Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
1
Pengaruh Inisialisasi terhadap Simulasi CAM3
Studi Kasus Monsun Break Januari 2007
NURFIENA SAGITA PUTRI
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Untuk dapat melakukan prediksi musiman menggunakan Community Atmosphere Model 3
(CAM3), masih diperlukan penyesuaian, khususnya masalah terkait initial condition (IC). CAM3 ini
merupakan salah satu model atmosfer global yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric
Research (NCAR) yang dapat dijalankan secara standalone untuk melakukan simulasi iklim. Namun saat
ini tools yang tersedia untuk mempersiapkan IC CAM3 sulit diperoleh. Dalam penelitian ini diusulkan
metode spin-up sebagai cara menghasilkan IC CAM3 untuk keperluan simulasi monsun break pada
Januari 2007. Metode spin-up yang digunakan terbagi menjadi tiga contoh kasus. Kasus pertama adalah
dengan melakukan spin-up biasa tanpa disertai penggantian variabel IC dengan FNL. Pada kasus kedua
dicoba spin-up dengan melakukan transplant analysis menggunakan data FNL sebanyak satu kali, yaitu
hanya pada awal IC hasil proses spin-up awal. Pada kasus ketiga dilakukan transplant analysis yang
disertai dengan metode “nudging” secara bertahap, tanpa dilakukan penambahan suku relaksasi pada
persamaan model CAM3. IC yang dihasilkan melalui proses spin-up pada kasus ketiga lebih baik
daripada dua kasus lainnya, meskipun masih terdapat bias yang cukup besar untuk variabel temperatur
permukaan. Berdasarkan hasil simulasi, terlihat CAM3 dapat menunjukkan fenomena monsun break yang
terjadi pada 3 – 17 Januari 2007 dengan menggunakan IC dari kasus ketiga yang melibatkan proses
“nudging” bertahap. Dapat terlihat juga bahwa inisialisasi merupakan faktor yang sangat penting dalam
melakukan prediksi musiman, terlihat dari ketidakmampuan kedua kasus lainnya dalam menggambarkan
fenomena monsun break yang terjadi secara tepat pada periode kajian.
Kata kunci: Community Atmosphere Model 3, inisialisasi model atmosfer, spin-up, transplant analysis,
nudging, monsun break Januari 2007
1. Pendahuluan
Monsun yang terlambat ataupun lemah dapat
berakibat pada pendeknya atau buruknya masa tanam
dan hal tersebut berdampak pada penurunan produksi
di bidang pertanian dengan implikasi terhadap bidang
lainnya. Pemahaman mendalam dan perbaikan
prediksi tentang bagaimana perubahan monsun dari
tahun ke tahun ini sangat diperlukan untuk dapat
mengurangi potensi kerugian jiwa dan harta benda,
termasuk juga di luar daerah monsun (Yang, 2008).
Oleh karena itulah prediksi musiman terkait monsun
sangat diperlukan.
Salah satu model yang dapat digunakan untuk
melakukan simulasi dan prediksi monsun adalah
Community Atmosphere Model 3 (CAM3; Chen,
2010 dan Santriyani, 2011). CAM3 merupakan salah
satu model atmosfer global yang dikembangkan oleh
National Center for Atmospheric Research (NCAR)
dan source code-nya dapat diperoleh secara gratis di
UCAR (2012b). Model ini merupakan komponen
model atmosfer dari model iklim coupled Community
Climate System Model (CCSM). Dalam versi coupled
bersama komponen CCSM lainnya, CAM3 biasa
digunakan untuk melakukan prediksi iklim.
Model CAM3 yang dapat dijalankan secara
standalone memungkinkan penghematan sumber daya
komputasi yang diperlukan untuk menjalankan model
tersebut. Keuntungan ini membuat CAM3 berpotensi
untuk dikembangkan menjadi model prediksi
musiman operasional. Namun, untuk dapat melakukan
prediksi musiman tersebut CAM3 masih memerlukan
penyesuaian, salah satunya adalah masalah terkait
initial condition (IC).
Saat ini tools yang tersedia untuk
mempersiapkan IC CAM3 cukup sulit diperoleh.
Padahal menurut Kalnay (2003), masalah penentuan
IC menjadi merupakan masalah yang sangat penting
dalam melakukan prediksi dengan model prediksi
cuaca numerik. Semakin akurat perkiraan IC, maka
akan semakin baik kualitas prediksi yang dihasilkan.
Boyle dkk. (2004) melakukan teknik nudging dan
transplant analysis dalam penelitiannya untuk
menginisialisasi CAM2, seperti terlihat pada Gambar
2
1.1. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa nudging
merupakan suatu teknik asimilasi data dengan cara
menambahkan suku relaksasi pada persamaan model
yang memaksa model untuk dapat terintegrasi dengan
kondisi observasi. Metode tersebut berkerja dengan
cukup baik dan dapat menghasilkan kondisi yang
cukup realistis untuk model dapat dijalankan dalam
mode prediksi. Sayangnya, teknik ini mengharuskan
pengubahan source code model dan cara ini cukup
sulit dilakukan.
