Download - edera Kepala.docx
edera Kepala : Penyebab dan
Pengobatannya
Cedera kepala sangat berbahaya. Cedera kepala dapat menyebabkan cacat permanen,
gangguan mental, dan bahkan kematian. Bagi banyak orang, cedera kepala dianggap sebagai
risiko yang dapat diterima ketika terlibat dalam kegiatan olahraga dan jenis-jenis kegiatan
rekreasi lainnya. Tapi ada beberapa langkah yang dapat Anda ambil untuk mengurangi risiko
cedera dan melindungi diri Anda dan anak-anak Anda.
Apa Itu Cedera Kepala?
Cedera kepala adalah cedera pada tengkorak, kulit kepala, atau otak yang disebabkan oleh
trauma. Gegar otak merupakan jenis cedera otak paling umum yang berhubungan dengan
olahraga, dan diperkirakan dalam setahun terdapat 1,6 juta sampai 3,8 juta orang mengalami
gegar otak yang disebabkan karena olahraga. Gegar otak adalah jenis cedera otak traumatis
(TBI atau Traumatic Brain Injury) yang terjadi ketika otak bergetar atau terguncang cukup
keras sehingga membentur tengkorak. Hal ini dapat terjadi ketika dua atlet bertabrakan atau
ketika seseorang jatuh dan kepalanya terbentur. Gegar otak juga bisa terjadi akibat terpukul di
kepala oleh peralatan olahraga. Dalam olahraga seperti sepak bola, bahkan menyundul bola
bisa menyebabkan gegar otak. Gegar otak menyebabkan perubahan status mental seseorang
dan dapat mengganggu fungsi normal dari otak. Gegar otak yang banyak terjadi, dapat
memiliki dampak kumulatif dan jangka panjang sehingga dapat mengubah hidup seseorang.
Anda tidak harus dipukul di kepala untuk mengalami gegar otak. Benturan di di bagian lain
pada tubuh dapat menciptakan kekuatan yang cukup untuk menggetarkan otak. Anda juga
tidak selalu kehilangan kesadaran ketika gegar otak. Gegar otak berkisar dari tahap ringan
sampai parah. Efeknya mungkin segera terlihat, atau mungkin tidak muncul sampai beberapa
jam atau bahkan beberapa hari kemudian.
Jenis lain dari cedera otak traumatis(TBI)adalah memar, yaitu luka memar pada otak yang
dapat menyebabkan pembengkakan, dan hematoma (pendarahan di otak yang mengumpulkan
dan membentuk gumpalan). Patah tulang tengkorak adalah jenis lain dari cedera kepala yang
dapat mempengaruhi otak. Kadang-kadang pada kasus patah tulang, potongan tulang yang
patah dapat melukai otak dan menyebabkan perdarahan dan jenis cedera lainnya.
Olahraga dan Aktivitas Rekreasi Apa
yang Memiliki Risiko Cedera Kepala yang
Tinggi?
Pada tahun 2008, kegiatan-kegiatan dibawah ini mengakibatkan cedera kepala dalam jumlah
tertinggi untuk segala usia:
Bersepeda
Sepak bola Amerika
Bola basket
Bisbol dan sofbol
Naik kendaraan rekreasi bermesin seperti dune buggies (kendaraan rekreasi dengan roda
besar, dan ban lebar, yang dirancang untuk digunakan pada bukit pasir, pantai, atau rekreasi
padang pasir), go-kart, dan sepeda motor mini
Menurut Asosiasi Cedera Otak Amerika (Brain Injury Association of America), lima kegiatan
teratas yang menyebabkan gegar otak pada anak-anak dan remaja berusia 5 sampai 18 tahun
adalah:
Bersepeda
Sepak bola Amerika
Bola basket
Kegiatan di tempat bermain
Sepak bola
Apa Saja Tanda dan Gejala dari Cedera
Otak?
