-
FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA:
GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN SUMATRA
BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN MOLEKULER
GEN NATRIUM DEHYDROGENASE SUBUNIT 4 (ND4)
SKRIPSI
oleh
MUHAMMAD ALIF FAUZI
135090101111007
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA:
GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN SUMATRA
BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN MOLEKULER
GEN NATRIUM DEHYDROGENASE SUBUNIT 4 (ND4)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
dalam Bidang Biologi
oleh
MUHAMMAD ALIF FAUZI
135090101111007
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA:
GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN
SUMATRA BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN
MOLEKULER GEN NATRIUM DEHYDROGENASE
SUBUNIT 4 (ND4)
MUHAMMAD ALIF FAUZI
135090101111007
Telah dipertahankan di depan Majelis Penguji
pada tanggal 25 Juli 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dalam Bidang Biologi
Menyetujui
Pembimbing
Nia Kurniawan S.Si, MP., D,Sc
NIP 19600118 198601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi S-1 Biologi
Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
Rodliyati Azrianingsih, S.Si., M.Sc., Ph.D.
NIP 19700128 199412 2 001
-
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Alif Fauzi
NIM : 135090101111007
Jurusan : Biologi
Penulis Skrispi berjudul : Filogeografi Cicak Jari Lengkung
(Squamata: Gekkonidae: Cyrtodactylus)
di Jawa dan Sumatra Berdasarkan
Analisis Morfologi dan Molekuler Gen
Natrium Dehydrogenase Subunit 4 (ND4)
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini adalah benar-benar karya saya sendiri dan bukan hasil plagiat dari karya orang lain. Karya-karya yang
tercantum dalam Daftar Pustaka Skripsi ini semata-mata
digunakan sebagai acuan/referensi
2. Apabila kemudian hari diketahui bahwa isi Skripsi saya merupakan hasil plagiat, maka saya bersedia menanggung
segala resiko.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran
Malang, 4 Agustus 2017
Yang menyatakan
Muhammad Alif Fauzi
135090101111007
-
iv
-
v
HALAMAN PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI
Skripsi ini tidak dipublikasikan namun terbuka untuk umum dengan
ketentuan bahwa hak cipta ada pada penulis. Daftar Pustaka
diperkenankan untuk dicatat, tetapi pengutipan hanya dapat
dilakukan seizin penulis dan harus disertai keabsahan ilmiah dalam
menyebutkannya.
-
vi
Filogeografi Genus Cicak Jari Lengkung (Squamata;
Gekkonidae; Cyrtodactylus) di Jawa dan Sumatra Berdasarkan
Analisis Morfologi dan Molekuler Gen Natrium Dehydroganase
Subunit 4 (ND4)
Muhammad A. Fauzi., Nia Kurniawan
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya
2017
ABSTRAK
Sejarah geografis konstruksi Paparan Sunda menyebabkan adanya
pergeseran dan fluktuasi air laut yang mengakibatkan pulau di
Paparan Sunda mengalami pemisahan dan penggabungan. Aktivitas
ini mempengaruhi persebaran genus Cyrtodactylus di Jawa dan
Sumatra. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan
kekerabatan dan zoogeografi Cyrtodactylus berdasarkan analisis gen
ND4 serta pengelompokan berdasarkan morfologi. Metode yang
digunakan meliputi morfometri, meristik, isolasi DNA, Polymerase
Chain Reaction dan sekuensing. Analisis morfologi dilakukan
menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dengan software
PAST dan konstruksi pohon filogenetik dilakukan menggunakan tiga
analisis yaitu Maximum likelihood, Maximum Parsimony dan
Bayesian Inference. Hasil PCA menunjukkan kesamaan karakter
morfologi C. marmoratus jantan dan betina dari Jawa dan Sumatra.
Hubungan filogenetik menjelaskan bahwa Cyrtodactylus membentuk
satu clade monofiletik. Pohon filogenetik membagi Cyrtodactylus
dalam tiga clade yaitu clade A (Jawa Barat), clade B (Jawa Tengah),
dan clade C (Sumatra dan Kalimantan). Pada clade A dan B, C.
marmoratus Jawa Barat terpisah dari C. marmoratus Jawa Tengah.
Nilai p-distance C. marmoratus Jawa Barat dengan Jawa Tengah
(33,6%) lebih tinggi daripada C. cf marmoratus dari Sumatra Utara
(31,3%). Hal ini diakibat terbentuknya pegunungan pada Jawa
bagian barat yang membentuk lembah mengakibatkan terjadinya
barier geografis yang memisahkan clade A dan B. Selain itu,
pemisahan dan penggabungan pulau-pulau di Paparan Sunda secara
-
vii
berulang kali akan mempengaruhi diversifikasi dan variasi genetik
Cyrtodactylus.
Kata kunci : Cyrtodactylus, filogenetik, Paparan Sunda
Phylogeography of Bent-Toad Gecko (Squamata; Gekkonidae;
Crytodactylus) in Java and Sumatra Based on Morphological and
Molecular Analysis of Natrium Dehydroganase Subunit 4 (ND4)
Muhammad A. Fauzi., Nia Kurniawan
Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Science,
University of Brawijaya
2017
ABSTRACT
The geographical history of Sundaland lead a shift and fluctuation of
sea water which have an effect on the separating and merging
process of Sundaland. This affects the spreading of Cyrtodactylus in
Java and Sumatra. The aim of of this study is to explain the
relationship and zoogeography of Cyrtodactylus based on ND4 gene
analysis as well as morphological analysis. Methods used in this
study were morphometry, meristics, DNA isolation, Polymerase
Chain Reaction and sequencing. Morphological analysis was
performed using Principal Component Analysis with PAST software,
and phylogenetic tree was constructed by using Maximum likelihood,
Maximum Parsimony and Bayesian Inference. The result of PCA
showed that similarity characteristics morphological of male and
female C. marmoratus from Java and Sumatra. The phylogenetic
analysis showed that Cyrtodactylus forms a monophyletic clade. The
phylogenetic analysis resulted three clades consist of clade A (West
Java), clade B (Central Java), clade C (Sumatra and Kalimantan).
Clade A and B consists C. marmoratus of West Java separated from
C. marmoratus of Central Java. The p-distance value of C.
marmoratus from West Java with Central Java (33.6%) was higher
than C. cf marmoratus of North Sumatra (31.3%). This was probably
the result of the mountain formation in west Java that have valleys,
and resulting the occurrence of geographical barriers that separated
clades A and B. In addition, the separation and incorporation of
-
viii
islands in Sunda exposure will repeatedly affect the diversification
and genetic variation of Cyrtodactylus.
Key words: Cyrtodactylus, phylogenetic, Sundaland
-
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdullilaahi Robbil ‘Aalamiin, dengan ungkapan rasa syukur
pada Allah Yang Maha Kuasa akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dalam bidang Biologi di Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Nia Kurniawan S.Si, MP, D.Sc selaku Dosen Pembimbing yang selalu mendampingi dan memberi pengarahan, tambahan
ilmu serta saran -saran yang berguna bagi penulis.
2. Bapak Bagyo Yanuwiadi dan Bapak Widodo selaku Dosen Penguji yang telah memberi saran yang bermanfaat demi
perbaikan penyusunan skripsi.
3. Bapak Sujatmiko dan Ibu Trisnowati selaku orang tua penulis dan keluarga atas segala doa, dukungan, dan motivasi yang tidak
terkira.
4. Tim Master of Sundaland A.M. Kadafi., M. Fahmi, Bagus P., Anggun S.F., Agung Sih K, Adityas A., Erintha E.W.,
Mulyadiane M.P., Day Shine N, Noviati R., Ari A., M. Farih A.
yang memberikan masukan tambahan, pengetahuan dan saran
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Teman-teman seperjuangan skripsi Putri Dyandra D., Rizha H., M. Nizar F., Zahrina Z.D., Jerry F.P., Jenvia R.P., Alveus R., M.
Luqman H., yang memberikan segala bantuan moral dan
semangat kepada penulis.
6. Teman-teman Biologi UB, khususnya angkatan 2013 dan teman-teman KSB, serta seluruh civitas akademik yang ada di Jurusan
Biologi.
Penulisan skripsi ini merupakan upaya optimal penulis sebagai
sarana terbaik dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menjadikan karya
ini semakin bermanfaat.
Malang, 4 Agustus 2017
-
x
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .................................................................................. v
ABSTRACT ................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. xiii
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ............................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 4
2.1 Sundaland (Paparan Sunda) ....................................... 4
2.2 Biogeografi Genus Cyrtodactylus ............................. 6
2.3 Genus Cyrtodactylus .................................................. 7
2.4 Biogeografi .......................... ...................................... 9
2.5 Konsep Spesies dan Spesiasi ...................................... 9
2.6 Morfometri ................................................................. 10
2.7 Analisis Filogenetik .................................................... 11
2.7 Analisis Molekuler ..................................................... 12
2.7.1 Polymerase Chain Reaction (PCR) ................. 13
2.7.2 Gen NADH Dehydrogenase Subunit 4 (ND4) 13
BAB III METODE PENELITIAN ........................................... 16
3.1 Waktu dan Tempat ..................................................... 16
3.2 Kerangka Kerja Penelitian .......................................... 16
3.3 Deskripsi Area Studi .................................................. 17
3.4 Pengambilan Sampel Cyrtodactylus ........................... 18
3.5 Analisis Molekuler ..................................................... 19
-
xi
3.5.1 Ekstraksi DNA ......................................................... 19
3.5.2 Amplifikasi gen ND4 .......................................... 20
3.5.3 Uji kualitatif DNA .............................................. 21
3.5.4 Pengumpulan data sekuena genus
Cyrtodactylus di kawasan Paparan Sunda ......... 21
3.6 Konstruksi Pohon Filogenetik .................................... 22
3.6.1 Contig dan alignment sekuens DNA .................. 21
3.6.2 Analisis sequence divergence (p-distance) ......... 22
3.6.3 Pemilihan Modeltest untuk Analisis Maximum
likelihood dan Bayesian Inference ...................... 23
3.6.4 Analisis Maximum likelihood dan Maximum
Parsimony .......................................................... 23
3.6.5 Analisis Bayesian Inference ............................... 23
3.7 Analisis Morfometri ................................................... 24
3.7.1 Pengambilan data morfometri ............................. 24
3.7.2 Analisis data morfometri .................................... 25
3.7.3 Analisis Principal Component Analysis
Cyrtodactylus ...................................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 27
4.1 Morfometri dan Meristik Cyrtodactylus ..................... 27
4.1.1 Principal Component Analysis (PCA) genus
Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan
analisis morfologi ............................................... 29
4.2 Hubungan Kekerabatan Genus Cyrtodactylus di
Jawa dan Sumatra Berdasarkan Analisis Gen ND4 ... 32
4.2.1 Clade A ............................................................... 33
4.2.2 Clade B ............................................................... 34
4.2.3 Clade C ............................................................... 35
4.3 Zoogeografi Genus Cyrtodactylus di Jawa dan
Sumatra Berdasarkan Analisis Filogenetik ............... 43
4.4 Sifat Adaptif Cyrtodactylus........................................ 48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................... 50
5.1 Kesimpulan ................................................................ 50
5.2 Saran ........................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 51
-
xii
LAMPIRAN ................................................................................ 59
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Daftar Sampel Cyrtodactylus ................................................ 19
2 Data Sampel Cyrtodactylus dan Outgroup dari Genbank .... 22
3 Karakter Morfometri Cyrtodactylus ..................................... 24
4 Karakter Meristik Cyrtodactylus .......................................... 25
5 Hasil Morfometri Cyrtodactylus Betina ............................... 27
6 hasil Morfometri Cyrtodactylus Jantan ................................ 27
-
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Rekonstruksi Geologis Indo-Australian Archipelago ........ 5
2 Batas Wilayah Paparan Sunda ........................................... 6
3 Cyrtodactylus semiadii ....................................................... 8
4 Peta Genom Mitokondria .................................................. 14
5 Peta Lokasi Sampling di Jawa dan Sumatra ....................... 17
6 Pola Precloacal dan Sisik Femoral.................................... 28
7 Hasil PCA Cyrtodactylus Jantan ........................................ 30
8 Hasil PCA Cyrtodactylus Betina ........................................ 31
9 Karakter Morfologi C. marmoratus dari Jawa Barat ......... 33
10 Karakter Morfologi Ventral dan Dorsal C. semiadii dan C. marmoratus ................................................................... 35
11 Filogram Maximum Likelihood, Maximum Parsimony dan Bayesian Inference Berdasarkan Gen ND4 di Jawa
dan Sumatra........................................................................ 37
