perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI WONOGIRI
TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh :
Nurul Wachidah Syam
K 5108044
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
JULI 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI KABUPATEN
WONOGIRI TAHUN 2012
Oleh :
Nurul Wachidah Syam
K5108044
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
# ...niscaya Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...#
( Terjemahan Q.S Al-Mujadilah(58): 11)
# Tuhan tak akan memberi kita kekurangan tanpa kelebihan karena Tuhan telah
mengkombinasikan antara kelebihan dengan kekurangan untuk menjadi
sempurna#
( Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibu
Terimakasih atas do’a, asuhan, kasih sayang dan cinta kalian yang tak terbatas.
Beruntungnya aku karena Alloh telah menitipkankku pada kalian.
Kedua adikku, Isna dan Eshan
Terima kasih atas doa, cinta dan kebahagiaan yang telah kalian berikan. Kita
saudara selamanya.
Mbah Uti dan Alm. Mbah Kung
Terimakasih untuk doa dan semangatnya.
Sahabat Romantis 12, Dian, Wiwit, Isni, Rima, Esti, Putri, Dahlia,
Shanti, Tita, Gandis, dan Siska.
Kita tidak dapat memilih keluarga tapi kita dapat memilih teman untuk menjadi
keluarga. Kalianlah teman yang menjadi keluargaku.
Tim Inklusi Wonogiri, Dian, Isni, Tia, Eka, Priske, dan Enggar
Semangat dan perjuangan kita sungguh-sungguh luar biasa kawan.
Teman-teman PLB 2008
Terimakasih atas semangat dan perjuangannya.
Semoga kita bisa menjadi pendidik yang sejati untuk mereka yang luar biasa.
Sukses untuk kita semua..!!!
”Almamater”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRAK
Nurul Wachidah Syam. K5108044. PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2012. Skripsi, Surakarta:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Juli. 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) prevalensi anak berkebutuhan
khusus di Kabupaten Wonogiri tahun 2012, (2) klasifikasi anak berkebutuhan
khusus berdasarkan kelainannya, (3) klasifikasi anak berkebutuhan khusus
berdasarkan umurnya, (4) prosentase anak berkebutuhan khusus di setiap
kecamatan, (5) jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani
pendidikannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis
penelitian survey, dan dianalisis menggunakan statistik deskriptif, dimana
perhitungan statistik dilakukan menggunakan frekuensi dan persentase. Untuk
data yang bersifat kualitatif disajikan dalam bentuk deskripsi untuk
menggambarkan hasil dari analisis data kuantitatif.. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh anak yang diduga berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri.
Sampel yang digunakan adalah sampel populasi, adapun teknik pengambilan
sampel menggunakan teknik sampling jenuh karena seluruh anggota populasi
dijadikan sebagai sampel. Teknik pengumpulan data menggunakan angket.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) prevalensi anak berkebutuhan
khusus dengan rentang usia 7-18 tahun sebanyak 1860 anak, dengan jenis kelamin
laki-laki 1252 anak ( 67,31%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 608 anak
(32,69%). (2) klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainannya, (a)
tunanetra sebesar 11 anak (0,61%); (b) tunarungu sebesar 99 anak (5,32%); (c)
tunagrahita sebesar 174 anak (9,35%); (d) tunadaksa sebesar 38 anak (2,04%); (e)
tunalaras sebesar 158 anak (8,49%); (f) kesulitan belajar sebesar 1.335 anak
(71,77%); (g) berbakat sebesar 32 anak (1,72%); dan (h) tunaganda sebesar 13
anak (0,70%). (3) klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umur
diperoleh: (a) usia 7 tahun sebanyak 220 anak (11,82%); (b) 8 tahun sebanyak 267
anak (14,35%); (c) 9 tahun sebanyak 297 anak (15,97%); (d) 10 tahun sebanyak
319 anak (17,15%); (e) 11 tahun sebanyak 322 anak (17,31%); (f) 12 tahun
sebanyak 233 anak (15,52%); (g) 13 tahun sebanyak 108 anak (5,80%); (h) 14
tahun sebanyak 54 anak (2,89%); (i) 15 tahun sebanyak 21 anak (1,13%); (j) 16
tahun sebanyak 10 anak (0,59%); (k) 17 tahun sebanyak 5 anak (0,26%); (l) 18
tahun sebanyak 4 anak (0,21%). (4) prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap
kecamatan, (a) Baturetno terdapat 18 anak (0,97%); (b) Batuwarno terdapat 97
anak (5,22%); (c) Bulukerto terdapat 106 anak (5,70%); (d) Eromoko terdapat 109
anak (5,86%); (e) Girimarto terdapat 136 anak (7,31%); (f) Giritontro terdapat 45
anak (2,42%); (g) Giriwoyo terdapat 7 anak (0,38%); (h) Jatipurno terdapat 34
anak (1,83%); (i) Jatiroto terdapat 38 anak (2,04%); (j) Jatisrono terdapat 162
anak (8,71%); (k) Karangtengah terdapat 22 anak (1,18%); (l) Kismantoro
terdapat 45 anak (2,41%); (m) Manyaran terdapat 13 anak (0,69%); (n) Ngadirojo
terdapat 106 anak (5,70%); (o) Nguntoronadi terdapat 15 anak (0,81%); (p)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
Paranggupito terdapat 15 anak (0,81%); (q) Pracimantoro terdapat 84 anak
(4,52%); (r) Puhpelem terdapat 8 anak (0,44%); (s) Selogiri terdapat 111 anak
(5,97%); (t) Sidoharjo terdapat 92 anak (4,94%); (u) Slogohimo terdapat 218 anak
(11,72%); (v) Tirtomoyo terdapat 50 anak (2,68%); (w) Wonogiri terdapat 314
anak (16,89%); (x) Wuryantoro terdapat 15 anak (0,81%). (5) jumlah anak
berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya sebanyak 1850 anak
(99,47%) sedangkan yang belum mendapat layanan pendidikan sebanyak 10 anak
(0,53%).
Kata kunci: anak berkebutuhan khusus, prevalensi, klasifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia, rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2012.
Skripsi ini disusun serta diajukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari
dukungan serta bantuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
izin dalam melakukan penelitian;
2. Prof. Dr.rer.nat. Sajidan, M.Si, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
izin dalam melakukan penelitian;
3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
izin dalam melakukan penelitian;
4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,;
5. Drs. Hermawan, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai Pembimbing II atas bimbingan,
nasehat, dan kesabarannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
6. Priyono,S.Pd, M.Si, selaku Sekertaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,;
7. Dewi Sri Rejeki, S. Pd, M.Pd selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan serta pengarahan;
8. Bapak Ibu Dosen Pendidikan Luar Biasa Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan pengalaman serta ilmunya;
9. Prof. Dr. Sunardi, M.Sc, selaku Pembimbing I atas bimbingan, saran, dan
nasehat yang diberikan sampai selesainya skripsi ini;
10. Drs. H. Siswanto M.Pd, selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri
yang telah memberikan ijin penelitian.
11. Dra Sri Mulyati, M.Pd, selaku Kepala Bidang Pendidikan TK/SD Dinas
Pendidikan Wonogiri beserta stafnya yang selalu meluangkan waktu guna
terselesaikannya penelitian ini.
12. Kepala UPTD Dinas Pendidikan seKabupaten Wonogiri yang telah bersedia
membantu menyalurkan angket.
13. Seluruh Bapak/Ibu guru SD dan SLB yang telah bersedia memberikan
informasi melalui pengisian angket.
14. Keluarga dan teman-teman atas do’a dan semangatnya.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pihak yang
bersedia membacanya dan bagi penulis khususnya.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................... i
Halaman Pernyataan .......................................................................................... . ii
Halaman Pengajuan ........................................................................................... iii
Halaman Persetujuan Pembimbing .................................................................. iv
Halaman Pengesahan Penguji ............................................................................ . v
Halaman Motto ................................................................................................... vi
Halaman Persembahan ....................................................................................... vii
Abstrak ............................................................................................................... viii
Kata Pengantar .................................................................................................... xi
Daftar Isi ............................................................................................................xiiii
Daftar Tabel .................................................................................................... xvi
Daftar Gambar ................................................................................................. xvii
Daftar Lampiran .............................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 4
C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 4
D. Perumusan Masalah ............................................................................ 4
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
F. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 6
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ................................ 6
1. Prevalensi…………... .................................................................... 6
2. Anak Berkebutuhan Khusus…………... ........................................ 7
3. Anak Tunanetra ............................................................................. 13
4. Anak Tunarungu ............................................................................ 19
5. Anak Tunagrahita ............................................................................ 29
6. Anak tunadaksa ............................................................................... 37
7. Anak Tunalaras ................................................................................ 44
8. Anak Berkesulitan Belajar ............................................................... 53
9. Anak berbakat .................................................................................. 61
10. Hasil Penelitian Yang Relevan ...................................................... 71
B. Kerangka Berpikir ............................................................................... 73
C. Hipotesis ............................................................................................... 74
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 75
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 75
B. Rancangan/Desain Penelitian .............................................................. 76
C. Populasi dan Sampel ........................................................................... 77
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 78
E. Analisis Data ........................................................................................ 83
BAB IV HASIL PENELITIAN ...................................................................... 85
A. Deskripsi Data ...................................................................................... 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
B. Hasil Penelitian .................................................................................... 87
C. Pembahasan ......................................................................................... 97
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN .......................................... 102
A. Simpulan ............................................................................................. 102
B. Implikasi ............................................................................................. 103
C. Saran ..................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105
LAMPIRAN .................................................................................................... 109
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Distribusi Frekuensi ABK Berdasarkan Kelainan .................. 72
Tabel 2.2 : Distribusi Frekuensi ABK Berdasarkan Usia .......................... 72
Tabel 3.1 : Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian ...................................... 76
Tabel 4.1 : Daftar Nama Kecamatan di Kabupaten Wonogiri ................... 86
Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Siswa SD/MI/SLB di Kabupaten
Wonogiri tahun 2012................................................................ 88
Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan di Kabupaten
Wonogiri tahun 2012................................................................ 89
Tabel 4.4 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan Berdasarkan
Kelainannya .......................................................................... 90
Tabel 4.5 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan Berdasarkan
Umur .......................................................................... 92
Tabel 4.6 : Distribusi Frekuensi Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus di
Tiap Kecamatan ....................................................................... 94
Tabel 4.7 : Distribusi Frekuensi Anak Berkebutuhan Khusus yang Sudah
Terlayani Pendidikannya dan yang Belum Terlayani
Pendidikannya .......................................................................... 96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Skema Kerangka Berfikir ....................................................... 73
Grafik 4.1 : Prosentase Siswa di Kabupaten Wonogiri ............................... 88
Grafik 4.2 : Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Wonogiri 89
Grafik 4.3 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan
Kelainannya .......................................................................... 91
Grafik 4.4 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Umur ... 93
Grafik 4.5 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus di Tiap Kecamatan ... 95
Grafik 4.6 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus yang Sudah Terlayani
Pendidikannya dan yang Belum Terlayani Pendidikannya ...... 96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 :Instrumen Penelitian SD .................................................... 110
Lampiran 2 :Instrumen Penelitian SLB .................................................. 114
Lampiran 3 :Data SLB B C YMS Wonogiri ........................................... 121
Lampiran 4 :Data SD N II Krisak ........................................................... 128
Lampiran 5 :Data SDN V Giritontro....................................................... 131
Lampiran 6 :Data SDN III Wonokerto ................................................... 135
Lampiran 7 :Rekapitulasi Data Kecamatan Eromoko............................. 139
Lampiran 8 :Rekapitulasi Data Kecamatan Ngadirojo ........................... 143
Lampiran 9 :Rekapitulsi Data Kecamatan Jatiroto ................................. 147
Lampiran 10 :Data Anak Berkebutuhan Khusus yang Belum Mendapat Layanan
Pendidikan ........................................................................... 149
Lampiran 11 :Rekapitulasi Data Siswa di Kabupaten Wonogiri .............. 150
Lampiran 12 :Rekapitulasi Data Anak Berkebutuhan Khusus ................. 151
Lampiran 13 :Rekapitulasi Data Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan
Umur .................................................................................... 152
Surat Ijin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mensukseskan program wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun dan perwujudan hak azasi manusia, pelayanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus perlu lebih ditingkatkan.
Kirk dan Gallagher mengemukakan definisi anak berkebutuhan khusus
sebagai anak yang menyimpang dari rata-rata atau normal dalam karakteristik
mental, kemampuan sensoris, karakteristik neuromotor atau fisik, perilaku sosial,
kemampuan berkomunikasi, atau gabungan dari berbagai variabel tersebut.
Sedangkan menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa mengemukakan bahwa
peserta didik berkelainan adalah peserta didik yang secara signifikan (berarti)
mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
mental, intelektual, emosional, dan/atau sosial, sehingga mereka memerlukan
pendidikan khusus.
Dengan demikian, meskipun seorang peserta didik mengalami kelainan
atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangannya tidak signifikan
sehingga mereka tidak memerlukan pendidikan khusus, peserta didik tersebut
bukan termasuk peserta didik yang memiliki kelainan.
Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak
diselenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB). Sementara itu lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada
di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar tidak
hanya di Ibu Kota Kabupaten, namun hampir diseluruh daerah (Kecamatan/Desa).
Akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena
lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah
reguler terdekat belum memiliki kesadaran untuk menerima anak dengan
berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu melayaninya.
Sebagian lain yang selama ini dapat diterima di sekolah reguler tersebut,
tetapi karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah. Akibat lebih
lanjut program wajib belajar pendidikan sembilan tahun akan sulit tercapai.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5
dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak
pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal)
dalam pendidikan. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5 dinyatakan bahwa: (1)
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu; (2) warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; (3)
warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; (4) warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus; dan (5) setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat.
Lebih lanjut dipertegas pada pasal 32, bahwa: (1) pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/ atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; (2) pendidikan layanan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi
(dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebut
dengan istilah daerah khusus). Hal ini menunjukkan bahwa secara yuridis,
pemerintah sangat serius dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia di
Indonesia. Setiap warga negara diberi hak untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu dan sepanjang hayat, baik bagi warga negara yang berkelainan (cacat),
normal, maupun yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; baik yang
tinggal di perkotaan, pedesaan, maupun di daerah terpencil atau terbelakang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana
sosial, serta tidak mampu dari segi ekonomi.
Perlunya perhatian terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus
disebabkan jumlah mereka yang ternyata tidak sedikit. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (2010) menyebutkan bahwa WHO memperkirakan jumlah
anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10% dari total populasi anak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat
82.840.600 jiwa anak dari 231.294.200 jiwa penduduk Indonesia, dimana sekitar
8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus.
Joglo Semar (2010) menjelaskan data dari Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional menyebutkan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Indonesia mencapai sebanyak 324.000 orang. Dari 324.000
ABK, baru 75.000 anak yang sudah tersentuh pendidikan, sedangkan sisanya
sebanyak 249.000 belum tersentuh pendidikan.
Kompas (2012) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 jumlah anak
berkebutuhan khusus di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan
330.764 anak (21,42 persen) berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah
tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya,
masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang belum mengenyam
pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.
Dari data diatas diketahui bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus
yang belum terlayani pendidikannya. Oleh karena itu untuk mendapatkan data
yang lebih akurat dan dapat digunakan untuk dasar pembuatan kebijakan dalam
pemerataan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus maka peneliti
memfokuskan penelitian dengan judul “Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus Di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2012”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian pada latar belakang penelitian tersebut, ada beberapa masalah
yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, yaitu:
1. Pelayanan pendidikan bagi Anak Bekebutuhan Khusus (ABK) yang masih
perlu ditingkatkan.
2. Letak SLB dan SDLB yang berada di Ibu Kota Kabupaten padahal
keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebar di Kecamatan/Desa.
3. Sekolah umum/reguler yang berada didekat rumah Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) belum mampu melayani peserta didik dengan berkebutuhan
khusus.
4. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang tidak sedikit dan masih banyak yang
belum terlayani pendidikannya.
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang telah diuraikan, peneliti tidak akan meneliti
semua masalah tersebut. Dalam penelitian ini masalah yang akan dibahas hanya
jumlah dan klasifikasi anak berkebutuhan khusus yang berusia 7-18 tahun.
D. Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang penelitian, identifikasi dan batasan masalah
tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Berapa prevalensi anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri tahun
2012?
2. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainanannya?
3. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya?
4. Berapa prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan?
5. Berapa jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani
pendidikannya?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Prevalensi anak berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri tahun 2012.
2. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainanannya.
3. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya.
4. Prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan.
5. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik secara
teoretis maupun praktis sebagai berikut:
1. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
a. Memberikan informasi tentang prevalensi siswa berkebutuhan khusus.
b. Dijadikan studi lanjutan yang relevan tentang siswa berkebutuhan khusus.
c. Menjadi bahan kajian ke arah pengembangan pendidikan bagi siswa
berkebutuhan khusus.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
a. Informasi bagi pemerintah kabupaten Wonogiri sebagai bahan landasan
membuat kebijaksanaan dalam pelayanan pendidikan siswa berkebutuhan
khusus.
b. Informasi bagi peneliti tentang prevalensi siswa berkebutuhan khusus di
kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Dan Hasil Penelitian Yang Relevan
1. Prevalensi
Prevalensi merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
jumlah suatu kondisi tertentu dalam masyarakat. Banyak penelitian dalam dunia
pendidikan, kesehatan, dan sosial menggunakan istilah prevalensi untuk
menunjukkan jumlah suatu kondisi dalam masyarakat. Berikut diuraikan beberapa
pengertian prevalensi.
Sunardi (1995) menjelaskan bahwa prevalensi dari suatu gejala adalah jumlah
orang dalam populasi tertentu yang menunjukkan gejala yang dimaksud pada saat
tertentu.
Menurut artikata.com prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit
yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.
www.kamuskesehatan.com menjelaskan prevalensi adalah seberapa sering
suatu penyakit atau kondisi terjadi pada sekelompok orang. Prevalensi dihitung
dengan membagi jumlah orang yang memiliki penyakit atau kondisi dengan
jumlah total orang dalam kelompok.
Kadri (2010) menyebutkan bahwa prevalensi adalah jumlah keseluruhan orang
yang menggambarkan kondisi tertentu yang menimpa sekelompok penduduk
tertentu (point prevalence), atau pada periode tertentu (period prevalence) tanpa
melihat kapan kondisi itu mulai dibagi dengan jumlah penduduk yang mempunyai
resiko tertimpa penyakit pada waktu titik tertentu atau periode tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prevalensi
adalah jumlah keseluruhan orang yang menggambarkan kondisi tertentu dalam
populasi tertentu pada waktu titik tertentu atau pada periode waktu tertentu.
Menghitung prevalensi anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan dalam dunia
pendidikan guna memenuhi kebutuhan pendidikan mereka yang memerlukan
pelayanan khusus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
2. Anak berkebutuhan khusus
a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Terdapat istilah yang sering membingungkan masyarakat, yaitu istilah
anak cacat atau anak yang menyandang ketunaan (handicapped children)
dengan istilah anak luar biasa atau berkelainan. Kebingungan tersebut
disebabkan antara lain karena penyelenggaraan pendidikan luar biasa
berlangsung di sekolah luar biasa, dan anak-anak yang bersekolah di SLB
pada umumnya anak-anak cacat atau yang menyandang ketunaan, sehingga
anak luar biasa diidentikkan dengan anak-anak cacat. Padahal, anak luar biasa
atau berkelaian memiliki arti generik, yakni baik yang sub-normal (di bawah
normal/cacat) maupun yang upnormal (di atas normal/berbakat). Sejalan
dengan perkembangan jaman, istilah anak luar biasa diperhalus dengan istilah
anak berkebutuhan khusus. Hal ini dilihat dari kebutuhan anak luar biasa yang
membutuhkan pelayanan khusus sesuai dengan karakteristiknya. Berikut ini
dijelaskan beberapa pengertian anak berkebutuhan khusus.