Gambar 1.1. Ilustrasi metode inisialisasi CAM2 dengan
teknik (a) nudging dan (b) transplant analysis
berdasarkan penelitian Boyle (2004).
Teknik transplant analysis yang digunakan
Boyle dkk. (2004) merupakan teknik yang meniru
prosedur dalam prediksi cuaca operasional dimana
prediksi dilakukan dengan inisialisasi inti model
menggunakan hasil analisis dari inti model lainnya.
Pada teknik ini dilakukan interpolasi langsung
terhadap variabel dari suatu koordinat horizontal dan
vertikal dari suatu model tertentu ke dalam model
lainnya. Teknik transplant analysis tidak dapat
diterapkan secara langsung untuk CAM3 karena
terdapat beberapa variabel dalam IC CAM3 yang tidak
dijelaskan secara rinci
Salah satu cara lain untuk memperoleh IC
CAM3 adalah dengan melakukan spin-up. Penelitian
ini membahas tentang cara menghasilkan IC CAM3
dengan waktu spin-up yang relatif singkat, yaitu 3
bulan, dengan melakukan penyederhaan terhadap
kedua teknik yang digunakan oleh Boyle (2004). Studi
kasus monsun break panjang pada Januari 2007
yangterkait dengan kemunculan southerly surge aktif
(Hadi, 2009 dalam Amelia, 2010), tepatnya pada 3 –
17 Januari 2007 (Octarina, 2011), dipilih sebagai
fenomena yang disimulasikan dalam uji coba IC yang
diperoleh. Kajian ini dipilih karena monsun break
merupakan suatu variabilitas intramusiman yang
menunjukkan perkembangan kondisi atmosfer pada
suatu musim dan suatu model prediksi musiman yang
baik seharusnya dapat menggambarkan fenomena ini.
2. Data dan Metode
Data yang digunakan dalam penelitian ini
terbagi atas data input model untuk inisialisasi awal,
yaitu data set IC atmosfer CAM3 bawaan dan data
NCEP FNL1, dan boundary condition (BC) berupa
data SST dan sea-ice concentration, yaitu Merged SST
Hadley OI.v2 (Hurrel dkk., 2008). Data pembanding
yang digunakan untuk evaluasi adalah NCEP/NCAR
Reanalysis2 (R1) dan NCEP/DOE Reanalysis II
3 (R2).
Dalam penelitian ini, CAM3 dijalankan secara
standalone pada resolusi T85 dengan inti dinamis
Eulerian untuk proses spin-up maupun simulasi.
Konfigurasi lainnya yang digunakan untuk
menjalankan CAM3 (seperti parameterisasi) adalah
konfigurasi default. CAM3 dijalankan standalone
secara minimal dengan komponen model daratan
CCSM yang digunakan adalah Commmunity Land
Model (CLM), sedangkan komponen model laut yang
digunakan adalah Data Ocean Model (DOM; UCAR,
2012a). Inisialisasi untuk CLM tidak dibahas dalam
penelitian ini. Penjelasan lebih lanjut mengenai CAM3
dapat dilihat pada CAM3 Description (NCAR, 2004a)
dan CAM3 User’s Guide (NCAR. 2004b).
Penelitian diawali dengan persiapan BC untuk
CAM3. Data Merged SST Hadley OI.v2 sebagai input
DOM perlu di-regrid menjadi gaussian grid yang
sesuai untuk menjalankan CAM3. Langkah
selanjutnya adalah persiapan IC CAM3 dengan spin-
up selama tiga bulan, dari 1 September – 1 Desember
2006. Proses spin-up terbagi menjadi dua tahap, yaitu
spin-up awal dan spin-up lanjutan. Spin-up awal
dilakukan dengan menggunakan data IC atmosfer
bawaan dari CAM3.
Penelitian ini membagi proses persiapan IC
menjadi 3 contoh kasus. Pada kasus I, spin-up lanjutan
dilakukan langsung tanpa ada masukan dari data FNL.
Pada kasus II dilakukan percobaan transplant analysis
dengan menggunakan data FNL terhadap IC hasil
spin-up awal dan berikutnya spin-up lanjutan
dilakukan tanpa “nudging”. Pada kasus III dilakukan
percobaan transplant analysis yang disertai “nudging”
pada proses spin-up lanjutan. Ilustrasi proses spin-up
dalam penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
1 U.S. National Centers for Environmental Prediction, ter-update
secara harian: NCEP FNL Operational Model Global Tropospheric
Analyses, dimulai dari 1999 Juli. Dataset ds083.2 dipublikasikan oleh CISL Data Support Section at the National Center for
Atmospheric Research, Boulder, CO, tersedia online pada
http://dss.ucar.edu/datasets/ds083.2/. 2 U.S. National Centers for Environmental Prediction, ter-update
secara bulanan: NCEP/NCAR Global Reanalysis Products, 1948 – sekarang. Dataset ds090.0 dipublikasikan oleh CISL Data Support
Section at the National Center for Atmospheric Research, Boulder,
CO, tersedia online pada http://dss.ucar.edu/datasets/ds090.0/. 3 U.S. National Centers for Environmental Prediction, 2000:
NCEP/DOE Reanalysis II. Dataset ds091.0 dipublikasikan oleh CISL Data Support Section at the National Center for Atmospheric
Research, Boulder, CO, tersedia online pada
http://dss.ucar.edu/datasets/ds091.0/.
