PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ANTARA HALOPERIDOLDAN OLANZAPIN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA KLINIS
DELIRIUM
THE COMPARISON OF THE THERAPEUTIC EFFECTIVENESSBETWEEN HALOPERIDOL AND OLANZAPINE ON
THE IMPROVEMENT OF THE CLINICAL SYMPTOMS OF DELIRIUM
HILMI UMASANGADJI
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADUPROGRAM STUDI BIOMEDIK SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2018
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ANTARAHALOPERIDOL DAN OLANZAPIN TERHADAP PERBAIKAN
GEJALA KLINIS DELIRIUM
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Biomedik
Disusun dan Diajukan oleh :
HILMI UMASANGADJI
Kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADUPROGRAM STUDI BIOMEDIK SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2018
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hilmi UmasangadjiNomor Pokok : P1507213038Program Studi : Biomedik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis inibenar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakanpengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudianhari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesisini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatantersebut.
Makassar, Februari 2018
Yang menyatakan
Hilmi Umasangadji
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
menurunkan rahmat, hidayah dan segala karuniaNya sehingga tesis ini
dapat saya selesaikan.
Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam Program Studi
Biomedik Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Pertama-tama saya menyampaikan terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada pembimbing saya Prof. dr. A. Jayalangkara Tanra,
Ph.D, Sp.KJ(K); dr. Wempy Thioritz, Sp.KJ(K); dan Dr. dr. Ilhamjaya
Patellongi, M.Kes, yang telah memberikan bimbingan dan dorongan
semangat sejak penyusunan konsep, pelaksanaan hingga selesainya
penulisan tesis ini. Terima kasih pula kami sampaikan kepada para
penguji tesis ini, berturut-turut Prof. dr. A. Jayalangkara Tanra, Ph.D,
Sp.KJ(K); dr. Wempy Thioritz, Sp.KJ(K); Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi,
M.Kes; Dr. dr. H. M. Faisal Idrus, Sp.KJ(K) dan dr. Erlyn Limoa, Ph.D,
Sp.KJ.
Terima kasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada Dr.
dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ dan Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa,
beserta seluruh Supervisor Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa yang telah
membimbing kami selama mengikuti pendidikan sampai pada penelitian
dan penulisan karya akhir ini.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Pimpinan Fakultas Kedokteran UNHAS, Ketua Program Pendidikan
Dokter Spesialis yang telah memberikan kesempatan kepada kami
untuk mengikuti pendidikan spesialis di Departemen Ilmu Kedokteran
Jiwa Fakultas Kedokteran UNHAS.
2. Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
UNHAS yang telah membimbing dan mendidik kami selama kami
mengikuti pendidikan di departemen ini.
3. Direktur RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, RS. UNHAS, RS. Labuang
Baji, RSUD. Kota Makassar, RS. Ibnu Sina, atas segala bantuan yang
telah diberikan selama pendidikan.
4. Semua teman sejawat peserta pendidikan dokter spesialis di
Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa atas bantuan dan kerjasamanya
yang terjalin selama ini.
5. Ibu Rasyidah atas segala bantuan administrasi kami selama
pendidikan.
6. Semua paramedis di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, RSKD. Provinsi
Sulawesi Selatan dan rumah sakit satelit lainnya atas bantuan dan
kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya tulis
ini yang tidak saya sebutkan satu persatu.
Pada saat yang berbahagia ini, saya mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ayahanda tercinta
Syamsuddin Umasangadji dan ibunda tercinta Alm. Munirah Kamarullah
serta saudara-saudara saya (Silmi Umasangadji, Muflihah Umasangadji,
Syukri Umasangadji, Khairiyah Umasangadji, Fauziah Umasangadji dan
Nurhadiyah Umasangadji) yang telah memberikan dukungan semangat
dan doa dengan penuh ketulusan, selama saya mengikuti pendidikan
sampai selesainya tesis ini.
Kepada istriku Marlani beserta anak-anakku tercinta (Rayhanah
Syafiqah Umasangadji, Arkan Al-Fatih Umasangadji dan Mikail Ayatullah
Umasangadji) yang dengan ikhlas memberikan waktu yang seharusnya
menjadi hak kalian, semangat dan dukungan doa dengan penuh
ketulusan, kesabaran dan kasih sayang yang begitu berarti selama saya
mengikuti pendidikan.
Saya menyadari bahwa penulisan tesis ini mempunyai
keterbatasan dan kekurangan, oleh karenanya, saran dan kritik yang
bertujuan untuk menyempurnakan karya akhir saya ini, saya terima
dengan segala kerendahan hati. Semoga Allah SWT, Tuhan yang Maha
Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan berkahNya serta membalas
budi baik mereka yang telah mendidik dan memberi dorongan kepada
saya.
Makassar, Februari 2018
Hilmi Umasangadji
Abstrak
Gejala klinis delirium dapat diperbaiki dengan pemberian antipsikotik, baik tipikalmaupun atipikal. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas terapi antarahaloperidol dan olanzapin terhadap perbaikan gejala klinis delirium. Penelitian inidilaksanakan di RS dr. Wahidin Sudirohusodo. Jenis penelitian adalah kohortprospektif. Sampel sebanyak tiga puluh pasien rawat inap dengan delirium danmendapat terapi haloperidol dan olanzapin selama 6 hari. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa efektivitas terapi olanzapin pada pasien delirium lebih baikdibandingkan dengan haloperidol. Hasil analisis statistik menunjukkan adanyapenurunan skor delirium rating scale setelah mendapat terapi halopehdol (reratapenurunan= 15,33) dan olanzapin (rerata penurunan= 12,33) selama 6 hari.Perbandingan perbaikan gejala klinis delirium antara kelompok yang mendapatterapi haloperidol dan kelompok yang mendapat terapi olanzapin berbedabermakna pada hari ke-6 setelah terapi (p= 0,030). Perbandingan perbaikan gejalaklinis dari komponen skor delirium rating scale antara kedua kelompok berbedabermakna pada beberapa komponen yaitu : agitasi motorik, orientasi, atensi,memori jangka pendek, memori jangka panjang, dan kemampuan visuospasial.Dengan demikian, olanzapin sebagai antipsikotik atipikal yang berafinitas padareseptor dopamin dan serotonin lebih baik dalam memperbaiki gejala klinisdelirium dibandingkan dengan haloperidol yang berafinitas pada reseptordopamin.
Kata kunci : haloperidol, olanzapin, delirium rating scale, efektivitas terapi,perbaikan gejala klinis delirium
Abstract
The clinical symptoms of delirium can be corrected by antipsychotic drugadministration, either typical or atypical. This study aimed to compare thetherapeutic effectiveness between haloperidol and olanzapine on the improvementof the clinical symptoms of delirium. The study was conducted using cohortprospective on 30 live-in patients with delirium at Dr Wahidin SudirohusodoHospital and treated with haloperidol and olanzapin therapy in 6 days. Theresearch results indicated that the effectiveness of olanzapin therapy at thedelirium patients was better compared to the haloperidol therapy. The statisticalanalysis which was carried out on the research data revealed the score decreaseof Delirium Rating Scale after the treatment with the haloperidol therapy (themean decrease = 15.33) while the treatment with the olanzapin therapy revealedless decrease (the mean decrease = 12.33) in 6 days. The comparison of theimprovement of the delirium clinical symptoms between the group who weretreated with haloperidol therapy and the group who were treated with olanzapintherapy showed a significant difference on the 6th day after the therapy (p=0.030).The comparison of the improvement of the clinical symptoms of the components ofDelirium Rating Scaly score between the two groups revealed a significantdifference in several components, such as in motoric agitation, orientation,attention, short-term memory, long-term memory, and visuo-spatial capability.Thus, the olanzapin as an atypical antipsychotic which had an affinity withdopamine and serotonin is better in improving the clinical symptoms of deliriumthan haloperidol which had an affinity with dopamine receptors.