Menurut Kirk, Heward & Orlansky dalam Efendi (2006:2) anak
berkelainan adalah siswa yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari
kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun
karakteristik perilaku sosialnya
Wardani, Astati, Hernawati, Somad (2007) menjelaskan:
Anak luar biasa adalah anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa
yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada
umumnya. Keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat merupakan
sesuatu yang positif, dapat pula yang negatif. Dengan demikian,
keluarbiasaan itu dapat berada di atas rata-rata anak normal, dapat pula
berada di bawah rata-rata anak normal (hlm. 1.3).
Menurut Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) secara statistika, yang
dimaksud dengan anak luar biasa atau anak berkelainan ialah “anak yang
menyimpang dari kriteria normal atau rata-rata, baik penyimpangan ke atas
maupun penyimpangan ke bawah; sedangkan anak yang menyandang
ketunaan atau cacat ialah hanya yang menyimpang ke bawah dari kriteria
normal” (hlm. 8).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Menurut direktorat pendidikan luar biasa (2004)
anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan/
perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/
penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan khusus (hlm. 5).
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan
dari kondisi rata-rata anak seusianya dalam hal fisik, mental, dan intelektual
sehingga dalam pendidikannya membutuhkan pelayanan khusus.
b. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Tujuan dilakukannya klasifikasi berkebutuhan khusus bukan untuk
memisahkan mereka dari anak normal tetapi hanya untuk keperluan
pembelajaran bukan untuk keperluan pendidikan.
Amin & Dwidjosumarto dalam Efendi (2006) Menurut klasifikasi dan
jenis kelainan, anak berkebutuhan khusus dikelompokkan ke dalam kelainan
fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial.
1) Kelainan fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih
organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada
fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal.
Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: a) alat fisik indra, misalnya
pada indra penglihatan (tunanetra), indra pendengaran (tunarungu), dan
organ bicara (tunawicara); b) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot
dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang
berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota
badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa
tangan/ kaki, amputasi, dan lain-lain. Untuk kelainan pada alat motorik
tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.
2) Kelainan mental
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki
penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi
dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua
arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan
mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih
atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: a) anak
mampu belajar dengan cepat (rapid learner), b) anak berbakat (gifted), dan
c) anak genius (extremelly gifted).
Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita,
yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang
sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas
perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus,
termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya.
3) Kelainan perilaku sosial
Kelainan perilaku atau tunalaras adalah mereka yang mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib,
norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan
dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan,
sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/ norma maupun
kesopanan.
Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami
kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak
dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan
sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan
dibedakan menjadi: a) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku
sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, b) tunalaras sosial,
yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam
penyesuaian sosial karena bersifat fungsional (hlm. 4).
Kirk dan Gallagher dalam Abdurrahman dan Sudjadi (1994)
mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima kelompok, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
1) Kelainan mental, meliputi anak-anak
a) Yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually
superior) dan
b) Yang lamban dalam belajar (mentally retarded);
2) Kelainan sensoris, meliputi anak-anak dengan
a) Kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan
b) Kerusakan penglihatan (visual impairments);
3) Gangguan komunikasi, meliputi anak-anak dengan
a) Kesulitan belajar (learning disabilities) dan
b) Gangguan dalam berbicara dan berbahasa (speech and language
impairments);
4) Gangguan perilaku, meliputi anak-anak dengan
a) Gangguan emosional (emosional distrubance) dan
b) Ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjusment);
dan
5) Tunaganda, cacat berat meliputi macam-macam kombinasi kecacatan,
seperti: cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita,
dan sebagainya (hlm. 10).
Dembo dalam Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) mengklasifikasikan
untuk keperluan pembelajaran dikemukakan seperti berikut ini:
1) Tunagrahita (mental retardation);
2) Berkesulitan belajar (learning disabilities);
3) Gangguan perilaku atau gangguan emosi (behavior disorders);
4) Gangguan bicara dan bahasa (speech and language disorder);
5) Kerusakan pendengaran (hearing impairments);
6) Kerusakan penglihatan (visual impairments);
7) Kerusakan fisik dan gangguan kesehatan (physical and other health
impairments);
8) Cacat berat atau cacat ganda (severe and multiple handicaps); dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
9) Berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat (gifted and talented) (hlm.
11).
Menurut Abdurrachman dalam Wardani, dkk (2007) kategori
keluarbiasaan berdasarkan jenis penyimpangan yang dibuat untuk keperluan
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1) Kelompok yang mengalami penyimpangan dalam bidang intelektual,
terdiri dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior) dan anak
yang tingkat kecerdasannya rendah atau yang disebut tunagrahita.
2) Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang terjadi
karena hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra dan
tunarungu.
3) Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan
komunikasi.
4) Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri dari
anak tunalaras dan penyandang gangguan emosi.
5) Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan/ penyimpangan ganda
atau berat dan sering disebut sebagai tunaganda (hlm. 1.5).
Berdasarkan klasifikasi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
klasifikasi siswa berkebutuhan khusus adalah:
1) Tunanetra;
2) Tunarungu;
3) Tunawicara;
4) Tunagrahita;
5) Tunadaksa;
6) Tunalaras;
7) Tunaganda;
8) Kesulitan belajar; dan
9) Berbakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
c. Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus
Faktor penyebab terjadinya kelainan pada seseorang sangatlah beragam,
berikut dijelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya kelainan.
Menurut Efendi (2006) faktor penyebab terjadinya kelainan pada
seseorang sangat beragam jenisnya, namun dilihat dari masa terjadinya,
kelainan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Kelainan yang terjadi sebelum masa kelahiran (prenatal), berdasarkan
periodisasinya dapat terjadi pada periode embrio, periode janin muda, dan
periode janin aktini (Arkandha). Faktor lain yang mempengaruhi terhadap
kelainan anak pada masa prenatal ini antara lain penyakit kronis, diabetes,
anemia, kanker, kurang gizi, toxemia, rh factor, infeksi (rubella. Syphilis,
toxoplasmosis, dan cytomegalic inclusion disease/ CID), radiasi, kelaianan
genetik, kelainan kromosom, obat-obatan dan bahan kimia lainnya yang
berinteraksi dengan ibu anak semasa hamil.
2) Kelainan saat anak lahir (neonatal), yakni masa dimana kelainan itu terjadi
pada saat anak dilahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak
dilahirkan, antara lain anak dilahirkan sebelum waktunya (prematurity),
lahir dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal,
analgesia dan anesthesia, kelahiran ganda, asphyxia, atau karena kesehatan
bayi yang bersangkutan.
3) Kelainan yang terjadi setelah anak lahir (postnatal), yakni masa di mana
kelainan itu terjadi setelah bayi dilahirkan, atau saat anak dalam masa
perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan,
antara lain infeksi, luka, bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor dan
meningitis, stuip, dan lain-lain (hlm. 12-13).
Menurut Wardani, dkk (2007) mengelompokkan penyebab terjadinya
keluarbiasaan berdasarkan waktu terjadinya seperti berikut:
1) Penyebab Prenatal, yaitu penyebab yang beraksi sebelum kelahiran.
Artinya, pada waktu janin masih berada dalam kandungan, mungkin sang
ibu terserang virus, misalnya virus rubella, mengalami trauma atau salah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
minum obat, yang semuanya ini berakibat bagi munculnya kelaianan pada
bayi.
2) Penyebab Neonatal, yaitu penyebab yang muncul pada saat atau waktu
proses kelahiran, seperti terjadinya benturan atau infeksi ketika
melahirkan, proses kelahiran dengan penyedotan (di-vacuum), pemberian
oksigen yang terlampau lama bagi anak yang lahir premature.
3) Penyebab Postnatal, yaitu penyebab yang muncul setelah kelahiran,
misalnya kecelakaan, jatuh atau kena penyakit tertentu (hlm. 1.18).
Dari pendapat diatas maka penyebab anak berkebutuhan khusus dapat
dibedakan menjadi tiga berdasarkan waktu terjadinya yaitu sebelum kelahiran
(prenatal), pada saat kelahiran (neonatal), dan setelah kelahiran (postnatal).
3. Anak Tunanetra
a. Pengertian
Penglihatan adalah sumber penyerapan informasi. Kita bergantung
pada penglihatan untuk menjaga diri, mengenal orang dan objek,
mengendalikan kemampuan motorik, dan tingkah laku sosial. Penglihatan
juga penting dalam perkembangan anak-anak karena 80% dari yang
dipelajari anak-anak adalah melalui penglihatan. Pada kenyataannya tidak
semua manusia diberi indra penglihatan yang normal atau yang biasa
disebut tunanetra. Masyarakat umumnya mengartikan bahwa tunanetra
sama dengan orang buta yaitu orang yang tidak bisa melihat sama sekali.
Hal ini kurang benar karena yang disebut tunanetra tidak semuanya buta.
Berikut dijelaskan beberapa pengertian tentang tunanetra.
Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994) anak tunanetra adalah
“mereka yang meskipun sudah mengalami perbaikan penglihatannya
masih rusak sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian dalam materi
visual dan metode-metode khusus dalam pengajaran” (hal.54).
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) tunanetra adalah
“anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan
alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pelayanan
pendidikan khusus” (hlm. 6-7).
Menurut Somantri (2006) anak tunanetra adalah “individu yang indera
penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas” (hlm. 65).
Menurut Barraga dalam Wardani, dkk (2007) anak yang mengalami
ketidakmampuan melihat adalah “anak yang mempunyai gangguan atau
kerusakan dalam penglihatannya sehingga menghambat prestasi belajar
secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode-metode
penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang digunakan, dan/ atau
lingkungan belajar” (hlm. 4.5).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak
tunanetra adalah individu yang memiliki gangguan dalam penglihatannya
baik berupa buta total atau hanya sebagian dari penglihatannya.
b. Penyebab
Banyak kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur
jaringan penglihatan, dan kerusakan pada struktur ini setidak-tidaknya
dapat menyebabkan fungsi penglihatan menjadi lebih terbatas.
Somantri (2006) Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun
faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal
yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama
masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat
pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat,
dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal
diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi
dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai
matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan
sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan
mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.
Menurut Efendi (2006) etiologi timbulnya ketunanetraan disebabkan
oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Ketunanetraan karena faktor
endogen, seperti keturunan (herediter), atau karena faktor eksogen seperti
penyakit, kecelakaan, obat-obatan dan lain-lainnya.
Sedangkan menurut Wardani, dkk (2007) faktor penyebab tunanetra
didasarkan pada faktor internal dan eksternal.
1) Faktor internal
Merupakan penyabab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri
individu, yang sering disebut juga faktor keturunan.
2) Faktor eksternal
Merupakan penyebab ketunanetraan yang berasal dari luar diri
individu. Penyebab ketunanetraan yang dikelompokkan pada faktor
eksternal ini, antara lain sebagai berikut:
a) Penyakit rubella dan syphilis,
b) Glaukoma (tekanan yang berlebihan pada bola mata),
c) Retinopati diabetes,
d) Retinoblastoma (tumor ganas yang terjadi pada retina),
e) Kekurangan vitamin A,
f) Terkena zat kimia,
g) Kecelakaan.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ketunanetraan
disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri individu atau
keturunan dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu yang
dikarenakan penyakit atau kecelakaan.
c. Karakteristik
Karakteristik anak tunanetra dapat dilihat dari beberapa segi karena
tidak semua anak tunanetra memiliki karakteristik yang sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) karakteristik
tunanetra adalah sebagai berikut:
1) Tidak mampu melihat,
2) Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
3) Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
4) Sering meraba-raba/ tersandung waktu berjalan,
5) Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
6) Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/ besisik/ kering,
7) Peradangan hebat pada kedua bola mata,
8) Mata bergoyang terus.
Menurut Wardani, dkk (2007):
1) Karakteristik anak tunanetra dalam aspek akademis Tilman & Osborn
menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
a) Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus,
seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut
kurang terintegrasikan.
b) Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan
anak awas, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi
kurang baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan
persamaan.
c) Kosakata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang
definitif.
2) Karakteristik anak tunanetra dalam aspek pribadi dan sosial
a) Ketunanetraan tidak secara langsung menyebabkan timbulnya
masalah kepribadian. Masalah kepribadian cenderung diakibatkan
oleh sikap negatif yang diterima anak tunanetra dari lingkungan
sosialnya.
b) Anak tunanetra mengalami kesulitan dalam menguasai ketrampilan
sosial karena ketrampilan tersebut biasanya diperoleh individu
melalui model atau contoh perilaku dan umpan balik melalui
penglihatan.
c) Beberapa karakteristik sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraannya adalah curiga terhadap orang lain,
mudah tersinggung, dan ketetergantungan pada orang lain.
3) Karakteristik anak tunanetra dalam aspek fisik/indera dan
motorik/perilaku
a) Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut
mengalami tunanetra. Hal itu dapat dilihat dari kondisi matanya
yang berbeda dengan mata orang awas dan sikap tubuhnya yang
kurang ajeg serta agak kaku.
b) Anak tunanetra umumnya menunjukkan kepekaan yang lebih baik
pada indera pendengaran dan perabaan dibandingkan dengan anak
awas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
c) Dalam aspek motorik/perilaku, gerakan anak tunanetra terlihat
agak kaku dan kurang fleksibel, serta sering melakukan perilaku
stereotip, seperti menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk
tangan.
Suran & Rizzo; Johnson, Christie, &Yawkey dalam Hildayani, dkk,
(2010) membagi karakteristik anak yang mengalami gangguan penglihatan
dari beberapa segi:
1) Perkembangan motorik
Anak yang mengalami gangguan penglihatan memperlihatkan
keterlambatan awal dalam perkembangan motorik dibandingkan
dengan anak yang dapat melihat. Keterlambatan itu seperti
mengangkat diri sendiri dengan lengan (posisi tiarap), mengangkat diri
sendiri ke posisi duduk, berdiri dengan bantuan furniture, serta berjalan
sendiri.
2) Faktor bahasa
Karena anak yang buta kurang memiliki pengalaman mengenai
asosiasi visual, pengolahan kosa kata berlangsung secara lambat. Anak
yang buta juga mengalami kesulitan untuk memahami komunikasi
nonverbal.
3) Kemampuan konseptual
Kelemahan kemampuan konseptual atau kognitif pada anak buta lebih
disebabkan oleh kurangnya pengalaman belajar yang tepat daripada
disebabkan oleh kelemahan yang bersifat bawaan.
4) Kegiatan bermain
Anak yang buta jarang terlibat dalam permainan yang mengandalkan
keterampilan motorik kasar dan halus. Dalam bermain pura-pura, tema
yang ditampilkan juga kurang imajinatif.
5) Faktor personal dan sosial
Masalah kepribadian bukanlah kondisi bawaan dari orang buta.
Masalah-masalah muncul lebih karena cara masyarakat
memperlakukan mereka. Reaksi masyarakat terhadap orang butalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
yang menentukan apakah penyesuaian diri mereka kurang atau tidak
(hlm. 8.6-8.9).
Meskipun pendapat tentang karakteristik anak tunanetra bermacam-
macam tetapi dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karakteristik anak tunanetra dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu:
1) Aspek akademis/konseptual/kognitif.
2) Aspek motorik.
3) Aspek pribadi dan sosial.
d. Klasifikasi
Untuk memudahkan dalam pemberian pelayanan sesuai kebutuhannya
maka anak tunanetra perlu diklasifikasikan sesuai tingkat ketunaannya.
Kirk dalam Abdurrachman dan Sudjadi (1994) mengklasifikasikan
anak tunanetra untuk keperluan pembelajaran dibedakan menjadi dua
kategori yaitu anak buta dan lemah penglihatan. Anak buta hanya dapat
dididik dengan menggunakan indera-indera yang lain sedangkan anak
lemah penglihatan sisa penglihatannya masih dapat dimanfaatkan dalam
memperoleh keterampilan-keterampilan (hlm.45)
Menurut Efendi (2006) klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari
ketajaman untuk melihat bayangan benda dapat dikelompokkan menjadi
sebagai berikut:
1) Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang mempunyai
kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat
optik tertentu.
2) Anak yang mengalami kelainan penglihatan, meskipun dikoreksi
dengan pengobatan atau alat optik tertentu masih mengalami kesulitan
mengikuti kelas reguler sehingga diperlukan kompensasi pengajaran
untuk mengganti kekurangannya.
3) Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi
dengan pengobatan atau alat optik apapun, karena anak tidak mampu
lagi memanfaatkan indra penglihatannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Somantri (2006) anak tunanetra juga dapat dikelompokkan menjadi
dua macam:
1) Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dari luar (visusnya=0).
2) Low vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi
ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca
headline pada surat kabar (hlm.66).
Menurut Wardani, dkk (2007) tunanetra dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
1) Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatannya tunanetra dapat
dibedakan menjadi:
a) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau 20/70
feet-20/200 feet, yang disebut kurang lihat;
b) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau
20/200 feet atau kurang, yang disebut buta;
c) Tunanetra yang memiliki visus 0 atau yang disebut buta total
(totally blind).
2) Berdasarkan saat terjadinya, tunanetra diklasifikasikan menjadi
tunanetra sebelum dan sejak lahir, tunanetra batita, tunanetra balita,
tunanetra pada usia sekolah, tunanetra remaja, dan tunanetra dewasa.
3) Berdasarkan adaptasi pendidikannya, tunanetra diklasifikasikan
menjadi:
a) Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability);
b) Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability);
c) Ketidakmampuan melihat taraf sangant berat (profound visual
disability) (hlm.4.16).
Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan anak tunanetra dapat
diklasifikasikan menjadi low vision dan buta.
4. Anak Tunarungu
a. Pengertian
Istilah tunarungu atau gangguan pendengaran tidak terbatas pada
individu-individu yang kehilangan pendengaran sangat berat saja,
melainkan mencakup seluruh tingkat kerusakan pendengaran. Untuk itu
perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari tunarungu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) tunarungu adalah
“anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya
sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan
walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih
tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus” (hlm. 11).
Menurut Somantri (2006) tunarungu adalah “mereka yang kehilangan
pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf)
yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki fungsional di dalam
kehidupan sehari-hari” (hlm. 94).
Menurut Efendi (2006):
Tunarungu atau kelainan pendengaran adalah kondisi dimana dalam
proses mendengar terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar,
organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam
mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan,
atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik (hlm.57).
Menurut Hallahan dan Kauffman dalam Wardani, dkk (2007)
menyatakan bahwa tunarungu (hearing impairmrnt) merupakan satu istilah
umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan
sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang
dengar (a hard of hearing) (hlm. 5.3).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah
anak yang kehilangan pendengaran baik sebagian atau seluruh
pendengarannya.
b. Penyebab
Banyak informasi tentang sebab-sebab terjadinya kerusakan organ
pendengaran yang menyebabkan penderitanya mengalami ketunarunguan.
Berikut dijelaskan beberapa penyebab ketunarunguan.
Somad dan Hernawati (1995) mengelompokkan faktor-faktor
penyebab ketunarunguan sebagai berikut:
1) Faktor dalam diri anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
a) Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua
orangtuanya yang mengalami ketunarunguan.
b) Ibu yang mengandung menderita penyakit campak jerman
(rubella).
c) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau
toxaminia.
2) Faktor luar diri anak
a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran.
b) Meningitis atau radang selaput otak.
c) Otitis media (radang telinga bagian tengah).
Sedangkan menurut Efendi (2006) penyebab ketunarunguan adalah
sebagai berikut:
1) Ketunarunguan sebelum lahir (prenatal) disebabkan oleh:
a) Heredites atau keturunan,
b) Maternal rubella,
c) Pemakaian antibiotika over dosis,
d) Toxoemia.
2) Ketunarunguan saat lahir (neonatal) disebabkan oleh:
a) Lahir prematur,
b) Rhesus factors,
c) Tang verlossing.
