i
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat
batal bahwa: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-
persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum,
tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Hakim. Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya syarat kewajiban
dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si
tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menekankan pada prestasi dalam
perjanjian yang timbal balik disamakan dengan syarat batal, yang dalam hal ini
merupakan syarat batal yang konstruktif. Syarat konstruktif adalah suatu syarat
yang secara factual tidak pernah disetujui oleh para pihak, tetapi oleh hukum
dianggap dan diperlukan sebagai syarat yang seolah-olah telah disetujui untuk
mencapai keadilan bagi para pihak.1 Syarat konstruktif ditemukan pada Pasal
1266 KUHPerdata yang mengasumsikan bahwa syarat batal selalu dianggap ada
dalam perjanjian timbal balik, walaupun para pihak tidak mencantumkannya.
Terdapat kekaburan norma mengenai pengaturan syarat batal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Kekaburan norma ditemukan pada kalimat
pertama dalam Pasal 1266 KUHPerdata, yang menentukan bahwa “Syarat batal 1Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.126.
ii
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Dalam Pasal 1266
KUHPerdata ini tidak diuraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan
persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik pada Pasal-Pasal berikutnya.
Kriteria untuk menentukan persetujuan yang memiliki karakteristik timbal balik
tidak dijelaskan, sehingga memungkinkan terjadi berbagai penafsiran. Pada
bagian lain, kekaburan juga dijumpai pada kalimat keempat Pasal 1266
KUHPerdata yang menentukan bahwa “Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan atas permintaan tergugat,
leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka
waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”. Undang-undang tidak menjelaskan
lebih lanjut apa yang dimaksud dengan keadaan dan bagaimana kriteria suatu
keadaan agar dapat diberikan penundaan pemenuhan kewajiban. Untuk
menentukan keadaan apa yang dapat dijadikan alasan untuk penundaan
pemenuhan kewajiban tidak disebutkan oleh undang-undang, sehingga
memberikan kekaburan norma.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana
kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnya mengandung syarat batal
berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?. 2) Apakah
akibat hukum Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap
wanprestasi dalam melaksanakan perjanjian timbal balik?
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1) Mengetahui kriteria perjanjian
timbal balik yang didalamnya mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266
iii
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2) Untuk mengetahui akibat hukum Pasal
1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap wanprestasi dalam
melaksanakan perjanjian timbal balik.
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Secara teoritis
manfaat penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan syarat batal dalam perjanjian
timbal balik berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2)
Manfaat praktis yaitu diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
para pihak dalam perancangan perjanjian timbal balik dan masyrakat pada
umumnya. Terhadap hakim dalam memberikan penundaan pemenuhan kewajiban
dalam perjanjian timbal balik.
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum Normatif
adalah penelitian yang menggunakan sumber bahan kepustakaan. Pendekatan
yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Konseptual
(Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach).
II. PEMBAHASAN
iv
A. Kriteria Perjanjian Timbal Balik Yang Mengandung Syarat Batal
Berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1266 ayat 1 KUHPerdata menjelaskan bahwa syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.
Dengan demikian menurut ketentuan dalam ayat (1) wanprestasi adalah
merupakan syarat batal. Akan tetapi, dalam Pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi,
maka perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim. Jadi, ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sudah mengandung suatu kontroversi.2 Berdasarkan Pasal 1266
KUHPerdata, maka hanya perjanjian timbal balik terdapat syarat batal. Jika
terdapat wanprestasi dari salah satu pihak maka pihak lainnya berhak
meminta pembatalan perjanjian. Hanya dalam perjanjian timbal balik saja
terdapat hak untuk meminta pembatalan.
