum diatur, berlaku ketentuan dalam hukum acara
perdata yakni HIR/Rbg.
UU No. 2 Tahun 2004 menyebutkan, dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja
sejak penetapan Majelsi Hakim, Ketua Majelsi Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama (pasal 89 ayat 1).
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan
dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir (pasal 89
ayat 2). Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kelurahan atau
Kepala Desa yang di daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil
atau tempat kediaman terakhir. (pasal 89 ayat 3). Penerimaan surat panggilan oleh
pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda
penerimaan. (pasal 89 ayat 4). Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman
terakhir tidak dinekal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di
gedung Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang memeriksanya (pasal 89
ayat 5).
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna
diminta dan didengar keterangannya (pasal 90 ayat 1). Barang siapa yang diminta
keterangan oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk keperluan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU ini, wajib memberikan tanpa syarat,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan (pasal 9
ayat 1).
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelsi Hakim menetapkan hari sidang
berikutnya (pasal 93 ayat 1). Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud di atas
ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja terhitung sejak tanggal
penundaan (pasal 93 ayat 2). Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau
para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 kali penundaan (pasal 93 ayat 3).
14
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut
tidak datang menghadap pengadilan pada hari sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam ayat 3, maka gugatan dianggap gugur. Namun penggugat berhak
mengajukan gugatan sekali lagi (pasal 94 ayat 1). Dalam hal pihak tersebut atau kuasa
hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap pengadilan
pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, Majelis Hakim
dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat. (pasal 94 ayat2).
Sidang majelis hakim terbuka untuk umum. Ini berarti setiap orang boleh mengikuti
jalannya persidangan sebagai wujud fungsi kontrol sosial terhadap jalannya
persidangan yang dilaksanakan. Apabila para pihak sebelumnya tidak menguasakan
kepada seorang wakil, di muka sidang pertama tersebut mereka dapat menguasakan
secara lisan kepada seorang wakil, dan harus dicatat dalam berita acara sidang.
Selanjutnya hakim harus mengusahakan mendamaikan kedua belah pihak yang
bersengketa (pasal 130 HIR, 154 Rbg). Apabila berhasil mendamaikan, hakim dapat
memberikan putusan perdamaian yang menghukum para pihak untuk memenuhi isis
perdamaian yang telah dicapai yang sesungguhnya merupakan perdamaian, sehingga
bersifat final. Jika para pihak tidak berhasil didamaikan haruslah dimulai dengan
pembacaan gugatan (pasal 131 ayat 1, 155 ayat 1 Rbg).
Dalam hukum acara perdilan hubungan industrial, dimungkinkan pada sidang pertama,
bilamana nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003, mengenai
tindakan scorsing bagi pekerja/buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap
wajib membayar upah serta hak-hak lainnya yang seharusnya diterima pekerja/buruh
(pasal 96 ayat 1). Jika putusan sela tersebut tidak dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim
Ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan
Hubungan Industrial serta terhadap sita jaminan tersebut tidak dapat diajukan
perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Sesuai dengan asas dalam peradilan perdata, hakim bersifat pasif, putusan sela tersebut
tidak serta merta dijatuhkan tetapi harus dimohon oleh pihak penggugat dalam
gugatannya.
15
Atas gugatan penggugat, tergugat diberi kesempatan untuk memberi jawabannya di
persidangan, baik secara tertulis maupun lisan. Apabila dilakukan secara tertulis,
terhadap jawaban tergugatn, penggugat diberi kesempatan untuk memberikan
tanggapannya yang disebut replik. Terhadap replik dari penggugat, tergugat dapat
memberikan tanggapannya yang disebut duplik.
