Download - Ekonomi Syariah uas
Ekonomi Syari’ah:
Murabahah dalam Perbankan Syari’ah di Indonesia
Oleh
Riska Ayu Setiawati
3112731
FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMIKA
UNIVERSITAS SURABAYA
SURABAYA
2015
BAB I
LATAR BELAKANG
Perkembangan sistem syariah di Indonesia telah mengalami kemajuan yang
pesat, masyarakat mulai mengenal dengan apa yang disebut Bank Syariah. Diawali
dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, (Agung, 2009)
sebagai pelopor berdirinya perbankan yang berlandaskan sistem Syariah. Perbankan
Syari’ah semakin marak manakala diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1998 yang
memungkinkan perbankan menjalankan dual banking system atau bank konvensional
dapat mendirikan divisi syari’ah. Dengan adanya Undang- undang tersebut bank-bank
konvensional mulai membuka unit usaha syari’ah. Maka dari itu perkembangan
perbankan syari’ah cukup pesat. Dalam kurun waktu 15 tahun perbankan syari’ah
secara keseluruhan terdiri dari 3 Bank Umum Syari’ah, 25 Unit Usaha Syari’ah dan
109 BPRS. Berikut tabel perkembangan Bank Syariah di Indonesia.
Salah satu usaha bank islam untuk mendapatkan profit dan membantu
pertumbuhan ekonomi adalah dengan kegiatan penyaluran dana yang dilakukan tidak
hanya berdasarkan prinsip bagi hasil. Produk penyaluran dana (financing) terdiri dari
prinsip jual beli yang diantaranya meliputi pembiayaan murabahah yang merupakan
sistem fiqih yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah. Transaksi ini
sering dilakukan oleh Rasulullah SAW, dan para sahabatnya (Budiyoso, 2010).
Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut
ditambah keuntungan yang disepakati.
Meskipun demikian, mekanisme pembiayaan murabahah ini, ternyata tak lepas
dari kecaman dan kritikan dari para Ilmuwan Muslim sendiri. Mereka berpendapat
1
bahwa bank-bank syari’ah dalam menjalankan kegiatan usahanya, ternyata bukannya
meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek
pembebanan bunga, namun dengan label ‘Islam’. Di kalangan ulama fiqh pun,
keabsahan pembiayaan murabahah-pun masih banyak perdebatan. Ada sebagian
ulama yang membolehkan karena murabahah merupakan jual beli, tetapi ada sebagian
ulama yang melarang karena beranggapan bahwa murabahah itu bukanlah jual beli
melainkan hilah untuk mendapatkan riba.
Menurut Karim (2010) terdapat beberapa masalah yang sering terjadi pada
pembiayaan murabahah terutama dari sisi pihak bank, diantaranya :
1. Murabahah, sekalipun menyangkut jual beli barang tetapi pada hakekatnya adalah
transaksi pembiayaan. Dan fungsi bank tetap sebagai pedagang jasa yang
memberikan fasilitas pembiayaan, bukan sebagai pedagang barang. Karena secara
yuridis, adalah nasabah yang membeli barang dari pemasok bukan bank. Dan
bank hubungannya dengan pemasok barang adalah sebagai kuasa dari dan atas
nama nasabah bank. Dengan demikian bank harus dapat menyadari risiko,
manakala terjadi penggugatan oleh pemasok barang apabila pemesanan barang
dari nasabah dibatalkan. Atau terjadi pembatalan ketika barang tersebut sudah
berada di tangan bank. Dan bank harus menanggung semua dari pembatalan
pemesanan tersebut.
2. Apabila terjadi penundaan kewajiban membayar disebabkan karena
ketidakmampuan nasabah, maka bank tidak diperbolehkan meminta nasabah
membayar jumlah tambahan sebagai denda tetapi bank menunggu nasabah sampai
mampu membayar cicilan. Inilah kerugian yang harus ditanggung bank ketika
nasabah tidak mampu membayar sesuai dengan jatuh tempo pembayaran yang
disepakati bersama.
