1
EKSTRAKSI BERBANTU GELOMBANG MIKRO UNTUK
PATI DAN POLISAKARIDA LARUT AIR SECARA SIMULTAN DARI TEPUNG
UWI PUTIH (Dioscorea alata) : PENGARUH PROPORSI PELARUT AIR DAN
LAMA PAPARAN
SKRIPSI
Oleh:
FIKRIYATUL HANIFA
135100100111035
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Tugas Akhir : Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro untuk Pati dan
Polisakarida Larut Air secara Simultan dari Tepung Uwi
Putih (Dioscorea Alata) : Pengaruh Proporsi Pelarut Air
dan Lama Paparan
Nama Mahasiswa : Fikriyatul Hanifa
NIM : 135100100111035
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc NIP. 195304 1980002 1 001
Tanggal Persetujuan:
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir : Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro untuk Pati dan
Polisakarida Larut Air secara Simultan dari Tepung Uwi
Putih (Dioscorea Alata) : Pengaruh Proporsi Pelarut Air
dan Lama Paparan
Nama Mahasiswa : Fikriyatul Hanifa
NIM : 135100100111035
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Penguji I, Dosen Penguji II,
Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc Erni Sofia Murtini, S.TP., MP., Ph.D
NIP. 19680223 199303 1 002 NIP. 197310 2020011 2 001
Dosen Penguji III,
Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc
NIP. 195304 1980002 1 001
Ketua Jurusan,
Prof. Dr. Teti Estiasih, S.TP., MP NIP 19701226 200212 2 001
Tanggal Lulus :
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Depok pada tanggal 7
Agustus 1995. Penulis merupakan anak ke 2 dari 5
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah
Dasar di SDIT Darul Abidin Depok pada tahun 2007.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Pertama di SMPIT Darul Abidin Depok dan
lulus pada tahun 2010. Setelah itu penulis melanjutkan
pendidikan di SMAIT Al-Kahfi Bogor dan menyelesaikan
pada tahun 2013. Pada bulan september tahun 2013, penulis melanjutkan
jenjang pendidikannya di Universitas Brawijaya Malang di jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama masa studinya di Universitas Brawijaya, penulis aktif diberbagai
organisasi kampus. Diantaranya sebagai staf magang kementerian Humas di
BEM FTP pada tahun 2013, staf kementerian Infokom di BEM FTP pada tahun
2014, staf divisi Strakominfo di Himalogista pada tahun 2015, Dirjen Informasi
BEM FTP pada tahun 2015, serta menjadi staf ahli Strakominfo di Himalogista
pada tahun 2016. Selain aktif di organisasi, penulis juga aktif di berbagai
kepanitiaan dalam lingkup fakultas maupun universitas. Penulis juga aktif
menjadi pemateri dibidang informasi dan branding dalam beberapa kegiatan,
salah satunya pada Training Organization BEM FTP 2017.
iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Fikriyatul Hanifa
NIM : 135100100111035
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Tugas Akhir : Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro untuk Pati dan
Polisakarida Larut Air secara Simultan dari Tepung
Uwi Putih (Dioscorea Alata) : Pengaruh Proporsi
Pelarut Air dan Lama Paparan
Menyatakan bahwa,
Tugas akhir dengan judul di atas merupakan karya dari penulis tersebut di atas.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia
dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, Agustus 2017
Pembuat Pernyataan,
Fikriyatul Hanifa
NIM 135100100111035
v
Fikriyatul Hanifa. 135100100111035. Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro untuk Pati dan Polisakarida Larut Air secara Simultan dari Tepung Uwi Putih (Dioscorea Alata) : Pengaruh Proporsi Pelarut Air dan Lama Paparan Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Harijono. M.App.Sc.
RINGKASAN
Uwi putih (Dioscorea alata) merupakan tanaman yang banyak di temukan di Indonesia, akan tetapi sangat jarang dimanfaatkan. Uwi putih dapat dijadikan sumber karbohidrat dan serat, selain itu juga berpotensi sebagai sumber polisakarida larut air (PLA). Pati dan PLA banyak digunakan pada industri pangan, akan tetapi ketersediaannya masih sangat terbatas. Sehingga diperlukan suatu cara agar mendapatkan pati dan PLA, yaitu dengan mengekstrak pati dan PLA secara simultan dengan bantuan gelombang mikro. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi lama proses ekstraksi dan rasio bahan terhadap pelarut air yang tepat dalam ekstraksi berbantuan gelombang mikro untuk pati dan PLA secara simultan dari uwi putih.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yang akan diulang sebanyak 2 kali pengulangan. Faktor pertama adalah lama waktu ekstraksi (T) yang terdiri dari 3 level (5 menit, 10 menit, dan 15 menit). Sedangkan faktor kedua adalah rasio bahan dengan pelarut (b/v) (R) yang juga terdiri dari 3 level (1:10; 1:15; 1:20). Data yang diperoleh dianalisa menggunakan Analysis of Varian (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan yang nyata maka analisa dilanjutkan dengan uji DMRT atau BNT dengan selang kepercayaan 95%. Pemilihan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Multiple Attribute (Zeleny).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata (α= 0,05) terhadap kadar dan rendemen protein pada fraksi supernatan, kadar dan rendemen pati pada fraksi supernatan dan endapan, rendemen ekstrak kasar PLA, serta kadar air dan rendemen pati kasar.
Tujuan penelitian dapat dicapai karena terdapat kombinasi perlakuan yang terbaik. Kondisi yang tepat untuk ekstraksi berbantu gelombang mikro untuk pati dan PLA secara simultan dari uwi putih yaitu dengan rasio bahan terhadap pelarut sebesar 1:15 dan lama waktu 15 menit. Hasil perlakuan terbaik tersebut menghasilkan rendemen ekstrak kasar PLA dan ekstrak kasar pati masing-masing sebesar 8,91% dan 17,86 %. Kandungan serat kasar dan serat pangan pada ekstrak kasar PLA masing-masing sebesar 1,545% dan 13,22% serat pangan, sedangkan ekstrak kasar pati berkadar serat kasar 5,420% dan serat pangan sebesar 0,625%. Ekstrak kasar PLA memiliki kadar protein sebesar 5,59%, kadar pati 0,48% dan ekstrak kasar pati memiliki kadar protein sebesar 0,62%, kadar pati 26,24%.
Kata Kunci: Ekstraksi simultan, Gelombang Mikro, Pati, Polisakarida Larut Air, Uwi Putih
vi
Fikriyatul Hanifa. 135100100111035. A Simultaneous Microwaved-Assisted Extraction of Starch and Water-Soluble Polysaccharide from Water Yam (Dioscorea alata) Flour : the Effect of Water Proportion and Time of Exposure. Thesis. Supervisor: Prof. Dr. Ir. Harijono. M.App.Sc.
SUMMARY
Water yam (Dioscorea alata) is a plant that can be easily found in
Indonesia, but it still very rarely used. Water yam can be used as a source of
carbohydrate and fiber and it also potential as a water soluble polysaccharide
source. The demand of starch and water-soluble polysaccharide especially in
food industries is high. However, its availability is still very limited so it requires to
extracting starch and water soluble polysaccharide simultaneously. One of its
ways is using microwaves to assist the extraction of starch and water soluble
polysaccharide. The purposes of this study are to obtain the time condition of
extraction process and the appropriate ratio of material to water as solvent using
microwave assisted extraction for starch and water soluble polysaccharide of
water yam.
This study uses Randomize Complete Design with two factors which will
be repeated twice. The first factor is extraction times (T) consisting of 3 levels (5
minute, 10 minute, 15 minute) and the second factor is the ratio of material and
solvent (w/v) (R) consisting 3 levels (1:10; 1:15; 1:20). The data are analyzed by
Analysis of Varian (ANOVA) and if there is a real difference so it will continue with
BNT or DMRT test with 95% confidence interval. The multiple attribute (Zeleny)
method was used to select the best treatment.
Based on the research experiment, it has been proven that both of the
factors give significant effect (α= 0,05) to the content and yield of protein in
supernatant fraction, content and yield of starch in supernatant and sediment
fraction, yield of crude water-soluble polysaccharide extract, water content, and
yield of crude starch extract.
The purpose of the study can be achieved because there is a combination
of the best treatment. The best treatment of microwave assisted extraction is
obtained from the combination of 15 minutes for time extraction and 1:15 (w/v)
solvent ratio. The best result of the treatment resulted yield of crude water-
soluble polysaccharide extract and crude starch extract respectively by 8,91%
and 17,86%. The content of crude fiber and dietary fiber in the crude water-
soluble polysaccharide extract were 1,545% and 13,22%, while the crude starch
extract has 5,42% crude fiber and 0,625% dietary fiber. Crude water-soluble
polysaccharide extract has 5,59% proteins, 0,48% starch and crude starch
extract has 0,62% proteins, and 26,24% starch.
Keywords: Microwaves, Simultaneous Extraction, Starch, Water-soluble Polysaccharide, Water Yam
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan anugerah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ekstraksi Berbantu
Gelombang Mikro untuk Pati dan Polisakarida Larut Air secara Simultan dari
Tepung Uwi Putih (Dioscorea Alata) : Pengaruh Proporsi Pelarut Air dan Lama
Paparan” dengan baik. Sehubungan dengan penyelesaian skripsi ini, penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan segenap keluarga atas doa dan dukungannya baik
moril maupun materil
2. Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan ilmu, arahan, dukungan, dan bimbingannya selama
pengerjaan skripsi ini
3. Sahabat-sahabat semasa kuliah Lavenia Yuanita, Widhianti Nila
Pangestu, Khairunnisa Nurdiani, dan Yuniar Rahmaningtyas yang setia
menemani dan menghibur penulis semasa penulisan skripsi ini
4. Pusparani Triandara dan Widhianti Nila Pangestu selaku partner dalam
pengerjaan skripsi ini, dimulai dari awal sampai akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan masih perlu penyempurnaan, sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.
Malang, 23 Juli 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................... i
LMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................................................... iv
RINGKASAN ............................................................................................................ v
SUMMARY .............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................viii
DAFTAR TABEL...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................3
1.4 Manfaat...............................................................................................................3
1.5 Hipotesis.............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4
2.1 Uwi Putih (Dioscorea alata) ...............................................................................4
2.2 Polisakarida ........................................................................................................6
2.2.1 Pati ......................................................................................................7
2.2.2 Polisakarida Larut Air (PLA) ...............................................................9
2.3 Ekstraksi ...........................................................................................................10
2.4 Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro .............................................................14
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro....15
2.6 Sentrifugasi ......................................................................................................18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................21
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan.....................................................................21
3.2 Alat dan Bahan.................................................................................................21
3.2.1 Alat ....................................................................................................21
3.2.2 Bahan ................................................................................................22
3.3 Rancangan Percobaan ....................................................................................22
3.4 Pelaksanaan Penelitian ...................................................................................23
3.4.1 Penelitian Pendahuluan ...................................................................23
ix
3.4.2 Proses Pembuatan Tepung Uwi Putih .............................................24
3.4.3 Ekstraksi Simultan Pati dan Polisakarida Larut Air dari Tepung
Uwi Putih Berbantu Gelombang Mikro .............................................24
3.4.4 Analisa Tepung Uwi Putih.................................................................25
3.4.5 Analisa Endapan ...............................................................................25
3.4.6 Analisa Supernatan...........................................................................26
3.5 Analisa Data .....................................................................................................26
3.6 Diagram Alir Penelitian ....................................................................................27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................29
4.1 Karakteristik Bahan Baku.................................................................................29
4.2 Kadar dan Rendemen Protein dalam Fraksi Supernatan dan
Fraksi Endapan ...............................................................................................30
4.3 Kadar dan Rendemen Pati dalam Fraksi Supernatan dan Fraksi
Endapan ..........................................................................................................34
4.4 Rendemen Ekstrak Kasar PLA ........................................................................39
4.5 Kadar Air dan Rendemen Pati Kasar ..............................................................40
4.6 Pemilihan Perlakuan Terbaik ...........................................................................42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................45
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................46
LAMPIRAN.............................................................................................................54
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Umbi Uwi .....................................................................5
Tabel 3.1 Perlakuan Pada Ekstraksi Simultan Pati dan PLA Berbantuan
Gelombang Mikro pada Tepung Uwi Putih ...........................................23
Tabel 4.1 Hasil Analisa Bahan Baku Ekstraksi Pati dan PLA dari Uwi Putih .......29
Tabel 4.2 Perbandingan Kadar dan Rendemen Protein dalam Fraksi
Supernatan dan Fraksi Endapan ..........................................................30
Tabel 4.3 Rerata Kadar dan Rendemen Protein Endapan Ekstrak Protein dan
PLA dari Uwi Putih dengan Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut ...............32
Tabel 4.4 Rerata Kadar dan Rendemen Protein Endapan Hasil Ekstraksi
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih dengan Pengaruh Lama Waktu
Ekstraksi ...............................................................................................33
Tabel 4.5 Perbandingan Kadar dan Rendemen Pati dalam Fraksi Supernatan
dan Fraksi Endapan ..............................................................................34
Tabel 4.6 Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut terhadap Kadar dan Rendemen Pati
Supernatan Ekstrak Uwi Putih dengan Pelarut Air ..............................35
Tabel 4.7 Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi terhadap Kadar dan Rendemen Pati
Ekstrak Uwi Putih dengan Pelarut Air ..................................................36
Tabel 4.8 Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut dan Lama Waktu Ekstraksi terhadap
Kadar Pati Endapan Ekstrak Uwi Putih dengan Pelarut Air ................37
Tabel 4.9 Rerata Rendemen Pati Endapan Ekstrak dari Uwi Putih dengan
Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut Air ......................................................38
Tabel 4.10 Rerata Rendemen Pati Endapan Ekstrak dari Uwi Putih dengan
Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi .........................................................38
Tabel 4.11 Rerata Rendemen Ekstrak Kasar PLA dari Tepung Uwi dengan
Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut Air ......................................................39
Tabel 4.12 Rerata Rendemen Ekstrak Kasar PLA (Supernatan) dari Tepung Uwi
Putih dengan Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi ..................................39
Tabel 4.13 Rerata Kadar Air dan Rendemen Esktrak Pati Kasar (Endapan) dari
Uwi Putih dengan Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut Air .........................41
Tabel 4.14 Rerata Kadar Air dan rendemen Ekstrak Pati Kasar (Endapan) dari
Uwi Putih dengan Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi ...........................41
Tabel 4.15 Hasil Penentuan Perlakuan Terbaik Ekstraksi Simultan Pati dan PLA
dari Uwi Putih ........................................................................................43
xi
Tabel 4.16 Kadar Serat Pangan Serat Kasar pada Hasil Terbaik Ekstrak Kasar
PLA dan Ekstrak Kasar Pati dari Uwi Putih .........................................43
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Uwi Putih (Dioscorea alata) .................................................................................. 6
Gambar 2.2 Struktur Amilosa dan Amilopektin ........................................................................ 8
Gambar 2.3 Alat Sentrifugasi ................................................................................................. 19
Gambar 3.1 Microwave Modifikasi dengan Pompa Vakum dan Kondensor ......................... 21
Gambar 3.2 Uwi Putih yang Berasal dari Pasar Besar ......................................................... 22
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Uwi Putih ...................................................... 27
Gambar 3.4 Diagram Alir Ekstraksi Simultan Pati dan Polisakarida Larut
Air dari Uwi Putih Berbantuan Gelombang Mikro .............................................. 28
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa ................................................................................................ 54
Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Protein Pada Fraksi Supernatan dan Fraksi Endapan 59
Lampiran 3. Data Hasil Analisa Kadar Protein Supernatan Ekstrak
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih Berbantuan
Gelombang Mikro (%)......................................................................................... 61
Lampiran 4. Data Hasil Analisa Rendemen Protein Supernatan
Ekstrak Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih
Berbantuan Gelombang Mikro (%) .................................................................. 62
Lampiran 5. Data Hasil Analisa Kadar Protein Endapan Ekstrak
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih Berbantuan
Gelombang Mikro (%) ...................................................................................... 63
Lampiran 6. Data Hasil Analisa Rendemen Protein (Pengotor)
Endapan Ekstrak Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih Berbantuan
Gelombang Mikro (%) ...................................................................................... 64
Lampiran 7. Perhitungan Rendemen Pati Pada Fraksi Supernatan
dan Fraksi Endapan ........................................................................................ 65
Lampiran 8. Data Hasil Analisa Kadar Pati Supernatan Ekstrak
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih Berbantuan
Gelombang Mikro (%) ...................................................................................... 67 Lampiran 9. Data Hasil Analisa Rendemen Pati (Pengotor)
Supernatan Ekstrak Simultan Pati dan PLA dari
Uwi Putih Berbantuan Gelombang Mikro (%) ................................................. 68
Lampiran 10. Data Hasil Analisa Kadar Pati Endapan Ekstrak
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih Berbantuan
Gelombang Mikro (%) ...................................................................................... 69
Lampiran 11. Data Hasil Analisa Rendemen Ekstrak Pati
Endapan dari Uwi Putih Berbantuan Gelombang
Mikro (%) .......................................................................................................... 70
Lampiran 12. Data Hasil Analisa Rendemen Ekstrak PLA Kasar
dari Tepung Uwi Putih Berbantuan Gelombang
Mikro (%) .......................................................................................................... 71
Lampiran 13. Data Hasil Analisa Kadar Air Endapan Ekstrak
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih Berbantuan
Gelombang Mikro (%) ...................................................................................... 72
Lampiran 14. Data Hasil Analisa Rendemen Ekstrak Pati Kasar
xiv
dari Uwi Putih Berbantuan Gelombang Mikro (%) .......................................... 73
Lampiran 15. Data Analisis Penentuan Perlakuan Terbaik Metode
Zeleny............................................................................................................... 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan akan penggunaan polisakarida larut air (PLA) pada industri-
industri pangan di Indonesia sangat tinggi, dapat dilihat pada tahun 2000
Indonesia mengimpor bahan tambahan makanan berupa gum sebesar 3.095
ton/tahun (Herlina dan Wiwik, 2010). Selain itu kebutuhan akan pati termodifikasi
juga cukup besar, tercatat pada tahun 2006 Indonesia mengimport 283.046 ton
produk pati termodifikasi (Deptan, 2005). Melihat tingginya kebutuhan dan
banyaknya industri yang menggunakan PLA ataupun pati sehingga perlu dicari
cara untuk mendapatkan PLA dan juga pati dari tanaman yang berasal dari
Indonesia. Dioscorea sp. atau yang biasa disebut dengan tanaman uwi-uwian
merupakan tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia dan mengandung
karbohidrat serta serat sebesar 80% dan 9,37% (Udensi et al, 2008), sehingga
berpotensi sebagai sumber polisakarida larut air (PLA) maupun pati.
