1
CINTA DALAM TELEPON KALENG
Cinta Selalu Datang di saat yang Tepat, untuk Orang yang Tepat
oleh
Tegar Setiadi
2
Thank’s to
Alhamdulillah, yang pertama dan paling utama adalah ucapan terima kasih yang saya
persembahkan kepada Allah SWT. Tanpa-Mu aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Untuk orangtuaku yang selalu mendukung dan menyempatkan doa di setiap detik dalam
hidupku. Untuk kakak dan adik, atas kesetiaannya menemani begadang setiap malam. Serta
untukmu, seseorang yang tetap indah, walaupun terkadang sangat menyebalkan. Juga kepada
orang-orang yang telah memberikan dorongan sampai saya menyelesaikan novel ini.
Yang paling berharga, para pembaca yang telah menyempatkan waktu untuk
menikmati karya sederhana yang telah saya buat, semoga menyukainya.
Amin.
3
BAB SATU
Aku datang. Maka, bertemanlah denganku
4
TETANGGA BARU
Seorang Gadis Kecil yang Menyebalkan
Ting tong…
Bel rumahku berbunyi beberapa kali. Siapa yang datang bertamu sepagi ini? Aku
yang sedang menonton serial kartun di televisi hanya menengok sejenak, lalu kembali asyik
menyaksikan tokoh seekor kucing dan tikus yang sedang berkejaran. Biarlah itu menjadi
urusan orangtuaku atau kakak laki-lakiku saja.
Aku hanya bocah yang baru berusia 11 tahun.
“Iya, sebentar.”
Suara ibu terdengar dari dapur, disusul langkah kakinya yang berjalan terburu-buru.
Kemudian terdengar pintu yang berdecit terbuka. Kedua mataku mendapati 2 orangtua dan 1
anak perempuan seusiaku berdiri di luar. Wajah mereka asing, belum pernah kulihat orang-
orang ini di kompleks rumah.
Sekarang, konsentrasiku benar-benar teralih kepada mereka. Aku penasaran siapa
orang-orang ini, terutama gadis kecil yang memakai baju warna merah dan rok sependek lutut
itu. Aku juga tidak pernah melihatnya di sekolah.
Ibu membawa mereka ke ruang tamu yang tidak jauh dari tempatku sekarang,
membuatku dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas.
“Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.”
Aku sudah melewatkan beberapa adegan pada kartun yang sudah kutonton sejak 15
menit yang lalu. Mataku sibuk mengawasi mereka yang sekarang terlihat mengedarkan
pandangan ke seluruh sudut rumah. Dahiku berkerut saat pandanganku dan anak perempuan
itu bertemu, dia tersenyum. Padahal, ini pertama kali kami bertemu.
“Selamat pagi, Pak. Maaf bertamu sepagi ini.”
Salah seorang dari mereka tampak menyapa Ayah ketika beliau sudah berada di ruang
tamu, duduk di depan mereka.
“Iya, Pak. Silahkan duduk kembali. Ngomong-ngomong ada keperluan apa?”
Laki-laki itu tersenyum, “Sebelumnya perkenalkan, saya Hermawan. Ini istri dan anak
saya. Kami penghuni baru di rumah sebelah, baru pindah dari Bandung, 2 hari yang lalu.
Maksud kami bertamu adalah ingin berkenalan dengan para tetangga.”
5
“Oh, iya-iya. Saya mendengar dari Pak RT bahwa akan ada warga baru, pindahan dari
luar kota.”
Aku melihat laki-laki berkumis itu mengangguk.
“Kami sekeluarga harus pindah dari Bandung karena saya dipindahtugaskan oleh
kantor untuk memegang salah satu cabang perusahaan di Purwokerto. Kebetulan kami
disediakan rumah di daerah ini oleh perusahaan.”
Pantas aku tidak pernah melihat mereka di sekitar rumah, baru pindah ternyata. Aku
masih mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan ketika ibu berjalan dari dapur
dengan membawa 4 gelas minuman dan meletakkan di meja. Ibu duduk di samping ayah.
“Ini lho, Bu. Pak Hermawan dan keluarganya adalah tetangga kita yang baru,
pindahan dari Bandung. Rumah di sebelah kita yang sudah lama kosong itu sekarang
ditempati oleh mereka.”
“Wah, saya ucapkan selamat datang kalau begitu. Kita malah belum tahu kalau sudah
ditinggali. Maaf lho kami belum sempat berkunjung.” Ibu terlihat antusias menyambut
mereka.
“Nggak apa-apa, Bu. Kami yang minta maaf karena baru sempat memperkenalkan
diri, kemarin masih sibuk beres-beres rumah soalnya. Ini saja sebetulnya belum selesai
semua.” Sekarang istri dari laki-laki berkumis itu yang menanggapi omongan ibu.
“Silakan sambil diminum,” Ibu menawarkan.
“Ini putrinya, ya? Cantik sekali. Siapa namanya?”
“Disya.” Anak itu menjawab sendiri pertanyaan ibuku.
“Wah, nama yang cantik, benar-benar pas untuk anak secantik kamu. Kelas berapa?”
Bocah perempuan berambut panjang itu menatap ibunya, membuat wanita itu
tersenyum.
“Kelas 5, Bu. Kami sudah mengurus kepindahan sekolahnya kemarin. Disya akan
sekolah di SD Harapan Bangsa, di ujung jalan sana.”
Aku mendengar nama sekolahku disebut oleh perempuan yang usianya mungkin
hampir sama dengan ibuku. Kelas 5? Berarti sama denganku, aku juga kelas 5. Kalau begitu
pasti anak itu akan satu kelas denganku.
“Kebetulan sekali. Anak saya yang kedua juga sekolah di SD Harapan Bangsa, kelas
5 juga, lho.”
Ibu benar-benar pandai mengakrabkan diri. Baru beberapa menit, tetapi beliau sudah
terlihat akrab dengan mereka.
6
“Oh, ya? Syukurlah, anak saya jadi punya teman nanti. Maklum Jeng, pindahan, jadi
belum kenal siapa-siapa.”
“Sebentar, saya panggil anak saya dulu. Rayhan, sini sayang!”
Aku sedikit kaget waktu ibu memanggil namaku. Dengan malas aku berdiri dan
mendekat ke arah mereka. Ibu menyuruhku duduk di sampingnya, lalu mengenalkan aku
kepada mereka. Anak perempuan ini kembali melemparkan senyum.
Aku memutuskan untuk tidak membalas senyumnya.
“Ini Disya. Dia akan jadi teman sekolahmu yang baru, kenalkan dia pada teman-
teman sekolah, ya.”
Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya sekadar
menyebutkan nama untuk memperkenalkan diri beberapa menit yang lalu. Anak perempuan
itu masih terus menatapku dengan senyum yang tetap terpasang di bibirnya, membuatku
jengkel. Menyebalkan sekali wajahnya.
Aku memang bukan anak yang bisa cepat ramah, terlebih dengan orang yang baru
kenal. Sifat ibu yang satu ini sama sekali tidak menurun kepadaku.
“Rayhan, ajak Disya bermain, ya.”
Aku menatap wajah ibu, heran. “Ke mana?”
“Di halaman belakang rumah saja, kan banyak mainan di sana.”
Aku langsung khawatir begitu mendengar jawaban ibuku.
Halaman belakang rumah adalah tempat favoritku setiap hari. Aku sering
menghabiskan waktu di tempat itu untuk bermain seorang diri. Aku memang bukan anak
yang pandai bergaul sehingga tidak banyak memiliki teman. Bagiku, halaman belakang
adalah daerah yang tidak boleh sembarangan orang dapat berada di tempat itu. Sekarang, ibu
menyuruh untuk mengajak Disya bermain di sana, aku takut dia akan merusak mainan-
mainan di tempat itu.
Dengan terpaksa aku mengangguk, lalu mengajak Disya beranjak. Ia mengikuti
langkahku menuju halaman belakang. Wajahnya terlihat ceria, sementara aku masih berlagak
dingin. Aku ingin membuat gadis cilik ini tahu bahwa aku adalah anak yang galak sehingga
dia akan takut dan tidak merusak mainanku nanti.
“Kenapa kamu cemberut terus?” Pertanyaan Disya menghentikan langkahku, aku
membalikkan tubuh.
“Kenapa kamu tersenyum terus?” Aku balik bertanya.
“Senyum lebih baik daripada cemberut, kan?”
7
Aku mendesis mendengarnya, rasa sebalku meningkat 20 persen sekarang. Disya
bukan hanya sok akrab, tapi juga sok tahu. Langkahku kembali membawa kami ke halaman
rumah. Menurutku, itu bukan pertanyaan yang harus dijawab dan bukan sesuatu yang
penting.
“Kamu punya kakak?”
“Punya,” jawabku tanpa menatapnya.
“Senangnya, aku anak tunggal, jadi tidak punya teman main di rumah.”
Pantas saja dia terlihat sangat senang waktu ibu menyuruhku bermain dengannya.
Mungkin dia belum tahu kalau punya saudara itu tidak selalu menyenangkan. Apalagi kalau
sama-sama laki-laki, selalu saja ada alasan yang membuat kami bertengkar.
Kami sampai di halaman belakang rumah, rasa khawatirku menjadi semakin besar
sekarang. Ini adalah daerah teritorial milikku, tidak sembarang orang boleh memasukinya.
Dan sekarang anak perempuan asing ini telah berada di sini.
“Menyenangkan sekali, banyak mainan di halaman belakang rumahmu.” Dia terlihat
begitu takjub.
Memang ada banyak mainan di tempat ini. Ayunan, perosotan, trampolin, kolam
renang kecil yang terbuat dari plastik, sepeda roda tiga, kuda-kudaan kayu, dan ada pula
sebuah mobil mini yang menggunakan pedal untuk menjalankannya. Itu semua adalah
mainan milikku, teman mainku sehari-hari.
Aku tidak sempat mencegah ketika dia secara tiba-tiba berlari ke arah perosotan, lalu
menaiki tangga. Sedetik kemudian anak perempuan itu berteriak girang sambil meluncurkan
badan. Tidak ada yang berani melakukan itu tanpa seizinku sebelumnya. Disya benar-benar
membuatku jengkel, aku sangat sebal dengannya.
Dari perosotan dia berlari menuju ayunan, duduk di atas papan dan mengayun-
ayunkan kakinya. Disya terlihat sangat senang berada di tempat ini, seperti anak TK yang
mendapatkan mainan baru saja.
Kali ini dia pindah ke trampolin, melompat-lompat di atasnya. Suara tawa yang keluar
dari mulutnya benar-benar menyebalkan. Ingin sekali aku menjitak kepalanya dengan keras,
tapi pasti akan dimarahi ibuku.
Aku hanya bisa diam mengawasi anak itu dengan memasang wajah segalak mungkin.
“Hei! Ayo, sini!” Perintahnya kepadaku.
Cih! Sekarang dia menyuruhku untuk menghampirinya. Anak itu benar-benar
membuatku sebal, sangat sok akrab. Dia telah berani masuk ke dalam wilayahku dan
sekarang dia menyuruh untuk mendekat.
8
“Ada apa?”
“Tempat ini benar-benar menyenangkan, bolehkah aku bermain ke sini setiap hari?”
Sekarang, kekhawatiranku menjadi kenyataan. Dia akan mengambil alih semua
mainan yang selama ini aku gunakan seorang diri. Aku harus membagi wilayahku, dan aku
tidak suka! Aku tidak suka bermain dengan anak perempuan, mereka benar-benar cengeng
dan manja.
“Bolehkah?”
Disya kembali bertanya. Kali ini wajahnya terlihat ragu-ragu.
“Asalkan kamu berjanji tidak akan merusak ini semua.”
Aku terkejut dengan jawaban yang baru saja aku ucapkan, benar-benar tidak
menyangka. Aku membiarkan anak ini bermain di halaman belakang rumah, dan sekarang
mengizinkannya untuk kembali ke tempat ini setiap hari. Ada apa denganku sebenarnya?
“Yeeaay. Terima kasih, Rayhan.”
Di hadapanku gadis itu melompat dengan girang. Dia tertawa dengan lebar hingga
mempertontonkan giginya. Aku baru menyadari kalau gigi tengah bagian bawahnya ompong.
Sontak aku tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya, sampai air mata sedikit mengisi sudut-sudut
mata.
Anak perempuan ini benar-benar menyebalkan dan… unik.
“Kenapa kamu tertawa sampai seperti itu?”
Aku masih tertawa ketika mendengarnya bertanya, membuat Disya terlihat tidak sabar
menunggu jawaban. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan tawa yang sekarang
sudah tidak sekeras tadi.
Aku menunjuk ke arah mulutnya.
“Gigimu... siapa yang menyembunyikan gigi-gigimu itu?”
Kali ini, wajahnya terlihat cemberut karena mendengar pertanyaanku. Dia
menjulurkan lidahnya, membuatku kembali tertawa dengan keras. Aku sampai merobohkan
badanku di atas trampolin sambil memegang perut. Baru kali ini aku tertawa sampai perutku
terasa sedikit sakit.
9
“Bagaimana dengan teman barumu itu?”
Ibu bertanya padaku ketika kami sedang makan malam. Ada ayah, ibu, dan kakakku.
“Siapa, Bu?”
“Disya. Tetangga baru kita. Tadi kan kamu bermain dengannya.”
“Tetangga baru?”
Kakak terlihat heran mendengar pertanyaan ibu. Benar juga, dia lari pagi dan baru
pulang saat Keluarga Disya sudah pulang.
“Iya. Sekarang mereka akan menempati rumah di sebelah kita.” Ayah menanggapi
pertanyaan Kakak.
Kakak hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kamu sudah akrab dengan Disya?” Ibu kembali bertanya kepadaku.
“Disya sedikit menyebalkan,” jawabku jujur.
“Lho, kenapa? Sepertinya dia anak yang menyenangkan.”
“Disya memakai semua mainan di halaman belakang tanpa meminta izin kepadaku.
Tentu saja aku sebal.”
Aku mendengar mereka tertawa kecil karena jawabanku, padahal aku tidak merasa
ada yang salah dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.
“Bukankah memang seperti itu sifatmu, tidak bisa berteman dengan siapa saja.”
Penuturan kakakku lebih terdengar sebagai sebuah sindiran. Aku meliriknya dengan sebal.
Dia adalah satu-satunya kakakku. Namanya Sakti, usia kami beda 3 tahun. Kami
memiliki sifat yang jauh berbeda. Dia mudah akrab dengan orang yang baru saja dikenalnya
dan juga memiliki banyak teman. Tidak sepertiku yang hanya bisa bermain dengan mainan-
mainan yang ada di halaman belakang rumah.
“Jangan seperti itu, Rayhan. Kamu harus bersikap baik dengan teman-temanmu, tidak
baik kalau kamu selalu memasang wajah cemberut setiap kali bertemu dengan seseorang.
Nanti tidak ada yang mau berteman denganmu,” Ibu menasihatiku dengan panjang.
“Iya, Nak. Ayah sudah sering mengajarkan untuk bersikap baik dengan siapa saja,
biar orang lain juga bersikap baik dengan kita. Kamu tidak ingin orang lain membencimu,
kan?”
Aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan ayah.
“Karena itu kita juga jangan membenci orang lain. Menyenangkan kalau punya
banyak teman untuk bermain. Ayah pikir tidak masalah kalau Disya, atau siapa pun memakai
mainanmu.”
10
Aku mendengarkan nasihat yang diberikan oleh ayah.
“Tadi Rayhan sempat tertawa karena melihat gigi Disya yang ompong. Dia lucu kalau
tertawa.”
“Baru kali ini kamu tertawa dengan orang yang baru kamu kenal,” Kakak kembali
mengeluarkan pendapat yang terdengar seperti sindiran di telingaku.
“Makanya kamu harus rajin gosok gigi setiap hari, biar tidak ompong seperti Disya.”
“Iya, Bu.”
“Dan kamu juga tidak boleh menertawakan orang lain seperti itu, nggak baik itu
namanya.”
Aku mengangguk pelan.
Makan malam keluargaku memang selalu seperti ini, tidak pernah sepi dari
percakapan di antara kami. Selalu saja ada topik yang terus mengalir hangat setiap
malamnya.
11
SEKOLAH BARU
Aku Selalu Berharap Bisa Bersahabat Denganmu
Aku berdiri dengan menyandarkan punggung pada tembok keliling rumahku sejak 5
menit yang lalu. Rumah yang baru tiga hari ditempati oleh keluargaku ini memang lebih
besar dari rumah kami sebelumnya, dengan halaman yang juga lebih luas. Cukup nyaman
untukku.
Aku langsung merasa kerasan tinggal di rumah ini.
Ini hari pertamaku berangkat ke sekolah yang baru. Jantungku terasa berdetak lebih
cepat dari biasanya, grogi untuk bertemu dengan teman-teman baru di sana. Karena itu aku
memutuskan untuk berangkat bersama Rayhan. Yah, walaupun anak itu tidak menyambut
ramah kehadiranku kemarin, paling tidak ada seseorang yang kukenal nantinya.
Rumah Rayhan masih tertutup, pikiranku mengatakan anak itu pasti belum berangkat.
Keluarga mereka benar-benar keluarga yang sangat ramah, kecuali Rayhan tentu saja. Entah
kenapa dia selalu memasang wajah cemberut kemarin, mungkin karena kami baru pertama
kali bertemu.
Tidak berapa lama pintu rumah Rayhan perlahan terbuka, menampakkan wajah anak
laki-laki itu dari baliknya. Akhirnya dia muncul juga, aku bisa bernapas lega sekarang. Di
belakang Rayhan, Tante Vita terlihat mengikuti anak bungsunya, membiarkan bocah itu
mencium punggung tangan beliau.
Rayhan berjalan ke arahku. Ekspresi pertama yang aku lihat dari wajahnya pagi ini
adalah bingung. Mungkin dia bertanya-tanya melihatku berdiri di depan gerbang rumahnya
lengkap dengan seragam sekolah putih dan merah.
“Sedang apa kamu di situ?”
“Menunggumu.”
Aku memasang senyum semanis mungkin agar Rayhan tidak menunjukkan sikap
dinginnya lagi. Namun, hasilnya gagal total.
“Maksudmu?”
12
“Aku mau berangkat sekolah bareng. Aku sedikit grogi, karena ini hari pertamaku ke
sekolah baru.”
Aku mendengarnya berdecak sambil menggelengkan kepala, lalu melanjutkan
langkahnya. Membuatku hanya bisa menghela napas, dan membuntuti di belakangnya.
Bagaimanapun, aku membutuhkan Rayhan hari ini untuk membantuku beradaptasi dengan
lingkungan baru. Aku juga tidak berani berangkat sekolah seorang diri.
“Kenapa harus menungguku? Orangtuamu bisa mengantarmu, kan?”
“Iya, tapi menurutku berangkat bareng kamu jauh lebih baik. Aku tidak perlu
kebingungan mencari kelas nanti, karena kita pasti satu kelas.”
Aku terus mencoba menyejajarkan langkahku dengan Rayhan. Anak ini cepat sekali
jalannya.
Rayhan terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya, aku melirik.
Ternyata sebotol minyak kayu putih ukuran kecil yang sekarang berada di tangan kanannya.
Aku masih mengamati dengan penasaran.
Dia mengeluarkan sedikit cairan itu di telapak tangan, lalu mengoleskan ke bagian
leher dan lengannya.
“Apa yang kamu lakukan?” Rasa penasaranku sudah telanjur semakin besar.
“Apa kamu tidak melihatnya?”
Anak ini benar-benar tidak bisa bersikap ramah denganku, “Aku melihatnya.
Maksudku, kenapa kamu mengoleskan minyak kayu putih itu? Apa kamu sakit?”
Dia menggeleng. “Aku hanya menyukai aromanya. Aku akan mengoleskan minyak
kayu putih ke tubuhku kapan pun saat aku ingin.”
Satu lagi hal aneh yang aku ketahui dari Rayhan. Bocah ini mengoleskan minyak
kayu putih ke tubuhnya hanya karena menyukai aroma dari cairan itu. Selama ini yang aku
tahu, mama mengoleskan minyak kayu putih hanya saat aku merasa gatal setelah digigit
nyamuk atau saat aku sedikit tidak enak badan.
“Ada-ada saja kamu. Dan kamu selalu membawa botol itu ke mana pun?”
“Tentu saja. Ini sudah kebiasaanku sejak dulu. Kenapa memang?”
Aku membenarkan letak tas punggungku yang sedikit melorot. Tas yang sudah aku
miliki sejak kelas 4 ini memang terlalu besar untukku yang bertubuh kecil.
“Lucu aja. Aku baru melihat anak sepertimu.”
Mata Rayhan terlihat menatapku, “Sepertiku?”
“Ya, sepertimu. Suka memakai minyak kayu putih dan galak.” Aku menunggu reaksi
darinya. Mungkin perkataanku akan membuatnya tersinggung.
13
Rayhan justru tertawa kecil.
“Kamu bukan anak pertama yang mengucapkannya. Aku sudah banyak mendengar
penilaian seperti itu sebelumnya dari orang-orang di sekitarku. Kamu akan mendengarnya
nanti dari anak-anak satu sekolah.”
Baru kali ini aku mendengar Rayhan berbicara sepanjang itu. Anak ini benar-benar
anak yang unik, belum pernah aku bertemu anak seperti dia. Sebenarnya aku tetap berharap
bisa berteman dengan Rayhan. Aku ingin cepat-cepat memiliki teman di tempat ini.
Kami terus berjalan menuju sekolah yang terlihat sudah ramai oleh murid-murid lain.
Aku langsung merasa asing dengan lingkungan yang baru pertama kali ini kudatangi. Wajah-
wajah yang tidak pernah aku lihat, ruang kelas yang belum pernah aku masuki, dan sudut-
sudut lain yang membuatku merasa sendirian di tempat ini.
Rayhan terlihat memasuki sebuah kelas, aku masih membuntut di belakangnya. Aku
satu kelas dengannya, tentu saja ini juga kelasku.
Semua anak-anak di dalam kelas menatapku dengan bertanya-tanya, mungkin mereka
merasa asing. Tentu saja, aku pun merasakan hal serupa, tidak ada yang aku kenal di sekolah
ini kecuali bocah galak itu.
Rasa grogi ini semakin membesar mengingat nanti aku harus maju ke depan kelas
untuk memperkenalkan diri.
“Kenapa kamu mau satu bangku dengan Rayhan? Anak itu kan tidak ramah sama sekali,”
kata Tami, temanku yang baru.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Menurutku itu sebuah pertanyaan yang
lucu. Rayhan memang kurang ramah, tetapi itu bukan sebuah alasan untuk tidak berteman
dengannya. Toh Rayhan tidak melakukan sesuatu yang membuatku marah.
“Memang harus ada alasan untuk berteman dengan seseorang, ya?”
“Kamu nggak tahu, di sekolah ini jarang ada yang mau berteman sama dia. Anak itu
bukan anak yang asyik untuk dijadikan teman, kami semua tahu hal itu. Rayhan lebih suka
berkelahi, daripada berteman,” Niken, teman baruku yang lain ikut menimpali.
“Iya, bahkan dia sering berantem sama anak kelas 6. Sudah sering dihukum sama
guru, tetapi Rayhan nggak pernah kapok. Dasarnya bandel, sih.”
14
Jadi ini yang dimaksud Rayhan tadi pagi. Anak-anak di sekolah ini tidak terlalu
menyukainya. Pantas hanya bangku di sebelahnya yang kosong. Dan aku menempatinya
sekarang.
Kami bertiga makan jajanan yang kami beli di kantin sekolah. Setelah sempat
mengenalkan diri di sekolah baru tadi pagi, aku akhirnya mendapatkan teman selain Rayhan.
Mereka adalah Tami dan Niken. Kami membawa jajan dari kantin ke dalam kelas.
“Selama dia bersikap baik kepadaku, aku tidak masalah berteman dengannya.
Sudahlah, tidak baik membicarakan kejelekan orang lain, mamaku selalu berkata seperti itu.”
Dua anak itu tampak tidak puas dengan kalimatku. Mungkin aku belum benar-benar
tahu sifat Rayhan yang sebenarnya, dan memang kesan pertama yang aku dapat darinya
adalah dia bukan anak yang ramah. Tetapi menurutku Rayhan tetap anak yang baik, buktinya
dia membolehkan aku untuk bermain di halaman belakang rumahnya.
“Kamu kenapa pindah ke sini?”
“Kantor papaku pindah ke sini, jadi keluargaku juga harus pindah ke Purwokerto.
Rumahku persis di sebelah rumah Rayhan.”
“Semoga kamu betah sekolah di sini.”
Aku mengangguk, “Iya. Semoga saja seperti itu.”
Memang mau tidak mau aku harus menyukai semua sudut di kota baruku ini karena di
sinilah aku akan tinggal untuk waktu yang lama. Tadi malam papa berkata kalau keluarga
kami sudah tidak akan kembali ke Bandung, rumah di sana telah dijual oleh papa.
“Disya!”
Suara Rayhan membuyarkan lamunanku, aku menoleh dan menatap wajahnya.
“Ya?”
“Ayo, ikut aku!”
Aku tidak tahu ke mana Rayhan akan membawaku, tetapi pikiranku menyuruh untuk
menerima ajakan itu. Aku sempat melirik ke arah Tami dan Niken yang kelihatan bingung,
wajah mereka sama-sama terlihat menunjukkan rasa penasaran.
Langkah kakiku menyusul Rayhan yang telah berjalan terlebih dahulu, dia berjalan
dengan sedikit tergesa-gesa.
“Cepatlah, sebentar lagi bel masuk berbunyi!” Perintahnya.
Aku mempercepat langkah, pelan-pelan Rayhan mulai dapat kususul. Kami berjalan
menuju belakang sekolah. Beberapa murid lain memandang ke arah kami dengan heran. Aku
tidak terlalu memedulikan mereka.
“Ke mana kita sebenarnya?”
15
“Ke sini.” Jawab Rayhan seraya berbelok di ujung sekolah.
Kemudian dia berhenti beberapa langkah dari belokan tadi. Rayhan mendorong
sebuah bangku panjang yang terlihat agak lapuk, menempelkannya di tembok keliling. Aku
merasa ngeri waktu bocah itu memanjat ke atasnya, dan dia melongokkan kepala untuk
melihat sesuatu di balik tembok.
“Lihatlah!”
Hatiku merasa ragu-ragu untuk naik ke atas bangku yang terlihat lapuk ini, tapi mata
Rayhan yang masih menatapku memberikan keyakinan untuk menapakkan kaki di
sebelahnya. Pelan-pelan aku menaiki bangku. Dengan sedikit bantuan dari Rayhan, akhirnya
kedua kakiku sukses berdiri di atasnya.
Aku mengikuti Rayhan, menatap ke balik tembok. Kedua mataku langsung terbelalak
ketika mendapati hamparan sawah yang luas dan tertata dengan rapi. Warna hijau yang
tergelar membuatku yang baru pertama kali melihatnya merasa damai, ada ketenangan yang
merasuki hati saat menatapnya. Angin sejuk menerpa wajah, aku memejamkan mata sejenak
untuk menikmatinya.
Jauh di ujung jauh sana, sebuah gunung tampak berdiri dengan gagah. Menjadi batas
mata untuk melihat hamparan sawah yang terbentang. Puncaknya yang seakan menyentuh
langit diselimuti oleh awan putih. Apa yang aku lihat saat ini benar-benar membuatku merasa
damai.
“Itu Gunung Slamet.”
Rayhan tersenyum kali ini. Ternyata anak ini bisa bersikap manis juga rupanya.
“Indah banget, aku nggak tahu kalau di belakang sekolah ada pemandangan sebagus
ini.”
“Ya, tidak semua anak mau ke tempat ini. Mungkin karena mereka tidak mau berada
di dekatku.”
Aku terdiam, sebenarnya sejelek apa Rayhan di mata murid-murid sekolah ini sampai
mereka tidak ingin berteman dengannya. Menurutku, Rayhan tidak seburuk yang mereka
pikirkan, sampai detik ini aku tidak melihat hal-hal buruk yang dia lakukan.
“Kamu sering ke sini?”
Rayhan mengangguk, “Setiap istirahat aku ke tempat ini, sendirian. Menghabiskan
waktu dengan memandang sawah dan gunung itu akan membuatku merasa tenang.”
Baiklah, aku menyimpulkan bahwa sebenarnya anak ini merasa kesepian. Di sekolah
ini tidak ada yang mau berteman dengan Rayhan.
16
Aku akan berteman dengannya, apa pun yang terjadi. Aku akan selalu berteman
dengannya.
“Sekarang kamu tidak perlu memandangi tempat ini seorang diri, aku bersedia
menemanimu.”
Rayhan menatapku tajam, dia tampak berpikir beberapa detik. Tiba-tiba aku melihat
senyum itu lagi, senyum kedua yang aku lihat sejak mengenal Rayhan. Dia mengangguk, lalu
mengacungkan kelingkingnya.
“Janji?”
Tanpa ragu aku langsung menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya.
“Aku janji.”
17
TELEPON KALENG
Benang yang Kusut Sekalipun, Masih Bisa untuk Menyatukan
Aku berada di halaman belakang rumahku bersama Disya. Walaupun sampai
sekarang masih merasa heran mengapa aku bisa akrab dengannya, itu tidak terlalu
kupikirkan. Yang jelas sekarang aku bisa tertawa bersamanya. Pertama kali dalam hidupku
bisa tertawa bersama anak lain.
Kami berdua sedang membuat telepon kaleng, pelajaran yang didapat dari guru ketika
sekolah tadi akan kami praktikkan sekarang. Disya yang pertama kali mengajak dengan
rengekan manjanya. Tentu saja, karena sebelumnya aku tidak berpikir untuk membuatnya di
rumah.
Dua buah kaleng kecil bekas susu dan benang sisa yang masih cukup panjang telah
kami siapkan. Aku dan Disya sama-sama sibuk dengan kegiatan yang harus menyita waktu
tidur siangku.
“Ini, pakai ini untuk melubangi kalengnya!” Disya menyodorkan sebuah paku
kepadaku.
Tanganku menyambutnya, lalu meraih sebuah palu dan memukulkan ke ujung paku
beberapa kali untuk membuat lubang. Cukup susah juga ternyata buat anak seumuranku.
“Hati-hati, Rayhan!” Wajah Disya terlihat khawatir, membuatku harus tertawa kecil.