Tuntutan pembatalan berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata hanya
dapat dilakukan terhadap perjanjian timbal balik yang sempurna, yaitu
perjanjian dimana masing-masing pihak mengikatkan diri untuk melakukan
prestasi dan sebaliknya pihak lawan berhak atas prestasi. Dalam perjanjian
sepihak tidak dapat dituntut pembatalan karena kewajiban hanya ada pada
satu pihak saja sedangkan fungsi tuntutan pembatalan adalah sebagai alat
2Suharnoko, Hukum Perjanjian-teori dan analisa kasus, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm.64-65
v
untuk membebaskan diri dari kewajiban melakukan prestasi jika pihak lawan
telah melakukan wanprestasi.
Tuntutan pembatalan juga tidak dapat dilakukan pada perjanjian
timbal balik tidak sempurna, karena pada perjanjian jenis ini pada perinsipnya
meletakkan prestasi pada satu pihak, tetapi dapat menimbulkan kewajiban
pada pihak lainya. Misalnya pada perjanjian penitipan barang yang
prestasinya hanya ada pada pihak yang menerima titipan, yaitu menjaga
barang yang dititipkan dengan baik dan jika timbul biaya untuk menjaga
barang tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri tidak mengatur
bagaimana kriteria yang dimaksud dengan perjanjian timbal balik. Untuk
mengetahui kriteria perjanjian timbal balik, kata timbal balik menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia dapat diartikan; pada kedua belah sisi (pihak) atau
dari kedua belah pihak; bersambut-sambutan saling (menagih, menuntut,
mencintai).3Dari definisi kata tersebut, tampak bahwa dalam perjanjian timbal
balik ada hubungan saling memiliki hak dan kewajiban.
Hubungan antara kedua belah pihak saling memiliki hak dan
kewajiban. J.Satrio mengemukakan pengertian perjanjian timbal balik yakni:
Perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dan karenanya hak juga
kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan
satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan satu
dengan yang lain adalah, bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari
3WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm.1272
vi
perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain
berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.4
J.Satrio mencontohkan perjanjian timbal balik diantaranya perjanjian
jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. J.Satrio mengemukakan bahwa
kewajiban pada kedua belah pihak mempunyai nilai yang sama (seimbang)
baik objektif maupun subyektif sehingga jika syarat ini tidak terpenuhi maka
perjanjian itu tidak dapat disebut sebagai perjanjian timbal balik.5 Inti dari
timbal balik dalam perjanjian adalah diperlukan dalam sifat pertukaran
prestasi, artinya masing-masing pihak berutang untuk melakukan prestasi
(yang berimbang atau sepadan) terhadap pihak lainnya. Kausa dari perikatan
ditemukan di dalam kewajiban yang dapat ditagih dari pihak lainnya.
Pertukaran prestasi adalah kunci dari perjanjian timbal balik. Perjanjian
timbal balik ada bila para pihak saling bertukar prestasi yang dapat ditagih.
Prestasi dinyatakan sah dengan adanya suatu hak dan kewajiban yang
seimbang.
Berdasarkan ketiga jenis perjanjian tersebut, maka dapat ditarik
sebuah kriteria bahwa dalam perjanjian timbal balik memiliki unsur
pertukaran prestasi, dimana masing-masing pihak memiliki prestasi berupa
kewajiban dan hak. Kewajiban pada satu pihak menjadi hak bagi pihak
lainnya, demikian pula sebaliknya. Ukuran prestasi yang dilakukan oleh
masing-masing pihak tidak selalu sama, bisa pihak yang satu memiliki
kewajiban yang lebih banyak yang berdampak pada pihak yang lain memiliki
4J.Satrio, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan, Cet. 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. hlm.36-37
5Ibid
vii
hak yang lebih banyak. Ukuran keseimbangan diperlukan pada saat
pembuatan perjanjian dimana masing-masing pihak memiliki kedudukan
yang seimbang, sedangkan untuk pertukaran prestasi diperlukan ukuran yang
proporsional.
