V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA
Abstrak
Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan ruang di sekitar Tahura. Akibatnya perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar akan berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi ketimpangan pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda. Penelitian merupakan analisis spasial urban sprawl melalui interpretasi citra satelit Landsat TM menggunakan data tahun 1992 dan tahun 2006. Hasil analisis menunjukkan di sekitar kawasan Tahura Djuanda memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan pemukiman dan aktifitas ekonomi serta tingginya nilai keindahan (scenic beauty value) tahura serta terjadi perubahan luasan penggunaan lahan dari hutan menjadi ladang yang kemudian ladang menjadi permukiman pada pengamatan tahun 2002 – 2007. Munculnya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari tingginya tingkat urban sprawl dimana aktivitasnya dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan sehingga kualitas ekosistem sekitar kawasan menjadi menurun akibatnya terjadi penurunan luas ruang terbuka hijau dan tutupan kawasan lainnya seperti tutupan vegetasi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka konsistensi pemerintah dalam penerapan tata ruang wilayah sekitar tahura Djuanda sangat diperlukan sehingga tumpang tindih dan pelanggaran pemanfaatan lahan oleh para stakeholder pada setiap perubahan penggunaan lahan dapat dihindari.
Key word: lahan, scenic beauty, urban sprawl, tata ruang, stakeholder.
5.1. Pendahuluan
Tahura Djuanda memiliki arti penting bagi keberlangsungan hidup
masyarakat sekitar baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial mengingat
besarnya potensi yang dimiliki seperti keragaman spesies flora dan fauna,
keindahan pemandangan alamnya, udara yang sejuk dan alami, adanya gua-gua
peninggalan sejarah seperti gua Jepang dan gua Belanda memberikan daya tarik
tersendiri bagi masyarakat sekitar maupun wisatawan untuk berkunjung dan
berwisata ke tahura. Kondisi ini mampu memberikan konstribusi positif bagi
pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah setempat.
Sedangkan dari segi ekologi keberadaan tahura merupakan kawasan konservasi
air dan pelestarian flora dan fauna.
73
Secara visual penggunaan lahan di sekitar kawasan Tahura Djuanda
sebagian besar saat ini masih merupakan lahan pertanian (48%), selebihnya
terdiri dari perkampungan (40%), hutan (2%) dan penggunaan lainnya (2%).
Sekitar 48% dari wilayah perkampungan yang ada kini didominasi oleh villa dan
rumah-rumah mewah yang sebagian besar lahan yang saat ini digunakan untuk
kegiatan pertanian, sebagian besar telah dimiliki oleh orang luar, lahan-lahan
tersebut direncanakan untuk pembangunan villa, namun untuk sementara
sebelum villa tersebut dibangun, masyarakat setempat masih diperkenankan
untuk menggarap. Kegiatan pertanian yang berkembang di wilayah ini
merupakan pertanian intensif berbiaya tinggi, seperti kentang, bawang merah,
kembang kol, kubis dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan modal,
sebagian besar petani melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan maupun
pemasok modal dari luar.
Potensi dan keindahan alam sekitar Kawasan Tahura Djuanda selain
memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif bagi pemanfaatan
ruang di sekitar tahura misalnya berdirinya bangunan villa, permukiman dan
meningkatnya aktivitas masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkan
sumberdaya sekitar kawasan secara tidak bertanggung jawab. Akibatnya
perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar konservasi akan berdampak
negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan
lingkungan. Hal yang nyata terlihat adalah pada beberapa fungsi kawasan yang
sudah tidak sesuai dengan peruntukan daya dukung akibatnya terjadi
ketimpangan pemanfaatan lahan.
Kecenderungan perubahan lahan tersebut selain disebabkan oleh faktor
kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan
sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty)
dan lingkungan alami yang cukup asri sehingga dirasakan nyaman sebagai
wilayah permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan
dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl.
Gejala urban sprawl dapat digambarkan oleh beberapa karakteristik
seperti yang dkemukakan oleh Downs (1998) urban sprawl dikenali dari
perkembangan pembangunan baru ke luar batas yang tidak terbatas, kepadatan
rendah (low density development), leapfrog development dan pembangunan
kawasan komersial yang dibangun secara memanjang (strip development).
Sementara itu Reid Ewing (1994 dan 1997) menggambarkan bahwa karakter
74
utama urban sprawl adalah low density, pengembangan secara memanjang atau
pita (strip atau ribbon), pembangunan tersebar (scattered or leapfrog
development).
Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar
kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap
nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai
tersebut telah mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan
kepentingannya tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang
menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga
kebutuhan masyarakat Kota Bandung khususnya dalam penyediaan jasa
lingkungan hidrologis.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, penelitian ini dimaksudkan
untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi
Tahura Djuanda.
5.2. Metode Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Data penelitian di analisis menggunakan spasial urban sprawl dengan
menganalisis pola perubahan penggunaan lahan perkotaan dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya untuk mengetahui karakteristik spasial dari gejala urban
sprawl di wilayah studi. Hal ini sesuai dengan pendapat Winoto (1995) bahwa
proses urban sprawl adalah merupakan suatu fenomena dinamik di sekitar
kawasan konservasi Tahura Djuanda yang menyangkut aspek fisik berupa
perubahan penggunaan lahan serta aspek kehidupan.
Analisis pola perubahan penggunaan lahan oleh perembetan kegiatan
perkotaan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dapat dilakukan melaui
proses-proses di bawah ini :
1. Proses Analisis Citra
Analisis pola perubahan penutupan lahan dilakukan melalui interpretasi
citra satelit Landsat TM (tahun 1993, 1998, 2003 dan 2006) dengan
menggunakan software Arcview 3.3. Tahapan pengolahan citra tersebut meliputi
koreksi geometri, subset lokasi studi, komposisi warna dan teknik klasifikasi citra.
a. Koreksi geometri
Koreksi geometri bertujuan untuk mendapatkan citra dengan letak
geometri yang persis seperti letaknya di permukaan bumi. Pada perangkat lunak
75
pengolahan citra koreksi geometri dilakukan dengan cara mengaitkan titik-titik
kontrol pada citra dan pada peta master yang telah memiliki aspek geometri yang
lebih baik. Penentuan titik-titik kontrol geometrik dapat ditandai pada objek-objek
permanen seperti persimpangan jalan, perpotongan jalan dengan sungai, cabang
sungai dan lain-lain.
b. Proses Subset Lokasi Studi
Proses subset lokasi studi dilakukan untuk mendapatkan wilayah studi
yang sesuai dengan batasan wilayah studi yang diinginkan. Image dipotong
sesuai dengan batasan wilayah studi yang didapatkan dari peta administrasi
yang sudah didigitasi.
c. Proses Komposisi Warna
Proses komposisi warna digunakan untuk mengkombinasikan band-band
dari citra satelit Landsat TM sehingga menghasilkan citra komposit yang dapat
menggambarkan keadaan penutup lahan secara lebih mudah. Kombinasi band-
band ini didasarkan pada ciri spektral gelombang elektromagnetik yang
digunakan pada masing-masing band citra satelit Landsat.
d. Klasifikasi Citra (Image Classification)
Teknik klasifikasi citra merupakan serangkaian tugas merubah data digital
menjadi kelas tertentu yang khas dan memberikan informasi dengan metode
unsupervised classification. Analisis awal dilakukan sebelum dilakukan klasifikasi
yang bertujuan untuk memperbaiki penampakan pada citra. Analisis awal terdiri
dari bagian pemulihan (image restoration) yang bertujuan untuk memperbaiki
data citra yang mengalami distorsi terutama geometri; dan bagian penajaman
(enhancement) yang bertujuan untuk memperbaiki penampakan visual citra.
Setelah analisis awal selesai, maka tahap akhir adalah membuat klasifikasi citra
untuk menentukan kelas-kelas penutupan lahan.
Dari hasil pengolahan data citra tersebut didapatkan klasifikasi penutupan lahan
urban dan non urban (hijau, lahan kosong dan air). Pada proses klasifikasi,
penentuan klasifikasi penutupan lahan dilakukan berdasarkan kemudahan dalam
membandingkan citra-citra yang ada dan memakai kombinasi band 2; 4; 2.
76
2. Analisis Perembetan Kegiatan Perkotaan
Pada gejala urban sprawl di wilayah Bandung dapat dianalisis dengan
melihat kecenderungan pola dan luasan tutupan lahan terbangun. Tahapan
analisis yang digunakan dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Melakukan Identifikasi tutupan lahan terbangun tahun 1992 dan 2006 pada
citra satelit Landsat
2. Menghitung luas perubahan tutupan lahan tahun 1992 dan 2006
3. Membagi wilayah studi menjadi empat (4) kuadran, dengan mengasumsikan
pusat kota menjadi titik 0,0.