Setelah beberapa kali pukulan, akhirnya kaleng bekas itu berlubang dan aku beralih
ke kaleng yang satu lagi. Sementara Disya terlihat memasukkan benang ke dalam kaleng
melalui lubang yang kubuat, lalu membuat simpul di ujungnya.
“Kenapa kamu mau membuat telepon kaleng bersamaku?”
Aku bertanya kepada Disya di saat jeda memukul paku. Punggung tanganku
mengusap peluh yang menempel pada kening, meraih botol minyak kayu putih yang
tergeletak tidak jauh dariku, untuk sekadar mencium aroma dari ujung tutupnya sebelum
kembali membuat lubang.
“Tentu saja karena rumah kita berdekatan. Dan kita sudah menjadi teman, kan?”
“Maksudku, kamu tidak takut kalau nanti bakal dijauhi sama teman-teman sekolah
karena kamu berteman denganku?”
18
“Aku bisa berteman dengan siapa saja dan berteman denganmu seharusnya bukan
alasan untuk menjauhiku. Aku percaya mereka adalah teman-teman yang baik, seharusnya
kamu pun bisa berteman dengan mereka semua.”
“Semoga saja seperti itu. Dan, terima kasih karena sudah mau berteman denganku.”
Disya hanya melemparkan senyum kepadaku, dan aku membalasnya.
Benar-benar suatu pengalaman yang baru. Sejak pertama kali bertemu dengan Disya
aku merasa sikapku berbeda, tidak seperti yang biasa aku tunjukkan ke teman-teman sekolah
yang lain. Aku menjadi lebih sering memberikan senyuman kepada anak ini, hal yang tidak
pernah kutunjukkan kepada orang lain.
Beberapa menit kemudian kami tersenyum puas karena telah berhasil membuat
telepon kaleng. Disya menyuruhku menjauh untuk mencobanya, aku menurut. Anak itu
menempelkan kaleng tersebut ke mulutnya, sementara aku menempelkan di telinga.
“Tes, tes.”
Samar-samar kudengar suara Disya dari dalam kaleng yang kupegang.
Aku berganti memindahkan kaleng ke mulutku, dan Disya menempelkan kaleng itu di
telinganya.
“Aku bisa mendengar suaramu.”
Sekarang aku bisa melihat Disya sedang melompat kegirangan dengan tawa lebarnya,
apa dia tidak malu dengan gigi ompongnya? Benar-benar bocah yang aneh.
Sebenarnya aku juga merasakan hal yang serupa, kepuasan karena telah berhasil
membuat sesuatu yang baru dengan tangan kami sendiri. Hanya saja kuputuskan untuk tidak
melompat seperti yang sekarang masih dilakukan gadis kecil itu. Disya memberikan kode
untuk kembali menempelkan kaleng di telinga.
“Sekarang, ayo kita letakkan di kamar kita masing-masing!”
“Maksudmu?”
Disya berjalan mendekatiku, “Kamar kita bersebelahan bukan, tentu kita bisa
memakai telepon ini dari dalam kamar. Satu kaleng di kamarmu, dan satu kaleng di kamarku.
Kita bisa mengobrol melalui telepon kaleng ini dari dalam kamar kapan pun kita mau.”
Untuk masalah ide, aku mengakui kalau Disya satu langkah di depanku. Rumah kami
memang berdekatan, bahkan ada sedikit bagiannya yang menjadi satu, tepatnya pada balkon
kecil di lantai 2. Dan memang kebetulan kamarku dan kamar Disya sama-sama di lantai 2,
berjejer di antara balkon tersebut.
“Bagaimana caranya?”
19
“Kamu masuklah ke kamarmu, bawa telepon kaleng ini. Aku akan menunggu dari
kamarku, nanti lemparkan satu kaleng ke arahku.”
Aku belum begitu paham dengan rencana yang dikatakan olehnya, tapi bocah itu
buru-buru menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Disya bergegas pulang dan aku
langsung menuju lantai 2, menunggu sampai ada aba-aba darinya sambil merebahkan tubuh
di atas ranjang. Entah mengapa aku merasa ingin tersenyum sekarang.
“Rayhan, aku sudah sampai di kamar.”
Suara cempreng Disya membuatku bangkit, dan melangkah ke arah jendela sambil
melongokkan kepala. Wajah Disya tampak menyembul dari balik jendela kamarnya.
“Lalu bagaimana?”
“Lemparkan satu kaleng ke sini, aku akan menangkapnya!”
Ada-ada saja anak ini, aku menggenggam satu kaleng bekas itu, lalu mencoba
melemparkannya ke arah Disya. Gagal, kaleng itu sama sekali tidak sampai ke tangan Disya.
Aku mencobanya sekali lagi, tetapi tetap gagal.
“Tangkap dong, Disya!”
“Bagaimana bisa, lemparanmu terlalu lemah, Rayhan? Lebih kuat lagi!”
Aku mendesis, mencoba melakukan kembali lemparan dengan lebih kuat dari
sebelumnya. Namun, lagi-lagi hanya sia-sia, kaleng itu tetap tidak sampai ke tangan Disya.
Anak itu terlihat cemberut, membuatku tidak sabar juga akhirnya.
Dengan keberanian yang kukumpulkan, aku keluar melompati jendela. Meskipun
harus menggunakan kaki yang gemetar, tetap kususuri balkon yang tidak terlalu luas tersebut.
Disya tampak terkejut melihat tindakanku, wajahnya ketakutan.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu bisa jatuh nanti. Hati-hati!”
Aku sudah telanjur berada di tengah balkon saat Disya memperingatkanku.
Kusandarkan tubuh ke tembok, lalu dengan keberanian dan tenaga yang tersisa, kulemparkan
kaleng yang sejak tadi berada di tanganku.
Hap!
Akhirnya benda itu sampai juga di tangan Disya. Aku berbalik dan kembali berjalan
menuju kamar. Keringat membanjiri kening, aku menghela napas lega. Lalu kulihat Disya
menempelkan kaleng ke mulutnya, membuatku bergegas meraih kaleng satunya dan
menempelkan di telinga.
“Berani sekali kamu. Bagaimana kalau tadi kamu jatuh?”
Walaupun samar, tetapi aku dapat mendengar suara bocah itu. Nadanya masih
terdengar khawatir, meskipun aku sudah berhasil kembali masuk ke dalam kamar.
20
“Tenang saja, aku sudah sering duduk di balkon itu.” Aku berbohong untuk
menghilangkan rasa khawatir dalam diri Disya. Padahal sebenarnya jantungku berdegup
sangat cepat karena ketakutan.
“Kamu benar-benar anak yang nekat.” Suara Disya terdengar lebih tenang sekarang.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Jadi ini ide yang dimaksud Disya tadi, menyimpan
satu-satu kaleng yang dihubungkan dengan benang ini, lalu berbicara dari dalam kamar kami
masing-masing. Benar-benar tidak kusangka kalau aku masih bisa mendengar suaranya dari
jarak sejauh ini.
Aku menoleh ke arah Disya yang masih menyembulkan wajahnya dari balik jendela.
Bocah itu tampak tersenyum. Aku harus mengakuinya, Disya adalah bocah yang cerdas.
Disya memintaku untuk menemaninya memutari kompleks perumahan. Alasannya, karena
dia ingin lebih mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang baru. Bocah itu merengek di
depan ibu, tentu saja ibu langsung menyuruhku mengiyakan keinginan Disya. Jadilah kami
pergi untuk mengelilingi perumahan dengan menggunakan sepeda.
Disya mengayuh sepedanya untuk mengiringi laju sepedaku, dan kami sudah jauh
meninggalkan rumah. Roda-roda sepeda berputar cepat menyusuri jalan aspal sore ini,
membawa kami melewati setiap sudut dengan berbagai aktivitas orang-orang yang kami
temui di sepanjang jalan.
“Ke mana lagi kita?” Tanya Disya dengan tetap mengayuh pedal sepedanya. Bocah
itu tidak terlihat lelah, padahal kami sudah bersepeda sejak setengah jam yang lalu.
Aku berpikir sejenak, “Bagaimana kalau kita berhenti sejenak untuk istirahat di TK
waktu aku kecil dulu?”
Disya menyambut antusias saran yang aku ajukan. Dia mengangguk dengan cepat.
Aku membawa Disya menuju TK tempatku dulu bersekolah, dan bocah itu mengikuti di
belakang. Beberapa menit kemudian, kami berdua sampai.
Aku meletakkan sepedaku di halaman rumput di depan TK, Disya melakukan hal
serupa. Kami duduk di dekat sepeda, beralaskan rumput yang tumbuh rapi dan terawat.
21
Aku mengambil botol minyak kayu putih yang selalu kubawa ke mana pun. Aku tahu Disya
melirik, lalu hanya seulas senyuman yang mengembang di bibirnya. Mungkin dia sudah
bosan mengomentari kebiasaanku ini.
“Dulu kamu sekolah di TK ini?” Disya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut
tempat itu.
“Iya. Dulu, waktu aku masih kecil.”
Disya tersenyum mendengar jawabanku, “Apa kamu pikir sekarang kamu sudah
besar?”
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, benar juga apa yang dikatakan oleh bocah
perempuan ini. Aku masih tetap anak kecil sampai sekarang, usiaku hanya bertambah
beberapa tahun saja. Kalimat Disya sedikit membuatku tersipu. Beruntung wajahku tidak
berubah merah. Atau mungkin wajahku memerah, tetapi aku tidak menyadarinya. Entahlah.
“Apa kamu punya banyak teman di Bandung?”
Disya mengangguk, “Tentu. Ada Indri, Nita, Alan, Reza, Rafka, Ariani, dan banyak
lagi teman sekolahku yang lainnya. Aku kangen bermain bersama mereka.”
“Mungkin nanti kamu bisa bermain bersama teman-temanmu itu kembali.”
“Aku berharap seperti itu.”
Aku mengamati Disya yang sedang menatap kosong ke arah ruang kelas, ia pasti
sedang memikirkan teman-temannya. Batinku berkata demikian.
“Hei! Bagaimana hidup di kota Bandung?”
Disya terpancing, dia kembali menoleh dan tersenyum kepadaku. “Menyenangkan, di
sana lebih sejuk daripada di kota ini. Selain itu, lebih banyak bangunan-bangunan tinggi.
Bandung lebih besar daripada Purwokerto.”
“Sebesar apa?” Aku merasa tertarik dengan perkataan Disya.
Gadis itu menggaruk dagunya, “Emmm... sebesar apa, ya? Pokoknya lebih luas dari
kota ini.”
“Baiklah, aku cari tahu sendiri saja nanti. Suatu saat nanti aku akan ke Bandung,”
ujarku mantap.
Disya tersenyum dan menganggukan kepala mendukung niatku.
Dari kejauhan, tampak tiga anak laki-laki berjalan mendekat. Aku mengenal mereka.
Tomi, Rino, dan Zaenal, mereka adalah anak-anak kelas 6 yang sering mencari gara-gara
denganku di sekolah. Beberapa kali aku berkelahi dengan mereka karena berbagai alasan.
“Hei, lihat! Ada anak mama di sini.” Tomi langsung mengeluarkan ejekan andalan
yang sering dia ucapkan kepadaku.
22
“Anak manja, kenapa bisa pergi jauh-jauh dari rumah. Apa kamu tidak takut tersesat
nanti?” Rino menambahkan, membuat 2 anak yang lainnya tertawa mengejek.
Disya tampak bingung dengan situasi yang sedang terjadi di antara kami. Sementara
aku masih berusaha menahan amarahku, tidak enak kalau harus berkelahi di hadapan anak
perempuan. Sekuat tenaga aku berusaha supaya emosiku tidak terpancing.
“Ada apa denganmu, anak manja? Kenapa kamu tidak emosi seperti biasanya?”
Wajah Zaenal menatapku dengan heran, aku balas menatap tajam ke arahnya.
Tomi mengalihkan pandangannya kepada Disya, keningnya berkerut. “Siapa dia?”
“Anak pindahan, aku dengar rumahnya persis di sebelah rumah anak manja ini.”
“Ohh.... Pantas saja kamu tidak emosi seperti biasanya. Tapi, bagaimana kalau seperti
ini?” Tanpa diduga Tomi menendang keras sepeda milik Disya hingga terjatuh.
Kali ini emosiku mencapai puncaknya, aku berdiri dan langsung menerjang tubuh
Tomi. Kami saling pukul, bergumul di atas rumput. Dua orang lainnya berusaha membantu
Tomi. Meskipun samar-samar kudengar tangisan Disya, tapi perkelahian tidak seimbang ini
tetap berlanjut.
Aku terus melayangkan tinju dengan serampangan. Melawan 3 orang sekaligus tentu
bukan hal yang mudah, apalagi mereka lebih besar dariku. Namun, emosi yang sudah
terlanjur besar membuatku tidak merasa takut. Aku terus mencoba melawan Tomi dan teman-
temannya. Hingga mereka merasa lelah, lalu berlari pergi.
Di tempatnya, Disya masih ketakutan. Tangisannya belum mereda ketika aku berjalan
menghampiri. Kedua tangannya memeluk lutut, aku berjongkok di hadapannya. Hampir
semua badanku terasa sakit dan pegal, dan aku belum tahu bagaimana kondisi wajahku
sekarang.
“Hei,” aku meletakkan kedua tangan di atas lututnya, membuatku langsung menyadari
bahwa seluruh tubuh Disya gemetar.
“Sudah, mereka sudah pergi sekarang. Jangan menangis lagi.”
“Aku takut, kalian saling memukul.” Katanya tanpa menatapku. Tangisannya juga
belum mereda.
“Aku minta maaf telah membuatmu ketakutan. Tapi sekarang aku minta berhentilah
menangis. Semua telah selesai dan sekarang sudah sore, kita harus pulang.”
Disya menatapku sekarang, aku menangkap kekhawatiran dari kedua matanya yang
basah. Dan entah mengapa aku tidak ingin melihat tatapan mata seperti itu lagi.
“Berjanjilah apa pun yang terjadi, kamu tidak akan berkelahi lagi!” Tuturnya tiba-
tiba. Membuatku terkejut. Wajahnya terlihat bersungguh-sungguh.
23
Dengan pelan aku mengangguk, “Baiklah, Disya. Aku janji.”
24
SAKTI
Aku Bahagia atas Perubahan Adikku
Aku melangkahkan kaki menyusuri jalanan di kompleks perumahan. Siang ini, udara
memang cukup panas. Perjalanan dari sekolah ke rumah pun terasa dua kali lebih melelahkan
dari biasanya. Ingin sekali buru-buru sampai rumah dan menenggak air dingin dari dalam
kulkas.
Beberapa kali aku menyeka keringat yang mengalir di kening.
Dahiku berkerut ketika sampai di depan gerbang rumah, melihat Rayhan sedang
duduk di daun jendela sambil melakukan sesuatu yang tidak begitu aku mengerti.
Kutajamkan mata untuk melihat dengan jelas. Dia menempelkan sebuah kaleng di telinganya,
membuatku semakin penasaran. Sebenarnya apa yang dilakukan Rayhan?
Mataku mengikuti pandangan Rayhan yang melihat ke arah rumah penghuni baru itu.
Aku semakin terkejut ketika mendapati Disya juga sedang berdiri, menyandarkan tangannya
di bibir jendela sambil memegang kaleng dan menempelkannya di mulut. Pikiranku terus
menebak apa yang sedang dilakukan oleh 2 anak itu.
Butuh beberapa menit untuk berpikir, sampai akhirnya aku mengerti bahwa mereka
sedang berbicara melalui telepon kaleng. Kugelengkan kepala sembari tersenyum, lalu
kembali melanjutkan langkah.
Kreatif juga mereka berdua, batinku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wassalamu’alaikum.” Ibu menjawab salam sembari tersenyum. Aku berjalan
menghampiri, lalu mencium punggung tangan beliau.
“Bagaimana sekolahmu hari ini, Sakti?”
“Seperti biasa, Bu. Menerima pelajaran-pelajaran dan mencatat. Setelah itu
mendapatkan tugas rumah.”
Ibu mengelus rambutku, “Ya sudah. Ganti pakaian dulu sana, setelah itu makan
siang.”
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur
setelah sampai di dalam, mencoba untuk menghilangkan lelah yang melanda selepas sekolah
hari ini.
25
Menjadi murid kelas 3 di sekolah menengah pertama memang melelahkan. Setelah
sekolah usai aku harus menerima pelajaran tambahan sampai sore. Kata kepala sekolah, itu
untuk menyambut ujian nasional yang tinggal hitungan bulan lagi. Kami para siswa kelas 3
semakin banyak diberikan materi-materi yang mungkin akan diujikan nantinya. Benar-benar
menguras tenaga dan pikiran.
Aku duduk di tepi ranjang, melepaskan satu persatu seragam sekolah dan
menggantinya dengan pakaian santai. Tiba-tiba pikiranku kembali teringat dengan aktivitas
yang sedang dilakukan oleh Rayhan dan Disya. Karena penasaran aku memutuskan untuk
melangkah menuju kamarnya yang berada persis di sebelah kamarku.
Pintu kamarnya terbuka, dan aku melihat Rayhan masih asyik berbicara dengan Disya
melalui telepon kaleng itu.
“Hei, sedang apa kamu di tepi jendela?”
Rayhan tampak terkejut karena kehadiranku yang tiba-tiba dan sudah berdiri di
belakangnya.
“Kakak ini mengagetkan saja. Aku sedang bermain telepon kaleng bersama Disya.”
Jawabnya seraya menunjukkan kaleng yang sejak tadi berada dalam genggaman tangannya.
Kemudian kembali asyik berbicara melalui telepon kaleng bersama Disya.
Aku yang sudah sangat mengenal sifat Rayhan tentu saja merasa heran ketika
mengetahui adikku bisa sedekat ini dengan orang lain, terlebih dengan bocah perempuan
yang baru beberapa minggu dikenalnya. Yah, walaupun rumah kami berdekatan dan Disya
merupakan teman satu kelas Rayhan, tetap saja ini adalah sesuatu yang aneh buatku.
Kemarin sore Rayhan pulang dengan wajah yang lebam, bajunya terlihat lusuh dan
kotor. Sebenarnya itu bukan hal baru bagi keluarga kami, mendapati Rayhan pulang ke
rumah dengan kondisi seperti itu. Sudah pasti dia habis berkelahi dengan anak-anak yang
sering mengganggunya.
Rayhan memiliki sifat temperamental. Dia gampang sekali tersulut emosi jika merasa
dihina atau diledek oleh anak lain. Siapa pun akan dia lawan, meskipun mereka jauh lebih
besar darinya. Rayhan memang anak yang pemberani, tetapi juga sering ceroboh dalam
mengambil sikap. Ah, tentu saja, dia memang masih kecil dan belum bisa membedakan baik
dan buruk dari apa yang dia lakukan.
“Kakak masih di sini?”
Pertanyaan Rayhan menyadarkanku. Aku melamun rupanya, mungkin karena terlalu
terkejut dengan perubahan sikap adikku itu. Namun, aku senang Rayhan akhirnya memiliki
teman yang mau diajak bermain.
26
“Kenapa harus seperti itu, bukankah kamu tetap bisa mendengar suaranya meskipun
tanpa menggunakan telepon kaleng?”
“Kata Disya, biar orang lain nggak mendengar pembicaraan kami,” Rayhan menjawab
dengan polos.
Aku hanya mampu tersenyum, Disya benar-benar berhasil membuat Rayhan
mengalami perubahan sebanyak ini.
“Kamu sudah makan, Rayhan?”
“Sudah, Kak. Tadi pulang dari sekolah aku langsung disuruh makan sama Ibu.”
Rayhan menjawab pertanyaanku sambil berjalan ke ranjang, setelah sebelumnya meletakkan
kaleng itu di sisi jendela kamar.
“Lho, sudah tidak bermain telepon kaleng lagi?”
“Disya dipanggil mamanya.”
“Oh. Kakak senang sekarang kamu punya teman bermain, Rayhan.”
Aku bisa melihat wajah Rayhan tersipu, dia tampak menyembunyikan senyumnya.
Geli juga rasanya melihat raut wajah adikku sekarang, Rayhan menjadi lebih ceria dari
sebelumnya.
“Disya keras kepala, Kak. Dia memaksaku untuk menjadi temannya.”
Jawaban konyol Rayhan membuatku tertawa kecil. Ada-ada saja bocah ini.
“Mana mungkin seperti itu, berteman seharusnya tidak dengan paksaan.”
“Aku tahu, Kak Sakti. Tadi aku hanya bercanda. Aku senang bisa berteman dengan
Disya, dia tidak manja seperti bocah perempuan lainnya.”
Benar-benar perubahan yang besar, Rayhan sampai memuji Disya. Aku semakin
penasaran dengan bocah perempuan itu. Apa yang dia lakukan sampai bisa membuat adikku
seperti ini.
“Baguslah. Semoga kamu bisa berteman baik dengan Disya, bahkan mungkin dengan
siapa saja. Punya banyak teman itu menyenangkan, Rayhan.”
“Iya, Kak.”
“Ya sudah, Kakak lapar. Mau makan dulu, ya. Kamu mau ikut turun?”
Rayhan menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku mau tidur siang saja.”
Aku mengangguk sebelum melangkah keluar dari kamar Rayhan. Meskipun kadang
menyebalkan dengan sifat temperamentalnya, tetapi aku sangat menyayangi adikku satu-
satunya lebih dari apa pun.
27
“Kak Sakti, Rayhan ke mana?” Disya bertanya kepadaku saat aku sedang membaca komik di
teras rumah.
Aku menutup halaman komik di bagian yang belum selesai kubaca, lalu
meletakkannya di meja.
“Rayhan sedang pergi bersama Ibu ke supermarket.”
Wajah Disya terlihat cemberut begitu mendengar jawabanku.
“Memangnya ada apa?”
“Aku ingin main trampolin di belakang rumah. Hehehe,” jawabnya.
Wajahnya bocah ini cepat sekali berubah. Tadi cemberut dan sekarang kembali
tertawa dengan riangnya, benar-benar anak yang ceria.
“Kalau gitu masuk saja, sambil nungguin Rayhan pulang.”
“Boleh, Kak?”
Aku tersenyum, “Ya... bolehlah. Berani kan main sendirian di belakang?”
Disya terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.
Aku membiarkannya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju halaman belakang.
Perhatianku kembali teralih kepada komik yang tergeletak di meja, melanjutkan aktivitas
yang sempat terhenti karena kedatangan Disya.
“Kyaaaaaa.”
Tiba-tiba terdengar suara jeritan Disya dari halaman belakang. Aku langsung
melemparkan komik dan berlari menghampiri bocah perempuan itu. Disya tampak meringis
kesakitan sambil memegang keningnya yang mengeluarkan darah. Ia duduk di sebelah
ayunan. Kepanikan langsung merasuki pikiranku.
“Disya, apa yang terjadi dengan keningmu?” Kupapah tubuh Disya masuk ke dalam
rumah. Gadis kecil itu terus menangis sambil terus memegang keningnya.
Walaupun hanya luka kecil dan tidak mengeluarkan banyak darah, tetapi bagi anak
seusianya tentu saja itu tetap sakit. Aku mendudukkan Disya di sofa sebelum menghambur ke
dapur. Beberapa menit kemudian aku kembali dengan membawa air hangat dan kain bersih
untuk membersihkan luka di kening Disya.
Pelan-pelan kuusapkan kain yang sudah kubasahi dengan air hangat untuk
menghilangkan bercak darah Disya. Bocah itu masih menangis, kali ini wajahnya meringis
setiap aku mengusapkan kain basah.
“Apa yang terjadi, Disya?” Aku meletakkan kain di dalam gayung yang berisi air
hangat. Tanganku menyobek ujung plester luka, lalu merekatkan pada bagian yang luka di
kening Disya.
28
“Waktu bermain ayunan, tiba-tiba kakiku tersangkut di besi. Aku jatuh dan keningku
membentur tanah.” Tangisan Disya mulai mereda, hanya menyisakan kedua matanya yang
sembab.
“Bagaimana sekarang?”
“Sudah tidak sakit lagi. Makasih, Kak Sakti.”
Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
Sementara dari depan rumah terdengar suara mobil. Ibu dan Rayhan sudah pulang
rupanya.
“Itu Rayhan pulang,” ucapku kepada Disya.
Ibu dan adikku masuk ke dalam rumah dengan membawa hasil belanjaan. Rayhan
langsung bergegas menghampiri Disya, wajahnya terlihat cemas.
“Kening kamu kenapa?”
“Aku jatuh dari ayunan tadi.”
“Aduh, Disya. Kamu tidak apa-apa? Mana lagi yang luka?” Ibuku juga terdengar
panik. Beliau meneliti seluruh tubuh Disya.
“Nggak apa-apa kok Tante, tadi sudah diobatin sama Kak Sakti.”
“Oh, Syukurlah kalau gitu. Lain kali lebih hati-hati lagi kalau bermain.”
Disya mengangguk menjawab nasihat ibu. Ibu melangkah ke dapur, aku membuntuti
di belakangnya. Meninggalkan Rayhan dan Disya di ruang tengah.
“Beli apa saja, Bu?”
Aku duduk di kursi plastik, memerhatikan ibu yang sedang mengeluarkan belanjaan.
Ada yang dimasukkan ke dalam kulkas, ada pula yang dimasukkan ke dalam kabinet.
“Ini keperluan bulanan. Sayuran dan yang lainnya sudah hampir habis.”
“Rayhan beli minyak kayu putih lagi?”
Ibu menggeleng, “Yang kemarin masih banyak katanya, terakhir kali juga Ibu beli dua
botol sekaligus.”
Aku membolak-balik halaman pada buku resep yang tergeletak di meja. Hanya
memandang sekilas tanpa membacanya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
“Maksud Ibu?”
“Ibu tahu kamu sedang memikirkan sesuatu, Ibu bisa melihatnya dari wajahmu.
Masalah ujian nasional?”
29
“Bukan, Bu,” aku berhenti sejenak. “Maksudku, itu juga kupikirkan. Tetapi sekarang
aku merasa heran dengan perubahan Rayhan sejak dia mengenal Disya. Ibu tahu sendiri kalau
anak itu susah bergaul.”
“Itu malah bagus, adikmu jadi punya teman bermain.”
“Iya, sih. Tapi, aku sebagai kakaknya saja susah banget bikin Rayhan tersenyum. Nah
Disya, jangankan senyum, Rayhan jadi sering tertawa kalau lagi sama Disya.”
“Namanya juga anak kecil, emosinya masih labil. Dulu waktu kamu kecil juga seperti
itu. Kadang gampang nangis, kadang juga sering tertawa kalau lagi bercanda sama
temanmu.”
“Ibu malah dari dulu berharap adikmu punya banyak teman, biar tidak bermain
sendirian terus di belakang rumah. Sekarang ada Disya yang mau menemani Rayhan
bermain, tentu saja Ayah dan Ibu merasa senang,” lanjut ibu.
“Iya. Sakti juga senang Rayhan bisa mendapatkan teman,” aku pun melempar senyum
ke arah ibuku.
30
BAB DUA
Tentang Sebuah Perasaan.
Setiap Insan Menyebutnya Dengan Nama Cinta
31
JATUH HATI
Selamat Datang Rasa Cinta
Lama, aku terpisah dari dirinya sekian lama
Lama, sudah berlalu tapi jejaknya tertanam s’lamanya
Dia selalu ada di dalam doa, terselip nama di dalam doa
Lewat radio, aku sampaikan kerinduan yang lama terpendam
Terus mencari, biar musim berganti
Radio cerahkan hidupnya, jika hingga nanti ku tak bisa
Menemukan hatinya, lagi
Aku mendengarkan sebuah lagu dari Sheila On 7, band favoritku sejak sekolah dasar.
Sesekali mulutku bernyanyi mengikuti suara Duta yang sudah sejak tadi bernyanyi dengan
merdunya. Sore ini, aku merebahkan diri di atas tempat tidur kamar.
Tidak terasa, sudah hampir 6 tahun aku pindah ke Purwokerto, salah satu kota di
Kabupaten Banyumas yang cukup panas, tapi begitu nyaman dan menyenangkan. Tinggal di
rumah yang lebih besar dari rumahku sebelumnya di Bandung. Dan mengenal Rayhan serta
keluarganya.
Ternyata, waktu berlalu begitu cepat.
Sekarang aku sudah menginjak kelas 2 SMA, dan lagi-lagi satu sekolah dengan
Rayhan. Sejak SD, SMP, dan SMA pun aku selalu satu sekolah dengannya. Kami tumbuh
bersama, menjadi sahabat dekat yang tidak pernah terpisahkan. Meskipun sudah banyak
perubahan yang terjadi dalam kehidupan kami, itu tidak memengaruhi persahabatan kami.
Aku dan Rayhan masih sering menghabiskan waktu bersama di belakang rumahnya,
walaupun sekarang yang tersisa dari mainan yang ada di rumah Rayhan hanya tinggal ayunan
dan trampolin. Dan kebiasaan mengobrol melalui telepon kaleng yang kami buat bersama
dulu, masih sering kami lakukan sampai sekarang. Banyak yang berubah, tetapi banyak juga
yang tetap sama.
Rayhan tumbuh menjadi laki-laki yang lebih periang dari waktu pertama kali aku
mengenalnya dulu. Sekarang, dia sudah tidak pelit lagi untuk tersenyum. Sedikit-sedikit,
temperamentalnya mulai hilang meskipun terkadang sifat jelek itu masih muncul. Dia
memiliki banyak teman di sekolah. Rayhan menjadi cowok yang disukai teman-teman,
Radio
Sheila On 7
32
terutama murid cewek. Aku bersyukur untuk itu. Dari segi fisik, Rayhan jauh lebih tinggi
dariku, badannya tegap dan rahangnya menjadi terlihat begitu kokoh. Rambutnya dibiarkan
tumbuh berantakan, jarang sekali dirapikan.
Namun, Rayhan tetaplah Rayhan. Anak yang selalu menyukai aroma minyak kayu
putih.
Sementara Kak Sakti sekarang sudah menjadi mahasiswa jurusan Sastra Prancis di
salah satu perguruan tinggi di kota Semarang. Dia menuntut ilmu jauh dari rumah. Ini adalah
tahun ketiga baginya.