Berdasarkan latar belakang, maka pada makalah ini ini akan menguraikan
konsep murabahah dalam perspektif fiqh maupun praktek yang terjadi di Indonesia
saat ini.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga pokok perolehan barang dengan
tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak penjual dengan pihak pembeli
barang. Perbedaan yang nampak pada jual beli murabahah adalah penjual harus
mengungkapkan harga perolehan barang dan kemudian terjadi negoisasi keuntungan
yang akhirnya disepakati kedua belah pihak. Pada perjanjian murabahah , pihak
penjual membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh pembeli (Nurhayati,
2009). Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal
yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam
murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang
tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut.
Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase. Jika
seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa
memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia
juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut.
Diantara dalil yang memperbolehkan praktik akad mudharabah adalah sebagai
berikut;
“…dan dari orang-orang nyang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah…”(QS. Al Muzammil: 20), yang menjadi argument dan dasar
dilakukannya akad mudharabah dalam ayat ini adalah kata ‘yadhribun’ yang
sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu
perjalanan usaha.
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak m,embeli hewan ternak. Jika persyarat5an itu
dilanggar, mia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abba situ didengar Rasulullah, bneliau membenarkannya”
Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahan melakukan
transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam
3
bab mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha (ahli fiqhj). Hadits ini
menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnya mudharabah
muqayyadah, karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan
beberapa persyaratan bagi mudharib dalam mengelola dana yang diberikan. Isi
hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan mudharabah.
“Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secara
tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandung dengan jewawut
untuk kelperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. Hadits riwayat Ibnu
Majah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik mudharabah. Kedudukan
hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yang menggunakannya
sebagai dalil untuk akad Mudharabah ataupun jual beli tempo.
Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih
baik, terdapat pada perniagaan terlebih pada jual beli yang dilakukan secara
tempo ataupun akad mudharabah sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam
hadits tersebut.
Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah
Zuhaily dari kitab al Fiqh al Islamy wa Adillatuh. Diriwayatkan bahwa
sejumlah sahabat melakukan mudharabah dengan menggunakan harta anak
yatim sebagai modal dan tak seorangpun dari mereka yang menyanggah
ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam satu amalan tertentu disaksikan
oleh sahabat lain lalu tidak seorangpun menggahnya, maka hal itu merupakan
ijma’. Ketentuan ijma’ ini secara sharih mengakui keabsahan praktik
pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan.
Qiyas merupakan dalil lain yang memperbolehkan Mudharabah dengan
menqiyaskannya kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil umum dilakukan
dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerjasama dengan
orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan merawat isi
perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat mendapatkan bagi hasil
tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put perkebunan
(pertanian).
Dalam mudharabah, pemilik dana dianalogkan dengan pemilik kebun,
sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan dengan pengusaha. Mengingat dasar
hokum musaqat lebih valid dan tegas nyang diambil dari sunnah Rasulullah SAW,
4
maka metodologi qiyas dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya
mudharabah.
Pada kitab Al-Qur’an, tidak pernah secara langsung membicarakan tentang
murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi, dan
perdagangan. Demikian pula dalam hadis, tampaknya tidak ada hadis yang memiliki
rujukan langsung kepada murabahah. Namun murabahah ini, meski sedikit ada dalam
pembahasan jual beli dalam kitab-kitab fiqh. Para ulama generasi awal, seperti Imam
Malik dan Syafi’i yang secara khusus menyatakan bahwa jual beli murabahah adalah
halal, tidak memperkuat argumentasinya dengan satu hadist pun. Al-Kaff seorang
kritikus murbahah kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah”salah satu
jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya.
B. Rukun Mudharabah
1. Rukun Mudharabah
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada 3, yaitu:
Orang yang melakukan akad (al aqidani)
Modal (ma’qud alaih)
Shighat (ijab dan qabul)
Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi 5, yaitu modal, pekerjaan,
laba, shighat dan dua orang yang berakad.
2. Syarat Sah Mudharabah
Syarat sah mudharabah berkaitan dengan ‘aqidani (dua orang yang akan akad),
,modal dan laba.
Syarat Aqidani
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad adalah ahli dalam
mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal,
yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah
dibolehkan dengan orang kafir dizalimi atau orang kafir yang dilindungi negara
Islam.