Ekstraksi PLA dari gembili menggunakan 3 metode: maserasi
menggunakan air, enzim papain, dan ragi tempe, telah dilaporkan oleh Harijono
dkk. (2012), serta penggunaan air dan koagulasi dengan etanol oleh Herlina dan
Wiwik (2010), dan dari umbi gadung oleh Rahmawati (2010) dan Hartati (2010).
Ekstraksi menggunakan metode maserasi membutuhkan waktu yang lama yaitu
berkisar 3 jam, 4 jam, bahkan ada yang sampai 12 jam (Diniyah dkk., 2013 ;
Widjanarko dkk., 2011 ; Harijono dkk., 2012). Selain itu, metode maserasi juga
membutuhkan pelarut dalam jumlah yang cukup banyak dan ekstraksi kurang
maksimal dikarenakan terdapat beberapa senyawa yang sulit diekstrak pada
suhu kamar (Mukhriani, 2014).
Ekstraksi dengan modifikasi dari metode maserasi, seperti ekstraksi
berbantuan energi gelombang mikro, memerlukan waktu proses yang pendek,
rendemen besar dan kebutuhan pelarut yang lebih sedikit. Suhu, jenis dan
volume pelarut, waktu ekstraksi, ukuran partikel, dan daya alat penghasil
gelombang mikro merupakan variabel proses yang harus diperhatikan.
Nurdjanah dan Usmiati (2006) yang mengekstrak pektin dari kulit labu kuning
menyimpulkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi akan menyebabkan
terjadinya peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel
jaringan semakin meningkat pula. Mereka menggunakan suhu ekstraksi sebesar
30oC, suhu ekstraksi sebaiknya jauh dibawah suhu gelatinisasi dari pati labu
2
karena pada suhu di atas 30oC molekul pati akan banyak menyerap air yang
digunakan sebagai pelarut. Hartati (2010) menunjukkan bahwa semakin lama
ekstraksi maka rendemen yang dihasilkan semakin tinggi pula. Daya microwave
juga menjadi salah satu faktor keberhasilan ekstraksi (Wang et al., 2014). Daya
yang optimal dalam ekstraksi buah piteguo adalah 550 W dan lebih dari itu justru
menurunkan kadar rendemen yang dihasilkan.
Rasio bahan terhadap pelarut yang digunakan juga beragam, mulai dari
1:45 (b/v) untuk ekstraksi pada buah pitego, 1:25 (b/v) pada ekstraksi rumput laut
coklat, dan 1:6 (b/v) untuk ektraksi dari kulit kopi robusta (Wang, dkk., 2014;
Rosa, dkk., 2011; Rahmawati, 2014). Semakin besar rasionya cenderung
dihasilkan rendemen yang sedikit, seperti yang dilaporkan oleh Hartati (2010).
Volume pelarut yang besar akan mengakibatkan terjadinya pembengkakan
berlebih (excessive swelling) pada material yang diekstraksi yang berakibat
timbulnya thermal stress yang berlebih akibat dari penyerapan gelombang mikro
oleh air (Chen et al, 2007; Wang et al, 2010).
Penambahan energi gelombang mikro pada ekstraksi secara maserasi
dapat menyebabkan senyawa yang berada di dalam sel dengan mudah mengalir
ke pelarut karena kecepatan memutuskan sel ataupun jaringan lebih tinggi
(Mandal et al., 2007; Utara et al., 2010). Dengan bantuan gelombang mikro
beberapa jenis bahan juga dapat diekstrak secara bersamaan dengan waktu
yang lebih singkat (Salas, 2010). Ekstraksi berbantu gelombang mikro belum
pernah diaplikasikan untuk mengekstrak pati dan PLA secara simultan dari uwi
putih (Dioscorea alata) sehingga menarik untuk dikaji efektifitasnya.
1.2 Rumusan Masalah
Ekstraksi berbantu gelombang mikro dilaporkan dapat menghasilkan
rendemen yang lebih tinggi dibandingkan metode konvensional seperti maserasi.
Akan tetapi ekstraksi berbantu gelombang mikro ini belum pernah diterapkan
pada proses ekstraksi pati dan PLA secara simultan dari uwi putih. Terdapat
beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari ekstraksi
berbantu gelombang mikro diantaranya adalah lama waktu ekstraksi dan rasio
bahan terhadap pelarut air. Kedua variable proses ini akan dikaji pada penelitian
ini untuk dipelajari pengaruhnya terhadap rendemen dan karakteristik pati dan
PLA diperoleh.
3
1.3 Tujuan Penelitian
Mendapatkan kondisi lama proses ekstraksi dan rasio bahan terhadap
pelarut air yang tepat dalam ekstraksi simultan berbantu gelombang mikro untuk
pati dan PLA dari tepung uwi putih.
1.4 Manfaat
Memberikan informasi mengenai kemungkinan ekstraksi pati dan PLA
secara simultan dari umbi-umbian yang mengandung kedua senyawa tersebut
dengan cara ekstraksi maserasi berbantuan gelombang mikro dan menggunakan
pelarut air.
1.5 Hipotesis
Diduga terdapat kondisi lama proses ekstraksi dan rasio bahan terhadap
pelarut air yang tepat untuk mengekstrak pati dan PLA secara simultan dari
tepung uwi putih berbantu gelombang mikro.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uwi Putih (Dioscorea alata)
Uwi putih (Dioscorea alata) merupakan tumbuhan yang menghasilkan
umbi, hidup semusim dan merambat. Dioscorea alata ini termasuk kedalam ordo
Liliales, famili Dioscoreaceae, genus Dioscorea, dan spesies Dioscorea alata L
(Setyantoro dan Walokosari, 2012). Tanaman uwi-uwian ini juga memiliki
berbagai macam spesies diantaranya adalah Dioscorea bulbifera (huwi
buah), Disocorea nummularia (huwi upas), Dioscorea pentaphylla (huwi
sawut/fibrous yam), Dioscorea pentaphyla, Dioscorea
esculenta (gembili), Disoscorea hispida (gadung), dan beberapa sub spesies
lainnya (Trustinah dan Astanto, 2013). Tanaman ini selain sebagai sumber
karbohidrat dan serat, juga berpotensi sebagai sumber polisakarida larut air
(PLA).
Ubi kelapa atau uwi diperkirakan berasal dari Asia kemudian menyebar
ke Asia Tenggara, India, Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Pasifik. Ubi
kelapa adalah tanaman pangan pokok berpati yang sangat penting dalam
pertanian tropika dan sub tropika karena tanaman ini menunjukkan siklus
pertumbuhan yang kuat. Diantara jenis-jenis Dioscorea yang tumbuh di
Indonesia, ubi kelapa merupakan penghasil umbi yang paling enak dimakan.
Batang ubi kelapa berbentuk bulat dan dapat tumbuh hingga mencapai 3 – 10 m.
Daun ubi kelapa tunggal dan berbentuk jantung. Umbi bulat diliputi rambut akar
yang pendek dan kasar. Panjang ubi kelapa berkisar 15.5 – 27.0 cm dan
berdiameter 5.25 – 10.75 cm (Adicandra dan Estiasih, 2016).
Uwi membentuk umbi di dalam tanah dan juga membentuk umbi pada
batang ketiak daun yang disebut umbi gantung atau bulbil, yang rasanya lebih
enak dibanding umbi tanahnya. Selain untuk dimakan, ubi kelapa dapat juga
sebagai obat tradisional. Komponen tertinggi dalam umbi ialah karbohidrat
kurang lebih seperempat bagian dari berat umbi segar. Sebagian besar
karbohidrat dalam bentuk pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin (Richana
dan Titi, 2004).
Uwi mengandung lendir yang terdiri dari mannan-protein sebesar 5%
yang berpengaruh pada sifat fisiko-kimia. Lendir ini dapat mengikat air sehingga
dapat menghambat pembengkakan granula pati sehingga dapat meningkatkan
5
suhu gelatinisasi (Yeh et al., 2009). Pada saat pembuatan pati, lendir dihilangkan
karena dapat mengganggu pengendapan butiran pati dari uwi. Lendir dapat
digunakan sebagai pengental dan pembentuk gel dalam produk makanan,
karena uwi mengandung protein dan polisakarida larut air yang bersifat sebagai
senyawa penurun tegangan alami (surface active agent) alami sehingga dapat
menggabungkan protein dan polisakarida dalam larutan (Fu et al., 2005).
Komposisi umbi uwi dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Umbi Uwi
Komposisi Jumlah
Kalori 367 kkal
Protein 6,7%
Lemak 0,88%
Karbohidrat 80%
Kalsium 0,06%
Fosfor 0,02%
Besi 0,002%
Vit C 0,03%
Sumber: Udensi et al (2008).
Uwi putih (Dioscorea alata) tumbuh di tanah datar hingga ketinggian 800
m dpl, tetapi dapat juga tumbuh pada ketinggian 2.700 m dpl. Pada musim
kemarau umbinya mengalami masa istirahat. Agar tidak busuk biasanya umbinya
disimpan di tempat kering, atau dibungkus abu. Menjelang musim hujan umbi ini
akan bertunas. Umbi yang telah bertunas digunakan sebagai bibit. Setelah masa
tanam 9-12 bulan, umbinya dapat dipanen (Plantus, 2008). Dioscorea alata
memiliki keragaman bentuk luas dan umumnya berukuran besar sehingga masih
banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional. Zat antigizi di dalam umbi adalah
imbibitor amilase, tanin, dan asam fitat yang dapat didekomposisi oleh panas dan
air (Eprilliati, 2000). Indrastuti et al (2012) melaporkan bahwa perlakuan
perendaman 24 jam dan suhu pengeringan 500C menghasilkan viskositas akhir
yang tinggi dan menghasilkan tepung uwi yang dapat dijadikan bahan pembuat
edible paper yaitu sebagai pengganti tepung beras dalam pembuatan kulit lumpia
basah.
6
Gambar 2.3 Uwi Putih (Dioscorea alata)
(Tiara, 2012)
2.2 Polisakarida
Polisakarida merupakan senyawa karbohidrat kompleks, yang
mengandung lebih dari 60.000 molekul monosakarida. Molekul-molekul
monosakarida tersebut kemudian tersusun membentuk rantai lurus ataupun
bercabang. Pada umumnya, 50% karbohidrat yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan merupakan selulosa. Hal ini dikarenakan selulosa merupakan salah
satu komponen terpenting dalam pembentukan dinding sel tumbuh-tumbuhan
(Nainggolan dan Adimunca, 2005). Polisakarida juga dikenal sebagai karbohidrat
majemuk yang mempunyai susunan kompleks dengan berat molekul yang besar.
Makromolekul ini merupakan polimer monosakarida atau polimer turunan-turunan
monosakarida. Pada pemanasan dengan fenilhidrazin, polisakarida tidak dapat
membentuk osazon. Monomer polisakarida terdapat dalam bentuk piranosa dan
furanosa (Sumardjo, 2009).
Polisakarida adalah ikatan dari beberapa gula sederhana yang
dihubungkan dalam ikatan glikosida. Oligosakarida merupakan polisakarida yang
sederhana dimana mengandung beberapa satuan gula, namun demikian antara
oligosakarida dan polisakarida tak ada batas yang tegas. Polisakarida meliputi
pati, selulosa dan dekstrin, merupakan substan yang amorph sebagian besar tak
larut dalam air dan tak berasa mempunyai perumusan (C6H10O5)n.H2O atau (C-
5H8O4)n.H2O, dimana n sangat besar (Sastrohamidjojo, 2005).
Pada umumnya polisakarida memiliki molekul yang lebih besar dan
kompleks daripada mono dan oligosakarida. Polisakarida yang terdiri atas satu
macam monosakarida saja disebut homopolisakarida, sedangkan yang
mengandung senyawa lain disebut heteropolisakarida. Polisakarida merupakan
senyawa berwarna putih dan tidak berbentuk kristal, tidak mempunyai rasa manis
7
dan tidak mempunyai sifat mereduksi. Beberapa karbohidrat yang penting antara
lain adalah amilum, glikogen, dekstrin, dan selulosa (Muhaimin, 2008).
Diantara banyak polisakarida yang terdapat di alam, ada yang struktur
kimianya mengandung nitrogen, tetapi ada juga yang struktur kimianya tidak
mengandung nitrogen. Berdasarkan monosakarida penyusunnya, polisakarida
yang tidak mengandung nitrogen dapat dibedakan menjadi pentosan dan
heksosan. Polisakarida yang mengandung nitrogen sering disebut polisakarida
campuran sebab umumnya termasuk heteropolisakarida (Sumardjo, 2009).
Pada makhluk hidup, polisakarida berperan sebagai bahan makanan,
terutama sebagai bahan makanan pembentuk energi. Polisakarida yang
berfungsi sebagai bahan makanan disebut polisakarida nutrisi, misalnya amilum
dan glikogen. Selain itu, polisakarida juga dapat berperan sebagai pelindung sel-
sel organisme atau sebagai bahan kerangka penunjang jaringan tubuh
(Sumardjo, 2009). Menurut Schmid dan Labuza (2002) pada polisakarida
terdapat pati dan juga polisakarida non pati, yang termasuk pada polisakarida
non pati adalah selulosa, hemiselulosa, β-glukan, serat makanan, pektin, gum,
dan mucilage.
2.2.1 Pati
Pati merupakan karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin.
Amilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4) unit glukosa yang
memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu 102-104 unit glukosa.
Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-(1,4) unit glukosa yang memiliki
percabangan α-(1,6) unit glukosa dengan derajat polimerisasi yang lebih besar
yaitu 104-105 unit glukosa. Bagian percabangan amilopektin terdiri dari α-D-
glukosa dengan derajat polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa (Kusnandar,
2011). Pada umumnya granula pati mengandung komponen amilosa lebih
rendah dibandingkan kandungan amilopektinnya. Persentase amilosa biasanya
berkisar antara 18% hingga 28%. Bentuk granula pati seperti kristalin, padat,
tidak larut air, dan sedikit terhidrasi (Peroni et al., 2006). Dibawah ini merupakan
struktur dari amilosa dan amilopektin.
