STUDI ANALISIS TEORI NASIKH-MANSUKH RICHARD BELL
DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION TO THE QURAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
Oleh:
Moch. Khoirul Anam
NIM : 084211008
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
MOTTO
$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ôÏΒ >π tƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö� sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès? ¨βr& ©!$# 4’n? tã Èe≅ä. & óx«
í�ƒÏ‰s% ∩⊇⊃∉∪
Artinya:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS: [2] al-Baqarah: 106)1
1 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007, hlm 29
DEKLARASI
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi ataupun tulisan yang
pernah diterbitkan oleh orang lain, termasuk juga pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang penulis peroleh dari referensi yang menjadi bahan rujukan
bagi penelitian ini.
Semarang, 22 Mei 2012
Deklator,
Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008
KATA PENGANTAR
Bismillahir Rahamannir Rahim
Segala bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq
dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul Studi Analisis Teori Nasikh-Mansukh Richard Bell
dalam Buku Bell’s Introduction to the Quran, disusun untuk memenuhi salah
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S. 1) Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis dapat mendapatkan bimbingan-
bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini
dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kepada Prof. Dr. Muhibbin, MA, selaku pengemban Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Dr. Nasihun Amin M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Imam Taufiq, M. Ag dan Bapak Drs. Iing Misbahuddin, L c. MA
selaku Dosen pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Lulut Widyaningrum M. Ag selaku Pimpinan Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, yang telah memberikan ijin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo,
yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi.
6. Kepada kedua orang tua kami (Abah Sudarmo) dan (Umi Rafi’atun), serta
kakak dan adik-adik, yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan
kepada penulis demi kesuksesan studi ini penulis juga mengucapkan
trimakasih yang tak terhingga.
7. Tidak lupa penulis ucapkan banyak trimakasih kepada Dr. Phil. Syahiron
Syamsudin, MA. ( dosen UIN SUKA Yogyakarta) Dr. Almakin M. A. (dosen
UIN SUKA Yogyakarta) sdan tidak lupa penulis ucapkan banyak trimakasih
kepada Dadan Rusmana M. Ag (dosen UIN Sunan Gunung Jati Bandung) di
mana mereka yang telah banyak wawasan, pengarahan dan memberikan
masukkan serta dorongan terhadap penulis, sehingga skripsi ini menjadi
selasai dengan baik.
8. Trimakasih kepada KH. Abdul Basyir Hamzah, Umi Khafidlotul ‘Ulya beserta
seluruh keluarga besar santri Pon-Pes Al-Anwar Suburan- Mranggen Demak,
yang selama telah memberiakan Wadah dalam menimba ilmu serta senantiasa
memberikan inspirasi dan motifasi baik spiritual maupun material.
9. Dan taklupa seluruh teman-teman Civitas Akademika Fakultas Ushuluddin ,
terlebih kepada teman-teman Tafsir-Hadist periode 2008, IAIN Walisongo
Semarang, dan taklupa penulis ucapkan banyak trimaksih kepada saudara
Muslih Qasidul Haqq, yang telah banyak memberikan kontribusi baik secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan skripsi
ini.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh sekali untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
penuh keikhlasan penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak guna
kesempurnaan skripsi ini.
Semarang, 22 Mei 2012
Penulis
Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008
ABSTRAK
Skripsi ini membicarakan tentang kata nasikh dalam al-Qur’an, kata ini diulang sebanyak empat kali, yaitu dalam QS: 2: 106, 7: 154, 22: 52 dan 45: 29. Masing-masing dapat diartikan menghapus, membatalkan, mengganti dan memindahkan. Dalam perkembangannya ayat-ayat di atas dipergunakan sebagian ulama’ menjelaskan arti nasikh-mansukh dalam al-Qur’an.
Untuk masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pandangan Richard Bell terhadap Nasikh-Mansukh? Bagaimana pandangan Cendikiawan terhadap persoalan nasikh-mansuk? Bagaimana kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan Ilmu tafsir dan Ulum al-Qur’an.
Secara eksplisit orientalis ini mengakui nasikh al-Qur’an dalam arti pembatalan, penghapusan, dan penggantian ayat terdahulu dengan ayat yang datang kemudian. Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW. Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek al-Quran. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Quran, walaupun dalam koridor inisiatif ilahi.
Richard Bell, dipengaruhi dan termotivasi dengan kepentingan politis serta mengikuti jejak pendahulunya, sehingga kajiannya terlihat prejudistik, dari pada karya yang objektif. Ia juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil `dari modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian Muhammad. Richard Bell juga mengatakan bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen, sehingga dengan metodologi historis dan filologis yang digunakan Richard Bell, dalam hal ini menurutnya sudah dapat mengupas al-Qur’an, dari sisi penafsirannya.
Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang menurut Richard Bell mengalami nasikh-mansukh, dia berusaha memaksakan (takalluf) al-Qur’an agar dapat berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya. Akibatnya penafsirannya terhadap teori (revisi) nasikh-mansukhnya tersebut menjadi ahistoris.
Hanya saja kemudian Richard Bell memosisikan nasikh dengan menggunakan arti revisi yang berimplikasi pada makna (perbaikan), koreksi, serta tambahan, suatu ayat terhadap ayat berikutnya. Bagi Bell, arti nasikh sama dengan derevasi yang mempunyai dua titik kesamaan yaitu: berulang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan proses tentang perbaikan kandungan ayat yang dilakukan Muhammad. Dalam khazanah kaidah-kaidah kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an yang sudah dirumuskan oleh mufassir, apa yang dilakukan Richard Bell di dalam konsepnya terhadap teori nasikh-mansukh ternyata kurang memperhatikan disiplin kedua ilmu tersebut secara komprehensif, salah satunya mengenai ilmu munasabah (korelasi ayat atau antar surat).
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB DAN LATIN
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, bersumber
dari pedoman Arab-Latin yang diangkat dari keputusan menteri Agama dan
Menteri pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun
1987 dan Nomor 0543/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
Fonem konsonan dalam bahsa Arab yang dalam system tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan
dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi
dengan huruf dan tanda sekaligus.
Di bawah ini daftar transliterasi huruf Arab dan Translitrasinya dengan huruf
latin.
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
alif اTidak
dilambangkan Tidak di lambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
sa S Es (dengan titik di atas) ث
jim J Je ج
Ha H Ha (dengan titik di bawah) ح
kha Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Zal Z Zet (dengan titik di atas) د
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Sad S es (dengan titik di bawah) ص
Dad D de (dengan titik di bawah) ض
Ta T Te (dengan titik di bawah) ط
Za Z Zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ Koma terbalik (di atas)‘ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
, Hamzah ‘ Apostrof
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vocal tunggal Arab, seperti vocal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vocal tunggal atau monoftrong dan vocal rangkap atau diftrong.
a. Vokal Tunggal
Vocal tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda
atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
---------------- Fathah A A
---------------- Kasrah i I
--------------- dhammah u U
b. Vocal Rangkap
Vokal rangkap bahasa arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dan huruf, dan transliterasinya berupa gabungan huruf.
Yaitu:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan ya ai a dan i ي--------
و------- Fathah dan wau au a dan u
- Kataba كتب - yazhabu يدهب
- Fa’ ala فعل - su’ ila سئل
- Zukira دكر - kaifa كيف
- haula
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................... ................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ v
HALAMAN KATA PENGANTAR .............................................................. vi
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... viii
TRANSLITERASI ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pokok Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 13
E. Metodologi Penulisan ........................................................... 14
F. Sistematika Pembahasan ...................................................... 16
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI NASIKH-
MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
A. Deskripsi teori Nasikh-Mansukh .......................................... 17
1. Devinisi teori Nasikh-Mansukh ..................................... 17
2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan teori Nasikh-
Mansukh .......................................................................... 21
3. Ruang lingkup teori Nasikh-Mansukh ............................ 29
4. Macam-macam teori Nasikh-Mansukh ........................... 31
5. Hikmah teori Nasikh- Mansukh ...................................... 41
B. Bukti-bukti adanya teori Nasikh-Mansukh ........................... 43
1. Beberapa Aspek tentang teori Masikh-Mansukh ............ 43
2. Pengulangan ayat teori Nasikh- Mansukh ...................... 45
3. Sifat dan Implikasi Nasikh-Mansukh .............................. 47
4. Karekteristik teori Nasikh-Mansukh ............................... 49
C. Pandangan Ulama terhadap teori Nasikh-Mansukh .............. 51
1. Pandangan Ulama Klasik ................................................ 53
2. Pandangan Ulama Modern .............................................. 60
3. Pandangan Ulama Kontemporer ..................................... 63
BAB III : TEORI NASIKH MANSUKH DALAM BUKU BELL’S
INTRODUCTION TO THE QUR’AN
A. Biografi dan latar belakang Richard Bell ............................ 71
B. Karya-karya Richard Bell ..................................................... 73
C. Pendekatan Richard Bell ....................................................... 74
1. Pendekatan Filologisme .................................................. 75
2. Pendekatan Historisme .................................................... 76
3. Historisme – Fenomenologis ......................................... 80
4. Pendekatan Objektif Hermeneutik ................................. 81
D. Pandangan Richard Bell Terhadap al-Qur’an ....................... 83
E. Pendapat Richard Bell tentang teori Nasikh-Mansukh
dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an ..................... 102
BAB IV : ANALISA
A. Konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh .... 129
F. Posisi Richard Bell dalam pandangan cendikiawan ............. ..138
B. Kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan teori
Nasikh-Mansukh dan Ulum at-Tafsir ................................... 181
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 189
B. Saran – saran ......................................................................... 193
DAFTAR TABEL
Tabel. 1. Konstruksi Metodologi Tafsir Richard Bell ................................. 136
Tabel. 2. Analisis konstruksi teori revisi (Nasikh- Mansukh) Richard
Bell, dalam buku (Bell’s Introduction to the Qur’an) ................... 137
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam merupakan objek studi sarjana barat, bahkan Islam sudah
menjadi karir sarjana barat yang melahirkan orientalis dan Islamolog barat
dalam jumlah yang besar. Sarjana barat menaruh perhatian yang besar dalam
studi Islam karena mereka mamandang Islam bukan sekedar agama tetapi
juga merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan
kebudayaan yang patut diperhitungkan.2
Sementara kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius,
ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan hitrogenitas kebudayaan dan
peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi
kultural dengan ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terus
bergulir, tentu saja hal ini mewarnai cara pandang dan cara pikir kaum
muslimin, sebagai sebuah konsekuensi yang logis yang tak terhindarkan.3
Eropa menaruh perhatian akademik terhadap al-Qur’an sejak
kunjungan Peter the Venerable yang mulia, Biarawan Cluny, ke Toledo pada
catur wulan ke dua Abad XII. dan berhasil membuat naskah Cluniac Corpus
(naskah salinan dari Gereja Clunny) merupakan salah satu naskah yang
diterjemahkan tersebut adalah al-Qur’an.4 Tradisi ini terus berlangsung hingga
abad modern oleh sarjana-sarjana terkemuka yang berkosentrasi terhadap studi
al-Qur’an.5 Ia sangat memperhatikan seluruh permasalahan Islam, lalu
membentuk tim dan menugasi mereka untuk menghasilkan serangkaian karya
yang akan menjadi dasar akademik perkenalan intlektual dengan Islam. Robert
Retenensis dari Ketton berhasil Menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa
latin pada bulan juli 1143, tertutup dalam penafsiran tunggal.
2Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 24. 3A. Rofiq, (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta, Teras, cet I, 2004, hlm. 27. 4Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 84. 5Ibid., hlm. 34.
Tradisi akedemis Islamologi Barat dalam Studi al-Qur’an ini terus
berlangsung pada abad pertengahan, terutama masa renaissance dan
aufklarung, hingga abad modern atau bahkan hingga era postmodernisme.
Sebagai fakta historisnya adalah sejumlah teks mengenai berbagai dimensi al-
Qur’an yang lahir dari para Islamolog terkemuka. Teks-teks itulah yang
menunjukkan dan membuktikan antusias, intensitas, dinamisme, paradigma,
dan orientasi wacana Islamologi Barat dalam studi al-Qur’an dari masa
kemasa.
Kajian sarjana muslim terhadap pemikiran Barat tentang al-Qur’an
pada umumnya berkisar pada konsep subtansialnya, sedangkan penelitian
mengenai metodologi yang dipergunakan masih sangat kurang dilakukan.6
Membaca korpus orientalis seputar al-Qur’an memang tidak mudah.
Di samping penguasaan dibidang bahasa (Eropa maupun Semitik), terutama
sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh dan
mendalam atas khazanah atas intlektual Islam itu sendiri, bukan asal
mengetahui sepotong-sepotong atau setengah-setengah. Jika modal kita pas-
pasan, amat bersar kemungkinan terpukau oleh pendapat yang sekilas
menyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara metodologis maupun
epistimologis.7
Edward W. Said, berpendapat bahwa studi ketimuran merupakan
disiplin keilmuan yang secara meterial dan intlektual berkaitan dengan ambisi
politik dan ekonomi Eropa. Orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran
yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistimologis antara Timur dan
Barat. Dalam waktu yang panjang, orientalisme Barat telah mengembangkan
cara-cara pembahasan tentang Timur dengan memapankan suprioritas budaya
Barat atas budaya Asing.8
6Moh. Natsir Mahmud, “Al-Qur’an di mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal Al-
Hikmah, No. 12, Januari- Maret 1994, hlm. 16. 7 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani, cet I,
2008, hlm. 233. 8Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 253.
Kontak langsung pengenalan Barat terhadap Islam terutama dimasa
perang salib (Perang salib I: 1096 – 1099 M).9 Antara tahun 650 – 1100 M.
Bahan-bahan tentang Islam di barat belum tersedia.10 Akibat perang salib
masyarakat Barat khususnya kelompok intlektual mulai menaruh perhatian
terhadap Islam. Akan tetapi akibat itu pula menimbulkan kesalahpahaman
bangsa Barat terhadap Islam dan dalam perkembangan selanjutnya
meningkatkan usaha misionaris kesalahpahaman tersebut sehingga
menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam.
Dalam wacana Islamologi Barat sendiri, studi kritis al-Qur’an
merupakan “menu utama”, sekaligus merupakan kajian paling sensitif
dibandingkan dengan kajian lainnya. Para Islamolog menaruh perhatian
terhadap kritis al-Qur’an dalam berbagai aspek, dari teks al-Qur’an sendiri
hingga terjemahan al-Qur’an. Di dunia ini ada lebih dari 600 terjemah al-
Qur’an dalam berbagai bahasa.
Di Prancis, misalnya, sebagai bekas negara Katolik yang berpenduduk
60 juta dan mayoritasnya tidak lagi menganut agama tradisional menurut
perhitungan Darwis Khudori, ada sekitar 40-an terjemah al-Qur’an,
puluhannya berbahasa Prancis (Bandingkan dengan Indonesia yang
penduduknya 200 juta dan mayoritasnya adalah muslim, berapa banyaknya
terjemahan al-Qur’an yang dapat di baca?).11
Keterkaitan umat Islam dalam kajian al-Qur’an sejak masa awal
hingga pada masa kini jelas tidak banyak mengundang pertanyaan yang
bernada sinis, bahkan dipandang sebagai suatu keharusan, sebab al-Qur’an
merupakan kitab utama mereka dan menjadi pegangan hidup keberagamaan
mereka. Sebaliknya, pertanyaan atau bahkan kecurigaan sering dialamatkan
9 Dadan Rusmana, loc. cit., 10 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kaca Mata Barat, Yogyakarta, Fakultas
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, t.th., Jilid III, hlm. 44 11 Darwis Khudori, “Catatan atas le Coran Jacquis Berque”, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, Vol. 5, No. 2, 1994, hlm. 74 - 75
oleh para islamolog Barat ketika umat Islam mengahadapi fenomena bahwa
para sarjana Barat yang notabene -nya non muslim.
Salah satu pangkal kecurigaan tersebut muncul karena sering terjadi
perbedaan visi, prespektif, metodologi dan pendekatan dalam kajian-kajian al-
Qur’an dari kedua eksponen (Muslim dan Islamolog Barat) yang berbeda latar
belakang ini. Misalnya, jika kaum muslim melakukan kajian untuk
mendapatkan petunjuk yang terkandung didalamnya, para sarjana barat
memperlakukan hanya sebagai naskah (scripture).12
Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketatapan
hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi telah menjadi mansukh apabila ada
ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti printah untuk
bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum muslimin
lemah dianggap telah dinasikh oleh perintah atau izin kaum muslimin pada
periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan
hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.13
Ketidakseimbangan antara Timur dan Barat semacam ini jelas
merupakan akibat dari pola sejarah yang selalu berubah. Selama kejayaan
sejak abad ke VIII hingga XVI, Islam memang menjadi “raksasa” yang
mendominasi kawasan-kawasan di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Bahkan pada masa-masa itu, Islam menjadi kekuatan yang sangat menakutkan
bagi Barat.14
Sehingga pandangan orang-orang Barat, termasuk para sarjana Barat,
terhadap Islam, Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an, dan lain-lain, sejak abad
pertengahan hingga kini bersifat variatif.15 Perbedaan prespektif tafsir hingga
12Ibid., hlm. 76. 13Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan, cet II, 1992, hlm. 144. 14Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat, dan Mendudukan Timur
sebagai Subjek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 315. 15 Dadan Rusmana., op. cit. hlm. 32.
abad ke 16 M. tidak menyeret untuk ditinjau sumber Bibel yang menjadi
dasar dan tempat suatu kebenaran.
Namun, Ibn kastir membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang
mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih
tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapan yang termaktub
dalam Taurat, menyatakan: Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan
adanya nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena dia Tuhan
hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang di ingikan-Nya.16
Para ilmuan dan pemikir Barat telah memasukkan dan menerapkan
metode ini di dalam kajian-kajiannya terhadap al-Qur’an sejak abad ke 19 M.
diantara mereka adalah. Abraham Geiger Pembahasan mengenai revisi al-
Qur’an di bawah ini lebih banyak didasarkan pada pendapat Richard Bell
dalam buku Introduction to the Quran beberapa keterangan Richard Bell ini
kemudian di tahqiq (diklarifikasi) dan disempurnakan serta diberi komentari
oleh Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Qur’an,
namun pada dasarnya buku tersebut masih utuh karya Richard Bell.
Bentuk revisi tersebut dimungkinkan berbentuk suatu pengulangan
wahyu dalam bentuk ayat yang direvisi. Doktrin nasikh, misalnya menurut
Bell, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an. Dalam buku
Bell’s introduction to the Qur’an karya Richard Bell, menurut pandangan
Islam, karena al-Qur’an merupakan kalamullah yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad oleh Malaikat, maka tidak mungkin ada revisi (perbaikan)
atas kemauan Nabi sendiri hal ini di jelaskan dalam sejumlah ayat misalnya,
(Q.S: Yunus: 15) 17
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah al Qur’an yang lain dari in atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)jika mendurhakai tuhan-ku".(Q.S:Yunus:15)
16 Ibid., hlm. 32 17W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at the
University, 1991, hlm. 86
Elaborasi doktrin nasikh-mansukh ini bahkan pada abad ke-8 hingga
abad ke- 11 telah mencapai suatu porsi yang mengerikan dan dramatis dalam
sejarah pemikiran Islam. Ibnu Syihab Al-Zuhri ( W. 742) ia telah menyebut 42
ayat yang telah di Nasikh, Al-Nahhas (W. 949). Mengidentifikasikan bahwa
dalam al-Qur’an terjadi 138 ayat yang yang di nasikh, Ibnu Salamah (1020 W)
mengemukakan 238 ayat, Ibnu Atta’iq (1308 W) menyebutkan terdapat 231
ayat yang di nasikh. Pada era As-Suyuti ayat mansukhat terjadi reduksi
menjadi 20 ayat, lalu Syekh Waliyullah ayat yang di nasikh tinggal 5 ayat,
lalu dimasa Sayid Ahmad Khan (1889W) kemudian secara tegas
memproklamirkan bahwa tidak ada doktrin nasikh-mansukh sebagaimana di
pahami oleh kalangan fuqoha. 18
Penjelasan di atas memberi pengetahuan bahwa betapa besar perhatian
sarjana Barat, dalam studi al-Qur’an yang meskipun banyak memperlihatkan
kekeliruan-kekeliruan di dalamnya, Namun sangat besar andilnya dalam
studi Islam pada umunya.
Tulisan ini hendak melihat pandangan Richard Bell tentang al-Qur’an
pada term teori nasikh-mansukh sebab tema tersebut banyak mewarnai
tulisan-tulisan sarjan Barat tentang Islam khusunya al-Qur’an, tema tersebut
akan menghasilkan suatu konklusi yang mungkin positif atau bahkan negatif
menurut Islam. Richard Bell memandang bahwa wahyu al-Qur’an memiliki
kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad
SAW, sebagai sumber kedua.
Menurut Richard Bell, unit-unit wahyu orisinil terdapat dalam bagian-
bagian pendek al-Qur’an. Dia juga menghubungkan dengan beberapa ayat
yang bisa disebut “Satanic Verses” (ayat-ayat setan), di samping itu Richard
Bell juga menambahkan di dalam penemuaannya bahwa al-Qur’an terdapat
ayat rajam, ayat ini diperuntukkan untuk orang dewasa yang melakukan
perzinaan. Hal ini disebabkan menurutnya terdapat revisi yang menunjukkan
18Taufik Adnan Amal, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001,
hlm. 81.
adanya keterlibatan Nabi Muhammad sebagai perefolmulasian atau
peredaksian al-Qur’an, Walaupun sebenarnya dalam koridor inisiatif ilahi.19
Sekalipun peredaksian, termasuk perubahan atau revisi al-Qur’an
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di bawah sinaran Tuhan, hal itu tetap
menunjukkan adanya sisi manusiawi dari al-Qur’an.20 Membahas penelitian
mengenai pandangan Richard Bell sebagai sarjana Barat terhadap al-Qur’an
ternyata masih kurang dilakukan oleh sarjana muslim, khususnya mengenai
teori nasikh-mansukh dalam karya Richard Bell, yaitu “Bell’s Introduction to
the Qur’an”.
Penelitian ini dilakukan karena timbulnya hambatan mental penulis
dalam membaca karya-karya Richard Bell terlebih dalam teori nasikh-
mansukh, karena hal ini merupakan pukulan terberat khususnya bagi penulis
sendiri dan umumnya bagi umat itu Islam sendiri, dan penulis akan mencoba
menerangkan ayat-ayat yang dianggap nasikh-mansukh yang dalam penelitian
ini di pusatkan kepada buku Bell’s Introduction to the Qur’an.
Oleh karena itu tafsir harus selalu terbuka untuk dikritisi dan tidak
perlu disakralkan mengingat ia merupakan human construction yang relatif,
intersubjektif, dan tentatif. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk
melakukan kritisisme guna mencari sintesa kreatif dari prinsip-prinsip nasikh-
mansukh yang ditawarkan oleh Richard Bell tersebut. Hasil dari sintesa
diharapakan dapat menjadi sumbangan keilmuan dalam studi tafsir dan ulum
al-Qur’an di era kontemporer.
Bagi penulis, pengembangan teori nasikh-mansukh yang Richard Bell
kostruksikan itu harus dikritisi serta diawali dengan perubahan dan
pengembangan epistemologi maupun metodologi penafsiran nasikh-mansukh
dalam bingkai bayany, burhany, dan irfany, karena dengan hal itu mampu
mengantarkan pengajinya memahami al-Qur’an secara komprehensif,
dialektis, kritis, reformatif, dan transformatif sehingga produk penafsiran itu
19Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 293. 20 Ibid., hlm. 294
senantiasa mampu menjawab tantangan dan problem yang dihadapi umat
manusia.
Penelitian secara kritis ini menjadi sangat penting untuk dilakukan
karena akan memberikan sumbangan yang cukup bagi khazanah keilmuan
Islam, terutama dalam bidang pengembangan teori ilmu nasikh-mansukh yang
Richard Bell tawarkan itu.
Dengan melihat permasalahan di atas, maka banyak muncul masalah
tentang teori nasikh-manskuh itu sendiri. Di sini penulis mencoba untuk
memberikan kritikan melalui argument para cendikiawan (Ulama), terhadap
ayat-ayat yang dianggap mengalami reivisi serta adanya pengulangan ayat
menurut Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, tulisan
ini juga untuk melihat konstribusinya dalam pengembangan kajian tafsir serta
ulum al-Qur’an.
B. Pokok Masalah
Mengacu kepada latar belakang diatas, maka skripsi ini akan diarahkan
untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh dalam
karya Bell’s Introduction to the Qur’an ?
2. Bagaimana pandangan cendikiawan terhadap teori Nasikh-Mansukh
Richard Bell ?
3. Bagaimana kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan kajian Tafsir
dan Ulum al-Qur’an?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Penelitan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penafsiran
Richard Bell, tentang teori Nasikh-Mansukh baik dari segi historis,
metodologis, maupun konsep subtasial lainnya.
b. Penelitian ini untuk mengetahui adanya pandangan cendikiawan
muslim terhadap teori nasikh-mansuk Richard Bell, pada metode-
metode yang digunakan Richard Bell sehingga umat Islam tidak
merasa ada gangguan psikologis terhadap karya-karyanya yang tidak
sejalan dengan keyakinan umat Islam.
c. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat adanya kontribusi Richard
Bell terhadap pengembangan kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an,
sehingga dengan adanya kontribusi ini akan memberikan dampak
positif kepada kaum muslimin, terutama dalam ranah kajian keislaman
modernitas.
2. Kegunaan penelitian
a. Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu sumbangan
sederhana bagi pengembangan studi al-Qur’an. Dan untuk untuk
kepentingan setudi lanjutan, diharapkan juga berguna sebagai bahan
acuan, referensi dan lainnya bagi para penulis lain yang ingin
memperdalam studi tokoh dan pemikiran.
b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam ranah studi keislaman pada
umumnya dan studi al-Qur’an pada khhususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Tulisan dan pemikiran para orientalis (Barat) tentang nasikh-mansukh
bukanlah merupakan wacana yang baru atau kontemporer, tetapi
sepengetahuan penulis belum ada sebuah buku atau karya tulis yang secara
khusus membahas tentang “Studi Analisis teori nasikh mansukh Richard
Bell”, kebanyakan teori nasikh-mansukh yang telah dilakukan itu masih
bersifat deskriptif dan apresiatif, ternyata teori tersebut banyak dibahas secara
acak dan juga mengikuti tema yang berkaitan dengannya.
Penulis menemukan dalam buku, Syaikh Muhammad Ghazali dimata
Yusuf Qardawi, karya Yusuf Qardawi, beliau menjelaskan tentang teori nasikh
mansukh serta mengatakan dari pendapat ulama besar dan sejarawan yang ahli
dalam bidang fikih yaitu Al-Khudhari, bahwa ia menolak naskh sama sekali
dan menyatakan tidak ada naskh dalam al-Qur’an, yang ada adalah takhsis-
‘am, atau taqyid-mutlak, atau tafsil mujmal, kemudian pendapat ini didukung
oleh Rasyid Ridha yang menjelaskan ayat (2;106), beliau menilai bahwa ayat-
ayat al-Qur’an itu terdiri dari takwiniyah dan taklifiyah. Adapun yang
dimaksud nasikh disini adalah ayat-ayat takwiniyah. Sedangkan ayat-ayat
taklifiyah tidak ada yang di nasikh. Makna takwiniyah jelas, yaitu peristiwa-
peristiwa luar biasa yang ada para Nabi dan berbeda-beda pula sesuai dengan
perbedaan zaman.21
Penulis juga menemukan dalam buku, Tekstualitas al-Qur’an Kritik
terhadap Ulumul Qur’an, karya Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa beliau
berpendapat jika ulama tidak memasukan “penangguhan” ini kedalam masalah
nasikh dan mansukh makamemastikan fungsi nasikh sebagai bentuk
kemudahan, kelonggaran, dan memberikan tanggapan terhadap tasyri’,
menjadikan seluruh yang dinasikh masuk kedalam masalah “penangguhan”
sehingga pengertian mengganti dalam ayat-ayat yang telah kami bicarakan
sebelumnya adalah pengganti hukum-hukum, bukan mengubah teks, dengan
cara membatalkan yang lama dengan yang baru baik secara tekstual maupun
hukumnya. Memahami pengertian nasikh sebagai penghapusan teks secara
total bertentangan dengan semangat mempermudah, dan memberikan tahapan
dalam tasyri’.22
Dalam buku, Membumikan al-Qur’an, fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, karya Prof. Dr. Quraish Shihab, M. A. Menilai dan
memberikan tawaran kepada kelompok penolak dan pendukung nasikh dalam
hal ini agaknya dibutuhkan usaha untuk merekonsialisasi antara kedua
kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian
istilah nasikh yang dikemukakan oleh ulama’ muta’akhir, sebagai usaha
mereka meninjau istilah yang dilakukan oleh ulama’ mutaqaddim.23
Sementara itu di dalam keterangan buku Dekonstruksi Sya’riah, karya,
Abdullah an- Na’im, beliau telah menjelaskan bahwa perlunya
21Yusuf Qardawi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali dimata Yusuf Qardawi, Terj. Drs.
Masykur Hakim, Bandung, Mizan, cet III, 1997, hlm. 98. 22 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj.
Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta, LKiS, cet V, edisi revisi, 2005, hlm. 150 23Quraish Shsihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan, cet II, 1992, hlm. 147
mempertimbangkan kembali prinsip naskh terakit terutama adanya keharusan
untuk dapat memperlakukan teks-teks al-Qur’an secara relevan sesuai konteks
masanya. Dalam hal ini an-Na’im membedakan secara tegas antara isi pesan
dari ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Mekkah dengan
ayat-ayat periode Madinah.
Menurutnya ayat Makkah bersifat universal, sedangkan ayat-ayat
Madaniyyah bersifat sektarian dan deskriminatif. Sehingga ayat Mekkah
terkesan memiliki pesan yang primer dan fundamental. Sementara ayat-ayat
Madinah merupakan teks skunder. Dengan tawaran pengertian dan pemikiran
naskhnya, an’Na’im menolak adanya penghapusan terhadap teks-teks al-
Qur’an.24
Sedangkan menurut kitab Mabahis fi U’lum al- Qur’an, karya Syaikh
Manna’ al- Qattan: dalam karya tersebut, beliau mengatakan bahwa
sesungguhnya nasikh itu hanya ada pada ayat-ayat yang menjelaskan perintah
dan larangan saja, begitu juga halnya jika ayat tersebut menunjukkan tuntutan
dan suatu pemberitaan yang mana semua itu masih menunjukkan perintah dan
larangan, yang semua itu tidak ada kaitannya terhadap ayat-ayat yang
berhungan dengan keyakinan.25
Penulis juga menemukan dalam buku Bell’s Introduction to the
Qur’an, dalam karya W. Mongomery Watt, beliau menilai bahwa mengenai
teori nasikh-mansukh, jika teori-teori fuqaha yang belakangan dan teori-teori
lainnya dibedakan dengan apa yang dikatakan oleh al-Qur’an sendiri, akan
terlihat bahwa berbagai proses telah terjadi yang mungkin dapat dipahami
dalam istilah “revisi”. Dapat diperkirakan bahwa Nabi melakukan
“revisi”(nasikh) selaras apa yang dipahaminya sebagai petunjuk Ilahi.
Mungkin bisa berbentuk pengulangan wahyu dalam bentuk yang telah
direvisi.26
24 Sulamul Hadi Nurmawan, Nasikh Mansukh menurut Pemikiran Abdullah Ahmad an-
Na’im, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadits, UIN SUKA, Yogyakarta, 2003, hlm. 74. 25Manna’ al- Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 233. 26W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya
Richard Bell, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta, Rajawali Pers, cet II, 1995, hlm. 142.
Disisi lain penulis juga menemukan pembahasan mengenai nasikh-
mansukh dalam buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an karya Taufik Adnan
Kamal, beliau mengatakan: “bahwa dalam penetapan al-Qur’an sebagai
sumber pertama hukum Islam juga memberikan peran penting dalam upaya
penyusunan atau aransemen kronologis kitab suci tersebut, hal ini tercermin
jelas dalam berbagai bahasan tradisional tentang nasikh- mansukh para sarjana
muslim mengakui adanya perbedaan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang
menetapkan peraturan bagi komunitas muslim dan mereka menjelaskan bahwa
ayat yang paling akhir diturunkan untuk satu masalah tertentu telah
menghapus seluruh ayat yang turun sebelumnya masalah itu ada
berkontradiksi dengan ayat lainnya”.27
Penulis juga menemukan dalam buku Metodologi fikih Islam
Kontemporer, dalam karya Muhammad Sahrur, bahwa beliau mengemukakan
bahwa tidak ada yang menjustifikasi untuk menetapkan ayat-ayat yang
(mansukhat) yang karena umat menjadi tersesat, saling membunuh dan
terpecah menjadi berbagai aliran dan golongan, karena Nabi melalui
kemampuannya dengan mudah tidak memasukkan (dalam al-Qur’an).28
Sementara dalam buku Pengantar studi al-Qur’an, karya W.
Montgomery Watt. Terj. Taufik Adnan Amal, beliau mengatakan bahwa
bentuk revisi paling sederhana adalah bentuk “pengumpulan” atau
mengumpulkan unit-unit kecil yang pada mulanya turun sebagai wahyu. Ada
pijakan untuk berpendapat bahwa proses ini dimulai oleh Nabi sendiri, yakni
proses tersebut berlangsung saat diterimanya wahyu-wahyu.29
Sementara dalam bentuk skripsi penulis menemukan peryataan imam
as-Syafi’i mengenai Naskh-Mansukh dalam al-Qur’an, bahwa itu adalah
nasikh bukanlah bentuk pembatalan, tetapi lebih merupakan bentuk
penghentian atau terminasi suatu ketentuaan oleh ketentuan yang lain. Naskh
27Taufik Adnan Amal, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001,
hlm. 81 28Muhammad Shahrur, Metodologi Islam Kontemporer, Terj. Shahiron Syamsuddin,
Yogyakarta: Elsaq, cet V, 2008, hlm. 131
adalah suatu bentuk penjelasan (bayyan) yang tidak menyebabkan penolakan
penyeluruhan terhadap ketentuan asal. Naskh adalah suatu penjelasan, dalam
pengertian bahwa ia menceritakan kepada kita tentang terminasi suatu
ketentuan, cara dan waktu terminasinya, apakah seluruh ayat atau sebagian
saja yang terminasi, dan tentu saja ketentuan baru yang menggantinya.30
Dalam kesempatan yang berbeda penulis juga menemukan persoalan
nasikh-mansukh, menurut pandangan Dr. Quraish Shihab, bahwa beliau juga
mengakui nasikh-mansukh yang terjadi dalam al-Qur’an yang berorientasi
seputar hukum syara’ dan suatu kondisi ke kondisi lainnya. Sehingga dengan
peryataan ini nasikh dalam al-Qur’an bukan berarti manghapus atau
menghilangkan hukum di dalamnya, namun nasikh dinilai bermakna
perpindahannya hukum dari suatu kaum dengan kondisi tertentu kepada kaum
lain dalam kondisi tertentu pula yang disesuaikan dengan konteks situasi dan
hukum Islam.31
Dikesempatan yang lain penulis juga mendapatkan tema yang
menjelaskan tentang persoalan nasikh-mansukh. Menurut Ibrahim al-Abyadi,
beliau mengatakan bahwa semua masalah yang berhubungan dengan nasikh-
mansukh merupakan suatu tartib hukum yang dikehendaki oleh perkembangan
hukum samawi yang diatur dengan turunnya al-Qur’an secara sepotong-demi
sepotong sesuai dengan keadaan kaum muslimin dan perkembangan
kehidupan mereka, sebagai ada kaitannya dengan masalah as-bab an- nuzul ,
di mana ayat turun sepotong-potong.32
Dari telaah pustaka di atas yang penulis lakukan, terlihat belum ada
pemikir yang mencoba membahas secara khusus mengenai Studi analisis
Teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the
Qur’an, dengan kajian tokoh. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sangat
penting dilakukan guna untuk melihat secara secara komprehensif tentang
30 Zahrudin, Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam as-Syafi’i , Skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 1998, hlm. 58 31Abdul Mukid, Nasikh-Mansukh menurut Quraish Shihab, skripsi tidak diterbitkan,
Fakultas Ushuludin, IAIN Walisongo Semarang, 2001, hlm. 51 32 Ibrahim al-Abyadi, Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H, Jakarta: Renika Cipta,
cet I, 1992, hlm. 137
model Studi analisis Teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s
Introduction to the Qur’an dalam perspektif tokoh tersebut.
E. Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ialah deskriptif-
analitis. Dari situ, langkah awal yang ditempuh adalah mengumpulkan data-
data yang dibutuhkan, baru kemudian dibutuhkan klasifikasi, deskripsi
kemudian analisis. Alat penelitian ini digunakan jenis penelitian, sumber data,
metode pengumpulan data, dan metode analisis data, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini jenis menggunakan penelitian kualitatif, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian pustaka
(library rescarch) ini fokus dalam menggunakan data, dan meneliti buku-
buku kepustakaan dan karya-karya dalam bentuk lain.
2. Sumber Data
Sasaran atau objek utama penelitian ini adalah penafsiran
terhadap teks-teks yang terkait dengan nasikh- mansukh menurut Richard
Bell dan data-data yang sesuai dengan tema dari berbagai sumber yang
berkaitan dengan pokok pembahasan yang penulis angkat, baik itu bersifat
primer seperti karya Richard Bell Bell’s Introduction to the Qur’an. Dan
karya-karya tulisan lainnya di berbagai buku media. Sedangkan data
sekundernya di ambil dari data terulis yang berupa buku-buku, jurnal
maupun artikel yang berkaitan dengan teori nasikh mansukh dalam al-
Qur’an.
3. Teknik Pengumpulan data
Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun
dan menganalisis dokumen berupa buku-buku, artikel dan makalah yang
Richard Bell tulis. Namun, penulisan ini lebih menekankan terhadap
karya Richard Bell yaitu “Bell’s Introduction to the Qur’an”.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan di analisis dengan beberapa
metode, yaitu:
a. Metode Diskiptif-Analisis. Metode ini digunakan dalam rangka
memberikan gambaran data yang ada serta memberikan interpretasi
terhadapnya, serta melakukan analisis interpretatif. Sedangkan metode
analisis yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan analisis secara
konsepsional atas makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang
digunakan dan peryataan-peryataan yang di buat.
b. Metode Hermeneutik. Metode ini digunakan dalam rangka untuk
mencari pemahaman yang berkisar diseputar teks dan pengarangnya,
dengan mengarah pada keterkaitan teks dan latar belakang pengarang
tafsir, serta kepentingan pengarang dalam mengambil gagasannya
pada soal teks dalam masalah ini, maka buku Bell’s Introduction to the
Qur’an akan dibahas sedemikian rupa dengan menganalisa kostruksi
Richard Bell serta menjelaskan baik buruknya dalam mengantarkan
analisis buku tersebut, khususnya di telaah dengan pemahaman
tersebut.
F. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan, kajian dalam penelitian ini terdiri dari lima bab,
yang masing-masing bab memelilki sub bab tersendiri. Bab pertama
merupakan pendahuluan yang bersifat latar belakang masalah, alasan
pemilihan judul, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan
istilah, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, Pada kedua ini berisi tentang tinjauan umum nasikh-
mansukh Al-Qur’an yang meliputi, bab ini memiliki tiga sub, sub yang
pertama deskripsi teori nasikh-mansukh meliputi definisi, sejarah nasikh-
mansukh, ruang lingkup nasikh mansukh, dan hikmah nasikh-mansukh dalam
Al-Qur’an, pada sub yang kedua, tentang pandangan Ulama terhadap teori
nasikh-mansukh, meliputi pandangan Ulama klasik, ulama modern dan ulama
kontemporer, pada sub bab yang terakhir ini meliput bukti-bukti adanya teori
nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, beberapa aspek teori nasikh-mansukh
pengulangan ayat nasikh-mansukh, karekteristik teori nasikh mansukh,
mukjizat teori nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an. Pengulasan pada beberapa
sub bab tersebut dianggap penting karena mempunyai peranan senteral dari
pembahasan tentang nasikh-mansukh al-Qur’an.
Bab ketiga penulis akan mengulas biografi Richard Bell serta
mengulas sekilas tentang latar belakang tokoh tersebut. Juga akan diulas
tentang seputar karya-karya beliau, mengenai latar belakang ditulisnya karya
tersebut, metodologi dan pendekatan yang dipakai oleh Richard Bell, kritik
terhadap metodologi, pandangan Richard Bell terhadap al-Qur’an, pendapat
Richard Bell tentang teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to
the Qur’an, dengan demikan nantinya penulis diharapkan dapat mengetahui
alasan-alasan tokoh tersebut ketika memberikan sistematis tertentu mengenai
objek kajian ini, yaitu teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to
the Qur’an.
Bab keempat penulis berupanya menganalis pandangan-pandangan
Richard Bell yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya (bab tiga).
Dalam bab ini akan ditemukan konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-.
Pada sub berikutnya akan di temukan posisi Ricard Bell dalam pandangan
cendikiawan (Ulama). Pada sub yang terakhir juga akan dipaparkan kontribusi
Richard Bell terhadap pengembangan kajian tafsir dan ulum al-Qur’an, hal ini
yang merupakan bentuk aplikasi dari metode yang digunakan oleh tokoh
tersebut. Dari padanya penulis dalam bab ini di arahkan dalam bentuk
penafsiran Richard Bell mengenai objek yang dikaji.
Bab terakhir (kelima) adalah penutup yang berisi kesimpulan-
kesimpulan tentang pokok soal dari skripsi ini. Walaupun ini adalah
kesimpulan secara umum tentang pandangan Richard Bell terhadap teori
nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an yang ada di
dalamnya.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI NASIKH- MANSUKH
A. Diskripsi teori Nasikh-Mansukh
1. Definisi Nasikh-Mansukh
Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata
naskh, kata tersebut adalah berbentuk masdar, dari kata kerja masa lampau
(fi’il madli) nasakha, dari sisi bahasa33 kata nasikh sendiri memiliki
banyak makna, bisa berarti:
a. Menghilangkan (al-Izalah), sebagaimana firman Allah swt.
!$ tΒ uρ $ uΖù=y™ö‘r& ÏΒ y7 Î=ö6 s% ÏΒ 5Αθ ß™§‘ Ÿωuρ @cÉ< tΡ Hω Î) #sŒ Î) # ©_ yϑs? ’ s+ø9 r&
ß≈sÜ ø‹¤±9 $# þ’ Îû ϵÏG�ÏΖøΒ é& ã‡|¡Ψu‹sù ª!$# $tΒ ’Å+ù=ムß≈ sÜø‹ ¤±9 $# ¢ΟèO ãΝÅ6øtä† ª! $#
ϵÏG≈ tƒ#u 3 ª! $#uρ íΟŠÎ=tæ ÒΟŠÅ3ym ∩∈⊄∪
Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. [22] al-Hajj:52)
b. Menggantikan ( at-Tabdil) sebagaimana dijalaskan oleh firman Allah
swt.
#sŒ Î)uρ !$ oΨø9 £‰t/ Zπ tƒ#u šχ%x6 ¨Β 7π tƒ#u � ª!$#uρ ÞΟn=ôãr& $ yϑÎ/ ãΑÍi”t∴ム(# þθ ä9$ s% !$ yϑ‾ΡÎ)
|MΡr& ¤�tIø'ãΒ 4 ö≅ t/ óΟèδ ç�sYø.r& Ÿω tβθ ßϑn=ôètƒ ∩⊇⊃⊇∪
Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa
33Musthafa Zaid, an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Dirasat Tasyri’iyyah Tariyyati
Naqdiyyah, Jilid I, Dar al-Wafa, al-Mansyurah, cet III, 1987, hlm. 55. Ahmad Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut, Dar al-Turats al-Arabiy, cet III, t.th., hlm. 187.
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. [16] al-Nahl: 101)34.
c. Bisa juga berarti at-Tahwil ( peralihan) dalam hal ini menurut asy-
Sijistani, di mana beliau termasuk dari golongan ulama yang ahli
dalam bidang bahasa, sebagaimana yang berlaku peristilahan ilmu
Fara’id (Pembagian harta pusaka), yaitu تنا سخ المواريس yakni
pengaliahan bagian harta waris dari A kepada B.35
d. Bisa bermakna al-naql“ Pemindahan” dari satu tempat ketempat yang
lain, misalnya: kalimat ( نسخت الكتاب( yang berarti “memindahkan” atau
“mengutip” persis menurut kata dan penulisannya.36
Sebagaimana menurut Ahamd Von Denffer, ia mengatakan bahwa
kata naskh berarti (an active participle) yang mempunyai arti
(abrogating), sedangkan mansukh berarti (passive), yang mempunyai arti
(the abrogated). hal ini merupakan suatu teknis aturan dalam bentuk
bahasa, yang pasti ada pada wahyu al-Qur’an, dengan adanya
penghapusan berarti di sini melibatkan pihak orang lain. Yang pada
asalnya sesutu yang dihapus berarti berhungan dengan istilah mansukh,
sedangakan sesuatu yang menghapus berhubungan dengan nasikh.37
Dari bebrapa definisi tentang naskh diatas, Nampak bahwa naskh
memiliki makna yang berbeda-beda, ia bisa berarti membatalkan,
menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus
disebut mansukh dan yang dihapus disebut nasikh, namun dari sekian
34 Musthafa Zaid, op. cit., hlm. 56-57. 35 Abdul Adim az-Zarqaniy, Manahil al- Irfan; fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut,
Lebanon, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 175. asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir, Juz I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158.
36 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-‘Ilm, lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 260. az-Zarkasyi, al-Burhan fi-Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Fikr, cet II, 1988, hlm. 34, Manna’ al- Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th., hlm. 232. Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Dar al-Kitab, cet II, 1983, Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 171. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Ilmiyyah, hlm. 336-337, az-Zarqaniy, loc. cit.,
37Muhammad Von Denffer, Ulum al-Qur’an, An-Introduction to Sciences of the Qur’an, hlm. 104.
banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa, pengertian nasikh yang
mendekati kebenaran adalah naskh dalam pengertian al-Izalah, yakni: ( رفع
berarti mengangkat sesuatu dan menetapkan) (الشيئ واثبات غيره مكانه
selainnya pada tempatnya).38
Sebagaimana dalam pengertian etimologi, naskh dalam
termenologipun memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagai mana
pendapat yang mengatakan bahwa naskh adalah mengangkat atau
menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) yang lain.39
Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa definisi
naskh menurut istilah adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’
yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat. Sejalan
dengan bahasa Arab yang mengartikan kata “naskh” sama dengan
“meniadakan” dan “mencabut”, beberapa ketentuan hukum syari’at yang
oleh asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu di
pertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta
berdasarkan pada kenyataan yang dapat dimengerti, untuk kepentingan
suatu hikmah dan hanya diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat
dalam.40Ada juga yang berpendapat bahwa nasikh adalah mengangkat
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian dengan
menghilangkan ‘amal pada hukum-hukumnya atau menetapkannya.41
Dari beberapa devinisi diatas yang paling mendekati kebenaran
dengan pengertian nasikh adalah definisi yang pertama dan terakhir, yakni
mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang
kemudian,42 Maksudnya hukum atau undang-undang yang terdahulu
38 Mushthafa Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Juz I, Beirut, Dar al-Fikr, 1991, hlm.
67. asy- Syaukaniy, Fath al-Qadir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158-159.
39 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 232, az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 176.
40Subhi Shalih, op. cit., 261. Ahmad Von Denffer, op. cit., hlm. 105. 41Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Dar al-Kitab, cet II, 1983,
hlm. 183. 42 Muhammad Abd ‘azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz II,
Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr, cet I, hlm. 176.
dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang baru, sehingga undang-
undang yang lama tidak berlaku lagi.43
Dalam termenologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan
namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus)
disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah
hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena adanya
tuntutan kemaslahatan.44
Adapun syarat-syarat Nasikh sebagai berikut:
a. Hukum yang yang dibatalkan itu adalah hukum syara’
b. Pembatalan itu datangnya dari khitab (tuntutan syara’) yang hukum
mansukh.45
c. Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya
hukum.
d. Sebagaimana yang ditunjukkan khitab itu sendiri, seperti firman Allah
SWT:
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…..(QS: [2] al-Baqarah: 187)
Berakhirnya puasa dengan datangnya malam tidak dinamakan
nasikh, karena ayat itu sendiri telah menentukan bahwa puasa tersebut
berakhir ketika malam tiba.
e. Khitab yang men-nasikh-kan itu datangnya kemudian dari khitab yang
di-naskh-kan.
f. Hukum yang dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh
akal sehat tentang baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik),
aniaya (buruk) dan lain-lain.
g. Keadaan kedua nas tersebut saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan satu sama lain.46
43 Abd Mun’im Namr, op.cit., hlm. 184. Sebagaimana hadis Nabi Saw. فنقول ..... وقد تضمن ھدا الحديث ا�مر المنسوخ وا�مر الناسح معا) كنت نھيتكم عن زيارة القبور ا� فزروھا(
.....مير الزيارة القبور منسوخةتح 44 asy- Syaukaniy, loc. cit., hlm. 158. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 179. 45az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180. Ibn al-Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1985, hlm. 23-24.
Adapun Rukun nasakh ada empat, yaitu
a. an-Nasikh (اداة النسخ), yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan
(penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh (الناسخ), yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang membuat
hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-
Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.
c. Mansukh (المنسوخ), yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan,
atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anhu, (المنسوخ عنه),yaitu: orang yang dibebani hukum.47
2. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan teori nasikh-mansukh
a. Sejarah pertumbuhan teori nasikh-mansukh
Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-
ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak
dapat dikompromikan.48
Pengertian harfiah dari kata nasikh di atas pada satu sisi tanpak
mengisyaratkan ruang lingkup obyek (kajian) nasikh mansukh yang
cukup luas disatu pihak. Dan sejarah nasikh mansukh dipihak lain.
Memiliki ruang lingkup yang cukup luas, ketika nasikh mansukh
dipahami dalam konteks internal ajaran Islam, akan tetapi merambah
dalam pendekatan eksternal antar agama; dan tepatnya syar’iat Nabi
atau Rasul yang satu dengan syari’at nabi dan rasul Allah yang lain.49
Sedangkan hal ini memiliki sejarah yang panjang, artinya
karena persoalan nasikh mansukh tidak terbatas pada sejarah
penurunan al-Qur’an, akan tetapi jauh melampaui pada masa-masa itu
46 Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet
IX, 2005, hlm. 293-294. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2012, hlm. 175.
47 Abu Zahrat, op. cit., hlm. 252. 48 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180. 49 Ibid., hlm. 190-193.
yakni dalam hubungan dalam penurunan kitab Taurat (perjanjian
Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) di pihak yang lain.50
Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim
dikenal dengan sebutan al-bada’ memang diperselisihkan dikalangan
antar pemeluk agama itu sendiri tentang kemungkinannya. Bagi
kalangan Islam nasikh-mansukh eksternal agama sangat dimungkinkan
keberadaannya baik secara nalar (al-Dalil al-‘Aqliy) maupun
berdasarkan pendengaran / periwayatan (al-dalil al-naqliy). Sedang
kelompok Nasrani, secara mutlak kemungkinan al-Bada’ antar agama
itu, baik menurut logika akal maupun menurut periwayatan (teks kitab
suci) yang mereka yakini. Konsep bada’ harus ditentang berdasarkan
teks (kitab) suci meskipun kemungkinannya secara nalar sangat bisa
dibenarkan
Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’
dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada
dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini
terhadap konsep kenabian dan sekaligus kitab sucinya.51
Berbeda dengan Dr. Wahbah Zuhail, beliau mengatakan bahwa
orang-orang Yahudi membuat naskh dalam pengertian bada’ satu arti.
Adapun perbedaan antara naskh dan bada’, yaitu: Nasikh itu merubah
ibadah yang tadinya halal menjadi haram, atau sebaliknya. Sedangkan
bada’ menghilangkan sesuatu dengan penuh tuntutan.52
Berlainan dengan kaum muslimin sebagai pengikut
Muhammad Saw. Yang sudah pasti mengikuti kenabian Musa dan Isa
berikut kitab suci masing-masing kitab suci yang telah disampaikannya
yakni kitab Taurat dan Injil, orang-orang Yahudi menolak kenabian Isa
dan kenabian Muahammad sekaligus berikut kitab sucinya al-Qur’an,
50 M. Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”,
dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 29. 51 Ibid., hlm 30. 52 Wahbah Zuhail, Tafsir Munir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr al-Muassar, cet I,
1991, hlm. 261-268.
meskipun pada saat yang bersamaan, mereka mengimani kenabian
Musa dan terutama pengakuannya kepada Isa yang tidak sebatas Nabi
tetapi lebih mereka menaikan kedudukannya sebagai “ Tuhan”,
sebutan Tuhan Yesus dan Tuhan anak yang meraka sematkan kapada
Isa, sebagaimana petunjuk kuat terhadap penuhanan Isa bin Maryam
oleh pemeluk Nasrani.
