FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPADATAN
TULANG PADA LANSIA AWAL DI PUSKESMAS PISANGAN
TANGERANG SELATAN TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
(S.Kep)
OLEH :
RIA ANDRIANI
NIM : 1112104000031
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437H/2016M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
PROGRAM STUDY OF NURSING SCIENCE
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
Undergraduate Thesis, June 2016
Ria Andriani, NIM : 1112104000031
FACTORS RELATED TO THE BONE DENSITY IN ELDERLY IN PUSKESMA
PISANGAN SOUTH TANGERANG 2016
Xviii + 84 pages, 12 tables, 2 schemes, 4 attachments
ABSTRACT
Background: abnormal bone density or osteoporosis and osteopenia is a disease
characterized by bone mass reduction. WHO estimates that by 2050 there will be 6.3
million fractures related to osteoporosis. Prevalence of Osteoporosis in Indonesia
reached 19.7%. The purpose of this study was to determine the factors associated
with bone density in Puskesmas Pisangan South Tangerang Year 2016. The study
design with a quantitative approach with cross sectional. The research instrument is
Quantitative Ultrasound to determine bone density and questionnaires to find out the
sex, menopausal status, calcium intake, physical activity, smoking, and alcohol
drinking habits. Data analysis technique used was Chi-Square. Total respondents
surveyed in this study were 110 respondents, that is 101 respondents with abnormal
bone density and 9 respondents with normal bone density. The result showed that the
variables proved to be a factor associated with bone density menopausal status only.
Gender, calcium intake, physical activity, smoking and alcohol drinking habits did
not prove to be a factor associated with bone density. Suggestions for further research
studies that use different types of studies such as cohort or experiment.
Keywords: Bone Density, Osteoporosis, Osteopenia.
iv
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juni 2016
Ria Andriani, NIM: 1112104000031
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal Di
Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016
Xviii + 84 halaman, 12 tabel, 2 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Latar belakang: Kepadatan tulang tidak normal atau osteoporosis dan osteopenia
adalah penyakit yang ditandai dengan pengurangan massa tulang. WHO
memperkirakan pada tahun 2050 akan ada patah tulang 6,3 juta terkait dengan
osteoporosis. Prevalensi Osteoporosis di Indonesia mencapai 19,7%. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan
tulang di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016. Desain penelitian
dengan pendekatan kuantitatif dengan cros sectional. Instrumen penelitian berupa
Quantitative Ultrasound untuk mengetahui kepadatan tulang dan kuesioner untuk
mengetahui jenis kelamin, status menopause, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku
merokok, dan kebiasaan minum alkohol. Teknik analisa data yang digunakan adalah
Chi-Square. Total responden yang diteliti dalam penelitian ini adalah 110 responden,
yaitu 101 responden dengan kepadatan tulang tidak normal dan 9 responden dengan
kepadatan tulang normal. Hasil penelitian didapatkan variabel yang terbukti menjadi
faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang hanya status menopause. Jenis
kelamin, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan konsumsi
alkohol tidak terbukti menjadi faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang.
Saran penelitian untuk peneliti selanjutnya yaitu menggunakan jenis penelitian yang
berbeda seperti kohort atau experiment.
Kata Kunci : Kepadatan Tulang, Osteoporosis, Osteopenia.
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN
vi
vii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ria Andriani
Tempat, Tanggal Lahir : Sukadarma, 04 Maret 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Desa Sukadarma, RT 01, RW 01, Kecamatan Jejawi,
Kabupaten OKI, Palembang Sumatera Selatan.
Hp : 081219415273
Email : [email protected]
Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi
Ilmu Keperawatan.
Latar Belakang Pendidikan
1. 2000 – 2006 : SD Negeri 1 Jejawi Kabupaten OKI
2. 2006 – 2009 : SMP Negeri 2 Jejawi Kabupaten OKI
3. 2009 – 2012 : MAN 3 Palembang
4. 2012 – 2016 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, pencipta alam
semesta, penguasa isi jagat raya, pemberi kebahagiaan serta tidak pernah berhenti
memberikan limpahan taufiq, nikmat, hidayah dan karuniaNya. Shalawat dan salam
selalu terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SWA, keluarga, sahabat serta
pengikut ajaran beliau hingga akhir jaman. Atas nikmat dan rahmat Allah SWT,
penulis dapat menyelasaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-faktor yang
berhubungan dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal di Puskesmas Pisangan
Tangerang Selatan Tahun 2016”.
Banyak pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, serta kerjasama
yang luar biasa dalam proses penyusunan proposal skripsi ini. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta.
2. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc selaku Ketua Program Studi dan Ibu
Ernawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep dan Bapak Karyadi, S.Kp.,MKep., PhD selaku
dosen pembimbing skripsi yang meluangkan waktu dan dengan sabar
x
memberikan arahan, saran, dan perbaikan serta motivasi kepada penulis selama
proses penyusunan sehingga penyusun skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kuliah.
5. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta seluruh stafnya
karena telah membantu dalam perizinan dan pengambilan data dalam
melakukan penelitian
6. Kepala Puskesmas Pisangan dan seluruh stafnya terima kasih banyak atas
masukan, bimbingan, bantuan dan kemudahan selama penulis melakukan
penelitian.
7. Orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Jon dan Ibunda Juairiyah yang
selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang kepada penulis
dalam menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. Tak lupa, kepada
saudara-saudara tersayang Ayunda Sri Maryani dan Nuzilah, Kakanda Yudi
Darmadi, dan Adinda Novita Hardiyanti dan seluruh keluarga besar yang
senantiasa juga selalu memberikan dukungan, semangat, dan doanya kepada
peneliti dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.
8. Teruntuk teman-teman Oca, Septi, Ida, Lulu, Clara, Yuli dan seluruh teman-
teman PSIK 2012 yang telah membantu, memberi masukan, menghibur, dan
memberi inspirasi bagi penulis selama proses perkuliahan. Tak lupa, Ayunda
xi
Rosi Pratiwi yang memberikan semangat, dukungan, dan membantu peneliti
untuk menyelesaikan proposal skripsi ini.
9. Teruntuk teman satu bimbingan Lulu Yunita dan Hanifah Mufidati yang telah
memberikan semangat, dukungan, masukan dan saling membantu selama
penulis melakukan penelitian.
10. Kepada teman seperjuangan SJD SUMSEL 2012, Eka, Prima, Rani, Bella,
Beny, Deny, Lukman, Raka, dan Agus. Serta seluruh kakak-kakak dan adik-
adik SJD SUMSEL yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan
skripsi ini kearah yang lebih baik. Atas perhatiannya penulis ucapkan
terimakasih.
Mudah-mudahan segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat imbalan dari Allah AWT. Penulis berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khusnya.
Ciputat, Juni 2016
Ria Andriani
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... ii
ABSTRACT ............................................................................................................................ iii
ABSTRAK .............................................................................................................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
C. Pertanyaan Penelitian .................................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 10
F. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................... 12
A. Tulang ......................................................................................................................... 12
B. Proses pertumbuhan tulang ......................................................................................... 14
C. Kepadatan tulang ........................................................................................................ 16
1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass) ................................................................. 16
D. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang ...................................................... 19
xiii
E. Quantitative Ultrasound (QUS) .................................................................................. 30
F. Kerangka Teori ........................................................................................................... 34
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL ..... 35
A. Kerangka Konsep ........................................................................................................ 35
B. Hipotesis ..................................................................................................................... 36
C. Definisi Operasional ................................................................................................... 37
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 40
A. Desain Penelitian ........................................................................................................ 40
B. Tempat dan waktu Penelitian ...................................................................................... 40
C. Populasi dan Sampel ................................................................................................... 41
D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data .................................. 44
E. Tahap Pengumpulan Data ........................................................................................... 48
F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ........................................... 50
G. Pengolahan Data ......................................................................................................... 51
H. Analisa Data ................................................................................................................ 53
I. Etika Penelitian ........................................................................................................... 54
BAB V HASIL ....................................................................................................................... 57
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian .......................................................................... 57
B. Karakteristik Responden ............................................................................................. 58
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang................................... 61
xiv
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................................... 65
A. Karakteristik Responden ............................................................................................. 65
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang................................... 73
C. Keterbatasan Penelitian ............................................................................................... 83
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 84
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 84
B. Saran ........................................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Teori 34
Bagan 3.1 Kerangka Konsep 35
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia 23
2.2 Nilai Kalsium Berbagai Jenis Pangan 25
3.1 Definisi Operasional 37
4.1 Cara Menghitung Skor Untuk mengkategorikan Aktivitas Fisik 46
5.1 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas 58
Pisangan Tangerang Selatan
5.2 Karakteristik Responden di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 59
5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik 60
Responden
5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepadatan Tulang Responden 61
di Puskesmas Pisangan
5.5 Hubungan Status Menopause dengan Kepadatan Tulang Responden 62
di Puskesmas Pisangan
5.6 Hubungan Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Responden 63
di Puskesmas Pisangan
5.7 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kepadatan Tulang Responden 63
di Puskesmas Pisangan
5.8 Hubungan Perilaku Merokok dengan Kepadatan Tulang Responden 64
di Puskesmas Pisangan
xvii
DAFTAR SINGKATAN
BMD : Bone Mineral Density
DMT : Densitas Mineral Tulang
IOF : International Osteoporosis Foundation
ISCD : International Society of Clinical Densitometry
QUS : Quantitative Ultrasound
WHO : World Health Organitation
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent)
2. Lembar Kuesioner
3. Hasil Analisis Univariat
4. Hasil Analisis Bivariat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulang adalah jaringan hidup. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks
organic dikenal sebagai osteoblast (“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri
dari serat kolagen dalam suatu gel setengah padat. Matriks ini memiliki
konsistensi seperti karet dan berperan menentukan kekuatan tulang. tulang
menjadi keras karena pengendapan Kristal kalsium fosfat didalam matrik
(Sherwood, 2012). Tulang merupakan bangunan yang dibentuk sebagai kerangka
manusia, tempat melekatnya jaringan otot sehingga membentuk tubuh. Tanpa
tulang, manusia bagaikan seonggok daging yang terkulai lemas, tidak dapat
berdiri tegak, tidak dapat berjalan, berlari, atau pun mengangkat dan
memindahkan barang (Purwoastuti, 2009)
Densitas adalah kepadatan. Densitas tulang atau kepadatan tulang, yaitu
berapa gram mineral per volume batang. Tulang yang normal itu kuat, karena
mengandung protein, kolagen, dan kalsium (Tandra, 2009). Kepadatan tulang
adalah massa tulang per volume tulang. Dengan definisi ini, volume diambil
sebagai total volume spesimen tulang termasuk lubang tulang. Kalkulasi
kepadatan tulang disebut juga “kepadatan structural” (Van, 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas maksimum
(puncak massa tulang) pada umur 25 tahun. Puncak massa tulang bervariasi pada
setiap orang dan umumnya lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
2
(Wirakusumah, 2007). Menurut Tandra (2009) pada rentang usia 20-35 kepadatan
tulang berada pada puncaknya dan resiko patah tulang sangat rendah. Kecepatan
pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai
pada usia sekitar 30 atau 40 tahun. Semakin padat tulang sebelum usia tersebut,
semakin kecil kemungkinan terjadi osteoporosis (Corwin, 2009).
Kehilangan massa tulang sangat mungkin terjadi apabila nilai massa
tulang rendah. Jika puncak massa tulang tinggi maka seseorang relative lebih
kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhi puncak massa
tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat dipengaruhi oleh
faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta menghindari konsumsi
alkohol, kafein, soft drink, dan rokok. Kehilangan massa tulang berhubungan
langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan
massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa
kehidupun (Wirakusumah, 2007). Menurut Cosman (2009), massa tulang
maksimum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik seseorang, tetapi
nutrisi, olahraga, kualitas fungsi menstruasi, dan gaya hidup sehat juga ikut
berperan.
Jika faktor pembentukan tulang tidak maksimal yang nantinya
menyebabkan berkurangnya massa tulang dan tulang menjadi rapuh barulah
disadari dampak penurunan kepadatan tulang seperti tinggi badan berkurang, tiba-
tiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah,
atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk
3
(kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Dampak berkurangnya kepadatan tulang akan
mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri,
deformitas, dan fraktur (Pudjiastuti, 2003). Osteoporosis merupakan salah satu
penyakit yang digolongkan sebagai silent disease karena tidak menunjukkan
gejala-gejala yang spesifik. Gejala dapat berupa nyeri pada tulang dan otot,
terutama sering terjadi pada punggung. Berapa gejala umum osteoporosis, mulai
dari patah tulang, tulang punggung yang semakin membungkuk, menurunnya
tinggi badan, dan nyeri punggung (Menkes RI, 2015).
World Health Organitation (WHO) memperkirakan pada pertengahan
abad mendatang, jumlah patah tulang pada panggul karena gangguan kepadatan
tulang (osteoporosis) akan meningkat tiga kali lipat, dari 1,7 juta pada tahun 1990
menjadi 6,3 juta pada tahun 2050 kelak. Data dari International Osteoporosis
Foundation (IOF) menyebutkan bahwa seluruh dunia, satu dari tiga wanita dan
satu dari delapan pria yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko mengalami
patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka. Dengan meningkatnya usia
harapan hidup, maka berbagai penyakit degenerative dan metabolik akan menjadi
masalah muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus terutama di negara-
negara berkembang, termasuk di Indonesia. Jumlah penderita gangguan
kepadatan tulang (osteoporosis) di Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir
Depkes, yang mematok angka 19,7 persen dari seluruh penduduk (Syam, dkk,
2014).
Prevalensi osteoporosis di Indonesia berdasarkan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan tahun 2006 menunjukkan hasil bahwa prevalensi osteoporosis
4
pada perempuan trennya meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini bisa
disebabkan karena menopause dimana kadar hormon estrogen yang turun.
Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80 tahun (53.3%), usia
50-80 tahun sebesar (22.5%). Sedangkan pada laki-laki prevalensi osteoporosis
trendnya juga meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi tidak sebesar
pada perempuan. Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80
tahun (11.9%).
Penelitian Setyawati (2014) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar
responden dewasa awal (usia 25-35 tahun) memiliki pengetahuan tentang
osteoporosis dan kepadatan tulang yang kurang baik dan mengonsumsi kalsium
kurang dari kecukupan yang dianjurkan. Hasil penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi,
tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfor dengan kejadian pengeroposan
tulang. Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan
kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian pengeroposan tulang (Marjan, 2013).
Wanita menopause yang kurang konsumsi kalsium berisiko untuk terkena
osteoporosis (Heaney, 2003 dalam Marjan, 2013). Penelitian berikutnya
menunjukkan hasil bahwa, Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor yang
paling berhubungan dengan gangguan kepadatan tulang setelah dikontrol variabel
usia, asupan vitamin D, dan asupan protein. Semakin rendah IMT, maka semakin
tinggi risiko gangguan kepadatan tulang (Mardiyah, 2014).
5
Penelitian Permatasari (2011) menunjukkan hasil terdapat hubungan
secara bermakna terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis)
adalah asupan kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh,
frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen
kalsium. Aktivitas olahraga dengan pembebanan tidak berhubungan signifikan
namun menunjukkan kecenderungan responden yang tidak berolahraga lebih
banyak yang mengalami masalah kepadatan tulang dari pada yang berolahraga.
Pengukuran DMT menggunakan metode Quantitative Ultrasound dengan
keakuratan pengukuran sebesar 97%.
Data sekunder dari Dinas Kesehatan tahun 2014 menunjukkan bahwa dari
hasil pemeriksaan kepadatan tulang di Puskesmas Pisangan dengan jumlah
responden 44 usia 45-85 tahun yaitu, sebesar 41% responden menunjukkan hasil
BMD ≤ -2,5 (osteoporosis), sebesar 59% responden menunjukkan hasil BMD
< -1 (osteopenia), dan tidak ada responden yang menunjukkan hasil BMD >-1
(normal). Pada tahun 2015 hasil pemeriksaan kepadatan tulang di seluruh
Puskesmas tangerang Selatan menunjukkan bahwa Puskesmas Pisangan yaitu,
sebesar 95,5% responden menunjukkan hasil pemeriksaan kepadatan tulang tidak
normal/mengalami pengeroposan tulang dan 4,5% menunjukkan hasil kepadatan
tulangnya normal.