3) Ketunarunguan setelah lahir (postnatal) disebabkan oleh:
a) Penyakit meningitis cerebralis,
b) Infeksi,
c) Otitis media kronis.
Somantri (2006) menjelaskan penyebab ketunarunguan ada beberapa
faktor, yaitu:
1) Pada saat sebelum dilahirkan
a) Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau
mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat
genes, recesive gen, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu
penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat
kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan
ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella, moribili, dan lain-lain.
c) Karena keracunan obat-obatan; pada suatu kehamilan, ibu
meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu
alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya
sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan
dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
2) Pada saat kelahiran
a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga
persalinan dibantu dengan penyedotan (tang).
b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.
3) Pada saat setelah kelahiran (post natal)
a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak
(meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan
lain-lain.
b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
c) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat
pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh (hlm.94-95).
Wardani, dkk (2007) menjelaskan penyebab terjadinya tunarungu:
1) Penyebab terjadinya tunarungu tipe konduktif
a) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat
disebabkan, antara lain oleh hal-hal berikut:
b) Tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (traesia meatus
akustikus externus) yang dibawa sejak lahir (pembawaan).
c) Terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).
2) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat
disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:
a) Ruda paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga
seperti jatuh, tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
b) Terjadinya peradangan/ inspeksi pada telinga tengah (otitis media).
c) Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang
stapes.
d) Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada
gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
e) Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak
terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir.
f) Disfungsi tuba eustachius (saluran yang menghubungkan rongga
tellinga dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada
nasopharynx.
3) Penyebab terjadinya tunarungu tipe sensorineural
a) Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan).
b) Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain:
(1) Rubella (Campak Jerman)
(2) Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak
(3) Meningitis (radang selaput otak)
(4) Trauma akustik.
Dari beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
penyebab ketunarunguan adalah:
1) Pada saat sebelum dilahirkan
a) Keturunan.
b) Ketika mengandung ibu menderita penyakit seperti rubella.
c) Pada saat hamil ibu mengkonsumsi obat secara berlebihan, minum
alkohol, minum obat penggugur kandungan, dll.
2) Pada saat kelahiran
a) Kelahiran dibantu dengan alat bantu kelahiran seperti tang, dll.
b) Prematuritas.
3) Pada saat setelah kelahiran (post natal)
a) Anak terkena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau
infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.
b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
c) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat
pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
c. Karakteristik
Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda begitu pula dengan
anak tunarungu, mereka memiliki beberapa karakteristik yang berbeda
anatara tunarungu satu dengan yang yang lain. Berikut penjelasan tentang
karakteristik anak tunarungu dari beberapa ahli.
Somad dan Hernawati (1995) melihat karakteristik anak tunarungu dari
berbagai segi:
1) Karakteristik dalam segi intelegensi
Pada dasarnya kemampuan intelektual anak tunarungu sama seperti
anak yang normal lainnya. Ada yang tinggi, rata-rata, dan rendah.
Akan tetapi perkembangan intelegensi anak tunarungu tidak sama
cepatnya dengan mereka yang mendengar terutama dalam hal bahasa.
Prestasi anak tunarungu lebih rendah dari anak normal dalam mata
pelajaran yang diverbalisasikan. Untuk aspek inelegensi yang
bersumber pada penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak
mengalami hambatan, bahkan dapat berkembang dengan cepat.
2) Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara
Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan
anak yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat
kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu
tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan berbahasanya tidak akan
berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara khusus. Akibat dari
ketidakmampuannya dibandingkan dengan anak yang mendengar
dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan
jauh tertinggal.
Bicara dan bahasa anak tunarungu pada awalnya seringkali sukar
ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan
terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita
dalam memahami maksud bicara anak tunarungu itu.
3) Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaulan sehari-
hari. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek
negatif seperti:
a) Egosentrisme yang melebihi anak normal.
b) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.
c) Ketergantungan terhadap orang lain.
d) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.
e) Mereka pada umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan
tanpa banyak masalah.
f) Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) karakteristik siswa
tunarungu adalah sebagai berikut:
1) Secara nyata tidak mampu mendengar,
2) Terlambat perkembangan bahasa,
3) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
4) Kurang/ tidak tanggap bila diajak berbicara,
5) Ucapan kata tidak jelas,
6) Kualitas suara aneh/ monoton,
7) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
8) Banyak perhatian terhadap getaran,
9) Keluar cairan nanah dari kedua telinga (hlm.11).
Sedangkan menurut Wardani, dkk (2007) karakteristik anak tunarungu
meliputi 3 aspek:
1) Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik adalah
sebagai berikut.
Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa
mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang
rendah dalam mata pelajaran verbal dan cenderung sama dalam
mata pelajaran yang bersifat nonverbal dengan anak normal
seusianya.
2) Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah
sebagai berikut.
a) Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat
dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
b) Sifat egosentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan
dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi
berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menyesuaikan diri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego” sehingga kalau
ada keinginan, harus selalu dipenuhi.
c) Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang
menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang
percaya diri.
d) Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah
menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
e) Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam
keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa.
f) Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya
mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan
perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami
pembicaraan orang lain.
3) Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai
berikut.
Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan
yang ada pada telinga bagian dalam terganggu); gerak matanya
lebih cepat; gerakan tangannya cepat/ lincah; dan pernapasannya
pendek; sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumya sama
dengan orang normal lainnya (hlm.5.23-5.24).
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa karateristik anak
tunarungu meliputi segi intelektual, segi bahasa dan bicara, segi sosial-
emosional, dan segi kesehatan.
d. Klasifikasi
Ketajaman pendengaran seseorang diukur dan dinyatakan dalam satuan
bunyi deci-Bell (disingkat dB). Pengunaan satuan tersebut untuk
membantu dalam interpretasi hasil tes pendengarn dan mengelompokkan
dalam jenjangnya. Untuk menetapkan seseorang dalam kelompok
tunarungu tertentu berdasarkan kehilangan ketajaman pendengaran, jika
dicermati sangat bervariasi. Antara ahli satu dengan yang lain berbeda,
biasanya didasarkan pada keahlian yang dimiliki atau untuk kepentingan
tujuan tertentu. Berikut klasifikasi anak tunarungu dari beberapa ahli.
Menurut Efendi (2006) ditinjau dari kepentingan tujuan
pendidikannya, secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan
menjadi sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight
losses),
2) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild
losses),
3) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB
(moderate losses),
4) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe
losses),
5) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB keatas
(profoundly losses).
Dwidjosumarto dalam Somantri (2006) mengklasifikasikan tunarungu
menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk
kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB.
2) Tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69
dB.
3) Tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89
dB.
4) Tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas
(hlm.95).
Sedangkan Wardani, dkk (2007) ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
1) Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut;
a) Tunarungu ringan, mengalami kehilangan pendengaran 27-40 dB
(mild hearing loss).
b) Tunarungu sedang, mengalami kehilangan pendengaran antara 41-
55 dB (moderate hearing loss).
c) Tunarungu agak berat, mengalami kehilangan pendengaran antara
56-70 dB (moderately severe hearing loss).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
d) Tunarungu berat, mengalami kehilangan pendengaran antara 71-90
dB (severe hearing loss).
e) Tunarungu berat sekali, mengalami kehilangan pendengaran lebih
dari 90 dB (profound hearing loss).
2) Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
a) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), terjadi sebelum
kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
b) Ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness), terjadi
beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
3) Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis,
ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Tunarungu tipe konduktif, kehilangan pendengaran yang
disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan
tengah.
b) Tunarungu tipe sensorineural, kehilangan pendengaran yang
disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta
saraf pendengaran.
c) Tunarungu tipe campuran, gabungan dari tipe konduktif dan
sensorineural.
4) Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan
sebagai berikut.
a) Tunarungu endogen, tunarungu yang disebabkan oleh faktor
genetik (keturunan).
b) Tunarungu eksogen, tunarungu yang disebabkan oleh faktor non
genetik (keturunan).
Berdasarkan pendapat diatas klasifikasi tunarungu untuk kepentingan
dalam pembelajaran berdasarkan tingkatannya maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Tunarungu ringan, mengalami kehilangan pendengaran 27-40 dB (mild
hearing loss).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2) Tunarungu sedang, mengalami kehilangan pendengaran antara 41-55
dB (moderate hearing loss).
3) Tunarungu agak berat, mengalami kehilangan pendengaran antara 56-
70 dB (moderately severe hearing loss).
4) Tunarungu berat, mengalami kehilangan pendengaran antara 71-90 dB
(severe hearing loss).
5) Tunarungu berat sekali, mengalami kehilangan pendengaran lebih dari
90 dB (profound hearing loss).
5. Anak Tunagrahita
a. Pengertian
Di dalam dunia ini, terdapat anak yang disebut normal karena
perkembangannya sama dengan teman sebayanya, tetapi juga ada anak
yang di atas normal dan di bawah normal karena perkembangannya lebih
cepat atau lebih lambat dibanding teman sebayanya. Anak yang
perkembangannya lebih lambat dibanding teman sebayanya baik dalam
perkembangan intelegensi maupun sosial sering disebut anak terbelakang
mental atau tunagrahita. Pemahaman yang jelas tentang siapa anak
tunagrahita merupakan dasar yang penting untuk dapat memberikan
pelayanan khusus sesuai kebutuhannya. Berikut dijelaskan beberapa
pengertian tunagrahita menurut ahli.
American Association on Mental defeciency (AAMD) dalam
Abdurrachman dan Sudjadi (1994) mendefinisikan retardasi mental
sebagai kelainan yang (1) meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-
rata (subaverage), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual, (2)
muncul sebelum usia 16 tahun, dan (3) menunjukkan hambatan dalam
perilaku adaptif (hlm.20).
Menurut Amin (1995) anak tunagrahita adalah
Mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata.
Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam
memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang berbelit-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk
sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-
lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-
galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti: mengarang,
menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung,
dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka
kurang/ terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
(hlm.11).
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) berpendapat tunagrahita
(retardasi mental) adalah “anak yang secara nyata mengalami hambatan
dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-
rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan
pendidikan khusus” (hlm. 16).
Sedangkan Somantri (2006) menjelaskan “anak tunagrahita merupakan
kondisi di mana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan
sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal” (hlm.105).
Menurut Muhammad (2008) anak-anak yang mengalami cacat mental
adalah anak-anak yang mengalami keadaan perkembangan yang kurang
atau tidak lengkap dalam fungsi intelektual dan sosial. Biasanya juga
mengalami masalah dalam pembelajaran dan kurang memiliki kemampuan
dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak
tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan
intelektual atau kecerdasan dan sosialnya.
b. Penyebab
Terdapat banyak penyebab cacat mental, seperti penyakit yang diderita
semasa kehamilan, kerusakan dalam metabolisme, penyakit pada otak atau
kromosom yang abnormal, faktor lingkungan, pola makan yang tidak baik,
dan perawatan yang tidak sesuai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Menurut Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) tunagrahita dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
1) Faktor genetik
a) Kerusakan/ kelainan biokimiawi
Para ahli biokimiawi telah mengidentifikasi sejumlah substansi
kimia yang dapat berpengaruh terhadap kondisi genetik abnormal
misalnya materi kimia berupa karbohidrat, lemak, dan asam amino.
b) Abnormalitas kromosomal (chromosomal abnormalities)
Abnormalitas kromosom paling umum ditemukan adalah sindroma
down atau sindroma mongol (mongolism). Dalam tubuh manusia
ada 46 kromosom yang tersusun dalam 23 pasang. Pada anak
sindroma Down memiliki 47 kromosom karena pasangan
kromosom ke-21 terdiri dari 3 kromosom.
2) Penyebab tunagrahita pada masa prenatal
a) Ibu yang ketika hamil terkena infeksi rubella (cacar).
b) Faktor rhesus (Rh).
3) Penyebab tunagrahita pada masa perinatal
Berbagai peristiwa pada saat kelahiran yang memungkinkan terjadinya
retardasi mental yang terutama adalah luka-luka saat kelahiran, sesak
napas (asphyxia), dan prematuritas.
4) Penyebab tunagrahita pada masa postnatal
Penyakit-penyakit akibat infeksi dan problema nutrisi yang diderita
pada masa bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan
retardasi mental, antara lain:
a) Encephalitis menunjuk pada suatu peradangan sistem saraf pusat
yang disebabkan oleh virus tertentu.
b) Meningitis adalah suatu kondisi yang berasal dari infeksi bakteri
yang menyebabkan peradangan pada selaput otak (meninges) dan
menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat.
c) Malnutrisi.
d) Kekurangan nutrisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
5) Penyebab sosiokultural
Peran nyata dari lingkungan dalam perkembangan kemampuan
intelektual masih belum dapat dipahami secara jelas, tetapi para
psikolog dan pendidik umumnya mempercayai bahwa lingkungan
sosial budaya berpengaruh terhadap kemampuan intelektual.
Menurut Hildayani, dkk (2010) penyebab retardasi mental secara
umum dapat terjadi karena:
1) Faktor genetik
Keterbelakangan mental adalah suatu bentuk sebagai akibat adanya
sebuah kromosom tambahan pada pasangan ke-21 dari autosom
(pasangan yang normal).
2) Biologis non-keturunan
Retardasi mental tidak hanya dapat terjadi karena faktor genetik tetapi
juga banyak hal nongenetik yang menyebabkan keterbelakangan
mental, termasuk radiasi, gizi ibu yang buruk ketika hamil, obat-
obatan, dan faktor rhesus.
3) Lingkungan
Selain keadaan genetik dan biologis, faktor lingkungan juga dapat
berperan sebagai penyebab retardasi mental, terutama berkaitan
dengan kesempatan stimulasi yang diberikan kepada anak, sebagai
contoh karena penolakan orang tua atau keadaan ekonomi keluarga
yang sangat kekurangan.
Sedangkan Amin (1995) berpendapat terdapat beberapa faktor
penyebab tunagrahita:
1) Faktor keturunan
2) Gangguan metabolisme dan gizi
Kelainan yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan
kekurangan gizi, antara lain:
a) Phenylketonuria
Kelainan ini merupakan salah satu akibat gangguan metabolisme
asam amino.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
b) Gargoylism
Gargoylism disebabkan oleh adanya kerusakan metabolisme
saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam
mucopolysaccharide di dalam hati, limpa kecil, dan otak.
c) Cretinism
Kelainan ini disebabkan oleh keadaan hypohyroidism kronik yang
terjadi selama masa janin atau segera setelah dilahirkan.
3) Infeksi dan keracunan
a) Rubella
b) Syphilis bawaan
c) Syndrome gravidity beracun
4) Trauma dan zat radioaktif
a) Trauma otak
b) Zat radioaktif
5) Masalah pada kelahiran
Kelainan dapat juga disebabkan oleh masalah-masalah yang terjadi
pada waktu kelahiran (perinatal), misalnya kelahiran yang disertai
hypoxia, trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit.
6) Faktor lingkungan (sosial budaya)
Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ketunagrahitaan
antara lain:
a) Pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi
yang terjadi selama periode perkembangan.
b) Ketidakseimbangan nutrisi/gizi dan kurangnya perawatan medis.
c) Keadaan ekonomi keluarga.
d) Latar belakang pendidikan orang tua.
e) Kurangnya kasih sayang orang tua terutama dari ibu.
Grossman dalam Muhammad (2008) memaparkan sembilan faktor
yang menjadi penyebab timbulnya cacat mental:
1) Penyakit yang disebabkan minuman keras.
2) Trauma.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
3) Metabolisme atau pola makan yang tidak baik.
4) Penyakit dalam otak.
5) Pengaruh saat masa kehamilan yang tidak diketahui.
6) Kromososm yang abnormal.
7) Gangguan semasa kehamilan.
8) Gangguan psikiatris.
9) Pengaruh lingkungan (hlm. 102).
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab
tunagrahita antara lain karena:
1) Faktor keturunan.
2) Faktor penyakit yang terjadi saat prenatal (saat dalam kandungan ibu).
3) Faktor penyakit yang terjadi saat natal (saat dilahirkan).
4) Faktor penyakit yang terjadi saat postnatal (setelah lahir).
5) Faktor lingkungan/sosial-budaya.
c. Karakteristik
Anak tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda dibanding
dengan anak normal lainnya. Berikut diuraikan beberapa pendapaat ahli
mengenai karakteristik anak tunagrahita.
Amin (1995) karakteristik anak tunagrahita menurut tingkat
ketunagrahitaannya:
1) Karakteristik anak tunagrahita ringan
Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang
perbendaharaan kata-katanya. Mereka mengalami kesukaran berpikir
abstrak tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik
di sekolah biasa maupun di sekolah khusus. Perkembangan intelektual
tertinggi anak tunagrahita ringan adalah sesuai dengan tingkat
kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
2) Karakteristik anak tunagrahita sedang
Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-
pelajaran akademik. Perkembangan bahasanya lebih terbatas. Mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
hampir selalu bergantung pada perlindungan orang lain, tetapi dapat
membedakan bahaya dan tidak bahaya. Mereka masih mempunyai
potensi untuk belajar memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap
lingkungan, dan dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang
mempunyai arti ekonomi. Pada umur dewasa mereka baru mencapai
kecerdasan yang sama dengan anak umur 7 atau 8 tahun.
3) Karakteristik anak tunagrahita berat dan sangat berat
Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan
selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka
tidak dapat memelihara diri mereka sendiri dan berpartisipasi dengan
lingkungan. Jika berbicara makna kata-katanya sangat sederhana.
Kecerdasan seorang anak tunagrahita berat dan sangat berat hanya
dapat berkembang paling tinggi seperti anak normal yang berumur 3
atau 4 tahun.
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) karakteristik siswa
tunagrahita adalah sebagai berikut
1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/
besar,
2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
3) Perkembangan bicara/bahasa terlambat,
4) Tidak ada/ kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan
(pandangan kosong),
5) Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
6) Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler) (hlm.19).
Menurut Hildayani, dkk, (2010) ecara umum, terlihat bahwa anak
dengan retardasi mental memiliki karakteristik tertentu yang dapat diamati
sebagai berikut:
1) Menunjukkan ada kendala pada aspek rentang perhatian, daya ingat
dan cara belajar.
2) Aktivitas bermain yang dilakukan anak dengan retardasi mental
serupa dengan anak yang usianya jauh lebih kecil dari mereka.
Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik
anak tunagrahita adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
1) Mengalami gangguan perkembangan bahasa terutama pada anak
tunagrahita sedang dan berat.
2) Kemampuan intelektual anak tunagrahita dibawah anak normal.
3) Anak tunagrahita ringan dan sedang tidak mengalami masalah dalam
hal bina diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
d. Klasifikasi
Klasifikasi anak tunagrahita diperlukan untuk pemberian layanan
khusus sesuai dengan taraf kemampuannya.
Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994) ada empat kelompok
pembedaan untuk keperluan pembelajaran yaitu:
1) Taraf perbatasan atau lamban belajar (the boderline or the slow
learner) (IQ 70-85),
2) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) (IQ 50-70
atau 75),
3) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded) (IQ 30 atau 35
sampai 50 atau 55), dan
4) Tunagrahita mampu rawat (dependent or profoundly mentally
retarded) (IQ di bawah 25 atau 30) (hlm. 26).
Klasifikasi anak tunagrahita menurut Somantri (2006):
1) Tunagrahita ringan, disebut juga moron atau debil. Kelompok ini
memiliki IQ antara 68-52 menurut Skala Binet, sedangkan menurut
Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat
belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
2) Tunagrahita sedang, disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ
51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC).
Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri
dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan, dan sebagainya.
3) Tunagrahita berat, sering disebut idiot. Kelompok ini dibedakan lagi
antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat
(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-
25 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
(profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ
dibawah 24 menurut Skala Wischler (WISC). Anak tunagrahita berat
memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian,
mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memrlukan perlindungan
dari bahaya sepanjang hidupnya.
