Download - CMV RETINITIS - erepo.unud.ac.id
1
2
3
CMV RETINITIS
Oleh dr I Gusti Ayu Made juliari, Sp.M(K)
Pendahuluan
Cytomegalovirus (CMV) adalah bagian dari kelompok herpes virus.
Cytomegalovirus merupakan salah satu patogen dan infeksi mononukleosis
terbanyak pada populasi dengan penurunan daya tahan tubuh (Heiden &
Saranchuk, 2011; Kirubakaran, 2003; Levi et al., 2006).
Infeksi yang disebabkan oleh CMV merupakan infeksi oportunistik yang
paling sering terjadi pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS). Semua bagian dari sistem visual berisiko terinfeksi CMV pada pasien
dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau AIDS. Retina
merupakan salah satu daerah yang paling sering terinfeksi CMV pada pasien
dengan HIV. Retinitis CMV adalah infeksi CMV pada retina yang dapat
menyebabkan hilangnya tajam penglihatan pada pasien dengan AIDS (Dunn,
2008; Jabs et al., 2002; Ljungmanet al., 2002; Stewart, 2010; Taylor, 2003).
Prevalensi seseorang dengan imunitas yang baik terkena infeksi CMV
bervariasi tergantung umur, geografis, dan riwayat seksual. Hampir 60% individu
sehat diatas umur 6 tahun dan lebih dari 80% individu sehat berusia lebih dari 80
tahun menunjukkan hasil seropositif. Individu yang terinfeksi HIV dan memiliki
riwayat seksual dengan jenis kelamin sejenis, prevalensi seropositif CMV
mencapai 90%. Terapi pada infeksi HIV dengan pemberian highly active
antiretroviral therapy (HAART) telah menurunkan insiden retinitis CMV namun
menimbulkan terjadinya komplikasi pada mata yang terinduksi oleh imunitas
tubuh dan respon inflamasi terhadap CMV (Stewart, 2010; Taylor, 2003).
Pemilihan terapi anti-CMV berdasarkan efikasi obat dan toleransi pasien
terhadap obat, kerja obat, dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup pasien. Terapi
yang dapat diberikan adalah secara sistemik, intravitreal, maupun intraocular
implant (Heiden & Saharanchuk, 2011; Stewart, 2010).
4
Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk membahas lebih dalam dari
segi epidemiologi, anatomi, etiopatogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis dari retinitis CMV sehingga dapat mendeteksi lebih dini dan mencegah
kebutaan.
Epidemiologi
Retinitis yang disebabkan oleh CMV adalah infeksi oportunistik yang paling
sering terjadi pada pasien dengan HIV/AIDS. Tujuh puluh lima sampai 85 persen
pasien dengan AIDS mengalami retinitis CMV. Kurang dari 50% pasien dengan
AIDS yang mengalami retinitis CMV yang memiliki keluhan pada mata.
Probabilitas pasien dengan AIDS akan mengalami retinitis CMV adalah sebanyak
30% sebelum adanya HAART. Insiden terjadinya retinitis CMV pada pasien
AIDS adalah 0,36/100 orang per tahun. Pasien dengan risiko tertinggi mengalami
retinitis CMV adalah pasien dengan kadar CD4 kurang dari 50 sel/µL dan
terendah pada pasien yang mengalami perbaikan sistem imun sebagai respon
terhadap HAART (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b;
Jabs et al., 2002; Kempen et al., 2005; Sugar et al., 2012).
Penelitian di Shanghai mendapatkan adanya retinitis CMV pada 19 dari
113 (16,8%) pasien AIDS dengan CD4+ kurang dari 50 sel/µL. Di negara
berkembang belum diketahui insiden terjadinya retinitis CMV karena sebagian
besar kasus tidak terdiagnosis. Sembilan belas persen kasus kebutaan bilateral
yang terjadi di Thailand disebabkan oleh retinitis CMV. Didapatkan dua puluh
persen dari 325 pasien AIDS dengan mengalami retinitis CMV pada penelitian
yang dilakukan di 5 negara Afrika dan Asia Tenggara (Heiden et al., 2007;
Heiden & Saranchuk, 2011).
Anatomi Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan dan melapisi
bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Lapisan – lapisan retina
mulai dari sisi dalam ke luar adalah membran limitans interna, lapisan serat saraf
yang mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus
5
optikus, lapisan sel ganglion, lapisan pleksiformis dalam, lapisan inti dalam,
lapisan pleksiformis luar, lapisan inti luar, membran limitans eksterna, lapisan
fotoreseptor, dan epitelium pigmen retina (Guyton & Hall, 2006; Riordan-Eva &
Whitcher, 2004; Sharma & Ehinger, 2003).