4. Menghitung perubahan luas tutupan lahan terbangun tahun 1992 dan 2006
per kuadran
5. Meng-overlay tutupan lahan dengan jaringan jalan eksisting (Jalan Tol, Jalan
arteri primer)
6. Mengasumsikan posisi lahan terbangun berada 500 m kanan – kiri jaringan
jalan
7. Meng-overlay tutupan lahan dengan pusat kegiatan Kabupaten Bandung.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta
meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam berbagai aspek telah
mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan. Bila meningkatnya
jumlah perkotaan maupun kegiatan penduduk perkotaan telah mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Karena ketersediaan
ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang
untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi perkotaan akan mengambil
ruang di daerah pinggiran kota. Gejala pengambil-alihan lahan non-urban oleh
penggunaan lahan urban secara tidak terencana dan tidak beraturan di daerah
perkotaan disebut urban sprawl.
Indeks sprawl merupakan perbandingan antara prosentase pertumbuhan
wilayah urban dibandingkan dengan prosentase pertumbuhan penduduk kota.
Sehingga untuk perhitungan indeks sprawl kota Bandung antara tahun 1996-
2002.
PenduduknPertumbuhaUrbanWilayahnPertumbuha
SprawlIndeks%
%=
= % pertumbuhan wilayah Urban Kota Bandung (1996-2002)
% pertumbuhan penduduk kota Bandung (1996-2002)
77
5.3 Hasil Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Sekitar Tahura Djuanda
1. Luasan Lahan Terbangun
Secara geografis Tahura Djuanda berada 107° 30’ BT dan 6° 52’ LS,
terletak di sebelah Utara kota Bandung berjarak ± 7 km dari pusat kota dengan
luas 526,98 ha. Bentuk kawasan Tahura Djuanda memanjang di sebelah kiri dan
kanan Sungai Cikapundung. Tahura Djuanda memiliki tingkat aksesibilitas tinggi
yang dapat dicapai dari Barat Daya/Selatan melalui Pakar-Dago dan dari Timur
Laut/Utara melalui Maribaya/Lembang.
Secara administratif, sebagian besar Kawasan Tahura Djuanda (kawasan
Pakar – Maribaya) masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung yaitu Desa Ciburial
dan Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan dan sebagian lagi termasuk wilayah
Desa Mekarwangi, Desa Langensari, Desa Wangunharja dan Desa Cibodas,
Kecamatan Lembang sedangkan sebagian kecil (Curug Dago) masuk dalam
wilayah Kelurahan Dago Kecamatan Coblong dan Kelurahan Ciumbuleuit
Kecamatan Cidadap Kota Bandung. Batas kawasan Tahura Djuanda dengan
daerah sekitarnya adalah:
(1) Sebelah Barat: Berbatasan dengan tanah milik (pertanian dan pemukiman)
Desa Mekarwangi.
(2) Sebelah Timur: Berbatasan dengan Hutan Lindung yang dikelola oleh
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (KPH Bandung Utara) dan
tanah milik (pertanian dan pemukiman) Desa Ciburial.
(3) Sebelah Utara: Berbatasan dengan tanah milik penduduk berupa lahan
pertanian desa Cibodas, Desa Wangunharja Kecamatan Lembang dan
Hutan Lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan
Banten (KPH Bandung Utara).
(4) Sebelah Selatan: Berbatasan dengan tanah penduduk berupa lahan
pertanian dan pemukiman Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten
Bandung dan Kelurahan Dago Kecamatan Coblong, Kelurahan Ciumbuleuit
Kecamatan Cidadap Kota Bandung.
Dari perhitungan luas tutupan lahan terbangun dengan menggunakan
sumber data citra satelit Landsat, diperoleh hasil bahwa pada tahun 1992 luas
lahan terbangun sebesar 18744.08 ha sedangkan pada tahun 2006 sebesar
78
24387.17 ha, penambahan luasan lahan terbangun dari tahun 1992 sampai
tahun 2006 sebesar 5643.10 Ha.
Penambahan luasan lahan terbangun pada wilayah studi ini dapat dibagi
menjadi empat (4) kuadran, hal ini digunakan untuk mengetahui pada wilayah
mana penambahan lahan terbangun paling dominan. Berdasarkan perhitungan
luas tutupan lahan dari citra satelit Landsat 7 Tahun 1992 dan 2006, diperoleh
penambahan luas lahan terbangun sebesar 5643.092 Ha.
Gambar 11. Pembagian lahan terbangun per kuadran
Penambahan luas tersebut dapat dijabarkan dengan mengikuti pola
kuadran. Persentase penambahan luas lahan terbangun pada tahun 2006
terhadap total area dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penambahan Luas Per Kuadran Dari Tahun 1992-2006
1992 2006 Luas (Ha) Luas (%)1 135.937 172.98 37.043 27.25%2 192.934 1013.466 820.532 425.29%3 380.086 1170.435 790.349 207.94%4 328.968 1172.472 843.504 256.41%
Total 1037.925 3529.353 2491.428 240.04%
Lahan Terbangun Tahun (Ha) PerubahanKuadran
79
Persentase penambahan luas lahan terbangun pada tahun 2006 terhadap
total area menunjukkan bahwa penambahan luas lahan terbangun terbesar
berada di kuadran 2 sebesar 425%, kemudian diikuti oleh kuadran 4 sebesar
256% dan kuadran 4 sebesar 204%. Kondisi ini menunjukkan bahwa
penambahan luas lahan terbangun banyak terjadi di selatan Kota Bandung pada
kuadran 3 dan 4 sebesar 464,35%, dan di sebelah utara Kota Bandung
penambahan luas lahan terbangun sebesar 27 %. pada kuadran 1.
Perkembangan pada kuadran 2 menunjukkan terjadinya perubahan lahan yang
sangat besar selama 14 tahun.
Gambar 12. Peta Urban Sprawl tahun 1992
80
Gambar 13. Perkembangan Perembetan Kegiatan Perkotaan Tahun 2006
2. Indeks sprawl
Indeks sprawl merupakan perbandingan antara prosentase pertumbuhan
wilayah urban dibandingkan dengan prosentase pertumbuhan penduduk kota.
Sehingga untuk perhitungan indeks sprawl kota Bandung antara tahun 1996-
2002.
Indeks Sprawl = % pertumbuhan wilayah Urban Kota Bandung (1996-2002) % pertumbuhan penduduk Kota Bandung (1996-2002)
Indeks Sprawl = 240,04 / 26.45
= 9,1
Indeks sprawl atau perembetan ke dareah sub-urban sebesar 9,1
menunjukkan bahwa laju konversi perubahan lahan jauh melebihi pertambahan
penduduk. Indeks ini menunjukkan bahwa banyak penduduk yang bergerak
kearah pedesaan untuk membangun perumahan atau aktifitas perkotaan selama
14 tahun berlangsung.
81
Penghitungan indeks sprawl menurut Staley (1999) diatas juga
dikemukakan oleh Landis (2000) dalam Wassmer (2002) mengemukakan bahwa
nilai indeks sprawl yang lebih besar dari 1 (satu) memberikan indikasi bahwa
antara tahun 1980 dan 1990 daerah batas kota (fringe area) tumbuh lebih besar
dari pertumbuhan penduduk pada seluruh area urban pada kasus perkotaan di
Amerika Serikat. Sehingga indeks sprawl kota Bandung dengan 9,1
menunjukkan pertumbuhan penutupan lahan perkotaan yang pada kawasan
batas kota atau pedesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan
penduduk dalam rentang waktu tahun 1996 sampai dengan tahun 2002.
Sebagai perbandingan dapat dilihat beberapa indeks sprawl dari kota-
kota di bagian barat Amerika Serikat pada 1980-1990. Dimana secara nasional
rata-rata indeks kota di AS tidak lebih besar dari 1 (satu), menunjukkan
penduduk pada seluruh kawasan urban di AS tumbuh lebih lambat dari pada
pertumbuhan lahan di luar kawasan sentral perkotaan (Wassmer,2002).