3
Gambar 2.1. Ilustrasi alur proses spin-up untuk kasus I, II,
dan III. Proses spin-up awal dilakukan selama satu bulan
dari 1 September – 1 Oktober 2006 dengan
menggunakan data set IC atmosfer CAM3 default. Spin-
up lanjutan kemudian dilakukan mulai 1 Oktober – 1
Desember 2006 menggunakan IC masing-masing kasus
dan BC yang sama dengan spin-up awal.
Teknik “nudging” dalam penelitian ini tidak
dilakukan dengan menambahkan suku relaksasi ke
dalam persamaan model, melainkan langsung
melakukan penggantian terhadap beberapa variabel di
dalam IC dengan variabel dari data FNL secara
bertahap. Namun sebelumnya, perlu diperhatikan
bahwa data FNL yang tersedia setiap 6 jam dirata-
ratakan terlebih dahulu menjadi data harian. Rata-rata
harian inilah yang digunakan untuk melakukan
transplant analysis dalam penelitian ini. Adapun
variabel IC yang diganti dengan variabel FNL untuk
kasus II dan kasus III, antara lain tekanan permukaan,
angin zonal dan meridional, temperatur, dan planetary
boundary layer height (PBLH).
Khusus pada kasus III, proses spin-up lanjutan
dibagi menjadi 6 subproses dengan selang waktu antar
spin-up adalah 10 hari. Pada setiap awal proses spin-
up tersebut dilakukan penggantian variabel IC dari
FNL dengan bobot data FNL yang semakin meningkat
dan bobot variabel asli IC yang semakin menurun
seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Daftar tanggal dimulai dan berakhirnya sub
proses spin-up lanjutan pada kasus III beserta
perbandingan bobot variabel FNL dan IC CAM3 ketika
dilakukan penggantian variabel pada IC hasil setiap sub
proses spin-up
Setelah IC diperoleh, penelitian dilanjutkan de
ngan verifikasi terhadap IC tersebut. Proses verifikasi
dilakukan dengan meninjau pola tekanan dan
temperatur permukaan. Pada bagian ini, IC ditinjau
selisih antara IC CAM3 dengan data pembanding.
Selanjutnya dilakukan verifikasi secarakuantitatif
terhadap variabel multilevel, yaitu temperatur, angin
zonal dan meridional, dan kelembapan spesifik. Proses
verifikasi terakhir dilakukan dengan cara meninjau
pola integrated moisture transport. Integrated
moisture transport ini dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan 2-1.(Webster dan Fasullo,
2003)
merupakan rata-rata moisture transport
secara vertikal, ( ) adalah kelembapan spesifik pada
ketinggian dan ( ) adalah vektor kecepatan angin
horizontal pada ketinggian .Setelah verifikasi selesai,
kemudian dilakukan uji coba simulasi menggunakan
IC yang telah diperoleh. Uji coba ini dilakukan untuk
meninjau apakah dengan IC yang telah dihasilkan,
CAM3 dapat menggambarkan fenomena monsun
break yang terjadi pada Januari 2007.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hasil Spin-up
Gambar 3.1. Selisih temperatur permukaan (K) antara IC
CAM3 untuk (a) kasus I, (b) kasus II, dan (c) kasus III
dengan data R2 pada 1 Desember 2006.
IC yang dihasilkan oleh setiap contoh kasus
memiliki bias di daerah belahan bumi utara,
khususnya pada daerah daratan (Gambar 3.1). Setiap
kasus menunjukkan kecenderungan over estimation
4
(warna merah) untuk wilayah daratan di lintang
menengah bagian utara. Collins dkk. (2006a)
menemukan bahwa temperatur permukaan daratan
musim dingin yang disimulasikan oleh CCSM3
memang cenderung tinggi. Tingginya temperatur
daratan ini berakibat pada besarnya fluks panas di
dalam proses transfer turbulen dari tanah menuju
atmosfer sehingga temperatur udara permukaan yang
disimulasikan oleh CAM3 pun menjadi tinggi.
Terlihat pula transplant analysis yang dilakukan pada
kasus II dan III masih tidak dapat memperbaiki under
estimation yang terjadi di wilayah kutub utara.
Pada daerah lautan, perbedaan temperatur tidak
terlihat terlalu besar pada setiap kasus IC. Pola yang
cukup serupa di atas lautan untuk setiap kasus IC ini
disebabkan oleh SST yang digunakan sebagai BC
sama pada setiap kasus. Dapat terlihat bahwa
pengaruh BC tersebut sangat kuat karena meskipun
telah diganggu dengan data lain, pola temperatur
permukaan di atas lautan untuk kasus II dan III masih
menunjukkan pola yang serupa dengan kasus I. Selain
itu pola temperatur permukaan di daerah ekuator
terlihat mengalami perbaikan pada kasus II dan III
dibandingkan kasus I yang tidak melibatkan
penggantian variabel IC dengan variabel FNL dalam
proses spin-up.