Key words: haloperidol, olanzapine, Delirium Rating Scale, therapeuticeffectiveness, improvement of clinical symptoms of delirium
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN i
PRAKATA ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR vi
DAFTAR SINGKATAN vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Hipotesis Penelitian 5
E. Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Delirium 6
B. Haloperidol 14
C. Olanzapin 14
D. Delirium Rating Scale Revised 98 (DRS R 98) 16
E. Kerangka Teori 19
F. Kerangka Konsep 20
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian 21
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 21
C. Populasi Penelitian 21
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 21
E. Perkiraan Besar Sampel 22
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 22
G. Izin Penelitian dan Kelayakan Etik 23
H. Cara Kerja 23
I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel 24
J. Definisi Operasional 25
K. Kriteria Obyektif 25
L. Metode Analisis 26
M. Alur Penelitian 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 28
B. Pembahasan 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 38
B. Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel Halaman
1 Afinitas reseptor antipsikotik atipikal dibandingkan denganhaloperidol
13
2 Karakteristik sampel 27
3 Perbandingan skor delirium antara kelompok haloperidoldan kelompok olanzapin sebelum dan sesudah terapi
28
4 Perbandingan penurunan skor delirium antara kelompokhaloperidol dan olanzapin
29
5 Perbandingan komponen skor DRS antara kelompokhaloperidol dan kelompok olanzapin sebelum dansesudah terapi
30
Gambar
1 Box plot skor delirium pada kelompok haloperidol danolanzapin sebelum (H0) dan sesudah (H3 dan H6) terapi
28
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti dan Keterangan
ACh Asetilcholine
BDNF Brain-derived Neurotrophic Factor
dkk dan kawan-kawan
DRS Delirium Rating Scale
DSM-5 Diagnostic and Statistical Manual Fifth Edition
D2 Dopamin
EPS Extrapyramidal syndrome
ICD International Classification of Diseases
KEMENKES Kementerian Kesehatan
mg miligram
PDSKJI Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
5-HT 5-hydroxy-tryptamine
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1 Persetujuan penelitian (Informed Consent)
2 Delirium Rating Scale Revised 98 (DRS-R-98)
3 Rekomendasi Persetujuan Etik
4 Data Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Delirium merupakan keadaan akut yang ditandai dengan gangguan
kesadaran, perubahan dalam kognisi dan perhatian, serta gangguan
persepsi yang berkembang secara akut dan fluktuatif. Lipowski
melaporkan bahwa, di antara pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
pembedahan, kejadian delirium berkisar 10% sampai 18%. Angka
kejadian delirium diperkirakan 10-15% pada pasien rawat inap. Pasien
yang mengalami delirium memiliki angka kematian 3% dan meningkat
menjadi 11% setelah 3 bulan mengalami delirium (Markowitz dan
Narasimhan, 2008). Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan
kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif
secara global. Kelainan mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala
psikiatrik yang terdapat pada delirium (Kaplan, 2010).
Delirium mencerminkan disfungsi otak yang disebabkan oleh
konsekuensi fisiologis dari kondisi medis umum. Onset delirium biasanya
cepat dan ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang
fluktuatif. Kondisi medis yang menjadi faktor risiko terjadinya delirium
antara lain : luka bakar, pasien pasca pembedahan, pasien dengan
Human immunodeficiency virus (HIV), cedera kepala, gagal ginjal, dan
gagal jantung. Penyebab delirium sangat bervariasi, penyebab delirium
yang paling sering yaitu penyakit infeksi terutama dari sistem saraf pusat,
2
gangguan kardiovaskular, kelainan endokrin, trauma kapitis, gangguan
metabolisme dari toksin, dan ketidakseimbangan elektrolit (Markowitz dan
Narasimhan, 2008).
Dalam hal intervensi farmakologis, antipsikotik telah dianggap
sebagai terapi pilihan, karena berbagai antipsikotik telah
direkomendasikan untuk memperbaiki berbagai gejala delirium pada
banyak studi sebelumnya. Di antara antipsikotik, haloperidol yang paling
banyak digunakan karena tingginya potensi reseptor dopamin, efek
antikolinergik rendah, dan ketersediaan berbagai rute penggunaan (Wang
dkk., 2013).
Haloperidol merupakan antipsikotik yang paling sering digunakan
karena efektivitasnya, efek sedasi dan efek hipotensi yang relatif lebih
rendah dan sifat antikolinergik yang lebih sedikit. Namun, haloperidol
dapat menyebabkan efek samping yang merugikan seperti gejala-gejala
ekstrapiramidal (EPS) atau pemanjangan interval QT dan aritmia yang
fatal (Yoon dkk., 2013). Sebuah penelitian melaporkan penggunaan dosis
haloperidol dari 0,25 sampai 0,50 mg setiap empat jam. Untuk pasien
yang sangat gelisah, dosis bolus 5 mg sampai 10 mg per jam secara
intramuskular (Markowitz dan Narasimhan, 2008).
Terdapat pula penelitian lain yang menyatakan haloperidol dosis
rendah dan antipsikotik atipikal seperti risperidon, olanzapin, dan
quetiapin, sama-sama efektif dan aman untuk pengobatan delirium (Yoon
dkk., 2013). Suatu penelitian uji klinis tentang delirium juga dilakukan oleh
3
Pae dkk., membandingkan haloperidol dan olanzapin. Dalam penelitian
ini, digunakan dosis haloperidol 4,5 mg dan olanzapin dengan dosis 7,1
mg, dengan menggunakan instrumen Delirium Rating Scale Revised 98
(DRS R 98). Masing-masing untuk kelompok haloperidol dan olanzapin
adalah 72 dan 74 pasien, dan waktu rata-rata untuk perbaikan gejala
delirium adalah 3,4 hari berbanding 2,8 hari (Markowitz dan Narasimhan,
2008).
Skrobik (2013), membandingkan penggunaan olanzapin dan
haloperidol selama 5 hari pada 73 pasien delirium yang didiagnosis
berdasarkan DSM-IV. Dosis harian rata-rata masing-masing pada
kelompok haloperidol yaitu 6,5 mg dan kelompok olanzapin yaitu 4,5 mg.
Pada kedua kelompok tersebut, terjadi perbaikan delirium secara
signifikan setelah 5 hari pengobatan. Tidak ada efek samping dilaporkan
pada kelompok olanzapin, sedangkan enam subjek dalam kelompok
haloperidol mengalami gejala ekstrapiramidal (Wang dkk., 2013).
Grover (2013), menguji efikasi dan tolerabilitas olanzapin dan
risperidon dibandingkan dengan haloperidol pada 74 pasien delirium
(kelompok risperidon 22 pasien, kelompok olanzapin 26 pasien, kelompok
haloperidol 26 pasien) berdasarkan DRS R 98. Dosis harian rata-rata
masing-masing obat adalah 0,9 mg/hari untuk haloperidol, 3,05 mg/hari
untuk olanzapin, dan 0,9 mg/hari untuk risperidon. Semua kelompok
menunjukkan penurunan skor DRS R 98 pada hari ke 3 dan 6, tapi tidak
ada perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dalam hal tingkat
4
penurunan skor DRS R 98. Empat subjek di kelompok haloperidol, enam
subjek di kelompok risperidon dan dua subjek di kelompok olanzapin
dilaporkan mengalami gejala ekstrapiramidal (Wang dkk., 2013).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa bukti
yang mendukung perbaikan gejala klinis pada pasien delirium dengan
terapi haloperidol dan olanzapin, namun masih terdapat banyak pendapat
yang bertentangan. Penelitian mengenai efektivitas terapi antipsikotik
atipikal pada penatalaksanaan delirium di Indonesia masih terbatas, jika
dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan di negara lain,
dan belum pernah dilakukan di Makassar. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk melakukan studi mengenai efektivitas terapi antara haloperidol dan
olanzapin terhadap perbaikan gejala klinis delirium.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
“Bagaimana perbandingan efektivitas terapi antara haloperidol dan
olanzapin terhadap perbaikan gejala klinis delirium?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbandingan efektivitas terapi antara haloperidol
dan olanzapin terhadap perbaikan gejala klinis delirium.
5
D. Hipotesis Penelitian
Efektivitas terapi olanzapin lebih baik dibandingkan haloperidol
terhadap perbaikan gejala klinis delirium.
E. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien delirium.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah
tentang efektivitas terapi antipsikotik atipikal dalam penatalaksanaan
pasien delirium.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih
lanjut mengenai penatalaksanaan pasien delirium.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Delirium
1. Epidemiologi
Delirium merupakan salah satu jenis gangguan mental organik yang
penting dan sering dijumpai dalam klinik. Diduga sekitar 10-15% pasien
rawat bedah pernah mengalami delirium, 15-25% pasien rawat medik
umum pernah mengalami delirium selama dirawat di rumah sakit. Juga
diperkirakan sekitar 30% pasien bedah di ruang rawat intensif pernah
mengalami delirium (Budiman, 2013). Prevalensi delirium pada awal
rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%, dan kejadian delirium yang
timbul selama masa rawat di rumah sakit berkisar antara 6-56% di antara
populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien pasca
operasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif. Delirium
dijumpai pada hingga 60% pasien perawatan pasca-akut, dan hingga 83%
pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi delirium secara
keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun prevalensi
meningkat seiring bertambahnya umur (Inouye, 2006). Di Indonesia,
prevalensi delirium di ruang rawat akut RSCM adalah 23% (tahun 2004),
sedangkan insidennya mencapai 17% pada pasien rawat inap. Sindrom
delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan risiko
kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang masa
rawat (Soejono, 2009).
7
2. Patofisiologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan
mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru
menunjukkan defisiensi jalur kolinergik merupakan salah satu faktor
penyebab delirium. Delirium timbul melalui berbagai mekanisme, jalur
akhirnya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan
hiperaktivitas dopaminergik (Flinn, 2009; Markowitz, 2008).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya
delirium adalah karena terjadi penurunan aktivitas asetilkolin di otak,
disertai hiperaktivitas dopamin. Neurotransmiter lain yang juga berperan
dalam delirium adalah serotonin dan glutamat, dimana terjadi
hiperaktivitas glutamat dan penurunan serotonin (Markowitz, 2008).