Hidayani, dkk, (2010) menyebutkan para ahli melakukan klasifikasi
gangguan anak dengan retardasi mental menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1) Retardasi mental tingkat ringan dengan kategori pendidikan mampu
didik dan memiliki IQ antara 69-55 menurut Skala Wechsler.
2) Retardasi mental tingkat sedang dengan kategori pendidikan mampu
latih dan memiliki IQ antara 54-40 menurut Skala Wechsler.
3) Retardasi mental tingkat berat dengan kategori pendidikan mampu
latih dengan bantuan dan memiliki IQ antara 39-25 menurut Skala
Wechsler (hlm. 6.8).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak
tunagrahita adalah sebagai berikut:
a) Tunagrahita ringan (mampu didik) dengan IQ 69-55 menurut Skala
Wechsler.
b) Tunagrahita sedang (mampu latih) dengan IQ 54-40 menurut Skala
Wechsler.
c) Tunagrahita berat (mampu rawat) dengan IQ 39-25 menurut Skala
Wechsler.
6. Anak Tunadaksa
a. Pengertian
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh. Anak
tunadaksa masih dapat belajar dengan menggunakan semua indranya tetapi
akan menemui kesulitan apabila mereka harus belajar dengan kegiatan
melakukan ketrampilan fisik. Seringkali orang menilai bahwa anak
tunadaksa adalah yang mengalami kehilangan anggota tubuh. Penilaian
tersebut tentu saja kurang benar karena yang termasuk anak tunadaksa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
tidak hanya yang kehilangan anggota badan. Untuk lebih memahami anak
tunadaksa, berikut dijelaskan beberapa pengertian dari pendapat ahli.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) tunadakasa adalah “anak
yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang,
sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus” (hlm. 13).
Menurut Somantri (2006) tunadaksa berarti “suatu keadaan rusak atau
terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang,
otot, sendi dalam fungsinya yang normal” (hlm. 121).
Sedangkan Wardani, dkk (2009) menjelaskan anak tunadaksa dapat
didefinisikan sebagai “penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada
sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan
keutuhan pribadi” (hlm.7.3).
Menurut pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa
adalah anak yang mengalami gangguan atau kelainan pada otot, tulang,
dan sendinya sehingga mengalami gangguan dalam fungsi alat geraknya.
b. Penyebab
Seperti juga kondisi ketunaan yang lain, tunadaksa dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Di bawah ini dipaparkan beberapa penyebab
ketunadaksaan menurut pendapat ahli.
Menurut Somantri (2006) ketunadaksaan dapat disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
1) Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:
a) Faktor keturunan,
b) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan,
c) Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak,
d) Pendarahan pada waktu kehamilan,
e) Keguguran yang dialami ibu.
2) Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
a) Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung,
vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar,
b) Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran.
3) Sebab-sebab sesudah kelahiran:
a) Infeksi,
b) Trauma,
c) Tumor,
d) Kondisi-kondisi lainnya.
Efendi (2006) menjelaskan kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh
atau tunadaksa dapat terjadi pada saat:
1) Sebelum anak lahir (prenatal), diantaranya:
a) Faktor genetik.
b) Kerusakan pada sistem saraf pusat.
c) Anoxia prenatal.
d) Gangguan metabolisme pada ibu.
e) Faktor rhesus.
2) Saat lahir (neonatal), diantaranya:
a) Kesulitan saat persalinan.
b) Pendarahan pada otak saat dilahirkan.
c) Kekurangan oksigen.
3) Setelah anak lahir (postnatal), diantaranya:
a) Faktor penyakit, seperti meningitis (radang selaput otak),
enchepalitis (radang otak), influensa, diphteria, partusis, dll.
b) Faktor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena
benturan benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi
tubuhnya khususnya bagian kepala yang melindungi otak.
c) Pertumbuhan tubuh/tulang yang tidak sempurna.
Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa penyebab tunadaksa dapat
terjadi dikarenakan penyakit atau kecelakaan yang terjadi saat sebelum
dilahirkan (prenatal), saat dilahirkan (neonatal), dan setelah dilahirkan
(postnatal).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
c. Karakteristik
Untuk mengenal anak tunadaksa maka perlu diketahui
karakteristiknya.
Karakteristik siswa tunadaksa menurut Direktorat Pendidikan Luar
Biasa (2004) adalah sebagai berikut:
1) Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
2) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak
terkendali),
3) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebih kecil dari biasa,
4) Terdapat cacat pada alat gerak,
5) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
6) Kesulitan pada saat berdiri,/ berjalan/ duduk dan menunjukkan
sikap tubuh tidak normal (hlm. 14).
Menurut Wardani, dkk (2009) karakteristik anak tunadaksa ditinjau
dari beberapa segi, antara lain:
1) Karakteristik akademis anak tunadaksa meliputi ciri khas kecerdasan,
kemampuan kognisi, persepsi dan simbolisasi mengalami kelainan
karena terganggunya sistem cerebral sehingga mengalami hambatan
dalam belajar, dan mengurus diri. Anak tunadaksa karena kelainan
pada sistem otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar
seperti anak normal.
2) Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa menunjukkan bahwa
konsep diri dan respon serta sikap masyarakat yang negatif terhadap
anak tunadaksa mengakibatkan anak tunadaksa merasa tidak mampu,
tidak berguna, dan menjadi rendah diri. Akibatnya, kepercayaan
dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya. Mereka juga menunjukkan sikap mudah
tersinggung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat
bergaul, malu dan suka menyendiri, serta frustasi berat.
3) Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh, juga mengalami gangguan lain, seperti sakit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara,
dan gangguan motorik.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa
memiliki karakteristik:
1) Dari segi fisik anak tunadaksa sudah dapat dikenali karena memang
mengalami gangguan pada tulang, otot, sendi, dan saraf.
2) Anak tunadaksa memiliki kemampuan intelektual yang sama dengan
anak normal, ada yang di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata-
rata.
3) Dalam hal penyesuaian diri dengan lingkungan anak tunadaksa
tergantung dari sikap penerimaan keluarga dan masyarakat di sekitar
anak tunadaksa tinggal.
4) Ada beberapa anak tunadaksa yang mengalami gangguan selain pada
tulang, otot, sendi, dan saraf yaitu juga mengalami gangguan
penglihatan, pendengaran, dan gangguan kesehatan lainnya.
d. Klasifikasi
Untuk memudahkan dalam pemberian layanan khusus maka anak
tunadaksa perlu diklasifikasikan.
Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994) klasifikasi anak tunadaksa
berdasarkan pada jenis-jenis gangguan atau kerusakan fisik dan kesehatan,
sebagai berikut:
1) Cerebral palsy,
2) Spina bifida,
3) Muscular dystrophy,
4) Head trauma,
5) Amputasi,
6) Penyakit kronis,
7) Epilepsi,
8) Juvenile diabetic mellitus,
9) Diabetis shock,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
10) Diabetis koma,
11) Cistic fibroses,
12) Hemophilia,
13) Luka bakar,
14) Poliomyelitis spinal cords.
Menurut Frances G. Koening dalam Somantri (2006) tunadaksa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan
keturunan, meliputi:
a) Club-foot (kaki seperti tongkat).
b) Club-hand (tangan seperti tongkat).
c) Polydactylism (jari-jari yang lebih dari lima pada masing-masing
tangan atau kaki).
d) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan
yang lainnya).
e) Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
f) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak
tertutup).
g) Cretinism (kerdil/katai).
h) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
i) Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan).
j) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).
k) Herelip (gangguan pada bibir dan mulut).
l) Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).
m) Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh
tertentu).
n) Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).
o) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar).
p) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).
2) Kerusakan pada waktu kelahiran:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
a) Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau
tertarik waktu kelahiran).
b) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
3) Infeksi:
a) Tuberkolusis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi
kaku).
b) Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang
karena bakteri).
c) Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan).
d) Pott’s disease (tuberkolusis susmsum tulang belakang).
e) Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan
permanen pada tulang).
f) Tuberkolusis pada lutut atau pada sendi lain.
4) Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:
a) Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan).
b) Kecelakaan akibat luka bakar.
c) Patah tulang.
5) Tumor:
a) Oxostosis (tumor tulang).
b) Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di
dalam tulang).
6) Kondisi-kondisi lainnya:
a) Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk).
b) Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung).
c) Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).
d) Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan).
e) Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan
tulang dan sendi).
f) Scilosis (tulang belakang yang berputar, bahu dan paha yang
miring) (hlm. 123-125).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Sedangkan Efendi (2006) mengklasifikasikan anak tunadaksa
dikelompokkan menjadi:
1) Anak tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped), ialah anak
tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada
bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian, baik dibawa
sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena
penyakit atau kecelakaan) sehingga terganggunya fungsi tubuh secara
normal.
2) Anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped), yaitu anaka
tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan
saraf otak.
Wardani, dkk (2007) menggolongkan anak tunadaksa bermacam-
macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang terdiri
dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan
pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak
tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada bagian tulang, otot,
dan sendi.
2) Anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem saraf.
7. Anak Tunalaras
a. Pengertian
Berbeda dengan kecacatan lain, tunalaras mencakup populasi yang
sangat heterogen. Sebagian orang awam mengasosiasikan bahwa anak
tunalaras adalah anak yang sering menimbulkan keonaran dan keresahan,
baik di sekolah maupun masyarakat seperti mabuk, mencuri, membolos
sekolah, dan lain-lain. Tunalaras juga mempunyai istilah yang bervariasi
seperti gangguan emosional, perilaku menyimpang, kelainan tingkah laku.
Dalam PLB istilah yang resmi digunakan adalah tunalaras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) mengemukakan pengertian
tunalaras sebagai berikut:
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian
diri dan tingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya,
sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya
memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya
maupun lingkungannya (hlm.32).
Menurut Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952
dalam Efendi (2006) anak tunalaras adalah individu yang mempunyai
tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan
pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi
yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok
dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat
kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain (hlm. 143).
Somantri (2006) mendefinisikan anak tunalaras adalah “anak yang
mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap
lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya” (hlm.
140).
Sedangkan Wardani, dkk (2009) menyebut anak tunalaras apabila:
1) Menunjukkan penyimpangan perilaku yang terus-menerus menurut
norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar
dan penyesuaian diri.
2) Penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar
serta bimbingan.
Belum ada definisi tunalaras yang berlaku secara universal karena
sulitnya memberikan definisi yang mencakup keadaan tunalaras secara
jelas. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak
tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan perilaku yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku secara terus menerus
sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
b. Penyebab
Ada bermacam-macam teori tentang penyebab ketunalarasan.
Kauffman dalam Sunardi (1995) mengklasifikasikan penyebab
ketunalarasan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1) Faktor keluarga, seperti peran orang tua, jumlah anak, pola interaksi
dalam keluarga, hadirnya orang tua tiri, hadirnya anggota keluarga
lain, dan lain-lain.
2) Faktor biologis, seperti kelainan genetika, kelainan perilaku, gegar
otak, kekurangan gizi atau salah makan, penyakit atau kecacatan
tubuh.
3) Faktor sekolah, seperti: pendidik yang tidak sensitif terhadap
kepribadian anak, harapan pendidik yang lebih rendah kepada anak-
anak yang menyandang kecacatan, teknik pengendalian perilaku yang
tidak konsisten di sekolah, penyajian materi yang bagi anak tidak jelas
manfaatnya, pola pemberian imbalan (reinforcement) yang keliru, dan
model/contoh yang tidak baik dari orang-orang di lingkungan sekolah
(hlm. 62).
Patton dalam Efendi (2006) mengklasifikasikan penyebab
ketunalarasan secara umum, yaitu: a) faktor penyebab bersifat internal
adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu
sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya, dan b) faktor
penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu
terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah
(hlm. 147) .
Menurut Somantri (2006) faktor-faktor yang menyebabkan
ketunalarasan adalah:
1) Kondisi/ keadaan fisik,
2) Masalah perkembangan,
3) Lingkungan keluarga,
4) Lingkungan sekolah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
5) Lingkungan masyarakat.
Muhammad (2008) menyampaikan bahwa faktor penyebab
ketunalarasan antara lain:
1) Aspek keluarga dan suasana di rumah, misalnya orang tua bercerai,
orang tua terlalu sibuk bekerja hingga mengabaikan anaknya, dan
kemiskinan yang menjadikan anak rendah diri.
2) Aspek pergaulan dan suasana di sekolah, misalnya sering diejek karena
kekurangan yang ada pada diri anak.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab ketunalarasan
dikarenakan faktor kondisi anak dan lingkungan tempat tinggalnya.
c. Karakteristik
Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda, begitu pula
dengan anak tunalaras. Untuk memberikan pelayanan khusus maka perlu
mengetahui karakteristik anak terlebih dahulu supaya anak dapat dengan
mudah menerima peleayanan tersebut.
Karakteristik menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) anak
tunalaras adalah sebagai berikut:
1) Cenderung membangkang.
2) Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah.
3) Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu.
4) Sering bertindak melanggar normal sosial/ norma susila/ hukum.
Efendi (2006) ciri-ciri yang menonjol pada kepribadian anak tunalaras,
antara lain “kurang percaya diri, menunjukkan sikap curiga terhadap orang
lain, rendah diri, dan sebaliknya menunjukkan sikap permusuhan terhadap
lingkungan/otorita, mengisolasi diri, kecemasan yang berlebihan, tidak
memiliki ketenangan jiwa, sering melakukan perkelahian atau bentrokan”
(hlm.160).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Menurut Muhammad (2008) anak tunalaras menunjukkan ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Tidak dapat berbicara dengan fasih walaupun telah mencapai usia
yang cukup untuk mampu berbicara.
2) Prestasi kognitif kurang baik.
3) Perkembangan sosial yang tidak baik.
4) Menunjukkan tingkah laku yang hiperaktif.
5) Suka mengganggu orang lain.
6) Suka membelokkan pembicaraan.
7) Suka menyendiri.
8) Sering melamun.
9) Pemarah.
10) Kurang sabar.
11) Sering marasa gelisah (hlm.131).
Wardani, dkk (2009) memberikan pandangan mengenai karakteristik
anak tunalaras dari segi akademik, sosial/emosional, dan fisik/kesehatan.
1) Karakteristik akademik, yang terdiri dari:
a) Pencapaian hasil belajar yang jauh di bawah rata-rata.
b) Seringkali dikirim ke kepala sekolah atau bimbingan konseling
untuk tindakan disipliner.
c) Sering kali tidak naik kelas atau bahkan keluar sekolahnya.
d) Sering kali membolos sekolah.
e) Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit,
perlu istirahat.
f) Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat
panggilan dari petugas kesehatan atau bagian absensi.
g) Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi.
h) Lebih sering menjalani masa percobaan dari yang berwenang.
i) Sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran tanda-
tanda lalu lintas.
j) Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.
2) Karakteristik sosial/emosional, yang terdiri dari:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
a) Perilaku tidak diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar
norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah,
dan rumah tangga.
b) Perilaku ditandai dengan adanya tindakan agresif.
c) Melakukan kejahatan remaja.
d) Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak
e) Adanya rasa gelisah
3) Karakteristik fisik/kesehatan
Pada aspek ini, karakteristik anak ditandai dengan adanya gangguan
makan, tidur, dan gerakan. Anak sering merasa adanya sesuatu yang
beres pada jasmaninya, ia merasa cemas pada kesehatannya, buang air
tidak terkendali, jorok, dan lain-lain.
Dari beberapa pendapat yang telah menguraikan karakteristik anak
tunalaras dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Cenderung membangkang.
2) Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah.
3) Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu.
4) Sering bertindak melanggar normal sosial/ norma susila/ hukum.
5) kurang percaya diri,
6) menunjukkan sikap curiga terhadap orang lain.
7) mengisolasi diri,
8) kecemasan yang berlebihan,
9) Prestasi kognitif kurang baik.
10) Menunjukkan tingkah laku yang hiperaktif
11) Suka menyendiri dan sering melamun.
12) Pemarah dan kurang sabar.
13) Sering marasa gelisah.
14) Sering kali tidak naik kelas, membolos sekolah, dan bahkan keluar
sekolahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
15) gangguan makan, tidur, dan gerakan. Anak sering merasa adanya
sesuatu yang beres pada jasmaninya, ia merasa cemas pada
kesehatannya, buang air tidak terkendali, jorok, dan lain-lain.
d. Klasifikasi
Untuk memudahkan pelayanan dan pengorganisasian pendidikan anak
tunalaras, maka perlu diadakan klasifikasi.
Kauffman dalam Sunardi (1995) mengklasifikasikan anak tunalaras
dalam dua klasifikasi, antara lain:
1) Klasifikasi psikiatris
a) Tingkat ringan atau sedang
Neurosis/psychoneurosis/gangguan kepribadian: penyimpangan
perilaku ditandai dengan konflik emosi dan kecemasan, tetapi
masih mempunyai hubungan dengan dunia nyata.
b) Tingkat berat
(1) Psychosis: penyimpangan perilaku ditandai dengan
penyimpangan pola-pola perilaku normal dalam berfikir,
berbicara, dan bertindak.
(2) Schizophrenia: gangguan jiwa ditandai dengan distorsi berfikir,
persepsi tidak normal, dan perilaku atau emosi yang aneh.
(3) Autism: gangguan jiwa tingkat berat pada masa kanak-kanak,
ditandai dengan isolasi diri secara berlebihan, perilaku aneh,
keterlambatan perkembangan, biasanya mulai dapat diamati
pada usia sebelum 21/2 tahun.
2) Klasifikasi behavioristik
Pada kelompok ini jenis-jenis gangguan perilaku yang terjadi antara
lain:
a) Gangguan pengendalian diri; meliputi tindakan menyerang orang
lain, pemarah, merusak, nakal, tidak kooperatif, menolak arahan,
tidak pernah diam, ramai, pembohong, berbicara kasar, iri, suka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
bertengkar, tidak bertanggungjawab, tidak memperhatihkan,
gangguan perhatian, pendendam.
b) Agresif berkelompok; meliputi tingkah laku berteman dengan
anak-anak jahat, mencuri secara berkelompok, setia pada teman
yang nakal, menjadi anggota geng, keluar rumah sampai larut,
bolos sekolah, lari dari rumah.
c) Cemas, menarik diri; meliputi sikap yang takut/tegang, sangat
pemalu, menyendiri, sedih/depresi, terlalu sensitif, mudah
tersinggung, kurang percaya diri, mudah bingung, sering menangis,
sangat tertutup.
d) Kekurangdewasaan/kekurangmatangan; meliputi gejala gangguan
pemusatan perhatian, melamun, lemah koordinasi, tidak
berinisiatif/pasif, kesulitan mengingat, mengantuk,
pembosan/kurang minat, dan ceroboh (: 28-34).
Efendi (2006) mengklasifikasikan anak tunalaras menjadi:
1) Tunalaras kategori kesulitan penyesuaian sosial, kelompok anak yang
mengalami kesulitan penyesuaian sosial dikarenakan adanya hal-hal
yang bersifat fungsional,
2) Tunalaras kategori gangguan emosi, yaitu kelompok anak yang
mengalami kesulitan penyesuaian sosial dikarenakan adanya hal-hal
yang bersifat neurotic dan psikotic, yang bentuk gangguannya antara
lain anxiety neurotis, astenica neurotic, dan hysterica konversia.
Cruickshank dalam Somantri (2006) mengemukakan bahwa anak
tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami hambatan
sosial dan gangguan emosi. Anak tunalaras yang mengalami hambatan
sosial dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) The semi-socialize child
Anak pada kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi
terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya keluarga dan
kelompoknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2) Children arrested at a primitive level or socialization
Anak dalam kelompok ini perkembangan emosinya berhenti pada level
atau tingkatan yang rendah. Mereka anak yang tidak pernah mendapat
bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dalam pendidikan,
sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya.
