1
UNIVERSITAS INDONESIA
FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG
TANGERANG
MAKALAH NON SEMINAR
RAHMAT KAHFI ARDANI
0906559776
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI CINA
DEPOK
JANUARI 2014
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
2
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
3
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
4
FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS
CINA BENTENG TANGERANG
Rahmat Kahfi Ardani
Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424,
Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Topik penelitian ini adalah Festival Pe’cun dalam komunitas Cina Benteng yang berdomisili di wilayah
Tangerang, Banten. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan sejarah Festival Pe’cun dan manfaat festival ini bagi
komunitas Cina Benteng serta bagi hubungan Cina Benteng dengan penduduk lokal. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Beberapa hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini adalah
Festival Pe’cun merupakan salah satu perayaan hari besar tradisional kaum Tionghoa yang masih dijaga dengan
baik hingga saat ini di dalam komunitas Cina Benteng. Perayaan festival ini telah mengalami akulturasi dengan
budaya masyarakat setempat seperti Betawi dan Sunda. Akulturasi yang tercipta menunjukkan adanya hubungan
yang terjalin harmonis antara komunitas Cina Benteng dengan penduduk lokal. Festival ini juga memiliki
manfaat untuk meningkatkan hubungan antara komunitas Cina Benteng dengan penduduk lokal baik dalam
aspek budaya, sosial, maupun ekonomi.
DRAGON BOAT FESTIVAL IN CHINESE BENTENG COMMUNITY
TANGERANG
Abstract
The main topic of this research is Dragon Boat Festival as Chinese Benteng Community tradition
observation that located in Tangerang, Banten. The purpose of this research is to describe a Dragon Boat Festival
history and benefit of Chinese Benteng Community with positive relationship between local and Indo-Chinese.
The research’s method is qualitative. According to the conclusion of this research, the author describes that
Dragon Boat Festival is one of Chinese celebration day that still exist and annually celebrated in Tangerang. The
festival is acculturated naturally with Betawi and Sunda culture. That acculturation describes a positive
relationship between local and Indo-Chinese. This acculturation has impact to raise an economic, social, and
culture aspect of local and Indo-Chinese.
Keywords : Acculturation, Chinese Benteng Community, Dragon Boat Festival
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
5
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Tiongkok1, negara yang memiliki
penduduk terbesar di dunia merupakan
negara yang memiliki keragaman budaya
yang amat kaya. Bangsa Tionghoa2
terkenal sebagai bangsa yang teguh
merayakan hari raya tradisional mereka.
Secara tradisional ada berbagai macam
hari raya yang dirayakan, misalnya Ceng
Beng (Qīng Míng/清明) yang jatuh pada
tanggal 5 April dan Festival Lentera yang
di Indonesia dikenal dengan Cap Go Meh
atau yuán xiāo (元宵) yang jatuh pada
tanggal 15 bulan 1 penanggalan imlek (Nio
Joe Lan, 1961: 148). Selain kedua hari
raya tersebut, ada juga hari raya tradisional
lain yang rutin dirayakan oleh bangsa
Tiongkok seperti hari raya Imlek atau
chūn jié (春节) serta duān wǔ jié (端午节)
atau disebut juga dengan Festival Pe’cun
atau di kalangan masyarakat Indonesia
dikenal sebagai pesta perahu naga.
Festival Pe’cun jatuh pada tanggal 5 bulan
5 dalam penanggalan Imlek atau sekitar
bulan Juni dalam kalender Masehi.
Kemeriahan festival ini tidak hanya
berlangsung di Tiongkok tetapi juga di
Indonesia, khususnya dalam komunitas
Cina Benteng, Tangerang. Komunitas Cina
Benteng merupakan kaum peranakan
Tiongkok. Kaum peranakan adalah orang
Tionghoa yang sudah terasimilasi ke dalam
masyarakat Indonesia. Mereka dilahirkan
di Indonesia dan umumnya mempunyai
darah pribumi dari garis perempuan.
Kebanyakan dari mereka tidak berbahasa
Tionghoa melainkan berkomunikasi
dengan bahasa-bahasa pribumi (Leo
1 Tiongkok merujuk kepada negara Cina 2 Tionghoa merujuk kepada bangsa, budaya,
dan bahasa Cina
Suryadinata, 1988: 1-2). Komunitas Cina
Benteng merayakan Festival Pe’cun
diawali dengan melakukan sembahyang di
Kelenteng Boen Tek Bio. Setelah
melakukan sembahyang, ada beberapa
kegiatan yang berpusat di Kali Cisadane
seperti lomba mendayung perahu naga,
lomba menangkap bebek, mendirikan telur,
serta beberapa pertunjukan seni dan
hiburan dari para seniman Cina Benteng
dan seniman setempat. Selain itu, untuk
merayakan festival ini, masyarakat Cina
Benteng juga membuat makanan khas
berupa bacang dan kue cang.
Pelaksanaan Festival Pe’cun mengalami
pasang surut, festival ini pernah dilarang
oleh pemerintah pada tahun 1964.
Kemudian pada era Orde Baru muncul
Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang
larangan semua ekspresi kebudayaan dan
keagamaan Tionghoa yang membuat
perayaan festival ini terhenti. Pada saat itu,
ketika Festival Pe’cun masyarakat Cina
Benteng hanya melakukan sembahyang di
Kelenteng Boen Tek Bio tanpa adanya
acara-acara yang melengkapi perayaan
seperti tahun-tahun sebelumnya. Hingga
pada tahun 2000, melalui Keppres RI No.
6/2000, Presiden Abdurrachman Wahid
mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967
tentang larangan semua ekspresi dan
kebudayaan Tionghoa. Sejak
dikeluarkannya KepPres tersebut,
rangkaian perayaan Festival Pe’cun
kembali dilangsungkan oleh masyarakat
Cina Benteng. Perayaan Festival Pe’cun
pernah digabungkan dengan Festival
Cisadane yang merupakan program
Pemerintah Kota Tangerang pada tahun
2000-2004. Tetapi kemudian di tahun
2005, perayaan Festival Pe’cun
dilaksanakan terpisah dengan Festival
Cisadane karena adanya perbedaan konsep
di antara kedua festival tersebut.
