Download - Dessy Krissyena - Presus Snnt
PRESENTASI KASUS
STRUMA NODUSA NON TOKSIK (SNNT)
Disusun Oleh :
Dessy Krissyena 1320221128
Pembimbing :
dr. Shofia Agung Priyanto, Sp.B, Msi.Med
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 16 Maret 2015 – 22 Mei 2015
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR1
KEPANITERAAN ILMU BEDAH
Presentasi Kasus
“Struma Nodusa Non-Toksik (SNNT)”
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Ambarawa
Disusun Oleh :
Dessy Krissyena 1320.221.128
Telah disetujui oleh Pembimbing
Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal
dr. Shofia Agung P, Sp.B, Msi.Med
Mengesahkan :
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Bedah
dr. Hery Unggul W, Sp.B
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nyalah penulis dapat
menyelesaikan laporan yang berjudul “Struma Nodusa Non-Toksik (SNNT)”. Laporan ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Ambarawa. Penulis
berterimakasih kepada yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Hery Unggul W, Sp.B atas bimbingan dan kesabarannya selama penulis menempuh pendidikan
di kepaniteraan klinik.
2. Shofia Agung P, Sp.B, Msi.Med atas kesabaran dan bimbingannya selama penulis menempuh
pendidikan di kepaniteraan klinik.
3. Para staf medis dan non-medis yang bertugas di Bagian Ilmu Bedah di RSUD Ambarawa atas
bantuannya untuk penulis.
4. Teman-teman seperjuangan di kepaniteraan klinik Ilmu Kandungan dan Kebidanan di RSUD
Ambarawa.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang dapat membangun laporan ini kedepannya sangat penulis harapkan demi perbaikan materi penulisan
dan menambah wawasan penulis.
Ambarawa, April 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB I LAPORAN KASUS....................................................................................5
BAB II STRUMA NODUSA NON TOKSIK .................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33
4
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Ny. YN
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Ambarawa
Tgl. Masuk RS : 13 April 2015
1. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal 13 April 2015
Keluhan Utama
Benjolan di leher depan kiri sejak 5 bulan yang lalu.
Keluhan Tambahan
Tidak ada keluhan tambahan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien wanita, berusia 32 tahun, datang ke Poli Bedah RSUD Ambarawa dengan keluhan adanya
benjolan yang muncul di leher depan sisi kirisejak 5 bulan yang lalu. Awalnya benjolan
dirasakan sebesar biji kacang hijau, tapi seiring berjalannya waktu, benjolan semakin membesar
hingga berukuran kelereng besar. Pasien tidak merasakan adanya nyeri di daerah leher. Tidak
ada keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada mengeluhkan sering
berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada penurunan berat badan.
5
Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan buang air besar, gangguan siklus menstruasi,
rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur. Pasien mengaku selalu menggunakan
garam beryodium dirumahnya. Pasien mengaku tidak pernah tinggal didaerah yang
penduduknya banyak menderita penyakit gondok.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi : Disangkal
Asma : Disangkal
Diabetes mellitus : Disangkal
Alergi : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami hal yang serupa dengan
pasien.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum/Kesadaran : sakit ringan/compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : Afebris
Kepala : Normocephale, rambut hitam dengan distribusi yang merata dan
tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, eksophtalmus -/-
Telinga : Bentuk normal, liang lapang, serumen (-), sekret (-).
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, deviasi septum (-), edema konka -/-
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T2 tenang.
Mulut : Bentuk normal, sianosis (-).
Leher : Lihat status lokalis
Thoraks
6
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kanan jantung pada sela iga IV linea parasternalis dekstra.
Batas kiri jantung pada sela iga V linea midklavikularis sinistra.
Batas atas jantung pada sela iga II linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler murni, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa
(-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru depan dan belakang
Auskultasi :Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi :Datar, benjolan (-)
Auskultasi :Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-), massa (-),
hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat , edema , tremor
Status Lokalis
Regio : Colli anterior sinistra
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi depan sinistra, berbatas tegas,
berukuran + 4 x 5 cm x 5 cm. Warna kulit pada benjolan sama
dengan warna kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke atas pada saat
menelan.
Palpasi : Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah digerakkan). Nyeri tekan (-).
Trakea berada di tengah. Pembesaran KGB (-).
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal pemeriksaan : 13 April 2015
7
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hemoglobin 13.5 12.5-15.5 g/dL
Leukosit 9.7 4-10
Eritrosit 4.72 3.8-5.4
Hematokrit 40.7 35-47
MCV 86.2 82-98
MCH 28.6 >=27
MCHC 33.2 32-36
RDW 12.8 10-16
Trombosit 341 150-400
PDW 12.9 10-18
MPV 7.3 7-11
Limfosit 2.5 1.0-4.5
Monosit 0.5 0.2-1.0
Granulosit 6.6 (H) 2-4
Limfosit% 26.1 25-40
Monosit% 5.5 2-8
Granulosit% 68.4 50-80
PCT 0.249 0.2-0.5
Golongan Darah A
SGOT 17 0-35
SGPT 19 0.35
Ureum 21.8 10-50
Kreatinin 0.39 (L) 0.45-0.75
HbsAg Non Reactive
TSH
T4
T3
8
EKG
4.Resume
Pasien wanita, 32 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya benjolan yang muncul di
leher depan sisi kirisejak 5 bulan yang lalu. Tidak ada nyeri tekan di daerah leher. Tidak ada
keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada mengeluhkan sering
berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada penurunan berat badan.
Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan nafsu makan, gangguan buang air besar,
gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur.
Pemeriksaan fisik
Status generalis : Tidak ditemukan kelainan
Status lokalis : Regio colli anterior sinistra
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi depan sinistra, berbatas tegas,
berukuran + 4 x 5 cm x 5 cm. Warna kulit pada benjolan sama
dengan warna kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke atas pada saat
menelan.
9
Palpasi : Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah digerakkan). Nyeri tekan (-).
Trakea berada di tengah. Pembesaran KGB (-).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Hormon Tiroid
TSH :
T4 :
T3 :
Kesan : dalam batas normal
5. Diagnosis Kerja
Struma nodosa non-toksik (SNNT)
6. Diagnosis Banding
Karsinoma tiroid
Tiroiditis
Grave’s disease
7. Penatalaksanaan
Isthmus lobektomi
Laporan Pembedahan
Tanggal : 14 April 2015 (11.20 -12.05 WIB)
Ahli anestesi : dr. Heru S, Sp.An
Ahli bedah : dr. Shofia Agung P, Sp.B
OS terlentang dengan General Anestesi
Desinfeksi, lalu tutup dengan duk steril
Insisi, cek perdarahan
Buat batas atas dan bawah
Dilakukan isthmuslobektomi sinistra, ambil sample untuk PA
10
Jahit luka
Pasang drain
Operasi selesai
8. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad cosmeticum : bonam
FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Penatalaksanaan
13 April 2015 Pasien datang
dari Poli
Bedah
dengan
dengan
SNNT
sinistra jinak.
Saat ini
keluhan
benjolan
terasa
kemeng dan
panas. Pasien
tidak demam
KU : sakit ringan
Kesadaran : CM
Nadi : 86x/ menit
Suhu : 36 ⁰C
Nafas : 18x/ menit
Tekanan Darah: 110/88
mmHg
Status generalis: dbn
Status lokalis : Colli
anterior
Inspeksi:Tampak
benjolan di leher sisi
depan sinistra, berbatas
tegas, berukuran + 4 x 5
cm x 5 cm. Warna kulit
pada benjolan sama
dengan warna kulit
Struma Nodusa
Non Toksik
Sinistra
EKG + Lab
IVFD RL 20 tpm
11
14 April 2015
14 April 2015
15 April 2015
Benjolan
dirasakan
masih terasa
kemeng.
Demam tidak
ada, pusing
tidak ada.
Pasien sudah
puasa dan
siap operasi.
sekitar. Benjolan ikut
bergerak ke atas pada
saat menelan.
Palpasi:Benjolan teraba
kenyal, mobile (mudah
digerakkan). Nyeri
tekan (-). Trakea berada
di tengah. Pembesaran
KGB (-).
KU : sakit ringan
Kesadaran : CM
Nadi : 86x/ menit
Suhu : 36.5 ⁰C
Nafas : 22x/ menit
Tekanan Darah: 120/90
mmHg
Status generalis : dbn
Status lokalis : Colli
anterior
Inspeksi:Tampak
benjolan di leher sisi
depan sinistra, berbatas
tegas, berukuran + 4 x 5
cm x 5 cm. Warna kulit
pada benjolan sama
dengan warna kulit
sekitar. Benjolan ikut
bergerak ke atas pada
saat menelan.
Palpasi:Benjolan teraba
kenyal, mobile (mudah
digerakkan). Nyeri
Struma Nodusa
Non Toksik
Sinistra
IVFD RL 20 tpm
Pre operasi ; Konsul
Spesialis Anestesi
Post Ops :
RL 20tpm
I. Cefotaxim 3x1g
I. Ketorolac 3x30mg
Pasien sadar penuh,
coba minum dan
makan
RL 20tpm
I. Cefotaxim 3x1g
I. Ketorolac 3x30mg
Edukasi :
12
Pasien
merasakan
nyeri pada
bekas
operasi,
pusing serta
pasien tidak
dapat tidur
nyenyak
akibat nyeri.
tekan (-). Trakea berada
di tengah. Pembesaran
KGB (-).
KU : sakit ringan
Kesadaran : CM
Nadi : 86x/ menit
Suhu : 36.5 ⁰C
Nafas : 22x/ menit
Tekanan Darah: 120/90
mmHg
Status generalis : dbn
Status lokalis : Colli
anterior
-terdapat luka post
operasi yang tertutup
verban
Post
isthmuslobektomi
sinistra ec SNNT
Diet biasa
BAB II
13
STRUMA NODUSA NON TOKSIK
STRUMA
Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan
susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya,
pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 1
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan. Kelenjar tyroid
mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan.
Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian
tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami
desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap.
Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti persisten
duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan
membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid,
merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid janin
secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1,2
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan
syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang.
14
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2
dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan
dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak. 2
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh
jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular.2
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl.
Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.2
Histologi
15
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel terdiri
dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya
menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk
membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat,
koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000).2
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di
perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap
dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam
tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang
kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon
tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau
prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA). 1
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-
17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai
kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses
konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang
digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler. 2
Pengaturan faal tiroid : 2
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
16
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH
(thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi
dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek
hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya
hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus.
Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : 2
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis
besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat,
cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol
dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid
kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
17
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia
defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Klasifikasi Struma.3,4
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan).
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis
kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada
perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan
tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25
mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
18
3. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid.
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
1. Defisiensi Iodium.
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan
pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap
hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi.
7. Penyakit deposisi.
8. Resistensi hormon tiroid.
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).
19
10. Silent thyroiditis.
11. Agen-agen infeksi.
12. Suppuratif Akut : bacterial.
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.
14. Keganasan Tiroid.
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.
2. Aktivasi reseptor TSH.
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G.
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth
factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit
autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya.
Patofisiologi : 3,4
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur
dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor
Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma
diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar
tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan
produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar
tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk
20
struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi
iodida dan goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk
stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap
hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi
human chorionic gonadotropin.
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu
morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui
dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
Batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
21
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
22
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideu
STRUMA NON TOKSIK5
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular.
Hampir semua struma diduga sebagai hasil dari stimulasi TSH sekunder yang menyebabkan
kurangnya sintesis hormon tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid tersebut berguna untuk
mempertahankan pasien dalam keadaan eutiroid. Struma dapat berbentuk difus, uninodular, atau 23
multinodular. Struma familial diakibat oleh kurangnya enzim yang diperlukan untuk sintesis
hormon tiroid secara keseluruhan atau parsial dan bersifat genetik.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut
struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa
non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena
defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan
yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi.
Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali
benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya
bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea
pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi
dispnea dengan stridor inspirator.
Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan
nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Hampir semua pasien struma nodusa non toksis tidak memiliki keluhan. Pada umumnya pasien
struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian
kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu
penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Jika ada pasien yang datang dengan
24
keluhan kelumpuhan nervus rekuren laringeal seperti suara parau sebaiknya dicurigai kearah
keganasan.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral
atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor
primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang
ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium.
Diagnosis
Anamnesa sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan
banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita
pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis
kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid
tipe meduler).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah yang
bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah
hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
25
o konsistensi
o mobilitas
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang
masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang
multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras
dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Pemeriksaan sidik tiroid.
Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc99m per
technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid, serta pemeriksaan in
vitro menggunakan I125 untuk T3, T4, dan TSH (RIA).
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop yang utama ialah mengetahui fungsi bagian-
bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara
fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil
sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
o Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya.
Hal ini menunjukkan keadaan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan
ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi
nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
26
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan,
tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang
dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul.
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Petanda Tumor.
5. Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg
serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada
keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah:
27
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu
sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal
tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi
kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya
ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai
supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi
baik (TSH dependence). Terapi supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak
resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet dengan dosis : 3x75 Ug/hari p.o
STRUMA TOKSIK5,6
Struma difus toksik (Grave’s Disease)
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s terjadi akibat
antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas tiroid itu
sendiri.
Manifestasi klinis
28
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid
dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila
panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi,
takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata
melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis
bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan laboratorium
tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu
pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme.
Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran
tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien
hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau
jelas subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan
dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif,
tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
29
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada
pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah
pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5. Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metimazol 30-60 5-20
Propiltourasil 300-600 5-200
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Indikasi :
1. pasien umur 35 tahun atau lebih.
2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi.
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid.
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik.
3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar.
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif.
30
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease (Sadler et al, 1999). Paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi
digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan
pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda
dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik
mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi
dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak
napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat
TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak
ditemukan.
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapat mengurangi gejala tetapi
biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif seperti
penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini membutuhkan dosis
radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi
pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi
dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan.
31
PENYAKIT TIROID YANG LAIN5
Tiroiditis
Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.
1. Akut (supuratif)
Penyakit ini jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan infeksi saluran
perafasan atas. Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk
khas infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi terjadi
melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening,
trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai
abses atau tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, nyeri menelan,
malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan
gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat
nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan
tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif
biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila
terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika
infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi
dan drainage.
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam, malaise,
disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik ditemukan tiroid
membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat, demam, tremor dan tanda-
tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium sering di jumpai leukositosis, laju
endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan
yang berlebihan akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya
32
sembuh sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan
asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid
misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
3. Menahun
Limfositik (Hashimoto)
Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma limfomatosa,
tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur 30-50 tahun. Kelenjar tiroid
biasanya membesar lambat, tidak terlalu besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang
ada nyeri spontan dan nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid.
Kelainan histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid
dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis melalui
biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini
sebaiknya ditunda karena kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian
tiroksin dapat mempercepat hal tersebut.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC., Jakarta.
2. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :
Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta.
3. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
4. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
5. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In :
Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill., Newyork.
6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta Kedokteran.,
Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
34