DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR SYARIAH
DI BANK MUAMALAT INDONESIA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SE.I)
Oleh:
Farida Sutarsih
NIM 204046102914
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H /2008 M
DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR SYARIAH
DI BANK MUAMALAT INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SE.I)
Oleh:
Farida Sutarsih
NIM 204046102914
Pembimbing
Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
NIP 130 789 745
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H /2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR SYARIAH
DI BANK MUAMALAT INDONESIA telah diujikan dalam sidang Munaqasah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9
Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Ekonomi Islam (SE.I) pada program studi Muamalat
Jakarta .....................
Disahkan
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA (.............................)
NIP 130 789 745
Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, M.Ag (.............................)
NIP
Pembimbing : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA (.............................)
NIP 130 789 745
Penguji I : Drs. Noryamin Aini, MA (.............................)
NIP
Penguji II : Drs. Ahmad Yani, M.Ag (.............................)
NIP
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 November 2008
Farida Sutarsih
KATA PENGANTAR
��� ا ا�� �� ا�� ���
Sungguh tiada keagungan dan kebesaran selain milik Allah, Tuhan sekalian
alam. Dialah yang telah mencipta dan mengatur segala apa yang tercipta. Maka sudah
menjadi keharusan apabila penulis menyampaikan puji syukur atas segala anugerah
yang telah dilimpahkan sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Desain Akad
Pembiayaan Take Over KPR Syariah di Bank Muamalat Indonesia” dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa terucap kepada rasul pilihan
pengemban risalah ilahi, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Dengan kerendahan hati izinkan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini yang tidak akan
mendekati kesempurnaan tanpa bantuannya. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag, Ketua Program studi Muamalat dan Bapak Ah.
Azharuddin Lathif, M.Ag, Sekretaris Program studi Muamalat Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA, Koordinator Teknis Program
Nonreguler Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus dosen pembimbing dan Bapak
Drs. Ahmad Yani, M.Ag, Sekretaris Teknis Program Nonreguler Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Agustianto, MA, terima kasih saran, kritik, semua data dan informasi
sehingga skripsi ini selesai dengan baik sesuai dengan harapan. Semoga…
5. Orang tua yang melahirkan dan yang tidak melahirkanku, Ayah (I hope you
pride), Ibu, Om Harno, Bulek Nur, Om Tino, Bulek Ani’, Om Jo, Bulek Tarti,
Pakde Giyoto, Bude Lis, Biyung, adikku Hesti, Kiki, Dito, Dimas, Nisa, keluarga
besarku tanpa terkecuali, terimakasih untuk kebersamaan, doa, kebahagiaan,
kesedihan, tawa, tangis, dan dukungan yang lebih dari apapun, lebih dari 100 %,
bahkan lebih banyak dari yang penulis harapkan.
6. Bank Muamalat Indonesia, terutama Bapak Gatut Prakoso selaku Officer yang
telah memberikan informasi dan data yang diperlukan penulis dalam penulisan
skripsi ini.
7. Muamalat Institute Karawaci dan Muamalat Institute Slipi, buat Mbak Narti, Mas
Rohim, Mbak Lia, terima kasih untuk bantuannya.
8. Sahabat terbaikku Mbak Ing, Mbak Winny, Mbak Estu, Mbak Mimah, Mbak
Amla, Mbak Enung, Mbak Fitri, teman- teman angkatan 2004 terkhusus PS- C,
teman-teman IMM cabang Ciputat, teman- temen seperjuangan di Muamalat
Institute, teman-temanku di Wonogiri, terima kasih telah menemani perjalanku
selama ini semoga ini tak berakhir di sini, tetap terus terjalin sampai nanti sampai
mati.
9. Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, Perpustakaan Pasca Sarjana UI Salemba, untuk semua staf
yang telah membantu penulis mencari buku referensi yang diperlukan.
Penulis berharap dan berdoa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT
dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi
sumbangan positif bagi banyak pihak.
Jakarta, November 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Belakang Masalah …………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
C. Kajian Pustaka ………………………………………………. 8
D. Kerangka Teori ……………………………………………… 12
E. Metode Penelititian …………………………………………. 14
F. Sistematika Penulisan ………………………………………. 16
BAB II LANDASAN TEORI
A. Definisi Akad ………………………………………………… 18
B. Definisi Take Over dan Hiwalah …………………………….. 25
C. Dasar Hukum Take over dan Hiwalah ……………………….. 32
BAB III GAMBARAN UMUM BANK MUAMALAT INDONESIA
A. Sejarah Perkembangan Bank Muamalat Indonesia ……………… 37
B. Visi, Misi, dan Strategi Bank Muamalat Indonesia……………… 39
C. Struktur Organisasi Bank Muamalat Indonesia …………………. 41
D. Produk- Produk Bank Muamalat Indonesia …………………….. 48
BAB IV DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR SYARIAH
DI BANK MUAMALAT INDONESIA
A. Aplikasi Pembiayaan Take Over KPR Syariah
di bank Muamalat Indonesia ………………………………….. 53
B. Desain Akad Pembiayaan Take Over KPR
yang Sesuai Syariah ……………………….................................. 59
C. Analisis Terhadap Akad pembiayaan Take Over KPR syariah….. 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………… 66
B. Saran- saran …………………………………………………… 67
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 70
DAFTAR GAMBAR
Gb. 4.1. Proses Musyarakah Mutanaqisah …………………………………… 63
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
UU RI nomor 4 tahun 1994 tentang perumahan dan pemukiman menyatakan
pada bab I bahwa yang dimaksud rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan
perumahan adalah kelompok yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan.
Sarana lingkungan merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi sebagai
penyelenggara dan mengembangkan kehidupan ekonomi.1
Pemberian KPR sebagai salah satu produk jasa di dalam dunia perbankan
sangat membantu masyarakat menengah ke bawah (pada umumnya) di dalam
memenuhi kebutuhan yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli secara
kontan. Seperti KPR yang ditawarkan kepada pegawai negeri dan swasta atau
KPR Rumah sederhana (RS) maupun Rumah Sangat Sederhana (RSS) bagi
masyarakat menengah ke bawah.2
Selama ini penyediaan kredit pemilikan rumah (KPR) merupakan salah satu
kegiatan bank konvensional yang tidak lepas dari bunga. Dalam penyelenggaraan
1 “UU No. 4 tahun 1994 tentang perumahan dan pemukiman”, diakses pada tanggal 26 Mei
2008 dari http://www.pu.go.id/ditjen_mukim/peraturan/perumahandan permukiman/4_1992a.pdf.
2 Mahfudin, “Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Murabahah dalam Pembiayaan KPR Syariah
(studi kasus pada UUS PT. Bank Permata Tbk.)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 5.
kredit kepemilikan rumah ini terlibat unit-unit usaha lain, seperti perseroan
terbatas (PT), yang menyediakan lokasi tanah pembangunan rumah. Hal yang
ditetapkan dalam KPR antara lain harga jual kontan, uang muka, suku bunga,
angsuran bulanan dan benda-benda lain yang harus dibayar oleh pembeli
(debitur). Misalnya biaya penyambungan listrik, provisi bank, dan biaya notaris.3
Menggunakan jasa keuangan konvensional menimbulkan kekhawatiran bagi
sebagian orang. Sebab, bisa jadi kondisi politik dan ekonomi menjelang kenaikan
harga BBM dan pemilu berubah. Jika hal itu terjadi, suku bunga naik dan
akhirnya berdampak pada besarnya cicilan yang harus dibayarkan bank. Cicilan
rumah yang tadinya rendah bisa tiba-tiba naik drastis karena mengikuti
perkembangan tingkat suku bunga. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut,
perbankan menawarkan alternatif solusi berupa pola pembiayaan berbasis syariah.
Kredit pemilikan rumah (KPR) syariah lebih aman bagi nasabah karena
memiliki kepastian besarnya cicilan. Jadi meskipun tingkat suku bunga naik,
besarnya cicilan tidak berubah. Dengan model pembiayaan syariah, meskipun
terjadi peningkatan suku bunga, tidak akan menyebabkan kenaikan margin yang
diambil bank. Sebab dari awal perjanjian atau akad kreditnya sudah menetapkan
margin yang diambil bank dan besarnya cicilan yang harus dibayar nasabah. Jika
nasabah membeli rumah lewat KPR syariah, maka hingga jangka waktu
pengambilan kredit berakhir, besarnya cicilan yang harus dibayar tetap. Dengan
3 Chuzaimah T. Yanggo dan Haifiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
cet. III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 51.
prinsip syariah, karena perjanjian di depan, maka sampai tenor selesai besarnya
cicilan fixed dan tidak ada perubahan. Sedangkan pembiayaan KPR secara
konvensional ada yang fixed-nya hanya setahun, dua, atau tiga tahun. Setelah itu
bunga bersifat floating (naik turun) tergantung perkembangan pasar.
Masih ada anggapan di masyarakat bahwa bank syariah hanya
diperuntukkan untuk muslim saja, padahal ini tidaklah benar. Bank Islam atau
bank syariah tidak khusus diperuntukkan untuk sekelompok orang, namun sesuai
dengan landasan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, didirikan guna melayani
masyarakat tanpa membedakan keyakinan yang dianut. Bagi kaum muslimin,
kehadiran bank syariah adalah memenuhi kebutuhannya, namun bagi masyarakat
lainnya, bank Islam adalah sebagai sebuah alternatif lembaga jasa keuangan di
samping perbankan konvensional yang telah ada.4
Suatu hal yang menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom
muslim telah mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara untuk
menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih
sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan untuk membangun model teori
ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan ketika masyarakat muslim Indonesia mulai menyadari dan ingin
memindahkan semua transaksi yang telah dilakukannya di bank konvensional,
baik berupa tabungan, deposito, dan utang ke bank syariah, maka bank syariah
4 Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, cet. I, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 182-
183).
harus segera meresponnya. Jangan sampai orang yang sudah berniat baik untuk
meninggalkan transaksi ribawi kembali terjerumus dalam transaksi itu lagi.5
Dalam implementasinya, upaya pengembangan perbankan syariah
memerlukan aturan-aturan syariah yang mengikat bagi perbankan syariah. Dalam
kaitan ini, fatwa yang terkait dengan perbankan syariah dikeluarkan Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sangat bernilai dan
berperan besar sebagai referensi utama dalam proses penyusunan peraturan Bank
Indonesia bagi perbankan syariah.6
Transaksi perpindahan (take over) pembiayaan dari bank konvensional ke
bank syariah diatur dalam fatwa No. 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang pengalihan
hutang. Dalam fatwa ini disebutkan ada empat alternatif akad yang dapat
digunakan7 yaitu:
1. Qard dan murabahah
2. Syirkah al-milk dan murabahah
3. Qard dan ijarah
4. Qard dan IMBT (Ijarah Muntahiya bit-Tamlik)
5 Mardhiyah Hayati, “Telaah Terhadap Fatwa DSN-MUI No. 31/DSN-MUI/VI/2002”, artikel
ini diakses pada tanggal 9 April 2008 dari http://msi-
uii.net/baca.asp?kategori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel7id=211.
6 Ibid.
7 Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, cet. ketiga, edisi
revisi, (Ciputat: Gaung Persada, 2000), h. 185.
Bank syariah saat ini menggunakan alternatif akad 1 (qard dan murabahah)
untuk pengalihan hutang. Akad ini secara teori tidak menjadi persoalan karena
memang diperbolehkan secara syariah. Permasalahan yang muncul adalah setelah
dipraktekkan akad tersebut kurang sesuai dengan syariah karena menimbulkan
bai’ gharar dan bai’ al-innah.
Gharar didefinisikan sebagai: “a transaction which is uncertain to both
parties as a result of improsing uncertain condition in natural certainty contracts
(suatu transaksi yang mengandung ketidakpastian bagi kedua belah pihak yang
melakukan transaksi sebagai akibat dari diterapkannya kondisi ketidakpastian
dalam suatu akad yang secara alamiah seharusnya mengandung kepastian)8. Bai’
al-innah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli
dengan janji untuk dibeli kembali (sales and buy back) dengan pihak sama. Bai’
al-innah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian
tangguh (deferred payment sale).9 Bai’ al-innah adalah jual beli yang bertujuan
untuk menghindar dari hutang dengan riba yaitu seseorang menjual suatu barang
dengan harga tangguh bayar atau belum diterima, kemudian membelinya dengan
kontan. Akad jual beli bai’ al-innah ini mempunyai kemiripan dengan pinjaman
tunai dengan jaminan aset pada bank konvensional. Perbedaannya terletak pada
akadnya. Sedangkan secara fisik nasabah sama-sama memperoleh dana tunai.
8 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, edisi kedua, (Jakarta: The International Institute
of Islamic thought Indonesia), h. 55.
9 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, edisi. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h.
189.
Menurut ulama Malaysia jual beli dengan akad bai’ al-innah dibolehkan.
Namun demikian ulama Timur Tengah dan Indonesia berpendapat bahwa bai’ al-
innah tidak dibolehkan karena ketiga unsur iwad, yaitu risiko, kerja dan usaha,
dan tanggung jawab tidak ada dalam transaksi ini, seluruh proses hanya dalam
dokumen.10
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan pengkajian lebih dalam tentang perpindahan akad pembiayaan ini ke
dalam sebuah skripsi yang berjudul DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE
OVER KPR SYARIAH DI BANK MUAMALAT INDONESIA.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Dari persoalan yang telah dideskripsikan dan melihat permasalahan yang
berkaitan dengan pemindahan akad pembiayaan KPR syariah, maka penulis
membatasi masalah pada proses pemindahan akad pembiayaan KPR pada Bank
Muamalat Indonesia. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penulisan
skripsi ini adalah:
1. Bagaimana aplikasi akad pembiayaan take over KPR syariah di Bank
Muamalat Indonesia?
2. Bagaimana desain akad pembiayaan take over KPR yang lebih relevan dan
lebih sesuai dengan syariah?
10 Ibid.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis rumuskan di atas, ada
beberapa tujuan yang ingin dicapai diantaranya:
1. Untuk mengetahui aplikasi akad pembiayaan take over KPR syariah di Bank
Muamalat Indonesia.
2. Untuk mengetahui desain akad pembiayaan take over KPR yang lebih relevan
dan lebih sesuai dengan syariah.
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Secara akademik, penelitian ini menambah khasanah pengetahuan tentang
akad pembiayaan take over KPR pada bank syariah khususnya tentang akad
pembiayaan take over KPR pada Bank Muamalat Indonesia.
2. Secara praktik, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada bank
syariah mengenai alternatif lain dari akad pembiayaan take over KPR yang
lebih sesuai dengan syariah sehingga masyarakat yang terlanjur menggunakan
pembiayaan KPR di bank konvensional akan melakukan pembiayaan take
over KPR-nya ke bank syariah.
D. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber
kepustakaan, penulis melihat bahwa masalah pokok dalam penelitian ini masih
kurang mendapatkan perhatian, untuk mengatakan belum pernah diteliti.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain: judul
skripsi “Analisis Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR) BTN Syariah (Studi
Kasus: Bank BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta- Harmoni)”, oleh: Dian Lestari,
tahun 2006, penerbit: Fakultas Syariah dan Hukum.
Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini mengenai mekanisme yang
digunakan dalam pembiayaan KPR syariah, tinjauan hukum Islam mengenai
aplikasi pembiayaan KPR syariah, mekanisme penentuan margin dan perlakuan
akuntansi pada pembiayaan KPR BTN syariah, dan hasil analisa matrik SWOT
dan strateginya agar dapat diaplikasikan untuk peningkatan pembiayaan KPR
BTN syariah.
Hasil penelitiannya adalah bahwa mekanisme pengajuan pembiayaan KPR
BTN syariah melalui 4 tahap, yakni:
1. Tahapan pengajuan permohonan pembiayaan KPR
2. Tahapan analisa 3 pilar analisa: analisa kemampuan, kemauan, dan agunan
3. Tahapan persetujuan
4. Tahapan pelaksanaan/ penandatanganan akad
Dalam penetapan margin KPR BTN syariah menggunakan persentase
(pendekatan based lending rate). Selama komponen dan data-data perhitungan
yang dipergunakan dan proses untuk menghasilkan persentase tersebut tidak
mengandung unsur riba dan sesuai syariah maka penetapan margin dengan
persentase tersebut sah.
Perlakuan akuntansi pembiayaan KPR BTN syariah mengacu pada
akuntansi syariah, PAPSI dan PSAK no. 59. Dan yang menjadi pembeda dengan
bank konvensional adalah bahwa pembiayaan ini penerapan dari konsep jual beli
bukan konsep kredit. Hutang nasabah tidak terbagi atas hutang pokok dan hutang
bunga. Denda diakui sebagai pendapatn halal atau kewajiban dana kebajikan/
sosial. Margin diakui sebagai perdapatan pada periode terjadinya.
Bagi nasabah yang bermasalah, BTN syariah menawarkan solusi-solusi
yang lebih bersifat kekeluargaan yakni melalui musyawarah maupun
menggunakan jasa badan penyelesaian sengketa, Basyarnas. Bahkan segala hasil
penyelesaian sengketa tersebut pun seperti penjualan agunan haruslah sesuai
dengan prinsip syariah.
Judul skripsi “ Sistem Operasional Kredit Kepemilikan Rumah (Studi
Kasus: Bank Tabungan Negara dan Bank Muamalat Indonesia)”, oleh: Roiyatul
Qudsiyah, tahun 2004, penerbit: Fakultas Syariah dan Hukum.
Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini mengenai operasional kredit
kepemilikan rumah pada BTN dan BMI, mekanisme pengelolaan sistem kredit
pemilikan rumah pada BTN dan BMI, dan analisis perbandingan sistem kredit
pemilikan rumah pada BTN dan BMI.
Hasil penelitiannya bahwa operasional kredit pemilikan rumah pada BTN
dan BMI pada dasarnya tidak jauh berbeda. Keduanya sangat membantu
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan memiliki rumah dengan cara kredit atau
bayar secara angsuran sehingga masyarakat yang kurang mampu atau cukup uang
bisa memiliki rumah.
Mekanisme pengelolaan KPR pada bank syariah yaitu sistem bagi hasil
dilaksanakan dengan cara bank sebagai penyedia dana, yaitu mula-mula bank
membelikan rumah sesuai dengan yang diperlukan oleh nasabah atas nama bank.
Kemudian bank pada waktu itu juga menjual rumah tersebut kepada nasabah pada
tingkat harga yang disetujui bersama yang terdiri dari harga pembelian ditambah
mark- up atau margin keuntungan. Maka kepemilikan rumah itu menjadi hak
sepenuhnya milik nasabah. Sedangkan pada bank konvensional, yaitu dana di
nasabah, pertama-tama nasabah membayar dana awal kemudian bank
memberikan rumah tersebut dengan syarat akan membayar angsuran pada setiap
bulannya beserta bunganya berdasarkan perjanjian yang disepakati.
Analisis perbandingan bank konvensional dan bank syariah terletak pada
perbedaan dan persamaan sistem yang digunakan oleh kedua bank tersebut dan
tentang kelemahan dan keunggulan dari dua bank tersebut. Perbedaan yang terjadi
antara kredit pemilikan rumah pada BTN dan BMI terletak pada sistem yang
digunakan bank tersebut. Bank konvensional menggunakan sistem bunga dengan
persentase dari mulai 10 %- 24,5 %. Sedangkan bank syariah menggunakan
sistem bagi hasil. Pembiayaan produk KPR di BMI menggunakan metode jual
beli dengan konsep murabahah, BBA (bai’ bi tsaman ajil) dan berdasarkan
musyarakah mutanaqisah. Kelebihan sistem bagi hasil di bank syariah adalah
tidak adanya diskriminasi terhadap masyarakat/nasabah yang ekonominya kurang.
Sedang kelemahan dari sistem bagi hasil adalah dalam hal pembagian keuntungan
tidak jelas, tergantung pada keuntungan yang diperoleh. Kelebihan dari bank
konvensional adalah persentase keuntungan jelas dan kekurangan sistem bunga
adalah menyebabkan eksploitasi orang- orang kaya terhadap orang- orang miskin.
Judul skripsi “ Kredit Perumahan dalam Perspektif Hukum Islam”, oleh:
Nurhayati, 2003, penerbit: Fakultas Syariah dan Hukum.
Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini mengenai jual beli kredit dalam
perspektif Islam dan kenerja bank syariah dalam melayani pembiayaan kredit
perumahan.
Hasil penelitiannya bahwa prinsip jual beli kredit dalam Islam pada
dasarnya adalah mubah, baik secara kredit maupun kontan, selama rukun dan
syarat terpenuhi.
Bank syariah memiliki instrumen yang dapat digunakan dalam melayani
masyarakat yang membutuhkan kredit perumahan, yaitu dengan menggunakan
prinsip IMBT (Ijarah Muntahiya bi Tamlik) dan bai’ bi tsaman ajil. Namun,
teknis operasional dalam penggunaan kredit perumahan pada bank syariah masih
mengacu pada cara teknik yang digunakan oleh bank konvensional.
Kajian terdahulu hanya membahas mekanisme pembiayaan KPR yang dari
awal transaksi menggunakan prinsip syariah. Dimana dalam pembiayaan itu
digunakan akad Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT) atau Bai’ bi Tsaman Ajil
(BBA). Sedangkan dalam skripsi ini akan dibahas mekanisme yang digunakan
apabila pada awal transaksi pembiayaan KPR dilakukan di bank konvensional
tetapi kemudian pembiayaan yang masih berjalan di bank konvensional ini
dialihkan ke bank syariah.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan informasi dari lembaga yang
terlibat dalam objek penelitian.11
Jenis pelaporan yang digunakan adalah metode
deskriptif analisis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan dengan didasari
pada data yang ada lalu dianalis lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu
kesimpulan. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari dan menelaah
data yang didapat secara seksama, selanjutnya dari proses analisa tersebut
penulis mengambil kesimpulan dari masalah yang bersifat umum kepada
masalah yang bersifat khusus.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian kepustakaan (library research), penulis mengadakan penelitian
terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini.
Literatur itu berupa buku, majalah, surat kabar, artikel, internet, dan lain
sebagainya. Langkah dalam melaksanakan studi pustaka ini adalah dengan
cara membaca, mengutip, serta menganalisa dan merumuskan hal- hal yang
dianggap perlu dalam memenuhi data dalam penelitian ini.
11 Moeloeng Lexy J, Metode Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosyada Karya, 2002), h. 9.
b. Penelitian lapangan (field research), untuk mendapatkan data-data dan
informasi, penulis langsung terjun ke objek penelitian yaitu lembaga yang
diteliti, dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1) Interview yaitu melakukan wawancara dengan pihak Bank Muamalat
Indonesia yang diwakilkan kepada Bapak Gatut Prakoso selaku
Officer Bank Muamalat Indonesia yang menangani masalah akad-akad
pembiayaan.
2) Dokumentasi yaitu mengumpulkan data berdasarkan laporan yang
didapat dari lembaga yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
3. Teknik Penulisan
Dalam penyusunannya secara teknis penulisan, semua berpedoman pada
prinsip- prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan
Hukum tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan ini, maka disusun sistematika penulisan
yang terdiri lima bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian
Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini membahas tentang Definisi Akad, Definisi Take Over dan
Hiwalah, Dasar Hukum Take over dan Hiwalah.
BAB III GAMBARAN UMUM BANK MUAMALAT INDONESIA
Bab ini membahas tentang Sejarah Perkembangan Bank Muamalat
Indonesia, Visi, Misi, dan Strategi Bank Muamalat Indonesia, Struktur
Organisasi Bank Muamalat Indonesia, Produk-produk Bank Muamalat
Indonesia.
BAB IV DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR
SYARIAH DI BANK MUAMALAT INDONESIA
Bab ini membahas tentang Aplikasi Pembiayaan Take Over KPR
Syariah, Desain Akad Pembiayaan Take Over KPR yang Sesuai
Syariah, Analisis Terhadap Akad Pembiayaan Take Over KPR syariah
BAB V PENUTUP
Bab ke lima menjelaskan tentang Kesimpulan dan Saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN- LAMPIRAN
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Akad
Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum
Islam. Kata akad berasal dari kata al-aqad, yang berarti mengikat, menyambung
atau menghubungkan (ar-rabt).12
Dalam istilah fikih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad
seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf,
talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa,
wakalah, dan gadai.13
Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/
pemindahan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada
sesuatu.14
Akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-
masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang
telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, term and condition sudah ditetapkan
secara rinci dan spesifik. Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat
12 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 68. 13 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, edisi 1, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
h. 35.
14 Ibid.
dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka
menerima sanksi seperti yang disepakati dalam akad.
Terkadang kata akad menurut istilah dipergunakan dalam pengertian umum,
yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain
dengan kata harus15
.
1. Unsur-unsur Akad
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa definisi akad adalah pertalian antara
ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang
terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:16
a. Pertalian ijab dan qabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan menerima
atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qaabil). Ijab
dan qabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan. Bentuk dari
ijab dan qabul ini beraneka ragam dan diuraikan pada bagian rukun akad.
b. Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal
yang diatur oleh Allah SWT dalam al-Quran dan Nabi Muhammad dalam
15 Abdullah al- Muslih dan Shalah Ash- Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, cet. Ke-2,
(Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 26. Penerjemah Abu Umar Basyir . Judul asli Ma La Yasa’ at-Tajira
Jabluhu.
16 Ghufron Mas’adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, cet. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002), h. 76-77.
hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad tidak boleh
bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan, akan mengakibatkan akad
itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu perikatan yang mengandung riba atau
objek perikatan yang tidak halal (seperti minuman keras), mengakibatkan
tidak sahnya suatu perikatan menurut hukum Islam.
c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad
menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan
oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban
yang mengikat para pihak.
2. Asas-asas Akad
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan
fondasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi
tumpuan berpikir atau berpendapat.17
Dalam kaitannya dengan akad, Fathurrahman Djamil sebagaimana dikutip
oleh Gemala Dewi18
mengemukakan enam asas, yaitu asas kebebasan, asas
persamaan atau kesetaraan, asas keadilan, asas kerelaan, asas kejujuran dan
kebenaran, dan asas tertulis. Namun, ada asas utama yang mendasari setiap
17 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), h. 70.
18 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), h. 30.
perbuatan manusia, termasuk perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas
tauhid.19
a. Asas ilahiah
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari
ketentuan Allah SWT. Kegiatan muamalat, termasuk perbuatan perikatan,
tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian,
manusia memiliki tanggung jawab akan hal ini. Tanggung jawab kepada
masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada
diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya, manusia
tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena segala perbuatan akan
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
b. Asas kebebasan (al-Hurriyah)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan
suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para
pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu
mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala
hak dan kewajibannya. Namun, kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang
tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh
dilaksanakan.
19 Ibid.
c. Asas persamaan atau kesetaraan (al-Musawah)
Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi, bahwa seseorang
memiliki kelebihan dari yang lainnya. Untuk itu, antara manusia satu
dengan yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain
dari kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki
kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam
melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban
masing-masing didasarkan pada persamaan atau kesetaraan ini. Tidak
boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut.
d. Asas keadilan (al-‘Adalah)
Istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan.
Menurut Yusuf Qardhawi sebagaimana yang dikutip oleh Gemala Dewi20
,
keadilan adalah keseimbangan antara individu dan masyarakat, dan antara
masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariah Islam.
Dalam asas ini, para pihak yang melakukan perikatan dituntut untuk
berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi
perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajiban.
e. Asas kerelaan (al-Ridha)
Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan,
20 Ibid.
penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi
tersebut dilakukan dengan cara yang batil (al-akl bil bathil).
f. Asas kejujuran dan kebenaran (ash-Shidiq)
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam
segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika
kejujuran ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak
legalitas perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran
dalam perikatan, akan menimbulkan perselisihan di antra para pihak.
g. Asas tertulis (al-Kitabah)
Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan
dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggung
jawab individu untuk melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain
itu, dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak
secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminan. Adanya
tulisan, saksi, dan/atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas
terjadinya perikatan tersebut.
3. Macam-macam Akad
Dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muamalat membagi
akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijarah/ mu’awadah.
a. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian
yang menyangkut not- for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi
ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam
rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab,
yang artinya kebaikan ). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya.
Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT., bukan dari manusia.
Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the
cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.
Namun, ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.
Contoh akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah,
wadi’ah, hibah, shadaqah, hadiah, dan lain- lain. .21
b. Akad Tijarah
Akad tijarah/ mu’awadah (compensational contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.
Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa,
dan lain- lain.22
21 Muhammad Firdaus NH, dkk, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah, (Jakarta:
Renaisan, 2005), hal.66
22 Ibid.
Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syariah
dapat digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah) dan
transaksi tidak mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk mencari
keuntungan dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung
kepastian (natural certainty contract/ NCC), yaitu kontrak dengan prinsip non
bagi hasil (jual beli dan sewa), dan transaksi yang mengandung ketidakpastian
(natural uncertainty contract/NUC), yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil.
Transaksi NCC berlandaskan pada teori pertukaran, sedangkan NUC
berlandaskan pada teori percampuran. Semua transaksi untuk mencari keuntungan
tercakup dalam pembiayaan untuk pendanaan, sedangkan transaksi tidak untuk
mencari keuntungan tercakup dalam pendanaan, jasa pelayanan (fee based
income), dan kegiatan sosial.23
B. Definisi Take Over dan Hiwalah
1. Definisi Take Over
Secara bahasa take over diartikan sebagai mengambil alih.24
Menurut
fatwa DSN-MUI yang dimaksud pengalihan hutang (take over) adalah
pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke
bank/lembaga keuangan syariah.25
Jadi yang dimaksud pembiayaan take over
23 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, edisi. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
h. 37-38..
24 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. XXVI, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 578.
adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari pengalihan transaksi
nonsyariah yang telah berjalan di lembaga keuangan konvensional ke lembaga
keuangan syariah.
Take Over sesungguhnya dapat juga disebut sebagai hiwalah, yaitu
hiwalah muthlaqah, karena muhal ‘alaih tidak memiliki hutang kepada muhil
(nasabah), karena itu pengalihan itu tidak terkait dengan hutang bank kepada
muhil (nasabah), karena memang hutang itu tidak pernah ada.26
Dalam take over, hiwalah telah dibungkus dengan beberapa akad
sebagaimana yang ditetapkan dalam fatwa DSN-MUI No. 31/DSN-
MUI/VI/2002 yaitu:
5. Qard dan murabahah
6. Syirkah al-milk dan murabahah
7. Qard dan ijarah
8. Qard dan IMBT (Ijarah Muntahiya bit-Tamlik)
Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
25 Dewan Syariah Nasional- MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI, cet. Ke-3, edisi revisi,
(Ciputat: CV. Gaung Persada, 2000), h. 185.
26 Agustianto, Hiwalah: Materi kuliah pascasarjana UI, IEF Trisakti, dan Universitas
paramadina.
imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qard dikategorikan dalam aqad
tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.27
Murabahah adalah istilah dalam fikih Islam yang berarti suatu bentuk
jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi
harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang
tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan. Tingkat
keuntungan ini bisa dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya
perolehan. Bank syariah pada umumnya telah menggunakan murabahah
sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kira-kira tujuh
puluh lima persen dari total kekayaan mereka.28
Syirkah al-milk menurut ulama fiqh adalah dua orang atau lebih
memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah.29
Status harta masing-masing bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila
masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada
izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian
harta orang yang menjadi mitra serikatnya.30
27 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, cet. I, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 131.
28 Ibid., h. 81-82.
29 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cetakan 1, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2000), h.167.
30 Ibid., h. 167.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.31
Ijarah muntahiya bit-tamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual
beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini
pula yang membedakan dengan ijarah biasa.32
2. Definisi Hiwalah
Hiwalah, menurut bahasa ialah al-intiqal (perpindahan). Maksudnya di
sini adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan
muhal ‘alaih. Muhil adalah sebagai yang berutang, muhal adalah orang yang
menghutangkan, dan muhal ‘alaih adalah orang yang melakukan pembayaran
hutang.33
Dalam pengertian lain, arti harfiyah dari kata hiwalah diartikan
dengan “pengalihan, pemindahan, perubahan kulit, dan memikul sesuatu di
pundak”.34
31 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, cet. I, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 117.
32 Ibid., h. 118.
33 Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, jilid 3, (Beirut: Daar al- Fath, 1417/1996 M), h. 224.
34 M. Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, edisi I, cet. Ke-2, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persda, 2004), h. 219.
Dalam istilah fiqih, hiwalah dengan kasrah huruf “ha” atau bisa juga
disebut hawalah yaitu dengan difathah huruf “ha” berasal dari kata hawala
yang berarti intiqal (perpindahan).35
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah adalah pengalihan hutang
dari orang yang berutang kepada orang lain yang menanggungnya (artinya ada
satu pihak yang akan menjamin utang pihak lain)36
. Dalam istilah ulama, hal
ini merupakan pemindahan beban utang muhil ‘alaih atau orang yang
bertanggung jawab (berkewajiban) membayar hutang37
.
Dua ulama fiqih mazhab Hanafiyah mengemukakan definisi hiwalah
yang berbeda. Di satu pihak Ibnu Abidin sebagaimana yang dikutip oleh
Sutan Remy Sjahdeini38
mengatakan bahwa hiwalah adalah pemindahan
kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang
yang berhutang lainnya (muhal ‘alaih). Di lain pihak Kamal bin Humman
sebagaimana yang dikutip oleh sutan Remy Sjahdeini39
mengatakan bahwa
hiwalah adalah pengalihan kewajiban membayar hutang dari beban pihak
pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas dasar saling
35 Ahmad Warson Munawwir, al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke- 14, (Jakarta:
Pustaka Progressif, 1997), h. 311.
36 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim,
2003), h. 29.
37 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia
Institute, 2000), h. 179. 38 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, cet. I,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 93.
39 Ibid.
mempercayai. Perbedaan mendasar dari definisi tersebut menurut Ibnu Abidin
dengan terjadinya akad hiwalah, maka hutang yang semula menjadi beban
pihak pertama secara otomatis terlepas darinya. Sedangkan menurut Kamal
bin Human pihak pertama tidak secara otomatis terlepas dari kewajiban
membayar hutangnya kepada pihak kedua.40
Menurut mazhab Malikiyah, dan Syafi’iyah, hiwalah ialah pemindahan
atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak
kepada pihak lain.41
Apabila dikaitkan dengan hukum lembaga pembiayaan hiwalah dikenal
dengan istilah factoring atau anjak piutang yaitu sebagai kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta perumusan piutang atau
tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam
atau luar negeri.42
3. Macam-macam Hiwalah
Menurut mazhab Hanafiyah, hiwalah dikelompokkan menjadi dua,
yakni muthlaqah (umum) dan muqayyadah (terikat)43
.
40
Ibid.
41 Ibid. 42 Pasal 1 huruf (1) keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor
125/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
43 Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, h. 205.
a. Hiwalah muthlaqah
Hiwalah muthlaqah ini terjadi jika seseorang memindahkan hutangnya
agar ditanggung muhal ‘alaih, sedangkan ia tidak mengaitkannya dengan
hutang piutang mereka, sementara muhal ‘alaih menerima hiwalah.
Ulama selain mazhab Hanafi tidak membolehkan hiwalah semacam
ini. Sebagian ulama berpendapat, pengalihan hutang secara mutlak ini
termasuk kafalah mahdhah (jaminan). Untuk itu harus didasarkan pada
kerelaan tiga pihak, yaitu orang yang punya piutang, orang yang
berhutang, dan orang yang menanggung hutang.
b. Hiwalah muqayyadah
Hiwalah muqayyadah ini adalah jika orang yang berutang
memindahkan beban hutangnya tersebut pada muhal ‘alaih dengan
mengaitkannya pada hutang muhal ‘alaih padanya. Inilah hiwalah yang
dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama.
Ada sedikit perbedaan hukum antara hiwalah mutlaqah dengan
hiwalah muqayyadah. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:44
1. Apabila hiwalah itu bersifat mutlaqah, sedangkan muhal ‘alaih tidak berutang
kepada muhil, maka muhal menagih hutang hiwalah kepada muhal ‘ alaih.
Atau muhal ‘alaih berhutang kepada muhil tanpa mengaitkan dengan hutang
tersebut. Muhal ‘alaih pun tidak keberatan dengan beban tambahan tersebut.
Maka, muhal ‘alaih akan ditagih untuk membayar dua macam hutang
44
Ibid., h. 206-207.
sekaligus, yaitu hutang hiwalah dan hutang pada muhil. Muhal menuntut
bayar hutang hiwalah dan muhil meminta bayar hutang terhadapnya. Apabila
muhil membatasi hiwalah pada hutangnya kepada muhal, maka muhil tidak
boleh menuntut muhal ‘alaih untuk melunasi hutang kepadanya. Maka
terjadilah muqashah antara muhal ‘alaih dan muhil.
2. Apabila hiwalah itu bersifat muqayyadah, sedangkan muhal ‘alaih sudah
bebas dari hutang pada muhil maka batallah hiwalah. Tapi apabila hiwalah itu
bersifat mutlaqah dan muhal ‘alaih sudah lepas dari hutang, maka hiwalah
tidak batal.
3. Muhil mungkin meninggal sebelum muhal ‘alaih melunasi hutang kepada
muhal. Muhil juga mempunyai hutang pada orang-orang selain muhal.
Sedangkan muhil tidak mempunyai harta apapun selain piutang yang ada pada
muhal ‘alaih. Jika hiwalah mereka bersifat muqayyadah, muhal boleh
mengambil piutang tersebut meskipun harus dibagi dengan para pemilik
piutang lainnya. Jika hiwalah itu bersifat mutlaqah, maka semua piutang
muhil yang ada pada muhal ‘alaih dapat diambil untuk dibagi- bagikan kepada
orang- orang yang punya piutang kepada muhil, kecuali pada muhal yang
memang tidak berhak atas pembagian tersebut. Hak muhal tetaplah
piutangnya yang telah dihiwalahkan kepada muhal ‘alaih. Dengan kata lain,
muhal ‘alaih tetap harus menunaikan kewajibannya kepada muhal.
Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi dua, yaitu
hiwalah al- haq dan hiwalah ad- dain.45
1. Hiwalah al-haq
Hiwalah al-haq adalah pemindahan hak (piutang) dari seseorang
pemilik kepada pemilik piutang lainnya. Biasanya itu dilakukan bila pihak
pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua. Ia membayar hutang itu
bukan dalam bentuk barang/benda, maka perbuatan tersebut dinamakan
sebagai hiwalah haq. Pemilik piutang dalam hal ini adalah muhil karena dia
yang memindahkan kepada orang lain untuk mengembalikan haknya.
2. Hiwalah ad-dain
Hiwalah ad-dain adalah lawan dari hiwalah al-haq. Hiwalah ad-dain
adalah pengalihan hutang dari seorang penghutang kepada penghutang
lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai
piutang pada penghutang kedua. Muhil dalam hiwalah ini adalah orang yang
berutang, karena ia memindahkan kepada orang lain untuk membayar
hutangnya.
Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hiwalah
muqayyadah dan mensyaratkan pada hiwalah muqayyadah agar hutang muhal
kepada muhil dan hutang muhal ‘alaih harus sama, baik sifat maupun jumlahnya.
Kalaupun beda salah satunya, maka hiwalah tidak sah.46
45 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya …., h. 95.
C. Landasan Hukum Take Over dan Hiwalah
Mekanisme take over (pengalihan hutang) yang diperbolehkan fatwa DSN-
MUI adalah mekanisme pengalihan hutang yang didasarkan prinsip syariah, yaitu
al- qard dan murabahah; syirkah al-milk dan murabahah; al-qard dan ijarah; al-
qard dan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik. Oleh karena itu dasar hukum yang
digunakan meliputi dalil-dalil yang berhubungan dengan keempat alternatif akad
tersebut47
. Di antara dalil yang dikemukakan adalah:
Qs. Al- Maidah ayat 1
��������� �� ���� ����������� ��������� ���� ��!"��#$ % &'�(�)*� +�,-" �./☺�2�3
45�/��678�� 9:# ��� %;<(�7�� =+�,!><(�? �@=A⌧C DEFG���H
�I!�JK"�� =+76���� CM�A�) , NO# ���� �+�,!�-P ��� I�EA�� RST
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
46 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, cet. 4, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2006), h. 29.
47 Dewan Syariah Nasional- MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, h. 614.
Qs. Al- Isra’ ayat 34
U:�� ���$�A! -G �V��� 45��W��!"�� 9:# X4Y�"��#$ Z;�[
\]^&)�� %X_Y/) ⌧��(=`�� a<bI���� % �����������
�I&�/�!"��#$ � NO# /I&�/�!"�� c ⌧d e:��f^�� RET
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa, dan penuhilah janji; sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya”.
Sejauh ini berdasarkan buku-buku yang dijadikan referansi oleh penulis
tidak ditemukan adanya dasar hukum hiwalah yang bersumber dari al-Quran.
Hiwalah sebagai salah satu bentuk transaksi antara sesama manusia dibenarkan
oleh hadis Nabi Muhammad SAW dan ijma’ para ulama.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW bersabda:
� أ�� ه���ة ر�� ا� �� ان� ا������ ���� ا� ��� وا� و����
روا6 ( -���0/ �234� آ� ��� أ�0/ أا ذا-" ,+*( ا�)��' &��: #"ل
)ا��8"ري
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi SAW bersabda: “penangguhan yang
dilakukan oleh orang kaya adalah perbuatan dzalim. Dan apabila hutang salah
seorang kamu dialihkan kepada orang kaya, hendaklah diterima pengalihan itu.”
(HR. Bukhari)48
48 Abu Fadli bin Ali bin Hijr al-Asqalani, Bulughul Maram, ( Beirut: Daar al-Fikr, 1409/ 1989
M), Bab al-Hiwalah Wa adh-Dhamman, h. 184.
Pada hadis tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan atau mengalihkan
hutang tersebut kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah
itu dan hendaklah ia menagih kepada yang dihiwalahkan (muhal ‘alaih), dengan
demikian haknya dapat terpenuhi.
Hadis tersebut juga memberikan keterangan bahwa penangguhan
pembayaran hutang dapat dilakukan oleh orang yang kaya merupakan suatu
perbuatan zalim. Menurut para ulama, orang yang menangguhkan pembayaran
hutang bila ia sanggup membayarnya/ melunasinya maka orang tersebut dianggap
fasid.49
Islam membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya melakukan atau menerima
hiwalah adalah sunah atau boleh. Hal ini merujuk pada hadis rasul tersebut di
atas. Namun, sebagian ulama menilai bahwa perintah untuk menerima hiwalah
dalam hadis tersebut menunjukkan wajib. Oleh karena itu, wajib bagi yang
mengutangkan (muhil) menerima hiwalah tersebut.
49 Tengku Muhammad Hasbi ash-Shidiqi, Koleksi Hadis Dan Hukum, edisi 2, cet. 3,
(Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 2001), h. 138-139.
Menurut Syafi’i Antonio50
, hiwalah diperbolehkan pada hutang yang
berbentuk benda atau barang, karena hiwalah merupakan perpindahan hutang
yang bersifat finansial.
Dalam hukum positif, hiwalah sebagai salah satu produk perbankan syariah
di bidang jasa telah mendapatkan dasar hukum yang kokoh melalui UU No. 10
tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Dalam tatanan teknis hiwalah diatur dalam ketentuan pasal 36 huruf c poin
kedua No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melakukan kegiatan usahanya
yang meliputi melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad
hiwalah.51
Selain itu, dasar hukum pelaksanaan take over dan hiwalah ini adalah fatwa
dari Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia. Take over diatur
dalam fatwa No. 31/DSN-MUI/VI/2002, sedangkan hiwalah diatur dalam fatwa
No. 121/DSN-MUI/VI/2000.
50 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia
Institute, 2002), h. 180.
51 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, cet. I, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), h. 147-148.
BAB III
GAMBARAN UMUM BANK MUAMALAT INDONESIA
A. Sejarah Singkat Bank Muamalat Indonesia
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada tahun 1991, diprakarsai
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai
kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha
Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti
dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat
penandatanganan akta pendirian Perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi
peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari
masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar.
Bank Muamalat Indonesia merupakan bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam yaitu tidak mempergunakan perangkat bunga,
melainkan sistem bagi hasil. Bank Muamalat Indonesia menghindari perangkat
bunga karena masih sangat banyak kalangan umat islam yang percaya bahwa tata
cara penggunaannya dikhawatirkan mengandung unsur riba.52
52 Zainulbahar Noor, Bank Muamalat Sebuah Mimpi, Harapan, dan Keyakinan, (Jakarta:
Bening Publishing, 2006), h. 312.
Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank
Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini
semakin memperkokoh posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan
terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus
dikembangkan.
Pada akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang
memporakporandakan sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor
perbankan nasional tergulung oleh kredit macet di segmen korporasi. Bank
Muamalat pun terimbas dampak krisis. Di tahun 1998, rasio pembiayaan macet
(NPF) mencapai lebih dari 60%. Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar.
Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3 miliar, kurang dari sepertiga modal
setor awal.
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari
pemodal yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development
Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21
Juni 1999 IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat.
Oleh karenanya, kurun waktu antara tahun 1999 dan 2002 merupakan masa-masa
yang penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat. Dalam kurun
waktu tersebut, Bank Muamalat berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi
laba berkat upaya dan dedikasi setiap Kru Muamalat, ditunjang oleh
kepemimpinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan
terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni.
Melalui masa-masa sulit ini, Bank Muamalat berhasil bangkit dari
keterpurukan. Diawali dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh
anggota Direksi diangkat dari dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian
menggelar rencana kerja lima tahun dengan penekanan pada (i) tidak
mengandalkan setoran modal tambahan dari para pemegang saham, (ii) tidak
melakukan PHK satu pun terhadap sumber daya insani yang ada, dan dalam hal
pemangkasan biaya, tidak memotong hak Kru Muamalat sedikitpun, (iii)
pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri Kru Muamalat menjadi prioritas
utama di tahun pertama kepengurusan Direksi baru, (iv) peletakan landasan usaha
baru dengan menegakkan disiplin kerja Muamalat menjadi agenda utama di tahun
kedua, dan (v) pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan serta
menumbuhkan peluang usaha menjadi sasaran Bank Muamalat pada tahun ketiga
dan seterusnya, yang akhirnya membawa Bank kita, dengan rahmat Allah Rabbul
Izzati, ke era pertumbuhan baru memasuki tahun 2004 dan seterusnya.53
Hingga akhir tahun 2004, Bank Muamalat tetap merupakan bank syariah
terkemuka di Indonesia dengan jumlah aktiva sebesar Rp 5,2 triliun, modal
pemegang saham sebesar Rp 269,7 miliar serta perolehan laba bersih sebesar Rp
48,4 miliar pada tahun 2004.54
53 Bank Muamalat Indonesia, Laporan Tahunan 2006, (Jakarta: Bank muamalat Indonesia,
2006), h. 5.
54 Sejarah Singkat Bank Muamalat Indonesia, diakses pada tanggal 4 September 2008 dari
http://www.muamalatbank.com/profil/label.asp.
B. Visi, Misi, dan Strategi Bank Muamalat Indonesia
1. Visi
Menjadi bank syariah utama di Indonesia, dominan di pasar spiritual,
dikagumi di pasar rasional.
2. Misi
Menjadi ROLE MODEL Lembaga Keuangan Syariah dunia dengan
penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan
orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimumkan nilai bagi
stakeholder.
3. Strategi
Menerapkan konsep- konsep syariah murni yang Islami dan meningkatkan fee
based income. Untuk mencapai tujuannya, Bank Muamalat Indonesia
mendasarkan usaha kegiatan sebagai berikut:
a. Sasaran pembinaan yaitu membina dan mempercepat perkembangan
masyarakat ekonomi menengah ke bawah bangsa Indonesia untuk
menjembatani kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi karena dampak
pembangunan, sehingga terbentuk dasar yang kokoh bagi pengembangan
manusia seutuhnya dalam pembangunan nasional jangka panjang 25 tahun
kedua.
b. Strategi pengembangan yaitu:
1) Bekerjasama dengan baik dengan bank- bank perkreditan rakyat
(BPR) yang telah ada. Mendorong pengembangan bank-bank
perkreditan rakyat (BPR) baru di daerah potensial.
2) Bekerjasama dengan badan amil zakat, infak, dan shodaqoh
(BAZIZ) mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infak, dan
shodaqoh.
3) Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga
penyediaan bantuan tehnik manajemen untuk pengusaha kecil dan
menengah.
4) Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga
penyediaan bantuan pembinaan ketrampilan akuntansi.
5) Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan teknologi pasca
panen.
6) Mengembangkan peranan kelembagaan pemasaran hasil produksi.55
C. Struktur Organisasi Bank Muamalat Indonesia
Setiap perusahaan mempunyai struktur organisasi tersendiri yang
memberikan ciri khas organisasinya, sehingga berbeda dengan organisasi lainnya
55 Hasan Muarif…et al., Suplemen Ensiklopedi Islam, cet. Ke-4, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri
Abadi, 1999), h. 64- 65.
yang sejenis. Organisasi PT. Bank Muamalat Indonesia terdiri dari bagian-bagian
berikut:
1. Shareholders Meeting (Rapat Umum Pemegang Saham)
Adalah dewan tertinggi yang ada di Bank Muamalat Indonesia. Tugasnya
memimpin rapat pemegang saham serta mengawasi jalannya kegiatan yang
dilaksanakan oleh Bank Muamalat Indonesia.
2. Board of Commissioner (Dewan Komisaris
Adalah wakil dari pemegang saham yang mempunyai peran sebagai pengawas
dan bersama dewan direksi merumuskan strategi jangka panjang perusahaan.
Adapun tugas dan wewenang dewan komisaris adalah sebagai berikut:
a. Mengesahkan anggaran
b. Menetapkan kebijaksanaan- kebijaksanaan perusahaan
c. Menetapkan arah dan tujuan perusahaan
d. Mengawasi jalannya perusahaan
3. Dewan Pengawas Syariah (Shariah Supervisory Board)
Didalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 72/92 tentang
bank berdasarkan prinsip bagi hasil, disebutkan bahwa bank berdasarkan
prinsip bagi hasil wajib memiliki dewan pengawas syariah yang mempunyai
tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan
sesuai prinsip syariah. Dewan Pengawas Syariah dalam organisasi bank
bersifat independen dan terpisah dari pengurusan bank, sehingga tidak
mempunyai akses terhadap operasional bank. Tugas dan wewenang Dewan
Pengawas Syariah adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pedoman garis-garis besar syariah.
b. Mengadakan perbaikan atas produk yang tidak sesuai dengan syariah.
c. Memberikan jawaban dalam bentuk fatwa atas permasalahan yang
dihadapi pihak ekskutif dan operasi.
d. Memeriksa buku laporan tahunan dan kesesuaian syariah disemua produk
dan operasi selama satu tahun berjalan
e. Menerima penjelasan dari direksi dan aparat bank lainnya tentang hal- hal
yang ditanyakan.
4. Operation Director
Mempunyai wewenang dan tanggung jawab membuat kebijakan khususnya
dalam bidang operasional, melaksanakan koordinasi dan pembinaan bawahan
serta pengawasan kegiatan operasional.
5. Administration Group
a. Melakukan supervisi dan monitoring terhadap segenap kantor cabang atas
pelaksanaan atau jalannya operasional.
b. Melakukan konsolidasi terhadap pembuatan dan monitoring laporan-
laporan bulanan keuangan bank dan menyampaikannya pada pihak intern
dan ekstern yang berkepentingan.
c. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan rekrutmen dan seleksi
karyawan, proses terminasi atau pengunduran diri karyawan serta
memonitor dan memelihara date base kepersonaliaan.
d. Melakukan proses administrasi pembiayaan karyawan, pembayaran gaji
serta pembayaran Jamsostek dan pajak (PPh 21) seluruh karyawan serta
pengurus bank.
e. Melakukan koordinasi dalam penyediaan sarana logistik dalam rangka
persiapan pembukaan atau pengembangan kantor cabang yang meliputi
jaringan komunikasi dan sarana penunjang operasional lainnya.
f. Melakukan koordinasi terhadap pengelolaan sistem komunikasi data untuk
mendukung operasional online pusat data keseluruhan cabang Bank
Muamalat Indonesia serta berkoordinasi dengan pihak ekstern.
6. Corporate Support Group
Ruang lingkup kerja:
a. Menyiapkan dan melaksanakan legal action atas kebijakan manajemen.
b. Memberikan masukan dalam penyusunan manual, produk, akad, dan
keputusan yang terkait dalam aspek hukum.
c. Meningkatkan pengetahuan dalam positif masyarakat tentang bank
Muamalat Indonesia.
d. Membangun pendekatan dan citra positif bank Muamalat Indonesia pada
emotional market.
e. Meraih dukungan moril maupun materiil dari stockholder maupun new
investor.
7. Internal Audit Group
Ruang lingkup kerja:
a. Berwenang untuk melakukan akses terhadap catatan karyawan, sumber
daya dan dana serta aset bank lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
audit.
b. Memeriksa dan menilai atas kecukupan dari struktur pengendalian intern.
8. SISOP (System Operation Procedure) dan UAT (User Acceptance Test)
a. Merencanakan, menyusun atau membuat dan memperbaiki prosedur
peraturan atau kebijakan pribadi.
b. Menyebarkan ketentuan pemerintah seperti SEBI, PP, Undang- undang
dan sejenisnya untuk bidang operasi bank.
c. Sosialisasi dan implementasi prosedur yang telah dibuat dan direvisi.
d. Memantau dan melakukan supervisi terhadap layanan dan operasi selindo,
sehingga kualitas layanan operasi dapat dipenuhi
e. Melakukan UAT atas produk atau program yang akan diluncurkan dan
disesuaikan dengan manual operasi yang dibuat
9. Financing Support Group
Ruang lingkup kerja:
a. Financing supervision
b. Shariah financial institution
c. Financing product development
10. Network and Alliance Group
Ruang lingkup kerja:
a. Network Alliance (POS, Da’i Muamalat, pegadaian )
b. Shar- E Gerai Optimizing
c. Virtual banking Operation (call center and card center)
d. Memeriksa dan menilai kualitas kerja dalam melaksanakan tanggung
jawab yang telah dilaksanakan.
e. Memeriksa sarana perbaikan baik untuk kecukupan dan efektifitas atau
kehandalan struktur pengendalian intern maupun perbaikan pelaksanaan.
f. Memberikan informasi dan sarana kepada manajemen mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan upaya menjadikan bank lebih maju.
11. Business development Group
Ruang lingkup kerja:
a. Membuat marketing plan dan marketing strategy sebagai guidance bagi
cabang.
b. Bersama financing dan seattlement group membuat target lending dan
revenue system dan technology.
c. Melakukan pengembangan sistem dan teknologi untuk mendukung
operasional bank.
Produk development:
a. Melakukan riset dan survei dan pengembangan produk
b. Melakukan review produk dan fitur produk
c. Merumuskan tarif layanan produk
Gambar 3.1. Struktur Organisasi PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
INTERNAL AUDIT
GROUP
- Resident Auditor
- Administration and Information Technology
System
- Data Control
- Financing and Treasury
- Monitoring and Audit Analysis
CORPORATE SUPPORT
- Corporate Secretary
- Communication and Public Relation
- Corporate Legal and Investor Relation
- Protocolair and Internal Relation
- Corporate Planning
ADMINISTRATION
- MIS and Tax
- Personnel Administration and Logistic
- Information and Technology
- Technical Support and Data Center
- Operation Supervision and SOP
FINANCING &
SETTLEMENT
- Financing Supervision & SOP
- F.I and Sharia Financial Institution
- Financing Product Development
BUSINESS UNITS
- Operational Head Office
- Coordinating Branches and Branches Office
- DPLK
BUSINESS INNOVATION
- System Development and SOP
- Product Development and Maintenance
- Treasury
- Network Alliance (POS, Da'i Muamalat,
Pegadaian)
- Shar-E and Gerai Optimizing
- Virtual Banking Operations (Call Center and
Card Center)
(Sumber Annual report Bank Muamalat, 2006)
D. Produk- produk Bank Muamalat Indonesia
Produk muamalat terbagi menjadi dua
1. Produk bagi Penyimpan Dana (shahibul Maal)
Mengamanahkan dana di Bank Muamalat bukan sekedar menyimpan
atau menitipkan dana. Dana Anda InsyaAllah akan diinvestasikan secara
optimal untuk membiayai berbagai macam usaha halal dan produktif bagi
kepentingan Ummat.
Bagi hasil yang nasabah yang diperoleh setiap bulannya merupakan
hasil dari pembiayaan Bank Muamalat untuk usaha-usahanya yang tidak
diragukan kehalalannya.
Saat ini Bank Muamalat mengimplementasikan pola bagi hasil atas
pendapatan (revenue sharing) yang berarti bank membagikan hasil usaha
secara penuh dan adil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati, sebelum
dikurangi biaya- biaya operasional bank.
Setiap akhir bulan bank akan menghitung pendapatan yang berasal
dari tiap Rp 1000,- (seribu rupiah) dana nasabah kemudian membagi
hasilkannya sesuai nisbah yang disepakati.
Terdiri dari:
1) Tabungan Ummat
Tabungan Ummat merupakan sarana investasi murni sesuai syariah dalam
mata uang Rupiah yang memungkinkan nasabah melakukan penyetoran
dan penarikan tunai dengan sangat mudah.
2) Tabungan Ummat Junior
Tabungan Ummat Junior adalah tabungan khusus untuk pelajar.
3) Shar- E
Shar- E adalah investasi syariah yang dikemas khusus dalam bentuk paket
perdana seharga Rp 125.000,- dan dapat diperoleh di kantor- kantor Pos
Online di seluruh Indonesia.
4) Tabungan Haji Arafah
Tabungan Haji Arafah merupakan jenis tabungan yang ditujukan bagi
anda yang berniat melaksanakan ibadah haji secara terencana sesuai
dengan kemampuan jangka waktu yang nasabah kehendaki.
5) Giro Wadiah
Giro Wadiah Bank Muamalat dalam mata uang Rupiah maupun valas,
pribadi ataupun perusahaan, ditujukan untuk mendukung aktivitas usaha
nasabah.
6) Deposito Mudharabah
Merupakan pilihan investasi dalam mata uang Rupiah maupun USD
dengan jangka waktu 1, 3, 6, dan 12 bulan yang ditujukan bagi nasabah
yang ingin berinvestasi secara halal, murni sesuai syariah. Dana anda akan
diinvestasikan secara optimal untuk membiayai berbagai macam usaha
produktif yang berguna bagi kepentingan Ummat.
7) Deposito Fulinves
Merupakan pilihan investasi dalam mata uang rupiah maupun USD
dengan jangka waktu 6 dan 12 bulan yang ditujukan bagi nasabah yang
ingin berinvestasi secara halal, murni sesuai syariah. Deposito ini
dilengkapi dengan fasilitas asuransi jiwa.
8) DPLK Muamalat
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Muamalat merupakan badan
hukum yang menyelenggarakan program pensiun, yaitu suatu program
yang menjanjikan sejumlah uang yang pembayarannya secara berkala dan
dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu.
2. Produk bagi Pengelola Dana (Mudharib)
Sistem pembiayaan Bank Muamalat menempatkan nasabah sebagai
mitra bank Muamalat dalam berwirausaha sehingga skema apapun yang
dipilih, jual beli ataupun bagi hasil, Bank Muamalat dengan komitmennya
untuk mendukung sektor riil yang halal, akan memberikan dukungan
pembiayaan. Bahkan tersedia asistensi manajemen untuk memudahkan usaha
yang akan dijalankan, bila para mitra dan nasabah memerlukannya.
Terdiri dari:
1) Piutang Murabahah
Fasilitas penyaluran dana dengan sistem jual beli. Bank akan membelikan
barang-barang halal apa saja yang nasabah butuhkan kemudian
menjualnya kepada nasabah untuk diangsur sesuai dengan kemampuan
nasabah. Produk ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan usaha
(modal kerja dan investasi: pengadaan barang modal seperti mesin,
peralatan, dll) maupun pribadi (misalnya pembelian kendaraan bermotor,
rumah, dll).
2) Piutang Istishna’
Fasilitas penyaluran dana untuk pengadaan objek/ barang investasi yang
diberikan berdasarkan pesanan nasabah.
3) Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan dalam bentuk modal/dana yang diberikan oleh bank untuk
dikelola dalam usaha yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dalam
pembiayaan ini nasabah dan bank sepakat untuk berbagi hasil atas
pendapatan usaha tersebut. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak
bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan,
kecurangan, dan penyalahgunaan.
4) Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan musyarakah adalah kerjasama perkongsian yang
dilakukan antara nasabah dan Bank Muamalat dalam suatu usaha dimana
masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan memberikan kontribusi
sesuai dengan kesepakatan bersama berdasarkan porsi dana yang
ditanamkan.
Jenis usaha yang dapat dibiayai antara lain perdagangan, industri/
manufacturing, usaha atas dasar kontrak dan lain-lain.
5) Rahn (Gadai Syariah)
Bekerjasama dengan Perum Pegadaian membentuk Unit Layanan
Gadai Syariah (ULGS)
Rahn (Gadai Syariah) adalah perjanjian penyerahan barang atau harta
sebagai jaminan berdasarkan hukum gadai berupa emas/ perhiasan/
kendaraan. Anda cukup mengisi dan menandatangani Surat Bukti Rahn,
kemudian dana segarpun dapat segara diterima dengan jumlah maksimal
90 % dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan.
BAB IV
DESAIN AKAD PEMBIAYAAN TAKE OVER KPR SYARIAH
DI BANK MUAMALAT INDONESIA
A. Aplikasi Pembiayaan take over KPR Syariah di Bank Muamalat Indonesia
Banyak nasabah konvensional yang kecewa dan mengeluhkan laporan
pembayaran angsuran yang diberikan bank konvensional, yang ternyata setiap
membayar angsuran KPR pada awal-awal tahun perjanjian KPR sebagian besar
hanya untuk membayar bunganya saja dan untuk pembayaran pokoknya hanya
sedikit sekali sehingga outstanding pokok KPR-nya turun tidak signifikan. Untuk
itu mereka mau mengalihkan KPR-nya ke bank syariah, karena di bank syariah
setiap membayar angsuran antara pembayaran pokok dengan pembayaran margin
hampir berimbang, sehingga penurunan outstanding pokok KPR-nya signifikan.56
Respon positif dari masyarakat akan jasa keuangan syariah telah membawa
mereka pada satu kebutuhan untuk mengalihkan dana yang selama ini mereka
taruh di lembaga keuangan konvensional ke lembaga keuangan syariah. Bank
Muamalat sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang paling senior di
Indonesia merespon hal itu dengan menyediakan produk pembiayaan take over
KPR syariah bagi nasabah yang telah terlanjur mengajukan pembiayaan KPR-nya
56 Alihozi, Ayo Beralih ke KPR Syariah, artikel diakses pada tanggal 12 November 2008 dari
http://alihozi77.blogspot.com/2008/04/ayoberalih-kpr-syariah.html.
di bank konvensional dan ingin memindahkan pembiayaan KPR-nya di bank
Muamalat.
Mekanisme pemindahan pembiayaan ini menggunakan proses take over,
dimana sisa tanggungan KPR diambil alih oleh bank Muamalat. Syaratnya juga
tidak rumit. KPR yang bisa dipindahkan minimal sudah berjalan satu tahun atau
lebih.
Selain digunakan untuk pembiayaan KPR, take over di bank Muamalat
Indonesia juga digunakan untuk pembiayaan kendaraan, baik mobil maupun
motor, dan untuk modal kerja. Take over juga bisa digunakan untuk produk-
produk yang memakai prinsip jual beli maupun bagi hasil.57
Pembiayaan take over KPR syariah di bank Muamalat Indonesia
menggunakan alternatif akad pertama, yaitu qard dan murabahah karena akad ini
yang paling mudah.58
Prosedur take over di Bank Muamalat kurang lebih seperti ini, Nasabah
yang berhutang rumah kepada Bank Konvensional (BK) secara riba, lalu ia ingin
hijrah ke bank syariah datang ke bank Muamalat (Muhal ‘alaih) minta take over
kredit rumahnya. Sebelum menyetujui pembiayaan take over ini, bank Muamalat
melakukan survei terlebih dahulu ke bank konvensional tempat nasabah
berhutang, memastikan benar tidaknya nasabah punya hutang, bagaimana 5 C-nya
57 Wawancara pribadi dengan Bapak Gatut Prokoso, Officer Bank Muamalat Indonesia,
Arthaloka Building, hari Rabu tanggal 22 Oktober 2008.
58 Ibid.
(character, capacity, capital, collateral, condition) nasabah, dan hal lain yang
terkait. Jika semua jelas, Bank Muamalat akan menyerahkan dana qard ke
rekening nasabah yang ada di bank Muamalat. Setelah memastikan berapa
outstanding (sisa) angsuran pokoknya, dana tersebut ditransfer ke rekening
nasabah yang ada di bank konvensional. Dengan dana ini nasabah bisa melunasi
hutangnya di Bank konvensional. Setelah itu dokumen-dokumen pembiayaan
yang ada di bank konvensional diminta oleh Bank Muamalat. Setelah semua
dokumen lengkap, yang terjadi selanjutnya adalah akad antara nasabah dengan
bank Muamalat. Nasabah menjual rumah itu kepada Bank Muamalat, dananya
digunakan untuk melunasi qard. Kemudian bank Muamalat menjual rumah itu
secara Murabahah kepada nasabah.59
Ada alasan mengapa dana qard masuk ke rekening nasabah di bank syariah
terlebih dahulu dan tidak langsung masuk ke rekening yang ada di bank
konvensional. Hal ini dikarenakan bank syariah menerapkan prinsip kehati-hatian.
Jikakalau kemudian terjadi wanprestasi nasabah, maka bukti transfer ke rekening
nasabah di bank syariah ini bisa dijadikan bukti di pengadilan.
Perlu untuk diketahui bahwa bank syariah hanya men-take over sisa pokok
pinjamannya saja. Sedangkan bunga berjalan dan pinalti atau denda di bank
konvensional (jika ada) tidak ditake over. Misalnya KPR di bank konvensional
Rp 100 juta, jangka waktu 10 tahun, bunga 14 persen. Pada tahun kedua pokok
59 Ibid.
utang katakanlah tinggal Rp 90 juta. Maka yang diambil alih bank syariah hanya
Rp 90 juta. Bila nasabah dikenakan denda oleh bank konvensional karena
memindahkan KPR yang baru berjalan 1-2 tahun, maka nasabah harus membayar
sendiri.60
Jadi sebelum melakukan take over nasabah harus menyiapkan dana
untuk membayar denda/pinalti (jika ada) di bank konvensional.
Keuntungan yang dapat diperoleh jika menggunakan pembiayaan di bank
syariah, entah itu KPR atau lainnya, jika nasabah hendak melunasi lebih cepat
dari waktu yang ditentukan tidak dikenakan denda seperti yang terjadi di bank
konvensional.61
Kedua akad ini jelas sekali berbeda, yang satu akad tabarru’ dan yang
satunya akad tijarah. Ini berarti sifat tolong-menolong dalam transaksi ini hilang
karena bank mencari keuntungan (komersil). Tapi bukan itu yang menjadi
permasalahan pokok kenapa alternatif akad pertama ini kurang sesuai syariah.
Masalahnya adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam murabahah
adalah komoditas/barang dibeli dari pihak ketiga. Sehingga pembelian
komoditas/barang dari nasabah sendiri dengan perjanjian buy back ‘pembelian
kembali’ adalah sama dengan transaksi berbasis bunga. Dalam hal ini mirip bai’
al-inah.
60 Pindah KPR ke Bank Syariah Mudah, artikel diakses pada tanggal 6 Mei 2008 dari
http://blog.pemiliklangsung.com/pindah-bank-kpr/
61 Wawancara pribadi dengan Bapak Gatut Prokoso, Officer Bank Muamalat Indonesia,
Arthaloka Building, hari Rabu tanggal 22 Oktober 2008.
Bai’ al-inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada
pembeli dengan janji untuk dibeli kembali (sales and buy back) dengan pihak
sama. Bai’ al-innah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan
pembelian tangguh (deferred payment sale).62
Dalam akad ini penjual (nasabah) menjual aset (rumah) kepada pembeli
(bank syariah) tunai untuk kemudian dibeli kembali secara tangguh. Hal inilah
yang menyebabkan akad yang dipakai oleh bank syariah dalam pembiayaan take
over KPR dirasa perlu untuk ditinjau kembali.
B. Desain Pembiayaan Take Over KPR yang Lebih Sesuai Syariah
Akad yang digunakan oleh bank syariah dalam mentake over pembiayaan
KPR syariah memang telah sesuai dengan fatwa yang dibuat oleh DSN-MUI,
tetapi pada prakteknya akad yang digunakan tersebut mirip bai’ al-inah sehingga
rasanya perlu dicari akad baru yang lebih sesuai syariah baik secara teori maupun
setelah dipraktekkan.
Selain keempat alternatif akad yang telah disahkan oleh DSN-MUI , dalam
hal pembiayaan take over, terdapat akad yang dirasa lebih sesuai syariah yang
telah diterapkan di bank-bank syariah di negara lain yaitu akad musyarakah
mutanaqisah.
62 Ibid., h. 189.
Musyarakah mutanaqisah adalah akad bagi hasil yang merupakan
penyertaan modal secara terbatas dari satu mitra usaha kepada mitra usaha lain
untuk jangka waktu tertentu.63
Dalam salah satu aplikasinya (seperti yang dilakukan oleh Kuwait Finance
house/KFH), akad musyarakah mutanaqisah digunakan untuk pembiayaan
perumahan dan properti. Dalam hal ini, pembiayaan dengan akad musyarakah
mutanaqisah merupakan bentuk kerja sama kemitraan ketika bank dan nasabah
bersama-sama membeli rumah atau properti. Aset tersebut kemudian disewakan
kepada nasabah dengan biaya sewa bulanan. Bagian pendapatan sewa nasabah
digunakan sebagai penambahan kepemilikan, sehingga pada waktu tertentu (saat
jatuh tempo), rumah atau properti tersebut menjadi milik nasabah sepenuhnya.64
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algoud65
menyebut akad ini perpaduan
antara musyarakah menurun (diminishing musyarakah) dan ijarah. Konsep ini
mengharuskan pemilik modal dan klien berpartisipasi dalam kepemilikan bersama
sebuah properti. Saham pemilik modal kemudian dibagi ke dalam beberapa unit.
Pihak klien dapat membeli unit itu satu demi satu secara berkala sehingga ekuitas
63 Ibid., h. 195.
64 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, edisi 1, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
h. 195. 65 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Alqoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan
Prospek, cet. I, (Jakarta: Serambi Ilmu semesta, 2003), h. 82. Penerjemah Burhan Subrata, Judul asli
Islamic Banking, (Edward Elgar: Massachusetts, 2001).
yang dipegang bank semakin lama semakin berkurang. Pada akhirnya, bank
memiliki nol-equitas (zero equity) dan berhenti menjadi mitra.
Di Pakistan akad musyarakah menurun ini salah satunya diaplikasikan
untuk pembiayaan pemilikan rumah (pembelian, pembangunan, renovasi, dan
pengalihan). Dalam hal ini, bank sepakat untuk membiayai pembelian rumah
nasabah sampai 85 %. Selanjutnya, nasabah setuju untuk membayar cicilan
bulanan yang berupa bagian pembayaran sewa dan cicilan modal. Cicilan bulanan
ini menurun karena setiap bulan bagian modal nasabah bertambah besar, sedang
bagian modal bank berkurang, sehingga bagian pembayaran sewa berkurang.
Ketika cicilan lunas, aset (rumah) sepenuhnya menjadi milik nasabah.66
Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan
kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian
suatu barang (benda). Dimana aset barang tersebut menjadi milik bersama.
Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan jumlah modal atau
dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Dalam pembiayaan take
over KPR dari bank konvensional ke bank syariah, nasabah memiliki persentase
aset sejumlah yang telah dibayarkan ke bank konvensional. Bank syariah
memiliki sisanya, sejumlah yang dibayarkan untuk melunasi hutang nasabah di
bank konvensional. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah
dana/modal yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi
66 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah….., h. 160.
bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah
dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir
berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik
nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syaraih terhadap barang atau benda
berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain jumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih
kepemilikan, nasabah harus membayar sewa kepada bank syariah hingga
berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan
bersamaan dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan
bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran
sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya
terhadap asset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi
kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.67
Ketentuan pokok yang perlu diperhatikan dalam akad musyarakah
mutanaqisah adalah unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah).
Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan dana atau modal dan kerjasama
kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang diberikan salah satu
pihak kepada pihak lain. Ketentuan pokok yang terdapat dalam musyarakah
mutanaqisah merupakan ketentuan pokok kedua unsur tersebut.
67 Karnaen A. Perwataatmadja, Musyarakah Mutanaqisah, artikel diakses pada tanggal 25
November 2008 dari http://www.pkesinteraktif.com/content/view/3192/905/lang,id/
Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang bekerjasama dan pokok
modal, sebagai obyek akad syirkah, dan sighat (ucapan perjanjian atau
kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi. Sebagai syarat dari
pelaksanaan akad syirkah (1) masing-masing pihak harus menunjukkan
kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama, (2) antar pihak harus saling
memberikan rasa percaya dengan yang lain, dan (3) dalam percampuran pokok
modal merupakan percampuran masing-masing dalam kepemilikan objek akad
tersebut.
Sementara berkaitan dengan unsur sewa, ketentuan pokoknya meliputi;
penyewa (musta’jir) dan yang menyewakan (mu’jir), sighat (ucapan
kesepakatan), ujrah (fee), dan barang/benda yang disewakan yang menjadi objek
sewa. Besaran sewa harus jelas dan dapat diketahui kedua pihak.68
Dalam musyarakah mutanaqisah harus jelas besaran angsuran dan besaran
sewa yang harus dibayar nasabah. Dan ketentuan batasan waktu pembayaran
menjadi syarat yang harus diketahui kedua belah pihak. Besar kecilnya harga
sewa dapat berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar
kecilnya sewa dapat dilakukan kesepakatan ulang.69
68 Ibid.
69 Ibid.
Gambar 4.1. Bagan Proses Musyarakah Mutanaqisah
C. Analisis terhadap Akad Pembiayaan Take Over KPR Syariah
Salah satu produk unggulan perbankan nasional dalam menyalurkan kredit
konsumtif adalah Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Hampir semua bank
berlomba-lomba menawarkan produk KPR-nya kepada masyarakat dengan
memberikan segala fasilitas kemudahan. Dengan kondisi ekonomi yang tidak
menentu seperti sekarang ini, yang berimbas pada naik turunya suku bunga,
banyak nasabah tertarik untuk menggunakan produk KPR syariah yang tidak
terpengaruh suku bunga.
Nasabah yang sudah terlanjur menggunakan KPR konvensional ingin
memindahkan KPR-nya ke bank syariah dengan menggunakan mekanisme take
over. Skema pembiayaan yang digunakan adalah qard dan murabahah. Skema
pembiayaan ini dirasa penulis kurang sesuai syariah, karena dalam prakteknya
mirip dengan bai’ al-inah yang jelas-jelas diharamkan oleh para ulama di
Indonesia.
Di banyak bank syariah di Negara lain, dalam hal pembiayaan KPR
diterapkan akad musyarakah mutanaqisah. Akad ini adalah campuran antara
syirkah dengan ijarah. Musyarakah mutanaqisah ini dirasa lebih sesuai dengan
syariah dibandingkan dengan akad qard dan murabahah.
Musyarakah mutanaqisah memungkinkan pemberian jangka waktu
pembiayaan yang lebih lama daripada pembiayaan murabahah. Meskipun semua
itu kembali kepada kebijakan bank syariah masing-masing.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu dapat ditarik kesimpulan sebagai
inti dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu:
1. Akad pembiayaan take over KPR syariah di Bank Muamalat Indonesia
menggunakan qard dan murabahah yang merupakan alternatif 1 dari empat
alternatif yang ditetapkan DSN-MUI dalam fatwa No. 31/DSN-MUI/VI/2002
tentang pengalihan hutang. Bank Muamalat memberikan qardh kepada
nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya dan
dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik
nasabah secara penuh Nasabah menjual aset dimaksud kepada Bank
Muamalat, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya
kepada Bank Muamalat. Bank Muamalat menjual secara murabahah aset
yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran
secara cicilan. Alternatif akad pertama ini kurang sesuai syariah karena salah
satu syarat yang harus dipenuhi dalam murabahah adalah komoditas/barang
dibeli dari pihak ketiga. Sehingga pembelian komoditas/barang dari nasabah
sendiri dengan perjanjian buy back ‘pembelian kembali’ adalah sama dengan
transaksi berbasis bunga. Dalam hal ini mirip bai’ al-inah.
2. Desain akad pembiayaan take over KPR yang lebih relevan dan lebih sesuai
dengan syariah yang telah diterapkan di bank-bank syariah di negara lain yaitu
akad musyarakah mutanaqisah. Musyarakah mutanaqisah adalah akad bagi
hasil yang merupakan penyertaan modal secara terbatas dari satu mitra usaha
kepada mitra usaha lain untuk jangka waktu tertentu. Dalam hal ini,
pembiayaan dengan akad musyarakah mutanaqisah merupakan bentuk kerja
sama kemitraan ketika bank dan nasabah bersama-sama membeli rumah atau
properti. Aset tersebut kemudian disewakan kepada nasabah dengan biaya
sewa bulanan. Bagian pendapatan sewa nasabah digunakan sebagai
penambahan kepemilikan, sehingga pada waktu tertentu (saat jatuh tempo),
rumah atau properti tersebut menjadi milik nasabah sepenuhnya.
B. SARAN
Setelah melakukan analisis, maka saran-saran yang dapat penulis berikan
adalah:
1. Dalam pembiayaan take over terdapat empat alternatif akad yang bisa
digunakan. Ada baiknya bank syariah terbuka jika nasabah menginginkan
bertransaksi dengan alternatif akad yang lain selain alternatif akad 1 (qard,
bai’, murabahah). Hal ini sesuai dengan kaidah fikih bahwa “pada dasarnya
semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”. Jangan menetapkan akad sepihak hanya dikarenakan
alasan kemudahan. Bank syariah hendaknya memberikan penjelasan kepada
nasabah tentang semua alternatif akad yang dapat digunakan sehingga
nasabah bisa memilih sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. Untuk itu
diperlukan SDM yang lebih berkualitas yang mengerti tentang akad-akad
syariah. Selain itu dalam transaksi pengalihan hutang akad ijarah saja kurang
tepat, karena setelah masa penyewaan ini berakhir nasabah tidak bisa
memiliki barang tersebut tetapi kalau ijarah al-muntahia bitamlik bisa juga
dilakukan, karena akad ini merupakan akad sewa-menyewa yang diakhiri
dengan pengalihan barang dari bank ke nasabah. Dan di dalam akad ini pihak
nasabah mempunyai kebebasan penuh di dalam penggunaan modalnya. Akad
ijarah al-muntahia bitamlik ini hanya bisa dilakukan apabila transaksi
pengalihan hutang ini dalam bentuk barang yang dapat disewa dan bukan
dalam bentuk uang, karena ijarah al-muntahia bitamlik merupakan prinsip
sewa-menyewa.
2. Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya
operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah
sangat khusus jika dibandingkan Bank Konvensional. Fungsi utama lain dari
Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-
produk yang dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Seharusnya jika dalam prakteknya, akad yang telah ditetapkan ternyata rawan
terhadap riba atau hal lain yang menjadikannya tidak sesuai syariah, DSN
cepat tanggap dan mencari solusi yang tepat agar tidak terkesan di masyarakat
awam bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional, hanya beda nama
produknya saja.
3. Jumlah penduduk muslim yang mayoritas, belum tentu menjadi jaminan
mulusnya Bank dan KPR Syariah bertumbuh kembang. Ini menjadi ironi bila
melihat perkembangan aktifitas dan lalu lintas keuangan syariah di Indonesia.
Hal ini dikarenakan dukungan pemerintah yang masih setengah hati, serta
masih terdapatnya sengkarut antara regulasi dan implementasi, khususnya
perkara fiskal, turut berkontribusi terhadap keengganan masyarakat mayoritas
negeri ini untuk memanfaatkan jasa perbankan berbasis syariah. infrastruktur
dan regulasinya sudah cukup memadai dan memungkinkan prinsip keuangan
syariah berkembang di sana. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan
membuat regulasi dan aturan main yang tidak terlalu kaku. Salah satunya
menerapkan fleksibilitas dengan acuan aturan syariah internasional yang pada
dasarnya membebaskan pajak berganda.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Quran dan Terjemahannya, tt., Bandung. CV. Gema Risalah Press.
Abu Fadli bin Ali bin Hijr al- Asqalani, Bulughul Maram, Beirut: Daar al- Fikr,
1409/ 1989 M.
Agustianto, Hiwalah: Materi kuliah pascasarjana UI, IEF Trisakti, dan Universitas
paramadina.
Ali, M. Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persda, 2004, edisi I, cet. ke- 2.
Alihozi, Ayo Beralih ke KPR Syariah, artikel diakses pada tanggal 12 November
2008 dari http://alihozi77.blogspot.com/2008/04/ayoberalih-kpr-syariah.html.
.
Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2007, cet. I.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001, cet. I.
------- Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000.
------- Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta: Tazkia
Institute, 1999.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Arifin, Zainul, Dasar- Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2006, cet. 4.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007, edisi. 1.
Bank Muamalat Indonesia, Laporan Tahunan 2006, Jakarta: Bank Muamalat
Indonesia, 2006.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2002, edisi 3.
Dewan Syariah Nasional- MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,
Ciputat: Gaung Persada, 2000, cet. ketiga, edisi revisi.
Dewi, Gemala,, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media
Group, 2006, cet. 2.
Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris- Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005, cet. XXVI.
Fatwa Tentang Pengalihan Hutang, diakses pada tanggal 9 April 2008 dari
http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=39&pg=2.
Fatwa Tentang Hawalah, diakses pada tanggal 8 agustus 2008 dari
http://sharialearn.wikidot.com/fdsn012.
Hayati, Mardhiyah, “Telaah Terhadap Fatwa DSN-MUI No. 31/DSN-MUI/VI/2002”,
artikel ini diakses pada tanggal 9 April 2008 dari http://msi-
uii.net/baca.asp?kategori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel7id=211
Karim, Adiwarman., Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: The International Institute of
Islamic Thought Indonesia, tt., edisi kedua.
------- Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajawali Press, 2004,
edisi kedua.
Mahfudin, “Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Murabahah dalam Pembiayaan KPR
Syariah (studi kasus pada UUS PT. Bank Permata Tbk.)”, Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007
Mas’adi, Ghufron, Fiqh Muamalat Kontekstual, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002,
cet. 1.
Moeloeng Lexy J, Metode Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosyada Karya, 2002.
Muarif, Hasan …et al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri
Abadi, 1999, cet. ke-4.
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, cet. I.
Munawwir, Ahmad Warson, al- Munawwir Kamus Arab- Indonesia, Jakarta:
Pustaka Progressif, 1997,cet. ke-14.
al- Muslih, Abdullah dan Shalah Ash- Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan
Islam, penerjemah Abu Umar Basyir . judul asli Ma La Yasa’ at- Tajira
Jabluhu, Jakarta: Darul Haq, 2008, cet. ke-2.
NH, Muhammad Firdaus dkk, Cara Mudah Memahami Akad- akad Syariah,
Jakarta: Renaisan, 2005.
Noor, Zainulbahar, Bank Muamalat Sebuah Mimpi, Harapan, dan Keyakinan,
Jakarta: Bening Publishing, 2006.
Pasal 1 huruf (1) keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor
125/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan.
Perwataatmadja, Karnaen A., Musyarakah Mutanaqisah, artikel diakses pada tanggal
25 November 2008 dari
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/3192/905/lang,id/
Pindah ke KPR Syariah, Mengapa Tidak?, diakses pada tanggal 6 Mei 2008, dari
http://fatiaali.wordpress.com/2008/04/pindah-ke-kpr-syariah-mengapa-tidak
Pindah KPR ke Bank Syariah Mudah, artikel diakses pada tanggal 6 Mei 2008 dari
http://blog.pemiliklangsung.com/pindah-bank-kpr/
Sabiq, Sayyid. Fiqih as- Sunnah, Beirut. Daar al- Fath,). jilid 3.
ash- Shidiqi, Tengku Muhammad Hasbi. (2001), Koleksi Hadis Dan Hukum,
Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 1417 H/1996 M, edisi 2, cet. 3.
Sejarah Singkat Bank Muamalat Indonesia, diakses pada tanggal 4 September 2008
dari http://www.muamalatbank.com/profil/label.asp.
ash- Shidiqi, Tengku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis Dan Hukum, Semarang: PT.
Pustaka Riski Putra, 2001, edisi 2, cet. 3.
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata
Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999, cet. I.
UU No. 4 tahun 1994 tentang perumahan dan pemukiman”, diakses pada tanggal 26
Mei 2008 dari http://www.pu.go.id/ditjen_mukim/peraturan/perumahandan
permukiman/4_1992a.pdf.
Wawancara pribadi dengan Bapak Gatut Prokoso, Officer Bank Muamalat Indonesia,
Arthaloka Building, Rabu tanggal 22 Oktober 2008.
Yanggo, Chuzaimah T dan Haifiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. III.
Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta:
Zikrul Hakim, 2003.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
Nara Sumber : Bp. Gatut Prakoso
Tempat : Bank Muamalat Indonesia
Arthaloka Building, Jl. Jend. Sudirman No. 2 Jakarta
Tgl/ waktu : 22 Oktober 2008/ pukul 16.00- 16.30 WIB
1. Bagaimana praktik pembiayaan take over di BMI saat ini?
Jawab: Sebelumnya kita sepakati dulu bahwa take over yang disini tidak sebatas
pemindahan dari bank konvensional ke bank syariah, tetapi take over adalah
pengalihan dari bank satu ke bank lain. Dalam hal ini bisa antar bank
syariah satu ke bank syariah lain atau dari bank syariah ke bank
konvensional. Untuk take over yang dari bank konvensional ke bank syariah
kami menyebutnya “hijrah”. Saat ini praktik pembiayaan take over di BMI
sudah berjalan dengan baik, karena pada intinya apapun produknya asalkan
baik dan tidak mengandung unsur maghrib (mayshir, gharar, riba) pasti
akan direspon dengan baik juga.
2. Di BMI pembiayaan take over digunakan untuk produk apa saja?
Jawab: Sampai saat ini pembiayaan take over di BMI digunakan untuk produk
KPR, modal kerja, dan kendaraan baik mobil maupun motor. Selain itu
pembiayaan take over di BMI juga bisa digunakan untuk produk dengan
prinsip bagi hasil dan jual beli.
3. Dalam pembiayaan take over (pengalihan hutang) terdapat 4 alternatif akad
yang disahkan oleh DSN-MUI, saat ini di BMI alternative akad yang mana yang
digunakan dalam pengalihan hutang KPR?
Jawab: Alternatif akad yang pertama (qard, bai’ dan murabahah) karena paling
mudah. BMI memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut
nasabah melunasi kredit, sehingga aset menjadi milik nasabah. Kemudian
nasabah menjualnya ke BMI. Hasil penjualan ini untuk melunasi qardhnya.
Setelah itu BMI menjual aset kepada nasabah secara murabahah dengan
pembayaran secara cicilan.
4. Bisa lebih dijelaskan prosedur pen-take over-an KPR, Pak?
Jawab: Nasabah yang berhutang rumah datang ke bank Muamalat minta take over
kredit rumahnya. Sebelum menyetujui pembiayaan take over ini, bank
Muamalat melakukan survei terlebih dahulu ke bank konvensional tempat
nasabah berhutang, memastikan benar tidaknya nasabah punya hutang,
bagaimana 5 C-nya (character, capacity, capital, collateral, condition)
nasabah, dan hal lain yang terkait. Jika semua jelas, Bank Muamalat akan
menyerahkan dana qardh ke rekening nasabah yang ada di bank Muamalat.
Setelah memastikan berapa outstanding (sisa) angsuran pokoknya, dana
tersebut ditransfer ke rekening nasabah yang ada di bank konvensional.
Dengan dana ini nasabah bisa melunasi hutangnya di Bank konvensional.
Setelah itu dokumen-dokumen pembiayaan yang ada di bank konvensional
diminta oleh Bank Muamalat. Setelah semua dokumen lengkap, yang terjadi
selanjutnya adalah akad antara nasabah dengan bank Muamalat. Nasabah
menjual rumah itu kepada Bank Muamalat, dananya digunakan untuk
melunasi qardh. Kemudian bank Muamalat menjual rumah itu secara
Murabahah kepada nasabah.
Pewawancara Narasumber,
(Farida Sutarsih) (Bp. Gatut Prakoso)