Gambar 3.2. Selisih tekanan permukaan (mb) antara IC
CAM3 untuk (a) kasus I, (b) kasus II, dan (c) kasus III
dengan data R2 pada 1 Desember 2006.
Pada Gambar 3.2, kasus III menunjukkan bias
tekanan permukaan yang paling kecil daripada dua
kasus lainnya, khususnya untuk daerah kutub utara.
Hal ini menunjukkan bahwa proses “nudging”
bertahap yang dilakukan dapat memperbaiki
perhitungan IC untuk tekanan permukaan. Namunpada
setiap kasus masih terlihat bias yang sangat mencolok
untuk daerah dataran tinggi, seperti wilayah dataran
tinggi Tibet di daratan Asia dan Pegunungan Andes di
Amerika Selatan, walaupun bias ini jauh berkurang
pada kasus III. Hal ini dapat disebabkan oleh
perbedaan definisi topografi antara data R2 dan
CAM3 sehingga perhitungan tekanan permukaan
menjadi berbeda.
Gambar 3.3. Analisis statistik (a) koefisien korelasi, (b)
NRMSE, dan (c) RMSVE pada setiap level ketinggian
antara hasil spin-up CAM3 dan data R1 di setiap
ketinggian pada 1 Desember 2006. Garis tebal
menunjukkan variabel kelembapan spesifik, garis putus-
putus menunjukkan variabel temperatur, dan titik-titik
menunjukkan variabel angin.
Berdasarkan Gambar 3.3, kasus III memiliki
pola yang cukup serupa dengan R1, khususnya untuk
variabel angin. Pola laju angin pada kasus III lebih
baik dari dua kasus lainnya, terlihat dari nilai koefisien
korelasi yang lebih tinggi dan nilai RMSVE yang
lebih kecil daripada dua kasus lainnya, meskipun pada
level atas (di sekitar 30 mb) masih terlihat pola yang
kurang baik dari kasus III jika dibandingkan dengan
kasus I dan II. Hal ini dapat disebabkan oleh buruknya
nilai kecepatan angin level atas dari FNL yang
dimasukkan ke dalam IC CAM3 yang berakibat pada
buruknya kondisi angin tersebut.
Untuk variabel kelembapan spesifik, kasus III
memiliki pola yang lebih baik dari dua kasus lainnya
sampai pada ketinggian 500 mb. Kasus II dapat
menggambarkan kelembapan spesifik dengan sangat
baik pada wilayah troposfer atas. Kasus I dengan
proses spin-up yang tidak melibatkan data FNL
terlihat tidak dapat menggambarkan pola
kelembapanspesifik dengan baik jika dibandingkan
dengan kedua kasus lainnya.
5
Ketiga kasus terlihat gagal memperoleh pola
temperatur yang baik pada level 150 mb. Collins
(2006b) menemukan bahwa CAM2 menghasilkan bias
temperatur yang sangat besar di dekat tropopause
daerah tropis. Meskipun hal ini telah dapat diperbaiki
pada CAM3 karena perbaikan parameterisasi partikel
air-es awan cirrus, tetapi pada kenyataannya bias ini
masih terlihat jelas pada level tersebut. Namun, secara
keseluruhan ketiga kasus IC telah dapat memberikan
pola temperatur yang baik pada daerah troposfer,
terlihat dari nilai korelasi di atas 0.9 pada level 925
mb hingga 250 mb.
Gambar 3.4. Transpor kelembapan rata-rata pada 20
November 2006 hingga 1 Desember 2006 untuk (a) R1,
(b) kasus I, (c) kasus II, dan (d) kasus III.
Gambar 4.4 menunjukkan transpor kelembapan
rata-rata R1 dan IC setiap kasus. Rata-rata ini diambil
dari periode siklus spin-up terakhir pada kasus III
karena pola transpor kelembapan pada satu hari tidak
cukup representatif. Warna putih menunjukkan tingkat
transpor kelembapan yang rendah, sedangkan warna
jingga menunjukkan tingkat transpor kelembapan
tinggi. Secara teoritis, transpor kelembapan paling
besar untuk musim dingin BBU (belahan bumi utara)
terjadi di wilayah Samudera Pasifik dan Samudera
Atlantik bagian barat (di utara daratan Amerika
Selatan; Webster dan Fasullo, 2003) seperti yang
ditunjukkan oleh Error! Reference source not
found.a. Pada Error! Reference source not found.b,
3.4c, dan 3.4d dapat terlihat bahwa pola besar yang
muncul pada transpor kelembapan R1 juga muncul
pada setiap kasus IC, meskipun IC cenderung
mengalami over estimation pada pola besar tersebut.
Over estimation khususnya terjadi di wilayah Laut
Cina Selatan dan Samudera Pasifik, sedangkan under
estimation terjadi di sekitar Samudera Atlantik barat.