Tanda-tanda dari cedera otak traumatis (TBI) meliputi:
Kebingungan
Depresi
Pusing atau masalah keseimbangan tubuh
Pandangan ganda atau kabur
Merasa berkabut atau pening
Merasa lesu atau lelah
Sakit kepala
Hilang ingatan
Mual
Sensitif terhadap cahaya atau suara
Gangguan tidur
Kesulitan berkonsentrasi
Kesulitan mengingat
Indikasi yang menunjukkan cedera kepala yang dialami lebih serius daripada gegar otak dan
membutuhkan perawatan darurat meliputi:
Perubahan ukuran pupil mata
Cairan bening atau berdarah mengalir dari hidung, mulut, atau telinga
Kejang-kejang
Ekspresi wajah yang menyimpang dari biasanya
Tekanan darah menurun
Wajah Memar
Patah tulang pada tengkorak atau wajah
Gangguan pendengaran, penciuman, pengecap rasa, atau penglihatan
Ketidakmampuan untuk menggerakkan satu atau lebih anggota badan
Mudah tersinggung
Hilang kesadaran
Tingkat pernapasan yang rendah
Gelisah, canggung, atau kurangnya koordinasi gerak
Sakit kepala yang parah
Melantur dalam berbicara atau penglihatan kabur
Leher kaku atau muntah-muntah
Memburuknya gejala-gejala dengan mendadak, setelah sebelumnya ada peningkatan
Pembengkakan di lokasi cedera
Apa Tindakan yang Tepat Untuk Gegar
Otak atau Cedera Otak Lain yang Terkait
Dengan Olahraga?
Jika Anda berpikir Anda mungkin mengalami gegar otak atau mencurigai orang lain terkena
gegar otak, maka langkah yang paling penting untuk dilakukan adalah mencegah terjadinya
cedera lebih lanjut.
Hentikan kegiatan apa pun yang Anda lakukan dan beritahu orang lain bahwa Anda mungkin
terkena gegar otak. Kemudian segera dapatkan perawatan medis. Jika Anda bermain sebagai
bagian dari tim, mintalah untuk ditarik keluar dari permainan dan beritahu pelatih apa yang
terjadi. Jika rekan lain memiliki tanda-tanda seperti sedang bingung atau tiba-tiba kehilangan
koordinasi gerak, pastikan untuk melaporkan hal tersebut kepada pelatih. Jika Anda pelatih
tim dan Anda melihat adanya kemungkinan cedera, segera tarik keluar orang tersebut dari
permainan, dan pastikan bahwa orang tersebut mendapatkan perawatan medis.
Mendapat perawatan medis sesegera mungkin adalah penting untuk setiap cedera otak
traumatis (TBI) yang berpotensi sedang parah. Cedera yang tidak terdiagnosis dan tidak
mendapat perawatan yang tepat, dapat menyebabkan cacat dan ketidakmampuan jangka
panjang. Perlu diingat bahwa meskipun kematian akibat cedera olahraga jarang terjadi,
namun cedera otak merupaka penyebab utama kematian yang berhubungan dengan olahraga.
Gejala-gejala harus sering dimonitor dengan seksama untuk cedera sedang sampai parah, dan
mungkin memerlukan rawat inap semalam di rumah sakit. X-ray mungkin digunakan untuk
memeriksa kemungkinan patah tulang tengkorak dan stabilitas tulang belakang. Pada
beberapa kasus, dokter mungkin melakukan CT scan atau MRI untuk memeriksa sejauh mana
kerusakan yang telah terjadi. Luka yang lebih parah mungkin memerlukan pembedahan untuk
meringankan tekanan akibat pembengkakan.
Jika dokter mengirim Anda pulang dengan orang yang terluka, maka dokter akan
menginstruksikan Anda untuk mengawasi pasien tersebut dengan seksama. Hal tersebut
mungkin melibatkan hal seperti membangunkan pasien setiap beberapa jam untuk
mengajukan pertanyaan seperti “Siapa nama Anda?” atau “Anda berada dimana?” untuk
memastikan apakah orang tersebut baik. Pastikan Anda telah bertanya ke dokter dan
memahami gejala apa yang harus diperhatikan dan, mana yang membutuhkan perawatan
medis dengan segera.