3) Children with minimum socialization capacity
Anak tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-
sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak
pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan
ini banyak bersikap apatis dan egois.
Anak tunalaras yang mengalami gangguan emosi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Neurotic behavior
Anak pada kelompok ini masih dapat bergaul dengan orang lain, akan
tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang mampu
diselesaikannya. Keadaan ini disebabkan oleh keadaan atau sikap
keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta
pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan Pembelajaran atau juga
adanya kesulitan belajar yang berat.
2) Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang sangat berat
sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah
menyimpang dari kehidupan nyata, sudah tidak memiliki kesadaran
diri serta tidak memiliki identitas diri. Hal ini disebabkan oleh
gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan misalnya,
minuman keras dan obat-obatan dalam (hlm. 141).
Sedangkan Resembera, dkk dalam Wardani, dkk, (2009)
mengklasifikasikan anak tunalaras menjadi 2 kelompok yaitu:
1) Tingkah laku anak tunalaras yang beresiko tinggi, yaitu hiperaktif,
agresif, pembangkang, delinkuensi dan anak yang menarik diri dari
pergaulan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
2) Tingkah laku anak tunalaras yang beresiko rendah, yaitu autisme dan
skizofrenia (hlm. 7.29).
Dari beberapa pendapat di atas belum ada kesamaan dalam
mengklasifikasikan anak tunalaras tetapi dapat disimpulkan bahwa anak
tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Neurosis/psychoneurosis/gangguan kepribadian.
2) Psychosis.
3) Schizophrenia.
4) Autism.
5) Gangguan pengendalian diri.
6) Agresif.
7) Cemas, menarik diri.
8) Kekurangdewasaan/kekurangmatangan.
8. Anak Berkesulitan Belajar
a. Pengertian
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris
learning disability, learning artinya belajar dan disability artinya
ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah
ketidakmampuan belajar. Istilah kesulitan belajar digunakan karena
dirasakan lebih optimistik. Banyak orang, termasuk guru tidak dapat
membedakan antara kesulitan belajar dengan tunagrahita. Hal ini
dikarenakan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar menunjukkan
prestasi belajar dan kemampuan dalam pembelajaran yang dibawah rata-
rata. Untuk membedakan antara kesulitan belajar dengan tunagrahita maka
perlu mengetahui terlebih dahulu pengertian dari kesulitan belajar, berikut
diuraikan beberapa pengertian kesulitan belajar.
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) anak yang
berkesulitan belajar spesifik (specific learning disability) adalah
anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis,
dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor intelegensi
(intelegensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus (hlm.26).
Suharmini (2005) menjelaskan bahwa kesulitan belajar adalah “suatu
keadaan pada seorang anak yang mengalami ketidakmampuan dalam
belajar yang disebabkan gangguan proses belajar di dalam otak, yang
dapat berupa gangguan persepsi (visual atau auditoris), gangguan dalam
proses integratif atau gangguan ekspresif” (hlm. 83).
Somantri (2006) mengatakan bahwa kesulitan belajar atau learning
disabilities merupakan “istilah generik yang merujuk kepada keragaman
kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut
diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat
menimbulkan gangguan proses belajar” (hlm.196).
Wardani, dkk (2009) mendefinisikan anak kesulitan belajar adalah
anak yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademiknya, yang
disebabkan oleh adanya disfungsi minimal otak atau dalam psikologis
dasar sehingga prestasi belajarnya tidak sesuai dengan potensi
sebenarnya, dan untuk mengembangkan potensinya secara optimal
mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus (hlm.8.5).
The Board of the Association for Children and Adulth with Learning
Disabilities (ACALD) dalam Abdurrahman (2009) mengemukakan
definisi anak kesulitan belajar yang dikutip oleh Lovitt sebagai berikut:
kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga
bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan,
integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau nonverbal.
Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi
rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan
kesempatan belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi
dalam perwujudan dan derajatnya.
Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga-diri, pendidikan,
pekerjaan, sosialisasi, dan/atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang
kehidupan (hlm. 8).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kesulitan belajar merupakan suatu keadaan dimana seorang individu
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik yang
disebabkan oleh faktor disfungsi neurologis bukan karena faktor
intelegensi (intelegensinya normal bahkan diatas rata-rata).
b. Penyebab
Penyebab kesulitan belajar perlu diketahui supaya dapat dilakukan
usaha-usaha preventif maupun kuratif.
Pendapat beberapa ahli tentang penyebab kesulitan belajar, antara lain
Brock menjelaskan kesulitan belajar spesifik disebabkan karena masalah
neurologis, Merrill menjelaskan kesulitan belajar spesifik merupakan ujud
dari disfungsi minimal otak, Adelman & Taylor menjelaskan bahwa
penyebab kesulitan belajar spesifik adalah neurological dysfunction.
Kesulitan belajar spesifik juga dapat disebabkan karena kerusakan otak
bayi pada waktu masih ada dalam kandungan atau selama kelahiran, atau
bisa juga disebabkan karena faktor organik atau biologis (Suharmini,
2005:90).
Kephart dalam Somantri (2006) mengelompokkan penyebab kesulitan
belajar ini dalam tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan
emosional, dan pengalaman (hlm. 196).
Wardani, dkk (2009) mengutip Hallahan dan Kauffman
mengemukakan 3 faktor penyebab kesulitan belajar, yaitu:
1) Faktor organis/biologis
Timbulnya kesulitan belajar khusus pada anak disebabkan oleh adanya
disfungsi dari sistem saraf pusat.
2) Faktor genetis
Munculnya anak-anak berkesulitan belajar khusus, dapat disebabkan
oleh faktor genetis atau keturunan.
3) Faktor lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Faktor lingkungan yang menyebabkan anak mengalami kesulitan
belajar contohnya guru-guru yang tidak mempersiapkan program
pengajarannya dengan baik, kondisi keluarga yang tidak menunjang,
dan lain-lain (hlm. 8.5).
Abdurrahman (2009) menjelaskan penyebab utama kesulitan belajar
(learning disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya
disfungsi neurologis yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain:
1) Faktor genetik,
2) Luka pada otak karena trauma fisik atau kekurangan oksigen,
3) Biokimia yang hilang,
4) Biokimia yang dapat merusak otak,
5) Pencemaran lingkungan,
6) Gizi yang tidak memadai,
7) Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan
perkembangan anak (deprivasi lingkungan).
Mercer & Pullen dalam Gargiulo (2012:202) menjelaskan penyebab
kesulitan belajar antara lain: trauma, genetik / keturunan, kelainan
biokimia, dan lingkungan.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab
kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
1) Masalah neurologis,
2) Gangguan emosional,
3) Faktor lingkungan,
4) Faktor genetik,
5) kelainan biokimia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
c. Karakteristik
Dalam memberikan layanan pendidikan perlu diketahui karakteristik
anak kesulitan belajar supaya anak merasa tidak terbebani dalam
menyelesaikan tugas akademiknya.
Ciri-ciri anak berkesulitan belajar menurut Direktorat Pendidikan Luar
Biasa (2004) adalah sebagai berikut:
1) Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a) Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
b) Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
c) Kalau membaca sering banyak kesalahan.
2) Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
a) Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
b) Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u,
2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
c) Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
d) Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
e) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
3) Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkulia)
a) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, :, >, <, =
b) Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
c) Sering salah membilang dengan urut,
d) Sering salah membedakan angka 9 dan 6, 17 dengan 71, 2
dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya
e) Sulit membedakan bangun-bangun geometri (hlm.27-28).
Westwood dalam Suharmini (2005) mengemukakan beberapa
karakteristik siswa yang mengalami kesulitan belajar spesifik:
1) Perkembangan bicaranya terlambat.
2) Mengalami masalah atau gangguan persepsi dalam menulis atau
membaca.
3) Mengalami masalah atau gangguan pada persepsi auditory.
4) Gangguan pada proses integratif
5) Kesukaran dalam recalling kata-kata, kesukaran dalam memberikan
nama pada obyek yang dikenal (dysnomia).
6) Lemah dalam menunjukkan arah kanan atau kiri.
7) Mengalami disfungsi minimal otak.
8) Hiperaktif atau ada gangguan dalam memusatkan perhatian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
9) Tidak terampil.
10) Lemah dalam koordinasi motorik.
11) Tingkat motivasi rendah.
12) Ada masalah atau gangguan emosional (hlm. 87-88).
Menurut Clement yang dikutip oleh Hallahan dan Kauffman dalam
Wardani, dkk (2007) terdapat sepuluh gejala yang sering dijumpai pada
anak berkesulitan, yaitu: a) hiperaktif, b) gangguan persepsi motorik, c)
emosi yang labil, d) kurang koordinasi, e) gangguan perhatian, f) impulsif,
g) gangguan memori dan berpikir, h) kesulitan pada akademik khusus
(membaca, matematika, dan menulis), i) ganggguan dalam berbicara dan
mendengar, dan j) hasil electroencephalogram (EEG) tidak teratur serta
tanda neurologis yang tidak jelas (hlm. 8.13).
Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar menurut Somantri (2006)
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Aspek kognitif
Masalah-masalah kemampuan bicara, membaca, menulis,
mendengarkan, berpikir, dan matematis semuanya merupakan
penekanan terhadap aspek akademik atau kognitif. Tidak jarang anak
yang mengalami kesulitan membaca menunjukan kemampuan
berhitung yang tinggi. Hal tersebut membuktikan bahwa anak
berkesulitan belajar memiliki kemampuan kognitif yang normal, akan
tetapi kemampuan tersebut tidak berfungsi secara optimal sehingga
terjadi keterbelakangan akademik yakni terjadinya kesenjangan antara
apa yang mestinya dilakukan anak dengan apa yang dicapainya secara
nyata.
2) Aspek bahasa
Masalah bahasa anak berkesulitan belajar menyangkut bahasa reseptif
maupun ekspresif. Bahasa reseptif adalah kecakapan menerima dan
memahami bahasa. Sedangkan bahasa ekspresif adalah kemampuan
mengekspresikan diri secara verbal. Di dalam proses belajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
kemampuan berbahasa merupakan alat untuk memahami dan
menyatakan pikiran.
3) Aspek motorik
Masalah motorik anak berkesulitan belajar biasanya menyangkut
keterampilan motorik-perseptual yang diperlukan untuk
mengembangkan keterampilan meniru pola. Kemampuan ini sangat
diperlukan untuk menggambar, menulis atau menggunakan gunting.
Keterampilan tersebut sangat memerlukan koordinasi yang baik antara
tangan dan mata yang dalam banyak hal koordinasi tersebut tidak
dimiliki anak berkesulitan belajar.
4) Aspek sosial dan emosi
Terdapat dua karakteristik sosial-emosional anak berkesulitan belajar
ialah: kelabilan emosional dan ke-impulsif-an. Kelabilan emosional
ditunjukakan oleh sering berubahnya suasana hati dan temperamen.
Tingkat impulsive merujuk kepada lemahnya pengendalian terhadap
dorongan-dorongan untuk berbuat seseuatu.
Lerner dan Johns dikutip oleh Gargiulo (2012) menjelaskan
karakteristik individu dengan kesulitan belajar:
1) Gangguan perhatian.
2) Miskin kemampuan motorik.
3) Kesulitan dalam proses psikologis dan pengolahan informasi.
4) Kurangnya strategi kognitif yang diperlukan untuk belajar.
5) Kesulitan berbicara.
6) Kesulitan Membaca
7) Kesulitan menulis.
8) Kesulitan berhitung.
9) Kurang terampil dalam bersosialisasi (hlm. 204).
Dari beberapa pendapat yang telah menjelaskan karakterisik anak
berkebutuhan khusus maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) terdapat gangguan atau masalah pada otak,
2) kesulitan pada akademik khusus (membaca, matematika, dan menulis),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
3) kemampuan berbicara terlambat dan bermasalah,
4) gangguan perhatian,
5) motivasi rendah,
6) tidak terampil dan lemah dalam koordinasi motorik,
7) kurang bersosialisai, dan
8) gangguan emosi dan perilaku.
d. Klasifikasi
Menentukan klasifikasi anak kesulitan belajar tidaklah mudah karena
merupakan kelompok kesulitan yang heterogen. Betapa pun sulitnya
membuat klasifikasi kesulitan belajar, klasifikasi tetap diperlukan untuk
menentukan strategi pembelajaran yang tepat.
Kirk dan Gallagher dikutip oleh Wardani, dkk, (2007) menjelaskan
bahwa kesulitan belajar dibedakan dua kategori besar, yaitu: a) kesulitan
belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning
disabilities), dan b) kesulitan belajar akademik (academic learning
disabilities) (hlm. 8.5).
Abdurrahman (2009) mengklasifikasikan kesulitan belajar secara garis
besar dalam dua kelompok sebagai berikut:
1) Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan
(developmental learning disabilities). Mencakup:
a) Gangguan motorik dan persepsi,
b) Kesulitan belajar bahasa dan komunikasi,
c) Kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku.
2) Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities).
Menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi
akademik yang sesuai adanya kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-
kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam
membaca, menulis, dan/atau matematika.
Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan
khusus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
1) Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan
(developmental learning disabilities),
2) Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities).
9. Anak Berbakat
a. Pengertian
Pengertian mengenai anak berbakat sangat beragam. Banyak pakar
yang memberikan pengertian tentang keberbakatan menurut sudut pandang
masing-masing. Pengertian keberbakatan merupakan konsep yang tidak
mudah dipahami secara harfiah, mengingat keberbakatan sedikit banyak
terkait dengan persoalan budaya. Untuk itu, di bawah ini disampaikan
beberapa pengertian keberbakatan.
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) anak berbakat atau
anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah “anak
yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan
tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak
seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi
prestasi nyata, memerlukan pendidikan khusus” (hlm. 22).
Definisi USOE dikutip oleh Munandar (2004) tentang anak berbakat
adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasi sebagai
anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai
kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak tersebut memerlukan
program pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau pelayanan di luar
jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan
mereka terhadap masyarakat msupun untuk pengembangan diri sendiri.
Kemampuan tersebut, baik secara potensial maupun telah nyata, meliputi:
1) Kemampuan intelektual umum.
2) Kemampuan akademik khusus.
3) Kemampuan berpikir kreatif-produktif.
4) Kemampuan memimpin.
5) Kemampuan dalam salah satu bidang seni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
6) Kemampuan psikomotor (seperti dalam olah raga) (hlm. 23).
Konsep keberbakatan menurut Renzulli, dkk dalam Munandar (2004)
yang dikenal dengan “Three-Ring Conception” menyatakan bahwa tiga
ciri pokok yang merupakan kriteria (persyaratan) keberbakatan ialah
keterkaitan antara:
1) Kemampuan umum diatas rata-rata,
2) Kreativitas di atas rata-rata, dan
3) Pengikatan diri terhadap tugas (task commitment cukup tinggi) (hlm.
24).
Somantri (2006) menyatakan dalam konsep luas dan terpadu istilah
keberbakatan akan mencakup anak yang memiliki kecakapan intelektual
superior, yang secara potensial dan fungsional mampu mencapai
keunggulan akademik di dalam kelompok populasinya; dan/atau berbakat
tinggi dalam bidang tertentu, seperti matematika, IPA, seni, musik,
kepemimpinan sosial, dan perilaku kreatif tertentu dalam interaksi dengan
lingkungan dimana kecakapan dan unjuk kerjanya itu ditampilkan secara
konsisten.
Menurut Muhammad (2008) anak-anak genius adalah “anak-anak yang
memiliki potensi ataupun kemampuan yang tinggi dalam bidang
akademik, selain dapat membuat suatu kreasi yang unik, kreatif, dan
mengagumkan”(hlm.145).
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi yang tinggi
baik dalam bidang akademik maupun kreativitas dan menunjukkan
komitmen tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
b. Penyebab
Seperti halnya anak berkebutuhan khusus lainnya keberbakatan juga
ada penyebabnya.
Beberapa faktor penyebab keberbakatan menurut Tarmidi (2008):
1) Kemampuan/ kecakapan alami,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
2) Motivasi dan kemauan dari dalam diri, dan faktor genetik,
3) Lingkungan yang menaungi anak, dan
4) Kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.
Clark dikutip oleh Gargiulo (2012), “the development of intelligence is
enhanced or inhibited by the interaction between the genetic pattern of an
individual and the opportunities provided by the environment throughout
the individual’s lifespan” (hlm.582).
Yang artinya kurang lebih adalah "perkembangan kecerdasan
ditingkatkan atau dihambat oleh interaksi antara pola genetik dari individu
dan peluang yang disediakan oleh lingkungan selama kehidupan individu".
Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
penyebab keberbakatan adalah faktor genetik dan lingkungan.
c. Karakteristik
Setiap manusia memiliki karakteristik yang menunjukkan kepribadian
mereka. Sesuai dengan pengertian keberbakatan yang multikriteria, maka
ciri-ciri anak berbakat meliputi beberapa karakteristik khusus. Di bawah
ini diuraikan beberapa ciri-ciri atau karakteristik anak berbakat.
Munandar (1985) ciri-ciri anak berbakat meliputi ciri-ciri fisik, mental-
intelektual, emosional, dan ciri-ciri sosial:
1) Ciri-ciri fisik, antara lain:
a) Sehat.
b) Perkembangan psikomotorik lebih cepat dari rata-rata.
2) Ciri-ciri mental-intelektual antara lain:
a) Usia mental lebih tinggi daripada rata-rata anak normal.
b) Daya tangkap dan pemahaman lebih cepat dan luas.
c) Dapat berbicara lebih dini.
d) Hasrat ingin tahu lebih besar dan selalu mencari jawabannya.
e) Kreatif.
f) Mandiri dalam bekerja dan belajar serta mempunyai cara belajar
yang khas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
3) Ciri-ciri emosional, antara lain:
a) Punya kepercayaan diri yang kuat.
b) Konsisten dengan keinginannya sampai terpenuhi.
c) Peka terhadap situasi di sekelilingnya.
d) Senang dengan hal-hal yang baru.
4) Ciri-ciri sosial, antara lain:
a) Senang bergaul dengan anak-anak yang lebih tua.
b) Suka permainan yang mengandung pemecahan masalah.
c) Suka bekerja sendiri.
Ciri-ciri keberbakatan menurut Hawadi, dkk (2001) meliputi empat
dimensi, yaitu:
1) Dimensi I: ciri-ciri belajar
a) Mudah menangkap dan mengingat pelajaran.
b) Memiliki perbendaharaan kata yang luas.
c) Penalaran tajam.
d) Daya konsentrasi baik.
e) Memiliki pengetahuan umum yang luas.
f) Gemar membaca.
g) Mampu mengungkapkan pikiran, perasaan atau pendapat secara
lisan/tertulis dengan lancar dan jelas.
h) Mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan mampu
mengidentifikasi masalah.
2) Dimensi II: ciri-ciri tanggung jawab terhadap tugas
a) Tekun dan ulet.
b) Mampu berprestasi sendiri tanpa dorongan orang lain dan selalu
berusaha berprestasi baik.
c) Ingin mendalami bidang pengetahuan yang diberikan di dalam
kelas.
d) Menunjukkan minat terhadap masalah orang dewasa.
e) Senang dan rajin belajar penuh semangat.
f) Cepat bosan dengan tugas rutin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
g) Dapat mempertahankan pendapatnya.
h) Menunda pemuasan kebutuhan sesaat untuk mencapai tujuan di
kemudian hari.
3) Dimensi III: ciri-ciri kreativitas
a) Mempunyai rasa ingin tahu yang mendalam.
b) Sering mengajukan pertanyaan yang berbobot.
c) Memberikan banyak gagasan dan mampu menyatakan pendapat
secara spontan.
d) Mempunyai/menghargai rasa keindahan.
e) Menonjol dalam satu atau lebih bidang studi.
f) Dapat mencari pemecahan masalah dari berbagai segi.
g) Mempunyai rasa humor dan daya imajinasi.
h) Mampu mengajukan gagasan pemecahan masalah yang berbeda
dari orang lain dan menghasilkan bermacam-macam gagasan.
i) Mampu menghadapi masalah dari berbagai sudut pandang.