Bila orang-orang Yahudi menerima keberadaan bada’ maka
dengan sendirinya ,mengakui Nabi Isa dengan Injilnya, dan pada
gilirannya mereka auto metically dan menerima kehadiran Nabi
Muhammad Saw dan al-Qur’annya. Konsekwensinya mereka harus
melepas kitab tauratnya. Demikian pula dengan orang-orang Nasrani
dahulu. Jika sekiranya mereka menerima bada’ atau tepatnya naskh
eksternal agama, maka dengan sendirinya akan menanggalkan kitab
Injil dan mengimani kenabian Nabi Muhammad Saw.53
Ada jelas bahwa kondisi dan situasi mendesak yang
menyebabkan lahirnya Ilmu Nasikh-Mansukh adalah juga yang
menyebabkan munculnya ilmu asbab an-Nuzul, karena ahli-ahli hadits
tidak sepakat bahwa rasulullah saw memberikan isyarat tentang kedua
ilmu tersebut, atau memerintahkan untuk menyusun keduanya baik
secara eksplisit maupun implisit. Hal ini adalah suatu yang
menguatkan pendapat kita.54 yang telah diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud
dalam sebuah hadits masyhur yang dijadikan sandaran oleh orang-
orang yang berpendapat adanya naskh kami pandang lebih dekat ke
khurafat.
Persoalan nasikh dalam al-Qur’an bermula dari suatu
pemahaman, sebagaimana firman Allah swt.
53 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 30. 54 Muhammad Shahrur, Metodelogi Fikh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin,
Yogyakarta: Elsaq, cet I, 2005, hlm .138.
Ÿξ sùr& tβρã� −/y‰tF tƒ tβ#u ö�à)ø9 $# 4 öθ s9 uρ tβ% x. ô ÏΒ Ï‰ΖÏã Î�ö� xî «!$# (#ρ߉y uθ s9 ϵŠÏù
$ Z'≈ n=ÏF÷z$# # Z��ÏW Ÿ2 ∩∇⊄∪
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya. (QS. [4] an-Nisa: 82).
Ayat al-Qur’an tersebut diatas merupakan prinsip yang diyakini
kebenarannya oleh setiap muslim. Namun, demikian, para ulama’
berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang
pintas lalu menunjukkan adanya kontradiksi. Dari sinilah kemudian
timbul pembahasan tentang nasikh-mansukh.55
Dari ayat diatas hal ini menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara ayat
satu dengan ayat yang lainnya sementera di tempat lainnya al-Qur’an
mengatakan. Sebagaimana firman Allah swt.
$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ô ÏΒ >π tƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö�sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$ yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès?
¨βr& ©!$# 4’n? tã Èe≅ ä. & ó x« í�ƒ ωs% ∩⊇⊃∉∪
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS; [2] al-Baqarah : 106)
Abu Muslim Al-Asfahani menolak anggapan bahwa ayat yang
sepintas kontradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-Mansukh lantas
ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh.
Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada
yang mansukh.
55M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992, hlm. 143.
“Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi tuhannya yang maha bijaksana lagi maha terpuji (QS. [41] al-Fushilat: 42)56.
Sementara syarat dalam al-Qur’an itu bersifat kekal karena itu
ia berlaku sepanjang masa. Persoalan nasikh mansukh tidaklah mudah
untuk menentukan.
Sedangkan menurut DR. Muhammad Shahrur telah
mengatakan ketika membahas nasikh-mansukh bahwa ia adalah ilmu
yang muncul setelah masa Nabi, adapun latar belakang kehadiran ilmu
tersebut adalah:
1) Perubahan konsep jihad menjadi konsep perang dan permusuhan
konsep dakwah dengan cara hikmah dan nasihat menjadi dakwah
melaluin perang.
2) Menghilangkan konsep beramal atas dasar perhitungan ukhrawi
dan menggantikan dengan kreteria-kreteria yang tidak jelas dan
lonm,ggar seperti syafa’at, kewalian, perantaraan dan karamah
yang kuncinya terletak di pemuka agama.
3) Terpatrinya konsep Jabariyyah dan meniadakan secara total peran
manusia.
4) Mengabaikan akal pikiran (logika) dan terpatrinya konsep
penyerahan kepada orang lain dalam membuat keputusan-
keputusan.57
b. Beberapa istilah yang menyerupai nasikh
Ada beberapa bentuk pemberlakuan hukum baru sebagai
pengganti hukum lama yang sering menjadikan pembicaraan
dikalangan ulama ushul.
56 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet
XVII, 1988, hlm. 241. 57 Muhammad Shahrur, loc. cit.,
Dikalangan ulama’ terdahulu (al-Muataqqimin) arti naskh lebih
umum dari apa yang telah dipakai oleh ulma ushul. Pemberlakuan
muqayyad terhadap mutlaq atau muqayyad, mereka anggap juga
sebagai nasikh .men-takhshish kan lafadz umum mereka anggap juga
naskh, baik dengan dalil yang terpisah maupun dalil yang
bersambungan. Mereka juga memasukan bayan terhadap lafazd
mujmal atau muhkam sebagai naskh. Pencabutan hukum syara’i yang
datang belakanganpun mereka artikan dengan naskh. Dalam pengertian
ahli ushul, yang terakhir ialah yang mereka sebut dengan naskh.
Yaitu:58
1) Taqyid dan muqayyad
Memang pengamalan dalil yang datang belakangan sebagai
pengganti pengamalan dalil yang terdahulu, juga terlihat pada
taqyid, lafadz mutlak pada lahirnya seperti ditinggalkan. Dengan
demikian, maka kemutlakan lafadz itu tidak digunakan lagi karena
yang digunakan adalah apa yang dimaksud oleh lafad muqayyad,
sehingga kedudukan muqayyad terhadap mutlaq ibarat kedudukan
nasikh terhadap mansukh.
2) Bada’
Dari segimunculnya kitab kedua (yang datang belakangan)
yang membawa hukum baru setelah ada hukum lama yang
ditetapkan dengan khitab pertama (terdahulu), ada anggapan yang
menyamakannya dengan bada’ yaitu munculnya sesuatu setelah
sebelumnya tidak diketahui.59
Dalam kata bada’ tergantung anti negatif yaitu kejahilan
(ketidaktahuan) pembuat hukum tentang apa yang akan terjadi
kemudian sehingga ia merasa perlu untuk mencabutnya kembali,
karena bada’ itu tidak bisa dinisbatkan kepada Allah sebagai
58 Amir Syafruddin, Ushul Fiqih, Jilid I, Jakarta, Kencana Media Group, cet IV, 2009,
hlm. 254. 59 Ibid., hlm 255, az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut,
Lebanon, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 180-181.
pembuat hukum, karena Allah maha tahu apa yang akan terjadi,
dengan demikian naskh bukanlah bada’.60
Menurut Ibnu Hazm menyatakan bahwa bada’ itu seperti
seseorang menyuruh melakukan suatu perbuatan, sedangkan ia
tidak tahu keadaan yang akan terjadi yang mungkin akan
menyebabkan ia harus mengubah suruhannya. Sedangkan naskh
berarti menyuruh seseorang melakukan sesuatu perbuatan, dan ia
sendiri mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, juga
mengetahui pada sewaktu waktu ia akan mencabut suruhannya
untuk menggantinya dengan suruhan lain. Dari keterangan di atas,
maka jelaslah bahwa seseuai dengan sifat Allah swt., naskh itu
berbeda dengan Bada’, meskipun dari luar kelihatan sama.
3) Istisna’
Dalam naskh juga terdapat bentuk pengecualian, yaitu
pengecualian bagi masa kedua dari pemberlakuan perintah untuk
selamanya. Namun antara naskh dengan istisna terdapat perbedaan.
Istisna (pengecualian) adalah sebagiannya (dari lafadz umum,
kemudian dikecualikan dengan sebagiannya. Jumlah pengecualian
itu (al-Mutsanna) adalah sebagian dari lafadz umum, sehingga
tidak ada keharusan untuk memberkukan secara umum, kecuali ap
yang tertinggal setelah dikecualikan.
Dalam naskh keadaannya tidaklah demikian, sesuatu yang
dilarang melakukannya pada hari ini memang. Sudah dimaksud
meninggalkannya dari hari kemarin. Kita tidak diberikan beban
hukum terhadap apa yang waktu ini telah di-nasakh. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa nasakh itu semacam
pengecualian. Setiap nasakh ada pengecualian tetapi tidak setiap
pengecualian adalah nasakh.61
60 Ibid., hlm. 256. 61 Ibid., hlm. 257.
4) Takhshis
Pada dasarnya naskh berlaku terhadap seluruh satuan
pengertian (afrad) yang terkandung dalam mansukh, namun ada
pula nasakh yang hanya mengenai sebagian afrad, sehingga lafadz
tersebut masih berlaku terhadap sebagian afrad lain yang tidak di-
nasakh. Dengan demikian timbul kemiripannya dengan takhsis
yang hanya mengeluarkan sebagian afrad lafad umum. Meskipun
demikian antara nasakh dengan takhsis terdapat perbedaan; di
antara perbedaan terpokok adalah:62
a) Naskh adalah mengeluarkan hukum setelah hukum itu berlaku,
sedangkan yang dikeluarkan pada takhsis dan tidak
diberlakukan lagi dari lafadz umum adalah hukum yang belum
pernah berlaku sama sekali.
b) Takhshis itu menjelaskan bahwa apa yang keluar keumuman
lafadz, tidak dimaksudkan untuk memberi petunjuk lafad itu,
sementara nasakh menjelaskan bahwa pada aspek yang keluar
dari keumuman suatu lafad tidak bermaksud menciptakan
beban hukum, meskipun dari segi lafadnya memang
menunjukan demikian.
c) Naskh tidak akan terjadi kecuali dengan khitab pembuat
hukum, baik dalam bentuk nash al-Qur’an maupun hadist Nabi,
sedangkan takhshis dapat terjadi dengan qiyas dan dalil aqli
lainnya.
d) Takhshis itu tidak dapat menentukan ayat yang mengandung
perintah, juga tidak berlaku pada ayat yang mengandung
larangan, sedangkan nasikh bertujuan untuk menentukan ayat-
ayat yang bersifat perintah dan larangan, dengan demikian
62 Sedangkan az-Zarqaniy membagi perbedaan antara naskh dan takhshis ini menjadi
tujuh, untuk selanjutnya disebut az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 184.
maka dapat menasakh sebagian hukum-hukum yang sudah
ditentukan oleh Rasulullah saw.63
3. Ruang lingkup teori nasikh-mansukh
Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 106, maksudnya adalah ayat
al-Qur’an yang allah telah dinaskh (diganti, ditukar, dan dihapuskan)
atau yang ditinggalkan, itu olehnya akan didatangkan lagi ayat yang
lebih baik atau yang seumpama serupa atau yang sebandingnya.
Jelasnya ayat yang adatang kemudian itu lebih baik dari pada yang
datang lebih dahulu atau yang di ditinggalkannya dan sekurang-
sekurangnya yang datang kemudian itu sebanding serupa dengan yang
datang lebih dahulu. Dengan ini jelaslah adanya ayat didalam al-
Qur’an yang nasikh dan yang mansukh, yang mengganti atau
menghapuskan dan yang diganti atau dighapuskan.
Pada dasarnya, kami lebih cenderung pada pendapat fuqaha
yang menyatakan adanya nasakh dalam al-Qur’an. Menurut analisa
Jumhur fuqaha, di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dinasakh
hukumnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa para ulama’ telah
bersepakat tentang mutawatirnya al-Qur’an hanyalah nas-nas yang
mutawatir pula, sehingga hadist-hadist ahad ini tidak dapat manaskh
pula. Karena faktor utama yang dijadikan dasar nasakh adalah adanya
pertentangan (ta’arudh), sedangkan ta’arudh itu hanya bisa terjadi
pada dua nash yang sama tingakat sanadnya.64
Ayat 106 dari surat al-Baqarah itu, menurut Syahrur, yang
dimaksud dengan naskh pada ayat tersebut adalah naskh anatara
syari’at samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat. Firman
Allah swt.
63 Perbedaan naskh dan takhshis, oleh Abdul Adzim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi
Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, t.th., hlm. 185. 64 Muhammad Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 303.
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 237.
#sŒ Î)uρ !$oΨø9 £‰t/ Zπtƒ#u šχ% x6 ¨Β 7πtƒ#u � ª!$#uρ ÞΟn=ôãr& $ yϑÎ/ ãΑÍi”t∴ム(# þθä9$ s%
!$ yϑ‾ΡÎ) |MΡr& ¤�tIø'ãΒ 4 ö≅t/ óΟèδ ç�sYø.r& Ÿω tβθ ßϑn=ôètƒ ∩⊇⊃⊇∪
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. [16] an-Nahl: 101)
Bahwa kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di artikan oleh
Syahrur sebagai risalah samawi bukan sejumlah ayat dalam al-Qur’an
sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan orang.
Bukanlah ditunjukan kepada ayat-ayat al-Qur’an atau hukum-
hukum tersebut yang tersebut didalamnya, tetapi ditunjukkan atas ayat
atau hukum-hukum yang telah didatangkan atau diturunkan oleh Allah
atas orang-orang yang telah datang terlebih dahulu pada masa sebelum
al-Qur’an diturunkan, ialah kaum ahli kitab (Yahudi-Nasrani) jadi ayat
tersebut itu berarti:
Bahwa barang apa yang datang dari Nabi yang terdahulu, yang
telah Allah hapuskan atau diganti atau dia tinggalkan lantaran dari
lamanya masa yang telah lewat, itu pastilah ia turunkan lagi yang lebih
baik dan lebih sempurna,atau sekurang-kurang yang semisal. Bahwa
dalam arti ruang lingkup terhadap nasikh-mansukh ini harus sesuai:
1) Hukum yang nasikh-maupun yang mansukh adalah hukum syara’
2) Dalil pengangkat hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang
kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3) Hukum yang mansukh tidak terikat dibatasi dengan waktu tertentu,
jika tidak demikian maka itu bukanlah termasuk urusan naskh,
karena ia berakhir dengan sendirinya dengan berakhirnya masa
berlakunya.65
65 Ibn al-Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985, hlm. 23-24,
az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa naskh itu
dianggap benar jika:
1) Pembatalan itu dilakukan melalui tuntutan syara’ yang
mengandung hukum dari syar’i (Allah dan Rasulnya) sesuatu yang
membatalkan ini disebut nasikh. Dengan demikian, habisnya masa
berlaku suatu hukum pada seseorang, sepertinya wafatnya
seseorang atau hilangnya kecakapan bertindak hukum seseorang
atau hilangnya ‘illat (motivasi) hukum, tidak dinamakan naskh.
2) Sesuatu yang dibatalkan itu adalah hukum syara’. Pembatalan
hukum yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat yang
sumbernya bukan syara’ atau pembatalan istiadat jahiliah melalui
khitab (tuntutan) syara’ tidak dinamakan nasakh.
3) Hukum yang membatalkan hukum terdahulu, datangnya kemudian.
Artinya hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya
dari hukum yang membatalkan.oleh sebab itu, hukum yang
berkaitan dengan syarat dan yang bersifat istisna’ (pengecualian)
tidak dinamakan nasakh.66
4. Macam-macam teori Nasikh-Mansukh tilawah (bacaan) dan hukumnya
Menurut az-Zarkasyi dan az-Zarqaniy67, di dalam al-Qur’an
terdapat tiga macam naskh. Yaitu:
a. Naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.
Dengan adanya naskh ini bacaan dan tulisan ayatpun tidak ada
lagi, termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan terganti dengan
hukum baru.68
Secara umum memuat nasikh hukum dengan sendirinya,
berserta nasikh hukum beserta bacaannya dan pendapat ini yang banya
dipilih oleh Jumhur Ulama’.69
66 Ibn Arabi, op. cit., hlm. 4 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. op. cit., hlm. 251 67 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 214-215. 68 Abdul Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Lebanon, Dar al-Kitab,
cet II, 1983, hlm. 118. 69 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Ilmiyyah, t.th., hlm.
336-337.
Sebagaimana model ini diikuti oleh imam al-Tabari,
Zamakhsari, dan Tabarsi, beliau tidak terpaku pada satu model saja
seperti di atas, namun beliau semua lebih memilih dalam perkara
naskh ini, ada yang memilih dua atau tiga model naskh sekaligus, yaitu
naskh al-hukm duna al-tilawah dan naskh hukm wa al-tilawa,
sebagaimana yang dipilih oleh Tabari, sedangkan menurut Imam
Zamakshari dan Tabarsi, memilihat ketiga model naskh sekaligus,
yaitu: naskh hukm wa al-tilawa dan naskh al- tilawa duna al-hukm.70
Misalnya ayat tentang penghapusan keharaman kawin saudara
satu susuan karena sama-sama menetek pada seorang ibu dengan
sepuluh kali susuan dengan lima kali susunan saja. Hukum telah naskh
ini telah disepakati oleh ulama berdasarkan ijma’, khususnya yang
menyetujui naskh. Sedangakan dalil yang menunjukkan terjadinya
nasikh macam ini yakni.71
كا فيما انزل عشر رضا عات معلوما : عن عائشة رضي اهللا عنها قالت
ات فتوفي رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وهن ت يحرمن بخمس معلوم
مما يقرا من القران“Dari ‘Aisyah r.a berkata: termasuk ayat al-Qur’an yang dinuzulkan ( ayat yang menerangkan) sepuluh kali susunan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), lalu dinaskh lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu yang termasuk yang dibaca dari al-Qur’an.”
Sebagaimana pendapat tersebut dikutip oleh Adul Mun’im an-
Namr ia menyatakan bahwa ayat yang menjadikan objek perubahannya
serta adanya naskh pada al-Qur’an, menurutnya penilaian secara
global bahwa segala perkara dalam al-Qur’an itu mengalami persoalan
naskh (perubahan). Namun hanya saja pada masalah perintah
70Syamsuri, dan Kusmana, Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan
Wacana Kajian, Jakarta, Pustaka al-Husna Baru, cet I, 2004, hlm. 41. 71 Abdul Mun’im an-Namr, loc. cit.,
kewajiban dan hal itu membutuhkan suatu penjelas, sehingga secara
umum al-Qur’an memuat dua unsur pokok, yaitu:72
1) Memuat beberapa kaidah dan beberapa keutamaan yang sangat
orgen.
2) Memuat ketentuan-ketentuan terhadap persoalan hukum. Seperti:
a) Dalam al-Qur’an menjelaskan kebutuhan primer yang
berhubungan dengan kaidah-kaidah tertentu seperti iman
kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, rasul-rasulnya, dan hari
akhir. Dan mengandung potensi keutamaan yang berhubungan
dengan budi pekerti, seperti: jujur, tolong-menolong, kasih
sayang dll.
b) Disamping itu al-Qur’an menjelaskan beberapa persoalan
terkait nasikh-mansukh, karena kedua tersebut selalu ada dari
waktu ke waktu.
Lebih lanjut Ia juga menjelasakan tentang persoalan Naskh al-
hukmi wa al-Tilawah, ini relatif sedikit ayat yang membahas pada
persoalan tersebut hanya terdapat dua ayat saja, yang mana pada waktu
itu mereka menukil hadis ghorib, ketika itu mereka meriwayatkan dari
riwayat Aisyah RA. Hal ini telah dijelaskan dalam kitab bukhari dan
muslim.
ثم , كا ن في ما انزل من القران عشر رضعات معلومات يحرمن
وتوفي رسول اهللا عليه وسلم وهن فيما يقرا , نسخت بخمس معلومات
))من القران“Ketika ayat al-Qur’an diturunkan berkenaan dengan 10 kali (susuan) yang diharamkan, kemudian menggati menjadi 5 kali (susuan), pendapat rasulullah memang seperti apa yang dibaca oleh rasuluallah. Apa bila ada dua ayat yang masih (kontradiksi) kemudian
Rosul telah wafat, sementara sahabat membacakan kedua ayat tersebut,
72 Abdul Mun’im an-Namr, op. cit., hlm. 119. M. Quraish Shihab, Membumikan al-
Qur’an; Pesan dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1997, hlm. 40.
lalu bagaimana solusinya? Dan bagaimana cara me-naskh bacaan dan
hukumnya secara bersamaan, apakah naskh hanya berfaedah secara
hukumnya saja? Dalam hal ini disetujui oleh Imam Syafi’i, sementara
dari Imam Ibn Hambal tidak menyetujui adanya hal tersebut. Adapun
naskh pada persoalan ayat saja, itu berfungsi untuk membatasi hukum
dan mengganti ayat al-Qur’an. 73
Menurut kitab al-Intishar, karya Qodhi Abu Bakr, beliau
menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak nasikh itu tidak
membenarkan naskh, hal itu karena sudah ditetapkan oleh hadis ahad.
b. Menaskh hukumnya dan menetapkan bacaannya.
Maksudnya, tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca,
sedangkan isi hukumnya sudah dihapuskan, dalam pengertian tidak
boleh diamalkan. Sementara menurut Zamakhsyari dalam bagian ini
terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 63 ayat.74
Misalanya, ketentuan mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
selama ‘iddah satu tahun, terdapat pada ayat 240 dari surat al-Baqarah
tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’idah selama satu
tahun dan dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
selama ‘iddah selama satu tahun. Sementara menurut al-Qadhi Abu al-
Amali, bahwa dalam al-qur’an itu tidak terdapat naskh mansukh
kecuali di pada dua tempat: salah satunya terdapat dalam. QS: [33] al-
Ahzab: 50 dan 52.
Menurut al-Qadhi abu al-Ma’ali: tidak ada nasikh dalam al-
Qur’an yang lebih dahulu dari pada mansukh, kecuali didua tempat
salah satunya: (QS. al-Ahzab: 50) menasikh QS.al-Ahzab;52).
Dan disebagian yang lain pada QS.al-Baqarah:142, ayat ini
didahulukan bacaannya tetapi ayat ini di mansukh dengan (QS.al-
73 Abdul Mun’im an-Namr, Ibid., hlm 219. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 211. 74 az-Zarkasyi, op. cit., hlm. 45. Ibn al-Jauzi, op. cit., hlm 13. Abi Abdul Jarir al-Thabari,
Tafsir al-Thabari, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar-al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1992, hlm. 526. asy-Syaukaniy, Fat al-Qadir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158.
Baqarah:144). Faidah didahulukan naskh di sini adalah untuk
menguatkan hukum ayat yang dinaskh sebelum mengetahuinya ayat
yang men-nasikh-nya.75
c. Naskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya.
Maksudnya, tulisan ayatanya sudah dihapus, sedangkan
hukumya masih tetap berlaku. Menurut perhitungan para peneliti ayat-
ayat yang telah dihapus hukumnya kurang lebih terdapat 144 ayat.76
Dalil yang menetapkan adanya naskh ini adalah hadits ‘Umar
bin khatab dan Ubai Bin Ka’ab yang berkata:
القران الشيخ والشيخة ادازنيا فارجموهما البتة كا ن فيما انزل من
نكاال من اهللا
“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang menjelaskan “ Orang tua dan orang tua perempuan itu jikalau keduanya berzina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah.77
Dari ayat itu Umar bin Khatab r.a berkata: “jika manusia
bertanya: Beliau lalu menambahi keterangan didalam al-Qur’an (kitab
Allah) sesungguhnya saya telah menulis dengan tangan saya sendiri.
(HR: Bukhari yang bersanad Muallaq.78
Faedah ditetapkannya bacaan dan di-nasakh hukmnya ada dua:
pertama, mengingat al-Qur’an kalam Allah agar mendapat pahala bagi
yang membacanya. Kedua, untuk meringankan beban hukum bagi para
muallaf.79
75 az-Zarkasiy, loc. cit., 76Ibrahim al-Abyadi, Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H., Jakarta, Rineka Cipta,
cet I, 1992, hlm 109-113. 77 az-Zarkasiy, op. cit., hlm. 41. 78 az-Zarkasiy, op.cit., hlm. 42. 79Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II,
2011, hlm. 174. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Singapura, Haramain, cet II, 2004, hlm 222-225.
Adapun bentuk nasakh di sini menurut Muhammad Abu Zahrat
membagi naskh menjadi 4 macam yaitu: sharih, dhimmi, juz’i dan
kulli, yaitu:80
1) Nasakh Sharih
Yaitu suatu naskh yang terang, tegas dinyatakan dalam
nash yang kedua, bahwa ia me-naskh-kan nash yang pertama atau
suatu nash dimana syar’i menyebutkan dengan jelas dalam pen-
tasyri’an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan
hukumnya yang terdahulu. Misalnya sabda Nabi:81
كنت نهيتكم عن زيارة القبوراالفزروها فانهاتدكركم االخر“Aku pernah melarang kamu berziarah kubur, Ingatlah, ziarah ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengigatkan kamu akan kehidupan akhirat. (HR. Ibn Majah)
Dalam hadist tersebut dinyatakan asbab al-Wurud-nya
bahwa suatu ketika Nabi Saw. melarang umat Islam berkunjung ke
kekuburan. Agaknya hal ini disebabkan oleh orang-orang yahudi
dan Nasrani, tetapi setelah kaum muslim menghayati arti tauhid
dan larangan syirik kekhawatiran tersebut menjadi sirna, dan ketika
itu Nabi Saw. memperbolehkan bahkan menganjurkan ziarah
kubur.82 Ziarahilah kubur, karena hal tersebut dapat mengigatkan
kalian kepada akhirat.
Dalam hadist lain di Rasulullah Saw bersabda:
انما نهيتكم عن ادخار لحوم االضاحي الجل الدافة االفادخروا
80 Ibid., hlm. 172. 81 Totok Jumantoto dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikh, t.k., Amzah, cet I,
2005, hlm. 253. Nasaruddin Baidan, loc. cit., Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hlm. 223. 82 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet II, 1992. hlm. 353. Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 234. Bahwa hadist tersebut HR. Hakim, sebagaimana dari sahabat Nabi. melalui peryataan Anas bin Malik dalam beberapa kisah sahabat ketika itu beliau berada di dekat sumur ma’unah,
“Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena penumpukan. Ingatlah, simpanlah daging itu.
Nasikh sharih ini banyak terdapat dalam hukum positif,
karena mayoritas undang-undang dibuat untuk menggantikan lebih
dahulu.
2) Nasakh Dhimmi
Yaitu: nasikh yang untuk mengisyaratkan hukum yang
berlawanan dengan hukum yang terdahulu darinya atau suatu
nasakh dimana syar’i tidak menyebutkan secara terang terangan
dalam pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi ia
mensyariatkan hukum baru yang bertentangan dengan hukumnya
yang terdahulu, padahal tidak mungkin untuk mensintesakan antara
kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari
keduanya, sehingga nash yang munyusul dengan me-naskh-kan
terhadap yang terdahulu secara kandungannya (dhimmi).83
Nasakh dhimmi banyak terdapat dalam penetapan hukum
Ilahi. Contohnya firman Allah SWT.
|= ÏGä. öΝä3ø‹ n=tæ #sŒ Î) u�|Ø ym ãΝä.y‰tn r& ßNöθ yϑø9 $# βÎ) x8t� s? # ��ö� yz
èπ§‹ Ï¹uθ ø9 $# Ç÷ƒ y‰Ï9≡ uθ ù=Ï9 tÎ/t� ø%F{ $#uρ Å∃ρã� ÷èyϑø9 $$ Î/ ( $ ˆ)ym ’ n? tã tÉ)−F ßϑø9 $#
∩⊇∇⊃∪
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. [2] al-Baqarah:180)
Ayat di atas menunjukan bahwa apabila seseorang yang
memiliki harta yang banyak dan datang tanda-tanda maut, maka
83 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta,
Pustaka Firdaus, cet IX, hlm. 295. Totok Jumantoto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqh, t.k., Amzah, cet I, 2005, hlm. 253-255.
wajib berwasiat secara ma’ruf. Kemudian datang firman Allah
tentang pembagian warisan: (QS. an-Nisa: 11)
ÞΟä3ŠÏ¹θ ムª!$# þ’Îû öΝà2ω≈ s9 ÷ρr& ( Ì� x.©%#Ï9 ã≅ ÷VÏΒ Åeáym È÷ u‹ sVΡW{ $# 4
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. (QS. [4] an-Nisa:11)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menentukan bagian
harta peninggalan setiap pemilik harta kekayaan diantara para
pewarisnya sesuai dengan sesuatu yang dituntut oleh hikmahnya,
dan pembagian tersebut tidak kembali sebagai hak orang yang
mewariskan sendiri. Hukum ini bertentangan dengan hukum yang
pertama dalam padangan jumhur Ulama.
3) Nasakh kulli
Yaitu, pembuat dulu membatalkan hukum yang
disyariatkan sebelumnya dengan suatu pembatalan secara kulli
(keseluruhan) dalam kaitannya dalam setiap individu para
mukallaf.
Seperti membatalkan ‘iddah wanita yang ditinggalkan oleh
suaminya selama satu tahun dengan iddah-nya empat bulan
sepuluh hari, sebagimana firman Allah SWT:
tÏ% ©!$#uρ šχöθ ©ùuθ tGムöΝà6ΨÏΒ tβρâ‘x‹tƒ uρ % [`≡ uρø— r& Zπ§‹ Ï¹uρ
ΟÎγ Å_≡ uρø— X{ $�è≈ tGΒ ’n<Î) ÉΑöθ y⇔ø9 $# u�ö� xî 8l#t� ÷zÎ) 4
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. [2] al-Baqarah; 240)
Kemudian Allah Berfirman:
tÏ% ©!$#uρ tβöθ ©ùuθ tF ムöΝä3ΖÏΒ tβρâ‘x‹ tƒ uρ %[`≡ uρø— r& z óÁ−/u�tItƒ £Îγ Å¡ à'Ρr' Î/
sπ yèt/ö‘r& 9� åκô−r& # Z�ô³tãuρ (
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. [2] al-Baqarah; 234)
4) Nasakh Juz’i
Yaitu, pembuatan hukum secara umum uyang meliputi
setiap perseorangan dari mukhallaf, kemudian ia membatalkan
hukum ini dengan kaitannya dengan sebagian individu atau
pembuat hukum mensyariatkan hukum secara mutlaq, lantas
membatalkan untuk sebagian kondisi, nash yang membatalkan
pemberlakuan hukum yang pertama sekali, akan tetapi ia
membatalkannya dalam kaitannya dalam sebagian individu atau
sebagian kondisi. Contoh firman Allah SWT:
tÏ% ©!$#uρ tβθãΒ ö� tƒ ÏM≈ oΨ|Áós ßϑø9 $# §ΝèO óΟ s9 (#θ è?ù' tƒ Ïπyèt/ö‘r' Î/ u !#y‰pκà−
óΟèδρ߉Î=ô_ $$ sù t ÏΖ≈ uΚrO Zοt$ ù#y_ Ÿωuρ (#θè=t7 ø)s? öΝçλ m; ¸οy‰≈ pκy− # Y‰t/r& 4 y7 Í×‾≈ s9 'ρé& uρ ãΝèδ tβθà)Å¡≈ x'ø9 $# ∩⊆∪
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS: [24] an-Nur: 4)
Firman ini menunjukan orang yang menuduh zina wanita
baik-baik, dan tidak dapat menunjukan buktinya maka orang
tersebut didera dengan hukuman delapan puluh kali deraan, baik
penuduhnya itu suaminya sendiri atau orang lain.
Dan firmanAllah SWT:
tÏ% ©!$#uρ tβθ ãΒ ö� tƒ öΝßγ y_≡ uρø—r& óΟ s9 uρ ä3tƒ öΝçλ °; â !#y‰pκà− Hω Î) öΝßγ Ý¡ à'Ρr&
äοy‰≈ yγ t±sù óΟ Ïδ ωtn r& ßìt/ö‘r& ¤N≡ y‰≈ uηx© «!$$ Î/ � …çµ ‾ΡÎ) z Ïϑs9
šÏ%ω≈ ¢Á9 $# ∩∉∪
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.(QS. [24] An-Nur: 6)
Ayat ini menunjukan jika penuduh berzina itu adalah
suaminya sendiri,maka ia tidak dihukum dera, akan tetapi ia dan
istrinya saling bersumpah li’an. Jadi nash yang kedua me-nasakh-
kan hukum tuduhan zina dalam kaitannya dengan para suami.
Nasakh ini merupakan nasakh juz’i, sebab jika pada
pertama kalinya pembuat hukum mensyariatkan hukum nash yang
umum atas dasar keumumannya atau nash yang tidak mutlak sesuai
dengan kemutlakannya, kemudian sesudah ittu dengan masa
tenggang ia mensyariatkan hukum bagi sebagian satuan satunya,
atau dibatasi dengan suatu batasan. 84
Dari sini timbul pertanyaan yang sangat besar dalam benak
kita, apa urgensi dari nasikh-mansukh ini? Bukanlah jika bacaan
dan hukumnya tetap berlaku akan dapat menambah lahirnya pahala
berganda dari pada melakukan hukumnya. Dalam hal ini zarkasyi
memberi jawaban, yakni agar tampak kadar ketaatan umat dalam
persiapan mengusahakan diri memenuhi panggilan dengan jalan
zhann tanpa menuntuk jalur pasti, sebagai terjadi pada Ibrahim
84 Ibid., hlm 256. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, cet II, 2011, hal, 173. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 266.
ketika bergagas memenuhi perintah Allah untuk menyembelih
puteranya yang disampaikan lewat mimpi.85
5. Hikmah teori Nasikh- Mansukh
Allah sebagai pembuat syari’at akan memperlihatkan hikmah dari
mengadakan naskh. Menurut Manna’ al-Qattan, sedikitnya ada lima
katagori hikmah yang terkadung dalam naskh. Yaitu:86
a. Hikmah secara umum
Bahwa adanya naskh ini untuk menunjukkan bahwa syari’at
Islam merupakan syariat paling sempurna yang menaskh syari’at-
syariat yang datang sebelumnya, karena syari’at Islam berlaku untuk
setiap situasi dan kondisi, maka adanya naskh ini berfungsi menjaga
kemaslahatan umat.87
b. Hikmah naskh tanpa pengganti
Terkadang ada naskh terhadap suatu hukum tetapi tidak
ditentukan dengan hukum lain sebagai penggantinya, selain bahwa
ketentuan hukumnya sudah berubah. Misalnya naskh terhadap hukum
wajib memberikan sedekah sebelum menghadap Rasulluah dari ayat
12 surat al-Maidah, yang oleh ayat 13 hukum itu dihapuskan
(mansukh) tetapi tidak disebutkan hukum penggantinya, selain bahwa
kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi.
Hikmah ini untuk menjaga kemaslahatan manusia sebab
dengan penghapusan kewajiban bersedekah itu lebih baik dan lebih
menyenangkan mereka. Maksudnya seseorang akan bebas bertanya
dan menghadap beliau tanpa harus mempersiapkan dana untuk
bersedekah terlebih dahulu.
c. Hikmah naskh dengan pengganti yang seimbang
85 az-Zarkasiy, loc.cit., 86 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 240-
241. 87Ahmad Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut, Dar al-Turats al-
Arabiy, cet III, t.th., hlm 187. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 194-196.
Naskh, di samping menghapuskan ketentuan juga menentukan
hukum baru sebagai penggantinya. Penggantiannya itu sering
seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya
naskh tentang ketentuan menghadap kiblat ke Bait al-Muqaddas
sebagai terdapat dalam (QS. [2] al-Baqarah:144).
d. Hikmah Naskh dengan pengganti yang lebih berat
Hikmah semacam ini dapat dilihat dalam (QS. [4] al-Nisa’: 15)
yang menjelaskan tentang hukuman kurungan terhadap istri-istri yang
menyeleweng selingkuh), ketentuan tersebut dinaskh dengan hukuman
yang lebih berat, yakni hukuman jilid (cambuk) hingga 100 kali
cambuk (QS. [24] al-Nur: 4) Hikmah ini dibuat dalam upanya
menambah kebaikan dan pahala.
e. Hikmah Naskh dengan pengganti yang lebih ringan
Hikmah ini dapat dilihat mengenai rasio kekuatan tentara islam
dengan antara musuh dengan berbanding 1:100 dalam ayat 65 surat al-
Anfal dinaskh dengan ayat 66 surat yang sama yaitu rasio itu hanya 1:2
saja. Hikmah ini bertujuan untuk memberi dispensasi kepada umat
agar bisa merasakan kemurahan Allah SWT.88
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan
menyatkan bahwa hukum-hukum tidak di undangkan kecuali untuk
kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat
perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang
diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang
mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka
merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia naskh (dibatalkan) dan
diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan
demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari
manfaatnya untuk hamba-hamba Allah swt. Lebih jauh dikatakannya
bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien.
88 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 240-241. Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet II, 2002, hlm. 160.
Para Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum
yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.89
Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat syaikh Maraghi
sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hukum bersifat kondisional
yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat tertentu
sehingga hukum tesebut menjadi lebih baik lagi dari hukum yang lalu
dan setidaknya hukum tersebut memiliki kualitas yang sepadan dengan
hukum-hukum yang telah lalu, sebagaimana pada penjelasan yang
sudah lewat.
B. Bukti-bukti adanya Teori Nasikh-Mansukh
1. Beberapa Aspek tentang Teori Nasikh-Mansukh
Perlu diketahui bahwa dalam persoalan ini tidaklah mudah
menentukan ayat nasikh-mansukh itu, pengetahuan tentang nasikh-
mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi kalangan bagi para
ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir, dan ahli ushul, agar pengetahuan
tentang hukum tidak menjadi kacau oleh sebab itu terjadi (perkataan
sahabat atau tabi’iin) yang mendorong agar mengetahui ayat itu.
Dalam membicarakan tentang nasikh-mansukh, beberapa ulama’
menerapkan bebrapa ketentuan, menurut Zarqaniy apabila ada dua ayat
yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, maka harus
diketahui urutan ayat-ayat tersebut seluruhnya, logikanya jika antara ayat
nasikhah dengan ayat mansukhah itu terjadi tanaqut (pertentangan), maka
orang tersebut menyakini adanya pertentangan sesama (internal) ayat al-
Qur’an padahal, kemungkinan terjadi pertentangan sesama ayat al-Qur’an
itu sama sekali ditolak oleh al-Qur’an sebagai mana terdapat dalam surat.
(QS. [4] an-Nisa 82) .
Padahal kenyataan bahwa di dalam al-Qur’an sama selaki tidak
ditemukan ayat-ayat yang pertentangan antara yang satu dengan yang
lain. Jika demikian halnya, tepatkah ada naskh mansukh dalam al-
89 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992, hlm. 145.
Qur’an?90 Oleh karena itu, dalam memahami nasikh harus berdasarkan
nash yang jelas (sharih) dan bersumber dari Rasulullah saw.
Hal ini berdasarkan sahabat, ketika menemukan dua ayat yang
kelihatan bertentangan mereka suka menggunakan kalimat ayat ini
dinuzulkan setelah ayat itu نزلت ھده ا)ية بعد تلك ا)ية( ), atau ayat ini
dinuzulkan sebelum ayat itu ( قبل تلك ا)ية ا)ية نزلت ھده ) atau ayat ini
diturunkan pada tahun sekian( عام كدا نزلت ھده ا)ية ) misalnya kiblat yang
mulanya di Baitul Maqdis di Palistina, sebagaimana terdapat dalam Al-
Qur’an al-Baqarah ayat 143, setelah ada dalil yang menghapuskannya
QS.ayat 144, maka kiblat tersebut tidak berlaku lagi dan diganti dengan
masjidil Haram.91
Naskh hanya terjadi pada printah dan larangan baik yang
diungkapkan dengan jelas (sharih) maupun yang diungkapkan lewat
kalimat berita, yang menggunakan arti printah atau larangan. Nasikh tidak
terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan aqidah, adab, dan akhlaq,
serta pokok-pokok ibadah dan mu’alamah, nasikh juga tidak terjadi pada
berita yang jelas tidak bermakna thalab (tuntutan, perintah, atau larangan)
seperti: (al-Wa’d) janji dan (al-Wa’id) ancaman.
Sementara itu Suyuthy memperkuat bahwa karena nasikh ini erat
hubungannya dengan hukum, maka yang terdapat di dalamnya hanya hal-
hal yang berhubungan dengan printah dan larangan, adapun kalimat berita
yang mengandung tuntutan (thalab), termasuk janji dan ancaman, nasikh
tidak berlaku, begitu juga kaitannya dengan aqidah dan akhlak. Sebab
printah terhadap keduanya sudah jelas, berlaku untuk selamanya dan tidak
ada perbedaan secara individu maupun secara kolektif.92
2. Pengulangan terhadap Teori Nasikh-Mansukh
90 Muhammad Amin Suma, “Nasikh-Mansukh dalam tinjauan Historis, Fungsional, dan
Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 37. 91 Muhammad Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Manar, cet I, 1991,
hlm. 296. Supiana dan Karman, Ulum al-Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Pustaka Islamika, Bandung, cet I, 2002, hlm. 151.
92Jalal al-Din asy-Suyuthiy, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 33. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th., hlm. 233
Dalam al-Qur’an kata naskh dan derevisinya terdapat empat
konteks.93 Konteks pertama QS, al-Hajj:52 dari periode Mekkah Tengah,
disusul QS,al-Jitsiyyah ayat 29 dan QS, al-‘Araf ayat 154 dari periode
Mekkah akhir, kemudian QS. al-Baqarah ayat 106 dari periode Madinah.
Dalam QS. al-Hajj ayat 52 naskh diungkap dengan kata yansakh; berarti
menghilangkan, sedangkan dalam QS. al-Jatsiyyah ayat 29 diungkap
dengan kata nastansikh; berarti kami menyuruh menyalin atau mereka
secara tertulis apa-apa yang dilakukan oleh manusia di dunia. Sementara
dalam QS. al-‘Araf ayat 54 diungkap dengan kata nuskhah, yang berarti
salinan (rekaman) tertulis, berisi petunjuk dan rahmat. Salinan tertulis ini
tidak lain adalah wahyu yang diberikan kepada Nabi Musa. Jadi ayat-ayat
yang diturunkan di Mekkah, kata naskh bisa mengambil dua pengertian,
yaitu menghapuskan dan merekam secara tertulis.
Perlu di ingat bahwa surat-surat al-Qur’an itu dapat dibagi pada
ayat yang masuk dalam katagori nasikh dan ada yang tidak masuk dalam
katagori tersebut,94 sehingga para mufassir memberikan penjelasan bahwa
beberapa surat yang mengandung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an itu
hanya terdapat 25 surat. Yaitu: Surat al-Baqarah, Surat al-Taubah, Surat
Ali-Imran, Surat Ibrahim,Surat an-Nisa, Surat an-Nahl,Surat al-Maidah,
Surat Maryam, Surat al-Anfal, Surat al-Ambiya, Surat al-Hajj, Surat al-
Nur, Surat al-Furqon,Surat al-Syu’ara, Surat al-Akhzab, Surat al-saba,
Surat al-Mu’minu, Surat al-Asyura, Surat al-Dzariyat, Surat al-Thur, Surat
al-Waqi’ah, Surat al-Mujaddalah, Surat al-Muzamil, Surat al-Takwir,
Surat al-‘Asr.
Dan ada diantara ulama’ yang mengatakan bahwa dalam al-Qur’an
terdapat mansukh tetapi tidak terdapat Nasikh, hal ini terdapat 40 surat.
Yaitu:
93M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, hlm. 143. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Kontekstual al-Qur’an, Bandung, Mizan, cet II, 1990, hlm 29. Supiana dan Karman, Ulumul al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 158
94Muhammad bin Abdillah Badr Al-Din az-Zarkasiy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, t.k., 1988, hlm. 40.
Surat al-An’am, Surat al-‘Araf, Surat Yunus, Surat Hud, Surat al-
Ra’d, Surat al-Hijr, Surat Subhan, al-Kahfi, Taha, al-Mu’minun, Surat al-
Naml, Surat al-Qasas, al-‘Ankabut, Surat al-Rum, Surat Lukman, Surat
Sajdah, Surat Al-Malaikat, Surat Al-Shafaat, Surat Shad, Surat al-Zumar,
Surat Fushilat, Surat al-Zuhruf, Surat al-Dhukhan, Surat al-Jatsyiah, Surat
al-Ahqaf, Surat Muhammad, Surat Qaff, Surat al-Najm, Surat al-Qomar,
Surat al-Mumtahanah, Surat Nun, Surat al-Ma’arij, Surat al-Mudatsir,
Surat al-Qiyamah, Surat al-Insan, Surat ‘Abasa, Surat al-Thariq, Surat al-
Ghasyiah, Surat al-Tin, dan Surat al-Kafirun.
Dan sebagian diantara mereka yang mengatakan bahwa beberapa
surat dalam al-Qur’an yang mengalami nasikh saja tetapi tidak mengalami
mansukh itu hanya terdapat di enam surat, yaitu:
Terdapat di Surat al-Fath, Surat al-Hasr, Surat al-Munafiqun, al-
Taghabun, Surat al-Thalaq, dan Surat al-‘Alaq.
Dan beberapa surat dalam al-Qur’an yang tidak terdapat nasikh-
mansukh ini terdapat di empat puluh tiga surat, yaitu:
Surat al-Fatihah, Surat Yusuf, Surat Yassin, Surat al-Hujuraat,
Surat al-Rahman, Surat al-Hadid, al-Shaf, Surat al-Jumuah, Surat al-
Tahrim, Surat al-Mulk, Surat al-Haqqh, Surat Nuh, Surat al-Jin, Surat al-
Mursalat, Surat al-Naba’ Surat al-Nazi’aat, Surat al-Infithaar, Surat al-
Muthafifin, Surat al-Insyiqaq, Surat al-Buruj, Surat al-Fajr, Surat al-Balad,
Surat al-Syams, Surat al-Lail, Surat al-Dhuha, Surat al-Insyirah, Surat al-
Qalam, Surat al-Qadr, Surat al-Infikak, al-Zalzalah, Surat al-‘Adiyat,
Surat al-Qariah, Surat al-Takastur, Surat al-Humazah, Surat al-Fiil, Surat
Qurayis, Surat al-Din, Surat al-Kaustar, Surat al-Nasr, Surat al-Lahab, al-
Ikhlas, Surat al-Falq, dan Surat al-Nas.95
3. Sifat dan Implikasi Nasikh-Mansukh
Naskh merupakan pokok masalah yang memilki kompleksitas yang
luas dan tinggi dalam teologi dan fiqih (yurispridensi) Islam. Paling tidak
ada dua jenis naskh yang diterima oleh mayoritas oleh ahli hukum
95 Ibn Jauziah, op. cit., hlm. 39-40. az- Zarkasiy, op. cit., hlm. 40-41.
Muslim, nask hukmi wa al-Tiwalah (penghapusan hukum maupun
teksnya) dan naskh al-hukm duna al-Tilawah, (penghapusan hukum tetapi
tidak teksnya).96
Secara fungsional, seperti ditegaskan oleh Muhammad Mahmud
Hijazi, keberadaan nasikh mansukh dalam pembentukan dan
pembangunan hukum sangatlah signifikan, bahkan benar-benar esensial
(daruri). Terutama ditengah-tengah umat (bangsa) yang pembangunan
hukumnya tengah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat
cepat. Dalam dunia medis dan kedokteran misalnya, apa yang tampak
sesuai untuk dijadikan obat pada hari ini, belum tentu cocok sebagai obat
untuk hal yang sama esok harinya.97
Jenis naskh yang pertama berhubungan dengan sejumlah ayat yang
pada suatu saat dikatakan oleh Nabi sebagai bacaan al-Qur’an, namun
kemudian Nabi sendiri mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak lagi
dianggap bagian dari al-Qur’an. Di sini kita tidak menaruh perhatian pada
fenomena seperti itu karena jelas hal itu bukan merupakan isi hukum.
Ayat-ayat yang diperbincangkan oleh umat Islam itu, tidak ada
gunanya untuk tujuan ini. Kita lebih memusatkan pada jenis nasikh yang
kedua, dimana suatu teks masih menjadi bagian dari al-Qur’an tetapi
dianggap tidak berfungsi secara hukum.
Prinsip nasikh yang diterima oleh sebagian besar ahli hukum Islam
terlepas dari adanya pandangan antara beberapa persoalan, apakah suatu
ayat tertentu telah atau belum dihapus oleh ayat-ayat yang lain dan apakah
sunah dapat menghapus hukum al-Qur’an, atau sebaliknya, namun mereka
menyepakati naskh itu sendiri.98
Sebagaimana contoh: bahwa pelegalan al-Qur’an terhadap praktek
perbudaan dimasa awal-awal Islam yang kemudian dihapuskan sama
96Abdullah An-Na’im, Dokonstruksi Syariah, Terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani, Yogyakarta, LKiS, cet I, 1994, hlm. 111. 97 Muhammad Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan
Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 27. 98 Abdullah An-Na’im, op. cit., hlm. 112.
sekali mengisyaratkan pengakuan al-Qur’an terhadap teori naskh-
mansukh. demikian juga halnya dengan pengalihan arah kiblat dari masjid
al-Aqsa ke Masjid al-Haram, pembolehan nikah Mut’ah yang kemudian
diharamkan, pelarangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan, dan lain-
lain yang teramat banyak jumlahnya.99
Sehingga tidak keliru jika dikatakan juga bahwa Rasul sering
mentoleransi perbedaan-perbedaan tersebut, bahkan beliau mentoleransi
perbedaan pemahaman para sahabat menyangkut ucapan-ucapan beliau.100
Namun perlu diingat kembali, bahwa mengingat prinsip naskh
(dalam pengertian yanlg sesuai dengan diskusi sekarang ini), telah lebih
dahulu muncul pada akhir abad pertama Islam, namun status dan
peranannya selama periode paling awal tidak jelas. Tampak misalnya, ia
mengandung pengertian yang terbatas bagi banyak sahabat Nabi saw, yang
mencari ayat al-Qur’an berikutnya untuk menciptakan suatu pengecualian,
pengkhususan makna, atau memperjelas ayat-ayat yang lebih awal
katimbang menghapus keseluruhan.
Secara signifikan terungkap bahwa teori naskh seperti
dikembangkan dan diterapkan oleh para ahli hukum tidak mempunyai
referensi dari Nabi, karena tidak ditemukan apapun dari Nabi tentang
adanya ayat-ayat yang dihapus dalam al-Qur’an dalam pengertian
penghapusan hukum suatu ayat yang masih dalam bagian dari teks al-
Qur’an. Inilah mungkin mengapa kita menemukan perbedaan pandangan
yang begitu luas dikalangan para sahabat mengenai ayat–ayat yang
dihapus dan ayat-ayat yang masih mengikat dan yang masih berfungsi.101
Harus diingat kembali bahwa pembaruan internal yang dilakukan
dalam kerangka syari’ah tidak memadai lagi ketika berhadapan dengan
isu-isu hukum publik, selama ijtihad dalam kerangka syari’ah tidak dapat
diuji validitasnya (meskipun dalam masalah-masalah yang telah diatur
99 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 31. 100 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 364. 101 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 112.
oleh teks al-Qur’an dan sunah jelas dan terperinci, maka tidak ada satupun
prinsip dan aturan yang berkaitan dengan status perempuan non-Muslim
yang dapat disetujui atau harus diubah melalui ijtihad modern untuk
menggunakan istilah yang historis.102
Sehingga dalam hal ini Muhammad Syaltut menyimpulkan bahwa:
a. Dalam masalah akidah, penetapan nasikh-mansukh haruslah
menggunakan argumentasi yang bersifat qath’iy’.
b. Hal-hal yang tidak bersifat qath’iy, dan terjadi perbedaan pendapat di
dalamnya, tidak dapat dianggap sebagai masalah aqidah, dan tidak
pula pendapat oleh kelompok tertentu dalam masalah tersebut
merupakan pendapat yang (pasti) benar, sedangkan selainnya salah.
dan
c. Kitab-kitab yang membahas mengenai teologi, itu tidak hanya berisi
tentang masalah kewajiban saja yang harus diikuti, bahkan ia memiliki
kualitas yang tinggi, disamping itu memiliki potensi pada beberapa
teori ilmiah di mana argumentasinya saling bertentangan sehingga
teori tersebut bisa dipastikan, merupakan hasil dari konsensus ijtihad
para Ulama’.103
4. Karekteristik Teori Nasikh- Mansukh
a. Adanya pertentangan (Ta’rudl) antara hukum dengan hukum yang
lain.
Jika terjadi pertentangan antara dua zhahir nash al-Qur’an,
maka kedua nash tersebut harus di pertemukan dengan berbagai cara
untuk mempertemukan kedua nash adalah sebagai berikut:
1) Jika salah satu dari kedua nash tersebut menunjukkan pengertian
khusus (khash), jika yang lain berbentuk umum (‘Aam), maka nash
yang khash tersebut mentakhsis yang ‘am.104
102 Ibid., hlm. 114. 103 Quraish Shihab, op. cit., hlm. 367. 104 Ibn Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.,
hlm. 23. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 211.
2) Bila salah satu dari keduanya ketentuan ketentuan dasar syari’at,
sementara nash yang lainnya menyalahinya, maka nash-nash yang
menyalahinya harus dita’wilkan sehingga nash tersebut dapat
dipertemukan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ta’wil.