12 Perbandingan Morfologi Bagian Dorsal C. consobrinus,
C. hikidai dan C. aurensis .................................................. 38
13 Perbandingan Karakter Morfologi Bagian Dorsal C.
lateralis dan C. semicinctus ............................................... 40
14 Perbandingan Karakter Morfologi Ventral C. lateralis dan
C. semicinctus .................................................................... 40
15 Persamaan Karakter Morfologi C. cf psarops. .................. 42
-
xiv
16 Karakter Morfologi C.cf marmoratus ................................ 43
17 Peta Persebaran Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra
Berdasarkan Analisis Gen ND4 ......................................... 44
-
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Hal
1 Hasil Identifikasi Secara Morfologi ................................... 59
2 Hasil Elektroforesis Gen ND4 ............................................. 59
3 Hasil Alignment Sekuens ND4 ............................................ 60
4 Nilai P-Distance (Pairwise Distance) dengan menggunakan Program Mega 7 .................................................................. 60
5 Perhitungan Model Pohon menggunakan Jmodeltest.......... 61
6 Perhitungan Model Menggunakan Kakusan 4 .................... 62
7 Hasil Rekonstruksi Pohon Filogenetik Maximum Likelihood Bootstrap 100 dengan menggunakan Program
PAUP*4.0b10 ...................................................................... 62
8 Hasil Rekonstruksi Pohon Filogenetik Maximum Parsimony dengan Bootstrap 1000 menggunakan
PAUP*4.0b10 ...................................................................... 63
9 Hasil Rekonstruksi Filogenetik dengan Bayesian Inference menggunakan Software Mrbayes 3.0b4 .............. 63
-
xvi
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
Simbol/Singkatan Keterangan
ATP adenosin triphospate
BI bayesian interference
bp base-pair
BPP bayesian posterior probability
DNA deoksiribosa nucleic acid
HGP human genome project
GPS global positioning system
GTR general time reversible
LGM last glacial maximum
MCMC monte carlo markov chain
ML maximum-likelihood
MLBS maximum-likelihood bootstrap
MP maximum parsimony
MPBS maximum parsimony bootstrap
mtDNA mitochondrial DNA
ND4 NADH dehydrogenase Subunit 4
PCA Principal Component Analysis
PCR Polymerase Chain Reaction
RFLP Restriction Fragment Length
Polymorphism
RNA ribonucleic acid
SVL snout vent length
TBE Tris Buffer EDTA
TBR tree bisection recognition
TL tail length
VES visual encounter surveys
Simbol/Singkatan Keterangan
C celcius
mm milimeter
µL mikroliter
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paparan Sunda merupakan suatu wilayah yang meliputi Sumatra,
Borneo, Jawa dan Semenanjung Malaya pada periode Pleistosen dan
Pleiosen (Bird dkk., 2005). Paparan sunda merupakan kawasan tropis
dengan geografis yang paling kompleks di bumi. Selama periode
Pleistosen, terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air laut yang
menyebabkan pulau di Paparan Sunda secara berulang mengalami
penggabungan dan pemisahan satu sama lain. Paparan Sunda
terbentuk akibat perluasan daratan Asia pada periode permukaan air
laut yang rendah dan memunculkan dasar laut antara Semenanjung
Malaya, Jawa, Sumatra dan Kalimantan (Lohman dkk., 2011).
Proses konstruksi Paparan Sunda menyebabkan beberapa spesies
yang dulunya berada dalam satu populasi mengalami pemisahan.
Akibatnya, beberapa spesies mengalami adaptasi pada suatu habitat
yang baru, sehingga memunculkan karakter yang berbeda dengan
spesies asal. Selain itu, isolasi geografis juga menyebabkan suatu
populasi memiliki divergensi sekuens dari populasi lainnya yang
sejenis (Endler, 1997). Kondisi ini dapat terjadi melalui mekanisme
isolasi antar populasi dan interaksi terhadap lingkungan sebagai
bentuk adaptasi organisme, sehingga diferensiasi karakter muncul
sebagai bentuk respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup
organisme tersebut (Hill & Wiens, 2000).
Cyrtodactylus merupakan genus yang memiliki banyak spesies.
Eksplorasi herpetofauna, khususnya Cyrtodactylus, telah memberikan
kontribusi berupa sejumlah spesies yang dideskripsikan dari berbagai
wilayah meliputi Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina,
Borneo, Sulawesi, Papua dan Australia (Uetz, 2015). Menurut
Iskandar dkk. (2011), genus Cyrtodactylus terdiri lebih dari 130
spesies dengan perkembangan yang cepat dalam dua dekade terakhir
ini dengan ditemukannya spesies baru lebih dari 80 jenis. Terdapat
perbedaan morfologi yang membedakan beberapa spesies, misalnya
adalah adanya karakter spesifik pada salah satu spesies antara C.
marmoratus dari Jawa dengan spesies dari Sulawesi. Persebaran yang
sangat luas hampir di seluruh Asia Tenggara menyebabkan banyaknya
penemuan spesies baru yang ditandai dengan beberapa karakter kunci
dari segi morfologi akibat adaptasi terhadap barier geografis. Spesies
-
2
dari anggota genus Cyrtodactylus memiliki ciri morfologi dan corak
yang hampir sama, sehingga perlu dilakukan kajian DNA untuk
konfirmasi hasil identifikasi. Selain itu, minimnya informasi terkait
herpetofauna di kawasan Paparan Sunda menjadi salah satu implikasi
pentingnya dilakukan penelitian terhadap biodiversitas Indonesia
sebagai upaya konservasi (Iskandar & Elderen, 2006).
Teknik identifikasi suatu taksa menggunakan sekuens DNA (DNA
barcoding) didasarkan pada perubahan basa nukleotida akibat proses
evolusi. Perubahan sekuens di setiap spesies menjadi acuan untuk
konstruksi filogenetik. Susunan genom mitokondria memiliki sebuah
daerah dimana terdapat daerah konservatif dan variatif yang dapat
menginterpretasikan jejak historis evolusi organisme (Nei & Kumar,
2000). Penggunaan gen NADH Dehydrogenase Subunit 4 (ND4)
didasarkan pada aktivitas gen ini yang menghasilkan komplek enzim
yang besar untuk mitokondria. Aktivitas sel ini berpengaruh terhadap
segala macam aktivitas genom mitokondria dalam melakukan
aktivitasnya. Adaptasi habitat baru akibat pemisahan geologis
menyebabkan gen ini mengalami perubahan nukleotida, sehingga
akan merubah urutan sekuens gen ND4. Identifikasi molekuler dengan
gen ND4 mampu menginterpretasikan hubungan kekerabatan
berdasarkan variasi pada setiap jenis organisme yang dihubungkan
dengan demografi sejarah geologi (Zhang dkk., 2014).
Spesies dengan persebaran luas umumnya memiliki prioritas
konservasi yang rendah. Namun, beragamnya tingkat cryptic spesies
dapat menjadi (Bickford dkk., 2007). Studi tentang biogeografi dapat
digunakan sebagai upaya konservasi dengan menggunakan data
genetik. Pendekatan identifikasi secara biogeografi molekuler dapat
digunakan untuk mengetahui demografi sejarah dan perubahan
distribusi sebagai respon terhadap iklim (Lim dkk, 2011). Berdasarkan
penjelasan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan maka didapatkan
beberapa permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana pengelompokan Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis morfologi ?
2. Bagaimana hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis gen ND4?
-
3
3. Bagaimana zoogeografi antar spesies Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis molekuler gen ND4?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pengelompokan Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis morfologi.
2. Menjelaskan hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis gen ND4.
3. Menentukan zoogeografi antar spesies Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis molekuler gen ND4.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
terhadap database genetik spesies dari genus Cyrtodactylus di Jawa
dan Sumatra, serta dapat menjadi bahan evaluasi perencanaan
konservasi.
-
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paparan Sunda
Paparan Sunda adalah suatu perluasan lautan dangkal yang
menghubungkan Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung
Malaysia pada zaman Pleistosen akibat kenaikan dan penurunan level
air laut (Myers dkk., 2000). Periode Pleistosen menimbulkan air laut
terakumulasi pada kutub yang menyebabkan menurunnya level air laut
tropis sekitar 70-150 m. Akibat hal tersebut, laut dangkal mengalami
pengeringan, sehingga terjadi perluasan wilayah daratan Paparan
Sunda dan Paparan Sahul. Paparan Sunda, seperti Sumatra, Jawa dan
Kalimantan bersatu dengan kepulauan Melayu. Pulau Bali yang
merupakan wilayah dari Sunda Besar juga mengalami perluasan dan
ikut bersatu dengan daratan Paparan Sunda (Bird dkk., 2005).
Konstruksi Paparan Sunda terjadi pada awal Eosen dimana daratan
Sunda mengalami peregangan dimulai dari sisi Sumatra, kemudian
diikuti dengan Jawa. Ujung Jawa kemudian memisah dan bergabung
dengan bagian ujung pulau Sulawesi. Proses tersebut berlanjut pada
bagian Kalimantan dan Sulawesi akibat pergeseran lempeng Australia
yang bersinggungan dengan tepi paparan Sunda yang menyebabkan
bertambahnya luas laut dangkal. Tubrukan yang terjadi menghasilkan
daratan Wallacea yang lebih luas mencakup pulau Sulawesi (Gambar
1). Periode Neogene, Australia mengalami pergeseran ke utara dan
menghasilkan Sumatra dan Jawa sebagai daratan utama pada periode
Pliosen (Lohman dkk., 2011).