Syarat Modal
-Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya, yakni segala
sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian.
-Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran
5
-Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat
akad.
-Modal harus diberikan kepada pengusaha (mudharib).
Syarat-syarat Laba
-Laba harus memiliki ukuran
-Laba haruis berupa bagian yang umum (masyhur)
C. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal
(shahibul mal) dan pengelola (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam
pembaqhasan fiqh ulama salafus shaleh seringkali dicontohkan dengan
ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahib ul mal ke
mudharib yang member kekuasaan sangat besar.
Mudharabah Muqayyadah disebut juga dengan istilah restricted mudharabah /
specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si
mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si
shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
D. Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkata-perkara sebagai berikut:
Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Pengelola dengan
sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan ini pengelola
modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian, karena dialah penyebab kerugian.
Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, atau salah seorang pemilik
modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi batal.
E. Murabahah Sebagai Pembiayaan
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak
ada hubunganya dengan pembiayaan. Namun dalam sistem ekonomi saat ini, terdapat
kesulitan dalam penerapan mudharabah dan musyarakah untuk pembiayaan beberapa
6
sektor. Beberapa ulama kontemporer telah membolehkan penggunaan murabahah
sebagai bentuk pembiayaan alternatif dengan syarat syarat tertentu. Dua hal yang
harus diperhatikan adalah :
1. Murabahah digunakan hanya sebagai alat untuk menghindar dari “bunga” dan
bukan instrumen ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen ini
hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses Islamisasi
ekonomi dan penggunaanya hanya terbatas pada kasus kasus ketika mudharabah dan
musyarakah tidak/ belum dapat diterapkan.
2. Murabahah muncul bukan hanya untuk menggantikan “bunga” dengan
“keuntungan” melainkan sebagai bentuk pembiayaan yang diperbolehkan oleh ulama
Syariah dengan syarat syarat tertentu. Apabila syarat syarat ini tidak dipenuhi, maka
murabahah tidak digunakan dan cacat menurut syariah.
Walaupun bentuk dasarnya adalah jual beli, pembiayaan dengan menggunakan
skema murabahah ini dapat diperuntukkan bagi rencana pembelian apapun. Dalam
praktek dan perkembangannya bisa digunakan untuk:
1. Perjanjian Pembiayaan Investasi
2. Perjanjian Pembiayaan Kredit Kendaraan Bermotor
3. Perjanjian Pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah.
4. Perjanjian Take Over KPR dengan Skema Ijarah Muntahiyah Bi Al Tamblik
(IMBT)
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Murabahah: Perspektif Fiqh
Al-Qur’an, bagaimanapun juga, tidak pernah secara langsung membicarakan
tentang murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi, dan
perdagangan. Demikian pula dalam hadis, tampaknya tidak ada hadis yang memiliki
rujukan langsung kepada murabahah. Namun murabahah ini, meski sedikit, ada dalam
pembahasan jual beli di dalam kitab-kitab fiqh. Murabahah merupakan salah satu
bentuk jual beli yang bersifat amanah. Bai’ al-murabahah sebagaimana didefinisikan
oleh ulama fiqh adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati.
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang bersifat amanah. Bai’
al-murabahah sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqh adalah jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah,
penjual menyebutkan dengan jelas harga pembelian barang kepada pembeli kemudian
ia mensyaratkan atas keuntungan (laba) dalam jumlah tertentu. Misalnya, ada tiga
pihak, yaitu A, B, dan C dalam suatu kontrak murabahah. A meminta B untuk
membeli beberapa barang untuk A. B tidak memiliki barang-barang dimaksud tetapi
ia berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga yaitu C. B adalah perantara dan
kontrak murabahah adalah antara A dan B.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa: Jika seseorang menunjukkan suatu barang
kepada seseorang dan berkata: “belikan barang (seperti ini) untukku dan aku akan
memberimu keuntungan sekian, ” lalu orang itu pun membelinya, maka jual beli ini
adalah sah. Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini (transaksi murabahah yang
dilakukan untuk pembelian secara pemesanan) dengan istilah al-murabahah li al-amir
bi asy-syira’.