Acara jawab menjawab (replik, duplik) ini menurut Sudikno Mertokusumo
(1998:122) dimaksudkan untuk mengetahui dan menentukan pokok perkara. Jika
acara jawab menjawab sudah selesai dan dianggap cukup oleh hakim, tahapan
berikutnya adalah pembuktian.7
6. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang
berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada
Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat (pasal 98
ayat 1). Dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonannya tersebut
(pasal 98 ayat 2). Terhadap penetapan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
Jika permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan
Negeri dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), menetapkan majelis hakim, hari, tempat dan
waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan (pasal 99 ayat 1). Tenggang waktu
untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak
melebihi 14 hari kerja.
Ketentuan diatas tidak menjelaskan alasan pemeriksaan perkara secara cepat, jika
hanya para pihak memiliki kepentingan yang sangat mendesak yang nantinya akan
dinilai oleh pengadilan dari alasan permohonan yang diajukan. Pemeriksaan perkara
dengan acara cepat ini dilakukan maksimal 14 hari kerja. Sedangkan untuk
penyelesaian dengan acara biasa dilakukan paling lambat 50 hari kerja terhitung sejak
hari sidang pertama.
7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 122.
16
Dalam perkara perdata umum tidak dikenal acara pemeriksaan cepat, semua perkara
diselesaikan dengan menggunakan acara pemeriksaan biasa. Pemeriksaan cepat
dikenal dalam perkara pidana untuk pemeriksaan tindak pidana ringan denganb
ancaman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling tinggi Rp. 7.500, demikian
juga dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
7. Pembuktian
Pembukti merupakan proses yang sangat penting dalam persidangan untuk mengetahui
kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh para pihak dalam persidangan. Kebenaran
dari suatu peristiwa ini hanya dapat diperoleh melalui pembuktian. Untuk dapat
menjatuhkan putusan yang adil, hakim harus mengenal peristiwa yang telah
dibuktikan kebenarannya. Dalam beberapa hal peristiwanya tidak perlu dibuktikan
oleh hakim misalnya:
1. Dalam hal dijatuhkannya putusan verstek karena
tergugat tidak datang meskipun sudah dipanggil secara patut. Dalam hal ini
peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugatan tanpa diadakan
pembuktian dianggap benar dan tanpa mendengar serta di luar hadirnya pihak
tergugat dijatuhkan putusan verstek oleh hakim.
2. Jika tergugat mengakui gugatan penggugat, peristiwa
yang menjadi sengketa yang diakui tersebut dianggap telah terbukti, karena
pengakuan merupakan alat bukti sehingga tidak memerlukan pembuktian lebih
lanjut.
3. Telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat
menentukan, peristiwa yang menjadi sengketa yang dimintakan sumpah dianggap
terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
4. Secara ex officio hakim dianggap mengenal peristiwanya
sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Misalnya peristiwa notoir, yakni
peristiwa yang sudah diketahui oleh umum sehingga tidak perlu pembuktian lebih
lanjut. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah Proklamasi Kemerdekaan RI. Demikian
juga dengan kejadian prosesual di persidangan yang dianggap telah diketahui oleh
hakim sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, misalnya pihak tergugat
mengakui gugatan, pihak penggugat mengajukan alat bukti, dan seterusnya.
17
5. Pengetahuan tantang pengalaman yakni berupa
kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum yang digunakan untuk menilai
peristiwa yang diajukan atau yang telah dibuktikan. Misalnya pekerja/buruh yang
sedang malakukan aksi pemogokan sudah pasti tidak dapat melakukan pekerjaan.
6. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
yang mempunyai makna memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan. Dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya
pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup
segala kemungkinan dari bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian
konvensional yang bersifat khusus. Dengan demikian pembuktian dalam arti
yuridis tidak menju kepada kebenaran yang bersifat mutlak.
Menurut Hukum Acara Perdata, hakim terikat oleh alat-alat bukti yang sah, yang
berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh UU. Alat-alat bukti dalam acara perdata sebagaimana disebutkan
dalam pasal 164 HIR jo. pasal 284 Rbg jo. Pasal 1866 BW (Burgerlijk Wetboek
atau Kitab UU Hukum Perdata, adalah:
1. Alat bukti tertulis.
2. Saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan, dan
5. Sumpah.
8. Putusan
Untuk mengetahui sesuatu sengketa atau perkara, hakim harus mengetahui terlebih
dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dari proses
pembuktian. Setelah suatu persitiwa dinyatakan terbukti, hakim harus menemukan
hukum dari peristiwa yang disengketakan.