Tabel 6 Perubahan Penduduk Daerah Urban, Daerah Urban Fringe Area, dan
Indeks Sprawl dari tahun 1980 - 1990 Untuk Bagian Barat Amerika Serikat
Urbanized Area Name 1990 % Change in
Urban Population 1980 to 1990
% Change in Urban Fringe Land 1980 to 1990
Measure of Sprawl Index 1980 to 1990
United States average 13.7 12.5 0.91 Arizona average 33.63 13.25 0.52 California average 47.04 103.44 2.01 Colorado average 46.40 8.58 0.04 Nevada average 19.30 36.88 2.17 Oregon average 15.31 3.14 -2.91 Washington average 22.21 61.40 3.59 Phoenix-Mesa, AZ 42.4 -15.1 -0.36 Antioch-Pittsburg, CA 77.9 520.0 6.68 Fresno, CA 36.7 -6.7 -0.18 Salinas, CA 48.0 705.0 14.70 Simi Valley, CA 60.2 1290.0 21.42 San Diego, CA 37.8 8.5 0.23 San Francisco-Oakland, CA 13.8 2.2 0.16 Salt Lake City, UT 17.1 -5.7 -0.33 Denver, CO 12.3 6.0 0.49 Las Vegas, NV & AZ 61.1 30.1 0.49 Eugene-Springfield, OR 3.7 -51.7 -14.09 Seattle, WA 25.3 43.3 1.71
82
3. Pola Penyebaran Lahan Terbangun
Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi pola penyebaran
lahan terbangun adalah menganalisa luasan penambahan lahan terbangun
dengan pola jaringan jalan yang ada. Jaringan jalan kolektor primer tersebut
menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah sekitarnya. Kedudukan pusat
wilayah tersebut alam arahan struktur tata ruang pengembangan Metropolitan
Bandung adalah kota satelit, yaitu : Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya
dan Lembang. Kota satelit ini berfungsi juga sebagai sub pusat pengembangan
yang mendukung perkembangan kota Bandung dimana banyak penduduk kota
yang melakukan perjalanan pergi pulang (commuter) setiap harinya untuk
bekerja, bersekolah dan lain sebagainya.
Cipeundeuy
Cililin
Ciwidey
Pangalengan
Banjaran
Lembang
Cicalengka
Padalarang-Ngamprah
Soreang
Jatinangor
Majalaya
JalanArteri PrimerJalanKolektor Primer
Jalan Lingkungan(Jalan Desa)
Kota Inti
Kota Satelit
Fungsi Khusus
PembatasanPerkembangan(Lembang)
Majalaya
Ket : Pembatasan perkembangan juga diarahkan pada kawasan penyangga(Margaasih-Margahayu-DayeuhKolot-Baleendah-BojongSoang)
Sumber : Dinas Tata Ruang Permukiman, Prop Jabar Th 2005 Gambar 14. Struktur Metropolitan Bandung
83
Dari identifikasi pola jaringan jalan serta pusat wilayah dan lahan
terbangun yang telah terbagi dalam kuadran diperoleh gambaran bahwa:
1. Pola penambahan lahan terbangun mengikuti jaringan jalan kolektor primer
yang menghubungkan antar sub pusat kegiatan seperti kota satelit yang
berada di sekitar Bandung.
2. Lahan terbangun dominan bergerak menuju ke arah Soreang, Majalaya, dan
Banjaran yang berada di selatan Kota Bandung. Sedangkan untuk wilayah
utara Kota Bandung, dominan berada di Kota Cimahi yang berada di akses
jaringan jalan kolektor primer Bandung – Padalarang. Perkembangan
kawasan terbangun mengikuti jalan Setiabudi yang menghubungkan antara
Bandung dan Lembang.
3. Dari hasil dan pembahasan di atas tampak bahwa fenomena urban sprawl
pada wilayah studi menunjukkan bahwa ketidakmerataan perembetan areal
kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama.
Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada,
khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota terdapat pada
kuadran 3 dan 4 yaitu Perembetan Memanjang (Ribbon Development).
4. Perembetan kegiatan perkotaan pada kuadran 2 adalah jenis perembetan
yang tidak dipengaruhi dengan adanya jalan utama yang menghubungkan
dengan sentra kegiatan, sehingga perembetan tersebut tersebar pada
beberapa tempat dan disebut pola perembetan leapfrog sprawl.
5. Perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan
Untuk mengidentifikasi penetrasi lahan permukiman ke jenis tutupan lahan
lain di sekitar kawasan Tahura, misal hutan, kebun campuran, dan ladang dapat
dijelaskan dengan menggunakan beberapa parameter yaitu: (1) luas perubahan
tutupan lahan permukiman dari tahun 1992 dan 2006; dan (2) pola sebaran
perubahan tutupan lahan per kecamatan. Pertambahan kawasan terbangun di
sekitar kawasan Tahura berdasarkan data dari citra satelit tahun 1992 - 2006,
dapat ditunjukkan pada Tabel 7.
84
Tabel 7 Luas Penggunaan Lahan di Kawasan Sekitar Tahura Djuanda Tahun 1992, 1997, 2002 dan 2006
Penggunaan
Lahan
1992
1997
2002
2006
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Hutan
5.331
33
5.065
32
4.825
30
4.813
30
Ladang
2.466
15
2.656
17
2.960
18
2.959
18
Permukiman
4.413
28
4.486
28
4.604
29
4.713
29
Kebun
Campuran
3.238
20
3.241
20
3.056
19
2.963
19
Tahura
555
3
555
3
555
3
555
3
Lap Golf
14
0
14
0
14
0
14
0
Jumlah
16.017
100
16.017
100
16.013
100
16.017
100
Selama periode 1992-2006 penggunaan lahan hutan mengalami
pengurangan areal yang cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan
ladang mengalami penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk
pemukiman naik sebesar 300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran
mengalami penurunan sebesar 275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi
perubahan lahan hutan menjadi penggunaan non hutan sebesar 793 ha.
85
Kecenderungan perubahan ini berawal dari kebutuhan akan ketersediaan
lahan untuk melakukan kegiatan pertanian yang terdiri dari ladang dan kebun
campuran yang sesuai dengan tekstur tanah, topografi, fisik lingkungan serta
persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman.
Terlihat pola yang jelas bahwa penggunaan lahan yang bertambah
dengan pesat selama jangka waktu 14 tahun adalah lahan hutan berkurang
menjadi kebun campuran dan ladang yang berkarakteristik lahan terbuka
sehingga perubahan fungsi lahan menjadi pemukiman sangat mudah. Jumlah
luasan hutan dan kebun campuran yang berkurang luasnya hampir sama dengan
pertambahan penggunaan untuk pemukiman dan ladang sebesar 793 ha.
Penggunaan lahan di daerah Kota Bandung didominasi oleh peggunaan
untuk perumahan sebesar 52.6 % memberikan gambaran bahwa kebutuhan
lahan untuk permukiman sangat tinggi. Ketersediaan lahan untuk pemukiman
yang tersedia didalam kota sudah terbatas baik secara kualitas dan kuantitas,
sehingga untuk pembangunan atau pengembangan perumahan baru alternatif
lokasi bergeser ke daerah pinggiran kota. Untuk masyarakat kelas menengah
keatas dengan daya beli yang cukup dan mempunyai preferensi lokasi yang baik,
memilih lokasi perumahan yang mempunyai nilai tinggi. Bandung utara
mempunyai banyak kelebihan seperti lokasi yang berbukit dengan keindahan
pemandangan, udara yang nyaman lebih disukai daripada lokasi di Bandung
selatan atau Bandung Timur yang daerah yang cenderung datar.
Pembangunan perumahan di kawasan sekitar Tahura banyak dibangun
oleh perorangan sehingga lokasinya terpencar-pencar (scaterred). Kondisi
sangat tidak menguntungkan bagi penataan ruang kawasan dikarenakan
pemanfaat uang yang tidak teratur akan sulit dalam penyediaan fasilitas umum,
dan pola pergerakan sangat bergantung pada kepemilikan kendaraan bermotor.
Sehingga bila tidak dikendalikan akan memberikan dampak negatif bagi kawasan
seperti dengan bertambahnya lahan terbangun akan mengurangi kemampuan
tanah untuk infiltrasi air hujan dan meningkatkan air larian (run off), yang dapat
menyebabkan berkurangnya air tanah dan banjir pada daerah dibawahnya.