Studi Pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 23 Januari 2016
dengan wawancara pada 8 warga di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan
didapatkan bahwa bahan makanan yang biasa dikonsumsi yaitu, tahu, tempe,
6
kacang panjang, ikan basah, telur, kangkung, sayur sop, dan sayur asam. 75%
warga yang tidak olahraga dan 25% jarang berolahraga. 63% jarang minum susu,
37% tidak suka minum susu. Jika ada waktu luang digunakan untuk menonton tv,
tidur-tiduran.
Berdasarkan data-data hasil penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepadatan tulang pada lansia awal di wilayah Puskesmas Pisangan karena dari
hasil data pemeriksaan kepadatan tulang di wilayah Tangerang Selatan tahun
2015 oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka
tertinggi responden yang mengalami pengeroposan tulang adalah di Puskesmas
Pisangan. Salah satu cara untuk mengurangi angka kejadian osteoporosis yaitu
dengan cara mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang itu
sendiri. Alasan peneliti memilih lansia awal karena pada usia saat itu proses
puncak massa tulang sudah terlewati dan mulai terjadinya penurunan kepadatan
tulang (Corwin, 2009). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pisangan
Tangerang Selatan dengan mengukur kepadatan mineral tulang sampel
menggunakan alat Quantitative Ultrasound (QUS).
B. Rumusan Masalah
Puncak pembentukan tulang (peak bone mass) yang optimal terutama
terjadi pada masa dewasa yaitu pada rentang usia 20-35 tahun (Permatasari,
2011). Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan
usia, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun (Corwin, 2009). Penelitian
7
Permatasari tahun 2011 menunjukkan hasil terdapat hubungan secara bermakna
terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis) adalah asupan
kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh, frekuensi
konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen kalsium.
Puskesmas Pisangan merupakan salah satu puskesmas yang menunjukkan
hasil tertinggi yang paling banyak mengalami kejadian pengeroposan tulang se-
Tangerang Selatan dan Puskesmas terendah yaitu Puskesmas Paku Alam.
Berdasarkan data hasil pemeriksaan kepadatan tulang oleh Dinas Kesehatan di
Puskesmas Pisangan pada tahun 2015 menunjukkan hasil yaitu, sebesar 95,5%
responden mengalami pengeroposan tulang/kepadatan tulang tidak normal, dan
4,5% menunjukkan hasil kepadatan tulangnya normal. Dampak berkurangnya
kepadatan tulang jika tidak ditangani yaitu seperti tinggi badan berkurang, tiba-
tiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah,
atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk
(kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Kiranya peneliti ingin melakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia
awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, melalui
beberapa aktivitas penelitian dan peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat
memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya.
8
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka
dapat diambil pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas
Pisangan Tangerang Selatan?
2. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan kepadatan tulang?
3. Apakah ada hubungan status menopause dengan kepadatan tulang?
4. Apakah ada hubungan asupan kalsium dengan kepadatan tulang?
5. Apakah ada hubungan aktivitas fisik dengan kepadatan tulang?
6. Apakah ada hubungan perilaku merokok dengan kepadatan tulang?
7. Apakah ada hubungan kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang?
9
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas
Pisangan Ciputat Timur Tangerang Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di
Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
b. Untuk mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan
tulang
c. Untuk mengidentifikasi hubungan antara status menopause dengan
kepadatan tulang
d. Untuk mengidentifikasi hubungan antara asupan kalsium dengan
kepadatan tulang
e. Untuk mengidentifikasi hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan
tulang
f. Untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku merokok dengan
kepadatan tulang
g. Untuk mengidentifikasi hubungan antara konsumsi alkohol kepadatan
tulang
10
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah literature mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada pada lansia awal. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan dalam
melakukan pengabdian kepada masyarakat.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam konteks keilmuan
dan metodologi penelitian serta memberikan pengalaman yang berharga bagi
peneliti dalam melaksanakan penelitian.
3. Bagi Responden
Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan informasi mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang dan mengetahui
kepadatan tulang lansia awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Ciputat
Tangerang Selatan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar, menambah
informasi dan sebagai rujukan bagi peneliti lain untuk kepentingan
pengembangan ilmu yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepadatan tulang pada lansia awal.
11
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada warga di Posbindu Puskesmas Pisangan
Tangerang Selatan yang tergolong lansia awal yaitu berusia 46-55 tahun yang
bertujuan untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepadatan tulang pada warga tersebut. Jenis penelitian ini
menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional.
Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner berisi
item-item pertanyaan terkait jenis kelamin, status menopause, pemenuhan
kebutuan kalsium pada sampel, aktivitas fisik, perilaku merokok dan perilaku
mengkonsumsi alkohol, serta pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)
dengan menggunakan alat Quantitative Ultrasound Bone Densitometri. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua responden yang memeriksakan kepadatan
tulangnya di Puskesmas Ciputat yang berusia antara 46-55 tahun (lansia awal).
Penelitian ini dilakukan pada bulan April di Puskesmas Pisangan Tangerang
Selatan.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tulang
Tulang adalah jaringan hidup. Karena merupakan jaringan ikat maka
tulang terdiri dari sel dan matriks organic ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Sel-
selt tulang yang menghasilkan matriks organic dikenal sebagai osteoblast
(“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri dari serat kolagen dalam suatu gel
setengah padat. Matriks ini memiliki sistensi seperti karet dan berperan
menentukan kekuatan tensile tulang (keuletan tulang menahan patah yang
ditimbulkan oleh tegangan). Tulang menjadi keras karena pengendapan Kristal
kalsium fosfat didalam matriks. Kristal inorganic ini memberi tulang kekuatan
kompresi (kemampuan tulang mempertahankan bentuk ketika diperas atau
ditekan). Jika seluruhnya terbentuk dari Kristal inorganic maka tulang akan rapuh,
seperti potongan kapur. Tulang memiliki kekuatan struktural yang mendekati
beton bertulang, namun tulang rapuh dan jauh lebih ringan, karena tulang
memiliki campuran berupa perancah organik yang diperkeras oleh Kristal
inorganik (Sherwood, 2012).
Sebagai unsur pokok kerangka orang dewasa, jaringan tulang menyangga
struktur berdaging, melindungi organ-organ vital seperti yang terdapat dalam
tengkorak dan rongga dada, dan menampung sumsum tulang, tempat sel-sel darah
dibentuk. Tulang juga berfungsi sebagai cadangan kalsium, fostaf, dan ion lain,
yang dapat dilepaskan atau disimpan dengan cara terkendali untuk
13
mempertahankan konsentrasi ion-ion penting tersebut dalam cairan tubuh
(Mescher, 2012).
Tulang membentuk suatu sistem pengungkit yang melipatgandakan
kekuatan yang dibangkitkan selama otot rangka berkontraksi dan mengubahnya
menjadi gerakan tubuh. Jaringan bermineral ini memberi fungsi mekanis dan
metabolic pada kerangka (Mescher, 2012). Tulang adalah jaringan ikat khusus
yang terdiri atas materi antar sel berkapur, yaitu matriks tulang, dan terdiri dari 3
macam sel tulang:
1) Osteosit , yang terdapat dalam rongga di antara lapisan matriks tulang
(Mescher, 2012). Berada dalam kapsul, mempunyai benjolan banyak yang
masuk ke saluran bercabang, dan menghubungkan sel dan kapsul yang lain
disebut kanalikuli (Syaifuddin, 2006)
2) Osteblas, yang menyintesis unsur organic matriks (Mescher, 2012). Sel induk
tulang guna mensintesis bahan organis dengan serat kolagen pada permukaan
tulang, terpisah berubah menjadi osteosit kanalikuli yang terbentuk di
sekeliling tonjolan tersebut (Syaifuddin, 2006).
3) Osteoklas, yang merupakan sel raksasa multinukleus yang terlibat dalam
resorpsi dan remodeling jaringan tulang (Mescher, 2012).
14
B. Proses pertumbuhan tulang
Penambahan ketebalan tulang dicapai melalui penambahan tulang baru di
atas permukaan luar tulang yang sudah ada. Pertumbuhan ini dihasilkan oleh
osteoblas di dalam peritoneum, suatu selubung jaringan ikat yang menutupi
bagian luar tulang. sewaktu osteoblast aktif mengendapkan tulang baru di
permukaan eksternal, sel lain di dalam tulang, osteoklas (“penghancur tulang”),
melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam di dekat rongga sumsum. Dengan
cara ini, rongga sumsum membesar untuk mengimbangi bertambahnya lingkar
batang tulang (Sherwood, 2012)
Pertambahan panjang tulang panjang dicapai melalui mekanisme yang
berbeda. Tulang memanjang akibat aktivitas sel-sel tulang rawan, atau kondrosit,
di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan di tepi luar
lempeng di samping epifisis membelah dan memperbanyak diri, secara temporar
memperlebar lempeng epifisis. Seiring dengan terbentuknya kondrosit-kondrosit
baru di tepi epifisis, sel-sel tulang rawan yang sudah tua ke arah batas diafisis
membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dan hipertrofi kondrosit
matang secara temporer memperlebar lempeng epifisis. Penebalan sisipan
lempeng tulang rawan ini mendorong epifisis tulang semakin jauh dari diafisis.
Matriks yang mengelilingi tulang rawan paling tua segera mengalami kalsifikasi
(Sherwood, 2012).
Pembentukan tulang kembali digambarkan dengan keseimbangan fungsi
osteoblast dan osteoklas. Proses ini terjadi pada tiap permukaan tulang berlanjut
15
sepanjang hidup (tiap tahun). Fungsi proses pembentukan tulang kembali yaitu
untuk melindungi tulang dari efek kerusakan atau untuk menjaga kekuatan tulang
(Trihapsari, 2009). Ada pendapat yang menyatakan bahwa proses pembentukan
tulang kembali melindungi tulang dari efek kerusakan karena kelelahan yang
terakumulasi. Dengan kata lain, pembentukan kembali terjadi setelah tulang
menjadi tua atau lemah atau mengalami keretakan kecil atau kerusakan
mikroskopis berulang kali, yang akhirnya dapat mengurangi kekuatan tulang
tersebut. Sepotong tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau
diserap kembali oleh sel bernama osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut
oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel bernama osteosit yang dapat
mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan yang rusak,
osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblast) yang terbuat dari sel
prekursor di sumsum tulang didatangkan ke area tersebut, mungkin juga oleh zat
penarik. Osteoblast membentuk bagian tulang baru untuk menggantikan tulang
yang dilarutkan oleh osteoklas (Cosman, 2009).
Kekuatan tulang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas tulang. kuantitas
yaitu kepadatan tulang, sedangkan kualitas yaitu ukuran (massa) tulang,
kandungan mineral, dan mikroarsitektur tulang. Densitas mineral tulang dicapai
maksimal pada usia 18 tahun dan tidak ada perbedaan jender. Stabilitas tulang
ditentukan oleh arsitektur tulang dan DMT (Bazied, 2003).
16
C. Kepadatan tulang
Kepadatan tulang adalah parameter yang harus diukur untuk mendiagnosis
gangguan kepadatan tulang (osteoporosis). Perlu dicatat bahwa pemeriksaan
kepadatan tulang untuk tujuan diagnosis sebagian besar didasarkan karena satu-
satunya parameter yang dapat diukur secara akurat di vivo. Kepadatan tulang
adalah massa tulang per volume tulang (kg.m-1
) (Mow & Huiskes, 2005).
Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium
(mineral tulang) pada suatu area atau volume tulang. Cara ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa kuat atau lemahnya tulang seseorang (kepadatan tulang),
sehingga dapat diketahui apakah seorang terkena osteoporosis atau osteopenia,
dan risiko terkena fraktur (patah tulang) (Trihapsari, 2009).
1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass)
Tulang tidak hanya mengalami pertumbuhan tetapi juga bertambah
menjadi lebih padat pada masa anak-anak dan remaja (Wirakusumah, 2007).
Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau pubertas, ketika
tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat, yang
akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-40 tahun (Tandra, 2009). Pada
umur 25 tahun, pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas
maksimum (puncak massa tulang) (Wirakusumah, 2007).
Puncak massa tulang bervariasi pada setiap orang dan umumnya lebih
tinggi pada pria dibandingkan wanita. Umumnya puncak massa tulang lebih
tinggi pada orang yang mempunyai rangka tubuh lebih besar dibandingkan
17
dengan orang yang memiliki rangka tubuh lebih kecil. Apabila nilai massa tulang
rendah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang
sangat mungkin terjadi. Jika nilai puncak massa tulang tinggi maka seseorang
relative lebih kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhih
puncak massa tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta
menghindari konsumsi alkohol, kafein, soft drink, dan rokok (Wijayakusumah,
2007).
Kurang lebih 50-80 persen puncak massa tulang ini dipengaruhi oleh
faktor genetik, sehingga si anak muda akan menjadi lebih tinggi dan lebih besar,
jika berasal dari keturunan atau orangtua yang memiliki postur tinggi dan besar.
Masih ada faktor-faktor lain yang ikut memegang peran penting, antara lain
kalsium, vitamin D, aktivitias fisik atau olahraga, berat badan, penyakit yang
sedang diderita, atau keadaan pubertas yang datang terlambat (Tandra, 2009).
Beberapa faktor lain akan memengaruhi puncak massa tulang seseorang, seperti
diet, olahraga, merokok, dan minum alkohol. Begitu pula, hormon seks, amenore,
atau tidak datang haid yang disebabkan oleh anoreksia nervosa atau penyakit lain
juga akan menurunkan puncak massa tulang. Penggunaan pil KB atau kontrasepsi
oral dengan hormon terbukti bisa meningkatkan puncak massa tulang.
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin
bertambah setelah di atas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan
bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Sekitar 35 persen tulang padat dan 50
18
persen tulang berongga pada wanita akan hilang, sedangkan pada pria akan
berkurang sekitar dua per tiga dari jumlah tadi (Tandra, 2009). Pembagian
kelompok umur oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009
menyatakan bahwa kelompok lansia awal yaitu usia antara 46 sampai 55 tahun
(Riauwi, 2014).
Kehilangan massa tulang berhubungan langsung dengan peningkatan usia
baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40
tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupan (Wijayakusumah,
2007). Wanita akan kehilangan tulang lebih banyak daripada pria, karena laju
penghancuran tulang meningkat akibat menopause. Pada usia 80 tahun hampir
semua wanita mempunyai massa tulang yang sangat sedikit, sehingga sangat
mudah mengalami patah tulang. Massa tulang akan berkurang setelah berusia
sekitar 40 tahun. Wanita mengalami penurunan massa tulang setiap tahun
sebanyak 1-5 persen, sedangkan untuk pria kurang dari 1 persen. Memang, bagi
wanita, penurunan massa tulang lebih cepat dan lebih banyak. Ini disebabkan oleh
estrogen dalam tubuh wanita yang makin berkurang (Tandra, 2009).
19
Perubahan massa tulang sepanjang kehidupan
Gambar 2.1
(Wijayakusumah, 2007)
D. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang
Sebuah variasi genetik dan faktor lingkungan mepengaruhi puncak massa
tulang. faktor genetik bisa memberikan (didapatkan ketika lahir dan tidak
berubah, seperti jenis kelamin dan ras) bisa mencapai 75 persen dari massa
tulang, dan faktor lingkungan (seperti diet dan kebiasaan latihan) sisanya, yaitu
sebesar 25 persen (NIH, 2015).
1. Jenis Kelamin
Puncak massa tulang cenderung lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan. Sebelum pubertas, laki-laki dan perempuan mendapatkan massa
tulang pada nilai yang hampir sama. Setelah pubertas, laki-laki cenderung
mendapatkan massa tulang yang lebih besar dari pada perempuan (NIH,
20
2015). Massa tulang wanita lebih kecil dibandingkan dengan pria. Nilai massa
tulang wanita umumnya hanya sekitar 800 gram lebih kecil dibandingkan
dengan pria yaitu sekitar 1.200 gram. Karena nilai massa tulang yang rendah
itulah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang
sangat mungkin terjadi (Wirakusumah, 2007).
2. Ras
Alasannya masih belum jelas, wanita Afrika Amerika cenderung
memiliki puncak massa tulang lebih besar dari pada wanita Caucasian.