Dia segalanya bagiku, dia segalanya bagiku
Apa yang terjadi jika kugagal menemukannya
Suara merdu Duta masih terdengar melalui earphone, udara yang panas membuatku
enggan untuk melakukan aktivitas apa pun. Tiduran dengan AC yang menyala adalah hal
paling benar menurutku saat ini. Sambil menunggu Rayhan yang masih pergi mengantarkan
sesuatu ke rumah saudaranya.
Pemuda itu sempat mengajakku tadi, tetapi sekali lagi dengan alasan cuaca yang
panas, aku menolak ajakannya dan lebih memilih untuk berada di dalam kamar. Dengan
jengah, kulangkahkan kakiku mendekati jendela, menatap ke jalanan yang cukup lengang. Di
langit tidak ada awan sama sekali, pantas saja udara hari ini benar-benar menyengat.
Lima menit kemudian kulihat tubuh Rayhan melaju dengan sepeda motor sport
miliknya masuk ke pelataran rumah, dia akhirnya pulang. Rayhan menoleh ke arahku, aku
melambaikan tangan dan tersenyum. Cowok itu membalas sebelum melangkah masuk ke
dalam rumah. Aku menunggunya naik ke kamar dan menyembulkan wajah di jendela, lalu
mulai berbincang melalui telepon kaleng. Hal yang rutin kami lakukan.
“Bener kata kamu, Purwokerto lagi panas banget.” Suara Rayhan terdengar dari
dalam kaleng yang kutempelkan di telinga. Membuatku tertawa.
“Apa kubilang. Untung aku tidak ikut, bisa hitam nanti kulitku,” jawabku seraya
bercanda.
Rayhan terlihat tersenyum mengejek dari jendela kamarnya.
“Dasar manja.” Rayhan mengeluarkan ejekan andalannya.
Apa Rayhan benar-benar tidak tahu kalau bagi seorang cewek kulit itu adalah sesuatu
yang penting dan harus selalu dijaga serta dirawat. Dasar cowok tidak peka. Aku sampai
menjulurkan lidah ke arahnya. Sebal.
33
“Nanti malam nyari nasi goreng, yuk. Kalau malam hari nggak perlu khawatir, kan?”
katanya sambil tersenyum kecil.
Rayhan menyebalkan, dia terus mengejekku.
“Oke. Tapi kamu traktir aku, ya?”
“Beres, kebetulan aku baru dapat gajian dari Radio. Kalau cuma nasi goreng sanggup
lah.”
“Rayhan, lihat! Sepertinya kita harus mengganti kaleng ini, deh. Punyaku sudah
sedikit berkarat.”
Cowok itu mengerutkan dahinya, “Benarkah? Perasaan belum ada sebulan sejak
terakhir aku menggantinya. Punyaku masih cukup bagus kok.”
“Memang, tapi tidak ada salahnya kan kalau diganti sekarang? Aku risih kalau masih
memakai kaleng yang ini,” eyelku.
“Ckckckck... bilang saja kalau kulitmu takut kotor.”
Aku tersenyum mendengar Rayhan mengeluh karena permintaanku. Bagiku ini bukan
hal yang baru, mendengar cowok itu mengeluh karena harus mendengar rengekanku. Namun,
pada akhirnya Rayhan pasti melakukan apa yang aku minta.
“Baiklah. Besok aku ganti. Aku harus membeli kaleng yang baru dulu.”
Rayhan memang bisa diandalkan. Aku tersenyum puas meskipun kulihat wajah
Rayhan masih cemberut.
“Benangnya sekalian?”
Aku mengangkat kedua bahuku, “Terserah kamu.”
Telepon kaleng kami memang sudah beberapa kali mengalami perbaikan dan selalu
Rayhan yang melakukannya. Mulai dari mengganti kaleng atau benangnya. Aku hanya
tinggal menunggunya selesai dan kembali menyerahkan telepon kaleng yang baru.
Rayhan selalu menjadi sahabat yang baik untukku dan benar-benar bisa diandalkan.
Rayhan memacu motor sport miliknya menembus keramaian kota Purwokerto di malam hari.
Aku dibonceng di belakangnya. Kami melintasi jalanan, menuju tukang nasi goreng
langganan kami.
“Pelan-pelan, Rayhan. Aku yakin nasi gorengnya belum habis.” Tanganku
menggenggam erat jaket Rayhan yang melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Membuatku harus menutup mata karena takut.
34
“Kenapa?”
“Aku bilang pelan-pelan,” teriakku persis di dekat telinga Rayhan.
“Aku lapar sekali.”
“Iya, aku juga sama. Tapi, aku takut kalau kamu terus ngebut seperti ini.”
“Tenang saja, kamu aman bersamaku. Pegangan saja yang kencang.” Rayhan malah
menambah kencang laju motornya, sampai aku harus mengeratkan cengkeraman. Pelan-pelan
kurebahkan kepalaku di pundaknya untuk mencari perlindungan.
Aku bernapas lega saat kami sampai di depan penjual nasi goreng. Kuatur denyut
jantungku agar dapat berdetak dengan normal kembali. Adrenalin yang sempat terpacu mulai
kembali mengendur.
“Gila kamu. Mau ngajak bunuh diri?” Ujarku sambil memukul pelan punggung
Rayhan.
Rayhan hanya tertawa kecil dan menyuruhku turun dari boncengan. Kami berjalan
masuk ke dalam warung, mencari meja yang kosong dan duduk. Seperti biasa, aku memesan
nasi goreng sosis, sementara Rayhan memilih nasi goreng ayam untuk makan malamnya.
“Pucat sekali wajahmu.”
Aku melemparkan sedotan ke arahnya, Rayhan mengelak dengan gesit.
“Pokoknya nanti aku yang di depan waktu pulang.”
“Dih, emang kamu bisa bawa motorku?”
“Enggaklah. Nanti aku cuma mau duduk di atas jok, dan kamu mendorongnya dari
belakang. Sampai rumah.”
“Enak aja. Ogah banget.”
“Emang enak. Itu lebih baik daripada harus membonceng kamu yang suka ngebut.
Awas aja kalau nanti kamu ngebut lagi. Aku bakalan loncat dari boncengan.”
Rayhan tertawa renyah, “Iya-iya. Nanti pulangnya aku nggak ngebut deh, di bawah
empat puluh kilometer.” Cowok itu beberapa kali meneteskan minyak kayu putih ke telapak
tangan, lalu mengoleskan di bagian lehernya.
“Ya udah sekarang kita makan dulu, ya.”
Rayhan menyambut nasi goreng pesanannya yang dibawa oleh pelayan. Aku pun
melakukan hal serupa.
“Rayhan!”
Aku mengangkat wajahku ketika mendengar seseorang menyapanya, kulihat seorang
cowok berdiri di sebelah kami. Ia menepuk pundak Rayhan dengan akrab.
“Hei, Yoga, kok di sini? Bukannya sekarang jadwalmu siaran?”
35
“Iya, tiba-tiba pengen makan nasi goreng. Ya udah aku keluar, mumpung ada Roni
yang lagi nge-handle.” Cowok itu duduk di sebelah Rayhan.
“Dasar. Oh iya, kenalin ini Disya. Disya, ini Yoga. Dia penyiar juga di radio yang
sama sepertiku.”
Aku menerima uluran tangan cowok yang ternyata teman Rayhan, kami berkenalan.
Seulas senyum menghiasi bibirnya yang tipis, aku membalasnya. Tatapan kami sejenak
beradu, membuatku tahu kalau cowok ini memiliki mata yang indah.
Diam-diam aku tertarik dengannya.
36
PERASAAN DISYA
Sahabat Kecilku yang Telah Beranjak Dewasa
Disya turun dari boncengan motor setelah kami sampai di parkiran sekolah. Aku
menurunkan standar lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu. Suasana sekolah sudah cukup
ramai oleh berbagai aktivitas murid-murid lain yang sudah lebih dahulu datang. Disya
berjalan dengan riang di sebelahku, sesekali mulutnya bergumam kecil menyanyikan sebuah
lagu dari band favoritnya itu. Gadis ini senang sekali menyanyikan lagu-lagu Sheila On 7,
semua lagunya sampai dia hafal di luar kepala.
“Cowok semalam itu, siapa namanya? Yoga, kan? Dia SMA juga?”
“Nggak. Dia udah kuliah. Kenapa emangnya?” Aku menyelidiki wajah Disya,
menatapnya dengan curiga.
“Jangan-jangan, kamu suka?” Lanjutku.
Disya terlihat menyembunyikan wajahnya, “Cuma sedikit tertarik, nggak lebih.”
Aku tersenyum kecil mendengar jawaban gadis itu. Sahabatku ini sedang beranjak
dewasa rupanya, Disya mulai tertarik dengan lawan jenis. mungkin hanya menunggu waktu
sampai dia akan sibuk dengan cowok lain, bermain-main dengan perasaannya.
“Aku punya nomor ponselnya, mau?” Tawarku kepada Disya yang kali ini sedang
memberikan senyum kepada seorang murid lain. Wajah Disya tersipu malu, aku bisa melihat
itu.
“Gengsi lah, mana ada cewek yang menghubungi lebih dulu.”
Dasar lugu, dari kalimatnya saja aku sudah mengerti kalau sebenarnya Disya ingin
mengenal lebih jauh sosok Yoga. Aku tidak kuasa menahan senyum.
“Ya sudah kalau nggak mau,” pancingku, ingin melihat reaksi Disya. Benar saja,
cewek itu menunjukkan wajah protes ke arahku.
“Kenapa wajahmu? Katanya nggak mau.”
“Nggak apa-apa,” jawabnya dengan mimik cemberut, ia berjalan cepat
meninggalkanku.
Aku hanya tertawa kecil melihat sikap Disya seperti itu. Gadis itu benar-benar
bertingkah seperti anak kecil yang menginginkan sebuah mainan baru, tapi tidak berhasil
mendapatkannya. Aku menggelengkan kepala dan mengejar langkah Disya yang sudah
berada agak jauh.
37
“Ngambekan banget. Nanti kalau aku ketemu Yoga di radio, aku kasih nomermu ke
dia,” ucapku ketika aku berhasil menyusulnya.
Disya berhenti melangkah dan menatapku, “Apaan sih, Rayhan. Aku kan sudah bilang
kalau aku hanya sekadar tertarik. Nggak lebih.”
“Sudahlah, kamu nggak perlu malu-malu sama aku. Lagian memang seperti itu,
awalnya cuma tertarik, terus lama-lama jadi lebih dari sekadar tertarik.”
“Gayamu kayak orang pernah jatuh cinta aja.”
Aha! Tepat sasaran! Disya kena telak dengan pancinganku, aku berusaha sekuat
tenaga untuk menahan senyum yang ingin merekah di bibirku.
“Siapa yang sedang ngomongin jatuh cinta coba?”
Gadis itu langsung meninju lenganku dengan pelan, wajahnya benar-benar merah kali
ini. Dan aku tertawa keras saat Disya kembali berjalan cepat meninggalkanku. Ah….
Sahabatku ini sedang jatuh cinta rupanya.
Aku memang bukan cowok yang paham tentang masalah cinta, bahkan sekalipun belum
pernah aku merasakan yang namanya suka atau tertarik dengan lawan jenis. Menurutku buat
apa merasakan hal semacam itu, punya satu sahabat cewek saja sering membuatku kerepotan,
apalagi ditambah satu dan dengan perasaan spesial pula.
Kalau melihat gelagat Disya, siapa pun pasti bakal tahu kalau gadis itu sedang jatuh
cinta.
Sepulang dari sekolah tadi dia terus bertanya tentang Yoga kepadaku. Mulai dari
kuliah di mana, jurusannya apa, tinggalnya di mana, dan tentu saja tidak ketinggalan Disya
bertanya Yoga sudah punya pasangan atau belum. Aku sampai kewalahan menanggapi semua
pertanyaan yang dia ajukan kepadaku.
Oke aku memang berteman dengan Yoga, tetapi bukan berarti aku tahu segalanya
tentang anak itu. Hari ini Disya lebih cerewet dari biasanya.
Aku menghentikan laju motor di depan gerobak penjual es buah yang sedang mangkal
di daerah kampus Universitas Jendral Soedirman, atau orang-orang biasa menyebutnya
Unsoed. Disya langsung melompat turun dan duduk di bangku panjang yang disediakan oleh
penjual es buah.
38
“Bikinin dua ya, Bang. Seperti biasa,” pesan Disya kepada Bang Wawan, penjual es
campur yang sudah sangat mengenal kami. Aku menyusul duduk di seberang meja.
“Oke, kamu bilang kamu nggak jatuh cinta sama Yoga. Tapi kamu terus-terusan
mencari tahu tentang dia. Itu namanya apa?” Aku membuka topik pembicaraan.
“Memang kenyataannya kayak gitu, Rayhan. Gini, aku baru ketemu sama dia satu
kali, nggak mungkin lah aku langsung jatuh cinta dalam waktu sesingkat itu. Aku bukan
orang yang percaya sama istilah jatuh cinta pada pandangan pertama,” kalimat Disya terhenti
oleh kedatangan Bang Wawan yang memberikan pesanan kami.
“Ini yang nggak pakai susu.” Bang Wawan menyodorkan satu mangkok kepada
Disya.
“Makasih, Bang,” ucapku.
“Aku lanjutin, ya. Yang namanya cinta itu bukan perasaan yang bisa tumbuh hanya
dalam waktu 1 atau 2 detik saja, tidak juga satu hari. Tentu butuh proses untuk
menumbuhkan perasaan cinta.”
“Aku nggak ngerti masalah cinta,” potongku sambil menyendok es buah dan
menyuapkan ke mulutku sendiri.
“Makannya aku kasih tahu, dengerin dulu. Nggak segampang itu jatuh cinta, karena
cinta itu butuh keyakinan dan kemantapan hati. Bukan karena dia tampan atau cantik terus
kita memutuskan untuk begitu saja cinta sama dia. Nanti di tengah jalan kalau ternyata
sifatnya nggak sesuai sama yang kita harapkan, gimana coba?”
“Bukannya kata orang-orang cinta itu harus menerima apa adanya, ya? Berarti
menerima sifat pasangan itu juga termasuk, kan?”
Disya mengangguk, “Memang. Tetapi akan lebih baik kalau kita mengetahuinya
sebelum memutuskan untuk jatuh cinta, karena perasaan cinta tidak sesederhana itu.”
Aku menggeledah isi tasku sendiri, mencari botol minyak kayu putih. “Jadi intinya?”
“Intinya jatuh cinta itu butuh proses. Pandangan pertama tidak pernah menumbuhkan
perasaan cinta. Kecuali sekadar, suka.”
Aku tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Disya. Tawa yang cukup
keras ini membuat beberapa mata pembeli lain menatapku. Disya tampak salah tingkah di
tempatnya.
“Jadi? Kamu belum jatuh cinta sama Yoga, tetapi baru sekadar suka sama dia?”
Tanyaku di sela tawa. Disya masih menundukkan wajahnya, membiarkan es buahnya tak
tersentuh.
39
Aku menggelengkan kepala sambil masih tertawa, “Ada-ada saja kamu, sampai-
sampai bikin teori jatuh cinta seperti tadi.”
“Puas ketawanya?” Wajah Disya memerah.
“Nggak nyangka aku. Cewek galak, cerewet, keras kepala sepertimu bisa kayak gini
juga”
“Aku juga cewek normal kali, Rayhan.”
“Iya-iya, jangan ngambek lagi.” Aku menggoda Disya yang mulai menekuk
wajahnya.
“Nanti aku bantu kamu biar bisa deket sama Yoga.”
Disya tersenyum simpul sekarang, aku hanya sanggup menarik napas dalam-dalam
melihat tingkah sahabatku itu. Anak ini selalu saja merepotkan sejak dulu. Bahkan, masalah
perasaan pun aku juga harus turun tangan, padahal aku sendiri tidak mempunyai pengalaman
tentang hal-hal semacam ini. Tapi buat Disya, aku akan melakukannya.
40
KECEWA
Seindah Apa pun, Perasaan Cinta Tetap Bisa Menimbulkan Luka
Ternyata tidak susah menjadi mak comblang untuk teman sendiri. Sampai saat ini
semua kelihatan lancar-lancar saja ketika Disya dan Yoga akhirnya sering bertemu dan jalan
berdua. Bahkan, mereka berdua selalu cerita kepadaku tentang semua momen yang mereka
lewati, seolah aku pendengar yang baik buat mereka. Disya sering mengatakan kalau Yoga
adalah tipe cowok yang bisa membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Sedangkan Yoga
menilai Disya adalah cewek yang asyik untuk dijadikan teman ngobrol.
Sudah dua minggu sejak kali pertama aku membantu mendekatkan mereka, dan
intensitas pertemuan mereka pun semakin rutin. Tidak jarang Yoga sampai menjemput Disya
sepulang sekolah dan mengantarkan ke rumah. Sebuah kebiasaan yang sejak dulu hanya
dilakukan olehku.
Sore ini, aku duduk di tepi jendela seorang diri. Kulihat jendela kamar Disya masih
tertutup, menandakan penghuninya tidak berada di dalamnya. Tadi dia pergi bersama Yoga
selepas sekolah. Entah ke mana.
Aku membuka tutup botol minyak kayu putih yang sejak tadi berada di dalam
genggaman, lalu menempelkan ujung kepala botol ke hidung. Dengan perlahan kuhirup
aroma minyak kayu putih melalui hidung.
Suara mobil terdengar ketika aku hendak melangkah menuju ranjang. Kualihkan
pandanganku. Tampak mobil Yoga berhenti tepat di depan gerbang rumah Disya. Gadis itu
keluar dengan senyum yang terlihat merekah di bibirnya yang tipis. Membuat rasa penasaran
dalam benakku muncul.
41
Langkah Disya mulai menapaki halaman ketika mobil Yoga telah berlalu. Gadis itu
sempat melihat ke arahku dan melambaikan tangan. Aku membalasnya. Sebentar lagi dia
akan menceritakan semuanya, batinku menerka.
Lima menit kemudian jendela kamar gadis itu terbuka, menampakkan wajah dengan
senyum yang belum hilang sejak aku melihatnya tadi. Ada apa gerangan sampai dia terus-
menerus tersenyum seperti itu.
Disya masih mengenakan seragam sekolah dan memberi kode untuk mulai bercerita
melalui telepon kaleng. Aku membiarkannya berbicara terlebih dahulu.
“Kamu tahu, nanti malam Yoga janji akan mengajakku makan malam. Dia bilang
sudah memesan tempat khusus untuk kami berdua.”
Aku mendengarkan Disya bercerita dengan wajah berseri-seri. Gadis itu tampak ceria.
“Bukankah itu sudah sering kalian lakukan?”
“Memang, tapi malam ini akan spesial kata Yoga.”
Begitu rupanya, akan ada yang spesial antara Yoga dan Disya nanti malam ketika
mereka berencana untuk makan malam. Apa yang sedang direncanakan Yoga? Apa mungkin
dia akan menyatakan cinta kepada Disya?
“Jadi, sudah mulai ada cinta yang tumbuh rupanya?” Tanyaku setelah beberapa lama
terdiam.
Senyum merekah di bibir Disya. Aku dapat melihatnya dengan jelas saat gadis itu
akhirnya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku. Ternyata secepat itu rasa tertarik yang
sering Disya katakan, berkembang menjadi perasaan cinta. Aku ikut menyunggingkan
senyum untuk sahabat kecilku itu.
“Ternyata hanya butuh waktu dua minggu saja bagimu untuk mengubah suka menjadi
cinta, Disya,” ledekku.
“Seperti yang kubilang dulu, kita bisa memilih untuk jatuh cinta atau tidak setelah kita
mengetahui sifat orang itu. Dan Yoga memenuhi segalanya untuk membuatku jatuh cinta.”
Tawa renyah Disya terdengar di telingaku sekarang, gadis berambut panjang itu
benar-benar ceria hari ini.
“Ya… ya, aku berdoa yang terbaik buat kalian. Semoga cintamu itu bisa bersambut.”
“Terima kasih, Rayhan. Kamu memang sahabatku yang paling istimewa.” Gadis itu
mengacungkan jempol tangannya kepadaku.
“Tapi ingat, ya. Cinta itu bisa membawa kita ke arah bahagia, tetapi juga bisa
membawa kekecewaan buat kita. Aku cuma pesen sama kamu, harus siap dengan semua
kemungkinan yang akan terjadi ketika memutuskan untuk mencintai seseorang.”
42
“Iya, aku tahu. Seperti kata-kata di lagunya Sheila On 7 yang judulnya “Jalan Terus”,
kan?”
“Yang mana?” Tentu saja aku tidak tahu lagu yang Disya maksud.
“Maka apa pun yang terjadi akan kujalani, akan kuhadapi dengan segenap hati walau
kuterluka memang ku terluka tak pernah kulari dari semua ini.” Lagi-lagi Disya
mendendangkan lirik lagu dari band favoritnya itu.
“Sheila teruuus.”
“Iya, dong, setiap lirik di lagu Sheila kan soundtrack hidupku,” jawabnya sambil
tertawa.
Aku menepuk jidat, benar-benar konyol anak ini.
“Baiklah sahabat muda, tidak terasa sudah dua jam VJ Rayhan menemani sahabat
muda semua dalam sesi LDL, lagu dalam dan luar negeri. Terima kasih buat sahabat muda
yang sudah mau bergabung dengan saya malam ini. Dan bagi sahabat muda yang request
lagunya belum bisa diputar VJ Rayhan minta maaf, karena banyak sekali SMS yang masuk.
Baiklah, untuk mengakhiri perjumpaan kita malam ini lagu terakhir yang akan saya putarkan,
“In The End” dari Linkin Park. So, stay tund terus di 110.5 Bintang FM. Radionya anak
muda. VJ Rayhan pamit. Assalamu’alaikum Warrahmatulahiwabarakatu.”
Aku memutar lagu yang kusebutkan tadi melalui mixer. Malam ini adalah jadwalku
siaran. Menjadi penyiar di radio sudah kutekuni sejak enam bulan ini, sekadar hobi dan
menambah uang saku tentu saja. Kulepas headphone yang sejak tadi menempel di telinga,
aku menarik napas sejenak untuk menghilangkan penat.
Langkah kakiku membawaku keluar dari dalam ruang siaran. Kurogoh saku celana
dan mengambil sebungkus rokok dari dalamnya, memantik korek gas untuk menyalakan
sebatang rokok. Asap putih berhembus dari mulutku, membawa sedikit rasa lelah akibat
siaran tadi. Seorang teman tampak tersenyum sebelum masuk ke dalam ruang siaran,
menggantikan waktuku yang sudah habis malam ini.
Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul 9 lebih 15 menit,
belum begitu malam untuk mencari makan di sekitar Stadion Satria.
43
Jalanan malam ini tidak terlalu ramai, hujan memang baru reda sekitar setengah jam
yang lalu. Aspal-aspal yang basah memantulkan bias cahaya kekuningan dari lampu kota,
mengiringi laju motorku yang sengaja aku kemudikan dengan pelan. Aku ingin menikmati
malam ini.
Dua bungkus nasi kucing, dua mendoan hangat, serta segelas teh tawar sudah berada
di atas meja untuk mengisi perut yang sudah kelaparan sejak tadi. Aku menikmatinya dengan
lahap. Sesekali mataku melirik ke arah pengunjung lain, melihat wajah mereka satu per satu.
Tidak ada wajah yang aku kenal di tempat ini.
Dering ponsel berbunyi ketika aku baru menghabiskan satu bungkus nasi kucing.
Wajahku berkerut, nama Disya tertera di layar, ada apa gadis ini menghubungiku? Bukannya
dia sedang pergi makan malam bersama Yoga?
“Halo,” sapaku ketika alat komunikasi itu sudah menempel di telinga.
Wajahku langsung berubah kaget ketika kudengar Disya berbicara sambil menangis.
Ada apa dengannya?
Aku menanyakan apa yang terjadi, dan kenapa dia menangis. Tetapi Disya hanya
menyuruhku untuk bergegas menjemputnya di daerah alun-alun kota tanpa menjawab
pertanyaanku. Dengan perasaan bingung dan khawatir kutinggalkan begitu saja makanan
yang tersisa dan menuju kasir untuk membayar. Aku segera melesat menuju ke tempat Disya
menunggu.
Ini yang kedua, selama aku mengenal gadis itu, ini kali kedua aku mengetahui dia
menangis semenjak terakhir aku melihatnya saat kecil dulu. Ada apa denganmu, Disya?
Kudapati gadis itu sedang duduk seorang diri di pinggir jalan, di bawah pohon
beringin yang tumbuh rindang di sudut alun-alun. Aku menghentikan motor dan berjalan
menghampirinya. Mata Disya terlihat basah dan sendu.
“Ada apa?”
Disya masih terdiam dengan mata yang meneteskan air. Aku membelai rambutnya
yang hitam dan panjang. Kubiarkan ia terus seperti itu sampai beberapa menit, menunggu
Disya dapat menenangkan diri dan mulai bercerita.
“Yoga ternyata sudah punya pacar, Rayhan. Tadi dia mengenalkannya kepadaku
waktu makan malam,” ucap Disya dengan lirih.
Jelas sekali nada kecewa dari kalimatnya. Aku menghela napas dalam-dalam,
sahabatku sedang patah hati rupanya.
“Maaf, aku nggak tahu tentang itu.”
44
Disya mengangguk pelan, “Bukan salahmu. Yoga juga nggak salah, justru aku
menghargai kejujurannya. Tapi aku tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku ini.”
“Lantas, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
Disya merengut, “Bukan seperti itu pertanyaannya, Rayhan.”
“Lalu?” Aku merasa bingung sekarang.
“Seharusnya kamu bertanya, apa yang harus aku lakukan untuk menghiburmu. Seperti
itu harusnya!”
Aku tertawa kecil.
“Ya, ya. Apa yang harus aku lakukan untuk menghiburmu yang sedang patah hati?”
“Mungkin dengan membawaku ngebut sampai ke rumah,” jawabnya dengan senyum
kecil yang sudah kembali menghiasi bibirnya.
Aku terkejut mendengar permintaan Disya, tetapi tangan halus gadis ini sudah
menarikku menuju motor sebelum aku bertanya lebih jauh lagi tentang permintaannya.
Menyuruhku duduk dan menyalakan motor, lalu ia menyusul diboncengan.
Baiklah, kalau itu bisa membuatmu melupakan kesedihanmu, dengan senang hati
akan kulakukan.
45
BINTANG-BINTANG
Mereka Bersinar, Walau Hanya Sekadar Titik Kecil yang Menempel di Langit
Aku sudah melupakan kejadian yang membuatku kecewa beberapa hari lalu. Nama
Yoga sudah berhasil kuhapus dari dalam hati, tentu saja dengan bantuan Rayhan yang terus
menghiburku. Sekali lagi cowok itu bisa diandalkan, aku beruntung bisa memiliki sahabat
sebaik dia. Kini keceriaanku sudah benar-benar kembali seutuhnya, lupakan dulu masalah
perasaan. Rayhan tidak mengizinkanku terus memikirkan itu.
Mau tidak mau aku harus menurutinya, karena cowok itu pasti akan marah besar jika
aku bandel. Entah kenapa aku selalu menuruti apa yang dikatakan Rayhan. Sikapnya seperti
pernah mengalami jatuh cinta saja, padahal sekalipun aku belum pernah melihat pemuda itu
dekat dengan lawan jenis, walaupun banyak gadis yang menyukainya.
“Nanti saja, kalau kamu sudah benar-benar bertemu dengan cowok yang pantas
buatmu.” Seperti itu nasihat Rayhan ketika kami sedang melakukan aktivitas kebiasaan kami,
berbicara melalui telepon kaleng.
Malam ini, aku sedang memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit melalui
bingkai jendela. Menatap ke atas, menikmati keindahan yang terlukis sempurna oleh Sang
Pencipta. Bulan di kejauhan bersinar terang, cahayanya mendominasi kegelapan malam.
Aku menopangkan dagu pada kedua tangan, membayangkan seandainya tubuhku
dapat terbang di antara jutaan bintang itu. Tak kuasa senyum merekah di bibir, sampai
kudengar suara berdehem yang berasal dari rumah sebelah. Rayhan duduk di tepi jendela,
sedang menatap dengan senyum mengejek.
“Sudah berapa lama kamu di situ?”
Rayhan mengangkat kedua bahunya, “Yang jelas sudah cukup lama untuk melihatmu
senyum-senyum sendiri. Seperti orang gila.”
Kalimat itu jelas membuatku mendesis. Aku mengalihkan pandanganku kembali ke
langit.
46
Dari arah Rayhan terdengar sedikit suara gaduh, membuatku menoleh. Aku terkesiap
saat melihat Rayhan berusaha meniti balkon di antara rumah kami. Rasa ngeri langsung saja
merayap. Terakhir kali aku melihat Rayhan melakukan hal itu saat masih kecil dulu, ketika
pertama kali kami menggunakan telepon kaleng dari kamar masing-masing.
“Rayhan, apa yang kamu lakukan?” Rasa khawatir jelas sekali terdengar dari suaraku.
Rayhan tidak menjawab, dia justru duduk dengan santai di tengah-tengah balkon
sekarang. Apa Rayhan tidak merasa takut duduk di situ? Tempat itu lumayan tinggi. Tubuhku
bergidik ngeri melihat dia sedang mengayun-ayunkan kakinya.
“Hei, kalau kamu berani ke sini dan duduk di sebelahku, aku akan berikan apa pun
yang kamu mau.”
Rayhan gila, dia menyuruhku untuk menyusulnya ke tempat itu? Mana mungkin aku
berani. Dan lagi, bisa-bisa aku dimarahin mama kalau sampai beliau tahu anak gadisnya
pecicilan sampai ke balkon setinggi itu.
“Ogah ah, kamu aja yang di situ. Aku cukup di sini.”
“Yakin? Dari sini bintang sama bulannya lebih terlihat jelas. Indah banget ternyata.”
Rayuan Rayhan mulai memengaruhiku sekarang. Namun, rasa takutku terasa lebih
besar. Aku kembali menggeleng untuk menolak.
“Dasar penakut,” ejeknya dengan wajah yang menyebalkan.
Aku membalasnya dengan menjulurkan lidah, Rayhan tertawa renyah setelah itu.
Ingin sekali aku menjitak kepalanya dengan sangat keras, sampai dia merasa kesakitan.