Perubahan distribusi fauna di Paparan Sunda disebabkan iklim
basah dan kering selama periode Pleistosen. Selama periode Last
Glacial Maximum (LGM) terdapat penurunan level air laut secara
global, sehingga memunculkan timbulnya paparan benua dari selatan
Thailand ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta menghasilkan
Paparan Sunda dengan luas mirip dengan Eropa (Bird dkk., 2005).
Menurut Pelejero dkk. (1999), perluasan geografi tersebut berefek
pada persebaran genetik populasi dari daratan utama dengan populasi
pulau-pulau. Adanya perubahan habitat akibat evolusi geografis dan
iklimatis menyebabkan beberapa spesies hewan mengalami
perubahan. Variasi habitat menyebabkan perbedaan karakter pada
individu di dalam satu spesies akibat respon terhadap lingkungannya.
-
5
(Lohman dkk., 2011)
Gambar 1. Rekonstruksi geologis Indo-Australian Archipelago
Jejak historis distribusi spesies di sepanjang Paparan Sunda
menunjukkan bahwa beberapa spesies mengalami kepunahan di
Sumatra selama masa Pleistosen. Endemisme spesies di Sumatra yang
tidak ditemukan di beberapa daerah lain mengiindikasikan bahwa
Sumatra berfungsi sebagai persimpangan fauna Pleistosen. Sebagian
besar proses kepunahan suatu spesies merupakan suatu proses alami.
Spesies atau populasi yang hidup pada pulau kecil (misalnya Pulau
Mentawai) memiliki tingkat kepunahan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan spesies yang terdistribusi pada pulau besar
(misalnya Pulau Sunda) (Burkey, 1995). Terdapat 2 skenario
penyebab kepunahan di Sumatra, yaitu perubahan iklim dan vegetasi
-
6
selama masa Pleistosen, serta pengaruh dari erupsi supervulkanik
Toba (Wilting dkk., 2012).
Garis Wallace merupakan garis pembatas yang membedakan
karakteristik antara fauna paparan Sunda dan pulau-pulau kecil di
dekat Sulawesi (Gambar 2). Menurut Mayr (1939), terdapat banyak
kawasan kering yang melebar dari Filipina dan Celebes hingga pulau
Buru, serta Jawa Timur hingga Nusa tenggara. Zona tersebut berperan
sebagai pembatas jalur antara Paparan Sunda dengan Papua. Terdapat
faktor yang mempengaruhi miskinnya fauna pada beberapa pulau
kecil, salah satunya adalah usia geologi yang masih muda, sehingga
membatasi kesempatan fauna untuk melakukan kolonisasi. Selain itu,
deretan kepulauan dari Jawa hingga Nusa Tenggara memiliki aktivitas
vulkanik yang tinggi. Aktivitas vulkanik ini terjadi di kawasan yang
terpencil, namun berefek pada kawasan yang cukup luas. Hal tersebut
diperkirakan menjadi alasan fauna Jawa lebih miskin dibanding
Sumatra dan Kalimantan.
(Lohman dkk., 2011)
Gambar 2. Batas Wilayah Paparan Sunda
2.2 Biogeografi Cyrtodactylus
Cyrtodactylus Asia/Pasifik merupakan genus dari Famili
Gekkonidae yang paling beragam dan terdistribusi sangat luas. Selain
itu, genus Cyrtodactylus juga memiliki beberapa spesies yang baru
saja ditemukan atau diidentifikasi. Pola utama dari sejarah evolusioner
-
7
Cyrtodactylus masih belum banyak diketahui karena belum ada
penelitian dengan sampel yang berskala geografi luas dan diversitas
morfologi dari genus ini. Cyrtodactylus merupakan spesies
monofiletik, hanya jika spesies India/Sri Lanka yang dikenal dengan
Geckoella. Divergensi membagi Cyrtodactylus menjadi 2 clade yaitu
spesies tunggal C. tibetanus, clade spesies dari Myanmar/Himalaya
selatan, dan clade besar yang meliputi Cyrtodactylus dan Geckoella.
Clade terbesar memiliki sub-clade paling beragam di Thailand,
Indochina Timur, kawasan Sunda, kawasan Papua, dan Filipina. Hasil
filogenetik, kaitannya dengan jam molekuler dan analisis area nenek
moyang, menunjukkan bahwa Cyrtodactylus berasal dari kawasan
circum-Himalayan pada zaman Cretaceous/Paleogene (Wood dkk.,
2012)
Daratan utama Asia Tenggara mengalami segregasi geografi yang
kuat terhadap pemisahan clade Cyrtodactylus dari Myanmar,
Thailand, Indochina Timur, dan Semenanjung Malaya. Hal tersebut
menunjukkan peran dari batas atau barier geografi jangka panjang
dalam membentuk endemisme regional. Salah satu barier yang
terkenal adalah wilayah Isthmus of Kra sebagai barier geografis antara
Thailand dengan Sunda (Semenanjung Malaya) (Hughes dkk., 2003;
Woodruff & Turner, 2009). Transgresi tersebut menyebabkan
terjadinya isolasi radiasi Cyrtodactylus. Barrier lain yang cukup
dikenal adalah Lembah Mekkong sebagai batas/barier antara
Cyrtodactylus Thai dan Indocina (Bain & Hurley, 2011).
2.3 Genus Cyrtodactylus
2.3.1 Klasifikasi Cyrtodactylus
Genus Cyrtodactylus adalah salah satu marga yang sangat umum
ditemui di daerah hutan. Cyrtodactylus dalam nama lokal sering
disebut dengan Cicak Kaki Bengkok. Menurut Reptile Database
(2014), cicak kaki bengkok masuk dalam Kingdom Animalia, Filum
Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Reptilia, Ordo Squamata,
Famili Gekkonidae, dan Genus Cyrtodactylus.
Binomial nomenclature Cyrtodactylus menggantikan penamaan
sebelumnya yang menggunakan Geckoella. Genus ini juga dikenal
dengan nama lain Stenodactylus yang berkerabat dekat dengan genus
Hemidactylus. Perbedaan genus Cyrtodactylus dan Hemidactylus
-
8
didasarkan pada lamellae yang muncul pada bagian jari kaki (Bauer,
1994).
(Riyanto dkk., 2014)
Gambar 3. Cyrtodactylus semiadii
Cyrtodactylus merupakan anggota dari Famili Gekkonidae, sub-
ordo Sauria. Genus ini memiliki perbedaan morfologi yang mencolok.
Cyrtodactylus dapat mudah dikenali dengan melihat corak di bagian
dorsal hingga kloaka. Masing-masing spesies memiliki pewarnaan
corak yang berbeda. Berbeda dengan genus Hemidactylus, genus ini
tidak memiliki tip untuk menempel pada dinding. Hal ini disesuaikan
dengan habitat cicak batu yang dapat ditemukan pada bebatuan dan
kayu-kayu yang sudah lapuk. Bentuk tubuh cicak batu memanjang dan
tegap. Corak yang berada pada punggung memiliki warna coklat
dengan bentuk corak yang bulat kecil hingga garis memanjang
(Gambar 3). Genus Cyrtodactylus memiliki total Snout Vent Length
(SVL) 74,4 mm (Das, 2014).
2.4 Biogeografi
Cabang ilmu biogeografi merupakan ilmu multidisipliner yang
menggabungkan konsep biologi dan geologi. Studi biogeografi
menerangkan tentang distribusi suatu taksa. Persebaran jenis
organisme dalam sudut pandang biogeografi dapat dilihat dalam
beberapa aspek seperti ekologi dan iklim yang mempengaruhi tipe
adaptasi suatu spesies. Kajian biogeografi juga menganalisis proses
jangka panjang yang menyangkut konstruksi terbentuknya suatu
-
9
topografi wilayah. Proses jangka panjang pembentukan wilayah akan
mempengaruhi diversitas dan genetik dari suatu taksa, sehingga
menjadikan pola persebaran yang berbeda (Hugget, 2004).
Geografi suatu wilayah dari waktu ke waktu tentunya mengalami
perubahan dari segi habitat. Perubahan ini dapat dikarenakan akibat
isolasi geografis yang menjadikan suatu populasi mengalami adaptasi
pada geografis yang berbeda, sehingga menjadi subpopulasi kecil
yang mengkoloni suatu wilayah. Proses pemisahan dari populasi
utama tersebut akan mempengaruhi genetik, fisiologi dan morfologi
suatu taksa akibat adaptasi pada habitat yang baru. Kaitan kajian
biogeografi juga dapat dihubungkan dengan disiplin ilmu filogeografi
yang menginterpretasikan hubungan kekerabatan pada pola
persebaran organisme berdasarkan data biogeografis (Tjandra, 2012).
Kajian ini memiliki peran penting dalam memahami proses evolusi
yang didalamnya terdapat variasi yang dapat diturunkan melalui
materi genetik dan terjadi akibat proses seleksi alam serta adaptasi
(Morley, 2000).
2.5 Konsep Spesies dan Spesiasi
Menurut Campbell & Mitchell (2005), konsep spesies memiliki arti
bahwa spesies yang tergabung dalam suatu populasi memiliki
kemampuan untuk saling melakukan perkawinan satu sama lain dan
menghasilkan keturunan fertil. Di sisi lain, apabila dalam kelompok
spesies melakukan perkawinan dengan kelompok spesies lain maka
akan menghasilkan keturunan yang steril dan keturunan tersebut akan
mati. Suatu spesies biologis dapat dikatakan sebagai unit populasi
terbesar, dimana pertukaran genetik terjadi dan terisolasi secara
genetik dari populasi lain semacamnya. Dalam konsep spesies
tentunya berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati. Banyak faktor
yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya adalah adanya barier
yang mengisolasi gen dari suatu spesies.
Spesiasi merupakan suatu proses evolusi dari nenek moyang
organisme yang membentuk spesies baru. Spesiasi terbentuk apabila
aliran gen antara populasi yang awalnya ada secara efektif telah
mereda, serta dipengaruhi oleh mekanisme isolasi. Spesies baru yang
terbentuk dalam kurun waktu yang panjang dipengaruhi oleh beberapa
model spesiasi yang terjadi pada suatu habitat (Brumfield, 2010).
Spesiasi umumnya timbul akibat dari proses adaptasi beberapa
populasi organisme pada kondisi lingkungan tertentu. Proses spesiasi
-
10
dapat terjadi melalui mekanisme aliran gen yang terinterupsi antara
dua populasi pada satu spesies (Ridley, 2004).
Spesiasi alopatrik terjadi jika aliran gen (gene flow) terinterupsi
ketika satu populasi terpisah secara geografis menjadi subpopulasi
yang terisolasi. Pemisahan populasi dapat terjadi karena kemampuan
beberapa organisme untuk melakukan perpindahan. Barier sungai
ataupun lautan dapat menyebabkan pemisahan populasi hewan yang
tidak dapat melakukan penyebrangan, sehingga individu akan
mengkoloni pada wilayah yang terisolir. Akibat yang dihasilkan
adalah keturunan yang terisolasi dari populasi induknya (White,
1978). Menurut Mallet (2010), spesiasi simpatrik dapat terjadi pada
populasi organisme yang berada pada geografis yang sama. Spesiasi
terbentuk jika aliran gen berkurang karena faktor poliploidi,
diferensiasi habitat dan seleksi seksual (sexual selection). Diferensiasi
habitat menyebabkan faktor genetik meningkatkan kemampuan suatu
subpopulasi dalam mengeksploitasi habitat yang tidak digunakan oleh
populasi induk.