Fungsi asetilkolin antara lain mempengaruhi kesiagaan,
kewaspadaan, dan pemusatan perhatian. Berperan pula pada proses
penyimpanan dan pemanggilan kembali ingatan, atensi dan respon
individu. Di otak, asetilkolin ditemukan pada korteks serebral, hipokampus
(terlibat dalam fungsi ingatan), ganglia basalis (terlibat dalam fungsi
motoris), dan serebrum (koordinasi bicara dan motoris). Hiperaktivitas
dopamin mengakibatkan agitasi, gangguan persepsi, gangguan isi pikir,
dan psikomotor meningkat. Penurunan serotonin mengakibatkan
iritabilitas, agresif, depresi dan ansietas, gangguan tidur, gangguan
kognitif, dan gangguan makan. Sedangkan hiperaktivitas glutamat
mengakibatkan gangguan mood dan kejang (Maclulich, 2013).
8
Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium
melibatkan berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama,
yaitu (Lorenzi dkk., 2012) :
1) Efek langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem
neurotransmiter, khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik.
Lebih lanjut, gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau
iskemia dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi
pembentukan atau pelepasan neurotransmiter.
2) Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti
penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa
kasus, respons inflamasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi
sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi
inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron,
sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium
pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit
neurodegeneratif).
3) Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan
lebih banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamus-pituitari-
9
adrenokortikal untuk melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang
juga dapat mengaktivasi glia dan menyebabkan kerusakan neuron.
3. Manifestasi Klinis
Delirium adalah suatu gangguan mental organik yang ditandai
dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang terjadi secara akut dan
berfluktuasi. Manifestasi klinis delirium dapat bervariasi, yaitu :
1) Kesadaran berkabut atau penurunan kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan,
2) Berkurangnya atensi (kemampuan memfokuskan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian),
3) Gangguan orientasi dan daya ingat, serta gangguan berbahasa.
4) Gangguan psikomotor,
5) Gangguan persepsi,
6) Gangguan afektif dan emosi,
7) Gangguan arus dan isi pikir,
8) Gangguan siklus tidur-bangun,
Gambaran klinis ini terjadi dalam periode waktu yang pendek (beberapa
jam atau hari) dan berfluktuasi dalam sehari (PP PDSKJI, 2012;
KEMENKES RI, 2013).
4. Diagnosis
Delirium merupakan suatu diagnosis yang dapat ditegakkan secara
bedside, sehingga sangat diperlukan pemahaman gambaran klinisnya.
Tampilan klinis delirium dapat bervariasi, namun secara umum delirium
10
diklasifikasi berdasarkan sifat psikomotor dalam tiga subtipe, yaitu (Fong
dkk., 2009; Wass dkk., 2008) :
1) Delirium hipoaktif (25%)
Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan tampilan klinis
letargi dan sedasi, berespon lambat terhadap rangsangan, dan
pergerakan spontan minimal. Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada
rawat inap dan menyebabkan peningkatan lama rawat dan komplikasi
yang lebih berat.
2) Delirium hiperaktif (30%)
Pasien memiliki gambaran agitasi, hipervigilansi, dan sering disertai
halusinasi dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi,
berhubungan dengan peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi
berlebihan, dan risiko jatuh.
3) Delirium campuran (45%)
Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif.
Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan Diagnosis
and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition (DSM-5). Kriteria
DSM-5 tahun 2013 mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai
berikut :
1) Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum
2) Delirium akibat intoksikasi zat
3) Delirium akibat putus zat
4) Delirium yang diinduksi pengobatan atau toksin
11
5) Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel
6) Delirium yang tidak terklasifikasi
Kriteria diagnosis delirium dari DSM-5, yaitu :
1) Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran
terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus,
mempertahankan atau mengubah perhatian.
2) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa
jam hingga hari) dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
3) Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kondisi demensia.
4) Gangguan pada kriteria (1) dan (3) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang
berkembang dan tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat
kesadaran berat, seperti koma.
5) Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang
mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik
langsung suatu kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian
substansi (seperti penyalahgunaan obat atau pengobatan),
pemaparan terhadap toksin, atau karena etiologi multipel.
Berdasarkan ICD-10, kriteria diagnosis delirium yaitu :
1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya
12
kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian.
2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia.
3) Gangguan psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas,
pengalihan aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih
panjang, arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang, reaksi
terperanjat yang meningkat.
4) Gangguan siklus tidur-bangun berupa insomnia, atau pada kasus
yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau siklus tidur yang terbalik
yaitu mengantuk di siang hari. Gejala memburuk pada malam hari dan
mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut
menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
5) Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah,
euforia, apatis dan rasa kehilangan akal.
5. Penatalaksanaan
Strategi penanganan delirium secara farmakologi menggunakan
antipsikotik tipikal. Haloperidol telah luas digunakan sebagai obat pilihan
untuk pengobatan agitasi akut dan memiliki kelebihan, karena tersedia
dalam bentuk parenteral, namun penggunaannya dihubungkan dengan
efek samping ekstrapiramidal dan distonia akut yang lebih tinggi
dibandingkan antipsikotik atipikal. Beberapa antipsikotik atipikal (seperti
13
risperidon, olanzapin, dan quetiapin) digunakan untuk mengatasi agitasi
pasien delirium, namun tidak ada data yang menunjukkan keunggulan
satu antipsikotik dibandingkan lainnya (Campbell dkk., 2009).
Setiap antipsikotik memiliki afinitas yang berbeda terhadap masing-
masing reseptor. Afinitas reseptor yaitu konsentrasi terkecil untuk
menghasilkan half saturation dari reseptor. Makin kecil nilai konstanta,
makin besar afinitas reseptor. Berikut adalah afinitas reseptor (dissociation
constant) dari beberapa antipsikotik atipikal dibandingkan dengan
haloperidol (Arana, 2000).
Tabel 1. Afinitas reseptor antipsikotik atipikal dibandingkan denganhaloperidol.
Antipsikotik D1 D2 D3 D4 5-HT2A 5-HT2C α1 H1 ACh
Haloperidol 210 1 2 3 45 >10.000 6 440 5.500
Clozapin 85 160 170 50 16 10 7 1 2
Olanzapin 31 44 50 50 5 11 19 3 2
Quetiapin 460 580 940 1.900 300 5.100 7 11 >1.000
Risperidon 430 2 10 10 0,5 25 1 20 >1.000
Ziprasidon 525 4 7 32 0,4 1 10 50 >1.000
Dikutip dari Arana GW dan Rosenbaum JF. Antipsychotic Drugs. In : Handbook ofPsychiatric Drug Therapy. Fourth Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.2000:p8.
Dalam pemberian antipsikotik, menggunakan kesetaraan dosis
(doses equivalent), untuk 1 mg/dosis olanzapin adalah haloperidol 0,7
mg/dosis, risperidon 0,4 mg/dosis, dan quetiapin 32 mg/dosis (Leucht
dkk., 2015).
14
B. Haloperidol
Haloperidol merupakan salah satu antipsikotik tipikal yang
mempunyai cara kerja memblokade reseptor D2, khususnya di mesolimbik
dopamin pathways, sehingga disebut juga Antagonis Reseptor Dopamin
(ARD). Kerja antipsikotik tipikal yaitu menurunkan hiperaktivitas dopamin
di jalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun, akan
tetapi obat ini tidak hanya memblokade reseptor D2 di mesolimbik, tetapi
juga memblokade reseptor D2 di tempat lain, seperti di jalur mesokortikal,
nigrostriatal dan tuberoinfundibular (Sinaga, 2007).
Haloperidol merupakan antipsikotik tipikal yang direkomendasikan
untuk delirium karena sedikit efek samping antikolinergik, sedikit metabolit
aktif, dan kemungkinan kecil menyebabkan sedasi. Haloperidol bekerja
dengan cara memblokir reseptor D2, mengurangi gejala positif psikosis
dan tindakan agresif, eksplosif, dan hiperaktif (Stahl, 2011).
Haloperidol diberikan dengan dosis oral 0,5 – 1,5 mg, dua kali
pemberian per hari, dengan dosis tambahan setiap 4 jam sesuai
kebutuhan, efek puncaknya 4 – 6 jam. Secara intramuskular diberikan 2 –
5 mg, diobservasi sesudah 30 – 60 menit dan dapat diulang sesuai
kebutuhan, efek puncaknya 20 – 40 menit, dosis maksimal 20 mg/hari.
(Inouye, 2006; PP PDSKJI, 2012).
C. Olanzapin
Olanzapin merupakan salah satu antipsikotik atipikal yang
mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara antagonis serotonin
15
dan dopamin, hal ini berbeda dengan antipsikotik tipikal sehingga efek
samping EPS lebih rendah. Olanzapin memperlihatkan afinitas pada
reseptor D1 sampai dengan D5, serotonergik (5HT2, 3, dan 6), reseptor
muskarinik, reseptor adrenergik (alfa 1 dan 2), dan histaminergik (H1).