Pada dasarnya Festival Pe’cun merupakan
budaya asli bangsa Tionghoa tetapi kita
dapat melihat bahwa pada saat ini perayaan
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
6
festival tersebut telah mendapat pengaruh
dari budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari
pertunjukkan seni yang ditampilkan pada
saat perayaan festival ini yaitu adanya
musik gambang kromong dan tarian cokek
yang merupakan kesenian asli Betawi.
Selain itu, makanan khas yang disajikan
yaitu kue cang telah mendapat pengaruh
dari budaya lokal. Kue cang merupakan
bacang yang dibuat tanpa isi, disajikan
dengan srikaya maupun gula merah yang
dicairkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
disebutkan di atas, penulis merasa tertarik
untuk menyusun makalah ini dengan judul
“Festival Pe’cun dalam komunitas Cina
Benteng, Tangerang”. Pembahasan akan
mencakup permasalahan asal mula Festival
Pe’cun, rangkaian perayaan yang terdapat
dalam festival ini, serta manfaat festival ini
dalam menjaga dan meningkatkan
hubungan komunitas Cina Benteng dengan
penduduk lokal.
2. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam
makalah ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah metode penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek alamiah, (sebagai lawannya
adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara
trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi (Sugiyono, 2008: 1).
Alasan penulis menggunakan penelitian
kualitatif karena obyek dalam penelitian
ini adalah obyek yang alamiah serta
dinamis. Obyek yang alamiah adalah
obyek yang apa adanya dan tidak
dimanipulasi oleh penulis. Selain itu
penelitian ini dilakukan guna mendapatkan
data yang mendalam, suatu data yang
mengandung makna. Oleh karena itu,
metode penelitian kualitatif lebih tepat
untuk digunakan dalam penelitian ini.
2.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui
metode trianggulasi (gabungan), yaitu
dilakukan dengan pengamatan dan
wawancara, selain itu juga dilakukan
melalui studi kepustakaan. Teknik
pengamatan menggunakan teknik
pengamatan terlibat langsung yaitu penulis
mengambil peran sebagai bagian atau
anggota dari lingkungan sasaran
pengamatan. Penulis mengamati perayaan
Festival Pe’cun secara langsung di
kalangan masyarakat Cina Benteng.
Wawancara dilakukan dengan metode
wawancara tak berstruktur yaitu
wawancara yang dilakukan hanya berupa
garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan. Informan dari penelitian ini
adalah Bapak Oey Tjim Eng selaku Humas
Kelenteng Boen Tek Bio. Penulis juga
melakukan pengumpulan data melalui
studi pustaka dengan menggunakan buku-
buku sumber berbahasa Indonesia dan
Cina untuk melengkapi data yang tidak
ditemukan saat penelitian di lapangan.
2.2 Proses Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan
melalui 3 tahap, yang pertama disebut
dengan tahap orientasi/deskripsi. Pada
tahap ini penulis mendeskripsikan apa
yang ditanyakan dari informan serta apa
yang dilihat dari pengamatan. Pada tahap
ini penulis baru mengenal secara sepintas
terhadap informasi yang diperoleh.
Tahap kedua disebut dengan tahap
reduksi/fokus. Pada tahap ini penulis
mereduksi segala informasi yang diperoleh
pada tahap pertama. Pada tahap ini penulis
memilih, memusatkan perhatian, serta
menyortir data dengan cara memilih mana
data yang penting dan berguna. Data yang
tidak dipakai dapat disingkirkan.
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
7
Tahap ketiga disebut dengan tahap seleksi.
Pada tahap ini penulis menguraikan fokus
yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci.
Pada tahap ini, setelah penulis melakukan
analisis yang mendalam terhadap data
yang diperoleh, maka penulis dapat
menghasilkan data atau informasi yang
dicari serta mampu menghasilkan
informasi-informasi yang bermakna.
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan maka pembabakan dalam
makalah ini akan terbagi menjadi tiga sub
bagian yaitu: sejarah Festival Pe’cun,
rangkaian perayaan dan hidangan dalam
Festival Pe’cun, serta manfaat Festival
Pe’cun dalam menjaga dan meningkatkan
hubungan komunitas Cina Benteng dengan
penduduk lokal.
3.1. Sejarah Festival Pe’cun
Bangsa Tionghoa terkenal memiliki
berbagai perayaan hari raya tradisional
yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Pada umumnya latar belakang perayaan-
perayaan tersebut terkait dengan sejarah
dan budaya bangsa Tionghoa. Berbagai
jenis perayaan itu tidak hanya
diselenggarakan dengan meriah di
Tiongkok tetapi juga dirayakan oleh
bangsa Tionghoa yang tersebar di seluruh
penjuru dunia. Salah satu hari raya
tradisional Tiongkok yang tetap dijaga
hingga sekarang adalah Festival Pe’cun
atau Pesta Perahu Naga atau dalam Bahasa
Mandarin disebut dengan duān wǔ jié
(端午节).
Pesta Perahu Naga jatuh pada tanggal 5
bulan 5 penanggalan Imlek atau pada bulan
Juni dalam Kalender Masehi. Pesta Perahu
Naga di Pulau Jawa dikenal dengan nama
Pe’cun atau lomba perahu (Cl Salmon&D
Lombard, 1985: 82). Pe’cun berasal dari
kata pá long chuán (爬龙船 ) yang berarti
mendayung perahu naga. Hal ini
disebabkan Festival Pe’cun identik dengan
lomba mendayung perahu naga. Pesta
Perahu Naga disebut juga dengan duān wǔ
jié atau duān yáng jié (端阳节). Asal usul
penyebutan ini karena bangsa Tionghoa
membagi angka berdasarkan yīnyang
(阴阳), angka ganjil termasuk yang,
sedangkan angka genap termasuk yin.