2.6 Morfometri
Morfometri adalah metode pengukuran pada karakter morfologi
suatu hewan untuk mengetahui variasi antar individu dari setiap
populasi yang berbeda (Jensen, 1981; Munshi & Dutta, 1996). Studi
morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat, yaitu dapat
membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola
keragaman morfologis antar populasi atau spesies, mengklasifikasikan
dan menduga hubungan kekerabatan diantara spesies maupun dalam
intraspesies (Jensen, 1981). Perbedaan yang muncul dari hasil
pengukuran morfometri serta meristik adalah hasil interaksi antara gen
yang mengalami ekspresi yang berbeda pada fisiologis dan DNA yang
diakibatkan oleh adaptasi terhadap lingkungannya. Barrier dan
kondisi ekologis akan memunculkan variasi dan diferensiasi karakter
antar populasi yang dipicu akibat respon terhadap lingkungan (Hill &
Wiens, 2000). Namun, hasil morfometri ini masih dianggap kurang
dalam menggambarkan variabilitas dari berbagai populasi. Di sisi lain,
data morfometri ini dapat dijadikan sebagai landasan awal untuk
menduga adanya variabilitas genetik (Chernoff, 1982).
Identifikasi secara morfometri pada genus Cyrtodactylus telah
dilakukan oleh beberapa peneliti dan banyak ditemukan banyak
spesies baru dari genus ini. Iskandar dkk. (2011) melaporkan bahwa
-
11
C. fumosus, terdistribusi di Sulawesi dan Jawa, memiliki perbedaan
karakter morfologi yang spesifik antara lokasi Jawa dan Sulawesi.
Hartman dkk. (2016), melakukan identifikasi holotype C. fumosus
yang berasal dari Sulawesi dan mendapatkan hasil bahwa C. fumosus
dari Jawa merupakan jenis baru. Selain itu, Riyanto dkk. (2016)
menemukan spesies baru dari Nunukan, Kalimantan Timur.
Penemuan jenis baru ini adalah yang pertama sejak 26 tahun yang lalu
setelah Hikida (1990) mendeskripsikan tiga spesies baru, yaitu C.
ingerii, C. matsui, dan C. yoshii.
2.6 Analisis Filogenetik
Pendekatan filogenetik didasarkan pada sebuah hubungan evolusi
dari sebuah kelompok organisme yang anggotanya memiliki
kesamaan karakter dan memiliki kekerabatan yang dekat, serta
diperkirakan masih dalam satu nenek moyang yang sama. Konstruksi
filogenetik juga memerlukan organisme yang digunakan sebagai
outgroup untuk validasi pohon filogenetik (Hartl & Clark, 1997).
Menurut Mount (2001), outgroup merupakan salah satu prosedur
untuk meyakinkan dari sekuens asli. Penambahan outgroup dapat
meningkatkan prediksi dari pohon dengan metode yang digunakan.
Sekuens dari outgroup yang dipilih harus berkolerasi dekat dengan
sekuen-sekuen yang dianalisa, tetapi juga mempunyai perbedaan yang
signifikan antara outgroup dengan sekuens yang lain. Pemilihan
sekuens outgroup yang terlalu jauh kekerabatannya kemungkinan
akan menghasilkan prediksi pohon yang salah atau kurang tepat akibat
terdapat perbedaan yang secara random lebih banyak diantara sekuens
outgroup dengan sekuens lainnya.
Konstruksi filogenetik menggunakan marker DNA digunakan
karena memiliki karakter yang konsisten dibandingkan karakter
morfologi. Pemikiran lain penggunaan DNA dalam studi filogenetik
didasarkan pada perubahan basa nukleotida menurut waktu, sehingga
dapat diperkirakan kecepatan evolusi yang terjadi dan dapat
direkonstruksi hubungan evolusi antara kelompok organisme. Analisis
filogenetik dipilih sebagai marker identifikasi spesies karena DNA
menyediakan informasi yang merepresentasikan karakter yang
muncul pada morfologi. Pengujian set data model mengambil konsep
DNA conserve yang akan mengelompokkan spesies berdasarkan
kesamaan nukelotida. Polimorfisme DNA yang muncul akan
-
12
memunculkan cabang pohon yang lebih variatif, sehingga spesies
akan terpisah menjadi beberapa clade (Lemey dkk., 2009).
Analisis filogenetik sekuens DNA dan protein akan menjadi
wilayah penting dalam analisis sekuens. Filogenetik dapat
menganalisis perubahan yang terjadi dalam evolusi organisme yang
berbeda. Sekuens yang mempunyai kedekatan dapat diidentifikasi
melalui penempatan di cabang yang bertetangga pada pohon.
Hubungan filogenetik di antara gen dapat digunakan untuk
memprediksi kemungkinan fungsi yang ekuivalen. Prediksi fungsi ini
dapat duji dengan eksperimen genetik (Nielsen & Yang, 1998).
Analisis metode bootstrap adalah metode yang menguji seberapa
baik set data model yang dihasilkan. Data dianalisis ulang secara
random dengan cara memilih kolom vertikal dari sekuens yang
disejajarkan untuk menghasilkan alignment baru dengan panjang yang
sama. Sebagai konfirmasi, maka dilakukan validitas penyusunan
cabang dalam prediksi filogenetik, yaitu dengan resampled dari kolom
multiple sequence alignment untuk membentuk pensejajaran baru.
Cabang-cabang dalam topologi filogenetik diprediksi akan menjadi
signifikan jika set data bootstrap memiliki nilai >70% untuk
memprediksi cabang-cabang yang sama (Matsui dkk, 2010). Menurut
Hedges (1992), metode penghitungan bootstrap digunakan untuk
memperoleh perkiraan kesalahan non-parametrik dalam rekonstruksi
pohon filogenetik. Setiap cabang pohon filogeni yang tersusun berasal
dari hasil replikasi data dan frekuensi kelompok cabang taksa tertentu.
Susunan pohon filogenetik memiliki batas kepercayaan perhitungan
bootstrap dengan nilai >70 %.
2.7 Analisis Molekuler
Perkembangan teknologi di bidang biologi molekuler seperti
Human Genome Project (HGP) menyebabkan penelitian diarahkan
pada hipotesis pohon filogenetik untuk menarik kesimpulan mengenai
keragaman genetik dan hubungan antara populasi dengan spesies
(Budiarsa, 2013). Evolusi merupakan proses gradual suatu organisme
yang memungkinkan spesies dengan struktur yang sederhana menjadi
kompleks melalui akumulasi perubahan dari generasi ke generasi.
Evolusi didasarkan pada perubahan adaptasi dengan lingkungan
tempat spesies tinggal. Proses adaptasi menyebabkan adanya suatu
perbedaan dari ancestor (nenek moyang). Variasi dan diferensiasi
dapat diketahui dari jumlah basa polimorfik dari suatu lokus gen
-
13
masing-masing populasi berdasarlkan urutan DNA (Cavalli & Sforza,
1997).
Metode molekuler digunakan sebagai marker genetik karena
memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah satu gen pada
sepasang jenis atau populasi yang berevolusi secara clocklike fashion
atau jam molekuler yang digunakan untuk memperkirakan perbedaan
waktu (Hartl & Clark, 1997). Pengunaan marker molekuler ini
dilakukan dalam taksonomi dilakukan melalui beberapa metode,
diantaranya adalah melalui peta restriksi fragmen DNA dengan RFLP,
hibridisasi, dan sekuensing DNA (Singh, 2012).
2.7.1 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik perbanyakan
DNA (replikasi) secara in vitro. Teknik ini mengacu pada siklus
thermal pada mesin PCR. Suhu pada mesin diatur untuk dapat
melakukan amplifikasi. Menurut Theopillus (2008), prinsip dalam
melakukan PCR yaitu denaturasi, annealing dan ekstensi. Template
DNA akan terdenaturasi menjadi single helix, selanjutnya suhu pada
mesin diturunkan agar primer dapat menempel pada template DNA
atau gen target yang diinginkan. Primer yang menempel pada template
DNA akan membentuk jembatan hidrogen dengan sekuen yang
komplementer dengan sekuen primer. Selain itu, enzim DNA
polymerase yang ada pada primer digunakan untuk memperpanjang
hasil copy DNA. Siklus mesin PCR dilakukan optimal untuk dapat
melakukan amplifikasi secara optimal kurang lebih sebanyak 30-35
siklus. Amplifikasi gen target pada untai DNA harus dilakukan dengan
penggunaan primer yang spesifik. Visualisasi DNA target yang telah
diamplifikasi dilakukan dengan gel elektroforesis (Newton &
Graham, 1994).
2.7.2 Gen NADH Dehydrogenase Subunit 4 (ND4)
Deoxyribose Nucleic Acid (DNA) merupakan makromolekul yang
memiliki karakteristik sebagai penyimpan informasi genetik.
Informasi ini dapat diteruskan dari sel induk ke sel anak melalui proses
replikasi. Struktur DNA tersusun dari monomer nukleotida yang
saling berkomplemen membentuk untai heliks ganda. DNA terdapat
di dalam inti sel dan mitokondria (Kumazawa & Endo, 2004). DNA
mitokondria (mtDNA) terletak di dalam matriks mitokondria. DNA
mitokondria memiliki sususan unit kode genetik dengan panjang basa
-
14
15,7-19,5 Kb (Arlyza & Adrim, 2007). Daerah genom mitokondria
terbagi atas 13 gen penyandi protein yang terdiri atas 3 subunit
sitokrom oksidase (COI-COIII), 7 subunit NADH Dehidrogenase
(ND1-6 dan ND 4L), 2 subunit ATPase (6 dan 6L), sitokrom b (cyt b),
2 gen rRNA (12s dan 16s) dan 22 gen tRNA (Gambar 4.) (Melnick &
Hoelzer, 1993).
(Moraes dkk., 2002)
Gambar 4. Peta Genom Mitokondria.
DNA mitokondria digunakan sebagai penanda untuk DNA
barcoding dikarenakan laju mutasi yang terjadi sangat sedikit.
Informasi genetik dari DNA mitokondria diwariskan secara maternal
dan berukuran cukup besar. NADH Dehydrogenase subunit 4 (ND4)
saat ini digunakan sebagai salah satu penanda molekuler untuk
identifikasi spesies dan hubungan kekerabatannya. Pemilihan gen ini
didasarkan pada urutan nukleotida yang sangat efektif dalam menguji
kesesuaian dan memperkirakan filogeni suatu organisme (Hayaska
dkk., 1988). Selain itu, ND4 memiliki karakter penting dalam
menjelaskan hubungan kekerabatan yang didasarkan pada variasi di
setiap jenis organisme (Zhang dkk., 2014). Penggunaan identifikasi
spesies dengan penanda ND4 memiliki keunggulan yang
menunjukkan sejarah demografi berdasarkan proses geologi suatu
spesies (Kumuzawa & Mutsumi, 2000).