Perubahan penggunaan lahan di wilayah KBU sebagai akibat adanya
pemanfaatan lahan untuk pemukiman serta kegiatan perkotaan lainnya, secara
jangka panjang dapat merubah lingkungan geografis. Hal ini, jika tidak
dikendalikan dapat merusak lingkungan dan wilayah konservasi (Kozlowski,1997)
86
Gambar 15. Penggunaan tanah di Kota Bandung tahun 2006
Menurut hasil kajian Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa
Barat tahun 2004, tingginya perubahan lahan di Bandung Utara utamanya terjadi
karena pemberian Ijin lokasi di Kawasan Bandung Utara baik di Kota Bandung
maupun di Kabupaten Bandung dapat dibagi dalam dua kelompok, sebelum
Pakto 1993 dan sesuadah Pakto 1993. Pakto 1993 ini menandai semakin
besarnya kewenangan yang diberikan kepada kabupaten maupun kota dalam
memberikan perijinan pertanahan. Akibat dari dikelurakannya Pakto 1993 ini
adalah, pemerintah propinsi kehilangan kendali dalam mengawasi penerbitan ijin
lokasi di Kawasan Bandung Utara. Pertambahan ijin lokasi meningkat tajam
setelah dikeluarkannya Pakto 1993, yaitu berkisar Tahun 1994-1995 (Dinas Tata
Ruang dan Permukiman Privinsi Jawa Barat, 2004)
Perubahan lahan hutan pada periode 1992-1997 berkurang sebesar
256,6 ha, dan pada tahun 1997-2002 berkurang sebesar 240,9 ha. Selama masa
peralihan dari pakto 1993 dan masa runtuhnya orde baru pada tahun 1998 dan
mulainya reformasi dan otonomi daerah, konversi lahan hutan yang terjadi
mencapai 500 ha. Konversi hutan menjadi penggunaan non hutan selama
periode tersebut sangat besar dibandingkan pada periode tahun 2002-2006 yaitu
pada masa reformasi konversi lahan hutan hanya berkurang 11, ha. Sedangkan
87
pada periode 1992-1997 dan 1007-2002 pertambahan penggunaan untuk
permukiman sebesar 200 ha dan pada masa awal reformasi antara tahun 2002-
2006 pertambahan permukiman sebesar 109 ha (Tabel 8). Sehingga dalam
kondisi negara yang sedang dalam peralihan ke reformasi dalam hal ini otonomi
daerah terjadi perubahan penggunaan lahan yang besar dimana setiap
pemerintah daerah otonom mengeluarkan ijin pembangunan tersendiri.
Tabel 8. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan di Sekitar Tahura pada periode
1992 – 1997; 1997 - 2002; 2002 – 2006 dan 1992 – 2006 Tipe
Penggunaan Lahan
1992 - 1997 1997 - 2002 2002 -2006 1992 - 2006
Ha % Ha % Ha % Ha %
Hutan (265,56) (1,66) (240,90) (1,50) (11,30) (0,07) (517,76) (3,23) Ladang 189,75 1,18 303,88 1,90 (0,55) 0,00 493,08 3,08 Permukiman 72,86 0,45 118,25 0,74 108,99 0,68 300,09 1,87 Kebun Campuran 2,95 0,02 (185,23) (1,16) (93,14) (0,58) (275,41) (1,72) Tahura - - - - - - - -
Lap Golf - - - - - - - -
5. Sebaran pemukiman
Pola sebaran perubahan tutupan lahan menjadi pemukiman pada tahun
2006 di beberapa kecamatan yang berada di sekitar kawasan Tahura paling
besar terjadi perubahan pada kecamatan Lembang (72%), pada kecamamatan
Cimenyan (27%) dan kecamatan Coblong (2%) lihat Gambar 17.
.
Gambar 16. Pola Sebaran Perubahan Tutupan Lahan Pemukiman Tahun 2006
88
Kecamatan Lembang letaknya yang sangat strategis pada poros Kota
Bandung dan Kota Lembang berkembang dengan pesat dengan pola
pembangunan pita (ribbon development), pembangunan dipicu dengan adanya
akses jalan yang baik yang merupakan jalan alternatif untuk ke Jakarta.
Sedangkan kecamatan Cimenyan yang mempunyai akses dan kedekatan
dengan pusat kota Bandung serta mempunyai keindahan kawasan dan arah view
atau pemandangan yang baik ke arah Kota Bandung dan ke arah Tahura
merupakan tujuan pengembangan bagi perumahan-perumahan real estate
ataupun pribadi. Pola sebaran perubahan tutupan lahan dapat dijelaskan dengan
menggunakan peta pada Gambar 18.
Gambar 17. Peta Urban Sprawl Di Sekitar Kawasan Tahura 2006
Dampak yang diakibatkan dengan menurunnya kawasan hutan secara
sosial ekonomis, dimungkinkan untuk ada peningkatan pendapatan masyarakat
dengan beralih fungsinya hutan menjadi areal pertanian. Namun demikian secara
ekologis sangat merugikan karena akan menurunkan biodiversitas. Secara
hidrologis, berkurangnya kawasan hutan akan menurunkan kawasan resapan air
tanah. Selain itu, penurunan kawasan hutan akan berpengaruh terdapat debit
sungai di daerah aliran sungai. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang
89
dilakukan oleh Farida dan van Noordwijk (2004) yang menemukan bahwa
penurunan luas hutan akan meningkatkan debit sungai pada DAS Way Besai,
Sumberjaya, Lampung.
Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi
penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan
penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di
pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula
dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan
peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan
penduduk meningkat.
Pola pemanfaatan ruang selalu berkitan dengan aspek-aspek sebaran
sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas
menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebarannya yang
berbeda-beda pula. Secara ebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai
upaya: (1) optimalisasi pemanfaatan seumberdaya (mobilisasi dan alokasi
pemanfaatan sumberdaya): (prinsip efisiensi dan produktivitas); (2) alat dan
wujud distribusi sumberdaya): azaz pemerataan, keberimbangan dan keadilan;
dan (3) keberlanjutan (Rustiadi et al, Nugroho dan Dahuri, 2004; Tariga, 2005).
Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis
keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis ). Dengan
kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun
karena pada dasarnya semua perencanaan akan trkait dengan dimensi ruang
dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi
maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencaanaan akan terpadu dan
terkontrol secara baik (Rais et al, 2004).
Menurut Sugandhy (1999), permasalahan dalam pemanfaatan ruang
wilayah di Indonesia dicirikan dengan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
serta permasalahan kependudukan lainnya yang semakin besar karena tanah
kehutanan dan tanah pertaian dikonversi untuk pemukiman, industri dan
pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu kcenderungan merosotnya sumberdaya
alam dan lingkungan hidup selain diakibatkan oleh menurunnya kualitas
pemanfaatan ruang, juga dipacu oleh kualitas wujud structural dan pola
pemanfaatan ruang. Wujud struktural peemanfaatan ruang merupakan unsur-
unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan social, dan lingkungan
buatan yang secara hierarki dan struktural pemanfaatan ruang tersusun antara
90
lain meliputi pusat-pusat pelayanan (kota, lingkungan, pemerintahan), prasarana,
jalan, rancangan bangun kota sepert ketinggian bangunan, jaran antar bangunan
dan sebagainya. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang
yang menggambarkan ukuran, fungsi dan karakter kegiatan atau kegiatan alam.
Pola pemanfaatan ini ditandai dengan pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat
kerja, industri, pertanian serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.
Lahan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Sedemikian pentingnya
nilai lahan, hingga seringkali muncul konflik di antara berbagai stakeholder yang
disebabkan oleh perbedaan kepentingan dalam pemenfaatan lahan. Potensi
penggunaan lahan sangat beragam, mulai dari pertanian, pertambngan,
kehutanan dan perlindungan alam serta industri dan perkotaan. Pengambilan
keputusan yang tepat dalam pemanfaatan lahan seringkali menjadi persoalan
penting dalam masyarakat modern (Verheye, 1997).
Perencaan penggunaan lahan ( land-use planning) merupakan proses
penilaian secara sistematis terhadap potensi lain, alternative penggunaan lahan
dan kondisi social ekonomi masyarakat dalam rangka menetapkan opsi
penggunaan lahan terbaik. Perencanaan penggunaan lahan selalu berhubungan
dengan beberapa aktifitas seperti penetapan penggunaan lahan untuk masa
yang akan datang (physical planning), peningkatan kondisi fisik (land
management) (Van Lier, 1998). Aktivitas ini menurut Jhonsons dan Cramb (1996)
membutuhkan informasi yang tepat terkait dengan aspek biofisik, ekonomi dan
social. Tanpa dukungan data yang akurat, perencanaan tidak akan berhasil
mencapai tujuan (society goals) yang diinginkan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, perencanaan penggunaan
lahan menempati posisi yang sangat sentral. Perencanaan penggunaan lahan
selalu dihadapka pada dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu konservasi
ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan (sustainability) sebagai tujuan
utama perencanaan penggunaan lahan seringkali menjadi dilema manakala
kedua kepentingan saling bertentangan ini harus disatukan. Menanggapi hal
tersebut, Van Lier (1998) optimis akan tetap bisa dilaksanakan apabila para
pelaku ekonomi merasa diri sebagai bagian dari lingkungan kesejahteraan
ekonomi tidak akan pernah bisa dicapai tanpa langkah-langkah nyata
perlindungan terhadap lingkungan dan basis sumberdaya yang ada. Demikian
juga perlunya penanaman kesadaran bahwa keuntungan ekonomi yang
91
berkelanjutan juga diperlukan sebagai prasyarat bagi tercipatanya keseimbangan
lingkungan dan sumberdaya.