Perbedaan pada densitas tulang ini terlihat selama masa kanak-kanak dan
masa remaja (NIH, 2015). Ras campuran Afrika-Amerika memiliki massa
tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih dari Eropa memiliki masa tulang
terendah. Ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Wanita
Afrika-Amerika memiliki massa tulang yang lebih padat, rangka tulang dan
massa otot yang lebih besar. Antara massa tulang dan massa otot terdapat
kaitan yang erat. Semakin besar otot, tekanan pada tulang semakin tinggi dan
tulang semakin besar. Ditambah lagi kadar hormon estrogen ras Afrika-
Amerika lebih tinggi dari ras yang lain sehingga wanita Afrika-Amerika
cenderung lebih lambat menua daripada wanita kulit putih (Wirakusumah,
2007).
21
3. Status Menopause
Fase menopause disebut pula sebagai periode klimakterium (climacter
= tahun perubahan/pergantian tahun yang berbahaya). Menopause
merupakan peristiwa fisiologis alamiah. Terjadi setelah berhentinya
menstruasi selama 1 tahun. Biasanya, menstruasi mulai berkurang selama 2-5
tahun, paling sering antara umur 48-55 tahun, rata-rata pada umur 51,4 tahun
(Wicaksana, 2009).
Kehilangan kalsium dari jaringan tulang terjadi pada masa
menopause. Osteoporosis pada menopause terjadi akibat jumlah estrogen dan
progesteron menurun. Hormon estrogen diproduksi wanita dari masa kanak-
kanak sampai dewasa. Hormon tersebut diperlukan untuk pembentukan tulang
dan mempertahankan massa tulang. Rendahnya hormon estrogen dalam tubuh
akan membuat tulang menjadi keropos dan mudah patah (Wijayakusumah,
2009). Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah
dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi estrogen
adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat
resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang
mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Wardhana, 2012).
Hormon estrogen memiliki efek pada puncak massa tulang. Sebagai
contoh, wanita yang menstruasi pertamanya di usia yang muda dan
menggunakan kontrasepsi oral, yang mana berisi estrogen, sering kali
22
memiliki densitas mineral tulang yang tinggi. Sebaliknya, wanita muda yang
periode menstruasinya berhenti karena berat badan rendah yang ekstrim atau
latihan yang berlebihan, sebagai contoh, mungkin kehilangan yang signifikan
jumlah dari densitas tulang, yang mana mungkin tidak bisa menyembuhkan
walaupun setelah periode menstruasi kembali lagi (NIH, 2015).
4. Asupan Nutrisi Kalsium
Kalsium (Ca) adalah elemen yang paling besar jumlahnya di dalam
tubuh. Kalsium merupakan konsistuen penting skeleton dan gigi yang
berjumlah kira-kira 99% dari total kalsium tubuh. Di samping itu, kalsium
adalah konsistuen esensial pada sel-sel hidup dan cairan jaringan. Secara
kuantitatif, partisipasi kalsium dalam pembentukan tulang adalah fungsi
kalsium yang paling penting. Kalsium berinteraksi dengan fosfat membentuk
kalsium fosfat. Kalsium fosfat adalah material keras dan padat yang
membentuk tulang dan gigi. Tulang diketahui tidak hanya sebagai pendukung
atau komponen struktural tubuh, tetapi juga sebagai jaringan yang secara
fisiologis menjadi sumber kalsium untuk pemeliharaan kondisi homeostasis
(Soeparno, 2011).
Kalsium adalah salah satu unsur penting dalam tubuh. Walaupun pada
bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g. Namun, setelah usia 20 tahun,
secara normal akan terjadi penempatan sekitar 1.200 g kalsium dalam tubuh.
Jumlah ini, terdiri dari 99% kalsium yang berada di dalam jaringan keras yaitu
23
pada tulang dan gigi (Wirakusumah, 2007). Kebutuhan kalsium harus
dipenuhi dari asupan makanan karena kalsium pada makanan diserap pada
usus halus dengan proses transport aktif (Martin, 1985 dalam Kosnayani,
2007). Kurang lebih terdapat 1 kg kalsium dalam tulang orang dewasa.
Variasi kebutuhan tubuh akan kalsium lebih bergantung pada laju
perkembangan tulang ketimbang kebutuhan metabolik. Kebutuhan maksimal
terjadi selama puncak masa pertumbuhan cepat pada remaja, yang mencapai
1200 mg/hari, maka asupan kalsium sangat vital pada saat itu, untuk
menjamin mineralisasi tulang yang adekuat (Barasi, 2007).
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia (perorang perhari)
Umur (tahun) Laki-laki (mg) Perempuan (mg)
16-18 tahun
19-29 tahun
30-49 tahun
50-64 tahun
65-80 tahun
1200
1100
1000
1000
1000
1200
1100
1000
1000
1000
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013
Kalsium adalah nutrisi esensial untuk kesehatan tulang. Defisiensi
kalsium pada orang muda tercatat memiliki perbedaan yang signifikan di
24
puncak massa tulang dan bisa meningkatkan resiko fraktur hip di kehidupan
selanjutnya. Survei mengindikasikan bahwa wanita belasan tahun di United
States memiliki lebih sedikit dari pada laki-laki belasan tahun untuk
mendapatkan kecukupan kalsium (NIH, 2015).
Fungsi utama kalsium adalah mengisi kepadatan (densitas tulang).
Cadangan kalsium tubuh terdapat dalam tulang. Jika kekurangan kalsium
tubuh akan mengambil cadangan kalsium di bank tulang. Semakin lama
semakin banyak kalsium yang diambil, tulang semakin tipis, dan kemudian
keropos. Asupan kalsium pada usia lanjut umumnya menurun karena
kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium. Disamping itu, bertambahnya
usia dapat menurunkan daya serap terhadap kalsium (Wirakusumah, 2007).
Bullamore JR et al meneliti pengaruh usia pada penyerapan kalsium. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penyerapan kalsium menurun setelah usia
60 tahun dan setelah usia 80 tahun terjadi malabsorpsi yang signifikan
(Limawan, 2015).
Densitas tulang berbeda-beda menurut umur, meningkat pada bagian
pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Proses
densitas tulang hanya berlangsung hingga seseorang berusia 30 tahun.
(Wirakusumah, 2007). Bila makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi akan
berpengaruh buruk terhadap kesehatan tulang. Makanan sumber kalsium,
fosfor, dan vitamin D yang dikonsumsi cukup sejak usia dini dapat membantu
memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negative dari berkurangnya
25
keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan massa kalsium
pada tahun-tahun selanjutnya (Wirakusumah, 2007).
Tabel 2.2 Nilai kalsium berbagai jenis pangan (mg/100g)
Jenis Pangan Mg Jenis Pangan Mg
Ikan bandeng presto 1422 Oncom 96
Susu skim 123 Udang kering 1209
Ikan rebon segar 31 Udang segar 136
Keju 777 Toge 29
Daging ayam 13 Bayam 267
Daging sapi 3 Kacang ijo 125
Susu kental manis 300 Kacang panjang 163
Yogurt 120 Mujair goreng 346
Es krim 123 Telur ayam 54
Mentega 15 Telur asin 120
Susu kedelai 50 Sawi 220
Jeruk 33 Daun singkong 165
Sarden kaleng 354 Kangkung 73
Tempe kedelai 129 Kacang merah 84
Tahu 124 Kacang tanah 58
Sumber : Atmarita, 2005.
26
5. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
responden sehari-hari yang meliputi olahraga, kegiatan diwaktu bekerja, serta
kegiatan di waktu luang (Baecke, 1982). Wanita dan laki-laki dan dewasa
muda yang latihan secara teratur mencapai lebih besar puncak massa tulang
dibandingkan yang tidak melakukan latihan. Perempuan dan pria berumur 30
tahun dan lebih bisa membantu mencegah kehilangan tulang dengan latihan
teratur. Aktivitas yang terbaik untuk tulang adalah latihan weight-bearing.
Latihan ini melatih kekuatan yaitu dengan bekerja melawan gravitasi, seperti
berjalan, hiking, jogging, naik turun tangga, bermain tennis, menari, dan
latihan berat (NIH, 2015). Aktivitas olahraga dengan pembebanan (weigh-
bearing exercise) dapat membantu pembentukan osteoblast lebih aktif.
Olahraga lompat tali atau jalan kaki sekitar 30 menit yang dilakukan tiga atau
empat kali dalam seminggu dapat meningkatkan massa panggul dan
mengurangi penurunan massa tulang (Permatasari, 2011).
Semakin rendah aktivitas fisik, maka densitas tulang pun beresiko
menjadi lebih rendah. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik (olahraga) dapat
membangun tulang dan otot menjadi lebih kuat, juga meningkatkan
keseimbangan metabolisme tubuh (Wirakusumah, 2007). Olahraga baik bagi
tulang maupun aspek kesehatan lain. Tidak bergerak sama sekali
mempercepat penurunan massa tulang, sementara olahraga menahan beban
tubuh meningkatkan massa tulang. pada orang dewasa, olahraga dapat
27
memperlambat penurunan massa tulang akibat usia serta meningkatkan
kesehatan secara umum, sehingga mengurangi risiko terjatuh. Olahraga
membantu memperkuat tulang (Trihapsari, 2009).
Wanita yang malas bergerak atau berolahraga akan terhambat proses
osteoblasnya. Selain itu, kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin
banyak bergerak dan berolahraga, maka otot akan memacu tulang untuk
membentuk massa (Zaviera, 2008). Menurut dr. Sadoso, olahraga mampu
meningkatkan DMT atau mengurangi hilangnya jaringan tulang pada kaum
muda, pramenopause, dan pascamenopause. Berbagai penelitian
menunjukkan, puncak massa tulang anak-anak sampai dewasa yang aktif
berolahraga lebih tinggi daripada yang jarang berolahraga (Zaviera, 2008)
6. lifestyle Behaviors
a) Perilaku Merokok
Merokok bisa berhubungan dengan rendahnya densitas tulang di
masa remaja ataupun perilaku yang tidak sehat lainnya, seperti minum
alkohol dan kebiasaan duduk yang terus menerus. Fakta buruk efek
negative dari merokok pada puncak massa tulang, dan perokok tua akan
menambahkan risiko untuk kehilangan massa tulang dan fraktur (NIH,
2015). Pada wanita perokok ada kecenderungan kadar estrogen dalam
tubuhnya lebih rendah dan kemungkinan memasuki masa menopause lima
tahun lebih awal dibandingkan dengan bukan perokok. Kecepatan
28
kehilangan massa tulang juga terjadi lebih cepat pada wanita perokok.
Asap rokok dapat menghambat kerja ovarium dalam memproduksi
hormon estrogen. Disamping itu, nikotin juga mempengaruhi kemampuan
tubuh untuk menyerap dan menggunakan kalsium (Wirakusumah, 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa merokok mempercepat kehilangan
tulang serta turut andil atas berkurangnya kemampuan penyerapan
kalsium (Trihapsari, 2009). Perokok sangat rentan terkena DMT tidak
normal karena zat nikotin yang terdapat didalamnya dapat mempercepat
penyerapan tulang. selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar
dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-
susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
Disamping itu, rokok juga menimbulkan hipertensi, PJK, dan
tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila darah tersumbat,
maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin dapat
menyebabkan rendahnya DMT baik secara langsung maupun tidak
langsung. Efek rokok pada tulang mulai terasa setelah usia 35 tahun,
karena proses pembentukan tulang pada umur tersebut mulai terhenti
(Trihapsari, 2009).
b) Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Efek mengkonsumsi alkohol untuk puncak massa tulang masih
belum jelas. Efek alkohol pada tulang telah dipelajari secara lebih
29
ekstensif pada orang dewasa, dan hasilnya mengindikasikan bahwa
mengkonsumsi tinggi alkohol berhubungan dengan densitas tulang yang
rendah. Para ahli mengasumsikan bahwa mengkonsumsi alkohol secara
tinggi di masa muda memberikan efek yang merugikan untuk kesehatan
skeletal (NIH, 2015). Konsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat
merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme
kalsium dalam tubuh. Alkohol dapat menyebabkan luka-luka kecil pada
dinding lambung yang terjadi beberapa saat setelah minum-minuman
beralkohol. Banyaknya luka kecil akibat minum-minuman beralkohol
akan menyebabkan perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh
kehilangan kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah
(Wirakusumah, 2007).
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan
terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat
mengurangi massa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan
menghambat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun
lebih besar pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol
dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol
(Agustin, 2009).
30
E. Quantitative Ultrasound (QUS)
Densitas adalah kepadatan. Pemeriksaan kepadatan mineral tulang adalah
untuk mengetahui adanya penurunan densitas tulang. Penentuan densitas tulang
bisa dengan densitometry, computed tomography (CT), atau ultrasound (US)
(Tandra, 2009). Normalnya, setiap tulang mempunyai kepadatan tulang yang
berbeda. Untuk menyesuaikan standar pelaporan hasil dari tempat dan teknologi
yang berbeda, ukuran kepadatan tulang biasanya dinyatakan sebagai nilai-T dan
nilai-Z (Cosman, 2009).
Nilai-T dihitung dari hasil pengukuran kepadatan tulang seseorang, variasi
hasil pengukuran kepadatan tulang, dan kepadatan tulang rata-rata dari populasi
referensi normal kelompok usia muda dengan massa tulang maksimum (Cosman,
2009). Ada sedikit perbedaan antarprodusen alat pengukur kepadatan tulang
dalam hal penentuan usia populasi referensi yang digunakan untuk menentukan
nilai T, tetapi biasanya antara 20 dan 35 tahun. Pada rentang usia ini kepadatan
tulang berada pada puncaknya dan risiko patah tulang karena pengeroposan
tulang sangat rendah. Hasilnya dinyatakan dalam nilai standar deviasi (SD) di atas
atau di bawah rata-rata hasil pengukuran untuk anak muda normal (Cosman,
2009). Hasil Nilai-T bisa plus atau minus. Bila hasil nol, artinya densitas tulang
sama dengan orang muda normal. Bila plus, artinya tulang lebih padat daripada
orang muda. Bila minus, densitas tulang lebih rendah daripada orang muda
normal (Tandra, 2009).
31
Nilai-Z berdeda dengan Nilai-T, Nilai-Z membandingkan BMD seseorang
dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan berat
badan yang sama. Hasil yang negative berarti tulang Anda keropos, sedangkan
hasil yang positif menyatakan tulang Anda lebih kecil memiliki risiko patah
tulang dibandingkan dengan rata-rata orang lain (Tandra, 2009). Secara umum,
tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu antara 89-99%. Namun, terdapat
perbedaan nilai kepadatan (DMT) pada tiap tempat pengukuran di tubuh. Jadi,
densitas tulang pada tempat tertentu merupakan predictor utama fraktur pada
tempat tersebut (Trihapsari, 2009).
Ultrasound adalah jenis gelombang suara dengan frekuensi melebihi
kisaran pendengaran normal manusia (>20kHz). Frekuensi yang digunakan di
QUS biasanya terletak di antara 200 kHz dan 1,5 MHz. Suara yang dihasilkan
oleh pemeriksaan piezoelectric yang unik adalah pemancaran dan pelintasan
longitudinal atau horizontal melalui tulang yang akan diperiksa. Biasanya ada dua
pemeriksaan pada perangkat QUS : emisi dan alat penerima. Segmen tulang yang
akan diperiksa akan ditempatkan di antara alat pemeriksaan ini dan gelombang
ultrasound yang dipancarkan dari alat emisi melalui tulang akan dirasakan oleh
alat penerima (Chin, 2013). Ultrasound mengukur kecepatan suara, saat sinar ini
bergerak menembus tulang dan jaringan lunak diatasnya, dan pengurangan kuat
sinyal, atau jumlah gelombang suara yang hilang saat bergerak menembus bagian
tubuh yang diukur. Teknik ini tidak membuat orang terpapar radiasi karena
32
menggunakan suara bukanya sinar X, dan tidak membutuhkan ahli radiologi
untuk melakukan prosedurnya (Cosman, 2009).
Cara kerja QUS menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang
menembus tulang kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui
tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band) dan
kekuatan (stiffinss). Keuntungannya adalah mudah dibawa ke mana-mana, tetapi
kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokasi osteoporosis secara tepat
(Wirakusumah, 2007). Alat ini biasanya mengukur tulang di kalkaneus (tumit),
tetapi juga bisa mengukur lengan bawah dan tulang kering (Cosman, 2009).
Pengukuran DMT dengan gelombang ultrasonik yaitu metode QUS biasa
digunakan untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus) dan jari (±1 menit).