-
15
Gen ND4 merupakan kompleksitas susunan gen mitokondria. Gen
ND4 melakukan sintesis protein dengan hasil NADH Dehydrogenase
4. Protein ini adalah bagian dari kompleks enzim yang besar yang aktif
di dalam genom mitokondria. Struktur sel mitokondria pada dasarnya
mengkonversi energi dari makanan menjadi bentuk lain yang dapat
digunakan oleh sel. Stuktur selular mitokondria memproduksi energi
yang siap digunakan untuk proses fosforilasi oksidatif, dimana
oksigen dan gula digunakan untuk menghasilkan Adenosin
Triphosphate (ATP) yang merupakan sumber utama energi sel
(Huoponen, 2001).
-
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian tentang “Filogeografi Cicak Jari Lengkung (Squamata;
Gekkonidae; Crytodactylus) di Jawa dan Sumatera Berdasarkan
Analisis Morfologi dan Molekuler Gen NADH Dehydrogenase
Subunit 4 (ND4)” dilaksanakan pada bulan November-Mei 2017
bertempat di Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan serta
Biologi Molekuler Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.
3.2 Kerangka Kerja Penelitian
Tahapan penelitian yang akan dilaksanakan meliputi beberapa
langkah, diantaranya sebagai berikut :
1. Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh kajian terkait konstruksi Paparan Sunda, persebaran Cyrtodactylus,
lokasi pengambilan sampel, metode ekstraksi DNA dan
rekonstruksi pohon filogenetik.
2. Koleksi sampel Cyrtodactylus dari Jawa dan Sumatra. 3. Pengawetan dan pengambilan jaringan Cyrtodactylus untuk
mendapatkan sampel DNA.
4. Ekstraksi DNA Cyrtodactylus yang bertujuan untuk mendapatkan DNA yang murni.
5. Pemotongan gen target (ND4) dan perbanyakan untai DNA menggunakan mesin thermal cycler yang bertujuan untuk
menandai DNA target untuk dilakukan sekuensing.
6. Sekuensing gen ND4, bertujuan untuk menterjemahkan urutan DNA dari sampel Cyrtodactylus yang dipilih dari setiap wilayah
di Paparan Sunda.
7. Pengumpulan data pembanding dan tambahan dari Cyrtodactylus diambil dari Genbank. Selain itu, dilakukan pencarian data
outgroup yang bertujuan untuk mengkonfirmasi rekonstruksi
filogenetik dari Cyrtodactylus
8. Pembuatan pohon filogenetik dari hasil sekuensing untuk mengetahui hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Paparan
Sunda.
-
17
3.3 Deskripsi Area Studi
Topografi pulau Sumatra terbagi atas dua bagian, yaitu
pegunungan dan dataran rendah. Adanya barier ekologi berupa
pegunungan Bukit Barisan yang membentang membagi Sumatra
menjadi dua bagian, sehingga beberapa satwa mengalami diferensiasi
dan variasi morfologi akibat adaptasi dengan lingkungannya (Voris,
2000). Berbeda dengan Sumatra, pulau Jawa merupakan daerah yang
sebagian besar adalah hutan dataran rendah yang kini telah ditebangi
dan banyak berkurang. Hanya sedikit hutan pegunungan yang masih
ada saat ini dan membentuk habitat pulau-pulau yang terisolasi tanpa
penghubung di antaranya. Kondisi ini kemungkinan menghambat
terjadinya aliran gen antara populasi dari barat dan pusat Jawa (Matsui
dkk., 2010).
Gambar 5. Peta lokasi sampling Cyrtodactylus di Pulau Sumatra dan
Jawa
Lokasi pengambilan sampel di pulau Sumatra meliputi Aceh,
Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Jambi. Sedangkan lokasi
pengambilan sampel di pulau Jawa meliputi Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Setiap provinsi dilakukan pengambilan sampel pada beberapa
-
18
kota/kabupaten. Masing-masing dipilih lokasi yang dapat
menginterpretasikan wilayah tersebut. Jumlah sampel dan lokasi dapat
ditinjau pada tabel 1. Lokasi sampling Cyrtodactylus di Jawa dan
Sumatra dapat ditinjau pada Gambar 5.
3.4 Pengambilan Sampel Cyrtodactylus
Metode pengambilan data Cyrtodactylus dilakukan dengan metode
Visual Encounter Surveys (VES) yang dimodifikasi dengan metode
transek (Heyer dkk, 1994). Metode transek digunakan untuk pencarian
sampel pada lokasi yang luas dengan waktu yang singkat. Metode
transek dilakukan untuk mencari sampel yang umum dengan populasi
yang besar dan merata di sepanjang jalur transek. Metode VES
dilakukan dengan jelajah bebas pada lokasi pengambilan sampel. VES
digunakan untuk mengetahui keragaman jenis pada suatu daerah.
Setiap sampel Cyrtodactylus diidentifikasi dengan buku panduan
lapang dan dikoleksi menggunakan kantong spesimen. Koordinat
sampel yang telah ditemukan dicatat menggunakan Global
Positioning System (GPS). Preservasi sampel dilakukan dengan
menyuntik sampel hidup menggunakan etanol 70%. Sampel yang
telah mati selanjutnya dilakukan pengambilan gambar bagian dorsal,
ventral dan lateral. Pengambilan sampel jaringan dilakukan pada
bagian liver kemudian diawetkan pada etanol absolut 96%.
Penyimpanan sampel awetan dilakukan dengan menyuntikkan
formalin 10% pada seluruh bagian tubuh. Sampel awetan yang telah
diisi formalin ditata seperti halnya sampel yang masih hidup.
-
19
Tabel 1. Daftar sampel Cyrtodactylus
No.
Nomor
Lapang Spesies Locality
1. ENS 16026 C. semicinctus Kerinci, Jambi
2. ENS 15476 C. cf psarops Karo, Sumatra Utara
3. ENS 16108 C. marmoratus Sukabumi, Jawa Barat
4. ENS 16889 C.cf psarops Tapanuli Selatan, Sumatra
Utara
5. ENS 19697 C. consobrinus Andalas Forest, Sumatra
Barat
6. NK 0018 C. semiadii Cilacap, Jawa Tengah
7. NK 0120 C. marmoratus Nusakambangan, Cilacap
8. ENS 18770 C. lateralis Seulawah Agam, Aceh
9. ENS 16595 C. cf marmoratus Toba Samosir, Sumatra
Utara
10. ENS 19224 C. cf psarops Payakumbuh, Sumatra
Barat
3.5 Analisis Molekuler
3.5.1 Ekstraksi DNA
Sampel Cyrtodactylus yang dikoleksi selanjutnya diambil jaringan
otot pada bagian paha/liver, kemudian diawetkan dengan etanol
absolut 96%. Sampel jaringan yang telah diambil diekstraksi DNA
sesuai dengan protokol QiagenAmp. Prinsip isolasi DNA terbagi atas
empat tahap yaitu lisis, deproteinase, presipitasi dan pelarutan DNA.
Sampel jaringan yang telah diambil ditimbang sebanyak 0,25 g atau
25 µL sampel DNA, kemudian ditambahkan larutan buffer ATL 180
µL, kemudian divortex. Selanjutnya, ditambahkan larutan proteinase-
K sebanyak 20 µL. Penambahan larutan ini bertujuan untuk
mengurangi kontaminan berupa protein yang dapat mengurangi
kemurnian DNA. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 56̊ C selama
1 jam 30 menit. Setiap 30 menit dilakukan vortex agar larutan
proteinase-K dapat bekerja kembali. Setelah proses inkubasi, sampel
disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 detik. Langkah
selanjutnya, ditambahkan buffer lisis (buffer AL) sebanyak 200 µL
dan divortex. Buffer AL berfungsi untuk lisis DNA dari histon yang
ada pada kromosom. Pemaksimalan kerja buffer AL dilakukan dengan
inkubasi pada suhu 70̊ C selama 10 menit dan kemudian dilakukan
sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 detik. Larutan etanol
-
20
96% ditambahkan sebanyak 200 µL untuk langkah presipitasi DNA.
Langkah ini dilakukan agar DNA tidak tercampur oleh komponen lain,
seperti protein dan RNA yang dapat mengurangi kemurnian DNA.
Larutan dipindahkan ke dalam tube minispin dan disentrifugasi pada
8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya, bagian atas minispin diangkat
dan dipindahkan pada mikrotube baru.
Prinsip presipitasi pada protokol menggunakan kit dilakukan
dengan menambahkan prosedur washing untuk memastikan
kemurnian DNA. Sampel yang telah berada mikrotube baru
selanjutnya ditambahkan larutan buffer AW1 sebanyak 500 µL dan
disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Bagian atas
minispin diangkat kembali dan dipindahkan ke mikrotube baru.
Selanjutnya ditambahkan larutan buffer AW2 sebanyak 500 µL dan
disentrifugasi sebanyak 14000 rpm selama 3 menit. Prinsip isolasi
DNA yang terakhir adalah dissolve DNA yaitu dengan cara
mengangkat bagian atas minispin kemudian dipindahkan ke dalam
mikrotube baru dan ditambahkan buffer AE sebanyak 200 µL. Sampel
diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit, dan selanjutnya
disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Bagian atas
minispin dibuang dan DNA yang berupa cairan disimpan pada
refrigrator -20̊ C untuk menjaga kondisi DNA. Suspensi DNA yang
disimpan selanjutnya digunakan sebagai template dalam amplifikasi
gen ND4 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
3.5.2 Amplifikasi gen ND4
Satu pasang primer yang digunakan untuk mendapatkan sekuens
ND4 adalah ND4 (forward) 5’TGA CTA CCA AAA GCT CAT GTA
GAA GC 3’ dan LEU (reverse) 5’ TA CCT TTA CTT GGA TTT
GCA CCA 3’ (Arevalo dkk., 1994). Komposisi PCR mix terdiri dari
Go taq green sebanyak 5 µL kemudian ditambahkan ddH2O sebanyak
3,6 µL. Komplemen primer forward dan reverse masing-masing
ditambahkan sebanyak 0,2 µL. DNA sampel ditambahkan pada
komposisi PCR mix dan primer yang berfungsi sebagai template
amplifikasi gen ND4. Total volume reaksi sebanyak 10 µL. PCR tube
yang telah berisi komponen PCR selanjutnya dimasukkan ke dalam
mesin thermocycling. Amplifikasi gen ND4 menggunakan metode
PCR dengan pengulangan siklus sebanyak 32 kali. Siklus denaturasi
dengan suhu 93° C selama 30 detik, annealing pada suhu 60° C selama
45 detik dan extension 72° C selama 1 menit. Pre-denaturasi dimulai
-
21
sebelum semua siklus PCR dimulai dengan suhu 95° C selama 2
menit. Pemaksimalan siklus PCR dilakukan dengan post-extension
selama 7 menit pada suhu 72° C. Hasil PCR kemudian diuji secara
kualitatif dengan gel agarose 1% untuk konfirmasi keberhasilan
amplifikasi gen ND4. Sekuens sampel Cyrtodactylus dilakukan
dengan jasa dari PT. GENETIKA SCIENCE Jakarta Barat.