3) Apa bila tidak ada jalan yang dapat ditempuh untuk
mempertemukan kedua nash yang zhahirnya bertentangan tersebut,
maka mujtahid mengambil nash yang lebih kuat sanadnya. Jika
salah satu dari keduanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, yang satunya
berupa hadits ahad maka hadist tersebut masuk dalam katagori
hadis yang lemah sanadnya.
Jika jalan tersebut tidak dapat ditempuh, maka nash yang
menjelaskan pada hukum yang mengharamkan suatu perbuatan, lebih
didahulukan dari pada nash yang memperbolehkannya. Namun,
menurut pendapat yang lain nash di atas dibiarkan saja jika timbul
saatnya nash tersebut diketahui, maka nash yang datangnya lebih
akhir (belakangan) menaskh nash yang datang lebih dahulu. Disinilah
obyek nasikh (yang mengganti) dan mansukh (yang diganti)105
b. Ayat mansukh turun lebih dahulu dari pada nasikh.
Sebagaiman terdapat dalam (QS. [2] al-Baqarah:240), dan ayat
(QS. [2] al-Baqarah: 234), bertentangan dengan (QS: [4] al-Nisa: 43)
pada ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa keberadaan nasikh
mansukh dalam artian perubahan dan penggantian hukum suatu
masalah dalam lingkungan hukum Islam (fiqih) hingga sekarang masih
dan ingsyaallah akan terus berlanjut, termasuk di Indonesia.
Penghalalan, kemudian pengharaman dan penghalalan kembali produk
Ajinomoto di Indonesia lebih kurang dua tahun yang lalu, merupakan
salah satu contoh pemberlakuan nasikh mansukh dalam lingkungan
hukum shar’i yang ditopang dengan kaidah “al-Hukmu yadurru ma’a
‘illatihi wujudan wa’adaman” yang telah disebutkan di atas.
105 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta,
Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 282-283
Demikian pula dengan kemungkinan pencabutan pembatalan
keharaman hukum vasektomi yang semula diduga kuat (zann) akan
menjadi penghalang permanen bagi pelakunya dari kemungkinan
memberikan pembuahan (kehamilan) kepada istri tetapi dengan cara
rekonsialisasi, vasektomi kemudian sekarang ini telah bisa diatasi.106
C. Pandangan Ulama terhadap Teori Nasikh-Mansukh
Abdul Wahab al-Khallaf berpendapat bahwa memeng terdapat nasikh
sebelum Rasulullah wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasikh
itu.107 Suyuti lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh.108
Muhammad bin ‘abdullah az-Zarkasiy dan az-Zarqaniy kedua beliau
cenderung menolak nasikh.109 Sedangkan jumhur ulama menyetujui adanya
naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai me-nasikh al-Qur’an dengan
sesama al-Qur’an, hal ada tiga, sebagaimana keterangan di masa atas, 110apalagi dengan persoalan me-nasikh al-Qur’an dengan al-Hadits.
Kebanyakan ulama atau yang umum dikenal dengan sebutan Jumhur,
berpendirian bahwa me-nasikh sebagian ayat al-Qur’an dengan sebagian yang
lain hukumnya boleh bahkan diantara mereka ada yang tidak keberatan untuk
menasakh al-Qur’an dengan al-Hadits.111
Di samping alasan-alasan di atas, mereka berpendapat bahwa dalam al-
Qur’an, secara implisit, memang mengandung konsep nasikh. Oleh karena itu,
jika seorang ingin menafsirkan al-Qur’an, maka ia harus terlebih dahulu
mengetahui tentang nasikh dan mansukh112
106 Muhammad Amin Suma, “Nasikh-Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan
Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, No. 1, Vol. 1, Januari 2005, hlm. 31-32. 107 Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm 222. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 176. 108 asy-Suyuti, op. cit., hlm. 21-22. 109 az-Zarkasiy, Badr Al-Din Muhammad bin Abdillah, al-Burhan fi Ulum al- Qur’an,
jilid II, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 44. az- Zarqaniy, op. cit., hlm. 239. 110 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 236-237. 111 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 32. 112 asy-Suyuthi, op. cit., hlm 27. az-Zarkasiy, op. cit., hlm 29. az-Zarqaniy, op. cit., hlm.
174-175.
Diskursus nasikh sudah ada bersama dengan munculnya keinginan
umat Islam mempelajari al-Qur’an secara mendalam sejak periode sahabat
hingga sekarang. Bersamaan dengan munculnya diskursus nasikh ini, terdapat
perbedaan tentang terminologi nasikh. Para ulama mutaqaddimin (abad I
hingga abad III H) memperluas arti nasikh sehingga mencakup:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum
yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Sehingga perbedaan pendapat dikalangan ulama sulit untuk
dihindarkan, baik dari peristilahan hingga hakikat naskh sendiri dalam al-
Qur’an. Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh
apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti
misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah
disaat kaum muslimin lemah, dianggap telah di-nasikh oleh perintah atau izin
berperang pada periode Madinah, sebagaimana yang beranggapan bahwa
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa
pra-Islam merupakan dari pengertian nasikh.113
Secara garis besar, ada dua kelompok pendapat yang membicarakan
naskh ini; pertama kelompok yang setuju (pro) kedua kelompok- kelompok
yang tidak setuju (kontra), yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahaniy.
113 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 144. Abdul Azim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Al-Halabiy, Mesir, 1980, hlm. 254. az-Zarkasiy, Badr al-Din Muhammad bin Abdillah, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Dar al-Fikr, 1988, hlm 49. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 242.
i. Pandangan Ulama’ Klasik.
Abu Qasim yang dikenal dengan Abu Salamah telah menyatakan
bahwa dalam al-Qur’an hanya sekitar 43 surat terdapat di dalamnya nasikh
mansukh; 6 surat nasikh saja; dan 40 surat mansukh saja.
Sedangkan Zarkasiy mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat
43 surat yang di dalamnya tidak mengalami nasikh dan mansukh, 6 surat
yang nasikh saja, 40 surat yang mansukh saja, 31 surat yang nasikh dan
mansukh.114
Imam bin Abdillah Muhammad bin barakat al-Sa’di. Beliau
menyaksikan perkataan al-Nakhas. Perlu diketahui kembali bahwa al-
Qur’an diturunkan dari langit secara utuh (satu kesatuan) dalam al-kitab,
yaitu di dalam lauh al-Mahkfudz, sebagaimana firman Allah Swt:
’Îû 5=≈tGÏ. 5βθãΖõ3Β ∩∠∇∪ āω ÿ… çµ�¡yϑtƒ āω Î) tβρã� £γ sÜßϑø9 $# ∩∠∪
Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. {56} al-Waqiah: 78-79) Sehingga dari sini para ulama berselisih pendapat dikatakan
mansukh yaitu apa yang telah di angkat bacaannya ketika diturunkannya
al-Qur’an. Sebagaimana mengangkat pekerjaannya. Kemudian dari sini
timbul pertanyaan sederhana apa hikmah dari ditetapkan hukumnya?
Sesungguhnya hal itu untuk membuktikan kadar ketaqwaan
terhadap umat terhadap tindakan pengendalian diri pada prasangka yang
tidak dapat menghantarkan untuk mencari jalan keluarnya. Maka mereka
bergagas untuk mencari sesuatu, sebagaimana Nabiyullah Ibrahim
Khalilullah AS, bersegera untuk menyembelih anaknya diwaktu tidur.
karena tidur itu lebih dekat dalam proses penerimaan wahyu.115
Adanya menurut para pendukung ini didasarkan kepada (QS. [16]
al-Nahl: 101), dan QS. [2] al-Baqarah: 106).
114 az-Zarkasiy, op. cit., hlm. 40. 115 az-Zarkasiy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut, Dar al-Fikr, cet II, 1988,
hlm. 44.
#sŒ Î)uρ !$ oΨø9 £‰t/ Zπ tƒ#u šχ%x6 ¨Β 7π tƒ#u � ª!$#uρ ÞΟn=ôãr& $ yϑÎ/ ãΑÍi”t∴ム(# þθ ä9$ s% !$ yϑ‾ΡÎ)
|MΡr& ¤�tIø'ãΒ 4 ö≅ t/ óΟèδ ç�sYø.r& Ÿω tβθ ßϑn=ôètƒ ∩⊇⊃⊇∪
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(QS. [16] an-Nahl: 101)
Berdasarkan ayat di atas bahwasanya Allah swt, telah
menurunkan ayat di tempat yang lain sebagai pengganti ayat yang
telah turun di masa lalu, sehingga pendapat ini menjadi tendensi
khusus bagi para pendukung nasikh.
$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ô ÏΒ >πtƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö� sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$ yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès? ¨βr&
©!$# 4’n? tã Èe≅ä. & ó x« í�ƒ ωs% ∩⊇⊃∉∪
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS: [2] al-Baqarah: 106)
Ayat tersebut berbicara, bahwa Allah swt, berfirman secara
konkrit dan jelas dalam ayat tersebut, di mana peryataan Allah
benar-benar mengganti ayat satu dengan ayat yang lain dengan
yang lebih baik lagi atau dengan yang semisal.
Menurut penulis ayat ini berarti dapat dikonotasikan
dengan persoalan tentang hukum, bahwa ketentuan hukum dari
hukum satu kehukum yang lain merupakan suatu perbaikan yang
terus di lakukan sepanjang peradaban manusia, sejak Nabi Adam
hingga Nabi Muhammad saw., dengan melihat situasi dan kondisi
masyarakat setempat, sehingga terciptalah masyarakat yang
Baldatun Thayibatun wa rabun gofur dengan berprinsip kepada
norma-norma kemanusian, dengan demikian ayat tersebut banyak
dikalangan ulama yang mengambil ayat ini sebagai pijakan atau
landasan berfikir ke teori nasikh.
Dan berdasarkan pernyataan Ali Bin Abi Thalib kepada seorang
Hakim:
هلكت واهلكت , تعرف الناسخ من المنسوخ قال الا“Apakah kamu mengerti tentang nasikh-mansukh? Tidak, jawabnya. (kalau begitu) kamu binasa dan membinasakan orang lain, ujar Ali).
Dijelaskan oleh mereka syari’at yang dibawa setiap rasul itu
menaskh syari’at yang datang sebelumnya.ayat 48 dari surat al-Maidah
sebagaimana yang telah dikemukakan mereka menunjukan
diperbolehkannya nasikh ayat sebagai dimaksud. Hal ini merupakan
penolakan ayat yang berlaku bagi mereka. Kendati mereka sepakat adanya
naskh dalam al-Qur’an, namun dalam penerapannya terjadi perbedaan
pendapat.
Imam Malik, Madzhab Abu Hanifah, dan jumhur Mutakallimin
dari Asy ‘ariyyah dan Mu’tazilah mereka sepakat bahwa nasikh tidak
terjadi antar ayat dalam al-Qur’an semata, tetapi sunah pun dapat menaskh
al-Qur’an, alasan mereka bahwa al-Qur’an sebagaimana al-Sunnah,
merupakan wahyu Allah swt.
$ tΒ uρ ß, ÏÜΖtƒ Çtã #“uθ oλ ù; $# ∩⊂∪ ÷βÎ) uθ èδ āω Î) Ö óruρ 4 yrθム∩⊆∪
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. [53] al-Najm 3-4).
Karena sunah yang dapat menasikh al-Qur’an hanyalah sunnah
yang Mutawatir, sedangkan hadis ahad tidak menaskhnya, karena
termasuk dalil zhanni dan al-Qur’an termasuk dalil Qat’i.116 Sedangkan
116 Muhammad ‘Abd al-‘Azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II,
Beirut, Dar al-Fikr, 1980, hlm. 241.
Imam Syafi’i117 (w 204 H) Ahmad bin Hambal dan Madzhab al-Zhahiri
menolak bahwa al-sunnah dapat menaskh al-Qur’an, sebab kedudukan
Rasullullah hanya sebagai dasar dalam menjelaskan al-Qur’an.
Sebagaimana firman Allah swt.
ÏM≈uΖÉi�t7 ø9 $$ Î/ Ì� ç/–“9$#uρ 3 !$uΖø9 t“Ρr& uρ y7 ø‹s9 Î) t�ò2Ïe%!$# t Îit7 çF Ï9 Ĩ$ ¨Ζ=Ï9 $ tΒ tΑÌh“ çΡ öΝÍκö� s9Î)
öΝßγ ‾=yès9 uρ šχρã� ©3x'tGtƒ ∩⊆⊆∪
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS. [16] al-Nahl: 44).
Pada masa sebelum Abu Muslim al-Isfahaniy dan kawan-kawan
(254-322 H.)118 mayoritas ulama tanpa ragu menetapkan ayat-ayat yang
termasuk nasikh dan ayat-ayat yang termasuk mansukh. Ia kemudian
diikuti oleh para ulama mutaakhirin.119
Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Muslim al-Isfahaniy, juga
di dukung oleh az-Zarqaniy kedua beliau ini (menolak adanya naskh) dan
namun, bagi yang sependapat dengannya mengatakan bahwa QS. al-
Baqarah: 106. Yang oleh para pendukung naskh kata ayat sebagian ayat al-
Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum, diartikan oleh
mereka mukjizat Nabi Muhammad,120 Sebagaimana firman Allah swt.
117 Prihal me-nasikh al-Qur’an dengan sunah, beliau menolak dan tidak membenarkan
sama sekali, Maksudnya beliau ialah mengagungkan kitabullah dan Sunnah Rasulnya serta menjaga saling keterkaitan dan kecocokannya. Jika kedua-duanya tidak cocok maka sunnah di-nasikh oleh al-Qur’an. Subhi Shalih, Mabahis fi Ulumil al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1985, hlm. 340. al-Risalah, karya Imam asy-Syafi’i.
118 Nama lengkapnya adalah muhammad bin Bahr, dikenal dengan Abu muslim al-ashfahani penganut Madzhab Mu’tazilah, termasuk Ulma’ahli Tafsir kenamaan. Wafat pada tahun 322 H. Subhi Shalih, loc. cit.,
119 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 177.
120 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 147-148.
ö≅ t/ (# þθ ä9$s% ß]≈ tó ôÊ r& ¥Ο≈ n=ôm r& È≅t/ çµ1u�tIøù$# ö≅t/ uθèδ Ö�Ïã$ x© $ uΖÏ?ù' uŠù=sù 7π tƒ$ t↔Î/
!$ yϑŸ2 Ÿ≅Å™ö‘ é& tβθ ä9ρF{ $# ∩∈∪
“Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Qur’an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (QS. [21] al-Anbiya: 5)
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa seandainya Allah
membolehkan adanya nasikh, maka hal ini mencerminkan adanya dua
kebatilan, yakni ketidaktahuan-Nya dan sesuatu yang sia-sia.121 Hal ini
jelas bertentangan dengan.
āω ϵ‹Ï?ù' tƒ ã≅ÏÜ≈t7 ø9 $# . ÏΒ È ÷t/ ϵ ÷ƒ y‰tƒ Ÿωuρ ô ÏΒ ÏµÏ'ù=yz ( ×≅ƒÍ”∴s? ô ÏiΒ AΟŠÅ3ym
7‰ŠÏΗxq ∩⊆⊄∪
“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. [41] Fushilat: 42)
Atas dasar ayat ini, Abu Muslim, mengatakan bahwa ayat-ayat
yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ada yang batal. Oleh karena itu jika
nasikh diartikan membatalkan, maka yang demikian itu bertentangan
dengan ayat tersebut. Atas dasar itu ia lebih suka menyebut kata naskh
dengan istilah takhshis122. Karena untuk mencabut bagian-bagiannya saja,
harus ditempuh dengan majaz. Kata “keumuman” adalah subjek pokok
bagi setiap bagian, tidak membatasi bagian-bagian lainnya kecuali disertai
pengkhususan.
Pengkhususan bila terjadi pada berita-berita hadist dan lain-lain,
sedangkan nasikh tidak terjadi pada sebaliknya. Diantara dalil-dalil yang
121 az-Zarqaniy, op. cit., hlm 199. Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan
Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 155. 122 Definisi takhshis adalah membatasi dengan keumuman sesuatu hanya pada baian-
bagiannya, dan membatasi seperti itu tidak benar-benar mencabut beberapa bagian dari ketetapan hukum. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 184-185.
melandasi “pengkhususan” ialah fikiran dan perasaan, di samping
kitabullah dan Sunnah Rasul.
Adapun pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak nasikh, sebagaimana
dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Ashfahani yang berargumentasi:
a. Sekiranya al-Qur’an ada yang di-mansukh-kan berarti ada sebagian
yang dibatalkan.
b. Al-Qur’an adalah syari’ah yang kekal dan pribadi sampai hari
kemudian, hal ini menghendaki hukumnya untuk berlaku untuk
sepanjang masa dan tidak ada yang dinasakhkan. Kebanyakan hukum
al-Qur’an bersifat kulli bukan juz’i, dan penjelasan dalam al-Qur’an
bersifat ijmal bukan tafshil, ini dikehendaki agar tidak ada hukum yang
dimansukhkan.
c. Tentang ayat-ayat yang dikatakan telah dihapuskan bacaannya
misalnya tentang rajam, sangat diragukan kebenarannya, ini nampak
dengan kata-kata Umar sendiri. “kalau tidak karena khawatir bahwa
orang-orang yang berkata” :Umar telah menambahkan kitab Allah”.
Tentu aku akan menulisnya, karena kita telah membacanya.123
d. Dalam menjawab pertanyaan yang berbunyi:
$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ô ÏΒ >πtƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö� sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$ yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès? ¨βr&
©!$# 4’n? tã Èe≅ä. & ó x« í�ƒ ωs% ∩⊇⊃∉∪
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. [2] al-Baqarah: 106)
Abu Muslim menafisirkan bahwa kata lafal yang disitu dengan
kata mu’jizat, kalau Abu Muslim al-Ashfahani dan rekan-rekannya
dianggap telah mencampur pengertian naskh dengan Rasulullah saw,
menurut Zarqaniy dalam Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an, beliau berkata:
123 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 78.
pada ayat tersebut beliau menunjukan bahwa larangan menasikh al-Qur’an
dengan sunah, karena sunah tidak lebih baik dari pada al-Qur’an, dan tidak
menerima selain al-Qur’an-dengan al-Qur’an. atau ayat pada kitab
sebelum al-Qur’an, yang di-mansukh-kan oleh al-Qur’an.124 Oleh karena
itu, munculah kaidah yang mnyebutkan:
النسخ لحكم شرعي في القران او السنة بعد وفاةالرسول ص م واما في حيا
ومسايرته المصالح نسخ بعد االحكام, ته فقد اقتضت سنة الدرج بالتشريع
.التي وردت فيهما ببعض نصو صهما نسخا كليا اونسخا جزئيا“Tidak ada nasakh (penghapusan) terhadap hukum syara’ dalam al-Qur’an ataupun sunah setelahnya Rasul Saw. adapun ketika ketika masa hidup beliau .Adapun pada masa hidupnya, sunah keter tahapan dalam pembentukan hukum dan kesejalanannya dengan kemaslahatan menghendaki penghapusan sebagian hukum yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan sebagian nash keduanya dengan penghapusan secara keseluruhan atau penghapusan sebagian.125
Pengertian takhshish (pengkhususan), dan dianggap juga bersikap
“tidak sopan” terhadap Allah karena lebih suka menggunakan kata
takhshish yang dibuatnya sendiri dari pada menggunakan kata nasikh yang
diyatakan oleh al-Qur’an, maka orang-orang yang bertahan pada istilah
naskh bersikap sangat berlebih-lebihan dalam masalah itu.126 Karena pada
dasarnya persoalan takhshis tidak boleh menasikh.127
ii. Pandangan Ulama Modern
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh ulama yang datang
kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan
hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan yang terakhir.
124 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 240. 125Totok Jumantoto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqh, t.k., Amzah, cet I,
2005, hlm. 250. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 236.
126Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm 342. Manna’ al-Qattan, loc. cit.,
127 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 242
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat al-
Qur’an yang mencakup pada butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan
oleh ulama mutaqaddimin tersebut, Namun istilah yang diberikan untuk
hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshis (penghkususan).128
Lalu kemudian menjadi perselisihan adalah butir a, dalam arti
adalah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang
menyatakan adanya nasikh dalam pengertian tersebut mengemukakan
alasan-alasan berdasarkan aql dan naql (al-Qur’an).129
Perkembangan nasikh-mansukh semakin menyempit sebagaimana
yang diungkapkan oleh ulama-ulama modern seperti Muhammad Abduh
(w 1325 H), Muhammad Rasyid Ridha, dan Taufiq Siddiqi (w 1298 H).
semua mendukung pendapat Abu Muslim al-Isfahaniy, Abduh misalnya
berpendapat bahwa kata-kata dalam al-Qur’an QS.al-Baqarah ayat 106
ditafsirkan secara metafor (majaz), yakni mukjizat, hal ini dapat dipahami
dalam kaitannya dengan ayat berikutnya, al-Baqarah ayat; 107 dan 108,
sebagai ayat jawaban permintaan orang-orang bani Israil dan kroni-kroni
Fir’aun yang menghendaki mukjizat khusus.130
Namun berbeda dengan Syaikh Manna’ al-Qattan beliau termasuk
menerima pernyataan nasikh- mansukh dalam al-Qur’an, dengan
melontarkan beberapa kreteria secara tegas: “bahwa cara mengetahui
nasikh mansukh itu ada beberapa cara”. Yaitu: harus mengetahui dalil
secara jelas sharih, harus ada (Ijma’) kesepakatan umat terhadap persoalan
mana dalil yang nasikh dan mana dalil yang mansukh, dan mengetahui
sejarah orang-orang mutaqaddimin dan orang-orang mutaakhirin. Beliau
juga menambahkan bahwa dalam masalah nasikh-mansukh itu tidak ada
kaitannya dengan persoalan ijtihad, tidak mengandung peryataan dari ahli
128 M. Quraish Shihab, loc. cit., 129az-Zarqaniy, loc.cit., 130 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Jilid I, Mesir: Dar al-Manar, t.th., hlm. Supiana
dan Karman, Ulumul al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 156.
tafsir dan tidak ada dalil yang dianggap samar bertentangan dengan dalil
yang sudah jelas.131
Lalu munculah mufasir dari Indonesia, Hasbiy al-Shiddiqi, beliau
juga mengguatkan pendapat Isfahaniy ia mengatakan bahwa ayat yang
kelihatan bertentangan satu dengan yang lainnya, sesungguhnya ayat itu
bisa dikompromikan, misalnya melalui pentakwilan salah satu ayat yang
dipandang kontradiktif itu. Ia menyuguhkan contoh ayat, yakni pada surah
al-Baqarah ayat 180 tentang mawaris.
Ayat ini menurut pendukung nasikh dan mansukh dianggap batal,
padahal menurut al-Isfahaniy tidaklah bertentangan dengan ayat mawaris,
karena tidak ada pertentangan antara memberi pusaka dengan wasiat
tentang sebagian pemberian dari Allah swt. Namun sekiranya tetap
dipandang mansukh, maka ayat waris dianggap sebagai pen-takhshis-an. 132
Menurut Hasbiy, ia menyatakan dengan ringkas kami terangan
takwil-takwil yang dapat dipergunakan untuk menghilangkan pendakwaan
naskh dalam ayat-ayat ini, sebagaimana ia mengikuti pendapat ar-Razi
nyata kepadanya mufassir besar menolak adanya nasikh dalam al-Qur’an,
di mana ia juga condong dengan pendapatnya Abu Muslim.
Menginggat bahwa dasar menetapkan naskh ialah bertentangan,
maka apabila hilang pertentangan ini, dengan sendirinya maka
pendakwaan naskh itu menjadi gugur, dengan berpegang bahwa tidak ada
nasikh maka menurut Hasbiy merasa puaslah karena tegasnya bahwa
seluruh al-Qur’an ayat-ayatnya berlaku Muhkamat.133
Berbeda halnya menurut Ibn Jauzi, ketika menanggapi.
Sebagaimana firman Allah swt.
131Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 234 132az-Zarqaniy, op. cit., hlm 242-243. T. M. Hasbiy al-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar
Tafsir dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, cet VII, 1980, hlm. 126. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 157.
133 Ibid., 132.
|= ÏGä. öΝä3ø‹ n=tæ #sŒ Î) u�|Øym ãΝä.y‰tn r& ßNöθ yϑø9 $# βÎ) x8t� s? # ��ö� yz èπ§‹ Ï¹uθ ø9 $#
Ç÷ƒ y‰Ï9≡ uθ ù=Ï9 tÎ/t� ø%F{$#uρ Å∃ρã� ÷èyϑø9 $$ Î/ ( $ ˆ)ym ’n? tã tÉ)−F ßϑø9 $# ∩⊇∇⊃∪
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. [2] al-Baqarah:180)
Menurutnya ayat ini menjadi perselisihan dikalangan mufassir,
apakah wasiat itu wajib atau tidak? Hal ini memiliki dua pendapat.134
Sesungguhnya wasiat itu sunah bukan wajib menurut golongan
Sa’bi dan Nakha’i karena ia mengambil dalil ”sesuatu yang sudah
diketahui kebaikannya maka tidak ada kewajiban baginya dan dikuatkan
oleh kata (al-al-Mutaqqin) bahwa kewajban tidak bisa ditentukan
berdasarkan nilai ketakwaan seseorang.
Pendapat yang kedua, bahwa wasiat itu wajib lalu di salin (di-
nasikh), menurut kebanyakan mufassir, mereka berdalih pada kata (kutiba)
kata ini menggandung arti kewajiban, sebagaimana firman Allah, (kutiba
‘alaikum al-siyam).
Kemudian pendapat yang kedua inilah yang digunakan oleh
kebanyakan ulama, meskipun terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama tentang wajibnya berwasiat serta nasikh, namun nantinya tetap
mangalami mansukh dalam hal ini terdapat tiga pendapat;
a. Pendapat pertama semua ayat yang berkaitan dengan wasiat maka
hukumnya wajib disalin (mansukh).
b. Sesunggunhnya persoalan nasikh terhadap ayat wasiat itu hanya urusan
kedua orang tua.
c. Nasikh yang berkaitan pada ayat wasiat itu hanya pada orang yang
berhak mendapat warisan tidak di-nasikh oleh kerabat dan orang yang
tidak berhak mendapat warisan. Menurutnya ayat diatas tidak tejadi
134 Al-Hafidh Jamaluddin Abi al-Farj Abd al-Rahman Bin Al-Jauzi al-Farsyi al-
Baghdadhi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub, al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 58.
pertentangan, tidak ada pen-takhsihsi-han dan tetap mengalami nasikh-
mansukh.135
Ayat wasiat menurut Hasbiy, mewajibkan untuk kerabat,
sedangkan waris mengecualikan kerabat yang menerima waris di dalam
umumnya ayat. Lebih lanjut ia mengatakan ibu bapak tidak selamanya
mengambil waris ibu bapak bisa mengambil waris bisa juga tidak,
mungkin disebabkan oleh perbedaan agama, perbudakan dan
pembunuhan.136
iii. Pandangan Ulama Kontemporer
Abdullah An-Na’im beliau merupakan ulama yang bereksperimen
melalui Absolutisme (Fundamentalisme) dan sekularisme umat islam,
dalam menjawab tantangan discourse kontemporer: keadilan, demokrasi,
kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap
lingkungannya. Tampak jelas jawaban yang diberikan oleh umat Islam itu
belum memadai, untuk tidak mengatakan mengecewakan.
Jawaban fundamentalistik diajukan sebagai upanya menegaskan
bahwa masalah yang muncul kemudian adalah naskh itu permanen, yang
demikian adalah teks-teks Mekkah yang lebih awal itu tidak dapat
dipraktikan di masa depan. Menurut Ustad Mahmod, hal ini tidak
mungkin, jika demikian halnya, maka tidak ada halnya pewahyuan teks-
teks tersebut.137
Dia juga berpendapat bahwa membiarkan naskh menjadi permanen
berarti membiarkan umat islam menolak bagian dari agama mereka yang
terbaik. Ia menjelaskan, bahwa naskh secara esensial merupakan proses
logis dan dibut uhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda
penerapan teks yang lain sampai saat yang memungkinkan penerapan teks
itu tiba.
135 az-Zarqaniy, loc. cit., Ibn al-Jauzi, op. cit., hlm. 59-60. 136 T. M. Hasbiy, hlm loc. cit., 137 Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta, LKiS, cet I, 1994,
hlm. 110
Muhammad Syahrur, menolak adanya konsep nasikh dalam al-
Qur’an, selain karena pemahaman tentang nasikh seperti itu merupakan
produk dari pemerintahan yang tirani, juga karena tidak ditemukan riwayat
yang mengatakan bahwa nabi Muhammad saw. telah memerintah para
sahabatnya untuk meletakkan suatu ayat dari al-Qur’an ditempat yang lain
atas nama nasikh dan mansukh, demikian juga tidak pernah sampai secara
Mutawatir beliau mengisyaratkan atau menyebutkan hal ini. 138
Namun meskipun demikian bahwa Syahrur tetap mengakui
keberadaan konsep naskh sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 106,
menurut Syahrur , nasikh dalam ayat tersebut diatas adalah naskh antar
syariat-syariat samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat an-
Nahl ayat 101; kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di atas diartikan oleh
Syahrur sebagai risalah samawi dan bukan sejumlah ayat dalam al-Qur’an
sebagaimana yang di duga oleh sebagian orang-orang.
Setiap ayat menurut Syahrur memilki bidang area, dan setiap
hukum memiliki ruang untuk pengamalannya. Oleh karena itu tidak
mungkin ada pergantian ayat-ayat yang memuat syariat yang satu bagi
rasul yang satu, tetapi pasti terjadi pergantian syari’at di antara syari’at
yang berbeda-beda dan rasul yang datang berurutan.139
Nasr Hamid Abu Zaid, menurutnya Ulama’ kuno
mengklasifikasikan pola-pola nasikh dalam al-Qur’an sesuai dengan
berbagai konsep yang berbeda-beda mengenai nasikh. Apa bila kita
memperhatikan watak teks yang me-nasikh dan di-nasikh maka kita
berada dalam wilayah membandingkan antara al-Qur’an dan Hadits.
Apakah boleh teks al-Qur’an di-nasikh dengan teks-teks sunnah? Dalam
menjawab pertanyaan ini, ulama berselisih pendapat.
Menurutnya, ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an hanya dapat
di-nasikh dengan al-Qur’an, seperti yang difirmankan oleh Allah swr, ayat
apa saja yang kami naskh atau kami buat terlupakan, akan kami datangkan
138 Muhammad Syahrur, op. cit., hlm. 275. 139 Ibid., hlm. 192.
yang lebih baik darinya ataub yang sebanding dengannya, ‘maka
mengatakan: ‘yang sebanding dengan al-Qur’an hanyalah al-Qur’an.’140
Ada yang berpendapat, bahkan al-Qur’an dapat di-nasikh dengan
sunah dengan sunnah juga berasal dari Allah swt. Allah berfirman Allah
berfirman: Dan, tidaklah ia (Nabi) mengatakan berdasarkan hawa nafsu.
Sebagai contohnya adalah ayat wasiat.....yang ketiga, apabila sunnah
berasal dari perintah Allah melalui wahyu maka ia dapat me-nasikh.
Apabila berasal dari ijtihad maka tidak dapat me-nasikh. Diceritakan dari
ibn Habib an-Naisaburi dalam tafsirnya.
Asy-Syafi’i mengatakan: “Sekiranya al-Qur’an di-nasikh dengan
sunnah saat itu ada al-Qur’an yang menguatkannya, dan sekiranya sunnah
di-naskh dengan al-Qur’an maka bersamaan dengan itu ada hadits yang
memperkuatkannya. Ini terjadi karena ada kesesuaian al-Qur’an dengan
Sunnah.”141
Menurut pendapat Asy-Syafi’i, al-Qur’an hanya dapat di-nasikh
oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, hadist mutawatir, apalagi hadist Ahad
tidak dapat me-nasikh-nya. Pendapat Asy-syafi’i karena berdasarkan pada
zhahir nash-nash al-Qur’an yaitu: QS. al-Baqarah: 106, an-Nahl: 101, ar-
Ra’ad: 39.142
Sebenarnya, kontradiksi antara pendapat-pendapat semacam ini
muncul karena tidak ada perbedaaan antara teks agama, dan batas-batas
yang memisahkan antara teks tersebut tidak dikenali. Sikap Asy-Syafi’i
paling dekat dengan konteks teks dilihat dari pendapat yang dipeganginya,
bahwa tataran teks yang berkaitan dengan nas hukum, sepadan. Kalaupun
Az-Zarkasyi menolak pendapat asy-Syafi’i, ketika mengatakan:
“Bukti dari firman-Nya adalah dipergunakannya hukum cambuk dalam hukuman zina terhadap janda yang dirajam sebab dalam hal ini yang mengugurkannya hanyalah sunnah, perbuatan Nabi Saw.”.
140 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj.
Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta, LKiS, cet IV edisi Revisi, 2005, hlm. 150. 141 Ibid., hlm. 150. 142 Abu Zahrat, Ushul Fikh, Terj. Saeful Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX,
2005, hlm. 304.
Dalam perspektif pemahaman dalam fenomena nasikh, Nasr
Hamid Abu Zaid mengatakan, bahwa ulama kuno tidak lepas dari
kekeliruan, dan kekeliruan ini muncul karena tidak ada sikap kritis
terhadap riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ilmu naskh dan mansukh
pada satu sisi, dan pada sisi lain mereka mengedepankan pola penukilan
saja dari ulama kuno dan menkompromikan antar pendapat, ijtihad, dan
riwayat meskipun masalah ini berkaitan dengan pengetahuan tentang
asbabun Nuzul. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan ijtihad, tidak
sekedar berhenti dengan upaya mengkompromikan antara riwayat yang
ada.143
Sementara itu Sayyid Qutb menilai bahwa beliau mengakui adanya
naskh dalam al-Qur’an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan
kandungan ayatb 106 surat al-Baqarah,144dalam ayat tersebut beliau
menilai sebagaimana Allah swt., menunjukan mukjizat rasul yang telah
lalu, maupun mukjizat para rasul setelahnya.145Beliau juga mengemukakan
hal nasikh yakni “peralihan” (ta’dil) sebagian perintah ataupun ketentuan
hukum seiring perkembangan masyarakat Muslim, secara khusus secara
konteks ayat tadi menyangkut tahwil al-Qiblah (peralihan Qiblah) ataupun
ketentuan hukum yang ada pada kitab yang terdahulu. Bahkan naskh
mencakup hukum takwini. Kenyataan demikian sering digunakan oleh
orang-orang Yahudi untuk menyangsikan kebenaran al-Qur’an.146
Bila dicermati, Qutb menggunakan dua term: ta’dil (pengalihan)
dan nasikh (penghapusan). Menurut Mahmud Arif, term pertama lebih
digunakan untuk menunjukan nasikh ketentuan hukum ayat al-Qur’an
dengan ketentuan hukum al-Qur’an yang lainnya, yakni: penghapusan
hukum tasyri’ yang tidak sesama dengan al-Qur’an, penghapusan syari’at
terdahulu dan penghapusan hukum takwini. Dengan ta’dil ia melihat naskh
143 Nasir Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 151. 144Abdul Mustaqim (ad.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai
Metodelogi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 115. 145Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dhilalil al-Qur’an, Jilid I, Beirut, Dar Syuruq, cet XVII, 1992,
hlm. 99 146 Abdul Mustaqim (ed.), loc. cit.,
tidak sampai berakibat pada hapus dan disfungsinya ketentuan hukum
pertama oleh ketentuan hukum kedua. Ketentuan hukum pada ayat yang
pertama masih berlaku, meski tidak lagi sepenuhnya.147
M. Quraish shihab merupakan ulama’ kontemporer beliau
menyatakan bahwa persoalan nasikh-mansukh dalam hal ini beliau
cenderung memahami pengertian naskh dengan pergantian atau
pemindahan dari satu wadah kewadah yang lain, sebagaimana pengertian
etimologi kata nasikh. Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’an tetap
berlaku. Tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi
masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.
Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya,
tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan
kondisi mereka semula. Pemahaman seperti akan membantu dakwah
Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan
oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam
pada awal masa Islam.148
Muhammad Abu Zahrat dalam Ushul fikh-nya, menanggapi (QS.
[2] al-Baqarah: 108)
“Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu?
Demikian juga pada firman Allah dalam surat (QS. [16] al-Nahl:
101 yang berbunyi:
#sŒ Î)uρ !$ oΨø9 £‰t/ Zπ tƒ#u šχ%x6 ¨Β 7πtƒ#u �
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya (QS. [16] an-Nahl : 101)
Pengertian ayat di sini adalah mu’jizat. Seandainya yang dimaksud
ayat” dalam kedua firman di atas adalah ayat al-Qur’an, maka sebenarnya
kedua firman tersebut juga tidak menunjukan atas terjadinya naskh dalam
147 Ibid., hlm. 116. 148 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 147.
al-Qur’an, tetapi sekedar menunjuk bahwa ayat al-Qur’an dapat di-nasakh-
kan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara pengertian telah terjadi
naskh, dengan pengertian dapat terjadi nasikh.149
Di samping itu ayat-ayat yang konon harus di-nasikh-kan, pada
hakikatnya dapat dikompromikan, baik dengan jalan ta’wil maupun
dengan jalan takhsihs, yang tentu hal ini lebih baik dari pada menasikhnya.
Setelah beliau mengadakan pengajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
menurut jumhur telah di nasikhkan, ternyata sebenarnya ayat-ayat tersebut
masih dapat dikompromikan dengan mudah, baik dengan jalan takhsihs
maupun dengan ta’wil, bahkan terkadang untuk mengkompromikan ayat-
ayat tersebut tidak memerlukan takhsihs atau ta’wil, sebagaimana firman
Allah swt.
tÏ% ©!$#uρ tβöθ ©ùuθ tF ムöΝä3ΖÏΒ tβρâ‘x‹tƒ uρ % [`≡ uρø— r& z óÁ−/u�tItƒ £Îγ Å¡ à'Ρr' Î/ sπyèt/ö‘r&
9� åκô−r& # Z�ô³tãuρ (
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya. (QS. [2] al-Baqarah: 234)
Dengan firman Allah swt.
tÏ% ©!$#uρ šχ öθ ©ùuθ tGムöΝà6Ψ ÏΒ tβρâ‘x‹tƒ uρ % [`≡uρø— r& Zπ§‹ Ï¹uρ Ο Îγ Å_≡uρø— X{ $ �è≈tGΒ
’ n<Î) ÉΑöθ y⇔ø9 $# u�ö� xî 8l#t� ÷zÎ) 4
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. [2] al-Baqarah 240)
Pada hakikatnya, kedua nash di atas tidak terjadi pertentangan
sama sekali, hingga tidak perlu nasikh, sebagaimana yang telah kami
jelaskan pada halaman 43 lalu.
149 Abu Zahrat, op. cit., hlm. 302.
Menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pengabean, kata
manasikh yang menjadi landasan teori nasikh dan mansukh bisa
mengandung salah satu dari dua makna yang digunakan pada periode
Makkah. Jika makna “menghapuskan” digunakan, maka pengertian ayat
ini jika Tuhan menghapuskan atau menjadikan ayat terlupakan, maka dia
akan mendatangkan yang lebih baik atau yang setara dengannya.
Tetapi jika dihubungkan dengan konteks sebelum dan sesudahnya,
kata ayat berarti bukti kenabian. Dengan kata lain, orang-orang kafir dari
kalangan ahl-Kitab dan kaum musyrikin (105) minta bukti kenabian Nabi
Muhammad, sebagaimana yang diminta oleh kaum Nabi musa (108, 117-
118). Jadi kedua makna itu, secara kontekstual tidak berkaitan dengan
teori nasikh dan mansukh sebagaimana yang berlaku dalam fiqh. Jika
merujuk pada ayat sebelum dan sesudahnya, maka alternatif kedua
dipandang lebih tepat.150
Abu Jamin Rohman, menilai bahwa konsep nasikh dalam al-
Qur’an menurutnya al-Qur’an pengganti Injil, dan kitab nabi-nabi
terdahulu, seperti kitab Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Walau
demikian, ia akan menjelaskan tentang kandungan ayat QS: 2; 106.
Berdasarkan Qur’an, dan logis bahwa Allah telah menurunkan
wahyu-Nya setiap nabi-Nya di berbagai zaman: termasuk Nabi Daud,
Musa, Isa, Muhammad dan nabi-nabi lainnya. Risalah ini berusaha
memeriksa sejauhnya, bahwa pengertian kata-kata pada ayat di atas
bukanlah ditunjukkan kepada Qur’an, sebagaimana yang diduga oleh
sebagian orang, di mana al-Qur’an menyebutkan.151firman Allah swt.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil tidak ada yang dapat merubah - rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. (QS: [6] al-An’am :115)
150Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung,
Mizan, cet II, 1990, hlm. 29. dikutip oleh Supiana dan Karman, op. cit., hlm. 158. 151Abu Jamin Rohman, Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an, Jakarta, Bulan
Bintang, cet II, 1990, hlm. 243.
Penyelidikan menunjukan bahwa ayat-ayat mansukh itu betul-betul
ditunjukkan alamatnya bagi penghapusan Al-Kitab, yakni kitab-kitab yang
telah diturunkan oleh Allah swt., bagi umat-umat terdahulu di zamannya,
sebelum nabi Muhammad saw., dasar-dasar penyelidikan ini bisa dibaca
pada QS. [2] al-Baqarah ayat 105 dan 107.
BAB III
TEORI NASIKH MANSUKH DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION
TO THE QUR’AN
A. Biografi dan latar belakang Richard Bell
Richard Bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19
dan awal ke-20. dengan beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar Lingusitik
ketimuran terutama dalam bahasa Arab “Arabic Language”, dan menjadi
dosen di Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya
sebagai sarjana al-Qur’an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di
Universitas Edinburgh, The Origins of Islam in its Crhistian Environment
(1926). Diantara orientalis sezamannya, ia adalah pakar ketimuran yang
disegani karena kecermatannya dalam melanjutkan kajian-kajiannya dalam
menyangkut Islam.152
Seperti dituturkan sebelumnya bahwa cerita Islam. Muhammad dan al-
Qur’an pada abad petengahan cenderung didistorsikan. Semua tuduhan
terhadap Nabi Muhammad saw. ditunjukkan untuk memojokkan pada predikat
nabi palsu. Langkah pertama kearah pandangan yang lebih berlangsung mulai
abad ke -19 yang diperkasi oleh Thomas Carlyle ketika ia mentertawakan
mereka yang memandang Muhammad Saw sebagai penipu yang menjadi
pendiri salah satu agama besar di dunia. Namun kemudian terdapat sebagai
sarjana yang berusaha menyelamatkan kejujuaran Nabi.153
Menurut Watt,154 secara keseluruhan para orientalis masa ini
mempunyai pandangan lebih baik dan telah berpendapat bahwa Nabi benar-
benar seorang yang tulus dan bertindak sejujurnya. Diantaranya adalah:
152W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran, Edinburgh, Edinburgh
University Press, 1991, hlm. 179-180. selanjutnya disebut W. Montgomery Watt. 153http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-
Hadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012. 154 William Montgomery Watt, lahir pada tanggal 14 Maret 1909 di Ceres, File,
Skotlandia. Ia adalah pemikir studi-studi keislaman dari Britamia Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam dan dunia Barat. W. M. Watt, adalah seorang
1. Tor Andre menelaah pengalaman nabi dari sudut psikologi dan
menemukan bahwa pengalaman kenabian benar-benar sejati.155
2. Frans Buhl yang menekankan makna kesejarahan yang bermakna luas dari
gerakan keagamaan yang dinagurasi Muhammad.
3. Richard Bell, yang berbicara tentang karekter praktis dan faktual dari
kegiatan Muhammad sebagai pribadi dan bahkan seorang Nabi.156
Suasana diskursus orientalisme ini secrara intens mempengaruhi
Richard Bell. Namun selebihnya, Richard Bell yang hidup pada akhir ke -19
sampai tahun 1960-an masih kelihatan sekali dipengaruhi suasana
kolonialisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Qomaruddin Hidayat, “ciri dan
posisi orientalime kelihatannya memang terlalu sulit untuk mengelak dari
anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan
anak kandung imperialisme dan kolonialisme.157
Maka menjadi wajar jika orientalisme kemudian mendapat sorotan
atau malah, dapat disebut serangan tajam dari sejumlah orang-orang Timur.
Hal itu, sudah tentu, membuktkan bahwa keilmuan orientalisme mempunyai
ekses bagi terjadinya ketegangan atau bahkan konflik antara Muslim dan
Kristen. Ini artinya, bahwa prolem hubungan Islam dengan Barat juga dapat
ditemukan akar-akarnya pada tradisi orientalisme.158
Pada akhir abad ke-19, pencapaian-pencapaian ini mulai mendapat
dukungannya secara material dengan keberhasilan Eropa dalam menduduki
seluruh wilayah Timur dekat (kecuali kawasan-kawasan Ustmani yang dikuasi
sesudah tahun 1918. Dan seperti kita ketahui, kekuatan-kekuatan kolonial
profesor studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Selebihnya baca biografi W. M. Watt. http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-Hadis. Pdf diunduh pada 18 Maret 2012.
155 W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 17-18. 156 http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-
Hadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012. 157 Muhammad Muslih, Religious Studies, Prolem Hubungan Islam dan Barat Kajian
atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta, Belukar, cet I, 2003, hlm. 75. 158 Ibid., hlm. 76.
utama dalam usaha pendudukan ini adalah Inggris dan Prancis meskipun
Rusia dan Jerman juga tidak dapat kita abaikan peranannya.159
B. Karya-karya Richard Bell
Dilihat dari karya-karyanya, ia merupakan seorang orientalis yang
konsisten dalam kajiannya, yang tema sentralnya berkisar pada kajian al-
Qur’an terutama dalam sastranya. Diantara karya-karyanya, baik berupa buku
maupun dalam bentuk jurnal adalah:
1. Karya- karyanya yang berupa buku dan telah diterbitkan, antara lain:
a. Richard Bell, (1953). Introduction to the Quran, Edinburgh at the
University.
b. Richard Bell, (1937-1939). The Quran Translation with a Critical
Rearrangement of the surah, 2 jilid. Edinburgh: T & T Clark.
c. Richard Bell, ( 1926), The Origins of Islam in I’ts Chrsitian
environment. London: Macmillan.
d. Richard Bell, (1925), The Origin of Islam in Its Christian
Environment, Edinburgh University.160
e. A Commentaray on the Qur’an, (1991), t.p
2. Karya-karyanya dalam bentuk Jurnal
a. ‘A dupcliate in the Koran; the Composition of Surah xxiii, Moslem
World, xviii (1928), 227-33.
b. ‘Who were the Hanifs?’ ibid, xx (1930), 120-4.
c. Richard Bell, “The Origin of Id Al-Adha”, ibid. xxiii (1933), Dalam
Moslem World, 117- 20
d. Richard Bell, “Surat al-Hasr (59)”. Dalam The Moslem World, xxxviii
(1948).
e. Richard Bell, 1948. (The Men of the A’raf (vii, 44)”, ibid. xxii dalam
The Moslem World, xxii (1932), 43-8
159 Edward W. Said, Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur
sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 150. 160 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 347-348. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001, hlm. 113 dan 121.
f. Richard Bell, 1937. “Muhammad’s Pilgrimage Proclamation”, Journal
of the Royal Asiatic Society,
g. Richard Bell, “Muhammad Vision”. Dalam The Muslim World no. 24,
1934.
h. ‘Muhammad’s Call’, ibid. xxiv. (1934), 13-19.
i. ‘Muhammad and previous Messengres’, ibid. xxiv. 330-40
j. ‘Muhammad’s and Divorce in the Qur’an’, ibid. xxxviii (1939), 55-62.
k. ‘Surah al-Hashr: a study of its composition’, ibid. xxxviii (1948), 29-
42.
l. ‘Muhammad’s pilgrimage Proclamation’, Journal of the Royal Asiatic
Society, 1937, 233-44.
m. ‘The Development of Muhammad’s Teaching and Prophetic
Consciousness’, School of Oriental Studies Bulletin, Cairo, Juni 1935,
1-9
n. ‘The Beginnings of Muhammad’s Relegious Activity’, Transactions of
the Glasgow University Oriental Society, vii (1934-4), 16-24.
o. ‘The Sacrifice of Ishmael,’ ibid. x. 29-31
p. ‘The Style of the Qor’an,’ ibid. xi (1942-4), 9-15.
q. ‘Muhammad’s Knowledge of the Old Testement’, Studia Semitica et
Orientalia, ii (W.B. Stevenson Festschrift), Glasgow, 1945, 1-20.;161
C. Pendekatan Richard Bell
Banyak metode yang digunakan oleh sarjana Barat dalam studi Islam
adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog
konstruktif dengan mereka. Sebab metode yang mereka gunakan akan
mewarnai alur fikir dan turut menentukan konseptualisasi dan konklusi yang
dihasilkan. Ada beberapa metodologi pendekatan yang digunakan oleh
Richard Bell dalam meneliti al-Qur’an, yaitu:
161 Richard Bell, Pengantar al-Qur’an, Terj. Lilian D. Tejasudhana, INIS, 1998, hlm. 159.
1. Pendekatan Filologisme
Filologi, kata Yunani yang secara harfiah berarti kesukaan atau
kata, yang digunakan dalam arti pengajian teks atau penelitian yang
berdasarkan teks, misalnya dalam bidang ilmu sastra dan ilmu sejarah.
Filologi merupakan metode penelitian yang berdasarkan pada analisis pada
teks, baik teks berupa karya sastra, dokumen arsip maupun teks kitab suci.
Anailisis tersebut bisa berupa bacaan, perbandingan antara berbagai teks
atau variasi dari teks yang sama, penerapan kritik teks, ataupun
penyelidikan mengenai asal- usul teks itu.
Sejak zaman Resnaisance, metode ini semakin berkembang dan
diperluas di Eropa sehingga dapat dianggap sebagai salah satu faktor dari
perkembangan dan kecemerlangan sejumlah besar ilmu pengetahuan di
Eropa sampai abad ke-19. Pengaruh lebih besar dalam ilmu sastra, ilmu
sejarah dan ilmu bahasa.
Filologi berkembang pesat pada renaissance Eropa dan menjadi
arus utama metode penelitian Barat klasik dalm mengkaji Islam.162
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang pertama yang digunakan
Barat dalam kajian ketimurannya. Pendekatan ini mulanya timbul sebagai
usaha kajian Barat melalui teks-teks ketimuran. Karenanya analisis
Linguistik Timur sangat intens dalam kajian pendekatan ini. Pendekatan
ini lebih banyak melahirkan metodologi kajian kebahasaan dan sastra.
Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M.
Ketika para sarjana Bibel menumukan berbagai makna yang kontradiksi,
pengulangan dan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel.163
Selain pendekatan ini dipergunakan oleh Richard Bell, juga digunakan
oleh John Wansbrough, Theodore Noldeke, Blachere, Gustav Weil dan
Scwally dalam kajian dan analisa tentang formasi sastra dan kronologi al-
Qur’an.
162 Moh. Natsir Mahmud, “Al-Qur’an di Mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal al-
Hikmah, No 2, Januari-Maret 1994, hlm. 6-12. 163 Ibid., hlm. 45.
2. Pendekatan Historisme164
Dalam sejarah perjalanan orientalisme, historisme merupakan ciri
yang paling menonjol, karena para orientalis dalam melakukan studinya
memperlakukan agamanya (dalam hal ini Islam) sebagai gejala sosial
budaya yang selalu berkesinambungan. Dengan dalih ilmiah mereka tidak
pernah melihat kebenaran agama.165
Dalam setudi al-Qur’an, historisme memandang bahwa Nabi
Muhammad menyatakan dirinya sebagai Nabi merupakan penyerupaan
penyerupaan terhadap ajaran tentang Nabi dalam kitab Taurat dan Injil
dan wahyu yang disampaikan muncul dan inspirasinya berdasarkan
kondisi lingkungan dan kitab suci sebelumnya. Richard Bell, misalnya
melihat pengaruh Kristen dalam al-Qur’an. Pengaruh itu pada mulanya
bersifat polemik kemudian mengikuti salah satu sekte Kristen di Syiria
yang menolak penyaliban Yesus Kristus.166
Pada umumnya sikap historisme mempengaruhi sarjana Barat di
bidang penelitian agama sejak pertengahan abad ke-19. Menurut Hasan
Hanafi, sejak itu orientalisme telah muncul membawa revolusi paradigma
riset ilmiah atau aliran politik yang memang khas abad ke -19 itu, terutama
positivesme, historisme, saintisme, rasialisme, dan nasionalisme.167
Pendekatan ini dalam studi al-Qur’an di gunankan oleh Richard bell, W.
Montgomery Watt, John Wansbrough, dan D. B. Macdonald, terutama
dalam menelusuri sumber-sumber al-Qur’an.