Vaskularisasi retina ditunjang oleh 2 sumber pendarahan yaitu pembuluh
koriokapilaris dari koroid yang mempendarahi bagian luar retina, serta
percabangan pembuluh arteri-vena retina sentralis yang mempendarahi bagian
dalam. Arteri retina sentralis merupakan cabang pertama arteri oftalmika yang
memasuki retina dari tepi infero-medial saraf optik, sekitar 12 mm posterior dari
bola mata. Pembuluh ini berjalan ke depan menyusuri papil kemudian bercabang
menjadi bagian kapiler inferior dan superior, yang selanjutnya bercabang lagi ke
arah nasal dan temporal. Saat menembus lamina kribrosa ketebalan dinding
pembuluh darah akan berkurang sebanyak separuhnya, sehingga secara struktural
pembuluh darah intraokular ini adalah pembuluh darah arteriola. Pembuluh darah
retina merupakan end-vessel yang tidak beranastomosis, mempunyai sel endotel
dengan tight junction sehingga membentuk inner-blood-retinal barier yang
sifatnya impermeable (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Pembuluh darah retina yang lebih kecil (kapiler) terdapat di lapisan
nuklear dalam dan pleksiform luar, sedangkan arteriole meluas sampai lapisan
lebih dalam dari retina. Arteriole dan venula membentuk 2 jalinan mikrovaskular
utama yaitu kapilaris superfisial yang terletak dalam sel ganglion dan lapisan serat
saraf. Perjalanan venula selalu menyertai arteriola dan beberapa kali akan saling
bersilangan. Vena retina menyilang arteri retina di dalam jaringan penunjang.
Vena retina keluar dari papil optikus sebagai vena retina sentral yang terletak di
temporal terhadap arteri retina sentral kemudian masuk ke dalam sinus kavernosus
atau vena oftalmika superior (American Academy of Opthalmology Staff, 2011-
2012a).
Bagian retina yang mengalami infeksi CMV pada retinitis adalah sel
endotel vaskular retina dan sel glia retina. Virus CMV menyebar melalui retinal
pigment epithelium (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b;
Bodaghi & LeHoang, 2005; Nussenblatt & Whitcup, 2010).
6
Etiopatogenesis
Human cytomegalovirus (HCMV) merupakan human herpesvirus5, anggota dari 8
famili virus herpes manusia, subgrup beta-herpesvirus. Cytomegalo berarti sel
yang besar. Sel yang terinfeksi akan membesar lebih dari atau sama dengan 2x sel
yang tidak terinfeksi. Cytomegalovirus merupakan parasit yang hidup di dalam sel
atau intrasel yang sepenuhnya tergantung pada sel inang untuk memperbanyak
diri (replikasi) (Rote & Huether, 2006; Suromo, 2007).
Human CMV bereplikasi di jaringan yang memiliki sistem imun yang
kurang, di hematopoietic stem cell dan derivatnya. Virus HCMV pada masa laten
dapat ditemukan pada sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonuklear,
makrofag yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T ( CD4+ , CD8+ ),
limfosit B, sel progenitor granulosit-monosit dan lain-lain. Human CMV
mengekspresikan suatu gen agar tidak dapat dikenali oleh sistem imun. Penelitian
dengan menginduksi korioretinitis CMV pada kelinci dilakukan dengan
menginjeksikan virus CMV intrakamera dan intravitreal. Injeksi virus intrakamera
menyebabkan terjadinya uveitis anterior pada mata yang diinjeksi dan
korioretinitis pada mata kontralateral 7-10 hari setelah injeksi. Injeksi intravitreal
menginduksi panuveitis kurang dari 1 minggu setelah injeksi. Penyebaran virus
setelah injeksi intravitreal melalui serat optik, melewati chiasma opticum, dan
mencapai retina kontralateral (Bodaghi & LeHoang, 2005; Suromo, 2007).
Cytomegalovirus (CMV) menyebar secara hematogen melalui blood-
ocular (retinal) barrier, menginfeksi sel endotel vaskular retina, dan transmisi
dari satu sel virus ke virus lainnya di dalam retina. Virus CMV pada awalnya
menyerang retina perifer, melewati blood-retinal barrier. Blood-retinal barrier
akan terganggu setelah replikasi virus pada sel endotel vaskular. Partikel virus
kemudian masuk ke sel glia retina dan menyebar melalui retinal pigment
epithelium. Retina yang terinfeksi akan mengalami nekrosis (American Academy
of Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Bodaghi & LeHoang, 2005; Nussenblatt &
Whitcup, 2010).
7
Manifestasi Klinis
Individu sehat yang terinfeksi CMV biasanya tidak menunjukkan gejala dan
jarang menimbulkan komplikasi. Beberapa pasien menunjukkan influenza-like
syndrome seperti demam, menggigil, malaise, myalgia, dan arthralgia.
Cytomegalovirus, mirip dengan virus herpes lainnya, akan memasuki fase laten
dan disupresi oleh imunitas tubuh. Cytomegalovirus akan tetap berada pada fase
laten kecuali pasien mengalami penurunan daya tahan tubuh seperti AIDS,
mengkonsumsi obat-obatan imunosupresif untuk mencegah rejeksi transplant,
atau kondisi autoimun seperti Wegener’s granulomatosis. Infeksi CMV berulang
dapat menyebabkan colitis, encephalitis, atau retinitis (Stewart, 2010; Suromo,
2007).