4) Dimensi IV: ciri-ciri kepemimpinan
a) Sering dipilih menjadi pemimpin atau ketua.
b) Disenangi oleh teman dan dapat bekerja sama secara positif serta
berpengaruh bagi orang lain.
c) Mempunyai banyak inisiatif dan memiliki tanggung jawab serta
rasa percaya diri yang besar.
d) Mudah menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru.
e) Aktif berperan dalam kegiatan sekolah dan senang membantu
orang lain.
f) Menyukai situasi yang mengandung tantangan dan berani
mengambil resiko.
Menurut Munandar (2004) seseorang disebut berbakat apabila
memiliki tiga kelompok ciri-ciri yang berpautan, jika hanya memiliki salah
satu dari kelompok ciri-ciri maka belum mencerminkan keberbakatan.
Kelompok ciri-ciri keberbakatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan di atas rata-rata (intelegensi).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
2) Kreativitas
3) Pengikatan diri terhadap tugas.
Sumiharso (2008) menyebutkan karakteristik anak berbakat domain
intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain motivasi dan nilai-
nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial adalah sebagai
berikut:
1) karakteristik intelektual-kognitif
a) Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-
gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.
b) Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan
menjadi suatu konsep yang utuh.
c) Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d) Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi suatu
hal yang sederhana dan mudah dipahami.
e) Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan
masalah.
f) Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g) Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
h) Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau
merangkai kata-kata.
i) Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang
diberikan.
j) Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang
kuat.
k) Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika
dan/atau sains.
l) Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m) Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n) Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
o) Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan
dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan
yang lainnya.
2) karakteristik persepsi/emosi
a) Sangat peka perasaannya.
b) Menunjukkan gaya bercanda atau humor yang tidak lazim (sinis,
tepat sasaran dalam menertawakan sesuatu hal tapi tanpa terasa
dapat menyakiti perasaan orang lain).
c) Sangat perseptif dengan beragam bentuk emosi orang lain (peka
dengan sesuatu yang tidak dirasakan oleh orang-orang lain).
d) Memiliki perasaan yang dalam atas sesuatu.
e) Peka dengan adanya perubahan kecil dalam lingkungan sekitar
(suara, aroma, cahaya).
f) Pada umumnya introvert.
g) Memandang suatu persoalan dari berbagai macam sudut pandang.
h) Sangat terbuka dengan pengalaman atau hal-hal baru
i) Alaminya memiliki ketulusan hati yang lebih dalam dibanding
anak lain.
3) karakteristik motivasi dan nilai-nilai hidup
a) Menuntut kesempurnaan dalam melakukan sesuatu
(perfectionistic).
b) Memiliki dan menetapkan standar yang sangat tinggi bagi diri
sendiri dan orang lain.
c) Memiliki rasa ingin tahu dan kepenasaran yang sangat tinggi.
d) Sangat mandiri, sering merasa tidak perlu bantuan orang lain, tidak
terpengaruh oleh hadiah atau pujian dari luar untuk melakukan
sesuatu (self driven).
e) Selalu berusaha mencari kebenaran, mempertanyakan dogma,
mencari makna hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
f) Melakukan sesuatu atas dasar nilai-nilai filsafat yang seringkali
sulit dipahami orang lain.
g) Senang menghadapi tantangan, pengambil risiko, menunjukkan
perilaku yang dianggap “nyerempet-nyerempet bahaya” .
h) Sangat peduli dengan moralitas dan nilai-nilai keadilan, kejujuran,
integritas.
i) Memiliki minat yang beragam dan terentang luas.
4) karakteristik aktifitas
a) Punya energi yang seolah tak pernah habis, selalu aktif beraktifitas
dari satu hal ke hal lain tanpa terlihat lelah.
b) Sulit memulai tidur tapi cepat terbangun, waktu tidur yang lebih
sedikit dibanding anak normal.
c) Sangat waspada.
d) Rentang perhatian yang panjang, mampu berkonsentrasi pada satu
persoalan dalam waktu yang sangat lama.
e) Tekun, gigih, pantang menyerah.
f) Cepat bosan dengan situasi rutin, pikiran yang tidak pernah diam,
selalu memunculkan hal-hal baru untuk dilakukan.
g) Spontanitas yang tinggi.
5) karakteristik relasi sosial
a) Umumnya senang mempertanyakan atau menggugat sesuatu yang
telah mapan.
b) Sulit melakukan kompromi dengan pendapat umum.
c) Merasa diri berbeda, lebih maju dibanding orang lain, merasa
sendirian dalam berpikir atau pada saat merasakan suatu bentuk
emosi.
d) Sangat mudah jatuh iba, empatik, senang membantu.
e) Lebih senang dan merasa nyaman untuk berteman atau berdiskusi
dengan orang-orang yang usianya jauh lebih tua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Wardani dkk (2009) karakteristik anak berbakat ditinjau dari segi
akademik, sosial/emosional, dan fisik/kesehatan:
1) Karakteristik akademik
a) Memiliki perhatian yang lama terhadap suatu bidang akademik
khusus,
b) Memiliki pemahaman yang sangat maju tentang konsep, metode,
dan terminologi dari bidang akademik khusus,
c) Mampu mengaplikasikan berbagai konsep dari bidang akademik
khusus yang dipelajari pada aktivitas-aktivitas dalam bidang-
bidang lain,
d) Kesediaan mencurahkan sejumlah besar perhatian dan usaha untuk
mencapai standar yang tinggi dalam suatu bidang akademik,
e) Memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalam suatu bidang akademik
khusus dan motivasi yang tinggi untuk berbuat yang terbaik, dan
f) Belajar dengan cepat dalam suatu bidang akademik khusus.
2) Karakteristik sosial/emosional.
a) Diterima oleh mayoritas dari teman-teman sebaya dan orang
dewasa,
b) Keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan sosial, mereka
memberikan sumbangan positif dan konstruktif,
c) Kecenderungan dipandang sebagai juru pemisah dalam
pertengkaran dan pengambil kebijakan oleh teman sebayanya,
d) Memiliki kepercayaan tentang kesamaan derajat semua orang dan
jujur,
e) Perilakunya tidak defensif dan memiliki tenggang rasa,
f) Bebas dari tekanan emosi dan mampu mengontrol ekspresi
emosional sehingga relevan dengan situasi,
g) Mampu mempertahankan hubungan abadi dengan teman sebaya
dan orang dewasa,
h) Mampu merangsang perilaku produktif bagi orang lain, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
i) Memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menanggulangi situasi
sosial dengan cerdas dan humor.
3) Karakteristik fisik/kesehatan.
a) Memiliki penampilan yang menarik dan rapi, dan
b) Kesehatannya berada lebih baik atau di atas rata-rata.
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karakteristik anak berbakat dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
1) Karakteristik intelektual/kognitif/akademik.
2) Karakteristik sosial/emosional.
3) Karakteristik fisik/kesehatan.
d. Klasifikasi
Untuk memudahkan dalam pemberian layanan pendidikan maupun
untuk mengembangkan potensinya maka keberbakatan perlu
diklasifikasikan. Berikut diuraikan beberapa pendapat tantang klasifikasi
keberbakatan.
Banyak ahli yang mengklasifikasikan anak berbakat, Abdurrahman
dan Sudjadi (1994) menguraikan beberapa klasifikasi anak berbakat
menurut para ahli:
1) Klasifikasi anak berbakat menurut Sternberg (berdasarkan teori
triarchic)
a) Keberbakatan analitik meliputi kemampuan memilah masalah dan
memahami bagian-bagian dari masalah tersebut.
b) Keberbakatan Sintetik tampak pada orang yang memiliki
kemampuan memahami, intuitif, kreatif, atau yang benar-benar
cakap dalam mengatasi situasi-situasi yang relatif baru.
c) Keberbakatan Praktis meliputi penerapan kemampuan analitik
maupun sintetik dalam kehidupan sehari-hari, dalam situasi
pragmatik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
2) Klasifikasi anak berbakat menurut Gardner berdasarkan teori
Intelegensi Majemuk, menyatakan bahwa intelegensi ada 7 macam:
linguistik, logis-matematis, spatial, musikal, jasmani kinestetik,
interpersonal, dan intrapersonal.
3) Klasifikasi menurut Gagne:
a) Bakat( intelektual, kreatif, sosioafektif, dan sensorimotor)
b) Talents(akademik, teknik, artiatik, interpersonal, dan atletik
c) Bakat adalah nama dari karakteristik pribadi, sedangkan talents
adalah nama dari aktivitas manusia.
Feldhusen dalam Hawadi, dkk (2001) membagi keberbakatan dalam
tiga kategori yaitu keberbakatan ringan (IQ=115-129), keberbakatan
sedang (IQ=130-144) , dan keberbakatan tinggi (IQ=145 keatas), menurut
Skala Weschler (hlm. 7)
Belum ada kesepakatan dari para ahli dalam mengklasifikasikan anak
berbakat, sehingga banyak pendapat tentang klasifikasi anak berbakat.
Tetapi dari pendapat yang telah diuraikan di atas penulis menarik
kesimpulan bahwa klasifikasi anak berbakat adalah sebagai berikut:
1) Linguistik,
2) Logis-matematis,
3) Spatial,
4) Musikal,
5) Jasmani kinestetik,
6) Interpersonal, dan
7) Intrapersonal.
10. Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian Esti Wardani (2012) tentang upaya
peningkatan akses pendidikan melalui identifikasi anak berkebutuhan khusus
di Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Sragen tedapat anak berkebutuhan khusus
di kecamatan tersebut dengan prosentase sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
a. Berdasarkan kelainannya
Tabel 2.1. Distribusi Frekuensi Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan
Jenis Kelainan
No Jenis Kelainan Frekuensi (f) Persentase (P)
1 Tunanetra 4 6,25%
2 Tunarungu wicara 5 7,81%
3 Tunagrahita 32 50%
4 Tunadaksa 8 12,5%
5 Tunalaras 2 3,13%
6 Tunaganda 13 20,31%
Jumlah (N) 64 100%
(Sumber: Esti Wardani, 2012: 63)
b. Berdasarkan umurnya
Tabel 2.2. Distribusi Frekuensi Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan
Kelompok Usia
No Kelompok Umur Frekuensi (f) Persentase (P)
1 0-6 tahun 19 29,69%
2 7-12 tahun 21 32,81%
3 13-15 tahun 13 20,31%
4 16-18 Tahun 11 17,19%
Jumlah (N) 64 100%
(Sumber: Esti Wardani, 2012: 66)
Dari hasil penelitian diatas ada persamaan dan perbedaan dengan masalah
yang diteliti. Persamaannya terletak pada bidang kajian yang diteliti yaitu
berdasarkan kelainannya dan berdasarkan umurnya sedangkan perbedaannya
terletak pada batasan masalahnya yaitu berdasarkan kelainannya peneliti akan
meneliti tentang anak tunanetra, anak tunarungu, anak tunagrahita, anak
tunadaksa, anak tunalaras, anak kesulitan belajar, dan anak berbakat dan juga
berdasarkan umurnya peneliti hanya akan membatasi pada umur 7-18 tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
B. KERANGKA BERFIKIR
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri jumlahnya
tidak diketahui secara terperinci sehingga dalam pemberian pelayanan khusus
untuk anak berkebutuhan khusus belum maksimal.
Gambar 2.1. Skema Kerangka Berfikir
Anak
berkebutuhan
khusus
Prevalensi
keseluruhan
Klasifikasi
berdasarkan
kelainanan
Klasifikasi
berdasarkan umur
Prosentase di
setiap
kecamatan
P Jumlah yang
sudah terlayani
pendidikannya
dan yang belum
terlayani
pendidikannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
C. HIPOTESIS
Berdasarkan tujuan penelitian, kajian teori dan hasil penelitian yang relevan
serta kerangka berfikir yang telah diuraikan di atas maka dapat diajukan hipotesis
bahwa:
1. Terdapat sejumlah anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri pada
Tahun 2012.
2. Anak berkebutuhan khusus dengan beberapa kelainan.
3. Anak berkebutuhan khusus yang berusia 7-18 tahun.
4. Di setiap Kecamatan terdapat Anak berkebutuhan khusus yang prevalensinya
berbeda-beda.
5. Ada beberapa Anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya
dan ada juga yang belum terlayani pendidikannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Tempat penelitian merupakan suatu lokasi yang digunakan dalam
memperoleh data penelitian. Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi di
seluruh Kabupaten Wonogiri yang terdiri dari 25 kecamatan yaitu:
a. Kecamatan Baturetno
b. Kecamatan Batuwarno
c. Kecamatan Bulukerto
d. Kecamatan Eromoko
e. Kecamatan Girimarto
f. Kecamatan Giritontro
g. Kecamatan Giriwoyo
h. Kecamatan Jatipurno
i. Kecamatan Jatiroto
j. Kecamatan Jatisrono
k. Kecamatan Karangtengah
l. Kecamatan Kismantoro
m. Kecamatan Manyaran
n. Kecamatan Ngadirojo
o. Kecamatan Nguntoronadi
p. Kecamatan Paranggupito
q. Kecamatan Pracimantoro
r. Kecamatan Puhpelem
s. Kecamatan Purwantoro
t. Kecamatan Selogiri
u. Kecamatan Sidoharjo
v. Kecamatan Slogohimo
w. Kecamatan Tirtomoyo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
x. Kecamatan Wonogiri
y. Kecamatan Wuryantoro
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian merupakan waktu yang digunakan untuk melaksanakan
penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai bulan Juli
2012 dengan rincian kegiatan sebagai berikut:
NO KEGIATAN Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli
1 Pengajuan judul
2 Penyusunan proposal
dan perizinan
3 Pengumpulan data
4 Pengolahan data
5 Penyusunan laporan
Tabel 3.1 Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian
B. Rancangan/Desain Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian perlu dibuat suatu rancangan/desain
penelitian terlebih dahulu untuk memudahkan jalannya penelitian.
Rancangan/desain penelitian berupa metode yang digunakan dalam penelitian.
Menurut Sugiyono (2010) secara umum metode penelitian diartikan sebagai “cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu” (hlm.3)
sedangkan menurut Hasan (2002) metode penelitian adalah “tatacara bagaimana
suatu penelitian dilaksanakan” (hlm. 21). Nasir (1999) juga berpendapat bahwa
“metode penelitian memandu si peneliti tentang urut-urutan bagaimana penelitian
dilakukan” (hlm. 51). Dari pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk mendapatkan data dalam
penelitian.
Ada beberapa jenis metode yang dapat digunakan dalam melaksanakan
penelitian.
Menurut Sugiyono (2010) metode penelitian dapat dibedakan menjadi
“penelitian survey, expostfacto, eksperimen, naturalistik, policy research, action
research, evaluasi, sejarah, research and development” (hlm. 6).
Nasir (1999) mengelompokkan metode penelitian dalam lima kelompok
umum sebagai berikut:
a. Metode Sejarah
b. Metode Deskripsi/ Survei:
1) Metode survei;
2) Metode deskriptif berkesambungan;
3) Metode studi kasus;
4) Metode analisa pekerjaan dan aktivitas;
5) Metode studi komperatif;
6) Metode studi waktu dan gerakan.
c. Metode Eksperimental.
d. Metode Grounded Research.
e. Metode penelitian Tindakan. (hlm. 54)
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif dengan jenis penelitian metode survei.
C. Populasi dan Sampel
Dalam sebuah penelitian diperlukan subjek sebagai sumber data atau
informasi. Subjek dalam penelitian disebut populasi dan sampel.
1. Populasi
Menurut Arikunto (2006) bahwa “populasi adalah keseluruhan subyek
penelitian.” (hlm. 130). Menurut Sugiyono (2010) “populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas: obyek/ subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian
ditarik kesimpulannya” (hlm. 117) sedangkan menurut Nasir (1999) “populasi
adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
ditetapkan” (hlm. 325) dan menurut Singarimbun (1995) “populasi atau
universe ialah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan
diduga” (hlm. 152).
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa populasi
adalah keseluruhan subyek penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini mengambil populasi
seluruh anak yang diduga berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri.
2. Sampel
Arikunto (2006) berpendapat bahwa “Sampel adalah sebagian atau wakil
dari populasi yang diteliti” (hlm. 131) sedangkan menurut Sugiyono (2010)
“sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimilki oleh
populasi tersebut” (hlm. 118).
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sampel merupakan
bagian dari populasi. Dalam penelitian ini tidak menggunakan sampel karena
seluruh populasi dijadikan subyek penelitian tanpa kecamatan Purwantoro.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mendapatkan data yang
diperlukan dalam suatu penelitian dan akan mendukung suatu penelitian. Dalam
penelitian ini data dikumpulkan melalui kuesioner atau angket yang disebarkan di
tiap kecamatan sekabupaten Wonogiri.
1. Kuesioner atau angket
a. Pengertian kuesioner atau angket
Menurut Sugiyono (2010) kuesioner merupakan “teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya”
(hlm. 199).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Menurut Arikunto (2006) kuesioner adalah “sejumlah pertanyaan
tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden
dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui” (hlm.
151).
Menurut Hasan (2002) kuesioner atau angket adalah “sejumlah
pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh data dari responden, dalam
arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal lain yang diketahui” (hlm. 28).
Menurut Faisal (1981) angket adalah alat serta teknik pengumpulan
data yang:
1) mengandalkan informasi atau keterangan dari sumber data
responden, dan
2) data dikumpulkan melalui daftar pertanyaan tertulis (hlm. 4).
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa angket adalah
pengumpulan data dengan cara memberi pertanyaan tertulis kepada
responden.
b. Jenis-jenis kuesioner atau angket
Menurut Suharsimi Arikunto (2006) kuesioner dapat dibeda-
bedakan atas beberapa jenis, tergantung pada sudut pandangan:
1) Dipandang dari cara menjawab, maka ada:
a) Kesioner terbuka, yang memberi kesempatan kepada
responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri.
b) Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabannya
sehingga responden tinggal memilih.
2) Dipandang dari jawaban yang diberikan ada:
a) Kuesioner langsung, yaitu responden menjawab tentang
dirinya.
b) Kuesioner tidak langsung, yaitu responden menjawab
tentang orang lain.
3) Dipandang dari bentuknya maka ada:
a) Kuesioner pilihan ganda, yang dimaksud adalah sama
dengan kuesioner tertutup.
b) Kuesioner isian, yang dimaksud adalah kuesioner terbuka.
c) Check list. Sebuah daftar, dimana responden tinggal
membubuhkan tanda check (√) pada kolom yang sesuai.
d) Rating scale, (skala bertingkat), yaitu sebuah pernyataan
diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
tingkatan, misalnya mulai dari sangat setuju sampai ke
sangat tidak setuju (hlm. 152).
Menurut Winarno Surakhmad (1998):
1) Pada umumnya, ada dua bentuk angket:
a) Angket berstruktur. Sifatnya tegas, konkrit dan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang terbatas. Responden diminta
tidak lebih dari mencek atau mengisi skala-skala atau
lajur-lajur pertanyaan yang sudah tertentu.
b) Angket tak berstruktur. Disini diperlukan dari ressponden
sebuah jawaban yang lebih banyak membutuhkan cara
berfikir reflektif, dan karena itu biasanya memerlukan
jawaban yang panjang.