Angka satu sampai sepuluh juga dibagi
berdasarkan yīnyang. Angka 1,3,5,7,9
termasuk yang, sedangkan angka
2,4,6,8,10 termasuk yin. Angka 5 terdapat
di tengah-tengah antara angka satu sampai
dengan angka sembilan dan termasuk
angka ganjil sehingga disebut yang,
sedangkan duān berarti tepat, maka disebut
duān yáng. Wǔ (午) berarti tengah,
terdapat antara zǎo (早) dan wǎn (晚),
sehingga dapat disebut juga dengan duān
wǔ. Sementara jié (节) berarti festival atau
perayaan. Oleh karena itu, festival yang
jatuh pada tanggal 5 bulan 5 dalam
penanggalan imlek disebut dengan duān
wǔ jié (端午节).
Festival Pe’cun yang identik dengan lomba
mendayung perahu naga memunculkan dua
versi sejarah yang berbeda. Sejarah versi
pertama mengatakan bahwa cerita ini
mengenai seorang menteri Raja Huai dari
Negara Chu di masa negara berperang
yang bernama Qu Yuan (339-277 SM). Ia
adalah seorang pejabat yang jujur dan setia
pada negaranya. Ia banyak memberikan ide
untuk memajukan Negara Chu dan bersatu
dengan Negara Qi, untuk memerangi
Negara Qin. Raja sangat menghormati dan
menyayangi Qu Yuan. Menteri-menteri
dan pegawai lain yang tinggal di istana
tidak suka akan hal ini dan melakukan
berbagai cara untuk menyingkirkan Qu
Yuan dari istana. Tidak berapa lama, raja
mendengar apa yang dibincangkan oleh
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
8
orang-orang di istana. Mereka berkata
bahwa Qu Yuan adalah seorang
pengkhianat dan hendak menggulingkan
raja untuk kemudian ia yang akan menjadi
raja. Mereka berkata bahwa Qu Yuan telah
bersekutu dengan raja-raja asing.
Raja Huai lambat laun dipengaruhi oleh
menteri-menterinya, karena itu Qu Yuan
pun dibenci oleh Raja. Qu Yuan dibuang
ke sebuah kampung kecil yang jauh dari
istana. Meskipun telah dibuang tetapi ia
tidak menaruh dendam atas kemalangan
yang terjadi padanya. Selama diasingkan,
Qu Yuan mengarang sajak-sajak untuk
mencurahkan pikirannya, salah satu
sajaknya yang terkenal adalah yang
berjudul Li Sao. Isinya bukan hanya
penderitaaanya selama di pengasingan
tetapi juga malapetaka yang akan menimpa
negeri dan rakyatnya. Qu Yuan sudah
berkali-kali mengingatkan raja agar jangan
menyerang Negara Qin tetapi raja tidak
mengindahkan hal tersebut. Pada suatu
hari, Qu Yuan mendengar kabar bahwa
raja sakit keras akibat kekalahannya
melawan Negara Qin.
Para tabib dari seluruh negeri telah
dipanggil untuk mengobati raja tetapi raja
tak kunjung sembuh. Qu Yuan merasa
sedih mendengar kabar tersebut, ia ingin
menolong raja tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa selama berada di pengasingan.
Pada suatu malam, ia bermimpi didatangi
oleh Dewa Kekal. Ia diperintahkan untuk
segera kembali ke istana. Ia harus
membawa obat untuk raja yaitu kue yang
dibuat dari beras dan dibungkus di dalam
daun bambu berbentuk limas (piramida).
Daun bambu tersebut harus disimpulkan
dengan benang sutra berwarna merah.
Dewa Kekal berpesan agar raja harus
memakan kue itu setiap hari.
Dewa itu pun menghilang dan dalam
sekejap Qu Yuan merasa tubuhnya seolah-
olah diangkat dari tanah dan diterbangkan
ke istana yang jauhnya beratus-ratus mil.
Tiba-tiba Qu Yuan telah ada di dalam
kamar tidur raja. Qu Yuan pun diam-diam
memberi hormat kepada raja lalu langsung
mengikatkan kue-kue tersebut di atas kasur
raja. Seketika, ia kembali merasa tubuhnya
telah terangkat dan kembali ke tempat
pengasingannya, lalu ia pun tersadar. Lama
ia berpikir tentang kejadian yang
mengherankan tersebut. Ia yakin bahwa
mimpinya tersebut benar-benar terjadi.
Sementara itu di tempat lain, raja pun
terbangun dari tidurnya. Awalnya ia
mengira telah bermimpi karena melihat di
atas tempat tidurnya terdapat sejumlah kue.
Raja bertanya kepada seluruh penghuni
istana tetapi tidak ada yang menaruh kue-
kue tersebut. Berdasarkan penuturan para
penghuni istana, raja meyakini bahwa kue-
kue tersebut dikirim oleh Qu Yuan dari
tempat pengasingannya. Raja memandangi
kue tersebut satu demi satu, dibelah
kemudian dimakan isinya. Semakin
banyak raja memakan kue tersebut maka
semakin berkurang penyakitnya. Raja
merasa heran, kemudian ia memanggil
seluruh menterinya dan menceritakan
kejadian aneh tersebut. Para menteri hanya
dapat menggelengkan kepala sebagai
bentuk ketidakpercayaan mereka.
Kedatangan Qu Yuan mengunjungi raja
adalah tanda yang tidak baik bagi mereka.
Mereka harus berhati-hati sebab Qu Yuan
sekarang telah mempunyai ilmu gaib, ia
dapat menghilang kemana saja. Dengan
cara licik, para menteri berkata kepada raja
bahwa di dalam kue-kue tersebut terdapat
racun. Raja pun terpengaruh, ia segera
memerintahkan para menteri untuk
menangkap dan membunuh Qu Yuan. Raja
mengira bahwa Qu Yuan telah kabur dari
tempat pengasingan. Oleh karena itu, para
menteri diminta untuk mencari Qu Yuan.