“Kadang aku heran, sekarang aku mempunyai banyak teman, tapi kenapa ujung-
ujungnya pasti aku menghabiskan waktu sama kamu, bosan juga,” tutur Rayhan sambil
terkekeh.
Aku tahu dia hanya bercanda, tetapi di dalam hatinya, aku tetap membenarkan kalimat
yang terucap dari bibirnya.
“Iya, aku juga sebenarnya merasa jenuh setiap hari melihat wajahmu,” balasku,
disusul dengan tawa kami berdua. Tidak ada yang sungguh-sungguh saat mengatakannya,
mana mungkin seperti itu.
“Cari pacar sana!” Perintahku spontan, membuat tawa Rayhan semakin keras.
Memangnya ada yang aneh dengan ucapanku sampai dia berhak tertawa seperti itu?
“Ogah ah, aku belum mau ada yang mengganggu kehidupanku. Sebentar-sebentar
nanti minta dijemput, anter sana anter sini. Minta ditemenin ke mana pun. Cewek kan kaya
gitu.”
“Dih, emang aku pernah gitu?”
47
“Seriiiiiiing pakek banget. Kamu nggak inget kalau kamu sering bikin repot.”
Aku tersenyum mendengar keluhan Rayhan. Memang tidak ada selain dia yang bisa
ku-andalkan, bukan bermaksud untuk merepotkan atau memanfaatkannya. Tetapi selain
Rayhan, aku tidak punya teman dekat lagi. Tidak sedekat aku dengan Rayhan, sampai
membuatku sungkan untuk meminta bantuan.
“Aku selalu mengucapkan terima kasih, kan?”
Rayhan merubah posisi duduknya, dia memeluk kedua kakinya sendiri.
“Aku tidak keberatan melakukan apa pun untukmu.” Cowok itu mengambil jeda pada
kalimatnya, “Karena aku tahu kamu tidak bisa apa-apa tanpaku.”
Tawa keras kembali terdengar dari bibir Rayhan. Sial, dia memang paling bisa
meledekku. Mau tidak mau aku pun ikut tertawa, entah bagian mana yang lucu. Namun, hal
itu sering terjadi, saat salah satu di antara kami ada yang tertawa.
“Kakakmu kapan pulang? Betah banget dia di Semarang.” Aku mengganti topik
pembicaraan.
Rayhan mengangkat bahu, “Nggak tahu. Terakhir dia BBM katanya masih banyak
tugas yang nggak bisa ditinggalin.”
Aku mengangguk-angguk paham, “Kamu nggak kangen sama dia?”
“Apaan sih pertanyaanmu? Ada-ada aja.”
“Lho, apa salahnya dengan pertanyaanku?”
“Laki-laki kangen sama laki-laki, biarpun itu saudara sendiri, tetapi tetap ada rasa
canggung, kan?”
Kali ini aku tidak bisa menahan tawaku mendengar nada bicara Rayhan yang terkesan
ingin berkata, iya aku kangen Kak Sakti, tetapi malu untuk mengatakan kepadanya.
“Segitunya kamu, padahal sama Kakak sendiri.”
“Sudahlah. Mending kita lihat bintang-bintang itu, bukankah malam ini banyak sekali
bintangnya?”
Aku kembali melempar pandanganku, menatap langit yang memang dipenuhi bintang.
“Kamu percaya kalau sebenarnya bintang juga ada di siang hari?”
“Mana ada?”
Senyum melengkung di bibirku, “Menurutku bintang tetap ada di langit saat siang
hari, hanya saja sinarnya tertutup oleh matahari yang memiliki sinar jauh lebih terang.”
“Kamu selalu punya teori sendiri untuk hal-hal yang kamu yakini.”
48
“Bintang memang mempunyai berbagai keunikan. Bisa membentuk sebuah rasi,
membentuk keajaiban yang tidak bisa kita lihat di siang hari. Walaupun jumlah bintang
sangat banyak, tetapi tetap memberikan tempat untuk bulan.”
“Sejak kapan kamu menyukai bintang?”
“Sejak Papa mengajaku berlibur di puncak. Dulu, dulu sekali. Sudah sangat lama.”
Rayhan tidak menanggapi omongaku, membuat bola mataku melirik ke arahnya. Dia
sedang tersenyum sambil menatap bintang, entah apa yang dipikirkan Rayhan. Membuat
bibirku turut serta tersenyum.
“Sudah malam, tidur yuk! Besok kan harus sekolah,” ajakku kemudian.
Rayhan menoleh dan mengangguk. Cowok itu berdiri, membersihkan celana bagian
belakang dengan dua tangannya lalu kembali berjalan menuju kamar dengan perlahan. Aku
masih ngeri saat melihat Rayhan melakukan itu, walaupun sekarang dia sudah berdiri aman di
dalam kamar.
Rayhan tampak menunjukkan kaleng miliknya, dengan heran aku pun meraih kaleng
milikku dan menempelkan ke telinga.
“Selamat tidur, cewek manja.” Aku dapat mendengar suara tawa Rayhan dengan jelas.
Bahkan saat akan tidur pun dia masih mengejekku.
“Awas kamu besok!” Ancamku sambil tersenyum.
“Buruan dong!”
Rayhan menyuruhku untuk bergegas naik ke atas boncengan motor dengan cepat. Aku
langsung menurut. Wajah Rayhan yang tegang membuatku tidak berani untuk berdebat.
Namun, aku tetap memasang wajah yang tidak kalah garang dari Rayhan. Dia harus tahu
kalau aku juga bisa galak.
“Bisa-bisanya jam segini baru siap, jadi telat kan kita. Semoga pintu gerbangnya
belum di tutup sama Pak Saleh.” Rayhan masih menggerutu tidak kalah keras dari suara
knalpot motornya yang menggerung, ingin sekali aku mencekik lehernya dari belakang.
Pukul 7 kurang 10 menit, kami baru akan berangkat menuju sekolah yang jaraknya
sekitar lima belas menit jika Rayhan melajukan motor dengan kecepatan normal. Tetapi jika
melihat situasi saat ini, aku harus bersiap-siap dengan kecepatan tinggi yang akan
49
membawaku ke dalam keadaan yang berantakan. Dan yang paling membuat khawatir adalah
kondisi rambutku nanti ketika sampai di sekolah, pasti akan mencuat ke mana-mana. Bukan
sebuah hal yang bagus untuk seorang gadis tentunya.
Pemuda ini mengendarai sepeda motor dengan lincah, walaupun kecepatan lajunya
membuatku berkali-kali harus memejamkan mata karena takut. Rayhan memang memiliki
tingkat disiplin yang cukup tinggi jika dibandingkan denganku, membuatnya paling anti
dengan yang namanya terlambat.
Pintu gerbang sudah hampir didorong sepenuhnya oleh Pak Saleh ketika kami tiba di
depan halaman sekolah. Dengan wajah yang memelas akhirnya kami diizinkan masuk
asalkan mesin motor tidak dinyalakan. Tanpa pikir panjang aku dan Rayhan menyanggupi
syarat tersebut. Jadilah sekarang kami mendorong motor sport Rayhan yang besarnya hampir
seperti kerbau ini.
Napasku mulai tidak beraturan, ditambah dengan keringat yang menetes dari dahi dan
beberapa bagian tubuhku yang lain. Badanku terasa lengket, benar-benar membuatku tidak
nyaman.
“Bagus, sekarang dandananku berantakan semuanya.” Aku meneliti penampilanku
sendiri ketika motor itu sudah terparkir di tempatnya.
“Sudah, nggak usah mengeluh, ini juga gara-gara kamu. Ayo, cepat ke kelas daripada
semakin terlambat.” Rayhan menarik tanganku yang sedang merapikan seragam sekolah.
Dengan wajah yang bersungut-sungut aku terus membuntutinya menuju kelas.
Langkah kaki kami berubah melambat ketika melihat Pak Rianto sudah lebih dulu
berada di dalam kelas dan tampak memulai pelajaran. Dengan ragu-ragu Rayhan mengetuk
pintu, aku bersembunyi di balik punggungnya.
“Masuk!”
Suara berat Pak Rianto semakin meciutkan nyaliku. Rayhan mendorong pintu, seluruh
mata di dalam kelas memandang ke arah kami sekarang. Namun, tatapan tajam guru Bahasa
Indonesia inilah yang seakan paling menghakimi.
“Maaf, Pak, kami terlambat.” Rayhan sekaligus mewakiliku berbicara dengan guru
yang sudah termasuk senior di sekolah ini.
Pak Rianto meneliti keadaan kami yang berantakan dan berkeringat, “Kenapa bisa
sampai terlambat?”
“Tadi motor saya mogok, Pak, kehabisan bensin. Sampai-sampai kami harus
mendorong motor untuk mencari penjual bensin.” Rayhan berbohong tentang alasan yang
menyebabkan kami berdua terlambat.
50
“Ada-ada saja. Ya sudah, sana duduk!” Perintah beliau akhirnya.
Aku bisa bernapas lega sekarang, kulihat wajah Rayhan juga tidak sepanik tadi. Kami
melangkah menuju bangku dan duduk. Pak Rianto kembali memberikan materi pelajaran di
depan kelas.
Aku menyeka keringat di kening dengan punggung tangan. Dengan kondisi seperti ini
tentu membuatku tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan pelajaran. Berkali-kali
kugunakan buku catatan untuk mengipasi wajahku. Ditambah, ini adalah hari pertamaku
menikmati kodrat sebagai seorang wanita di bulan ini.
Dengan rasa risih yang semakin tidak bisa kuatasi, aku memberanikan diri maju ke
depan untuk menemui Pak Rianto, “Permisi, Pak. Saya minta izin ke belakang.”
“Kamu kan baru masuk, kenapa sudah minta izin untuk keluar lagi?”
Aku bisa mengetahui kalau siswa yang lain memandangku dengan berbagai ekspresi,
termasuk Rayhan di dalamnya.
“Maaf, Pak. Saya ingin ke kamar kecil.” Kubuat wajah memelas agar Pak Rianto
mengizinkanku ke toilet.
“Ya sudah sana! Jangan lama-lama!”
Aku langsung berlari kecil keluar dari dalam kelas dan bergegas menuju toilet
sekolah. Tanpa pikir panjang kumasuki salah satu bilik yang kosong, lalu membasuh wajah
dengan air, seketika aku merasakan kesegaran menjalar di seluruh tubuh.
Kulangkahkan kaki untuk kembali ke dalam kelas setelah semua urusanku di toilet
selesai, melewati kantin sekolah yang masih tampak sepi dengan sedikit tergesa-gesa.
Namun, langkahku terhenti saat kulihat seorang siswa sedang mengendap-endap keluar dari
gudang kosong di sudut paling belakang sekolah. Rasa penasaran membuatku terus
mengamatinya.
Entah bagaimana bisa terjadi, tetapi sekarang cowok itu balas menatapku. Membuatku
langsung membuang pandangan ke arah lain. Dan jantungku berdegup cepat ketika dia
berjalan menghampiriku.
“Sedang apa kamu di sini?”
Aku melihat tiga strip berwarna biru menempel di lengan sebelah kanan pada seragam
sekolahnya, sebagai identitas angkatan. Kelas tiga rupanya, kakak kelasku.
“Habis dari toilet, Kak.”
“Kelas dua apa?”
“Dua IPS dua, Kak.”
51
Aku dapat melihat bibirnya yang pucat dan sedikit bergetar hendak mengeluarkan
kata-kata kembali. Namun, kuputuskan untuk sesegera mungkin memohon diri dan masuk ke
dalam kelas karena Pak Rianto pasti akan marah kalau aku terlalu lama di luar.
“Tunggu!”
Aku kembali menghentikan langkah saat kudengar cowok itu memanggil,
kupalingkan wajahku kepadanya.
“Aku belum menanyakan namamu.”
Kuputuskan untuk tidak menjawabnya, hanya mengganti dengan sebuah senyuman
yang tersungging di bibir. Sempat kulihat cowok itu menggaruk tengkuknya sebelum aku
kembali balik badan dan melangkah menuju kelasku.
“Gara-gara kamu hari ini kita terlambat!” Rayhan masih saja mengeluarkan protes di
hadapanku.
Kami sedang berada di kantin, menikmati makan saat istirahat pertama. Aku tengah
menyantap bakso, sedangkan Rayhan hanya memesan es jeruk untuk melepas dahaganya.
Selain aku dan Rayhan, ada dua orang teman kami yang juga duduk satu meja. Rahma dan
Fitri.
“Aku sudah minta maaf berkali-kali, masih aja disalahin.” Nada bicaraku terdengar
ketus kali ini.
“Makannya, lain kali jangan lambat!”
Aku mendengus sebal, “Biasanya juga nggak pernah telat kok. Salah sedikit aja terus-
terusan dipojokin, nyebelin kamu!”
“Dih, malah balik sewot. Yang ada kan harusnya aku yang marah!”
Dua orang di sebelah kami tampak bingung dan salah tingkah melihat pertengkaran
kecil antara aku dan Rayhan.
“Ya udah kalau mau marah, marah aja! Yang lama juga nggak apa-apa! Kamu nggak
tahu repotnya jadi wanita!”
Rayhan tersenyum kecut, “Sensitif banget, sampai bawa-bawa gender segala.”
“Rayhan, Disya itu sedang menghadapi siklus wanita. Kalau kamu mau galak-galakan
jelas kalah lah!” Tiba-tiba Rahma menyela perdebatan kami sambil tersenyum.
52
“Maksudnya?”
“Sahabatmu ini sedang datang bulan, mens-tru-a-si!” Fitri sengaja mengeja
kalimatnya yang terakhir dengan senyum tersungging di bibirnya.
Rayhan menatapku dengan hening, kemudian tawa keras keluar begitu saja dari
mulutnya. Aku membuang napas dengan kesal, dia mudah sekali tertawa keras. Sangat
berbeda dengan dirinya saat masih kecil dulu.
“Bilang dong kalau lagi ada tamu,” kata Rayhan di sela tawanya.
“Bodo!” Aku menggigit bibir bagian bawah karena menahan sebal.
“Hai!”
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami, aku menoleh. Kudapati kakak kelas yang
tadi bertemu denganku sedang tersenyum. Dan aku hanya melongo ketika tiba-tiba dia
menjulurkan tangan kanannya.
“Kenalin, aku Tristan.” Selanjutnya dia menyebutkan nama, membuatku semakin
terpaku.
Sampai beberapa detik aku membiarkan tangan itu tetap menggantung.
“Emm, aku boleh tahu namamu?”
Aku tersadar karena ucapannya, kubalas tangan Tristan.
“Namaku Disya.”
“Akhirnya bisa tahu namamu juga, Disya. Nama yang cantik, seperti orangnya.”
“Makasih, Kak.”
Tristan mengangguk, “Oke. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya, tadi pagi belum puas.”
Aku mengangguk dengan kikuk. Tatapan Rayhan, Rahma, dan Fitri membuatku
semakin salah tingkah.
“Tadi pagi emang kamu ngapain sama dia?” Rayhan menaikan satu alisnya saat
bertanya.
“Hah? Oh, tadi waktu aku habis dari toilet ketemu sama dia. Kami ngobrol sebentar.”
Aku menjawab seadanya.
Tristan, cowok itu memiliki mata yang tajam, tapi terlihat sayu. Dan lingkaran hitam
yang berada di sekitar matanya itu, seakan menjadi nilai kurang untuk wajahnya yang
tampan.
53
TRISTAN
Pemuda dengan Tatapan Tajam
“Oke sahabat muda barusan udah kita dengerin “Here We Go Again” dari Paramore,
spesial buat Ajeng di Purwokerto Utara yang tadi request. Pasti dia lagi senang karena
request-nya kita puterin. Dan, buat sahabat muda yang mau request juga, atau curhat tentang
masalah hidup seperti asmara, keluarga, sahabat, atau yang lainnya langsung saja gabung di
sini, di saluran 110.5 Bintang FM, radionya anak muda.”
Aku mendengarkan suara Rayhan yang sedang siaran melalui radio di kamar. Sembari
mengerjakan tugas matematika milikku, dan juga milik Rayhan. Kebiasaan Rayhan kalau
sedang ada jadwal siaran, pasti akan menyuruhku untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Dan
besok aku tinggal menagih upah yang selalu dia janjikan, seporsi siomay, atau bakso di
kantin sekolah.
“Malam sahabat muda, dengan siapa ini?” Rayhan terdengar berbicara dengan
seorang penelpon.
“Malam, Rayhan. Aku Dewi di Pabuaran.”
“Oke Dewi, mau curhat tentang masalah apa malam ini?”
“Gimana mulainya, ya. Sebenernya ini bukan masalah yang terlalu penting juga, tapi
cukup menguras pikiran juga. Aku punya mantan yang sampai sekarang masih ngejar-ngejar
aku, kan bikin risih tuh.”
Gadis bernama Dewi ini memulai curhatnya, tetapi bukan itu yang penting. Aku
hanya menunggu tanggapan Rayhan yang tidak mempunyai pengalaman dengan wanita,
bagaimana bisa dia memberikan solusi kepada Dewi.
54
“Apalagi, mantanku itu sering ngaku-ngaku kalau aku masih pacaran dengannya.
Sampai setiap cowok yang PDKT sama aku menjauh, coba bayangin gimana aku nggak
sebel?”
“Hahaha, gawat juga ya mantanmu itu. Udah udah pernah ngomong sama dia?”
“Udah sering banget, tapi dia tetap ngotot dan ngejar-ngejar aku terus. Sampai risih
sendiri sama kelakuannya. Dia tetep aja gangguin, padahal kita udah nggak ada hubungan
apa-apa lagi. Gimana dong, Rayhan? Kasih solusi biar mantanku itu menjauh dari
kehidupanku.”
“Oke Dewi, terima kasih ya sudah mau gabung dan menceritakan permasalahan yang
sedang kamu alami.”
“Sama-sama, Rayhan. Aku tunggu solusi darimu.” Selanjutnya terdengar nada putus
dari telepon.
“Emang bikin pusing ya sahabat muda kalau punya mantan yang tetap ngerasa kalau
kita itu masih miliknya. Padahal sudah jelas-jelas hubungannya berakhir, tetapi mantan kita
itu nggak mau menerimanya begitu saja. Kadang yang seperti itu perlu dipertanyakan, apakah
itu karena mantan kita sangat sayang, atau hanya karena sekadar obsesi saja?”
Aku tersenyum geli, Rayhan membahas masalah mantan seakan dia sudah
mempunyai segudang pengalaman.
“Seperti masalah yang sedang dialami sama temen kita Dewi tadi. Gara-gara
mantannya yang masih ngaku pacar, Dewi jadi ditinggalin sama gebetan. Mungkin sebaiknya
Dewi jangan ngeladenin si mantan, cuekin aja apa pun yang dia lakukan sama kamu. Sampai
mantanmu itu ngerasa bosen, dan menjauh dengan sendirinya. Atau, kamu comblangin dulu
mantanmu itu sama cewek lain. Setelah itu pasti kamu bisa terbebas darinya.”
Aku tertawa keras sambil berguling-guling di tempat tidur mendengar saran asal yang
diucapkan Rayhan, sampai mataku mengeluarkan air mata. Dasar Rayhan.
Sebuah ide melintas di otakku, menyuruh untuk mengetik sebuah SMS dan
kukirimkan kepada Rayhan. Sambil tersenyum, kuhempaskan kembali badanku ke atas
tempat tidur.
“Memang seperti itulah ribetnya kalau punya mantan. Sampai ada yang bilang kalau
mantan itu seperti malaikat kecil yang sudah bermetamorfosa menjadi setan. Dan buat Dewi,
atas saran dari seseorang, sebuah lagu dari Sheila On 7 yang berjudul ‘Mantan Kekasih’ kita
puterin khusus buatmu. Selamat menikmati, Dewi.”
55
Senyum di bibirku kembali merekah ketika Rayhan menuruti permintaanku untuk
memutar lagu itu. Sekali lagi aku mengetik sebuah sms, terima kasih, dan kukirimkan ke
nomor Rayhan.
Mantan kekasih yang hilang datang, ungkapkan besarnya penyesalan
Bagaimana dia menghancurkan aku, percayalah kau tak aku sesali
Awan hitam menghantui langkahmu
Bagaimana mungkin jika itu pilihanmu
Di sini tak lagi jadi rumahmu
Mulutku ikut bernyanyi, sampai terhenti oleh dering ponsel yang menggema. Sebuah
nomor yang tidak ku kenal terpampang di layar, membuat keningku berkerut.
“Halo!”
“Halo, ini bener Disya?”
“Iya, ini siapa, ya?”
“Aku Tristan.”
Tristan? Darimana dia tahu nomor handphone-ku?
“Ganggu nggak?” Cowok itu bertanya dengan suara lembut.
“Emm, nggak kok. Cuma lagi ngerjain tugas sama dengerin radio. Ada apa, ya?”
“Tugas apa?”
“Matematika.”
“Oh, aku minta waktunya sebentar, ya.”
Aku mengangguk seakan Tristan dapat melihatnya.
“Aku mau ngajak kamu nonton, besok. Setelah pulang sekolah, itu juga kalau kamu
nggak ada acara. Kalau ada ya, dibatalin dulu aja acaramu. Hehehe…”
Renyah sekali tawa cowok ini, membuatku tersenyum mendengarnya.
“Nggak ada kok, tapi lihat besok, ya. Kalau aku bisa nanti aku kabarin ke nomor ini,
kan?”
“Iya, disave ya nomorku. Eh, cowok yang sering sama kamu itu pacarmu, ya?”
Aku berpikir sejenak, sebelum menemukan ingatan tentang seorang cowok yang
dimaksud Tristan. Pasti Rayhan.
“Bukan, dia temenku.”
“Oh. Yes. Ya udah, lanjutin dulu ngerjain matematikanya. Selamat malam Disya, aku
tunggu besok.”
Mantan Kekasih
Sheila On 7
56
Aku meletakkan ponsel ketika Tristan menutup teleponnya. Obrolan yang singkat,
entah kenapa aku sedikit kecewa karena kami tidak ngobrol lebih lama lagi.
Suara Rayhan masih terdengar memandu siaran di dalam radio.
“Bagaimana?”
“Kan aku bilang nanti aku kabarin.”
Tristan tampak tersenyum simpul, “Aku nggak sabar.”
Aku ikut tersenyum juga akhirnya, “Kayaknya bisa, sih.”
Senyum Tristan semakin lebar setelah mendengar jawabanku, wajahnya menunjukkan
kepuasan.
Kami sedang berbincang di depan kelas, cowok ini menghampiriku saat istirahat
kedua. Padahal aku juga sudah berniat akan memberitahu lewat SMS, tetapi sepertinya
sekarang sudah tidak perlu.
“Asyik. Makasih, Disya. Kamu emang cewek yang baik hati,” ujar Tristan masih
dengan senyum yang membuat lesung di kedua pipinya terlihat.
Laki-laki ini pintar sekali membuat wajahku memerah, atau memang aku yang terlalu
suka mendapat pujian? Ah, mungkin karena aku jarang dipuji oleh cowok sehingga ketika
Tristan menyebutkan hal baik tentangku sedikit saja, aku langsung merasa malu.
“Iya, sama-sama, Kak Tristan. Emangnya mau nonton film apa?”
Dia menggelengkan kepala, “Aku nggak tahu jadwalnya. Hehehe. Nanti aja milihnya
kalau udah di sana, nggak apa-apa kan?”
“Dasar, ngajak nonton, tapi belum tahu mau nonton film apa.” Tawa kecilku
mengiringi kalimat yang terucap. Keakraban begitu cepat tercipta di antara aku dan Tristan.
“Kan malah kebetulan? Jadi nanti kamu bisa milih sendiri mau nonton film apa. Aku
mana tahu film genre kaya apa yang kamu suka.”
“Alesan aja kamu.”
“Ya udah kalo gitu, aku masuk kelas dulu, ya. Nanti pulang sekolah aku tunggu di
parkiran.”
57
Tristan melangkah pergi setelah aku menganggukan kepala. Dadaku berdesir ketika
mataku menangkap punggungnya yang terlihat ringkih. Tristan, meskipun tampak selalu ceria
tetapi cowok itu terlihat sedang menahan rasa sakit.
Bersamaan dengan sosok Tristan yang menghilang, satu lagi keturunan kaum Adam
datang. Rayhan melangkah ke arahku dengan membawa sebungkus siomay di tangannya.
Tadi aku sempat menitip ketika pemuda itu hendak mengembalikan buku ke perpustakaan.
“Tadi aku ketemu Tristan di tangga.” Kata pertama yang keluar dari mulut Rayhan
ketika dia sudah berdiri di sebelahku. Aku menyambut siomay yang disodorkan oleh Rayhan.
“Iya, dia dari sini.”
Kening Rayhan tampak berkerut, “Ngapain?”
Mulutku masih sibuk mengunyah potongan siomay, membuat wajah Rayhan tampak
tidak sabar menunggu jawabanku.
“Nanti kamu pulang sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Aku diajak Kak Tristan
nonton.”
“Oh, ya udah nggak apa-apa. Kebetulan aku juga mau mampir ke radio.”
“Emang jadwalmu siaran? Perasaan hari ini kamu free deh seharusnya.”
“Tadi di SMS sama Raka suruh nggantiin dia, kakaknya menikah jadi dia nggak bisa
siaran.”
“Jangan lupa Sheila On 7 ya, Om,” pesanku sambil tersenyum.
Tiba-tiba aku merasakan tenggorokanku terganjal oleh sesuatu, membuatku terbatuk.
Kutelan air ludah untuk membantu potongan siomay yang masih tersangkut di tenggorokan
untuk meluncur masuk ke dalam perut, tapi ternyata bukan hal yang mudah. Aku sedikit
belingsatan.
“Kamu kenapa?”
“Seret.” Aku menjawab pertanyaan Rayhan dengan susah.
Laki-laki itu justru tertawa, “Makanya kalau makan bagi-bagi.”
“Air, mana air? Beliin air minum!”
“Bodo! Beli sendiri sana di kantin!”
Rayhan benar-benar cowok yang nggak punya perasaan. Dia justru tertawa melihat
keadaanku. Aku menjitak kepalanya pelan dan langsung berlari menuju kantin untuk
membeli air minum.
58
DILEMA
Jangan Memaksaku untuk Mengatakannya
Sebenarnya hanya sebuah alasan ketika aku berkata kepada Disya bahwa hari ini ada
siaran mendadak di radio. Kenyataannya, sudah setengah jam yang lalu, setelah pulang
sekolah, aku hanya mengendarai sepeda motor tanpa tujuan. Entah sudah berapa sudut
Purwokerto yang aku lewati tanpa berhenti. Semua karena aku merasa cemburu ketika Disya
dekat dengan cowok lain.
Iya, aku sedang merasakan cemburu. Jika itu memang definisi yang tepat untuk
mengartikan rasa tidak sukaku melihat Disya dapat tersenyum dan tertawa oleh laki-laki lain.
Namun, aku tidak menyalahkan siapa pun untuk perasaan yang sedang aku rasa saat ini. Hak
Disya untuk dekat dengan lelaki mana pun, juga hak Tristan jika dia mempunyai perasaan
kepada Disya. Aku hanya sekadar sahabat, tidak lebih dari itu. Kalaupun ada yang harus
disalahkan, itu adalah diriku sendiri yang tidak bisa berkata jujur kalau sebenarnya aku
menyayangi Disya, lebih dari sekadar rasa sayang untuk sahabat.
Huft! Kenapa aku harus mempunyai perasaan yang lebih kepada Disya ketika
hubungan kami sudah terlalu nyaman sebagai dua orang sahabat? Bagaimana caranya agar
aku bisa mengatakan kepadanya, tanpa menghadirkan rasa canggung nanti.
Membayangkannya saja sudah ribet.
Disya, sedang apa dia bersama Tristan sekarang? Apa mereka menikmati
kebersamaan mereka seperti aku menikmati setiap waktuku saat bersamanya? Apa Tristan
bisa membuat Disya merasa nyaman seperti yang aku berikan? Apa Disya akan kembali
merasakan jatuh cinta, seperti saat dia bersama Yoga? Jika benar, semoga kali ini aku tidak
mendapati gadis itu menangis lagi seperti dulu.
59
Semoga kamu sudah bertemu dengan orang yang tepat, Disya. Aku tidak tahan jika
harus melihatmu kembali terluka oleh perasaan yang salah kamu berikan kepada orang lain.
Hatiku akan ikut tersayat jika aku melihatmu menangis.
Dengan telinga yang terpasang earphone dan mengalunkan musik dari ponsel, masih
kutelusuri jalanan kota yang sudah sangat aku hapal ini. Tidak tahu mesti ke mana, pulang ke
rumah pun rasanya enggan jika teringat kalau Disya sedang tidak ada di kamarnya.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti di sebuah warung di pinggir jalan.
Kulepaskan earphone yang sejak tadi menempel di telingaku.
“Bu, kopi satu, ya!”
Aku mengambil satu batang rokok dari kotak di hadapanku dan membakarnya.
Kunikmati setiap hembusan nikotin yang ikut keluar bersama asap putih dari mulut. Cukup
menyengat udara sore ini.
“Ini kopinya, Mas.”
“Iya, Bu. Terima kasih”
Ponselku berdering ketika aku baru saja meletakkan gelas kopi ke atas penampan
berwarna biru. Kak Sakti, ada apa tiba-tiba dia meneleponku?
“Halo, Assalamu’alaikum.”
“Lagi ngopi di warung, ada apa, Kak?”
“Oh, gitu? Ya udah nanti kalau sudah sampai terminal kabarin lagi.”
“Wa’alaikumsalam.”
Malam ini, Kak Sakti akan pulang ke rumah menggunakan bus dari Semarang.
Terakhir kali melihat Kak Sakti pulang saat liburan semester lalu. Dan itu pun hanya
beberapa minggu di rumah, lalu berangkat lagi ke Semarang karena dia juga membuka
sebuah kafe kecil di sekitar kampusnya. Entah sekecil apa, aku belum pernah
mengunjunginya. Mungkin kapan-kapan.
Masih sangat lama untuk menuju malam hari, sekarang jam tanganku baru
menunjukkan pukul 3 sore. Apa yang akan kulakukan? Aku masih enggan untuk pulang ke
rumah. Otakku berpikir, sementara lidahku masih menyesap kopi dengan kombinasi rasa
pahit dan manis yang pas.