Cara ini tidak menggunakan radiasi dan dapat memberikan informasi mengenai
massa tulang dan menilai organisasi struktur tulang (Trihapsari, 2009).
Menurut International Society of Clinical Densitometry (ISCD), kalkaneus
QUS adalah satu-satunya yang diakui untuk pengukuran QUS sebagai penentu
status kesehatan tulang karena lebih banyak penelitian telah dilakukan pada
kalkaneus dibandingkan dengan segmen tulang yang lainnya. Selain itu,
kalkaneus terdiri dari 95% tulang trabecular dan memiliki dua permukaan lateral
yang memfasilitasi pergerakan ultrasound. Teknologi Quantitative ultrasound
muncul sebagai alat skrining yang nyaman dan efektif untuk digunakan dalam
deteksi dini osteoporosis. Deteksi dini akan memungkinkan langkah-langkah
33
pencegahan yang harus diambil untuk menghambat perkembangan osteoporosis
selanjutnya (Chin, 2013).
Kriteria World Health Organization (WHO) untuk menentukan berat
ringannya keropos tulang, memberlakukan kriteria yang sudah diterima oleh
seluruh dunia. Bila T-Score sama dengan atau lebih rendah dari -2,5 dinamakan
osteoporosis. Bila T-Score di bawah -1,0 dinamakan osteopenia atau massa tulang
yang rendah. T-Score di antara -1 sampai +1 dikatakan Bone Mineral Density
(BMD) yang normal. Orang dengan T-Score di bawah -2,5 yang disertai dengan
fraktur karena osteoporosis dikategorikan dalam osteoporosis yang berat (severe
or established osteoporosis) (Tandra, 2009).
34
F. Kerangka Teori
(Modifikasi NIH, 2015, Cosman, 2009 & Wirakusumah, 2007)
FAKTOR GENETIK
RAS
JENIS KELAMIN
STATUS MENOPAUSE
FAKTOR
LINGKUNGAN NUTRISI
(ASUPAN KALSIUM)
AKTIVITAS FISIK
LIFESTYLE BEHAVIOR
- MEROKOK
- KONSUMSI
ALKOHOL
KEPADATAN TULANG
35
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori di atas, maka peneliti membuat suatu
kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :
Variabel Independent Variabel Dependent
1. Jenis Kelamin
2. Status menopause
3. Nutrisi
4. Aktivitas fisik
5. Perilaku Merokok
6. Konsumsi alkohol
Kepadatan tulang
36
B. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang pada lansia awal
akhir di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
2. Ada hubungan antara status menopuase dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
3. Ada hubungan antara asupan kalsium dengan kedapatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
4. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang pada lansia awal
di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
5. Ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
6. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang
pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
37
C. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Kepadatan
tulang
Pemeriksaan kepadatan mineral
tulang untuk mengetahui adanya
penurunan densitas tulang.
Ukuran kepadatan tulang
dinyatakan sebagai Nilai-T.
Tulang pada
bagian tumit
diletakkan di atas
alat pengukur
kepadatan tulang
Quantitative
Ultrasound (QUS)
1. Normal = Nilai-T -
1 sampai +1
2. Tidak normal :
a. Osteopenia =
Nilai-T < -1,0
b. Osteoporosis =
Nilai-T ≤ -2,5
(Tandra, 2009).
Ordinal
Jenis
Kelamin
Tanda fisik yang teridentifikasi
pada responden dan dibawa
Kuesioner Kuesioner 1) Perempuan
2) Laki-laki
Nominal
38
sejak dilahirkan.
Status
menopause
Saat seorang wanita berhenti
mendapat haid selama 1 tahun
terakhir
Kuesioner Kuesioner 1. Sudah menopause
2. Belum menopause
Nominal
Asupan
Nutrisi
(kalsium)
Perilaku responden
mengkonsumsi
makanan/minuman yang
mengandung kalsium dalam
waktu 1 tahun terakhir.
Wawancara Kuesioner
Food Frequency
Questiionnaire
(FFQ)
1. Cukup ≥ 100%
AKG
2. Kurang < 100%
AKG
(Menkes RI, 2013)
Ordinal
Aktivitas
fisik
Kegiatan yang dilakukan
responden sehari-hari yang
Kuesioner Kuesioner
aktivitas fisik
Kategori :
1. Aktivitas ringan :
Ordinal
39
meliputi olahraga, kegiatan
diwaktu bekerja, serta kegiatan
di waktu luang.
(Baecke
Questionnaire)
Kuesioner ini
terdiri dari 17 item
pertanyaan
< 5,6
2. Aktivitas sedang :
5,6-7,9
3. Aktivitas berat :
>7,9
(Baecke, 1982)
Perilaku
Merokok
Perilaku merokok adalah
merokok secara aktif selama
minimal 1 tahun.
Kuesioner Kuesioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
Konsumsi
Alkohol
Konsumsi alkohol adalah
penggunaan alkohol lebih dari
750 mL per minggu.
Kuesioner Kuesioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
40
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan
menggunakan desain penelitian Cross Sectional. Penelitian cross sectional
merupakan penelitian non eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek yang berupa penyakit atau status
kesehatan tertentu. Variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang
termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama. Pengertian pada saat
yang sama disini bukan berarti pada satu saat observasi dilakukan pada semua
subjek untuk semua variabel, tetapi tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja,
dan faktor risiko serta efek diukur menurut keadaan atau status waktu diobservasi
(Sumantri, 2011). Desain tersebut dipilih oleh peneliti dengan pertimbangan
waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, relative murah namun tetap dapat
menjelaskan variabel yang diteliti.
B. Tempat dan waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di 3 Posbindu di naungan wilayah kerja Puskesmas
Pisangan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016. Daerah tersebut dipilih
karena belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepadatan tulang berkaitan dengan asupan kalsium,
41
status menopause, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan
mengkonsumsi alkohol pada lansia awal di Puskesmas Pisangan.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 11 sampai 22 April 2016.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi,
2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berusia lansia
awal yang datang ke Posbindu untuk memeriksakan kepadatan tulang di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan.
2. Sampel
Sampel penelitian sebagai unit yang lebih kecil lagi setelah
sekelompok individu yang merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana
peneliti langsung mengumpulkan data atau melakukan pengamatan/
pengukuran pada unit ini. Pada dasarnya penelitian dilakukan pada sampel
yang terpilih dari populasi terjangkau (Dharma, 2011). Sampel penelitian ini
adalah masyarakat wilayah Pisangan Ciputat yang melakukan pengecekan
kepadatan tulang di Posbindu naungan Puskesmas Pisangan menggunakan
alat Quantitative Ultrasound. Teknik pengambilan sampel ini menggunakan
42
teknik Purpossive Sampling dimana sampel yang diambil berdasarkan kriteria
yang memenuhi inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan peneliti, yaitu:
a. Kriteria Inklusi
1) Kesadaran baik
2) Usia antara 46-55 tahun (lansia awal)
3) Mampu berkomunikasi dengan baik
4) Pasien yang memeriksakan diri di Posbindu naungan Puskesmas
Pisangan
5) Bersedia menjadi responden
Besar sampel/ teknik sampel
Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan
dengan menggunakan rumus pengujian hipotesa beda dua proporsi kelompok
independen, yaitu :
Keterangan :
N = besar sampel yang diharapkan
43
Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kemaknaan α pada
uji dua sisi, derajat kemaknaan α yang digunakan adalah 5% sehingga
nilai Z = 1,96
Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β, kekuatan uji yang digunaan
adalah 95% yaitu dengan nilai Z = 1,64
P = (P1+P2)/2
P1 = Proporsi asupan kalsium (kurang) dengan DMT tidak normal, sebesar
58,4% (Trihapsari, 2009)
P2 = Proporsi asupan kalsium (cukup) dengan DMT tidak normal, sebesar
19% (Trihapsari, 2009)
n = 49,5 = 50
Karena menggunakan rumus uji beda proporsi. Maka hasil dikali dua :
50 X 2 = 100
Untuk menghindari terjadinya sampel yang drop out dan sebagai
cadangan maka peneliti menambahkan 10% dari jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah : 100 + 10 = 110 responden.
44
D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
a. Pengambilan data kepadatan tulang
Pengukuran densitas mineral tulang peneliti bekerja sama dengan
pihak Diabetasol untuk melakukan peminjaan alat pengukuran kepadatan
tulang yang nantinya alat tersebut akan dibawa ke posbindu naungan
Puskesmas Pisangan. Proses pengukuran densitas mineral tulang
dilakukan kepada seluruh pengunjung posbindu yang datang yang
termasuk dalam kriteria inklusi. Pada saat perizinan alat peneliti hanya
menghubungi petugas yang bertanggung jawab dengan alat tersebut.
Pemeriksaan kepadatan tulang dilakukan oleh petugas dari Deabetasol itu
sendiri.
Pengukuran kepadatan mineral tulang dengan metode Quantitative
Ultrasound (QUS) dengan keakuratan 97%. Pengukuran ini dilakukan
pada tulang kalkaneus (tumit) sebelah kanan responden selama kurang
lebih 1 menit. Nilai T-score >-1 menunjukkan DMT normal, nilai T-score
<-1 menunjukkan osteopenia, dan nilai T-score ≤-2,5 menunjukkan
osteoporosis.
b. Sumber Data
Data yang diambil, berasal dari data primer terdiri dari :
1) Data jenis kelamin, status menopause, kebiasaan merokok, dan
minum-minuman beralkohol diperoleh dari jawaban kuesioner.
45
2) Data asupan nutrisi konsumsi Kalsium diperoleh dengan melakukan
pengisian formulir Food Frequence Questionnaire Method (FFQ).
3) Data aktivitas fisik diperoleh dari pengisian kuesioner Baecke.
Pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti dibantu oleh pihak-
pihak terkait seperti, para pegawai di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan,
pegawai posbindu, dan para kader. Penelitian ini juga dibantu oleh pihak
Deabetasol dalam melakukan pemeriksaan kepadatan tulang, serta para
teman-teman dari peneliti juga ikut berperan dalam pengumpulan data
tersebut.
2. Instrumen Pengumpulan Data
Berikut merupakan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian:
a. Quantitative Ultrasound
Quantitative Ultrasound digunakan untuk mengukur kepadatan tulang
responden selama kurang lebih 1 menit.
b. Food Frequence Questionnaire Method (FFQ)
Food Frequency Questionnaire Methode (FFQ) adalah metode dietary
assessment dalam konteks individual level yang mencatat frekuensi makan
individu terhadap suatu bahan makanan (<100) dalam kurun waktu
tertentu (hari, minggu, bulan, dan tahun) (Rahmawati, 2010).
46
c. Baecke Questionnaire
Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan
tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono, 2007).
pengukuran aktivitas fisik menggunakan kuesioner Baecke et al. (1982)
yang terbagi atas tiga subbagian, yaitu aktivitas olahrga, aktivitas saat
bekerja, dan aktivitas saat waktu luang.
Tabel 4.1 Cara menghitung skor untuk mengkategorikan aktivitas fisik
No Aktivitas fisik
1 Indeks Waktu Kerja (IWK)
Pertanyaan no A1 s/d A8 dikategorikan menjadi
1. Pekerjaan Ringan : supir, guru, pensiunan, pedagang menetap, IRT
2. Sedang : buruh pabrik, tukang kayu
3. Berat : buruh bangunan, pedagang keliling dan petani
Kemudian diberi skor 1-5 dan dijumlahkan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
IWK = {no.A1+(6 – no.A2)+no.A3+A4+A5+A6+A7+A8} : 8
2 Indeks Waktu Olahraga (IWO)
Pertanyaan dari no.B1 s/d B5.
Kategori untuk no.B1 yaitu
1. Ya
2. Tidak (responden yang tidak olahraga diberi skor 0)
Untuk no.B2 terdiri dari jenis olahraga (intensitas), waktu, dan proporsi.
47
Intensitas :
1. Tingkat ringan (golf, bowling, memancing) = 0,76
2. Tingkat sedang (bulutangkis, sepeda, senam, renang, jogging) = 1,26
3. Tingkat berat (basket, sepakbola) = 1,76
Waktu :
1. <1 jam/ minggu = 0,5
2. 1-2 jam/mminggu = 1,5
3. 2-3 jam/minggu = 2,5
4. 3-4 jam/minggu = 3,5
5. >4 jam/minggu = 4,5
Proporsi :
1. <1 bulan/tahun = 0,04
2. 1-2 bulan/tahun = 0,17
3. 2-3 bulan/tahun = 0,42
4. 3-4 bulan/tahun = 0,67
5. >4 bulan/tahun = 0,92
Kemudian dihitung dengan rumus : intensitas x waktu x proporsi)
No.B3-B5 dinilai dengan skor 1-5 yang dikategorikan menjadi 5, antara lain :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Sangat sering
Selanjutnya dihitung dengan rumus :
IWO = (B2 + B3 + B4 + B5) : 4
3 Indeks Waktu Luang (IWL)
Terdiri dari pertanyaan no.C1 s/d C4
Untuk no.C1 s/d C3 diberi skor 1-5, yaitu :
48
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Sangat sering
Dan untuk kategori no.C4 yaitu :
1. <5 menit
2. 5-15 menit
3. 16-30 menit
4. 31-45 menit
5. >45 menit
Kemudian dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
IWL = {(6-no.C1)+no.C2+no.C3+no.C4} : 4
Dari hasil perhitungan masing-masing indeks, kemudian dihitung aktivitas fisik
dengan rumus IWK + IWO + IWL, selanjutnya dikategorikan menjadi 3, yaitu
:
1. Aktivitas ringan : < 5,6
2. Aktivitas sedang : 5,6 – 7,9
3. Aktivitas berat : >7,9
E. Tahap Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan bulan April tahun 2016. Data yang dihimpun
dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan menggunakan
kuesioner. Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Setelah tema penelitian disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti membuat
surat perizinan kepada dinas kesehatan Tangerang Selatan untuk mengambil
49
data hasil pemeriksaan kepadatan tulang pada tahun 2015 di wilayah
Tangerang selatan untuk menentukan tempat penelitian yang akan dilakukan.
2. Setelah menentukan tempat penelitian yaitu di Puskesmas Pisangan peneliti
membuat surat perizinan kepada kepala Puskesmas Pisangan untuk
melakukan penelitian di tempat tersebut.
3. Peneliti bekerja sama dengan pihak Deabetasol untuk melakukan peminjaman
alat pengecekan kepadatan tulang.
4. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan kepadatan tulang (DMT) dibantu
oleh pihak Deabetasol di Posbindu wilayah cakupan Puskesmas Pisangan
dengan alat Quantitative Ultrasound Bone Density.
5. Setelah dilakukan pengukuran DMT peneliti dibantu oleh teman-teman
menyebarkan kuesioner untuk penilaian serta memberikan lembar inform
consent dan memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner.
6. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengecekan apakah data yang
terkumpul sudah lengkap atau belum. Setelah lengkap, data diberi kode pada
masing-masing pernyataan untuk mempermudah saat analisis data.
7. Setelah data dianalisis selanjutnya menyimpulkan hasil data yang telah
didapat.
50
F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
1. Hasil Uji Validitas
Validitas menyatakan apa yang seharusnya diukur. Sebuah instrument
dikatakan valid jika instrument itu mampu mengukur apa-apa yang
seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007). Hasil
uji validitas kuesioner Baecke untuk aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007).
Kuesioner perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol dilakukan uji
keterbacaan. Perhitungan dilakukan dengan rumus korelasi Pearson Product
Moment yang rumusnya adalah :
Keterangan :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah responden
X = Skor tiap item pertanyaan
Y = Skor total
(Pratisto, 2005).
2. Hasil Uji Reliabilitas
Setelah mengukur validitas, peneliti perlu mengukur reliabilitas data,
apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Reliabilitas instrument adalah
51
adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilakukan oleh orang yang
berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007).
Teknik pengujian pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha
Cronbach (α), dalam uji reliabilitas r hasil adalah alpha. Hasil uji reliabilitas
untuk kuesioner aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007).
G. Pengolahan Data
Dalam melakukan analisa, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan
mengubah data informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan
untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam
proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,
diantarannya (Hidayat, 2008).