Retinitis CMV paling sering terjadi pada pasien dengan limfosit CD4
kurang dari 50 sel/mm3. Rata-rata waktu progresifitas dari retinitis CMV adalah
47 hingga 104 hari. Retinitis CMV yang tidak tertangani akan menyebabkan
progresivitas dari penyakit, terjadi penyebaran ke seluruh retina dan menyebabkan
terjadinya total retinal destruction dan kebutaan pada hampir semua kasus. Hal
tersebut berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. Kebutaan oleh karena
CMV pada pasien AIDS biasanya terjadi pada usia muda (Heiden & Saranchuk,
2011; Jacobson & Mills, 1988; Kirubakaran, 2003; Waib et al., 2007).
Pasien dengan retinitis CMV dapat mengeluhkan adanya penurunan tajam
penglihatan, skotoma atau daerah gelap yang menutupi lapang pandang, kilatan
cahaya atau floaters. Tajam penglihatan pasien retinitis CMV hand movement
(HM) atau lebih buruk. Lima dari 24 mata dengan retinitis CMV telah mengalami
kebutaan saat terdiagnosis (Heiden & Saranchuk, 2011; Kirubakaran, 2003).
Retinitis CMV pada fase awal dapat muncul sebagai infiltrat kecil pada
retina yang menyerupai cotton-wool spot. Bila tidak mendapatkan pengobatan
akan mengalami progresivitas dengan cepat (American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Heiden& Saranchuk, 2011).
8
Gambar 1. Gambaran cotton-wool spots pada retinopati CMV (Stewart, 2010)
Retinitis CMV memiliki 3 varian yang berbeda secara klinis. Classic
(fulminant) retinitis ditandai adanya lesi berwarna keputihan, edema, atau nekrosis
yang terdapat di polus posterior dengan perdarahan pada retina yang menyebar,
mulai dari diskus hingga vaskular, sesuai distribusi serat saraf, dan berhubungan
dengan pembuluh darah. Bentuk granular (indolent) yang lebih sering ditemukan
pada retina perifer ditandai oleh sedikit atau tidak adanya edema, perdarahan
maupun vascular sheating, dengan retinitis aktif yang progresif dimulai dari tepi
lesi. Bentuk perivaskular yang sering disebut frosted branch angiitis merupakan
perivaskulitis retina idiopatik yang pada awalnya ditemukan pada anak-anak
dengan penurunan daya tahan tubuh (American Academy of Ophthalmology
Staff, 2011-2012b; Nussenblatt & Whitcup, 2010).
Gambar 3. A. Classic (fulminant) retinitis dengan infiltrat putih dan area
perdarahan pada retina. B. Granular retinitis CMV. C. Frosted branch angiitis
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012c)
A A B
C
C
A
9
Karakteristik klinis retinitis CMV meliputi ukuran lesi, dan apakah
retinitis unilateral atau bilateral. Lokasi retinitis dicatat berdasarkan terlibat atau
tidaknya masing-masing zona. Zona 1 mencakup area 1500 µmdari diskus
optikus, 3000 µm dari foveola, atau keduanya, yaitu pada area 2 diameter diskus
dari sentral fovea dan 1 diameter dari margin fovea. Zona 2 di luar dari zona 1
tetapi di posterior dari ekuator. Zona 3 di anterior dari ekuator, termasuk retina
perifer dan ora serrata (Kempen et al., 2005; Stewart, 2010; Sun, 2012).
Gambar 4. Zona anatomis pada klasifikasi retinitis CMV (Stewart, 2010)
Pemeriksaan Penunjang
Tay-Kearney dan kawan-kawan menyebutkan bahwa pasien HIV positif dengan
kadar CD4 kurang dari 50 sel/mm3
dengan retinitis CMV memiliki kadar sel T-
CD8 yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa retinitis CMV. Enam
puluh sembilan persen kasus retinitis CMV yang baru terdiagnosis disebabkan
oleh kegagalan HAART yang ditandai dengan adanya jumlah CD4+ yang selalu
rendah, atau tingginya RNA HIV di darah. Pasien yang gagal diterapi dengan
HAART dapat tidak menunjukkan gejala. Bila menunjukkan gejala, biasanya
terjadi retinitis bilateral dengan tajam penglihatan lebih baik, lesi retina kurang
dari zona 1, dan opasifikasi lesi yang lebih sedikit (Tay-Kearnay et al., 1997;
Holland et al., 2008; Jabs et al., 2002).