Kalau saja ada Disya, pasti aku tidak perlu bingung seperti ini untuk menentukkan
tujuan. Gadis itu punya banyak rekomendasi tempat-tempat yang menarik di kota ini.
Aku memukulkan tanganku ke kening dengan pelan, kenapa lagi-lagi pikiranku
tertuju pada gadis itu? Apa sebegitu tergantungnya aku kepada Disya sampai untuk sekadar
mencari tempat pun tidak bisa jika tanpa saran darinya? Atau karena selama ini hanya Disya,
60
satu-satunya teman wanita yang selalu menemani hari-hariku. Apakah sudah waktunya aku
memikirkan untuk membuka hati untuk cewek lain selain Disya. Tapi, apa aku bisa?
Saat ini, itulah dilema yang aku rasakan di hatiku. Banyak sekali pikiran-pikiran baru
yang bermunculan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ada di dalam niatku, tidak pernah
terbersit di dalam otakku tiba-tiba semua terbayang begitu saja. Seakan gembok yang selama
ini terpasang telah terbuka, dan memuntahkan semua isinya.
Baiklah, apa salahnya mencoba. Kumantapkan hati untuk belajar mengenal lebih
dekat sosok wanita lain selain Disya. Aku membuka phone book di ponsel, mencari-cari siapa
teman wanita yang paling mungkin untuk, apa istilah yang tepat? Pelarian? Ah, jahat sekali
aku. Tidak, tidak, mungkin aku bisa belajar mencintainya nanti. Sama seperti yang Disya
lakukan.
Aku menghabiskan tenggakan terakhir kopi yang sudah terlanjur dingin itu, lalu
beranjak keluar dari warung setelah membayarnya. Jadi, hidupku akan lebih berwarna setelah
ini. Meskipun itu warna gelap sekalipun, setidaknya ada warna lain selain Disya.
Di atas motor yang sekarang kembali melaju di jalanan, bibirku menciptakan
senyumnya.
“Rayhan!”
Suara yang sudah sangat aku hafal itu memanggil ketika aku sedang bingung mencari
sosoknya. Kak Sakti melambaikan tangan sembari tersenyum dari sebelah bus yang mungkin
saja baru dia tumpangi dari Semarang. Dia berjalan menghampiriku.
“Udah lama nunggunya?” Tanya Kak Sakti ketika kami sedang berjalan menuju
parkiran motor.
Aku mengusapkan minyak kayu putih pada kedua telapak tanganku, lalu
mendekatkan ke hidung, menikmati aromanya.
“Nggak juga, mungkin sekitar 10 menitan. Kakak sehat?”
“Alhamdulillah, Ibu sama Bapak gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah sehat juga. Udah pada nggak sabar nungguin tuh, kangen katanya. Eh,
berarti kafe Kakak ditinggal dong?”
61
“Iya, sementara tutup dulu 3 hari. Aku pulang juga paling sekitar 3 harian, cuma
karena kangen aja sama kalian.”
“Kamu kapan main ke Semarang?”
Jalanan malam ini tidak seramai biasanya, aku melajukan kecepatan motorku dengan
sedang. Tidak terburu-buru untuk segera sampai ke rumah. Rasanya kangen juga berbincang
dengan kakakku ini.
“Enaknya kapan, Kak? Masih sekolah soalnya. Mungkin liburan akhir semester ini.”
“Siplah, nanti aku ajak kamu muter-muter Semarang. Biar sekali-kali kamu bisa
melihat kota selain Purwokerto.” Di belakangku, Kak Sakti tertawa dengan nada mengejek.
Membuatku tersenyum kecut.
“Disya apa kabar?”
Pertanyaan yang membuatku kembali memikirkan gadis itu. Sejak pulang sekolah aku
belum melihatnya sampai detik ini. Tadi aku tertidur setelah seharian mengelilingi kota, dan
terbangun waktu hendak menjemput Kak Sakti. Mungkin sekarang Disya juga sudah terlelap
di kamarnya. Bagaimana acara nontonnya dengan Tristan?
“Woi, malah diem.”
“Disya. Emm... baik, Kak.” Aku sedikit merasa bleng ketika menjawab pertanyaan
kakakku, entah kenapa.
“Kamu kenapa?”
“Hah? Kenapa gimana? Nggak apa-apa kok.” Dan gawatnya Kak Sakti menyadari
perubahanku.
“Eh, Kak. Udah punya pacar belum di sana?” Aku harus buru-buru membelokkan
pembicaraan sebelum dia bertanya lebih jauh lagi.
Kudengar Kak Sakti tertawa setelah mendengar pertanyaanku, membuatku merasa
heran.
“Kenapa ketawa, Kak?”
“Aku baru putus tadi malam, padahal baru pacaran satu minggu,” jawab Kak Sakti di
sela tawanya.
Sekarang aku mengerti alasannya tertawa, dan aku tertular. Kami tertawa dengan
keras dari atas motor. Bagaimana mungkin bisa seperti itu, pacaran satu minggu dan akhirnya
memilih untuk putus. Aku benar-benar belum bisa menggunakan nalarku untuk masalah
cinta.
“Pantas saja kamu pulang. Pasti mau lari dari patah hati, dan mencari hiburan di sini.
Awas aja kalau nanti mengajakku untuk bergalau ria.”
62
“Nggak, Rayhan. Aku pulang itu murni karena aku kangen sama kalian. Aku sama
sekali nggak merasakan sakit hati, mana mungkin baru satu minggu pacaran sudah bikin
sakit. Belum ada kenangan yang pantas untuk ditangisi.”
Dengan enteng kakakku bisa mengucapkannya. Apa memang seperti itu orang
pacaran. Ah, aku benar-benar bodoh tentang masalah asmara. Pantas saja Disya tidak bisa
membaca perasaanku, mungkin karena aku tidak cerdas menunjukkannya.
Motorku membawa kami berdua sampai di dalam halaman rumah. Ibu terlihat
langsung menyambut kami dari depan pintu begitu aku mematikan mesin motor. Beliau
memeluk kakak, mencium kedua pipi dan keningnya, membuatku tersenyum. Kangen sekali
sepertinya ibu kepada anak pertamanya itu.
Sekilas aku melirik kamar Disya, sedikit terkejut ketika kulihat lampu kamarnya
masih menyala. Biasanya kalau di atas jam sembilan, pasti dia sudah tidur. Dan Disya adalah
tipe orang yang tidak bisa tidur dalam keadaan terang. Sedang apa gadis itu, tumben jam
segini belum tidur.
Aku berhenti menatap kamar Disya ketika ibu memanggil dan menyuruhku untuk
masuk.
Kutapaki langkah demi langkah anak tangga menuju kamar, dan langsung mendekati
jendela begitu aku sampai. Melongok ke arah kamar Disya untuk mencari tahu apa yang
sedang dilakukan gadis itu.
Samar-samar kudengar tawa renyah dari dalam kamar, suara tawa Disya, aku
mengenalnya.
Sedang menertawakan apa dia? Aku mempertajam pendengaranku untuk dapat
mendengar dengan lebih jelas, dia sedang mengobrol, dan menyebutkan nama Tristan.
Seketika itu aku menebak kalau Disya sedang mengobrol dengan laki-laki itu melalui
telepon.
Aku menghela napas sejenak, lalu menutup jendela kamarku dengan lemas.
63
KENANGAN
Di Tempat Ini, Masa Lalu Itu Pernah Ada
Pulang ke Purwokerto setelah berbulan-bulan merantau itu rasanya kangen dengan
semua hal di kota tempat kelahiranku ini. Meskipun ini bukan kali pertama aku lama tidak
pulang ke rumah.
Karena itulah kuputuskan mengambil waktu satu hari dalam liburan singkatku untuk
jalan-jalan berkeliling kota, sambil menghilangkan kerinduan akan tempat ini. Walaupun
harus seorang diri, tidak menyurutkan untuk melaksanakan niatku. Sudah aku rencanakan
bahkan sebelum aku pulang.
Purwokerto sangat panas, tapi tetap memberikan kesejukan di dalam hati. Kota yang
dengan semua suasananya akan membuatku merasa nyaman. Di sinilah aku tumbuh, di
sinilah aku menciptakan banyak memori sejak kecil. Purwokerto adalah kota yang penuh oleh
kenangan-kenangan dalam hidupku, baik suka maupun duka.
Tempat pertama yang aku datangi tentu saja SMA asalku dulu, tempat di mana
tercipta banyak kenangan yang sampai sekarang masih membekas di hati. Ketika Tuhan
mempertemukan antara aku dan gadis itu. Cinta pertama yang sempat menciptakan kisah
indah sebelum akhirnya harus berakhir dengan keterpurukanku.
Mungkin hari ini aku akan mengingatnya lagi, seiring langkah kaki yang berjalan
menapaki lorong yang dulu ramai oleh gelak tawa teman-teman sekolahku. Ketika
perjalananku dibalut warna putih abu-abu.
Namanya Renata, gadis manis dengan lesung pipit yang seakan menyempurnakan
senyum miliknya yang manis. Gadis yang menjadi pujaan banyak siswa di sekolah, tapi di
64
antara mereka akulah yang berhasil merebut hatinya. Renata memilihku untuk menjadi
kekasih.
Perjalanan cinta kami begitu indah pada awalnya, menjalani masa-masa bahagia dari
kelas satu sampai menjelang kelulusan kami, tidak sekalipun ada masalah serius yang sampai
merampas kebahagiaanku dengan Renata.
Keceriaan, canda tawa, dan gurauan akan tercipta ketika kami bersama. Aku selalu
berusaha membuatnya nyaman di sampingku. Perhatian tidak pernah kurang aku berikan,
tindakan dan kata-kata romantis untuknya sudah seperti hal wajib untuk aku berikan.
Aku memang sangat mencintai Renata. Pada akhirnya aku yang harus terpuruk,
meratapi kepergiannya yang tidak pernah aku duga. Renata meninggal lima hari sebelum
pengumuman kelulusan kami. Dia mengalami kecelakan saat hendak kembali dari
liburannya.
Kuhembuskan napas dengan berat sambil meletakkan pantat pada bangku semen di
salah satu sudut sekolah, dengan berpayung pohon mangga di atasnya. Suasana sudah sepi
karena sekolah memang sudah berakhir sejak dua jam yang lalu. Aku sengaja mencari waktu
sore hari ketika suasana sudah sepi dan tidak banyak kegiatan yang terjadi di tempat ini.
Yang kuinginkan adalah ketenangan untuk menikmati kenanganku, dan kenangan tentang
Renata tentu saja.
Kutatap salah satu ruang kelas di lantai dua, kelas tempat dulu aku pernah duduk di
dalamnya dan mendengarkan guru memberi pelajaran atau bercanda bersama teman-temanku.
Tidur di dalam kelas adalah hal yang lumrah untuk dilakukan, meskipun pada akhirnya tetap
mendapat teguran dari guru. Warna putih abu-abu yang sangat menyenangkan, dan tidak akan
terulang sampai kapan pun.
Tatapanku berpindah ke ruang kelas yang lain, seketika bayangan Renata langsung
terbentuk di kedua pupilku. Di depan kelas itulah aku selalu menjemputnya saat istirahat,
maupun ketika hendak pulang bersama. Hatiku mencelos, kembali merasakan perih yang
tidak pernah hilang selama bertahun-tahun, meskipun aku sudah berusaha untuk tidak
merasakannya.
Aku berdiri, melangkah pelan untuk menyusuri setiap sudut sekolah yang dulu pernah
terisi oleh senyumku dan senyum Renata. Ruang perpustakaan, tempat kami berdua sering
menghabiskan waktu, tidak luput dari pandanganku. Atau gudang yang sekarang sudah
beralih fungsi menjadi sebuah kelas. Di sinilah dulu ciuman pertama itu terjadi, antara aku
dan Renata. Yang tentu saja kami melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
65
Rindu ini sangat menyiksaku, Renata. Bagaimana bisa aku mengobati kerinduan ini
jika kamu tidak pernah datang untuk menemuiku?
Sudah berkali-kali pertanyaan itu melintas dalam benakku setiap kali aku teringat
sosok Renata, gadis yang membuatku tergila-gila. Seseorang yang telah menumbuhkan cinta
di dalam hatiku, tapi telah lebih dulu pergi sebelum kami berhasil mewujudkan semua impian
yang sering aku angan-angankan bersamanya.
Aku kembali duduk di pinggir lapangan basket. Dengan lantai semen yang sudah
mengelupas di sebagian tempatnya. Kenapa ada Renata pada setiap sudut sekolah ini?
Kenapa seakan bayangan gadis itu muncul setiap kali aku melangkahkan kaki, kenapa aku
tidak bisa menghilangkannya?
Tidak adakah cara supaya aku bisa melupakan kerinduan ini? Tidak adakah cara agar
aku bisa menghilangkan luka ini tanpa harus melupakan Renata?
Kuhembuskan sekali lagi helaan napasku dengan berat. Aku berdiri dari dudukku,
menatap ruang kelas itu sekali lagi lalu melangkahkan kaki meninggalkan area sekolah yang
penuh dengan bayangan Renata ini.
“Dari mana, Kak?”
Rayhan menyambut ketika aku baru saja sampai di teras rumah. Adikku sedang
bermain gitar yang aku hadiahkan kepadanya saat ulang tahun ketiga belas. Dia duduk di
kursi rotan, di teras rumah kami.
Aku duduk di hadapannya, “Biasa, muter-muter Purwokerto. Mumpung lagi pulang.”
“Kok nggak ngajak aku? Kan lebih enak dari pada sendirian.”
“Kamu kan sekolah tadi, lagian aku memang sengaja pergi sendirian biar bebas ke
mana-mana,” jawabku sambil tersenyum.
“Gimana, udah mahir main gitarnya?”
“Hahaha, kalau sekadar genjrang-genjreng aja bisa, Kak.”
“Yang giat kalau latihan, biar bisa jadi musisi hebat.”
Rayhan tersenyum kecut, “Bisa aja kamu, Kak. Bisa lancar main gitar aja udah seneng
kok. Nggak harus jadi musisi andal.”
66
Aku tertawa mendengar jawaban Rayhan, “Kan nggak ada yang tahu masa depan kita
itu kayak gimana.”
Rayhan menyandarkan gitarnya pada kursi kosong di sebelah kami. Lalu mengangkat
secangkir kopi yang masih mengeluarkan asap dari atas meja dan meminumnya dengan
perlahan.
“Ya tapi realistis lah, Kak. Aku kenal gitar aja baru, mana bisa jadi musisi hebat. Jelas
butuh bertahun-tahun latihan untuk menjadi maestro gitar. Ada-ada aja kakak ini.”
“Iya, sih. Eh, ngomong-ngomong, kamu udah punya pacar belum?” Kucoba mencari
topik baru untuk mengobrol dengan adikku. Dia justru tertawa kecil sekarang
“Belum pengen, Kak. Aku masih ingin sendiri kayak gini. Bebas, santai. Belum ingin
direpotkan sama yang namanya asmara.”
“Dari mana kamu tahu kalau asmara itu merepotkan? Padahal pacaran aja belum
pernah, sok tahu banget kamu.”
Rayhan menggaruk-garuk sisi keningnya, tampak berpikir untuk menjawab
argumenku. Aku jelas menang, karena dibandingkan dengannya aku jauh lebih
berpengalaman untuk masalah yang satu ini. Senyumku merekah ketika Rayhan tidak
kunjung mengeluarkan kata-kata.
“Makanya, kalau belum pernah ngerasain itu jangan sok tahu. Selama kamu berpikir
seperti itu tentang cewek, terus kapan kamu akan punya pacar? Wanita itu nggak pernah
merepotkan, Rayhan. Itu karena cowoknya yang ngerasa nggak ingin diganggu saat pacarnya
minta ini itu, padahal sebenarnya permintaannya sepele.”
Rayhan mendengarkan penuturanku tanpa menyela, dia terlihat sedang menyimpulkan
sendiri apa yang baru saja aku jelaskan kepadanya. Rayhan, seharusnya dengan paras yang
dia miliki bukan hal yang sulit untuk mendapatkan hati gadis manapun. Tapi kenyataanya dia
masih terlalu lugu untuk masalah ini.
“Bagaimana dengan Disya?” Aku tidak dapat menyembunyikan senyumku saat
bertanya.
“Maksudnya?”
“Selama bertahun-tahun mengenal Disya, apa kamu tidak punya perasaan apa-apa
kepadanya?”
“Apalagi sama dia, gadis itu benar-benar sering merepotkan. Aku dan Disya nyaman
seperti ini saja, nggak lebih dari sekadar sahabat. Dan lagi, Disya sedang dekat sama orang
lain sekarang.”
Aku sedikit terkejut mendengarnya, “Oh, ya?! Siapa?”
67
“Kakak kelasku. Tristan namanya.”
“Oh. Kamu sih, nggak gerak cepat, kalah sama orang lain kan jadinya.”
“Kalau dia udah punya pacar, seenggaknya Disya tidak akan membuatku repot lagi
setiap hari nantinya.”
Aku tersenyum, kalimat itu entah kenapa terdengar dipaksakan. Seperti bukan sesuatu
yang sebenarnya diinginkan oleh Rayhan, atau mungkin itu sekadar perasaanku saja.
Entahlah.
“Asal kamu tidak menyesalinya saja nanti.” Pesanku sembari menepuk pundaknya
dan melangkah masuk. Aku tahu mata Rayhan mengekor langkah kakiku, mungkin dia
kurang paham dengan ucapan terakhirku tadi.
Benar Rayhan, semoga kelak kamu tidak menyesalinya.
SENYUM MILIK POPI
Aku Menemukan Senyuman yang Sama dari Dua Orang yang Berbeda
“Rayhan, tungguin dong!”
Aku membalikkan badan ketika teriakan Disya terdengar cukup keras, padahal kami
hanya berjarak sekitar lima meter saja. Langsung kujitak kepalanya dengan pelan saat gadis
itu sudah menyejajarkan langkah.
“Nggak usah teriak-teriak kenapa, sih! Ini sekolahan bukan hutan!”
“Habis kamu jalannya cepet banget kayak dukun beranak. Kan aku udah bilang,
tungguin. Eh kamu malah ngeloyor aja.”
“Kamu beresin buku aja lama banget, aku udah kelaperan.” Sanggahku sambil terus
melangkah menuju kantin. Perutku sudah keroncongan karena tadi pagi tidak sempat sarapan.
“Laperan banget sih kamu, dasar cowok gembul!” Disya menepuk perutku pelan,
matanya melirik dengan raut mencela. Dan mulutnya tertawa renyah. Gadis ini memang
paling senang kalau menghinaku.
“Bagaimana hubunganmu sama Tristan? Tampaknya kalian semakin sering pergi
berdua.” Kulirik wajah Disya yang kini sedang tersenyum, langkahnya berubah riang setelah
mendengar pertanyaanku.
“So far so good.”
“Tapi tenang aja, aku tidak akan buru-buru seperti dulu. Sebelum aku tahu lebih
banyak tentang Kak Tristan,” ucapnya dengan penuh kemantapan.
68
“Iya, jangan sampai aku menjemputmu di alun-alun dengan kondisi menangis lagi
seperti dulu! Dasar cengeng!”
“Aah, Rayhan. Jangan diungkit-ungkit lagi dong, malu tahu!”
Kami berdua sampai di dalam kantin yang sudah ramai oleh murid-murid lain, Disya
menarik tanganku menuju salah satu meja yang kosong dan duduk di tempat itu.
“Aku mau pesen dulu, kamu makan apa?”
“Emm, batagor aja. Pake ketupat, ya. Terus es teh tawar juga.”
Aku mengacungkan jempol, lalu beranjak memesan makanan untuk kami berdua.
Suasana istirahat membuat kantin ramai oleh siswa yang juga sedang membeli makanan
untuk mengisi perut mereka. Aku menunggu cukup lama sebelum akhirnya mendapatkan
pesananku dan berjalan kembali ke meja.
Langkahku sempat terhenti saat melihat Disya sedang tertawa, Tristan berada di kursi
yang semula aku duduki. Aku menghela napas, kulanjutkan langkah menuju tempat mereka.
“Hei, Kak Tristan!” Aku menyapa laki-laki itu sembari meletakkan nampan di meja.
Senyum kaku tercipta di bibirku. Disya tampak langsung mengambil batagor miliknya.
“Eh, sori-sori. Silakan duduk.” Tristan berdiri dan menyuruhku untuk menempati
kursi itu kembali. “Aku balik kelas dulu, ya,” pamitnya kemudian.
Aku dan Disya mengangguk bersamaan. Tatapan Disya masih mengikuti langkah
laki-laki itu sampai beberapa detik. Aku menjatuhkan pantat di kursi, mencoba untuk tidak
memikirkan apa yang baru saja kulihat. Lebih tepatnya, mencoba untuk tidak merasakan
cemburu yang sedang muncul dalam hatiku.
“Aku akan pergi lagi sama dia nanti. Kak Tristan memintaku untuk menemaninya
menjenguk teman yang sakit.”
Tiba-tiba Disya mengatakan itu kepadaku. Aku tetap menikmati makanan di
hadapanku yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Ke mana hilangnya rasa lapar yang
sejak tadi pagi mengganggu konsentrasi?
“Ya, tidak masalah.”
“Dan setelah itu mungkin kami akan jalan-jalan sebentar. Sekadar untuk makan es
krim,” lanjutnya.
“Sepertinya, sebentar lagi bakalan ada yang jadian, nih.” Tawa kecil terdengar dari
mulut Disya setelah aku mengatakannya.
“Belum tentu juga, Rayhan. Sampai sekarang aku masih menganggapnya hanya
sebatas teman kok. Bisa saja kan bakalan seperti ini terus.”
“Dan nggak menutup kemungkinan juga kalian saling jatuh cinta?” Sambarku.
69
Gadis di hadapanku ini mengangguk, “Biarkan berjalan sewajarnya saja. Aku nggak
mau menyimpulkan apa-apa dulu sekarang.”
Meskipun pelan, aku menghela napas dengan cukup berat. Gadis ini pasti akan sibuk
dengan teman barunya itu, biarlah saja. Toh aku masih bisa menemuinya setiap aku mau
karena rumah kami bersebelahan. Atau setidaknya, karena kami satu kelas.
Makanan yang seharusnya mengganti sarapanku masih tersisa beberapa suap ketika
bel masuk terdengar di setiap sudut sekolah. Menyuruh kami untuk kembali masuk ke dalam
kelas dan kembali menerima pelajaran yang diberikan oleh guru. Aku dan Disya berjalan
dengan suasana hati yang mungkin kontras. Disya berbunga-bunga, dan aku masih dengan
rasa cemburuku.
Mataku menatap kaleng yang biasanya aku jadikan alat untuk bercanda dengan Disya melalui
kamar kami masing-masing. Kaleng ini sudah begitu jarang digunakan, penampilannya sudah
sedikit berkarat. Kalau sudah seperti ini, biasanya Disya akan merengek minta untuk diganti
dengan kaleng baru yang lebih bersih. Tetapi kali ini mungkin Disya belum sempat untuk
melakukannya.
Ah, kenapa harus menunggunya untuk meminta, mungkin aku bisa menggantinya
sekarang juga.
Kusambar kunci motor yang tergeletak di meja belajar dan meraih jaket kulit dari
belakang pintu kamar. Aku melangkah menuruni anak tangga, berniat membeli kaleng bekas
yang masih bersih dari pasar, tempat biasa aku membelinya.
“Mau ke mana, Rayhan?” Suara ibu sempat menghentikan langkahku.
“Keluar sebentar, Bu. Nyari kaleng.”
“Jangan lama-lama, sebentar lagi kan Maghrib. Ibu ingin makan malam bersama,
mumpung Kakakmu masih di rumah. Besok kan dia berangkat ke Semarang lagi.”
“Iya, Bu.” Kucium kedua pipi ibu, lalu bergegas menuju motor.
Hari sudah sedikit sore, semoga toko-toko di pasar belum tutup semua. Kupacu laju
sepeda motor cepat agar bisa sampai pasar dengan segera.
“Mau beli kaleng lagi, Mas?” Sambut pemilik warung ketika aku sudah berada di
dalam.
70
“Iya, Bu. Yang kemarin sudah karatan,”
Aku menyambut plastik hitam yang berisi dua kaleng bekas dari pemilik warung,
memberikan beberapa lembar uang dan melangkah keluar warung. Namun, tanpa sengaja aku
menabrak seseorang yang berjalan dari arah lain, membuatku terkejut ketika melihat
sosoknya. Aku mengenalnya, kami satu sekolah walaupun tidak satu kelas. Seorang gadis
yang aku tahu bernama Popi.
“Popi, ngapain kamu di sini?”
“Ini warung Ibuku. Aku hendak membantunya menutup warung.”
Tawa kecil tercipta dari mulutku, “Begitu, ya? Padahal aku sering membeli kaleng di
sini, tapi tidak pernah melihatmu. Baru tahu aku.”
“Kaleng buat apa?”
Sejenak kugaruk kulit kepalaku, mencari jawaban tepat untuk pertanyaan yang
diajukan Popi.
“Buat iseng-iseng aja, sih.” Entah kenapa jawaban itu keluar dari mulutku.
Kulihat Popi menganggukan kepala, walaupun aku yakin gadis ini belum benar-benar
mengerti alasanku membeli kaleng. Kami terdiam beberapa saat, aku mencoba berpikir untuk
mencari topik pembicaraan yang lain.
“Ngobrol di sana dulu, yuk!” Ajakku kemudian.
Popi mengangguk, meminta izin kepada ibunya sebelum membuntutiku menuju
pedagang es di depan toko.
“Jadi, kamu sering beli kaleng di toko Ibuku cuma untuk iseng-iseng?”
Aku tertawa renyah, “Nggak juga. Sebenarnya gini, kamu tahu Disya, kan?”
“Jelaslah, cewek yang selalu bareng kamu itu.”
Aku mengangguk, “Nah, aku mengenalnya sejak kecil karena rumah kami
bersebelahan. Dan, sejak kecil kami sering berbicara melalui telepon kaleng. Itu bertahan
sampai sekarang.” Tawaku kembali terdengar setelah selesai menjelaskan, begitu juga dengan
Popi yang saat ini ikut tertawa.
“Dasar, aneh-aneh saja kalian. Ada gitu orang yang punya kebiasaan seperti itu, sejak
kecil pula.”
Menyenangkan juga tawa yang kudengar dari bibir Popi ini. Berbeda dengan yang
sering aku dengar dari Disya. Namun, harus kuakui, keduanya sama-sama memiliki tawa
yang enak untuk didengar.
“Begitulah kenyataannya,”
Tawa Popi sedikit demi sedikit mereda, “Kamu sama Disya pacaran, ya?”
71
Aku tersedak jus jambu yang sedang kuminum, “Nggak, kami hanya bersahabat sejak
kecil.”
“Habis, banyak teman sekolah kita yang ngira kayak gitu. Kalian emang deket banget
sih, jadi kelihatan seperti orang yang lagi pacaran. Sampai-sampai banyak murid-murid
cewek yang cemburu sama Disya.”
Bibirku menciptakan senyum kembali, “Kayak yang aku bilang tadi, aku sama Disya
udah sahabatan sejak kecil. Jadinya ya emang deket, udah kayak kakak adik malah. Jangan
heran kalau melihat kami di sekolah kayak gitu. Aku mah belum punya pacar.”
“Oh, ya ya ya. Jadi yang semua orang kira selama ini itu salah, kamu sama Disya
nggak pacaran.”
“Yap.”
“Bakalan pada seneng nih cewek-cewek di sekolah kita kalau tahu kamu nggak punya
pacar.”
“Termasuk kamu?”
Wajah Popi memerah sekarang, dia menunduk, membuatku tersenyum simpul.
“Udah sore nih, aku pulang dulu, ya. Ini biar aku aja yang bayar, sebagai terima
kasihku karena sudah ditemenin ngobrol.”
Popi seakan hendak mencegah. Namun, saat melihatku menyodorkan uang kepada
penjual, dia urung untuk melakukannya. Kami saling berpamitan dan melempar senyum,
sebelum akhirnya aku meninggalkan tempat itu.
Senyum di bibirku ini belum hilang walaupun laju motor sudah membawaku
melintasi jalanan, jauh dari warung milik Keluarga Popi.
72
BETTER THAN LOVE
Selamanya Hanya akan Menjadi Sahabat
Aku masih menikmati es krim pemberian Kak Tristan sambil duduk di atas kap mobil,
memandang hamparan sawah berwarna hijau yang tergelar tepat di hadapan mataku.
Semburat senja berwarna jingga tampak menghiasi langit, begitu kontras dengan warna
tanaman padi yang mungkin belum lama ditanam oleh para petani. Seiring dengan redupnya
sang matahari yang sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Terasa begitu indah lukisan Sang
Pencipta sore ini.
Sejak pulang sekolah aku dan Kak Tristan menghabiskan waktu berdua. Pergi ke
tempat wisata Baturraden, melihat keindahan alamnya yang benar-benar memukau. Udara
yang sangat sejuk karena berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet, ditambah aliran sungai
yang memiliki air sedingin es. Segar, sangat segar, membuatku betah berlama-lama
mencelupkan kaki di sana. Juga mata air panas pancuran tujuh yang mengandung belerang,
benar-benar alami.
Kujilat lelehan krim coklat yang mengalir di pergelangan tangan. Sudah beberapa
menit aku menunggu Kak Tristan yang berada di toilet pom bensin di seberang jalan. Seorang
diri menunggunya sampai es krim milikku sudah hampir habis, tapi dia tidak kunjung
kembali dan sedikit membuatku jengah.
Tadi, Kak Tristan sempat mengeluhkan rasa sakit, dan dia tidak langsung menjawab
ketika aku menanyakan bagian mana yang sakit. Kak Tristan justru pamit menuju toilet,
mungkin hanya mengalami sakit perut biasa.
73
“Maaf ya, kamu jadi nungguin lama. Sedikit diare, nih.” Tiba-tiba suara laki-laki itu
sudah terdengar di sebelahku, membuatku sedikit melonjak karena kaget.
“Bikin kaget aja, Kak. Ayo, cari obat buat diare kalau gitu!”
“Eh, nggak usah. Di rumah juga ada kok, ngapain beli lagi.”
Aku mengangguk dan tersenyum, “Pulang, yuk! Sudah hampir malam, nanti
dimarahin Ibu kalau pulang terlalu malam.” Sedikit kutarik ujung lengan Kak Tristan menuju
pintu mobil. Cowok itu terlihat tersenyum.