1. Editing
Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Kegiatan yang dilakukan
dalam editing adalah pengecekan dari sisi kelengkapan, relevansi, dan
konsistensi jawaban. Peneliti memeriksa kelengkapan data dengan cara
memastikan bahwa jumlah kuesioner yang terkumpul sudah memenuhi
jumlah sampel minimal yang ditentukan dan memeriksa apakah setiap
pertanyaan dalam kuesioner sudah terjawab dan jelas. Relevansi dan
52
konsistensi jawaban diperiksa dengan cara melihat apakah ada data yang
bertentangan dengan data lain.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Biasanya dalam pemberian kode dibuat
juga daftar kode untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu
kode dari suatu variabel. Kepadatan tulang diberi kode 1=normal,
2=osteopenia, dan 3=osteoporosis; jenis kelamin diberi kode 1=perempuan,
2=laki-laki; status menopause diberi kode 1=belum menopause, 2=sudah
menopause; asupan kalsium diberi kode 1=cukup, 2=kurang; aktivitas fisik
diberi kode 0=ringan, 1=sedang, dan 2=berat; perilaku merokok diberi kode
0=tidak merokok, 1=merokok; dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol diberi
kode 0=tidak mengkonsumsi alkohol, 1=mengkonsumsi alkohol. Kegiatan ini
dilakukan apabila semua kuesioner sudah diedit atau disunting.
3. Entry Data
Entry Data merupakan kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan
kedalam master table atau data base computer, kemudian membuat distribusi
frekuensi sederhana. Program untuk analisis data : SPSS. Data yang
dimasukkan berupa kepadatan tulang, jenis kelamin, status menopause,
asupan nutrisi kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan kebiasaan
merokok.
53
4. Processing Data
Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga data sudah
dikoding, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dianalisis.
Proses pengolahan data dilakukan dengan cara memindahkan data dari
kuesioner ke paket program komputer pengolahan data statistik.
5. Cleaning data
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah di-
entry, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat
meng-entry data ke komputer. Hal ini dilakukan ketika semua data dan
variabel sudah dimasukkan ke dalam SPSS. Sebelum dilakukan analisis,
peneliti mengecek kembali pengkodean yang sudah di cantumkan dalam
variabel tersebut apakah sesuai atau tidak. Ditemukan hasil tidak ada missing
data dan tidak ada kesalahan input.
H. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi
variabel dependen dan independen. Variabel independen diantaranya faktor
jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause, aktivitas
fisik, dan gaya hidup (perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol).
Sedangkan variabel dependen yaitu kepadatan tulang.
54
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel yaitu variabel dependen (kepadatan tulang) dengan variabel
independen (jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause,
aktivitas fisik, dan gaya hidup : perilaku merokok dan kebiasaan minum
alkohol). Teknik analisa yang digunakan adalah analisa Chi-Square dengan
menggunakan derajat kepercayaan 95% sehingga jika nilai p ≤ 0,05 berarti
hasil perhitungan statistic bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dan apabila
nilai p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
I. Etika Penelitian
Masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang
sangat penting dalam penelitian mengingat peneliti keperawatan akan
berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika peneliti harus
diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian
(Hidayat, 2008). Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku
untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang
diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil
penelitian tersebut. Etika penelitian ini mencakup juga perilaku peneliti atau
perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh
55
peneliti bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2012). Dalam melakukan penelitian
menekankan masalah etika penelitian yang meliputi:
1. Lembar Persetujuan (informed consent)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed
consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan
lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan dari Informed consent
adalah agar subjek mengerti maksud, tujuan penelitian, dan mengetahui
dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangai lembar
persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus
menghormatinya.
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunakaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan
kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.
56
Etika penenlitian bertujuan untuk menjamin kerahasiaan identitas responden,
melindungi dan menghormati hak responden dengan mengajukan surat
pernyataan persetujuan (Informed consent). Sebelum menandatangani
persetujuan, peneliti menjelaskan judul penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan menjelaskan kepada responden bahwa peneliti tidak akan
membahayakan responden. Peneliti akan menjamin kerahasiaan identitas
responden, dimana data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk
kepentingan penelitian dan apabila telah selesai maka data tersebut akan
dimusnahkan.
57
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
1. Lokasi
Puskesmas Pisangan adalah puskesmas yang ada di kecamatan Ciputat
Timur, yang terletak di sebelah tenggara Tangerang, dengan luas wilayah :
797 Ha, dengan sebagian besar tanah darat dan sisanya rawa.
2. Program Puskesmas
Adapun program yang terdapat di Puskesmas Pisangan yaitu program wajib
puskesmas, program kesehatan pengembangan, dan program pengembangan
pilihan.
a. Program Wajib Puskesmas meliputi : Promosi Kesehatan, Kesehatan
Lingkungan, Kesehatan Ibu, Kesehatan Anak, Keluarga Berencana,
Perbaikan Gizi Masyarakat, dan Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit.
b. Program Kesehatan Pengembangan meliputi : Program Lansia, Program
Remaja, dan Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
c. Program Pengembangan Pilihan meliputi : Program Pelayanan Kesehatan
Mata, dan Program Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Gigi
dan Mulut.
3. Program Kesehatan Usia Lanjut/Lansia
Tujuan : Meningkatkan pelayanan kesehatan usia lanjut.
Sasaran : Meningkatnya derajat kesehatan lansia agar tetap aktif dan
produktif.
58
Kegiatan :
a. Melaksanakan posbindu di 2 kelurahan
b. Penilaian dan pembinaan posbindu
c. Pelayanan lansia di puskesmas
Sarana tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Pisangan meliputi, 2
dokter umum, 1 dokter gigi, 1 ahli gizi, 3 perawat, 6 bidan, 3 perawat gigi, 1 tata
usaha, dan 3 petugas administrasi.
B. Karakteristik Responden
Hasil analisis dilakukan untuk menganalisis variabel-variabel karakteristik
individu yang ada secara deskriptif dengan menggunakan distribusi frekuensi dan
proporsi. Analisis Univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel penelitian
yang meliputi: karakteristik responden yang terdiri dari kepadatan tulang, jenis
kelamin, status menopause, asupan kalsium, aktivitas fisik, dan gaya hidup
(perilaku merokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol).
1. Kepadatan Tulang
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Responden Di Puskesmas
Pisangan Tangerang Selatan
Kepadatan Tulang Frekuensi (n) Persentase (%)
Normal 9 8.2
Tidak Normal Osteopenia
Osteoporosis
101 57
44
91.8 51.8
40
Total 110 100
59
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan hasil bahwa dari 110
responden yang memiliki kepadatan tulang tidak normal lebih banyak yaitu
101 orang (91.8%) dibandingkan responden yang memiliki kepadatan tulang
normal (8.2%). Responden yang memiliki kepadatan tulang tidak normal
lebih banyak terjadi pada osteopenia yaitu sebesar (51.8%).
Tabel 5.2
Karakteristik Responden Di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
98
12
89.1
10.9
Status Menopause
Sudah Menopause
Belum Menopause
55
43
56.1
43.9
Asupan Kalsium
Kurang
Cukup
86
24
78.2
21.8
Aktivitas Fisik
Ringan
Sedang
Berat
2
51
57
1.8
46.4
51.8
Kebiasaan Merokok
Tidak Merokok
Merokok
100
10
90.9
9.1
Konsumsi Alkohol
Tidak Mengkonsumsi Alkohol
Mengkonsumsi Alkohol
110
-
100
-
TOTAL 110 100
Berdasarkan tabel 5.1 tentang karakteristik responden, digambarkan
bahwa sebagian besar respondennya adalah ; perempuan (89.1%); sudah
menopause (56.1%); kurangnya asupan kalsium (78.2%); aktivitas fisik berat
(51.8%); dan tidak merokok (90.9%). Sedangkan semua responden dalam
penelitian ini tidak ada yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol
(100%).
60
2. Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik Responden
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik
Responden
Variabel
Kepadatan Tulang
Total Normal
Tidak Normal
Osteopenia Osteoporosis
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
9
0
9.2
0
50
7
51
58.3
39
5
39.8
41.7
98
12
100
100
Total 9 8.2 57 51.8 44 40 110 100
Status Menopause
Sudah
Belum
2
7
3.6
16.3
24
26
43.6
60.5
29
10
52.7
23.3
55
43
100
100
Total 9 9.2 50 51 39 39.8 98 100
Asupan Kalsium
Kurang
Cukup
5
4
5.8
16.7
46
11
53.5
45.8
35
9
40.7
37.5
86
24
100
100
Total 9 8.2 57 51.8 44 40 110 100
Aktivitas Fisik
Ringan
Sedang
Berat
0
4
5
0
7.8
8.8
2
27
28
100
52.9
49.1
0
20
24
0
39.2
42.1
2
51
57
100
100
100
Total 9 8.2 57 51.8 44 40 110 100
Kebiasaan Merokok
Tidak Merokok
Merokok
9
0
9
0
52
5
52
50
39
5
39
50
100
10
100
100
Total 9 8.2 57 51.8 44 40 110 100
Konsumsi Alkohol
Tidak Mengkonsumsi
Mengkonsumsi
9
-
8.2
-
57
51.8
-
44
-
40
-
110
-
100
-
Total 9 8.2 57 51.8 44 40 110 100
Tabel 5.3 menjelaskan tentang distribusi frekuensi kepadatan tulang
berdasarkan demografi responden, digambarkan bahwa kepadatan tulang yang
tidak normal pada perempuan dan laki-laki lebih banyak osteopenia yaitu,
perempuan (51%), dan laki-laki (58.3%); responden yang sudah menopause
lebih banyak mengalami osteoporosis (52.7%). Sedangkan wanita yang belum
61
menopause lebih banyak mengalami osteopenia (60.5%); responden yang
memiliki asupan kalsium kurang dan asupan kalsium cukup lebih banyak
mengalami osteopenia yaitu masing-masing (53.5%) dan (45.8%); responden
dengan aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat lebih banyak mengalami
osteopenia yaitu masing-masing (100%), (52.9%), dan (49.1%); responden
yang tidak merokok lebih banyak (52%) mengalami osteopenia. Sedangkan
responden yang merokok dengan kepadatan tulang tidak normal osteopenia
dan osteoporosis memiliki persentase yang sama yaitu masing-masing (50%);
dan responden yang tidak mengkonsumsi alkohol lebih banyak mengalami
osteopenia (51.8%).
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang
Dalam penelitian ini untuk variabel kebiasaan mengkonsumsi alkohol tidak
ditemukan responden yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol sehingga
data yang didapatkan homogen. Oleh karena itu data yang diolah tidak dapat
dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada hubungan antara kebiasaan
mengkonsumsi alkohol dengan kepadatan tulang.
1. Jenis Kelamin
Tabel 5.4
Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepadatan Tulang Responden di
Puskesmas Pisangan
Jenis Kelamin
Kepadatan Tulang Total
Pvalue Normal Tidak normal
n % n % n %
Perempuan 9 9.2 89 90.8 98 100 0.273
Laki-laki 0 0 12 100 12 100
Total 9 8.2 101 91.8 110 100
62
Hasil analisis pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa kepadatan tulang
yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden laki-laki (100%)
dibandingkan dengan responden perempuan (90.8%) walaupun persentase
hasilnya tidak terlalu berbeda. Hasil uji statistic didapatkan nilai p = 0.273,
hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
variabel jenis kelamin dengan variabel kepadatan tulang.
2. Status Menopause
Tabel 5.5
Hubungan Status Menopause dengan Kepadatan Tulang Responden di
Puskesmas Pisangan
Status
Menopause
Kepadatan Tulang Total OR
(95% CI) Pvalue Normal Tidak normal
n % n % n %
Sudah 2 22.2 53 59.6 55 56.1 0.194 (0.03-0.98) 0.032
Belum 7 77.8 36 40.4 43 43.9
Total 9 100 89 100 98 100
Hasil analisis pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa kepadatan tulang
yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden yang sudah mengalami
menopause (59.6%) dibandingkan dengan yang belum menopause (40.4%).
Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.032, hal tersebut menunjukkan ada
hubungan yang bermakna antara variabel status menopause dengan
kepadatan tulang. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=0,194, artinya
perempuan yang sudah menopause mempunayi peluang 0,194 kali untuk
memiliki kepadatan tulang tidak normal dibandingkan dengan perempuan
yang belum menopause.
63
3. Asupan Kalsium
Tabel 5.6
Hubungan Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Responden di
Puskesmas Pisangan
Asupan Kalsium
Kepadatan Tulang Total
Pvalue Normal Tidak normal
n % n % n %
Kurang 5 55.6 81 80.2 86 78.2 0.086
Cukup 4 44.4 20 19.8 24 21.8
Total 9 100 101 100 110 100
Hasil analisis pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa kepadatan tulang
yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki asupan
kalsium kurang (80.2%) dibandingkan dengan responden yang memiliki
asupan kalsium cukup (19.8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.086,
hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan
kalsium dengan kepadatan tulang.
4. Aktivitas Fisik
Tabel 5.7
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kepadatan Tulang Responden di
Puskesmas Pisangan
Aktivitas Fisik
Kepadatan Tulang Total
Pvalue Normal Tidak normal
n % n % n %
Ringan 0 0 2 100 2 100
0.899 Sedang 4 7.8 47 92.2 51 100
Berat 5 8.8 52 91.2 57 100
Total 9 8.2 101 91.8 110 100
Hasil analisis pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa kepadatan tulang
tidak normal persentase terbesar terjadi pada responden yang memiliki
aktivitas fisik ringan (100%) dibandingkan dengan responden yang memiliki
64
aktivitas fisik sedang (92.2%) dan aktivitas fisik berat (91.2%). Hasil uji
statistik didapatkan nilai p = 0.899, hal tersebut menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara variabel aktivitas fisik dengan variabel
kepadatan tulang.
5. Perilaku Merokok
Tabel 5.8
Hubungan Perilaku Merokok dengan Kepadatan Tulang Responden di
Puskesmas Pisangan
Perilaku
Merokok
Kepadatan Tulang Total
Pvalue Normal Tidak normal
n % n % n %
Tidak Merokok 9 9 91 91 100 100 0.322
Merokok 0 0 10 100 10 100
Total 9 8.2 101 91.8 110 100
Hasil analisis pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa kepadatan tulang
yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki
perilaku merokok (100%) dibandingkan dengan responden yang tidak
memiliki perilaku merokok (91%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p =
0.322, hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
variabel perilaku merokok dengan variabel kepadatan tulang.
65
BAB VI
PEMBAHASAN
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang
karakteristik responden, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang di
Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. Pada akhir pembahasan, peneliti juga
menyertakan keterbatasan dari penelitian ini.
A. Karakteristik Responden
1. Kepadatan Tulang
Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium
pada suatu area atau volume tulang. cara ini dilakukan untuk mengetahui
seberapa kuat/lemahnya kepadatan tulang seseorang. Jadi, dapat diketahui
apakah seorang terkena osteopenia, osteoporosis, atau risiko fraktur (Hindu,
2003).
Berdasarkan hasil analisis univariat yang diperoleh dari 110 responden
didapatkan sebagian besar responden dikategorikan memiliki kepadatan
tulang tidak normal yaitu sebanyak 101 responden (91.8%) dan kondisi
tersebut didominasi oleh responden yang menderita osteopenia (51.8%),
dibandingkan dengan yang mengalami osteoporosis (40%), sedangkan 9
responden (8.2%) dikategorikan memiliki kepadatan tulang normal.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustin (2009), menunjukkan
bahwa sebagian besar responden mengalami kepadatan tulang tidak normal
66
yaitu sebesar (67.8%), responden yang mengalami osteopenia (54.8%), dan
responden yang mengalami osteoporosis sebesar (13%). Dalam kondisi
osteopenia, mulai terjadi penurunan DMT dan terjadi pengeroposan
(kerapuhan) tulang. Tingginya prevalensi ini sejalan dengan tingginya
prevalensi osteopenia di Indonesia yang mencapai 41,7% (Tsania dalam
Trihapsari, 2009). Prevalensi osteopenia yang tinggi dalam penelitian ini
dapat menjadi sebuah prediksi meningkatnya prevalensi osteoporosis di area
penelitian pada waktu yang akan datang.
Menurut Wijayakusumah (2007) Kehilangan massa tulang
berhubungan langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun
wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus
berlangsung hingga akhir masa kehidupan. Penelitian ini dilakukan pada
responden lansia awal yaitu usia antara 45-55 tahun. Rentang tersebut
merupakan zona resiko terjadinya pengeroposan tulang perlahan dan
pengeroposan tulang cepat. Oleh sebab itu, pada usia tersebut terjadi
penurunan kepadatan tulang yang ditandai dengan pengeroposan tulang.