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang diagnosis infeksi
CMV. Bahan pemeriksaan atau spesimen yang dipakai adalah serum darah,
urin,atau cairan tubuh lain. Pada infeksi CMV primer akut, dapat dijumpai banyak
10
limfosit atipikal atau yang memiliki sitoplasma berwarna biru terlihat pada
pemeriksaan mikroskopik sediaan apus darah tepi seperti pada infeksi virus
lainnya. Hasil pemeriksaan laju endap darah yang meningkat juga dijumpai pada
infeksi CMV. Tes serologi dengan enzyme linked immunosorbentassay (ELISA)
atau enzyme linked immunofluorescent assay (ELFA) merupakan cara yang paling
sering dilakukan yaitu untuk menetapkan IgM, IgG, IgG avidity spesifik anti-
CMV dalam sirkulasi. Hasil pemeriksaan CMV positif menunjukkan adanya
infeksi (Suromo, 2007).
Suatu infeksi dinyatakan baru terjadi, bila serum antibodi IgM spesifik
positif pada fase akut penyakit atau terdapat peningkatan serum antibodi IgG
spesifik sampai lebih dari atau sama dengan 4 x antara periode akut dengan masa
konvalesen. IgM dijumpai dalam minggu pertama infeksi primer, dan menjadi
tidak terdeteksi setelah 1-3 bulan. IgG spesifik muncul 1 sampai 2 minggu setelah
infeksi primer, mencapai puncak 4 – 8 minggu, kemudian menurun, namun tetap
terdeteksi dalam kadar rendah sepanjang hidup. Keadaan dengan IgM negatif atau
nonreaktif, bukan berarti penderita sembuh, karena tetap dapat timbul reaktivasi,
replikasi, reinfeksi. Imunoglobulin G dipakai untuk mendeteksi infeksi yang telah
terjadi sebelumnya atau di masa lalu. Infeksi baru dapat dibedakan dari infeksi
lama dengan menetapkan IgG avidity (Lipitz et al., 1997; Suromo, 2007).
Kultur virus merupakan gold standard untuk infeksi CMV, namun metode
ini memerlukan waktu 7 – 10 hari. Spesimen harus diambil selama stadium akut,
yaitu ketika terjadi pelepasan virus tertinggi. Pemulihan terjadi sporadik dan hasil
tidak dapat dipercaya bila diambil selama stadium penyembuhan. Isolasi
dilakukan dari saliva atau urin, kadang-kadang dari darah perifer. Kultur virus
tidak dapat membantu untuk membedakan infeksi primer dengan infeksi lama,
karena virus sering dijumpai pada reaktivasi asimtomatik (Costello & Yungbluth,
1998; Suromo, 2007).
Pemeriksaan lain yaitu CMV PCR atau pemeriksaan antigen pp65 untuk
mendeteksi adanya antibody terhadap fosfoprotein spesifik terhadap CMV.
Retinitis CMV jarang menunjukkan hasil negatif pada pemeriksaan CMV PCR
atau antigen pp65. Metode PCR mempunyai sensitivitas 89,2% dan spesifisitas
11
95,8%. Semakin tinggi tingkat viremia CMV, semakin tinggi risiko menimbulkan
penyakit. Pasien dengan CMV PCR yang positif memiliki risiko 3-5x lebih tinggi
(Lipitz et al., 1997; Suromo, 2007).
Diagnosis
Diagnosis retinitis CMV ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang menjadi gold standard adalah
pemeriksaan dengan oftalmoskopi indirek melalui pupil yang berdilatasi
maksimal. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang diagnosis
infeksi CMV (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b;
Heiden& Saranchuk, 2011; Suromo, 2007).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari retinitis CMV adalah retinokoroiditis toxoplasmosis dan
progressive outer retinal necrosis (PORN). Retinokoroiditis toxoplasmosis
merupakan diagnosis banding utama. Keluhan pada pasien dengan retinokoroiditis
toxoplasmosis adalah penglihatan kabur pada satu mata dan adanya floaters. Pada
20% kasus terdapat peningkatan tekanan intra okuli. Retinokoroiditis
toxoplasmosis tampak sebagai retinitis fokal berwarna putih dengan inflamasi
vitreous yang moderate (headlight in the fog) dan berbatasan dengan pigmented
chorioretinal scar. Pemeriksaan serologi dengan ELISA dilakukan untuk
mendeteksi adanya antibodi anti Toxoplasma gondii (American Academy of
Ophthalmology staff, 2011-2012b; Au Eong et al., 1999)
12
Gambar 5. Headlight in the fog (American Academy of Ophthalmology, 2011-
2012b)
Gambar 6. Toxoplasmosis; lesi satelit di sekeliling bekas luka lama (American
Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
Progressive outer retinal necrosis adalah salah satu bentuk acute retinal
necrosis (ARN) yang paling sering terjadi pada pasien dengan CD4 kurang dari
50 sel/µL. Pasien dengan ARN biasanya mengeluh penglihatan kabur, fotofobia,
floater, dan nyeri. Retinitis pada PORN dimulai dengan bercak putih pada retina
bagian luar yang meluas dengan sangat cepat. Polus posterior dapat terinfeksi
dengan sangat cepat. Sel inflamasi pada vitreous biasanya tidak ada. Pembuluh
darah pada retina hanya sedikit (American Academy of Ophthalmology staff,
2011-2012b; Au Eong et al., 1999).