Van Lier (1998) mengusulkan konsep spasial untuk menjembatani
kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan pertumbuhan ekonomi
dalam rangka mencapai tujuan keberlanjutan. Konsep ini didekati dari 3
subkonsep, yaitu konsep integrasi vs segregasi (integration vs segregation
concept); konsep kerangka kerja (ecological network concept). Konsep integrasi
berbasis landscape ecology. Beberapa tipe penggunaan lahan (misalnya
pertanian, infrastruktur, outdoor recreation dan lalu lintas) direncanakan dan
dikembangkan dengan tetap menjaga fungsi ekologi wilayah.
Konsep kerangka kerja didasarkan pada pemahaman tentang adanya
perbedaan antar bagian wilayah yang berdinamika tinggi (misalnya pertanian,
rekreasi, permukiman, dan transportasi) dengan bagian wilayah yang
berdinamika rendah (misalnya ekosisten alami). Konsep ini melakukan koreksi
melalui segregasi spasial terhadap lahan dengan penggunaan intensif
(intensively-used lands) yang memerlukan lay-out dan pemanfaatan yang
fleksibel pada satu sisi, dan ahan dengan penggunaan ekstensif yang
memerlukan stabilitas pada sisi lain. Konsep jaringan ekologi merupakan sebuah
konstelasi elemen-elemen landscape yang bersifat fungsional dalam konteks
disperse species di dalam unit landscape yang bersangkutan. Jaringan ekologi
membuat hubungan antar wilayah inti (core regions), wilayah pengembangan
(nature development regions), dan wilayah-wilayah penghubung (connecting
areas).
5.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
selama periode 1992-2006 lahan hutan mengalami pengurangan areal yang
cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan ladang mengalami
penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk pemukiman naik sebesar
300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan sebesar
275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi perubahan lahan hutan menjadi
penggunaan non hutan sebesar 793 ha.
Perkembangan kawasan terbangun di wilayah Bandung membentuk
konfigurasi spasial yang menyebar ke segala arah walaupun struktur jaringan
jalan utamanya pada saat ini mengarah pada pola ribbon development kecuali di
92
bagian selatan yang berbentuk radial. Fenomena urban sprawl pada wilayah
studi menunjukkan bahwa ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di
semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling
cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat
menjari (radial) dari pusat kota yaitu perembetan memanjang (ribbon
development).
Perkembangan perubahan penggunaan lahan dari kebun campuran dan
ladang yang berubah menjadi penggunaan lahan pemukiman menunjukkan
bahwa adanya penetrasi kegiatan perkotaan kedalam kawasan konservasi.
Penggunaan lahan pemukiman ini lokasinya tersebar (scaterred atau leap frog
development).
VI. POTENSI KEINDAHAN KAWASAN
Abstrak
Pengembangan pembangunan perumahan dan kegiatan perkotaan ke arah KBU yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan oleh permintaan pasar dan kualitas visual estetika lanskap. Hal ini dapat dilihat secara nyata bahwa keberadaan kawasan konservasi Tahura Ir. H. Juanda merupakan kawasan yang kaya akan pesona estetika lanskap yang dapat dilihat dari berbagai arah mata angin dan didukung dengan lokasinya yang lebih tinggi (pegunungan) dari lanskap kota Bandung. Analisa keindahan estetika kawasan yang digunakan dalam kajian ini didukung menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) dengan maksud untuk mengetahui sejauhmana pengaruh estetika visual dari lanskap kawasan sekitar Tahura Ir. H. Juanda terhadap kegiatan pembukaan lahan sebagai areal permukiman di sekitar Tahura Ir. H. Juanda yang merupakan penetrasi kegiatan perkotaan (urban sprawl) ke dalam kawasansekitar Tahura. Metode SBE ini melibatkan 70 orang reponden yang diminta untuk menilai 120 buah foto pemandangan dari lanskap Tahura Ir. H. Juanda. Hasil analisa keindahan estetika menunjukkan bahwa lanskap kawasan disekitar Tahura Ir. H. Juanda memiliki nilai visual tinggi sebesar 38,3 % dan nilai visual sedang sebesar 48,33 %. Sedangkan 13,33 % memiliki nilai visual rendah.
Keywords: KBU, estetika lanskap, konservasi, SBE.
6.1. Pendahuluan
Lokasi Tahura Ir. H. Juanda berada tepat di bagian utara kota Bandung
dan didukung dengan kualitas visual estetika lanskapnya yang menjanjkan,
menjadi sasaran utama koridor suburbanisasi dari kota Bandung. Di sisi lain,
lokasi Tahura Ir. H. Juanda sangat srategis mengingat kawasan ini merupakan
bagian dari KBU yang diperuntukkan sebagai kawasan konservasi dan zona
lindung dari bahaya geologi.
Pembentukan dan perubahan penggunaan lahan di kawasan pinggiran
kota diakibatkan oleh adanya proses suburbanisasi dimana kecenderungannya
menunjukkan terjadinya pertumbuhan gejala urban sprawl. Suburbanisasi
kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai
akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim
untuk kegiatan industri (Rustiadi dan Panuju, 1999).
Estetika lanskap dan evaluasi pemandangan merupakan bagian yang
penting dalam memahami lanskap secara luas. Estetika secara umum
didefinisikan sebagai suatu pengetahuan tentang keindahan atau pembelajaran
keselarasan terhadap alam atau seni (Ewald, 2001). Kualitas visual estetika
94
merupakan hasil pertemuan antara fitur fisik dan lanskap dan proses psikologis
dari pengamat (Daniel, 2001).
Keindahan pemandangan (scenic beauty) merupakan hasil dari
tanggapan atau respon seseorang terhadap lanskap di sekitarnya. Scenic beauty
ini dipengaruhi oleh bentukan fisik (seperti topografi, pola vegetasi, kemiringan
lahan, penutupan bangunan, rasio area berlantai) dan karakteristik pengamat
(seperti pergerakan, latar belakang personal, lokasi dan sudut pandang).
Bentukan fisik dapat dijadikan dengan bentukan fisik lanskap tersebut (Don-
Gwong Sung, et al. 2001).
6.2. Metode Analisis
Sumberdaya estetika dalam hal ini visual lanskap di wilayah studi
mengalami penurunan kualitas sebigai akibat terjadinya gejala urban sprawl.
Diperlukan suatu pengelolaan lanskap guna mengatasi penurunan kualitas ini.
Melalui pemetaan nilai sumber daya estetika di wilayah studi berupa peta sumber
daya estetika visual dapat digunakan untuk tujuan pengelolaan lanskap yang
berorientasi pada pelestarian karakter lanskap wilayah bagi pengembangan kota
(Munandar, 1990).
Data yang dibutuhkan dalam analisis estetika yaitu data spasial (peta)
dasar topografi dan peta tema tutupan lahan yang sudah dikoreksi dan data non-
spasial berupa rekaman foto-foto. Analisis estetika menggunakan prosedur SBE
yang dikemukakan oleh Daniel dan Boster (1976). Adapun tahapan-tahapan
dalam prosedur ini adalah:
1. Penentuan titik pengamatan dan pengambilan foto
Titik pengamatan ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan karakter
lanskap di wilayah penelitian. Karakter lanskap wilayah penelitian
diidentifikasi dengan berpedoman pada peta topografi dan diverifkasi ke
lapangan (ground truthing). Proses identifikasi karakter lanskap diikuti
dengan pengambilan foto lokasi untuk selanjutnya menjadi titik pengamatan.
2. Seleksi foto
Hasil pengambilan foto pada masing–masing lokasi selanjutnya dilakukan
penyeleksian dengan cara memilih foto dengan keterwakilan dan
keragaman yang tinggi dan kualitas gambar yang cukup baik. Jumlah foto
yang dipilih sebagai bahan penilaian dalam penelitian ini berjumlah 120
95
buah foto yang mewakili hampir menyeluruh lokasi kajian Tahura Ir. H.
Juanda.
3. Penilaian oleh responden
Penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling
sejumlah 70 orang yang mempunyai latar belakang keilmuan lanskap dan
pemahaman yang memadai mengenai estetika visual lanskap. Responden
berasal dari mahasiswa tingkat akhir dan dosen dengan pendidikan S1 dan
S2 perguruan tinggi terkemuka. Sistem penilaian dilakukan dengan cara
mempresentasikan silde foto berjumlah 120 buah foto dimana setiap foto
ditampilkan selama 10 detik dan langsung dinilai oleh para responden.
Penilaian foto dilakukan dengan cara memberikan skor untuk setiap foto
dengan kisaran skor 1 sampai dengan 10, dimana skor 1 menunjukkan skor
dengan penilaian foto yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan
skor untuk penilaian foto yang paling disukai.
4. Perhitungan SBE
Setelah proses penilaian foto selesai, dilanjutkan dengan melakukan
perhitungan terhadap skor dengan metode SBE. Tahapan ini dimulai
dengan tabulasi data, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan frekuensi
setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan probabilitas
kumulatif (cp). Selanjutnya dengan menggunakan tabel faktor “Z” untuk
menentukan nilai “Z” untuk setiap cp. Khusus untuk foto dengan “cp”
bernilai “1” atau cp = 0 (nilai “Z” tak terdefinisi) digunakan formulasi “cp=1-
1/(2n)” atau “cp=1/(2n) (Bock and Jones, 1968 dalam Daniel dan Boster,
1976). Rata-rata nilai “Z” yang diperoleh untuk setiap foto kemudian
dimasukkan ke dalam formulasi SBE :
keterangan :
SBEx = nilai penduga keindahan pemandangan lanskap ke-x
Zx = nilai rata-rata Z untuk lanskap ke-x
Zo = nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar
SBEx = (Zx – Zo) x 100
96
5. Penentuan kualitas visual
Penentuan kualitas estetika visual wilayah penelitian diawali dengan
membuat kelas-kelas pada nilai SBE dengan membagi rentang data
menjadi 3 kelas keindahan, yaitu tinggi, sedang dan rendah, dengan cara
menjumlahkan nilai terbesar dan terkecil lalu dibagi menjadi tiga kelas
keindahan yang sama besar proporsinya.
6. Menghitung variabel berpengaruh pada kualitas keindahan pada nilai SBE
kawasan.Variabel berpengaruh pada penilaian keindahan
Y= a+ bX1+cX2+dX3+ eX4+ fX5 +gX6 +hX7 + iX8 … Y = nilai SBE X1 = hard material (ordered/finished) X2 = hard material (unstructured) X3 = covered land (trees) X4 = covered land (bush, ground cover) X5 = abandoned land (tanah bera) X6 = paved land/ path (path, steppig stonr) X7 = water covered (water front) X8 = others (sky, void)
6.3. Hasil Analisis dan Pembahasan
Dalam perhitungan estetika visual gambar lokasi Tahura Ir. H. yaitu
dengan menghitung nilai SBE, terlebih dahulu memerlukan penentuan nilai
rataan lanskap tertentu yang dipakai sebagai standar (trigger) atau sering dikenal
dalam formulasi SBE sebagai “Zo”. Nilai Zo yang dipakai sebagai standar jika
suatu foto memiliki nilai Zo terkecil. Zo terkecil mengandung makna keragaman
dari semua unsur visual estetika dari foto tersebut. Berdasarkan hasil
perhitungan menunjukkan nilai Zo terkecil sebesar 0,07 yang berasal dari
gambar nomor 116, dengan nilai SBE (0.0). Penilaian Zo ini merupakan
perhitungan hasil skoring yang dilakukan oleh responden.
97
Gambar 18. Foto nomor 116 dengan nilai Zo terkecil, SBE (0.0)
Berdasarkan hasil perhitungan visual estetika menggunakan formula SBE
diperoleh sebaran nilai SBE untuk masing-masing foto, nilai terendah -41,71 nilai
tertinggi 128,57. Pada tampilan visual dengan SBE tertinggi memperlihatkan
kualitas sumber daya estetika yang tinggi, dimana perpaduan unsur alam dan
buatan yang harmonis (yaitu antara pepohonan, asritektur taman, rerumputan,
jalan, perumahan, kreasi batuan dan air) meskipun hampir keseluruhan struktur
merupakan gambar artifisial atau buatan manusia dan bukan tumbuh secara
alami, lokasi ini berada didalam kawasan perumahan yang berada dalam
kawasan sekitar Tahura Ir. H. . Kondisi ini sesuai dengan pendapat Yacobs
(1995) bahwa variable dan pola tata letak dan pola bangunan sangat
berpengaruh terhadap kuallitas visual lanskap perkotaan
Sedangkan tampilan pada nilai SBE terendah tampak didominasi oleh
unsur tanah yang terbuka. Adapun sebaran nilai SBE dari 120 buah foto dapat
dilihat pada Gambar 19.
98
Foto Dengan Nilai SBE Tertinggi Foto Dengan Nilai SBE Terendah
Gambar 19 Grafik sebaran nilai SBE untuk 120 buah foto
Gambar 20. Foto dengan nilai SBE tertinggi dan terendah
Grafik sebaran nilai SBE memperlihatkan sebaran nilai SBE untuk
masing-masing foto, sebanyak 11 buah foto yang memiliki nilai SBE diatas 100.
Sedangkan hanya 6 buah foto dengan nilai SBE dibawah 0.
Dengan membagi tiga sebaran data, diperoleh batas nilai SBE rendah;
SBE sedang dan SBE tinggi. Masing-masing nilai SBE dari foto-foto kemudian
dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu standar nilai visual tinggi jika nilai SBE >
87,11; standar nilai visual sedang jika berada diantara 29,01 dan 78,79; standar
nilai visual rendah jika nilai SBE < 29,01.
99
Gambar 21. Foto dengan nilai SBE tinggi
100
Gambar 22. Foto dengan nilai SBE sedang
101
Gambar 23. Foto dengan nilai SBE rendah
102
Berdasarkan kelas keindahan yang terbentuk, sebanyak 13.33% dari
kawasan Tahura Juanda memiliki nilai visual rendah, 48.33% dari kawasan
Tahuran Juanda memiliki nilai visual sedang dan sisanya 38.33% dari kawasan
Tahura Ir. H. Juanda memiliki nilai visual tinggi.
Penilaian SBE
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116
Nomor Urut
Nil
ai S
BE
NILAI SBE
< 29,01 rendah
> 78,79 tinggi
Gambar 24. Pengelompokan nilai SBE
Tabel 9 Persentase Jumlah Daerah Berdasarkan Nilai SBE
Daerah Jumlah Daerah Persentase Interval Rendah 16 13,33 % < 29,01 Sedang 58 48,33 % 29,01 s/d 78,79 Tinggi 46 38,33 % > 78,79
Hasil pengelompokan sebaran nilai SBE diatas menunjukkan
kecenderungan standar visual estetika Tahura mengarah pada kualitas sedang
sampai tinggi. Foto-foto pemandangan yang memiliki nilai preferensi visual
sedang sampai tinggi diwakili oleh foto pemandangan alami, semi alami dan
terbangun dengan dominasi sebaran pohon-pohon besar, perbukitan dengan
keragaman lanskap yang tinggi.
Foto-foto pemandangan yang memiliki nilai preferensi visual tinggi diwakili
oleh foto pemandangan alami dengan kondisi pohon yang masih baik dan terjaga.
Adapun perpaduan unsur alami dan buatan dilengkapi dengan unsur terbangun
seperti bebatuan dan pancuran/aliran air yang terdapat pada perumahan mewah
dalam kondisi rapi, teratur dan terawat juga memberikan nilai yang tinggi.
103
Gam
bar 2
5. P
eta
Kei
ndah
an K
awas
an S
ekita
r Tah
ura
Dju
anda
104
Foto-foto pemandangan secara alami yang cenderung seragam seperti sebaran
tajuk dan pohon-pohon besar memiliki nilai preferensi visual yang sedang.
Sedangkan foto-foto yang didominasi oleh kondisi areal terbuka dan terbangun
yang tidak teratur dengan kondisi yang tidak baik cenderung memiliki nilai
preferensi rendah. Area kawasan perumahan padat yang tidak teratur
memberikan pengaruh yang rendah dalam keindahan visualnya.
Kawasan sekitar Tahura didominasi dengan nilai SBE sedang sampai
tinggi. Untuk nilai SBE tinggi dihasilkan dari kondisi alami dengan hutan yang
kondisinya masih baik dan kawasan kontur perbukitan yang diduga memberi
konstribusi terhadap keindahan. Brush, 1981 dalam penelitiannya menemukan
bahwa lanskap yang mengandung relatif banyak relief (seperti bukit yang curam
dan pegunungan) memberikan pengaruh besar terhadap keindahan kawasan.
Nilai SBE sedang kebawah dipengaruhi oleh lahan terbuka dan kawasan
terbangun, seperti pemukiman. Perubahan pergerakan lahan pemukiman yang
mengarah ke sekitar Tahura, dimana dengan semakin tingginya konversi lahan
untuk pemukiman akan mempengaruhi kondisi keindahan kawasan dan iklim
mikro kawasan tersebut.