164 Historisme muncul pada abad ke-19. Tokoh utamanya adalah Leopold von Ranke
(1795-1886), seorang sejarawan terkemuka dari Jerman. Historisme muncul bebarengan dengan munculnya teori evolusi Carles darwin (1809-1882). Historisme mneggunakan era baru, semacam revolusi Copernicus dalam tradisi ilmiah Barat dan abad ke sembilanbelas sampai perempat pertama abad ke duapuluh. Meskipun sampai sekarang masih terdapat sejumlah sarjana Barat menerapkan prespektif historisme dalam tulisan mereka. Historisme berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan sosio religius tempat entitas itu muncul. Penjelasan mengenai entitas sudah cukup melalui penemuan asal usulnya dan hakikat mengenai suatu seluruhnya dipahami dalam perkembangannya
165 Muhammad Muslih, Religious Studies, Problem Hubungan Islam Barat Kajian Atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta, Blukar, cet I, 2003, hlm. 85.
166 Richard Bell, The Origin and ins Cristian Environment, London, Frank Cass & Co, LTD 1925, hlm. 73.
167 Muhammad Muslih, loc. cit.,
Munculnya historisme menurut Fuck-Frankfurt mendorong
kecenderungan dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalkan al-
Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen. Sarjana
Barat yang menggunakan metode pendekatan historisme dalam studi al-
Qur’an, diantaranya adalah Maximen Rodinson. Tor Andrae, A.Juffery,
Willian Muir, D.B. Macdonald, A.Guillaume, Richard Bell, A.T. Welch,
A.I. Katsh, W. Montgomery Watt, dan J. Wansbrough.168
Dengan demikain historisme menurut Fazlur Rahman169 dan Fuck-
Frankfurt mendorong kecenderungan dalam studi al-Qur’an di Barat yang
mengasalkan al-Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan
Kristen. al-Qur’an dilihat hanyalah sebagai karya sastra yang hebat dari
Muhammad bahwa ajara-ajaran al-Qur’an hanyalah imitasian ajaran Musa,
ajaran Ibrahim, dan ajaran Isa.170
Dalam studi Islamolgi awal, historisme dipergunakan untuk
mencari sebab atau asal usul kerasulan Muhammad SAW. beberapa
islamolog mencari asal-usul dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Seperti
William Muir,171 Macdonald,172 dan Richard Bell mereka merupakan
168Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet 1, 2006, hlm. 127. 169Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin,
Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 200. 170 Ibid., hlm. 127. 171 William Muir adalah orientalis Inggris yang juga seorang birokrat, administrator
Inggris. Dia lahir pada 27 April 1819. Muir pernah bekerja di Administrator Perkotaan Kongsi dagang Hindia Timur, dan menetap di India dalam waktu yang lama (1837-1876). Akhirnya ia menjadi sekretaris pemerintah India (1865). Kemudian menjadi wakil pemerintah wilayah Barat Daya (1868). William Muir dengan penuh semangat menyerang Islam dan mempertahankan matia-matian keyakinan Kristen. Tulisannya (Mizan al-Haqq) mendapat perhatian dari pemikir Islam Sunni as-sahraspuri dengan bukunya yang berjudul Idhar al-Haq, dan demi pemikir Syi’i, Muhammad Hadi Ibn Wildar al-Luknawi. Untuk kepentingan misionarisnya, karya ini diterjemahkan dalam bahasa Urdu. William Muir menjelaskan pengakuan kaum muslimin berdasarkan kesaksian al-Qur’an sendiri terhadap kebenaran kitab suci Taurat dan Injil. Tulisan-Tulisan Muir di atas denagan ditambah berbagai tukisan Willian Muir yang lain kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Life of Mahomet and History of Islam. William pernah menjadi anggota pengelola administrasi Universitas Edinburg di Sotlandia (1885-1903). Ia meninggal di Edinburgh pada 11 juli 1905. Abdurarhman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta, LKiS, Cet II, 2003, hlm. 254-255.
172 Macdonald adalah orientalis kelahiran Inggris yang menetap di Amerika Serikat. Macdonald lahir di Glossgow pada tahun 1863, dan meninggal pada 6 September 1943. Ia termasuk ilmuan yang kuatv ilmunya , dan sangat semangat dalam penyebaran ajaran Kristen, dengan banyak bergembleng calon-calon misionaris di Sekolah Kennedy untuk dikirim sebagai
orientalis yang memprogandakan bahwa sumber utama kenabian
Muhammad dan al-Qur’an adalah tradisi agama Kristen.
Sementara C.C. Torrey, Guillaume, dan Wansbrough memandang
bahwa sumber utama kenabian Muhammad dan al-Qur’an adalah tradisi
Talmudik (Yahudi). Sementara, disisi lain banyak orientalis yang
menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen telah memberikan kontribusi besar
bagi kenabian Muhammad dan al-Qur’an, seperti diwakili oleh W.
Montgomery Watt.173
Sedangkan para orientalis yang menggunakan pendekatan
historisisme sering menolak kenabian Muhammad sebagai pristiwa trans-
historis, melainkan menempatkan nabi Muhammad sebagai pencipta
wahyu, al-Qur’an yang diambil dari kitab sebelumnya atau pengalaman
keagamaan pribadinya. tulisan ini akan mengemukakan ada dua diantranya
J. Wansbrough yang mengasalkan al-Qur’an dan tradisi Yahudi dan
perjanjian lama dan Richard Bell yang mengasalkan al-Qur’an dari tradisi
kitab suci Kristen.174
Sebagaimana juga dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa karya-
karya yang berusaha mencari antesenden-antesenden Yudeo-Kristiani di
dalam Al-Qur’an. Richard Bell dan John Wansbrough merupakan dua
islamolog yang masing-masing mewakili Kristen dan Yahudi, berusaha
membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih merupakan replikasi atau
mimesis dari Injil dan Taurat. Karya-karya yang mencoba untuk membuat
rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dan karya tersebut hanya
menjelaskan aspek-aspek tertentu saja dari ajaran al-Qur’an.175
misinaris Kristen di berbagai penjuru dunia. Karya ilmiah Macdonald tidak begitu mendalam. Ia banyak mempelajari kajian-kajian tentang beragama dalam Islam, seperti Alif Lailah wa Lailah, karya ilmiah Macdonald yang paling penting ialah Perkembangan Ilmu Kalam, dan perundang-undangan dalam Islam, (New York, 1903, Biografi al-Ghazali”, dimuat dalam Journal America, Organization Society, juz 20, (1899), hlm. 32-71, serta beberapa tulisan lain dimuat di berbagai majalah. Abdurarhman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta, LKiS, cet II, 2003, hlm. 254-255.
173 Ibid., hlm. 128. 174 Nastir Mahmud, op. cit., hlm. 7. 175 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. XI.
Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami oleh Muhammad
merupakan peristiwa supernatural. Pengetahuan tentang agama Kristen
diaktualkan sebagai wahyu melalui trance-medium (keadaan taksadar diri)
dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun (kahin).176 Bell
mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan inspirasi
(the flash of inspiration). Bagi Bell, sugesti terjadi secara natural. Menurut
Bell, wahyu yang dialami oleh Muhammad merupakan pristiwa
mengagumkan dan penuh misteri.177 Peristiwa misteri menurut Bell masih
natural, tetapi beberapa interpretasi muncul terhadap peryataan Bell itu.
Vahidudin berpendapat bahwa peristiwa misteri dalam pengalaman
wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supernatural. Demikian
pula Nizamat juga berpendapat bahwa kekuatan misterius merupkan
fenomena kewahyuan dan sebagai peristiwa yang luar biasa. Bell
memandang bahwa peristiwa misterius dan mengagumkan itu masih
terjadi dalam lingkup natural. Tetapi ada peryataan Bell bahwa dalam
proses terjadinya wahyu, Muhammad benar-benar melihat malaikat Jibril,
seperti dalam pemahamannya terhadap ayat QS: 81:23, Bell menyatakan:
“Reasserted in surah 81 that he had seen the messenger on the clear horizon, is I think and indication that something of the sort had already happened to him.” (ditegaskan kembali dalam surat 81 bahwa ia (Muhammad) melihat malaikat dicakrawala yang jernih. Saya pandang bahwa indikasi yang demikian benar-benar tejadi pada dirinya.
Penjelasan Bell tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun
dia semula berusaha mereduksi wahyu sebagai fenomena natural, tetapi
kontardiksi terjadi dalam pernyataannya bahwa Nabi melihat Jibril dalam
peristiwa wahyu.178
Para Islamolog biasanya mendiskripsikan dan menganalisis tema-
tema al-Qur’an sebagaimana yang “tertera” secara eksplisit dalam al-
Qur’an dan yang dipahami oleh umat Islam sendiri. Metode cross-
176 Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 181. 177 Ibid., hlm. 182. 178 Ibid., hlm. 182.
referntiality of the Qur’an, dalam arti bahwa seluruh ayat yang berkaitan
dengan topik-topik tertentu digabungkan dan dikomparasikan dengan
tujuan mendapatkan pengertian yang komprehensif, merupakan grand
method dalam hal ini. Metode tersebut, yang dalam literatur Arab
diistilahkan dengan al-Tafsir al-Maudhu’i tidaklah asing bagi sarjana-
sarjana Muslim.179
3. Pendekatan Historisme – Fenomenologis
Pendekatan ini menggabungkan dua pendekatan sebelumnya,
pendekatan ini dipergunakan oleh W. M. Watt, yang diklaim sebagai
islamolog yang objetif, terbuka dan memilki simpatik dengan Islam,
melalui pendekatan ini Richard Bell dan juga muridnya dimana kedua
melihat al-Qur’an mimiliki kegandaan sumber ganda. Watt, menilai bahwa
al-Qur’an merupakan firman Alllah, tatapi diciptakan melalui pengalaman
pribadi Nabi Muhammad, namun, ia juga berusaha menganologikan
fenomena kewahyuan nabi Muhammad dengan konsep Kristen.180
Bagaimanapun juga, fenomenologi empiris masa-masa awal berbeda
dengan fenomenologi agama klasik yang berkembang pada paruh pertama
abad ke-20 dan mungkin banyak dikenal melalui karya Belanda Garardus
van der Leew.181
Konsekwensi logis sebagai pengkaji yang hidup dalam tradisi ke
ilmuan, bagaimanapun sikap kelatahan intelektual adalah wajar. Richard
Bell sendiri dalam kajiannya banyak terpengaruh oleh karya-karya
sebelumnya, seperti Abraham Geiger, Theodore Noldeke, Gustav Weil,
Fredrich Schwally, Regis Blachere, dan Hartwig Hirschfeld mengenai
penanggalan kronologi al-Qur’an, dan lainnya.
Kecenderungan Bell untuk mengeksplour lebih jauh lagi, ia secara
optimal dan maksimal di dalam menggunakan metode yang ada di atas.
Sehingga Bell, dengan mudah menangkap pesan dan sekaligus
179 Ibid., hlm. 116-117. 180 Natsir Mahmud, op. cit., hlm. 26. Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 48. 181 Ahmad Norma Permata, (ed.), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
cet I, 2000, hlm. 303.
memberikan aplikasi penafsiran terhadap teori naskh-mansukh
berdasarkan keinginannnya sendiri, di samping itu ia juga bertendensi
kepada kitab karya ulama muslim, seperti Imam Suyuti, dalam kitab al-
Itqan, disamping itu Bell, hidup di era modern tentunya sangat mungkin
jika pendekatan yang banyak digunakan oleh sarjana-sarjana modern-
kontemporer penuh dengan nuansa epistimologi dan metodologis, kedua
unsur tersebut digunakan untuk memahami al-Qur’an, Injil, serta kitab-
kitab klasik, sejarah, dan peninggalan-peninggalan kuno, sehingga dapat
dipahami berdasarkan keinginannya sendiri.
4. Pendekatan Hermeneutik Obyektif
Setelah sejarah dalam fenomena ini, belum dikaji tentang
fenomena metode-metode Barat dalam kajian al-Qur’an dan takwilnya,
sebuah kajian yang akhirnya dikenal dengan “pembacaan kontemporer”.
Seorang peneliti dari Syria, Abdur Rahman al-Hajj telah memberikan
kontribusi ilmiah awal seputar sejarah fenomena yang berbahaya, pada
tahun 1999 M. Dalam artikel yang berjudul “Zhahirah al-Qira’at al-
Mu’ashirah wa Idiyulujiya al-Hadatsah” (Fenomena Pembacaan
kontemporer dan idiologi Modernisme).
Jika era klasik masih cenderung menekankan pada praktek
eksegetik yang cenderung liner-atomistic alam manafsirkan al-Qur’an,
serta menjadikan al-Qur’an sebagai subjek, maka tidak demikian halnya
pada era modern dan kontemporer cenderung bernuansa hermeneutik yang
lebih menekankan pada aspek epistimologis dan metodologis dalam
mengkaji al-Qur’an, untuk menghasilkan al-Qur’an yang produktif al-
qiraah al-muntijah, katimbang bacaan yang repitive (al-qiraah at-
tikrariyyah) atau pembacaan yang ideologis-tendensius (al-qiraah al-
mughridlah) sebagaimana diyatakan oleh Rogger Trigg bahwa paradigma
hermenutik adalah :
The paradigm for hermeneutics is interpretation of the traditional text, were the problem must always be how we can come to
understand in our own context something whidh was written in radically different sitution.182
Jika dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks maka objek
hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah
masalah yanng timbul diseputar apa yang dikenal sebagai “prolem
hermeneutis”. Problem semacam ini timbul dengan sendirnya ketika
seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami. Pada
kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan latar
belakang teks dengan pembacanya akibat perbedaan jarak, waktu dan
kebudayaan yang melingkupi keduanya.183
Dalam pengkajian dalam teks-teks sastra, umumnya para
pengkritik menerapkan dua bentuk kritik, yakni kritik ekstrinsik (naqd al-
khariji) dan kritik instrisik (naqd al-dakhili). Kritik ekstrinsik diarahkan
pada kritik pada sumber, kajian holistik holistik terhadap faktor-faktor
ekternal munculnya suatu karya, baik sosio grafis, religio kultural maupun
determisasi politis untuk memetakan karya sastra dalam konteksnya secara
porposional. Adapun kritik instrisik diajukan pada kritik redaksi, bentuk,
diksi, simbol-simbol, indeks, dan isi, teks sastra dengan analisis linguistik
yang ketat sehingga mampu menguak makna yang dikehendaki teks.184
Metode ini berdiri di atas aliran filsafat strukturalisme, terutama
strukturalisme linguistik, seperti dipaparkan di atas, yang meruyak pada
dekade tahun 1960-an dan tahun 1970-an di Cekoslavia, Amerika, Jerman,
Inggris, Rusia, dan Prancis. Metode ini jelas mengarahkan pengkajiannya
pada studi strukur teks, termasuk distudi bahasa dan sastra dan pendekatan
obyektif.
Bagi kaum strukturalisme-linguistik, kitab-kitab suci tak ubahnya
sebgai karya literatur yang hadir apa adanya dan satu-satunya jalan untuk
memahaminya adalah dengan melakukan analisis struktur dan sistem yang
182 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I,
2008, hlm. 86. 183 Ibid., hlm. 32. 184 Dadan Rusmana, loc. cit.,
tanda, berdiri otonom, menampilkan dirinya melalui jaringan sistem tanda
sehingga memungkinkan pembaca mengajak dialog dengannya. Salah satu
bentuk strukturalisasi linguistik dalam mendekati kitab suci muncul dalam
bentuk semiologi atau semiotika.185
Perbedaan tajam antara Vulgata dan Codek Sinaiticius semakin
tampak, ketika dikemukakannya Manual of Dicipline yang ditemukan
pasca-perang dunia ke-2 pada gua-gua batu dibelahan laut barat Mati yang
dinisbahkan kepada sekte Essai, Jemaat Nasrhani pada pertengahan abad
ke-1 M. Naskah tua tersebut berbahasa Ibrani dan kemudian dikenal
sebagai manuskrip Laut Mati’ (the dead Sea Scroll).
Penerapan metode ini dalam kajian al-Qur’an pernah diupayakan
oleh Richard Bell dalam merelokasi kronologi unit-unit oisinal wahyu.
Namun, berbeda dengan Richard Bell yang berangkat dari tradisi
kesarjanaan Kristen, sementara penerapan metode tersebut oleh
Wansbrough tampaknya lebih berada dalam tradisi kesarjanaan Yahudi
katimbang tradisi Kristen.186
D. Pandangan Richard Bell terhadap al-Qur’an
Kitab suci menempati kedudukan sumber hukum yang paling penting
dan paling asasi dalam agama Islam. Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
berupa buku lengkap, melainkan ayat demi ayat dalam masa 23 tahun,
menurut perkembangan perikeadaan, baik di kota Mekkah maupun di Yastrib
(Madinah).187 Setiap ayat yang dihafalkan itu dihafalkan oleh para pengikut
Nabi besar Muhammad SAW. dan dituliskan pada pelepah-pelepah tamar
yang diraut dan disusun rapi, seperti halnya bambu-bambu yang disusun rapi
lontar di Bali dan pustaha di tanah Batak. Sebagaiannya dicetak pada
lembaran parekeman dan lembaran papirus.
Juru surat yang mencatat setiap ayat itu berjumlah 23 orang, sejak
masa di kota Mekkah sampai masa di kota Yastrib, yaitu: Abu Bakar Siddiq,
185 Ibid., hlm. 139. 186 Ibid., hlm. 147. 187 Joesoef Sou’yb,. Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 121.
Umar Bin Khatab, Utsaman Bin Affan, Ali Bin Abu Thalib, Zubair Bin
Awam, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
Muhammad bin Salamah, Arqam bin Abi Arqam, Iban bin Sa’id bin Ash,
Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, Tsabit bin Qais, Hanzalah bin Rabi’ah, Khalaid bin
Walid, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Zaids bin Abi Rabbihi, ‘Alalak bin
Utbah, Mughairah bin Sa’abah, Sajjal, Syarahabil, Bin Hasanah, dan yang
paling banyak dan paling khusus ditugaskan mencatatnya ialah Zaid bin Sabit
dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.188
Himpunan itu mula-mula tersimpan di tangan Hafsaf bin Umar, janda
Nabi Muhammad SAW. putri khlaifah Umar bin Khattab, baru pada masa
pemerintahan khlaifah Utsman bin Affan (23-35H/ 644-655M), himpunan
catatan tresebut lantas disusun merupakan mushaf (buku) seperti yang tercatat
sekarang, oleh sebuah tem yang ditunjuk oleh khalifah Ustman di bawah
pimpinan Zaid bin Tsabit, dan penyusunan ayat pada setiap surah mengikuti
petunjuk yang pernah diberikan oleh Nabi Besar Muhammad SAW pada masa
hidupnya.189
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kreteria yang ketat
untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima berdasarkan
hapalan, tanpa didukung oleh tulisan. Kehati-hatian diperlihatkan oleh
ucapannya sebagai mana tertuang di akhir hadist yang diriwatkan oleh
Bukhari “......Hingga kami temukan akhir surat at-Taubah (9) pada tangan
Abu Huzaimah al-Anshari,” ungkapan ini tidak menunjukan pada akhir surat
al-Taubah (9) itu tidak mutawatir, tatapi hanya menujukkan bahwa hanya Abu
Huzaimah al-Ansahari lah yang menulisanya. Zaid dan sahabat-sahabat
lainnya menghafalkan saja tidak memiliki tuisannya.
Sikap kehatian hatian Zaid dalam mengumpulkan al-Qur’an
sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar
188 Ibid., hlm. 121. 189 Ibid., hlm. 122.
berkata: “duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kapada
kalian membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi catatlah.190
Naskah otentik dari masa khlaifah Ustman itu dewasa ini masih
dijumpai tiga buah, tersimpan di musium di Tashkent (Uni Soviet), Museum
di Istambul (Turki) dan Museum di Kairo (Mesir), dikenal dengan mushaf
Utsmani, bahkan mushaf yang tersimpan di Tashkent itu masih
memperlihatkan bekas-bekas genangan darah Ustman bin Affan sewaktu
terbunuh dinihari selagi membaca kitab suci Al-Qur’an, sehabis shalat
Subuh.191
Pasca era formatif, perkembangan tafsir berikutnya memasuki era
afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis. Era formatif ini terjadi pada abad
pertengahan ketika tradisi penafsiran Qur’an lebih di dominasi oleh
kepentingan-kepentingan politik madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu,
sehingga al-Qur’an sering kali diperlukan sekedar sebagai legitimasi bagi
kepentingan-kepentingan tersebut. Para mufassir pada era ini pada umumnya
sudah diselimuti “jaket ideologi” tertentu sebelum mereka menafsirkan al-
Qur’an. Akibatnya al-Qur’an cenderung “diperkosa” menjadi kepentingan
sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir atau penguasa)192
Richard Bell, sebagai refresentasi sarjana Kristen, misalnya,
mengatakan bahwa Muhammad banyak terpengaruh suasana polemis di
kalangan orang-orang Kristen Arab. Pada masa Mekkah dan awal Madinah,
Muhammad dan al-Qur’an kemudian terpengaruh oleh ajaran Kristen.193
Misalnya menurut Bell, QS. al-Ikhlas bukanlah merupakan hasil polemik
antara Nabi Muhammad dan orang Kristen, melainkan terhadap orang musyrik
190 Jalaluddin Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid I. Beirut, Dar al-Fikr, t.th., hlm.
60. Rahison Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka setia, cet I, 2009, hlm. 76 191 Ibid., hlm. 122. فمن جاء كما بشاھدين على شيء من كتا ب هللا فا كتباه , اقعدا على باب المسجد: في قول ابي بكر لعمر وزيد 191
وواضخ ان تفسير ابن حجر , لكن رجاله ثقات , من طريق ھشام ابن عروة عن ابيه) وھو حديث منقطع اخرجه من ابو داوود( Gا الشاھد الواحد على الحفظك, حظ فيه ا� كتفاء بشاھد واحد علي الكتابة .ي . Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-
Qur’an, Beirut, Dar al-‘Ilm - lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 76. 192 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Ygyakarta, LKiS, cet I, 2011,
hlm. 46 193 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, 128-129.
yang mempercayai banyak Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan mempunyai
tiga anak perempuan (allata, al-uzza, dan manat). Akan tetapi kisah tentang
penolakan penyaliban Yesus dalam al-Qur’an diklaim, diambil oleh Nabi
Muhammad saw dari arah satu sekte Kristen di Syiria.194 metode historis yang
sama dipergunakan Bell untuk menjelaskan fenomena kewahyuan yang
dialami Nabi Muhammad saw.
Telaahnya banyak menggunakan dan mencari landasan pada
unconciousness, dalam psikonalisis. Oleh karena itu, hitorisisme kritis
didominasi oleh konsep-konsep seperti: frustasi, stres, kompensasi, neorosis,
dan trance. Pendekatan ini digunakan untuk meneliti kejiwaan tokoh sejarah
yang dikenal dengan istilah psycho-history.195
Sedangkan menurut Abu Bakar Aceh, beliau mengatakan “Sejarah dari
pada mushaf imam itu telah lahir salinan-salinan al-Qur’an yang banyak
sekali dicetak di Timur dan di Barat, di mana isinya sesuai dengan yang asli
itu, dan terseber ke seluruh penjuru dunia, seperti yang didapati sekarang
ini.196
Meskipun menurut Richard Bell, seandainya Nabi Muhammad saw
tidak bisa menulis, dia bisa menyuruh juru tulis, dan ada hadis namun pada
hadist tersebut (Muqatti’)197 yang menyatakan bahwa juru tulis dipakai untuk
mencatat wahyu. Dalam surat 87: 6 disebutkan,
“Kami akan membacakan (Al Qur’an) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa.
Bahwa Nabi Muhammad lupa, ini bisa dianggap untuk mengisyaratkan
bahwa ia tidak mempercayai ingatannya sendiri lalu menuliskan serta
menghafalkan pesan-pesan yang diwahyukan sebelum menyatakan didepan
umum. Sindiran orang-orang Mekkah tentang kisah kuno yang dia suruh
tuliskan untuk itu sendiri menyiratkan bahwa di Mekkah dia setidaknya
dicurigai sudah menyuruh orang menuliskan (25:6), kalau dan ini mungkin
194 Ibid., hlm. 140. 195 Ibid., hlm. 129. 196 Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Qur’an, Solo, Ramadhani, cet VI, 1989, hlm. 39.
saja, dia telah menyuruh orang untuk menuliskan sebagian dari Quran, dia
tentunya akan merahasiakan ini.
Di Madinah dia diharapkan bahwa setidaknya amanat-amanat
hukumnya sudah dicatat. Laporan mengenai “pengumpulan” pertama dari al-
Qur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad oleh Zait bin Sabit menyiratkan
bahwa sebagian sudah ditulis di atas potongan papirius dan bahan lain.198
Hasil karya Zaid adalah ‘kumpulan kertas’ di atas lembaran –lembaran
(suhuf) dan ini akhirnya diteruskan menjadi milik hafsah. Seperti dipersoalkan
di atas, sangat tidak mungkin bahwa ada ‘kumpulan’ resmi seperti yang telah
digambarkan.tetapi hampir pasti bahwa hafsaf memilki semacam ‘lembaran’.
Jadi mungkin saja, bahwa banyak dari Quran telah dituliskan dalam satu dan
lain bentuk semasa hidup Nabi Muahmmad.199
Di dalam transliterasi al-Qur’a buku Bell’s Introduction to the Qur’an
oleh Richard Bell, kadang-kadang wawasan-wawasannya yang hebat yang
berkembang menjadi tema-tema yang agak eksentrik. Misalnya Bell
mengatakan bahwa sebagian besar dari diskontinuitas ayat-ayat al-Qur’an
adalah karena orang-orang yang menyalin ayat-ayat tersebut tidak dapat
membedakan depan dan belakang dari meteri-materi di mana ayat-ayat
tersebut mula-mula sekali dituliskan.200
Karenanya kalau ada yang menulis tidak dengan aksara itu, tidaklah
menjadi persoalan yang esensial, selama dapat dibaca dengan benar. Demikian
menurut ibn Khaldun.201 Selain karena selama ini asumsi yang mengatakan
rasm utsmani itu adalah tauqifi, seperti pandangan imam Ahmad Ibn Hambali
dan Zaki Mubarak, lebih banyak didasarkan pada penafsiran hermeneutik
lebih banyak sandaran nash.
Menurut Richard Bell, al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula
kitab perundang-undangan atau kumpulan kutbah, tetapi rasanya al-Qur’an
198Manna’ al- Qatthan, op. cit., hlm. 148. 199 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 56. 200Fazlur Rahman, Pokok-Pokok Tema dalam al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin,
Bandung, Pustaka, cet II, 1996, hlm. xiv. 201 H. J. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm
273.
lebih merupakan ramuan (medley) ketiganya, dan ditambah berbagai
“mutiara” yang bertebaran di dalamnya. “Pewahyuannya” tentang selama
kurang dua puluh tahun, disaat Nabi Muhammad Saw bangkit dari posisi
seorang pembaru keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya,. Mekkah
menjadi penguasa aktual di kota Madinah dan sebagian besar jazirah Arab.
Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa
bergerak dan berubah selaras dengan kaum Muslimin selama masa-masa
tersebut, maka wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula.
Lebih dari itu, Bell, juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada
sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian
Muhammad saw. Richard Bell juga menjelaskan bahwa sumber historis utama
dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen.202
Kekhawatiran Bell bahwa para sahabat tidak ada yang menghafal
keseluruhan al-Qur’an karena tersebarnya tulisan yang berimplikasi kepada
munculnya varian yang sangat banyak, tidak beralasan.203 Perubahan terjadi
besar-besaran dalam bentuk pengungkapan kelihatnnya sangat dibutuhkan.
Bell mengikuti jejak sarjana-sarjana Eropa pendahulunya dan mengemukakan
pendahulunya dalam mengemukakan bahwa al-Qur’an merupakan buah karya
Muhammad. Seperti Fredrich Schwally, yang berbeda dengan Noldeke ketika
merevisi “Geschicthe des Qorans, Schwally mengungkapkan pengaruh
Kristen lebih dominan di dalam Islam dibanding Yahudi.
Selain itu, Wilhem Ruddolph, seorang pakar perjanjian lama dan
meraih gelar doktor pada tahun 1920, menulis desertasinya yang berjudul Die
Abhangigkeit des Qorans von Judentum und Cristentum (ketergantungan al-
Qur’an terhadap Yahudi dan Kristen). Disertasi tersebut diterbitkan di
Stuttgart pada tahun 1922. Dalam disertasinya, Rudoplh menyimpulkan bahwa
sebenarnya Islam berasal dari Kristen (Islam is actually vom Christentum
202 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 309. 203 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III,
2007, hlm. 93.
ausgegangen), dalam pandangan Rudoplh, Kristen adalah ‘buaian Islam’ (die
Wiege des Islam).
Senada dengan Rudoplh , Tor Andrae menulis (Der Ursprung des
Islam und das Christentum (asal mula Islam dsan Kristen). Tor Andrae
berpendapat bahwa ajaran-ajaran Islam memiliki contoh-contoh yang jelas
dalam Literatur Syiriak (die Predigt des Qorans hat bestimmte Volbilder in der
syirischen Literatur). Andre menyatakan: “konsep kenabian sebagai sesuatu
yang hidup dan aktual, sesuatu yang milik sekarang dan yang akan datang ,
sukar sejauh yang aku lihat, muncul di dalam jiwa Muhammad jika ia tidak
mengetahui mengenai Nabi-Nabi dan kenabian yang telah diajarkan Yahudi
dan gereja Kiristen di Timur.204
Menegaskan pengaruh Kristen terhadap al-Qur’an, Richard Bell (m.
1953) menulis sebuah buku berjudul The Origin of Islam in its Environmet
(London: 1926). Di dalam buku tersebut, Richard Bell berpendapat bahwa
pengaruh tersebut datang dari tiga pusat: Syiria, Mesopotamia dan Ethiopia.
Bell meneliti ilmu pengetahuan Kristen yang ada di Arab Selatan (South Arab)
sebelum kedatangan Islam. Menurut Bell, puisi-puisi yang ada sebelum
munculnya Islam menyentuh aspek-aspek Kristen seperti gereja, tempat-
tempat Ibadah, gong dan bel, acara-acara seremonial Kristen dan lainnya. Bell
berpendapat bahwa kosa kata Aramik dan Ethiopia yang digunakan oleh
orang-orang Kristen, diketahui oleh Muhammad, yang selanjutnya
memasukkan ke dalam al-Qur’an.205
Kritik Adams tersebut di atas salah satunya diarahkan kepada Richard
Bell. Richard Bell mengemukakan bahwa Islam tidak lain hayalan imitasi dari
agama Kristen. yang digunakan dalam Islam, berbicara tentang karakter
praktis yang faktual dari kegiatan Muhammad pribadi dan bahkan sebagai
seorang Nabi. Dalam buku The Qur’an Origin of Islam in its Christian
Environment, Richard Bell Al-Qur’an menurutnya, tidaklah lain adalah
204 Ibid., hlm. 141. 205 Ibid., hlm. 143.
produk Muhammad yang disusun berdasarkan tradisi Bibel yang sudah
berkembang saat itu di Mekkah.206
Sehingga untuk memperkuat persepsi bahwa al-Qur’an tidak lain
hanyalah produk Muhammad, Richard Bell dalam artikelnya “ Muhammad’s
Vissions” mencoba menganalisis fenomena wahyu Muhammad Menurutnya,
kata “wahy” dan derivasinya yang terdapat dalam al-Qur’an, baik dalam
konteks komunikasi antar makhluk maupun komunikasi antara Tuhan dan
makhluk-Nya, mengandung konotasi “suggestion” (anjuran), “inspiration”
(inspirasi), atau prompting (dorongan atau bisikan), untuk melakukan sesuatu
yang dimaksud oleh pemberi “anjuran” atua inspirator. Ia menyatakan bahwa:
The Fundamental sense of the word as used in the Quran seems to the communication of ab idea by some quick, suggestion or prmpting, by as we might say, a flash of inspiration. Contoh hal ini, menurut Bell adalah “anjuran” Tuhan kepada lebah
untuk membuat sarang-sarangnya di gunung-gunung (An-Nahl. [16]: 68) dan
“inspirasi” Tuhan kepada kepada Nabi Nuh membuat perahu (Hud. [11] :36-
37). Dengan demikian, menurut Bell, Muhammad hanyalah penerima perintah
atau anjuran untuk membuat al-Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran yang telah
mapan saat itu, termasuk doktrin-doktrin Kristen.
Selain itu, Richard Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Nabi
Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Serta
Ia juga menilai sebagai desakan atau perintah untuk berbicara. Demikian pula
Richard Bell tetap mendudukan peristiwa dialog Jibril dan Nabi. Muhammad
sebagai sesuatu yang natural, seperti pemahaman terhadap (QS. At- Takwir
(81): 23,
“Reasserted in surah 81 that be bad seen the messenger on the clear horizon, is I think and indication that something of the sort bad already happened to him”.207
206 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 180. 207 Ibid., hlm 180.
Pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagai wahyu
melalui trance-medium (keadaan tak sadar diri) dalam suasana mempraktikan
kehidupan kahin ini melalui meditasi, sebagaimana tersirat QS.73 ayat 1-8.
Ayat ini dipahami Bell bahwa Muhammad bagun dan bermeditasi pada malam
hari untuk memudahkan mendapatkan wahyu. Ia kemudian seakan-akan
mendapatkan wahyu, padahal hanya dari bisikan dari luar, “It is his speaking
which he is explaining and defending.” (pembicaran sendiri yang ia nyatakan
dan pertahankan (sebagai wahyu).208
Ayat tersebut juga ditafsiri oleh Richard Bell sebagai kesibukan
Muhammad dalam menyusun al-Qur’an, memilih waktu malam hari sebagai
yang paling kuat kesannya dan paling pantas dalam pembicaraan”, yakni
waktu ketika gagasan-gagasan demikian jelas dan ketika kata-kata yang tepat
sebagian besar mudah ditemukan.
Wahyu, menurutnya, sebagai sugesti yang muncul sebagai kiasan
inspirasi (the flash of inspiration) natural, sekaligus mengagumkan dari penuh
mesteri. Menurutnya, wahyu yang dialami oleh Muahammad merupakan
peristiwa yang menagagumkan dan penuh mesteri, peristiwa natural bisa.
Menurut Bell, proses mendapatkan inspirasi yang tepat harus senantiasa
diawali dengan meditasi. Namun pikirannya dalam keadaan yang tidak
terkosentrasi atau dalam keadaan pasif, seringkali inspirasi tersebut tidak
muncul. Hal ini diisyaratkan oleh QS. Maryam [19]: 24; QS. [5] al- Maidah:
101; QS. [22] Al-Hajj: 52). Sering Nabi mengalami keraguan dalam
menangkap inspirasi, karena Nabi Muhammad sendiri menyadari bahwa setan
terkadang campur tangan dalam pewahyuan. Hal, ini diindikasikan (QS. [22]
Al-Hajj: 52), yang dikatakan merujuk pada insiden “ayat-ayat setaniah” yang
berkaitan dengan (QS. [53] An-Najm: 19-20).
Dalam menanggapi pandangan Bell tentang fenomena kewahyuan
yang berada dalam tatanan natural, Vahiduddin dan Nizamat Jung,
berpendapat bahwa peristiwa mesteri dalam pengalaman wahyu menurut Bell
sudah tergolong peristiwa supernatural dan sebagai peristiwa yang luar biasa.
208 Ibid., hlm 181.
Selebihnya menurut Watt, pendapat-pendapat Bell di atas bersal dari dugaan
suatu kesulitan yang tidak bisa diatasi Bell adalah bahwa ahwa bukanlah satu-
satunya kata kerja yang berarti “mewahyukan”, kata-kata nazzala dan anzala
dalam pengertian yang serupa.209
Mengulangi kembali seraya menambahkan kritikan kepada isu
kompilasi al-Qur’an pada zaman Abu Bakar, Richard Bell menunjukkan
memang teks yang dikumpulkan atas perintah Abu Bakar itu adalah teks
pribadi bukan teks revisi resmi. Argumentasinya sebagai berikut:210
Pertama, sampai wafatnya Muhammad, tidak ada rekaman wahyu
yang otoritatif dan tersusun. Padahal, Muhammad sendiri telah
mengumpulkan dan menyusun banyak lembaran-lemabaran dan susunan
tersebut diketahui oleh para sahabat (.....Muhammad himself had brought
together many revealed passages and given them a difinite order, and that this
order was known and adhered to by his Companions).
Kedua, berdasarkan pada jumlah hadis yang berbeda, tidak ada
kesepakatan mengenai siapa sebenarnya yang menggagas dan menghimpun al-
Qur’an Umar atau Abu Bakar.
Ketiga, motif menghimpun al-Qur’an disebabkan banyaknya para
Qurra, yang meninggal dalam perang Yamamah tidaklah tepat. Hanya sedikit
dari Qurra yang meninggal. Schwally menyebutkan hanya dua orang saja.
Kebanyakan yang meninggal adalah para muallaf. Selain itu, berdasarkan
riwayat hadits, banyak materi wahyu yang ditulis. Jadi jika para penghapal al-
Qur’an meninggal, maka ini tidak akan menimbulkan kekhawatiran bahwa
bagian dari al-Qur’an akan hilang.211
Keempat, seandainya koleksi itu adalah resmi, niscanya koleksi
tersebut akan disebarkan karena memiliki otoritas. Namun, bukti itu tidak ada.
Mushaf yang lain juga dianggap otoritatif di berbagia daerah. Perdebatan yang
mendorong versi al-Qur’an di bawah kekhalifaan Utsman tidak akan muncul
209 Ibid., hlm. 182-183. 210 Adnin Armas, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm.
89. 211 Ibid., hlm. 90.
jika mushaf resmi di dalam kekhalifahan Abu Bakar ada. Mushaf resmi
tersebut pasti menjadi rujukan. selain itu, pendapat Umar yang menyatakan
bahwa ayat al-rajam itu, ada di dalam al-Qur’an adalah tidak konsisten jika
‘Umar memiliki Mushaf resmi.
Kelima, dan ini alasan yang paling benar menurut Bell, seandainya
Zayd menghimpun mushaf yang resmi, maka Umar tidak akan menyerahkan
teks tersebut ke Habsah, anaknya. Ini menunjukkan bahwa mushaf yang ada
pada hafsah bukanlah mushaf resmi.
Jadi, Richard Bell menyimpulkan “himpunan” lengkap al-Qur’an yang
resmi pada kekhalifahan Abu Bakar tidak ada. Richard Bell yakin hadis
mengenai al-Qur’an dihimpun pada masa kekhalifahan Abu Bakar dielaborasi
hanya untuk menghindari supaya ‘himpunan’ al-Qur’an yang pertama kali
bukanlah yang muncul belakangan. Mengomentari mushaf pribadi yang
dihimpun Abu Bakar dan Umar, Regis Blachere menyatakan Abu Bakar dan
Umar menyebut Zayd menghimpun al-Qur’an karena perasaan inferior (orang
bawahan) di banding oleh para sahabat lain yang terlebih dahulu memiliki
mushaf.212
1. Jejak Pendahulu Richard Bell tentang Kronologi al-Qur’an.
Dalam proses kronologi yang dilakukan oleh pra pendahulunya ini
nantinya kan berimplikasi kepada hipotesa Bell, dalam memberikan
interpretasi terhadap formasi al-Qur’an itu sendiri, adapun nama-nama
para pendahulunya, antara lain:
a. Gustav Weil
Titik awal perhatian Barat terhadap kajhian al-Qur’an dapat
dikatakan bermula dengan karya Gustav Weil,213 Weil dipandang
sebagai sarjana Barat yang pertama melakukan kajian penanggalan al-
Qur’an dan pendiri madzhab penanggalan empat periode, lewat karya
monumentalnya, Historisch Kritische Einleuitung in der Koran, pada
212 Ibid., hlm. 90-91. Muhammad bin Lutfi as-Shibagh, Limahat Fi Ulumul Qur’an, Wa
At-Tijahati Al-Tafsir, Lebanon, al-Maktabah al-Islamiy, cet, III, 1990, hlm. 110-111. 213 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001.
hlm. 105, untuk selanjutnya lihat kronologi al-Qur’an Gustav Weil.
1844. Ia menerima teori sarjana muslim bahwa surat-surat al-Qur’an
merupakan unit-unit dari wahyu sehingga dapat disusun dalam suatu
tatanan kronologis dengan berpijak pada hadis-hadis. Akan tetapi, ia
berbeda dengan sarjana muslim ketika membagi surat-surat Makiyyah
dalam tiga periode: periode awal, periode tengah, periode akhir.
Sementara periode Madinah diterimanya.214
b. Theodore Noldeke dan Schwally
Asumsi yang di adopsi oleh Weil dari para sarjana muslim, tiga
kreteria aransmen kronologi dan sistem penanggalan empat
periodenya, sebenarnya, sisitem penanggalan empat periode Noldeke
di atas karena dipengaruhi sistem penanggalan yang dirumuskan oleh
Gustav Weil,215 kemudian diadopsi Noldeke (1860) dan Schwally
(1909) dalam karya mereka, Geschichte des Qorans216 (Ester Teil,
“bagian pertama”), dengan sejumlah perubahan pada susunan
kronologis surat-surat al-Qur’an, belakangan karya patungan Noldeke
dan Schwally ini mempengaruhi Regis Blechere dalam terjemahan al-
Qur’annya, Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des
Sourates (1945-1950). Yang pada halaman selanjutnya akan penulis
jelaskan.217 Perbincangan oleh sebagian orientalis di masa Ustman,
sebagaimana mareka mendakwakan, bahwa Ustman tidak menyimpan
naskah wahyu seluruhnya, sesungguhnya Ustman hanya bersandar
kepada keterangan sebagian tafsir serta disertai dengan peralihan
214 Untuk melihat klasifikasi surat-surat al-Qur’an versi Noldeke secara lengkap lihat,
Rohison Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm. 67- 68. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001 hlm. 106.
215 Ibid., hlm 106. 216 Dr. Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang orientalis terkemuka di Jerman
yang khusus mendalami bahasa Siryani, Arab dan Persi, Semit dan Ibrani. Noldeke termasuk ilmuan yang berumur panjang, sekitar 94 tahun, dan dengan usia yang panjang itu, menjadikannya menempati posisi yang tertinggi diantara para orientalis di Jerman. Abdurahman Badawi, Enslikopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat, Yogyakarta, LKiS, cet I, hlm. 274.
217 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,
tempat (peralihan fakta) pada sebagian ayat.218 Mereka mengemukakan
pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut:219
Artinya: kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan
yang penuh keseluruhan watak Muhammad itu, bahkan mempunyai
karya-karya yang otentik, al-Qu’an yang disampaikan oleh nama Allah
swt. Sekalipun demikian tokoh yang luiar biasa yang menarik dan
menberikan itu dalam banyak hal ini tetap merupakan teka-teki.
Banyak sekali mendali Agama Yahudi dan agama Kristen, tapi
hanya melalui laporan lisan belaka. Sekalipun tetap merupakan soal
apakah betul Muhammad itu tak pandai baca dan bisa tulis, tetapi pasti
ia tidak pernah membaca Bibel ataupun kitab- kitab lainnya. Tokoh-
tokoh tempat dan mengumpulkan informasi mengenai agama-agama
tua yang monoteisme itu pastilah pihak yang kurang pelajar terlebih
khusus guru pembimbingnya dalam kitab Kristen.
Edisi kedua di revisi dan diperluas oleh Friedrich Schwally dan
lainnya muncul dalam tiga jilid pada 1909 dan 1939, serta dicetak
ulang melalui proses foto mekanik pada tahun 1961, sehubungan
dengan kronologi al-Qur’an, Noldeke mengasumsikan suatu gaya al-
Qur’an yang progesif dari bagian-bagian yang puitis yang agung pada
masa awal kepada wahyu-wahyu yang berwujud prosa panjang pada
masa belakangan, Ia mengakui tradisi Islam dalam pembagian al-
Qur’an kedalam surat-surat yang sebagian besar isinya diwahyukan di
Mekkah dan di Madinah tatapi lebih jauh ia membagi surat-surat
Makiyah ke dalam tiga periode.220
c. Regis Blachere
Regis Blechere (1900-1973)221 dalam terjemahan al-Qur’annya,
Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates
218 Akram Abdul Khalifah al-Adzalimi, Jam ‘u al-Qur’an, Dirasat Tahliliat li Marwiyat,
Berut, Lebanon, Dar-Kutub al-Ilmiyyah, 1971, hlm. 275. 219 Joesoef Sou’yb. Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 126-127. 220 Taufik Adnan Amal, loc.cit., 221 Blechere di lahirkan pada 30 Juni 1900 di Paris. Blechere melakaukan perjalanan
bersama orang tuanya ke arah Maghribi pada tahun 1915. Ayahnya di tugaskan pada urusan
(1945-1950). Dalam terjemahan ini, ia menyusun surat-surat al-Qur’an
secara kronologis yang hanya berbeda dari susunan Noldeke-Schwally
dalam beberapa hal. Asumsi dasar penanggalan menjadi empat
pseriode beserta kreterianya diterima sepenuhnya oleh Blachere.222
Sehubungan dengan kronologi Blachere, dapat dikemukakan
bahwa ia terlalu terpengaruh oleh sistem penanggalan Noldeke-
Schwally, yang pada gilirannya membuat asumsinya terhadap bagian-
bagian individual al-Qur’an sebagai unit wahyu yang orisinal tidak
begitu mencuat dalam upanya penanggalannya.223
d. Hartwig Hirschfeld
Memasuki abad ke-20, Hartwig Hirschfeld mengintrodusir
sistem penanggalan kronologi al-Qur’an dalam New Research into the
Compostion and the Quran. Karya ini dianggap sebagai tren baru
kajian kronologi al-Qur’an dikarenakan aransemen al-Qur’an
Trobosan baru dalam upaya merekostruksi kronologi
pewahyuan al-Qur’an dilakukan oleh Hartwig Hirschfeld lewat
karyanya, New reserches into to the Composition and Exsegesis of the
Qur’an, yang terbit di london pada tahun 1902. Dalam hal ini
Hirschfeld mengajukan suatu aransemen kronologi al-Qur’an yang
didasarkan oleh karekter atau fungsi bagian-bagian individual al-
Qur’an sebagai unit-unit wahyu tradisional. Ia juga meninggalkan
asumsi tradisional islam tentang surat sebagai unit wahyu orisinal yang
telah mempengaruhi perkembangan kajian kronologi al-Qur’an di
Barat.224
Posisi Hirschfeld sangat menarik, sekalipun aransemen
kronologisnya memeliki sejumlah cacat yang jelas, dan karenanya tidak
perdagangan kemudian ditugaskan kebagian administrasi di Maroko. Blechere menempuh pendidikan menengah di Prancis di gedung Putih. Setelah menyelesaikan sarjana mudanya , ditugaskan menjadi pengawas di madrasah Maula Yusuf di Rabat. Abdurrahman Badawi, op. cit., hlm 32.
222 Taufik Adnan Amal, loc. cit., 223 Ibid., hlm. 107. 224 Ibid., hlm. 112.
begitu diterima. Ia telah melakukan upanya rintisan untuk penerapan sastra
terhadap al-Qur’an dan memperkenalkan kembali asumsi yang telah lama
tertimbun dibalik hiruk-pikuk kajian kronologi al-Qur’an: bahwa dalam
usaha memberi penanggalan terhadap kitab suci tersebut perhatian
semestianya diarahkan pada bagian-bagian induvidual (periocopes) al-
Qur’an sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat.225
Asumsi semacam ini, sebagaimana di utarakan dijustifikasi secara
sepenuhnya sumber-sumber tradisional yang menjadi tumpuan kajian-
kajian kronologi. Belakangan, asumsi Hirschfeld terutama tentang bagian-
bagian induvidual al-Qur’an sebagai unit-unit orisinal wahyu menjadi
prinsip pembimbing dalam upaya paling terelaborasi sejauh ini untuk
mengidentifikasi dan memberi penanggalan unit-unit wahyu orisinal yang
dilakukan oleh Richard Bell.226
Pendek kata al-Qur’an telah menjadi sasaran penelitian yang
sangat cermat selaras dengan metode kritik Untuk melihat bentuk
kronologis dari empat periode dari beberapa tokoh yang berbeda seperti
William Muir, Noldeke-Schwally, dan Hirschfeld, bisa melihat langsung
pada bukunya Taufik Adnan Amal, dengan judul buku Rekonstruksi
Sejarah al-Qur’an. Di terbitkan di Yogyakarta, oleh FKBA, dari halaman
101 – 113.
2. Kronologi Al-Qur’an Richard Bell
Usaha-usaha yang belakangan, terutama yang dialakukan oleh
Richard Bell, berupaya untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan
menyerahkan semua energinya untuk menyusun seluruh kronologi teks al-
Qur’an sampai sekecil-kecilnya. Akibatnya, karyanya itu sungguh sangat-
sangat ekstrensik, ia lebih mencerminkan karya dari sosok patalogis dari
seseorang misionaris Scot katimbang karya mengenai susunan kronologis
revelasi al-Qur’an.227 Para orientalis misionaris tersebut memang
225 Ibid., hlm. 117. 226 Ibid., hlm. 116. 227 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm.
67.
menghendaki agar umat Islam membuang tuntunan Rasuluallah saw,
sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan
ajaran Jesus.228
Meskipun banyak sarjana muslim yang menganggap usaha-usaha
Barat semacam itu sebagai ilmiah (prinsip penentuan turunnya ayat dalam
matriks biografis sirah, menurut pandangan mereka bukanlah serangan
idiologis terhadap kitab suci), kecil kemungkinan dapat dihasilkannya
suatu karya yang lebih dari sekedar generelalisasi kasar dan umum,
bahkan melalui metode-metode modern terbaik sekalipun.229
Kajian utama Bell tentang kronologi al-Qur’an, dari sarjana Barat
direpresentasikan dalam karya-karya Richard Bell. kajian utamanya
mengenai al-Qur’an terdapat dalam The Quran Translated with a Critical
Rearrangement of the Suras ( dua jilid, masing-masing terbit pada tahun
1937 dan 1939), meskipun dalam suatu bentuk yang tidak lengkap.
Beberapa kekurangannya diperbaiki oleh artikel-artikelnya dan sebagian
lagi oleh karyanya, Introduction to the Qur’an, yang terbit pada tahun
1953. Buku terakhir belakangan, direvisi oleh William Montgomery Watt,
dalam Bell’s Introduction to the Qur’an terbit pada tahun 1960.230
Meskipun dalam bentuk yang tidak begitu lengkap, ditemukan
dalam dua jilid terjemahan al-Qur’annya, The Qur’an Translated, with a
critical Rearranggement of the Suras. Ketidak lengkapan karya ini
disebabkan sejumlah besar catatan yang menjelaskan secara rinci alasan-
alasan yang mengarahkan Bell kepada kesimpulan-kesimpulannya tidak
pernah diterbitkan. Namun sebagian dari kekurangan ini dapat diperbaiki
oleh artikel-artikelnya, serta sebagian lagi oleh karyanya: Introduction to
the Qur’an (1953) dan A Commentary on the Qur’an (1991).231
228 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme, Jakarta, Gema Insani, cet I, 2008, hlm.
9. 230 Ibid., hlm. 67. 231Taufik Adan Amal, Sejarah Rekonstruksi Al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001,
hlm. 113. Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 317.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Bell menerima
asumsi Hirschfeld bahwa unit-unit wahyu orisinal adalah bagian-bagian
pendak al-Qur’an, selanjutnya ia berpendapat bahwa sebagian besar
pekerjaan “mengumpulkan” unit-unit wahyu ini ke dalam surat-surat
dilakukan sendiri oleh Muhammad di bawah inspirasin ilahi. Dalam
proses “pengumpulan” tersebut, Muhammad juga dibawah inspirasi Ilahi
–telah merivisi bagian-bagian al-Qur’an, termasuk memperluas, mengganti
ayat-ayat lama dengan yang baru., menyesuaikan rimanya dan lain-lain.
Perivisian juga melibatkan dokument-dokument wahyu yang telah
direkam secara tertulis.
Sebagaimana Zaid menetapkan kreteria yang ketat setiap ayat yang
dikumpulkannya, lihat penjelasan sebelumnya232. Asumsi Bell tentang
perevisian dan dokument tertulis wahyu ini yang merupakan bukti-bukti
kontroversial dalam gagasan tentang penanggalan al-Qur’an barangkali
diterjemahkan terlebih dahulu agar bisa diapresiasi atau dikritik secara
proporsional.233
Penanggalan Bell didasarkan pada suatu asumsi yang teliti
terhadap setiap surat yang mengakibatkan pemilahan-pemilahan surat-
surat al-Qur’an kedalam bagian-bagian komponen-komponennya.
Analisis, semacam ini meskipun pekerjaan penanggalan telah kompleks,
dengan sendirinya memaperoleh hasil-hasil tertentu, misalnya melalui
pengakuan dan adaya sumbangan-sumbangan alternatif suatu ayat atau
ungkapan.
Bell juga melakukan suatu ikhtiar untuk tidak membacakan ke
dalam bagian ungkapan al-Qur’an lebih dari yang dikemukakan bagian
tersebut secara aktual. Hal ini berarti ia mengesampingkan pandangan para
mufassir Muslim belakangan sejauh pandangan-pandangan tersebut
tampak dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan teologis yang
muncul kira-kira lama setalah Nabi wafat dan hanya berupaya memahi
232 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., cet III, hlm. 126.