Kadar puncak dicapai dalam waktu 5 jam, dan waktu paruh rata-rata 31
jam, sehingga diberikan sebagai dosis tunggal. Olanzapin juga efektif
untuk terapi gejala psikotik pada delirium akibat trauma kepala, serta
pengendalian agitasi. Dari perspektif properti farmakologi, antipsikotik
atipikal terbagi menjadi 4 tipe yaitu : antagonis dopamin serotonin,
antagonis D2 dengan disosiasi cepat, agonis parsial D2, dan agonis
parsial serotonin (Arana, 2000; Sinaga, 2007; Stahl, 2011).
Olanzapin bekerja dengan cara memblok reseptor D2, mengurangi
gejala positif psikosis, dan menstabilkan gejala afektif. Memblokir reseptor
serotonin 2A, menyebabkan peningkatan pelepasan dopamin di daerah
otak tertentu dan dengan demikian mengurangi efek samping motorik dan
memperbaiki gejala kognitif dan afektif (Stahl, 2011).
Olanzapin dapat diberikan dengan dosis oral 2,5 – 5 mg sekali
sehari. Dengan efek ekstrapiramidal yang sedikit kurang dari pada
haloperidol, dan dipantau adanya pemanjangan interval QT pada EKG.
Olanzapin sama efektifnya dengan haloperidol namun jauh lebih dapat
ditoleransi (Inouye, 2006).
16
D. Delirium Rating Scale Revised 98
Delirium Rating Scale Revised 98 (DRS R 98) merupakan skala yang
digunakan pada penilaian delirium, untuk penilaian awal dan pengukuran
berulang dari gejala keparahan delirium. Jumlah akumulasi dari 13
komponen skor, dari skor terendah yaitu 1 sampai skor tertinggi yaitu 39,
akan memberikan skor keparahan delirium. Semua sumber informasi yang
tersedia digunakan untuk menilai komponen DRS R 98 (perawat dan
keluarga) selain pemeriksaan pasien (Trzepacz dkk., 1998). Skala ini
terdiri dari 13 komponen, yaitu :
1. Gangguan siklus tidur-bangun
Memberi nilai pola tidur-bangun dengan menilai adanya gejala
gangguan siklus tidur bangun ringan, sedang atau berat.
2. Gangguan persepsi
Menilai adanya gejala derealisasi, depersonalisasi, ilusi dan
halusinasi.
3. Delusi atau waham
Delusi bisa berbagai jenis, tapi yang paling sering yaitu waham
persekutori. Menilai adanya gejala waham, ide-ide yang tidak biasa
yang belum mencapai taraf waham ataupun preokupasi.
4. Labilitas afek
Dinilai sebagai afek berupa ekspresi emosi, bukan sebagai deskripsi
tentang apa yang dirasakan pasien.
17
5. Bahasa
Menilai kelainan bahasa lisan, tidak termasuk dialek tertentu atau
gagap. Menilai kelancaran, tatabahasa, pemahaman, konten semantik
dan penamaan.
6. Gangguan proses pikir
Menilai kelainan proses berpikir tangensial, sirkumstansial, asosiasi
longgar atau inkoheren.
7. Agitasi motorik
Menilai agitasi motorik ringan, sedang sampai berat.
8. Retardasi motorik
Menilai kecepatan, spontanitas dan frekuensi dari gerakan motorik.
9. Orientasi
Menilai orientasi waktu, tempat dan orang.
10.Atensi atau perhatian
Menilai kemampuan dalam memusatkan perhatian.
11.Memori jangka pendek
Mengingat kembali informasi setelah disajikan secara verbal atau
visual, setelah 2 sampai 3 menit.
12.Memori jangka panjang
Dapat dinilai secara formal atau melalui wawancara untuk mengingat
kembali masa lalu pribadi, seperti riwayat medis sebelumnya atau
informasi atau pengalaman yang diperkuatkan oleh sumber lain.
18
13.Kemampuan visuospasial
Uji secara formal dengan menggambar atau menyalin suatu gambar
sederhana.
DRS R 98 telah divalidasi oleh Trzepacz dkk. (1998) dengan hasil sebagai
berikut :
1) Dalam uji validitas tiap komponen pertanyaan yang diajukan kepada
pasien, 10 komponen memiliki nilai validitas tinggi dan 3 komponen
memiliki nilai validitas sangat tinggi. Nilai reliabilitas (Cronbach’s
alpha) sebesar 0,870, menunjukkan bahwa instrumen DRS R 98
tersebut sangat reliabel.
2) Dalam uji sensitivitas dan spesifisitas juga didapatkan nilai yang tinggi
yaitu sensitivitas sebesar 92% dan spesifisitas 93%. Ini menunjukkan
bahwa instrumen DRS R 98 dapat mengukur keparahan delirium
pasien delirium dengan benar (Trzepacz dkk., 1998).
19
E. Kerangka Teori
Induksi sistem sarafsimpatis
Inflamasi, Trauma,Prosedur bedah
Aktivasi mikroglia
Peningkatan kadar sitokin
Agitasi, gangguan persepsi,gangguan isi pikir,
psikomotor meningkat
Gangguan metabolik(Hipoglikemia, Hipoksia, Iskemia)
Penurunan metabolismeserebral
Gangguan metabolismeTriptofan
Penurunan serotoninMerangsang pelepasan
dopamin
Gejala delirium
Faktor stres
HPA aksis
Pelepasanglukokortikoid
Iritabilitas, depresi,gangguan tidur, gangguan
kognitifPenurunan aktivitas
asetilkolin
Penurunan kesiagaan,kewaspadaan, dan
pemusatan perhatian
Haloperidol Olanzapin
20
F. Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel bebas
: Variabel antara
: Variabel tergantung
: Variabel kendali
: Variabel moderator
PerbaikanGejala Delirium
Haloperidol
Usia
REGULASINEUROTRANSMITER
Intoksikasi ZatPsikoaktifi
Olanzapin
PengobatanAntipsikotik Lain
Lorazepam Triheksifenidil
Kondisi MedisUmum
Blokade reseptor 5HT2septor D2
Blokade reseptor D2
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik
observasional dengan cohort prospective untuk mengetahui perbandingan
efektivitas terapi antara haloperidol dan olanzapin terhadap perbaikan
gejala klinis pada pasien delirium.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo
dan jejaringnya pada bulan Agustus sampai Oktober 2017.
C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah pasien delirium yang menjalani rawat
inap di Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya.
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Sampel penelitian adalah pasien delirium yang menjalani rawat inap
di Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya, yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Pengambilan sampel
dimulai pada bulan Agustus 2017 dengan cara consecutive sampling,
yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria penelitian, sampai sampel
yang diperlukan terpenuhi.
22
E. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus :
(Zα + Zβ) S 2
n1 = n2 =X1 – X2
Zα = 1,96 S = 4,09Zβ = 0,842 X1 – X2 = 3
(1,96 + 0,842) 4,09 2
n1 = n2 =3
= 14,59 (dibulatkan 15)
Dari rumus di atas, maka besar sampel minimal untuk masing-masing
kelompok sampel adalah 15 orang (Dahlan, 2016).
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
a. Semua pasien yang didiagnosis delirium berdasarkan DSM-5.
b. Pasien yang mendapatkan terapi haloperidol atau olanzapin.
c. Laki-laki dan perempuan berusia < 65 tahun.
2. Kriteria Eksklusi
a. Memiliki riwayat gangguan psikotik sebelumnya.
b. Mendapat terapi antipsikotik minimal 1 bulan sebelumnya.
23
G. Izin Penelitian dan Ethical Clearance (Kelayakan Etik)
Penelitian ini telah disetujui dan mendapat Rekomendasi
Persetujuan Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan nomor : 653 / H4.8.4.5.31 /
PP36-KOMETIK / 2017 (terlampir).
H. Cara Kerja
1. Setiap pasien delirium yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke
dalam kelompok penelitian.
2. Melakukan pencatatan identitas sampel meliputi nama, jenis kelamin,
umur, pendidikan terakhir, pekerjaan serta anamnesis riwayat penyakit
dahulu.
3. Menjelaskan kepada keluarga dan subyek penelitian mengenai maksud
dan tujuan penelitian. Bila setuju, subyek diikutkan dalam penelitian.
4. Sebelum melakukan pengukuran skala DRS R 98, maka terlebih dahulu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada skala tersebut. Hasil uji
validitas dan reliabilitas DRS R 98 yang dilakukan oleh peneliti adalah
koefisien Cronbach’s alpha = 0,90.
Menurut Ghosali (2002), pengujian statistik cronbach’s alpha, suatu
instrumen dikatakan reliable (handal) untuk mengukur variabel, bila
memiliki nilai cronbach’s alpha lebih besar dari 0,60. Tes yang
reliabilitasnya di bawah 0.60 dianggap tidak reliable (Sihombing, R.,
2013).
24
Pada Uji reliabilitas di atas, diperoleh nilai cronbach’s alpha sebesar
0,90 sehingga dapat disimpulkan bahwa validitas dan reliabilitas setiap
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam skala DRS R 98 tersebut
sangat baik (valid dan reliable). Setelah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas skala yang akan digunakan maka dilanjutkan dengan
mengukur skala DRS R 98 pada kedua kelompok sampel yaitu pada
awal penelitian dan setelah mendapat pengobatan.