8
Gambar 2.4 Struktur Amilosa dan Amilopektin
(Martinez et al, 2004)
Amilosa merupakan bagian dari rantai lurus yang dapat memutar dan
membentuk daerah sulur ganda. Pada permukaan luar amilosa yang bersulur
tunggal terdapat hidrogen yang berikatan dengan atom O- 2 dan O-6 (Chaplin,
2002). Amilosa mampu membentuk gel setelah granula pati dimasak, yaitu
terjadinya gelatinisasi dan pasta. Sifat ini sangat jelas terjadi pada pati yang
mengandung amilosa. Pati yang mengandung amilosa tinggi biasanya digunakan
sebagai pembentuk gel. Bila pasta pati tersebut mendingin, energi kinetik tidak
lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk
bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta
berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan
demikian mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi
semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses
kristalisasi kemali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi
(Winarno, 2002).
Menurut Krzyzaniak et al (2003), amilopektin merupakan percabangan
karbohidrat yang memiliki berat molekul 105 – 108. Dalam satu cabang yang ada
pada ikatan α-1,6-D-glukosaterdiri dari sekitar 20-25 unit ikatan 1,4-G-glukosa.
Jumlah dari masing-masing fraksi tersebut tergantung pada sumber tanaman dan
kondisi tempat tumbuhnya. Dalam struktur granula pati, posisi amilosa dan
amilopektin berada dalam suatu cincin-cincin dengan jumlah cincin sekitar 16
buah dalam suatu granula pati. Cincin-cincin dalam suatu granula pati tersebut
9
terdiri atas lapisan-lapisan yaitu cincin lapisan amorf dan cincin lapisan
semikristal (Hustiany, 2006).
Amilosa dan amilopektin berperan dalam menentukan karakteristik fisik,
kimia dan fungsional pati. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena
kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003).
Menurut Chaplin (2002), proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber
pati berbeda-beda demikian juga dengan bentuk dan ukuran granula yang
disusunnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan amilosa. Kandungan amilosa pada kebanyakan
sumber pati biasanya berkisar antara 20-30% dan amilopektin 70-80%. Adanya
perbedaan karakteristik granula pati akan sangat berpengaruh pada sifat fisik,
sifat kimia dan sifat fungsional pati. Viskositas, ketahanan terhadap pengadukan,
gelatinisasi, pembentukan tekstur, kelarutan pengental, kestabilan gel, cold
swelling dan retrogradasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin serta
ukuran granula pati.
Bagian daging umbi dan lendir pada uwi putih juga mengandung banyak
pati yang dapat dijadikan sumber karbohidrat untuk pasokan energi bagi
manusia. Pati juga sering dimanfaatkan dalam industri pangan sebagai
biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat
diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007).
2.2.2 Polisakarida Larut Air (PLA)
Polisakarida Larut Air (PLA) merupakan serat pangan larut air yang
didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara
enzimatis menjadi sub unit-sub unit yang dapat diserap di lambung dan usus
halus. PLA biasanya juga disebut hidrokoloid, pada industri makanan PLA
digunakan untuk mencapai kualitas yang diharapkan dalam hal viskositas,
stabilitas, tekstur, dan penampilan. PLA adalah hasil kondensasi dari
monosakarida (pentosa dan heksosa) dan asam organik yang terbentuk dari
gula-gula reduksi. Jika PLA dihidrolisis akan menghasikan bermacam macam
monosakarida antara lain rhamonosa, fruktosa (metil pentosa), arabinosa, D-
glukosa, D-mannosa, D-galaktosa, asam D-galakturonat atau asam D-glikoronat
(Tensiska, 2008).
Polisakarida larut air (PLA) merupakan prebiotik yang berfungsi untuk
kesehatan pencernaan. PLA termasuk ke dalam golongan oligosakarida yang
tersusun oleh inulin. Inulin ini berfungsi untuk melancarkan proses pencernaan di
10
dalam tubuh dan meningkatkan kesehatan usus sehingga membantu
penyerapan kadar gula darah secara optimal (Lingga, 2010).
Sifat Polisakarida Larut Air (PLA) yang kental dan membentuk gel dapat
menghambat penyerapan makronutrien dan menurunkan respon glukosa
(Weickert dan Pfeiffer, 2008). Fermentasi PLA dikolon akan menghasilkan asam
lemak rantai pendek seperti asam asetat, propionat, dan butirat. Asam lemak
rantai pendek seperti butirat ternyata dapat memacu apotosis sel kanker kolon,
peningkatan produksi asam lemak rantai pendek menguntungkan karena dapat
menurunkan produksi glukosa oleh hati (Lunn dan Burttriss, 2007).
Pada polisakarida larut air misalnya pektin, β-glukan, dan gum dan
beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat
membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini
serat larut dapat menunda pengosongan makanan dari lambung, menghambat
pencampuran isi saluran cerna dengan enzim pencernaan yang menyebabkan
terjadinya pengurangan penyerapan zat makanan di bagian proksimal.
Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan
(absorbsi) asam amino dan asam lemak oleh serat larut air (Saputro dan
Estiasih, 2015).
Dioscorea alata mengandung mucilage kental yang terdiri dari larutan
glikoprotein, dietary fiber, dan diosgenin yang dapat mengatur metabolisme
lemak. Glikoprotein dan polisakarida pada uwi putih merupakan bahan bioaktif
yang berfungsi sebagai serat pangan larut air dan bersifat hidrokoloid yang
bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa didalam darah dan kadar total
kolestrol, terutama kolestrol LDL (Low Density Lipoprotein) (Trustinah dan
Astanto, 2013). Pada industri pangan PLA dapat dimanfaatkan sebagai food
ingridient, antara lain sebagai bahan pengikat air, pembentuk gel, pembentuk
tekstur, sebagai bahan pengental, dan dapat juga dijadikan bahan untuk
menstabilkan emulsi (Herlina dan Wiwik, 2010).
2.3 Ekstraksi
Pada pembuatan polisakarida larut air dilakukan metode ekstraksi.
Ekstraksi merupakan metode pemisahan berdasarkan perbedaan koefisien
distribusi zat terlarut dalam 2 larutan yang berbeda fasa dan tidak saling
bercampur. Ekstraksi dilakukan dengan beberapa pertimbangan faktor, yaitu
kemudahan dan kecepatan proses, kemurnian produk yang tinggi dan efektivitas
11
serta selektivitas yang tinggi. Ekstraksi tidak melibatkan perubahan fasa
sehingga tidak membutuhkan energi (Gozan, 2006).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa
aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara
ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan RI, 2000). Struktur kimia yang
berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa
tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat
keasaman, oleh karena itu perlu diketahuinya jenis senyawa yang terkandung
dalam sumber antimikroba agar mempermudah pemilihan pelarut dan metode
ekstraksi yang tepat (Mawaddah, 2008)
Adapun jenis-jenis metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode yang paling sederhana dan banyak
digunakan. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan
pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar.
Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses
ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan (Mukhriani, 2014).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), maserasi bertujuan untuk
menarik zat-zat dari dalam bahan baik yang tahan terhadap pemanasan ataupun
yang tidak tahan terhadap pemanasan. Secara teknologi maserasi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi dapat dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada suhu ruang.
Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak
waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa
senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi
pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat menghindari
rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).
12
2. Perkolasi
Perkolasi merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel
sehingga pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut.
Efektivitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang
sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Keuntungan dari metode ini
adalah tidak diperlukannya proses pemisahan ekstrak sampel, sedangkan
kerugiannya adalah selama proses tersebut, pelarut menjadi dingin sehingga
tidak melarutkan senyawa dari sampel secara efisien (Darwis, 2000).
Menurut Mukhriani (2014), pada metode perkolasi serbuk sampel
dibasahi secara perlahan dalam sebuah perkolator (wadah silinder yang
dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada
bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah.
Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru.
Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen
maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga
membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu.
Cara perkolasi dianggap lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi
karena aliran pelarut menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi
dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan
derajat perbedaan konsentrasi. Selain itu, ruangan diantara butir-butir serbuk
simplisia membentuk saluran tempat mengalir pelarut. Karena kecilnya saluran
kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas,
sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Departemen Kesehatan
RI, 2000).
3. Sokletasi
Sokletasi merupakan proses ekstraksi yang menggunakan penyarian
berulang dan pemanasan. Penggunaan metode sokletasi adalah dengan cara
memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut
yang sudah membasahi sampel kemudian akan turun menuju labu pemanasan
dan kembali menjadi uap untuk membasahi sampel, sehingga penggunaan
pelarut dapat dihemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi
sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh
panas (Darwis, 2000).
Prinsip ekstraksi metode sokletasi adalah penggunaan panas untuk
menguapkan pelarut agar naik ke atas dan kemudian mengembun membasahi
13
serbuk sampel yang berada di dalam selongsong kertas, sehingga komponen
aktifnya dapat terekstrak. Akan tetapi, jika sampel berupa rempah-rempah yang
dikeringkan atau dipanaskan, maka minyak volatil yang terdapat di dalamnya
dapat menguap sehingga sifat bakteriostatiknya kemungkinan akan hilang
(Mawaddah, 2008).
4. Destilasi Uap
Destilasi uap merupakan suatu metode pemisahan bahan kimia
berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas)
bahan. Proses destilasi uap lebih banyak digunakan untuk senyawa organik yang
tahan terhadap suhu tinggi, yang lebih tinggi dari titik didih pelarut yang
digunakan (Darwis, 2000). Destilasi uap biasanya digunakan untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama
pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang
tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan
kondensor. Kerugian dari metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil
dapat terdegradasi (Seidel, 2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inesticha (2012), ekstraksi
dilakukan dengan air dan dilanjutkan dengan sedimentasi alami, dan didapatkan
hasil berupa ampas, fraksi 1, fraksi 2, dan endapan. Ampas yang dihasilkan
mengandung pati yang cukup tinggi, yaitu sebesar 31,81%. Selain pati, ampas
juga mengandung senyawa-senyawa lain seperti protein, serat, dan lemak.
Kadar protein ampas sebesar 5,23% dan kadar serat kasar nya sebesar 13,56%.
Filtrat yang dihasilkan kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan
4500 rpm selama 20 menit, dan didapatkan hasil berupa endapan dan
supernatan. Inesticha (2012) melakukan penelitian mengenai ekstraksi uwi yang
dilakukan secara sedimentasi, dan didapatkan endapan yang mengandung
protein kasar, serat kasar, pati, dll. Untuk kadar protein kasar yang di dapatkan
sebesar 6,52%, kadar pati sebesar 60,36%, dan kadar serat kasar sebesar
2,88%.
Sedangkan untuk supernatan yang telah di evaporasi diduga
mengandung PLA dan protein. Kurniawan (2016) melakukan ekstraksi uwi,
dimana filtrat yang dihasilkan dilanjutkan dengan sentrifugasi dan evaporasi, dan
didapatkan kandungan protein sebesar 99,07 rpm. Sementara itu, Aldera (2010)
mengekstraksi porang dan didapatkan supernatan hasil sentrifugasi yang
14
memiliki kadar protein sebesar 0,61%-0.96% dan kadar glukomanan sebesar
51,86%-65,46%.
Ekstraksi dilakukan secara bertahap, dimana pada satu kali ekstraksi
dibagi menjadi tiga tahap penambahan pelarut. Pada tahap pertama ekstraksi
dilakukan dengan penambahan 1/3 pelarut dari total pelarut yang dibutuhkan,
kemudian hasil ekstraksi disaring menggunakan kain saring sehingga didapatkan
filtrat dan ampas. Ampas kemudian diekstraksi kembali dengan penambahan 1/3
pelarut dari total pelarut yang dibutuhkan. Tahapan ini diulang sebanyak tiga kali,
kemudian filtrat yang didapatkan dari ketiga tahapan tersebut dijadikan satu dan
menjadi filtrat total. Perlakuan ekstraksi seperti ini bertujuan untuk menjaga agar
pelarut yang digunakan tetap baru dan tidak mudah jenuh, sehingga dapat
mengekstrak senyawa-senyawa yang diinginkan lebih optimal. Seperti yang
dikatakan oleh Delazar et al (2012), penggunaan pelarut baru akan
menyebabkan pengeluaran senyawa target (solute) ke dalam pelarut (solvent)
dapat berjalan lebih optimal dan kemungkinan pelarut mengalami kejenuhan juga
bisa dihindari.
2.4 Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro
Ekstraksi berbantu gelombang mikro merupakan salah satu metode
ekstraksi yang memanfaatkan radiasi gelombang mikro untuk memanaskan
pelarut secara cepat dan efisien, oleh karena itu ekstraksi dapat dilakukan
dengan cepat untuk mengekstrak secara selektif dari berbagai macam bahan
(Jain et al, 2009). Ekstraksi ini memanfaatkan energi yang ditimbulkan oleh
gelombang mikro dengan frekuensi 0,3 – 300 GHz dalam bentuk radiasi non-
ionisasi elektromagnetik (Delazar et al., 2012).
Metode ini merupakan teknik ekstraksi yang relatif baru, yaitu salah satu
dari pengembangan ekstraksi metode maserasi. Ekstraksi berbantu gelombang
mikro ini mengkombinasikan antara energi gelombang mikro dan teknik ekstraksi
konvensional dengan pelarut (maserasi). Prinsip dari ekstraksi ini adalah energi
gelombang mikro menyebabkan pergerakan molekuler dengan cara migrasi ion
dan rotasi dipol, pergerakan yang sangat cepat ini menghasilkan gesekan yang
pada akhirnya menghasilkan energi panas didalam bahan sehingga dinding sel
maupun jaringan bahan akan rusak, dan solute akhirnya keluar (Delazar et al.,
2012).
Menurut Mandal et al. (2007), ketika air yang berasal dari dalam sel
bahan menjadi panas akibat radiasi gelombang mikro, air tersebut menguap dan
15
menghasilkan tekanan tinggi pada dinding sel, sehingga sel bahan menjadi
bengkak (swelling). Tekanan tersebut mendorong dinding sel dari dalam,
meregangkan, dan memecahkan sel tersebut. Sehingga akan menyebabkan
rusaknya matrik bahan dan mempermudah keluarnya senyawa yang diinginkan
dari dalam bahan ke pelarut di sekitarnya.
Migrasi ion terlarut akibat radiasi gelombang mikro juga memudahkan
penetrasi pelarut ke dalam matriks bahan, sehingga memudahkan pengeluaran
(releasing) senyawa aktif. Molekul ini akan menyebabkan panas terlokalisir dan
pengembangan volume, sehingga terjadi pemecahan dinding sel sistem dan
memudahkan senyawa yang berada didalam sel mengalir ke pelarut (Mandal et
al., 2007).
Ekstraksi menggunakan bantuan gelombang mikro hampir sama seperti
maserasi ataupun perkolasi, namun kecepatan dalam memutuskan sel ataupun
jaringan lebih tinggi. Selain itu ekstraksi dengan microwave ini juga
membutuhkan waktu yang lebih singkat, pelarut lebih sedikit, tingkat ekstraksi
lebih tinggi, dan kerugian terhadap produk juga lebih rendah (Utara et al., 2010).
Kelebihan ekstraksi berbantu gelombang mikro adalah waktu ekstraksi
dan kebutuhan pelarut yang lebih rendah dibandingkan dengan metode ekstraksi
konvensional. Beberapa jenis bahan juga dapat diekstrak secara bersamaan
menggunakan ekstraksi ini dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan
dengan ekstraksi metode soxhlet dan hasil rendemen yang menyerupai hasil
ekstraksi dari metode fluida superkritis. Akan tetapi tetap diperlukan kehati-hatian
dalam ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro, apabila menggunakan
pelarut yang mudah terbakar (fammable) ataupun ekstrak yang mengandung
senyawa termolabil (thermo-labile) dalam pelarut yang memiliki faktor disipasi
yang tinggi (Salas, 2010).
2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi Berbantu Gelombang
Mikro
Selama proses ekstraksi terdapat beberapa faktor yang harus
diperhatikan agar proses ekstraksi berjalan dengan efisien dan sesuai dengan
yang diharapkan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain:
1. Jenis dan Volume Pelarut
Pemilihan pelarut harus didasarkan pada sifat polaritas, stabilitas, dan
harga. Konsep like dissolves like merupakan konsep yang menjelaskan adanya
fenimena dalam proses ekstraksi, nilai kepolaran pelarut harus sedekat mungkin
16
dengan kepolaran sampel (Nurmillah, 2009). Prinsip ekstraksi menggunakan
pelarut adalah bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut
selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak akan
terlarut dalam pelarut kemudian diikuti dengan pemisahan pelarut dari bahan
yang diekstrak (Mawaddah, 2008).