Transaksi murabahah mempunyai beberapa ketentuan yang diatur dalam
fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/2000 yang menjelasakan beberapa ketentuan
tentang murabahah. Yakni yang pertama adalah ketentuan umum murabahah dalam
Bank Syariah. Dalam hal ini nasabah dan bank harus melakuakan akad murabahah
yang bebas riba, barang yang diperjualbelikan halal dan bermanfaat, bank harus
8
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan transaksi, nasabah membayar harga
barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, serta jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara
prinsip, menjadi milik bank.
Kedua, berisi tentang ketentuan murabahah kepada nasabah. Dimana nasabah
mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang/ aset kepada bank,
bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah, dan nasabah harus
menerima (membeli) sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya serta kedua
belah pihak harus membuat kontrak jual beli, bank dibolehkan meminta nasabah
untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan, serta
jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank
dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
Ketiga, berisi tentang jaminan dalam murabahah. Jaminan ini dibolehkan, agar
nasabah serius degan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah menyediakan
jaminan yang dapat dipegang. Keempat, berisi tentang hutang dalam murabahah.
Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas
barang tersebut. Namun, jika nasabah menjual kembali barang tersebut sebelum masa
angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. Dan jika
penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan
hutangnya sesuai kesepakatan awal.
Kelima, berisi tentang penundaan pembayaran dalam murabahah. Nasabah
yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. Jika
nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya, maka penyelesaian dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan. Keenam, barisi tentang bangkrut dalam
murabahah. Yskni jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan
hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali,
atau berdasarkan kesepakatan.
B. Perkembangan Operasional Murabahah
Awalnya transaksi murabahah adalah transaksi jual beli sederhana yaitu dalam
murabahah dengan kerelaan penjual memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok
9
barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, murabahah mengalami
perkembangan.
Beberapa hal yang menunjukkan perkembangan tersebut antara lain :
1. Awalnya transaksi murabahah dilakukan tanpa melalui pihak ketiga atau pesanan.
Pada saat sekarang bentuk murabahah ini bisa melibatkan tiga pihak, yaitu
pemesan, pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga dapat melibatkan pembeli
sebagai perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan akan
pembiayaan. Dalam kasus ini , nasabah pertama membeli komoditas/barang yang
diperlukannya atas nama pemberi pembiayaan dan mengambil alih penguasaan
barang. Selanjutnya, nasabah membeli komoditas/ barang tersebut dari pemberi
pembiayaan dengan harga tangguh. Penguasaan atas komoditas/ barang oleh nasabah
pada keadaan pertama adalah dalam kapasitasnya sebagai agen dari pemberi
pembiayaan. Dalam kapasitas ini nasabah hanyalah sebagai trustee, sedangkan
kepmilikan dan resiko komoditas/ barang tersebut berada ditangan pemberi
pembiayaan . Akan tetapi, ketika nasabah membeli komoditas/ barang tersebut dari
pemberi pembiayaan, maka resiko dan kepemilikan beralih ke tangan nasabah
2) Murabahah dengan jaminan.
Pada dasarnya jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi
dalam bai al Murabahah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak
main main dengan pesanan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/ kreditor) dapat
meminta si pemesan (pemohon/ debitur) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya.
Dalam teknis operasionalnya, barang barang yang dipesan dapat menjadi salah satu
jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
3) Murabahah yang dilakukan dengan barang yang beluma ada.
Sebenarnya menjual barang yang tidak dimilki adalah tindakan yang dilarang
syariah karena termasuk bai al fudhul. Para ulama syariah terdahulu telah memberikan
alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Namun, beberapa ulama syariah
modern menunjukkan bahwa konteks jual beli murabahah jenis ini dimana “ belum
ada barang” berbeda dengan “menjual tanpa kepemilikan barang”. Mereka
berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut mengikat pemesan.