13
Gambar 7. A. Area retinitis multifokal pada pasien PORN. B. Foto fundus yang
diambil 5 hari kemudian menunjukkan progresivitas penyakit yang sangat cepat
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan retinitis CMV dilakukan berdasarkan keputusan
medis dan diikuti selama beberapa bulan untuk melihat perkembangan lesi baru
pada mata kontralateral yang sebelumnya sehat. Terapi retinitis CMV dilakukan
dengan mempertimbangkan besar dan lokasi lesi, apakah pasien sudah
mendapatkan HAART, dan risiko terjadinya komplikasi yang berhubungan
dengan terapi. Lokasi lesi dapat menentukan besar risiko hilangnya tajam
penglihatan. Retinitis di posterior dapat mengenai makula dan saraf optik.
Retinitis di anterior meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina (Kempen et al.,
2005; Stewart, 2010)
Penatalaksanaan retinitis CMV dapat diintegrasikan dengan penanganan
primer pasien AIDS, seperti infeksi oportunistik lainnya. Sebelum penggunaan
HAART, diberikan pengobatan infeksi CMV dengan ganciclovir, foscarnet, atau
cidofovir injeksi intravena jangka panjang. Penggunaan obat-obatan intravena
jangka panjang menurunkan kualitas hidup dan tingginya biaya pengobatan.
Pemilihan terapi anti-CMV berdasarkan efikasi obat dan toleransi pasien terhadap
obat, kerja obat, dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup pasien (Heiden &
Saharanchuk, 2011; Lalezariet al., 2002; Stewart, 2010).
Ganciclovir merupakan gold standard pengobatan retinitis CMV.
Ganciclovir bekerja dengan menghambat sintesis DNA. Ganciclovir intravena
diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB dua kali sehari selama 2 minggu sebagai terapi
induksi dan diikuti dengan terapi maintenance dengan dosis 5 mg/kgBB satu kali
sehari. Efek samping ganciclovir yaitu dapat menyebabkan kelainan hematologi
seperti neutropenia, anemia, dan trombositopenia serta toksisitas reproduksi
jangka panjang. Ganciclovir dieksresikan di ginjal. Pasien dengan gagal ginjal
14
membutuhkan dosis ganciclovir yang lebih rendah. Indikasi penggunaan
ganciclovir oral adalah pencegahan retinitis kolateral dan penyakit CMV non-
okular pada pasien yang mendapatkan terapi intraokular (American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Stewart, 2010).
Valganciclovir oral dapat diberikan sebagai alternatif ganciclovir intravena
dengan dosis 900 mg diberikan dua kali sehari selama 3 minggu, diikuti 450 mg
sehari selama 9 minggu. Valganciclovir oral memiliki efektifitas yang sama
dengan ganciclovir intravena. Efek samping pemberian oral valganciclovir yang
paling sering adalah hematologi (neutropenia (16%), anemia (11%)), dan
gastrointestinal (diare (13%), mual (8%), dan muntah (4%)) (Heiden&
Saharanchuk, 2011; Lalezariet al., 2002; Stewart, 2010).
Foscarnet merupakan terapi retinitis CMV lini kedua. Dosis foscarnet
adalah 90 mg/kgBB dua kali sehari diikuti dengan 90 mg/kgBB satu kali sehari
sebagai terapi maintenance. Foscarnet lebih dipilih untuk digunakan pada pasien
yang gagal diterapi dengan ganciclovir yang disebabkan karena resistensi virus,
atau yang tidak dapat diterapi dengan ganciclovir oleh karena neutropenia atau
leukopenia (Razonable and Emery, 2004)
Cidovovir adalah agen anti virus spektrum luas yang dapat digunakan
sebagai terapi CMV. Dosis yang direkomendasikan untuk pasien retinitis CMV
pada pasien AIDS adalah 5 mg/kgBB yang diberikan dalam satu jam satu kali
seminggu selama 2 minggu berturut-turut untuk fase akut (induksi), diikuti 5
mg/kgBB satu kali setiap 2 minggu untuk fase maintenance (De Clercq and Holy,
2005).