3.5.3 Uji kualitatif DNA
Konfirmasi keberhasilan amplifikasi gen target ND4 dilakukan
dengan pendekatan kualitatif menggunakan elektroforesis gel agarosa.
Bubuk agarosa ditimbang sebanyak 0,35 gram kemudian dimasukkan
ke dalam erlenmeyer, selanjutnya ditambahkan dengan buffer TBE 1x
sebanyak 35 mL. Erlenmeyer beserta larutan pada dipanaskan pada
panic panas selama 5 menit. Setelah itu, agar didiamkan beberapa
detik hingga tidak terlalu panas, kemudian ditambahkan EtBr 0,3 µL
untuk mewarnai sampel DNA. Plate elektroforesis yang telah
ditancapkan sisiran 16 sumuran digunakan untuk uji kualitatif.
Larutan dimasukkan pada plate elektroforesis dan ditunggu hingga
mengeras. Sisiran selanjutnya diambil dari plate dan gel elektroforesis
dipindahkan pada chamber elektroforesis. Sampel 1 µL dan 2 µL
loading dye dimasukkan. Panjang DNA ditentukan melalui
penambahan ladder 1 kilobase (kb). Selanjutnya, alat elektroforesis
dirunning pada 90 V selama 30 menit. Visualisasi hasil elektroforesis
dilakukan dengan UV transilluminator.
3.5.4 Pengumpulan data sekuens Cyrtodactylus di kawasan
Paparan Sunda
Pencarian data sekuens beberapa spesies Cyrtodactylus yang ada
di kawasan Paparan Sunda bertujuan untuk mengetahui pola
pengelompokan dan kekerabatan Cyrtodactylus dari Jawa dan
Sumatra. Selain itu, dilakukan pencarian sekuens outgroup yaitu
sekuens DNA dari kerabat dekat genus Cyrtodactylus yang bertujuan
untuk mengkonfirmasi topologi pohon kekerabatan. Menurut Mount
(2001), outgroup merupakan salah satu prosedur yang digunakan
untuk validasi dari sekuens asli. Sekuens dari outgroup yang dipilih
harus berkorelasi dekat dengan sekuen-sekuen yang dianalisa, tetapi
juga mempunyai perbedaan yang signifikan antara outgroup dengan
sekuens yang lain. Pencarian sekuens DNA yang digunakan gen
-
22
Mitokondria (mtDNA) ND4 dengan panjang 527- 702 bp. Berikut
sekuens yang didapatkan dari Genbank dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data sampel Cyrtodactylus dan outgroup dari Genbank
No. Spesies Locality Accesion
Number
1. C. consobrinus Kalimantan Barat, Kalimantan EU268412.1
2. C. loriae Papua Nugini EU268413.1
3. Gekko gecko China EU268422.1
4. Cnemaspis limi Malaysia NC020039.1
3.6 Rekonstruksi Pohon Filogenetik
3.6.1 Contig dan alignment sekuens DNA
Sekuens ND4 dari beberapa sampel Cyrtodactylus yang telah
didapatkan dari hasil sekuensing selanjutnya dilakukan contig
(penggabungan) untuk mendapatkan sekuens yang utuh. Hasil contig
dari seluruh sekuens selanjutnya dilakukan allignment dengan
program MEGA7 menggunakan alignment Clustal W. Hasil
alignment akan terdapat gap yang berada pada awal dan akhir sekuens,
sehingga dilakukan trimming (pemotongan) secara manual sehingga
didapatkan 680 bp. Penghapusan gap yang muncul dilakukan untuk
meminimalisir kesalahan software dalam merekonstruksi pohon
filogenetik. Data sekuens yang telah dilakukan alignment diexport
dalam format fasta dan MEGA.
3.6.2 Analisis Sequence Divergence (p-Distance)
Munculnya perbedaan basa nukleotida pada hasil alignment
dianalisis dengan metode pairwise distance. Analisis ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui jumlah nukleotida atau asam amino
yang berbeda pada lokus DNA. Nilai p-distance dapat dijadikan
sebagai dasar penentuan spesies namun tidak dapat menjelaskan jejak
historis evolusi dari suatu taksa (Lemey dkk., 2009). Dari hasil
penelitian ini nilai p-distance 15 % pada sekuens gen ND4 sudah
dapat dinyatakan beda spesies.
-
23
3.6.3 Pemilihan Modeltest untuk Analisis Maximum likelihood dan
Bayesian Inference
Pembuatan modeltest dilakukan untuk mendapatkan permodelan
pohon yang sesuai dengan hasil alignment yang dimiliki, sehingga
software tidak perlu melakukan semua uji probabilitas untuk
mendapatkan topologi pohon (Lemey, 2009). Pemilihan modeltest
untuk analisis menggunakan software Jmodeltest berdasarkan AIC
(Akaike Information Center). Pemilihan untuk analisis Bayesian
Inference dilakukan dengan software Kakusan 4.
3.6.4 Analisis Maximum Likelihood dan Maximum Parsimony
Metode maximum parsimony (MP) memilih kriteria pohon dengan
perubahan evolusi paling sedikit atau panjang cabang terpendek
sebagai pohon yang paling sesuai dengan kondisi evolusi yang
sebenarnya (Lemey, 2009). Pemilihan analisi filogenetik juga harus
mempertimbangkan model evolusi pohon filogeni. Penggunaan
maximum likelihood (ML) didasarkan pada model kemungkinan, yaitu
program yang merekonstruksi pohon filogeni terbaik dengan nilai
probabilitas yang tinggi. Metode ML akan mencari pohon filogenetik
yang mencerminkan proses evolusi yang sebenarnya dengan cara
mencari setiap kemungkinan topologi pohon yang terbentuk dan
mempertimbangkan setiap posisi nukleotida atau asam amino dalam
suatu alignment, dengan memanfaatkan model subtitusi dan tingkat
variasi mutasi dalam setiap sites alignment (Nei dan Kumar, 2000).
Maximum likelihood (ML) dan maximum parsimony (MP) dianalisis
dengan PAUP* 4.0 (Swofford, 2002). Heuristic search option dari
MP dianalis dengan tree bisection recognition (TBR) dengan replikasi
pencarian (nreps) 10 kali dan bootstrap 1000 kali. Permodelan untuk
analisis ML berdasarkan AIC didapatkan model evolusi TrN+I+G,
dengan instruksi Lset base=(0.3475 0.3759 0.0828 ) nst=6
rmat=(1.0000 19.9856 1.0000 1.0000 7.6329) rates=gamma
shape=0.6080 ncat=4 pinvar=0.2940;). Heuristic search option
dianalisis dengan TBR replikasi 10 kali dan bootstrap 100 kali.
3.6.5 Analisis Bayesian Inference
Bayesian Inferior Probablity (BPP) diestimasi melalui MrBayes
3.0b4. Modeltest untuk analisis Bayesian dari hasil Kakusan 4 adalah
GTR (General Time Reversible) dan bentuk parameter Gamma yang
muncul sebagai modeltest terbaik dengan hasil alignment yang
-
24
dimiliki. Perhitungan mcmc (monte carlo markov chain) berjumlah
1.000.000, perhitungan sampel tiap generasi (nreps) 1000 kali
generasi.
3.7 Morfometri
3.7.1 Pengambilan data morfometri
Pengambilan data morfometri dilakukan pada sampel awetan yang
ada di Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan (UB). Selain itu,
morfometri juga dilakukan dari foto dengan menggunakan software
ImageJ. Metode ini dipilih dikarenakan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini berada di Laboratorium Amfibi dan Reptil University of
Texas at Arlington. Pengambilan data ini bertujuan untuk menguatkan
hasil analisis molekuler menggunakan data clade yang dibangun dari
karakter morfologi. Selain itu, identifikasi morfometri dilakukan juga
untuk mengetahui variasi setiap spesies dari Cyrtodactylus.
Pengukuran karakter morfometri dan meristik yang dilakukan
mengacu pada (Riyanto dkk., 2016).
Tabel 3. Karakter morfometri Cyrtodactylus
No. Karakter Morfometri Singkatan
1. Panjang mulut sampai kloaka SVL
2. Panjang ekor TailL
3. Panjang badan diantara anggota gerak AGL
4. Panjang kepala HeadL
5. Lebar kepala HeadW
6. Panjang antara mata dan mulut EyeS
7. Diameter mata EyeD
8. Panjang jarak mata dan hidung SnEye
9. Panjang jarak antara mata dan telinga EarEye
10. Panjang jarak antar mata IO
-
25
Tabel 4. Karakter meristik Cyrtodactylus
No. Karakter Meristik Singkatan
1. Sisik bibir atas SupraL
2. Sisik bibir bawah InfraL
3. Tuberkel pada tangan TB
4. Tuberkel pada kaki TA
5. Tuberkel dorsal DT
6. Tuberkel punggung diantara alat gerak PVT
7. Sisik perut VS
9. Tuberkel pada lipatan ventrolateral TVF
10. Jumlah sisik besar femoral EFS
11. Jumlah sisik besar precloacal EPS
12. Jumlah pori sisik femoral FP
13. Jumlah pori sisik precloacal PP
14. Bentuk precloacal PG
15. Jumlah digiti pada jari kaki ke empat Lam
Hasil dari pengukuran dan identifikasi meristik dicatat pada
microsoft excel. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dan analisis
dengan software PAST untuk mengetahui pengelompokan
Cyrtodactylus melalui PCA (Principal Component Analysis) yang
berdasarkan morfologi.
3.7.2 Analisis data morfometri
Analisis data dilakukan dari hasil pengukuran dan identifikasi dari
setiap karakter yang diamati kemudian dilakukan pengkonversian
standarisasi untuk Clustering Analysis dan PCA. Nilai SVL digunakan
sebagai pembagi dari setiap karakter yang diamati, kemudian di Log
10 dan dilakukan pengkalian 100 (persamaan 1) (Kurniawan
dkk.,2011).
(1)= Log10 (Karakter/SVL) x 100%
-
26
3.7.3 Analisis Principal Component Analysis Cyrtodactylus Analisa hubungan kekerabatan Cyrtodactylus dilakukan dengan
menggunakan software PAST. Software PAST digunakan untuk
analisis PCA (Principal Component Analysis). Principal Component
Analysis dilakukan untuk mengetahui pola persebaran berdasarkan
karakteristik morfometrik.