4) Murabahah dengan kredit / hutang
Pembiayaan murabahah dengan kredit/hutang yang berbasis murabahah harus
dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berbasis
10
bunga. Namun ada perbedaan yang paling mendasar dari kedua pembiayaan tersebut
dalam hal debitur gagal melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan. Pinjaman
dengan bunga, pada umumnya menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman
tidak dilunasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan, dalam perbankan syari’ah, nasabah
harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu. Penundaan semacam
ini harus diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada nasabah atas waktu
yang diberikan untuk pembayaran. Namun bagi nasabah yang mampu melunasinya
tetapi mereka lalai untuk melunasi hutang tepat waktu, maka bank syariah menrapkan
konsep denda. Semua hal di atas menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian
hutang pun, bank syari’ah telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar hutang
dilunasi tepat waktu, dan jika tidak ‘kerugian’ yang diderita bank ditanggung oleh
nasabah. Berdasarkan uraian di atas, maka peran bank syari’ah dalam Murabahah
sebagai pembiaya (a finacier ) bukan pembeli barang ( a seller ) Bank tidak
memegang barang, dan tidak pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir
semuanya terkait dengan penanganan dokumen-dokumen terkait dan kontrak
penjualan adalah sekedar formalitas. Di samping itu, penentuan mark-up dalam
kontrak murabahah yang secara bebas ditentukan oleh bank syari’ah, akan dapat
memicu munculnya persepsi bahwa mark-up itu identik dengan bunga. Untuk itu,
perlu kajian secara mendalam tentang konsep pricing dalam murabahah.
3. Penerapan Konsep Pricing dalam Murabahah
Kontrak dalam pembiayaan murabahah merupakan salah satu bentuk natural
certainty contract karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of
profitnya. Natural certainty contract merupakan kontrak dalam bisnis yang
memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash
flow –nya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua
belah pihak yang bertransaksi di awal akad. Kontrak ini menawarkan return yang
tetap dan pasti. Objek pertukarannya, biasanya berupa barang dan jasa, harus
ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (Quantity) mutunya (quality),
harganya (price) dan waktu penyerahannya (time of delivery). Produk perbankan
syari’ah yang termasuk dalam kategori ini adalah pembiayaan bai’ al-murabahah dan
ijarah
C. Kritik terhadap Praktek Murabahah di Perbankan Syari’ah
11
Maraknya perbankan syari’ah tak lepas dari kritik dan kecaman, yang justru
datang dari para ilmuwan Islam sendiri. Mereka berpendapat bahwa bank-bank
syari’ah dalam menyelenggarakan transaksi-transaksi perbankan syari’ah justru telah
melaksanakannya bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan
dengan semangat dari prinsip-prinsip syari’ah. Penerapan usahausaha bisnis bank
syari’ah, terutama produk murabahah telah menimbulkan masalah moralitas. Dari
pengamatan dan penelitian beberapa ilmuwan Islam itu, bank-bank syari’ah, dalam
penerapan produk-produknya ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi
resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga dengan
menggunakan istilah ”label Islam”. Menarik untuk mencermati kritik yang
dilontarkan oleh Khurshid Ahmad mengenai produk murabahah sebagai berikut:
”Murabahah (cost plus financing) and bai’ mu’ajjal (sale with deferred payment) are permitted in the Shari’ah under certain conditions. Technically, it is not a form of financial mediation but a kind of business participation. Shari’ah assumes that the financier actually buys the goods and then sells them to the client. Unfortunately, the current practice of ”buy-back on mark up” is not in keeping with the conditions on which murabahah or bai’ mu’ajjal are permitted. What is being done is a fictitious deal which ensures a predetermined profit to the bank without actually dealing in goods or sharing any real risk, is against the letter and spirit of Shari’ah injunctions”.
Di samping itu, Saeed juga melontarkan kritik terhadap murabahah bahwa
justru dari sudut pandang ekonomi, memang tidak ada perbedaan yang mendasar
antara mark up dengan bunga. Perbedaan keduanya hanyalah menyangkut soal hukum
antara kontrak hutang-pihutang dalam bunga dan kontrak jual beli dalam mark up.
Pendapat Saeed ini juga diperkuat dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Zaidi
sebagai berikut:
“In my opinion the cost of credit in bank financing on the basis of murabaha or mark up in price, is the same as in the case of financing on the basis of simple interest, except that in murabaha financing, the price agreed remains the same even if the payment is not made on the due date”.