2) Bentuk-bentuk pertanyaan dalam angket:
a) Bentuk daftar cek. Pertanyaan diurai dalam bentuk daftar,
dan tugas responden hanyalah membubuhi tanda-tanda cek
sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penyelidik.
b) Bentuk benar-salah. Setiap pertanyaan yang diajukan dapat
dijawab benar atau salah (sering pula ditambah ragu-ragu).
c) Bentuk skala. Pertanyaan yang dirumuskan dalam sebuah
daftar diberi lajur-lajur jawaban yang tingkat-tingkat
kebenarannya ditetapkan oleh skala (alternatif) yang
menyertai pertanyaan itu.
d) Bentuk pilihan berganda. Sebuah pertanyaan disusul
dengan beberapa kemungkinan jawaban responden
diminta memilih satu dari sekian banyak jawaban.
e) Bentuk pengisian. Sebuah pertanyaan ditulis dalam kalimat
pertanyaan atau perumusan, dan satu atau beberapa kata
dihilangkan. Di tempat kosong inilah diharapkan
responden menulis jawabannya.
f) Bentuk penggenapan. Sebuah pertanyaan dalam kalimat
pertanyaan atau perumusan tidak diselesaikan, dan
responden diminta untuk menggenapi kalimat itu dengan
pendapatnya sendiri.
g) Bentuk terbuka. Pertanyaan dirumuskan lengkap.
Disediakan ruangan bagi responden untuk menjawabnya
dengan sesuka hati.
h) Bentuk situasi. Responden dihadapkan pada situasi-situasi
yang menghadapi masalah tertentu. Dengan mempelajari
situasi itu (baik hypotetik maupun aktual), responden
diminta memberi respons dalam bentuk analisa,
interpretasi atau keputusan terhadap situasi itu (hlm. 182-
186).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Menurut Nazir (1999) jenis pertanyaan dalam kuesioner ada dua,
yaitu:
1) Pertanyaan berstruktur.
Pertanyaan berstruktur adalah pertanyaan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga responden dibatasi dalam memberi
jawaban kepada beberapa alternatif saja ataupun kepada satu
jawaban saja .
2) Pertanyaan terbuka.
Pertanyaan terbuka atau pertanyaan tidak berstruktur adalah
pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa dan jawabannya dan
cara pengungkapannya dapat bermacam-macam. Kebaikan dari
pertanyaan terbuka adalah adanya kebebasan bagi responden
untuk menjawab (hlm. 250-253).
Menurut Singarimbun (1995) jenis pertanyaan dalam kuesioner:
1) Pertanyaan tertutup. Kemungkinan jawabannya sudah
ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberi
kesempatan memberikan jawaban lain.
2) Pertanyaan terbuka. Kemungkinan jawabannya tidak
ditentukan terlebih dahulu dan responden bebas memberikan
jawaban.
3) Kombinasi tertutup dan terbuka. Jawabannya sudah ditentukan
tetapi kemudian disusul dengan pertanyaan terbuka.
4) Pertanyaan semi terbuka. Pada pertanyaan semi terbuka,
jawabannya sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan
tambahan jawaban (hlm. 177-178).
c. Isi kuesioner atau angket
Menurut Nazir (1999) secara umum isi dari kuesioner dapat
berupa:
1) Pertanyaan tentang fakta.
Isi dari kuesioner berisi pertanyaan tentang fakta-fakta yang
dianggap dikuasai oleh responden. Fakta-fakta tersebut, bisa
saja berhubungan dengan responden, dengan suatu keadaan
ataupun dengan orang-orang yang dikenal oleh responden
sendiri.
2) Pertanyaan tentang pendapat (opinian).
Pertanyaan mengenai pendapat secara relatif lebih sukar
dijawab oleh responden dibandingkan dengan pertanyaan
tentang fakta, tidak berapa memerlukan pikiran bagi
responden. Tidak demikian halnya jika pertanyaan tersebut
adalah mengenai pendapat, baik tentang suatu keadaan atau
suatu situasi. Jawaban pertanyaan tentang pendapat pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
umumnya, bersifat laten dan baru muncul jika ditanyakan. Juga
pertanyaan mengenai pendapat banyak sekali seginya,
menyangkut masalah moral, kebudayaan, harga diri, dan
sebagainya. Disamping itu, pendapat tentang sesuatu
mempunyai intensitas yang berbeda. Pertanyaan mengenai
pendapat juga sangat sensitif sifatnya.
3) Pertanyaan tentang persepsi diri.
Pertanyaan dalam kuesioner dapat juga mengenai cara
responden menilai sesuatu tentang perilakunya sendiri dalam
hubungannya dengan orang lain atau lingkungan (hlm. 246-
248).
Menurut Singarimbun (1995) isi pertanyaan dalam kuesioner:
1) Pertanyaan tentang fakta.
2) Pertanyaan tentang pendapat sikap.
3) Pertanyaan tentang informasi.
4) Pertanyaan tentang persepsi-diri (hlm. 176-177).
d. Keuntungan dan kelemahan kuesioner atau angket
Menurut Suharsimi Arikunto (2006):
1) Keuntungan kuesioner
a) Tidak memerlukan hadirnya peneliti.
b) Dapat dibagikan secara serentak kepada banyak responden.
c) Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya
masing-masing dan menurut waktu senggang responden.
d) Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur dan
tidak malu-malu menjawab.
e) Dapat dibuat terstandar sehingga bagi semua responden
dapat diberi pertanyaan yang benar-benar sama.
2) Kelemahan kuesioner
a) Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada
pertanyaan yang terlewati tidak terjawab, padahal sukar
diulang untuk diberikan kembali kepadanya.
b) Sering sukar dicari validitasnya.
c) Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden
dengan sengaja memberikan jawaban yang tidak betul atau
tidak jujur.
d) Sering tidak kembali, terutama jika dikirim lewat pos.
Menurut penelitian, angket yang dikirim lewat pos angka
pengembaliannya sangat rendah, hanya sekitar 20%
(Anderson).
e) Waktu pengembaliannya tidak bersama-sama, bahkan
kadang-kadang ada yang terlalu lama sehingga terlambat
(hlm. 152-153).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Dalam penelitian ini menggunakan jenis angket terbuka dengan bentuk
pertanyaan isian dengan isi pertanyaan berupa fakta yang berhubungan dengan
kondisi responden. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan angket ke 25
kecamatan di kabupaten Wonogiri. Angket berjumlah 856 buah, yang masing-
masing disebar 850 angket ke 850 SD/MI di Wonogiri dan 6 angket ke 6 SLB di
Wonogiri. Angket disebarkan ke masing-masing sekolah dengan bantuan Dinas
Pendidikan Kabupaten Wonogiri, yang kemudian menyerahkan angket kepada
UPTD Pendidikan masing-masing kecamatan di Wonogiri untuk diberikan kepada
tiap-tiap sekolah di kecamatan. Angket ditujukan kepada sekolah untuk diisi oleh
pihak sekolah (kepala sekolah/guru) dan diisi dengan informasi sesuai dengan
keadaan di sekolah tersebut. Angket berisikan data guru, jumlah siswa, dan
rincian tentang siswa berkebutuhan khusus di sekolah tersebut jika ada. Setelah
angket diisi oleh pihak sekolah selanjutnya dikembalikan lagi ke UPTD
Pendidikan masing-masing kecamatan kemudian diserahkan kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten Wonogiri untuk selanjutnya diserahkan kepada peneliti.
E. Analisis Data
Data yang terkumpul terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif
akan disajikan secara kualtitatif, sedangkan data kuantatif akan diolah dengan
teknik statistik deskriptif sederhana.
Menurut Sugiyono (2010) statistik deskriptif adalah “statistik yang digunakan
untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data
yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan
yang berlaku untuk umum atau generalisasi” (hlm. 207-208).
Teknik analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini menggunakan
perhitungan statistik sederhana. Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk
frekuensi dan persentase untuk memberikan gambaran mengenai distribusi subjek
menurut kategori-kategori tertentu. Adapun yang akan dijadikan kategori dalam
penyusunan data ini antara lain: prevalensi anak berkebutuhan khusus, klasifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainannya, klasifikasi anak
berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya, prosentase anak berkebutuhan khusus
di tiap kecamatan, dan jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani
pendidikannya. Proses analisis data diolah dengan berbagai tahapan sebagai
berikut:
1. Persiapan
Pada tahap ini kegiatan yang dilaksanakan adalalah mengecek angket yang
telah dikembalikan dari tiap kecamatan.
2. Tabulasi
Pada tahap tabulasi kegiatan yang dilaksanakan antara lain:
a. Menghitung jumlah siswa dari setiap sekolah.
b. Menghitung data perkecamatan yang terdiri dari nama sekolah, jumlah
siswa, dan data anak berkebutuhan khusus.
c. Menghitung data jumlah sekolah, jumlah siswa, dan data anak
berkebutuhan khusus sekabupaten.
3. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian
Pada tahap ini, menilai masing-masing item dalam tabel menggunakan
persentase dengan rumus sebagai berikut:
P = N
f x 100%
Keterangan :
P : persentase
f : frekuensi
N : jumlah seluruh individu
100% : bilangan tetap (sudijono, 2000: 40-41)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonogiri pada tanggal 5 Juni
sampai 4 Juli 2012. Penelitian ini mengangkat judul ” Prevalensi Anak
Berkebutuhan Khusus Di Kabupaten Wonogiri Tahun 2012”, dengan tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui: Prevalensi anak berkebutuhan khusus di
Kabupaten Wonogiri tahun 2012; Klasifikasi anak berkebutuhan khusus
berdasarkan kelainanannya; Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan
umurnya; Prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan dan Jumlah
anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya.
Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Wonogiri memiliki luas wilayah 182.236,02
Hektar atau 5,59% luas wilayah Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak
antara 7032’ dan 8015’ Lintang Selatan (LS) dan antara 110041’ dan 111018’
Bujur Timur (BT). Kondisi topografi yang sebagian besar tanahnya berbukit
berupa pegunungan kapur, tidak rata dengan kemiringan rata-rata 300, ketinggian
tanah cukup bervariasi antar wilayah kecamatan yaitu mulai dari 106 meter
sampai dengan lebih dari 600 meter dpl (di atas permukaan laut). Kabupaten
Wonogiri memiliki batas wilayah yaitu batas sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur,
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur dan
Samudra Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Secara administrasi Kabupaten Wonogiri terbagi atas 25
Kecamatan. Berikut daftar kecamatan yang terdapat di kabupaten Wonogiri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Tabel 4.1 Daftar nama kecamatan di kabupaten Wonogiri
Sumber: Data Penelitian 2012
Kabupaten Wonogiri yang terdiri dari 25 kecamatan ini memiliki 251 Desa
dan 43 Kelurahan serta 2.306 Dusun/Lingkungan. Berdasarkan hasil registrasi
penduduk pada tahun 2007 jumlah penduduk Wonogiri sebanyak 1.181.114 jiwa
sedangkan sampai akhir bulan Desember tahun 2008 sebanyak 1.212.677 jiwa,
atau mengalami tingkat pertumbuhan sebesar 0,03%. Sedangkan proporsi jumlah
penduduk terbanyak berdasarkan pada kelompok umur adalah umur 26-60 tahun
yaitu sebesar 51,28%, berdasarkan tingkat pendidikan terbanyak adalah tamat
Sekolah Dasar/Sederajat yaitu sebesar 38,02%.
No Nama Kecamatan
1 Baturetno
2 Batuwarno
3 Bulukerto
4 Eromoko
5 Girimarto
6 Giritontro
7 Giriwoyo
8 Jatipurno
9 Jatiroto
10 Jatisrono
11 Karangtengah
12 Kismantoro
13 Manyaran
14 Ngadirojo
15 Nguntoronadi
16 Paranggupito
17 Pracimantoro
18 Puhpelem
19 Purwantoro
20 Selogiri
21 Sidoarjo
22 Slogohimo
23 Tirtomoyo
24 Wonogiri
25 Wuryantoro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
B. Hasil Penelitian
Data yang telah terkumpul diolah dengan terlebih dahulu melakukan
rekapitulasi data yang telah terkumpul berdasarkan kecamatan. Berdasarkan data
hasil penelitian yang diperoleh, angket yang disebar sebanyak 856 buah kepada
sekolah baik SD/MI/SLB di Wonogiri, dapat terkumpul sebanyak 676 buah.
Rincian dari masing-masing angket yang terkumpul adalah 671 angket dari
SD/MI di kabupaten Wonogiri dan 5 angket dari SLB di kabupaten Wonogiri.
Sehingga angket yang tidak kembali berjumlah 180 buah.
Terdapat 1 kecamatan yang tidak mengembalikan angket kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten Wonogiri dan juga kepada peneliti yaitu kecamatan
Purwantoro. Sehingga, angket yang terkumpul hanya dari 24 kecamatan di
kabupaten Wonogiri. Itupun, tidak semua sekolah pada 24 kecamatan dapat
mengembalikan data secara penuh kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri
ataupun kepada peneliti. Beberapa angket yang tidak kembali dikarenakan lokasi
yang jauh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri sehingga pada beberapa
sekolah yang tidak mengembalikan angket. Termasuk kecamatan yang telah
disebutkan yaitu kecamatan Purwantoro yang memiliki jarak tempuh yang jauh
dari Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri, sehingga pada batas tenggang waktu
pengumpulan instrumen tidak dapat mengumpulkan pada Dinas Pendidikan atau
pada peneliti.
Data yang diperoleh dan data yang diolah melalui tahapan rekapitulasi
dalam penelitian ini antara lain adalah,
a. Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan khusus di Kabupaten
Wonogiri tahun 2012
Sebelum dipaparkan prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di kabupaten
Wonogiri yang sudah bersekolah, terlebih dahulu akan dipaparkan jumlah siswa
secara keseluruhan dari SD/MI/SLB di kabupaten Wonogiri adalah sebagai
berikut,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Prevalensi siswa SD/MI/SLB di Kabupaten
Wonogiri tahun 2012
No Siswa yang bersekolah
SD/ MI/ SLB
Frekuensi
(F)
Presentase
(P)
1 Laki-laki 35.563 51,88 %
2 Perempuan 32.987 48,12 %
Jumlah (N) 68.547 100 %
Sumber : Data penelitian 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah siswa SD/MI/SLB
sesuai dengan data yang telah terkumpul tanpa Kecamatan Purwantoro adalah
68.547, dengan jumlah siswa laki-laki sebanyak 35.563 anak atau 51,88% dan
siswa perempuan sebanyak 32.987 anak atau 48,12%. Untuk lebih memudahkan
dalam pembacaan tabel maka akan disajikan akan disajikan dalam bentuk diagram
sebagai berikut:
Grafik 4.1 Prosentase Siswa di Kabupaten Wonogiri
Dari diagram diatas dapat diketahui bahwa prosentase paling banyak dari
siswa bersekolah di SD/ MI/ SLB adalah siswa laki-laki dengan prosentase
51,88%.
46.00%
47.00%
48.00%
49.00%
50.00%
51.00%
52.00%51.88%
48.12%
Prevalensi Siswa SD/SLB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Selanjutnya, untuk dapat mengetahui jumlah Anak Berkebutuhan Khusus di
kabupaten Wonogiri yang sudah bersekolah berikut akan dipaparkan rincian
datanya.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan khusus di
Kabupaten Wonogiri tahun 2012
No ABK yang bersekolah Frekuensi (F) Presentase (P)
1 Laki-laki 1.244 67,31 %
2 Perempuan 606 32,69 %
Jumlah (N) 1.850 100 %
Sumber : Data Penelitian 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) yang bersekolah di Kabupaten Wonogiri tanpa Kecamatan
Purwantoro adalah 1.850 anak dengan jumlah anak laki-laki sebanyak 1.244 anak
atau 67,31% dan anak perempuan sebanyak 606 anak atau 32,69%. Untuk lebih
memudahkan dalam membaca tebel maka akan disajikan dalam bentuk diagram
sebagai berikut:
Grafik 4.2 Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Wonogiri
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%67.31%
32.69%
Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa prosentase anak
berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah terbanyak ialah siswa ABK laki-laki
dengan prosentase 67,31%.
b. Distribusi Frekuensi klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan
kelainanannya
Berikut akan dipaparkan klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
berdasarkan kelainannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan
kelainanannya
Sumber : Data Penelitian 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah anak berkebutuhan
khusus di Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro berjumlah 1860 dengan jumlah
kebutuhan khusus paling banyak adalah kesulitan belajar sebanyak 1.335 anak
atau 71,77% dan kebutuhan khusus paling sedikit adalah tunanetra sebanyak 11
anak atau 0,61%. Untuk memudahkan dalam pembacaan tabel maka akan
disajikan diagram sebagai berikut:
No Jenis Berkebutuhan
Khusus
Frekuensi
(F)
Presentase
(P)
1 Tunanetra 11 0,61 %
2 Tunarungu 99 5,32 %
3 Tunagrahita 174 9,35 %
4 Tunadaksa 38 2,04 %
5 Tunalaras 158 8,49 %
6 Kesulitan belajar 1.335 71,77 %
7 Tunaganda 13 0,70 %
8 Berbakat 32 1,72 %
Jumlah (N) 1860 100%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Grafik 4.3 Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Kelainannya
Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa jenis kelainan yang paling
banyak dialami oleh anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri adalah
kesulitan belajar dengan prosentase 71,77%.
c. Distribusi Frekuensi Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umur
Berikut akan dipaparkan Klasifikasi anak berkebutuhan khusus
berdasarkan umur adalah sebagai berikut:
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
0.61%5.32%
9.35%
2.04%
8.49%
71.77%
0.70% 1.72%
berdasarkan kelainan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Klasifikasi anak berkebutuhan khusus
berdasarkan umur.
No Umur ( tahun) Frekuensi (F) Presentase (P)
1 7 220 11,82 %
2 8 267 14,35 %
3 9 297 15,97 %
4 10 319 17,15 %
5 11 322 17,31 %
6 12 233 12,52 %
7 13 108 5,80 %
8 14 54 2,89 %
9 15 21 1,13 %
10 16 10 0,59 %
11 17 5 0,26 %
12 18 4 0,21 %
Jumlah (N) 1860 100 %
Sumber : Data Penelitian 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Anak Berkebutuhan
Khusus yang diklasiifikasikan adalah Anak Berkebutuhan Khusus yang berusia
7 – 18 tahun di kabupaten Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro, dan anak
berkebutuhan khusus dengan prosentase paling banyak adalah ABK dengan
usia 11 tahun sebanyak 322 anak atau 17,31% dan paling sedikit adalah usia 18
tahun sebanyak 4 anak atau 0,21%. Untuk memudahkan dalam pembacaan
tabel maka akan disajikan dalam bentuk diagram sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Grafik 4.4 Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Umur
Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui prosentase terbanyak anak yang
menyandang kebutuhan khusus adalah usia 11 tahun yaitu sebesar 17,15%.
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
14.00%
16.00%
18.00%
7th 8th 9th 10th 11th 12th 13th 14th 15th 16th 17th 18th
11
.82
%
14
.35
%
15
.97
% 17
.15
%
17
.31
%
12
.52
%
5.8
0%
2.8
9%
1.1
3%
0.5
9%
0.2
6%
0.2
1%
Berdasarkan Umur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
d. Distribusi Frekuensi Prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Anak Berkebutuhan Khusus di Tiap Kecamatan
No Nama Kecamatan Frekuensi
(F)
Presentase
(P)
1 Baturetno 18 0,97 %
2 Batuwarno 97 5,22 %
3 Bulukerto 106 5,70 %
4 Eromoko 109 5,86 %
5 Girimarto 136 7,31 %
6 Giritontro 45 2,42 %
7 Giriwoyo 7 0,38 %
8 Jatipurno 34 1,83 %
9 Jatiroto 38 2,04 %
10 Jatisrono 162 8,71 %
11 Karangtengah 22 1,18 %
12 Kismantoro 45 2,41 %
13 Manyaran 13 0,69 %
14 Ngadirojo 106 5,7 %
15 Nguntoronadi 15 0,81 %
16 Paranggupito 15 0,8 %
17 Pracimantoro 84 4,52 %
18 Puhpelem 8 0,44 %
19 Purwantoro - -
20 Selogiri 111 5,97 %
21 Sidoarjo 92 4,94 %
22 Slogohimo 218 11,72 %
23 Tirtomoyo 50 2,68 %
24 Wonogiri 314 16,89 %
25 Wuryantoro 15 0,81 %
Jumlah (N) 1860 100 %
Sumber : Data Penelitian 2012
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa dari 25 kecamatan tanpa
Kecamatan Purwantoro terdapat 1860 ABK dengan jumlah anak berkebutuhan
khusus paling banyak terdapat di Kecamatan Wonogiri sebanyak 314 atau
16,89 % dan jumlah ABK paling sedikit terletak pada Kecamatan Giriwoyo
dengan jumlah anak berkebutuhan khusus sebanyak 7 anak atau 0,38%.. untuk
lebih memudahkan dalam pembacaan tabel maka akan disajikan dalam bentuk
diagram sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Grafik 4.5 Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus di Tiap Kecamatan
Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa prosentase anak
berkebutuhan khusus paling banyak terdapat di kecamatan Wonogiri dengan
jumlah prosentase adalah 16,89%.