Panduan yang digunakan mendesak dokter untuk menjadi konservatif dalam mengobati
cedera otak terkait olahraga dan untuk tidak mengizinkan seseorang yang telah terluka untuk
kembali melakukan kegiatan yang melibatkan risiko cedera lebih lanjut sampai orang tersebut
benar-benar sembuh dari gejala. Proses penyembuhan biasanya memakan waktu beberapa
minggu. Tapi untuk gejala cedera yang parah, mungkin bisa membutuhkan waktu berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Seseorang yang memiliki cedera sedang sampai parah,
sangat mungkin membutuhkan rehabilitasi, yang dapat meliputi terapi fisik, terapi bicara dan
bahasa, obat-obatan, konseling psikologis, dan dukungan sosial.
Bagaimana Cara Mengurangi Risiko
Cedera Otak yang Terkait Dengan
Olahraga?
Langkah paling penting yang perlu dilakukan adalah membeli dan menggunakan dengan
benar peralatan pelindung kepala yang telah disetujui oleh American Society for Testing and
Materials (ASTM) atau Lembaga/Departemen Kesehatan di Indonesia. Pastikan untuk
membeli ukuran yang tepat agar helm atau tutup kepala dapat dipakai dengan pas dan benar.
Menurut American Association of Surgeons Neurologis (Asosiasi Ahli Bedah Neurologis
Amerika), helm atau tutup kepala harus dipakai setiap saat untuk kegiatan-kegiatan berikut:
Bisbol dan sofbol
Bersepeda
Sepak bola Amerika
Hoki
Menunggang kuda
Naik kendaraan rekreasi bermesin
Ber-skateboard dan naik skuter
Ski
Ber-snowboard
Gulat
Langkah-langkah keamanan lain yang penting meliputi:
Mengenakan pakaian yang memantulkan cahaya saat mengendarai sepeda di malam hari.
Jangan menyelam di tempat yang kedalamnya lebih dari 12 meter atau dimana Anda tidak
bisa melihat dasarnya atau airnya keruh.
Pastikan bahwa area bermain anak-anak dan peralatannya aman dan dalam kondisi baik.
Jangan biarkan anak-anak bermain olahraga yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Mengawasi dan mengajar anak-anak cara yang tepat dalam menggunakan peralatan olahraga.
Jangan mengenakan pakaian yang mengganggu penglihatan.
Ikuti semua aturan di tempat rekreasi dan kolam renang.
Jangan ber-skateboard atau bersepeda pada permukaan yang tidak rata atau tak beraspal.
Jangan berolahraga ketika Anda lelah atau sakit parah.
Sumber: WebMD
VI. 4. TRAUMA KEPALA
Pendahuluan
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera.
Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel.
Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk
setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya
sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta
tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta lambatnya tindakan
definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting
adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam
menimbulkan kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer
pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan
dan kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain
adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi,
keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma
intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.
Anatomi, fisiologi dan patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak,
cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas.
Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen
magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak
(ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien
normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan
sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160
mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian
tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak
dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah.
Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau
hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K =
V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya
lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas
kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara
tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik
dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial
meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang
meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian
mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat
peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi
lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi
sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil
tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya
fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat,
respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab
akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO
akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang
otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada
otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial,
tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau
kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya,
banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak
dibanding tingkat TIK sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang
berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga
merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada
duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk
peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang
lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari
pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan
dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu
cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler
batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat
menurunkan tingkat kesadaran.
Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a. Mekanisme trauma
(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah
(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll
b. Beratnya
Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)
(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)
(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)
(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)
c. Berdasar morfologi :
(1). Fraktura tengkorak.
(a). Kalvaria :
1. Linier atau stelata.
2. Terdepres atau tidak terdepres.
(b). Basiler :
1. Anterior.
2. Media.
3. Posterior.
(2). Lesi intrakranial.
(a). Fokal :
(1). Perdarahan meningeal :
1. Epidural.
2. Subdural.
3. Sub-arakhnoid.
(2). Perdarahan dan laserasi otak :
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.
Benda asing, peluru tertancap.
(b). Difusa :
1. Konkusi ringan.
2. Konkusi klasik.
3. Cedera aksonal difusa.
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS
ditentukan pasca resusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS ≤ 8,
adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil
atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
tampaknya jaringan otak.
Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera
(akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush), patologi cedera
serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan
tindakan spesifik).
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan
penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan
tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah
cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan
kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering
dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.
BERDASAR BERATNYA
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk
menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada
pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak
dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau
kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai
dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis,
skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9
hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS
14 hingga 15 sebagai ringan.
BERDASAR MORFOLOGI
Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin
dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat
diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT
scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien
cedera kepala sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam
pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.
Fraktura Tengkorak
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata,
mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit
tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda
klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan
tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau
compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan
permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan
operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial
sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio
temporal atau temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus
pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien
koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera.
Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak
disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung
pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural
sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20%
pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan
atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%,
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering,
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus
frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma
yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang
berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis
cedera kepala yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak
terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering
terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk
paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih
sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat
menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post
traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran.
Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya
amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau
biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas
kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis
yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma
pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi
massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang
dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan
pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang
berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD
paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling
mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan
menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi
atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati,
disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan
sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD
umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik
yang terjadi.
Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon
verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon
motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)
PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH
SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
Dipulangkan :
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu
untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok
cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT
1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan
darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan
dengan outcome yang buruk
Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan
oksimeter denyut nadi (bila ada).
Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang
dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.
Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan
sangat mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : <
90.
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya
dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian
tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin
dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 :
outcome buruk.
GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada
pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku
atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada
penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan
kuantitas motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi
ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif
terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen
paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan
outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang
fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak
bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm.
Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya.
Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak
bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah
resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar
evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila
berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya
bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan
darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap
cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk
(ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya
sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta
sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah
ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang
mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil sangat
penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar
dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam
untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan
hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral
menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya
langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan
hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil.
Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma
intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya
disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil
berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan
91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan
baik.
TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT
1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] <
90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen
dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi
dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan
mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi
dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif
mempertahankan jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya
bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil
(asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau
hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator
bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-
anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20
X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi
bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan
karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan
tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat
vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan
tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi
dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak
traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari
normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga
berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak
dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai
pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan
menuntun tingkat ventilasi.
2. RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk
mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat
mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg. Pada
anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5
tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi
peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit
digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam
mempertahankan tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak
adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi
mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin
hipertonik dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil
menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah
sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.
Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra
rumah sakit tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial
(ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek
pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi
inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan
hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan
lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi
sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas
berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen
juga gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah
turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil
hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi
kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.
Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau
kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara
terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat
preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah
dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau
salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera
kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan
kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu
pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma
tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal
adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
3. TINDAKAN TERHADAP OTAK
Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta
tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi,
tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif
(penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan
GCS inisial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama terhadap
pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan
penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak,
hiperventilasi dihentikan.
Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.
Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok
neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam mengoptimalkan
transport pasien cedera kepala.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan
sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan
kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien
dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan
glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat
mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan
edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti
hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah
mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk
mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas
manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau
mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol
merupakan plasma expander kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya.
Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas
darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan
pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak.
Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga
menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun
bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak
dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan
tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan
berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan
komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal.
Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.
Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat
intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan
intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome.
Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan
dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl
(50 ųg, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).
Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah
sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah
pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan
mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan.
Bebat mekanik tidak dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko
kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang
aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila
sarana tersedia).
Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan.
Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok
neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang
nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi,
analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan
tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia
ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 %
pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl
tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma
dalam yang mungkin irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip
pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,
serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik.
Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik,
kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami
gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.
TRANSPORTASI
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung
dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas
bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila
ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan
tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala.
Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome.
Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang
diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat
berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat
membantu menentukan adanya cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera
(parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan
sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya
pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan.
Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut nadi bila ada, membantu
menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil
memberikan informasi beratnya cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk
mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam
hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong
sangat menentukan mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk
perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu transport
singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD
lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan
pintas kepusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan
memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf
tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien,
untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis
berulang untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi
dan status neurologis pasien selama perjalanan.
ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK
TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH
SARAF).
Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan
memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi.
Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa anda”.
Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13)
dan COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat trauma.
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit
anterior aksila untuk merangsang buka mata.
Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal
dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat
trauma dengan kemampuan :
CT scan 24 jam.
Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.
Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan
terhadap peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan
UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.
Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung
ditransport ke pusat trauma tsb.
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada
pangkal kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang flaksid,
amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit
untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada
pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau respons
motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau
berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.
Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya
dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm
Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg
bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap
5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.
PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS
BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Algoritma Pasien COT
Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah
Sakit Rujukan.
Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.
Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?”
Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan
Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan jalan nafas (Intubasi bila
tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 > 90% (Bila
tersedia). Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm Hg
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada
kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun
mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat
riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh
alkohol atau intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk
dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera
diketahui.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak
linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi,
level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda
asing, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-
gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala :
pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk
pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi
alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura
basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan
atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius
seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda
neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan
emergensi.
Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak,
tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang
fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS,
hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal
dan mengharuskan pasien untuk dirawat.
Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta
biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta dibawah pengawasan
selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.
Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik
seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka.
Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang
bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan 'lembar
peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar
12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang
bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12 jam dengan pemeriksaan
neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil.
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola
sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi
perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu
untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka
dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti
halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan
kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran (SKG ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok
cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis
yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi
intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau
perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan
ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan
neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan
bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif.
Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah keadaan
resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan
transport, namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis.
Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler
digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua
jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa
berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap
resusitasi, seperti misalnya diuretika.
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA
HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti
dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek
deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah
oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA
HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai
dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau
terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa
berakibat perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol
kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan
bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah,
oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah
tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa
membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi
hingga dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah
dijelaskan.
1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI
Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi
oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah,
atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan
infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm
Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan
atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan,
memerlukan intubasi endotrakheal.
Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol
seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK
terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan
pengelolaan tekanan perfusi serebral.
Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8
Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi
Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi.
Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi pendek).
Herniasi ?* ± Hiperventilasi *
Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *
* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis
progresif tidak karena kelainan ekstrakranial.
2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)
Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal.
Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi
kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi
(memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal,
monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40
tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm
Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat,
kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan
sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian
dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti
intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial
segera, serta perawatan ICU.
TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20
mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi
serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring
TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif,
peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak
umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena
berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.
3. HIPERVENTILASI
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi
jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika
harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah
cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat
aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi
perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada
hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase
cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.
4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala
berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial
dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan
ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas
serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal.
Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter
foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus
kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila
diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan
hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap
tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan
yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara
ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik.
Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30
menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis
pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila
dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena
beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat
memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya
tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
GCS < 10.
Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
Fraktur tengkorak terdepres.
Hematoma subdural.
Hematoma epidural.
Hematoma intraserebral.
Cedera tembus tengkorak.
Kejang dalam 24 jam sejak cedera.
Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca
trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan
manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial,
perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan
meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera
aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya
bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti
kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang
juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada
keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin
atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.
8. INDIKASI OPERASI
Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih.
Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau
ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral
yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus
dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan pergeseran ringan
tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa
terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila
terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi,
kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti
bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral,
gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat
mengalami perbaikan.
Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi
segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan
operasi dini.
Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi
berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari angiogram,
temuan berikut ini indikasi operasi :
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh
serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.
2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia
berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media
berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila
terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia,
fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih
dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga
dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial
yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal
terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.
Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial
Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm Hg.
Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis
(lihat teks).
Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien
dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg)
harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan,
pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30
mmHg. Untuk semua tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi
massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih
baik.
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol
suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur,
pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis,
mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi
volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus
merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi
dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila
gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak
tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5
mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor
aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi
ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol
dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan
dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian
cairan. Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya
massa yang perlu tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif
namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif
namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga
PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.
RUJUKAN
Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury.
In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore :
Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.
Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of
Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1611-1622.
Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of
Neorosurgery. New York : Raven Press, 1991. 235-291.
Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain
Trauma Fondation, New York. © 2000, Brain Trauma Fondation.
Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I :
Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. A joint
project of the Brain Trauma Fondation – American Association of
Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. ©
2000, Brain Trauma Fondation.
Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of
Moderate and Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed.
Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718
Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery.
Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.
Kehalaman utama.