Lebih jauh lagi, Saeed mengemukakan bahwa para teoritisi perbankan dari
tahun 1940-an sampai akhir 1970-an tidak membayangkan perbankan syari’ah
sebagai perbankan berbassis mark up, tetapi mereka mengandaikan perbankan
syari’ah sebagai perbankan berbasis profit and loss sharing dengan menggunakan
konsep musyarakah dan mudharabah. Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada
praktek murabahah di perbankan syari’ah, namun hal ini justru mengindikasikan
12
bahwa sebenarnya produk murabahah ini direspon secara luas. Oleh karena itu, dalam
perjalanannya para teoritisi dan praktisi perbankan syari’ah masih terus melakukan
kajian dan mengkritisi secara serius mekanisme kontrak murabahah yang sesuai
dengan semangat dari prinsip-prinsip syari’ah dalam rangka mencapai tujuan
pembumian ekonomi syari’ah di Indonesia.
D. Penerapan Konsep Pricing dalam Murabahah: Sebuah Tawaran
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kritik dan kecaman terhadap
produk murabahah yang banyak dilontarkan oleh para Ilmuwan Islam adalah tidak
ada perbedaan yang mendasar antara mark- up dalam kontrak murabahah di bank
syari’ah dengan bunga dalam pinjaman kredit di bank konvensional. Oleh karena itu,
bank syari’ah perlu menetapkan metode yang tepat dan efisien agar kemasan produk
murabahah dapat memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank syari’ah
dengan nasabah pembiayaan murabahah. Penentuan harga pada sebuah kontrak yang
menghasilkan keuntungan pasti (natural centainty contract), pada kebanyakan
perusahaan atau bank, biasanya menggunakan salah satu dari metode:
1. Metode mark-up pricing adalah penentuan tingkat harga dengan me-mark-up biaya
produksi (product’s cost) komoditas yang bersangkutan. Pada metode ini, sebuah
perusahaan atau bank akan menjual produknya pada tingkat harga biaya produksi
ditambah mark-up atau margin yang diinginkan.
2. Metode Target-Return pricing adalah penentuan harga jual produk yang bertujuan
mendapatkan return atas besarnya modal yang diinvestasikan, dalam bahasan
keuangan dikenal dengan istilah Return on Investment (ROI). Dalam hal ini,
perusahaan atau bank akan menentukan berapa return yang diharapkan
atas modal yang diinvestasikan.
3. Metode Perceived-Value Pricing adalah penentuan harga dengan tidak
menggunakanvariable harga sebagai dasar harga jual. Harga jual didasarkan pada
harga produk pesaing dimana perusahaan atau bank melakukan penambahan atau
perbaikan unit untuk meningkatkan tingkat kepuasan customer. Dengan demikian,
perusahaan atau bank dapat menentukan harga dengan mempertimbangkan tingkat
kepuasan customer terhadap suatu komoditi yang dikonsumsi.
4. Metode Value Pricing Adalah suatu kebijakan harga yang kompetitif atas barang
yang berkualitas tinggi.
13
Jika bank syari’ah hendak menerapkan metode mark-up pricing, maka metode
ini hanya tepat jika digunakan untuk pembiayaan yang sumber dananya dari
Restricted Investment Account (RIA) atau mudharabah muqayyadah. Oleh karena itu,
metode mark-up pricing tidak tepat untuk digunakan dalam pembiayaan murabahah.
Oleh karena itu bank syari’ah dapat menerapkan metode target-return pricing untuk
pembiayaan murabahah. Karena pembiayaan murabahah dilakukan dengan akad
natural centainty contract, maka metode yang digunakan adalah required profit rate
(rpr). Dalam hal ini tinggi rendahnya rpr dipengaruhi oleh tingkat keuntungan per-satu
kali transaksi dan besarnya jumlah transaksi dalam suatu periode. Namun perlu
dicatat, bahwa dua variabel tersebut, yaitu tingkat keuntungan dan besarnya jumlah
transaksi, hanyalah variabel independent saja, sedangkan yang menentukan tingkat
keuntungan yang sesungguhnya seringkali dipengaruhi oleh faktor lain, seperti tingkat
harga pasar
(biasanya bank juga menjadikan suku bunga sebagai benckmark (rujukan) dalam
penentuan tingkat keuntungan yang diinginkan). Penentuan nilai rpr dapat dihitung
dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:
rpr = n.v
Dimana n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai
v = jumlah transaksi dalam satu periode.