233 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,
setiap bagian al-Qur’an menurut makna yang dipahami para pendengar
pertamanya.
Seperti lazimnya para sarjana muslim dan Barat lainnya, Bell
menerima kerangka kronologis yang lazim tentang kehidupan Nabi
sebagaimana terdapat dalam sirah Ibn Hisyam (w 833), yang diterima Bell
terutama sekali adalah kronologi periode Madinah, dan hijrah tahun (622)
sampai Nabi wafat SAW (623)
Berpijak pada berbagai asumsi di atas, Bell kemudian melakukan
rekonstruksi historis yang sangat terelaborasi terhadap wahyu-wahyu
Muhammad saw, yang terhimpun di dalam al-Qur’an. Ia memang tidak
mengajukan suatu sistem penanggalan yang kaku, tetapi secara
“provesional” menyimpulkan bahwa komposisi al-Qur’an terbagi menjadi
tiga periode utama:234
a. Periode awal yang darinya tersisa beberapa “ayat pertanda” dan
perintah untuk menyembah Tuhan;.
b. Periode al-Qur’an yang mencakup bagian akhir periode Mekkah dan
satu atau dua tahun pertama di Madinah, ketiga tugas Muhammad
adalah memproduksi suatu Qur’an, suatu kumpulan pelajaran untuk
peribadatan; dan
c. Periode kitab, bermula pada penghujung tahun kedua setelah kedua
tahun hijriyah, Muhammad mulai memproduksi suatu kitab suci
tertulis.
Menurut Bell, al-Qur’an yang ada dewasa ini tidak mesti dibagi
menjadi tiga periode tersebut, karena sejumlah “ayat pertanda” telah
dijalin ke dalam bagian peribadatan dari periode al-Qur’an, dan kumpulan
bahan dari periode kedua ini juga telah direvisi untuk membentuk bagian
kitab periode ketiga.235
Suatu survei terhadap capaian-capaian Penelitian terhadap
penanggalan provesional Richard Bell atas bagian-bagian induvidual al-
234 Ibid., hlm. 115 235 Ibid., hlm. 116. Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi
Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 319
Qur’an memperlihatkan, bahwa ia hanya memandang 19 surat-surat
Makiyyah yaitu:236
Surat 50; 53; 55; 69; 75; 79; 80; 82; 86; 88; 89; 91; 92; 93; 95; 96;
99; 104; dan 113.. tetapi secara keseluruhan surat ini disimpulkan
memiliki bahan dari berbagai masa selama periode Mekkah. Beberapa
surat pendek lainnya –surat 102; 105; 112; dan 114- diduga sebagai
surat-surat utuh dari periode Madinah. Surat 1; 94; 103; 106; 107; dan
108, menurutnya bisa Makiyah atau Madaniyah. Sementara untuk surat
100; 101; 109; dan 111, ia tidak mengemukakan opininya.237
Lebih jauh ia memandang 24 surat sebagian surat-surat
Madaniyah, tetapi menganggapnya memiliki sejumlah besar bahan dari
masa-masa yang berbeda selama periode Madinah. Surta-surat lainnya
sejumlah 57 surat dipandang Bell memiliki sejumlah besar bahan baik
dari masa sebelum maupun setelah hijrah: 33 surat di antaranya memilki
sebagian besar bahan dari peiode Makkah dengan revisi dan tambahan
dari periode Madinah.
Surat ke 6; 7; 12; 13; 15; 17; 18; 21; 25; 26; 34; 36; 37; 38; 41; 44;
51; 52; 54; 56; 68; 70; 71; 72; 73; 74; 76; 77; 78; 81; 84; dan 90-
sementara 24 surat yang tersisa memiliki sebagian besar bahan dari
periode Madinah dengan beberapa bagian dari periode Mekkah, atau
didasarkan pada bahan-bahan periode Mekkah- surat 10; 11; 14; 16; 19;
20; 23; 27; 28; 29; 30; 31; 32; 35; 39; 40; 42; 43; 45; 46; 47; 83; 85; dan
97.238
Dengan demikian, Bell membedakan anatara penanggalan unit
wahyu orisinal dan penanggalan revisinya yang belakangan pada masa
Nabi. Sistem penanggalan semacam ini jelas memberi peluang sangat
236 Taufik Adnan Amal, loc. cit., hlm. 116. 237 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Tafsir Kontekstual, Bandung, Mizan, 1989,
hlm. 87. 238 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,
kecil untuk menyusun surat-surat al-Qur’an ataupun unit-unit wahyu
secara keseluruhan ke dalam tatanan kronologis.239
Barbagai capaian Bell dalam upaya memberi penanggalan unit-
unit wahyu al-Qur’an pada faktanya telah menunjukan karekter tentatif,
lantaran asumsinya mengenai perevisian al-Qur’an manjadi sangat
kompleks, juga sulit diterima oleh kaum Muslimin sekalipun revisi itu
dilakukan dibawah inspirasi Ilahi. Selain itu pijakan asumsinya yakni
elaborasi doktrin nasikh-mansukh masih diperdebatkan dan cenderung
ditolak sarjana Muslim modern.
Demikian pula sebagian besar kesimpulan penanggalannya
bersifat sangat umum dan meragukan, terlebih lagi untuk unit wahyu
Makiyah dalam karyanya banyak ditemukan kesimpulan penanggalan
seperti “Meccan, with later additions”, “early revised in Medina”,
“Meccan, With Medinan additions,” passibly “early Madinan, with later
additions”, atau “Meccan (?), “Medinan (?), “ “early (?), “date
uncertain,” dan lainnya, yang justru tidak memberikan kejelasan tentang
penanggalannya.240
E. Pandangan Richard Bell Tentang Teori Nasikh-Mansukh
1. Pengertian Nasikh-Mansukh Menurut Richard Bell
Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan
sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW.
Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian
pendek al-Qur’an. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan
Muhammad sebagai revisor al-Qur’an, walaupun dalam koridor inisiatif
illahi.241
Bentuk revisi tersebut dimungkinkan suatu bentuk pengulangan
wahyu dalam bentuk yang telah direvisi. Doktrin nasakh, misalnya
239 Ibid., hlm. 116. 240 Ibid., hlm. 117. 241 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 264.
menurut Bell, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an.
Dalam diskursus Islamolog, bahwa definisi nasakh tidak berbeda dengan
definisi yang telah diberikan oleh para ulama Muslim. Thomas Patrick
Huges dalam Dictionary of Islam, menerjemahkan kata nasakh dengan to
demolish (menurunkan), render void (salinan atau terjemahan) dan, to
destroy (membinasakan).242
Sebagaimana dikataan oleh John Wansbroug,243 John Burton.244
Mengatakan bahwa secara etimologis nasikh berarti “replecement” atau
“exchange” (tabdil), “suppression” (ibthal), dan “abrogation”. Dengan
berdasarkan kepada (QS. al-Baqarah: 106, an-Nahl: 110, dan al-Hajj: 52.
Dalam arti terminologi para Islamologi di atas menyepakati bahwa nasakh
adalah proses pergantian, perubahan dan pengalihan ketentuan suatu ayat
terdahulu oleh ketentuan ayat yang akan datang kemudian.
Richard Bell berpendapat bahwa berpijak pada keseluruhan ayat
ini, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu revisi al-Qur’an telah terjadi,
bukan hanya sebatas perubahan. Ia mengatakan:
“in the light of these verses, it cannot be denied that some revision of the Quran (at is was publicy proclaimede) took place. This was admittet by Muslim scholars in their doctrine of abrogation (al-nasikh wa al-mansukh),. The ide underlying the doctrineis that cartain commands to thes Muslims in the Quran only of temporary application, and thet when circumstances changed they were abrogated or refaced by othhers. Becouse the commande were word of god however, they continued to be recited as part of the Quran.
(Berdasar pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat disangkal bahwa
revisi al-Qur’an telah terjadi. Hal ini telah diakui oleh para cendikiawan
muslim dalam doktrin Nasikh- Mansukh-nya. Gagasan yang mendasari
doktrin ini adalah penerapan perintah-perintah tertentu bagi orang-orang
muslim dalam al-Qur’an yang bersifat sementara, dan ketika suatu
242 Ibid., hlm. 264. 243 John Wansbrough, Quranic Srudies, Oxford, 1977, hlm. 34. 244 John Burton, The Collection of The Qur’an, London: Cembridge University Press,
1977, hlm. 46-57.
berubah, perintah-perintah tersebut diubah atau diganti oleh printah
lainnya. Namun, perintah-perintah itu merupakan kalam Allah, ia harus
dibaca sebagai bagian al-Qur’an.245
Menurut Bell, walaupun mengakui adanya doktrin nasikh adalah
al-Qur’an, karena umat Islam memandang al-Qur’an sebagai kalam logos
Allah, tidak mungkin adanya revisi (perbaikan) al-Qur’an atas kemauan
Muhammad sendiri. Hal ini dijelaskan dalam sejumlah ayat, misalnya:
Ketika tanda-tanda (atau ayat-ayat) kami dibacakan kepada mereka sebagai bukti-bukti, maka orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: “datangkanlah :”tidak patut bagiku untuk mengubahnya atas kemauanku sendiri; aku hanya mengikuti apa-apa yang telah diwahyukan kepadaku, seandainya aku mendurhakai Tuhan, maka aku takut adzab besar.” (QS.[10] Yunus:15)
2. Doktrinal Nasikh-Mansukh dalam buku Bell’s Introductio to the Qur’an
Perintah untuk melewatkan sebagian malam dengan sembahyang
yang dikemukakan pada permulaan, sebagaimana firman Allah swt. QS:
[73] al-Muzammil: 1-4).
$ pκš‰r' ‾≈ tƒ ã≅ ÏiΒ ¨“ßϑø9 $# ∩⊇∪ ÉΟè% Ÿ≅ø‹ ©9 $# āω Î) Wξ‹Î=s% ∩⊄∪ ÿ…çµ x'óÁ ÏoΡ Íρr& óÈà)Ρ$# çµ÷ΖÏΒ ¸ξ‹ Î=s%
∩⊂∪ ÷ρr& ÷Š Η ϵ ø‹n=tã È≅Ïo?u‘uρ tβ#u ö�à)ø9 $# ¸ξ‹Ï?ö� s? ∩⊆∪
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
Ayat ini telah dihapus dan dibatalkan oleh ayat panjang di
penghujung surat tersebut (yakni QS. [73] al-Muzammil 20).
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran
245 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction, to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at
the University Press, 1991, hlm. 86-100, pada sub bab ini, penulis banyak dibantu oleh terjemahan Taufik Adnan Amal dan Lilian D. Tejasudhana, dalam buku Pengantar studi al-Qur’an.
malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. [73] al-Muzammil: 20).
Hal ini tidak diragukan mengingat tanggung jawab kemasyarakatan
Nabi dan para pemimpin muslim di Madinah, sehingga tidaklah diinginkan
jika mereka harus “bergadang” disebagian besar waktu malam.
Selain itu untuk melengkapi tentang kemungkinan adanya revisi
ini, bagian al-Qur’an penting lainnya harus disetir, selain ayat-ayat di atas,
Richard Bell juga menyetir beberapa hadist yang menggambarkan
bagaimana Muhammad saw, mendengar seseorang membacakan al-Qur’an
di sebuah masjid dan menyadarinya bahwa bagian al-Qur’an yang
dibacakan itu berisi sesuatu ayat yang telah dilupakannya.
“Dari abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya
berkata bahwa Abu Usamah telah mengatakan: ia menerima dari Hasyim
al-Dastawai dari ayahnya Aisyah. Bahwasanya pada suatu malam Nabi
mendengar seseorang membaca. Berkatalah ia, ‘Semoga Allah
memberikan rahmat baginya yang telah menggingatkanku akan suatu ayat
yang aku telah melupakannya sebagai bagian dari surat.”246 (HR. Bukhari
dan Muslim; jalur sanad dan redaksinya menurut Muslim. Hadist serupa
pula diriwayatkan bersumber dari Ibn Namir dari Ubaidah dan Abu
Mu’awiyah dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah).
246 Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Jilid III. Mesir: al-Hijazi, Juz 6,
t.th., hlm.75.
Menurut Bell, hal menarik lainnya yang mengindikasikan adanya
revisi al-Qur’an adalah perbedaan teks mushaf dan qira’ah-nya dari para
sahabat Muhammad saw. salah satunya adalah tambahan Ubay bin Ka’ab
terhadap Q.S. al-Baiyyinah [98] ayat 2 dengan kata-kata agama disisi
Tuhan adalah hanifiyyah sambah (hanifiyya yang moderat). Redaksi Ubay
pada QS. Ali Imran [3] ayat 1 yang biasanya dibaca dengan “Agama di sisi
Tuhan adalah Islam” dibaca oleh Ubay dengan “ Agama di sisi Tuhan
adalah hanifiya sambah.247
Jadi perintah itu melewatkan sebagian besar waktu malam dengan
bersembahyang yang dikemukakan pada permulaan surat 73 (persisnya
dalam QS.al-Muzammil [73]:1-4) dihapus atau dibatalkan oleh ayat
panjang dipenghujung surat tersebut (QS.al-Muzammil [73]:20). Hal ini
tidak dapat dirugikan mengigat tanggung jawab kemasyarakatan Nabi dan
para pemimpin Muslim Madinah, sehingga tidaklah diinginkan jika
mereka harus “bergadang” di sebagian besar waktu malam.
Betapapun kutipan-kutipan yang baru dikemukakan di atas ini jika
diterima begitu saja –memberi petunjuk tentang susuatu yang lebih luas
katimbang yang dibayangkan dalam doktrin penghapusan.
Maka yang di gembar-gemborkan tentang isu nasikh-mansukh,
soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaniq dan lain
sebagainya.248 Untuk melengkapi kajian kemungkinan adanya revisi, Bell
menghubungkannya dengan beberapa ayat yang bisa disebut “Satanic
Verses” (ayat-ayat setan) al-al-gharaniq.
Kisah gharanic al-Ula (satanic verses) ini merupakan kisah yang
sering disitir oleh para orientalis untuk menunjukkan sisi kemanusian Nabi
Muhammad. William Muir, misalnya menggunakan kisah ini untuk
membuktikan kepalsuan risalah Nabi Muhammad. Pandangan Wiliam
Muir ini dikritik pedas oleh Husein Haikal sebagai sebuah kisah yang
247 Subhi Shalih, op. cit., hlm. 16. 248 Syamsuddin Arif, “al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, dalam Muhammad Amin
Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 11-12.
tidak berdasar. Tor Andrae pun melontarkan kritik kepada para orientalis
yang menukil kisah ini sebagai sikap yang terburu-buru dan tidak selektif.
Menurut Andrae, sekilas saja kisah itu memiliki banyak kelemahan dan
kontradiksi.
Kebanyakan para orientalis menukil kisah ini Ibn Saad, sejarawan
Muslim pada abad ke-19 masehi dalam karyanya berjudul Thabaqat al-
Kubra. Ibn Saad menguatkan kisah tersebut dengan sebuah hadist yang
didengarnya pada abad ke-3 H, lebih kurang lebih dari setengah abad
sepeninggal Nabi Muhammad saw. Namun demikian berdasarkan
penelitian At-Turmudzi, hadist ini memiliki kelemahahan sanad, yaitu
karena terdapat nama Abdullah ibn Hattab. Menurut At-Turmudzi dalam
Usd Al-Ghabah, Abdullah Ibn Hattab ternyata tidak hidup sezaman
dengan Nabi. Dengan demikian, hadist ini Munqatti’ (putus sanad atau
sanadnyua tidak bersambung hingga Nabi Muhammad saw.
Kisah ini pun memiliki saluran lain yang diterima oleh at-Tabarani
(wafat 311 H/ 973 M), yang dinukilnya dari tafsir At-Thabari. Namun,
berdasarkan penelitian para Muhaddist, termasuk Ibn Hajr Asqalani, hadis
ini memilki kelemahahan pula. Penyebabnya adalah hadist ini
diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Kaab. Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani
dalam Tahgdzib Al-Tahdzib, berdasarkan urutan Bukhari mengenai
biografi Muhammad bin Kaab adalah adalah tabiin. Yang hidup sezaman
dengan Nabi Muhammad adalah ayahnya, yaitu Kaab. Dengan demikian,
hadist al-Gharaniq al-ula dari jalur Muhammad bin Kaab pun sifatnya
Munqatti’. 249
249 Hadist Munqatti’ menurut bahasa mengikuti wazan fa’il dari bentuk masdar al-
Inqitha’u dimana ia memilki arti (terputus), lawan dari kata al-Itisal (bersambung). Sedangkan menurut arti istilah ‘ulama mutaakhirin ahli hadits ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dikarenakan tidak menyebutkan seorang rawi, dengan kata lain bahwa hadist tersebut tidak menyebutkan orang yang menyampaikan, orang menghubungkan atau orang yang . maka hadist tersebut sepertinya masih berbentuk nama yang umum ditinjau dari segi keumumanny. Ada tiga deskripsi pada hadist tersebut, yaitu: dikatakan munqati’ karena membuang sanad yang pertama.atau membuang sanad yang terakhir, bisa juga membuang dua sanad sekaligus yang bersamaan dari segi kedudukan tempatnya. Menurut penjelasan Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab “Fi al-Nuhbah wa Syarkhiha. Abu Habsin Mahmud Tahan, Taisir al-Musthalah al-Hadits, Singapura, Jidah, Haramain, 1985, hlm. 77-78.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan yang demikian
Richard Bell yang mengukuhkan adanya revisi dalam al-Qur’an dengan
menyandarkan kepada riwayat al-Gharaniq al-ula dapat dipandang
memiliki kelemahan. Demikian pula pendapat-pendapat lainnya dari para
orientalis yang menyandarkan kepada kisah tersebut memiliki kelemahan
mendasar pada sumber kisah itu sendiri.
Kami tidak mengutus sebelumu (Muhammad seorang Rasul atau Nabi pun, melainkan ketika ia membentuk keinginannya, setan mamasukan (sesuatu) kedalam formulasinya; maka Tuhan menghapuskan apa-apa yang telah dimasukkan setan, kemudian Tuhan menyesuaikan tanda-tandanya (atau ayat-ayatnya) agar Dia menjadikan apa-apa yang telah dimasukkan setan itu adalah suatu ujian bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan kasar hatinya....dan agar orang-orang yang berilmu dapat mengetahui bahwa itu merupakan keberangasan dari Tuhanmu dan mengimaninya. (QS. [22] al-Hajj: 52f).
Kisah “Garanik al-Ula” merupakan bahan cemooh dikalangan
orientalis tempo dulu terhadap misi Nabi besar Muhammad SAW. dan
bahkan mereka jadikan ‘bukti’ untuk menyatakan kepalsuan risalah Nabi
besar Muhammad saw, terutama oleh Sir William Muir (1819-1950)
dalam karyanya Life of Mohamet, Histor of Islam, pertama kali yang
memeberitahukan adalah Prof Dr. Tor Andrae250, seorang orientalis
berkebangsaan Jerman, menulis sebagai berikut:
“Ibnu Sa’ad, seorang ahli sejarah dari abad ke -9 Masehi, menceritakan bahwa suatu Muahmmad mengizinkan sebagain mukmin berhijrah ke Habsy untuk menghindarkan tindakan kekerasan yang mengancamnya dan seganap pengikutnya, ia pun sangat berkeinginan untuk tidak menerima seuatu wahyu yang akan membangkitkan suatu kebencian kaumnya. Ia berhasrat untuk merebut hati mereka itu.251
Menurut Bell, satanic verses dimaksud untuk dipaksakan masuk
kedalam dua (atau tiga) ayat yang menyusuli QS. [53] al-Najm: 19-20,
walaupun belakangan dibuang, Muhammad diberitakan telah
251 Joeseof Sou’yb, op. cit., hlm. 152.
mengharapkan wahyu yang akan membimbing pada pedagang Mekkah
menerima agamanya, ketika turun kepada bagian berikut:
“Sudah kamu pertimbangkan al-Latta dan Al-‘Uzza, dan Manat, yang ketiga, yang paling kemudian”. (QS. [53] al-Najm: 19-20)252
Kisah yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Tor Andrea itu sama
dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Ridha dalam Muhammad,
Rasul Allah, serta sama juga dengan yang diungkapkan oleh Dr. Husain
Haikal dalam Hayatu Muhammad. Hanya saja, kalau Prof. Dr. Tor Andrea
mengakhiri kisah sampai situ, tapi Muhammad Ridha dan Dr. Muhammad
Husain Haikal memungut lanjutan kisah yang diberikan Ibn Sa’ad ahli
sejarah pada ke-9 M itu sebagai berikut:
“Muahmmad beroleh kenyataan tentang kekeliruannya, dan berkata: Saya telah menyipatkan kepada Allah kaliamat-kalimat yang tidak diwahyukan’, makan Allah menurunkan wahyu yang berbunyi: “dan sesungguhnya hampir mereka memalingkan dikau dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar engkau membuat yang lain secara bohong tehadap kami, dan kalau sudah begitu tetulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau kami tidak memperkuat hati mu, niscahaya hampir engkau condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, niscahaya kami akan merasakan kepada mu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan engkau akan tidak mendapat seseorang penolongpun terhadap kami’, dengan begitu Nabi balik kembali mencela dan menista dewi-dewi pujaan kaum Quraiys itu, dan suku Quraisy (di Mekkah) pun berbalik melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan siksaan terhadap Nabi dan para Sahabat’.
Demikian kisah lanjutan dalam pemberitaan Ibnu Sa’ad, seorang
ahli sejarah (wafat 231 H/ 845 M). Kisah “Garanik al-Ula” itu amat
mendeskriditkan Nabi besar Muhammad saw, yang fungsi risalahnya
adalah mengembangkan dan mempertahankan keyakinan tauhid, tetapi
berdasarkan kisdah itu Nabi besar Muhammad saw, berbalik menganut
keyakinan syirik. Sekalipun belakangan dinyatakan sadar akan
kekeliruannya, tatapi fungsi risalah Nabi Muhammad saw, dengan kisah
252 Dadan Rusmana, op. cit., hlm 270. Joeseof Sou’yb, loc. cit.,
itu telah cacat sekali, dan kaum orientalis telah melukiskannya sebagai
seorang yang oportunis253, seorang yang berpendirian rusak.254
Menurut Bell, ayat ini diinformasikan terdapat terusannya yang
belakangan dibuang yaitu: Mereka inilah yang menjadi perantara-perantara
orang yang syafa’atnya sangat diharapkan asalkan mereka tidak dilupakan,
”Disebut pula tidak ada informasi yang menyebutkan beberapa lama
Muhammad saw, baru menyadari bahwa bagian di atas tidak datang dari
Tuhan., karena ia menerima suatu wahyu yang mengoreksinya adalah dua
ayat yang kemudian.
“Apakah laki-laki untuk kamu dan perempuan untuk-Nya yang demikian itu tentunya pembagian yang tidak adil.” (QS. An-Najm (53): 21-23).
Lalu ayat lain menunjukkan orang-orang pangan Mekkah
mendesak muhammad membuat wahyu-wahyu yang lebih menyenangkan
diri mereka, kira-kira dengan membolehkan pengakuan tertentu kepada
berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan yang lebih rendah:
Mereka hampir saja memalingkanmu, dari apa-apa yang telah kami wahyukan kepadamu agar kamu mengada-adakan sesuatu yang lain terhadap kami. Kalau kami tidak meneguhkan kamu (muhammad), maka hampir saja condong sedikit kearah mereka. Jilka terjadi demikian . kami akan membuat kamu merasakan kehidupan ganda dan kematian ganda, dan kamu tidak akan menemukan seorang penolongpun terhadap kami. (QS. [17] al-Isra’:73-75)
Nabi pasti yakin bahwa ayat-ayat di atas merupakan wahyu-wahyu
yang benar, dan karenanya ia tidak dapat merenung-renung dengan
sengaja untuk menukar ayat-ayat tertentu sebagai wahyu.
Walau demikian, al-Qur’an berbicara berbagai cara di mana
perubahan-perubahan terjadi atas inisiatif Tuhan. Tuhan bisa
menyebabkan Muahammad melupakan beberapa ayat-ayat tetapi juga ia
253Oportunis adalah orang yang menjalankan politik oportunisme, sedangkan oportunisme
sediri adalah suatu paham politik yang tak berasas dan menunggu kesempatan atau keadaan yang menguntungkan; politik kotor; politik angin. Partanto, Pius A, & Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th., hlm. 544.
254 Joeseof Sou’yb, op. cit., hlm. 154.
berbuat demikian, maka dia akan mewahyukan ayat-ayat lain sebagai
penggantinya:
Kami akan sebabkan kamu membaca, dan kamu tidak akan lupa, kecuali apa-apa yang telah di kehendaki Tuhan.....(QS.87:6f).
Ayat berikut mungkin pula merujuk kepada hal ini, tetapi dapat
pula merujuk kepada hal-hal selain wahyu yang dilupakan:
...dan ingatlah kepada Tuhanmu ketika kamu lupa, dan katakanlah: “mungkin Tuhanku akan membimbingku kepada sesuatu yang lebih dekat kepada kebenaran (rashad) dari pada itu” (QS.18:24).
Juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan Tuhan yang
menghapuskan atau senbaliknya memindahkan dan mengubah bagian-
bagian wahyu tertentu:
Tuhan atau menghapuskan atau menetapkan apa-apa yang dikenhendaki-Nya; dan sisi-Nya “induk kitab”(QS.13:39). Dan ketika kami pertukarkan ayat satu dengan yang lannya dan Tuhan mengetahui apa-apa yang diturunkannya mereka berkata: “kamu muhammad hanyanlah seorang yang mengada-ada”, bukanlah demikian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui (QS.16:101).
3. Aplikasi penafsiran Richard Bell terhadap ayat-ayat Nasikh-Mansukh.
Di dalam aplikasi penafsiran ayat-ayat Nasikh-mansukh yang
dilakukan oleh Richard Bell, ini terdapat tujuh bentuk aplikasi, yaitu:
a. Aplikasi penafsiran tentang Proses al-Jam’u.
Jika perhatian yang semestinya juga dicurahkan pada kata-kata
di dalam al-Qur’an QS. 75:17 yang diucapkan oleh Tuhan (atau
mungkin malaikat-malaikat) kepada Muhammad: “kamilah yang
berhak mengumpulkannya dan membacakannya, :maka proses”
pengumpulan bagian-bagian wahyu yang terpisah untuk membentuk
surat-surat juga dilakukan oleh Muhammad sembari megikuti inisiatif
Illahi; disini kata yang diterjemahkan, dengan mengumpulakn” , jam’
merupakan kata yang belakang digunakan untuk “mengumpulkan” al-
Qur’an setelah wafatnya Nabi.
Dalam pendekatan yang dilkukan oleh John Wansbrough lebih
jauh ungkap Rippin adalah skiptisisme, ketika menjawab pertanyaan
yang diajukan mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam.
Pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada
kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan al-Qur’an.255
Bentuk revisi yang paling sederhana adalah “pengumpulan”
atau mengumpulkan unit-unit kecil yang pada mulnya turun sebagai
wahyu. Ada pijakan untuk berpendapat bahwa proses ini dimulai oleh
Nabi sendiri, yakni proses tersebut berlangsung saat diterimanya
wahyu-wahyu. Hal ini tampaknya dikandung oleh QS.75:17 yang telah
disebutkan di atas, keseluruhan bagian al-Qur’an ini adalah sebagai
berikut:
Jangan kamu gerakan lidahmu di dalamnya untuk membacanya secara tergesa-gesa; atas kamilah pengumpuannya dan pembacaanya; jika kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian atas kamilah penjelasannya (QS. [al-Qiyamah] 75 ;16-19).
Penjelasan yang yang paling memungkinkan terhadap kata
“mengumpulkan” (jam’) di sini adalah bahwa bagian-bagian wahyu
yang semula telah diterima Nabi secara terpisah, kini dibacakan ulang
baginya dengan dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya.
Ketika musuh-musuh Islam ditantang untuk membuat satu surat QS.
10:38 atau sepuluh surat QS. 11:13 seperti yang telah diwahyukan
kepada Nabi, maka implikasi dari tantangan ini adalah bahwa dalam
tangan Muhammad telah ada sepuluh unit wahyu yang dapat disebut
“surat-surat”.
b. Aplikasi Penafsiran tentang konsep Penanggalan
Penanggalan bagian al-Qur’an kedua QS.11:13 paling lambat
adalah ayat Madaniyyah awal, dan hal ini memungkinkan penambahan
surat-surat lainnya sebelum Nabi wafat.
255 Abdul Mustaqim (ed. ), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai
Metodelogi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 218.
Diantara macam pembuka surat (fawatih al-Suwar) yang tetap
aktual pembahasannya hingga sekarang ini adalah huruf Muqatha’ah.
Menurut Watt, huruf-huruf yang terdiri dari huruf-huruf alpabet
(hijaiyah) ini, selain mandiri juga mengandung banyak mengandung
banyak Misterius, karena sampai saat ini belum ada pendapat yang
dapat menjelaskan masalah itu secara memuaskan.256
Akan tetapi, dalam pandangan W. Montgomery Watt, dalam
kasus-kasus tertentu, pemecahan gossens tidak masuk akal atau
didasarkan pada penyusunan kembali kandungan dan pengubahan
bagian-bagian surat tertetu secara drastis. Lebih jauh lagi menurut
Watt, ia tidak berhasil menjelaskan menggapa beberapa surat memiliki
judul serupa, seperti yang terkandung dalam kelompok-kelompok surat
dengan huruf-huruf yang sama dengan permulaannya.
Demikian pula para sarjana Muslim selalu memandang bahwa
huruf-huruf misterius merupakan bagian teks yang diwahyukan dan
tidak ditambahkan oleh para “pengumpul” al-Qur’an yang belakangan,
maka sangat mungkin bahwa kelompok surat-surat ini telah ada
sebagai kelompok-kelompok surat pada masa Nabi.
Dr. Subhi Shalih, umpamanya mengkritik penafsiran-penafsiran
di atas. Untuk kelompok ahli tafsir, mengapa huruf-huruf (Qaf),
umpamanya, di tafsirkan dengan singkatan nama (al-Qadir), bukan al-
(Qahir), atau (al-Quddus), atau (al-Qawi). Lebih lanjut ia mengatakan,
maengapa kata ain mesti menunjukkan nama (al-Alim) bukan (al-
‘Aziz), begitu seterusnya.257
Menurut Dr. X, menurutnya semua itu sekedar permainan
Muhammad” ia tidak percaya kalau huruf (Qaf) adalah lambang yang
256 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, Edinburgh at The
University Press, 1991, hlm. 60-62. Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 171.
257 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Bairut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 102.
memiliki arti al-Qur’an, sesuai dengan jumlah total suratnya yaitu 114
surat, ia menilai bahwa hal itu adalah suatu kebetulan.258
Jika Bismi-illah juga merupakan dari bagian teks asli, maka hal
ini dapat digunakan sebagai alasan untuk berpendapat bahwa
permulaan surat tersebut (yakni huruf-huruf misterius setidak-tidaknya
berasal dari Nabi Muhammad.259
Lebih jauh, perbedaan-perbedaan besar dalam panjangnya surat
hampir tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan-perbedaan pokok
bahasan, rima atau bentuk jenis kreteria yang mungkin digunakan para
pengumpul al-Qur’an dan hal ini memberi kesan bahwa sebagian besar
al-Qur’an tersusun dalam surat-surat sebelum para pengumpul
memulai pekerjaannya. Dengan demikian secara menyeluruh, adalah
mungkin kalau sebagian besar pekerjaan “mengumpulkan” al-Qur’an
telah dilakukan oleh Nabi di bawah bimbingan proses pewahyuan yang
terus menerus.
Jadi apa yang dilakukan oleh Richard Bell, penulis melihat
bahwa Bell memaksakan apa yang ada dalam fawatih suwar untuk
supaya masuk dalam pemikirannya, sehingga kesimpulan dan
pandangannya cenderung di tolak oleh jumhur ulama’ mufassir,
adapun kajian kritik atas pemikiran Richard Bell mengenai fawatih
suwar, akan penulis bahas pada bab IV.
c. Aplikasi penafsiran tentang konsep Rima (Ayat dan Surat)
Selanjutnya perlu dicatat, tidak hanya bagian-bagian wahyu
yang dikumpulkan secara bersama-sama untuk kemudian terbentuk
surat-surat, tetapi ketika pengumpulan ini dilakukan beberapa
penyesuaian (adaptasi) juga teah dilakukan. Satu bukti untuk proses ini
pemunculan rima-rima yang tersembunyi. Akan terlihat bahwa
terkadang, ketika suatu bagian wahyu dengan suatu purwakanti di
tambahkan ke dalam surat yang memilki purwakanti yang berbeda,
258 Mustafa Mahmud, Dialog dengan Atheis, Terj. Maimun Syamsudin, Yogyakarta, Mitra Pustaka, cet I, 2002, hlm 198.
259 Subhi Shalih, loc. cit.,
ungkapan-ungkapan ditambahkan untuk memberi bagian tambahan
tersebut purwakanti surat di mana ia disisipkan. Sebagai suatu contoh
untuk hal ini, surat (QS. [23] al-Mu’minun:12-16) dapat dianalisis.
La-qad khalaqna-al-insana min sulala /min tin Tsumma ja’alnahu nutfa / fi qarari makin Tsumma khalaqna al-nutfa ‘alaqa Fa khalaqna al-‘alaqata mudgha / Fa-khalaqna al-mudghata ‘izaman / Fa-kasawna al-‘izama lahma / Tsumma ansha’nahu khlaqa akhara / Fa tabarraka-illahu ahsanu –l-khaliqin Tsumma inna-kum ba’da dzalika la-mayyitun Tsumma inna-kun yawma-l-qiyamati tub’athun
Terjemahan ayat-ayat ini mungkin sebagia berikut:260
12 telah kami ciptakan manusia dari suatu sari pati / dari lempung Kemudia kami jadikan ia suatu mani / dalam wadah yang kukuh Kemuddian kami jadikan mani itu suatu gumpallan darah, Kemudian kami jadikan gumplan darah itu sepotong daging Kemudian kami jadikan daging itu tulang-belulang, kemudian kami bungkus tulang-tulang itu dengan daging, kmudian kami ciptakan ia suatu makhluk yang baru / maha suci tuhan pencipta yang paling baik Kemudian setelah itu kamu benar-benar akan mati. Kemudian pada hari berbangkit kamu akan dibangkitkan.
Dalam contoh di atas, harus disimak bahwa ayat-ayat, seperti
terlihat, berima- i Pada contoh di atas, menurut Richard Bell ayat-
ayatnya, seperti terlihat, berirama dalam- i (l)- tepatnya in atau un-
yang merupakan purwakanti pada surat tersebut secara
keseluruhannya. Namun pada ayat ke 14 sampai panjang, dan lebih
lanjut dapat dipilah-pilah ke dalam enam ayat pendek, lima
diantaranya berima –a, sementara yang ke enam yang dianggap yang
tidak bermanfaat maknanya berima dalam in, rima -a yang sama juga
dapat ditemukan dalam ayat 12 dan 13 dengan menghilangkan frase
penutupnya (yakni ungkapan setelah garis miring). Dengan
260 W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 91.
menghilangkan fase berima penutup ini, ayat 12 sampai 14 merupakan
suatu bagian pendek yang terdiri dari tujuh ayat yang berima dalam –a,
dan melukiskan dalam penciptaan manusia sebagai tanda
kemahakuasaan kreasi Tuhan.
Harus dicatat bahwa kata sulala, diterjemahkan sebagai sari
pati” untuk menyelaraskannya dengan ungkapan berikut, dapat juga
berarti “bagian terpilih dari sesuatu” atau “apa yang ditarik ke luar
dengan hati-hati” dan juga “mani”; dalam satu-satunya tentang kata
tersebut di dalam al-Qur’an, dikatakan bahwa sementara manusia
pertama diciptakan pertama dari lempung, maka anak keturunannya
berasal dari sulala, “ sari pati air”. Jadi penghilangan ungkapan-
ungkapan rima tampaknya memberi suatu makna yang lebih baik dan
lebih jelas terhadap ayat-ayat di atas.
Selanjutnya dapat diduga bahwa ayat 15 dan ayat 16
ditambahkan sebagai bagian penyesuaian untuk bagian al-Qur’an
tersebut dalam surat ini. Bagian selanjutnya surat tersebut al-Qur’an al-
Mukminun [23] ayat 17-22, menunjukkan tanda-tanda telah
diberlakukan dalam cara yang sama, apabila ungkapan penutup dengan
rimanya dilepaskan, maka terdapat bekas-bekas suatu purwakanti
dalam bentuk fa’il (tara’iq, fawakih, dan lain-lain). Sejumlah bagian
al-Qur’an juga tampak telah diperlukan dalam cara yang sama.261
Diantara kasus-kasus yang menarik adalah satu atau dua kasus
di mana rima surat berubah dalam surat ke 3 misalnya, bagian pertama
(hingga sekitar ayat 20) berima dalm -a (l), dan demikian pula bagian
akhirnya dari ayat 190 hingga ayat 200. Namun sebagian besar bagian
pertengahan surat ini berima dalam –i(l). Dekat titik di mana
perubahan pertama terjadi, terdapat suatu bagian (ayat 33 sampai ayat
41) yang menuturkan kisah Maryam dan Zakariya di mana beberapa
ayatnya-yakni ayat-ayat 37,38,39,40,41 berirama dalam -a(l), mesti
261Hal yang serupa juga terjadi pada QS. 3:33ff.,45ff.;10:7-10;13:2ff.; 14:24ff.;14:24ff.;16:10ff., 48ff.,51ff.; 25:45ff., 53ff.; 61ff.; 27:59ff.; 31:15-20; 40:57ff., 69ff.; 41:9ff.; 43:9ff. W. Montgomery Watt, op. cit., hlm 196.
tampak memungkinkan bahwa ayat-ayat lain telah memiliki ungkapan-
ungkapan yang ditambahkan agar berirama dalam –i(l), misalnya
penhujung ayat 36 adalah (al-shaytan) jika al-rajim dihilangkan.
Jadi terlihat seakan-akan suatu bagian rima -i(l) telah di
sisipkan kedalam suatu surat yang yang semula berima dalam –a(l)
dan suatu upaya telah dilakukan untuk menyambung dua unit menjadi
satu secara cermat. Kesan ini semakin kuat bila di simak bahwa rima -
i(l) yang muncul dipenghujung ayat 18 dimuati suatu ungkapan dengan
konstruksi sulit yang lebih mengarah kepada ayat 21 katimbang ayat
19 dan ayat 20. Contoh-contoh lain mengenai hal senada yang
bertalian dengan suatu perubahan rima muncul dalam QS.13:2-4 dan
19:51-58.
Juga terdapat berbagai bagian al-Qur’an di mana ungkapan-
ungkapan rima yang terlebih dahulu berada di dalamnya. Dalam kasus-
kasus semacam ini, seseorang tidak dapat memastikan bahwa revisi
telah dilakukan atasnya, namun apabila ungkapan ditemukan di
penghujung sejumlah ayat yang berurutan seperti QS. 6:95-99, 102-
104, maka adalah masuk akal untuk berasumsi bahwa ungkapan telah
disisipkan agar bagian yang tidak berima pada mulanya menjadi
berima. Dalam dua kasus surat yaitu (QS. 6:84-87; 38:45-48), hal ini
tampak dilakukan dengan suatu daftar nama-nama, dan terdapat pula
suatu kasus yang dapat diperbandingkan dalam QS.19:51-57. 262
d. Aplikasi Penafsiran terhadap konsep Gramatikal
Cara lain penyesuaian bagian-bagian al-Qur’an dapat
diilustrasikan dengan QS.6:141-144, ayat-ayat ini tidak dapat
dikonstruksikan secara gramatikal seperti yang terlihat, tetapi setiap
ayatnya dapat dipilah ke dalam dua bagian. Bagian yang pertama
mengemukakan daftar karunia-karunia Tuhan dalam hasil bumi dan
hewan-hewan, tetapi dalam bagian yang kedua, telah dimasukkan ke
262 Ibid., hlm. 92
dalam daftar ini kalimat-kalimat yang membabat makanan pantangan
orang-orang pangan.
Demikian pula, dalam QS.7:57, 58, tanda kemurahan Tuhan
dalam menghidupkan kembali tanah mati serta bermacam-macam
respon tanah-tanah yang berbeda mungkin merupakan suatu semile
tentang berbagai respon manusia terhadap pesan illahi telah diubah
dengan menyisipkan ke dalam kalimat-kalimat bukti penguat
kebangkitan kembali manusia, sisipan-sisipan ini ditandai dengan
suatu perubahan kata ganti yang muncul tiba-tiba dari “Dia” kepada
“Kami”, yang mengaku kepada Tuhan. 263
Komentar-komentar (glosses) merupakan sautu karekteristik
yang lazim dari manuskrip-manuskrip Yunani, Latin dan lainnya.
Komenter-komentar tersebut merupakan penjelasan pendek suatu
ketidakjelasan, kemungkinannya pertama kali ditulis di tepi manuskrip
oleh pembaca tertentu dan kemudian secara keliru di gaungkan
kedalam teks oleh penyalin belakangan. Walaupun sangat meragukan
jika al-Qur’an berisi sejenis komentar dalam pengerjaannya yang ketat,
tetapi terlihat sesuatu yang mendekati ragam komentar ini dalam
QS.2:85. Yang dimulai dari ayat sebelumnya, bagian al-Qur’an ini
berbunyi:264
Ingatlah ketika kami buat suatu perjanjian dengan kamu tentang ketentuan-ketentuan berikut; kamu tidaka akan menumpahkan darahmu sendiri, anatar satu dengan lainnya; dan kamu tidak akan mengusir dirimu dari tempat-tempat kediamanmu. Kemudian kamu berikrar, sedangkan kamu sendiri mnejadi saksi-saksinya.(QS. 2: 84)
Namun terdapat juga tambahan-tambahan lain yang mustahil
dapat dilakukan tanpa otoritas. Ungkapan yang keliru ditempatkan
dalam QS.[2] al-Baqarah: 85),
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari
263 Ibid., hlm. 93. 264 Ibid., hlm. 94.
kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.
Klausa tentangan penebusan tawanan-tawanan tampaknya
merupakan klausa campuran. Dalam translation-nya menganggap
bahwa klausa tersebut merupak bagian dari ketentuan perjanjian dari
ayat sebelumnya (yakni QS.2:84), yang memang sangat
memungkinkan tetapi tidak dapat dipastikan. Jika klausa ini
dilepaskan, klausa berikutnya yang dengan pelepasan tersebut dapat
diterjemahkan “meskipun diharamkan bagi kamu” menjadi amat jelas
tanpa penambahan ungkapan “pengusiran mereka”, ikhrajuhum.
Dengan demikian, terdapat suatu dugaan kuat bahwa ungkapan
“pengusiran mereka” merupakan suatu komentar atau tambahan yang
dibuat setelah klausa tentang penebusan tawanan dicampurkan contoh-
contoh penambahan atau pergantian yang bersifat menjelaskan ini
dapat ditemukan dalam QS.6:12,20; 7:92; 21:47; 27:7; 41:17; 76:16.
265
Kasus paling mencolok terhadap dipenghujung surat 101 (ayat
9 hingga ayat 11):....”ibunya akan menjadi hawaya, dan tahukah kamu
apakah itu? Api yang sangat panas.”Hawaya” agaknya bermakna
“tidak memiliki anak” lantaran meninggal atau tertimpa nasib jelek
yang menimpa sang anak; tetapi tambahan dalam surat ini memberikan
kesan bahwa Hawaya merupaka nama neraka.
265 W. Mongtgomery Watt, loc. cit.,
e. Penafsiran terhadap konsep Penambahan dan Sisipan
Bagian al-Qur’an lain yang agak mirip adalah QS.90:12-16.
Tambahan dan sisipan bentuk lain dapat dijelaskan dari surat-surat
yang lebih pendek. Dalam surat 91 terlihat bahwa bagian utamanya,
ketika pertama kali diwahyukan, berakhir pada ayat 10; tatapi bagian
ini kemudian diikuti oleh suatu ringkasan kisah kaum Tsamud yang
mungkin telah ditambahkan untuk memberi ilustrasi moral, atau hanya
ditempatkan begitu saja lantaran persamaan rima. Ayat 6 dam ayat 7
dari surat 88 dan ayat 34 dalam surat 78 dapat dipandang sebagai
sisipan lantaran adanya keterputusan antara ayat 32 dan ayat 35.266
Dalam surat 87, perubahan yang tiba-tiba dramatis pada ayat 16
menandakan adanya suatu penambahan yang barangkali berlangsung
pada wahyu awal, tapi mungkin juga lebih belakangan. Dalam surah
(QS. 74:31) secara jelas data dipandang sebagai sisipan dengan adanya
gaya dan panjang ayat yang berbeda dari ayat-ayat disekitarnya.
Menurut Watt, Bell, juga menambahkan tambahan-tambahan
ayat lain seperti dalam QS. 2:85, meskipun tambahan ini dianggap oleh
Watt sesuatu yang mustahil, Hal ini berkaitan dengan pergeseren
doktrin predistinasi yang berlangsung pada masa-masa Madinah.
Syarat-syarat yang diperkenalkan dengan kata illa, “kecuali” sering
digunakan secara khusus.
Seperti dalam QS. 87:7 dan 95:6, di mana illa memasukkan
suatu ayat yang lebih panjang dan memiliki karekteristik susunan kata
(fraseologi) periode Madinah, ke dalam suatu bagian al-Qur’an dari
masa awal yang memiliki ayat-ayat berbentuk pendek. Penambahan-
penambahan semacam ini, yang seakan-akan membuat tambahan-
tambahan tersebut benar-benar merupakan suatu modifikasi yang
berbeda dari pernyataan di mana ditempatkan, pasti telah dimasukan
secara langsung. Setidak-tidaknya dalam beberapa kasus penambahan
266 Ibid., hlm 95.
ini kita dapat melihat beberapa pijakan untuk membuat pengecualian.
267
Tambahan-tambahan yang lebih panjang terkadang bisa
dibedakan secara mudah. Jadi dalam surat 73, sesuatu ayat yang
panjang muncul di penghujung yang dengan memasukkan suatu
rujukan kepada kaum muslimin yang turut serta berperang secara jelas
dapat dipandang sebagai ayat madaniyyah, dan hal ini, diakui oleh
setiap orang. Tetapi keseluruhan ayat lain dalam surat tersebut
khususnya dibagian awal berbentuk ayat-ayat pendek mengena
merupakan karekteristik bagian-bagian awal. Alasan untuk perubahan
ini adalah bagian al-Qur’an di permulaan surat telah
merekomendasikan semabahyang malam yang terlalu berlebihan,
maka anjuaran moderisnya menjadi penting ketika di Madinah.268
Tambahan-tambahan dipertengahan surat juga merupakan hal
yang biasa dalam al-Qur’an umpama bagian-bagian surat 19 memiliki
purwakanti dalam –iyya, tetapi purwakanti demikian disela ayat 34
sampai ayat 40 yang umumnya memiliki purwakanti dalam -i(l). Ayat
ini mengisahkan Maryam dan Isa, serta mengkritik kesalahpahaman
umum doktrin Kristen dengan menolak gagasan tentang Tuhan yang
memiliki anak. QS. 2:130-134 melarang pengembalian bunga yang
berlipat ganda yakni riba, dan menjadikan ganjaran surga bagi mereka
yang bertindak dermawan, bagian ini secara jelas diakhiri dengan
ungkapan –rima ayat 134, tetapi dua ayat berikutnya memberi
gamabaran lebih lanjut tentang orang-orang yang berbuat baik dengan
bertobat dan memohon ampunan, serta berisi suatu janji ganjaran surga
yang sebagian besar merupakan pengulangan.
Surat 22 ayat 5 sampai ayat 8 menekankan tentang kebangkitan
kembali sebagai sejalan dengan kemahakuasan Tuhan yang seharusnya
dimanifestasikan, dan menutup perbincangan dengan mengejek orang-
267 Ibid., hlm. 95. 268 Ibid., hlm. 96.
orang yang “tidak memiliki pengetahuan” petunjuk, atau kitab yang
bercahaya,” dan mendesak yang sebaliknya. Ayat 9 dan ayat 10 yang
menyusuli dua ayat sebelumnya, jelas ganjil karena tidak hanya
membahas adzab ukhrawi, tetapi juga “kehinaan dan kehidupan yang
sekarang ini”.
Perubahan nada dan sikap ini jelas memperlihatkan bahwa ayat
tersebut tidak berasal dari bagian orisinalnya, dalam surat QS. 37:73-
132 terdapat pengisahan berbagi tokoh Injil, yang dalam tiga kasus
terakhir dengan refrain: “demikianlah kami benar-benar memberi
ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik; sesungguhnya dia
termasuk diantara hamba-hamba kami yang beriman.” Namun dalam
kisah Ibrahim, refrain ini (ayat 110f) diikuti dengan suatu peryataan
mengenai anak keturunan Ibrahim dan Ishaq ayat 112f.
f. Aplikasi penafsiran terhadap konsep sambungan Alternatif
Karekteristik gaya al-Qur’an yang penting adalah sambungan-
sambungan alternatif yang saling menyusul dalam teks. Alternatif
kedua ditandai dengan suatu keterputusan dalam makna dan
keterputusan dalam kostruksi gramatikal, karena penghubungnya
bukanlah hal-hal yang baru saja didahuluinya, tatapi dalam hal-hal
yang berada dalam jarak tertentu dibelakangnya; juga bisa terdapat
pengulangan suatu kata atau ungkapan. Jadi QS. 23:63, yang berbicara
secara terus menerus menjalankan perbuatan buruk, diikuti oleh tiga
bagian yang diawali oleh hatta’ idza, “hingga ketika”, secara berturut-
turut mulai dari ayat 64, 79, dan 99.
Adalah mungkin dengan suatu pengetahuan, menghubungkan
ayat 77 dengan ayat 76, tetapi ayat 99 tidak mungkin dihubungkan
dengan ayat 98, kata-kata hatta idza, betapapun mengisyaratkan suatu
perujukan kepada sesuatu yang melanjutkannya. Ayat 99f. Dalam
kenyataannya merupakan sambungan yang cocok dari ayat 63,
sebagaimana tampak jelas jika kita membacanya secara bersama-sama:
ayat-ayat diawali dengan dua patah kata hatta idza merupaka alternatif
dan barangkali merupakan kelanjutan yang kemudian dari ayat 63.269
Demikian pula, surat QS. 5:42 diawalai dengan ungkapan
samma ‘una lil kadzib, yang sama sekali tidak berhubungan ayat
sebelumnya, namun ungkapan yang sama muncul dalam ayat 41; dan
jika bagian ayat 41; mulai dari ungkapan ini sampai akhir ayat tersebut
dihilangkan, maka ayat 42 sesuai dengan awal bagian ayat 41. Dengan
demikian, disini terdapat sumbangan alternatif-alternatif.270
Contoh lain dapat dilihat di penghujung surat 39, di mana
terdapat suatu ayat (75) yang terisolasi. Ayat ini menyusuli suatu
suasana pengadilan Akhirat dan secara jelas merupakan bagiannya;
tetapi suasana tersebut telah berakhir, putusan telah ditetapkan, orang-
orang kafir telah digiring ke neraka Jahanam, orang-orang takwa telah
masuk surga; lalu kita temukan diri kita kembali kepada suasana
pengadilan dimana putusan akan dikemukakan dengan sebenar-
sebenarnya, ungkapan ini yang muncul dalam ayat 69, menunjukkan
posisi asli ayat 75; ayat ini menyusuli ungkapan pertama ayat 69 dan
mengakhiri suasana pengadilan; pada suatu tahab yang belakangan,
ayat 75 itu digantikan dengan deskripsi yang lebih panjang lagi dalam
ayat 69 sampai ayat 74.
Adakalanya perubahan rima disertai dengan penggantian
semacam itu. Jadi QS. 80:34-37 memiliki purwakanti dalam ih,
sementara ayat 38 sampai ayat 42-yang berkaitan sama baiknya
dengan ayat 33-memiliki purwakanti dalam a–yang berulang terus
pada keseluruhan bagian sisa surat tersebut, lebih sering lagi,
kemunculan kata rima atau ungkapan rima yang sama merupakan
suatu tanda bahwa pengganti semacam itu telah dibuat, karena versi
yang baru berujung dalam rima yang sama dengan rima yang
digantikannya.
269 Ibid., hlm. 97
Jadi dalam surah 2 ayat 102 dan ayat 103, keduanya berujung
kata law kanu ya’lamuna “jika mereka mengetahui”, yang
menimbulkan suatu dugaan bahwa ayat terakhir (103) dimaksudkan
menggantikan ayat sebelumnya 102. Dalam surat 3, akhiran yang sama
menunjukkan bahwa ayat 144 merupakan suatu pengganti untuk ayat
145. Fenomena yang sama juga dapat ditemukan dalam QS. 9:117,
118; 34:52,53; 45:28,29: 72:24,27-28. Dalam kasus kasus semacam
ini, sambungan-sambungan alternatif sering berada dalam susunan
penanggalan yang terbalik, sambungan dari masa yang belakangan
muncul duluan, tatapi yang demikian bukanlah suatu aturan tetap.