Selain itu, faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan jenis pelarut adalah
sifat fisikokimia dan toksisitas pelarut tersebut. Selektivitas dan kemampuan
pelarut untuk melarutkan zat yang diinginkan juga penting untuk diperhatikan,
seperti tegangan permukaannya, viskositasnya, stabilitasnya, reaktivitasnya, dan
toksisitasnya. Beberapa pelarut yang disetujui keberadaannya untuk
mengekstraksi zat analit yang akan dikonsumsi manusia antara lain aseton,
etanol, etil asetat, propanol, dan propil asetat (Miereles, 2009).
Pada ekstraksi menggunakan gelombang mikro, pemilihan pelarut juga
dipengaruhi oleh konstanta dielektrik yang dimiliki oleh suatu pelarut. Pelarut
yang memiliki konstanta dielektrik tinggi dapat menyerap gelombang mikro lebih
kuat. Matriks bahan berinteraksi dengan gelombang mikro saat dikelilingi oleh
pelarut dengan konstanta dielektrik yang rendah, sehingga kondisi lingkungan
ekstraksi menjadi dingin (Christen, 2002).
Untuk mengekstrak polisakarida larut air (PLA) pada umbi-umbian seperti
gembili, ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut air ataupun
etanol (Herlina, dkk., 2012). Ekstraksi PLA dapat dilakukan dengan
menggunakan pelarut air karena sifatnya larut dalam air, selain itu pelarut air ini
juga memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah relatif murah, tidak
mudah terbakar, dan dapat gunakan bila senyawa yang akan diekstrak larut air
(Prasetyo dkk., 2012).
Volume pelarut yang digunakan juga penting untuk diperhatikan. Pada
ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro, volume yang digunakan harus
cukup meyakinkan bahwa seluruh matriks padatan selalu terendam dalam
pelarut. Banyaknya pelarut yang digunakan tergantung pada jenis simplisia,
namun dengan banyaknya pelarut yang digunakan maka akan semakin banyak
energi dan waktu yang diperlukan untuk mengkondensasi larutan ekstraksi dan
proses pemurnian. Sehingga ditemukanlah rasio yang tepat dan banyak
diaplikasikan yaitu dengan perbandingan 10:1 (mL/mg) hingga 20:1 (mL/mg)
(Mandal et al., 2007).
17
2. Waktu Ekstraksi
Sama seperti metode ekstraksi pada umumnya, waktu merupakan faktor
yang berpengaruh terhadap jalannya ekstraksi. Dengan naikknya waktu
ekstraksi, maka jumlah analit yang terkestrak juga akan meningkat, meskipun
degradasi dari kualitas bahan yang diekstrak mungkin terjadi. Biasanya, dengan
waktu 15-20 menit saja sudah cukup untuk mengekstrak suatu bahan, akan
tetapi dengan waktu 40 detik telah diketahui juga dapat memberikan hasil yang
lebih baik. Waktu pemancaran gelombang mikro juga dipengaruhi oleh sifat
dielektrik dari pelarut. Pelarut seperti air, etanol, dan methanol mungkin akan
menaikkan suhu secara drastis pada saat pemaparan, dimana akan beresiko
pada konstituen yang labil terhadap suhu (Mandal et al., 2007).
Semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin lama waktu kontak antara
pelarut dan solute sehingga perolehan ekstrak akan semakin besar. Namun bila
waktu yang dibutuhkan terlalu lama maka secara ekonomis proses ekstraksi
tersebut berlangsung dengan tidak efisien (Prasetyo dkk., 2012).
3. Daya Gelombang Mikro
Daya gelombang mikro dan waktu pemaparan merupakan faktor yang
saling berkaitan selama berlangsungnya proses ekstraksi. Kombinasi dari daya
yang rendah atau sedang dengan waktu pemaparan yang lebih lama akan
membawa hasil yang lebih baik. Pada umumnya, efisiensi dari ekstraksi
meningkat dengan menaikkan daya gelombang mikro mulai dari 30 hingga 150
W. Dengan waktu ekstraksi yang singkat (1 dan 2 menit), zat analit yang
diperoleh juga ikut meningkat seiring dengan dinaikkannya daya gelombang
mikro. Akan tetapi, daya yang tinggi dengan paparan gelombang mikro akan
menyebabkan resiko degradasi termal dari zat yang diinginkan. Pada daya yang
lebih tinggi, kemungkinan kemurnian ekstrak yang diperoleh akan berkurang. Hal
ini terjadi akibat adanya suhu yang lebih tinggi yang merupakan hasil dari daya,
sehingga sel akan lebih cepat mengalami kerusakan (Mandal et al., 2007).
Meningkatnya efisiensi pada daya rendah dicapai pada ekstraksi dengan
durasi yang singkat. Namun demikian, pada ekstraksi dengan daya microwave
yang lebih tinggi (400-1200 W), variasi daya tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap rendemen hasil ekstraksi (Gao et al., 2006).
4. Ukuran Partikel
Ukuran partikel bahan dan kondisi bahan ketika dilakukannya ekstraksi
dapat mempengaruhi proses ekstraksi senyawa target pada metode ekstraksi
18
berbantu gelombang mikro ini. Ukuran partikel bahan umumnya berkisar antara
100 µm hingga 2 mm. Bubuk halus (fine powder) dapat meningkatkan ekstraksi
karena memiliki luar permukaan yang lebih besar, sehingga mempermudah
kontak antara matriks bahan dan pelarut. Selain itu, partikel halus juga akan
memperdalam proses penetrasi gelombang mikro ke dalam matriks bahan. Akan
tetapi, partikel halus ini akan menambah kesulitan pada saat proses pemisahan
matriks dari pelarut setelah dilakukannya proses ekstraksi. Oleh karena itu,
proses ekstraksi biasanya dilanjutkan dengan proses sentrifugasi, penyaringan,
dan pemerasan agar membantu mengurangi kesulitan tersebut (Mandal et al.,
2007).
5. Suhu
Pada proses ekstraksi berbantu gelombang mikro, suhu dan daya
gelombang mikro juga merupakan dua hal yang saling berkesinambungan,
dimana suhu tinggi disebabkan oleh tingginya daya gelombang mikro yang
dipaparkan. Suhu tinggi yang dihasilkan akan menghidrolisis ikatan eter pada
selulosa, dimana selulosa merupakan konstituen dinding sel tanaman, dan
mengubah selulosa menjadi fraksi terlarut dalam waktu 1-2 menit. Suhu tinggi
pada dinding sel bahan akan meningkatkan dehidrasi selulosa dan menurunkan
kekuatan mekanis selulosa, sehingga pelarut lebih mudah melarutkan senyawa
aktif yang berada didalam sel (Mandal et al., 2007).
2.8 Sentrifugasi
Sentrifugasi merupakan proses pemisahan partikel berdasarkan berat
partikel tersebut terhadap densitas layangnya. Gaya sentrifugal ialah proses
yang terjadi apabila perubahan berat partikel dari keadaan normal pada 1 xg
(sekitar 9,8 m/s2) menjadi meningkat seiring dengan kecepatan serta sudut
kemiringan perputaran partikel tersebut terhadap sumbunya. Pada pemisahan,
partikel yang memiliki densitas lebih tinggi daripada pelarut akan turun
(sedimentasi), dan partikel yang lebih ringan akan mengapung ke atas
(Prasetyawan, 2010). Prinsipnya yakni dengan meletakkan sampel pada suatu
gaya dengan memutar sampel pada kecepatan tinggi, sehingga terjadi
pengendapan partikel, atau organel-organel sel berdasarkan bobot molekulnya.
Substansi yang lebih berat akan berada di dasar (pelet), sedangkan substansi
yang lebih ringan akan terletak di atas (supernatan) (Miller, 2000).
19
Pemisahan sentrifugal menggunakan prinsip dimana objek diputar secara
horizontal pada jarak tertentu. Apabila objek berotasi di dalam tabung atau
silinder yang berisi campuran cairan dan partikel, maka campuran tersebut dapat
bergerak menuju pusat rotasi, namun hal tersebut tidak terjadi karena adanya
gaya yang berlawanan yang menuju kearah dinding luar silinder atau tabung
sesuai berat jenis masing-masing partikel, gaya tersebut adalah gaya sentrifugal.
Gaya inilah yang menyebabkan partikel-partikel menuju dinding tabung dan
terakumulasi membentuk endapan (Zulfikar, 2008). Dengan adanya teknik ini,
proses pengendapan suatu bahan akan lebih cepat dan optimum dibandingkan
dengan teknik biasa. Untuk contoh dari sentrifugasi dapat dilihat pada Gambar
2.5.
Gambar 2.5 Alat Sentrifugasi
(Mujiati, 2014)
Sentrifugasi tidak hanya dapat digunakan untuk memisahkan sel atau
organel subselular, melainkan juga digunakan untuk pemisahan molekular.
Prinsip sentrifugasi didasarkan atas fenomena bahwa partikel yang tersuspensi
di dalam suatu wadah akan mengendap ke dasar wadah karena pengaruh
gravitasi. Laju pengendapan tersebut dapat ditingkatkan dengan cara
meningkatkan pengaruh gravitasional terhadap partikel. Hal ini dapat dilakukan
dengan menempatkan tabung berisi suspensi partikel kedalam rotor suatu mesin
sentrifugasi, kemudian diputar dengan kecepatan tinggi (Yuwono, 2009).
Sampel yang akan di sentrifugasi diletakkan pada suatu gaya dengan
memutar sampel pada kecepatan tinggi, sehingga terjadi pengendapan partikel,
atau organel-organel sel berdasarkan bobot molekulnya. Substansi yang lebih
berat akan berada di dasar (pelet), sedangkan substansi yang lebih ringan akan
terletak di atas (supernatan) (Miller, 2000). Pada penelitian kali ini filtrat hasil
20
ekstraksi berbantuan gelombang mikro dilanjutkan dengan proses sentrifugasi.
Sentrifugasi ini bertujuan untuk mengendapkan pengotor seperti pati, sehingga
supernatan hasil sentrifugasi diharapkan
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Laboratorium Pilot Plan Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Untuk pengujian sampel
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan PT. Maxzer Solusi Steril, Malang.
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan Mei 2017.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah cabinet dryer (buatan
lokal) dengan pengatur suhu otomatis, timbangan analitik (OHAUS/Scout Pro),
slicer (buatan lokal), disc mill (buatan lokal), sentrifugasi (Thermo Scientific/SL
40), dan modified-MAE (Sharp R-200 GS). Pada ekstraksi kali ini menggunakan
microwave yang telah dimodifikasi dengan pompa vakum dan kondensor. Pompa
vakum bertujuan untuk menciptakan kondisi vakum didalam microwave,
sehingga suhu yang digunakan pada ekstraksi menjadi lebih rendah, yaitu hanya
300C. Selain itu, dengan adanya kondensor berfungsi untuk pendingin balik,
sehingga mencegah terjadinya pengurangan pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi. Microwave modifikasi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Microwave modifikasi dengan Pompa Vakum dan Kondensor
22
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah uwi putih yang berasal
yang dijual komersiil di Pasar Besar Kota Malang. Uwi putih ini memiliki berat
berkisar 3-4 kg, memiliki bentuk umbi yang berlekuk-lekuk, memiliki kulit
berwarna coklat dan daging umbi berwarna putih (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Uwi Putih yang Berasal dari Pasar Besar
Bahan-bahan kimia untuk analisa yang berkualitas p.a. diantaranya
adalah enzim alfa amilase, enzim glukoamilase, enzim pepsin, buffer phosphat
(Merck), CuSO4.5H2O (Sigma Aldrich), K2SO4 (Mallimckrodt), NaOH (Merck),
HCl (Merck), asam borat (Sigma Aldrich). Sedangkan yang berkualitas teknis
adalah H2SO4 (Merck), petroleum eter, aseton dan etanol 95%.
3.3 Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan menggunakan Rangkaian Acak Lengkap (RAL)
dengan menggunakan dua faktor yang akan diulang sebanyak 2 kali
pengulangan. Faktor pertama adalah rasio bahan dengan pelarut (b/v) (R) yang
terdiri dari 3 level. Sedangkan faktor kedua adalah lama waktu ekstraksi (T) yang
terdiri dari 3 level. Faktor dan level yang dikaji dalam penelitian ini terdiri dari:
Faktor 1 adalah rasio bahan dengan pelarut yang digunakan (R)
R1= 1 : 10 (b/v) jumlah uwi dan pelarut yang digunakan
R2= 1 : 15 (b/v) jumlah uwi dan pelarut yang digunakan
R3= 1 : 20 (b/v) jumlah uwi dan pelarut yang digunakan
Faktor 2 adalah lama ekstraksi berbantuan gelombang mikro (T)
T1= 5 menit
T2= 10 menit
T3= 15 menit
Total kombinasi perlakuan disajikan pada Tabel 3.1.
23
Tabel 3.1. Perlakuan Pada Ekstraksi Simultan Pati dan PLA Berbantuan
Gelombang Mikro pada Tepung Uwi Putih
Perbandingan bahan:pelarut (air) (gr/mL) Lama Ekstraksi
T1 T2 T3 R1 R1T1 R1T2 R1T3 R2 R2T1 R2T2 R3T2 R3 R3T1 R3T2 R3T3
Keterangan : R1T1 : Perbandingan bahan : pelarut 1:10 dengan lama ekstraksi 5 menit R1T2 : Perbandingan bahan : pelarut 1:10 dengan lama ekstraksi 10 menit
R1T3 : Perbandingan bahan : pelarut 1:10 dengan lama ekstraksi 15 menit R2T1 : Perbandingan bahan : pelarut 1:15 dengan lama ekstraksi 5 menit R2T2 : Perbandingan bahan : pelarut 1:15 dengan lama ekstraksi 10 menit
R2T3 : Perbandingan bahan : pelarut 1:15 dengan lama ekstraksi 15 menit R3T1 : Perbandingan bahan : pelarut 1:20 dengan lama ekstraksi 5 menit R3T2 : Perbandingan bahan : pelarut 1:20 dengan lama ekstraksi 10 menit
R3T3 : Perbandingan bahan : pelarut 1:20 dengan lama ekstraksi 15 menit
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian ini dillaksanakan penelitian pendahuluan sebelum
dilakukan penelitian utama, penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui
dan memahami lebih dalam mengenai metode penelitian serta diagram alir yang
telah dibuat. Pada penelitian pendahuluan ini dicoba beberapa rasio diantaranya
1:5, 1:8, 1:10, 1:12, dan 1:14. Akan tetapi, pada rasio 1:5 sampel belum
sepenuhnya terendam oleh pelarut, baru pada rasio 1:10 sampel terendam oleh
pelarut. Sehingga untuk penelitian utama rasio yang digunakan dimulai dari 1:10,
1:15, dan 1:20. Sedangkan untuk suhu ekstraksi pada penelitian pendahuluan
dicoba suhu 250C, 300C, dan 350C. Didapatkan hasil terbaik yaitu dengan suhu
300C, karena ketika suhu 250C belum terdapat perubahan pada saat ekstraksi.
Sedangkan ketika menggunakan suhu 350C, saat proses ekstraksi terlalu panas
dan menyebabkan pati yang terdapat pada larutan yang diekstrak akan
mengalami gelatinisasi. Pati uwi putih memiliki suhu gelatinisasi sebesar 750C,
akan tetapi pada ekstraksi berbantu gelombang mikro ini digunakan microwave
yang sudah dimodifikasi dengan pompa vakum, sehingga suhu gelatinisasi dapat
menurun.
Pemurnian protein juga dilakukan pada penelitian pendahuluan ini.
Pemurnian protein dilakukan dengan cara menambahkan larutan garam jenuh ke
dalam supernatan hasil ekstraksi dengan rasio antara larutan garam dan sampel
1:1. Penambahan larutan garam jenuh ini bertujuan untuk mengendapkan protein
24
yang terkandung pada supernatan. Akan tetapi pada saat diuji kualitatif protein,
tetap menunjukkan hasil positif, sehingga penambahan larutan garam jenuh
dianggap tidak efektif dalam pemurnian protein. Pada penelitian pendahuluan
juga dilakukan uji kualitatif protein dan pati yang terdapat pada filtrat, supernatan,
ampas, dan endapan hasil ekstraksi. Uji kualitatif protein dilakukan dengan
menambahkan larutan biuret kedalam filtrat, supernatan, endapan, dan ampas.