Para praktisi perbankan syari’ah perlu berhati-hati dalam penerapan metode
rpr di bank syari’ah. Karena lazimnya, bank syari’ah juga menggunakan tingkat suku
bunga pasar sebagai benchmark. Bank syari’ah harus tidak hanya menjadikan tingkat
suku bunga sebagai rujukan dalam penentuan harga jual (pokok + margin) produk
murabahah. Cara penetapan margin yang hanya mengacu pada tingkat suku bunga
sebagai benchmark merupakan langkah sesat sekaligus menyesatkan dan lebih berat
lagi dapat merusak reputasi bank syari’ah.
Dalam prakteknya, barangkali tingginya profit margin yang diambil oleh bank
syari’ah adalah untuk mengantisipasi naiknya suku bunga di pasar (inflasi). Sehingga
kalau terjadi kenaikan suku bunga yang besar, maka bank syari’ah tidak mengalami
kerugian secara riil. Namun demikian, apabila suku bunga di pasar tetap stabil atau
bahkan turun, maka margin murabahah akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat
bunga pada bank konvensional. Dengan penetapan profit margin murabahah yang
tinggi ini, secara tidak langsung bahkan akan menyebabkan inflasi lebih besar
daripada yang disebabkan oleh suku bunga. Oleh karena itu, perlu dicari format yang
14
tepat agar nilai penjualan dengan murabahah tidak mengacu pada sikap
mengantisipasi kenaikan suku bunga selama masa pembayaran angsuran. Karena,
mengkaitkan profit margin murabahah dengan bunga bank konvensional, tetaplah
bukan cara yang baik.
Penetapan harga jual murabahah, sebaiknya dapat dilakukan dengan cara
Rasulullah ketika berdagang. Cara ini dapat dipakai sebagai salah satu metode bank
syari’ah dalam menentukan harga jual produk murabahah. Cara Rasulullah dalam
menentukan harga penjualan adalah menjelaskan harga belinya, berapa biaya yang
telah dikeluarkan untuk setiap komoditas dan berapa keuntungan wajar yang
diinginkan. Cara penetapan harga jual tersebut berdasarkan cost plus mark-up. Secara
matematis, menurut Muhamad harga jual murabahah dengan metode cost plus mark-
up dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Harga Jual = Harga Beli + Cost Recovery + Keuntungan
Cost Recovery = Estimasi Biaya Operasi
Target Volume Pembiayaan
Margin = Cost Recovery + Keuntungan x 100 %
Harga Beli
Cost recovery adalah bagian dari estimasi biaya operasi bank syari’ah yang
dibebankan kepada harga beli/total pembiayaan. Cost recovery tersebut bisa didekati
dengan membagi estimasi biaya operasi dengan target volume pembiayaan
murabahah, kemudian ditambahkan dengan harga beli dari supplier dan keuntungan
yang diinginkan sehingga didapatkan harga jual. Sedangkan margin murabahah
didapat dari cost recovery ditambah keuntungan dibagi dengan harga beli.
Persentase margin di atas dapat dibandingkan dengan suku bunga. Jadi, suku
bunga hanya dijadikan sebagai benchmark. Agar pembiayaan murabahah lebih
kompetitif, margin murabahah tersebut harus lebih kecil dari bunga pinjaman. Jika
masih lebih besar, maka yang harus dimainkan adalah dengan memperkecil cost
recovery dan keuntungan yang diharapkan. Dengan metode ini, diharapkan
keuntungan bank syari’ah akan meningkat meskipun dengan profit margin yang lebih
kecil jika dibandingkan dengan bunga pinjaman bank konvensional. Hal lain yang
perlu dicatat bahwa hasil perhitungan margin yang dicantumkan dalam kontrak
pembiayaan murabahah dinyatakan dalam angka nominal, bukan bentuk
persentasenya.