Bukti lebih lanjut mengenai perubahan dan perbaikan dapat
dilacak dengan mendekati al-Qur’an dari sudut pokok-bahasan dan
minyimak bagian-bagian yang membahsa situasi-situasi yang
menimbulkan kesulitan dan prolem khusus bagi Nabi dan umat. Dalam
bagian-bagian al-Qur’an semacam ini, sering terdapat berbagai hal
yang membingungkan. Kasus yang sederhana adalah hal yang
bertalian dengan puasa. Ketika hijarah ke Madinah, Nabi
mengharapkan dukungan dari orang-orang Yahudi dan
memperlihatkan dirinya hendak belajar dari mereka. Hadis
mengatakan bahwa Nabi memperkenalkan kepada kaum Muslim
puasa ‘Asyura orang-orang Yahudi dilakukan pada hari penebusan
dosa yang diawali dengan beberapa hari kebaktian khusus.
Belakangan, puasa dibulan Ramadhan diwajibkan. Nah dalam
QS.2:183-185, kedua puasa ini terletak bersampingan; ayat 184
menetapkan puasa dalam jumlah hari tertentu, sedangkan ayat 185
menetapakan puasa di bulan Ramadhan. Kedua ayat ini tentunya
dibaca berturut-turut dan “sejumlah hari tertentu” dalam ayat pertama
dipandang lebih dikhususkan (ditakhshsiskan) dengan menyebut bulan
Ramadhan pada bulan selanjutnya.
Tetapi sejumlah hari tertentu, secara wajar bukankah padanan
dari satu bulan, dan pengulangan ungkapan dalam kedua ayat tersebut
menunjukkan bahwa ayat yang satu dimaksudkan untuk menggantikan
ayat yang lain, dalam kenyataannya, merupakan sambungan-
sambungan alternatif ayat 183.271
Hukum perkawinan dalam surat 4 merupakan kasus jelas lain
tentang sambungan-sambungan alternatif, ayat 23 menetapkan
diharamkannya derajat-derajat hubungan perkawinan, dan
memproduksi daftar hukum Mozaik dari beberapa penyesuaian
terhadap adat- istiadat orang-orang Arab. Bahwa reproduksi ini
dilakukan dengan sengaja, diperlihatkan oleh ayat 26 yang
mengatakan: “Tuhan hendak......membimbing kamu dalam adat istiadat
orang-orang sebelum kamu.” Namun kemudian pada suatu masa yang
belakang terjadi pengendoran sehingga ayat 25 sampai ayat 30 serta
mungkin ayat 27 digantikan dengan ayat 26 ditambahkan sebagai
akhiran surat. Akhiran-akhiran yang sama pada ayat-ayat 26, 27 dan 28
menunjukkan bahwa pengantian-penggantian telah dilakukan.
Perubahan qibla arah yang dituju dalam sembahyang adalah
contoh lainnya. Bagian-bagian al-Qur’an yang membahas masalah ini
sangat membingungkan QS.2:142-152, khusus ayat 141 tidak dapat
dipahami sebagaimana adanya. Namun ketika dianalisis, ayat-ayat ini
memiliki kandungan: (a) wahyu pribadi kepada Nabi yang berisi
pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapinya ayat 144,149; (b)
suatu maklumat kepada masyarakat, menggunakan bagian (a) yang
diikuti oleh suatu seruan untuk ketaatan yang didasarkan pada rasa
syukur QS. 144, 150-152; dan (c) bentuk akhir peraturan tersebut ayat
144.
Proses pengenalan agama Ibrahim diuraikan secara global
kepada kita dalam QS.2:130-141. Proses ini mengambil bentuk dalam
jawaban-jawaban terhadap penegasan orang-orang Yahudi dan Kristen
ayat 135, mereka berkata,”jadilah kamu orang Yahudi dan Kristen dan
kamu akan memperoleh petunjuk”. Penegasan ini kemudian diikuti
271 Ibid., hlm, 98.
oleh tiga jawaban yang diawali oleh “katakanlah”. Ayat 139-141
mengklaim bahwa Nabi dan umatnya mempunyai hak untuk
menyembah Tuhan sesuai dengan cara mereka sendiri sebagaimana
Ibrahim dan keturunannya, Ibrahim dan keturunannya merupakan
suatu masyarakat keagamaan independen yang telah lama berlalu.
g. Aplikasi penafsiran terhadap konsep ayat-ayat politheis
Bagian al-Qur’an ini terputus dan diganti dengan ayat-ayat
136,138, di mana dikatakan bahwa Nabi dan umatnya berdiri dalam
satu garis dengan Ibrahim dan keturunannya. Musa, Isa serta seluruh
Nabi lainnya. Bagian ini kembali dimodifikasi dengan penyisipan ayat
137 ke dalam ayat 138. Akhirnya jawaban dalam surat 135
dimasukkan, menyatakan kepercayaan Ibrahim, yang menetapkan
seorang hanif dan bukan serang politeis. Ayat 130 hingga ayat 134
merupakan lebih lanjut. 272
Yang merupak bagian Nabi Ibrahim juga menimbulkan
kesulitan. Upacara tersebut diakui dan para pengikut Muhammad
dianjurkan ikut ambil bagian di dalamnya tetapi sebagai para hanif –
pengikut para Nabi Ibrahim bukan sebagai para politeis QS. 22:31
binatang-binatang kurban harus dikirim ke Mekkah QS. 22:33,34.
Namun ketika kaum Muslimin diserang oleh kafilah Mekkah dan
khususnya setelah pertempuran Badar yang menimbulkan pertempuran
darah, menjadi sangat berbahaya bagi mereka untuk berkunjung ke
Mekkah. Karena itu ditetapkan bahwa binatang yang persembahkan
sebagai kurban bisa disembelih kenegeri sendiri dan dagingnya
diberikan oleh fakir miskin. Hal ini dapat disimpulkan dari QS. 22:29-
37.
Peperangan di bulan-bulan haram yang melahirkan kesulitan.
Sikap Nabi Muhammad dapat dijelaskan dengan menganalisis surat 9
pada bulan-bulan ini, mulanya diakui sebagai periode gencatan senjata,
dengan disampaikannya wahyu yang terdiri dari QS.9:36a, 2,5: tetapi
272 Ibid., hlm, 99.
karena pengunduran hitungan hari dalam satu bulan guna
menyelasaikan tahun qamariyyah Arab dengan musim-musim
didekritkan dari Mekkah, maka kesalahfahaman dari bulan-bulan mana
saja terhitung sebagian bulan haram muncul dengan segera.
Karena itu dikeluarkan maklumat ilahi yang seluruhnya
terdapat dalam QS.9: 36,37, yang menghapuskan pengunduran
hitungan bulan dan menetapkan perang dengan orang-orang politeis
harus dilakukan secara terus-menerus, ayat-ayat dibuang yang
membahas bulan-bulan haram, sekarang terlihat dalam ayat 2 dan ayat
5 yang dikaitakan dengan persoalan terhadap persetujuan-persetujuan
yang dibuat oleh orang-orang politeis barang kali perjanjian al-
Hudaibiya. Namun, mana yang telah diinformasikan bagian awal surat
tersebut, hal ini juga merupakan suatu maklumat untuk menunaikan
haji dan kemungkinannya diubah dan ditambahkan untuk tujuan
tersebut setelah penaklukan kota Makkah.273
Kekalahan kaum Muslimin di Uhud merupakan suatu pukulan
telak terhadap rasa percaya diri umat. Bagian al-Qur’an yang
membahas pertempuan tersebut sangat kacau balau QS. 3:102-179.
Analisis terhadap bagian al-Qur’an ini memperlihatkan bahwa ada
suatu amanat yang dimaksud untuk disampaikan sebelum perang, yang
terdiri dari ayat-ayat QS. 102, 103, 112,115, 123, 139, 145, 151, 158,
160. Ayat-ayat ini mungkin dari ayat 139 dan seterusnya disampaikan
ulang dengan perubahan-perubahan kecil, pada suatu saat setelah
pertempuran selesai.
Reaksi atas kekalahan kaum Muslimin tampak dalalm celaan
terhadap diri Nabi karena tanpa otoritas telah menjanjikan bantuan dari
Malaikat (ayat-ayat 121,124,125 dan bagian ayat 26 sampai ayat 29.
Ayat-ayat dan bagian inilah yang kemudian direvisi sebagai suatu
penjelasan dan celaan terhadap para pengikut pengikut Nabi.
273 Ibid., hlm. 100.
Bahwa Nabi condong penuh amarah kepada para pengikutnya,
hal ini ditunjukan pada ayat yang terpisah 159. Bagian dari penuturan
kasar diletakan dalam ayat 152 samapai ayat 154, suatu bagian yang
telah direvisi dan belakangan ditambah suatu pengertian yang lebih
lembut. Dalam kenyataannnya. Kita dapat melihat yang dikarenakan
kekalahan itu berangsur-angsur itu lebih lembut dan lebih bermurah
hati terhadap kaum Mukminin. Akhirnya ketika kehancuran telah
teratasi, bagian dari amanat asli digunakan lagi dalam suatu
sambungan yang ditambahkan setelah ayat 110, mungkin dalam
persiapan untuk menyerang suku Yahudi al-Nadir (110-114).274
Barangkali lantaran karekter tentatif yang mendominasi sistem
penanggalan Bell inilah sehingga rancangannya itu tidak begitu
diterima di kalangan sarjana yang menggeluti al-Qur’an. Pengaruh
sistem penanggalan Bell hanya terbatas dikalangan murid-muridnya
seperti W. Montgomery Watt dan A.T. Welch. Tetapi mesti diakui
bahwa Bell memang berhasil menetapkan beberapa unit wahyu
terutama dari periode Madinah secara gerak akurat.
Lebih jauh, ia juga patut dihargai lantaran upayanya bersama
Hirschfeld untuk memperkenalkan kembali asumsi tradisional Islam
yang selama berabad-abad telah ditinggalkan, yakni bahwa dalam
upaya memberi penanggalan pada al-Qur’an perhatian semestinya
diarahkan pada bagian-bagian induvidual (pericopes) kitab suci
tersebut sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat.275
274 Ibid., hlm. 100 275 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I,
2001, hlm. 117.
BAB IV
ANALISA
A. Konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh
Secara umum teori konstruksi (Genre) Richard Bell ini, berpijak pada
satu kesimpulannya mengenai hakikat bahasa. bahasa dalam al-Qur’an
bukanlah semata-semata kumpulan dari kosa kata, melainkan kumpulan dari
sistem relasi (anna al-lughat laysat majmu’ atan min al-lafdhi bal majmu’
atun minal ‘alaqat). Teori umum mengenai bahasa ini merupakan “pintu
masuk” dalam analisisnya mengenai bahasa al-Qur’an.276
Ia Juga beranggapan bahwa al-Qur’an memiliki bentuk revisi yang
paling sederhana yang dilakukan oleh Nabi adalah mengumpulkan unit-unit
kecil wahyu, yang semula diterima secara terpisah, ke dalam surat-surat.
Dalam proses ini beberapa adaptasi dilakukan, yang dapat dibuktikan dalam
pemunculan rima-rima tersembunyi. Jadi ketika, suatu unit wahyu dari
purwakanti tertentu ditambahkan ke dalam suatu surat yang memiliki
purwakanti yang berbeda, ungkapan-ungkapan ditambahkan untuk
menyesuaikan unit tersebut dengan purwakanti surat di mana ia disisipkan.
Contohnya adalah: QS. 41: 9-12.277
Menurut Bell, puisi-puisi yang ada sebelumnya Islam menyentuh
aspek-espek Kristen seperti Gereja, tempat-tempat Ibadah, Gong dan Bel,
acara-acara seremonial Kristen dan lainnya. Bell juga berpendapat bahwa kosa
kata Aramaik dan Ethiopia yang digunakan oleh orang-orang Kristen, di
ketahui oleh Muhammad saw, yang selanjutnya memasukkannya ke dalam al-
Qur’an.278
Pendekatan Richard Bell merupakan suatu analisis redaksi dan formasi
sastra al-Qur’an, yang mengarah pada pendekatan historis, dalam
276 Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta, Elsaq, cet I,
2005, hlm. 260. 277 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I,
2001, hlm. 114. 278 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet I,
2005, hlm. 142-143.
perkembangannya bukan merupakan hal yang baru. Penulis menilai bahwa
Gustav Weil, Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, William Muir, Hubert
Grimme, Hartwig Hirshfield dan para pendahulunya, secara initens banyak
menggunakan pendekatan ini, terutama dalam menentukan sistem
penanggalan al-Qur’an, dalam beberapa hal, seperti diakui oleh para ilmuwan,
pendekatan filologis memiliki keakuratan, termasuk dalam keotentikan
manuskrip, sebagaimana para orientalis, seperti John Wansbrough mampu
membuktikan ketidakotentikan Bibel dengan menggunakan pisau analisis dan
pendekatan yang sama.
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Richard C. Martin, Ia
menambahkan bahwa pendekatan dalam bidang al-Qur’an banyak didominasi
dengan mengggunakan pendekatan filologisme dan sejarah, ini memunculkan
kerancauan berkepanjangan antara sejarah teks tersebut dengan sejarah
penyelamatan, yang secara implisit terkandung di dalamnya. Ini perlu
dipecahkan, dengan memandang teks al-Qur’an dan tafsirnya sebagai
ungkapan pandangan-pandangan dunia Islam. Lewat benturan strukturalisme
inilah yang dicoba. 279
Seiring dengan munculnya Renaissans, (zaman Kebangunan)280
munculah alasan-alasan baru dalam studi Islam. Pertama, adanya ingin tahu
budaya-budaya asing, khususnya filologi klasik yang menjadi paradigma
untuk memahami budaya lain. Kedua, kepentingan dan politik orang Eropa
yang meningkatkan volume perjalanan ke Dunia Timur. Ketiga, lahirnya studi
al-kitab dan semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab
sebagai alat yang bermanfaat.281
Terkait dengan masalah orientalisme, kajian ini memiliki identitas
kumulatif dan identitas bersama, suatu identitas yang sangat kuat, disebabkan
279 Richard C. Martin,”Analisis Struktural dan al-Qur’an, pendekatan baru dalam kajian
teks Islam”, Dalam Jurnal Ulumul Qur’an; jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 4, Tahun 1992, hlm. 345.
280 Renaissance itu dipelopori oleh Albertus Magnus (1206-1208) dan Thomas Aquinas (1225-1274. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet II, 1990, hlm. 74.
281 Abdul Basith Junaidi, (et, al), Islam dalam Berbagai Bacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 252.
karena kajian ini memiliki relasi yang kuat dengan keilmuan tradisional (ilmu-
ilmu klasik, kitab Injil, filologi), lembaga masyarakat pemerintah, perusahaan-
perusahaan dengan, masyarakat-masyarakat geografis, universitas-
universitas), dan karya-karya tulis tertentu (bukan perjalanan, eksplorasi,
fantasi, deskripsi eksotik). Relasi pengetahuan inilah yang membuat
orientalisme selalu melahirkan sejenis konsensus ketimuran bahwa hal-hal
tertentu, jenis-jenis peryataan tertentu, dan jenis karya tertentu tentang Timur
selalu dianggap sesuatu yang benar dan dianggap final.282
Namun berbeda dengan manuskrip yang lainnya, untuk mengetahui
dan memahami al-Qur’an tidak bisa bila hanya mengandalkan pendekatan
bahasa dan sastranya. Demikian dalam membuktikan keotentikan al-Qur’an.
Pendekatan yang integral, termasuk pendekatan historis dan sosiologis, akan
mampu menghasilkan pemahaman yang integral pula.
Oleh karena itu, bahwa dari sisi historis, al-Qur’an merupakan kitab
suci yang keotentikannya mampu terjaga hingga kini. Secara sosiologis,
1. Situasi penduduk Arab sangat besar perannya dalam menjaga
keotentikannya.
2. Pengaruh al-Qur’an yang besar dalam mengubah jalannya peradaban
merupakan pertanda bahwa al-Qur’an bukan bersumber dari kekuatan dari
kekuatan manusia murni. Ajaran-ajaran yang universal, komprehensif dan
kenyal (adaptif), bahkan mengandung ajaran-ajaran yang bersifat
predektif, meruppkan indikator pula yang menguatkan kemustahilan
bahwa Muhammad SAW. yang berlatar budaya Quraisy (jahiliyah)
mampu membuat al-Qur’an.
3. Beberapa riwayat menegaskan bahwa penulisan al-Qur’an telah
berlangsung sejak zaman Nabi dan pembukuan al-Qur’an telah terjadi
sejak khalifah pertama (Abu Bakar al-Siddiq). Sebagain besar dari faktor-
faktor ini, merupakan indikator yang kredibiltasnya dapat dipertanggung
282 Edward W. Said, Orientalisme;Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur
sebagai Subjek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 311.
jawabkan, dan secara utuh sejarah membuktikan bahwa al-Qur’an
bukanlah produk manusia.
Dalam beberapa hal al-Qur’an memang seakan-seakan mengisyaratkan
bahwa di dalamanya ada ayat-ayat yang dirubah, dihapus atau diganti. Namun,
dalam perkembangan terakhir, para ulama’ mutaakhirin menyebutkan bahwa
semua ayat yang terdapat dalam ayat al-Qur’an tidak hanya memiliki redaksi
denotasi saja melainkan dalam waktu-waktu tertentu sebagaian ayat al-Qur’an
mempunyai redaksi konotasi, kapan ayat tersebut berlaku denotasi dan kapan
ayat tersebut berlaku konotasi. Dengan mempertimbangkan setting sejarah,
soiso-kultural, problem masyarakat tertentu, dengan demikian hukum dapat
berubah-ubah.
Meskipun pada ayat (2: 196) tersebut diartikan dengan makna denotasi,
bukan menegaskan terjadinya nasikh dengan secara intens, hanya saja
mengisyaratkan kekuasaan Allah untuk merubah atau menggantinya dengan
yang sesuai atau lebih baik “na’ti bi khairin minha au misliha”. sebagaimana
penulis sudah jelaskan pembahasannya di atas.
Dari ayat tersebut diisyaratkan bahwa bahwa nasikh yang dimaksud
jika diartikan ayat yang denotatif bukanlah didasarkan pada ketidak tahuan
Allah saw, melainkan lebih merupakan kebijakan Allah saw, dalam
meringankan dan mendasari ketentuan hukum manusia dengan ketentuan yang
sebanding atau lebih baik, sesuai dengan (taklif) pembebanan dan keterbatasan
manusia, juga bersifat kondisional sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat setempat.
Dalam kasus di atas, Richard Bell menilai bahwa sumber al-Qur’an itu
memiliki kegandaan sumber yaitu Tuhan dan Muhammad SAW, dan dia
mengadopsi pandangan-pandanang yang mengikuti aliran pendukung naskh
al-Qur’an. Hal ini sekali lagi dikarenakan pandangan Richard Bell yang secara
koheren yang menekuni persoalan al-Qur’an hingga memicu terjadi adanya
persoalan kajian nasikh juga, yang pada akhirnya adalah untuk membuat ragu
umat Islam dan memporak-porandakan Islam, dan hal itu menjadi tujuan
utamanya, meskipun dalam sekian bukunya terlebih dalam buku Bell’s
Introduction to the Qur’an (Pengantar al-Qur’an), ia menjelaskan bahwa
tujuan akhirnya itu adalah untuk menklasifikasi serta memetakan dan juga
memilih redaksi Tuhan dan tambahannya (redaksi Nabi).
Pandangan ini secara latah ingin membuktikan bahwa al-Qur’an yang
terbukukan sekarang memiliki keterlibatan (andil) manusia (Muhammad Saw).
Pada dasarnya Richard Bell sepakat bahwa nasikh adalah proses penggantian
atau penghapusan ayat dengan ayat lain yang lebih bertendensi pada peralihan
ketentuan hukum. Namun, dikarenakan dugaan dan pandangan tentatifnya itu,
bagi dia arti nasikh difokuskan hingga pada arti derevisinya yaitu, perubahan,
tambahan, salinan, koreksian atau revisi.
Menurut Bell arti proses revisi (Tuhan) al-Qur’an dan naskh al-Qur’an,
hal ini ada kaitannya asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa dipisahkan pada
persoalan yang pada akhirnya sulitnya bagi kaum muslim dalam menentukan
mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan, dengan
mempertimbangkan sebab-sebab nuzul-nya, menurut Bell hal tersebut
memiliki proses yang sama yaitu berulang penurunan ayat al-Qur’an sebagai
pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks serta konteks al-Qur’an.
Padahal pendapat ulama klasik-hingga ulama kontemporer memahami
arti nasikh yang berbeda-beda, ada yang menyakini dan ada yang tidak
menyakini, pada umumnya mereka juga mengakui adanya naskh, sebagaimana
pembahasan yang telah lalu. Lain halnya menurut Bell yang memahami
tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna naskh
sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus secara total ayat-ayat al-
Qur’an, namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi
perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai
dengan zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan peryataan
kebanyakan ulama kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk
oleh Bell tidak lain adalah sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan
ayat-ayat oleh Muhmmad saw, sebagaimana penjelasan pada bab III.
Penentuan tentang unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah
hanya suatu gaya (genre) yang didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah
besar surat yang ada di dalam al-Qur’an mengandung bahan-bahan dari
berbagai periode pewahyuan.
Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian
minimal yakni pengumpulan unit-unit induvidual wahyu ke dalam surat dan
lebih parahnya ia melihat asumsi perevisianya yang lebih jauh melihat dalam
proses pengumpulan tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara
konstan menurutnya tengah mengalami revisi menurut periodenisasi, pendek
kata yakni telah mengalami perluasan, yang pada akhirnya memicu ketidak
orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan
bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa penyesuaian rima atau
sekedar sisipan, dan lainnya.
Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai penyusunan al-
Qur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara keilmuan
bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah tauqifi
(bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah menimbulkan
polemik dikalangan ulama, polemik ini berkembang luas dikalangan ulama
muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu:
Pertama, adalah sebagian ulama yang berkeyakinan bahwa
pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada adalah tauqifi (sesuai
dengan petunjuk Rasul. Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa
pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi
(berdasarkan ijtihad para Sahabat), Ketiga adalah pendapat moderat;
mengatakan bahwa sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan
sebagian lagi merupakan ijtihad para sahabat.283 Persepsi kedua inilah yang
diadopsi Bell yang kemudian dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u.
Sedangkan Malik bin Nabi menegaskan bahwa orang-orang zaman
sekarang hampir tidak memungkinkan untuk merasakan keluhuran disebabkan
kekurang fasihan penguasahan bahasa Arab dan tingkat pengetahuan tentang
283Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 141-
142.
renovasi sastra Arab yang kurang disertai penurunan rasa kebahasaan yang
lentur.284
Lebih lanjut Malik, mengatakan bahwa ak-Qur’an turun sebagai i’jaz
yang menekankan pada aspek sastra sehingga mampu melemahkan
kegenialitasan sastrawi pada zaman turunnya. Ia bahkan mampu menata sastra
Arab dari sastra periode kebahasaan (dialek) jahiliyah pra Islam ke bahasa
yang teratur secara ilmiyah, untuk membawa pikiran peradapan baru al-
Qur’an lahir dalam bentuk sastra baru yang tidak melepaskan rima sya’ir,
namun dikombinasikan dengan bentuk baru yaitu kalimat.285
Dengan itu menurut al-Jurjani, beliau berkeyakinan bahwa tidak ada
seorangpun yang bisa memahami dan menjelaskan keunggulan serta
kesempurnaan bahasa dan susastra al-Qur’an serta proporsional tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan “konstruksinya” (al-nazhm). Untuk
itulah al-Nazhm merupakan aspek yang menjadi ciri pembeda genre teks al-
Qur’an dibandingkan dengan genre teks lainnya seperti puisi, prosa, dan
lainnya.286Melalui syair Arab artinya mengetahui maksud dari ayat-ayat yang
sukar pengertiannya itu dicari padanan pemakaian dan maknanya dalam
sya’ir-sya’ir Arab. Sebagian besar ulama tetap menjadikan sya’ir sebagai salah
satu cara dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.287
Sedangkan kritik Arkoun mengenai tradisi Barat adalah bahwa
orientalis atau Islamolog Barat hanya mendekati Islam melalui karyanya tulis
para tokoh yang dianggap besar mewakili dan mereka sangat positivis
mengingkari hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia. Dari sini Arkoun
menentang saintifisme yang meniadakan aspek-aspek yang irrasional.
Kitab suci al-Qur’an sekitar 15 abad yang lalu mencanangkan
tantangan (al-tahadda) kepada orang-orang yang mengingkarinya untuk dapat
menandinginya, tetapi tak seorang pun mampu menjawab tantangan tersebut.
284Malik bin Nabi, Fenomena al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed, Bandung, al-Ma’arif,
1983, hlm. 225. 285 Ibid., 286 Nur Khalis Setiawan, loc. cit., 287 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II,
2011, hlm. 271
Mereka bahkan tak sanggup menirunya karena memang al-Qur’an, di samping
memang bukan kreasi manusia juga tak mungkin diungguli.288
Dengan demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan
sendiri untuk membangun konstruksi dan pemahamannya tentang Islam atau
teks al-Qur’an. lalu bagaimana bila semua itu digunakan untuk membaca al-
Qur’an dan pemikiran-pemikiran lainnya. Untuk memudahkan pembaca
dalam memahami konstruk metodologi yang ditawarkan oleh Richard Bell
adalah:
Tabel I
Peta Konstruksi Metodologi Tafsir Richard Bell
Asumsi Dasar Bell memandang bahwa al-Qur’an memiliki
kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai
sumber utama dan Muhammad sebagai sumber
kedua.
Pendekatan Ideal approach dan Empirical approach, Psyco
approach.
Metode dan Corak Kritis historis dan kritis filologis, di mana dalam
kajiannya itu didominasi oleh konsep-konsep seperti:
frustasi, setres, kompensasi, neorosis dan trance.
Kerangka Analisis Memeriksa ketetapan makna (langauge accuracy),
pengujian terhadap konsistensi historis dan filosofis
terhadap penafsiran yang telah ada (literatur klasik),
dan prinsip etis sebagai verifikasi.
Sedangkan untuk melihat dari seluruh hasil dari formasi ayat-ayat al-
Qur’an yang mengalami revisi yang dieksplorasi oleh Richard Bell, dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini:
288 Supiana dan M, Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka
Islamika, cet I, 2002, hlm. 223
Tabel II
Analisis konstruksi teori revisi (Nasikh- Mansukh) Richard Bell, dalam buku
(Bell’s Introduction to the Qur’an)
No Aplikasi Penafsiran Hipotesisis Doktrinal Nasikh-
Mansukh Surat & Ayat
1 • Asumsi dasar revisi
• Satanic Verses/
al-Gharanic
• Ayat Rajam
QS:Yunus, (10); 15, QS. al-Haqqah , (69): 44-47, QS. al-Isra’(17); 73-75, QS. al-‘Ala (87):6f, QS, al-Baqarah,(2):106, QS, al-Kahfi, (18): 24, QS, ar-Ra’d, (13): 39, QS. an-Nahl, (16): 101, QS. al-Isra’(17): 41, QS. al-Isra’ (17): 81. QS, al-Hajj (22): 52, QS, al-Najm (53): 19-20, QS, al-Najm (53): 21-22 QS, an-Nur (24); 21, dan al-Ahzab (33),
Atas kemauan Nabi saw., sendiri. Nabi membuat wahyu-wahyu Muhammad melupakan beberapa ayat. Wahyu yang dilupakan Tuhan menghapus atau sebaliknya Kemungkinan adanya revisi. Muhammad mengharapkan wahyu. Rasul mengoreksi ayat Mustahil ayat rajam termasuk bagian al-Qur’an
2 Bukti-bukti Nasikh-Mansukh
Surat & Ayat Hipotesis
• Proses Jam’u
• Kemunculan
Rima
• Keganjilan
Gaya al-Qu
QS, al-Qiyamah: (75); 17-19 QS, al-Mukminun (23);12-16, 17-22. QS, Ali Imran (3): 130-134 QS, al-An’am (6): 95-99 dan 102-104, (6); 84-87; dan QS, Shad (38): 45-48, QS, Maryam (19): 51-57. QS, al-An’am (6): 141-144 QS, al-‘Araf (7): 57-58 QS, al-Hajj (22): 5-8 QS, ash-Shaffat (37): 73-132. QS, al-Baqarah (2); 85. QS, al-Baqarah (2), 84, QS, al-An’am (6); 12 dan 20, al-‘Araf (7): 92, al-Anbiya (21): 47 dan 104; an-Naml (27): 7; al-Fushillat (41): 17; al-Insan (76): 16. QS, al-Haqqah (69): 3; al-Mudatsir (74): 14; al-Mursalat (82): 17; al-Muthaffifin (83): 8 dan 9; ath-Thariq (86): 2; al-Balad (90): 12; (97): 2; al-Qariah (101): 3 dan 10; dan al-Humazah (104) QS, al-Qari’ah (101): 10. QS, al-Qari’ah (101); 9-11
Adanya perubhan, minimal tata letak. Nabi meletakan rima-rima. Pengulangan janji surga. Bagian tidak berirama menjadi berirama, dan tampak dilakukan dengan daftar nama. Ayat ini dapat diilustrasikan Perubahan kata ganti yang muncul tiba-tiba. Pengejekan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan. Adanya kasus dalam Ibrahim refrain,(1-10) Munculnya glosses (komentar-komentar) Tambahan pada masa belakangan. Ibunya akan menjadi Hawiyah.
Perubahan tiba-tiba dramatis
• Sambungan-
sambungan alternatif
QS, al-Balad (90): 12-16, QS,asy-Syams:(91):10,al-Ghasyiah (88); 6-7, an-Naba’ (78): 32 dan 35. Al-
‘Ala (87): 16 QS, al-Mudatsir(74): 31 QS, al-Baqarah: 85, 84 Qs, al-An’am (6):12 dan 20; al-A’raf (7): 92; al-Anbiya(21): 47 dan 104; an-Naml (27):7; Fushshillat (41): 17;al-Insan (76):16. QS, al-Haqqah (69):3; al-Mudatsir (74): 27; (77): 14; al-Mursalat (82):17; al-Mutaffifin (83): 8, dan 9; ath-Thariq (86): 2; al-Balad (90):12 ;(97): 2; al-Qariah (101): 3 dan 10; dan al-Humazah (104):5, QS, al-Qariah (101): 10, QS, al-Mukminun (23): 63,64,79 dan 99, QS, al-Maidah (5):42,41(ungkapan muncul), QS, Az-Zumar(39):75 QS, al-Baqarah: 101ff, 135, 144, 183, dan 196, Ali Imran (3):48,102, 143, 152,170,dan 181, QS, An-Nisa(4):23ff,dan 131ff, QS,al-Maidah(5):41ff,48ff,72ff,dan 90, QS,al-An’am(6):87ff, QS,al-‘Araf(7):40ff, dan 165, QS,al-Anfal (8):72f;at-Taubah (9) 81ff., 86ff., 111ff., 117ff. Q.S.Yunus(10):104ff;Q.S. Hud (11):40ff;Q.S. Ibrahim (13)19ff; Q.S. Al-Hijr (15) 87ff.;Q.S. An-Nahl(16)16ff.;Q.S.Al-Isra’ (17) 45ff; Q.S. An-Naml(27):38ff.,Q.S. Saba(34):51ff;Q.S. Fathir(35):29ff;Q.S.Yasin (36):79ff;Q.S.Az-Zumar (39):47ff., dan 69; Q.S. Al-Mu’minun (40) 30ff;Q.S.Al-Jatsiyah (45) 27ff; Q.S.Qaf (50) 22ff;Q.S.Al-Qamar(54):43ff;Q.S. Al-Hadid(57):13ff;Q.S Al-Hasyr(59) 5ff;Q.S. Al-Munafiqun(72);25ff.;Q.S‘Abasa (80) 33ff., QS, Abasa(80):34-37 QS,al-Baqarah(2):102-103 QS, Ali Imran(3):144 dan 155, QS,At-Taubah(9):117-118;
Sebagai sisipan gaya yang panjang. Pengulangan suatu kata atau ungkapan. ungkapan muncul pada ayat 41, sampai akhir dihilangkan, maka ayat 42 sama seperti awal ayat 41. Ayat 75 tampaknya terisolasi, dimana sudah ada pada ayat 69-74. Kasus lain yang menonjol. Memiliki purwakanti, ih, sementara ayat 33-42, purwakanti a, Mengganti ayat sebelumnya (102) Ayat 144 mennganti ayat 155. Susunan penanggalan yang terbalik, yang belakangmuncul duluan, tetapi bukanlah aturan yang tetap. Muncul dalam jalinan versi-versi alternatif. Pengulangan ayat yang dimaksudkan untuk mengganti ayat yang lain. Penggantian penggantian telah dilakukan. Khusus ayat 41, tidak bisa dipahami sebagaimana adanya. a).wahyu berisi tentang solusi Nabi. b).menggunakan bagian a diikuti seruan agar mau bersyukur.c).bentuk akhir peraturan pada ayat (144). mengambil jawaban dan penegasan orang-orang Yahudi. bagian terputus ayat136-138, lalu bagian ini dimodifikasi dengan penyisipan 137 ke dalam 138, ayat 130-134 tambahan lebih
• alternatif
dalam tema Wacana
Saba(34):52-53; al-Jatsiyah(45):28-29; dan Nuh(72):24 dan 27-28. QS, Ali Imran(3):126-129 dan, Yasin(36):1-6. QS, al-Baqarah(2):183-185 QS.An-Nisa(4):23,24,25,27 dan 28 QS, al-Baqarah(2):142-152 QS, al-Baqarah(2):130-141, QS, al-Hajj(22):31 QS, al-Hajj(22):33-34 QS,at-Taubah (9):36a,2 dan 5 QS, at-Taubah(9):36-37 QS, Ali Imran(3):102-179
102,103,112,115,117, 123,139,143,145,151,158 dan 160
QS,Ali Imran(3):121,124,125 dan bagian-bagian dari 126-129 QS. ali-Imran(3):152-154 dan 159,
lanjut. Binatang Qurban Harus dikirim ke mekkah. Bisadisembelih dinegeri sendiri, karena keadaan di Makah tidak aman. Kesimpulannya dari 29-37. Pengunduran hitungan dalam satu bulan, dengan didekritkan dari Makkah. Menetapkan perang dengan orang-orang politeis secara terus menerus. Ayat-ayat yang dibuang, yang bahas bulan haram dapat dilihat ayat 2 dan 5. Adanya suatu amanat yang untuk disampaikan sebelum perang, terdiri ayat Nabi tanpa otoritas telah menjanjikan bantuan malaikat. Nabi cenderung penuh amarah kepada pengikutnya, dan penuturan kasar Nabi. Ayat 110, satu sumbangan untuk menyerang suku Yahudi al-Nadzir (110-114).
B. Posisi Richard Bell dalam pandangan cendikiawan.
Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis tafsir al-
Qur’an padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
kaidah dan bahasa Arab, termasuk pengetahuan tentang pola pembentukan
kata konjugasi (tasrif)-nya. Karena itu, mereka cenderung melakukan
penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memberikan arti etimologis
suatu lafadz al-Qur’an dengan arti lain yang tidak sesuai, baik dari arti yang
hakikinya maupun dalam arti kiasannya.289
Di sini penulis tidak menemukan buku-buku tafsir ataupun buku karya
ilmiah yang secara khsusus membahas tentang permasalahan teori revisi
Richard Bell, melainkan penulis hanya menemukan pandangan cendikiawan
ulama yang membahas teori tersebut. Kendati demikian penilaian Richard Bell
terhadap teori nasikh mansukh di pandang oleh sekoleganya ataupun
sesudahnya cenderung melenceng jauh.
Berikut ini penulis akan merilist pandangan-pandangan cendikiawan
muslim yang tergabung dalam kelompok Oksidentalis, di mana mereka hidup
setelah Richard Bell, dan komenter-komentarnya penulis fokuskan terhadap
pandangan Richard Bell mengenai al-Qur’an, terlebih dalam discourse teori
nasikh dan mansukhnya. Adapun para Oksidentalis tersebut penulis hanya
mambatasi cendikiawan’ berasal dari Timur Tengah dan Indonesia yang
konsen terhadap kajian Barat, untuk itu karena mengingat keterbatasan bahan
dan literatur buku-buku atau kitab yang penulis temukan masih relatif sedikit.
1. Pandangan cendikiawan Timur Tengah
a. Prof. Dr. Hasan Hanafi
Dalam karya Hanafi yang berjudul “Muqaddimah fi ‘ilm al-
Istghrab”, karya ini melawan dari pemikiran orientalisme, dalam buku
tersebut Hanafi menjelaskan tugas Oksidentatalisme adalah
menghapus Eurosentrisme, yakni mematahkan mitos kebudayaan
kosmipolit yang menyatukan seluruh bangsa Barat dan diklaim sebagai
kebudayaan yang harus diadopsi seluruh bangsa di dunia jika mereka
ingin meninggalkan fase imitasi dan menuju kemoderenan.290
Hubungan yang sempurna sebenarnya terjalin dari tiga
komponen. Tuhan sebagai pengirim wahyu, sasaran pengirim wahyu,
dan seorang delegasi yang tugasnya hanyalah penyampai wahyu dan
289Muhammad Husain Az-Dzahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran,
Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta, Rajawali, cet I, 1986, hlm. 47. 290 Abdul Basith Junaidi, Islam dalam Berbagai Bacaan Kontemporer, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 310.
pembawa misi. Yang menjadi sasaran penyampaian wahyu adalah
manusia. Sedangkan manusia hidup di alam ini mencari sistem.291
Dengan demikian, menurut al-Qur’an, yang diturunkan Allah
sudah tidak orisinil lagi. Karenanya, baik Taurat, maupun Injil, telah
mengalami perubahan dari tangan-tangan para penganutnya. hal
demikian dijelaskan melalui firman Allah: 292 (QS. [5] al-Maidah: 13-
14)
“(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Ayat tersebut secara gamblang menyatakan, baik agama
Yahudi maupun Nasrani, keduanya sudah tidak orisinil lagi, karena
keduanya telah mengalami perubahan di tangan pemeluknya. Padahal,
baik kepada penganut agama Yahudi maupun Nasrani, masing-masing
telah di ambil janjinya oleh Allah. Janji tersebut dinamai mitsaq. Kata
tersebut berasal dari watsiqa yang secara literal berarti mengikat dan
menetapkan.
Menurut Djaka Soetapa, Th. D, beliau setuju dengan sikap
menuju Oksidentalis, yaitu bahwa para tulisan muslim tentang agama
Kristen bersikap apologetis. Dalam suasana yang apologetis itu maka
kutipan-kutipan dari sumber Kristen sering tidak mencerminkan hal-
hal yang betul-betul menjadi pendapat atau pandangan Kristen. Orang
hanya tertarik dengan ma qala (apa yang dikatakan) dan melupakan
291 Hasan Hanafi, Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj.
Asep Usman Ismail (et, al), Jakarta, Paramadina, cet I, 2003, hlm. 27. 292 M. Ghalib M, Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta, Paramadina, cet I, 1998,
hlm. 74-74.
man qala (siapa yang mengatakan) demi membenarkan pendapat
sendiri.293
b. Prof. Dr. Fazlur Rahman
1) Kritik Metodologis dan Epistimologi Tafsir Richard Bell
Fazlur Rahman menilai bahwa dalam studi Richard Bell
tidak ada pengetahuan mengenai al-Qur’an. Hampir semua karya
ini hanya membahas pada aspek-aspek tertentu di dalam al-Qur’an
dan Rahman melanjutkan dan tidak ada satupun karya Richard Bell
yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Karya-karya tersebut
menunjukkan adanya sebuah pandangan eksternal yang telah
mengendalikan. Tidak satu pun di antara karya-karya tersebut yang
telah menyajikan al-Qur’an membuat terma-terma sendiri, sebagai
sebuah kesatuan.294
Mengenai prinsip direfensiasi yang di maksud dalam
konteks metodologi tafsir, menurut Fazlur Rahman, beliau
menawarkan suatu prinsip yang sangat penting untuk membedakan
anatara nilai ideal moral dan legal moral, sedangkan dalam konteks
metodologi tafsir Muahammad Syahrur, yang dimaksud prinsip
diferensiasi adalah prinsip membedakan antara kitab anatara kitab
ar-Risalah dan Kitab an-Nubuwah.295
Dengan demikian, upaya membedakan secara tegas antara
ideal moral dengan legal formal harus menjadi perhatian yang
serius bagi seorang mufassir agar tidak terjebak pada pemahaman
tekstual al-Qur’an yang terkadang justru mengabaikan nilai-nilai
moral. Hal itu bisa dilkuakan dengan cara mencermati konteks
internal ayat al-Qur’an maupaun konteks eksternalnya, yaitu
293 Djaka Soetapa, Th. D, “Ibn Hazm atau As-Syahrastani”, Kumpulan Makalah
Seminar, Jakarta, 1990, hlm. 20. 294 Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 117. 295Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LKiS, cet I, 2011,
hlm. 135.
kondisi sosio-historis masyarakat Arab pada waktu suatu ayat itu
diturunkan.296
Sementara itu, Muahammad Syahrur memandang salah satu
prolem yang terbesar dalam penafsiran al-Qur’an adalah prolem
aplikasi metodologi penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, menurutnya
direfensiasi tegas mana yang merupakan Kitab ar-Risalah dan
mana yang merupakan Kitab an-Nubuwah sehingga aplikasi
metode pembacaan kontemporer memperoleh akurasi secara
ilmiah.297
2) Kritik pergantian ayat dalam al-Qur’an
Kritik terhadap dotrin Nasikh-Mansukh Richard Bell,
Rahman kembali mengkritik bahwa kita kembali kepada masalah
“penggatian” ayat-ayat tertentu kepada ayat-ayat lainnya di dalam
al-Qur’an. Inilah arti yang sediakala dari perkataan nasikh,
menurutnya perkataan ini bukanlah doktrin hukum mengenai
pembatalan hukum mengenai pembatalan hukum seperti yang
dibelakang hari tumbuh di dalam tubuh Islam dan merupakan
usaha untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan makna yang
nyata diantara ayat-ayat tertentu.298
Kita telah mengetahui bahwa ayat-ayat tertentu digantikan
oleh ayat-ayat lainnya melalui printah Allah swt atau melalui
wahyu-Nya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa ketika orang-orang
Mekkah mendesak muhammad untuk mengubah doktrin al-Qur’an
sehingga meraka dapat terima, beliau menjawab bahwa hanya
Allah swt., saja yang dapat membuat perubahan itu, seang ia sama
sekali tidak berdaya: (QS. Yunus [10]: 15-16).
Ketika ayat-ayat yang jelas dibacakan kepada mereka maka diantara mereka yang tidak ingin bertemun dengan kami
296 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II,
2011, hlm. 5. 297 Abdul Mustaqim, op. cit., hlm. 141 298 Fazlur Rahma, Pokok-Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka,
cet II, hlm 1996, hlm. 131
(dihari kebangkitan nanti) berkata: bahwalah al-Qur’an yang lain atau ubahlah yang ini’. Katakanlah bahwa aku tidak berhak mengubahnya, aku hanhya mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku; jika aku mengingkari Tuhan-ku aku takut akan hukuman dihari yang besar nanti. Jika Allah menghendaki niscaya aku tidak akan menyampaikan kepada kalian dan diapun tidak akan mengabarkannya kepada kalian-tidaklah kalian pikirkan bahwa (sebagian besar) hidupku telah kulewatkan bersama kalian?” (QS. [10] Yunus: 15-16).
Di dalam al-Qur’an banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika
Nabi pada waktu-waktu tertentu mengiginkan perkembangan ke
arah tertentu, teryata wahyu Allah menunjukan arah yang lain: “
Jangan gerakan lidahmu (sebelum menerima wahyu) dengan
ceroboh karena mengharapkan wahyu seperti apa yang telah
engkau iginkan. Sesungguhnya kamilah yang menghimpunkannya
dan membacakannya-jadi jika kami membacakannya hendaklah
engkau turuti. Dan setelah itu Kamilah yang berhak
menjelaskannya”.299 (QS. [75] al-Qiyamah: 16-19).
Rahman mengiginkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai
barometer dalam penelitian fenomenologi agama Islam. Ketika ada
peneliti Barat (nonmuslim) yang akan melakukan kajian agama
Islam, mereka harus tetap mengapresiasi, bersimpati, dan
menghargai eksistensi al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan
pokok umat Islam yang tidak dapat diganggu gugat eksistesinya.
Amin Abdullah menegaskan kembali sikap Rahman
tersebut. Ia, dengan mungutip Lakotos dan Fazlur Rahaman,
menyatakan bahwa hard core atau Islam normatif tidak boleh
diganggu gugat, sedang protective belt atau “Islam historis” bisa
diuji, dipertannyakan, dan direkonstruksi.300
299 Ibid., hlm. 132 300 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 216
Kaitannya dengan di atas, al-Qur’an mempunyai jalinan
yang erat dengan agama sebelumnya yang mempunyai latar
belakang historis. Fazlur Rahman mengungkapkan untuk mendapat
latar belakang historis harus dicari dalam tradisi Arab sendiri
bukan pada tradisi Yahudi atau Kristen. Dari hal ini tampak bahwa
al-Qur’an tetap transenden, tapi disesuaikan dengan masyarakat
waktu itu dan mempunyai segi universal.
Persoalan apakah ada keterpengaruhan ajaran Islam dengan
agama sebelumnya dan apakah Islam berdiri sendiri walaupun ia
berasal dari Yahudi dan Kristen telah banyak dikaji oleh banyak
orientalis. Mereka ini bersemangat untuk membuktikan secara
geneologis Islam berasal dari agama sebelumnya. Menurut Fazlur
Rahman yang terpenting bukanlah orisinalitas Islam, melainkan
persepsi Muhammad mengenai dirinya sendiri dan misinya yang
berhubungan erat dengan Nabi-Nabi sebelumnya dan agama-
agama mereka serta kaum mereka.301
Para sejarawan yang menulis jenis tafsir ini lupa bahwa
penekanan kisah-kisah al-Qur’an tidak terletak pada jalan
ceritanya, tetapi tetapi pada aspek pesan moral yang dikandungnya.
Dengan demikian adalah suatu penyimpangan ketika kisah-kisah
al-Qur’an ditafsirkan dengan perincian yang tidak subtansial.
Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika
tafsir itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda-legenda Yahudi-
Nasrani yang masuk dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat
yang dimasukan ke dalam tafsir masuk dalam katagori Maudhu’
(palsu). Eksistensi Israiliyat dalam tafsir historis tidak saja
merupakan penyimpangan, lebih lagi ia, menurut Syaltut, telah
menjauhkan umat Islam dari mutiara-mutiara al-Qur’an.302
301 Ibid., hlm. 222 302 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm.
196
Setelah memaparkan penjelasan dari Fazlur Rahman terkait
dengan kritik epistimologi dan metodologi terhadap Richrad Bell,
penulis menilai bahwa ketergantungan pemikiran Bell ini tidak bisa
dilepaskan oleh tokoh-tokoh sebelumnya seperti Sir William Muir,
Tor Andrea, Noldek, Regis Blechere, Friedrich Schwally dan
Hartwing Hirschfeld, sehingga dengan bercermin kepada alur
transmisi keilmuan Bell, bisa dipastikan bahwa Bell menjadi
korban pendahulunya, kendati demikian metodologi Bell banyak
mengarah kepada Historis-filologis, yang hanya bersifat afirmatif
dengan mengedepankan nalar ideologis. sehingga al-Qur’an sering
kali diperlukan hanya sebagai justifiasi bagi kepentingan ideologi
tersebut.
akibatnya, muncul sikap otoritarianisme, fanatisme, dan
sektarianisme madzhab sehingga memunculkan sikap truth claim
dan saling mengkafirkan satu dengan yang lain.
Dan penulis menambahkan bahwa metodologi yang di
tawarkan oleh Richard Bell dalam teori nasikh-mansukhnya dapat
dihentikan dengan menggunakan nalar kritis, karena penulis merasa
tidak puas melihat produk-produk yang dihasilkan oleh Bell
berdasarkan penafsirannya yang konvensional yang dinilai sangat
ideologis, otoriter, hegemonik, dan sektarian sehingga menyimpang
dari tujuan utama diturunkannya al-Qur’an. Jika al-Qur’an dipahami
secara komprehensif, holistik, dan kontekstual maka ia akan menjadi
solusi alternatif dalam menjawab prolem modernitas.
c. Prof. Dr. Subhi Shalih
Kritik terhadap teori penanggalan Richard Bell. seperti dalam
karya “Mabahis fi Ulum al-Qur’an”, Dr. Subhi mengkritisi beberapa
pandangan orientalis diantaranya.
1) Kritik terhadap kronologis al-Qur’an Richard Bell
Menurutnya Bell juga pengikut Weil dalam penyusunan
kronologi al-Qur’an, ia mengawali karirnya sebagai sarjana al-
Qur’an lewat publikasi dari bahan-bahan kuliah yang diberikannya
di Edinburgh University, The Origin of Islam in Its Christian
Environment, (1926) kajian utamanya mengenai penanggalan al-
Qur’an, meski dalam bentuk yang tidak lengkap, dapat dietmukan
dalam karya terjemahannya, The Quran Translation with a Critical
Rearrangement Of The surashs, 2 jilid.(1937), meskipun dalam
bentuk yang tidak lengkap. Beberapa kekurangannya diperbaiki
oleh artikel-artikenya dan sebagain lagi oleh karyanya, Intoduction
to the Qur’an, yang terbit pada tahun 1953, buku terakhir ini,
belakangan, direvisi oleh William Montgomery Watt dalam buku
Bell’s Introduction To The Koran (1960)303
Sementara itu Fazlur Rahman, Ia sapakat dengan Rudi
Peret dalam menolak pendapat Richard Bell tentang dapat
direkonstruksinya rangkaian kronologi al-Qur’an, meskipun salah
satu karyanya Bell yakni Introduction to the Qur’an yang telah
disempurnakan oleh muridnya, W. Montgomery Watt, dipandang
Rahman sebagai “amat bermanfaat.”304
Selain itu juga nama-nama lain yang berusaha menyusun
al-Qur’an secara kronologis diantaranya: A Rodwell menyusun
buku The Koran, Translation With de Suerash Arranged in
Cronological Order yang diterbitkan di London tahun 1861, dan
Blachere yang menyusun buku Le Coran, Traduction Selon un
Essei de Reclassement des Sourates yang diterbitka di Paris tahun
1949-1951.305
Buku Blachere ini mendapat penilaian dari Dr. Subhi Salih,
karya Blachere ini sangat cermat. hal ini didasarkan pada penilaian
303 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar ‘Ilm lil-Malayin, cet
XVII, 1988, hlm. 177. Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002, hlm 114. Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 317
304 Taufik Adnan Amal, Islam Tantangan Modernitas, Studi atas Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, cet III, 1992, hlm, 138
305 Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002, hlm 114
ilmiahnya buku tersebut sangat menonjol, namun dalam buku
tersebut dari segi bobot isinya berkurang, sebab sisitematika surat-
surat al-Qur’an yang disusun secara kronologis itu tidak
berdasarkan pedoman yang memiliki kredibelitas. Sebagaimana
Blachere sendiri mengakui karyanya bahwa metode yang selama
ini ia gunakan hanya sekedar untuk mencari-cari atau mencoba-
coba metode tanpa menggunakan pedoman yang pasti.
Bahkan, ia juga mengatakan bahwa cara yang ditempuhnya
didasarkan pada pendapatnya jika al-Qur’an merupakan titik tolak
yang dapat dijadikan pedoman dalam pembagian terhadap
khazanah perkembangan Islam, sistematika surat-surat al-Qur’an,
dan pertumbuhan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.306
Oleh sebab itu, Syaikh Zarqani mengatakan bahwa susunan
dan urutan al-Qur’an sepenuhnya berdasarkan dari petunjuk Nabi
Muhammad yang dibimbing langsung oleh Malaikat Jibril.
Diriwayatkan oleh sebuah hadist, Malaikat Jibril berkata kepada
Muhammad “letakanlah ayat ini dalam surah ini, dan urutan yang
kesekian.” (HR. Ahmad).
Dalam kesempatan laian Syaikh Zarqani mengatakan
bahwa tidak seorang pun dari Sahabat atau khalifah, seperti Abu
Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
yang ikut campur dalam penyusunan urutan al-Qur’an. Semuanya
mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Penyusunan al-Qur’an yang
digagas oleh Abu bakar, hanyalah sebatas mengumpulkan tulisan-
tulisan al-Qur’an yang tercatat di pelepah kurma, kulit binatang,
dan diberbagai benda lainnya.