Prevalensi kepadatan tulang tidak normal dalam penelitian ini cukup tinggi.
Sehingga ini menjadi masalah yang cukup serius.
Pengukuran kepadatan tulang menggunakan alat quantitative
ultrasound. Teknologi Quantitative ultrasound muncul sebagai alat skrining
yang nyaman dan efektif untuk digunakan dalam deteksi dini osteoporosis.
Deteksi dini akan memungkinkan langkah-langkah pencegahan yang harus
67
diambil untuk menghambat perkembangan osteoporosis selanjutnya (Chin,
2013).
2. Jenis Kelamin
Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini yaitu 110
responden. Berdasarkan analisis univariat didapatkan sebagian besar
responden yaitu berjenis kelamin perempuan berjumlah 98 responden
(89.1%), sedangkan responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 12
responden (10.9%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Juniati (2012) yang
menunjukkan bahwa responden perempuan lebih banyak (75%) dibandingkan
responden laki-laki (25%).
Hal ini dikarenakan lebih banyak responden perempuan yang
memeriksakan kepadatan tulangnya dan juga yang aktif mengikuti kegiatan
posbindu Puskesmas Pisangan dibandingkan responden laki-laki.
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada jam kerja sehingga
responden laki-laki yang memeriksaan kepadatan tulang lebih sedikit.
Kebanyakan responden perempuan memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga sehingga lebih banyak memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan
posbindu.
68
3. Status Menopause
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
sudah mengalami menopause yaitu sebanyak 55 responden (56.2%)
sedangkan responden yang belum menopause yaitu sebesar 43 responden
(43.9%).
Penelitian Juniati (2012) juga menunjukkan bahwa sebagian besar
responden dalam penelitiannya sudah mengalami menopause yaitu sebesar
(66.5%), sedangkan responden yang belum menopause sebesar (33.3%).
Sebagian besar responden yang terlibat dalam penelitian tersebut yaitu pada
usia >43 tahun (68.8%).
Menurut Spencer & Brown (2007), menyatakan bahwa usia wanita
memasuki menopause adalah 51 tahun. Sebagian besar wanita mulai
mengalami gejala menopause pada usia 40-an dan puncaknya tercapai pada
usia 50 tahun. Kebanyakan mengalami gejala kurang dari 5 tahun dan sekitar
25% lebih dari 5 tahun. Namun bila diambil rata-ratanya, umumnya seorang
wanita akan mengalami menopause sektiar usia 45-50 tahun (Rostiana, 2009).
Mappiane (1983) menuturkan bahwa masa menopause merupakan masa
peralihan yaitu dari masa produktif menuju masa berkurangnya produktivitas
seorang perempuan (Syarifah, 2014).
Masa menopause mulai terjadi yaitu pada wanita dengan rentang usia
sekitar 45-50 tahun. Hal ini sejalan dengan karakteristik usia responden dalam
69
penelitian ini yaitu lansia awal yang berusia 46 sampai 55 tahun dimana pada
usia tersebut wanita sudah memasuki masa menopause.
4. Asupan Kalsium
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan kalsium responden
kebanyakan kurang yaitu sebanyak 86 responden (78.2%). Sedangkan asupan
kalsium cukup yaitu sebanyak 24 responden (21,8%). Penelitian yang
dilakukan oleh Trihapsari tahun 2009 sejalan dengan penelitian ini yaitu dapat
diketahui bahwa lebih banyak responden yang kurang mengkonsumsi kalsium
(67.9%), dibandingkan dengan yang cukup mengkonsumsi kalsium (32.1%).
Penelitian ini sejalan dengan teori Permatasari (2011) yang
menyatakan bahwa asupan kalsium harian orang Indonesia berdasarkan
laporan dari Institusi of Medicine, US (1997) hanya memenuhi 25-30% dari
kebutuhan kalsium per harinya. Rata-rata asupan kalsium orang Indonesia
sebesar 289 mg kalsium per hari. Sedangkan pada populasi Indonesia Angka
Kecukupan Gizi (AKG) untuk kalsium baik bagi laki-laki maupun perempuan
usia 19-64 tahun adalah sebesar 800 mg. Kalsium yang adekuat (sekitar 1000
mg) akan memberikan manfaat positif pada sistem rangka baik untuk
memaksimalkan peak bone mass (puncak massa tulang) yang terjadi pada usia
20-35 tahun (Permatasari, 2011).
Salah satu mineral utama yang sangat berkontribusi terhadap
pembentukan tulang adalah kalsium. Lebih dari 99% kalsium terdapat dalam
70
jaringan keras yaitu tulang dan gigi. Sektiar 91% volume tulang orang dewasa
dibentuk sekitar akhir usia remaja atau masa dewasa awal. Pada masa remaja
penyerapan kalsium dari konsumsi makanan dapat mencapai 75% lalu
menurun hingga 20-40% begitu menginjak usia dewasa. Namun asupan
kalsium harian orang Indonesia masih banyak yang belum mencukupi jumlah
kalsium yang dibutuhkan untuk memelihara tulang maupun tubuh
(Permatasari, 2011).
5. Aktivitas Fisik
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki aktivitas fisik berat, yaitu sebesar 57 responden (51.8%), aktivitas
fisik sedang sebanyak 51 responden (46.8%), sedangkan aktivitas fisik rendah
yaitu sebanyak 2 responden (1.8%). Hasil nilai aktivitas fisik ini diperoleh
dari perhitungan skor aktivitas fisik yaitu waktu bekerja, waktu olahraga, dan
waktu luang.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustin (2009) yang
menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki aktivitas fisik
sedang yaitu sebanyak 84 orang (73%), responden yang beraktivitas fisik
berat sebanyak 14 orang (15.7%), sedangkan responden yang memiliki
aktivitas fisik ringan sebanyak 13 orang (11.3%).
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor
71
risiko indepeden untuk penyakit kronis dan secara keselurahan diperkirakan
menyebabkan kematian secara global (WHO, 2013 dalam Paramitha, 2014).
Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang
mengeluarkan energy (Widiantini, 2014).
6. Perilaku Merokok
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
dalam penelitian ini tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 100
responden (90.9%), dan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok
yaitu sebanyak 10 orang (9.1%). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Juniati (2012) yang menunjukkan bahwa 13 dari 16 responden tidak memiliki
kebiasaan merokok (81.2%), dan 3 responden memiliki kebiasaan merokok
(18.8%).
Menurut Compston (2002), wanita perokok beresiko lebih tinggi
mengalami kepadatan tulang tidak normal dibandingkan yang tidak merokok
karena wanita perokok mengalami menopause lebih awal dan mempunyai
kadar estrogen lebih rendah daripada bukan perokok. Lane (2003)
memaparkan bahwa merokok dapat meracuni tulang dan juga menurunkan
kadar estrogen. Rendahnya kadar estrogen ini memiliki pengaruh terhadap
kurangnya aktivitas osteoblast dalam formasi tulang, sehingga dapat
menyebabkan rendahnya kepadatan tulang.
72
Perokok mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih besar
dibandingkan bukan perokok. Pada wanita perokok ada kecendererungan
kadar estrogen dalam tubuhnya lebih rendah dan kemungkinan memasuki
masa menopause lima tahun lebih awal dibandingkan dengan bukan perokok.
Kecepatan kehilangan massa tulang juga terjadi lebih cepat pada wanita
perokok. Nikotin juga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap dan
menggunakan kalsium (Supari, 2008).
Rendahnya nilai perilaku merokok pada penelitian ini kemungkinan
disebabkan karena kesadaran akan bahaya merokok pada responden cukup
tinggi. Persepsi responden yang menganggap bahwa merokok pada wanita
merupakan suatu kebiasaan yang buruk.
7. Konsumsi Alkohol
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang ada dalam
penelitian ini tidak ada yang memiliki kebiasaan minum alkohol yaitu
sebanyak 110 responden (100%). Jadi untuk variabel konsumsi alkohol
respondennya sudah homogen. Oleh karena itu data tidak dapat dilakukan uji
statistik untuk melihat apakah ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi
alkohol dengan kepadatan tulang.
Bila jumlah konsumsi alkohol terlalu banyak (lebih dari 2 gelas sehari)
dapat merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme
kalsium dalam tubuh. Alkohol dapat menyebabkan luka-luka kecil pada
73
dinding lambung yang terjadi beberapa saat setalah minum-minuman
beralkohol. Banyaknya luka kecil akibat minum-minuman beralkohol akan
menyebabkan perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan
kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah (Wirakusumah, 2009).
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan
terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat mengurangi
massa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan menghambat
penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada
orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah
banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Agustin, 2009).
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang
1. Jenis Kelamin
Hasil uji statistic dengan menggunakan Uji Chi-Square diperoleh nilai
p=0,273. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang. Pada tabel 5.1 diketahui bahwa
responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 98 orang
(89.1%) dibandingkan dengan responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 12
orang (10.9%). Selain itu juga dalam penelitian ini ternyata kejadian
kepadatan tulang tidak normal terjadi lebih banyak dialami laki-laki (100%)
daripada perempuan (90.8%). Sehingga lebih beresiko mengalami kepadatan
tulang tidak normal.
74
Penelitian ini sejalan dengan hasil penenlitian Agustin (2009) yang
memperoleh nilai uji statistic dengan uji chi-square dengan nilai p=0.118,
sehingga tidak terdapat adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia. Pada kasus persentase laki-laki
yang mengalami kepadatan tulang tidak normal lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan (Agustin, 2009). Jumlah responden perempuan (84 orang)
lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (31 orang). Penelitian tersebut
didukung dengan adanya pernyataan Nuhonni (2000) yang mengatakan
terjadinya osteoporosis pada laki-laki disebabkan oleh usia yang sudah lanjut
karena berhubungan dengan massa tulang yang rendah. Menurut
Wijayakusumah (2009) massa tulang menurun mulai usia sekitar 40 tahun,
baik pada pria maupun wanita. Pengurangan massa tulang ini akan
berlangsung terus sepanjang sisa hidup.
Berbeda dengan hasil penelitian Permatasari (2011), yang menyatakan
ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang
tidak normal. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi mengalami osteoporosis
dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 12,083 kali. Massa tulang perempuan
umumnya 4 kali lebih kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan laki-
laki memiliki peak bone mass lebih tinggi dari perempuan. Sementara
perempuan juga mengalami penurunan massa tulang lebih cepat dibandingkan
laki-laki terutama berkaitan dengan kadar estrogen pada perempuan
(Permatasari, 2011). Menurut Purwoastuti, massa tulang pada wanita lebih
cepat berkurang daripada laki-laki. Karena pada wanita mengalami
75
menopause, sehingga terjadi penurunan hormon estrogen yang menyebabkan
aktivitas sel osteoblast menurun sedangkan osteoklas meningkat (Purwoastuti,
2008).
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Agustin (2009) yaitu sama-
sama jumlah responden perempuan memiliki proporsi yang jauh berbeda
dibandingkan dengan responden laki-laki. Perbedaanya dengan penelitian
Permatasari (2011) jumlah responden perempuan dan laki-laki proporsinya
hampir sama yaitu 91 dan 79. Jumlah responden perempuan dan laki-laki
yang tidak proporsional ini sehingga dapat mempengaruhi pengolahan uji
statistiknya.
2. Status Menopause
Hasil uji statistic dengan menggunakan Uji Chi-square diperoleh nilai
p=0,032. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
status menopause dengan kepadatan tulang. Dalam penelitian ini responden
yang sudah mengalami menopause mengalami kepadatan tulang tidak normal
sebesar (59,6%) sedangkan perempuan yang belum menopause mengalami
kepadatan tulang tidak normal sebesar (40,4%). Hal ini sejalan dengan teori
yang menyatakan bahwa saat menopause terjadi penurunan estrogen yang
akan menyebabkan hormone parathyroid (PTH) dan penyerapan vitamin D
berkurang sehingga pembentukan tulang (osteoblast) pun akan terhambat dan
kadar mineral akan berkurang. Jika kadar mineral tulang terus menerus
berkurang, maka akan terjadilah osteoporosis (Purwoastuti, 2008 dalam
Juniati, 2012).
76
Hormon estrogen menghasilkan hormon kalsitonin yang berfungsi untuk
melindungi tulang dari pengeroposan. Jumlah hormon estrogen akan menurun
ketika seorang wanita memasuki masa menopause. Bagaimanapun, wanita
kehilangan masa aktif lebih cepat daripada pria dengan hormon testosteronnya
(Tjahjadi, 2009).
Vitamin D memegang peranan penting dalam penyerapan kalsium.
Vitamin ini bekerjasama dengan hormon paratiroid untuk membantu
penyerapan kalsium di dalam darah dan ginjal. Hormon paratiroid (PTH)
termasuk salah satu hormon yang sering digunakan sebagai bentuk terapi
dalam osteoporosis. Fungsi hormon ini adalah untuk menjaga kadar kalsium
dengan meningkatkan kadarnya di dalam darah. Hormon ini mengambil
kalsium dari tulang untuk memberikannya pada darah. Dalam usus melalui
ginjal, hormon ini meningkatkan aktivitas vitamin D sehingga usus mampu
menyerap kalsium. PTH adalah salah satu hormon yang mengatur kalsium di
dalam tubuh. Sehingga, ketika hormon ini terus menurun maka akan
menyebabkan terjadinya osteoporosis (Tjahjadi, 2009).
Penelitian ini sejalan dengan hasil penenlitian Juniati (2012) yang
memperoleh nilai uji statistic dengan uji chi-square dengan nilai p=0.018
(p<0,05) yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara status
menopause dengan kepadatan tulang. Penelitian Trihapsari (2009) juga
menunjukkan adanya perbedaan proporsi kepadatan tulang yang tidak normal
antara responden yang sudah menopause dengan responden yang belum
77
menopause atau terdapat hubungan yang bermakna antara status menopause
dengan kepadatan tulang (nilai p=0.012).
Perempuan yang sudah menopause mempunyai risiko osteoporosis
sebesar 5,6 kali dibandingkan dengan yang belum menopause. Tulang akan
menyusut terutama pada saat menopause akibat produksi hormon estrogen
menurun drastis. Pada wanita, selama 5-8 tahun pertama pasca menopause,
kepadatan tulang akan berkurang 40-50% dari massa tulangnya. Sementara
pada laki-laki setelah usia 50 tahun, hanya berkurang 1% per tahun (Prihatini,
2010).
3. Asupan Kalsium
Hasil uji statistic dengan menggunakan Uji Chi-Square diperoleh nilai
p=0,086. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang. Dalam penelitian ini
diketahui kepadatan tulang tidak normal lebih sering terjadi pada responden
yang kurang mengkonsumsi asupan kalsium (80.2%), dibandingkan dengan
responden yang cukup mengkonsumsi asupan kalsium (19.8%) walaupun
hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan kalsium
dengan kepadatan tulang.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dani
(2015) yang menemukan tidak ada hubungan antara asupan kalsium dengan
kepadatan tulang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dani (2015)
frekuensi asupan kalsium kurang yaitu sebesar 77.8% dan asupan kalsium
yang cukup sebesar 22.2%.
78
Sejalan juga dengan hasil penelitian Agustin (2009) yang
menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara asupan kalsium
dengan kepadatan tulang. Persentase responden dengan asupan kalsium yang
kurang mengalami kepadatan tulang tidak normal hampir sama dengan
responden yang memiliki asupan kalsium cukup. Hasil uji statistik dengan
Chi-Square menunjukkan nilai p=1.000 (Agustin, 2009). Hasil uji statistik
menunjukkan hubungan yang tidak bermakna p>0,05. Kesamaan yang
digunakan pada penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama
menggunakan kuesioner FFQ untuk mengetahui asupan kalisum responden.
Asupan kalsium yang kurang 6 kali berisiko memiliki massa tulang
tidak normal dibandingkan asupan kalsium yang cukup. Kalsium dibutuhkan
untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses
fisiologik dan biokimia. Selain itu kalsium diperlukan untuk memaksimalkan
puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Dani,
2015). Tidak semua kalsium yang dimakan terserap dengan sempurna, karena
kalsium juga dapat hilang atau terbuang melalui kulit, urin, dan tinja. Jika
kalsium tubuh kurang, maka tubuh akan mengeluarkan hormon paratiroid
(PTH) yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, terutama tulang,
sehingga terjadi penurunan kepadatan tulang yang ditandai dengan
pengeroposan tulang (Zaviera, 2008).