Hasil uji kualitatif dengan larutan biuret menunjukkan hasil positif pada filtrat,
supernatan, dan ampas. Hasil positif ini ditunjukkan dengan terbentuknya warna
violet pada filtrat, supernatan, dan ampas. Sedangkan untuk uji kualitatif pati
dilakukan dengan menambahkan larutan iodin pada filtrat, supernatan, ampas,
dan endapan hasil sentrifugasi. Uji ini menunjukkan hasil positif pada filtrat,
supernatan, ampas, dan endapan. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya
warna biru pekat pada ampas dan endapan dan warna agak violet pada filtrat
dan supernatan.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, maka didapatkan suhu microwave
sebesar 300C, rasio bahan:pelarut (b/v) yang digunakan sebesar 1:10, 1:15, dan
1:20. Sedangkan lama waktu ekstraksi yaitu 5 menit, 10 menit, dan 15 menit.
Fraksi supernatan dan fraksi endapan yang didapatkan dianalisa kadar air, total
padatan, kadar pati, dan kadar protein. Selanjutnya untuk perlakuan terbaik
masing-masing fraksi dianalisa serat kasar dan serat pangan enzimatis.
3.4.2 Proses Pembuatan Tepung Uwi Putih (modifikasi dari Putri, 2013)
Dipilih uwi putih yang telah disortasi sesuai dengan beratnya yaitu
berkisar antara 3-4 kg. Kemudian uwi dipotong menjadi chip menggunakan slicer
dengan ketebalan rata-rata 1-2 mm. Chip uwi selanjutnya dikeringkan
menggunakan pengering kabinet dengan suhu 400C selama 12 jam. Uwi yang
sudah kering kemudian ditepungkan menggunakan discmill dengan ayakan 40
mesh. Setelah itu tepung uwi disimpan dalam freezer pada suhu -200C.
3.4.3 Proses Ekstraksi Simultan Pati dan Polisakarida Larut Air dari Uwi
Putih Berbantuan Gelombang Mikro (modifikasi dari Inesticha, 2012)
Uwi putih yang sudah ditepungkan kemudian ditimbang sebanyak 20
gram. Selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan pelarut air
sesuai dengan perlakuan (1:10, 1:15, 1:20). Proses ekstraksi lalu dilakukan
menggunakan microwave modifikasi dengan memasukkan erlenmeyer kedalam
microwave suhu 300C dan waktu sesuai dengan perlakuan (5 menit, 10 menit, 15
25
menit). Pada setiap tahapan ekstraksi dibagi menjadi tiga kali ekstraksi, dimana
ekstraksi pertama dengan penambahan pelarut 1/3 dari total pelarut yang
dibutuhkan, dan waktu ekstraksi juga dibagi menjadi tiga (5 menit= 2 menit, 2
menit, 1 menit; 10 menit= 4 menit, 3 menit, 3 menit; 15 menit= 5 menit, 5 menit, 5
menit) kemudian hasil ekstraksi di saring dan didapatkan filtrat 1 dan ampas 1.
Setelah itu, ampas 1 ditambahkan pelarut lagi sebanyak 1/3 dari total pelarut
yang dibutuhkan, kemudian hasil ekstraksi di saring dan didapatkan filtrat 2 dan
ampas 2. Ampas 2 yang didapatkan kemudian ditambahkan pelarut sebanyak
1/3 dari total pelarut yang dibutuhkan, kemudian hasil ekstraksi di saring dan
didapatkan filtrat 3 dan ampas 3. Setelah itu, filtrat 1, 2, dan 3 dijadikan satu
menjadi filtrat total.
Untuk memaksimalkan hasil ekstraksi, setelah ekstraksi berlangsung
dilanjutkan dengan pemisahan oleh sentrifugasi. Hasil ekstraksi kemudian di
saring menggunakan kain saring dan dihasilkan filtrat dan ampas. Filtrat yang
didapatkan dilakukan pemisahan menggunakan sentrifugasi dengan kecepatan
4500 rpm selama 20 menit. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan proses
pemisahan PLA. Hasil dari sentrifugasi akan terbentuk dua fraksi yaitu
supernatan dan endapan. Supernatan yang dihasilkan kemudian diuapkan
menggunakan water bath hingga volume 100 ml dan dianalisis kadar pati, kadar
protein, total padatan, dan rendemen. Sedangkan endapan yang dihasilkan
kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet suhu 450C dan dilakukan
analisis kadar air, kadar pati, kadar protein, dan rendemen. Setelah itu, perlakuan
terbaik hasil analisa akan dilakukan analisa lebih lanjut untuk kandungan serat
pangan dan serat kasarnya.
3.4.4 Analisa Tepung Uwi Putih
1. Kadar air metode oven (AOAC, 1995)
2. Kadar pati metode enzimatis (Winarno, 1995)
3. Kadar serat pangan metode enzimatis (Asp, 1992)
4. Kadar serat kasar (Sudarmadji, dkk., 1997)
5. Kadar protein/ N total metode Kjeldhal (AOAC, 2001)
6. Rendemen (AOAC, 1995)
3.4.5 Analisa Endapan
1. Kadar air metode oven (AOAC, 1995)
2. Kadar pati metode enzimatis (Winarno, 1995)
26
3. Kadar serat pangan metode enzimatis (Asp, 1992)
4. Kadar serat kasar (Sudarmadji, dkk., 1997)
5. Kadar protein/ N total metode Kjeldhal (AOAC, 2001)
6. Rendemen (AOAC, 1995)
3.4.6 Analisa Supernatan
1. Total padatan (Yoshimassa, 2009)
2. Kadar pati metode enzimatis (Winarno, 1995)
3. Kadar serat pangan metode enzimatis (Asp, 1992)
4. Kadar serat kasar (Sudarmadji, dkk., 1997)
5. Kadar protein/ N total metode Kjeldhal (AOAC, 2001)
6. Rendemen (AOAC, 1995)
3.5 Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa menggunakan Analysis of Varian (ANOVA)
dan dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) apabila
terdapat interaksi dan pengaruh yang nyata antar faktor, atau dengan uji BNT (α=
0,05). jika tidak terdapat interaksi antar faktor. dgdfgdfgdfgdfgdfgdfgdfgdfg
27
3.6 Diagram Alir Penelitian
Dikupas
Dicuci bersih
Diiris dengan ketebalan 1-2 mm dengan slicer
Dikeringkan dengan pengering kabinet suhu 400C selama 12 jam
Digiling dengan disc mill ukuran 40 mesh
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Uwi Putih
(modifikasi dari Putri, 2013)
Uwi Putih
Chips uwi
Tepung Uwi
Analisis Kimia:
- Kadar air
- Kadar serat
pangan enzimatis
- Kadar serat kasar
- Kadar pati
enzimatis
- Uji rendemen
- Kadar Protein
28
Gambar 3.4 Diagram Alir Ekstraksi Simultan Berbantu Gelombang Mikro untuk
Pati dan Polisakarida Larut Air dari Uwi Putih (modifikasi dari Inesticha, 2012)
Disaring menggunakan
kain saring
Filtrat Total
Diulang 3 kali
Filtrat
Disentrifugasi dengan kecepatan 4500 rpm selama 20 menit
Analisa : Total Padatan, Kadar
Pati, Kadar Protein, Rendemen,
Kadar Serat Kasar, dan Kadar
Serat Pangan
Analisa : Kadar Air, Kadar Pati,
Kadar Protein, Rendemen,
Kadar Serat Kasar, dan Kadar
Serat Pangan
Diuapkan suhu 450C dengan
water bath hingga volume 100
ml
Pencampuran Filtrat 1, 2 dan 3
Ampas
Supernatan
a
Endapan
Tepung Uwi Putih
Ditimbang 20 gram
Diekstraksi menggunakan
modified-MAE suhu 30ºC
dengan variasi waktu
Air 1/3 dari total
pelarut yang
dibutuhkan
Dikeringkan dengan pengering
kabinet suhu 450C
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah uwi putih yang
sudah ditepungkan. Adapun tujuan dari analisa bahan baku adalah agar dapat
melihat perbandingan kandungan bahan setelah diekstraksi dan sebelum
dilakukan ekstraksi. Karakteristik bahan baku ini meliputi kadar air, kadar pati,
kadar protein, dan kadar serat pangan. Hasil analisa karakteristik bahan baku ini
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Analisa Bahan Baku Ekstraksi Pati dan PLA dari Uwi Putih
Komponen (% bb) Hasil Penelitian Penelitian Terdahulu
Air 8,73 9,931)
Pati 58,82 52,252) Protein 7,22 7,881)
Serat Kasar 8,20 4,762)
Serat Pangan 12,75 -
1) Afidin, dkk (2014) 2) Richana dan Sunarti (2004)
Bahan baku yang digunakan memiliki karakteristik yang tidak jauh
berbeda dari hasil yang diperoleh peneliti sebelumnya. Berdasarkan hasil
penelitian ini, tepung uwi putih memiliki kadar air sebesar 6,21%, kadar pati
58,82%, kadar protein 7,22%, kadar serat kasar 11,58 dan kadar serat pangan
sebesar 12,75%. Sedangkan menurut penelitian terdahulu, tepung uwi putih
memiliki kadar air sebesar 9,93%, kadar pati 52,25%, kadar protein 7,88%, kadar
serat kasar 4,76% dan untuk kadar serat pangan belum ada yang melaporkan.
Perbedaan karakteristik bahan baku antara hasil penelitian dengan penelitian
terdahulu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Adanya perbedaan kadar pati
disebabkan oleh perbedaan varietas faktor genetik dan tingkat usia tanaman
(Hoseney, 1998). Menurut Epriati (2000), perbedaan komposisi kimia ini juga
sangat tergantung pada kesuburuan tanah tempat tanaman tersebut tumbuh.
2000). Selain itu, pre-treatment yang dilakukan sebelum penelitian serta cara
analisa yang digunakan diduga juga merupakan faktor yang menyebabkan
perbedaan komposisi suatu komoditas.
30
1.2 Kadar dan Rendemen Protein di dalam Fraksi Supernatan dan Fraksi
Endapan
Sentrifugasi dimaksudkan menghasilkan dua fraksi, yaitu fraksi
supernatan (cair) dan fraksi endapan (padatan). Fraksi supernatan diharapkan
didominasi senyawa PLA, sedangkan fraksi endapan mengandung lebih banyak
pati. PLA merupakan senyawa glikoprotein sehingga kadar protein pada masing-
masing fraksi merupakan indikator tingkat keberadaan senyawa
Pada supernatan, hasil analisa ragam untuk kadar dan rendemen protein
(Lampiran 3 dan Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan rasio
bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata
(α=0,05) terhadap kadar protein supernatan, dan terdapat interaksi diantara
keduanya. Pada endapan, hasil analisa ragam kadar dan rendemen protein
endapan (Lampiran 5 dan Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan rasio
bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata
(α=0,05) terhadap kadar protein endapan, akan tetapi tidak terdapat interaksi
diantara keduanya. Rendemen protein endapan hanya dipengaruhi (α=0,05) oleh
rasio bahan:pelarut saja. Data tersaji pada kadar protein dari masing-masing
fraksi dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Perbandingan Kadar dan Rendemen Protein dalam Fraksi
Supernatan dan Fraksi Endapan1)
Rasio Bahan:Pelarut
(b/v)
Lama
Waktu Ekstraksi
(menit)
Fraksi Supernatan
Fraksi Endapan
Kadar
Protein (%)
Rendemen
Protein (%)
Kadar
Protein (%)
Rendemen
Protein (%)
1:10
5 4,17 a 20,85 a 0,67 0,041
10 4,69 b 23,44 b 0,55 0,048
15 5,17 c 25,84 c 0,38 0,033
1:15
5 5,26 c 26,28 c 1,05 0,127
10 5,36 cd 26,78 cd 0,79 0,120
15 5,59 d 27,93 d 0,62 0,095
1:20
5 4,78 b 23,88 b 1,34 0,167
10 5,14 c 25,72 c 0,99 0,164
15 5,19 c 25,96 c 0,85 0,144
DMRT (5%) 0,33 – 0,33 1,50 – 1,67 1) Perhitungan rendemen protein disajikan pada Lampiran 2
31
Kadar dan rendemen protein yang terdapat pada fraksi supernatan lebih
tinggi dibandingkan fraksi endapan. Kadar protein pada fraksi supernatan
berkisar antara 4,17% - 5,59%, sedangkan pada fraksi endapan hanya sekitar
0,38% - 1,34%. Demikian pula rendemen protein pada fraksi supernatan (20,85%
- 27,931%), jauh lebih besar daripada yang terdapat pada fraksi endapan yang
sebesar 0,033% - 0,167%. Hal ini sudah sesuai dengan yang diharapkan,
dimana persentase protein pada supernatan lebih tinggi daripada endapan
sehingga dapat dikatakan bahwa hasil ekstraksi berupa PLA kasar berada pada
fraksi supernatan. Kadar dan rendemen protein tertinggi diperoleh dari kombinasi
perlakuan rasio bahan:pelarut sebesar 1:15 (b/v) dan ekstraksi 15 menit,
sedangkan yang terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan rasio
bahan:pelarut sebesar 1:15 dan lama ekstraksi 5 menit.
Fraksi Supernatan
Banyak penelitian menujukkan bahwa PLA dalam umbi-umbian keluarga
Disocorea merupakan glikoprotein sehingga dapat diasumsikan fraksi yang
mengandung kadar protein yang tinggi juga mengandung kadar PLA yang tinggi
pula. Seperti yang dikatakan oleh Tsukui et al (1999), PLA yang terdapat pada
umbi uwi merupakan getah kental yang mengandung glikoprotein. Glikoprotein
itu sendiri merupakan senyawa kompleks antara protein dengan rantai
oligosakarida (glikan) yang terikat secara kovalen (Murray, 2002).
Sampai batas tertentu, semakin besar rasio pelarut yang digunakan dapat
meningkatkan kadar protein yang diperoleh, tetapi menurun pada rasio di atas
1:15. Berlebihnya pelarut yang digunakan diduga akan menyebabkan energi
gelombang mikro banyak terserap oleh molekul pelarut sehingga yang sampai ke
matriks bahan hanya kecil dan menyebabkan menurunnya jumlah senyawa yang
dapat diekstrak (Chan et al., 2011). Berbeda degan proporsi pelarut, paparan
oleh gelombang mikro yang semakin lama dapat memberikan energi ekstraksi
yang lebih besar sehingga lebih banyak protein terekstrak. Seperti yang
dijelaskan oleh Krishnaswamy et al (2012), difusi senyawa target dari matriks
bahan ke dalam pelarut juga meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu
ekstraksi. Selain itu, paparan energi gelombang mikro juga dapat meningkatkan
kecepatan pergerakan molekuler dengan cara migrasi ion dan rotasi dipol.
Pergerakan yang sangat cepat ini menghasilkan gesekan yang pada akhirnya
menghasilkan energi panas didalam bahan sehingga dinding sel maupun
32
jaringan bahan akan rusak, dan solute akhirnya lebih banyak keluar (Delazar et
al., 2012).
Fraksi Endapan
Tabel 4.3 menunjukkan semakin banyak rasio pelarut yang digunakan,
maka semakin besar pula kadar protein yang terkandung. Rerata kadar protein
tertinggi diperoleh dari perlakuan dengan rasio bahan:pelarut sebesar 1:20 (b/v)
yaitu 1,06%, dan untuk rerata kadar protein terendah diperoleh dari perlakuan
dengan rasio bahan:pelarut sebesar 1:10 (b/v) yaitu 0,53%. Hal yang serupa juga
terjadi pada rendemen protein pada endapan, tertinggi berada pada perlakuan
rasio:bahan sebesar 1:20 (b/v), yaitu 0,16% dan terendah diperoleh pada rasio
bahan:pelarut 1:10 dengan nilai sebesar 0,04%.
Tabel 4.3. Rerata Kadar dan Rendemen Protein Endapan Ekstrak Protein dan
PLA dari Uwi Putih dengan Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut
Rasio Bahan:Pelarut (b/v)
Kadar Protein (%)
Rendemen Protein (%)
1:10 0,53 a 0,04 a 1:15 0,82 b 0,11 b
1:20 1,06 b 0,16 c
BNT (α=0,05) 0,24 0,03
Kadar protein dan rendemen protein pada endapan mengalami kenaikan
seiring dengan banyaknya pelarut yang digunakan. Air merupakan senyawa
polar sehingga dapat berinteraksi dengan molekul protein yang juga bersifat
polar sehingga semakin banyak pelarut maka protein yang dapat terlarut juga
meningkat. Menurut Gao et al (2006), apabila volume pelarut yang digunakan
semakin besar, maka luas medan elektromagnetik akan semakin besar, dan
menyebabkan kontak antara matriks bahan dengan energi gelombang mikro juga
semakin besar. Di sisi lain, penggunaan pelarut yang berlebihan akan
menyebabkan terhambatnya transfer energi gelombang mikro karena terserap
oleh pelarut sebelum sampai kedalam matriks bahan (Chan et al., 2011).