Dalam kepustakaan kita mengenal beberapa aliran penemuan hukum, misalnya aliran
Legisme. Aliran ini satu-satunya sumber hukum adalah UU sehingga hakim terikat
pada UU, sedangkan peradilan terikat pada penerapan UU dalam suatu peristiwa
18
konkret. Yang penting dalam aliran ini adalah kepastian hukum. Hal ini senada dengan
Ajaran Trias Politica dari Montesqieu, juga ajaran kadaulatan rakyat dari Rousseau,
dan ajaran kedaulatan hukum dari Krabbe.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di perisdangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengekta antara para pihak.
Dalam pasal 100 UU No. 2 Tahun 2004, disebutkan bahwa dalam mengambil putusan
Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan
keadilan.
Putusan Majelis Hakim dibacarakn dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 100 ayat
1), dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1, ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk
menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut (pasal
100 ayat 2).
9. Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus
menyampaikan secara tertulis melalui Sub-Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat (Pasal 111). Sub-Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling lama paling lama 14 hari
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan
berkas perkara kepada Mahkamah Agung (pasal 112). Majelis Hakim Kasasi terdiri
atas 1 orang Hakim Agung dan 2 orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan
mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada MA yang ditetapkan oleh
Ketua MA (pasal 113). Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan
hak, dan perselisihan PHK oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 114). Penyelesaian pada tingkat kasasi
dilakukan selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi (pasal 115).
Peraturan mengenai tata cara kasasi ini diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, yang menyebutkan bahwa kasasi dapat diajukan oleh para pihak
19
yang berkepentingan atau dapat diwakilkan kepada seseorang yang diberi kuasa secara
khusus (pasal 44). Permohonan kasasi diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah
putusan dibacakan atau diberitahukan. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang
waktu tersebut tidak dapat diterima. Demikian pula halnya bagi pemohon kasasi yang
tidak mengajukan risalah kasasi mengakibatkan tidak diterimanya permohonan kasasi
karena di dalam risalah itulah dikemukakan keberatan-keberatan atau alas an-alasan
diajukannya kasasi, tanpa alasan/keberatan ini kasasi dianggap tidak sungguh-sungguh
(Yurisprudensi MA tanggal 22 Maret 1972, No. 1322 K/Sip/1971).
Alasan-alasan hukum yang dapat dipergunakan sebagai alas an diajukannya kasasi
disebutkan dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985, yaitu karena:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas kewenangannya.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Dari alasan-alasan tersebut jelaslah bahwa pemeriksaan di tingkat kasasi tidak lagi
memeriksa tentang duduk perkara atau faktanya, tetapi tentang hukumnya, sehingga
terbukti atau tudaknya suatu peristiwa tidak akan diperiksa. Penilaian mengenai
pembuktian tidak akan dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. MA terikat
pada peristiwa yang telah diputuskan dalam persidangan tingkat terakhir.
10. Sanksi
Sanksi memegang peranan penting dalam rangka penegakan hukum (law enforcement)
terhadap ditaatinya suatu peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan
dalam Black’s Law Dictionary, sanksi adalah hukuman berupa nestapa akibat
pelanggaran kaidah hukum.
Sasaran dan jenis sanksi administrasi yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004,
adalah:
1. Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja tanpa alas an yang sah dapat dikenakan
20
sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
2. Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-
lambatnya 14 hari kerja setelah putusan ditandatangani dan Panitera yang tidak
mengirim salinan kepada para pihak paling lambat 7 hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 14 hari atau tidak membantu para pihak pembuat Perjanjian Bersama
dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja dapat dikenakan sanksi administratif
berupa terguran tertulis. Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis
sebanyak 3 kali, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
sementara sebagai konsiliator. Sanksi tersebut baru dapat dijatuhkan setelah yang
bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditangani. Sanksi
administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk jangka
waktu paling lama 3 bulan.
4. Konsoliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
konsoliator dalam hal:
a. Konsoliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai konsoliator sebanyak 3 kali.
b. Terbukti melakukan tindak pidana kejahatan.
c. Menyalahgunakan jabatan, dan/atau
d. Membocorkan keterangan yang diminta.
5. Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan
atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan dapat dikenakan sanksi
admoinistratif berupa teguran tertulis. Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis
3 kali dapat dikenakan sanksi adminitratif berupa pencabutan sementara sebagai
arbiter. Sanksi tersebut baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan
menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. Sanksi administrasi
pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3
bulan.
6. Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
arbiter dalam hal:
21
a. Arbiter paling sedikit telah 3 kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan
hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan peraturan
perundang-undangan dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan
peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut.
b. Terbukti telah melakukan tindak pidana kejahatan.
c. Menyalahgunakan jabatan.
d. Arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa penvabutan sementara
sebagai arbiter sebanyak 3 kali.
Sanksi pidana diatur dalam pasal 122 UU No. 2 Tahun 2004, yakni ‘Barangsiapa yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat1, pasal 22 ayat 1 dan
ayat 3, pasal 47 ayat 1 dan ayat 3, pasal 90 ayat 2, pasal 91 ayat 1 dan 3, dikenakan
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan 4 bulandan/atau denda paling
sedikit Rp.10.000.000 dan paling banyak Rp.50.000.000.
Isi dari pasal-pasal yang dikenakan sanksi pidana tersebut adalah:
1.Pasal 12 ayat 1 mengenai kewajiban barang siapa yang diminta keterangannya oleh
mediator untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku atau surat-surat yang
diperlukan.
2.Pasal 22 ayat 1 kewajiban barangsiapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator
untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku atau surat-surat yang diperlukan.
Sedangkan ayat 3, mengenai kewajiaban untuk merahasiakan semua keterangan
yang diminta.
3.Pasal 47 ayat 1, kewajiban barangsiapa yang diminta keterangannya oleh arbiter
atau majelis arbiter hguna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku atau surat-
surat yang diperlukan. Sedangka ayat 3 mengenai kewajiban arbiter untuk
merahasiakan semua keterangan yang diminta
4.Pasal 90 ayat 2, mengenai kewajiban setiap orang yang dipanggil untuk menjadi
saksi atau saksi ahli untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di
bawah sumpah.
5.Pasal 91 ayat 1, kewajiban barangsiapa yang diminta keterangannya oleh Majelis
Hakim Arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
22
industrial, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Sedangkan ayat 3, mengenai
kewajiban Hakim untuk merahasiakan semua keterangan yang diminta.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Jenis-jenis perselisihan hubungan industrial adalah
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusanaan.
2. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
Pengadilan yaitu penyelesaian melalui Bipartit, melalui mediasi, melalui konsiliasi,,
dan melaui arbitrase.
3. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
Pengadilan Hubungan Indistrial yang bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat pertama dan
terakhir mengenai perselisihan kepentingan, di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
B. SARAN
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyarankan bahwa baik penyelesaian
perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan maupun penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui pengadilan, harus dilaksanakan sesuai dengan amanat, jiwa
dan semangat dari UU No. 2 Tahun 2004 agar hasilnya dapat dirasakan manfaatnya bagi
para pihak yang berselisih.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalu Husni, SH., M.Hum., Penyelesaian Hubungan Industrial, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004
2. Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika,
Jakarta, Cet. II, 1999.
3. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, CV. Tamita Utama, Jakarta, 2003.
4. Lalu Husni, SH., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
5. Ronny Hanitijo, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Majalah Fakultas Hukum
UNDIP, Semarang, 1984.
6. Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
7. Sudikno Mertokusumo, Hukum Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998.
24