Injeksi terapi intravitreal diberikan pada pasien yang intoleran, tidak
berespon, menolak terapi sistemik, dan pada pasien retinitis CMV zona 1. Terapi
intravitreal lini pertama yang efektif adalah foscarnet dan ganciclovir. Obat anti-
CMV dapat diinjeksikan dengan anestesi topikal di ruangan yang steril. Dosis
induksi diberikan dua kali seminggu dan diikuti dengan dosis maintenance satu
kali seminggu selama 8 minggu. Dosis intravitreal yang aman diberikan yaitu 200
µg/0.1 mL hingga 2000 µg/0.1 mL. Pasien yang mendapat terapi intravitreal
sebaiknya juga mendapat terapi sistemik dengan valganciclovir oral atau obat
15
intravena lainnya. Injeksi intravitreal dapat menimbulkan komplikasi vitreous
hemorrhages (3%), ablasio retina (8%), dan endoftalmitis. Sustained-release
ganciclovir intraocular implant pada mata yang mengalami retinitis CMV secara
signifikan memiliki efikasi yang lebih tinggi dibandingkan pemberian melalui
intravena. Setelah tiga minggu terapi induksi, pada awal pembentukan jaringan
parut dari lesi, terapi maintenance harus mulai diberikan (Biron, 2006; Lalezari et
al., 2002; Stewart, 2010; Sunet al., 2012).
Retinitis CMV zona 1 dengan atau tanpa pengunaan HAART dapat
diberikan ganciclovir intravitreal implant dan valganciclovir. Retinitis CMV zona
2 dan 3 dengan penggunaan HAART dapat diberikan valganciclovir dengan atau
tanpa ganciclovir intravitreal implant. Retinitis zona 2 dan 3 tanpa penggunaan
HAART hanya diberikan valganciclovir (Stewart, 2010).
Obat pilihan untuk pencegahan sekunder adalah ganciclovir oral. Oral
ganciclovir (1000 mg) dapat diberikan sebagai profilaksis retinitis CMV pada
pasien dengan CD4 <50 sel/mm3. Pemberian ganciclovir oral untuk profilaksis
jarang dilakukan. Belum jelas apakah profilaksis dengan ganciclovir oral
memberikan efek pada pasien dengan imunitas rendah. Pasien yang mendapatkan
terapi CMV ekstraokuli dan profilaksis harus diperiksa oleh dokter spesialis mata
setiap 3 bulan sekali karena terapi dapat menutupi gejala dari retinitis CMV
(Bodaghi & LeHoang, 2005; Lalezari et al., 2002; Stewart, 2010).
Penghentian terapi CMV bergantung pada banyak faktor seperti
peningkatan kadar CD4, penurunan HIV load, penggunaan HAART minimal 3
bulan, dan lesi CMV yang inaktif. Rekomendasi dari Centers for Disease Control
(CDC) Amerika yaitu kadar CD4 paling sedikit 100-150 sel/µL selama 3-6 bulan
sebelum terapi CMV dapat dihentikan (Stewart, 2010)
Virus CMV biasanya menyebar melalui kontak personal yang erat. Risiko
transmisi dapat dikurangi dengan menjaga higienitas dan melakukan teknik cuci
tangan dengan baik. Infeksi CMV berat dapat terjadi setelah reaktivasi virus yang
laten pada pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah.. Konsensus dari komite
HIV menyebutkan bahwa pasien dengan CD4 <50 cells/mm3 harus dievaluasi
16
oleh dokter spesialis mata setiap 3 - 6 bulan sekali meskipun tidak ada keluhan
pada mata (Bodaghi & LeHoang, 2005; Taylor, 2003).
Komplikasi
Retinitis CMV dapat menimbulkan komplikasi seperti immune recovery uveitis
(IRU) dan ablasio retina. Immune recovery uveitis adalah keradangan pada mata
yang terjadi pada pasien dengan retinitis CMV sebelumnya dan mengalami
perbaikan status imunitas akibat penggunaan highly active antiretoviral therapy
(HAART) (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b;
Kupperman and Holland, 2000).
Immune recovery uveitis memiliki tanda adanya peningkatan inflamasi
intraokular dan penurunan tajam penglihatan yang disebabkan oleh adanya cystoid
macular edema (CME) atau terbentuknya epiretinal membrane. Immune recovery
uveitis dapat terjadi segera setelah inisiasi HAART yaitu kurang dari satu bulan,
namun juga dilaporkan dapat terjadi hingga 3 tahun setelah memulai HAART.
Pasien dengan kadar CD4 kurang dari 50 sel/µL, area retinitis luas dan
penggunaan terapi cidofovir paling berisiko mengalami IRU (Heiden &
Saranchuk, 2011; Jabs et al., 2002; Stewart, 2010).
Risiko terjadinya ablasio retina meningkat seiring dengan parahnya
penyakit dan area retina yang terkena. Luas dan letak lesi di anterior retina yang
dekat dengan vitreous base meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina.
Penggunaan HAART dapat menurunkan 60% risiko terjadinya ablasio retina pada
pasien retinitis CMV (Heiden& Saranchuk, 2011; Kempen, 2001; Sugar, 2012).