Perlakuan lama waktu ekstraksi sebesar 5 menit dan 10 menit
menghasilkan rendemen protein yang sama yaitu 0,11%, sedangkan ekstraksi
selama 15 menit cenderung menurunkan rendemen menjadi 0,09%.
Kecenderungan serupa terjadi pada kadar protein ekstrak, semakin lama
paparan gelombang mikro berakibat pada penurunan kadar protein ekstrak.
Kadar protein tertinggi diperoleh dari perlakuan ekstraksi selama 5 menit yaitu
33
1,02%, sedangkan yang terendah diperoleh dari perlakuan ekstraksi selama 15
menit yaitu 0,62%. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama
waktu ekstraksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen
protein endapan (Tabel 4.4).
Tabel 4.4. Rerata Kadar dan Rendemen Protein Endapan Hasil Ekstraksi
Simultan Pati dan PLA dari Uwi Putih dengan Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi
Lama Waktu Ekstraksi (menit)
Rerata Kadar Protein (%)
Rendemen Protein (%)
5 1,02 b 0,11a 10 0,77 a 0,11a
15 0,62 a 0,09a
BNT (α=0,05) 0,24 0,03
Perbedaan rentang lama paparan yang digunakan pada perlakuan, yaitu
5-15 menit, dapat dikatakan terlalu kecil bedanya sehingga dampaknya pada
hasil ekstraksi juga belum nyata. Hal itulah yang diduga sebagai penyebab nilai
rendemen protein tidak terlalu berbeda, walaupun dengan semakin lama waktu
yang diberikan rendemen protein cenderung menurun. Paparan gelombang
mikro akan menimbulkan panas hal ini disebabkan karena molekul-molekul pada
bahan bersifat elektrik dipol, yang artinya molekul tersebut memiliki muatan
negatif pada satu sisi dan muatan positif pada sisi yang lain. Akibatnya, dengan
kehadiran medan elektrik yang berubah-ubah yang diinduksikan melalui
gelombang mikro pada masing-masing sisi akan berputar untuk saling
mensejajarkan diri satu sama lain. Pergerakan molekul ini akan menciptakan
panas seiring dengan timbulnya gesekan antara molekul yang satu dengan
molekul lainnya (Kingston and Haswell, 1997) dan semakin lama waktu
paparannya akan mendorong peningkatan suhu yang lebih besar. Protein
merupakan senyawa yang mudah terkoagulasi oleh panas, koagulasi merupakan
kondisi dimana protein tidak dapat lagi terdispersi sebagai suatu koloid karena
unit ikatan yang terbentuk cukup banyak (Makfoeld, 2008) dan menjadi tidak
larut.
Menurunnya kadar dan rendemen protein pada endapan dengan semakin
lamanya waktu ekstraksi juga dikarenakan semakin lama waktu iradiasi akan
menyebabkan efek dari rotasi dipol yang terjadi menjadi lebih besar, dan
menyebabkan temperatur pelarut naik secara cepat sehingga kelarutan senyawa
target juga menjadi meningkat (Hayat dkk, 2009). Protein yang terikat pada PLA
34
diduga tidak terendapkan tetapi berada pada fraksi supernatant dan yang
terdapat pada fraksi endapan cenderung lebih sedikit.
1.3 Kadar dan Rendemen Pati dalam Fraksi Supernatan dan Fraksi
Endapan
Pada penelitian ini ekstrak pati diduga banyak terkandung pada fraksi
endapan. Hal ini dikarenakan pati alami memiliki sifat susah larut terhadap
pelarut air dan memiliki berat molekul lebih berat dibandingkan protein, sehingga
pada saat dilakukan pemurnian dengan sentrifugasi pati yang berada pada filtrat
akan mengendap dan membentuk endapan. Berbeda dengan fraksi supernatan,
protein menjadi senyawa pengotor yang terkandung pada ekstrak pati hasil
ekstraksi. Perbandingan kadar pati serta rendemen pati pada fraksi supernatan
dan fraksi endapan disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Perbandingan Kadar dan Rendemen Pati dalam Fraksi Supernatan
dan Fraksi Endapan1)
Rasio Bahan:Pelarut
(b/v)
Lama Waktu
Ekstraksi (menit)
Fraksi Supernatan
Fraksi Endapan
Kadar Pati (%)
Rendemen Pati (%)
Kadar Pati (%)
Rendemen Pati (%)
1:10
5 0,75 3,74 17,48 1,09
10 0,69 3,43 22,35 2,01
15 0,57 2,87 23,12 1,84
1:15
5 0,67 3,32 21,95 2,68
10 0,53 2,66 22,07 3,40
15 0,48 2,40 26,24 4,04
1:20
5 0,58 2,88 19,68 2,44
10 0,50 2,48 22,83 3,82
15 0,43 2,15 24,12 4,02
1) Perhitungan rendemen pati disajikan pada Lampiran 7
Kadar pati dan rendemen pati yang terdapat pada fraksi endapan lebih
tinggi dibandingkan fraksi supernatan. Kadar pati pada fraksi endapan berkisar
antara 17,48% - 24,12%, jauh lebih besar daripada yang terdapat pada fraksi
supernatan yang hanya sekitar 0,43% - 0,75%. Demikian pula rendemen pati
pada fraksi endapan 1,09% - 4,04%, cenderung lebih besar daripada yang
terdapat pada fraksi supernatan yang sebesar 2,15% - 3,74%. Akan tetapi,
terdapat rendemen pati endapan yang lebih kecil dibandingkan dengan
supernatan, hal ini dikarenakan ketika perhitungan rendemen pati pada endapan,
35
kadar pati dikali dengan berat kering endapan, dimana berat kering dari endapan
tersebut bervariasi berkisar antara 1,03 gr – 3,54 gr sehingga mempengaruhi
hasil akhir dari perhitungan rendemen pati. Apabila melihat dari kadar pati pada
kedua fraksi, hal ini sudah sesuai dengan yang diharapkan, dimana persentase
pati pada endapan lebih tinggi daripada supernatan sehingga dapat dikatakan
bahwa hasil ekstraksi berupa pati berada pada fraksi endapan.
Fraksi Supernatan
Hasil analisa ragam kadar dan rendemen pati pada supernatan
(Lampiran 8 dan 9) menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan rasio
bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi menghasilkan kadar dan rendemen pati
yang berbeda nyata (α=0,05), tetapi tidak ada interaksi keduanya. Nilai rerata
kadar dan rendemen pati supernatan ekstrak pati dan PLA dari uwi putih dengan
pengaruh rasio bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi berturut-turut dapat
dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut terhadap Kadar dan Rendemen Pati
Supernatan Ekstrak Uwi Putih dengan Pelarut Air
Rasio Bahan:Pelarut (b/v)
Rerata Kadar Pati (%)
Rerata Rendemen Pati (%)
1:10 0,67 b 3,34 c 1:15 0,56 a 2,79 b
1:20 0,50 a 2,51 a
BNT(α=0,05) 0,09 0,09
Kadar pati supernatan tertingi diperoleh dari perlakuan rasio
bahan:pelarut sebesar 1:10 yaitu 0,67%, sedangkan yang terendah didapatkan
dari perlakuan rasio bahan:pelarut sebesar 1:20 yaitu 0,50%. Semakin banyak
jumlah pelarut yang ditambahkan menyebabkan kadar pati pada supernatan
semakin menurun. Kecenderungan serupa terlihat pada rendemen pati yang
menurun seiring dengan semakin banyaknya pelarut yang ditambahkan.
Pada umumnya, semakin banyak rasio pelarut yang digunakan pada
ekstraksi maka akan meningkatkan kadar senyawa yang terekstrak. Pati alami
bersifat agak sulit larut di dalam air sehingga pati akan mengendap dan tidak ikut
terlarut bersama pelarut. Selain itu, penggunaan pelarut yang terlalu banyak
menyebabkan energi gelombang mikro yang dihasilkan akan terserap ke dalam
pelarut sebelum energi gelombang mikro tersebut masuk ke dalam bahan (Li et
al., 2010), sehingga pati yang terekstrak ke dalam supernatan cenderung
menurun. Menurunnya kadar pati pada supernatan juga dapat disebabkan
36
semakin meningkatnya senyawa lain yang terekstrak, dan menyebabkan
kemampuan pelarut untuk mengekstrak pati menjadi menurun. Hal ini berkaitan
dengan tingkat kejenuhan pelarut, dimana apabila pelarut sudah mencapai titk
optimal maka akan mengalami kejenuhan dan tidak mampu mengekstrak lagi.
Kadar pati pada supernatan tertinggi diperoleh dari lama waktu ekstraksi
sebesar 5 menit yaitu 0,67% dan semakin menurun dengan perpanjangan waktu
sehingga yang terendah diperoleh pada lama ekstraksi 15 menit sebesar 0,51%
(Tabel 4.7). Hal serupa didapatkan pada rendemen pati.
Tabel 4.7. Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi terhadap Kadar dan Rendemen Pati
Ekstrak Uwi Putih dengan Pelarut Air
Lama Waktu Ekstraksi
(menit)
Rerata Kadar Pati
(%)
Rerata Rendemen Pati
(%)
5 0,66 b 3,32 b
10 0,55 b 2,77 a 15 0,51 a 2,56 a
BNT (α=0,05) 0,09 0,09
Penurunan kadar dan rendemen pati pada supernatan seiring dengan
lamanya waktu ekstraksi diduga merupakan indikasi bahwa senyawa-senyawa
yang terekstrak paling awal adalah yang mempunyai densitas besar serta tidak
terikat kuat oleh komponen lain dalam bahan. Senyawa-senyawa yang lebih kecil
ukuran partikelnya dan terikat lebih kuat oleh komponen lain dalam matriks
bahan terlepas belakangan. Pada saat sentrifugasi granula pati dan molekul
dengan densitas besar akan mengendap, sedangkan fraksi pati yang ukuran dan
densitasnya kecil akan berada di bagian supernatan. Belum diketahui fraksi pati
yang mana yang lebih banyak dijumpai pada supernatant. Karena prinsip
sentrifugasi didasarkan atas fenomena bahwa partikel yang tersuspensi dalam
suatu wadah (tabung) akan mengendap ke dasar karena pengaruh gravitasi. Hal
ini dapat dilakukan dengan menempatkan tabung ke dalam rotor suatu mesin
sentrifusi kemudian diputar dengan kecepatan tinggi. Laju pengendapan tersebut
dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan pengaruh gravitasi terhadap
partikel (Yuwono, 2008). Kusnandar (2010) mengatakan kelarutan pati alami
yang belum dimodifikasi sangat terbatas di dalam air.
Fraksi Endapan
Hasil analisa ragam kadar pati endapan ekstrak dari uwi putih (Lampiran
10) menunjukkan bahwa perlakuan rasio bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi
37
dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata (α=0,05) terhadap
kadar pati endapan ekstrak uwi putih. Hasil uji lanjut DMRT dapat dilihat pada
Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut dan Lama Waktu Ekstraksi terhadap
Kadar Pati Endapan Ekstrak Uwi Putih dengan Pelarut Air
Rasio Bahan:Pelarut (b/v)
Lama Waktu Ekstraksi (menit)
Rerata Kadar Pati (%)
Notasi
1:10
5 17,48 a
10 22,35 cd 15 23,11 d
1:15
5 21,95 c
10 22,07 c
15 26,24 f
1:20
5 19,68 b
10 22,83 d
15 24,12 e
DMRT (5%) 0,61-0,68
Rerata kadar pati endapan tertinggi sebesar 26,24% yang diperoleh dari
perlakuan rasio bahan:pelarut 1:15 dengan lama waktu ekstraksi sebesar 15
menit dan terendah sebesar 17,48% diperoleh dari perlakuan rasio bahan:pelarut
1:10 dengan lama waktu sebesar 5 menit. Seperti telah disampaikan dimuka
bahwa pelarut yang terlalu banyak akan menyerap energi gelombang mikro yang
lebih besar sehingga yang dapat bertumbukan dengan komponen bahan akan
lebih. Pada rasio pelarut yang lebih kecil (1:15) dengan lama paparan gelombang
mikro yang tepat, dalam hal ini 15 menit, maka diduga daya yang diterima bahan
lebih optimal sehingga dapat mengekstrak fraksi pati yang berdensitas besar.
Pada saat sentrifugasi, pati jenis ini akan mengendap.
Hasil analisa ragam untuk rendemen pati pada endapan ekstrak uwi putih
dengan pelarut air (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan rasio
bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata
(α=0,05) terhadap rendemen pati endapan, tetapi tidak terdapat interaksi antar
keduanya. Nilai rerata rendemen pati endapan ekstrak dari uwi putih dengan
pengaruh rasio bahan:pelarut dan pengaruh lama waktu ekstraksi berturut-turut
dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10.
38
Tabel 4.9. Rerata Rendemen Pati Endapan Ekstrak dari Uwi Putih dengan
Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut Air
Rasio Bahan:Pelarut (b/v)
Rerata Rendemen Pati (%)
1:10 1,64 a
1:15 3,37 b 1:20 3,43 b
BNT(α=0,05) 0,54
Penggunaan rasio pelarut yang rendah (1:10) menghasilkan rendemen
pati paling kecil dan kenaikan rendemen yang nyata hanya diperoleh pada
peningkatan rasio pelarut menjadi 1:15, sedangkan lebih besar dari nilai itu
(1:20) tidak menghasilkan perbedaan rendemen pati yang nyata. Hasil tersebut
menegaskan sekali lagi bahwa apabila pelarut yang digunakan terlalu banyak
maka energi yang tersisa untuk mengekstrak komponen pati dari bahan semakin
kecil. Sebagian besar energi gelombang mikro terserap oleh pelarut.
Tabel 4.10. Rerata Rendemen Pati Endapan Ekstrak dari Uwi Putih dengan
Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi
Lama Waktu Ekstraksi (menit)
Rerata Rendemen Pati (%)
5 2,07 a 10 3,08 b
15 3,30 b BNT(α=0,05) 0,54
Hal serupa juga terjadi pada paparan gelombang mikro di atas 10 menit.
Tidak ada perbedaan yang nyata antara paparan 10 dan 15 menit terhadap
rendemen pati pada endapan ekstrak. Data pada Tabel 4.10 juga
mengindikasikan bahwa pada awal paparan gelombang mikro, pati yag
berdensitas tinggi yang lebih dahulu terlepas dari matriks bahan yang diekstrak.
Ketika dilanjutkan dengan sentrifugasi akan terendapkan. Menurut Herlina dkk.
(2015), setelah sentrifugasi pati tersebut akan terpisah dengan supernatan dan
membentuk endapan.
Menurut Routray dan Orsat (2012), pada umumnya rendemen ekstraksi
akan meningkat seiring dengan meningkatnya waktu iradiasi gelombang mikro.
Dalam hal ini banyaknya rendemen endapan diduga juga mengandung banyak
pati. Pada ekstraksi berbantuan gelombang mikro ini pati yang terperangkap
didalam matriks bahan akan dipaksa keluar menuju pelarut (Anton, dkk., 2017).
39
4.4 Rendemen Ekstrak Kasar PLA
Berat rendemen (bahan padat) ekstrak dalam supernatan diperoleh dari
hasil perkalian kadar total padatan dengan volumenya setelah pemekatan (100
mL). Asumsinya densitas supernatan pekat sama dengan 1. Rendemen bahan
padat ekstrak diperoleh dengan membagi berat rendemen bahan padat dengan
berat tepung (20 g) dan dikalikan 100%. Bahan padatan yang terdapat didalam
supernatan mencerminkan banyaknya PLA yang tercampur senyawa pengotor
yang terekstrak sehingga rendemen bahan padat dalam supernatan dapat
disebut sebagai rendemen ekstrak kasar PLA.
Hasil analisa ragam rendemen ekstrak kasar PLA uwi putih (Lampiran
12) menunjukkan bahwa perlakuan rasio bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi
memberikan pengaruh nyata (α= 0,05) terhadap rendemen ekstrak kasar PLA
uwi putih, akan tetapi tidak ada interaksi antar keduanya. Datanya berturut-turut
dapat dilihat pada Tabel 4.11 dan 4.12.