Kawasan berupa lahan kosong yang ditumbuhi ilalang, tanah rusak dan
ladang yangtidak terawat juga memberikan nilai preferensi visual yang rendah.
Penelitian Schroeder dan Connor (1987) atas peran keberadaan pohon jalan
(street trees) pada suatu ruas jalan di Ohio menunjukkan menunjukkan bahwa
jalan yang berpohon memiliki dampak yang kuat bagi masyarakat dalam menilai
kualitas keindahan jalan-jalan perumahan bahwa keberadaaan pohon pada
halaman rumah (yard trees ) dimana tidak adanya pohon di jalan akan
memberikan kontribusi yang tinggi bagi kualitas visual jalan tersebut. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa penanaman pohon di sepanjang jalan harus mendapat
prioritas utama dalam perencanaan perpohonan di kota selain memberikan
keindahan estetika juga memberikan keuntungan ekologis lainnya.
Kawasan sekitar Tahura yang berubah menjadi kawasan perumahan
terutama yang kembangkan oleh pengembang untuk perumahan kelas atas dan
menengah banyak menanam kembali kawasan dengan pohon-pohon dengan
komposisi yang baik sehingga memberikan kualitas visual yang baik.
105
Adapun model yang berpengaruh pada keindahan kawasan didapat
dengan melakukan regresi berganda variabel-variabel berpengaruh tersebut
dengan menggunakan minitab14 (Lampiran 15).
Model estetika kawasan
Y = 79,2 – 128 X1* + 9,2 X2 + 2,6 X3 – 2,7 X4 – 267 X5* + 126 X6* + 66,9 X7 - 65,7 X8
* = nyata pada taraf = 20 %
Hipotesis uji untuk kasus ini adalah:
H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = b5 = b6 = b7 = b8 = 0
H1 : Sedikitnya ada bi ? 0 (dengan i = 1, 2,..., 8)
Analisis keragaman (analysis of Variance) digunakan untuk mengecek apakah
ada pengaruh nyata antara peubah respon dengan peubah-peubah penjelasnya.
Apabila hasil analisis menunjukkan Ho ditolak, maka ada pengaruh yang nyata
antara peubah-peubah (X1-X8) dengan nilai SBE (Y).
Hasil Analysis of Variance ( ANOVA)
S = 21,7281 R-Sq = 59,9% R-Sq(adj) = 57,0%
Dari output Minitab tersebut, dapat dilihat bahwa nilai F hitung untuk model ini
adalah 20.70 dan nilai p bernilai 0.000. Sehingga apabila a sebesar 5%
F tabel = F a (df regresi, df residual error)
= F 0,05 (8,111)
= 2.204
Sehingga, dapat ditentukan nilai F hitung > F tabel, sehingga kesimpulannya
tolak Ho, yaitu setidaknya ada satu peubah-peubah (X1-X8) yang memiliki
pengaruh terhadap nilai SBE (Y). Sehingga model ini dapat digunakan untuk
menduga nilai SBE.
Source DF SS MS F P Regression 8 78163,7 9770,5 20,70 0,000 Residual Error
111 52404,1 472,1
Total 119 130567,7
106
Dari model regresi berganda yang dihasilkan program minitab di atas, dapat
disimpulkan bahwa nilai keindahan SBE (Y) dipengaruhi nilai konstan sebesar
79.2. dan beberapa peubah penjelas :
Model yang didapat menunjukkan nilai SBE dan peubah penjelasnya
- Perubahan satu satuan hard material (ordered, finished) ‘X1’ akan
menurunkan nilai SBE sebesar 128
- Perubahan satu satuan hard material (unstructurred) ‘X2’ akan
meningkatkan nilai SBE sebesar 9.2
- Perubahan satu satuan covered land (trees) ‘X3’ akan meningkatkan nilai
SBE sebesar 2.6
- Perubahan satu satuan covered land (bushes, ground cover,etc) ‘X4’
akan menurunkan nilai SBE sebesar 2.7
- Perubahan satu satuan abandoned land (tanah bera) ‘X5’ akan
menurunkan nilai SBE sebesar 267
- Perubahan satu satuan paved land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’
akan meningkatkan nilai SBE sebesar 126
- Perubahan satu satuan water cover (water font) ‘X7’ akan meningkatkan
nilai SBE sebesar 66.9
- Perubahan satu satuan void akan menurunkan nilai SBE sebesar 65.7
Dengan toleransi nilai p sebesar 20% hal ini dipakai karena persepsi
responden yang sangat beragam sehingga ketelitiannya tidak perlu tinggi, maka
dari keseluruh peubah yang diuji, faktor yang berpengaruh terhadap nilai kualitas
estetika visual adalah variabel X1, X5 dan X6. Dari model tersebut diatas dapat
diamati bahwa hard material (ordered, finished) ‘X1’, abandoned land (tanah
bera) ‘X5’ dan paved land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’ merupakan peubah
penentu nilai SBE kawasan sekitar Tahura. Kondisi ini berkaitan dengan
kondisi lanskap dan penataan ruang di kawasan penelitian tersebut. Variabel
hard material (ordered, finished) ‘X1’ berpengaruh dalam nilai kualitas visual di
kawasan sekitar Tahura utamanya didominasi oleh kawasan perumahan
terutama yang berkepadatan tinggi. Kerapatan bangunan dan komposisi yang
tidak teratur berpengaruh pada keindahan visual kawasan ini. Hal ini terjadi
karena banyak pembangunan perumahan yang dilakukan oleh individu dengan
tidak memperhatikan tata ruang yang ada. Sehingga masing-masing mendirikan
pemukiman secara terpisah-pisah, tidak terpadu dan terencana dengan baik.
107
VarIabel lain yang berpengaruh adalah X5 (abandoned land), yang
merupakan lahan yang tidak terurus dan belum terbangun. Disekitar kawasan ini
banyak lahan yang dimilikii oleh orang 'kota' dan dibiarkan saja dalam bentuk
ladang atau kebun dengan tanaman semak. Sehingga banyaknya tanah yang
tidak terurus ini memberikan kualitas visual yang rendah bagi kawasan.
Keberadaan variabel jalan setapak yang baik dengan proporsi yang
rendah serta berinteraksi baik dengan pohon sekitarnya memberikan nilai SBE
menjadi tinggi. Dengan kombinasi yang baik antara unsur alami dan unsur
buatan dapat memberikan kualitas visual yang baik pada foto pemandangan
kawasan. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Iverson, et al (1993) menyatakan
bahwa tingkat kualitas estetika suatu wilayah sangat bergantung pada variasi
elemen-elemen pembentuk lanskap dan keutuhan serta harmonisasi antara
lanskap alami dan buatan.
Berdasarkan kesesuaian yang diperoleh terlihat bahwa di sepanjang
beberapa sisi jalan lokal dan jalan setapak mempunyai pemandangan keindahan
yang cukup baik. Komposisi struktur lanskap alami akan memberikan nilai
spiritual dan emosional tersendiri pada setiap manusia untuk mendapatkan
pengalaman yang baru (Higuchi, 1983). Lingkungan alami dengan kualitas
pemandangan yang baik dan adanya jalan setapak sebagai aksesibilitas dapat
memberikan nilai pengalaman selama perjalanan.
108
Gam
bar 2
6. P
eta
Kei
ndah
an d
an K
elas
Ket
ingg
ian
Kaw
asan
Sek
itar T
ahur
a D
juan
da
109
Kusumoarto (2006) menyatakan bahwa penilaian kesesuaian lahan
berdasarkan potensi sumberdaya estetika visual, menghasilkan kawasan-
kawasan yang sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangan
aktivitas rekreasi. Berdasarkan penilaian pakar, subkriteria kualitas estetika
visual lanskap mempunyai nilai pembobot yang sangat penting dipertimbangkan
untuk mendukung pengembangan aktivitas rekreasi dibandingkan lainnya.
Subkriteria tutupan dan penggunaan lahan, sarana aksesibilitas dan Iingkup
wilayah pengembangan merupakan subkriteria yang lebih penting.