15
E. Contoh Murabahah Perbankan di Indonesia
Dalam perbankan syariah, mudharabah ini digunakan pada produk
penghimpunan dana dan penyaluran dana.
1. Produk Penghimpuanan Dana : Contoh penggunaan akad mudharabah pada BRI
Syariah :
Tabungan Haji BRISyariah iB yaitu fasilitas yang disediakan oleh
BRISyariah dalam mengelola dana haji dengan akad mudharabah dan bai
hasil diberikan secara kompetitif, bank memetapkan bahwa akad yang
digunakan mudharabah mutlaqah
Tabungan Impian Syariah IB berjangka dari BRI Syariah dengan prinsip
bagi hasil yang dirancang untuk mewujudkan impian Anda dengan
terencana.
Deposito BRI Syariah IB adalah Deposito BRISyariah iB adalah produk
investasi berjangka kepada Deposan dalam mata uang tertentu.Produk ini
jua mengunakan akad Mudharabah Mutlaqah.
2. Produk Penyaluran Dana :
Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
Investasi Khusus, atau disebut juga Mudharabah Muqayyadah, dimana
sumber dan khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat
yang telah diterapkan oleh shahibul mal. Sistem Mudharabah ini adalah
sistem yang bebas dari bunga (interest) yang diharamkan. Sehingga aman
dan tidak diharamkan dalam syariat.
Contoh Muharabah Bank Syariah, fasilitas dan persyaratannya:
16
BAB IV
PENUTUP
Dari uraian dan penjelasan dalam pembahasan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan:
1. bahwa dalam perbankan, barangkali memiliki label ’Syari’ah’ saja, tidaklah cukup
untuk menjadi suatu bank syari’ah. Pertama-tama dan terutama,sebuah institusi
perbankan, entah itu dinamai ’Syari’ah’ atau tidak, perlu menjadi institusi yang lebih
manusiawi, mampu membuat orang memiliki akses kepada dana berdasarkan syarat-
syarat yang manusiawi, dan dengan biaya yang pantas;
2. Tawaran konsep pricing dalam kontrak murabahah diharapkan dapat
mencerminkan nilai syari’ah dalam perbankan syari’ah. Oleh karena hadirnya bank
syari’ah di tengah-tengah kita diharapkan mampu memecahkan segala problem
ekonomi umat dengan payung Syari’ah;
3. Perlu ada perbaikan dalam pelaksanaan murabahah, sehingga dapat mengangkat
institusi bank syariah menjadi lebih menarik masyarakat termasuk yang masih ragu-
ragu.
17
DAFTAR REFRENSI
Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah ; Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Karim, Adiwarman. Analisis Fiqih dan Keuangan Bank Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2010
Karnaen Perwataatmadja dan Antonio, M. Syafi’i. Apa dan Bagaimana
Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992.
Nurhayati, Sri dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat,2009.
Rahmawaty, Anita. Ekonomi Syari’ah: Tinjauan Kritis Produk Syaria’ah di
Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam La-Riba. Vol.1 No.2. Kudus 2007
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of
Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden: E.J. Brill,1996.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Syafe’I, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
http://id.wikipedia.org/wiki/Murabahah
http://irmadevita.com/2013/jual-beli-murabahah-sebagai-alternatif-pembiayaan/
http://www.syariahmandiri.co.id/category/business-banking/corporate-
banking/pembiayaan-corporate-banking/kredit-investasi/murabahah-corporate/
http://rumaysho.com/muamalah/murabahah-yang-mengandung-riba-2201
http://susanto-edogawa.blogspot.com/2013/07/perkembangan-murabahah-di-masa-
kini.html
18
http://campuzherman.blogspot.com/2014/01/sistem-akad-mudharabah-pada-bank-
syariah.html
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=188867&val=6467&title=%C3%
A2%E2%82%AC%C5%93Analisis%20Perlakuan%20atas%20Pembiayaan%2
0Murabahah%20Bermasalah%C3%A2%E2%82%AC%20%20(studi%20kasu
s%20pada%20BMT%20PSU%20(Perdana%20Surya%20Utama)%20Malang)
19