Namun alangkah terkejutnya mereka
ketika mendapati bahwa Qu Yuan masih
ada di dalam bilik tempat pengasingannya.
Para menteri langsung mengikat tangan Qu
Yuan dan ia langsung dibawa ke istana. Qu
Yuan tidak melawan sedikit pun, tetapi
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
9
ketika telah sampai di sungai Millou, Qu
Yuan pun berontak, ikatan tangannya
terlepas, lalu ia langsung melompat ke
dalam sungai dan tenggelam.
Pada saat yang sama, Raja Huai melihat
bayangan Dewa Kekal dari langit. Dewa
Kekal menceritakan kejadian yang
sebenarnya terjadi. Setelah mengetahui hal
tersebut, Raja Huai langsung merasa
bersalah dan memerintahkan seluruh
rakyat untuk mencari jasad Qu Yuan di
sepanjang sungai Millou. Semua rakyat
mencari dengan menggunakan perahu
tetapi tetap tidak menemukan jasad Qu
Yuan. Raja pun memerintahkan rakyat
untuk membuat kue-kue yang serupa
dengan kue yang dibawa oleh Qu Yuan,
supaya rohnya melihat bahwa orang-orang
sedang mencarinya, tetapi semua usaha itu
tidak berhasil. Akhirnya setiap tanggal 5
bulan 5, orang-orang mendayung perahu
untuk mencari jasad Qu Yuan, seorang
menteri yang sangat setia kepada raja dan
untuk menghormatinya disajikan bacang
untuk dilemparkan ke dalam sungai.
Berangkat dari cerita sejarah itu, kemudian
lahirlah perayaan Festival Pe’cun yang
identik dengan perahu naga dan bacang.
Sejarah versi kedua adalah tentang seorang
menteri dari Negara Chu di masa Musim
Semi dan Gugur yang bernama Wu Zi Xu.
Wu Zi Xu adalah seseorang yang berbakti
pada raja dan negara tetapi karena
keluarganya dibunuh oleh Raja Chu
menyebabkan ia pergi membantu Negara
Wu untuk menyerang Negara Chu.
Kerajaan Wu pun mampu mengalahkan
Kerajaan Chu berkat jasa Wu Zi Xu.
Sayangnya, setelah Raja Wu meninggal
dan digantikan oleh anaknya, anaknya
tersebut tidak begitu menyukai Wu Zi Xu.
Suatu kali, Wu Zi Xu menasehati raja baru
tersebut untuk menyerang Negara Yue
tetapi hal itu tidak digubris oleh raja. Ia
malah difitnah oleh menteri-menteri
Negara Wu bahwa ia telah bersekongkol
dengan Negara Yue untuk menyerang
Negara Wu. Raja terhasut oleh ucapan para
menteri, ia pun menghukum mati Wu Zi
Xu. Setelah meninggal, jenazahnya
kemudian dibuang ke dalam sungai.
Menurut cerita, dahulu saat Negara Wu
mengalami masa kejayaan, Wu Zi Xu
pernah memerintahkan rakyat untuk
mengukus beras lalu menumbuknya untuk
kemudian dicetak menjadi batu bata. Batu
bata beras itu ditumpuk lalu dilapisi
dengan batu bata asli sehingga menjadi
tembok kota. Sepuluh tahun setelah Wu Zi
Xu mati, Negara Wu diserang oleh Negara
Yue, Negara Wu kalah dalam peperangan
ini. Hal ini menyebabkan Negara Wu
menderita gagal panen dan terjadi bencana
kelaparan. Seorang pejabat istana teringat
akan pesan Wu Zi Xu, bila terjadi bencana
kelaparan, rubuhkanlah tembok kota
bagian dalam karena batu batanya adalah
beras yang bisa di makan. Bermula dari
hal tersebut maka setiap memperingati
kematian Wu Zi Xu dibuatlah makanan
dari beras yang dibungkus.
Beberapa perbedaan data sejarah tersebut
kerap menimbulkan berbagai pertanyaan
mengenai asal mula perayaan Festival
Pe’cun, tetapi yang dapat disimpulkan
bahwa perayaan ini merupakan sebuah
perayaan untuk memperingati dan
menghormati salah seorang pejabat negara
yang memiliki moral luhur.
3.2. Rangkaian Perayaan dan Hidangan
Dalam Festival Pe’cun
Rangkaian perayaan dan hidangan seolah
menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan
dari sebuah festival. Begitu pula dengan
Festival Pe’cun yang memiliki sejumlah
rangkaian perayaan serta makanan yang
identik dengan festival tersebut.
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
10
3.2.1 Membuat Bacang
Hidangan khas dalam Festival Pe’cun
adalah bacang atau bái zòng (白粽)/ròu
zòng (肉粽). Adanya bacang dalam
festival ini diyakini karena makanan
tersebut merupakan makanan yang dibawa
oleh Qu Yuan untuk mengobati Raja Huai
yang saat itu sedang sakit keras.
Sepeninggal Qu Yuan yang menceburkan
diri di sungai, maka setiap perayaan
Festival Pe’cun, banyak masyarakat
Tionghoa yang membuat bacang untuk
dilemparkan ke sungai sebagai
persembahan untuk Qu Yuan kemudian
banyak masyarakat yang memakan bacang
tersebut karena dipercaya mampu
mengobati penyakit. Selain itu ada yang
dibuat dalam bentuk kecil tanpa isi untuk
kemudian dimakan bersama srikaya
ataupun gula merah, dikenal dengan nama
kue cang.
Sehari sebelum festival digelar,
masyarakat Cina Benteng sibuk membuat
bacang sebagai salah satu simbol perayaan
ini. Bacang tersebut akan disajikan jika ada
tamu yang datang ke rumah mereka
ataupun akan dilemparkan ke kali sebagai
simbol penghormatan kepada Qu Yuan.
Sementara untuk kue cang dapat dibuat
dari satu minggu sebelum perayaan ini
karena lebih awet. Di masing-masing
rumah terdapat meja abu yang diatasnya
terdapat bacang, kue cang dengan gula
cair, mie goreng, air minum, serta sebagai
pelengkap ada lilin/lampu yang berfungsi
sebagai penerangan.