“Iya, iya. Ayo, kita pulang!”
Kami menyusuri jalanan yang cukup sepi. Pergantian waktu menuju malam hari
membuat aktivitas orang-orang mulai jarang terlihat, hanya beberapa orang saja yang tampak
masih berada di jalan. Aku mengamati damainya suasana Purwokerto kala senja seperti ini.
Kami berdua masih terdiam di dalam mobil. Kak Tristan memfokuskan perhatiannya
ke arah jalanan, membuatku merasa sungkan untuk memulai percakapan. Kulemparkan
pandanganku kembali ke luar jendela, sambil sesekali menghela napas.
Kenapa wajah Kak Tristan selalu pucat? Dan aku juga sering mendapati kedua
tangannya gemetar. Bukan hanya tangan, bibirnya pun juga demikian. Aku tahu ada yang
tidak beres, tetapi siapa aku jika menanyakan itu kepadanya. Aku putuskan untuk menyimpan
rasa penasaranku dalam hati saja.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Disya?”
Aku terkesiap, sepertinya desahan napasku terlalu keras sampai dia mendengarnya.
Otakku berpikir untuk mencari alasan yang mungkin bisa kuberikan kepada laki-laki yang
terlihat masih menunggu jawabanku itu. Matanya beberapa kali melirik, membuat semakin
gugup.
“Eh, emm, nggak kok. Cuma sepertinya aku sedang kecapekan, udah ingin mandi
terus tiduran di kamar.” Alasan seadanya yang terlintas begitu saja dalam benakku. Tidak
peduli Kak Tristan akan memercayainya atau tidak.
Kak Tristan tampak terdiam beberapa saat, kebiasaannya jika sedang memikirkan
sesuatu. Kedekatan kami yang sudah terjalin membuatku sedikit demi sedikit mulai bisa
mengenal karakter Kak Tristan. Cowok yang sedikit pendiam dan mempunyai alis tebal ini
tidak terlalu suka keramaian. Dia lebih sering mengajakku ke tempat-tempat yang tidak
terlalu banyak didatangi orang atau setidaknya tidak terlalu bising oleh percakapan orang-
orang di sekitarnya.
“Oh, iya.” Refleks tanganku menyalakan radio tape yang ada di mobil Kak Tristan.
Aku ingat kalau hari ini jadwal Rayhan siaran.
74
“Ada apa emangnya?” Kak Tristan tentu saja heran melihatku langsung menyalakan
radio, bahkan tidak meminta izin terlebih dulu kepadanya. Takut ketinggalan siaran Rayhan
membuatku lupa meminta izin, aku merasa tidak enak sekarang.
“Emm, hari ini jadwalnya Rayhan siaran.”
“Oh, pantas saja kamu buru-buru seperti itu.”
“Maaf, seharusnya aku meminta izin kepadamu.” Kutunjukkan wajah menyesal agar
Kak Tristan tahu aku tidak sengaja tadi.
Dia tersenyum, “Nggak apa-apa kok, santai aja lah.”
Suara Rayhan masih terdengar memandu acara di radio, membuatku bernapas lega
karena masih sempat mendengarkan dirinya siaran. Ah, apa kabar anak itu? Rasanya sudah
beberapa hari aku tidak menghabiskan waktu bersamanya. Pikiranku memikirkan Rayhan
sekarang.
“Kamu menyukai Rayhan?”
Pertanyaan Kak Tristan mengembalikan isi otakku ke dalam mobil. Aku sempat lupa
kalau sedang bersamanya sekarang. Bagaimana menjawab pertanyaan itu? Aku menyukai
Rayhan? Entahlah, aku tidak tahu perasaan ini juga dirasakan oleh Rayhan atau tidak. Iya,
aku menyukainya, itu jawaban untuk pertanyaanmu, Kak Tristan.
“Seharusnya ada yang memulai. Perasaan itu harus diungkapkan, Disya. Tidak baik
kalau memendam cinta.”
Padahal belum juga jawaban itu terlontar dari mulutku, tetapi kenapa Kak Tristan bisa
berkata seperti itu? Apa dia bisa membaca wajahku, atau memang tergambar jelas di kedua
mataku? Sampai-sampai laki-laki di sebelahku ini bisa mengetahuinya.
“Mungkin Rayhan juga menyukaimu.”
Kupalingkan wajahku untuk menatap mata Kak Tristan dengan lebih dalam, aku
menciptakan senyum di bibirku. Kemudian menggeleng.
“Aku dan Rayhan selamanya akan tetap sebatas sahabat,” ucapku penuh keyakinan.
Kak Tristan hanya membalasnya dengan senyuman. Suara sahabatku itu masih terus
terdengar sepanjang perjalanan kami, aku menyandarkan kepala di jok mobil. Memejamkan
mata dan menghela napas.
Selamanya akan tetap menjadi sahabat, itu pasti yang terbaik.
75
Kulihat kaleng kepunyaanku sudah diganti dengan yang baru. Bibirku tersenyum, pasti
Rayhan yang menggantinya. Aku menyangga tangan di daun jendela, mengintip kamar
sahabat kecilku yang sudah gelap. Mungkin pemuda itu sudah terlelap di tempat tidur.
Biarlah, pasti dia lelah hari ini karena habis siaran, aku menyimpulkan sendiri.
Kualihkan tatapanku untuk memandang langit yang malam ini sedang sepi tanpa
bintang, hanya beberapa saja yang muncul untuk menemani rembulan yang tampak bersinar
malu-malu. Tidak terlalu terang seperti malam-malam sebelumnya. Apa mungkin bulan juga
bisa merasa lelah bersinar sehingga dia memutuskan untuk menyimpan sinarnya malam ini?
Atau mungkin karena mereka tahu aku sedang menikmati malam ini sendirian, tanpa
Rayhan? Tidak ada Rayhan yang biasanya berbicara tanpa henti ketika kami sedang sama-
sama menghabiskan malam, aku berada di daun jendela, dan Rayhan duduk di tepi balkon.
Ah, sepi sekali malam ini. Tanpa bintang dan, Rayhan.
Aku menghembuskan napas pelan.
Kenangan itu melintas begitu saja. Entah kenapa aku teringat saat pertama kali datang
ke kota ini beberapa tahun yang lalu, mengenal Keluarga Rayhan. Bagaimana dinginnya
sikap anak itu waktu menyambutku, sampai akhirnya dia mau menerimaku sebagai teman.
Dulu, aku dan Rayhan sering bermain bersama di halaman belakang rumah. Ah, sudah lama
sekali pemuda itu tidak mengajakku. Rasa rindu sekarang muncul menembus dinding hatiku.
Rindu akan keceriaan bersamanya.
Apa yang terjadi terhadap kami sebenarnya, sampai-sampai aku merasa tidak lagi
sedekat dulu dengan Rayhan? Apa kedewasaan membuat jalan pikiran kami berubah? Kalau
seperti itu, aku lebih memilih untuk tidak dewasa, biarkan kami tetap menjadi anak-anak saja.
Asalkan aku tetap bisa berlama-lama menghabiskan waktu dengannya.
Pertanyaan Kak Tristan tadi sore benar, seharusnya ada yang memulai terlebih
dahulu. Apa harus aku yang memulai? Bagaimana caranya? Rayhan memang bukan cowok
yang peka. Lagipula, bagaimana bisa dia menyadari perasaanku kalau aku pun berusaha
mencegah agar dia tidak mengetahuinya.
Namun, bagaimana jika ternyata Rayhan tidak memiliki perasaan yang sama seperti
yang kurasakan? Bisa-bisa itu akan membuat persahabatanku dengannya menjadi berubah.
Ah, semua benar-benar membuatku sakit kepala.
Rayhan, maaf. Aku mengkhianati persahabatan kita. Aku, menyayangimu.
Sejenak kulemparkan pandanganku kembali menatap langit yang semakin pekat,
bulan telah hilang tertutup awan. Kuputuskan untuk menyudahi saja malam ini. Menutup
76
jendela, melangkah ke atas ranjang dan berpetualang di alam mimpi adalah keputusan
terbaik.
HATI YANG LAIN
Tidak Ada Salahnya, Mencoba Membuka Hati untuk Orang Lain
Aku berada di perpustakaan sekolah bersama, Popi. Yap, akhir-akhir ini aku lebih
sering bersamanya jika di sekolah. Tidak seperti biasanya ada Disya di sampingku. Biarkan
saja, toh dia pasti sedang bersama Tristan sekarang. Tentu saja tidak salah kalau aku juga
memilih untuk bersama Popi, kan?
“Hei, lihat. Sekarang gadis-gadis di sekolah ini ganti menatapku dengan galak karena
kedekatan kita,” Popi mengatakannya, lebih seperti berbisik tentu saja. Karena kami sedang
berada di perpustakaan.
“Ah, cuekin aja! Anggep aja kamu putri kecantikan yang membuat mereka iri.”
“Tapi tetap nggak nyaman, Rayhan!”
“Terus gimana? Apa kita nggak usah dekat-dekat?”
Kulihat wajah Popi menunjukkan mimik menolak setelah mendengar usulku. Dia
menggeleng cepat-cepat, wajahnya seakan berharap aku tidak melakukan apa yang baru saja
kukatakan.
“Ya udah, toh kamu nggak melakukan kesalahan apa-apa, kenapa harus merasa nggak
nyaman? Disya aja bisa kok bersikap biasa aja.”
Entah kenapa aku merasa bicaraku sedikit keterlaluan. Popi tertunduk di depanku
sekarang. Membuatku merasa tidak enak. Aku meletakkan telapak tangan di atas kepala Popi,
lalu mengacak-acak rambutnya. Popi mengangkat wajah, langsung kuberikan senyuman saat
itu juga kepadanya.
“Nanti pulang sekolah kita main, yuk! Kamu pengen ke mana?”
77
Wajah Popi antusias menanggapi ajakanku, masam yang tadi dia tunjukkan telah
berganti menjadi sebuah senyuman. Membuatku dapat bernapas lega. Sifat ini tidak jauh
berbeda dengan Disya, sama-sama mudah untuk kembali ceria.
“Bagaimana kalau main Timezone?”
Tanpa pikir panjang aku langsung menyetujui usulan gadis berkacamata ini. “Siip.
Habis itu sekalian makan, ya?”
Mata Popi semakin berbinar, dia menganggukan kepala dengan mantap. Aku
tersenyum, dan kembali mengacak-acak rambutnya yang lembut. Membuat Popi harus
kembali menata rambut yang sekarang berantakan akibat ulahku. Namun, hal itu tidak
menghilangkan senyum di bibirnya.
Aku kembali teringat dengan rencanaku dulu, mencoba untuk membuka hati kepada
gadis selain Disya. Ah, mungkin saja Popi adalah gadis yang tepat. Dia tidak kalah
menyenangkan seperti Disya.
“Eh, tapi bagaimana dengan Disya? Dia pulang sama siapa nanti?”
Pertanyaan Popi mengingatkan aku tentang gadis itu. Kami masih berangkat bersama
tadi. Benar juga, dengan siapa Disya akan pulang nanti? Namun, pertanyaan itu hanya
terbersit beberapa detik, karena aku teringat sosok Tristan yang pasti bersedia mengantarkan
Disya.
“Tenang, Disya bisa pulang sendiri kok.”
“Yakin?”
“Iya.” Kupaksakan senyum di bibirku untuk meyakinkan Popi agar dia tidak usah
memikirkan Disya. Berhasil memang, gadis itu kembali asyik dengan buku bacaan yang sejak
tadi terabaikan karena percakapan kami.
Diam-diam aku memejamkan mata, benarkah yang sedang aku lakukan sekarang?
Bagaimana cara untuk memulai cinta terhadap gadis ini? Lantas, apa yang harus aku lakukan
kalau aku bisa mencintai Popi? Pikiranku benar-benar serba salah, bingung terhadap diriku
sendiri.
Popi menatapku lagi sembari tersenyum, wajahnya benar-benar menunjukkan
keceriaan. Senyuman yang ditunjukkan oleh orang yang berbeda, tapi memiliki rasa yang
sama. Senyuman Popi dan senyuman Disya sama-sama menghadirkan ketenangan bagi orang
yang melihatnya, terutama bagiku.
Bel sekolah berbunyi, membuat kami harus mengakhiri aktivitas membaca buku, atau
lebih tepatnya aku hanya sekadar menemani Popi membaca buku karena sejak tadi hanya
membolak-balik halaman tanpa membaca satu huruf pun dari buku yang kupegang.
78
“Dari mana?” Pertanyaan itu sama-sama terucap dari bibirku dan Disya ketika kami bertemu
di bangku kelas. Membuat kami tersenyum canggung.
“Emm, kamu duluan!” Aku mempersilakan Disya menjawab terlebih dahulu.
“Biasa, dari kantin. Aku nggak lihat kamu di sana tadi, ke mana?”
“Perpustakaan.”
Aku melihat satu alis Disya terangkat, “Tumben? Lagi ada angin apa sampai kesasar
di perpustakaan?”
Aku tertawa kaku, entah kenapa sejak tadi hanya ada rasa canggung yang tercipta di
antara aku dan Disya. Tidak pernah seperti ini sebelumnya.
“Emm... Popi yang mengajakku ke sana tadi.”
Lagi-lagi kulihat raut terkejut dari wajah Disya. “Popi?”
Percakapan kami sempat terhenti beberapa saat karena Bu Mariana, guru IPS kami
memasuki kelas. Membuat suasana yang semula gaduh tersihir oleh kedatangan beliau.
Semua siswa duduk di tempatnya masing-masing dengan keadaan tenang dan siap menerima
materi pelajaran yang akan diberikan.
“Iya, Popi anak kelas dua IPA dua. Kenal, kan?” Lanjutku setengah berbisik, sambil
melirik penuh waspada kepada guru yang saat ini terlihat sedang menyiapkan buku-buku
pelajaran.
Disya mengangguk, “Iya.”
“Sekarang aku lagi deket sama dia,” tuturku dengan jujur.
Senyum itu, walaupun masih tetap menenangkan tetapi kali ini terasa berbeda sekali,
bukan senyum yang biasa menghiasi bibir Disya. Apa yang terjadi dengan Disya?
Mungkinkah lagi-lagi dia patah hati?
“Akhirnya kamu bisa dekat juga sama cewek, Rayhan. Good job.” Disya
mengacungkan dua jempolnya ke araku.
Aku tertawa kecil, “Iya dong, ntar malah rencananya aku mau main dulu sama dia
pulang sekolah. Kamu pulang sama Tristan lagi, kan?”
79
Disya mengangguk setelah terlihat berpikir beberapa saat, “Iya, aku akan pulang
bareng Kak Tristan lagi nanti. Kamu tenang aja, sudah lama aku ingin melihatmu dekat sama
cewek lain. Akhirnya sekarang terwujud juga.”
“Hahaha, ada-ada saja kamu. Aku kan baru masa penjajakan, sama seperti kamu
dengan Tristan, semua masih belum pasti. Iya, kan?”
“Iya, memang. Tapi ini tetap saja sebuah peningkatan di dalam hidupmu. Udah ah,
aku mau dengerin penjelasan Bu Mariana dulu.”
“Ini, ini. Aku mau main yang ini.”
Popi menunjuk ke sebuah mesin di Timezone yang berupa permainan untuk memukul
lampu-lampu berbentuk semut yang akan menyala secara acak menggunakan palu karet. Aku
menggesek kartu Timezone di mesin untuk mulai bermain. Beberapa kali Popi memukulkan
palu karet itu pada semut yang menyala, sedangkan aku menggunakan telapak tangan untuk
memukulnya. Terkadang, tanpa sengaja Popi justru memukul tanganku karena target kami
ternyata sama. Membuat kami tertawa riang bersamaan.
Aku menarik beberapa lembar kupon yang keluar dari mesin Timezone setelah waktu
bermain kami habis. Kini Popi memintaku untuk berpindah pada mesin yang lain, dari satu
permainan ke permainan yang lain. Sampai tidak terasa saldo dalam kartuku telah habis.
Kulihat Popi menampakkan wajah kecewa.
“Aku isi saldo lagi aja, ya?” Tidak tega juga memandang wajah kecewa gadis ini.
“Eh, nggak usah, boros itu namanya. Aku sudah puas banget kok.”
“Beneran?”
Popi mengangguk mantap.
“Ya udah, kita tukerin kuponnya, yuk. Kamu aja yang milih mau dituker sama apa.”
Aku menarik tangannya dengan lembut.
Popi tampak memilih-milih sesuatu yang akan ditukarkan dengan kupon yang kami
dapatkan dari bermain Timezone tadi. Sampai akhirnya dia menjatuhkan pilihan kepada satu
boneka beruang berukuran agak besar, menurutku. Seperti boneka yang ada di kamar Disya,
batinku menebak.
Popi terus memeluk boneka itu dengan wajahnya yang ceria sampai kami tiba di
sebuah restoran fast food yang terletak beberapa meter di sebelah tempat kami bermain
Timezone tadi.
80
Langkah kami disambut oleh sebuah lagu yang sudah sangat familiar bagi telingaku
ketika kami berdua masuk ke dalam restoran tersebut. Seseorang sering bernyanyi lagu yang
sama, yang saat ini sedang diputar di dalam tempat ini. Membuatku tanpa sadar tersenyum
sendiri.
“Suka Sheila On 7?” Pertanyaan Popi tidak lantas membuat senyum di bibirku
menghilang.
“Bukan aku, tapi Disya,” jawabku sambil berdiri mengantre untuk memesan. Popi
berdiri di sampingku.
“Oh.”
“Disya sangat suka Sheila On 7. Dia punya album lengkap dari yang pertama sampai
yang paling baru. Terus lagunya juga hafal semua, sampai-sampai tiap hari nyanyinya lagu
Sheila. Emang fanatik tuh anak.” Aku menjelaskan dengan penuh antusias, meskipun kulihat
Popi hanya tersenyum menanggapinya.
“Belum lagi poster-poster yang hampir nutupin dinding kamarnya. Yang paling
banyak posternya si Duta. Pokoknya pernak pernik tentang Sheila udah lengkap dia.” Tanpa
sadar aku terus bercerita mengenai Disya kepada Popi. Sampai akhirnya tiba giliran kami
untuk memesan.
“Kok diem?” Kami berjalan menuju salah satu meja yang terdapat di sudut dalam
restoran itu. Aku melihat Popi murung.
“Hah, eh, nggak kok. Aku lagi dengerin ceritamu tentang Disya, kayaknya kamu
semangat banget. Makanya aku nggak berani nyela.”
“Memang begitu, Disya tuh gadis yang konyol dan sedikit menyebalkan.”
“Sayangnya Disya nggak ikut kita sekarang.”
Aku langsung menyadari kebodohanku setelah mendengar penuturan Popi. Kalimat
tadi seperti sebuah sindiran bagiku yang terus-menerus membicarakan tentang Disya, terang
saja Popi jadi murung seperti itu. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku mengutuk diriku sendiri yang
tidak bisa peka dengan keadaan.
“Kalau kamu, sukanya sama band apa?” Aku segera mengusir kecanggungan yang
aku buat sendiri.
“Kalau aku orangnya easy, musik apa aja bisa aku nikmati. Asalkan enak di dengar.
Kamu kan orang radio pasti paham lah.”
“Iya, aku ngerti. Kamu termasuk orang yang bisa menerima aliran musik apa aja, dari
yang teriak-teriak seperti metal, underground, punk. Sampai yang berirama pelan seperti
keroncong atau campur sari sekalipun, kan?”
81
Popi mengangguk dan tersenyum, “Tepat. Seratus buat kamu!” Dia mengacungkan
jempol tangannya.
Cepat sekali anak ini berubah ceria kembali. Sifatnya benar-benar sama persis dengan
Disya yang tidak suka berlama-lama dalam kesedihan. Sama-sama tipe orang yang bisa
mengatur emosi jiwanya agar cepat kembali stabil. Popi sering mengingatkan aku kepada
Disya. Itu adalah salah satu alasan aku nyaman berada di dekatnya. Alasan yang sampai
kapan pun tidak akan aku katakan kepada Popi.
Kami terdiam sejenak, aku menikmati santapan yang kini hanya tinggal tersisa
setengahnya. Sedangkan milik Popi kulihat masih banyak yang belum dimakan. Gadis ini
rupanya cukup lama ketika menikmati makan.
“Kamu masih sering main telepon kaleng sama Disya?” Pertanyaan yang tiba-tiba
keluar dari mulut Popi membuatku terkejut. Aku tidak pernah menduga Popi akan
menanyakan apa pun yang berhubungan dengan Disya.
“Nggak, sudah lama kami tidak melakukannya. Bahkan sejak kita bertemu waktu aku
membeli kaleng baru di toko Ibumu dulu, kami belum menyentuhnya sampai sekarang,”
jawabku sambil tersenyum kecut.
“Kenapa?”
“Yang jelas karena kesibukan kami yang sekarang sudah berbeda. Disya sering pergi
sama kakak kelas kita, Tristan. Aku juga sering siaran. Kadang Disya di rumah, aku ada
jadwal siaran, saat aku libur, gantian Disya yang nggak di rumah.”
“Ada yang kurang?”
“Maksudmu?”
Popi menyeruput minuman bersoda dari gelasnya, “Kamu ngerasa ada yang kurang
sejak kalian lama tidak melakukan itu?”
“Ya, nggak juga, sih.” Aku bingung untuk menjawabnya. “Toh aku dan Disya bukan
anak kecil lagi yang menganggap telepon kaleng adalah sesuatu yang benar-benar istimewa.
Jalan pikiranku sudah beda sekarang, mungkin begitu juga dengan Disya.”
“Lantas, kenapa kamu masih beli kaleng baru waktu itu?”
Skakmat, pertanyaan Popi tepat sekali untuk membuatku bungkam sekarang. Tidak
ada jawaban tepat, meskipun aku sudah memikirkannya bermenit-menit, aku tidak dapat
menemukan alasan. Hanya diam yang kuberikan kepada Popi, yang saat ini sedang tersenyum
di hadapanku.
82
“Tenang saja, Rayhan. Kamu tidak perlu panik seperti itu. Aku hanya sekadar
bertanya kok, nggak harus dijawab.” Gadis itu tersenyum penuh pengertian yang justru
membuatku merasa tidak nyaman.
CINCIN DALAM BUKU
Sekali Lagi Cinta Menunjukkan Jalannya
Bu Ratna sedang menerangkan pelajaran Matematika di depan kelas. Sejak 45 menit
yang lalu guru wanita itu terus berbicara tanpa henti, suasana kelas sukses dibuat tenang
olehnya. Sedikit saja berbuat gaduh maka keluar dari kelas adalah hukuman yang akan
diberikan. Karena rasa takut atas ancaman, kami semua hening di bangku masing-masing.
Aku mendengarkan penjelasan beliau tanpa minat. Matematika bukanlah pelajaran
yang aku sukai, tidak sama sekali. Sejak tadi mulutku sudah berkali-kali menguap karena aku
memang terserang rasa kantuk. Bagaimana tidak, hanya mendengarkan orang berbicara tanpa
ada timbal balik, jelas itu adalah pengantar tidur yang paling baik. Terlebih ini adalah jam
terakhir, saat di mana semua tenaga dan pikiran sudah terkuras habis setelah mendapatkan
begitu banyak materi sejak pukul 7 pagi.
Kulirik Rayhan yang juga sedang memasang wajah suntuk di bangkunya, aku
menendang kakinya pelan. Pemuda itu langsung menoleh dengan wajah yang membuatku
hampir tertawa keras. Matanya terlihat memerah, dan kelopaknya sudah tertutup setengah.
Beruntung aku masih bisa menahannya.
“Ada apa?”
Aku sedikit melirik ke arah Bu Ratna, tampak beliau masih berbicara dan melihat ke
arah lain.
“Minta minyak kayu putihmu,”
83
Dengan malas Rayhan membuka ritsleting tas dan menggeledah isinya, mencari
barang yang baru saja aku sebutkan tadi. Rayhan mengeluarkan botol itu dan menyerahkan
kepadaku.
“Buat apa?” Tanya Rayhan pelan, seakan jika aku tidak menjawabnya pun bukan
sebuah masalah.
“Terapi ngantuk,” jawabku asal.
Rayhan masih mengamati ketika aku meneteskan beberapa kali cairan minyak kayu
putih ke telapak tangan, lalu menciumnya dalam-dalam. Kesegarannya berhasil mengurangi
rasa kantuk yang sejak tadi menyerang. Aroma ini, sama dengan aroma yang menempel pada
tubuh Rayhan. Cowok itu tidak pernah bau parfum, lebih sering aroma minyak kayu putih
yang menempel pada dirinya.
“Bagaimana?” Rayhan terlihat penasaran.
Aku tersenyum dan mengacungkan jempol tanganku, “Berhasil, aku udah nggak
begitu ngantuk.”
“Sini aku juga mau nyoba!” Rayhan merebut botol minyak kayu putih dari
genggamanku, kemudian melakukan hal yang serupa. Seketika wajahnya yang sejak tadi
terlihat ngantuk berubah cerah kembali. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
“Selama ini, kenapa aku nggak pernah kepikiran kalau minyak kayu putih bisa
menjadi obat yang ampuh saat pelajaran seperti ini, ya?”
“Wuu, payah. Padahal kamu setiap hari membawanya,”
“Ehem…” Sontak aku menoleh ke arah Bu Ratna yang sedang menatap kami berdua
dengan tajam. Wajahnya seakan mengeluarkan aura hitam yang menakutkan. Menyihirku
untuk langsung menunduk.
“Disya, kamu mendengarkan apa yang baru saja Ibu jelaskan?” Pertanyaan itu lebih
terdengar seperti ujian akhir semester buatku. Aku tahu sekarang setiap pasang mata di dalam
kelas ini sedang menatapku dengan berbagai ekspresi.”
“I, iya, Bu,” jawabku lemah.
“Kalau begitu coba jelaskan apa itu reaksi perkalian matriks?”
Aku mematung di tempatku, sementara Bu Ratna masih menunggu jawaban dengan
tatapan mata seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Aku menyerah, sama sekali
tidak tahu jawaban untuk pertanyaan yang baru saja diajukan kepadaku.
“Maaf, Bu. Saya tidak mendengarkan pada bagian itu.”
84
Sontak semua kelas, kecuali Rayhan tentu saja, menyorakiku dengan penuh semangat.
Mungkin mereka berpikir ini adalah kesempatan yang baik untuk menghilangkan rasa bosan
mereka karena harus mendengarkan materi ketika jam terakhir. Aku merutuk dalam hati.
“Rayhan, coba kamu yang jawab! Kalau tidak bisa, kalian akan Ibu hukum!”
Bu Ratna beralih kepada sahabatku itu. Aku berani bertaruh kalau dia pun tidak bisa
menjawab. Meskipun aku tetap berharap dia bisa menjawabnya agar kami terhindar dari
hukuman.
Rayhan menjawab dengan begitu lancar, membuatku takjub. Dari mana dia tahu
tentang materi itu? Pandanganku beralih kepada Bu Ratna yang tampak puas dengan jawaban
Rayhan, beliau menopangkan dagu kepada tangannya sendiri.
“Lumayan, kalian bebas dari hukuman. Tapi lain kali, jangan diulangi!”
Serempak aku dan Rayhan mengangguk, “Iya, Bu.”
Aku menceritakan kejadian saat jam pelajaran terakhir tadi kepada Kak Tristan yang
sekarang justru sedang menertawai kekonyolan yang aku lakukan. Kami sedang berada di
dalam mobil setelah pulang sekolah. Aku mengajak Kak Tristan untuk mampir ke toko buku
terlebih dahulu sebelum menuju rumah.
“Kamu itu, ada-ada aja kelakuannya.” Kak Tristan masih dengan tawanya.
“Asli tadi aku sempet takut banget. Wajahnya Bu Ratna tuh seremnya minta ampun,
beneran.”
Kak Tristan tertawa semakin keras mendengar kalimatku, aku melihat beberapa kali
dia menyusut air mata menggunakan punggung tangannya. Meskipun begitu, dia tetap
dengan lincah mengemudikan laju mobil untuk menembus keramaian jalan yang dipenuhi
oleh kendaraan-kendaraan lain.
“Barang kali sedang PMS mungkin, jadinya wajah Bu Ratna seperti itu.” Aku masih
belum puas untuk membicarakan guruku itu, ada sedikit rasa jengkel yang belum hilang
setelah aku dibuat malu di dalam kelas tadi.
“Huusst, udah ah! Kok malah ngomongin dia terus, nggak baik!” Kak Tristan
mencoba untuk mengingatkanku.
“Kamu mau beli apa, sih? Kok tumben minta ke toko buku segala.”
“Beli buku, dong. Masa iya mau beli obat nyamuk.”
85
“Maksudku mau beli buku apa, Disya cantik.”
“Ada buku baru yang mau aku beli, udah lama sebenarnya mau beli. Tapi baru ada
uang hari ini.”
Kak Tristan berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Dia mengajakku turun
dan menapaki eskalator untuk menuju toko buku yang berada di lantai dua. Suasana di dalam
toko buku tidak terlalu ramai, hanya beberapa pengunjung yang tampak sedang asyik
membaca.
Aku bergegas menuju rak tempat buku yang akan kubeli diletakkan, mataku awas
mencari. Pandanganku naik turun, bergeser ke kiri dan ke kanan, tapi tidak berhasil aku
temukan.
“Ada?” Tanya Kak Tristan yang sejak tadi berdiri di sampingku.
Aku menggeleng, “Perasaan, waktu itu aku lihat di sini.”
“Udah dipindah tempat mungkin. Sebentar aku tanyain dulu.”
Aku mengangguk, membiarkan Kak Tristan berjalan menghampiri seorang pegawai
toko buku, dengan seragam hitamnya. Keduanya terlihat bercakap-cakap sebelum berjalan
menuju bagian informasi. Sampai di situ aku cukup bingung, kenapa pula harus ke bagian
informasi? Namun buru-buru kualihkan pandangan, kembali sibuk mencari buku yang sudah
lama ingin aku beli itu. Namun, tetap tidak kutemukan meskipun sudah berkali-kali
mencarinya.
“Nih.” Tiba-tiba tangan Kak Tristan menyodorkan sebuah buku yang sejak tadi aku
cari-cari. Dengan wajah berseri-seri aku menerima buku tersebut dari tangan Kak Tristan.