Untuk dijadikan dalam satu Mushaf. Demikian juga
penyusunan al-Qur’an dimasa Utsman. Tidak melampaui apa yang
telah tercatat dan tertata dalam Mushaf. Kedua ushaha tersebut
306Subhi Shalih loc. cit., Karman, M. & Supiana. loc. cit., Agung Abdul Khalifah al-Dilami, Jam’u al-Qur’an, Dirasat Tahliliyat li Marwiyat, Beirut: Lebanon, Dar-al-Kitab al-Ilmiyah, 1971, hlm. 373
tetap mengikuti urutan dan susunan al-Qur’an yang telah
digariskan oleh Rasulullah saw.307
Al-Qur’an menurut Fazlur Rahman hanya dapat dipahami
secara kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan
kebutuhan. Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan
ilustrasi tentang mukjizat dan komunitas yang berkembang akibat
perbedaan waktu.308
Menurut penulis Richard Bell bukanlah orang yang baru
dalam mengkaji kronologi al-Qur’an ia teropsesi dan termotifasi
dengan para pemikir sebelumnya. Untuk itu teori nasikh- mansukh
yang Bell kontruksikan masih perlu dikaji kembali karena menurut
penulis konstruksi Bell, masih jauh dengan apa yang cendikiawan
ulama’ rumuskan.
Untuk itu dalam memahami teori nasikh mansukh penulis
katakan: hal ini tidak bisa terlepas dari keterpengaruhan ulum al-
Qur’an diantaranya. Ilmu sejarah al-Qur’an, munasabah, ilmu
asbab an-nuzul, di dalam ilmu asbab an-nuzul tentu ada kaidah
ibrah, al-‘Ibrah bi umum al-lafdz la bi khusish al-sabab, al-ibrah bi
khusuhi as-sabab la bi ‘umum al-lafdzi, kaidah Nazil, ta’addudun
nazil wa sabab al-wahid, sabab al-wahid wa ta’addudun nazil,
namun yang sekarang di era kontemporer muncul kaidah al-‘ibrah
bi maqasyidus Syari’ah. Serta kurangnya pemahaman tentang ulum
at-Tafsir maupun ulum al-Qur’an secara komprehensif.
2) Kritik terhadap ayat-ayat Misterius (Fawatihus Suwar) dalam al-
Qur’an.
Menurut Subhi Shalih, bahwa Noldeke berpendapat tentang
bagaimana hukum fawatihus Suwar dalam al-Qur’an, ia menilai
bahwa itu termasuk tambahan yang dimasukkan ke dalam al-
Qur’an, yakni sebagai simbol (inisial) dari huruf belakang atau
307 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010, hlm. 54-55
308 Abdul Mustaqim (ed. ), op. cit., hlm 225
belakang dari nama-nama Sahabat yang mempunyai naskah surat-
surat tertentu.309
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas pada kata (kaf-
ha-ya-ain-shad), kaf, inisal Karim, ha inisial, had, ya’ inisial
hakim, ain inisial ‘alim, shad inisial shadiq, 310
Noldeke, adalah orang pertama kali mengemukakan dugaan
bahwa huruf-huruf ini merupakan petunjukan nama
pengumpulnya, misalnya, sin sebagai kependekan dari nama Sa’id
bin Waqqas, min dari nama Mughirah, nun dari nama Utsman bin
Affan, dan ha dari nama Abu Hurairah.311 Namun, pendapat
Noldeke ini sangat keliru, sebab, selain ia tidak beralasan juga
karena bersifat spikulatif.312
Menurut Husein At-Thabathaba’i, menganggap bahwa
huruf-huruf muqata’ah itu hanya terjadi di permulaan surat saja,
demikian itu tidak mungkin terjadi kecuali hanya ada di dalam
kitab-kitab Samawi, dengan bertujuan untuk menjelaskan ayat-
ayat tersebut.313
Karena itu tidak mungkin jika kita bandingkan dengan
penyusunan sebuah karya tulis atau artikel dengan menambah atau
memperbanyak huruf-huruf tertentu sesuai dengan yang tertera
dalam pembukuannya, selain Allah swt., Tuhan yang maha
mengetahui segala sesuatu yang memiliki kemampuan menghitung
dengan kecepatan tak terhingga serta lebih cermat dari komputer.
Tuhan maha menegetahui segala sesuatu, sehingga tidak mungkin
ada kekeliruan pada-Nya. Sedang huruf-huruf terputus pada
pembukaan surat-surat tertentu sebagaimana dibicarakan di atas
309 Subhi Shalih, op. cit., hlm 241. Karman dan Supiana, op. cit., hlm. 179-180 310 Subhi Shalih, op. cit., hlm. 239 311 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm
101. Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 180 312 Karman dan Supiana, loc. cit., 313 Al-‘Alamah Husein at-Thabathaba’i, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Jilid XVIII, Iran-
Muassasah Isma’iliyan, cet V, 2000, hlm. 6-7
merupakan bagian kecil ilmu Tuhan yang disisipkan oleh al-Qur’an
untuk kita ungkap pada suatu ayat.314
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?...(QS. [41] Fushshilat: 53)
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa rahasia yang saya
ungkapkan dari rangkaian huruf-huruf tersebut sebagai satu-
satunya rahasia yang terkandung dibaliknya. Tapi ia sebatas
pengantar awal, di mana tidak ada yang tahu sejauh mana batas
yang kita selami. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa temuan ini
sebagai argumen bantahan terhadap tuduhan bahwa al-Qur’an
adalah karangan Muhammad saw., sendiri. Selain rangkaian dalam
huruf al-Qur’an kita juga masih berhadapan dengan mesteri
rangkaian kata yang tidak disusun sembarangan tanpa maksud
tertentu.315
Setelah menguraikan pendapat di atas, mengenai yat-ayat
yang di anggap misterius oleh Richard Bell, penulis katakan itu
tidak benar bahwa ayat-ayat fawatih as-suwar, kendati demikian
itu sebenarnya hanya dalam wilayah pengetahuan Allah swt.,
bebarapa ulama’ tafsir klasik hingga modern sepakat hal tersebut
yang dapat mengetahui adalah Allah swt., Meskipun ada sebagian
ulama’ yang megatakan serta mendefinisikan masing-masing arti
dari fawatih suwar. Penulis yakin inilah yang menjadi lahan empuk
bagi Richard Bell, ketika mufassir saling berbeda pendapat,
terhadap masalah itu. Untuk itu penulis menilai bahwa Bell kurang
tepat jika dikatakan fawatih suwar masih bersifat misterius.
314 Mustafa Mahmud, Dialog dengan Atheis, Terj. A. Maimun Syamsudin, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, cet I, 2002, hlm. 202 315 Ibid., hlm. 203
d. Dr. Edward W. Said
Dalam buku Edward W. Said, yang berjudul Orientalisme,
beliau menilai bahwa orientalisme selama ini telah gagal baik secara
historis maupun secara politis, sekaligus beliau mengajak bahwa,
bagaimanapun, pemikiran dan pengalaman modern telah mengajarkan
kepada kita agar bersikap peka apa yang tampak dalam suatu
“representasi” dalam pengajian “the outhers”, dalam pemikiran
rasial, dalam penerimaan secara taklid buta atas otoritas dan gagasan
otoriter, dalam peranan sosial- politik kaum intlektual, dan dalam
kesadaran kritis yang skeptis. Barangkali, jika kita mengigat bahwa
kajian mengenai pengalaman manusia biasanya memiliki konsekuensi
etis dan politis, baik dalam artinya yang buruk maupun paling baik,
maka kita tidak akan mengabaikan begitu saja kewajiban kita sebagai
cendikiawan.316
Edward menganggap kegagalan orientalisme sebagai kegagalan
intlektual dan juga kegagalan kemanusian. Karena keputusan untuk
mengambil oposisi-oposisi yang kukuh terhadap sesuatu kawasan
dunia yang dianggapnya asing bagi dunia sendiri, orientalisme telah
gagal dalam mengidentifikasi dirinya dengan pengalaman manusia
yang sebenarnya.
Beliau juga telah menggugat akar-akar persepsi Barat yang
keliru terhadap dunia Timur (Oriental), dalam hal ini dunia Islam.
Singkatnya bagi Said, citra Barat tentang Islam adalah hasil konstruksi
untuk tidak menyebutnya imajinasi liar-Barat sendiri, yang jauh
menyimpang dari realitas sebenarnya.317 Jika kalau saja kita sedikit
memetik manfaat dan bangkitnya kesadaran politis dan historis
bangsa-bangsa didunia pada abad ke 20. Kita sebenarnya sudah bisa
316Edward W. Said, Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur
sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 512 317 Ayzumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet I, 1999,
hlm. 66
melawan hegemoni orientalisme yang telah mendunia itu, berikut
dengan semua bentuk pengungkapan hegemoni yang dimunculkan.318
Dengan demikian Richard Bell dinilai sebagai orang yang
menyimpang dari ajaran-ajaran Kristen, karena Bell berlebihan dengan
penilaiannya terhadap agama Islam, sehingga tidak heran kalau Bell
pada awal-awal, pemikirannya banyak tidak mendapat respon dari
koleganya, dengan demikian pada awalnya banyak karya-karya Bell
yang tidak diterbitkan dan jarang sekali muncul di media.
e. Prof. Dr. Musthafa Azami
kritik orientalis Richrad Bell terhadap kompilasi al-Qur’an,
melalui karyanya, The History of the Qur’anic Text, Tampaknya
terdapat pintu gerbang yang digunakan sebagai alat penyerangan
terhadap teks al-Qur’an, salah satu adalah menghujat tentang penulisan
dan kompilasinya. Dengan semangat pihak orientalis mempertanyakan
mengapa, jika al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad
saw., umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada
peperangan Yamamah, memberitahu Abu Bakar akan kemungkinan
lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka.319
Lebih jauh lagi mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak
disimpan dibawah pemeliharaan Nabi Muhammad saw., sendiri? Jika
demikian halnya mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat
mamanfaatkan dalam menyiapkan Suhauf itu? Meskipun berita itu
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum
muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan orientalis apa
yang didektekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.
Azami menilai, bahwa kemungkinan karena kedangkalan ilmu,
berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan kaum
Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian
318 Edward W. Said, loc. cit., 319 Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Terj. Sohirin
Solihin, (et,al), Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005, hlm. 338
mereka. Katakanlah terdapat satu naskah al-Qur’an milik Muhammad
saw., mengapa beliau menyerahkan kepada sahabat untuk disimak dan
dimanfaatkan? Besar kemungkinan, diluar perhatian, tiap nasikh-
mansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-
ayat tidak akan tercermin dalam naskah dikemudian hari, tentu beliau
akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang
merugikan umatnya; kerugian yang dirasa lebih besar dari
manfaatnya.320
Dalam kitab limahati fi ulumul Qur’an karya Dr. Lutfi as-
Sibagh, ia mengambil pendapat as-Suyuti dalam al-Itqan-Nya, dia
mengatakan memang dalam peryataan as-Suyuti terhadap mushaf yang
sudah disepakati oleh Habsah. Dengan demikian as-Suyuti menilai
bahwa ini ada kaitannya dengan khabar, dimana Isnadnya Munqatti’
(terputus), Di mana imam as-Suyuti mengambail dari hadis yang
diriwayatkan oleh Abi as-Syaibah dalam kitab “al-Masahif ”, yang
berbunyi: “anna awala man samma al-muhafa mushafan huwa Abu
Bakr. “sesunggunhnya orang yang pertama kali memberikan nama
mushaf adalah Abu Bakar.321
Menurut Syah Wali Allah, wahyu-wahyu yang disampaikan
skepada nabi dihujamkan kedalam hatinya, lalu melaui lisan, Nabi
menyampaikannya kepada para sahabat sabil memerintahkan mereka
untuk menulis serrta menghafalkannya, kebetulan masyarakat yang
bersentuhan dengan al-Qur’an menggunakan aksara yang ditulis dari
kanan ke kiri, karenanya kalau ada yang menulis tidak dengan aksara
itu, tidaklah menjadi persoalan yang esensial, selama dapat dibaca
dengan benar.322
320 Ibid., hlm. 338 321 M. Bin Lutfi as-Sibagh, Limahat fi Ulum al- Qur’an, wa at-Tijahat al-Tafsir,
Lebanon: Maktabah Islamiy, cet III, 1990, hlm. 110 322 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta: Grafiti, cet I, 1995, hlm
272-273
Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak
memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakar?
Sebelumnya telah saya kemukakan guna untuk mendapat legitimasi
sebuah dokumen, seorang murid pasti bertindak sebagai saksi mata dan
menerima secara langsung dari guru pribadinya. jika unsur kesaksian
tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah
meninggal dunia, misalnya akan menyebabkan kehilangan nilai teks
itu.
Demikianlah yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit. Dalam
mendikte ayat-ayat al-Qur’an kepada para Sahabat, Nabi Muhammad
saw., melembagakan sistem jalur riwayat yang lebih terpercaya
didasarkan pada hubungan antara murid dengan guru; sebaliknya
karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka
tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang
dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan,
baik oleh Zaid maupun yang lain.323
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menumukan kesulitan
karena ketika beliau dan sekian banyak Shahabat menghapal ayat
(QS.9:128). Tetapi naskah yang ditulis dihadapn Nabi saw. tidak
ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah naskah tersebut
ditemukan juga ditangan seorang Sahabat yang bernama Abi
Huzaimah al-Anshari. Demikianlah terlihat betapa Zaid
menggabungkan antara hafalan sekina banyak sahabat dan sekian
naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara
keotentikan al-Qur’an.
Sedangkan menurut Qurais Shihab menilai bahwa dengan
demikian dapat dibuktikan dari tata-tata kerja dan data-data sejarah
bahwa al-Qur’an yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak
berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh
323 Ibid., hlm. 338
Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.324 Sekali lagi bahwa
kenapa Umar khawatir akan kehilangan al-Qur’an karena syahidnya
para huffadz? Beliau menegaskan karena hal ini menyangkut hukum
kesaksian.325
Sebagaimana dikatakan oleh Mustofa as-Siba’i, bahwa diantara
tujuan kegaiatan orientalis, imperialis dan kolonialis ialah untuk
melepaskan nilai-nilai akhlaq yang dimiliki pemuda dan pemudi Islam
di negeri-negeri Islam. Mereka menjauhkan tata krama dan adab serta
akhlak Islam dari pemuda- pemudi Islam dengan tuduhan bahwa tata
krama itu sudah ketinggalan zaman, kolot, mundur, dan lain
sebagainya. Itelio Godio, berusaha melakukan semua itu ketika itu ia
bekerja sebagai tenaga pengajar di lembaga Arab Thanjah pada tahun
1949.326
Suatu lajnah yang ditugaskan mengumpulkan dan menulis al-
Qur’an dengan diketuai oleh Zaid bin Zaid r.a. yang tidak perlu kita
bentangkan lagi di sini, akan tetapi wajarlah jika banyak orientalis
seperti Richard Bell untuk mengancam al-Qur’an di masanya, karena
al-Qur’an sangat menakjubkan. Penulisan secara ilmiah pertama kali
dilakukan oleh umat Islam dengan usaha yang teratur dan mendapat
restu dari umat Islam sendiri.
f. Prof. Dr. Yusuf Qardawi
Berbeda dengan Yusuf Qardawi (1926) dikenal sebagai tokoh
ikhwanul Muslimin sampai sekarang, yang bertentangan dengan ide
Islam Liberal pada umumnya. Yaitu masalah kesesatan orang-orang
Kristen dan Yahudi, karena berlebih- lebihan. Di situ Qardawi
mengatakan, “Takutlah akan berlebih-lebihan dalam agama. (kaum)
sebelumnya telah binasa karena berlebih-lebihan.”
324 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV 1997, hlm. 25. 325 H. B. Jassin, op. cit., hlm. 339. 326 Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan
Islam, Bandung, Dipenogoro, Alih bahasa As’ad Yasin B. A, cet I, 199,1 hlm. 115.
Kaum yang dimaksud adalah kaum agama lain, khususnya Ahli
Kitab Yahudi dan Kristen dan terutama sekali Kristen. Pendapat
Qardhawi itu jelas bertentangan 180 derajat dengan konsepsi teologi-
pluralis yang dikembangkan oleh Islam liberal, yang menganggap
bahwa Nasrani dan Yahudi bukan kaum kafir. Padahal dengan tegas
Qardhawi menyatakan bahwa kaum Kristen dan Yahudi adalah kaum
kafir.
Menurut Qardhawi, kekafiran Yahudi dan Nasrani adalah
sesuatu yang amat jelas. Masalah kekafiran dua agama itu, menurut
Qardhawi, telah ditegaskan oleh puluhan ayat al-Qur’an dan Hadits.
Bukan semata-mata oleh satu, dua ayat al-Qur’an. Masalah itu adalah
bagian dari “al-Ma’lum min dinil al-Islam bidh-dharuurah” (sesuatu
agama Islam yang elementer, kalangan awam mengetahuinya).
Qardhawi sama sekali tidak respek dengan kaum “Islam liberal”.
Bahkan, ia mengecam kelompok itu sebagai kelompok oarang-orang
yang berusaha menyerang dasar-dasar akidah dan tsaqafah Islam.
Bahkan ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh
ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulumul al-Qur’an) dan seluruh warisan ilmu
pengetahuan al-Qur’an ketong sampah, untuk kemudian memulai
membaca al-Qur’an dari nol dengan bacaan kontemporer, tanpa terikat
oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan
sebelumnya. Juga tidak dengan akidah dan aturan yang telah
ditetapkan oleh ulama’ umat Islam semenjak berabad-abad silam.
Visi yang kontradiktif antara pemikiran orientalis dengan
pendangan Islam lebih disebabkan dari dimensi metodologis yang
diterapkan secara keliru oleh mereka. Misalnya, pendekatan Historis
dalam kajian al-Qur’an lebih merupakan pendekatan yang tidak akurat.
Karena aspek asbab al-Nuzul (proses turun) al-Qur’an bukanlah
peristiwa yang empiris. Meskipun tidak dibantah ia adalah bersifat
pencermatan empirik namun beda dalam tataran transhistoris meta-
empirik.
Pendekatan historis dalam kajian keislaman menimbulkan nilai
yang berbeda tergantung dalam bidang apa yang dikaji. Metode ini
memiliki kelemahan di mana menempatkan sisi luar dari fenomena
keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang
esensial dan subtansial. Kekurangan tersebut sering juga tersebut
didukung oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan
sumber yang salah.327
Dengan demikian, kritik sejarah yang dilakukan dalam al-
Qur’an menampilkan sosok al-Qur’an sebagai sesuatu yang historis
dan non historis. Al- Qur’an dikatakan historis karena ia menerangkan
jalinan kesinambungan wahyu tuhan sebelumnya dengan adanya
penyesuaian wahyu dan tempak serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini
Muhammad Abduh menjustifikasi pandangan ini ketika
mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai
dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah
wahyu Nabi Muhammad saw.
Oleh karena untuk itu, tidak heran kalau dalam al-Qur’an ada
kesamaan dalam kitab-kitab sebelumnya kemudian baru menjiplaknya.
Sedangkan kajian al-Qur’an dalam bingkai non-historis mendapat hasil
esensi wahyu yang berada di luar sejarah dan bersumber dari Tuhan.
Tuhan dalam hal ini berdasarkan kehendaknya dapat memilih seorang
rasul yang dipercayai untuk menyampaikan tugas suci-Nya.328
Sebagaimana Qordawi, menjelaskan bahwa bisa jadi diantara
sebab nasakh adalah merupakan ketentuan manhaj ilahi yang bijaksana
yang membagun kehidupan umat secara evolutif (berangsur-angsur)
dalam pemberian syariat. Yang membawa umat dari satu fase satu ke
327 Abdul Mustaqim (ad.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 218. 328 Ibid., hlm 219.
fase yang lain, hingga akhirnya syariat lengkap dalam bentuknya yang
terakhir.329
Dalam konteks ini, dapat dipahami firman Allah swt., ayat-ayat
tentang ‘shaum’ puasa.(QS.al-Baqarah:183-184). Al-Bukhari dan yang
lainnya meriwayatkan dari Salmah bin Akwa dan dari Ibnu Umar,
seperti yang lain meriwayatkan dari Mu’adz: bahwa firman Allah swt.,
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin” adalah hukum fase yang pertama. Saat itu puasa hanya
dijadikan pilihan, kemudian akhirnya diwajibkan oleh ayat yang
berikutnya: (QS. al-Baqarah:185).
Menurut Qardawiy pada masa kini, masih ada orang-orang
yang meluaskan dakwaan nasikh dengan dalil yang lemah atau tanpa
dalil.330 Sebagaimana peryataan Zarqaniy dalam Kitab Manahil Irfan fi
Ulum al-Qur’an, beliau mengatakan: “diantara dalil-dalil yang tidak
menerima naskh dan tidak pula mengurangi (dalil), adalah masalah
shaum yang terjadi pada ayat tersebut. Karena masalah itu masuk
dalam wilayah pokok-pokok ibadah dan muamalat, dan itu merupakan
bukti yang benar, karena kedua hal tersebut langsung berhungan
dengan ibadah Mahdhah (yaitu ibadah yang secara langsung kepada
Allah swt).331
2. Pandangan cendikiawan Indonesia
a. Prof. Dr. Quraish Shihab
Salah satu buktinya Richard Bell adalah bahwa munculnya
rima-rima yang tersembunyi tampaknya, terkadang bahwa setiap
bacaan dengan asonansi ditambahkan pada surah berasonansi lain,
frase-frase ditambahkan untuk memberikan asonansi yang belakangan,
contoh yang telah dikemukakan adalah QS. al-Mu’minun (23): 12-16.
329 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
Jakarta, Gema Insani, cet II, 2000, hlm. 468. 330 Ibid., hlm. 468. 331 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 213.
Orientalis ini juga berpendapat bahwa ada bagian-bagian al-
Qur’an yang ditulis pada masa awal karier Nabi Muhammad saw,
tetapi ada lagi sesudah itu ditulis di samping atau di belakang “kertas”
yang dimaksud adalah segala jenis bahan yang digunakan untuk
menuliskan ayat-ayat al-Qur’an. Contoh lain yang telah
dikemukakannya adalah QS. al-Ghasyiyah. Di sana digambarkan
mengenai hari kiamat dan nasib orang-orang durhaka, kemudian
dilanjutkan gambaran orang-orang yang taat ayat 10-21,332
Ayat 17-20 menurutnya tidak punya kaitan pikiran, baik
dengan apa yang disebutkan sebelumnya maupun sesudahnya, dan hal
ini ditandai dengan rimanya. Bell kemudian mengemukakan
hipotesanya bahwa ayat 17-20 ditempatkan disana karena ayat-ayat itu
ditemukan tertulis di bagian belakang ayat-ayat 13-16. Selanjutnya ia
berpendapat, dalam kasus khusus ini bahwa ayat 13-16 yang ditandai
dengan rima dari ayat-ayat sebelumnya, adalah tambahan dan ayat-ayat
itu, dan kebetulan ditulis pada sisi belakang potongan kertas yang
sudah berisi ayat 17-20.333
Melihat masalah ini. Dr. M. Quraish Shihab, dalam karya
Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur’an, beliau
membantah peryataan-peryataan, pada surat dan ayat-ayat yang di
rumuskan oleh Richard Bell di atas. Menurutnya pendapat ini tidak
benar, karena seperti dikemukakan di atas, riwayat-riwayat
membuktikan bahwa bukan sahabat Nabi saw, bahkan bukan pula Nabi
Muhammad saw. atau malaikat Jibril as. Yang menyusun sistematika
penurunan ayat dan surah, tatapi yang menyusunnya adalah Allah swt.,
sendiri.
Khusus untuk kasus QS. al-Ghasiyyah, bagaimana mungkin
penempatannya dilakakan oleh para penulis al-Qur’an, sedangkan
surah itu turun di Mekkah, jauh sebelum pengumpulan al-Qur’an pada
332 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta, Lentera Hati, cet X, 2008, hlm. xix
333 Ibid., hlm. xix.
masa Abu Bakar dan ‘Utsman ra. Bagaimana mungkin mereka yang
telah menyusunnya, padahal surah ini amat sering diabaca oleh Nabi
Muahmmad saw. bukankah beliau membacanya tiap malam pada
shalat witir, sebagaimana telah banyak diriwayatkan oleh sekian
banyak ulama dan melalui sekian banyak sahabat Nabi saw, dan tentu
ini diikuti oleh sahabat-sahabat beliau, bahkan hingga kini oleh
umatnya. Nabi juga membacanya pada saat shalat Idul Fitri yang tentu
terdengar sesuai dengan susunan itu oleh ribuan kalau enggan berkata
puluhan ribu – umat Islam.
Menurut penulis, Memang mengakuui bahwa dalam al-Qur’an
itu benar, ada rima yang berbeda dalam rangkaian ayat-ayat yang
ditemukan dalam satu tempat. Ini bukan saja dalam rangka
membuktikan bahwa al-Qur’an bukan syair sebagai mana dituduhkan
sementara kaum musyrikin, tetapi juga untuk tidak menimbulkan
kejenuhan mendengar atau membaca ayat-ayat yang rimanya terus
menerus sama, dan yang lebih penting dari itu, pergantian rima itu
dapat menyentak, sehingga melahirkan perhatian bagi pembacanya
atau pendengarnya, menyangkut pesan yang dikandung ayat yang
berbeda rimanya itu.
Kendati demikian, tidak dapat disangkal bahwa ada ayat-ayat
al-Qur’an yang menimbulkan pertanyaan tentang penempatannya.
Seperti surah al-Ghasyiyyah yang dijadikan salah satu contoh oleh
orientalis Richard Bell. lebih lanjut M. Quraish Shihab memberikan
analogi, bahwa kita juga dapat menunjuk surah al-Baqarah yang
berbicara tentang haramnya babi sambil mengandengkannya dengan
uraian tentang ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan
pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum,
wasiat sebelum mati, kewajiban memelihara hubungan suami istri, dan
seterusnya yang-menurut para kritikus-tidak saling berkait.334
334 Ibid., hlm. xx.
Untuk menanggapi pertanyaan dan kritikan itu, lahirlah salah
satu bahasan khusus dalam studi al-Qur’an yang dianamai ilmu al-
Munasabah, yang pada initinya adalah menjawab pertanyaan
“Menggapa ayat atau surah itu ditempatkan setelah ayat atau surah
ini?”
Menurut Imam az-Zarkasyi, ilmu didasarkan pada keyakinan
bahwa al-Qur’an ibarat bangunan yang bagian-bagiannya saling
menguatkan. Ia laksana kesatuan kalimat yang tidak bisa dilepaskan
antara satu dengan yang lain.335 Imam az-Zarkasyi menambahkan
bahwa ilmu ini sangat urgen, sebab, berfungsi untuk menguji
kesahihan struktur kalimat, dan ilmu ini menjadikan setiap bagian
kalimat berkaitan dan saling menyempurnakan dengan yang lain.
“kajian pertama yang harus dilakukan adalah menjelaskan posisi setiap
ayat, apakah berhubungan bahkan menyempurnakan ayat yang
sebelumnya atau ayat tersebut independen. Dan bagaimana hubungan
ayat yang independen dengan ayat sebelumnya” terangnya.336
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, memberikan contoh mengenai
al- munasabah dalam tafsirnya al-Misbah, bahwa adanya hubungan
antara surat pada ayat (QS. (2): 106) , yang berbicara tentang ayat
nasikh, hal ini adanya keterkaitan dengan ayat setelahnya 107,
menurutnya, redaksi semacam ini, menagandung kecaman yang lebih
pedas dari pada yang redaksinya ditunjukan langsung kepada yang
dimaksud. 337
Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa penutup pada ayat 106
dan keseluruhan ayat 107, dapat juga sebagai argumentasi tentang
kebijaksanaan Allah untuk melakukan naskh dan penundaan di atas.
b. Prof. Dr. Nashruddin Baidan
335 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,
hlm. 331. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 183-188.
336 Ibid., hlm. 332. 337 M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 290.
1) Kritik Nashruddin Baidan terhadap ayat-ayat yang mengandung
Syair.
Sebagian ulama menolaknya karena cara seperti itu
menurut mereka berarti menjadikan syair sebagai asal dari al-
Qur’an padahal al-Qur’an itu sendiri tidak menyukai syair-syair
seperti penyair yang mengubah syair tersebut sebagaimana
ditegaskan Allah dalam ayat 224-226 dari surat al-Syu’ara’ sebagai
berikut:338
â !#t� yè’±9 $#uρ ãΝßγ ãè Î7®Ktƒ tβ…ãρ$ tó ø9 $# ∩⊄⊄⊆∪ óΟ s9 r& t� s? öΝßγ ‾Ρr& ’Îû Èe≅à2 7Š#uρ
tβθ ßϑ‹ Îγtƒ ∩⊄⊄∈∪ öΝåκΞr& uρ šχθä9θ à)tƒ $ tΒ Ÿω šχθè=yè ø'tƒ ∩⊄⊄∉∪
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? (QS. [42] asy- Syu’ara’: 224-226)
Dalam surat Yasin ayat 69 ditegaskan pula bahwa Allah tak
pernah mengajarkan syair kepada Nabi Muhammad saw dan tak
pantas syair itu baginya.
$ tΒ uρ çµ≈ oΨôϑ‾=tæ t� ÷èÏe±9 $# $tΒ uρ Èöt7.⊥ tƒ ÿ…ã& s! 4 ÷βÎ) uθ èδ āω Î) Ö� ø.ÏŒ ×β#u ö� è%uρ
×Î7 •Β ∩∉∪
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (QS. [36] Yasin: 69)
Hal itu mereka lakukan karena al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa arab sebagaimana tidak bisa disangkal oleh siapapun.
Berdasarkan kenyataan itu jelas bagi kita bahwa mereka
sebenarnya tidak menjadikan syair dalam memahami ayat-ayat suci
338 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II,
2011, hlm. 270.
sebagaimana dituduhkan oleh kelompok pertama tadi, melainkan
sebagai alat bantu dalam upanya mamahami ayat-ayat itu. Jadi
mereka tidak pernah menganggap syair-syair arab sebagai asal atau
rujukan dari al-Qur’an.
Jika demikian halnya, maka tidak ada salahnya bila kita
menggunakan syair arab dalam memahami al-Qur’an selama tidak
menganggap syair tersebut asal dari al-Qur’an melainkan hanya
sekedar memudahkan pemahaman. Sebagaimana contoh kata
“andada” yang terdapat pada enam tempat dalam al-Qur’an yaitu
ayat 22 dan 165 dari surat al-Baqarah; ayat 30 dari Ibrahim; 33 dari
Saba’; ayat 8 dari al-Zumar; dan ayat 9 dari al-Fushilat.339
2) Kritik terhadap Model bacaan al-Qur’an (Qiraat al-Qur’an)
Menurut Nashruddin Baidan, beliau cenderung kepada
pendapat Ibn Al-Jaziri yang mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan tujuh huruf dalam hadist Nabi adalah tujuh dalam
membaca al-Qur’an, meskipun terdapat bacaan yang sangat
bervariasi, lebih dari tiga puluh bacaan, namun semua perbedaan
ittu tegasnya kembali kepada tujuh. Pendapat ini juga didukung
oleh Zarqani.340
Dengan dibukukannya pada tahab kedua pada masa Utsman
bin Affan, maka perbedaan Qira’at yang pada mulanya amat
menonjol dan pada variasi bacaan yang sangat beragam, menjadi
berkurang dan terkendali secara baik. Hal itu dimungkinkan,
karena mushaf tersebut tidak diberi tanda-tanda baca seperti titik,
koma, harkat, dan sebagainya.
Dalam rangka itu, Puin kemudian mengklaim bahwa ia
telah menemukan mushaf lama di Yaman yang konon mengandung
qiraah yang lebih awal dari qiraah tujuh yang terkandung dalam
339 Ibid., hlm. 271. Kamil Musa dan Ali Dukhruj, Kaifa Nafham al-Qur’an, Dirasat fi al-
Madzahib al-Tafsir wa Itijahatiha, Beirut, Lebanon, 1992, hlm. 157-158. 340 Nashruddin Baidan, Ibid., hlm. 100. Adapun dari ketujuh macam model bacaan,
bisa dilihat selengkapnya dalam buku tersebut.
mushaf Utsmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat
berbeda dengan Mushaf Utsmani. Manuskrip Sana’a itu
mengandung qiraah tujuh atau qiraah sepuluh karena qiraah yang
ada dalam manuskrip itu mengandung qiraah yang lebih banyak
dari qiraah tujuh, sepuluh, atau empat belas.
Menurut Armas, bahwa pendapat puin tidak memiliki
landasan yang kukuh. Banyaknya qiraah yang terdapat dalam
manuskrip itu tidak semestinya benar, karena qiraah tersebut sudah
keluar dari qiraah empat belas yang memuatkan bacaan mad. Jadi
qiraah yang banyak itu hanyalah qiraah yang syadh (ganjil,
menyimpang) ataupun maudhu’ (palsu). Jadi qiraah yang ada
dalam manuskrip itu adalah lemah (dhaif).341
Dari itu ayat-ayat al-Qur’an dapat dibaca dalam berbagai
qira’at sesuai dengan dengan qira’at dan sesuai dengan apa yang
diajarkan Rasul Allah; tetapi tidak sebebas seperti ketika belum
diulang dalam pembukuannya. Jadi pembukuan di masa Utsman,
tidak mengakibatkan hilangnya bacaan-bacaan yang lain; bahkan
sebaliknya, memberikan pengakuan secara resmi terhadap
kebenaran qira’at tersebut, dan diakui secara sah oleh para ulama
selama qira’at itu tidak keluar atau bertentangan dengan apa yang
termaktub dalam mushaf Utsmani.342
Dengan peryataan di atas bahwa Bell dalam memahami
qiraa’at dalam al-Qur’an masih bersifat dangkal terhadap ilmu
tersebut, kendati demikian bahwa Richard Bell belum bisa
membedakan mana riwayat yang sahih dan mana riwayat yang
dhaif. Di sini letak kelemahan Richard Bell, dia tidak mengenal
mana riwayat yang benar dan mana riwayat lemah. Seharus dalam
memahami ilmu tersebut harus banyak memakan literatur dan
341 Adnin Armas, Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta, Gema
Insani, cet II, 2004, hlm. 65. 342 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 116-117.
perangkat-perangkat lainnya. Agar dapat tercapainya pemahaman
yang objektif.
c. H. B. Jassin
Perdebatan-perdebatan tentang apakah al-Qur’an cenderung
pada gaya puitisi atau prosa, dalam literatur Islam telah hadir jauh
sebelum H. B Jassin mempuitisasikan ayat-ayat al-Qur’an. Secara
mayoritas ulama jumhur (ulama kebanyakan) menyatakan bahwa
tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an, telah
mengandung nilai puisi yang sangat agung, karena itu, Taha Husain
dalam upanya mengkompromikan dua pandangan yang kontradiktif
satu sisi menganggap al-Qur’an puisi, prosa dan al-Qur’an.343
Semua ini mendiskripsikan di mana al-Qur’an kumpulan puisi
ataupun prosa. Struktur bahasa al-Qur’an dengan perubahan rima yang
tiba-tiba; pengulangan kata rima yang sama dengan penggandengan
ayat; pencampuran pokok bahasa asing ke dalam satu bagian al-Qur’an
yang homogen; keterputusan dalam konstruksi gramatikal; perubahan
yang tiba-tiba dalam panjang ayat; peralihan mendadak dalam suasana
dramatis dari kata ganti tunggal dan jamak; dan segala bentuk
keunikan lain yang belum terungkap merupakan karekteristik
tersendiri dari ciri khas al-Qur’an.344
d. Dr. Moh. Nastir Mahmud
Kritik terhadap metodologi historisisme Richard Bell.
Pendekatan historisisme dalam studi al-Qur’an tidak akan
menghasilkan konklusi yang positif dalam pandangan Islam.
Dalam sejarah Barat sungguh terdapat banyak aib dan cela
namun sangat disayangkan, jarang ditemukan oksidentalis yang
membantah opini orientalis.345
343 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm.
271. 344 Ibid., hlm. 272. 345 Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, cet I,
2006, hlm. xxvi.
Karena itu historisisme melakukan eksplanasi terhadap objek
penyelidikannya. Eksplanasi dilakukan oleh pihak outsider (pihak
luar). Akibat negatif dari posisi sebagai outsider menurut Hall: “The
danger of the position of “being ‘outsider’ is that the date of being
studied can easily reduced to fit metodological categories”.(bahaya
posisi sebagai pihak ‘outsider’ data yang diteliti dengan mudah
direduksi untuk mencocokan dengan kategori-kategori metodologi).
Outsiders dapat dianggap benar atau memadai jika pengikut
agama tersebut mengiyakan pernyataan tersebut, selanjutnya, Rahman
memerinci syarat-syarat bagi outsiders ketika ingin meneliti agama
orang lain. Mereka harus tidak mempunyai sikap bermusuhan,
prasangka. Mereka harus berfikir terbuka (open minded), bersikap
simpati, jujur dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu
menyisihkan, bahkan menghapuskan prolem perbedaan insiders dan
outsiders.346
Demikian pembuktian-pembuktian yang paling mencolok
untuk menegaskan kepalsuan kisah “Garanik al-Ula” itu. Tangkisan
tokoh-tokoh Islam itu ternyata berpengaruh kepada tokoh-tokoh
orientalis pada masa belakangan.347 Ringkasan kisah Al-Gharaniq yang
kontroversial tersebut adalah sebagai berikut: “Rasulullah membaca
surah (QS. [53] an-Najm: 19-20) di Makkah, ketika sampai pada ayat
yang berbunyi:
ãΛä ÷ƒ ut� sùr& |M≈‾=9 $# 3“ ¨“ ãèø9 $#uρ ∩⊇∪ nο4θ uΖtΒ uρ sπsW Ï9$ ¨W9$# #“ t� ÷zW{ $# ∩⊄⊃∪
“Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (QS. [53] an-Najm: 19-20)
Setan memasukkan dalam Nabi kata-kata berikut:
346 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 313. 347 H. M. Joesoef Sou’yb, op. cit., hlm. 161-162. Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab
Tuduhan, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006, hlm. 76.
.وان شفاعتهن لترجى, تلك الغرانيق العلى “Mereka semua adalah Tuhan yang agunbg syafa’atnya selalu duharapkan.”
Setelah mendengar kalimatya tersebut, orang-orang
musyrik berkata, “Hanya pada hari ini, Tuhan-Tuhan kita
disebutkan dengan baik.” Ketika Nabi Muhammad saw bersujud
diakhir surah, orang-orang muslim dan orang-orang kafir bersujud
secara bersamaan. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut:
{QS.[22]:Al-Hajj 52}. Dan (al-Hajj [22]: 42-44) (al-Hajj [22]: 49-
52)348
Rana Kabbani, dalam buku Menggugat kesalah Pahaman
Barat, beliau menilai secara intlektual, Richard Bell tidak mungkin
memahami dalam keadaan apa pun dalam tradisi yang sudah jelas
bermusuhan, bahkan menjadi paranoid. Lagi pula ada
kemungkinan tuduhan ini yang pertama kali disebut oleh pengikut
Zorester yang menyusup ke dalam Islam dengan tujuan
menghancurkan kekuatan dan pengaruhnya, dan terutama doktrin
terpenting tentang monoteisme.
Sebagian besar komentator terkemuka menyangkal bahwa
Nabi pernah menyatakan bahwa dewa-dewa itu kembali menjadi
keramat, dan bagaimana juga tidak bukti bahwa “Ayat-ayat Setan”
pernah muncul di dalam al- Qur’an. Namun hal ini tidak akan
menghalangi orientalis untuk menusuk-nusuk legenda tersebut
sebagai bukti, bahwa Nabi Muhammad saw., adalah orang yang
haus dengan kekuasaan dan manipulator yang tak berprinsip dan
yang sedia membuka doktrin yang paling fundamental untuk
memperoleh dukungan dari berbagai kepentingan yang bercokol di
Mekkah. Pandangan inilah yang disebar luaskan oleh Salman
Rusdie yang diperdebatkan itu.
348 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,
hlm. 383.
e. Dr. Taufik Adnan Amal
Taufik Adnan Amal mengkritk secara komprehensif tentang
unit-unit wahyu yang diasumsikan dan dielaborasikan oleh Richard
Bell. Asumsi radikal Bell ini, selain memiliki kelemahan yang telah
disinggung di atas, barang kali tidak logis. Jika al-Qur’an secara terus
menerus mengalami revisi seperti yang dimaksud Bell, maka orang-
orang yang berupaya menghafal al-Qur’an pada masa Nabi tentunya
akan mengalami kesulitan serius dengan adanya berbagai perubahan
yang konstan dalam kandungan kitab tersebut, dan hal ini agak sulit
dibayangkan.
Ketika unit-unit wahyu telah ditetapkan, maka langkah
selanjutnya adalah memberi penanggalan terhadapnya. Suatu kajian
dalam perkembangan misi kenabian Muhammad saw., dalam pentas
sejarah, untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-Qur’an, mesti
dilakukan terlebih dahulu. Kesepakatan yang eksis dalam berbagai
sistem penanggalan tentang butir-butir khas dalam wahyu-wahyu yang
awal akan sangat membantu dalam menetapkan unit-unit wahyu yang
bisa dikelompokkan dan diberi penanggalan dari masa tersebut.
Demikian pula berbagai rujukan historis yang ada dalam al-Qur’an
misalnya (30: 2-5).
Bagian-bagian al-Qur’an yang merekondisikan peperangan
atau berbicara tentang pengikut-pengikut Nabi yang terlibat dalam
pertempuran. Ungkapan-ungkapan Muhajirun, Anshar, alladzina fi
qulubihim maradl, munafiqun, dan lainnya, secara jelas berasal dari
hijarah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional juga akan
memberikan banyak pentunjuk di dalam penanggalan unit-unit wahyu
tertentu.
Tentu saja penyusunan rangkaian kronologis unit-unit wahyu
al-Qur’an semacam itu membutuhkan upaya-upaya keserjanaan yang
serius dan memakan waktu lama. Bahkan upaya penyusunan sistem
penanggalan ini sebagaimana diyakini oleh Fazlur Rahman dan Rudi
Paret barangkali merupakan keniskalaan. Tetapi asumsi-asumsi dasar
yang telah diutarakan di atas paling tidak akan sangat membantu
mengarahkan kita pada penetapan rangkaian kronologis “kasar” unit-
unit wahyu dalam kajian-kajian tafsir tematis kronologis, yang dewasa
ini mendominasi peta perkembangan tafsir al-Qur’an.
Dalam menanggapi pandangan Bell tentang Fenomena
kewahyuan yang berada dalam tatanan natural, Vahidudin dan
Nizamat Jung berpendapat bahwa peristiwa mesteri dalam pengalaman
wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supranatural dan
sebagai peristiwa yang luar biasa.349
f. Dr. Amir Faisol Fath
Kritik Hipotesa Richard Bell terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut Amir, melalui karyanya “The Unity of Al-Qur’an” Ia
menjelaskan bahwa para Ulama telah sepakat kalau al-Qur’an disusun
berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw., atau
bersifat tauqifi. Imam Zarkasyi mengatakan bahwa urutan ayat-ayat
dalam dalam satu surah, dan peletakan “basmalah” di awal surah juga
tauqifi. Tidak ada keraguan dan perbedaan pendapat antara ulama.
Oleh karena itu, maka tidak boleh ada pertentangan.350
Imam Zarkasiy dalam kitab al-Burhan misalnya melarang
penulisan dengan mengubah sesuatu yang pernah ada walaupun dalam
bahasa arab sekalipun. Lantaran meunurutnya pandangannya, dalam
penulisan seperti yang dikenal selama ini mengandung banyak rahasia.
Ia telah menyingkap sebagian dari rahasia-rahasia itu. Terlebih dalam
tradisi penulisan mushaf al-Qur’an terhadap doktrin yang menyatakan
bahwa: “sesuatu yang menyimpang dari kesepakatan rasm Utsmani
adalah bid’ah”.351
349 Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,
Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 182. 350 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,
hlm. 53. 351 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm.
273.
Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa kesepakatan ulama dan
berbagai riwayat sahih yang menyatakan bahwa susunan al-Qur’an
adalah tauqifi dan tidak bisa dipersoalkanm. Sebab, di dalamnya tidak
terdapat pertentangan dan perbedaan. Beliau lalu mengutip pendapat
Ja’far bin Zubair yang menyatakan bahwa penempatan ayat-ayat dalam
sebuah surat dilakukan dibawah petunjuk yang Nabi Muhammad saw.
Dan tidak ada perbedaan pendapat anatara kaum Muslimin mengenai
masalah ini.
Syaikh Zarqani misalnya mengatakan bahwa ulama telah
sepakat kalau susunan dan urutan al-Qur’an seperti yang kita lihat
dalam mushaf yang kita baca sehari-hari, dilandasakan pada arahan
dan petunjuk langsung Nabi Muhammad saw yang menerima
bimbingan dari Allah swt., tidak ada ruang untuk ijtihad dalam
menyusun al-Qur’an.352
Al-Maududi juga mengatakan bhwa susunan dan urutan al-
Qur’an dalam mushaf merupakan struktur yang satu dan saling
menguatkan dan yang lansung bersumber dari Allah swt., tidak ada
penambahan atau pengurangan di dalamnya. Ia berkata, “susunan dan
urutan al-Qur’an tidak dikerjakan berdasarkan inisiatif para sahabat.
Nabi Muhammad saw, sendiri yang menyusunnya berdasarkan
petunjuk dari Allah swt., bukti hal tersebut adalah firman-Nya yang
berbunyi: “dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan,” (al-
Muzammil: 4).
Ayat ini menegaskan bahwa al-Qur’an telah direncanakan
menjadi sebuah kitab sejak pertama kali diwahyukan. Sebuah kitab
harus disusun dan diurutkan secara benar. Oleh sebab itu, Al-Maududi
menolak pendapat kaum orientalis dan beberapa pemikir lain yang
menyatakan bahwa surah dan ayat-ayat al-Qur’an tidak disusun secara
352 Ibid., hlm. 54. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, cet II, 2011, hlm 188.
benar berdasarkan bukti tema-tema al-Qur’an yang tercerai berai dan
terpisah.353
Cara pandang yang komprehensif hal ini yang disampaikan
oleh Muhammad Al-Ghazali, karena merupakan cara yang benar
dalam mempelajari al-Qur’an. Sementara cara pandang partikular
laksana tubuh yang lumpuh, sebagian anggota tidak berfungsi dengan
baik. Tubuh tersebut takkan pernah berfungsi dengan sempurna selama
masih lumpuh, jadi kita harus memandang al-Qur’an dengan cara yang
komprehensif dan menyeluruh. Oleh sebab itu, ayat pertama al-Qur’an
diawali dengan kalimat berikut (QS.al-Alaq: 1-7).354
Perintah pertama ayat di atas adalah membaca. Membaca
dengan nama Allah swt, bukan membaca yang hanya diperuntukan
bagi kemajuan peradaban, atau untuk ilmu pengetahuan. Kemudian
ayat 3-5, ayat ini memasuki masalah ekonomi dan kemasyarakatan
secara bersamaan. Titik ini merupakan tempat kesewenang-wenangan
dan kesombongan mereka ketika mendapatkan kemewahan,
memperoleh nikmat, serta mempunyai harta yang melimpah.
Menurut Prof. Dr. Quraish Sihab, kata iqra terambil dari akar
kata qara’a pada mulanya berarti “menghimpun”, yang diterjemahkan
dengan “bacalah”, menurutnya tidak mengharuskan adanya suatu teks
tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sebingga terdengar
oleh orang lain.
Karenannya anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus
bahasa beranekaragam arti dari kata tersebut, antara lain,
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya, yang semuanya dapat
dikembalikan kepada hakikat “menghimpun” yang merupakan arti
akar kata tersebut. Kita tidak penjelasan tentang objek perintah
353 Amir Faisal Fath, op. cit., hlm. 395. 354 Ibid., hlm. 449.
membaca tersebut dari redaksi wahyu pertama ini, dan karena itu
ditemukan beraneka ragam pendapat para ahli tafsir.355
Di samping itu Muhammad al-Ghozali pemikir Kontemporer,
menolak tafsir yang menggunakan metode partikular dalam mengkaji
al-Qur’an, seperti menolak penafsiran orang yang menghalalkan
minuman keras dangan melihat pada surat an-Nahl, tanpa melihat ayat-
ayat lainnya yang terdapat ditempat yang berbeda.356
h. Kritik Penulis terhadap konstruksi Richard Bell 357
Dari beberapa cendikiawan ulama Timur Tengah dan Indonesia
setelah menguraikan secara kritis terhadap gagasan sekaligus produk
dari seorang orientalis berkebangsaan Inggris yaitu Richard Bell,
sebagai dasar landasan bagi penulis, maka bagi penulis sendiri ketika
memberikan kritik konstruksi metodologi Richard Bell terhadap
nasikh-mansukh, hal ini penulis menggunakan pisau analisis
hermeneutik kritis-oyektif dan analisis-kritis wacana kebahasan358,
yang di pelopori oleh Hebermas, secara umum untuk melihat gagasan-
gagasan teori nasikh mansukh Richard Bell serta konstruk metodologi,
yang dibangunnya, antara lain yaitu:
Penulis mengkritik metodologi biblical criticism,359 oleh
Richard Bell dalam al-Qur’an, mengatakan bahwa al-Qur’an dalam
355 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, hlm. 167. 356 Amir Faisal Fath, op.cit., hlm. 450. 357Penulis di sini adalah Moch. Khoirul Anam. S.Th.I mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadist,
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang angkatan 2008. 358Hermeneutik ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan dibalik teks, kendati
memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca. Hebermas menempatkan ‘sesuatu’ yang berada diluar teks sebagai problem hermeneutiknya. Kata-kata ‘Sesuatu’ di sini dimaksudkan untuk memahami dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia megandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutik sebelumnya. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta, Magnum, cet I, 2001, hlm. 149. Telewicara dengan Aksin Wijaya, pada hari Ahad, 8 Juli 2012, 08:00.
359 Biblical criticism adalah Metode kritik Injil (historical-Biblical critical-method), tidak dapat diterima untuk diaplikasikan serta dicocokan dengan metode-metode ulumul Qur’an yang diletakkan oleh ulama Islam. Karena metode ulumul Qur’an diciptakan untuk mengukuhkan prinsip yang menjadi sandaran epistimologi bahwa al-Qur’an adalah tanzil dari Tuhan semesta Alam. Ia dijaga dengan perhatian Allah dan umat Islam selama perjalanan berabad-abad lamanya
pandangan umat Islam bukan sebuah kitab yang diilhamkan oleh Allah
kepada seorang laki-laki yang diberi otoritas untuk membuat redaksi
dari dirinya sendiri. Hakikatnya al-Qur’an adalah kalam Allah swt,
yang sesungguhnya seperti yang ditetapkan dalam lauh Mahfudz dan
diturunkan kepada Muahmmad saw., pada zaman tertentu dengan
pelantara malaikat Jibril. Adapun kekhususan suci yang keluar dari
kitab ilahi ini tak hanya mencetak makna-makna teks belaka
(subtansi), tetapi juga mencetak huruf-hurufnya (bentuk), kata-kata
dan maknanya dari Allah swt.
Dengan melihat uraian di atas penulis katakan Richard Bell
juga kurang memahami kaidah nuzul dan kajian semantik al-Qur’an,
sehingga hasilnya keliahatan prejudistik atau dugaan semata, penulis
juga mendapat dukungan dari murid Bell yaitu, William Montgomery
Watt, dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, bahwa pendapat-
pendapat Bell di atas berasal dari dugaan suatu kesulitan yang tidak
bisa diatasi oleh Richard Bell, jika kata hawa bukankah satu-satunya
kata kerja yang berarti “mewahyukan”. Kata-kata nazala dan anzala
dipergunakan dalam pengertian serupa. Kedua kata tersebut muncul
tiga kali lebih sering katimbang dari pada bentuk turunan kata ahwa
(sekitar 250 berbanding 78 kata).
Dengan demikian kritik penulis terhadap Richard Bell secara
tidak langsung dapat memberikan efek jera dan dapat mengkritisi
pemikiran beliau melalui sikap orientalisnya, bahwa orang Kristen
sudah tidak sejalan dan cenderung menyimpang dari norma-norma
kerberagamaan, dengan cara pandang partikular yang dilakukan
Richard Bell terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat memporak-
porandakan keorisinalitas al-Qur’an serta merusak kesatuan
tematiknya. Menurutnya, bahaya yang disebabkan oleh
hingga kiamat datang menurutnya tidak dapat diterima dari segala bentuk permainan, perubahan dan penyelewengan. Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta, Perspektif kelompok Gema Insani, cet I, 2010, hlm. 184. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm. 46-47.
ketidakmampuan melihat al-Qur’an secara komprehensif adalah
memisah surat atau ayat dari surah atau ayat yang lain atau menjadikan
al-Qur’an sebagai kitab yang terpisah yang akan menyengsarakan
kehidupan umat Islam.
Dari uraian di atas penulis memberikan kritikan terhadap
Richard Bell, bahwa dalam menjelaskan hubungan antara satu ayat
dengan ayat yang lain, yang mengindikasikan bahwa tujuan konteks
surat adalah memperbaiki dan membersihkan halangan internal yang
berupa penyimpangan dan kerusakan sehingga bisa menjdai pemenang
agama bukanlah kemenangan induvidual, melainkan untuk
kemenanangan prinsip-prinsip agama yang suci dan jalan kebenaran
yang kokoh, maka prinsip amal dan pekerti yang mulia itu
disambungkan dengan pembicaraan tentang perang.