Gambar 3.5. Nilai cosine similarity spasial untuk transpor
kelembapan rata-rata (a) kasus I, (b) kasus II, dan (c)
kasus III pada 20 November 2006 hingga 1 Desember
2006
Berdasarkan Gambar 3.5, setiap kasus memiliki
kesamaan arah transpor kelembapan yang cukup baik
untuk daerah lautan. Hal tersebut dapat terlihat dari
nilai cosine similarity yang mendekati nilai 1.
Perbedaan arah lebih banyak terjadi di wilayah daratan
karena angin sebagai media transportasi kelembapan
tersebut cenderung memiliki pola yang acak di atas
daratan. Pola yang cenderung acak ini disebabkan oleh
besarnya pengaruh gaya-gaya permukaan di atas
daratan. Gaya permukaan tersebut, seperti gesekan,
dapat menyebabkan perubahan arah angin di level
bawah dan berakibat pada perubahan arah transpor
kelembapan pada level bawah.
Pada Gambar 3.5 terlihat bahwa seluruh kasus
tidak dapat menunjukkan arah transpor kelembapan
yang baik untuk wilayah Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh pola angin yang sangat acak di atas
Indonesia karena Indonesia merupakan wilayah
pertemuan angin dari BBU dan BBS sehingga pola
anginnya cukup sulit untuk disimulasikan oleh CAM3.
Berdasarkan analisis statistik variabel multilevel
pada Gambar 3.3, kasus III memiliki pola yang paling
baik untuk angin dan kelembapan spesifik pada
troposfer bawah dibandingkan dengan kasus I dan II.
Meskipun kasus II menunjukkan kelembapan spesifik
yang jauh lebih baik daripada dua kasus lainnya,
transpor kelembapan total yang dihasilkan oleh kasus
III lebih baik karena transpor kelembapan sangat
dipengaruhi oleh nilai pada lapisan batas. Metode
transplant analysis dan “nudging” yang diterapkan
pada proses spin-up kasus III dapat menghasilkan IC
yang cukup baik untuk CAM3, meskipun ada
beberapa variabel yang malah cenderung menjauhi
kondisi aktual.
6
3.2. Simulasi Monsun
Gambar 3.6. Plot time-series terhadap lintang (a) data reanalisis, (b) kasus I, (c) kasus II, dan (d) kasus III untuk angin zonal,
angin meridional, divergensi, dan laju presipitasi. Angin zonal, angin meridional, dan divergensi merupakan rata-rata
zonal 100° – 180° BT pada 850 mb, sedangkan laju presipitasi merupakan rata-rata zonal di sekitar Pulau Jawa, yaitu
100° – 120° BT. Kotak hitam menunjukkan wilayah Pulau Jawa, sedangkan kotak hijau menandakan kejadian monsun
break pada 3 – 17 Januari 2007.
7
Berdasarkan kriteria Murakami (1982), monsun
break pada Gambar 3.6a teridentifikasi pada kisaran
tanggal 21 Desember 2006 – 1 Januari 2007 dan 16 –
21 Februari 2007. Namun jika meninjau kejadian
monsun break melalui pola presipitasi di Pulau Jawa,
periode break teridentifikasi pada 3 – 17 Januari 2007
dimana pada periode ini terjadi monsun break menurut
Octarina (2011).Dapat terlihat bahwa kondisi angin
pada tanggal 3 – 17 Januari 2007 untuk Gambar 3.6a
tidak mengalami perubahan seperti penjelasan
Murakami (1982) tentang identifikasi monsun break
melalui angin. Kondisi angin baratan pada Gambar
3.6acenderung mengalami penguatan pada periode
breakJanuari 2007, padahal menurut Mukarami ketika
terjadi break seharusnya terjadi perubahan arah angin
baratan menjadi angin timuran.
Kejadian monsun break pada 3 – 17 Januari
2007 dapat dijelaskan oleh fenomena SS (southerly
surge). Jika meninjau pola angin meridional pada
Gambar 3.6a, dapat terlihat perubahan arah angin
northerly menjadi angin southerly pada periode
Desember 2006 akhir hingga Januari 2007 awal yang
diikuti penguatan angin southerly pada 11 – 16 Januari
2007. Berdasarkan Gambar 3.6b, 3.6c, dan 3.6d, pola
angin di wilayah BBS cenderung beragam untuk
setiap kasus. Namun dapat terlihat dalam Gambar 3.6d
untuk angin zonal, bahwa pada kasus III terlihat
terjadi pelemahan angin timuran di sekitar tanggal 1
Januari 2007 pada 20° – 30° LS, sama halnya seperti
pola angin zonal data reanalisis pada Gambar 3.6a.
Ketiga kasus gagal menunjukkan keberadaan monsun
break berdasarkan kriteria Murakami. Namun, kasus
II menunjukkan sedikit gejala pelemahan angin
timuran pada 21 Desember 2006 pada daerah ekuator
meskipun tidak terjadi perubahan arah angin menjadi
angin timuran. Jika meninjau pola presipitasi, gejala
monsun break pada 3 – 17 Januari 2007 dapat terlihat
dengan jelas pada kasus I dan kasus III. Kasus I
(Gambar 3.6b) menunjukkan penurunan laju
presipitasi pada awal Januari 2007 di selatan Pulau
Jawa, yaitu di sekitar wilayah 10° – 15° LS. Namun,
periode break yang terjadi pada kasus I jauh lebih
panjang daripada periode break yang ditunjukkan oleh
data reanalisis.