Prognosis
Kerusakan pada retina yang disebabkan oleh retinitis CMV adalah permanen,
sehingga deteksi awal penyakit tetap penting untuk mencegah terjadinya
kebutaan. Prognosis untuk pasien dengan retinitis CMV telah membaik setelah
adanya terapi anti retroviral. Adanya terapi CMV membuat prognosis tajam
penglihatan pasien retinitis CMV lebih baik. Penggunaan terapi CMV diharapkan
dapat mengurangi komplikasi seperti kerusakan macula dan ablasio retina.
17
Penggunaan HAART meningkatkan respon imun pasien tetapi juga dapat
menyebabkan komplikasi lain pada mata (Nussenblatt & Whitcup, 2010; Thorne,
2003).
Ringkasan
Infeksi yang disebabkan oleh CMV merupakan infeksi oportunistik yang paling
sering terjadi pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Tujuh puluh lima sampai 85 persen pada pasien dengan AIDS mengalami retinitis
CMV. Cytomegalovirus (CMV) menyebar secara hematogen melalui blood-
ocular (retinal) barrier, menginfeksi sel endotel vaskular retina, dan transmisi
dari satu sel virus ke virus lainnya di dalam retina. Pasien dengan retinitis CMV
dapat mengeluhkan adanya penurunan tajam penglihatan, skotoma atau daerah
gelap yang menutupi lapang pandang, kilatan cahaya atau floaters. Retinitis CMV
memiliki 3 varian yang berbeda secara klinis yaitu classic (fulminant) retinitis,
bentuk granular (indolent), dan bentuk perivaskular (frosted branch angiitis).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis infeksi
CMV adalah tes serologi, kultur virus, dan PCR. Diagnosis retinitis CMV
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang menjadi gold standard adalah pemeriksaan dengan
oftalmoskopi indirek melalui pupil yang berdilatasi maksimal. Diagnosis banding
retinitis CMV adalah retinokoroiditis toxoplasmosis dan progressive outer retinal
necrosis. Terapi retinitis CMV dilakukan dengan mempertimbangkan besar dan
lokasi lesi, apakah pasien sudah mendapatkan HAART, dan risiko terjadinya
komplikasi yang berhubungan dengan terapi. Ganciclovir merupakan gold
standard pengobatan retinitis CMV. Pasien dengan CD4 <50 cells/mm3 harus
dievaluasi oleh dokter spesialis mata setiap 3 - 6 bulan sekali meskipun tidak ada
keluhan pada mata. Retinitis CMV dapat menimbulkan komplikasi seperti
immune recovery uveitis (IRU) dan ablasio retina. Prognosis untuk pasien dengan
18
retinitis CMV telah membaik setelah adanya terapi anti retroviral. Terapi CMV
membuat prognosis tajam penglihatan pasien retinitis CMV lebih baik.
Daftar Pustaka
American Academy of Opthalmology, Staff. 2011-2012. Fundamentals and
Principles of Opthalmology. In: Basic and Clinical Science Course.
Section 2. San Francisco: American Academy of Opthalmology; p. 291-
302.
American Academy of Opthalmology, Staff. 2011-2012. Intraocular Inflammation
and Uveitis. In: Basic and Clinical Science Course. Section 9. San
Francisco: American Academy of Opthalmology; p. 200-207; 226-234
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. Retina and Vitreous.
Basic and Clinical Science Course. Sec.12. San Francisco: AAO, p. 203-211
Au Eong KG, Beatty S, Charles SJ. 1999. Cytomegalovirus retinitis in patients
with acquired immune deficiency syndrome. Postgrad Med J; 75: 585-590
Biron KK. 2006. Antiviral drugs for cytomegalovirus diseases. Antiviral
Research; 71: 154–163
Bodaghi B, LeHoang P. 2005. Herpes Viruses in Ocular Inflammation. In :
Uveitis and immunological disorders. 3rd
ed. Germany: Springer; 143-9
Costello M, Yungbluth M. 1998. Viral infection. In : Henry JB, editor. Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 19th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1083-114
De Clercq, E., Holy, A., 2005. Acyclic nucleoside phosphonates: a key classof
antiviral drugs. Nat. Rev. Drug Discov. 4, 928–940
Dunn, JP. 2008. Ocular Manifestations. In: Volberding PA, Sande MA, Lange J,
Greene W, editors. Global HIV/AIDS medicine. China: Saunders Elsevier.
19
Guyton AC, Hall JE. 2006. Reseptor dan Fungsi Neural Retina. Pada: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Jakarta: penerbit EGC, p. 795-811
Heiden D, Ford N, Rodriguez WR, Margolis T, Janssens B, Bedelu M, et al. 2007.
Cytomegalovirus retinitis: the neglected disease of the AIDS pandemic.
PLoS Med 4(12): e334. doi:10.1371/journal.pmed.0040334
Heiden D. Saranchuk. 2011. CMV retinitis in China and SE Asia: the way
forward. BMC Infectious Diseases; 11(327): 1-4
Holland GN, Vaudaux JD, Shiramizu KM, et al. 2008. Characteristics of untreated
AIDS-related cytomegalovirus retinitis. II. Findings in the era of highly
active antiretroviral therapy (1997 to 2000). Am J Ophthalmol;145: 12–22.