Tabel 4.11 Rerata Rendemen Ekstrak Kasar PLA dari Tepung Uwi dengan Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut Air
Rasio Bahan:Pelarut (b/v)
Rerata Rendemen (%)
1:10 5,75 a
1:15 8,25 b 1:20 6,36 a
BNT (0,05) 1,12
Tabel 4.12. Rerata Rendemen Ekstrak Kasar PLA (Supernatan) dari Tepung Uwi
Putih dengan Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi Lama Waktu
Ekstraksi (menit) Rerata
Rendemen (%)
5 5,60 a 10 7,01 b
15 7,76 b
BNT (0,05) 1,12
Rendemen ekstrak kasar PLA supernatan terendah diperoleh dari rasio
bahan:pelarut sebesar 1:10, yaitu 5,75%, sedangkan rerata rendemen tertinggi
didapatkan dari rasio bahan:pelarut 1:15 sebesar 8,25%. Rerata rendemen
ekstrak kasar PLA supernatan dipengaruhi oleh lama waktu ekstraksi, paling
tinggi sebesar 7,76% (15 menit), sedangkan rendemen terendah diperoleh pada
lama ekstraksi 5 menit yaitu sebesar 5,60%. Semakin lama waktu ekstraksi maka
rendemen supernatan yang didapat juga cenderung meningkat.
Bahan padatan yang terdapat didalam supernatan lebih didominasi oleh
senyawa PLA yang molekulnya berikatan dengan protein dengan sedikit
40
senyawa pengotor terutama pati. Oleh karena itu besarnya rendemen PLA
mempunyai kecenderungan yang serupa dengan kadar protein supernatan
(Tabel 4.2).
Menurut Xu et al (2012), pada ekstraksi menggunakan gelombang mikro,
penggunaan pelarut yang terlalu banyak dapat menurunkan rendemen senyawa
yang terekstrak. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan energi radiasi dari
daya gelombang mikro yang terpenetrasi kedalam bahan. Senyawa yang ikut
terekstrak ke dalam pelarut bukan hanya senyawa yang diinginkan, tetapi juga
terdapat senyawa-senyawa lain, terutama pati. Seperti yang dikatakan oleh
Wanasundera dan Ravindran (1994), umbi uwi mengandung senyawa-senyawa
seperti vitamin, protein, pati, dan juga oksalat.
Dengan waktu yang lebih lama maka difusi pelarut ke dalam matriks
tepung dan memberi kesempatan yang lebih lama bagi pelarut untuk kontak
dengan PLA dan melarutkannya. Menurut Kurniasari (2008), meningkatnya
waktu ekstraksi juga akan meningkatkan gesekan antar molekul material dengan
gelombang mikro, gesekan ini menyebabkan dinding sel maupun jaringan bahan
akan rusak, sehingga semakin banyak pula energi yang terserap oleh bahan
sehingga solute akan banyak keluar. Energi yang dilepaskan oleh gelombang
mikro merupakan energi thermal, sehingga semakin lama waktu ekstraksi maka
juga akan meningkatkan energi thermal yang dikeluarkan, oleh karenanya sel
yang terdapat pada bahan akan pecah dan rendemen ekstrak akan semakin
banyak (Thirugnanasambandham, 2015). Selain itu, semakin lamanya waktu
ekstraksi akan menyebabkan kontak antara pelarut dengan bahan akan semakin
lama sehingga dari keduanya akan terjadi pengendapan massa secara difusi
sampai terjadi keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dan diluar bahan
ekstraksi (Bernasconi, 1995).
4.5 Kadar Air dan Rendemen Pati Kasar
Pada bagian sebelumnya sudah dikemukakan bahwa pati akan banyak
terdapat pada endapan hasil sentrifugasi. Hasil analisa ragam kadar air dan
rendemen pati kasar (endapan) ekstrak uwi putih dengan pelarut air (Lampiran
13 dan 14) menunjukkan bahwa perlakuan rasio bahan:pelarut air dan lama
waktu ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata (α= 0,05) terhadap kadar air
dan rendemen pati kasar ekstrak uwi putih, akan tetapi tidak terjadi interaksi
antara keduanya (Tabel 4.13 dan Tabel 4.14).
41
Tabel 4.13. Rerata Kadar Air dan Rendemen Esktrak Pati Kasar (Endapan) dari
Uwi Putih dengan Pengaruh Rasio Bahan:Pelarut Air
Rasio Bahan:Pelarut (b/v)
Rerata Kadar Air (%)
Rendemen Pati Kasar (%)
1:10 11,88 a 8,73 a
1:15 12,29 a 16,74 b 1:20 13,29 b 17,63 b
BNT (α=0,05) 0,63 2,91
Tabel 4.14. Rerata Kadar Air dan rendemen Ekstrak Pati Kasar (Endapan) dari
Uwi Putih dengan Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi
Lama Waktu Ekstraksi
(menit)
Rerata Kadar Air
(%)
Rendemen Pati
Kasar (%)
5 11,74 a 11,66 a 10 12,27 a 16,00 b 15 13,45 b 15,44 b
BNT (α=0,05) 0,63 2,91
Kadar air dan rendemen ekstrak pati kasar meningkat dengan semakin
banyaknya pelarut, tetapi di atas rasio bahan:pelarut sebesar 1:15 tidak
memberikan peningkatan yang nyata, tetapi untuk lama paparan sampai 15
menit masih mengalami peningkatan yang nyata.
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air endapan meningkat seiring
dengan meningkatnya rasio bahan:pelarut dan lama waktu ekstraksi. Hal ini
dapat terjadi dikarenakan didalam endapan diduga mengandung pati yang
memiliki sifat mengikat air. Sehingga semakin lama pati tersebut kontak dengan
air maka semakin besar kemungkinan pati mengikat lebih banyak air, begitupula
dengan semakin banyaknya pelarut yang diberikan. Kandungan amilosa dan
amilopektin yang terdapat pada endapan berpengaruh terhadap penyerapan air
(Putri, 2011). Selain pati, komponen-komponen lain yang terkandung didalam
tepung uwi juga turut berkontribusi dalam mengikat air dan meningkatkan kadar
air pada endapan. Meningkatnya waktu ekstraksi dan rasio bahan:pelarut akan
menyebabkan banyaknya senyawa-senyawa yang ikut terkestrak dan keluar dari
matriks bahan, ketika dilakukan sentrifugasi terdapat senyawa-senyawa yang
mengendap salah satunya adalah pati (Herlina, dkk., 2015). Akibatnya semakin
tinggi pula kadar air yang nantinya akan diikat oleh senyawa yang mengendap
tersebut.
Semakin banyak pelarut yang digunakan maka luas medan
elektromagnetik juga semakin besar sehingga menyebabkan kontak antara
matriks bahan dengan gelombang mikro semakin tinggi pula Gao et a. (2006).
42
Hal tersebut memberikan kesempatan kepada energi gelombang mikro untuk
memecah matriks bahan dan menyebabkan senyawa-senyawa keluar menuju
pelarut. Meningkatnya rendemen seiring dengan bertambahnya pelarut
disebabkan semakin tingginya senyawa-senyawa yang sudah keluar dari dalam
sel akan tetapi tidak dapat larut ke dalam pelarut air, sehingga akan membentuk
endapan dan menaikkan rendemen endapan. Selain itu, kenaikan rendemen
endapan seiring dengan banyaknya pelarut yang ditambahkan dapat terjadi
karena sudah jenuhnya pelarut yang digunakan, sehingga senyawa yang
diekstrak sudah tidak mampu lagi untuk larut bersama pelarut air. Menurut Farida
(2015), semakin banyak pelarut yang digunakan akan meningkatkan kontak
antara matriks bahan dengan pelarut, akan tetapi apabila sudah mencapai titik
optimal maka pelarut akan mengalami kejenuhan dan tidak dapat menampung
senyawa yang akan terekstrak lagi.
Semakin lama waktu ekstraksi maka rendemen yang dihasilkan semakin
tinggi, akan tetapi rendemen menurun dan cenderung konstan pada lama
ekstraksi 15 menit. Semakin lama waktu ekstraksi diduga yang lebih banyak
terekstrak adalah senyawa yang lebih mudah larut kedalam pelarut (supernatan),
sedangkan pati yang berdensitas besar dan kurang larut air sudah terekstrak
terlebih dahulu. Pati memiliki densitas sebesar 1.5 g/cm3, sedangkan air hanya 1
g/cm3 (Guine et al., 2016). Seperti yang dikatakan oleh Rahmawati (2013),
apabila waktu kontak bahan dengan pelarut yang terkena paparan terjadi secara
singkat maka akan menghasilkan energi panas yang sedikit, sehingga hanya
sedikit sel yang pecah. Mandal dkk (2007) menyatakan bahwa secara umum
waktu optimum dalam ekstraksi gelombang mikro berkisar antara 15-20 menit.
4.5 Pemilihan Perlakuan Terbaik
Pemilihan perlakuan terbaik pada penelitian ini menggunakan metode
Multiple Atribute (Zeleny, 1982). Adapun parameter yang digunakan antara lain
rendemen, kadar pati, dan kadar protein. Untuk perlakuan terbaik supernatan
parameter yang diharapkan memiliki nilai ideal minimal adalah kadar pati dan
total padatan, sedangkan yang diharapkan memiliki nilai ideal maksimal adalah
kadar protein dan rendemen. Untuk perlakuan terbaik endapan parameter yang
diharapkan memiliki nilai ideal minimal adalah kadar protein, dan yang memiliki
nilai ideal maksimal adalah kadar pati, kadar air, dan rendemen. Perlakuan
terbaik yang dipilih memiliki tingkat kerapatan yang paling kecil. Perhitungan
43
pemilihan perlakuan terbaik dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil penentuan
perlakuan terbaik supernatan dan endapan disajikan pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15. Hasil Penentuan Perlakuan Terbaik Ekstraksi Simultan Pati dan PLA
dari Uwi Putih Rasio
Bahan: Pelarut
Lama Sonikasi (menit)
L1 L2 Lmax Hasil Rank
1:10 5 0,347368703 0,019877442 0,347368703 0,714614847 9
1:10 10 0,274386572 0,011334122 0,274386572 0,560107266 7
1:10 15 0,2002822 0,009075559 0,2002822 0,409639958 4
1:15 5 0,243453051 0,011208459 0,243453051 0,498114561 6
1:15 10 0,190137989 0,007850172 0,190137989 0,388126149 3
1:15 15 0,118715668 0,005861087 0,118715668 0,243292424 1
1:20 5 0,317803325 0,017785657 0,317803325 0,653392308 8
1:20 10 0,208993343 0,01161727 0,208993343 0,429603957 5
1:20 15 0,170717598 0,01015184 0,170717598 0,351587036 2
Perlakuan terbaik untuk ekstraksi simultan PLA dan pati berbantu
gelombang mikro adalah ekstraksi dengan rasio bahan:pelarut sebesar 1:15
selama 15 menit. Perlakuan terbaik yang sudah didapat selanjutnya dianalisa
serat pangan dan serat kasar, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.16.
Tabel 4.16. Kadar Serat Pangan Serat Kasar pada Hasil Terbaik Ekstrak Kasar
PLA dan Ekstrak Kasar Pati dari Uwi Putih
Parameter
Rasio bahan:pelarut 1:15 dan Ekstraksi 15 menit
1)
Supernatan Endapan
Serat Kasar (%) 1,55 5,42
Serat Pangan (%) 13,22 0,63
1) Perlakuan terbaik
Supernatan mengandung serat kasar sebesar 1,55% dan serat pangan
sebesar 13,22%. Untuk perlakuan terbaik endapan mengandung serat kasar
sebesar 5,42% dan serat pangan sebesar 0,63%. Hal ini menunjukkan bahwa
kadar serat kasar tertinggi terkandung pada endapan, sedangkan serat pangan
tertinggi terkandung pada supernatan. Serat pangan yang terkandung didalam
supernatan ataupun endapan diasumsikan sebagai PLA. Karena PLA
merupakan serat pangan larut air (Saputro dkk, 2015). Sehingga pada saat
dilakukan sentrifugasi serat pangan ini akan larut bersamaan dengan pelarut air,
oleh karenanya kadar serat pangan pada supernatan lebih tinggi dibandingkan
44
endapan. Sedangkan serat kasar merupakan serat yang terdapat pada tumbuh-
tumbuhan yang tidak larut pada air, sehingga pada saat dilakukan sentrifugasi
serat kasar akan terpisah dari pelarut air dan membentuk endapan bersamaan
dengan pati. Sehingga dapat diasumsikan fraksi supernatan mengandung PLA
yang lebih tinggi dibandingkan fraksi endapan. Harijono, dkk (2012) melakukan
ekstraksi PLA dari umbi gembili yang diekstraksi dengan metode maserasi
menghasilkan kadar ekstrak kasar PLA sebesar 4,24%. Perbedaan kadar PLA ini
dapat disebabkan oleh metode ekstraksi yang dilakukan, dimana penambahan
energi gelombang mikro pada ekstraksi secara maserasi dapat menyebabkan
senyawa yang berada di dalam sel dengan mudah mengalir ke pelarut karena
kecepatan memutuskan sel ataupun jaringan lebih tinggi (Mandal et al., 2007;
Utara et al., 2010).
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil ekstrak kasar PLA dan pati kasar
ditentukan oleh rasio bahan terhadap air sebagai pelarut. Rasio bahan
terhadap pelarut di atas 1:15 dan waktu kurang dari 15 menit ternyata
kurang efektif mengekstrak kedua senyawa di atas. Sentrifugasi pada
kecepatan 4500 rpm selama 20 menit dapat memisahkan PLA dari pati, di
mana PLA sebagian besar terdapat pada fraksi supernatan, sedangkan
senyawa pati merupakan penyusun dominan pada fraksi endapan.
Pemisahan keduanya belum cukup efektif karena ekstrak kasar PLA
mengandung pengotor pati dan sebaliknya ekstrak kasar pati masih
mengandung PLA.
b. Tujuan penelitian dapat dicapai karena diperoleh kombinasi perlakuan yang
terbaik. Kondisi yang tepat untuk ekstraksi berbantu gelombang mikro untuk
pati dan PLA secara simultan dari uwi putih yaitu dengan rasio bahan
terhadap pelarut sebesar 1:15 dan lama waktu 15 menit. Hasil perlakuan
terbaik tersebut menghasilkan rendemen ekstrak kasar PLA dan ekstrak
kasar pati masing-masing sebesar 8,91% dan 17,86 %. Kandungan serat
kasar dan serat pangan pada ekstrak kasar PLA masing-masing sebesar
1,545% dan 13,22% serat pangan, sedangkan ekstrak kasar pati berkadar
serat kasar 5,420% dan serat pangan sebesar 0,625%. Ekstrak kasar PLA
memiliki kadar protein sebesar 5,59%, kadar pati 0,48% dan ekstrak kasar
pati memiliki kadar protein sebesar 0,62%, kadar pati 26,24%.
5.2 Saran
1. Ekstraksi berbantu gelombang mikro untuk PLA dan pati secara simultan
sebaiknya dilakukan dengan rasio bahan terhadap pelarut tidak lebih dari
1:15 karena untuk penguapan airnya cukup sulit. Demikian pula lama
ekstraksi di bawah 15 menit kurang efisien.
2. Perlu dilakukan analisa lebih lanjut untuk ampas hasil ekstraksi agar
dapat mengetahui persentase pati dan PLA yang tertinggal di ampas.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adicandra, R.M. dan Teti Estiasih. 2016. Beras Analog dari Ubi Kelapa Putih
(Discorea alata L.): Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri.
Vol 4 No 1: 383-390.
Afidin, Muhammad Nur., Yusuf Hendrawan., Rini Yulianingnsih. 2014. Analisis
Sifat Fisik dan Kimia pada Pembuatan Tepung Umbi Uwi Ungu
(Dioscorea alata), Uwi Kuning (Dioscorea alata), dan Uwi Putih
(Dioscorea alata). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosostem.
Vol 2 No 3: 297-303
Aldera, Meta. 2010. Ekstraksi Glukomanan dari Tepung Porang
(Amorphophallus oncophyllus) dengan Metode Ultrasonik (Kajian
Proporsi Tepung Porang dan Lama Ekstraksi). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Anonim. 2015. Uwi, Pangan Fungsional yang Prospektif. Dilihat pada tanggal
27 Desember 2016. http://bkpd.jabarprov.go.id/uwi-pangan-fungsional-
yang-prospektif/
Anonymous, 2009. Dioscorea alata. Dilihat pada 1 Desember 2016.
www.ecocrop.fao.org.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16 th Edit. Assosiation of Official
Analitical Chemist Int., Washington D.C
AOAC. 2001. Protein (Crude) in Animal Feed, Forage (Plant Tissue), Grain,
and Oilseed. J. AOAC. Int
AOAC, 2005. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical
Chemists. Benjamin Franklin Station. Washington.