“Tinggal satu, itu juga udah dibuka plastiknya,” lanjutnya.
“Nggak apa-apa deh, yang penting masih kebagian. Makasih, Kak.”
Kak Tristan mengangguk. Aku menggenggam erat seakan buku itu adalah barang
yang sangat berharga, sampai tanganku merasakan ada bagian yang aneh di dalam buku, pada
tengah-tengahnya tampak terganjal oleh sesuatu. Aku membuka pada bagian itu, wajahku
terbelalak ketika aku mendapati sebuah cincin berada di dalamnya.
Sementara itu dari speaker, sebuah lagu dari Sheila on 7 dengan tiba-tiba mengalun,
menggema di setiap sudut toko buku.
Sadarkah kau kusayangi, sadar kau untukmu kubernyanyi
Terbacakah niat tulus ini, degup jantung kian terbisik
Kadang kata tak berarti, kalau hanya kan sakiti
Diam bukanlah tak ingin, degup jantung kian terbisik
86
Tanda cinta yang bersemi
“Kok ada cincinnya, ya?” Aku bertanya heran kepada Kak Tristan yang juga terlihat
heran.
“Iya, ya, dari mana cincin itu?” Kak Tristan justru balik bertanya.
“Mungkin punya salah satu karyawan di sini, Kak. Biar aku kembalikan.” Aku
hendak melangkah, tapi tangan Kak Tristan langsung menggenggam pergelanganku,
menghentikan langkahku.
“Cincin itu buat kamu, Disya,” ujar Kak Tristan dengan bersungguh-sungguh.
“Maksudnya?”
“Aku sayang sama kamu, aku ingin kamu jadi pacarku. Kalau kamu bersedia,
pakailah cincin itu,”
Aku yang kan mencintaimu, aku yang kan s’lalu mendampingimu
Bila bahagia yang akan kau tuju
Bila butuh cahaya tuk menemanimu
Pilihlah aku
Suara merdu Duta masih terdengar dari speaker di toko buku, menjadi latar dari
mulutku yang terdiam, bungkam. Aku melihat ketulusan dari mata Kak Tristan sewaktu
mengucapkannya, aku bisa merasakan keseriusan. Wajahku mungkin telah memerah
sekarang, benar-benar tidak menduganya.
“Bagaimana, Disya?”
Aku mengembalikan cincin itu kepada Kak Tristan, membuatnya tampak terkejut.
Wajahnya terlihat kecewa sekarang.
“Pakaikan cincin itu di jari manisku, Kak. Aku mau jadi pacarmu.”
Senyum mengembang pada bibirnya sekarang, tanpa ragu dia memasang cincin itu di
jari manisku. Cincin pemberian Kak Tristan begitu indah, aku menyukainya. Serta
kebahagiaan yang kurasakan sekarang, senyum yang kulihat dari bibir Kak Tristan. Saat ini,
kami bergandengan menuju pintu keluar toko setelah sebelumnya membayar buku.
Jangan sempatkan berlalu, kalau karyaku yang kau tunggu
Jangan hanya aku yang tahu, aku cinta padamu
Mohon warnai jiwaku Pilihlah Aku
Sheila On 7
87
Maukah hidup bersamaku
MEMILIHMU
Percayakan Perasaanmu Padaku, akan Kujaga Semampuku
“Aku jadian sama Kak Tristan.”
Pengakuan Disya yang disertai dengan wajah berseri-seri itu cukup untuk
menghilangkan semangatku mengikuti pelajaran hari ini. Aku harus tetap tersenyum
meskipun ada pilu yang tiba-tiba terasa.
“Selamat, ya.”
“Iya, Rayhan, terima kasih. Kamu ikut bahagia, kan?”
“Tentu saja aku bahagia karena aku tidak perlu khawatir akan terus-terusan dibuat
repot olehmu. Sudah ada Tristan sekarang.”
Jam pelajaran sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu, tetapi belum ada tanda-tanda
kedatangan Pak Daryono, guru Sejarah yang akan mengajar pada jam pertama di kelas kami.
Dasar, coba saja murid yang terlambat seperti itu, pasti sudah mendapat ceramah dan
wejangan yang dapat membuat telinga memerah.
“Kak Tristan menyatakan cintanya dengan cara yang romantis, menurutku,” Disya
masih terus mengucapkan kalimat yang semakin membuyarkan semangatku.
Aku berdiri, mengeluarkan kedua kaki keluar dari sela-sela antara bangku dan meja.
“Mau ke mana? Ceritaku belum selesai, Rayhan.”
88
“Keluar sebentar, Pak Daryono juga nggak datang-datang.”
Kulangkahkan kaki keluar kelas, berjalan di lorong sekolah yang sepi, lalu menuruni
anak tangga yang juga tidak ada orang selain aku. Suara-suara guru terdengar dari dalam
kelas sedang menerangkan materi pelajaran kepada siswa. Aku masih melangkahkan kaki
menuju UKS, tiduran di ruangan itu pasti bukan ide yang buruk sekarang.
Namun, langkahku berhenti sebelum aku sampai, kedua mataku menangkap sosok
Popi yang tampak asyik menikmati siomay di kantin. Pakaian olahraga menggantikan
seragam pramuka yang wajib dipakai pada hari Jumat dan Sabtu. Aku mengurungkan niat
menuju UKS, lebih memilih untuk mendekati Popi yang langsung sadar dengan kehadiranku.
“Kok di sini?” Popi langsung menyambutku dengan mengajukan pertanyaan itu, aku
duduk di seberang meja. Berhadapan dengannya.
“Pelajaran kosong, tadinya mau ke UKS buat tiduran. Eh, malah ketemu kamu,”
jawabku seraya merebut sendok dari tangan Popi, lalu menyuapkan satu potong siomay ke
mulutku.
“Kamu sendiri, kenapa ada di sini?”
Popi menenggak air mineral dari botol, dia mengelap sudut bibirnya yang sedikit
basah dengan punggung tangan, “Olahraganya renang. Aku nggak bisa ikut karena ini hari
pertamaku.”
Aku sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengerti dengan apa yang dimaksud
hari pertama oleh Popi. Membuatku tersenyum, Popi mengucapkan itu seakan tanpa beban.
Padahal dia berbicara dengan seorang cowok.
“Kamu udah lama di sini sendirian?”
“Lumayan, cukup untuk menghabiskan satu porsi siomay. Itu seharusnya porsi
keduaku,” jawab Popi sambil menunjuk piring siomay yang kini beralih di bawah
kekuasaanku.
Aku sedikit tersedak, beruntung Popi buru-buru menyodorkan botol air mineral yang
sejak tadi berada dalam genggaman tangannya. Aku langsung menenggak air mineral itu
sampai habis.
“Gila kamu, makan siomay sampai 2 porsi?” Aku berdecak heran.
“Satu setengah, karena yang setengah lagi sedang kamu makan.” Ralat Popi sambil
tersenyum simpul. Dia masih menatapku yang kembali asyik melahap siomay sisa miliknya.
“Kenapa?”
“Wajahmu tidak tampan, tetapi juga tidak membosankan,”
89
Tawa meledak begitu saja ketika aku mendengar penilaian jujur tentangku dari Popi.
Gadis ini benar-benar jujur, atau polos sebenarnya? Dia selalu mengatakan begitu saja apa
yang ada dalam pikirannya, tanpa berpikir bagaimana reaksi dari orang yang diajak bicara.
Beruntung aku sudah cukup hafal sifatnya itu.
“Wajahmu menyebalkan,” aku membalas omongan Popi dengan bercanda.
Gadis itu langsung menjulurkan lidah dilanjut dengan memasang wajah cemberut.
Membuat tawa dari bibirku semakin renyah terdengar. Ah, lupakan saja tentang hubungan
Disya dengan Tristan. Bersama Popi aku juga bisa merasa nyaman.
“Eh, nanti aku antar pulang, ya. Mau?”
Popi mengangguk cepat, senyumnya semakin lebar terlihat.
“Kamu mau jadi pacar aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Sementara di hadapanku, Popi terlihat sedang mencoba percaya dengan apa yang baru
saja dia dengar. Wajahnya menunjukkan itu. Sudah telanjur, aku tidak akan menarik kata-
kataku lagi.
Kami baru saja sampai di depan gerbang rumahnya.
“Kamu serius?”
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Popi, “Aku nyaman saat di
dekatmu, aku bisa tertawa, aku bisa tersenyum, dan aku yakin aku bisa bahagia bersamamu.”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tampak sedang menimbang. Aku tersenyum,
menunggu dengan sabar. Kami sedang berada di depan pintu gerbang rumah gadis ini, aku
baru saja mengantarnya pulang.
“Iya, aku mau,” jawab Popi akhirnya.
Kulihat wajahnya yang berseri-seri, aku tahu dia bahagia sekarang. Kedua matanya
berbinar, semakin menambah keindahan yang memang sudah ada. Popi cantik, aku
mengakuinya, hanya saja perasaan ini belum sepenuhnya bisa aku berikan kepada Popi.
Masih ada tempat dalam hatiku untuk, Disya.
“Makasih ya, udah ngasih aku kesempatan.” Aku meraih kedua tangan mungil Popi
ke dalam genggamanku, kuberikan senyum untuk meyakinkannya.
Popi meraih wajahku, mengusapnya dengan lembut beberapa kali. Membuatku
sempat merasakan kenyamanan yang belum pernah kurasakan, aku menikmatinya.
“Aku sayang sama kamu,” ujarnya dengan lirih, membuat rasa bersalah langsung
memenuhi hatiku dengan seketika.
90
“Begitu juga denganku, Popi. Aku menyayangimu.” Meskipun tidak sepenuh hati,
tapi aku berharap ucapanku barusan akan menjadi kenyataan suatu saat nanti. Semoga.
“Ya udah, aku pulang dulu. Udah sore.”
Popi mengangguk, dia memberikan senyumnya yang selalu membuat aku betah untuk
menatapnya lama-lama. Kulajukan sepeda motor untuk meninggalkan Popi di depan pintu
gerbang rumahnya. Ada perasaan menyesal yang tiba-tiba menghampiri, apakah benar yang
aku lakukan? Atau, ini hanya pelarianku saja karena Disya lebih dulu berpacaran dengan
Tristan?
Aku menyatakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kukatakan, sesuatu yang belum
benar-benar aku rasakan kehadirannya. Belum ada cinta untuk Popi, hanya sekadar perasaan
nyaman. Itu saja, tidak lebih. Dan sekarang semua sudah telanjur. Aku tidak akan sampai hati
untuk menyakiti hati gadis yang baru saja aku antar pulang itu. Aku tidak sejahat itu.
Hati dan pikiranku berkecamuk memikirkannya. Sekarang aku sudah berpacaran
dengan Popi. Roda-roda sepeda motorku terus berputar, mengantarku menyusuri jalanan
aspal menuju rumah dengan membawa berbagai pertanyaan yang tidak bisa kutemukan
jawabannya. Aku mendesah pelan, membuang semua beban yang sekarang memenuhi hati.
Popi, aku harap aku tidak akan pernah menyakitimu.
91
RAHASIA TRISTAN
Sesuatu yang Mengecewakan Terjadi Sekali Lagi dalam Hidupku
Hari Minggu siang, tidak seperti biasanya aku habiskan untuk tidur seharian,
kenyataannya sekarang aku sedang sibuk memilih baju yang akan kupakai untuk menghadiri
acara ulang tahun mama Kak Tristan nanti sore. Kemarin Kak Tristan berpesan kepadaku
agar tampil secantik mungkin karena akan menjadikan aku pasangan pestanya nanti. Sudah
banyak gaun yang keluar dari lemari pakaian dan kini tergeletak begitu saja di atas tempat
tidur.
“Masya Allah, Disya. Kenapa sampai berantakan seperti itu?” Mama yang tiba-tiba
muncul dari balik pintu menatapku dengan wajah galaknya, aku hanya tersenyum simpul.
“Mama, bantuin memilih gaun yang cocok untuk dipakai Disya, dong!” Setengah
merajuk kutarik tangan mama untuk ikut memilih baju bersamaku.
“Memangnya kamu mau ke mana? Ini kenapa sampai dikeluarin semua? Pokoknya
Mama nggak mau tahu, nanti kamu harus beresin lagi!”
“Iya, Ma. Nanti Disya beresin lagi. Tapi bantuin Disya dulu sekarang.”
Aku mengambil satu gaun terusan berwana hitam, menempelkan di badanku dan
menunggu mama untuk memberikan penilaian. Wajahku berubah masam ketika mama
menggelengkan kepala. Lalu tanganku kembali meraih satu gaun, kali ini berwarna krem
92
dengan model bordiran melingkari leher. Mama kembali menggeleng, membuatku
menggaruk sisi kening.
“Terserah mama aja, deh.” Aku merasa jengah karena sudah hampir setengah jam
memilih gaun dan belum menemukan yang akan membuatku tampil cantik nanti. Kujatuhkan
pantat di tepi ranjang dengan wajah yang masam.
“Sayang, yang bikin kamu cantik itu bukan gaun yang akan kamu pakai. Itu hanya
sekadar untuk mendukung penampilanmu saja. Yang lebih utama justru kecantikan hati,
bagaimana perilakumu, dan bagaimana caramu memperlakukan orang lain. Itu akan
membuatmu tidak hanya dipandang cantik oleh orang lain, tetapi akan lebih dari itu.”
Aku mendengarkan penuturan mama yang saat ini sedang duduk di sebelahku,
tangannya yang halus membelai rambutku dengan lembut.
“Pakai ini saja, pasti kamu akan terlihat cantik dan anggun.” Mama menyodorkan
sebuah gaun tanpa lengan berwarna putih kepadaku, gaun yang sebelumnya bahkan tidak aku
coba.
Aku menerimanya, lalu menempelkan di badan. Menatap bayanganku pada cermin,
berputar ke kanan dan kiri, sampai akhirnya aku tersenyum puas. Pilihan mama benar-benar
tepat untukku.
“Makasih, Mama.” Aku memeluk wanita yang selalu memberikan kasih sayangnya
kepadaku itu. Kukecup kedua pipi dan keningnya.
“Ya udah, ayo diberesin lagi! Masukin ke lemari!” Perintah mama seraya memungut
beberapa baju-baju yang berserakan di atas tempat tidur. Aku melakukan hal serupa seperti
beliau.
“Mama jarang lihat kamu pulang sekolah bareng Rayhan sekarang?”
Aku memasukkan baju yang sudah kurapikan ke dalam lemari. “Iya, Ma. Beberapa
minggu ini memang Disya lebih sering pulang bareng temen Disya yang kemarin Disya
kenalkan ke mama itu. Rayhan juga sering ada acara sendiri.”
“Kalian lagi nggak berantem, kan?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mama, “Nggak, Mama, aku sama Rayhan lagi
nggak berantem kok.”
Aku melihat Mama seakan tersenyum lega, “Syukurlah kalau begitu.”
“Emang kenapa sih, Ma?”
Mama mengulurkan baju yang sudah dilipat rapi kepadaku, aku menyambutnya dan
memasukkan ke dalam lemari yang tingginya sedikit di atasku itu.
93
“Nggak apa-apa. Kalian kan sudah berteman sejak kecil, ke mana-mana selalu bareng.
Jadinya ya Mama sempat heran waktu Mama lihat kalian jarang menghabiskan waktu
bersama lagi.”
Mama memang benar, dulu aku dan Rayhan hampir setiap detik menghabiskan waktu
bersama-sama. Mengerjakan pekerjaan rumah, bermain di belakang rumahnya, bersepeda
keliling kompleks, atau hanya untuk sekadar mengobrol melalui telepon kaleng. Aku melirik
kaleng yang sudah beberapa hari ini tidak kusentuh, sudah cukup lama sepertinya aku dan
Rayhan tidak melakukan kegiatan yang sudah kami lakukan sejak kecil itu.
Pyuh, aku mendesah pelan saat kurasakan ada jarak yang tercipta antara aku dan
sahabatku itu. Seakan tercipta tembok tinggi di antara kami berdua sekarang. Tembok tinggi
yang tidak terlihat, tapi menjauhkan aku dengan Rayhan.
Tepat pukul 4 sore, Kak Tristan menjemputku menggunakan Toyota Rush putih
miliknya. Aku yang sudah siap sejak lima belas menit yang lalu berpamitan kepada papa dan
mama yang saat itu sedang menonton televisi berdua. Kak Tristan membuka pintu mobil
untukku, aku mengembangkan senyum untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Kamu terlihat anggun sekali dengan gaun itu, Disya. Aku yakin nanti kamu akan
menjadi pusat perhatian di pesta.”
Pujian yang diberikan Kak Tristan sontak membuat wajahku berubah merah. Bibirku
menampakkan senyum malu-malu.
“Belum apa-apa udah mulai gombal.” Balasku, mencoba untuk menutupi perasaan
hatiku yang saat ini sudah bersayap, bersiap untuk terbang ke awang-awang.
Kak Tristan tertawa pelan, “Aku serius, kamu memang terlihat lebih cantik hari ini.
Bikin betah yang memandang.”
Cowok ini memang pintar sekali membuatku merasa tersanjung. Aku memukul
lengannya pelan. Kami tertawa di dalam mobil yang membawaku dan Kak Tristan menuju
rumahnya.
“Kak Tristan juga keren kok.” Aku memberikan pujian jujur kepadanya yang saat itu
mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Rambutnya yang selalu ditata rapi juga tidak
ketinggalan menunjang penampilan cowok itu. Dan bulu-bulu tipis yang tumbuh di atas bibir
dan di bawah dagu, semakin membuat aura laki-lakinya semakin terpancar.
94
“Kalau begitu, kita serasi dong?” Mungkin Kak Tristan hanya bermaksud bercanda
saat mengucapkan kalimat itu, buktinya dia tertawa renyah saat ini. Membuatku juga ikut
tertawa.
Kami berdua sampai di halaman rumah Kak Tristan yang sudah ramai oleh orang-
orang yang pasti diundang oleh mamanya untuk datang ke pesta. Beberapa dari wajah-wajah
itu pernah kulihat di sekolah. Mereka menatapku dengan berbagai ekspresi, membuatku
sedikit tidak nyaman. Aku hanya mengenal Kak Tristan di tempat ini, yang sekarang sibuk
berbincang dengan tamu-tamu pestanya.
Kak Tristan menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
“Kenalin, ini Mama dan Papaku.”
Aku memberikan senyum kepada orangtua Kak Tristan yang saat ini mengenakan
pakaian yang menurutku pasti sangat mewah dan mahal. Mereka menyambutku dengan
hangat, mencium kedua pipiku dengan lembut.
“Selamat ulang tahun, Tante,” ucapku seraya mencium kedua pipi wanita itu sekali
lagi.
“Terima kasih. Cantik sekali kamu, Disya.” Lagi-lagi aku mendengar pujian untukku.
Kali ini keluar dari bibir Tante Selly, Mama Kak Tristan. Om Herman tampak mengangguk
setuju dengan pendapat istrinya.
“Terima kasih, Tante. Tante juga cantik.”
“Ya sudah, ayo langsung dimulai saja acaranya. Sepertinya tamu undangan sudah
datang semua,” Komando Om Herman beberapa detik kemudian. Membuat kami
menurutinya dan melangkah menuju kerumunan tamu.
Om Herman masih memberikan sambutan ketika kulihat wajah Kak Tristan yang
kembali memucat. Bibirnya gemetar, cowok itu terlihat sedang menahan sakit yang luar biasa
sekarang. Berkali-kali mataku menangkap Kak Tristan meremas dengan kuat jemari-jemari
tangannya sendiri. Ada apa dengannya? Aku mulai khawatir dengan kondisinya.
Perlahan, Kak Tristan mulai keluar dari kerumunan tamu untuk meninggalkan pesta
yang belum dimulai. Mataku terus mengikuti arah langkah kaki Kak Tristan yang terlihat
sangat buru-buru. Setelah beberapa detik meragu, aku memutuskan untuk mengikutinya
secara diam-diam. Sampai dia berhenti di sudut rumahnya yang sepi. Mata itu terlihat
memandang sekitar dengan gelisah. Aku masih mengamati dari balik dinding,
menyembunyikan kehadiranku darinya.
Sekarang kulihat Kak Tristan sedang mengikatkan seutas tali ke tangan kirinya, lalu
dia menusukkan jarum suntik. Aku sangat terkejut melihat apa yang sedang dilakukan oleh
95
Kak Tristan di depan mataku. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja. Aku
membungkam mulutku sendiri, dan berlari meninggalkan tempat itu. Meninggalkan laki-laki
yang saat ini mungkin sedang menikmati pengaruh yang dia rasakan setelah menyuntikkan
cairan haram itu ke tubuhnya sendiri. Rasa kecewa yang begitu besar membuatku tidak ingin
melihatnya dalam kondisi seperti itu.
Aku kembali membaur dengan tamu undangan yang lain, serta merta kuhapus air
mata di pipiku. Bersikap seolah-olah tidak pernah melihat apa-apa. Tante Selly berjalan
menghampiriku. Kupaksakan senyum untuk menyambutnya.
“Tristan ke mana, ya? Kok malah ngilang.”
Aku berpura-pura mengedarkan mataku untuk mencari Kak Tristan di antara tamu,
sedetik kemudian kepalaku menggeleng. “Disya nggak tahu, Tante. Mungkin lagi ke kamar
kecil.” Aku terpaksa berbohong.
“Gimana sih, acara baru dimulai kok malah ngilang? Dasar Tristan.”
Aku hanya membisu, sekuat tenaga menahan perasaan kecewa yang benar-benar
menghancurkan. Kenyataan yang baru saja terlihat memberikan jawaban untuk pertanyaanku
selama ini. Alasan kenapa wajah Tristan terlihat pucat, tangannya selalu gemetar dan sorot
matanya yang sayu.
“Nah, itu dia!” Tante Selly menunjuk ke satu arah, Kak Tristan berjalan mendekati
kami dengan sedikit sempoyongan.
“Dari mana sih, Sayang? Mama cari dari tadi.”
Senyum tipis tercipta dari bibir pucat Kak Tristan. Dia mengulurkan sebuah kotak
kecil dalam genggaman tangannya yang sejak tadi tersembunyi di balik punggung, “Selamat
ulang tahun, Ma,” tuturnya seraya membuka kotak itu.
Sebuah kalung berlian yang terlihat berkilau indah, dan Kak Tristan
mengalungkannya di leher Tante Selly. Kedua mata wanita tua itu berbinar-binar sekarang.
Aku masih menyaksikan kejadian itu dalam diam. Menatap Kak Tristan dengan rasa tidak
percaya akan apa yang sudah aku lihat beberapa menit lalu.
“Terima kasih, Tristan,” Tante Selly tampak sangat bahagia. Kemudian dia mencium
kening dan pipi anaknya berkali-kali.
“Ya sudah, Mama nemenin tamu yang lain dulu, ya.” Tante Selly meninggalkan aku
hanya berdua dengan Kak Tristan.
“Something wrong?”
96
Aku tidak menunjukkan ekspresi apa pun saat mendengar pertanyaan itu, mataku
masih memandang tajam laki-laki yang kini sedang menatapku dengan keningnya yang
berkerut. Rasa kecewa masih begitu besar bersarang di dalam hatiku.
“Aku mau pulang!”
Kak Tristan terlihat tercengang mendengar permintaanku, dia menatap dengan
pandangan tidak percaya.
“Kenapa, Disya? Apa yang terjadi?”
“Aku bilang aku mau pulang! Sekarang!” Mataku yang mulai memanas menatap
tajam ke arah Kak Tristan. Aku melepas cincin dari jari manisku dan melemparkan ke
arahnya.
Di tempatnya, Kak Tristan mematung dengan wajah yang menunjukkan kebingungan.
Aku mendesah, lalu membawa langkahku menuju pintu rumah.
“Tunggu, Disya. Oke kamu pulang, tapi aku anterin, ya.”
“Nggak! Aku nggak mau di anterin sama orang yang abis make!” Suaraku tertahan,
emosi benar-benar telah menguasaiku.
Wajahnya menunjukkan raut panik sekarang, “Kamu?”
“Iya, aku melihat apa yang kamu lakukan di belakang tadi. Aku kecewa sama kamu!
Bener-bener nggak nyangka!” Kulangkahkan kaki secepat mungkin, aku ingin segera
meninggalkan tempat ini. Sebelum air mataku mengalir tanpa bisa kubendung.
“Disya, aku minta maaf. Aku mohon dengerin penjelasanku dulu,” Kak Tristan
menarik tanganku menuju sisi lain rumah. Menghindarkan kami dari pandangan tamu-tamu
pesta.
“Apalagi, Tristan?” Pasti mataku sudah mulai basah sekarang.
“Aku mohon jangan marah sama aku.”
Senyum sinis kuberikan kepadanya. “Marah? Siapa yang marah kepadamu, mana
berhak aku marah. Itu hidupmu, sama sekali bukan urusanku, kan?”
“Lantas kenapa kamu bersikap seperti ini?”
Aku diam, tidak berminat menjawab pertanyaan itu. Kak Tristan duduk pada kursi
kayu bercat putih, wajahnya tertunduk lesu. Dia seperti menunjukkan rasa penyesalan yang
luar biasa dalam. Berkali-kali kudengar desahan napasnya yang berat.
“Orang yang kamu kenal di dalam itu, bukan Papa kandungku. Dia menikahi mama 3
tahun yang lalu setelah mama resmi bercerai dengan Papa kandungku. Aku menjadi pecandu
sejak Papa dan Mama bertengkar setiap hari, membuatku jenuh. Sampai akhirnya aku lari ke
barang itu.”
97
Kulihat matanya berkaca-kaca. Refleks kulemparkan pandanganku ke arah lain,
emosiku sedang tidak ingin mengasihinya.
“Aku terjebak dalam dunia hitam sejak keluargaku berantakan.”
“Itu bukan sebuah alasan. Dan memang nggak pernah ada alasan untuk membenarkan
perbuatanmu,” aku berbicara tanpa menatap lawan bicaraku. Rasa enggan untuk menatapnya
masih menyelimuti hati.
Kudengar Kak Tristan mendesah dengan cukup berat, “Aku tahu, Disya. Aku tahu
banget kalau apa yang aku lakukan itu salah. Hanya saja aku merasakan sakit yang luar biasa
setiap kali mencoba untuk berhenti, aku tersiksa, Disya…” Cowok itu meninju papan
sandaran kursi dengan cukup keras.
“Kalau bisa berhenti, aku ingin sekali berhenti. Tetapi mana bisa kalau aku berusaha
sendiri?”
Hatiku luluh mendengar pengakuannya, aku meletakkan pantatku di sebelahnya.
Mungkin cowok ini justru merasa sangat menderita, aku jahat kalau meninggalkannya
seorang diri sekarang.
“Kalau kamu memang benar-benar ingin berhenti, segera lakukan. Jangan cuma
punya niat tanpa berusaha melakukan apa pun. Dan kalau kamu merasa sendiri, kamu salah
besar, Tristan. Apa kamu tidak menganggap Mama kamu ada? Papa kandung kamu, Papa tiri
kamu, teman-teman kamu. Aku yakin mereka tidak akan meninggalkan kamu selama niat
kamu memang ingin berhenti mengonsumsi barang haram itu.”
Pelan-pelan aku menggenggam jemari Kak Tristan. “Mumpung belum terlambat,
jangan menunggu sampai sesuatu yang buruk terjadi denganmu.” Senyum tulus ini kuberikan
kepadanya. Dengan harapan bisa menyalurkan kekuatan untuk mendorongnya meninggalkan
barang haram yang mungkin sudah lama dia konsumsi.
“Makasih, Disya. Aku janji sama kamu, akan berhenti jadi pecandu.”
Aku menggeleng, “Jangan sama aku, tapi berjanjilah untuk dirimu sendiri. Juga untuk
Mama kamu.” Aku menunjuk dengan mataku ke arah seorang wanita yang sejak tadi
mendengarkan pembicaraanku dan Kak Tristan. Wanita yang saat ini sedang menangis dalam
diamnya.
Kak Tristan tampak terkejut melihat Tante Selly sudah berada di dekatnya. Wajahnya
menunjukkan penyesalan, membuatku juga ikut merasakan kesedihan ketika Kak Tristan
berlari untuk bersimpuh di kaki Tante Selly. Air mataku kubiarkan tetap mengalir, tidak ingin
aku mencegahnya membasahi pipiku.
98
Tante Selly mengangkat tubuh Kak Tristan yang masih bersimpuh, menyuruhnya
berdiri, lalu memeluknya dengan sangat erat. Aku bisa merasakan kasih sayang yang besar
dari Tante Selly untuk putranya itu. Perasaan lega menyentuh dinding hatiku sekarang.
Berusahalah, Tristan.
MENCINTA
Aku Sudah Memberikan Sepenuhnya kepada Popi
Sejak itu, aku tidak pernah lagi melihat wajah Kak Tristan di sekolah, banyak yang
mengatakan kalau dia dan keluarganya pindah ke luar kota. Namun, aku tahu persis di mana
Kak Tristan berada sekarang. Aku adalah satu-satunya orang luar yang ikut mendengarkan
rencana keluarga mereka setelah mengetahui Kak Tristan pecandu narkoba. Tante Selly dan
Om Herman langsung berinisiatif untuk memasukkan Kak Tristan ke tempat rehabilitasi.
Aku adalah orang yang cukup menyayangkan kepergiannya, sebab sebentar lagi Kak
Tristan harus menghadapi Ujian Nasional. Seharusnya sekarang dia sedang mempersiapkan
diri untuk itu. Namun, yang dilakukan oleh Tante Selly juga tepat, ini semua demi kebaikan
Kak Tristan sendiri.
Pyuh, aku menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan.
Rayhan juga berkata kalau dia sudah jadian dengan Popi, tidak ada perasaan lain
selain aku ikut bahagia mengetahuinya. Akhirnya, sahabatku itu bisa juga pacaran. Aku
penasaran bagaimana Rayhan menjalani kisah cintanya. Mungkin akan sangat konyol. Dalam
bayanganku pasti dia akan terus-terusan mengeluh karena merasa direpotkan oleh Popi,
seperti yang selalu dia lakukan kepadaku.
Aku kangen Rayhan, entah kenapa sekarang perasaan itu menyeruak begitu saja
mengiringi setiap detak jantungku. Aku merindukan laki-laki itu, laki-laki yang sekarang
telah bahagia bersama orang lain.