Jabs DA, Van Natta ML, Kempen JH, Pavan PR, Lim JI, Murphy RL, Hubbard
LD. 2002. Characteristics of patients with cytomegalovirus retinitis in the
era of highly active antiretroviral therapy. Am J Ophthalmol; 133: 48-61.
Jabs DA, AhujaA, Van Natta ML, Lyon A, Srivasta S, Gangaputra S. 2010.
Course of cytomegalovirus retinitis in the era of highly active antiretroviral
therapy: five-year outcomes. Ophthalmology;117(11): 2152-61.
Jacobson MA, Mills J. 1988. Serious cytomegalovirus disease in the acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Ann Intern Med; 108: 585–594.
Kempen JH, Jabs DA, Wilson LA, Dunn JP, West SK, Tonascia J. 2001. Retinal
detachment risk in cytomegalovirus retinitis related to the acquired
immunodeficiency syndrome. Arch ophthalmol; 119: 33-40
Kempen JH, Jabs DA, Wilson LA, Dunn JP, West SK. 2005. Incidence of
cytomegalovirus (CMV) retinitis in second eyes of patients with the
acquired immune deficiency syndrome and unilateral CMV retinitis. Am J
Ophthalmol; 139(6): 1029-34
Kirubakaran SI. 2003. The advent of cytomegalovirus infection in HIV infected
patients - A review. Online J Health Allied S cs ; 4(2): 1-8
Kupperman BD, Holland GN. 2000. Immune recovery uveitis. Am J Ophthalmol;
130(1): 103-106.
Lalezari J, Lindley J, Walmsley S, et al. 2002. A safety study of oral
valganciclovir maintenance treatment of cytomegalovirus retinitis. Journal
of Acquired Immune Deficiency Syndromes; 30: 392–400
20
Levi ME, Mandava N, Chan LK, Weinberg A, Olson JL. 2006. Treatment of
multidrug-resistant cytomegalovirus retinitis with systemically
administered leflunomide. Transplant Infectious Disease; 8: 38-43.
Lipitz S, Yagel S, Shalev E, Achiron R, Mashiach S, Schiff E. 1997. Prenatal
diagnosis of fetal primary cytomegalovirus infection. Obstetric and
Gynecology; 89(5):763-7
Ljungman P, Griffiths P, Paya C. 2002. Definitions of cytomegalovirus infection
and disease in transplant recipients. Clinical Infectious Diseases; 34:
1094–7
Nussenblatt RB, Whitcup SM. 2010. Infectious uveitic conditions. In: Uveitis:
fundamentals and clinical practices. Mosby: Elsevier; 164-170
Razonable RR, Emery VC. 2004. Management of CMV infection and disease in
transplant patients [consensus article-IHMF® management
recommendations]. Herpes; 11: 77–86.
Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2004. Vaughan and asbury’s general ophthalmology.
6th
ed. Boston: McGraw-Hill, p.14-15
RoteNS, Huether SE. 2006. Infection. In: McCance KL, Huether SE
eds.Pathophysiology. The biologic basis for disease in adults and children.
7th ed.St.Louis: Elsevier Mosby; 293-309
Sharma RK, Ehinger BEJ. 2003. Development and structure of the retina. In:
Kaufman PL, Alm A, editors. Adler’s Physiology of the Eye. 10th
ed.
Missoury: Mosby, p. 319-47
Stewart MW. 2010. Optimal management of cytomegalovirus retinitis in patients
with AIDS. Clinical Ophthalmology; 4: 285-299
Sugar EA, Jabs DA, Ahuja A, Thorne JE, Danis RP, Meinert CL. 2012. Incidence
of cytomegalovirus retinitis in the HAART era. Am J Ophthal; 153(6):
1016-1024
Sun LL, Goodwin T, Park JJ. 2012. Optical coherence tomography changes in
macular CMV retinitis. Digital Journal of Ophthalmology; 2: 1-4
Suromo LB. 2007. Kewaspadaan terhadap infeksi cytomegalovirus serta kegunaan
deteksi secara laboratorik. Pada: pidato pengukuhan jabatan guru besar
patologi klinik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Taylor GH. 2003. Cytomegalovirus. American Family Physician; 67(3): 519-524
21
Tay-Kearney M-L, Enger C, Semba RD, et al. 1997. T cell subsets and
cytomegalovirus retinitis in human immunodeficiency virus-infected
patients. J Infect Dis; 176(3): 790 –794.
Thorne JE. 2003. Cytomegalovirus retinitis. American Uveitis Society: 1-2
Waib LF, Bonon SHA, Salles AC, et al. 2007. Withdrawal of maintenance therapy
for cytomegalovirus retinitis in AIDS patients exhibiting immunological
response to HAART. Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo; 49(4): 215-219.
22
23