3.2.2 Menggantungkan Chāng Pú
(菖蒲) atau Tumbuhan Jeringau
Festival Pe’cun yang jatuh pada musim
panas biasanya dianggap sebagai bulan
yang rentan akan penyakit, sehingga
masyarakat Tionghoa akan melakukan
kegiatan bersih-bersih di rumah masing-
masing, lalu menggantungkan chāng pú di
depan rumah untuk mengusir dan
mencegah datangnya penyakit. Chāng pú
memiliki nama latin Acorus Calamus atau
biasa dikenal dengan nama tumbuhan
jeringau dalam Bahasa Indonesia. Chāng
pú atau Jeringau adalah tumbuhan yang
rimpangnya dijadikan sebagai bahan obat-
obatan. Tumbuhan ini memiliki beberapa
karakteristik diantaranya: berbentuk seperti
rumput tetapi dengan ukuran yang lebih
tinggi, menyukai tanah basah, serta daun
dan rimpangnya beraroma kuat. Tumbuhan
ini berasal dari India dan menyebar ke
berbagai penjuru dunia melalui
perdagangan rempah-rempah. Di benua
Amerika, Jeringau kerap dipertukarkan
dengan tumbuhan asli Amerika yang masih
berkerabat dengannya yaitu, Acorus
Americanus. Dalam bahasa Jawa,
tumbuhan ini dikenal dengan nama Dlingo.
Jeringau dikenal sebagai tumbuhan obat
yang memiliki beberapa manfaat, seperti :
- Pengendali Hama: bagian rimpang pada
tumbuhan Jeringau memiliki kandungan
utama yang bernama Asaron. Asaron dapat
digunakan sebagai pestisida untuk
pengendali hama serta racun serangga,
seperti untuk membasmi nyamuk, kecoa,
dan rayap.
- Bahan obat-obatan
- Bahan rempah-rempah
3.2.3 Sembahyang di Kelenteng Boen
Tek Bio
Sebelum acara perlombaan di Kali
Cisadane dimulai, masyarakat Cina
Benteng akan melakukan sembahyang di
Kelenteng Boen Tek Bio. Sembahyang
akan dimulai di altar utama yaitu tempat
diletakkannya patung Dewi Kuan Im atau
yang mereka sebut dengan emak atau Dewi
Welas Asih. Setelah itu mereka akan
sembahyang kepada 8 dewa lainnya yang
ada di Kelenteng Boen Tek Bio secara
berurut. Mereka harus melakukan
sembahyang dengan melewati dua buah
lorong yang ada di kelenteng tersebut yang
diberi nama Pintu Kesusilaan dan Jalan
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
11
Kebenaran. Mereka bisa masuk melalui
lorong Pintu Kesusilaan dan keluar melalui
lorong Jalan Kebenaran. Meskipun
terkesan sederhana, tetapi makna dari dua
lorong ini cukup dalam, yaitu bagi manusia
yang ingin memperoleh kebajikan dan
menemukan jalan yang benar, maka ia
harus terlebih dahulu menguasai aturan-
aturan kesusilaan sebagaimana ajaran
Konfusius yang mengutamakan kesusilaan.
3.2.4 Lomba Perahu Naga
Setelah selesai sembahyang, masyarakat
Cina Benteng akan bergerak ke pinggir
Kali Cisadane. Di pinggir kali terdapat
sebuah panggung yang berukuran sedang.
Acara akan dimulai dengan sambutan dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Sebelum perlombaan dimulai, akan
disajikan acara-acara hiburan seperti
pertunjukan Wushu, penampilan Barongsai
ataupun Liong, serta penampilan seni dari
para pemusik Cina Benteng dan
masyarakat setempat seperti gambang
kromong, tari cokek, dan lain-lain. Acara
perlombaan dimulai dengan lomba perahu
naga.
Perahu naga biasanya didayung secara
berkelompok dan diikuti oleh sejumlah
pria dewasa. Pada umumnya jumlah orang
dalam tiap kelompok terdiri atas 15-30
orang, dimana akan terdapat seorang
pemimpin yang berpakaian putih dengan
bendera putih di tangan kanannya. Selain
itu ada juga dua orang yang bertugas
sebagai pemukul gong dan pemukul
canang yang bertugas untuk memberi
semangat kepada peserta lomba. Mereka
akan mendayung perahu kian kemari di
tengah keramaian sambil melemparkan
bacang (Nio Joe Lan, 1961: 155).
Panjang dari perahu naga sekitar 40-50
kaki dengan kedalaman 1,5 kaki dan lebar
3 kaki. Di bagian haluan berbentuk kepala
naga dan di bagian buritannya berbentuk
ekor naga. Warna dominan dari perahu ini
adalah merah. Dari beberapa kelompok
yang berlomba akan ditentukan 1
kelompok yang dapat mendayung perahu
paling cepat dari garis start hingga finish.
Kelompok yang dapat mendayung perahu
paling cepat akan keluar sebagai
pemenang.
Makna dari perlombaaan mendayung
perahu ini adalah sebagai simbol dari
semangat masyarakat untuk mencoba
menyelamatkan dan menemukan jasad Qu
Yuan yang hilang di sungai. Perlombaan
ini menjunjung tinggi sportivitas antar
kelompok serta menggambarkan kerjasama
di dalam sebuah kelompok untuk mencapai
sebuah tujuan bersama.
3.2.5 Lomba Menangkap Bebek
Setelah selesai lomba mendayung perahu
naga akan diadakan perlombaan
menangkap bebek. Para panitia akan
melempar sejumlah bebek ke dalam Kali
Cisadane dan para peserta yang telah
mendaftar perlombaan akan menangkap
bebek-bebek tersebut. Bebek yang berhasil
ditangkap akan menjadi milik mereka.
Dengan dilepaskannya bebek-bebek
tersebut, diharapkan dapat membuat hidup
orang yang melepasnya terbebas dari
kesialan serta dapat melanjutkan
kehidupan mereka dengan damai dan
tentram.