Menurut Tandra (2009) mineral yang paling banyak terdapat dalam
tubuh yaitu kalsium kebutuhan kalsium ini akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Karena pada usia lebih dari 30 tahun, massa tulang akan
79
mulai berkurang. Terutama pada wanita, akan mengalami menopause yang
mengakibatkan kehilangan massa tulang sebesar 15%. Sehingga diperlukan
asupan kalsium yang cukup (Heaney, 2005). Menurut Gopalan, sebaiknya
konsumsi kalsium yang cukup sudah dimulai sejak usia remaja, karena pada
masa remaja kalsium yang diserap dapat disimpan dalam tubuh sampai lansia,
sehingga dapat mencegah timbulnya osteoporosis (Gopalan, 1994 dalam
Agustin, 2009).
4. Aktivitas Fisik
Berdasarkan analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik Chi-
Square didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan
kepadatan tulang dengan nilai p=0,899. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Agustin (2009) yang menemukan tidak ada hubungan yang
bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia
dengan hasil uji statistic Chi-Sguare dapat diketahui nilai p=0,088. Kesamaan
antara kedua penelitian ini adalah sama-sama menggunakan kuesioner baecke
yaitu mencakup 3 aktivitas fisik (waktu bekerja, waktu olahrga, dan waktu
luang) untuk mengkategorikan aktivitas fisik responden.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniati (2012)
yang menyatakan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan kepadatan tulang
yaitu dengan nilai p=0,008. Perbedaan dengan yang dilakukan oleh peneliti
terletak pada pengkategorian aktivitas fisik yaitu dibagi menjadi dua, beresiko
dan kurang beresiko terhadap kejadian osteoporosis dengan hasil responden
80
yang memiliki aktivitas fisik beresiko lebih besar (56.2%) mengalami
kejadian osteoporosis.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan teori Compston (2002) yang
menyatakan bahwa seseorang yang jarang melakukan aktivitas fisik akan
mengakibatkan turunnya massa tulang dan dengan bertambahnya usia
terutama pada usia lanjut, otot pun akan menjadi lemah, sehingga akan
berpeluang untuk timbulnya patah tulang.
Peluang terjadinya patah tulang 2 kali lebih besar pada wanita usia
lanjut yang jarang melakukan aktivitas fisik (berdiri < 5 jam) daripada yang
sering melakukan aktivitas fisik (Lane, 2003). Menurut teori mereka yang
malas bergerak atau berolahraga akan terhambat proses osteoblasnya (proses
pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan tulang akan berkurang.
Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk
membentuk massa (Juniati, 2012).
Aktivitas yang dilakukan setiap orang berbeda-beda. Dengan aktivitas
fisik, berarti otot tubuh bergerak dan menghasilkan energy (Agustin, 2009).
Olahraga yang baik untuk dilakukan, misalnya saja jalan, aerobic, jogging,
renang, dan bersepeda. Akan tetapi jika melakukan aktivitas fisik secara
berlebih justru akan mengurangii massa tulang (Nuhonni, 2000). Menurut
Baecke, aktivitas fisik dibagi menjadi 3, yaitu waktu bekerja, waktu olahraga,
dan waktu luang (Baecke, dalam Kamso, 2000).
81
5. Perilaku Merokok
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-square diperoleh nilai
p=0,322 (p> 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara kebiasaan merokok dengan kepadatan tulang. Berdasarkan
tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian responden tidak merokok (90.9%) dan
hanya (9.1%) responden yang merokok. Hal ini tidak terlalu mengejutkan
karena kebiasaan merokok memang jarang terjadi pada perempuan,
kemungkinan karena meningkatnya kesadaran akan bahaya merokok dan
pandangan negative tentang perilaku merokok sehingga hasil yang diperoleh
lebih banyak yang tidak merokok.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Juniati (2012) yang menemukan tidak ada hubungan antara merokok dengan
kepadatan tulang dengan nilai p=0.518. Persentase responden yang merokok
dan osteoporosis sebesar 6.2%, dan responden yang tidak merokok dan
osteoporosis sebesar 56.2%. Menurut Juniati (2012) bukan hanya dari
merokok atau tidaknya penderita sehingga menyebabkan kepadatan tulang
tidak normal tapi faktor-faktor lain juga dapat menjadi penyebabnya seperti
status menopause, asupan nutrisi kalisum, konsumsi alkohol dan aktivitas
fisik.
Rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok
sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya
mempercepat penyerapan tulang. selain penyerapan tulang, nikotin juga
membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang
82
sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses
pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami
hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh.
Jika darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi.
Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung maupun
tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang
tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun,
saat melewati umur 35 tahun, efek rokok pada tulang akan mulai terasa,
karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti (Juniati,
2012).
Hormon estrogen dalam tubuh akan menurun dan akan mudah
kehilangan masa tulang (BMD rendah/terjadi osteoporosis) jika seseorang
merokok, sehingga lebih besar untuk mengalami fraktur tulang (Hughes,
2006). Dengan kebiasaan merokok sejak dini pada wanita akan lebih awal
untuk mengalami menopause, sehingga kadar estrogen akan lebih cepat
menurun dan lebih berisiko untuk mengalami osteoporosis (Compston, 2002).
Jumlah responden yang tidak proporsional antara yang memiliki
kebiasaan merokok dan yang tidak memiliki perilaku merokok juga dapat
mempengaruhi pengolahan data statistiknya.
83
C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini,
keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dapat terjadinya bias dalam pengisian form FFQ, karena responden yang
diwawancarai berusia ≥45 tahun dan dibutuhkan daya ingat responden untuk
mengingat pola konsumsi makanan responden dalam jangka waktu tertentu.
Sehingga diperlukan waktu yang lama, kesabaran dan ketenangan saat
mewawancarai responden
2. Adanya keterbatasan saat melakukan wawancara responden, karena
kurangnya pewawancara dan responden yang datang secara bersamaan cukup
banyak, sehingga pewawancara merasa lelah dan tidak dapat istirahat.
3. Jenis penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional sehingga data
yang diperoleh tidak bisa digeneralisasikan.
4. Houthrone effect ; subjek penelitian mengetahui bahwa dirinya sedang diteliti
sehingga dapat mempengaruhi jawaban responden.
84
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Gambaran kepadatan tulang lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang
Selatan, yaitu sebanyak 9 orang (8.2%) memiliki kepadatan tulang normal,
dan 101 orang (91.8%) memiliki kepadatan tulang tidak normal dengan 57
orang (51.8%) mengalami osteopenia, dan 44 orang (40%) mengalami
osteoporosis.
2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
3. Ada hubungan antara status menopause dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
4. Tidak ada hubungan antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang pada
lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
5. Tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
6. Tidak ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang pada
lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
7. Data yang didapatkan untuk variabel kebiasaan konsumsi alkohol
menunjukkan bahwa semua responden dalam penelitian tidak ada yang
85
memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol sehingga respondennya homogen.
Oleh karena itu data yang diolah tidak dapat dilakukan uji statistik untuk
melihat apakah ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi alkohol
dengan kepadatan tulang.
B. Saran
1. Bagi Responden
Saran bagi responden agar meningkatkan pengetahuan mengenai
kesehatan tulang dan melakukan pengecakan kepadatan tulang secara rutin.
2. Bagi Puskesmas Pisangan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk promosi
kesehatan yang dapat dilaksanakan di Puskesmas Pisangan mengenai cara
mempertahankan kepadatan tulang dengan mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepadatan tulang yang dapat dimodifikasi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan
menggunakan jenis penelitian yang berbeda seperti kohort, ataupun
experiment serta dengan jumlah sampel yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Ratih P. Hubungan Status Gizi, Gaya Hidup dan Kebiasaan Konsumsi
Kalsium dan Vitamin D pada Warga Usia ≥45 tahun di Taman Wisma Asri
Bekasi Utara Tahun 2009 [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Indonesia. 2009.
Atmarita. Daftar Konsumsi Bahan Makanan. Jakarta : Persatuan Ahli Gizi Indonesia,
2005.
Azkiyati, Ade maya. Hubungan Perilaku Merokok dengan Harga Diri Remaja Laki-
laki yang Merokok di SMK Putra Bangsa. [Skripsi]. Depok : Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. 2010
Baecke, JAH & Burema, Jan &Frijters, Jan ER. A Short Questionnaire for the
Measurement of Habitual Physical Activity in Epidemiological Studies. The
American Journal of Clininal Nutrition. 1989. Download From ajcn.nutrition.org
by guest on January 14, 2016.
Barasi, Mary E. At a Glance Ilmi Gizi. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2007
Bazied, Ali. Menopause dan andropause. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2003
Chin, Kok-Yong, Ima-Nirwana, Soelaiman. Calcaneal Quantitative Ultrasound as a
Determinant of Bone Health Status: What Properties of Bone Does It Reflect?.
International Journal of Medical Sciences. 2013
Compston, Juliet. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter Pada Osteoporosis. Jakarta :
Dian Rakyat. 2002
Corwin, Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 2009
Cosman, Felicia. Osteoporosis : Panduaan Lengkap Agar Tulang Anda Tetap Sehat.
Yogjakarta : Bentang Pustaka. 2009
Dani, Nurul Rama & Damayanti, Didit, & Jus’at, Idrus. Department of Nutrition
Faculty of Health Science Esa Unggul University. Hubungan Aktivitas FIsik,
Asupan Kalsium, Fosfor Serta Kebiasaan Minum Susu Dengan Massa Tulang
Peserta Senam Di Jakarta Barat. 2015
Dharma, Kelana Kusuma. Metodologi Penelitian Keperawatan : Pedoman
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta : Trans Info Media.
2011.
Fatmah. Gizi Usia Lanjut. Jakarta : Erlangga. 2010
Haber, Geri Lobiondo-Wood & Judith. Nursing Research : Methods and Critical
Appraisal for Evidence-Based Practioce. Philadhelphia : Mosby Elseiver. 2006
Heaney, Robert P. Prevention Nutrition The Comprehensicec Guide For Health
Professionals Third Edition. Humana Press. Totowa, New Jersey. 2005.
Hidayat, A. Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika. 2008
Hughes, Bess Dawson. Osteoporosis Dalam Buku Modern Nutrition In Health and
Disease Tenth Edition. Lippincott Williams and Wilkins. 2006.
Ikhwan, Muhammad. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Merokok
pada Paisen Hipertensi di Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan [Skripsi].
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2013
Juniati & Surnianti & Basri, Muhammad. Poltekkes Kesehatan Kemenkes Makassar.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Osteoporosis Yang Dirawat
Di RS Islam Faisal Dan RSUPDR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Volume 1
nomor 4. 2014.
Kementeria Kesehatan RI. Data & Kondisi Penyakit Osteoporosis di Indonesia.
Infodatin Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.
Kosnayani, AI Sri. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks
Massa Tubuh dan Kepadatan Tulang pada Wanita Pascammenopause. Program
Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. 2007.
Lane, Nancy E. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis Rapuh Tulang. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada. 2003.
Limawan, Desmon & Mewo, yanti M & Kaligis, Stefana H.M. Gambaran Kadar
Kalsium Serum Pada Usia 60-70 Tahun. Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 3,
Nomor 1.2015
Mardiyah, Sarah & Sartika, Ratu A.D. Gangguan Kepadatan Tulang pada Orang
Dewasa di Daerah Urban dan Rural. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.
8, No. 6, 2014.
Marjan, Avliya Quratul & Marliyati, Sri Anna. Hubungan antara Pola Konsumsi
Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia di Panti
Werdha Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, Volume 8, Nomor 2, 2013.
Mboi, Nafsiah. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun
2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013
Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas. Jakarta : EGC. 2012
Mow, Van C & Huiskes, Rik. Basic Orthopaedic Biomechanics and Mechano-
Biology.Third Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2005
National Institutes of Health. Osteoporosis: Peak Bone Mass in Women. NIH
Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center. 2015
Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
2012.
Nuhonni, Siti A. Majalah Kedokteran Indonesia. Osteoporosis dan Pencegahannya
Vol.50, No.12. 2000.
Paramitha, Gumilang Mega. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di RUmah Sakit Daerah Karanganyar.
Fakultas Kedokteran. Surakarta. 2014
Permatasari, Tria A E. jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Hubungan Asupan Kalsium
dan Faktor Risiko Lainnya Dengan Kejadian Osteoporosis pada Kelompok
Dewasa Awal di Wilayah Ciputat-Tangerang Selatan. Volume 7 nomor 2. 2011
Permatasari, Tria AE. Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnya dengan
Kejadian Osteoporosis pada Kelompok Dewasa Awal di Wilayah Ciputat-
Tangerang Selatan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, vol. 7, No.2, 2011.
Pratisto, Arif. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan
dengan SPSS 12. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2005.
Prihatini, Sri & Mahirawati, Vita Kartika & Jahari, Abas Basuni. 2010. Media
Litbang Kesehatan. Faktor Determinan Risiko Osteoporosis di Tiga Provinsi di
Indonesia. Volume XX Nomor 2. 2010
Pudjiastuti, Sri Surini. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC. 2003.
Purwoastuti, Endang. Menopause, Siapa Takut?. Yogyakarta : Kanisius. 2008.
Rahmawati, Lutvita Yuniar. Tugas Dietary Assessment Food Frequency
Questionnaire [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2010.
Riauwi, Hudrizal Mubaroq., Husneli, yesi., & Lestari, Widia. Efektivitas Pendidikan
Kesehatan Dengan Penerapan The Health Belief Model Terhadap Pengetahuan
Keluarga Tentang Diare. JOM PSIK VOL. 1 No.2, 2014.
Rostiana, Triana & Kurniati, Ni Made Taganing. Jurnal Psikologi. Kecemasan Pada
Wanita Yang Menghadapi Menopause. Volume 3 Nomor 1. Depok. 2009.
Setiadi. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan Yogyakarta : Graha Ilmu. 2007.
Setyawati, Budi & Fuada, Noviati & Salimar. Pengetahuan tentang Osteoporosis dan
Kepadatan Tulang Hubungannya dengan Konsumsi Kalsium pada Wanita
Dewasa Muda. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat badan
LItbangkes, Kemenkes RI. 2014.
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. 2012.
Soeparno. Ilmu Nutrisi & Gizi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada Universsity Press.
2011.
Sugiyono. Statistic Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. 2007.
Sumantri, Arif. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Kencana. 2012.
Supeni, Kushari & Asmayuni. Kegemukan (Overweight) pada Perempuan Umur 25-
50 tahun (Di Kota Padang Panjang Tahun 2007). Jurnal Kesehatan Masyarakat,
2007.
Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC. 2006.
Syam, Yulianingsih & Noersasongko, Djarot & Sunaryo, Haryanto. Fraktur Akibat
Osteoporosis. Jurnal e-CliniC (eCI). 2014.
Syarifah, Maftukhatus & Kusumaputri, Erika Setyanti. Humanitas. Hubungan
Pengaturan Emosi Positif dengan Kecemasa Menjelang Menopause pada
Perempuan Pekerja. Volume 11. Yogyakarta. 2012
Tandra, Hans. Osteoporosis : Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2009.
Tjahjadi, Vicynthia. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Killer Osteoporosis.
Pustaka Widyamara : Bandung. 2009.
Trihapsari, Enita. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Densitas Mineral Tulang
Wanita ≥45 Tahun di Departemen Pendidikan Nasional [Skripsi]. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 2009.
Van C, Mow & Huiskes, Rik. Basic Osthopaedid Biomechanics and Mechano-
Biology : Third Edition. USA : Lippincott Williams &Wilkins. 2005.
Wardhana, Wisnu. Faktor-faktor Risiko Osteoporosis Pada Pasien Dengan Usia di
Atas 50 Tahun [Skripsi]. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. 2012.
Wicaksana, Inu. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa. Yogyakarta : Kanisius. 2009.
Widiantini, Winne. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Aktivitas Fisik, Stres,
dan Obesitas Pada Pegawai Negeri Sipil. Volume 8 nomor 7. 2014.
Zaviera, Ferdinand. Osteoporosis : Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi Praktis.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2008.