Penulis setuju dengan statement Dr. Abdul Mustaqim360, dalam
buku Epistemologi Tafsir Kontemporer, beliau memberikan penjelasan
dengan cara menganalisis komposisi dan struktur teks secara cermat
oleh karena itu, teks harus dipandang sebagai sesuatu yang otonom di
mana seorang mufassir dituntut bersikap kreatif dan tidak perlu lagi
disibukkan dengan persoalan bagaimana mendeteksi konteks historis
ayat tersebut. Dalam hal ini, penggunaan munasabah dalam Ulum al-
Qur’an dan prinsip maqashid asy-syari’ah dalam ushul fiqih yang telah
dirumuskan oleh para ulama terdahulu dapat di maksimalkan untuk
menemukan prinsip-prinsip moral universal tersebut.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada, metodologi
penafsiran yang ditawarkan Rahman telah memberikan alternatif baru
bagi pengembangan penafsiran al-Qur’an, terutama untuk memberikan
solusi untuk memberikan kecenderungan penafsiran al-Qur’an yang
subjektif, parsial, dan tekstualis-literalis yang menjadikan penafsiran
menjadi kering dari nilai-nilai etis.
360Beliau adalah dosen tetap Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, lihat biografi
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, cet I, 2011.
Dengan berlandaskan atas pemikiran Nashruddin Baidan,
penulis katakan bahwa Richard Bell, masih terbawa dengan pendapat
sebagian kecil ulama yang menilai bahwa menggunakan riwayat
dengan pendekatan syair. Sebetulnya riwayat yang menggunakan syair
jika tidak ditemukan penafsiran dari al-Qur’an, sunah, dan perkataan
sahabat. Jika tidak didapati ketiganya maka baru mencari syair-syair
pada masa lalu dengan berdasarkan sumber yang benar. Dengan
demikian Bell masih kelihatan ceroboh dalam mengambil sikapnya.
Berkenaan dengan hal ini penulis menilai bahwa pendekatan
historisisme dan filologisme yang Richard Bell gunakan dalam
metodologi studi al-Qur’an itu bersifat reduksionis. Sebagaimana
peryataan Royster beliau mengatakan bahwa pendekatan historisisme
dan filologisme yang berusaha mencari akar institusi, beliau menolak
hal-hal yang bersifat fundamental dan berusaha memperluas dasar
teoritisnya, tetapi akibatnya menampilkan hasil yang kurang ilmiah. Di
samping itu penulis didukung dengan pernyataan Maryam Jamilah
bahwa kesalahan yang paling besar di masa modern adalah
reduksionisme, di mana hal yang besar dijelaskan dalam tarap yang
sangat kecil dan hal yang tinggi dijelaskan dalam taraf yang lebih
rendah. Wahyu yang bersifat supranatural dijelaskan sebagai fenomena
natural.
Penulis sendiri tidak sepakat dengan pernyataan Richard Bell
yang menyatakan bahwa dengan mengaransmen bentuk rima-rima,
awal dan akhiran surat bersenandung sama, namun, penulis melihat
Richard Bell tidak konsisten dengan teori rimanya, masih banyak lagi
dalam ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rima. penulis menilai
bahwa penggunaan rima yang ada di akhir surat dalam al-Qur’an
merupakan suatu bentuk genre tersndiri, sehingga otentisitas al-Qur’an
tidak bisa dibantah dari segi apapun. Kendati demikian sejarah telah
membuktikan bahwa kaum sharfah yang ingin memalingkan isi al-
Qur’an baik dari redaksi, maupun teks-nya, tetapi Allah swt., tetap
menjaganya. Adapun bentuk rima-rima dalam al-Qur’an merupakan
bagian dari nilai estetika tersendiri, ketika dibaca agar si pembaca dan
pendengarnya tidak merasa jenuh dan bosan. Secara kompleks penulis
simpulkan bahwa Bell belum bisa memahami arti munasabah dalam al-
Qur’an secara komprehensif.
Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an
yang mengalami nasikh-mansukh oleh Richard Bell yang berusaha
untuk memaksakan al-Qur’an agar dapat berbicara sendiri dengan
menekankan pada aspek metodologinya, untuk itu penulis sepakat
dengan pandangan Fazlur Rahman bahwa rasionalisasi penafsiran yang
terlalu dipaksakan justru cenderung mengabaikan dimensi sastra dan
aspek kesejarahan. Akibatnya penafsirannya terhadap teori nasikh-
mansukhnya tersebut menjadi ahistoris. Oleh karena itu, para ulama
dan cendikiawan seperti Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syathibi,
Rasyid Ridha, Amin Kulli, Ibn Khaldun, Mustafa az-Azami, Musthafa
as-Siba’i, Nasr Hamid Abu Zaid dan Yusuf Qordowi mereka
kecenderungan tafsir yang demikian ditolak.
Dengan melihat peryataan Yusuf Qardawi dan para ilmuan-
lain, penulis menilai, bahwa melalui pendekatan historis yang di
lakukan oleh Richard Bell kemukakan sebagaimana di pembahasan
lalu, di dalam kajian keislaman menimbulkan nilai yang berbeda
tergantung dalam bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki
kelemahan di mana menempatkan sisi luar dari fenomena keagamaan
yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang esensial
dan subtansial.
Kekurangan tersebut sering juga tersebut sering juga didukung
oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang
salah. Pada aspek lain, al-Qur’an dapat menampilkan sosok yang
historis dan non historis, dikatakan historis karena ia menerangkan
jalinan kesinambungan wahyu Tuhan sebelumnya dengan adanya
penyesuaian wahyu dan tempak serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini
Muhammad Abduh menjustifikasi pandangan ini ketika
mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai
dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah
wahyu Nabi Muhammad saw.
Pendapat ini dipertegas oleh William Montgomery Watt dalam
buku Bell’s Intodution to the Qur’an. Menurut Watt al-Qur’an
bukanlah sajak yang pada setiap bait harus berujung konsonan atau
vokal. Dalam pandangannya al-Qur’an lebih merupakan purwakanti,
walau tidak mesti aksentuasinya selalu terletak pada bentuk kata akhir
sebuah ayat.
Pada surat al-Ikhlas misalnya, keempat ayatnya berirama-ad
dengan mengesampingkan dengan bunyi-bunyi nada; pada surat al-Fiil
(SQ. 105), ayat-ayat berirama –il dengan mengesampikan dengan
vokal-vokal akhir dan membolehkan -ul pada salah satu akhir ayat.
Sementara pada surat yang lebih panjang (QS. 54), -r menjadi
konsonan rima dan mendominasi hampir pada setiap ayat, pada pada
vokal-vokal akhir variasi –i dan –u bahkan –a muncul dalam posisi
sebagai fail (bentuk yang paling umum berupa satu suku kata vokal
pendek –r yang demikian menjadi konsonan rima).
Menurut penulis bahwa al-Qur’an bukanlah prosa atau puisi,
sisi lain prosa membagi kalam menjadi tiga macam: prosa atau puisi.
sebab disatu sisi, walaupun didalamnya lebih cenderung ke prosa
dengan kelaziman prosa mursal dan kata bersajak Arab, pada sisi yang
lain justru cenderung puitis.
Dalam pandangannya al-Qur’an lebih merupakan purwakanti,
walau tidak mesti aksentuasinya selalu terletak pada bentuk kata akhir
sebuah ayat. Penulis menilia bahwa al-Qur’an tidak selamanya
bersajak meskipun ada pada akhir ayat-ayat tertentu memiliki sajak,
dengan demkian penulis menambahkan, dengan munculnya varian-
varian al-Qur’an karena Allah swt., menjadikan al-Qur’an agar
mendapat perhatian khusus dan semakin diimani oleh hambanya serta
mudah untuk di ingat dan di hafalkan, karena itu al-Qur’an
mengandung aspek i’jaz yang tinggi.
Dengan metode tematik Richard Bell yang diaplikasikannya
kedalam seluruh konsep nasikh mansukhnya dalam al-Qur’an. penulis
mengatakan bahwa Bell bersikap takafful, di mana ayat-ayat yang
setema dapat dielaborasikan sedemikian rupa untuk merekonstruksi
dan menemukan Weltaneshcaung al-Qur’an mengenai tema yang
dikaji. Sehingga konsepnya tidak boleh bertentangan dengan
pandangan dunia al-Qur’an itu sendiri, karena penulis berangkat dari
jargon al-Qur’an yang mengatakan “bahwa ayat al-Qur’an saling
menafsirkan satu dengan yang lainnya” al-Qur’an yufassiru ba’dhahu
ba’dha. Dengan prinsip tersebut, pemahaman yang komprehensif dan
holistik dapat dicapai melaui metode tematik. Dengan demikian al-
Qur’an sudah dapat berbicara dengan sendirinya, tanpa dipaksakan.
Penulis juga menilai terkait dengan “ayat-ayat setan” yang
dijadikan tendensi khusus oleh Richard Bell itu berdasarkan dari hadis
maudu’. Jadi jelas hadis tersebut hanya dibuat-buat saja oleh rawi-
rawinya di masa itu, lalu ini dijadikan dasar penetapan oleh Richard
Bell.
Dalam hal ini penilaian penulis juga mendapat dukungan dari
Muhammad Abduh di mana beliau menolak pendapat yang
menafsirkan ayat ini dengan kisah “al-Gharaniq” karena kisah tersebut
adalah bohong, dan tidak sesuai dengan tema dan makna yang
dikandung dalam al-Qur’an. Ia berkata, “sekarang kembalilah pada
cara tafsir yang memaknai ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan makna
yang diakandung oleh kata-katanya, dan ditunjuk secara jelas oleh
kalimat-kalimatnya, dan hanya Allah yang maha mengetahui
kebenarannya”.
Akhirnya, setelah memaparkan semua upaya dan percobaan
peradaban Barat dalam interaksi mereka dengan teks-teks sucinya, ada
pertanyaan yang sangat mengelisahkan kebanyakan peneliti, padahal
jawabannya sudah hampir dapat diketahui pasti. Ketika bandingkan
posisi al-Qur’an sebagain kitab suci yang tak ada bandingannya dalam
Islam dengan posisi Bibel sebagai kitab suci Kristen, maka akan
jelaslah bahwa al-Qur’an memiliki kehususan dan keistimewaan yang
sangat tinggi. Dari sudut pandang eksternal apabila bisa dikatakan
demikian al-Qur’an adalah satu-satunya kitab, sementatar Bibel adalah
perpustakaan besar yang menghimpun berbagai kitab yang banyak
(ingat bentuk plural “Biblia)” dalam bahasa Yunani..
Penulis juga menambahkan bahwa al-Qur’an merupakan
khazanah sastra arab yang berdiri sendiri berbeda dengan Richard Bell
yang menimbang keorisinalitas al-Qur’an dengan sistem rima, puisi,
soneta, dan prosa, serta pengumpulan dan sebagainya hal ini sangatlah
tidak relvan dan tidak tepat.
Di samping itu yang harus perlu dipahami dalam mengkaji al-
Qur’an itu harus mempersiapkan perangkat-perangkat tafsir sehingga
produknya tidak dinilai cenderung parsial yang subjektif, dalam hal ini
apa yang digagas oleh Bell masih bersifat parsial semata-semata
karena kurangnya pemahamannya mengenai perangkat tafir dan ulum
al-Qur’an. serta perlunya melihat sastra al-Qur’an pada isi yang
mengagumkan, universal, prediktif, komprehensif dan adaptif. Dan hal
inilah yang tidak disentuh oleh Bell di dalam hipotesanya di atas. Dia
menyiratkan ketidakteraturan surat-surat, tema-tema, serta ia
menganggap adanya iltifat dalam suatu ayat hal ini ia nilai adanya
intervensi pihak luar dalam upanya penyusunan redaksi al-Qur’an.
Penulis juga menambahkan sebagaimana peryataan Dr.
Musthafa as-Siba’i dalam karyanya al-Istisriqaq wal Mustasriqun,
beliau menilai bahwa orientalis sesungguhnya tidak mengambil ilmu
dari gurunya. Mereka berlaku setera seperti anak-anak kecil,
melompat-lompat padanya, lalu keluar dalam bentuk kependetaan.
Kemudian memasukkan kepalanya dalam kebingungan impian. Dan
menyangka jika ia memiliki sesuatu padahal tidak diketahuinya.
C. Kontribusi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh dan Ulum al-
Qur’an .
Keterkaitan Richard Bell dalam memberikan kontribusi dalam bidang
nasikh-mansukh dan ulum al-Qur’an, hal ini tidak bisa terlepaskan dari
keterpengaruhan muridnya yaitu: W. Montgomery Watt, sebagaimana ia akui,
di dalam karyanya Bell’s Introduction to the Qur’an ia telah berhasil
menyempurnakan karya gurunya itu.361
Dalam pentas sejarah pengembangan nasikh-mansukh oleh para
mufassir muslim dalam membentuk suatu karya tentunya tidak bisa
terlepaskan juga dari keterkaitan oleh murid-muridnya sehingga menjadi
mahakarya yang sempurna, dalam hal ini sebagaimana mufassir muslim
seperti M. Abduh dan M. Rasyid Ridha dalam menyempurnakan karya
gurunya itu, kini karya itu masyhur dengan sebutan Tafsir al-Manar, menurut
Ibrahim Ahmad al-‘Adawiy, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Rif’at as-
Sauqi, peryataan beliau sebagai berikut:362
Bahwa orang yang paling dekat dengan M. Abduh adalah M. Rasyid
Ridha, sebab, sebagaimana diakui oleh Rasyid Ridha sendiri, kedekatan dan
keterkaitan seorang murid kepada gurunya yang senantiasa memberikan
tuntutan dan bimbingan, sebagaimana yang berlaku dalam kebiasaan dan
pandangan kaum sufi. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan nasikh-
mansukh dan ulum al-Qur’an seperti tokoh mufassir muslim klasik ini seperti:
Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalalu al-Din asy-Suyuti, yang pada
akhirnya lahirlah karya yang fenomenal mayshur dengan sebutan Tafsir
Jalalain, al-Qur’anul Karim. 363
361 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, at the University
Press, 1991, hlm. v 362 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah
Akidah dan Ibadah, Jakarta, Paramadina, cet I, 2002, hlm. 43 363 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 366-
378
Di dalam pengembangan teori nasikh-mansukh dan Ulmu al-Qur’an
rupanya terdapat nilai positif maupun negatif, meskipun ia seorang orientalis
yang dikritik habis-habisan oleh cendikiawan muslim. Adapun dalam bentuk
negatifnya sebagaimana penulis sudah dijelaskan di awal pada bab III dan IV.
Richard Bell secara tidak langsung sudah meberikan kontribusi
terhadap para cendikiawan muslim, mereka merasa terpanggil untuk
mengasah kemampuan akal mereka, ketika ada permasalah yang mencuat di
belantika disiplin ilmu yang terkait dengan ilmu-ilmu tafsir, sehingga para
mufassir seakan-akan mendapat ilmu baru, dan membuka cakrawala yang Bell
kembangkan, meskipun teorinya di tentang. Sedangkan dalam pengembangan
ulum al-Qur’an bahwa Bell memberikan langkah yang patut kita semua
memberikan apresiasi sedalam dalamnya kepada Bell, dengan susah payahnya
beliau dapat menemukan sejarah dari kronologi al-Qur’an secara instan dapat
di nikmati oleh pecinta ilmu arkeologi dan fiolologi dalam mengembangkan
kajian Islam, meskipun konsepnya oleh cendikiawan muslim ditentang.
Didalam pengembangan khazanah ilmu-ilmu al-Qur’an, Bell ternyata
banyak didukung oleh orientalis kontemporer yang mana pandangan mereka
positiif, diantaranya adalah: W. Motgomery Watt, Marshall G.S Hodson, John
O. Voll, John L. Esposito, dan Joques Jomier, di mana mereka dinilai oleh
kalangan cendikiawan Muslim bahwa kajian yang mereka kontribusikan
merupakan suatu investestigasi awal tentang al-Qur’an, tidak saja menarik
untuk dibaca tatapi juga dapat menghentikan pemikiran kita dalam memberi
penilaian terhadap mereka, para sarjana orientalis ini, yang mempunyai
kepedulian terhadap al-Qur’an. terlepas dari pretensi sebagai seorang Kristen
yang ingin mendalami al-Qur’an, ia telah memberikan kontribusi penting
dalam khazanah Ulum al-Qur’an yang sedikit tidaknya telah membuka mata
cakrawala para pemberhati studi al-Qur’an.
Seiring munculnya Renaissans, munculah alasan-alasan baru dalam
studi Islam, Pertama, adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing,
khususnya filologi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya
lain. Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik orang Eropa yang
meningkatkan volume penjalanan kedunia Timur. Ketiga, lahirnya studi al-
Kitab dan semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagai
alat yang bermanfaat.364
Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan berbagai
gagasan dan sudut pandang yang berkembang dikalangan sarjana baik muslim
maupun Barat tentang pewahyuan secara kronologis al-Qur’an yang
terbentang sekitar 23 tahun, baik ketika Nabi menetap di Mekkah maupun
setelah Nabi hijrah ke Madinah.
Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, berbagai sistem penanggalan
yang mendasarkan diri pada asumsi surat sebagai unit wahyu terlihat tidak
memadahi serta tidak setia kepada karekter asasi bahan-bahan tradisional
penanggalan al-Qur’an itu sendiri. Karena itu asumsi, tradisonal lainnya
tentang bagian-bagian al-Qur’an sebagai unit wahyu mesti dipegang kembali
dalam upanya pemberian penanggalan terhadap kitab suci tersebut.365
Menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pengabean,
menanggapi berbagai aransmen kronologis yang dikemukakan para sarjana
baik muslim maupun Barat, memiliki kelemahan tertentu, aransemen-
aransemen kronologi yang didasarkan pada asumsi surat sebagai unit wahyu
orisinal tentu saja memiliki sejumlah kelemahan, terutama karena dalam satu
surat mungkin ayat-ayatnya turun tidak secara sekaligus.
Bahan-bahan tradisonal, seperti hadist, as-babun nuzul, nasikh-
mansukh, dan lain-lain banyak memperlihatkan bagian-bagian individu al-
Qur’an bagian-bagian ayat, dari beberapa ayat dan sejumlah kecil surat
pendek-sebagai wahyu orisinal. Dengan demikian menurut keduanya, bahwa
asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Hirschfeld dan Richard Bell tentang
bagian-bagian induvidual al-Qur’an sebagai unit wahyu menurutnya dapat
dibenarkan.
Sebagaimana mufassir muslim seperti Aisyah bin as-Sya’ti mengklaim
kebenaran final dengan makna “riil” al-Qur’an tersebut, tetapi salah satu
364 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 252.
365 Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 328.
keuntungan yang dapat diperoleh dari studi-studi karya Bintu as-Sya’ti dan
Amin Kulli tentunya akan sama, juga tidak dikatakan mengungguli
keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam studi tafsir-tafsir klasik yang
tingkat pentingnya tampaknya dihargai tinggi oleh para sarjana Barat.
Menurutnya mufassir sejati memang sangat jarang kebanyakan karya
tafsir merupakan suatu bentuk campuran dari jenis tafsir kendati begitu semua
karya tentang al-Qur’an berisi diskusi-diskusi filologis secara luas. Bahkan
semua tafsir yang mengkaitkan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
modern. Namun orang harus ingat rata-rata kalangan muslim modern, karena
latar belakangan pendidikan dasar memengaruhinya, lebih memahami secara
baik masalah-masalah filologi yang dimunculkan oleh al-Qur’an dari pada
rata-rata orang Kristen Barat terhadap teks dan masalah-masalah filologi
Injil. 366
Penelusuran di atas juga mengimplikasikan kebutuhan akan sistem
kronologi yang baru. Sistem kronologi ideal, menurut Taufik Adnan Amal dan
Syamsu Rizal, semestinya dilandaskan atas beberapa asumsi berikut:
Pertama, unit wahyu orisinal adalah bagaian-bagian pendek al-Qur’an
dapat berupa potongan ayat-ayat, atau surat-surat pendek. Untuk
mengidentifikasi unit wahyu orisinal ini, gagasan atau tema, gaya al-Qur’an,
serta bahan-bahan tradisional dapat dijadikan pegangan.367
Kedua, dalam menatapkan penanggalan suatu unit wahyu orisinal,
perkembangan misi kenabian Muhammad dan komunitas muslim pada masa
kewahyuan al-Qur’an mesti menjadi rujukan historis yang pasti, maka
penanggalannya bisa ditetapkan secara lebih tepat, misalnya QS: (30): 2-5,
berisi tentang kekalahan Bizantium atau Persia, surat Ali Imran QS: (3), 121-
129 tentang perang Badar, QS; at-Taubah (9): 25-27, tentang perang Hunain,
dan lain-lain. Jika unit wahyu berisi suatu tema yang hanya muncul pada
periode tertentu, penanggalannya munkin ditetapkan, seperti tema Jihad yang
hanya muncul pada periode Madinah.
366 J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 1997, hlm. 123-124.
367 Ibid., hlm. 329.
Demikian pula, jika unit wahyu berisi suatu tema yang muncul dalam
periode tertentu, penanggalannya juga dapat dilakukan, seperti tema Anshar
dan Muhajirin yang hanya muncul setelah Nabi Muhammad dan para
pengikutnya yang berasal dari Mekkah hijrah ke Madinah. Di samping itu,
bahan-bahan tradisional juga dapat memberikan petunjuk di dalam
penanggalan unit-unit wahyu tertentu. Dengan demikian, tugas berat dalam
penyusunan kronologi al-Qur’an berpangkal dari pembacaan ulang terhadap
sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw., dan komunitas muslim masa
kenabian.
Penyusunan sistem kronologi yang dicita-citakan itu membutuhkan
upaya-upaya keserjanaan yang serius butuh waktu yang lama, terlebih lagi
untuk kepentingan tafsir tematik. Untuk sementara capaian-capaian yang ada
dibidang kronologi al-Qur’an dapat dimanfaatkan sebagai pijakan kasar dalam
studi-studi al-Qur’an dan Tafsir. Para pengkaji al-Qur’an diharapkan agar
tidak bertumpu pada suatu penanggalan saja, melainkan mampu
memanfaatkan keseluruhan sistem teknologi secara optimal perhatian terhadap
konteks sastra al-Qur’an serta perkembangan misi kenabian Muhammad saw.,
dan komunitas muslim pada periode pewahyuan akan memberi arah pada
pengkaji dalam menetapkan rangkaian kronologi untuk studi lanjut
berdasarkan sistem-sistem penanggalan yang ada.368
Tentu saja asumsi ini megimplementasikan kemustahilan penyusunan
surat-surat al-Qur’an dalam suatu tatanan kronologis, dan akan menjadikan
penentuan penanggalan bagian-bagian al-Qur’an sebagai sebuah pekerjaan
yang amat kompleks, bahkan mungkin tidak dapat selesaikan secara konklusif.
Minimnya informasi historis yang akurat tentang unit-unit wahyu yang
menjadi karekteristik utama-utama riwayat asbab al-Nuzul akan merupakan
kendala terbesar dibidang ini.
Dengan demikian, langkah utama dalam penyusunan kronologi
semacam ini adalah penentuan unit-unit wahyu dalam sebagian besar surat al-
Qur’an yang memiliki kandungan ayat dari periode pewahyuan. Seperti
368 Ibid., hlm. 329.
terlihat di atas, ada kesepakatan dalam berbagai sistem penanggalan mengenai
sejumlah kecil surat yang dipandang sebagai unit-unit wahyu oirisinal. Baik
dari periode Makiyah ataupun dari Madaniyah.
Dalam kasus semacam ini, pekerjaan yang tersisa menentukan masa
pewahyuannya secara lebih akurat. Tetapi sehubungan dengan surat-surat
yang memiliki kandungan unit wahyu dari berbagai masa. Maka penentuan
unit-unitnya barangkali dapat dilakukan dengan menerapkan metode analisis
sastra yang berpijak pada kesatuan gagasan dan gaya al-Qur’an baik prosaik
maupun puitis atau analisis wacana. Selain itu bahan-bahan tradisional juga
akan memberi kontribusi dalam hal ini.
Teori yang menyatakan bahwa susunan al-Qur’an sering disebabkan
beberapa bacaan ditulis pada sisi belakang lembaran lain, hal ini dijabarkan
secara rinci untuk seluruh al-Qur’an oleh Richard Bell. Namun hasilnya
dimasukkan dalam karyanya Transilation dengan berbagai alat tipografi
sebagai mana pembagian ditengah halaman. Makin kita kaji hasil ini, makin
kita terkesan oleh jerih payahnya dan kepiawaiannya. Karya yang sangat rinci
ini akan mendapat perhatian oleh para cendikiawan selama waktu yang lama.
Dalam hipotesisnya tentu tidak boleh kita tolak begitu saja, satu hal
yang adalah bahwa sudah ada naskah tulisan sejak zaman awal sekali. Bahwa
mungkin ada beberapa versi tulisan mengenai bagian-bagian Quran yang
disimpan oleh orang-orang berbeda.369
Namun, menurut Bell, ini tidak semata-mata khusus pada dokumen
tertulis, melainkan dengan istimewa penanggalan dokumen itu menurut dia
menjadi penyebab beberapa aspek pengurutan teksnya. Harus diakui apa yang
dikatakannya memang terkadang terjadi. Sebaliknya ada surah dalam (80 dan
96) yang menyatukan bagian-bagian yang tidak berhubungan; dan Bell
rupanya hanya menerima kenyataan ini tanpa mencoba menerpkan teorinya.370
Jadi bisa disimpulkan bahwa, setidaknya selama beberapa waktu,
siapapun yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan al-Quran tidak terlalu
369 Ibid., hlm. 92. 370 Ibid., hlm. 93.
mencemasi tidak hanya berkesinambungan alur pikiran dalam surah bisa saja
terjadi tanpa disebabkan penulisan bacaan di belakang surah lain. Ini membuat
beberapa rekonstruksi Richard Bell yang panjang lebar (seperti dalam contoh
(surah 2 dan 9) semakin meragukan.
Dalam kasus tertentu pasti tidak ada kepastian yang besar mengenai
cara yang tepat untuk menerapkan hipotesanya, tetapi seandainya
penerapannya sudah tepat, itu tidak akan menambah apa-apa kepada
pemahaman kita tentang Islam awal. Dalam hal ini hipotesa Bell bertentangan
dengan bukti yang menunjukkan adanya revisi dan perubahan. Kalau analisis
bacaan tentang qiblat benar, maka itu menambah wawasan kita mengenai
dalamnya reorintasi kebijakan negara Islam sekitar bulan maret sekitar tahun
624.371
Mengisyaratkan bahwa Nabi Muhmmad menerima wahyu dan
mengombinasikannya (dan barang kali menyesuaikan) dengan wahyu
sebelumnya. Ini menyiratkan lebih jauh bahwa wahyu mungkin diulang,
barangkali dsengan istilah yang agak berbeda. Ini menjadi semakin penting
jika kita ingat banyaknya jumlah pengulangan frase lanjutan-lanjutan
alternatif.
Jadi, mungkin saja dengan berasumsi bahwa beberapa bacaan sudah
diwahyukan dalam bentuk yang agak berbeda dalam kesempatan yang
berbeda, yang diingat oleh orang muslim perorangan dalam bentuknya yang
berbeda-beda, bahwa para ‘pengumpul’ menghadapi masalah yang luar biasa.
Mereka tentu tidak ingin melewatkan sekecil apapun wahyu yang orisinil,
namun jumlah bahannya begitu luas sehingga tidak mungkin mencakup
semuanya. Hal ini bisa menjelaskan mengapa beberapa teks Utsmani terasa
perlu, sehingga dalam hal ini teori nasikh-mansukh yang ditawarkan oleh
Richard Bell, dapat memberikan suatu kontribusi terhadap perkembangan
Ulum al-Qur’an dan perlu digaris bawahi betapa perlunya kajian secara rinci
yang telah dilakukan oleh Richard Bell atas teks al-Quran diperhalus.372
371 Ibid., hlm. 93. 372 Ibid., hlm. 94.
Terlepas dari kekurangan yang ada dalam teori naskh mansukh yang
Richard Bell kontruksikan itu sekiranya dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan tafsir yang ada di indonesia, tentu saja dengan memperhatikan
lokalitas budaya dan konteks keindonesiaan. Pada waktu yang sama perlu para
cendikiawan didorong untuk memusatkan perhatian pada bagian-bagian dari
pokok bahasan nasikh-mansukh dan Ulum al-Qur’an yang dapat memberikan
sumbangan untuk memperdalam pemahaman tentang khazanah keilmuan
dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an di masa-masa awal Islam.
Menurut penulis dalam mengkontekstualisasikan teori nasikh-
mansukh harus dibagun berdasarkan perinsip-prinsip sebagai berikut:
pertama, menjaga hal-hal yang subtantif dan konstan (ihtiram ats-tsawabit)
yang menjadi kesepakatan bersama secara rasional yang menjadi komunitas
akademi mufassir sehingga akan melahirkan produk tafsir yang lebih otoritatif
yang lebih otoritatif-intersubjektif dan tetap mencerminkan pandangan yang
pluralistik, bukan monolitik, kedua, untuk menghindari pemaksaan gagasan
ekstra Qur’ani seperti yang di lakukan oleh Richard Bell, al-Qur’an tidak
boleh diposisikan sebagai justifikasi teori ilmiah, tatapi hanya boleh
diposisikan sebagai inspirasi dan motivasi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, ketiga, pengembangan tafsir di era kontemporer ini tidak harus
meninggalkan turats (warisan keilmuan masa lalu) sama sekali sehingga
terjadi diskontinuitas sejarah keilmuan menganai teori nasikh-mansukh.
Sebab, apa yang dianggap sebagai turats tidak berguna di saat sekarang boleh
jadi akan berguna disaat yang akan datang.
Dalam hal ini penting yang harus di catat bahwa perubahan
pengembangan nasikh-mansukh meniscayakan perubahan dan pengembangan
konstruksi nasikh-mansukh. Sebab, bila zaman dan kondisi telah berubah,
tatapi jika konstruksi nasikh-mansukh yang digunakan tidak berubah maka
perkembangan nasikh-mansukh sangat mungkin akan berjalan di tempat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan deskripsi, analisis sekaligus mengkritisi
teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the
Quran, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara eksplisit orientalis ini mengakui nasikh al-Qur’an dalam arti
pembatalan, penghapusan, dan penggantian ayat terdahulu dengan ayat
yang datang kemudian. hanya saja dalam teorinya dia mengembangkan arti
derevisi revisi itu sendiri, yang cenderung diartikan memasukkan,
menambah, mengurangi, memaksakan ayat-ayat al-Qur’an kepada ayat –
ayat yang lain. Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan
sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW.
Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian
pendek al-Quran. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan
Muhammad sebagai revisor al-Quran, walaupun dalam koridor inisiatif
illahi.
Munculnya orientalis Richard Bell, karena dipengaruhi serta
termotivasi dengan kepentingan politis pada waktu itu, sehingga kajiannya
terlihat prejudistik, dari pada karya yang objektif. Ia juga mengatakan
bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-
orang Muslim setelah kematian Muhammad, Bell, Ia juga menyimpulkan
bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama
Kristen. Sehingga metodologi yang digunakan Richard Bell dalam hal ini
adalah melalui pendekatan historis dan filologis dengan dua pendekatan itu
menurutnya sudah dapat mengupas al-Qur’an, dari sisi penafsirannya.
Metode kritis historis dan filologis Richard Bell yang diramu
dengan metode tematik yang dilahirkannya agaknya dimaksudkan untuk
mereformasi kesan adanya kontradisi internal dalam al-Qur’an yang dahulu
menjadi alasan para ulama untuk menggulirkan konsep nasikh-mansukh.
Implikasi tersebut jika diaplikasikan kedalam bentuk teori revisi
Richard Bell terhadap penafsiran al-Qur’an menurutnya: bahwa al-Qur’an
bersifat“ de-sakralisasi” teks yang mengarah pada kontektualisasi makna
teks, dalam arti bahwa ketentuan tekstual yang bersifat legal-formal dapat
diketepikan demi meraih nilai ideal moralnya. Hanya saja, bagi Richard
Bell, untuk sampai pada makna kontekstual tersebut, seorang mufassir
harus menemukan original meaning terlebih dahulu melalui pendekatan
sosio-historis.
Sebab, bentuk-bentuk pengetahuan Richard Bell termasuk bentuk
penafsirannya, pada situasi tertentu ia cenderung berkuasa dan menjadi
juru tafsir satu-satunya yang dianggap benar atau realitas. Akibatnya ia
cenderung otoriter dan menyingkirkan tafsir-tafsir lain yang di anggap
menyimpang dari mainstream pemikiran yang umum. Dalam konteks ini
Richard Bell termasuk salah seorang orientalis dengan menyandang gelar
mufassir kontemporer yang menggunakan nalar kritis untuk memberikan
kritik dan revisi terhadap hasil penafsiran konvensional para ulama
sebelumnya.
2. Banyak cendikiawan muslim yang menilai Richard Bell di dalam
memberikan kontribusi terkait dengan aplikasi penafsiran ayat-ayat yang
dianggap mengalami revisi (nasikh-mansukh) para ulama yang hidup di
masanya atau setelahnya mereka merasa terpanggil untuk memberikan
kritikan sangat tajam, sedangkan para orientalis yang hidup dimasanya juga
menilai bahwa Richard Bell bersifat sangat ambisius, hingga pada akhirnya
tidak ada respon dari sekoleganya.
Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang
dia anggap mengalami nasikh-mansukh, Bell berusaha memaksa al-Qur’an
agar bisa berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya,
penulis sepakat dengan pandangan Fazlur Rahman Rahman bahwa
rasionalisasi penafsiran yang terlalu dipaksakan justru cenderung
mengabaikan dimensi sastra dan aspek kesejarahan. Akibatnya
penafsirannya terhadap teori nasikh-mansukhnya tersebut menjadi
ahistoris. Oleh karena itu, para ulama dan cendikiawan seperti Abu Hayyan
al-Andalusi, asy-Syathibi, Rasyid Ridha, Amin Kulli, Ibn Khaldun,
Mustafa az-Azami, Musthafa as-Siba’i, Nasr Hamid Abu Zaid dan Yusuf
Qordowi mereka kecenderungan tafsir yang demikian menolak.
Dengan metode tematik Richard Bell yang diaplikasikannya ke
dalam seluruh konsep nasikh mansukhnya dalam al-Qur’an. penulis
mengatakan bahwa ia bersikap (pemaksaan) takalluf di mana ayat-ayat
yang setema dapat dielaborasikan sedemikian rupa untuk merekonstruksi
dan menemukan Weltaneshcaung al-Qur’an mengenai tema yang dikaji.
Dengan demikian Richard Bell, merupakan salah satu dari sekian
banyak orientalis yang secara tegas memploklamirkan teori nasikh-
mansukh terhadap ayat-ayat al-Qur’an, hal ini membuat para cendikiawan
muslim menjadi gerah terhadap apa yang dilakukan oleh Richard Bell
terkait dengan penafsiran ayat yang di anggapnya mengalami revisi, para
ulama sepakat dan menilai bahwa Richard Bell, sekali lagi cenderung untuk
memaksakan ayat-ayat al-Qur’an (takalluf) agar masuk dalam konsepnya,
di samping itu para cendikiawan juga menilai bahwa apa yang
dilakukannya cenderung menyelewengkan (iltifat) terhadap ayat-ayat al-
Qur’an, baik dalam bentuk ayat yang mengalami korelasi (muansabah)
suatu ayat terhadap ayat yang lain. Sehingga hal ini cenderung memicu
bahwa al-Qur’an terasa keluar dari manhajnya, baik dari manhaj bayaniy,
burhaniy. Dan ‘irfaniy.
Kelemahan teori revisi Richard Bell ini adalah bahwa ia hanya
dapat diterapkan untuk memehami ayat-ayat hukum dan sulit atau bahkan
tidak bisa diterapakan untuk menafsirkan ayat-ayat non hukum. lagi pula,
terdapat jarak yang terlalu jauh antara situasi sekarang dengan saat
ditrurnkanya al-Qur’an sehingga menurut hemat penulis tetap ada unsur
subjektivitas penafsir di dalamnya. Dengan demikian, bisa jadi apa yang
disebut sebagai makna otentik tidak lagi benar-benar otentik (quasi
otentik).
Penulis juga menilai bahwa ketika Richard Bell menjelasakan dan
menguraikan tentang konsep teori revisi ia cenderung gegabah dalam
mengambil sikap terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang pada akhirnya dinilai
cenderung mengeksploitasi serta memanipulasi ayat-ayat al-Qur’an juga
kurangnya pemahaman mengenai teori nasikh-mansukh sebagaimana apa
yang telah dilakukan oleh para ulama dan cendikiawan muslim lainnya.
3. Sekian banyaknya kritikan tajam yang ditujukan kepada Richard Bell,
seorang sarjana dari kebangsaan Inggris ini, penulis sampaikan bahwa
keterkaitannya dengan teorinya terhadap ayat-ayat yang mengalami nasikh-
mansukh, sebagaimana apa yang dilakukan oleh cendikawan ulama, pada
dasarnya teori revisi yang dilakukan oleh Richard Bell menjadikan suatu
sumbangsih keilmuan tersendiri bagi sarjana-sarjana sesudahnya, terlepas
dari konsepnya yang bertolak belakang.
Namun, dalam hal ini ada kaitannya dengan Ulum at-Tafsir, di
mana kajian ini menjadi pangkal dari teori nasikh-mansukh yang Richard
Bell telah lahirkan dengan berdasarkan konsep-konsepnya, penulis
mengatakan diakui atau tidak, baik secara langsung atau tidak, penulis
menilai bahwa apa yang dilakukan Richard Bell secara tidak langsung
sudah memberikan kontribusi yang relevan bagi kita serta banyak
mengajarkan kepada kita semua, terlepas dari konsepnya yang cenderung
memaksakan serta dianggap memanipulsi ayat-ayat al-Qur’an.
Penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Richard Bell, terkait
dengan teorinya merupakan langkah awal secara tidak langsung Richard
Bell adalah orientalis yang pertama kali yang pernah mengukir sejarah,
yang pada akhirnya dapat mewarisi generasi-generasi sebelum maupun
sesudahnya dari sejumlah tokoh orientalis, meskipun gagasannya banyak
ditolak dan diremehkan oleh sekoleganya, hal itu tidak mempengaruhi
pemikirannya. Richard Bell juga memiliki jalur transmisi keilmuan yang
cukup relevan dari jejak pendahulu-pendahulunya, hingga pada akhirnya
dapat melahirkan teori revisi, begitu juga halnya apa yang telah dilakukan
oleh cendikiawan muslim yang tidak bisa terlepas dari jejak pendahulunya
hingga akhirnya mereka melahirkan teori nasikh-mansukh serta dapat
melahirkan cendikiawan-cendikiawan sesudahnya.
B. Saran- Sarana
1. Konsep naskh merupkan objek kajian yang sangat penting dan krusial juga
kajian yang bersifat sensitif. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan
kehati-hatian agar jangan terjadi kesemena-menaan dalam menetapkan
apakah nas telah dinasikh atau tidak, jangan hanya persoalanya karena
ditemukan adanya pertentangan dengan nass lannya.
2. Melihat minimnya penelitian kajian-kajian orientalis, hendaknya institut
memperkaya literatur-literatur orientalis guna mendorong kajian-kajian
yang intensif sebagai upanya menciptakan iklim keterbukaan untuk
berdialog dengan kajian mereka, juga melatih kalangan akademisi
bersikap lebih kritis.
3. Untuk mengembangkan penafsiran di indonesia, diperlukan keberanian
intlektual untuk mengubah paradigma epistemologi penafsiran nasikh-
mansukh dari nalar ideologis ke nalar kritis. Sebab, perkembangan tafsir
nasikh-mansukh sangat dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan
dari waktu ke waktu. Denga demikian, meski situasi dan kondisi telah
berubah, bila epistemologi tafsirnya tidak berubah maka pengembangan
tafsirnya akan mengalami stagnasi. Akibatnya, tafsir akan terjebak pada
pengulangan pendapat-pendapat masa lalu yang belum relevan dengan
konteks ke indonesiaan. Bahkan jangan sampai mengalami kemandulan
dalam memberi solusi terhadap prolem sosial keagamaan masyarakat
kontemporer.
4. Karena konsep naskh mengalami perkembangan dan waktu ke waktu,
maka masih banyak untuk diperbincangkan kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama,
Bandung: Diponegoro, 2007
‘Ala, Abdul. Dari Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2003
Abi Bakr, asy-Suyuti, Jalal al-Din Abdur Rahman bin al-Durr al-Mansur, fi al-Tafsir al-Ma’stur, Juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1990
Al-Ghazali. Syaikh Muhamma dimata Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung: Mizan, cet III,1997
Aceh, Abu Bakar, Sejarah al-Qur’an, Solo: Ramadhani, cet VI, 1989
Adzalimi, Agung Abdul Khalifah, Jamu Al-Qur’an, Dirasat Tahliliat Li Marwiyat, Berut: Lebanon, Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1971
Abyadi, Ibrahim. Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H., Jakarta: Rineka Cipta, cet I, 1992
Ali bin Muhammad, as-Syaukani, Al-Imam Muhammad bin, Fath Al-Qadir, Baina al-Riwayat wa al-Dirayah min Ulum al-Tafsir, juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994
Azami, Mustafa. Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Terj. Sohirin Solihin, (et,al), Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005
Ali Dukhruj dan Kamil Musa. Kaifa Mafham al-Qur’an, Dirasat fi al-Madzahib al-Tafsiriyyah wa Ittijahatiha, Beirut: Lebanon, 1992
Amal, Taufik Adnan dan Pengabean, Syamsu Rizal. Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 1989
_________________, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001
_________________, “al-Qur’an dimata Barat” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 1, 1990
_________________, Islam Tantangan Modernitas, Studi atas Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, cet III, 1992
Abdullah, Amin. “Perlunya Sikap Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992
Aminudin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: Sinar baru Al-Gensindo, 1995
Anwar, Rahison. Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka setia, Cet, I, 2009
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2008
Armas, Adnin, Metodologi Bebel dalam Stusi al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani, cet II, 2004
Ashabuni, Ali. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, ’alaam al-kutub, t.k, t.th
Azra, Ayzumardi. Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet I, 1999
Badawi, Abdur Rahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta: LKiS, cet II, 2003
Baharun, Hasan. Islam Esensial; Kajian Membumikan Suanah Rasulillah, Jakarta: Pustaka Amani, cet I, 1998
Baiquni, N. A, (et.al), Indeks Al-Qur’an, Cara Mencari Ayat al-Qur’an, Surabaya: Arkola, t.th
Baqi, Muhammmad Fu’ad Abdul. Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzil al-Qur’an, Dar al-Fikr, cet II, 1981
Bell, Richard, To The Quran Translation with a Critical Re Arenggement of the Surah. 2 Jilid. Edinburgh: T& T Clark, t.th
Burton, John. The Source Of The Quran Law, Islamic Theories Of Abrogation Of The Quran, Edinbugh, 1990
Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasyid, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Cummings, Louise. Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2007.
David Power. “The Exegicial Genre Nasikh Al-Qur’an wa mansukhuhu”, dalam andrae Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Quran, oxford, 1988
Denffer, Ahmad Von. Ulum al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of the Quran,
Dzahabi, Muhammad Husein. Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran, Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, cet I, 1986
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme, Edisi Rsevisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet 1, 2010
Fath, Amir Faisal. The Unity of al- Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010
Fauzi, Ihsan Ali “Studi Islam Agenda Timur-Barat”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992
G. S. Hodgson, Marshall. The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradapan Dunia Masa klasik, Jakarta: Paramadina, cet I, 2002
Ghazali, Muhammad. Syaikh dimata Dr. Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung: Mizan, cet III, 1997
Hanafi, Hasan. Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj. Asep Usman Ismail (et,al), Jakarta: Paramadina, cet I, 2003
Husaini, Adian. Wajah Peradapan Barat; dari Hegemoni Kristen ke dominasi Sekuler Liberal, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005
Huges, Thomas Patrick. Dictonary of Islam, India: Cosmo Publication, 1982
Ismail, Muhammad Bakr. Dirasat fi Ulum Alqur’an, cet I. Beirut, Dar al-Manar, 1991
Ibn Jauzi, al-Farsy al-Baghdadhi, Al-Hafidh Jamaluddin Abi al-Farj Abd al-Rahman Nawasikh al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, t.th
Ibn Arabi, al-Ma’afiri, al-Qadhi Abi Bakr Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Abdillah Maliki, Naskh wa al-Mansukh fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet III, 2006
Jamal, Muhammad. Membuka Tabir Upaya Orientalis Islam, Alih Bahasa, As’ad Yamin, Bandung: Dipenogoro, cet I, 1991
Jumantoto, Totok dan Amin, Samsul Munir. Kamus Ushul Fiqh, t.k, Amzah, cet I, 2005
Jassin, H. B, Kontoversi al-Qur’an Bewajah Puisi, Jakarta: Grafiti, cet I, 1985
Junaidi, Abdul Basith (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2009
Jansen, J. J. G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet I, 1997
Jomier, Jacques. Horizon al-Qur’an, Membahas Tema-Tema Unggulan dalam al-Qur’an, Terj. Hasan Basri, Jakarta: BKTAP, cet I, 2002
Jakub, Ismail H, Tk, Orientalisme dan Orientalisten, prihal Ketimuran dan Para Ahli Perihal Ketimuran, Surabaya: C.V. Faizan, t.th
Jursy, Shalahuddin. Membumikan Islam Progesif, Terj. M. Aunul Abied Shah, Jakarta: Paramadina, cet I, 2004
Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002
Khaalil, Shawki Abu, Ph. D., Membela Agama Tauhid; Argumen Ilmiah untuk Menjawab Cercaan Orientalisme terhadap Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2005
Khalil, Abu Syauqi. Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Singapura: Haramain, cet II, 2004
Khudori, Darwis. “Catatan atas le Coran Jacquis Berque”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. V, No. 2, 1994
Kabbani, Rana. Menggugat Kesalah Pahaman Barat, Terj. Julia Sumanto dan Samsiah Soedamo, Jakarta: Temprint, cet II, 1992
Maraghiy, Ahmad Mushtafa. Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut: Dar al-Turats al-Arabiy, cet III, t.th
M, M. Ghalib. Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina, cet I, 1998
Mahfudz, Muhsin “Arah Baru Hubungan Orientalisme dan Oksidentalisme”, dalam Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 13, No. 1, Tahun 2009
Manna’ al-Qattan. Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th
Mahmud, Mustafa. Dialog dengan Atheis, Terj. Maimun Syamsudin, Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet I, 2002
Martin, Richard C. ”Analisis Struktural dan al-Qur’an, pendekatan baru dalam kajian teks Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 4, Tahun 1992
Moh, Natsir, Mahmud “Al-Qur’an di mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 12, Januari- Maret 1994
Muhammad, Muslih. Religious Studies, Problem Hubungan Islam Barat Kajian Atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta: Blukar, cet I, 2003
M. Echols, Johan dan Shadily. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet XXVI, 2005
Mukid, Abdul. Nasikh-Mansukh menurut Quraish Shiahab, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuludin, IAIN Walisongo Semarang, 2001
Mustaqim, Abdul, (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet I, 2002
_______________, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, cet I 2011
_______________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet 1, 2008
Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, cet I, 1994
Namr, Abd Mun’im. Ulum al-Qur’an al-Krim, Bairut: Dar al-Kitab, cet II, 1983
Nabi, Malik bin. Fenomena al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed, Bandung: al-Ma’arif, 1983
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011
Nawawi, Imam. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz 6, Mesir: Al-Hijazi, Jilid III, t.th
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Jakarta: Paramadina, cet I, 2002
Nurmawan, Sulamul Hadi. Nasikh Mansukh Menurut Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadits, UIN SUKA, Yogyakarta, 2003
Partanto, Pius A, & Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th
Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, cet II, 2000
Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Dhilalil al-Qur’an, Jilid I, Beirut- Dar Syuruq, cet XVII, 1992
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomoderisme Islam, Bandung: Mizan, t,th
_____________. Islamic Revelation, Edinburgh at the University Press, 1969
_____________. Pokok-Pokok Tema dalam al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, cet II, 1996
Rais, M. Amin. “Belajar Ke Barat, Tapi Anti Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992
Rohman, Abujamin. Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, cet II, 1990
Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut: Lebanon, Dar-Ilmiyah, t.th
Rofiq, A, (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, cet I, 2004
Rusmana, Dadan. al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet 1, 2006
Rabbani, Wakhid Bakhsh Capt. Sufisme Islam, Terj. Burhan Wirasubrata, Jakarta: Sahara publishers, cet I, 2004
Shiddiqie, T.M. Hasbiy, Sejarah dan Pengantar Tafsir dan Ulumul Qur’an, Cet VII, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Sibagh, M. Bin Lutfi. Limahat fi Ulumul Qur’an, wa at-Tijahat al-Tafsir, Lebanon: Maktabah Islamiy, cet III, 1990
Suyuti, Muhammad Jalaluddin. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid I, t.th
Syahbah, Abu Muhammad Syaikh. Studi al-Qur’an al-Karim,Menelusuri Sejarah Turunnya al-Qur’an, Terj. Tafik Rahman, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 1992
Syaikh, Ahmad. al-Mustaqqafun al-‘Arab wa al-Gharb, Kairo: al-Markaz al-‘Ara liddirasat al-‘Arabiyah, cet I, 2000
Said, Edward W. Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2010
Salim, Fahmi. Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Prespektif kelompok Gema Insani, cet I, 2010
Sumaryono. Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Sou’yb, Joesoef. Orientalis dan Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1985
Senoung, Ilham B. Hermeneutik Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Bandung: Teraju, cet II, 2002
Shahrur, Muhammad. Metodelogi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta: Elsaq, Cet V, 2008
Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: Elsaq, Cet I, 2005
Shalih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar al-‘Ilm, lil Malayin, cet XVII, 1988
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992
______________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2008
Steenbriink, Karel A. Mencari Tuhan Dengan Kaca Mata Barat, Fakultas pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, Jilid III.
Stefan Titscher, (et.al), Metode Analisis Teks dan Wacana, Terj. Ghazali, (et.al), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet I, t.th
Soetapa, Djaka. “Ibn Hazm atau As-Syahrastani, Kumpulan Makalah Seminar, seri INIS, Jilid VII, Jakarta: 1990
Suma, M. Amin. “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005
Syafruddin, Amir. Ushul Fiqih, Jilid I, Jakarta: Kencana Media Group, cet IV, 2009
Syamsuri, dan Kusmana. Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, cet I, 2004
Tahan, Abu Habsin Mahmud. Taisir al-Musthalah al-Hadits, Singapura, Jidah, Indonesia, al-Haramain, 1985
Thabathaba’i, Al-‘Alamah Husein. al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Jilid XVIII, Iran-Muassasah Isma’iliyan, cet V, 2000
Thabari, Muhammad bin Jarir, Abi Ja’far, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an, Juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1992
Wansbrough, John. Quranic studies, London: Oxfrod University Pess, 1977
Watt, W. Montgomery. Bell’s Introduction to the Quran, Edinburgh: Edinburgh at the University Press, 1991
___________________. Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Pers, cet II, 1995
___________________. Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: PT Raja Garfindo, cet I, 1997
___________________. Pengantar al-Qur’an, Terj. Lilian D. Tejasudhana, INIS, 1998
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007
Zahrudin. Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam as-Syafi’i, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 1998
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et.al), Jakarta: Pustaka Firdaus, cet IX, 2005
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, cet V, edisi revisi, 2005
Zarkasyi, Abdullah. al-Burhan fi-Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, cet II, 1988
Zarqani, Abd Azhim. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Bairut: Lebanon, Dar al-Fikr, Jilid II, 1988
Zuhail, Wahbah. Tafsir Munir, Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr al-Muassar, jilid I, cet I, 1991
Zaid, Musthafa. an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Dirasat Tasyri’iyyah Tariyyati Naqdiyyah, Jilid I, Dar al-Wafa, al-Mansyurah, cet III, 1987
http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-Hadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Moch. Khoirul Anam Tempat Tanggal Lahir : Demak, 18 Agustus 1989 Alamat : Bukit Meranti, Belilas. Kec. Seberida.
Kab. Rengat Pekanbaru- Riau Alamat Domisili Semarang : Bagun Harjo, RT/03RW/08, kec.
Tembalang-Semarang Nama Ayah : Sudarmo Pekerjaan Orang Tua : Wiraswata Alamat E-Mail : [email protected] No. Hp : 085641982348 / 085326676868 Latar Belakang Pendidikan a. Pendidikan Formal : SDN 042 Pulau Burung Tembilahan Riau
(1995-2001) : MTs. Futuhiyyah 1 Mranggen Demak (2002-2005) : MAK Futuhiyyah 1 Mranggen Demak (2004-2008) : IAIN Walisongo Semarang, Jurusan Tafsir Hadits
b. Pendidikan Non-Formal : PON-PES Al-Anwar Suburan Mranggen Demak Pengalaman Organisasi : Anggota HMJ Tafsir-Hadits 2008-2009
: Anggota SMF Fakultas Ushuluddin 2010-2011
Penulis, Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008