3.2.6 Mendirikan Telur
Ada sebuah rangkaian acara yang cukup
unik pada perayaan Festival Pe’cun yaitu
mendirikan telur. Panitia akan
menyediakan sejumlah telur kepada para
pengunjung dan telur-telur tersebut akan
didirikan secara bersamaan di dekat area
panggung. Tidak mudah untuk mendirikan
telur yang berbentuk oval di sebuah bidang
datar. Pada tanggal 5 bulan 5 dalam
penanggalan imlek, bumi berada pada
posisi equinox yaitu posisi ketika sumbu
rotasi bumi tegak lurus ke arah matahari.
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
12
Pada posisi equinox, di antara bumi dan
matahari terdapat garis-garis medan
gravitasi yang dapat mempengaruhi
elektron-elektron yang berada di dalam
telur. Gerakan elektron-elektron inilah
yang menyebabkan terjadinya kestabilan
hingga telur dapat berdiri. Lama equinox
terjadi hanya 45-60 menit, biasanya terjadi
pada tengah hari dan hal itu hanya terjadi
satu kali dalam setahun, bertepatan dengan
Festival Pe’cun.
3.2.7 Stand atau bazzar
Selain menghadirkan sejumlah
pertunjukkan, di sepanjang pinggir Kali
Cisadane juga terdapat sejumlah stand
yang menjual makanan, minuman,
pakaian, cenderamata, dan lain-lain. Stand-
stand tersebut diisi oleh komunitas Cina
Benteng maupun oleh masyarakat
setempat.
3.3 Masyarakat Cina Benteng dan
Manfaat Festival Pecun
3.3.1 Masyarakat Cina Benteng
Tangerang
Berkulit gelap, mata lebar, dan memegang
pacul sepintas seperti petani Sunda dan
Betawi kebanyakan, tetapi mereka
memelihara meja abu dan memuja leluhur.
Itulah ringkasan sosok masyarakat petani
Cina Benteng di Tangerang, Banten
(Santosa, 2012: 17). Komunitas Cina
Benteng adalah keturunan Cina Hokkian
yang datang ke Tangerang secara
bergelombang pada abad ke-15 sampai
abad ke-18. Pada gelombang awal, yang
datang merupakan para lelaki yang di
Tiongkok berprofesi sebagai petani, buruh,
atau pedagang kecil. Kemudian di
Tangerang, mereka membuka lahan
pertanian dan perkebunan. Sebagian lagi
bekerja sebagai buruh serabutan ataupun
berdagang di dekat Teluk Naga dan
Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka
menetap, berakulturasi dan melakukan
perkawinan dengan perempuan setempat.
Anak-anak mereka mengikuti bahasa ibu
mereka, yakni dialek Melayu Pasar.
Sebutan Cina Benteng sebetulnya mengacu
pada keberadaan benteng yang dibangun
oleh Verrenigde Oost Indische Compagnie
atau kongsi dagang belanda (VOC) yang
berada di sisi timur Sungai Cisadane.
Benteng tersebut dibangun untuk
melindungi Batavia yang di abad ke-17
menjadi pusat perdagangan VOC dari
Afrika Barat, Afrika Selatan, India, Sri
Lanka, Malaka, Formosa, hingga Deshima
di Nagasaki. Namun sebetulnya
keberadaan peranakan Tionghoa di
kawasan Tangerang, sudah ada jauh
sebelum kedatangan bangsa Barat di Pulau
Jawa. Dalam perkembangannya,
masyarakat peranakan Tionghoa di
kawasan tersebut disamaratakan dengan
sebutan Cina Benteng. Masyarakat petani
Tionghoa Peranakan di sepanjang alur
Sungai Cisadane hingga di kawasan
Cikupa di pedalaman (udik) dan Tanjung
Kait di pesisir Tangerang dikenal sebagai
bagian dari masyarakat Cina Benteng.
(Santosa, 2012: 18).
Sebagian warga Cina Benteng, terutama di
udik, berbicara dalam bahasa Betawi
"iyak" bercampur dialek Sunda pesisir.
Partikel mah, ge (dari kata oge) berada di
hampir setiap kalimat. Pada umumnya
mereka tidak bisa berbicara dalam Bahasa
Mandarin atau dialek Hokkian. Tradisi
dalam masyarakat Cina Benteng
diturunkan melalui tindakan oleh para
leluhur mereka. Hal tersebut telah menjadi
bagian dari praktik sosial sehari-hari,
terutama dalam hal kepercayaan (religi).
Bahasa nenek moyang mereka yaitu
Bahasa Mandarin atau dialek Hokkian
sudah tidak lagi digunakan sebab sudah
sejak lama mereka berakulturasi.
Kedatangan pemukim Tionghoa yang tidak
membawa perempuan dari sana membuat
mereka menjalani tradisi perkawinan
campur dengan perempuan-perempuan
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
13
setempat. Perkawinan inilah yang
kemudian membentuk komunitas Cina
Benteng, Tangerang. Mereka hidup dalam
keadaan yang sangat sederhana, bahkan di
sekitar Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar
Lama, Tangerang, dapat terlihat
masyarakat Cina Benteng yang berprofesi
sebagai tukang becak.
Keberadaan Cina Benteng sudah sejak
lama mengakar di Banten. Sebagai bukti
adalah adanya seorang warga Cina
Benteng bernama Encek Ban Cut yang
dikenal sebagai pendiri Menara Masjid
Banten. Bahkan sebagai penghargaan dari
Sultan Banten, ada beberapa keluarga
Tionghoa peranakan yang diberi gelar
tubagus. Gelar tersebut masih dipakai
hingga hari ini oleh beberapa keturunan
Encek Ban Cut dan kawan-kawannya yang
membuka perniagaan di Banten.
Keberadaan Cina Benteng turut memberi
memberi warna dalam toponimi (asal usul
penamaan tempat), (Santosa, 2012: 27).