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
14.00%
16.00%
18.00%
Bat
ure
tno
Bat
uw
arn
o
Bu
luke
rto
Ero
mo
ko
Gir
imar
to
Gir
ito
ntr
o
Gir
iwo
yo
Jati
pu
rno
Jati
roto
Jati
sro
no
Kar
angt
enga
h
Kis
man
toro
Man
yara
n
Nga
dir
ojo
Ngu
nto
ron
adi
Par
angg
up
ito
Pra
cim
anto
ro
Pu
hp
elem
Pu
rwan
toro
Selo
giri
Sid
oar
jo
Slo
goh
imo
Tirt
om
oyo
Wo
no
giri
Wu
ryan
toro
0.9
7%
5.2
2%
5.7
0%
5.8
6%
7.3
1%
2.4
2%
0.3
8%
1.8
3%
2.0
4%
8.7
1%
1.1
8% 2
.41
%
0.6
9%
5.7
0%
0.8
1%
0.8
0%
4.5
2%
0.4
4%
5.9
7%
4.9
4%
11
.72
%
2.6
8%
16
.89
%
0.8
1%
Prosentase ABK di Tiap Kecamatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
e. Distribusi Frekuensi Jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani
pendidikannya
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Anak Berkebutuhan Khusus yang Sudah
Terlayani Pendidikannya dan yang Belum Terlayani Pendidikannya
No ABK Frekuensi (F) Presentase (P)
1 Terlayani Pendidikan 1.850 99,47%
2 Belum Terlayani Pendidikan 10 0,53%
Jumlah (N) 1.860 100 %
Sumber : Data Penelitian 2012
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui jumlah anak berkebutuhan khusus
yang sudah terlayani pendidikannya di kabupaten Wonogiri tanpa Kecamatan
Purwantoro sebanyak 1850 anak atau 99,47 % sedangkan anak berkebutuhan
khusus yang belum terlayani pendidikannya sebanyak 10 anak atau 0,53 %. Untuk
memudahkan dalam pembacaan tabel maka akan disajikan dalam bentuk diagram
sebagai berikut:
Grafik 4.6 Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus yang Sudah Terlayani
Pendidikannya dan yang Belum Terlayani Pendidikannya
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
100.00%
Category 1 Category 3
99.47%
0.53%
Yang Sudah dan Belum Terlayani Pendidikannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Dari diagram tersebut dapat diketahui prosentase anak berkebutuhan khusus
yang sudah terlayani pendidikannya adalah sebesar 99,47% dan anak
berkebutuhan khusus yang belum terlayani sebesar 0,53%.
C. Pembahasan
Pada bagian pembehasan kali ini akan dipaparkan mengenai Prevalensi anak
berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri tahun 2012, Klasifikasi anak
berkebutuhan khusus berdasarkan kelainanannya, Klasifikasi anak berkebutuhan
khusus berdasarkan umurnya, Prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap
kecamatan, Jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani
pendidikannya
1. Prevalensi anak berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri tahun 2012
Kadri (2010) menyebutkan bahwa prevalensi adalah jumlah keseluruhan
orang yang menggambarkan kondisi tertentu yang menimpa sekelompok
penduduk tertentu (point prevalence), atau pada periode tertentu (period
prevalence) tanpa melihat kapan kondisi itu mulai dibagi dengan jumlah
penduduk yang mempunyai resiko tertimpa penyakit pada waktu titik tertentu atau
periode tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas, dalam penelitian ini dijelaskan bahwa
prevalensi merupakan jumlah keseleruhan Anak Berkebutuhan Khusus di
kabupaten Wonogiri. Sebelum dijelaskan mengenai jumlah Anak berkebutuhan
khusus di Wonogiri akan dijelaskan jumlah siswa SD/MI dan SLB di kabupaten
Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro secara keseluruhan yaitu berjumlah
68.547 siswa, dengan siswa laki-laki berjumlah 35.563 atau sekitar 51,88 % dan
siswa perempuan sebesar 32.987 atau sekitar 48,12 %.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Sedangkan Jumlah keseluruhan Anak Berkebutuhan Khusus di kabupaten
Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti adalah sebanyak 1.860 ABK atau sekitar 2,71 % dari siswa
SD/MI/SLB di kabupaten Wonogiri yang berjumah 68.547 siswa. Secara lebih
rinci anak berkebutuhan khusus laki-laki sebesar 1.244 atau sekitar 67,31 % dan
perempuan berjumlah 606 atau sekitar 32,69 %.
Hasil penelitian di atas yang mejelaskan bahwa jumlah anak berkebutuhan
khusus di kabupaten wonogiri 2,71 % dari 68.547 siswa. Prevalensi anak
berkebutuhan khusus dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
siswa normal, juga dijelaskan oleh Tina Tuslina (2012) bahwa diperkirakan antara
3-7 % atau sekitar 5,5-10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang
ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan khusus.
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/20/perkembangan-pendidikan-anak-
berkebutuhan-khusus-di-indonesia/ ). Data tersebut juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Esti Wardani (2012) yang mengadakan penelitian di
kabupaten Sragen, Jawa Tengah dengan melakukan pendataan terhadap anak
berkebutuhan khusus diperoleh data bahwa dari 14.619 jiwa di kabupaten sragen
terdapat Anak berkebutuhan khususn yang mencapai jumlah sebesar 0,44%.
2. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainanannya
Anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis,
seperti yang dikemukakan oleh Dembo dikutip oleh Abdurrachman dan
Sudjadi S (1994) klasifikasi anak berkebutuhan khusus adalah seperti berikut
ini:
a. Tunagrahita (mental retardation);
b. Berkesulitan belajar (learning disabilities);
c. Gangguan perilaku atau gangguan emosi (behavior disorders);
d. Gangguan bicara dan bahasa (speech and language disorder);
e. Kerusakan pendengaran (hearing impairments);
f. Kerusakan penglihatan (visual impairments);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
g. Kerusakan fisik dan gangguan kesehatan (physical and other health
impairments);
h. Cacat berat atau cacat ganda (severe and multiple handicaps); dan
i. Berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat (gifted and talented) (hlm.
11).
Sesuai dengan pendapat di atas, pada penelitian ini penelti membatasi
pengklasifikasian anak berkebutuhan khusus yang terdiri dari Tunanetra,
Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Kesulitan belajar, Berbakat dan
Tunaganda.
Berdasarkan data penelitian ini, didapatkan hasil bahwa anak berkebutuhan
khusus berjumlah 1.860 siswa. Secara rinci dapat dipaparkan bahwa Tunanetra
sebanyak 11 dengan prosentase 0,61 % Tunanetra sebanyak 11 dengan prosentase
0,61 %, Tunarungu sebanyak 99 dengan prosentase 5,32 %, Tunagrahita
sebanyak 174 dengan prosentase 9,35 %, Tunadaksa sebanyak 38 dengan
prosentase 2,04 %, Tunalaras sebanyak 158 dengan prosentase 8,49 %, Kesulitan
belajar sebanyak 1.335 dengan prosentase 71,77 %, Tunaganda sebanyak 13
dengan prosentase 0,70 %, Berbakat sebanyak 32 dengan prosentase 1,72 %.
Berdasarkan data di atas didapatkan hasil bahwa jumlah kebutuhan khusus
paling banyak adalah adalah jenis kebutuhan khusus Kesulitan Belajar yang
mencapai jumlah sebesar 71,77 % dari 1.860 siswa berkebutuhan khusus yang
terdapat di kabupaten Wonogiri pada tahu 2012.
3. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya
Usia atau umur anak berkebutuhan khusus dalam penelitian ini
dikhususkan pada usia 7-18 tahun. Hal ini didasarkan pada kriteria WHO
mengenai batasan seseorang dikatakan sebagai anak sampai pada usia 18 tahun.
Selain itu juga dikarenakan penelitian ini dibatasi pada jenjang pedidikan SD/MI
dan SLB.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil berupa data
yang menjelaskan bahwa usia 7 tahun sebanyak 220 dengan prosentase 11,82 %,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
8 tahun sebanyak 267dengan prosentase 14,35 %, 9 tahun sebanyak 297 dengan
prosentase 15,97 %, 10 tahun sebanyak 319 dengan prosentase 17,15 %, 11 tahun
sebanyak 322 dengan prosentase 17,31 %, 14 tahun sebanyak 54 dengan
prosentase 12,52 %, 13 tahun sebanyak 108 dengan prosentase 5,80 %, 14 tahun
sebanyak 54 dengan prosentase 2.89, 15 tahun sebanyak 21 dengan prosentase
1,13 %, 16 tahun sebanyak 10 dengan prosentase 0,59 % , 17 tahun sebanyak 5
dengan prosentase 0,26 %, 18 tahun sebanyak 4 dengan prosentase 0,21 %
Berdasarkan data di atas dapat diperoleh data bahwa anak berkebutuhan
khusus paling banyak dialami anak berusia 11 tahun dengan jumlah 322 siswa
atau sekitar 17,31 % dari 1.860 siswa SD/MI/SLB di kabupaten Wonogiri.
Sedangkan usia paling sedikit yang mengalami berkebutuhan khusus adalah usia
18 tahun sebanyak 4 dengan prosentase 0,21 %.
4. Prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan
Kabupaten Wonogiri terdiri dari 25 kecamatan, dan di masing-masing
kecamatan terdapat anak berkebutuhan khusus. Namun, berdasarkan hasil
pendataan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya dapat terdata 24 kecamatan
saja. 1 kecamatan yaitu kecamatan Purwantoro tidak dapat dilaporkan datanya
dikarenakan pada usia anak berkebutuhan khusus yang diserahkan tidak sesuai
dengan usia yang diidentifikasi oleh peneliti.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh data jumlah anak
berkebutuhan khusus tiap kecamatan, secara rinci adalah Kecamatan Baturetno
terdapat 18 anak atau 0,97%. Kecamatan Batuwarno terdapat 97 anak atau 5,22%.
Kecamatan Bulukerto terdapat 106 anak atau 5,70% . Kecamatan Eromoko
terdapat 109 anak atau 5,86%. Kecamatan Girimarto terdapat 136 anak atau
7,31%. Kecamatan Giritontro terdapat 45 anak atau 2,42%. Kecamatan Giriwoyo
terdapat 7 anak atau 0,38%. Kecamatan Jatipurno terdapat 34 anak atau 1,83%.
Kecamatan Jatiroto terdapat 38 anak atau 2,04%. Kecamatan Jatisrono terdapat
162 anak atau 8,71%. Kecamatan Karangtengah terdapat 22 anak atau 1,18%.
Kecamatan Kismantoro terdapat 45 anak atau 2,41%. Kecamatan Manyaran
terdapat 13 anak atau 0,69%. Kecamatan Ngadirojo terdapat 106 anak atau 5,7%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Kecamatan Nguntoronadi terdapat 15 anak atau 0,81%. Kecamatan Paranggupito
terdapat 15 anak atau 0,8%. Kecamatan Pracimantoro terdapat 84 anak atau
4,52%. Kecamatan Puhpelem terdapat 8 anak atau 0,44%. Kecamatan Selogiri
111 anak atau 5,97%. Kecamatan Sidoarjo terdapat 92 anak atau 4,94%.
Kecamatan Slogohimo terdapat 218 anak atau 11,72%. Kecamatan Tirtomoyo
terdapat 50 anak atau 2,68%. Kecamatan Wonogiri terdapat 314 anak atau
16,89%. Kecamatan Wuryantoro terdapat 15 anak atau 0,81%.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui jumlah kecamatan yang memiliki
jumlah anak berkebutuhan khusus paling banyak pada jenjang pendidikan SD/MI
dan SLB adalah kecamatan Wonogiri sebanyak 314 anak berkebutuhan khusus
atau sekitar 16,89 % dari 1860 anak berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri.
Sedangkan kecamatan yang memiliki anak berkebutuhan paling sedikit menurut
data penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pada kecamatan
Griwoyo dengan jumlah anak berkebutuhan khusus 7 siswa atau sekitar 0,38 %
dari 1860 siswa berkebutuhan khusus secara keseluruhan di kabupaten Wonogiri.
Data yang didapat di atas didapatkan berdasarkan perolehan angket yang
dikembalikan oleh masing-masing kecamatan kepada peneliti atau kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten Wonogiri.
5. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya
Anak Berkebutuhan Khusus pada usia 7-18 tahun di Kabupaten Wonogiri
tanpa Kecamatan Purwantoro berjumlah 1.860 siswa. Sedangkan anak
berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri sesuai dengan perolehan angket
dapat diketahui bahwa yang sudah terlayani pendidikannya sebesar 1.850 siswa
atau sekitar 99,47 % dari 1860 anak berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri.
Sedangkan anak yang belum terlayani pendidikannya sebanyak 10 anak atau
sekitar 0,53 % dari 1860 anak berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri.
Data yang diperoleh di atas berdasarkan pada hasil perolehan angket yang
dikembalikan oleh tiap kecamatan kepada peneliti atau kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan pada tujuan penelitian ini dan setelah dilakukan penelitian,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari data yang terkumpul dapat diketahui bahwa prevalensi anak
berkebutuhan khusus dengan rentang usia 7-18 tahun di Kabupaten Wonogiri
tanpa Kecamatan Purwantoro sebanyak 1.860 anak atau 2,71% dari 68.547
populasi anak dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 1.252 atau 67,31% dan
jenis kelamin perempuan sebanyak 608 atau 32,69%.
2. Bardasarkan data yang telah diidentifikasi menunjukkan bahwa di Kabupaten
Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro terdapat anak berkebutuhan khusus
dengan jenis kelainan tunanetra sebesar 11 anak atau 0,61%, tunarungu
sebesar 99 anak atau 5,32%, tunagrahita sebesar 174 anak atau 9,35%,
tunadaksa sebesar 38 anak atau 2,04%, tunalaras sebesar 158 anak atau
8,49%, kesulitan belajar sebesar 1.335 anak atau 71,77%, berbakat sebesar 32
anak atau 1,72%, dan tunaganda sebesar 13 anak atau 0,70%.
3. Di Kabupaten Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro terdapat anak
berkebutuhan khusus dengan usia 7 tahun sebanyak 220 anak atau 11,82%, 8
tahun sebanyak 267 atau 14,35%, 9 tahun sebanyak 297 anak atau 15,97%,
10 tahun sebanyak 319 anak 17,15%, 11 tahun sebanyak 322 anak atau
17,31%, 12 tahun sebanyak 233 anak atau 12,52%, 13 tahun sebanyak 108
anak 5,80%, 14 tahun sebanyak 54 anak atau 2,89%, 15 tahun sebanyak 21
anak atau 1,13%, 16 tahun sebanyak 10 anak atau 0,59%, 17 tahun sebanyak
5 anak atau 0,26%, 18 tahun sebanyak 4 anak atau 0,21%.
4. Setiap kecamatan di Kabupaten Wonogiri tanpa Kecamatan Purwantoro
memiliki prosentase anak berkebutuhan khusus yang berbeda-beda.
Kecamatan Baturetno terdapat 18 anak atau 0,97%. Kecamatan Batuwarno
terdapat 97 anak atau 5,22%. Kecamatan Bulukerto terdapat 106 anak atau
5,70% . Kecamatan Eromoko terdapat 109 anak atau 5,86%. Kecamatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Girimarto terdapat 136 anak atau 7,31%. Kecamatan Giritontro terdapat 45
anak atau 2,42%. Kecamatan Giriwoyo terdapat 7 anak atau 0,38%.
Kecamatan Jatipurno terdapat 34 anak atau 1,83%. Kecamatan Jatiroto
terdapat 38 anak atau 2,04%. Kecamatan Jatisrono terdapat 162 anak atau
8,71%. Kecamatan Karangtengah terdapat 22 anak atau 1,18%. Kecamatan
Kismantoro terdapat 45 anak atau 2,41%. Kecamatan Manyaran terdapat 13
anak atau 0,69%. Kecamatan Ngadirojo terdapat 106 anak atau 5,7%.
Kecamatan Nguntoronadi terdapat 15 anak atau 0,81%. Kecamatan
Paranggupito terdapat 15 anak atau 0,8%. Kecamatan Pracimantoro terdapat
84 anak atau 4,52%. Kecamatan Puhpelem terdapat 8 anak atau 0,44%.
Kecamatan Selogiri 111 anak atau 5,97%. Kecamatan Sidoarjo terdapat 92
anak atau 4,94%. Kecamatan Slogohimo terdapat 218 anak atau 11,72%.
Kecamatan Tirtomoyo terdapat 50 anak atau 2,68%. Kecamatan Wonogiri
terdapat 314 anak atau 16,89%. Kecamatan Wuryantoro terdapat 15 anak atau
0,81%.
5. Dari 1860 anak berkebutuhan khusus yang terdata terdapat 1850 anak
berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya sehingga anak
berkebutuhan khusus yang belum terlayani pendidikannya sebanyak 10 anak
atau 0,53%.
B. Implikasi
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang prevalensi dan
klasifikasi anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri.
Implikasi dari penelitian ini adalah:
1. Ditemukan banyak Anak Berkebutuhan Khusus di kabupaten Wonogiri baik
di SD maupun SLB, sehingga akses pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
ditambah,
2. Berdasarkan hasil penelitian, banyak Anak Berkebutuhan Khusus di
Kabupaten Wonogiri terutama jenis Kesulitan Belajar. Untuk dapat
menyimpulkan jenis kelainan secara tepat perlu diadakan Identisifikasi dan
Asesmen,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
3. Untuk jenjang pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus diusahakan
menyesuaikan dengan tingkat usianya. Sehingga tidak ada ABK yang tinggal
kelas sehingga usianya sama dengan anak pada umumnya,
4. Setiap kecamatan di kabupaten Wonogiri memiliki prosentase ABK yang
berbeda-beda, sehingga diharapkan setiap kecamatan dapat meningkatan
layanan pendidikan bagi ABK,
5. Masyarakat di kabupaten Wonogiri diharapkan dapat memperhatikan
keberadaan ABK, sehingga semua ABK di kabupaten Wonogiri mendapatkan
layanan pendidikan.
C. Saran
1. Saran terhadap hasil penelitian
a. Pemerintah dapat menambah layanan pendidikan bagi ABK di kabupaten
Wonogiri
b. Pemerintah dan Masyarakat dapat bekerjasama dalam melakukan
Identfikasi dan Asesmen pada ABK untuk menentukan jens kelainan dan
memberikan layanan pendidikan dengan tepat,
c. Pemerintah membuat kebijakan bahwa ABK tidak ada yang tinggal kelas,
sehingga usianya dapat sesuai denjang pendidikannya,
d. Pemerintah bersama masyarakat meningkatkan akses layanan pendidikan
bagi ABK di kabupaten Wonogiri baik secara formal maupun non formal
e. Pemerintah dapat meningkatkan jumlah sekolah inklusi di kabupaten
Wonogiri agar setiap ABK dapat terlayani pendidikannya
2. Saran bagi peneliti selanjutnya
Untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti langsung ke masyarakat untuk
melengkapi data yang telah terkumpul pada penelitian ini.