Kasus II (Gambar 3.6c) tidak menunjukkan pola
penurunan laju presipitasi yang diharapkan. Laju
presipitasi yang rendah di Pulau Jawa terlihat pada
akhir Desember 2006, sedangkan data reanalisis
menunjukkan puncak laju presipitasi di Pulau Jawa
pada periode tersebut.
Kasus III (Gambar 3.6d) menunjukkan
penurunan laju presipitasi pada awal Januari 2007 di
sekitar wilayah Pulau Jawa, tepatnya di sekitar 5° –
15° LS. Gejala ini cukup sesuai dengan gejala yang
ditunjukkan oleh data reanalisis. Hanya saja
penurunan presipitasi pada kasus III terjadi pada
periode yang sedikit lebih awal dan pada bagian utara
Pulau Jawa masih terlihat tingkat presipitasi yang
cukup tinggi.
Kecenderungan kejadian SS dapat terlihat untuk
pola angin meridional pada kasus III (Gambar 3.6d)
meskipun terdapat lag-time dan nilai yang berbeda
dengan data reanalisis (Gambar 3.6a). Dapat terlihat
pada Gambar 3.6d terjadi penguatan angin southerly
pada 11 – 16 Januari 2007. Kasus I dan II tidak
menunjukkan perubahan yang terlalu signifikan pada
pola angin meridional.
(mm/hari)
Gambar 3.7. Pola spasial laju presipitasi (mm/hari) dan streamline angin 850 mb di wilayah Indonesia pada periode monsun
break 3 – 17 Januari 2007 untuk (a) data reanalisis, (b) kasus I, (c) kasus II, dan (d) kasus III.
Berdasarkan Error! Reference source not
found., dapat terlihat masing-masing kasus memiliki
kekurangan dan kelebihan dalam menggambarkan
pola streamline angin. Kasus I menunjukkan
kemiripan pola streamline dengan data reanalisis di
wilayah timur Pulau Papua. Kasus II dapat
menunjukkan keberadaan vorteks di utara Pulau
Kalimantan dengan baik. Pola streamline di wilayah
Laut Cina Selatan dapat digambarkan dengan sangat
baik oleh kasus III. Ketiga kasus dapat
menggambarkan vorteks pada Pantai Barat Australia,
meskipun vorteks tersebut mengalami pergeseran ke
arah barat laut.
Pada Error! Reference source not found.a,
terlihat laju presipitasi data reanalisis di wilayah Pulau
Jawa sangat minim. Error! Reference source not
found.b menunjukkan pola presipitasi kasus I yang
masih relatif tinggi untuk wilayah Pulau Jawa, yaitu 5
– 10 mm/hari. Gambar 3.7c, dan 3.7d menunjukkan
laju presipitasi yang rendah di wilayah Pulau Jawa (di
bawah 5 mm/hari). Namun pada Gambar 3.7c, terlihat
kasus II menunjukkan pola laju presipitasi yang tinggi
untuk wilayah timur Pulau Jawa. Pada Gambar 3.7d
8
laju presipitasi yang tinggi masih tampak di utara
Pulau Jawa.
Kasus I dan II tidak menggambarkan pola laju
presipitasi spasial yang cukup baik pada periode
monsun break. Pola laju presipitasi kisaran 5 – 10
mm/ hari terlihat mengalami pelebaran di wilayah
Laut Cina Selatan pada kasus I. Terlihat pula laju
presipitasi di wilayah Kalimantan dan Sumatera
bagian utara pada kasus I cukup rendah dibandingkan
dengan data reanalisis. Pola laju presipitasi di
Indonesia bagian selatan terlihat mengalami over
estimation pada kasus II. Secara keseluruhan kasus III
mampu menggambarkan pola laju presipitasi yang
sesuai dengan data reanalisis, terlihat dari sebaran
sabuk hujan dan kondisi kering di wilayah Samudera
Hindia, sebelah barat Australia.
Menurut Hermawanto (2011), wilayah monsoon
trough umumnya mengalami gangguan cuaca berupa
terjadinya hujan atau gangguan sinoptik lainnya.
Berdasarkan Gambar 3.7, data reanalisis maupun
ketiga kasus menunjukkan posisi sabuk hujan di
daerah ekuator. Sabuk hujan ini dapat diasosiasikan
dengan keberadaan monsoon trough tersebut. Hal ini
menunjukkan pergeseran letak monsoon trough ke
arah utara pada periode break, karena secara teoritis
monsoon trough terletak di utara Australia pada
musim dingin BBU (North. Territory, 2011).
Gambar 3.8. Plot angin meridional rata-rata dari 25° – 30°
LS dan 105° – 115° BT di level 850 mb pada tanggal 1 –
31 Januari 2007. Garis hitam menunjukkan data
reanalisis, garis merah menunjukkan kasus I, garis hijau
menunjukkan kasus II, dan garis biru menunjukkan
kasus III. Garis hitam putus-putus menunjukkan
threshold SS aktif, yaitu 6.7 m/s sesuai dengan
penelitian Amelia (2010). Kotak hitam merupakan
pembatas waktu 3 – 17 Januari 2007.