Asp NG, Schweizer TF, Southgate DAT, Theander O. 1992. Dietary Fiber
Analysis. In Dietary Fibre a Component of Food. Nutritional Function
in Health and Disease. Schweizer TF, & CA Edwards (ed). London.
Belitz, H.D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer Verlag. Berlin.
Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble and E. Scheneifer. 1995.
Teknologi Kimia Bagian 2. Penerjemah: Handjojo L dan Pradnya
Paramita. Jakarta.
Chaplin, M. 2002. The Use of Enzymes in Starch Hydrolisis. Dilihat pada 30
Desember 2016. http://www.sbu.ac.uk.
Chen, H.L., Wang, C.H., Chan, C.T. dan Wang, T.C. 2003. Effects of
Taiwanese Yam (Dioscorea alata L. Cv Tainung No. 2) on the Mucosal
47
Hydrolase Activites and Lipid Metabolism in Balb/C Mice. Nutrition
Research 23: 791-801.
Chen, Y., Xie, M.Y., Gong, X.F., 2007, Microwave Assisted Extraction Used
for the Isolation of Total Triterpenoid Saponins from Ganoderma
atrum. Journal of Food Engineering, 81:172-170.
Christen, P., Kaufman, B. 2002. Recent Extraction Techniques for Natural
Products: Microwave Assited Extraction and Pressurized Solvent
Extracion. Phytochemical Analysis 13 (2): 105-113.
Darwis D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium Dalam Penelitian Senyawa
Bahan Alam Hayati, Workshop Pengembangan Sumber Daya
Manusia Dalam Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. FMIPA
Universitas Andalas. Padang.
Delazar A., Nahar L., Hamedeyazdan S., Darker D. S. 2012. Microwave-
Assisted Extraction in Natural Products Isolation. Methods Mol Biol
vol 864, 89-115.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Diktorat Jendral POM-Depkes RI. Jakarta.
Departemen Pertanian RI. 2005. Pengembangan Usaha Tepung Tapioka.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil. Jakarta.
Diniyah, N., Maryanto, Ahmad Nafi, Demi Sulistia, dan Achmad Subagio. 2013.
Ekstraksi dan Karakterisasi Polisakarida Larut Air dari Kulit Kopi
Varietas Arabika (Coffea arabica) dan Robusta (Coffea canephora).
Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 14 No. 2.
Epriliati, Indah. 2000. Potensi Dioscorea dalam Pangan Fungsional. Jurnal
Teknologi Pangan dan Gizi. Vol. 1 Nomor 1.
Farida, R. 2015. Ekstraksi Antosianin Limbah Kulit Manggis Metode
Microwave Assisted Extraction (Lama Ekstraksi Dan Rasio
Bahan:Pelarut). Jurnal Pangan Dan Agroindustri 3 (2): 362-373.
Fauziyah., Solikin., dan B.W. Sedjati. 2010. Laporan Eksplorasi Dioscoreaceae
di wilayah Kabupaten Pasuruan. UPT BKT Kebun Raya Purwodadi-
LIPI. Purwodadi.
Fu, Y.T., Huang, P.Y., Chu, C.J. 2005. Use of Continous Bubble Separation
Process for Separating and Recovering Starch and Mucilage from
Yam (Dioscorea pseudojaponica yamamoto). LWT (38): 735-744.
48
Gao, M., Song, B., Lin, C., 2006, Dynamic Microwave Assisted Extraction Of
Flavonoids From Saussurea Medusa Maxim. Cultured Cells,
Biochemical Engineering Journal, 332: 79-83.
Gozan, Misri. 2006. Absorpsi, Leaching, dan Ekstraksi pada Industri Kimia.
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Guine, Raquel de Pinho F., Correia, Paula Maria dos R. 2016. Engineering
Aspects of Cereal and Cereal-Based Products. CRC Press. Boca
Raton.
Harijono., Teti Estiasih, Wenny Bekti Sunarharum, dan I Komang Suwita. 2012.
Efek Hipoglikemik Polisakarida Larut Air Gembili (Dioscorea
esculanta) yang Diesktrak dengan Berbagai Metode . Jurnal Teknologi
dan Industri Pangan Vol. XXIII No. 1
Hartanti, N.S. dan T.K. Prana. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar
Tepung Beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenta L. Schott).
Jurnal Natur Indonesia 6 (1) : 29-33
Hartati, Indah. 2010. Isolasi Alkaloid dari Tepung Gadung (Dioscorea hispida
Dennst) dengan Teknik Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro. Tesis.
Universitas Diponedoro. Semarang.
Hayat, K., Hussain, S., Abbas, S., Farooq, U., Ding, B., Xia, S., Jia, C., Zhang,
X., and W. Xia. 2009. Optimized Microwave-Assisted Extraction Of
Phenolic Acids From Citrus Mandarin Peels and Evaluation Of
Antioxidant Activity In Vitro. Separation and Purification Technology,
70: 63-70.
Herlina. 2012. Karakterisasi dan Aktivitas Hipolipidemik serta Potensi
Prebiotik Polisakarida Larut Air Umbi Gembili (Dioscorea esculenta
L.). Disertasi Program Doktor. Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Herlina., Wiwik S.W. 2010. Identifikasi dan Karakterisasi Struktur
Polisakarida Larut Air dari Umbi Gembili (Dioscorea esculanta L.).
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Jember. Jember.
Herlina., Triana Lindriati., Dicki Hardi Wantoro. 2015. Karakteristik Ekstrak
Kasar Polisakarida Larut Air dari Biji Buah Durian (Durio zibethinus
Murr.). Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 16: 21-30.
49
Hoseney, R.C. 1998. Principal of Cereal Science and Technology 2nd
Edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul,
Minnesota. USA.
Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai
Bahan Enkapsulasi Komponen Flavor. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Indrastuti E., Harijono, B. Susilo. 2012. Karakteristik Tepung Uwi Ungu
(Dioscorea alata L.) yang Direndam dan Dikeringkan sebagai Bahan
Edible Paper. Jurnal Teknologi Pertanian 13(3): 169–176.
Inesticha, Kenya. 2012. Karakteristik Polisaksarida Larut Air (PLA) Fraksi
Non PLA dari Umbi Gembili (Dioscorea esculanta) dan Umbi Uwi
(Dioscorea alata) yang di Ekstraksi dengan Air dan Sedimentasi
Alami. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
Malang.
Jain, T., V. Jain, R. Pandey, A. Vyas, S. S. Shukla. 2009. Microwave Assisted
Extraction for Phytoconstituents – An Overview. Asian Journal
Research Chemistry , 1 (2), 19-25.
J. Ruales, Valensia, S. dan Nair, B. 1993. Effect of Processing on The
Physicochemical Characteristics of Quinoa Flour (Chenopodium
Quinoa, Wild). 46 (1): 13-19.
Kingston, H.M., Haswell, S.J. 1997. Microwaved-enhancedchemistry.
American Chemical Society. Washington DC.
Krzyzaniak, W., Bialas, W., Olesienkiewicz, A., Jankowski, T., Grajek, W. 2003.
Characteristics of Oligosaccharides Produced by Enzimatic
Hydrolysis of Potato Starch Using Mixture of Pullulanases and
Alpha-Amylases. Journal of Polish Agricultural Universities 6 (2).
Kurniawan, Sofyan. 2016. Isolasi Protein dari Umbi Uwi (Dioscorea alata) dan
Uji Aktivitas Antioksidan menggunakan Metode DPPH (2,2-diphenyl-
1-picrylhydrazyl). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang.
Kurniasari, L. 2008. Kajian Ekstraksi Minyak Jahe menggunakan Metode
Microwave Assisted Extraction (MAE). Momentum 4 (2).
Kusnandar, Feri. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Dian Rakyat. Jakarta.
Kusnandar, Feri. 2010. Teknologi Modifikasi Pati dan Aplikasinya di Industri
Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. IPB. Bogor.
50
Lingga, L. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P. C. Rahardja, J. J. Afriastini, R. Wudianto
dan W. H.Apriadji. 1986. Bertanam Ubi-Ubian. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Lunn, J dan Buttriss, J.L. 2007. Carbohydrates and Dietary Fibre. Nutrition
Scientist, British Nutrition Foundation. London.
Makfoeld, D. 2008. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Mandal, V., Mohan, Y., Hemalath, S. 2007. Microwave Assisted Extraction-An
Innovative and Promising Extraction Tool for Medicinal Plant
Research. Phcog Rev. 1 (1) :7-18.
Mawaddah, R. 2008. Kajian Hasil Riset Potensi Antimikroba Alami dan
Aplikasinya dalam Bahan Pangan di Pusat Informasi. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Miereles, M. Angela A. 2009. Extracting Bioactive Compounds for Food
Products, Theory and Applications. CRC Press. Boca Raton.
Miller J.N. 2000. Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry,
4th ed. Harlow. Prentice Hall.
Mujiati, Diah. 2014. Alat Pemisah Campuran Zat Sentrifigase. Dilihat 23 Juni
2017. https://digital-meter-indonesia.com/alat-pemisah-campuran-zat-
sentrifugase/.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa
Aktif. Jurnal Kesehatan. Vol. VII No. 2: 362.
Murray R.K. 2002. Biokimia Harper. Eds. 24. EGC. Jakarta
Nainggolan, O dan C. Adimunca. 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Cermin Dunia
Kedokteran No. 147.
Neckers, C. D. 2007. Organic Chemistry. John Wiley and Sons. New York.
Nurmillah, O.Y. 2009. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak
Biji, Kulit Buah, Batang, dan Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha
curcas L). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar. USA.
Peroni, F.G.H., Rocha, T.S., Franco, C.M.L. 2006. Some Structural and
Physicochemical Characteristic of Tuber and Root Starches. Food
SciTech Int. 12 (6): 505-513.
51
Prasetyo, S.S., Henny Sunjaya, Yohanes Yanuar N. 2012. Pengaruh Rasio
Massa Daun Suji/Pelarut, Temperatur, dan Jenis Pelarut Pada
Ekstraksi Klorofil Daun Suji Secara Batch dengan Pengontakan
Dispersi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Universitas Katolik Parahyangan. Bandung.
Prawiranegara, D. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi
Departemen Kesehatan RI. Bhratara. Jakarta.
Prosky L, Asp NG, Schweizer TF, Devries JW, Furda I. 1988. Determination of
Insoluble, Soluble, and Total Dietary Fiber in Foods and Food
Products. Journal Association Official Analytical Chemists. 71:1017-1023
Putri, Sefanadia. 2011. Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Jagung Nikstamal
dan Aplikasinya Sebagai Bahan Baku. Tesis. Universitas Lampung.
Bandar Lampung.
Putri, S. E. 2013. Ekstraksi Air Terhadap Umbi Suweg dan Uwi dan
Karakterisasi Fraksi dari Sedimentasi Alami. Skripsi. Universitas
Brawijaya. Malang
Rahmawati, A. 2010. Efek Hipoglikemik Ekstrak Kasar Polisakarida Larut Air
Non-Pati Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) yang Diperoleh
dari Berbagai Metode Ekstraksi pada Tikus Hiperglikemia. Tesis.
Universitas Brawijaya. Malang.
Rahmawati, R.S. 2012. Ekstraksi Polisakarida Larut Air Kulit Kopi Robusta
(Coffea canephora) Berdasarkan Jumlah Pelarut dan Lama Ekstraksi.
Skripsi. Universitas Jember. Jember.
Richana, N dan Titi C.S. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbu
dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan
Gembili. Jurnal Pasca Panen. 1(1): 29-37.
Routray, Winny dan V. Orsat. 2012. Microwave-assisted Extraction of
Flavonoids. Food and Bioprocess Technology 5: 409-424.
Salas, P.G. 2010. Phenolic-Compound-Extraction System for Fruit and
Vegetable Samples. Moleculer. 15: 8813-8826.
Saputro, S. P. Dan Teti Etsiasih. 2015 .Pengaruh PLA dan Serat Pangan Umbi
Terhadap Glukosa Darah. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 2:
756-762.
52
Sastrohamidjojo, Hardjono. 2005. Kimia Organik; Stereokimia, Karbohidrat,
Lemak Dan Protein. Penerbit Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Schmidt, R. J. 1994. Botanical Dermatologv Databax-Dioscorea. Dalam
Potensi Dioscorea dalam Pangan Fungsional. Jurnal Teknologi Pangan
dan Gizi Vol. 1 No. 1. Surabaya.
Seidel V., 2006. Initial and Bulk Extraction. Dalam Natural Products Isolation.
2nd ed. Humana Press Inc. New Jersey.
Setyantoro dan Walokosari. 2012. Kajian Etnobotani Tanaman Uwi (Dioscorea
alata): Pemanfaatan dan Peranannya dalam Usaga Pengganti
Makanan Pokok Keluarga di Desa Kebonsari Kecamatan
Kademangan Kabupaten Blitar, Jatim. Karya Ilmiah. Program Studi
Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
Sudarmadji, S. 1977. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty. Yogyakarta
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tensiska, 2008. Serat Makanan. Makalah. Jurusan Teknologi Industri Pangan.
Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung.
Tiara, L. 2012. Dioscoreaceae. Dilihat 15 Agustus 2017. http://dioscoreaceae.e-
monocot.org/taxonomy/term/1788.
Trustinah., Astanto Kasno. 2013. Uwi-uwian (Dioscorea) : Pangan Alternatif
yang Belum Banyak Dieksploitasi. Dilihat 12 Desember 2016.
http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/info-teknologi/1171-uwi-uwian-
dioscorea-pangan-alternatif-yang-belum-banyak-dieksploitasi.html
Tsukui, M T. Nagashima, H. Sato, T. Kozima, dan W. Tanimura. 1999.
Characterization of yam (Dioscorea opposita Thunb.) mucilage and
polysaccharide with different varieties. J Jpn Soc Food Sci
Technol,vol. 46, pp 575-580.
Udensi E.A, H.O. Oselebe and O.O. Iweala. 2008. The Investigation of
Chemical Composition and Functional Properties of Water Yam
(Dioscorea alata): Effect of Varietal Differences. Pakistan Journal of
Nutrition 7 (2): 342-344.
53
Wanasundera JPD and G Ravindran. 1994. Nutritional Assesment of Yam
(Dioscorea alata) Tubers. Plant Foods of Human Nutr. 46: 33–39.
Wang, Y.L., Xi, G.S., Zheng, Y.C., Miao, F.S., 2010, Microwave Assisted
Extraction from Chinese herb Radix puerariae. Journal of Medicinal
Plant Research, 4(4):304-308.
Wang, Y., Feifan L., Xiaofeng L., Weijie Z., dan Mingjun Y. 2014. Optimization
of Microwave-Assisted Extraction of Water-Soluble Polysaccharides
from Piteguo Fruit by Response Surface Methodology. Food Science
and Technology Research. Vol. 20 No. 4.
Wardhana, Hendra. 2015. Inilah Umbi-Umbian Lokal Indonesia yang
Berpotensi sebagai Pangan Alternatif. Dilihat pada tanggal 27
Desember 2016. http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/inilah-
umbi-umbian-lokal-indonesia-yang-berpotensi-sebagai-pangan-
alternatif_5528be196ea83488268b4 5b3
Weickert MO, Pfeiffer AFH. 2008. Metabolic Effects of Dietary Fiber
Consumptionand Prevention of Diabetes. J Nutrs 138: 439-442.
Widjanarko, S.B., Aji Sutrisno, dan Anni Faridah. 2011. Efek Hidrogen
Peroksida Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Tepung Porang
(Amorphophallus oncophyllus) dengan Metode Maserasi dan
Ultrasonik. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No. 3.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Winarno. 1995. Enzim Pangan. PT Gramedia Utama. Jakarta.
Yeh, A.I., Chan, G.C., Chuang. 2009. Effect of Water Content and Mucilage on
Physico-Chemical Characteristics of Yam (Dioscorea alata Purpurea)
Starch. Journal of Food Engineering (95): 106-114.
Yoshimassa, T. 2009. Current Strategy of Metawater on Methane
Fermentation of Palm Oil Plant Wastewater. Metawater Co.Ltd.
Jepang.
Yuwono, Triwibowo. 2009. Biologi Molekular. Erlangga. Jakarta.
Zulfikar. 2008. Kimia Kesehatan. Jilid 3. Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta.