BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir sepertiga dari hidup manusia dihabiskan dengan tidur. Tidur yang
lelap menjadi salah satu kebutuhan hidup yang penting bagi manusia. Tidur
bukan sekedar respon terhadap kebutuhan fisiologis tetapi diperlukan untuk
tetap menjaga kerja otak agar tetap berfungsi secara normal. Gangguan tidur
pada malam hari akan menyebabkan rasa kantuk. Mengantuk sendiri
merupakan faktor risiko terjadinya kecelakaan, penurunan stamina serta
kurang konsentrasi. (Rahayu, 2009).
Kebutuhan tidur seseorang bergantung pada perkembangan. Usia yang
berbeda memiliki kebutuhan tidur yang berbeda pula. Seiring dengan
penurunan fungsi tubuh, seorang lanjut usia membutuhkan waktu tidur lebih
sebentar dibandingkan dengan manusia yang lebih muda. Menurut Hidayat
(2008), jumlah tidur seseorang yang berusia diatas 60 tahun adalah 6 jam
perhari. Namun, kenyataannya manusia lanjut usia memiliki waktu tidur yang
lebih sedikit dari usia yang lebih muda karena membutuhkan waktu lebih lama
untuk memulai tidur.
Insomnia merupakan keadaan sulit tidur, sering terbangun pada malam
hari atau tidak dapat tidur dengan lelap (Pratiwi, 2009). Insomnia merupakan
salah satu gangguan yang terjadi pada lansia. Insomnia ini menyerang 50%
pada orang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal di rumah dan 66% lansia
yang tinggal di fasilitas jangka panjang. Penurunan efektivitas tidur malam
pada lansia mencapai 70% sampai 80% dibandingkan usia muda. Prosentase
penderita insomnia lebih tinggi dialami oleh orang yang lebih tua, dimana 1
dari 4 pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius. Setelah
dilakukan skrining dari 42 orang lansia yang tinggal di PSTW (Panti Sosial
Tresna Werdha) unit Budi Luhur Kasongan Bantul didapatkan 32 lansia
mengalami insomnia. (Jurnal Kebidanan,2010)
Insomnia merupakan akibat dari berbagai faktor. Ada beberapa dampak
yang ditimbulkan dari insomnia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari,
1
gangguan memori, ketidakstabilan emosi, depresi, sering terjatuh, penggunaan
hipnotik yang tidak semestinya serta penurunan kualitas hidup. Ancoli-Israel
dalam sebuah survei di Amerika Serikat yang dikutip oleh Maas (2011) yang
dilakukan pada 428 lansia yang tinggal dalam masyarakat, sebanyak 19%
subjek mengaku bahwa mereka sangat mengalami kesulitan tidur, 21% merasa
mereka tidur terlalu sedikit, 24% melaporkan kesulitan tertidur sedikitnya
sekali seminggu, dan 39% melaporkan mengalami mengantuk yang berlebihan
di siang hari.
Secara ekonomi, gangguan dalam tidur mampu menurunkan produktivitas
seseorang. Menurut Darmojo (2010), hal lain yang dapat ditimbulkan dari
gangguan tidur adalah ketidakbahagiaan, kesepian, serta memperburuk
penyakit degeneratif yang diderita. Untuk itu, insomnia perlu ditangani
dengan serius.
Penatalaksanaan insomnia dapat dilakukan secara farmakologis maupun
nonfarmakologis. Secara farmakologis dapat digunakan obat-obatan hipnotik
sedatif seperti Zolpidem, Tradozon, Klonazepam, dan Amitriptilin sedangkan
secara nonfarmakologis perawat dapat melakukan tindakan-tindakan mandiri
keperawatan seperti: mengurangi distraksi lingkungan, memberikan aktivitas
di siang hari sesuai indikasi, melakukan masase punggung dan relaksasi otot
progresif. Terapi relaksasi otot progresif yaitu terapi dengan cara peregangan
otot kemudian dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013).
1.2 Tujuan
Referat ini dibuat dengan tujuan:
Mengetahui pengertian tidur, pola tidur, serta mengetahui dampak dari
kurang tidur
Mengetahui apa itu insomnia dan penyebab insomnia
Mengetahui pengertian, tujuan dan teknik dalam melakukan terapi
relaksasi progresif
Mengetahui perubahan yang terjadi setelah melakukan terapi relaksasi
progresif pada lansia.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1 Pengertian
Dalam Med Express tahun 2009, tidur merupakan keadaan istirahat
periodik yang dimulai ketika berkurangnya kesadaran terhadap alam
dan pada akhirya tubuh bisa beristirahat.. Tidur juga diartikan sebagai
suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi terhadap lingkungan
menurun atau hilang dan dapat dibangunkan kembali dengan indra
atau rangsangan yang cukup. Tidur ditandai dengan aktivitas fisik
minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, terjadi perubahan proses
fisiologis tubuh serta penurunan respon terhadap rangsangan dari luar
(Asmadi, 2008).
2.1.2 Pola Tidur
Secara umum, proses tidur diawali dengan mengantuk, suatu
keadaan saat hubungan antara kesadaran dan lingkungan berkurang.
Saat mengantuk, rangsang-rangsang dari luar masih dapat diterima
sehingga bisa tersadar kembali dengan mudah. Jika proses tidur
berlanjut, maka kesadaran akan semakin menurun dan masuklah pada
tahap yang sering disebut dengan tidur ayam. Pada tahap ini,
rangsangan masih dapat diterima. Kesadaran yang semakin menurun
menandakan tahapan berikutnya yaitu tidur nyenyak. Pola tidur
sendiri adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu
yang relatif menetap. (Depkes dalam Siallagan, 2010).
Dengan adanya EEG (Electro Encephalo Graph) dapat diketahui
bahwa terdapat 2 pola tidur, yaitu Non REM dan pola REM.
(Asmadi,2008)
2.1.2.1 Non-REM
Pada tidur Non-REM (Non-Rapid Eye Movement), tidur
terjadi dengan nyaman. Pada pola ini, sebagian besar organ
3
tubuh secara berangsur-angsur menjadi kurang aktif, kecepatan
denyut jantung berkurang, relaksasi otot, pernapasan teratur,
mata dan muka diam tanpa gerak, metabolisme turun, gerakan
bola mata melambat, kecepatan pernafasan dan tekanan darah
menurun.
Menurut Pack tahun 2008, Non-REM merupakan keadaan
yang terjadi melalui osilasi antara talamus dan korteks.
Komponen utama dari osilasi adalah kumparan tidur, delta
osilasi dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan
ciri dari tahap ini yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron
GABAnergic dalam nukleus retikulotalamus. Geloimbang
delta dihasilkan dari interaksi retikulotalamus dan sumber
piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat dihasilkan
di jaringan neokorteks oleh proses hiperpolarisasi dan
depolarisasi.
Tidur Non-REM memiliki empat tahap yang masing –
masing tahap ditandai dengan pola perubahan aktivitas
gelombang otak.
2.1.2.1.1 Tahap I
Tahap I merupakan tahapan dari sadar menjadi tidur.
Pada ini ditandai dengan seseorang merasa kabur
dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata
menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan
ke kanan, kecepatan jantung dan pernapasan
menurun secara jelas. Pada EEG terlihat penurunan
voltasi gelombang alfa. Seseorang yang tidur pada
tahap I ini dapat dibangunkan dengan mudah.
2.1.2.1.2 Tahap II
Tahap II merupakan tahap tidur ringan dan proses
tubuh terus menurun. Tahap II ini ditandai dengan
kedua bola mata berhenti bergerak, suhu tubuh
4
menurun, tonus otot berlahan – lahan berkurang,
serta kecepatan jantung dan pernapasan turun
dengan jelas. Pada EEG timbul gelombang beta
yang berfrekuensi 14 – 18 siklus/detik. Gelombang –
gelombang ini disebut dengan gelombang tidur.
Tahap II berlangsung sekitar 10 – 15 menit.
2.1.2.1.3 Tahap III
Pada tahap ini, keadaan fisik lemah lunglai karena
tonus otot lenyap secara menyeluruh. Kecepatan
jantung, pernapasan, dan proses tubuh berlanjut
mengalami penurunan akibat dominasi sistem saraf
parasimpatis. Pada EEG memperlihatkan perubahan
gelombang beta menjadi 1 – 2 siklus/detik.
Seseorang yang tidur pada tahap III ini sulit untuk
dibangunkan.
2.1.2.1.4 Tahap IV
Tahap IV merupakan tahap tidur dimana seseorang
berada dalam keadaan rileks, jarang bergerak karena
keadaan fisik yang sudah lemah lunglai dan sulit
dibangunkan. Pada EEG tampak hanya terlihat
gelombang delta yang lambat dengan frekuensi 1 – 2
siklus/detik. Denyut jantung dan pernapasan
menurun sekitar 20 – 30%. Pada tahap ini dapat
terjadi mimpi. Selain itu, tahap IV ini dapat
memulihkan keadaan tubuh.
Selain keempat tahap tersebut, ada satu tahap lagi yakni
tahap V. Tahap kelima ini merupakan tidur REM dimana setelah
tahap IV seseorang masuk ke tahap V. Hal tersebut ditandai
dengan kembali bergeraknya kedua bola mata yang berkecepatan
5
lebih tinggi dari tahap – tahap sebelumnya. Tahap V ini
berlangsung sekitar 10 menit, dapat pula terjadi mimpi.
2.1.2.2 REM
Menurut Asmadi pola tidur paradoksal atau yang disebut
dengan tidur REM (Rapid Eye Movement ). Tidur REM ini
sifatnya nyenyak sekali meski gerakan bola mata sangat aktif.
Tidur ini ditandai dengan denyut jantung dan laju pernafasan
tidak teratur, tekanan darah meningkat, sekresi lambung
meningkat, metabolisme meningkat dan relaksasi secara total
pada otot. Relaksasi ini yang menjadi pemulih tenaga dan
penghilang semua rasa lelah. Fase tidur REM ini berlangsung
sekitar 20 menit. pada fase ini juga sering timbul mimpi,
dengkuran juga igauan. (Asmadi,2008)
Hal ini sependapat dengan pendapat Pack tahun 2008.
Menurutnya, fase REM ini memiliki komponen saraf
parasimpatometimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh
otot rangka berkedut, peningkatan denyut jantung, variabilitas
pelebaran pupil dan peningkatan denyut jantung. Kehilangan
tidur REM akan mengakibatkan ketidakstabilan emosi,
peningkatan nafsu makan serta perasaan curiga dan bingung.
2.1.3 Dampak kurang tidur
Menurut Asmadi (2008), apabila seseorang kehilangan tidur yakni
tidur REM dan NREM maka akan menunjukkan manifestasi sebagai
berikut :
a. Kemampuan memberikan keputusan atau pertimbangan
menurun.
b. Tidak mampu untuk konsentrasi ( kurang perhatian ).
c. Terlihat tanda – tanda keletihan seperti penglihatan kabur,
mual dan pusing.
6
d. Sulit melakukan aktivitas sehari – hari.
e. Daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi
penglihatan atau pendengaran.
2.1.4 Fisiologi tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan
dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu
aktivitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang
merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan
saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur (Hidayat,
2008).
Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mesensefalon dan bagian atas pons. Reticular Activating System
(RAS) berlokasi pada batang otak teratas. RAS dipercayai terdiri dari
sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan tidur. Selain itu,
RAS dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan
perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk
rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron
dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
Demikian juga pada saat tidur, kemungkinan disebabkan adanya
pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan
batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR),
sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang
diterima di pusat otak dan sistem limbic. Dengan demikian, sistem
pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur
adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008).
Menurut Carpenito (2009), tidur yang baik akan dicapai bila
seseorang dalam keadaan rileks. Ketika orang mencoba tertidur,
mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks. Stimulus
ke RAS menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivasi RAS
7
selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian BSR mengambil alih
yang menyebabkan tidur (Potter&Perry, 2006).
2.2 Insomnia
2.2.1 Definisi
Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang sering
muncul. Insomnia dapat didefinisikan sebagai kesulitan untuk
memulai tidur, mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif, yang
disertai gangguan fungsi fisiologis di siang hari (Scoot,2011).
Menurut Pratiwi, insomnia merupakan keadaan dimana seseorang sulit
tidur, sering terbangun di malam hari atau tidak dapat tidur dengan
lelap. Karjono dan Rejeki berpendapat bahwa insomnia merujuk pada
gangguan pemenuhan kebutuhan tidur baik secara kualitas maupun
kuantitas. Hidayat berpendapat bahwa insomnia merupakan suatu
ketidakmampuan mendapatkan tidur yang adekuat, baik kualitas
maupun kuantitas dengan durasi tidur yang sebentar.
2.2.2 Etiologi
Berbagai faktor dapat memberi pengaruh terhadap proses tidur.
Perubahan pada proses tidur mampu menjadi penyebab insomnia.
Insomnia bisa muncul sebagai insomnia primer, kondisi medis atau
psikologis, penyalahgunaan obat atau insomnia akibat faktor eksogen
berupa suasana yang ramai, lingkungan yang asing juga bisa
disebabkan nyeri. (Chien, 2010)
Menurut Lopes et al, faktor sosio-demografik dan ekonomi seperti
jenis kelamin, usia, statsu pernikahan, pendapatan, tingkat pendidikan
dan ras merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan insomnia.
Faktor risiko lain yang mampu menyebabkan insomnia adalah
kesehatan fisik dan mental, kebiasaan mengonsumsi alkohol,
psikososial, pekerjaan dengan sistem shift dan stres.
Berikut dipaparkan hal-hal yang mampu menyebabkan insomnia :
a. Stres
8
Stres normal merupakan reaksi alamiah yang berguna untuk
menangani masalah hidup seseorang. namun, tekanan stres
yang melampaui kemampuan seorang individu mampu
mengakibatkan sakit kepala dan sulit tidur. Jika ini berlangsung
selama jangka waktu yang lama, hal lain yang dapat terjadi
adalah perubahan patologis sebagai penyesuaian dari hal yang
terjadi. ( Hartono, 2011)
b. Rokok
Rokok tersusun dari banyak zat seperti nikotin, tar dan karbon
monoksida. Nikotin pada rokok mampu menyebabkan
terjadinya insomnia. Hal ini terjadi karena nikotin mampu
mengacaukan pola tidur seseorang. Nikotin mampu
memberikan kesadaran dan kewaspadaan pada penggunanya
sehingga mampu terjaga. (Putra, 2011)
2.2.3 Insomnia pada usia lanjut
Insomnia merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada lansia.
Insomnia ini menyerang 50% pada orang berusia 65 tahun atau lebih
yang tinggal di rumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka
panjang. Penurunan efektivitas tidur malam pada lansia mencapai
70% sampai 80% dibandingkan usia muda. Prosentase penderita
insomnia lebih tinggi dialami oleh orang yang lebih tua, dimana 1 dari
4 pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius.
Setelah dilakukan skrining dari 42 orang lansia yang tinggal di PSTW
(Panti Sosial Tresna Werdha) unit Budi Luhur Kasongan Bantul
didapatkan 32 lansia mengalami insomnia. (Jurnal Kebidanan,2010)
Insomnia pada lansia mengandung beberapa domain, diantaranya
adalah kesulitan masuk tidur (sleep onset problem); kesulitan
mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem); dan
bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA). Gejala dan
tanda yang muncul bisa merupakan salahsatu ari doamain ataupun
9
gabungan dari beberapa domain dan bisa muncul sementara maupun
kronik (Karjono dan Rejeki, 2010).
2.3 Terapi relaksasi progresif
2.3.1 Definisi
Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam
yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti (Herodes,
2010) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Terapi relaksasi otot
progresif yaitu terapi dengan cara peregangan otot kemudian
dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013). Relaksasi progresif adalah
cara yang efektif untuk relaksasi dan mengurangi kecemasan.
2.3.2 Tujuan
Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam
Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa tujuan dari teknik ini adalah:
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan
punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju
metabolik.
b. Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.
c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar
dan tidak memfokus perhatian seperti relaks.
d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,
fobia ringan, gagap ringan, dan
g. Membangun emosi positif dari emosi negatif
2.3.3 Teknik
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan terapi relaksasi progresif diantaranya:
2.3.3.1 Persiapan
Periapan yang perlu dilakukan adalah persiapan alat, diri
dan lingkungan berupa kursi, bantal, posisi tubuh yang
10
nyaman, melepaskan diri dari asesoris yang dikenakan, serta
lingkungan yang tenang dan sunyi. Penting juga untuk
memahami tujuan, manfaat, prosedur dari terapi ini.
2.3.3.2 Prosedur
2.3.3.2.1 Gerakan 1: untuk melatih otot tangan
a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu
kepalan.
b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan
sensasi ketegangan yang terjadi.
c. Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan
relaksasi selama 10 detik.
d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua
kali sehingga dapat membedakan perbedaan
antara ketegangan otot dan keadaan relaks
yang dialami.
e. Lakukan gerakan yang sama pada tangan
kanan.
2.3.3.2.2 Gerakan 2: untuk melatih otot tangan bagian
belakang
a. Tekuk kedua lengan ke belakang pada
peregalangan tangan sehingga otot di tangan
bagian belakang dan lengan bawah menegang.
b. Jari-jari menghadap ke langit-langit.
2.3.3.2.3 Gerakan 3: untuk melatih otot biseps.
Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak
sehingga otot biseps akan menjadi tegang
2.3.3.2.4 Gerakan 4: untuk mengendurkan otot bahu
a. Angkat bahu setinggi-tingginya
11
b. Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak
ketegangan yang terjadi di bahu punggung
atas, dan leher.
2.3.3.2.5 Gerakan 5 dan 6: untuk melemaskan otot-otot
wajah
a. Gerakan otot dahi dengan mengerutkan dahi
dan alis
b. Kemudian, pejamkan mata sekuat mungkin
hingga terasa ketegangan di sekitar mata.
2.3.3.2.6 Gerakan 7: untuk mengendurkan ketegangan otot
rahang
Mengatupkan rahang kemudian diikuti dengan
gerakan menggigit sehingga terjadi ketegangan
disekitar otot rahang.
2.3.3.2.7 Gerakan 8: untuk mengendurkan otot-otot disekitar
mulut.
Gerakan 8 dilakukan dengan memoncongkan bibir
sekuat-kuatnya
2.3.3.2.8 Gerakan 9: untuk otot leher belakang.
Merilekskan otot leher belakang dengan
meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
Kemudian melakukan penegangan pada otot leher
bagian belakang dengan cara menekan kepala pada
bantalan kursi yang dijadikan tempat merilekskan
otot leher belakang sebelumnya.
2.3.3.2.9 Gerakan 10 : untuk melatih otot leher bagian
depan.
Gerakan ini dilakukan dengan menundukan kepala
seolah-olah berusaha mempertemukan dagu
dengan dada
2.3.3.2.10 Gerakan 11 : untuk melatih otot punggung
12
Duduk dengan posisi punggung yang tegak tanpa
menggunakan sandaran pada kursi, diikuti dengan
membusungkan dada, tahan selama 10 detik.
Kemudian relaks dengan posisi punggung yang
masih tegak.
2.3.3.2.11 Gerakan 12: untuk melemaskan otot dada
Gerakan ini dilakukann dengan menarik nafas
panjang sedalam-dalamnya, tahan beberapa saat
kemudian hembuskan dan bernafas secara normal.
Gerakan ini diulang beberapa kali.
2.3.4 Terapi Relaksasi Progresif pada Penderita Insomnia Usia Lanjut
Insomnia pada lansia menyebabkan perlunya waktu yang cukup
lama bagi lansia untuk memulai tidur dan peningkatan frekuensi
terbangun di malam hari (Akmal, 2012). Winanto (2009) berpendapat
bahwa lansia perlu memperhatikan kualitas tidurnya yang tidak hanya
bergantung pada jumlah namun juga bergantung pada pemenuhan
kebutuhan tubuh untuk tidur yang dapat dinilai ketika bangun tidur.
Jadi, indikator cukup terpenuhinya kebutuhan kualitas tidur seseorang
adalah kondisi saat bangun tidur. Seseorang yang bangun dengan
segar, artinya kebutuhan tidurnya telah tercukupi.
Mengonsumsi obat tidur bisa digunakan untuk mengatasi insomnia
pada lansia. Namun, mengonsumsi obat tidur dalam jangka waktu
yang panjang akan menimbulkan efek samping seperti kecanduan dan
mampu membahayakan pemakainya bila dipakai secara berlebihan
(Purwanto, 2007).
Pendekatan relaksasi yang paling sering digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantutas tidur adalah relaksasi otot
progresif (Widastra, 2009). Relaksasi otot progresif efektif untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur bila dilakukan dengan
teratur selama 6 minggu (Marks,2011).
13
Nasional Center for Complementary and Alternative Medicine
(2010) menyebutkan bahwa relaksasi otot progresif membantu lansia
dalam meningkatkan pememuhan kebutuhan tidurnya serta
menurunkan gangguan tidur pada lansia yang cenderung meningkat.
Hal ini terjadi karena pemberian relaksasi otot progresif ini
berdasarkan pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang mampu
mengurangi ketegangan dengan mempengaruhi kerja organ dalam
tubuh (Conrad dan Roth, 2007). Dasar dari Relaksasi Otot Progresif
adalah mekanisme kerja otot progresif dalam mempengaruhi
kebutuhan tidur dimana terjadi Respon relaksasi (Trophotropic).
Respon ini menstimulasi semua fungsi sehingga terciptakan keadaan
tenang dan relaks. Perasaan relaks ini akan diteruskan ke hipotalamus
untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang
nantinya akan menstimulasi kelenjar pituitari untuk meningkatkan
produksi hormon β-Endorphin, Enkefalin dan Serotonin (Ramdhani,
2008).
14
BAB 3
KESIMPULAN
Tidur merupakan keadaan istirahat periodik yang dimulai ketika
berkurangnya kesadaran terhadap alam dan pada akhirnya tubuh bisa
beristirahat yag terdiri dari REM dan Non-REM. Kurang tidur akan
menyebabkan kurangnya konsentrasi, berkurangnya daya ingat, serta
keletihan.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering terjadi berupa sulit
memulai tidur maupun sulit untuk mempertahankan tidur, disebabkan oleh
stres, rokok maupun penyalahgunaan obat.
Terapi relaksasi progresif merupakan teknik relaksasi otot yang mampu
mengatasi insomnia dengan menurunkan kecemasan sebagai penyebab
insomnia. Tujuan dari terapi ini adalah menurunkan ketegangan,
kecemasan, serta mengatasi stres yang dilakukan dengan merilekskan
beberapa bagian tubuh.
Terapi relaksasi progresif membawa perubahan pada penderita insomnia
usia lanjut dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur serta
menurunkan gangguan tidur yang dialami sehingga mampu meningkatkan
pemenuhan kebutuhan tidur pada penderita insomnia usia lanjut.
15
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, S. A. (2012). Diagnosis dan Penatalaksanaan Insomnia Pada Lanjut
Usia. Juni, 11, 2012.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.
Chien KL, Chen PC, Hsu HC et al. Habitual sleep duration and insomnia and the
risk of cardiovascular events and all-cause death: report from a community
based cohort. Sleep 2010; 33: 1-8.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi pada Praktik
Klinis.Jakarta. EGC
Conrad, A. & Roth, W.T. (2007). Muscle Relaxation for Anxiety Disorder: It
works but how?. The Journal of Anxiety Disorder, 243-264. Oktober 12,
2011. http://www.laboratoriosilesia.com
Gemilang, J. (2013). Buku Pintar Manajemen stres dan Emosi. Yogyakarta
Mantra Books
Hartono L.A.. Stres dan Stroke. Yogyakarta: Karnesius. 2011
Herodes, R. (2010). Anxiety and Depression in Patient.
Hidayat, A. aziz. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep
dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Karjono, Bambang Joni dan Rejeki Andayani Rahayu. 2010. Gangguan Tidur
Pada Usia Lanjut dalam Hadi Martono dan Kris Pranarka. Ed. Buku Ajar
Boedhi- Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta : Balai
Penerbit
Maas, M.L., et al (2011) Asuhan Keperawatan Geriatrik (Renata Komalasari, Ana
Lusyana, Yuyun Yuningsih, Penerjemah). Jakarta: EGC. MNSU (2014)
16
Marks,I. Tracey. (2011). Master your Sleep, Proven Methode Simplied. USA:
Bascom Hills Publish Group
Med Express. Bebas Insomnia. Yogyakarta: Karnesius. 2009
Pack Al, Kline LR, Hendricks JC, Morrison AR. Control of respiratory during
sleep. In : Fishman AP, ed. Pulmonary diseases an disorders. 4th ed.
Toronto: Mc Graw Hill, 2008;95:1680-711.
Perry, Patricia A., & Potter, Anne Griffin. (2005). Fundamental Keperawatan
buku I edisi 7. Jakarta : Salemba Medika
Pratiwi. 2009. Kesehatan Keluarga. Yogjakarta : Oryza
Purwanto, S.2007. Terapi Insomnia.Available online at http//klinis.wordpress.com
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan edisi 4 volume 2.
Jakarta : EGC
Putra SR. Tips sehat dengan pola tidur tepat dan cerdas. Yogyakarta: Buku biru,
2011; p.125-7.
Rahayu RA. Gangguan tidur pada usia lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 (Edisi
Kelima). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p.802.
Ramdhani, N.Aulia. Adhyos. (2008). Pengembangan Multimedia Relaksasi.
November 27, 2011. http://www neila.staff.ugm.ac.id
Scott GW, Scott HM, O’Keeffe KM et al. Insomnia-treatment pathways, cost and
quality of life. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2011; 9: 1-10.
Setyoadi, K. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa pada Klien
Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika
Siallagan, A.M. (2010). Pola Tidur Ibu pada Masa Kehamilan. Medan
Widastra, I. M. (2009). Terapi Relaksasi Otot Progresif Sangat Efektif Mengatasi
Keluhan Insomnia pada Lansia. Gempar :Jurnal Ilmiah Keperawatan No.2
Vol.1, 84-89. September 12, 2011. http://isjd.pdii.lipi.go.id
17
Winanto (2009).Tidur dalam Sudut Pandang Ilmiah. Juni 19, 2012.
http://www.winanto.typepad.com
18