Berdasarkan hasil uraian tersebut diatas dengan adanya pertukaran
prestasi dan berdasarkan teori keadilan. Berdasarkan hal tersebut didapatkan
hasil yang menjadi kreteria perjanjian timbal balik berdasarkan Pasal 1266
KUHPerdata itu yakni adanya pertukaran prestasi yang timbal balik dimana
kedua belah pihak sama-sama memiliki kewajiban dan hak, namun ukuran
antara prestasi tidak harus sama atau seimbang namun bisa proporsional,
sedangkan ukuran seimbang diperlukan pada saat pembuatan perjanjian
timbal balik itu sendiri.
B. Akibat hukum Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terhadap wanprestasi dalam melaksanakan perjanjian timbal balik
Pembatalan merupakan pernyataan batalnya suatu perbuatan hukum
atas tuntutan pihak yang menurut undang-undang dibenarkan untuk menuntut
pembatalan seperti itu. Pembatalan dilakukan oleh hakim berdasarkan atas
tuntutan pihak yang diberikan hak oleh undang-undang untuk menuntut
seperti itu, akibat pembatalan berlaku surut setelah peryataan batal oleh
hakim.6 Apabila dihubungkan dengan Pasal 1266 KUHPerdata, maka dalam
perjanjian timbal balik terdapat hak dan kewajiban yang seimbang antara para
pihak. Pasal 1266 KUHPerdata, menyatakan bahwa syarat batal dianggap
6Ibid., hlm.173
viii
selamanya dicantumkan dalam perjanjian timbal balik ketika salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi. Hal ini dimaksud bahwa
salah satu pihak diperbolehkan untuk menuntut pembatalan, apabila lawan
janjinya wanprestasi.7
Tiga syarat agar supaya pembatalan agar dapat dilakukan yaitu,
pertama, perjanjian itu harus bersifat timbal balik, kedua, harus ada
wanprestasi, dan ketiga, harus dengan adanya putusan hakim. Sehingga dalam
hal ini ada dua pihak yang memiliki kewajiban untuk saling memenuhi
prestasi. Jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak yang lain
dapat meminta pembatalan di pengadilan dengan mengajukan gugatan
pembatalan, dengan demikian yang membatalkan perjanjian adalah putusan
hakim. Wanprestasi hanya merupakan alasan didalam hakim menjatuhkan
putusannya, dengan kata lain, wanprestasi hanya sebagai syarat untuk
terbitnya putusan hakim.8
Pasal 1266 KUHPerdata dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada kreditur, terhadap kerugian sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh debitur yang wanprestasi, dimana maksudnya menjadi
semakin jelas bila kita membaca ayat (3) Pasal tersebut yang menyatakan
bahwa, seandainya syarat batal itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjian,
tetap permintaan pembatalan harus dilakukan atau pembatalannya harus
dituntut, dan pada ayat (4) menyatakan bahwa atas permintaan tergugat, maka
7Ibid, hlm.301 8Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm.130
ix
hakim dengan melihat keadaan, bebas untuk menetapkan jangka waktunya
asalkan tidak melebihi satu bulan.9
Salah satu contohnya dapat dilihat dalam kasus perjanjian jual beli
tanah beserta bangunan permanen diatasnya yang dibuat dihadapan notaris,
ada dalam Putusan Nomor : 84/Pdt.G/2014/PN Mtr. Dalam Putusan ini bahwa
pihak yang bersengketa adalah antara Haji Sudirman sebagai penggugat 1,
Hajjah Salmiah sebagai penggugat 2, dalam hal ini kedua penggugat adalah
sebagai penjual tanah beserta bangunan permanen diatasnya, melawan Ni
Komang Diarmini sebagai tergugat 1, Made Rasna sebagai tergugat 2, dalam
hal ini kedua tergugat adalah sebagai pembeli tanah beserta bangunan
diatasnya. Dan Rinanto Agus Chudhori, SH, M.Kn sebagai tergugat 3, dalam
hal ini adalah sebagai pejabat pembuat akta perikatan jual beli yang dilakukan
oleh para pihak. Walaupun putusan ini belum inkcraht karena masih dalam
tahap banding di Pengadilan Tinggi Mataram, akan tetapi putusan ini dapat
dijadikan bahan untuk melihat akibat hukum berdasarkan Pasal 1266 KUH
Perdata apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.