5. Melakukan pengukuran skala delirium dengan menggunakan DRS R 98
sebelum mendapatkan pengobatan haloperidol dan olanzapin.
6. Melakukan pengukuran skala delirium dengan menggunakan DRS R 98
sesudah mendapatkan pengobatan haloperidol dan olanzapin selama 3
hari.
7. Melakukan pengukuran skala delirium dengan menggunakan DRS R 98
sesudah mendapatkan pengobatan haloperidol dan olanzapin selama 6
hari.
8. Melakukan analisis data.
I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas : Haloperidol dan olanzapin.
2. Variabel tergantung : Perbaikan gejala klinis delirium.
3. Variabel antara : Blokade reseptor D2 dan 5HT2A.
4. Variabel kendali : Usia, lorazepam, trihexyfenidil.
5. Variabel moderator : Intoksikasi zat psikoaktif, pengobatan
antipsikotik lain, kondisi medis umum.
25
J. Definisi Operasional
1. Delirium adalah suatu gangguan mental organik yang ditandai dengan
gangguan kesadaran dan kognisi yang terjadi secara akut dan
berfluktuasi.
2. Haloperidol adalah obat yang mempunyai properti klinik antagonis
reseptor dopamin dan mengurangi gejala positif, kemungkinan
tindakan agresif, eksplosif, dan hiperaktif.
3. Olanzapin adalah obat yang mempunyai properti klinik antagonis
reseptor dopamin, agonis parsial reseptor dopamin, dan antagonis
reseptor serotonin. Mengurangi gejala positif serta memperbaiki gejala
kognitif dan afektif.
4. Usia adalah usia kronologis sampel dalam hitungan tahun.
K. Kriteria Obyektif
1. Haloperidol diberikan dengan dosis yang ditentukan yaitu dosage
range 0,5 – 3 mg/hari.
2. Olanzapin diberikan dengan dosis yang ditentukan yaitu dosage range
2,5 – 5 mg/hari.
3. Delirium ditentukan dengan menggunakan Delirium Rating Scale
(DRS R 98 ) dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 39. Penurunan
skor DRS R 98 menunjukkan perbaikan gejala klinis delirium.
L. Metode Analisis
Seluruh data yang diperoleh, dikelompokkan sesuai dengan tujuan
dan jenis data, kemudian dipilih metode statistik yang sesuai yaitu :
26
1. Analisis Univariat : digunakan untuk deskripsi karakteristik data dasar
berupa distribusi frekuensi, nilai rata-rata, standar deviasi, rentangan.
2. Analisis Bivariat :
a) Uji t berpasangan (paired t test) digunakan untuk uji hipotesis
komparatif variabel numerik 2 kelompok yang berpasangan.
b) Uji t tidak berpasangan (independent t test) digunakan untuk uji
hipotesis komparatif variabel numerik 2 kelompok yang tidak
berpasangan.
3. Penilaian hasil hipotesis dinyatakan sebagai berikut :
a) Tidak bermakna, bila p > 0,05
b) Bermakna, bila p ≤ 0,05
c) Sangat bermakna bila p < 0,01. (Dahlan, 2016).
27
M. Alur Penelitian
Populasi sampel
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pengambilan identitas sampel
Analisis Data
Kelompok Olanzapin
Menilai DRS R 98 hari ke-0
Membandingkan nilai DRS R 98 hari ke-0, hari ke-3, dan hari ke-6
Kelompok Haloperidol
Menilai DRS R 98 hari ke-0
Menilai DRS R 98 hari ke-3Menilai DRS R 98 hari ke-3
Menilai DRS R 98 hari ke-6Menilai DRS R 98 hari ke-6
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian analitik observasional dengan metode
cohort prospective untuk mengetahui perbandingan efektivitas terapi
antara haloperidol dan olanzapin terhadap perbaikan gejala klinis delirium.
Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan
RS jejaring lainnya yang dilakukan mulai Agustus – Oktober 2017. Jumlah
sampel 30 orang, sampel terdiri dari pasien delirium yang mendapat terapi
haloperidol sebanyak 15 orang, dan terapi olanzapin sebanyak 15 orang.
Tabel 2. Karakteristik sampel
KarakteristikKelompok Terapi
pHaloperidol(n=15)
Olanzapin(n=15)
Usia (Tahun); Mean±SD 49,1±9,4 50,1±10,3 0,783*Jenis Kelamin (L/P) 7/8 7/8 1,000**Kausa (Bedah/Non-Bedah) 7/8 7/8 1,000**Pendidikan :
0,475** SD 0 2 SMP 3 3 SMA 7 7 S1 5 3* Independent sample t test; **Chi-square test (p>0,05)
Pada tabel 2 memperlihatkan bahwa hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa kedua kelompok sampel dapat dianggap homogen
(p>0,05) dari segi karakteristik usia, jenis kelamin, kausa delirium dan
tingkat pendidikan.
29
Tabel 3. Perbandingan skor delirium antara kelompok haloperidol dankelompok olanzapin sebelum dan sesudah terapi
Waktu PengamatanMean±SD (Median) Skor Delirium
pHaloperidol (n=15) Olanzapin (n=15)Sebelum (H0) 27,13±2,45 27,47±2,92 0,737Sesudah 3 hari (H3) 21,93±3,22 21,00±3,55 0,457Sesudah 6 hari (H6) 15,33±3,79 12,33±3,37 0,030**Independent sample t test (p<0,05)
Dari hasil analisis independent sampel t test pada tabel 3
menunjukkan bahwa skor delirium sebelum terapi antara kelompok
haloperidol dan olanzapin (27,13±2,45 versus 27,47±2,92) dengan nilai
(p>0,05); begitu pula setelah hari ke-3 terapi (21,93±3,22 vs 21,00±3,55).
Pada hari ke-6, skor delirium antara kelompok haloperidol dan olanzapin
(15,33±3,79 versus 12,33±3,37) dengan nilai p = 0,030.
Grafik 1. Box plot skor delirium pada kelompok haloperidol dan olanzapinsebelum (H0) dan sesudah (H3 dan H6) terapi
30
Dari grafik 1 dapat dilihat rerata skor delirium sedikit lebih tinggi pada
kelompok olanzapin sebelum terapi; kemudian keduanya menurun pada
hari ke-3 terapi, tetapi rerata skor delirium pada olanzapin sedikit lebih
rendah dari haloperidol; selanjutnya, pada hari ke-6 skor delirium pada
kedua kelompok menurun dan rerata skor delirium pada olanzapin jauh
lebih rendah daripada haloperidol.
Bila dilakukan analisis lebih lanjut (dengan Paired t test) pada
besarnya penurunan skor delirium setelah terapi, baik pada hari ke-3
maupun hari ke-6; dan kemudian dilanjutkan dengan analisis perbedaan
perubahan antara kelompok haloperidol dan olanzapin, maka ringkasan
hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan penurunan skor delirium antara kelompokhaloperidol dan olanzapin
Perubahan KelompokSkor Delirium p*Sebelum Sesudah Penurunan
H3 Haloperidol 27,13±2,45 21,93±3,22 5,20±1,66 <0,001Olanzapin 27,47±2,92 21,00±3,55 6,47±1,81 <0,001
H6 Haloperidol 27,13±2,45 15,33±3,79 11,80±3,43 <0,001Olanzapin 27,47±2,92 12,33±3,37 15,13±2,59 <0,001
*Paired t test (p<0,05)
Pada tabel 4, menunjukkan bahwa hasil Paired t test menunjukkan
terjadi penurunan skor delirium, baik pada hari ke-3 maupun hari ke-6
terapi. Pada hari ke-3 terjadi penurunan skor delirium pada kelompok
haloperidol dan olanzapin masing-masing sebesar (5,20±1,66 versus
6,47±1,81). Penurunan skor semakin besar setelah hari ke-6 terapi pada
kedua kelompok, dan penurunannya lebih besar pada kelompok olanzapin
(11,80±3,43 vs 15,13±2,59).
31
Lebih lanjut dilakukan uji statistik terhadap komponen skor DRS R 98
untuk mengetahui perbandingan penurunan skor masing-masing
komponen DRS R 98 antara kelompok haloperidol dan olanzapin.