Keberadaan kawasan semi alamiah, lahan terbangun, lahan yang
terbengkalai (tidak digunakan), lahan yang timbul semak belukar akibat
pembukaan lahan mengakibatkan banyak tersebar kawasan yang sesuai. Tidak
adanya jalan lokal dan jalan setapak yang dapat mencapai kawasan yang
mempunyai keindahan sangat baik mengakibatkan kawasan-kawasan tersebut
juga berada pada kawasan yang sesuai. Beberapa hal yang mempengaruhi
kawasan yang sesuai untuk pengembangan aktivitas rekreasi adalah kondisi dan
keberadaan lahan-Iahan sawah irigasi dengan luasan yang cukup besar dan
mendominasi serta kebun-kebun yang melatarbelakangi sawah-sawah irigasi
tersebut. Keberadaan kawasan ini didukung oleh komposisi elemen pembentuk
ruang terbuka hijau namun telah ada campur tangan manusia serta adanya jalan
lokal dan jalan setapak yang dapat mencapai dan melalui kawasan-kawasan
tersebut dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah
mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau, perlindungan sempadan jalan,
serta sisi sepanjang jalan .yang memberikan nuansa, karakter dan ciri khas
kawasan hutan.
Dari gambar yang sama juga tampak bahwa preferensi terhadap kualitas
penutupan lahan terutama terhadap kontras tinggi dan kompabilitas tataguna
lahan kedua kelompok masyarakat ini tidak sama. Namun tampak bahwa
preferensi terhadap gambar kealamian dan kualitas internal meningkat dengan
semakin alamiah dan semak koheren seuatu pemandangan. Diperkirakan
karakter-karakter kontras tinggi dan kompabilitas relative sulit diindera atau
dipersepsi. Pengamatan secara sepintas menunjukkan bahwa responden terlibat
memasukan kepentingannya dalam memilih kesukaan. Terhadap gambar
kompabilitas tataguna lahan responden cenderung mengandaikan dirinya
110
berkepentingan untuk menetap atau berada dalam suatu tapak (sebagaimana
disajikan oleh foto).
Studi yang dilakukan oleh Daniel, Brown, King, Richard dan Steward
1989, melakukan studi mengenai keindahan kawasan hutan Ponderosa dengan
metoda SBE dan willingness to pay oleh para pecinta alam menunjukkan bahwa
terdapat kesamaan antara mean SBE dengan mean adisional wtp (CV). Kondisi
ini menunjukkan bahwa responden scenic beauty dan CV sensitif terhadap
perubahan atas karakteristik hutan. Dengan kata lain karakteristik hutan
mempengaruhi perceived scenic beauty juga mempengaruhi perceived value dari
perkemahan.
Daniel dan Boster 1976 menggunakan metoda SBE untuk
membandingkan penilaian lapangan dengan menggunakan penilaian
berdasarkan slide berwarna yang mewakili kondisi lanskap. Menilai keindahan
dengan keputusan visual dari sekelompok pengamat dan ditanya mengenai
kepurtusan mereka atas beberapa tingkatan kualitas lanskap berbeda.
Elwood Shafer, 1969, mengembangkan pendekatan untuk mengukur
preferensi lanskap dengan mengukur luas area variable pada foto. Shafer
mengukur varibel dari foto seperti langit, vegetasi didepan, pada jarak menengah
dan jauh, non vegetasi seperti tanah terbuka, gunung, salju, lapangan rumput;
arus air, air terjun dan danau.
Munandar (1990) meneliti preferensi masyarakat dengan nilai
sumberdaya pemandangan. Hasil pengujian korelasi menunjukkan adanya
hubungan yang positif antara pangkat (urutan) kontras relief, bentuk ruang,
kealamiahan dan variasi internal suatu lanskap dengan pangkat (orde) preferensi,
yang menggambarkan potensi pemandangan, oleh perencana maupun
masyarakat umum. Besarnya koefisien korelasi Kendal keempat hubungan
tersebut berturut-turut yaitu 0.54 dan 0.222, 0.408 dan 0.194, 0.312 dan 0.234
serta 0.584 dan 0.349. Terhadap beberapa karakter lanskap yang lain yaitu
lereng dan kontras tinggi vegetasi, hubungan linear tersebut tidak konsisten
antara perencana dan masyarakat umum. Oleh karena itu untuk keperluan
praktikan karakter kemiringan lereng dan kompabilitas tataguna lahan tidak dapat
digunakan untuk meramalkan potensi pemandangan, karena tidak ada hubungan
linear antara pangkat kedua karakter ini dengan preferensi perencana maupun
masyrakat umum.
111
Lebih lanjut dijelaskan secara praktikal informasi geografi atau lanskap
kontras relief dan pelambahan yang mewakili bentuk lahan serta kelamiahan dan
variasi internal yang mewakili penutupan lahan (tataguna lahan), sebagaimana
criteria peta sumberdaya pemandangan. Ini akan berguna terutama untuk
proteksi (pencegahan) perambahan pengembangan kota menuju wilayah
berpotensi pemandangan alami yang baik, disamping tujuan pengelolaan lainnya.
Dengan demikian warga kota atau warga luar kota selain secara visual dapat
manikmati pemandangan, secara mental menikmati kekompleksan dan misteri
alam sebagaimana dipostulatkan Brown et al. (1986) dan Kaplan (1984).
Pembangunan fisik kearah wilayah berpotensi pemandangan alami baik perlu
dicegah.
Semakin kontras suatu relief, semakin dalam suatu
cekungan/perlembahan semakin alami suatu tataguna lahan dan semakin kaya
variasi atau semakin tinggi koherensi suatu pola pemandangan maka
pemandangan tertentu semakin indah baik menurut konsepsi perencana maupun
masyarakat awam. Oleh karena itu selanjutnya dikaji hubungan faktor ini dengan
berbagai tingkat sosial ekonomi masyarakat. Hasil penelitian terhadap sebagian
(50 orang yang dipilih secara acak) masyrakat umum menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan anatara latar belakang sosial ekonomi dengan penilaian
keindahan kotras relief, ruang, kealamiahan dan kekayaan variasi internal.
Secara teori Porteous (1977) bahwa persepsi dan tingkah laku (behaviour)
terhadap alam fenomenal (alam nyata) dipengaruhi oleh alam personal dan
kontekstual (siklus hidup, status sosial dan gaya hidup) mendukung pernyataan
ini
Lanskap yang semakin kontras reliefnya, semakin dalam cekungan
(pelembahan) lainnya, semakin alamiah tataguna lahannya dan semakin kaya
variasi internalnya atau semakin kohren pola pemandangannya semakin tinggi.
Secara tidak langsung lanskap demikian disepakati oleh kedua kelompok
masyarakat mempunyai nilai sumberdaya pemandangan yang semakin tinggi.
Kawasan-kawasan yang tidak sesuai secara umum juga dipengaruhi oleh
pemandangan lahan-Iahan yang kering akibat adanya kegiatan pembukaan
lahan dan penebangan pohon secara liar serta keberadaan ruang-ruang
terbangun. Berdasarkan persepsi yang diperoleh lokasi-Iokasi ini mempunyai
komposisi keindahan yang kurang baik akibat sudah tidak alaminya lokasi
tersebut.
112
Penurunan kualitas visual akibat pembukaan lahan, eksploitasi terhadap
habitat alami, dan pembangunan struktur bangunan merupakan kendala dalam
pengembangan kawasan permukiman. Upaya yang dapat dilakukan adalah
penghijauan kembali pada kawasan alami dan semi alami serta meniadakan
penghalang struktur yang menutupi pemandangan yang indah untuk mendukung
keberadaan dan keberlanjutan nilai kualitas estetika visual lanskap secara
berkesinambungan. Upaya ini juga bermanfaat untuk mengatasi kerusakan
ekosistem lebih lanjut.
6.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa
keindahan kawasan sekitar Tahura sebagian besar mempunyai tingkat
keindahan rendah sebesar 13,33%, tingkat keindahan sedang sebesar 48,33%
dan tingkat keindahan tinggi sebesr 38,33%. Dominasi kawasan oleh kondisi
alami seperti pohon yang masih baik kondisinya dan bentang alam yang berbukit,
ada beberapa area dengan nilai tinggi walaupun merupakan kombinasi antara
unsur alami dengan unsur buatan (artifisial).
Model yang dihasilkan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh
negatif pada keindahan estetika kawasan adalah hard material (ordered,
finished) ‘X1’, dan abandoned land (tanah bera) ‘X5’ . Sedangkan paved
land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’ memberikan pengaruh positif pada
keindahan kawasan sekitar Tahura. Perubahan pergerakan lahan pemukiman
yang mengarah ke sekitar Tahura, dimana dengan semakin tingginya konversi
lahan untuk pemukiman akan mempengaruhi kondisi keindahan kawasan dan
iklim mikro kawasan tersebut.
Dalam rangka menjaga kelestarian dan keindahan kawasan Tahura
sehingga fungsinya terhadap kawasan sekitar dapat optimal maka perlu
kebijakan pengendalian ruang kawasan sekitar Tahura agar tidak mengalami
perubahan penggunaan lahan yang mendorong konversi lahan menuju kawasan
Tahura .