Berdasarkan putusan tersebut dapat diketahui masing-masing pihak
memiliki hak dan kewajiban, dimana hak pihak penjual menjadi kewajiban
dari pihak pembeli, demikian pula sebaliknya kewajiban dari pihak penjual
menjadi hak dari pihak pembeli. Perjanjian jual beli berdasarkan putusan
tersebut didalamnya tidak diperinci mengenai syarat batal namun berdasarkan
Pasal 1266 KUHPerdata maka syarat batal otomatis ada dalam perjanjian
jenis ini, sehingga jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya 9J.Satrio, Op.Cit., hlm.303
x
misalnya pihak pembeli tidak membayar lunas maka perjanjian ini menjadi
batal. Sedangkan menurut duduk perkara dari pihak penggugat, bahwa apa
yang dilakukan oleh Tergugat I, dan Tergugat II dengan tidak membayar sisa
harga obyek sengketa setelah jatuh tempo adalah merupakan perbuatan
wanprestasi, dan perbuatan Tergugat I, dan Tergugat II yang telah
merobohkan bangunan milik Para Penggugat serta mengambil tanah
urug/pasir untuk dijual kembali diarea obyek sengketa jelas merupakan
perbuatan melawan hukum yang telah menimbulkan kerugian bagi Para
Penggugat baik secara materiil maupun secara immaterial.
Berdasarkan penjelasan dari putusan tersebut, serta analisis-analisis
yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam perkara diatas, maka
dalam hal terjadi wanprestasi seperti yang terjadi dalam perkara yang ada
diatas, apabila dihubungkan dengan Pasal 1266 KUHPerdata yang
menjelaskan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
perjanjian timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya atau wanprestasi, dengan demikian menurut ketentuan dalam
ayat 1 wanprestasi adalah merupakan syarat batal. Akan tetapi, dalam Pasal
1266 ayat 2 KUHPerdata disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi,
maka perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim.
Para ahli hukum maupun praktisi hukum yang berpendapat bahwa
wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi
harus dimintakan kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa pihak
xi
debitur wanprestasi, maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar
pihak debitur memenuhi perjanjian, sedangkan apabila wanprestasi dianggap
sebagai suatu syarat batalnya perjanjian, maka kreditur hanya dapat menuntut
ganti rugi. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat 4 KUHPerdata,
hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur, dalam
jangka waktu paling lama satu bulan, untuk memenuhi perjanjian meskipun
sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim
mempunyai discrecy untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur
dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan.
Untuk memutuskan apakah terjadinya wanprestasi merupakan syarat
batal atau harus dimintakan pembatalannya kepada hakim, menurut hemat
penulis harus dipertimbangkan kasus demi kasus dan pihak yang membuat
perjanjian. Pembatalan merupakan pernyataan batalnya suatu perbuatan
hukum atas tuntutan pihak yang menurut Undang-Undang dibenarkan untuk
menuntut pembatalan. Pembatalan dilakukan oleh hakim berdasarkan
tuntutan pihak yang diberikan hak oleh Undang-Undang untuk menuntut
seperti itu, akibat pembatalan berlaku surut setelah pernyataan batal oleh
hakim.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 1266 KUHPerdata, maka dalam
perjanjian timbal balik terdapat hak dan kewajiban para pihak yang saling
berhadapan. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan
kewajiban pihak yang lain. Pasal 1266 KUHPerdata, menyatakan bahwa
syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian timbal balik
xii
ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi. Hal
ini dimaksud bahwa salah satu pihak diperbolehkan untuk menuntut
pembatalan, apabila lawan janjinya wanprestasi.