Gambar 3.8 menunjukkan indeks SS
berdasarkan nilai angin meridional rata-rata pada level
850 mb. SS dikategorikan aktif jika angin meridional
rata-rata lebih besar dari threshold tertentu (dalam hal
ini 6.7 m/s). Berdasarkan indeks SS tersebut, frekuensi
kemunculan SS aktif selama bulan Januari 2007 pada
data reanalisis adalah 4 kali, kasus I adalah 5 kali,
kasus II adalah 3 kali, dan kasus III adalah 3 kali.
Ketiga kasus mengalami over estimation dalam
menggambarkan SS aktif pada akhir bulan Januari
2007 (setelah tanggal 22 Januari 2007).
Dapat terlihat dalam Gambar 3.8 bahwa kasus
III mampu menunjukkan keberadaan SS aktif pada
rentang waktu 3 – 17 Januari 2007. Kasus I dan kasus
II dapat menunjukkan gejala SS aktif di sekitar
tanggal 13 – 15 Januari 2007, tetapi tidak terlalu
signifikan seperti gejala yang ditunjukkan oleh kasus
III pada 6 – 12 Januari 2007.
Dengan meninjau hasil simulasi yang diperoleh
untuk setiap kasus, dapat terlihat besarnya
ketidakpastian dalam melakukan prediksi musiman.
Meskipun kasus III pada akhirnya dapat menunjukkan
pola angin meridional rata-rata terkait SS, tetapi pola
angin dari kasus I dan II dapat menunjukkan pola yang
lebih serupa dengan data reanalisis pada waktu dan
wilayah tertentu. Oleh karena itulah dalam melakukan
prediksi musiman, sebenarnya tidak cukup hanya
dengan meninjau hasil dari sebuah kasus prediksi
secara deterministik, melainkan harus melalui kajian
yang lebih mendalam menggunakan metode ensemble
(Kalnay, 2003).
4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
persiapan IC untuk CAM3 dapat dilakukan dengan
menggunakan metode spin-up dengan periode selama
tiga bulan. Proses pembuatan IC CAM3 dapat
diperbaiki dengan memasukkan data FNL ke dalam
proses spin-up. Terdapat dua teknik yang dapat
dilakukan, yaitu teknik transplant analysis dan
“nudging” bertahap.
Secara keseluruhan, proses spin-up yang
dilakukan pada kasus III dengan metode “nudging”
bertahap dapat memperbaiki IC yang dihasilkan.
Teknik “nudging” tersebut tidak dilakukan dengan
menambahkan suku relaksasi ke dalam persamaan
model, melainkan dengan melakukan penggantian
variabel IC CAM3 dengan variabel dari FNL secara
bertahap pada proses spin-up. Teknik transplant
analysis pada kasus II tidak disarankan untuk
diterapkan karena CAM3 cenderung menghasilkan IC
yang kurang baik, terlihat dari hasil verifikasi dimana
IC kasus II lebih baik daripada kasus I dan III hanya
untuk variabel kelembapan spesifik pada level atas.
Meskipun begitu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut
untuk menilai prosedur pembuatan IC yang lebih baik
dengan cara meningkatkan jumlah sampel dalam
evaluasi, misalnya dengan meningkatkan jumlah kasus
maupun memperpanjang periode kajian.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa simulasi
CAM3 dengan IC yang dihasilkan melalui proses
spin-up pada kasus III dapat menggambarkan
fenomena monsun break pada Januari 2007 yang
terkait dengan southerly surge. Fenomena tersebut
dapat teridentifikasi berdasarkan pola angin
meridional dan tingkat presipitasi. Kasus III dapat
menunjukkan penurunan presipitasi dalam rentang
waktu 3 – 17 Januari 2007 untuk daerah Pulau Jawa.
Kasus I dapat menunjukkan kecenderungan monsun
break di selatan Pulau Jawa, hanya saja periode yang
ditunjukkan oleh kasus I terlalu panjang dibandingkan
9
reanalisis. Kasus II tidak menunjukkan gejala monsun
break pada rentang waktu 3 – 17 Januari 2007.
Berdasarkan pola angin meridional pada level 850 mb
di wilayah 25° – 30° LS dan 105° – 115° BT, kasus III
menunjukkan kemunculan southerly surge aktif pada
rentang waktu 3 – 17 Januari 2007.
Dapat disimpulkan juga bahwa untuk melakukan
simulasi ataupun prediksi musiman selama tiga bulan
ke depan dengan menggunakan CAM3, pengaruh
inisialisasi cukup signifikan. Simulasi monsun dengan
IC kasus I dan II tidak dapat menggambarkan
fenomena monsun break yang ditinjau secara tepat.