LAMPIRAN
LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
“Gambaran Kepadatan Tulang Berkaitan Dengan Diet Kalsium, Aktivitas Fisik, dan
Perilaku Merokok Pada Lansia Awal Di Puskesmas Pisangan Tahun 2016”
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Menyatakan telah diminta dan bersedia untuk berperan sebagai responden
dalam penelitian tersebut diatas. Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang
akan dijalanan. Saya mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian. Saya mengerti
bahwa peneliti akan menjaga identitas dan kerahasiaan saya.
Demikian, secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya
bersedia ikut serta dalam penelitian.
Jakarta, 2016
Responden Peneliti
( ) ( )
Nomor Responden :
LEMBAR KUESIONER
Petunjuk Pengisian:
1. Bacalah dengan cermat dan teliti pada setiap item pertanyaan
2. Pertanyaan di bawah ini mohon di isi semuanya
3. Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling sesuai dengan
kondisi yang dialami dengan memberikan tanda ceklis (……..)
4. Isilah titik yang tersedia dengan jawaban yang benar.
A. Karakteristik Responden
Hasil BMD : …………………………… (diisi oleh peneliti)
Pertanyaan Koding
1.
2.
3.
4.
Nama : ……………….
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Umur : ………………..
Apakah ibu sudah menopause? (pertanyaan khusus untuk Ibu)
1. Sudah 2. Belum
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Data Konsumsi Alkohol
1. Apakah Bapak/Ibu sedang atau pernah memiliki kebiasaan
minum alkohol?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
2. Jika Ya, berapa volume yang biasa pasien minum selama
seminggu?
1. < 750 mL 2. ≥ 750 mL
[ ]
3. Apakah kebiasaan minum alkohol tersebut masih ada sampai
sekrang?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
4. Jika kebiasaan minum alkohol masih ada sampai sekarang,
sejak kapan kebiasaan tersebut dimulai?....................
Usia sekarang : ………. Tahun
[ ]
5. Jika sudah berhenti, sejak usia berapa memiliki kebiasaan
minum alkohol dan usia kapan berhenti mengonsumsi?
Usia mulai : ……….. tahun
Usia berhenti : ………… tahun
[ ]
Data Kebiasaan Merokok
1. Apakah pasien sedang atau pernah memiliki kebiasaan
merokok?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
2. Jika ya, berapa batang konsumsi rokok tiap harinya?
………………..
[ ]
3. Apakah kebiasaan merokok tersebut masih ada sampai
sekarang?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
4. Jika kebiasaan merokok masih ada sampai sekarang, sejak
kapan kebiasaan tersebut dimulai? ……………..
Usia sekarang : ………… tahun
[ ]
5. Jika sudah berhenti, sejak usia berapa memiliki kebiasaan
merokok dan usia kapan berhenti merokok?
Usia mulai : ………… tahun
Usia berhenti : ………… tahun
[ ]
6. Apakah ada orang disekitar pasien yang menjadi perokok
aktif?
1. Ya, sebutkan ………. 2. Tidak
[ ]
Kuesioner Aktivitas Fisik (Kuesioner Baecke)
Beri tanda ceklist pada kotak yang tersedia dan isilah sesuai dengan kondisi anda
Sering (5-6 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), dan jarang (1-2
kali/minggu dan tidak pernah).
A. Indeks Waktu Kerja
A1. Apakah pekerjaan Bapak/Ibu saat ini?
a. supir, guru, pensiunan, pedagang menetap, IRT
b. buruh pabrik, tukang kayu
c. buruh bangunan, pedagang keliling dan petani
d. lainnyaa ……
No Pertanyaan Tidak
pernah
Jarang Kadang-
kadang
Sering Selalu Ket
A2 Apakah dalam melakukan
pekerjaan Bapak/Ibu selalu
duduk?
A3 Apakah dalam melakukan
pekerjaan Bapak/Ibu selalu
berdiri?
A4 Apakah dalam melakukan
pekerjaan bapak/Ibu selalu
berjalan?
A5 Apakah dalam melakukan
pekerjaan Bapak/Ibu
mengangkat beban berat?
A6 Apakah setelah melakukan
pekerjaan Bapak/Ibbu
merasa lelah
A7 Apakah setelah melakukan
pekerjaan Bapak/Ibu
berkeringat?
No Pertanyaan Sangat
ringan
Ringan Sedang Berat Sangat
berat
Ket
A8 Dibandingkan dengan orang
lain yang seusia Bapak/Ibu,
Bagaimanakah pekerjaan
fisik Bapak/Ibu?
B. Indeks Waktu Olahraga
B1. Apakah secara rutin Bapak/Ibu melakukan olahraga
1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no.B3)
B2. 1. Apa olahraga pertama yang paling sering Bapak/Ibu lakukan ?
a. Intensitas rendah (jalan kaki, billiard, bowling, golf)
b. Intensias sedang (badminton, bersepeda, menari, berenang, tenis, senan,
jogging)
c. Intensitas tinggi (tinju, basket, voli, sepak bola)
2. Apa olahraga kedua yang paling sering Bapak/Ibu lakukan ?
a. Intensitas rendah (jalan kaki, billiard, bowling, golf)
b. Intensias sedang (badminton, bersepeda, menari, berenang, tenis, senan,
jogging)
c. Intensitas tinggi (tinju, basket, voli, sepak bola)
No Pertanyaan < 1
jam
1-2
jam
2-3
jam
3-4
jam
>4
jam
Ket
Untuk jenis Olahraga pertama
yang paling sering dilakukan.
Berapa jam Bapak/Ibu
berolahraga dalam seminggu?
Untuk jenis Olahraga kedua yang
paling sering dilakukan. Berapa
jam Bapak/Ibu berolahraga dalam
seminggu?
No Pertanyaan < 1
bulan
1-3
bulan
4-6
bulan
7-9
bulan
>9
bulan
Ket
Untuk olahraga pertama yang
paling sering dilakukan. Berapa
bulan Bapak/Ibu berolahraga
dalam setahun?
Untuk jenis Olahraga kedua yang
paling sering dilakukan. Berapa
bulan Bapak/Ibu dalam setahun?
No Pertanyaan Tidak
pernah
Jarang Kadang-
kadang
Sering Sangat
sering
Ket
B3 Apakah disaat waktu luang
Bapak/ibu berkeringat?
B4 Apakah disaat waktu luang
Bapak/ibu melakukan
olahraga?
No Pertanyaan Jauh
lebih
sedikit
Lebih
sedikit
Sama Lebih
banyak
Jauh
lebih
banyak
Ket
B5 Dibandingkan dengan
orang lain yang seusia
Bapak/Ibu, Bagaimana
aktivitas yang dilakukan
Bapak/Ibu saat waktu
luang?
C. Indeks Waktu Luang
No Pertanyaan Tidak
pernah
Jarang Kadang
-kadang
Sangat
ringan
Sering Ket
C1 Apakah Bapak/Ibu
menontin TV disaat
waktu luang?
C2 Apakah Bapak/ibu
bersepeda disaat waktu
luang?
C3 Apakah Bapak/Ibu
bersepeda disaat waktu
luang?
No Pertanyaan <5
menit
5-15
menit
16-30
menit
31-45
menit
>45
menit
Ket
C4 Berapa menit Bapak/Ibu
pergi ke tempat
kerja/pasar dengan
berjalan kaki/bersepeda?
Formulir Food Frekuensi Makanan
No Jenis Makanan ….. per
Hari
….. per
minggu
…… per
bulan
Tidak
Pernah
Jumlah yang dikonsumsi
Ukuran Rumah
tangga (URT)
Berat (gram)
1. Tepung susu skim
2. Susu skim
3. Tepung susu
4. Keju
5. Susu sapi segar
6. Yogurt
7. Susu kental manis
8. Susu kental tidak manis
9. Susu kerbau
10. Es krim
11. Mentega
12. Susu kambing
13. Sarden kaleng
14. Tempe kedelai
15. Tahu
16. Oncom
17. Udang kering
18. Udang segar
19. Teri kering tawar
20. Bayam
21. Kacang ijo
22. Kacang panjang
23. Mujair goreng
24. Telur ayam
25. Telur asin
26. Sawi
27. Daung singkong
28. Kangkung
29. Kacang merah
30. Kacang tanah
Hasil Analisis Univariat
Statistics
Bone Mineral
Density
Jenis Kelamin Nutrisi Aktivitas Fisik Perilaku
Merokok
Konsumsi
Alkohol
N Valid 110 110 110 110 110 110
Missing 0 0 0 0 0 0
Mean 1.92 1.11 .22 1.50 .09 .01
Median 2.00 1.00 .00 2.00 .00 .00
Std. Deviation .275 .313 .415 .538 .289 .095
Variance .076 .098 .172 .289 .083 .009
Range 1 1 1 2 1 1
Minimum 1 1 0 0 0 0
Maximum 2 2 1 2 1 1
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Perempuan 98 89.1 89.1 89.1
Laki-laki 12 10.9 10.9 100.0
Total 110 100.0 100.0
Status Menopause
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Sudah Menopause 55 56.1 56.1 56.1
Belum Menopause 43 43.9 43.9 100.0
Total 98 100.0 100.0
Nutrisi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
kurang 86 78.2 78.2 78.2
cukup 24 21.8 21.8 100.0
Total 110 100.0 100.0
Aktivitas Fisik
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Ringan 2 1.8 1.8 1.8
Sedang 51 46.4 46.4 48.2
Berat 57 51.8 51.8 100.0
Total 110 100.0 100.0
Perilaku Merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak Merokok 100 90.9 90.9 90.9
Merokok 10 9.1 9.1 100.0
Total 110 100.0 100.0
Konsumsi Alkohol
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak Mengkonsumsi
Alkohol
110 100.0 100.0 100.0
Bone Mineral Density
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Normal 9 8.2 8.2 8.2
Tidak Normal 101 91.8 91.8 100.0
Total 110 100.0 100.0
Bone Mineral Density
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
normal 9 8.2 8.2 8.2
osteopenia 57 51.8 51.8 60.0
Osteoporosis 44 40.0 40.0 100.0
Total 110 100.0 100.0
Jenis Kelamin * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
normal osteopenia Osteoporosis
Jenis Kelamin
Perempuan
Count 9 50 39 98
% within Jenis
Kelamin
9.2% 51.0% 39.8% 100.0%
Laki-laki
Count 0 7 5 12
% within Jenis
Kelamin
0.0% 58.3% 41.7% 100.0%
Total
Count 9 57 44 110
% within Jenis
Kelamin
8.2% 51.8% 40.0% 100.0%
Status Menopause * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
Normal Osteopenia Osteoporosis
Status Menopause
Sudah Menopause
Count 2 24 29 55
% within Status
Menopause
3.6% 43.6% 52.7% 100.0%
Belum Menopause
Count 7 26 10 43
% within Status
Menopause
16.3% 60.5% 23.3% 100.0%
Total
Count 9 50 39 98
% within Status
Menopause
9.2% 51.0% 39.8% 100.0%
Nutrisi * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
normal osteopenia Osteoporosis
Nutrisi
kurang Count 5 46 35 86
% within Nutrisi 5.8% 53.5% 40.7% 100.0%
cukup Count 4 11 9 24
% within Nutrisi 16.7% 45.8% 37.5% 100.0%
Total Count 9 57 44 110
% within Nutrisi 8.2% 51.8% 40.0% 100.0%
Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
normal osteopenia Osteoporosis
Aktivitas Fisik
Rendah Count 0 2 0 2
% within Aktivitas Fisik 0.0% 100.0% 0.0% 100.0%
Sedang Count 4 27 20 51
% within Aktivitas Fisik 7.8% 52.9% 39.2% 100.0%
Berat Count 5 28 24 57
% within Aktivitas Fisik 8.8% 49.1% 42.1% 100.0%
Total Count 9 57 44 110
% within Aktivitas Fisik 8.2% 51.8% 40.0% 100.0%
Perilaku Merokok * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
normal osteopenia Osteoporosis
Perilaku Merokok
Tidak Merokok
Count 9 52 39 100
% within Perilaku
Merokok
9.0% 52.0% 39.0% 100.0%
Merokok
Count 0 5 5 10
% within Perilaku
Merokok
0.0% 50.0% 50.0% 100.0%
Total
Count 9 57 44 110
% within Perilaku
Merokok
8.2% 51.8% 40.0% 100.0%
Konsumsi Alkohol * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
normal osteopenia Osteoporosis
Konsumsi Alkohol Tidak Mengkonsumsi Alkohol
Count 9 57 44 110
% within
Konsums
i Alkohol
8.2% 51.8% 40.0% 100.0
%
Total
Count 9 57 44 110
% within
Konsums
i Alkohol
8.2% 51.8% 40.0% 100.0
%
Hasil Analisis Bivariat
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Kelamin * Bone
Mineral Density
110 100.0% 0 0.0% 110 100.0%
Jenis Kelamin * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
Normal Tidak Normal
Jenis Kelamin
Perempuan Count 9 89 98
% within Jenis Kelamin 9.2% 90.8% 100.0%
Laki-laki Count 0 12 12
% within Jenis Kelamin 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 9 101 110
% within Jenis Kelamin 8.2% 91.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.200a 1 .273
Continuity Correctionb .289 1 .591
Likelihood Ratio 2.175 1 .140
Fisher's Exact Test .593 .339
Linear-by-Linear Association 1.189 1 .275
N of Valid Cases 110
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .98.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
.908 .853 .967
110
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Menopause * Bone
Mineral Density
98 100.0% 0 0.0% 98 100.0%
Status Menopause * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
Normal Tidak Normal
Status Menopause
Sudah Menopause
Count 2 53 55
% within Bone Mineral
Density
22.2% 59.6% 56.1%
Belum Menopause
Count 7 36 43
% within Bone Mineral
Density
77.8% 40.4% 43.9%
Total
Count 9 89 98
% within Bone Mineral
Density
100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
1 .032
1 .072
1 .030
.040 .036
1 .032
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.95.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status
Menopause (Sudah
Menopause / Belum
Menopause)
.194 .038 .988
For cohort Bone Mineral
Density = Normal
.223 .049 1.021
For cohort Bone Mineral
Density = Tidak Normal
1.151 .999 1.326
N of Valid Cases 98
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Nutrisi * Bone Mineral
Density
110 100.0% 0 0.0% 110 100.0%
Nutrisi * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
Normal Tidak Normal
Nutrisi
kurang
Count 5 81 86
% within Bone Mineral
Density
55.6% 80.2% 78.2%
cukup
Count 4 20 24
% within Bone Mineral
Density
44.4% 19.8% 21.8%
Total
Count 9 101 110
% within Bone Mineral
Density
100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.942a 1 .086
Continuity Correctionb 1.675 1 .196
Likelihood Ratio 2.522 1 .112
Fisher's Exact Test .102 .102
Linear-by-Linear Association 2.915 1 .088
N of Valid Cases 110
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.96.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Nutrisi
(kurang / cukup)
.309 .076 1.255
For cohort Bone Mineral
Density = Normal
.349 .102 1.199
For cohort Bone Mineral
Density = Tidak Normal
1.130 .938 1.362
N of Valid Cases 110
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Aktivitas Fisik * Bone
Mineral Density
110 100.0% 0 0.0% 110 100.0%
Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
Normal Tidak Normal
Aktivitas Fisik
Ringan Count 0 2 2
% within Aktivitas Fisik 0.0% 100.0% 100.0%
Sedang Count 4 47 51
% within Aktivitas Fisik 7.8% 92.2% 100.0%
Berat Count 5 52 57
% within Aktivitas Fisik 8.8% 91.2% 100.0%
Total Count 9 101 110
% within Aktivitas Fisik 8.2% 91.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .212a 2 .899
Likelihood Ratio .375 2 .829
Linear-by-Linear Association .105 1 .746
N of Valid Cases 110
a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is .16.
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Perilaku Merokok * Bone
Mineral Density
110 100.0% 0 0.0% 110 100.0%
Perilaku Merokok * Bone Mineral Density Crosstabulation
Bone Mineral Density Total
Normal Tidak Normal
Perilaku Merokok
Tidak Merokok Count 9 91 100
% within Perilaku Merokok 9.0% 91.0% 100.0%
Merokok Count 0 10 10
% within Perilaku Merokok 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 9 101 110
% within Perilaku Merokok 8.2% 91.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .980a 1 .322
Continuity Correctionb .148 1 .700
Likelihood Ratio 1.794 1 .180
Fisher's Exact Test 1.000 .410
Linear-by-Linear Association .971 1 .324
N of Valid Cases 110
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .82.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort Bone Mineral
Density = Tidak Normal
.910 .856 .968
N of Valid Cases 110