Nama daerah Karawaci yang kita kenal
sekarang berasal dari istilah Kurawa Cina
(bala tentara Tionghoa). Mengenai nama
kawasan Teluk Naga yang terletak di
pesisir Tangerang pun berasal dari
kedatangan perahu-perahu Cina dengan
hiasan naga di bagian kepala kapal
(Santosa, 2012: 25-26). Bahkan, bisa
dikatakan bahwa seluruh wilayah
Tangerang merupakan bekas tanah swasta
(particulere landrijen) di zaman Hindia
Belanda yang dimiliki tuan tanah
Tionghoa. Masyarakat Cina Benteng
merintis pembukaan kebun tebu, industri
gula, dan persawahan yang menjadi tulang
punggung ekonomi VOC sebagai
komoditas eskpor utama ke Eropa dan
membuat nama Jawa dikenal dunia sebagai
daerah penghasil gula.
3.3.2 Manfaat Festival Pecun
Meskipun pada umumnya masyarakat Cina
Benteng tidak dapat berbahasa Mandarin
ataupun Hokkian tetapi mereka tetap
menjaga dan melestarikan budaya
Tionghoa kepada anak cucu mereka. Chūn
jié (春节) atau Imlek, yuán xiāo jié
(元宵节) atau Cap Go Meh, qīng míng jié
(清明节) atau Festival Ceng Beng, serta
Duānwǔ jié (端午节) atau Festival Perahu
Naga merupakan festival yang rutin
mereka laksanakan setiap tahunnya.
Masyarakat Cina Benteng melangsungkan
Festival Pe’cun di sekitar Kelenteng Boen
Tek Bio, Pasar Lama, dan Kali Cisadane.
Pada tahun 2011, acara ini berlangsung
pada tanggal 6 Juni. Pada tahun 2012,
acara ini berlangsung pada tanggal 23 Juni.
Pada tahun 2013, acara ini berlangsung
pada tanggal 15 Juni.
Perayaan Festival Pe’cun telah ada selama
berabad-abad silam, tetapi sebelumnya
berpusat di Kali Besar daerah Kota.
Namun karena pendangkalan Kali Besar,
akhirnya perayaan Pe’cun dipindahkan ke
Kali Cisadane pada tahun 1911. Setelah
itu, Festival Pe’cun rutin diselenggarakan
setiap tahunnya hingga tahun 1964. Pada
tahun 1964, Festival Pe’cun dilarang untuk
diadakan, ditambah saat Orde Baru
munculnya Inpres No. 14 Tahun 1967
tentang larangan semua ekspresi
kebudayaan dan keagamaan Tionghoa.
Dengan adanya Inpres tersebut, secara
otomatis perayaan festival ini pun terhenti.
Setiap tanggal 5 bulan 5, masyarakat Cina
Benteng hanya melakukan sembahyang di
Kelenteng Boen Tek Bio tanpa ada
perayaan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hingga akhirnya pada tahun 2000, melalui
Keppres RI No. 6/2000, Presiden
Abdurrachman Wahid mencabut Inpres
No. 14 Tahun 1967 tentang larangan
semua ekspresi dan kebudayaan Tionghoa.
Setelah dikeluarkan Keppres tersebut,
Festival Pe’cun kembali dilangsungkan
oleh masyarakat Cina Benteng. Sejak
diselenggarakan kembali pada tahun 2000,
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
14
festival ini masuk ke dalam rangkaian
acara yang digelar oleh Pemerintah Kota
Tangerang yaitu Festival Cisadane. Tetapi
kemudian di tahun 2005, Festival Pe’cun
berpisah dari Festival Cisadane. Hal ini
dikarenakan ada perbedaan konsep antara
Festival Pe’cun dengan Festival Cisadane.
Jika Festival Pe’cun menghadirkan
rangkaian acara yang merupakan kesenian
dari hasil akulturasi antara budaya
Tionghoa dengan budaya masyarakat
setempat seperti Betawi ataupun Sunda.
Sementara Festival Cisadane menampilkan
sejumlah atraksi kesenian yang merupakan
gabungan kesenian tradisional dan modern
asli Indonesia. Oleh karena itu, mulai
tahun 2005, terlebih dahulu
diselenggarakan Festival Pe’cun, setelah
itu diadakan Festival Cisadane agar tidak
adanya saling tumpang tindih antara kedua
festival tersebut.
Dewasa ini, manfaat Festival Pe’cun tidak
hanya membawa dampak positif terhadap
komunitas Cina Benteng sendiri tetapi juga
bagi penduduk sekitar dan masyarakat
luas. Berikut ini adalah beberapa manfaat
yang dihasilkan dari pelaksanaan festival
tersebut :
1) Manfaat bagi komunitas Cina
Benteng
Festival ini bermanfaat untuk
mempertahankan jati diri
komunitas Cina Benteng sebagai
etnis Tionghoa, serta bermanfaat
untuk melestarikan tradisi dan
ajaran-ajaran luhur nenek moyang
kepada anak cucu mereka.
2) Manfaat terhadap pembauran
budaya lokal dan budaya tionghoa
Festival Pe’cun juga memiliki
manfaat bagi masyarakat di luar
komunitas Cina Benteng seperti
adanya pembauran budaya antara
budaya lokal dengan budaya
Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dari
adanya penampilan seni asli Betawi
seperti Gambang Kromong dan
Tari Cokek dalam perayaan
Festival Pe’cun. Bahkan para
musisi setempat juga dapat
memainkan lagu berbahasa
Mandarin dalam festival ini. Selain
pembauran budaya lokal dengan
budaya Tionghoa dalam hal musik,
pengaruh budaya lokal juga dapat
dilihat dari makanan yang disajikan
dalam festival ini yaitu kue cang.
Awalnya makanan khas dalam
festival ini hanya bacang yang
berisi daging babi tetapi sekarang
bacang memiliki berbagai macam
isi, tidak hanya daging babi tetapi
ada juga yang berisi daging sapi,
daging ayam, sayur-sayuran,
bahkan ada yang tanpa isi. Bacang
yang dibuat dalam bentuk kecil dan
tanpa isi disebut dengan kue cang.