Tabel 5. Perbandingan komponen skor DRS R 98 antara kelompokhaloperidol dan kelompok olanzapin sebelum dan sesudah terapi
Komponenskor DRS R
98
Kelompok AntipsikotikpHaloperidol (n=15) Olanzapin (n=15)
Mean ± SD Median Min – Max Mean ± SD Median Min – Max
Gangguansiklus tidur
H0 2,80 ± 0,41 3,0 2,0 – 3,0 2,73 ± 0,46 3,0 2,0 – 3,0 0,671H3 1,67 ± 0,62 2,0 1,0 – 3,0 1,80 ± 0,41 2,0 1,0 – 2,0 0,406H6 1,07 ± 0,26 1,0 1,0 – 2,0 1,13 ± 0,35 1,0 1,0 – 2,0 0,550
Gangguanpersepsi
H0 2,67 ± 0,49 3,0 2,0 – 3,0 2,67 ± 0,49 3,0 2,0 – 3,0 1,000H3 1,67 ± 0,49 2,0 1,0 – 2,0 1,60 ± 0,51 2,0 1,0 – 2,0 0,710H6 0,80 ± 0,41 1,0 0,0 – 1,0 1,00 ± 0,75 1,0 0,0 – 2,0 0,424
WahamH0 2,00 1,93 ± 0,26 2,0 1,0 – 2,0 0,317H3 1,60 ± 0,51 2,0 1,0 – 2,0 1,60 ± 0,51 2,0 1,0 – 2,0 1,000H6 0,80 ± 0,41 1,0 0,0 – 1,0 0,67 ± 0,62 1,0 0,0 – 2,0 0,406
Labilitasafek
H0 2,13 ± 0,35 2,0 2,0 – 3,0 2,40 ± 0,51 2,0 2,0 – 3,0 0,104H3 1,67 ± 0,49 2,0 1,0 – 2,0 1,87 ± 0,35 2,0 1,0 – 2,0 0,203H6 0,93 ± 0,26 1,0 0,0 – 1,0 0,87 ± 0,35 1,0 0,0 – 1,0 0,550
Gangguanbahasa
H0 2,47 ± 0,52 2,0 2,0 – 3,0 2,27 ± 0,46 2,0 2,0 – 3,0 0,264H3 1,87 ± 0,52 2,0 1,0 – 3,0 2,00 0,292H6 1,20 ± 0,41 1,0 1,0 – 2,0 1,07 ± 0,59 1,0 0,0 – 2,0 0,520
Gangguanproses pikir
H0 2,33 ± 0,49 2,0 2,0 – 3,0 2,40 ± 0,51 2,0 2,0 – 3,0 0,710H3 1,87 ± 0,52 2,0 1,0 – 3,0 2,07 ± 0,26 2,0 2,0 – 3,0 0,179H6 1,40 ± 0,51 1,0 1,0 – 2,0 1,20 ± 0,41 1,0 1,0 – 2,0 0,240
Agitasimotorik
H0 2,00 2,00 1,000H3 1,40 ± 0,51 1,0 1,0 – 2,0 1,87 ± 0,35 2,0 1,0 – 2,0 0,273H6 0,80 ± 0,41 1,0 0,0 – 1,0 1,00 ± 0,53 1,0 0,0 – 2,0 0,009 *
Retardasimotorik
H0 0,00 0,00 1,000H3 0,00 0,00 1,000H6 0,00 0,00 1,000
OrientasiH0 2,20 ± 0,41 2,0 2,0 – 3,0 2,13 ± 0,35 2,0 2,0 – 3,0 0,630H3 2,00 ± 0,53 2,0 1,0 – 3,0 1,60 ± 0,63 2,0 1,0 – 3,0 0,063H6 1,53 ± 0,64 2,0 1,0 – 3,0 1,07 ± 0,59 1,0 0,0 – 2,0 0,003 *
AtensiH0 2,40 ± 0,51 2,0 2,0 – 3,0 2,53 ± 0,52 3,0 2,0 – 3,0 0,472H3 1,73 ± 0,46 2,0 1,0 – 2,0 1,67 ± 0,62 2,0 1,0 – 3,0 0,640H6 1,47 ± 0,52 1,0 1,0 – 2,0 0,87 ± 0,35 1,0 0,0 – 1,0 0,003 *
Memorijangkapendek
H0 2,13 ± 0,35 2,0 2,0 – 3,0 2,33 ± 0,49 2,0 2,0 – 3,0 0,203H3 1,87 ± 0,49 2,0 1,0 – 3,0 1,53 ± 0,64 1,0 1,0 – 3,0 0,006 *H6 1,60 ± 0,51 2,0 1,0 – 2,0 1,07 ± 0,26 1,0 1,0 – 2,0 0,002 *
32
Komponenskor DRS R
98
Kelompok AntipsikotikpHaloperidol (n=15) Olanzapin (n=15)
Mean ± SD Median Min – Max Mean ± SD Median Min – MaxMemorijangkapanjang
H0 2,00 2,07 ± 0,26 2,0 2,0 – 3,0 0,317H3 2,00 1,87 ± 0,52 2,0 1,0 – 3,0 0,292H6 1,73 ± 0,46 2,0 1,0 – 2,0 1,20 ± 0,41 1,0 1,0 – 2,0 0,004 *
Kemampuanvisuospasial
H0 2,00 2,00 1,000H3 2,00 2,00 1,000H6 1,80 ± 0,41 2,0 1,0 – 2,0 1,33 ± 0,49 1,0 1,0 – 2,0 0,011 *
* Mann-Whitney test (p<0,05)
Tabel 5 memperlihatkan bahwa hasil uji Mann-Whitney menunjukkan
perbandingan komponen skor DRS R 98 antara kelompok haloperidol
dan kelompok olanzapin tidak bermakna (p>0,05), pada komponen
gangguan siklus tidur bangun, gangguan persepsi, waham, labilitas afek,
gangguan bahasa, gangguan proses pikir, dan retardasi motorik.
Perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok haloperidol versus
kelompok olanzapin terdapat pada komponen agitasi motorik (1,40±0,51
versus 1,87±0,35), orientasi (1,53±0,64 versus 1,07±0,59), atensi
(1,47±0,52 versus 0,87±0,35), memori jangka pendek hari ke-3 (1,87±0,49
versus 1,53±0,64), memori jangka pendek hari ke-6 (1,60±0,51 vs
1,07±0,26), memori jangka panjang (1,73±0,46 versus 1,20±0,41), dan
komponen kemampuan visuospasial (1,73±0,46 versus 1,20±0,41).
B. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan efektivitas
terapi haloperidol dan olanzapin terhadap perbaikan gejala klinis delirium.
Penilaian skor Delirium Rating Scale (DRS R 98 ) pada kelompok
haloperidol untuk menentukan nilai akumulatif skor DRS R 98 masing-
masing sampel yang kemudian dibandingkan dengan skor DRS R 98
33
sesudah mendapat terapi haloperidol. Hal yang sama dilakukan pada
kelompok olanzapin untuk menentukan nilai akumulatif skor DRS R 98
masing-masing sampel yang kemudian dibandingkan dengan skor DRS R
98 sesudah mendapat terapi Olanzapin.
Dari uji statistik diperoleh penurunan skor DRS R 98 yang signifikan
sesudah mendapat terapi haloperidol pada hari ke-3 (p<0,05) dan pada
hari ke-6 (p<0,05). Uji statistik menunjukkan bahwa pada kelompok
haloperidol, selisih rerata penurunan skor DRS R 98 5,20±1,66 pada hari
ke-3 pengobatan; dan pada hari ke-6 pengobatan selisih rerata penurunan
skor delirium yaitu 11,80±3,43.
Untuk kelompok olanzapin, diperoleh penurunan skor DRS R 98
yang signifikan sesudah mendapat terapi pada hari ke-3 (p<0,05) dan
pada hari ke-6 (p<0,05). Uji statistik menunjukkan bahwa pada kelompok
olanzapin, selisih rerata penurunan skor delirium 6,47±1,81 pada hari ke-3
pengobatan; dan pada hari ke-6 pengobatan selisih rerata penurunan skor
delirium yaitu 15,13±2,59.
Hal ini menunjukkan terdapat perbaikan gejala klinis delirium pada
masing-masing kelompok bila dilihat dari penurunan skor DRS R 98 yang
diukur pada hari ke-3 dan ke-6. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Grover (2013), yang menguji efikasi dan tolerabilitas olanzapin dan
risperidon dibandingkan dengan haloperidol, semua kelompok
menunjukkan penurunan skor DRS R 98 pada hari ke-3 dan ke-6.
34
Analisis perbandingan penurunan skor DRS R 98 antara kelompok
haloperidol dan olanzapin menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya
perbedaan bermakna antara penurunan skor DRS R 98 pada kelompok
haloperidol dan kelompok olanzapin (p>0,05) pada hari ke-3 pengobatan.
Perbedaan bermakna baru terlihat pada hari ke-6 pascaterapi, ditemukan
adanya perbedaan antara skor delirium pada kelompok haloperidol dan
kelompok olanzapin (p<0,05) dengan rerata kelompok olanzapin
12,33±3,37 lebih kecil dibanding kelompok haloperidol dengan rerata
15,33±3,79.
Hal ini menunjukkan perbaikan gejala klinis delirium pada hari ke-3
pengobatan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok.
Perbedaan perbaikan gejala klinis delirium secara signifikan antara
kelompok haloperidol dan olanzapin baru diperoleh pada hari ke-6 terapi,
terjadi perbaikan gejala klinis yang lebih baik pada kelompok olanzapin
dibandingkan kelompok haloperidol.
Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan bioavailabilitas antara
haloperidol dan olanzapin. Salah satu profil dari farmakokinetik obat yaitu
bioavailabilitas. Bioavailabilitas adalah fraksi dari dosis obat yang
diberikan, yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Berdasarkan definisi,
ketika obat diberikan secara intravena, bioavailabilitasnya adalah 100%.
Namun, ketika obat diberikan melalui rute pemberian lain (misalnya per
oral), pada umumnya bioavailabilitasnya akan menurun (karena obat
tersebut tidak diabsorbsi sepenuhnya) atau dapat bervariasi antara satu
35
pasien dengan pasien lainnya. Bioavailabilitas oral haloperidol 60 – 65 %
dengan volume distribusi 9,5 L/kg sedangkan bioavailabilitas oral
olanzapin 80 % dengan volume distribusi 660 – 1700 L/kg. Faktor-faktor
yang bisa mempengaruhi bioavailabilitas obat, yang terdapat pada
penelitian ini yaitu : 1) Perbedaan ritme sirkadian, 2) Perbedaan usia,
dimana obat-obatan dimetabolisme lebih lambat pada lansia, 3) Penyakit
yang dialami : misalnya fungsi hepatik dan renal yang buruk (Burton dkk.,
2006).
Analisis perbandingan penurunan skor komponen DRS R 98 antara
kelompok haloperidol dan olanzapin menunjukkan bahwa adanya
perbedaan bermakna antara beberapa komponen skor delirium pada
kelompok haloperidol dan kelompok olanzapin (p<0,05). Perbaikan gejala
klinis delirium berbeda bermakna, lebih baik pada kelompok olanzapin
dibandingkan kelompok haloperidol, terjadi pada komponen orientasi hari
ke-6, komponen atensi hari ke-6, komponen memori jangka pendek hari
ke-3 dan ke-6, komponen memori jangka panjang hari ke-6, serta
komponen kemampuan visuospasial hari ke-6. Sedangkan untuk
komponen agitasi motorik hari ke-6, perbaikan gejala klinis delirium
terdapat perbedaan bermakna, lebih baik pada kelompok haloperidol
dibandingkan kelompok olanzapin.
Dapat dijelaskan bahwa olanzapin memiliki afinitas lebih besar pada
reseptor 5HT2A, 5HT2C, H1 dan ACh dibandingkan dengan haloperidol.
Sehingga efektivitas olanzapin lebih baik daripada haloperidol dalam
36
memperbaiki gangguan orientasi, atensi, memori jangka pendek, memori
jangka panjang dan kemampuan visuospasial. Olanzapin mempunyai
afinitas yang lebih besar untuk reseptor 5-HT2A dibandingkan reseptor
D2. Reseptor 5HT1A postsynaptic menghambat neuron piramidal kortikal
dan mengatur hormon, kognisi, kegelisahan dan depresi. Reseptor
5HT2A, merangsang neuron piramida kortikal, memperbaiki pelepasan
glutamat dan menghambat pelepasan dopamin saat mereka berperan
dalam tidur dan halusinasi (Arana, 2000; Stahl, 2008).
Reseptor 5HT2C mengatur pelepasan dopamin dan norepinefrin dan
berperan dalam mood dan kognisi. Reseptor 5HT6 mengatur pelepasan
faktor neurotropika seperti faktor neurotropika yang diturunkan dari otak
(BDNF), yang pada gilirannya mengatur pembentukan memori jangka
panjang. Akhirnya, peran reseptor 5HT7 diklarifikasi terkait dengan ritme
sirkadian, tidur dan mood (Stahl, 2008).
Olanzapin juga mempunyai afinitas yang lebih besar untuk reseptor
asetilkolin (ACh) daripada haloperidol. Reseptor ACh mempengaruhi
kesiagaan, kewaspadaan dan pemusatan perhatian. Berperan pula pada
proses penyimpanan dan pemanggilan kembali memori atau ingatan,
atensi dan respon individu. ACh juga mengatur mood dan tidur REM
(Stahl, 2008).
Keterbatasan yang terdapat pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
37
1. Penelitian ini hanya menggunakan metode analitik observasional
sehingga variabel penelitian tidak dapat dikendalikan seluruhnya.
2. Penelitian ini tidak meneliti terjadinya efek samping dari penggunaan
antipsikotik.
3. Beberapa variabel yang mempengaruhi delirium yang sulit
dikendalikan dalam studi ini seperti kondisi medis umum dan kausa
delirium yang bervariasi.
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perbaikan gejala klinis delirium secara signifikan terjadi pada hari ke
tiga maupun hari ke enam namun perbaikan lebih besar pada
kelompok olanzapin.
2. Perbaikan gejala klinis delirium secara signifikan lebih baik pada
kelompok olanzapin dibandingkan kelompok haloperidol pada hari ke
enam pengobatan.
3. Perbaikan gejala klinis delirium secara signifikan lebih baik pada
kelompok olanzapin dibandingkan kelompok haloperidol, pada
komponen DRS R 98 : orientasi, atensi, memori jangka pendek,
memori jangka panjang, dan kemampuan visuospasial. Sedangkan
pada komponen agitasi motorik terjadi perbaikan gejala klinis delirium
secara signifikan lebih baik pada kelompok haloperidol dibandingkan
kelompok olanzapin.
B. Saran
1. Diperlukan waktu pengamatan yang longitudinal untuk melihat efek
samping dari terapi antipsikotik pada pasien delirium.
2. Diperlukan penelitian yang menggunakan metode uji klinis atau
analitik eksperimental untuk melihat efektivitas antipsikotik atipikal
dalam penatalaksanaan delirium.
39
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatry Association. Delirium. In : Diagnostic and StatisticalManual of Mental Disorder. 5th edition. Washington : AmericanPsychiatry Publishing. 2013:p136-147.
Arana GW, Rosenbaum JF. Handbook of Psychiatry Drug Teraphy. 4th ed.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, USA. 2000.
Attard A, Taylor D. Delirium and It’s Treatment. In : CNS Drugs. 8 Edition.2008:p631-614.
Brunton L, Chabner B, Knollman B. Goodman and Gilman’s ThePharmacological Basis of Therapeutics, Twelfth Edition. McGrawHill Professional. 2010.
Budiman R. Delirium. Dalam : Buku Ajar Psikiatri. Edisi Kedua. BadanPenerbit Fakultas Kedokteran. Jakarta. 2013:hal103-109.
Burton ME, Shaw LM, Schentag JJ, Evans WE. Applied Pharmacokinetics& Pharmacodynamics : Principles of Therapeutic Drug Monitoring.Fourth edition. Lippincott Williams & Wilkins, USA, 2006:p814.
Campbell N, Boustani MA, Ayub A, Fox GC. PharmacologicalManagement of Delirium. In : Hospitalized Adults : A SystemicReview. J Am Geriatr Soc. 2011:p269-276.
Carvalho J. Delirium Rating Scale. In : Critically Ill Patients : A SystematicLiterature Review in Rev Bras Ter Intensiva 2013:25(2):p148-154.
Dahlan S. Besar Sampel. Dalam : Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.Edisi 4. Epidemiologi Indonesia. Jakarta. 2016:hal194-201.
Dahlan S. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian BidangKedokteran dan Kesehatan. Edisi 2. Epidemiologi Indonesia.Jakarta. 2016:hal79-98.
Direktorat Bina Kesehatan Jiwa. Delirium dalam Pedoman PelayananKegawatdaruratan Psikiatrik. Ditjen Bina Upaya Kesehatan,KEMENKES RI. Jakarta. 2013:hal81-83.
Flaherty JH, Gonzales JP. Antipsychotics in the Treatment of Delirium inHospitalized Adults. A Systemic Review. J Am Geriatr Soc. 2011:p269-276.
Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis andmanagement of postoperative delirium. J Am Coll Surg. 2009:p261-268.
40
Fong TG, Tulebaev SR. Delirium in Elderly Adults : Diagnosis, preventionand, treatment. Nat Rev Neurol. 2009:p210-220.
Inouye SK. Delirium in Older Persons. N Engl J med. 2006;354;1157-65.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Delirium dalam Sinopsis Psikiatri. JilidSatu. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 2010:hal519-528.
Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute Confusional States Diagnosis andTreatment. Dutsch Arztebl Int. 2012:p391-400.
Maclulich AM. New Horizon in The Pathogenesis, Assessment andManagement of Delirium. Age and Ageing. 2013.
Markowitz J, Narasimhan M. Delirium and Antipsychotics : A SystematicReview of Epidemiology and Somatic Treatment Options inPsychiatry Journal 2008. 29-36.
Perry PJ, Alexander B, Liskow BI, Devane CL. Psychotropic DrugHandbook. Eighth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
PP PDSKJI. Delirium dalam Pedoman Nasional Pelayanan KedokteranJiwa/Psikiatri. Jakarta. 2012:8-17.
Samuels SC. Delirium in Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook ofPsychiatry. Seventh edition. Lippincott Williams & WilkinsCompany. 2000. 1054-1067.
Sinaga BR. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. 2007.
Soejono CH. Sindrom Delirium dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-5. Jakarta : Interna Publishing. 2009:907-912.