-
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Morfometri dan Meristik Cyrtodactylus
Berdasarkan analisis morfometri dan meristik yang dilakukan pada
sampel awetan, telah diidentifikasi sebanyak 6 spesies yaitu C.
marmoratus, C. semicinctus, C. psarops, C. lateralis, C. consobrinus
dan C. semiadii. Berdasarkan hasil pengukuran pada seluruh sampel,
didapatkan bahwa ukuran betina mengalami sex dimorfisme yaitu
memiliki SVL yang lebih pendek dibandingkan dengan jantan. Selain
itu, terdapat perbesaran sisik femoral dan pori pada sisik precloacal
yang mengalami diferensiasi (Tabel 5 dan 6).
Tabel 5. Karakter morfometri Cyrtodactylus betina
Spesies SVL
(mm)
TailL
(mm)
Sisik
besar
femoral
Sisik
precloacal
C. consobrinus, Sumbar 119,7 104,2 Tidak ada 12
C. cf psarops, Sumbar 57,4 70,3 Ada 11
C. cf marmoratus, Sumut 54,9 68,5 Ada 7
C. marmoratus, Jabar 46,1 28,4
(reg)
Ada 12
C. cf psarops, Sumut 68,8 54,6 Ada 11
Tabel 6. Karakter morfometri Cyrtodactylus jantan
Spesies SVL
(mm)
TailL
(mm)
Sisik
besar
femoral
Sisik
precloacal
C. lateralis, Aceh 76,81 46,5
(reg)
Ada 10
C. psarops, Sumut 60,1 72,8 Ada 14
C. semicinctus, Jambi 58,6 70,2 Ada 15
C. semiadii, Jateng 43,9 29,4 Tidak Ada 0
C. marmoratus, Jateng 58,9 72,8 Ada 17
Pola sisik precloacal, sisik femoral, pori sisik femoral dan pori
sisik precloacal merupakan karakter yang dapat dijadikan sebagai ciri
pembeda setiap spesies (Harvey dkk., 2015). Perbedaan setiap spesies
-
28
dalam genus Cyrtodactylus dapat ditinjau melalui karakter tersebut
karena aktivitas reproduksi yang berbeda dan dipengaruhi struktur
sekunder dari organ reproduksi yang dipengaruhi oleh lingkungan
(Russel dkk., 2015). Berdasarkan hasil meristik yang dilakukan pada
keseluruhan individu didapatkan karakter pembeda spesies yang dapat ditinjau pada Gambar 6.
(Dokumentasi pribadi, 2017)
Gambar 6. Pola precloacal dan sisik femoral. Ket: a) C. psarops; b)
C. consobrinus; c) C. lateralis; d) C. marmoratus e) C.
semiadii; f) C. semicinctus
Berdasarkan gambar 6, tipe pola precloacal dan sisik femoral
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada seluruh spesies
Cyrtodactylus di Paparan Sunda. C. psarops tidak memiliki bentuk
precloacal, tidak terjadi perbesaran sisik precloacal terjadi sisik yang
a b
c
d
f e
,
b
c
e f
d
e
a
,
.
-
29
tiba-tiba antara post femoral dan femoral. Sisik besar femoral tersusun
kontinu sebanyak 28-35. Berbeda dengan C. psarops, C. consobrinus
tidak memiliki perbesaran sisik femoral namun terjadi perbesaran sisik
precloacal dengan jumlah antara 8-10. Dalam penelitia ini, variasi
pada C. consobrinus terjadi pada dua populasi besar, yaitu Sumatra
dan Kalimantan. Populasi Kalimantan terdapat pori pada sisik
precloacal, sedangkan pada populasi Sumatra tidak ditemukan.
C. lateralis merupakan spesies endemik Sumatra yang memiliki
tipe perbesaran sisik femoral dan pori sebanyak 9 yang tidak
menyambung satu sama lain. Bentuk precloacal wide dengan sisik
besar cloacal sebanyak 10. Gambar 8d, C. marmoratus memiliki sisik
femoral yang kontinu sebanyak 42-50, pola precloacal berbentuk
angular. Tidak memiliki pori pada sisik femoral dan sisik precloacal.
Gambar 8e, C. semiadii tidak memiliki perbesaran sisik femoral dan
cloacal. Karakter kunci dari spesies ini adalah ekor yang pendek,
membesar dan silindris. Gambar 8f, C. semicinctus memiliki
perbesaran sisik femoral yang menyambung dengan jumlah 36-38,
pola precloacal subtriangular, terjadi perbedaan sisik yang tiba-tiba
antara post femoral.
4.1.1 Principal Component Analysis (PCA) Cyrtodactylus di Jawa
dan Sumatra berdasarkan analisis morfologi
Analisis PCA dilakukan untuk mengidentifikasi pola
pengelompokan Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan
persamaan karakter yang diamati. Pengelompokan yang dilakukan
pada sampel awetan Cyrtodactylus dibedakan berdasarkan jenis
kelamin sampel. Perbedaan sampel jantan dan betina didasarkan pada
ukuran SVL, panjang kepala, lebar kepala dan ukuran ekor.
Munculnya sex dimorfisme disebabkan kebutuhan reproduksi dalam
menghasilkan keturunan yang baik (Nesty, 2013) Hasil PCA dari
karakter morfometri dapat ditinjau pada Gambar 7.
-
30
Gambar 7. Hasil PCA Cyrtodactylus jantan Ket. CM: C. marmoratus;
CL: C. lateralis; CSM: C. semiadii; CSC: C. semicinctus;
CK: C. klakahensis
Berdasarkan gambar 7, Cyrtodactylus jantan mengelompok
berdasarkan jenis spesis. Pada pengelompokan C. marmoratus, antara
populasi Jawa dan Sumatra memiliki ciri khas yang secara
keseluruhan sama. Karakter morfometri menunjukkan nilai yang
mirip sehingga menyebabkan pengelompokan pada genus
Cyrtodactylus. Spesies C. semiadii merupakan spesies baru yang
dicirikan dengan ekor pendek yang membulat memiliki
pengelompokan di luar kelompok C. marmoratus. Selain itu, C.
semicinctus yang merupakan spesies dari Jambi yang secara morfologi
berbeda dengan kelompok C. marmoratus. Kelompok C. lateralis
yang berasal dari Aceh memiliki pengelompokan sendiri berdasarkan
karakter SVL dan TL yang panjang. Pengelompokan yang sangat jauh
dari dua kelompok besar yaitu C. klakahensis. Spesies ini merupakan
jenis baru yang karakter morfologinya sangat jauh berbeda dari C.
marmoratus dan C. lateralis.
Pengelompokan C. marmoratus dapat dikatakan bahwa secara
morfologi populasi dari Jawa dan Sumatra mengalami kesamaan
karakter. Melihat persebaran yang luas yang memisahkan Jawa dan
Sumatra dengan adaptasi dalam jangka waktu yang lama akan
-
31
menyebabkan tingginya variasi genetik dari C. marmoratus.
Terjadinya isolasi populasi melalui periode waktu yang sangat
panjang, sebagian besar dikarenakan batas (barrier) geografi yang
mengijinkan perkembangan karakteristik varian mtDNA pada
populasi individu spesies tersebut (Bohlen dkk, 2011).
Gambar 8. Hasil PCA Cyrtodactylus betina Ket. CM: C. marmoratus;
CP: C. psarops; CCS: C. consobrinus; Ccf: C.cf
marmoratus)
Berdasarkan Gambar 8 pengelompokan dari kelompok
Cyrtodactylus betina menunjukkan kesamaan dengan kelompok
jantan. Populasi C. marmoratus dari Jawa dan Sumatra mengelompok
menjadi satu kelompok yang memiliki kesamaan karakter. Selain itu,
C. psarops yang merupakan spesies endemik Sumatra mengelompok
antar locality. Terdapat hal yang menarik, dimana C. consobrinus dari
Sumatra Barat masuk ke dalam kelompok C. marmoratus. Hal ini
disebabkan karakter SVL dan TL dari spesies ini sangat mirip dengan
C. marmoratus. Namun, secara karakter meristiknya kedua spesies ini
sangat berbeda jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa C. consbrinus
dari Sumatra Barat masih juvenille. C.cf. marmoratus dari pulau
Samosir merupakan spesies yang unidentified yang secara morfologi
mirip dengan C. marmoratus, namun ditinjau dari hasil PCA
-
32
mengindikasikan spesies ini berbeda dari seluruh Cyrtodactylus dari
Jawa dan Sumatra. Sangat banyaknya variasi Cyrtodactylus
disebabkan adaptasi terhadap lingkungannya. Respon terhadap
lingkungan ditanggapi oleh perubahan fisiologis dari suatu organisme
sehingga memunculkan variasi-variasi morfologi akibat pemisahan
geografis dan jarak dari populasi induk suatu spesies (Nesty, 2013).
4.2 Hubungan Kekerabatan Genus Cyrtodactylus di Jawa dan
Sumatra Berdasarkan Analisis Gen ND4
Rekonstruksi pohon filogenetik dilakukan pada 12 sekuens
Cyrtodactylus dan dua sekuens outgroup dengan panjang 611 bp.
Filogram pohon dilakukan tiga analisis yaitu Maximum Likelihood
(ML), Maximum Parsimony (MP), dan Bayesian Inference (BI)
memiliki topologi pohon yang sama, sehingga dapat dikonstruksi
menjadi satu pohon filogenetik. Nilai bootstrap yang muncul pada
pohon filogenetik dari ketiga analisis menunjukkan perbedaan akibat
dari uji statistik yang berbeda dari setiap analisis dalam rekonstruksi
filogenetik. Kevalidan cabang pohon filogenetik didasarkan pada nilai
bootstrap Maximum Likelihood Bootstrap (MLBS), Maximum
Parsimony Bootstrap (MPBS), Bayesian Posterior Probabilty (BPP).
Topologi pohon filogenetik Cyrtodactylus dapat ditinjau pada Gambar
11. Pengelompokan yang terjadi didasarkan pada kesamaan genetis
dari setiap spesies. Hasil rekonstruksi filogenetik Cyrtodactylus
menunjukkan bahwa Cyrtodactylus merupakan kelompok monofiletik
yang terbagi atas dua clade besar (B dan C).
Clade A, B, dan C menunjukkan hubungan monofiletik yang
didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=95, MPBS=99, BPP=93).
Clade A merupakan kelompok yang berasal dari Jawa namun terdapat
pemisahan clade B dari Jawa Tengah. Clade B merupakan kelompok
Cyrtodactylus dari Jawa Tengah. Clade C adalah kelompok
Cyrtodactylus dari Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Pemisahan clade
outgroup (Gekko gecko dan Cnemaspis limi) dengan clade
Cyrtodactylus didukung dengan nilai bootstrap yang tinggi
(MLBS=95, MPBS=100, BPP=100). Selain itu, ditinjau dari nilai
uncorrected p-distance, dua spesies tersebut memiliki perbedaan
genetis sebesar 44-52%.