Kue cang dapat disajikan dengan
srikaya maupun gula merah yang
dicairkan. Munculnya kue cang
serta bacang yang tidak berisi
daging babi karena mayoritas
penduduk lokal tidak mengonsumsi
daging babi.
3) Manfaat terhadap peningkatan
hubungan sosial dan ekonomi
Tidak dapat dipungkiri bahwa
festival ini memiliki manfaat bagi
peningkatan hubungan sosial antara
komunitas Cina Benteng dengan
penduduk lokal. Baik komunitas
Cina Benteng yang merayakan
Festival Pe’cun maupun penduduk
lokal yang tidak merayakan, ikut
turut andil untuk menyukseskan
acara ini setiap tahunnya. Tidak
jarang penduduk lokal ikut
berpartisipasi dalam lomba-lomba
yang diselenggarakan oleh panitia,
seperti lomba mendayung perahu
dan lomba menangkap bebek.
Selain dari aspek sosial, festival ini
juga memiliki peran terhadap
peningkatan hubungan ekonomi.
Setiap perayaan Festival Pe’cun,
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
15
penduduk lokal yang berprofesi
sebagai pedagang akan menjajakan
barang dagangannya di sekitar
Kelenteng Boen Tek Bio, Pasar
Lama, dan Kali Cisadane. Tidak
jarang, mereka akan mendapatkan
penghasilan berkali-kali lipat
dibandingkan pada hari biasa.
Tidak hanya para pedagang,
mereka yang berprofesi sebagai
tukang becak serta tukang parkir
pun mampu mendapatkan rejeki
lebih dari pelaksanaan festival ini.
4) Manfaat bagi masyarakat luas
Selanjutnya festival ini juga
memiliki manfaat bagi masyarakat
luas yaitu mampu menambah
pengetahuan masyarakat akan
kekayaan budaya yang ada di
Indonesia. Kekayaan budaya yang
merupakan perpaduan antara
budaya Indonesia dengan budaya
Tionghoa.
4. Kesimpulan
Cina Benteng sebagai sebuah komunitas
lokal di Indonesia mempunyai sejarah
yang sangat panjang. Meskipun mereka
tidak lagi dapat berbahasa Mandarin
ataupun Hokkian tetapi mereka tetap
menjalankan tradisi-tradisi leluhur mereka,
salah satunya adalah Festival Pe’cun.
Festival ini rutin diselenggarakan oleh
masyarakat Cina Benteng setiap tahunnya.
Festival yang berlangsung sekitar bulan
Juni ini akan diawali dengan sembahyang
di Kelenteng Boen Tek Bio, kemudian
dilanjutkan dengan berbagai macam
kegiatan yang berpusat di Kali Cisadane
seperti lomba perahu naga, lomba
menangkap bebek, mendirikan telur, serta
pertunjukan-pertunjukan seni hasil
akulturasi antara budaya Tionghoa dengan
budaya masyarakat setempat. Selain itu,
dalam festival ini juga terdapat makanan
khas yang dibuat oleh masyarakat Cina
Benteng berupa bacang dan kue cang.
Festival Pe’cun sudah berlangsung sejak
berabad-abad silam tetapi keberadaannya
tidak selalu berjalan mulus. Festival Pecun
pernah dilarang untuk diadakan pada tahun
1964. Bahkan di era Orde Baru, seluruh
aktivitas budaya Tionghoa tidak boleh
dilangsungkan. Perayaan festival ini baru
berjalan kembali pada tahun 2000 hingga
sekarang. Perayaan Festival Pe’cun
memiliki beberapa manfaat yaitu: bagi
komunitas Cina Benteng, bagi pembauran
budaya lokal dan budaya Tionghoa, bagi
peningkatan hubungan sosial dan ekonomi,
dan bagi masyarakat luas.
Peran masyarakat Cina Benteng dalam
menjaga eksistensi festival ini sangat
besar. Mereka terus menjaga eksistensi
festival ini agar tidak punah oleh arus
globalisasi. Acara ini awalnya hanya
dinikmati oleh komunitas Cina Benteng
tetapi sekarang sudah banyak masyarakat
luar Cina Benteng yang berpartisipasi
langsung untuk ikut merayakan ataupun
menyaksikan rangkaian acara festival ini.
Keberadaan Cina Benteng menyimpan
jejak generasi yang siap untuk menerima
perbedaan, bahkan berakulturasi secara
sempurna. Jika jejak Cina Benteng hilang
ditelah zaman, maka tradisi-tradisi seperti
upacara Chio Thau, Festival Pe’cun,
Festival Cap Go Meh, Festival Ceng Beng
pun mungkin tinggal menjadi sebuah
kenangan. Oleh karena itu, diperlukan
peran semua pihak baik dari masyarakat
Cina Benteng, masyarakat luar Cina
Benteng, pemerintah setempat, maupun
pemerintah Indonesia untuk menjaga
tradisi-tradisi tersebut agar tidak tergerus
oleh jaman. Bagi masyarakat luar Cina
Benteng dapat berperan aktif dengan turut
berpartisipasi dalam perayaan Festival
Pe’cun. Sementara itu, pemerintah dapat
berperan aktif dengan memberikan bantuan
dana bagi komunitas Cina Benteng untuk
melaksanakan Festival Pe’cun serta
mampu mempublikasikannya secara luas
agar festival tersebut dapat dikenal baik
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014
16
tingkat nasional maupun tingkat
internasional.
Daftar Referensi
Joe, Lan Nio. 1961. Peradaban Tionghoa
Selajang Pandang. Jakarta: Keng Po.
Salmon, Cl & Lombard D. 1985. Klenteng-
klenteng Masyarakat Tionghoa di
Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka.
Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa
di Nusantara. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Sugiyono, Prof. DR. 2008. Memahami
Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta.
Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan
Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
纪微.2008.图解中国国俗:回归中国人自
己的礼仪. 陕西: 陕西师范大学出版社.
Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014