Hasil simulasi menggunakan IC dari ketiga
kasus juga menunjukkan besarnya ketidakpastian
dalam prediksi musiman. Hal ini dapat terlihat dari
adanya perbedaan perkembangan kondisi musim yang
digambarkan dalam simulasi dari masing-masing IC,
serta adanya kondisi dimana kasus I dan kasus II
menunjukkan pola yang lebih baik daripada kasus III
meskipun IC dari kasus III merupakan IC terbaik
berdasarkan hasil verifikasi. Oleh karena itulah,
prediksi musiman sebaiknya tidak dilakukan secara
deterministik, melainkan menggunakan metode
ensemble untuk mengatasi ketidakpastian tersebut.
Terkait dengan penelitian yang telah dilakukan
ini, masih diperlukan suatu kajian lanjutan mengenai
metode untuk inisialisasi model daratan CLM sebagai
model yang secara aktif berinteraksi dengan CAM3
yang dijalankan secara standalone. Hal ini penting
dilakukan untuk memperbaiki hasil simulasi atmosfer
oleh CAM3 karena beberapa bias yang terjadi pada
hasil spin-up, contohnya temperatur permukaan,
merupakan akibat dari interaksi antara model daratan
dan atmosfer.
REFERENSI
Amelia, Y. (2010). Kajian variasi Pola Curah Hujan Januari
di Wilayah Monsun Asia-Australia dan
Keterkaitannya dengan Fenomena Southerly Surge.
Tugas Akhir S1, Institut Teknologi Bandung, Program
Studi Meteorologi, FITB.
Boyle, J. D., D. Williamson, R. Cederwall, M. Fiorino, J.
Hnilo, J. Olson, T. Phillips, G. Potter, dan S. Xie.
(2004). Diagnosis of CAM2 in NWP configuration at
ARM sites. Journal of Geophysical Research
(submitted version).
Chen, H. T. (2010). Performance of the New NCAR
CAM3.5 in East Asian Summer MonsoonSimulations:
Sensitivity to Modifications of the Convection
Scheme. Journal of Climate , 23, 3657–3675.
Collins, W. D., C. M. Bitz, M. L. Blackmon, G. B. Bonan,
C. S. Bretherton, J. A. Carton, Ping Chang, S. C.
Doney, J. J. Hack, T. B. Henderson, J. T. Kiehl, W. G.
Large, D. S. Mckenna, B. D. Santer, dan R. D. Smith.
(2006a). The Community Climate System Model
Version 3 (CCSM3). Journal of Climate , 19, 2122–
2143.
Collins, W. D., Philip J. Rasch, Byron A. Boville, James J.
Hack, James R. Mccaa, David L. Willliamson, dan
Bruce P. Briegleb . (2006b). The Formulation and
Atmospheric Simulation of the Community
Atmosphere Model Version 3 (CAM3). Journal of
Climate , 19, 2144–2161.
Hurrel, J. W., James J. Hack, Dennis Shea, Julie M. Caron,
dan James Rosinski. (2008). A New Sea Surface
Temperature and Sea Ice Boundary Dataset for the
Community Atmosphere Model. Journal of Climate ,
21, 5145–5153.
Kalnay, E. (2003). Atmospheric Modelling, Data
Assimilation, and Predictability. New York:
Cambridge University Press.
Murakami, T. dan Sumi A. (1982). Southern Hemisphere
Summer Monsoon Circulation during the 1978-79
WMONEX Part II : Onset, Active and Break
Monsoon. Journal of the Meteorological Society of
Japan , 60 (2), 649-670.
NCAR. (2004a). NCAR Technical Note: Description of the
NCAR Community Atmosphere Model (CAM 3.0).
NCAR. (2004b). User's Guide to the NCAR Community
Atmosphere Model (CAM 3.0). Boulder, Colorado.
Octarina, D. T. (2011). Pengaruh Monsun Aktif dan Break
terhadap Karakteristik Vertikal Awan konvektif
Berdasarkan Analisis Data Cloudsat. Tugas Akhir S1,
Institut Teknologi Bandung, Program Studi
Meteorologi, FITB.
Santriyani, M. (2011). Analisis Pengaruh Climate Shift
terhadap Sirkulasi Monsun Asia Menggunakan Model
CAM V3.1. Tugas Akhir S1, Institut Teknologi
Bandung, Program Studi Meteorologi, FITB.
UCAR. (2012a). CCSM Introduction. Diakses pada 9 Juni
2012, dari
http://www.cesm.ucar.edu/models/ccsm3.0/ccsm/doc/
UsersGuide/UsersGuide/node3.html
UCAR. (2012b). CESM Models: CAM 3.1 Download.
Diakses pada 18 Februari 18 2012, dari CESM
Models: http://www.cesm.ucar.edu/models/atm-
cam/download/
Webster, P. J. dan J. Fasullo. (2003). Monsoon: Dynamical
theory. Encyclopedia of Atmospheric Sciences, J.
Holton dan J. A. Curry, Eds., Academic Press, 1370–
1386.
Yang, Song, Zuqiang Zhang, Vernon E. Kousky, R. Wayne
Higgins, Soo-Hyun Yoo, Jianyin Liang, dan Yun Fan.
(2008). Simulations and Seasonal Prediction of the
Asian Summer Monsoon in the NCEP Climate
Forecast System. Journal of Climate , 21, 3755–3775.