Stahl S. Antipsychotic Agents in Stahl’s Essential Psychopharmacology.Third Edition. New York : Cambridge University Press. 2008:336-341.
Stahl S. Haloperidol in The Prescriber’s Guide : Stahl’s EssentialPsychopharmacology. Fourth Edition. New York : CambridgeUniversity Press. 2011:257-262.
Stahl S. Olanzapine in The Prescriber’s Guide : Stahl’s EssentialPsychopharmacology. Fourth Edition. New York : CambridgeUniversity Press. 2011:427-434.
Trzepacz PT, Mittal D, Torres R, Kanary K, Norton J, Jimerson N. DeliriumRating Scale-R-98 in J Neuropsychiatry Clin Neurosci 13:2, Spring.2001:239-242.
41
Wang HR, Woo YS, Bahk WM. Atypical Antipsychotics in the Treatment ofDelirium in Psychiatry and Clinical Neurosciences. JapaneseSociety of Psychiatry and Neurology. 2013:323-331.
Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the Elderly : A Review. OmanMed J. 2008; 23; 150-157.
Yonemura K, Miyanaga K, Machiyama Y. Profiles of The Affinity ofAntipsychotic Drugs for Neurotransmitter Receptors and TheirClinical Implication. Kitakanto Med J. 1998.
Yoon HJ, Park KM, Choi WJ, Park JY. Efficacy and Safety of Haloperidolversus Atypical Antipsychotic Medications in the Treatment ofDelirium. BMC Psychiatry 2013, 13:240.
42
Lampiran 1
No penelitian :
PERSETUJUAN PENELITIAN
(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Tempat/tanggal lahir :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
Alamat :
Setelah diberi penjelasan mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya
menyatakan bersedia menjadi peserta penelitan dengan judul :
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ANTARA HALOPERIDOL,
OLANZAPIN DAN RISPERIDON TERHADAP PERBAIKAN GEJALA
KLINIS DELIRIUM.
Makassar, 2017
( )
43
Lampiran 2
DELIRIUM RATING SCALE REVISED-98
Inisial Pasien : No. RM :
Umur : L / P
Inisial Informan :
Inisial Skorer :
Tanggal : Jam :
Obat yang diberikan :
Skor Total :
GEJALA DELIRIUM SKOR GEJALA DERAJAT GEJALA
Gangguan siklus tidur-bangun
0 1 2 3 0 : Tidak ada gejala1 : Gangguan kontinuitas tidurringan di malam hari atau kadangmengantuk di siang hari2 : Gangguan siklus tidur-bangunsedang (contoh : tertidur dalampercakapan, tidur siang atauterbangun di malam hari dengankebingungan/perubahan perilaku,atau tidur malam yang sangatsedikit)3 : Gangguan berat siklus tidur-bangun (contoh : pembalikan siklustidur-bangun siang hari, ataubanyak periode tidur dan terjagaatau susah tidur)
Gangguan persepsi 0 1 2 3 0 : Tidak ada gejala1 : Derealisasi atau depersonalisasi; atau pasien mungkin tidak dapatmembeda-bedakan mimpi dengankenyataan2 : Terdapat ilusi3 : Terdapat halusinasi
44
Delusi atau waham 0 1 2 3 0 : Tidak ada gejala1 : Terdapat ide curiga, waspadaberlebihan, preokupasi2 : Ide-ide yang tidak biasa yangyang belum mencapai taraf waham3 : Terdapat waham
Labilitas afek 0 1 2 3 0 : Tidak ada gejala1 : Afek agak berubah atau tidaksesuai dengan situasi, perubahanafek selama beberapa jam, atauemosi sebagian besar berada dibawah kendali diri2 : Afek sering tidak sesuai dengansituasi dan cepat berubah selamabeberapa menit, emosi tidakkonsisten3 : Perubahan afek yang cepat daninapropriate, tidak dapatmengendalikan emosi
Bahasa 0 1 2 3 0 : Tidak ada gangguan berbahasa1 : Kesulitan mencari kata atautidak lancar dalam penamaan2 : Kesulitan memahami dalamkomunikasi3 : Bicara kacau yang tidak dapatdimengerti konten kalimatnya
Gangguan proses pikir 0 1 2 3 0 : Tidak ada kelainan1 : Tangensial atau sirkumstansial2 : Asosiasi longgar3 : Inkoheren
Agitasi motorik 0 1 2 3 0 : Tidak ada1 : Gerakan motorik ringan2 : Agitasi motorik sedang (contoh :mondar-mandir, gelisah, mencabutinfus)3 : Agitasi motorik berat, sepertimau memukul orang lain
45
Retardasi Motorik 0 1 2 3 0 : Tidak ada1 : Gerakan motorik sedikitberkurang kecepatan, spontanitasdan frekuensi2 : Gerakan motorik berkurangkecepatan, spontanitas danfrekuensi sampai menggangguaktifitas dan perawatan diri3 : Retardasi motorik berat, hanyasedikit gerakan spontan
Orientasi 0 1 2 3 0 : Orientasi waktu, tempat danorang, baik1 : Disorientasi waktu atau tempat(salah satunya)2 : Disorientasi waktu dan tempat3 : Disorientasi waktu, tempat danorang
Atensi atau perhatian 0 1 2 3 0 : Waspada dan perhatian penuh1 : Perhatian sedikit terganggunamun bisa difokuskan kembali dantidak terlalu lambat dalam memberirespon2 : Agak susah fokus danmempertahankan perhatian3 : Kesulitan memusatkan perhatiandan/atau mempertahankanperhatian, salah memberirespos/menanggapi atau tidakmampu mengikuti instruksi.Terganggu oleh suara ataukejadian di sekitarnya
Memori jangka pendek 0 1 2 3 0 : Memori jangka pendek baik1 : Bisa mengingat kembali 2/3 itemyang di recall2 : Bisa mengingat kembali 1/3 itemyang di recall3 : Tidak ada yang diingat kembalisetelah di recall
46
Memori jangka panjang 0 1 2 3 0 : Tidak ada defisit memori jangkapanjang yang signifikan1 : Mengingat kembali 2/3 itemdan/atau memiliki sedikit kesulitanmengingat rincian informasi jangkapanjang lainnya2 : Mengingat kembali 1/3 itemdan/atau memiliki kesulitanmengingat informasi jangkapanjang lainnya3 : Tidak ada yang diingat kembalidan/atau mengalami kesulitanmengingat informasi jangkapanjang lainnya
Kemampuanvisuospasial
0 1 2 3 0 : Tidak ada gangguan1 : Gangguan ringan, sebagianbesar rincian desain atau potongangambarnya benar2 : Gangguan sedang, sebagianbesar rincian desain atau potongangambarnya salah3 : Gangguan berat, tidak bisamembuat suatu desain ataugambar.
NO. SAMPEL UMUR JENIS KELAMIN PENDIDIKAN KAUSA DELIRIUM ANTIPSIKOTIK DRS H0 DRS H3 DRS H61 ED 37 P SMA Bedah Haloperidol 26 22 172 SA 60 P SMP Non Bedah Haloperidol 31 25 203 MY 43 L S1 Bedah Haloperidol 24 18 94 IK 53 P SMP Bedah Haloperidol 27 24 175 KF 62 L SMP Non Bedah Haloperidol 28 24 156 PR 40 L S1 Bedah Haloperidol 31 27 207 SW 49 P SMA Non Bedah Haloperidol 29 23 138 LM 39 P SMA Bedah Haloperidol 25 20 169 SP 38 P SMA Bedah Haloperidol 27 24 20
10 OT 56 L SMA Non Bedah Haloperidol 24 18 1511 BA 40 L S1 Bedah Haloperidol 30 23 1212 GF 45 P S1 Non Bedah Haloperidol 26 18 813 TR 64 L SMA Non Bedah Haloperidol 26 22 1614 WS 58 P SMA Non Bedah Haloperidol 29 25 1915 YA 52 L S1 Non Bedah Haloperidol 24 16 1316 MJ 59 P SMP Non Bedah Olanzapin 28 21 1417 RM 40 P S1 Bedah Olanzapin 30 26 1718 DK 58 L SMA Non Bedah Olanzapin 25 23 1619 HT 61 L SMA Non Bedah Olanzapin 33 27 1920 CA 37 P SMA Bedah Olanzapin 29 24 1521 SM 57 P SD Non Bedah Olanzapin 31 24 1222 RD 39 P S1 Bedah Olanzapin 26 18 923 NK 50 L S1 Non Bedah Olanzapin 28 19 1324 LG 38 L SMA Bedah Olanzapin 23 17 1125 KS 63 P SD Non Bedah Olanzapin 27 19 1026 ML 37 L SMA Bedah Olanzapin 30 24 1227 MH 41 P SMA Bedah Olanzapin 24 16 928 AS 51 L SMA Non Bedah Olanzapin 24 18 729 KA 58 L SMP Non Bedah Olanzapin 25 17 930 AM 62 P SMP Bedah Olanzapin 29 22 12
DATA PENELITIAN