-
33
4.2.1 Clade A
Clade A terdiri dari satu spesies, yaitu C. marmoratus yang berasal
dari Jawa Barat. Clade ini didukung dengan nilai bootstrap yang valid
(MLBS=95, MPBS=99, BPP=93). Clade A terdiri atas spesies
monofiletik. Clade ini menunjukkan bahwa C. marmoratus
merupakan sister lineage dari spesies yang lain dengan nilai bootstrap
yang valid. Nilai bootstrap dianggap valid apabila pada cabang pohon
filogenetik mencapai nilai 70% (Hedges, 1992 dalam Matsui dkk.,
2011). Nilai bootstrap yang ditunjukkan pada topologi pohon >70 %,
menjelaskan bahwa clade A jelas mengalami pemisahan dari clade B
yang merupakan clade dari Jawa Tengah. Berdasarkan pohon
filogenetik, C. marmoratus dari Jawa Barat ini termasuk ancestor dari
semua spesies. Selain itu, nilai p-distance clade A yang terpisah
dengan clade B (33,6%) lebih tinggi dibanding dengan C. marmoratus
dari Sumatra Utara (31,3%). Hal ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya oleh Wood dkk. (2012). Perbedaan yang ada yaitu C.
marmoratus dari Jawa Barat mengalami pengelompokan clade dari
Jawa Timur dan NTT. Hasil ini dapat diasumsikan bahwa C.
marmoratus dari Jawa Barat akan mengelompok sendiri dengan C.
marmoratus dari Sumatra.
(Dokumemtasi ENS, 2013)
Gambar 9. Karakter morfologi C. marmoratus dari Jawa Barat.
Keterangan: a) Dorsal; b) Ventral
a
A
,
.
b
,
.
-
34
Berdasarkan Gambar 9, C. marmoratus memiliki total SVL 46,1
mm. Spesies ini memiliki pewarnaan coklat dengan bercak hitam yang
tersusun dua garis dari pangkal ekor hingga kepala. Identifikasi secara
meristik didapatkan bahwa pada lipatan ventrolateral terdapat
tuberkel bulat kecil. Jumlah sisik femoral berjumlah 42. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mecke dkk. (2016) yang
menyatakan bahwa C. marmoratus tidak memiki tuberkel pada lipatan
ventrolateral dan jumlah sisik femoral 49-54. Berdasarkan hasil clade
dan morfologi, C. marmoratus dari Jawa Barat mengalami diferensiasi
genetik maupun morfologi sehingga dapat diasumsikan menjadi
subspesies maupun spesies baru.
4.2.2 Clade B
Clade B terdiri atas C. marmoratus dan C. semiadii yang berasal
dari Cilacap, Jawa Tengah. C. marmoratus dan C. semiadii
sebenarnya merupakan spesies yang berbeda (p-distance=0,28). Clade
B termasuk kelompok monofiletik yang didukung dengan nilai
bootstrap yang cukup signifikan (MLBS=85, MPBS=63, BPP=92).
Secara genetis maupun morfologi, kedua spesies ini sangat berbeda.
Hal ini dapat dikatakan sebagai kerabat dekat. C. semiadii adalah
spesies yang baru dideskripsikan oleh Riyanto dkk. (2014) melalui
analisis morfologi. Ditinjau pada Gambar 10, morfologi dari C.
marmoratus dan C. semiadii menunjukkan perbedaan yang sangat
jelas, namun pohon filogenetik posisi C. semiadii masih dalam clade
C. marmoratus complex. Hal ini dapat disimpulkan bahwa C. semiadii
merupakan sinonim dari C. marmoratus.
-
35
(Dokumentasi NK, 2014)
Gambar 10. Karakter morfologi ventral dan dorsal. Ket: a) C.
semiadii; b) C. marmoratus
Berdasarkan Gambar 10, terdapat perbedaan dari C. marmoratus
dan C. semiadii yang dapat dilihat pada ukuran panjang dan bentuk
ekor. C. semiadii memiliki ekor yang silindris sedangkan C.
marmoratus memiliki ekor yang panjang. Corak warna pada C.
semiadii terdapat bercak hitam yang tersusun rapi dari tengkuk hingga
ekor. Berbeda dengan C. marmoratus, pola warna yang ada pada
bagian dorsal berwarna hitam yang tersusun acak pada tengkuk hingga
paha. Selain itu, pola warna pada ekor berwarna hitam dan putih
hingga ujung ekor. Ditinjau dari bagian ventral pada Gambar 10,
menunjukkan perbedaan yang jelas pada pola sisik precloacal. C.
semiadii tidak memiliki pola sisik precloacal dan tidak memiliki
perbesaran sisik femoral. Pola precloacal pada C. marmoratus
berbentuk angular dengan sisik femoral menyambung dan mengalami
perubahan sisik yang tiba-tiba pada post femoral.
4.2.3 Clade C
Clade C terdiri atas C. consobrinus dari Sumatra Barat dan
Sarawak, C. semicinctus dari Jambi, C. lateralis dari Aceh, C. cf
psarops dari Sumatra Utara dan Sumatra Barat, C. cf marmoratus dari
Sumatra Utara. Clade C didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=85,
a
,
.
b
,
.
-
36
MPBS=-, BPP=95) yang menunjukkan bahwa clade ini memiliki hasil
topologi yang valid. Clade C ini terbagi atas 2 kelompok, yaitu
subclade I dan II. Subclade II terbagi atas subclade kecil yaitu IIa dan
IIb. Nilai bootstrap >70 pada ML dan MP menunjukkan topologi
pohon didukung oleh bootstrap yang valid. Analisis BI dikatakan
menunjukkan cabang pohon yang valid apabila nilai bootstrap
mencapai 95 (Wood dkk., 2012).
Subclade CI terdiri atas C. consobrinus dari Sumatra Barat dan
Sarawak. Subclade I mempunyai hubungan monofiletik yang
didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=100, MPBS=99, BPP=100)
yang menunjukkan hasil topologi pohon yang valid. Hasil
rekonstruksi pada subclade I mengindikasikan bahwa dalam tingkat
persebaran yang luas C. consobrinus masih dalam satu clade dengan
nilai p-distance 10%. Hasil ini menunjukkan kesamaan dengan
penelitian yang dilakukan Wood dkk. (2012). C. consobrinus berada
dalam satu clade dengan C. caverniculos, C. malaynus, C.
consobrinus dari Sumatra. C. consobrinus merupakan sister lineage
dari spesies complex C. irregularis. C. consobrinus merupakan
spesies yang berkerabat dekat dengan C. irregularis (Wood dkk.,
2012). C. consobrinus memiliki karakter morfologi yang sangat mirip
dengan C. aurensis (Grismer, 2005) dan C. hikidai (Riyanto dkk.,
2012). Perbandingan morfologi dapat ditinjau pada Gambar 12. Hasil
analisis menunjukkan bahwa C. consobrinus dapat digolongkan dalam
spesies complex. Hasil penelitian Wood dkk. (2012) menjelaskan
bahwa posisi C. consobrinus dengan C. aurensis terpisah oleh clade.
C. consobrinus ikut dalam clade Borneo dan Sumatra sedangkan C.
aurensis ikut dalam clade Filipina.
-
37
Gambar 11. Filogram Maximum likelihood, Maximum Parsimony dan Bayesian Inference berdasarkan Gen
ND4 di Jawa dan Sumatra. Ket: ‘*’=bootstrap 100.
-
38
a b
c d
(Riyanto dkk, 2015; Grismer, 2005)
Gambar 12. Perbandingan morfologi bagian dorsal. Ket: a) C.
consobrinus; b) C. hikidai; c) C. consobrinus; d). C.
aurensis
Berdasarkan Gambar 12, C. consobrinus memiliki pola warna pada
kepala hingga tengkuk berwarna putih yang saling menyambung
membentuk pola triangle. Berbeda dengan C. hikidai memiliki pola
warna yang hampir mirip dengan C. consobrinus, hanya yang
membedakan pada garis yang membentuk pola triangle tidak terlihat
jelas. Ditinjau dari karakter SVL, C. consobrinus memiliki total SVL 121
mm, sedangkan C. aurensis dan C. hikidai masing-masing 92-94 dan 72-
100 mm. Bagian dorsal memiliki pola garis yang berwarna putih
melintang membelah bagian dorsal seperti menjadi beberapa segmen.
Seperti halnya pada C. hikidai, perbedaan C. consobrinus dan C. aurensis
-
39
hanya pada pola garis di tengkuk hingga kepala (Grismer, 2005 dalam
Riyanto dkk., 2012).
Subclade II terdiri dari subclade kecil IIa dan IIb. Subclade IIa terdiri
dari C. semicinctus dari Jambi dan C. lateralis. Subclade ini tidak
didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=57, MPBS=-, BPP=54).
Subclade IIa merupakan perpaduan dua spesies yang berada pada satu
clade. Hasil ini menunjukkan perbedaan pengelompokan pada C.
semicinctus yang pada penelitian Harvey dkk. (2015). Posisi C.
semicinctus berada dalam satu clade dengan C. semenanjungensis
(Grismer & Leong, 2005) dengan nilai dukung bootstrap MLBS dan BPP
92 dan 100. Sama halnya dengan C. lateralis, posisi C. lateralis pada
penelitian ini berkerabat dengan C. semicinctus namun nilai bootstrap
pada penelitian ini belum bisa dikatakan sebagai sister spesies. Harvey
dkk. (2016) menyatakan bahwa C. lateralis masuk dalam clade C.
spinosus, C. durio, C. nuaulu, C. stresemanni, dan C. serratus yang
dicirikan dengan tuberkel yang mirip duri pada lipatan ventrolateral dan
ekor.
Karakter morfologi pada gambar 13 menunjukkan adanya perbedaan
yang sangat jelas. Bagian dorsal C. lateralis berwarna kecoklatan dengan
bercak hitam kepucatan dan tuberkel yang mirip dengan duri pada
tubuhnya. Perbedaan yang sangat terlihat pada C. semicinctus dan C.
lateralis dilihat dari pola corak warna yang ada pada bagian dorsal. C.
semicinctus memiliki warna coklat mengkilap dengan warna bercak
hitam yang tersusun menutupi warna coklat. Bercak hitam pada bagian
kepala sebanyak 5-7 dan badan sebanyak 7-9 (Harvey dkk., 2015).
C.lateralis memiliki warna coklat kehitaman dengan pola bercak abu-abu
pada bagian kepala hingga ekor.
Pola sisik femoral dan precloacal memiliki perbedaan yang sangat
jelas. Pola sisik femoral dapat ditinjau pada gambar 14. C. lateralis
memiliki sisik besar femoral yang tidak menyambung satu sama lain,
dengan jumlah 5-7. Pola precloacal C. lateralis adalah wide, dimana
terdapat pori berjumlah 9. C. semicinctus terjadi perbesaran sisik femoral
dan pori yang menyambung dengan sisik precloacal jumlah 36-38.
Bentuk precloacal subtriangular. Menurut Harvey dkk. (2016), C.
lateralis merupakan spesies endemik Sumatra Barat dan Aceh, yang
dicirikan dengan tuberkel tubuh seperti duri. Pola precloacal berbentuk
wide dengan pore berjumlah 9-13.
-
40
(Dokumentasi ENS, 2014)
Gambar 13. Perbandingan karakter morfologi. Ket: a) C. lateralis; b) C.
semicinctus
(Dokumentasi ENS, 2014)
Gambar 14. Perb