Akan tetapi pada kenyataannya syarat batal dan wanprestasi memiliki
perbedaan-perbedaan yang ditentukan oleh undang-undang sendiri, seperti
diperlukannya keputusan hakim. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu:10 1. Syarat batal itu dianggap ada maksudnya bahwa bila dilihat
perjanjiannya, sebenarnya hal itu tidak ada, namun sekalipun para pihak tidak
memperjanjikannya, selalu dianggap seperti ada diperjanjikan. 2. Dianggap
selamanya dicantumkan, maksudnya para pihak tidak perlu
memperjanjikannya secara tegas, karena makna klausula tersebut selamanya,
yang artinya pada semua perjanjian timbal balik secara otomatis dianggap-
dianggap tercantum, atau dengan kata lain diperjanjikan secara diam-diam. 3.
Klausula tersebut hanya berlaku pada perjanjian timbal balik yang sempurna,
dengan demikian tidak berlaku pada perjanjian timbal balik yang tidak
sempurna. 4. Klausula batal berlaku pada syarat bahwa pihak lawan
melakukan wanprestasi. Mengenai overmacht pada debitur maka ketentuan
tersebut tidak berlaku.
III. PENUTUP
10Ibid, hlm.301-302
xiii
A. Simpulan.
Dari uraian-uraian pembahasan di atas, maka peneliti dapat
mengambil kesimpulan dari permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu: 1.
Kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnya mengandung syarat batal
berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, yaitu dapat dilihat dalam perjanjian
timbal balik yang memiliki unsur pertukaran prestasi, dimana masing-masing
pihak memiliki prestasi berupa hak dan kewajiban. Maksudnya adalah
kewajiban pada satu pihak menjadi hak bagi pihak lainnya, demikian pula
sebaliknya. Ukuran prestasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak tidak
selalu sama, bisa pihak yang satu memiliki kewajiban yang lebih banyak yang
berdampak pada pihak yang lain memiliki hak yang lebih banyak. Ukuran
keseimbangan diperlukan pada saat pembuatan perjanjian dimana masing-
masing pihak memiliki kedudukan yang seimbang, sedangkan untuk
pertukaran prestasi diperlukan ukuran yang proporsional. Berdasarkan hal
tersebut didapatkan hasil yang menjadi kreteria perjanjian timbal balik
berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata itu yakni adanya pertukaran prestasi
yang timbal balik dimana kedua belah pihak sama-sama memiliki hak dan
kewajiban. 2. Akibat hukum Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, terhadap pihak yang tidak aktif dalam melaksanakan perjanjian
timbal balik adalah pihak yang tidak aktif dalam melaksanakan perjanjian
tersebut dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi atau lalai, dengan
pernyataan lalai tersebut selanjutnya perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Pembatalan tersebut harus dimintakan ke Pengadilan melalui Putusan
xiv
Pengadilan, tanpa menghilangkan hak dari pihak yang telah dirugikan untuk
menuntut ganti rugi yang diakibatkan oleh pihak yang telah melakukan
wanprestasi.
B. Saran.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dikemukakan beberapa pokok
pikiran sebagai saran, yaitu sebagai berikut : 1. Diharapkan agar para pihak
yang terlibat dalam perjanjian timbal balik, tidak boleh menyertakan klausul
pengesampingan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain
karena pasal ini bukan sebagai pelengkap, tetapi juga terutama untuk
kepastian hukum dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut,
maupun kepastian hukum dari perjanjian itu sendiri. 2. Diharapkan agar para
penegak hukum dalam hal ini para hakim, kiranya dalam mengambil
keputusan mengenai gugatan pembatalan perjanjian (timbal balik). Dapat
sungguh-sungguh memahami makna di balik Pasal 1266 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, serta arif dan bijaksana dalam membuat keputusan,
agar keputusan yang dibuat dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum
bagi para pihak yang berperkara.