99
Aku telah memutuskan untuk tidak pernah mengungkapkan perasaan ini kepadanya,
walaupun sebenarnya aku begitu merindukannya. Aku takut Rayhan akan menjauhiku jika
aku mengatakan yang sebenarnya.
“Hei, ngelamun aja? Mikirin apa sih?” Rayhan mengejutkanku.
Laki-laki ini ada di sebelahku sejak tadi, tetapi entah kenapa tetap tidak dapat
menghilangkan rasa rinduku. Justru membuatku semakin resah.
“Enggak apa-apa, aku hanya masih penasaran bagaimana caramu pacaran
dengan Popi,” kupilih topik itu untuk menyembunyikan yang sebenarnya.
Ku dengar Rayhan mendesis, “Issh, apa menurutmu aku sangat payah dalam
hal asmara?”
“Memang, dan aku tahu kamu itu kaku kalau ada di depan cewek.” Jawabkau
sambil tersenyum usil.
“Kamu cuma belum pernah lihat aku deket sama cewek aja, makannya
pikiranmu seperti itu. Oke lah, ini emang pengalaman pertamaku pacaran tapi jangan
lantas meremehkanku.” Rayhan mengangkat satu alisnya.
Aku tertawa sembari mengacak-acak rambut cowok beralis tebal itu.
“Disya,” Rayhan membuatku mengehentikan tawa. Tatapannya seperti akan
berkata tentang sesuatu yang penting.
“Ya?”
“Eum, tentang kak Tristan, kenapa tiba-tiba dia pindah keluar kota?”
Aku tersenyum untuk menutupi rasa canggungku, “Orang tuanya harus pindah
kantor. Makannya dia juga ikutan pindah.”
“Mendadak sekali, padahal sebentar lagi dia kan ujian. Kenapa dia tidak tinggal
disini sebentar lagi, setidaknya sampai ujian selesei.”
“Mana kutahu, Rayhan. Itu keputusan keluarganya, aku tidak bisa ikut
mengatur.”
“Hubungan kalian?”
Aku menghela napas cukup dalam sebelum menjawab pertanyaan Rayhan, “Ini
pertanyaan terakhir. Aku harap setelah ini tidak ada pertanyaan lagi tentang dia,
oke?”
“Baiklah, aku setuju.” Rayhan mengangguk.
“Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan, yah, bagaimanapun ini
sulit namun tidak ada pilihan lain.”
“Tapi,”
100
“Sudah tidak ada pertanyaan, begitu perjanjiannya.” Aku memotong kalimat
Rayhan sebelum dia bertanya lebih jauh lagi.
Rayhan menggaruk lehernya, tersenyum kecut.
Maaf, Rayhan aku terpaksa membohongimu. Kataku dalam hati.
“Kamu nggak sama Popi?” Aku berusaha mengusir kekakuan yang ada.
“Dia lagi disuruh ngumpulin tugas kelasnya di meja guru.”
Aku mengangguk lemah, pandanganku masih menatap siswa-siswa yang masih asyik
bermain basket di lapangan. Mereka terlihat tetap bersemangat, meskipun saat ini matahari
bersinar cukup terik.
“Oh, iya, Rayhan…”
“Ya?”
“Sekarang kan kamu udah pacaran sama Popi. Emm... kalau misalnya kamu mau
antar jemput dia waktu sekolah, nggak apa-apa kok. Aku bisa berangkat sendiri.” Aku
sungguh-sungguh saat mengatakannya.
“Nggak harus gitu, kok. Aku masih bisa berangkat dan pulang bareng sama kamu,
Popi juga biasa pulang sendirian.”
“Rayhan, kamu harus bisa menjaga perasaan pacarmu. Aku nggak enak kalau
misalnya nanti Popi cemburu karena aku masih berangkat dan pulang bareng kamu.
Seharusnya itu menjadi hak dia sebagai pacar seorang Rayhan.” Kupaksakan senyum
melengkung di bibirku.
Rayhan terlihat tidak suka dengan usulku, tetapi memang seperti itu kenyataannya.
Aku dan Popi sama-sama wanita, yang ingin setiap waktunya dihabiskan dengan orang yang
dikasihi.
“Toh kemarin-kemarin juga seperti itu, kan?”
“Iya. Tetapi kemarin masih ada Tristan yang bisa nganterin kamu pulang.”
“Ada atau nggak ada dia, aku masih bisa pulang, Rayhan. Sekarang sudah beda
keadaannya, kamu sudah ada Popi. Nggak enak rasanya kalau masih seperti biasanya.”
“Terserah kamu aja lah.”
Aku tahu Rayhan pasti kecewa dengan permintaanku, sama halnya dengan yang
kurasakan sekarang. Jauh di dalam hatiku sama sekali tidak menginginkan apa yang baru saja
aku katakan benar-benar terjadi. Aku masih ingin Rayhan menungguku saat berangkat dan
pulang sekolah. Jika aku adalah orang yang egois, hal itu akan kulakukan tanpa memikirkan
perasaan Popi.
“Kamu marah?”
101
“Nggak, siapa juga yang marah?”
“Nah itu, wajahnya manyun gitu. Kalau nggak marah, senyum dong.”
Rayhan memaksakan senyumnya, “Nih senyum,” itu membuatku tertawa gemas. Aku
menjitak kepala Rayhan pelan.
Permintaan Disya yang menyuruhku untuk tidak menunggunya saat berangkat dan
pulang sekolah terpaksa aku turuti. Sebagian dari diriku membenarkan apa yang Disya
katakan tadi. Tetapi, sebagian lagi merasa kalau itu akan berat untuk kulakukan, aku tidak
biasa berangkat dan pulang tanpa Disya di belakang boncengan motorku. Meskipun itu sudah
terjadi beberapa kali waktu Tristan masih bersekolah di sini.
Meskipun secara resmi aku memang sudah berpacaran dengan Popi, hati ini
sepenuhnya masih milik Disya. Tidak tergantikan sampai sekarang, oleh Popi sekalipun yang
saat ini adalah kekasihku. Sampai detik ini aku belum benar-benar bisa sepenuhnya mencintai
gadis berkacamata itu.
“Sayang, kok diam aja?” Popi membuyarkan lamunanku. Aku dan dia sedang
berhenti di sebuah kafe di daerah Unsoed.
“Eh, nggak apa-apa. Enak nggak minumannya?” Buru-buru kuajukan pertanyaan agar
Popi tidak curiga kepadaku.
“Enak kok, butter-nya kerasa banget. Manisnya juga pas.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Popi, “Dulu aku dan Disya sering mampir ke sini
habis pulang sekolah,” ucapku tanpa beban.
Popi sempat melirik sebal ke arahku, lagi-lagi aku mengutuk kebodohanku yang tidak
bisa menahan untuk membicarakan Disya di depan Popi. Meskipun jarang ditunjukkan, tetapi
aku tahu kalau gadis ini pasti merasa cemburu jika aku mulai membicarakan tentang Disya.
Aku tidak sengaja, semua keluar begitu saja dari mulutku.
“Eh, sebentar lagi Ulangan Akhir Semester, bagaimana kalau kita sering-sering
belajar bareng? Biar belajarnya makin semangat.”
“Yang ada kita lebih banyak pacarannya dari pada belajar. Tapi, ayo aja!” Lagi-lagi
Popi sudah bisa merubah mood-nya.
“Oke, mulai kapan?”
“Lebih cepat lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum manis. Membuatku harus
mengakui kalau senyum itu adalah salah satu yang membuatku memutuskan untuk
menjadikan Popi sebagai kekasih.
102
“Baiklah, bagaimana kalau besok?”
Popi menempelkan ujung jari-jarinya ke pelipis kanannya, “Siap komandan!” Serunya
menirukan gaya hormat.
Aku membelai rambut Popi yang hitam dan sepanjang bahu, kulihat dia begitu
menikmati apa yang sedang kulakukan kepadanya.
Popi... maaf, aku masih berusaha untuk bisa mencintaimu. Berikan aku waktu
sebentar lagi untuk menumbuhkan cinta untukmu.
103
BAB TIGA
Tuhan Selalu Menyiapkan Takdir Cinta yang Indah untuk Semua Manusia
104
KISAH SEMALAM
Semua Perubahan yang Terjadi dalam Hidup Kami
Sudah hampir 5 tahun sejak aku di wisuda oleh universitas tempatku menuntut ilmu.
Kafe milikku di Semarang sudah aku jual untuk modal membuka kafe di Purwokerto. Aku
masih ingin berbisnis di bidang itu, meskipun sempat tidak diizinkan oleh ayah dan ibu.
Mereka ingin aku bekerja di perusahaan ayah. Namun, aku bersikeras, biarlah itu menjadi
bagian Rayhan nanti.
Dan aku harus bersyukur karena usaha itu maju dengan pesat, sudah banyak
pelanggan yang tidak ada habisnya datang setiap hari. Setidaknya aku dapat membuktikan
kepada mereka, bahwa semua usaha ini tidak akan sia-sia. Aku bangga dengan hasil yang aku
dapatkan dari keringatku sendiri.
Banyak yang telah berubah di sekitarku sejak 5 tahun ini. Rayhan, adikku satu-
satunya sudah menjadi seorang mahasiswa semester akhir jurusan Managemen di salah satu
perguruan tinggi di kotaku. Dia sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa dengan setumpuk
kesibukannya sebagai mahasiswa. Terkadang dia juga membantuku bekerja di kafe ketika
mempunyai waktu senggang. Rayhan juga sudah tidak lagi menjadi penyiar radio.
Disya, gadis itu juga sudah menjadi seorang mahasiswi Ekonomi di perguruan tinggi
yang sama seperti Rayhan. Mereka berdua masih tetap menjadi sahabat, meskipun kulihat
sudah tidak sedekat dulu lagi. Aku tidak tahu, ada sesuatu yang membuat Disya menjadi
sedikit menjauh dari Rayhan. Aku sudah sering bertanya kepada keduanya, tetapi mereka
selalu menjawab tidak ada apa-apa di antara mereka.
Mungkin karena sekarang mereka sibuk dengan tugas kuliah mereka masing-masing.
Dan di antara yang tidak berubah, adalah ingatanku tentang Renata. Masih saja aku
terjebak dengan masa laluku. Tidak bisa aku lupakan, meskipun sudah berkali-kali
berpacaran dengan beberapa wanita, tidak ada yang bisa menghilangkan rasa sakit karena
kehilangan sosok Renata.
105
Tidak ada yang bisa membuat rinduku terobati. Tidak ada.
“Ini dipasang di mana, Mas?”
Ridwan, salah seorang karyawan yang aku pekerjakan untuk membantu melayani
pelanggan membuyarkan lamunanku. Dia menunjukkan sebuah poster bergambar pemain-
pemain As Roma, klub bola kesukaanku yang baru aku beli tadi siang.
Aku mengamati dinding-dinding kafe beberapa saat, mencari sudut yang paling bagus
untuk ditempeli poster berukuran besar itu. Kakiku berjalan menuju pintu masuk kafe untuk
semakin memudahkan mengatur sudut pandang, kutopangkan satu tangan di dagu.
“Pasang di situ aja, kayaknya bagus. Jadi setiap tamu yang datang bisa langsung
melihatnya.”
Laki-laki berumur dua puluh lima tahun itu mengangguk dan berjalan menuju tempat
yang aku tunjukkan. Ridwan mulai memakukan gambar itu pada dinding tepat menghadap
pintu masuk, kedua tanganku memegang salah satu sisi poster agar dia tidak mengalami
kesulitan ketika memasangnya. Aku mundur beberapa langkah ketika Ridwan selesai,
senyum puas mengembang di bibirku.
“Apa saya bilang, perfect!” Aku mengacungkan dua jempol ke arah Ridwan yang
juga sedang tersenyum puas.
“Buka kafe sekarang, Mas?”
Aku melihat jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul 3 lebih
15 menit. Sudah terlambat 15 menit rupanya, biasanya aku membuka kafe tepat pukul 3 sore.
Kembali pandanganku menatap Ridwan yang masih menunggu.
“Iya, memang sudah waktunya. Tolong kamu urus ya, saya mau menyelesaikan
catatan kemarin terlebih dahulu.”
Aku berjalan menuju meja tempatku biasa mencatat semua tentang kafe. Mulai dari
pemasukan dan pengeluaran, merekap setiap pesanan, sampai dengan menghitung jumlah gaji
untuk tiga orang karyawan yang bekerja untukku. Ridwan adalah salah satu karyawan, selain
Mona dan Widya. Dua gadis itu belum datang, aku maklum karena mereka adalah mahasiswi
yang bekerja untuk menambah uang saku mereka.
“Selamat sore, Mbak Disya.”
Suara sapaan Ridwan terdengar sampai ke telingaku, membuatku berhenti menulis
dan mengalihkan pandangan. Aku melihat Disya sedang mengobrol dengannya.
“Hai!” Kuputuskan untuk berhenti mencatat dan mendekati mereka.
Disya menoleh dan tersenyum, “Sore, Kak. Kebetulan tadi aku pulang dari rumah
temenku, jadi mampir sekalian aja.”
106
“Kirain sama Rayhan juga.”
“Rayhan masih ada kuliah, mungkin nanti dia juga ke sini. Emmm, ada yang bisa aku
kerjakan nggak, Kak?”
“Eh, nggak usah. Udah beres semuanya kok, tinggal nunggu pelanggan aja.”
“Nggak apa-apa kok, Kak. Dari pada nggak ada kerjaan.” Disya tampak ngotot.
“Emm... ya udah, gimana kalau kamu menggantikan Ridwan menyapu? Dia mau aku
suruh untuk beli gas elpiji.”
“Oke!” Disya membentuk bulatan menggunakan jempol dan telunjuknya. Gadis itu
melangkah riang menuju Ridwan yang masih menyapu lantai. Aku tersenyum memandang
Disya.
Hari ini pelanggan yang datang ke kafe lebih banyak dari biasanya, membuat tiga orang
karyawanku terlihat kerepotan untuk melayani mereka. Sehingga aku berinisiatif untuk
meminta bantuan kepada Rayhan dan Disya yang sekarang juga masih sibuk melayani
pesanan dari pengunjung kafe.
Kedatangan mereka berdua benar-benar membantu kami.
“Capek? Istirahat dulu nggak apa-apa kok,” aku berkata kepada Rayhan yang tampak
kelelahan. Dia menyandarkan punggungnya pada tembok.
“Lumayan, Kak. Malam ini bener-bener ramai banget, Alhamdulillah.”
“Iya, untung kamu bisa bantuin di sini. Makasih, ya.”
“Santai. Tapi bentar lagi aku harus pergi, ada janji soalnya.” Rayhan tampak melihat
jam tangannya.
“Iya, nggak apa-apa. Sudah ada Disya kok.”
“Nanti Disya pulang bareng kakak aja, ya. Aku mau langsung soalnya.”
“Beres. Ya udah, sana berangkat!” Perintahku.
Rayhan menyeka wajahnya yang berkeringat di depan wastafel. Da menghampiri
Disya terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki keluar kafe. Aku kembali melanjutkan
pekerjaanku yang sempat tertunda.
Beberapa kali pengunjung datang dan pergi silih berganti sampai akhirnya semua
orderan telah habis untuk hari ini. Waktu telah menunjukkan pukul 12 malam ketika 3 orang
107
karyawanku membereskan sisa-sisa yang berserakan di meja dan di lantai. Aku masih sibuk
merekap, sementara Disya tampak duduk di salah satu kursi. Rautnya menunjukkan
kelelahan.
Aku tersenyum, lalu bangkit dan berjalan menuju kulkas untuk mencari sesuatu yang
mungkin tersisa untuk membuat minuman. Hanya bubuk mochacino yang kutemukan, tetapi
setidaknya cukup untuk dua cangkir.
“Nih.”
“Makasih.” Sedikit rasa sungkan tertangkap di telingaku, aku mengangguk. Disya
menyeruput pelan minuman yang aku buat.
“Maaf ya udah merepotkan.”
“Santai lagi, Kak.” jawabnya sambil tersenyum.
“Gimana skripsinya?”
“Tinggal menunggu jadwal sidangku keluar, udah nggak sabar rasanya.”
“Wuih, cepat juga ya kamu ngerjain skripsi. Rayhan aja kayaknya baru sampai bab 3
deh.”
“Kebetulan aja dosen pembimbingku mudah, dan lagian tema skripsi yang kuambil
juga termasuk gampang. Jadinya bisa cepat selesai.”
Aku melirik sejenak ke arah tiga orang karyawanku yang sekarang juga terlihat
sedang mengobrol sambil menikmati air mineral.
“Udah malem, pulang yuk!”
Disya mengangguk untuk menerima ajakanku. Aku mengambil alih cangkir dari
tangannya, lalu meletakan begitu saja di meja dapur.
“Udah beres semua?”
“Sudah, Mas,” Ridwan yang menjawab pertanyaanku.
“Kalau gitu yuk kita pulang! Ridwan, bantu aku menutup gerbang nanti. Kalian
berdua pulang duluan aja, itu jemputannya udah pada datang.”
Mona dan Widya tersenyum. Jemputan yang aku maksud adalah pacar mereka
masing-masing yang selalu datang untuk menjemput ketika kafe sudah akan tutup. Terkadang
hal itu membuatku takjub, setia sekali pacar mereka sampai mau menjemput dan menunggu
mereka.
“Sudah semua, Mas. Saya pulang dulu.” Ridwan menyusul Mona dan Widya yang
telah terlebih dahulu pulang bersama pacar mereka masing-masing.
“Iya, makasih, ya.”
108
Aku dan Disya keluar paling terakhir dari dalam kafe, kami berjalan menuju mobil
setelah aku mengunci gembok gerbang. Kulajukan mobil menembus malam yang masih
cukup ramai oleh muda-mudi yang sedang menghabiskan malam dengan berkumpul bersama
teman-temannya.
Aku melirik Disya yang tampak sedang memejamkan mata, mungkin dia merasa
begitu lelah setelah membantuku melayani pelanggan yang memang cukup banyak hari ini.
Disya mengembuskan napasnya dengan cukup keras sampai aku bisa mendengarnya.
“Capek juga ternyata ya, Kak. Bagaimana sama Ridwan, Mona, dan Widya yang
setiap malam melayani tamu.”
“Nyari duit emang capek kok, tapi semua capek yang dirasakan itu bakalan hilang
setelah kita mendapatkan hasilnya. Pas udah bisa mendapatkan sesuatu dengan usaha kita
sendiri, itu rasanya puas banget. Lupa sama capeknya.”
“Iya, Kak. Semoga nanti aku bisa langsung dapet kerja setelah wisuda,”
“Lho, nggak mau ngelanjutin lagi? Rayhan aja mau lanjutin S2 katanya.”
Disya menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil, “Kalaupun mau sekolah lagi
aku ingin pakai uangku sendiri, Kak. Biar nggak ngerepotin orangtua terus.”
“Mulia sekali niatmu, semoga bisa keturutan.”
Disya tertawa kecil, “Itu sekadar impian aja kok, tergantung nanti bagaimana.
Biasanya kalau orang yang sudah bisa mendapat penghasilan dari usahanya sendiri jadi
ngerasa keenakan, terus akhirnya nggak ingat lagi niatnya mau ngelanjutin pendidikan. Kak
Sakti juga gitu, kan?”
Aku tersenyum, “Iya sih memang. Aku jadi merasa sudah cukup nyaman dengan
usahaku sekarang.”
“Nah, makannya itu.”
“Kalau gitu, nikah dulu aja.”
“Belum ada calonnya, Kak,” Disya mengambil jeda tawa untuk menanggapi
candaanku.
“Bagaimana kalau sama Kakak?” Aku masih ingin bercanda untuk menghilangkan
rasa lelah yang mendera kami berdua. Tawa kami semakin keras.
“Bercanda aja nih, Kak Sakti.”
“Kalau serius bagaimana?” Mataku lekat-lekat memandang gadis di sebelahku itu.
Disya terdiam mendengar pertanyaanku, tawanya berhenti begitu saja. Pandangannya
menatap tajam, membuatku tidak tahan lagi menahan tawa yang kini meledak di dalam
mobil.
109
“Bercanda kok, Disya.”
Gadis itu tersenyum kecut, “Padahal aku berharap tadi itu serius.”
Sekarang tawaku yang menghilang begitu saja, aku terkejut mendengar pernyataan
bernada kecewa yang diucapkan oleh Disya. Salah tingkah, itulah yang kualami saat ini.
“Satu… Satu....” Disya tertawa riang di tempatnya. Tawanya terdengar begitu puas
karena berhasil membalas candaanku.
OBROLAN TENTANG CINTA
Semua Memang Tidak Bisa Ditebak
Selesai bimbingan aku mampir ke kafe Kak Sakti untuk sekadar duduk beristirahat,
sambil menikmati kopi. Atau jika ada pekerjaan yang mungkin bisa kubantu, aku akan
membantu. Tetapi hari ini rasanya cukup membuatku lelah juga.
Menjadi mahasiswa semester akhir memang butuh perjuangan. Ketika harus seharian
menunggu dosen yang sebenarnya telah membuat janji untuk melaksanakan bimbingan pada
pagi hari. Nyatanya baru bisa terlaksana sore harinya, itu juga setelah aku mengejarnya di
lorong kampus. Jika tidak, sudah dipastikan tidak ada bimbingan lagi hari ini.
“Suntuk banget wajahmu, nggak ketemu dosen lagi? Sabar, Kakak juga dulu seperti
itu waktu skripsi.”
Kak Sakti duduk di hadapanku sambil membawa dua cangkir kopi yang masih
mengepulkan asap.
“Ketemu kok, Kak. Tadi udah sempet bimbingan juga,” jawabku sambil menyesap
sedikit kopi pada tepian cangkir.
“Nah, kok masih cemberut gitu. Banyak revisiannya?”
“Nggak juga, cuma agak capek nunggu dosen dari pagi baru ketemu sore tadi.”
“Terus skripsinya?”
Aku tersenyum sekarang. Sambil meraih rokok dari dalam tas, dan menyalakannya.
Sejenak aku mengambil jeda untuk menjawab pertanyaan Kak Sakti yang tampak sedang
menunggu.
“Alhamdulillah, udah ditandatangani, Kak. Minggu depan mungkin aku sidang.”
Sekarang, kulihat Kak Sakti yang tersenyum, menggelengkan kepala, kemudian
tertawa dengan cukup keras. Beruntung belum ada pelanggan yang datang ke kafe ini.
110
“Sudah di-acc kok masih ditekuk gitu wajahnya? Harusnya senang, dong.”
“Ya senang lah, Kak. Tapi ya masih tetep ngerasa capek juga hari ini.”
Kak Sakti mengambil satu batang rokok dan menyalakannya.
“Selamat ya, Rayhan. Semoga kamu sukses menghadapi dosen-dosenmu itu di sidang
nanti. Nggak perlu grogi, anggap saja ujian semester biasa.”
Saran yang asal, seperti biasa yang diucapkan oleh kakakku ini ketika memberikan
saran, atau kepada siapa pun. Dia seperti tidak pernah terlihat serius saat mengucapkannya.
Tapi tak urung aku menganggukan kepala.
Lalu beberapa jenak kami terdiam, memilih untuk menikmati aroma kopi yang sudah
habis separuh cangkir ini. Juga menghisap nikotin dari batang rokok kesekian yang aku bakar
sejak tadi sebagai teman obrolan kami berdua.
“Ray…”
Kulihat Kak Sakti dengan wajahnya yang ragu, membuat aku mengerti bahwa setelah
ini adalah obrolan yang mungkin akan lebih serius. Aku sudah paham dengan karakter laki-
laki di hadapanku ini.
“Ya?”
“Emmm, bagaimana mengatakannya ya sama kamu.”
Aku tertawa tentu saja, mendengar Kak Sakti sampai bingung seperti ini jelas menjadi
hal lucu buatku.
“Ngomong aja, Kak. Seperti sama orang lain saja. Memangnya seserius apa yang mau
Kak Sakti omongin ke aku, sampai bingung gitu?”
“Masalah Disya, bagaimana hubunganmu dengan dia sekarang?”
“Baik-baik saja, kami berteman seperti sebelumnya kalau itu yang Kakak maksud.
Kenapa memangnya, Kak?”
“Sepertinya kalian semakin jarang bersama sejak pertama masuk kuliah sampai
sekarang. Apa ada masalah di antara kalian?”
Aku mematikan bara rokok pada asbak di depanku, kemudian menyesap kembali kopi
yang sudah dingin ini. Sejenak berpikir, bahwa pertanyaan Kak Sakti kali ini memiliki tujuan
yang belum bisa aku artikan.
“Tidak ada masalah apa-apa antara aku dan Disya, sebenarnya persahabatan kami
baik-baik saja seperti sebelum kami kuliah. Kami hanya lebih sibuk dengan urusan kami
masing-masing. Terlebih sekarang kita sedang fokus ke skripsi.”
Mungkin jika orang-orang menilai apa yang baru saja aku katakan hanyalah sebuah
alasan, aku tidak akan menyangkalnya. Karena sebenarnya aku sendiri juga merasa bahwa
111
hubungan persahabatanku dengan Disya tidak sedekat dulu, saat kami masih bisa berangkat
ke sekolah bersama.
Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang merasa ini semua terjadi setelah aku
memutuskan untuk mencintai Popi beberapa tahun yang lalu. Disya seakan menjauhiku
setelah itu. Dan tanpa terasa kini semua sudah berlalu tanpa kusadari.
Dan ternyata Kak Sakti pun menyadari perubahan ini, mungkin karena dia satu-
satunya orang yang menyaksikan bagaimana kami tumbuh dan berkembang bersama sejak
kanak-kanak dulu. Dan ketika ada yang tidak beres di antara kami, dia adalah orang pertama
yang akan menyadarinya.
“Syukurlah kalau tidak ada masalah di antara kalian. Aku hanya merasa sedikit ada
perbedaan di antara kalian.”
Ucapan Kak Sakti menyadarkanku dari lamunan, lalu seulas senyum tersirat di
bibirku.
“Kamu tahu kan, sudah sejak lama aku tidak bisa melupakan seorang gadis yang
sebenarnya sangat ingin aku lupakan. Namun, setiap kali aku mencoba menjalani dengan
wanita lain, selalu bayangan Renata yang muncul dan kembali merobohkan tembok yang
sudah susah payah aku bangun. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan wanita-
wanita itu tanpa alasan apa pun.”
Kak Sakti tampak menghisap rokoknya lebih dalam dari sebelumnya, lalu
mengembuskan asap dari mulutnya ke udara dengan sekali hembusan yang terdengar cukup
berat di telingaku.
“Tetapi, sekarang aku ingin benar-benar menjalani sebuah hubungan yang serius
dengan seorang wanita. Seseorang yang aku harapkan bisa membantuku melupakan sosok
Renata.”
Aku mendengarkan penuturan Kak Sakti dengan saksama, tanpa berniat untuk
menyela. Biarkan saja, sepertinya dia memang hanya ingin didengarkan sekarang.
“Dan kamu tahu, entah kenapa aku menemukan apa yang aku butuhkan pada sosok
Disya.”
Meskipun terdengar ragu saat mengatakannya, aku tetap mampu mendengar apa yang
baru saja Kak Sakti katakan. Dan meskipun ada rasa terkejut yang menjalar, tapi aku
memutuskan untuk tidak menunjukkannya di hadapan Kak Sakti.
Cukup sebuah senyuman.
“Dulu, Kakak pernah bertanya kepadamu tentang perasaanmu kepada Disya, dan
kamu jawab tidak ada perasaan lebih dari sekadar sahabat. Bagaimana dengan sekarang?”
112
“Sampai sekarang pun masih seperti itu, Kak. Aku tetap menganggap Disya hanya
seorang sahabat saja, tidak lebih dari itu.”
Satu batang rokok aku nyalakan lagi, sebelum melanjutkan jawaban atas pertanyaan
Kak Sakti tadi.
“Terlebih kakak tahu sendiri kalau aku sudah memiliki pacar, kan?”
Kak Sakti mengangguk.
“Jadi kalau memang Kak Sakti merasa Disya adalah orang yang tepat yang bisa
membuatmu jatuh cinta, Kakak harus mengatakan itu kepadanya. Aku pasti mendukung.”
“Apa menurutmu Disya akan menerimaku?”
Aku tertawa kecil.
“Tidak ada salahnya dicoba, Kak. Toh setauku gadis itu tidak memiliki pacar sampai
sekarang, sejak terakhir saat SMA dulu.”
“Atau perlu aku yang ngomong dulu ke dia?” Lanjutku.
Kak Sakti tampak berpikir di tempatnya. Aku menunggu dengan seulas senyum yang
masih mengembang di bibirku.
“Sepertinya tidak perlu, biar aku saja yang akan mulai mendekatinya. Nanti kalau aku
butuh bantuanmu, baru aku akan mengatakannya.”
Aku mengangguk, “Selamat berjuang, Kak.”
113
PERNYATAAN CINTA
Aku Hanya Bisa Berharap Ini adalah yang Terakhir
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untukku. Hari yang akan
mengantarkan pada kesuksesan selanjutnya. Toga yang sebelumnya terpasang di kepala telah
melayang di udara setelah aku melemparnya dengan begitu kuat. Semua kelegaan itu
membuncah di dalam dada seiring dengan lemparan toga yang aku lakukan.
Tangis haru mama, pelukan bangga papa, dan senyum bahagia dari semua sahabatku
adalah hadiah paling indah yang Tuhan berikan untuk semua usahaku selama ini. Untuk
semua susah payahku menyelesaikan skripsi, jatuh bangun yang aku rasakan. Hari ini, itu
semua terbayar lunas.
“Selamat, Disya…” Rayhan menyalamiku, memberikan satu tangkai bunga mawar
merah yang sudah banyak aku dapatkan dari teman-temanku yang lain.
“Terima kasih. Selamat juga untukmu. Akhirnya kita diwisuda juga.”
Rayhan mengangguk, “Ayo, kita foto-foto,” ajaknya seraya menarik tanganku menuju
arah Kak Sakti yang tampak sudah siap dengan kameranya.
“Selamat Disya,” sambut Kak Sakti setelah aku berdiri di hadapannya.
“Terima kasih, Kak.”
“Ya udah, kalian berdua aku foto dulu!”
Aku dan Rayhan melakukan beberapa gaya untuk diabadikan oleh kamera Kak Sakti.
Beberapa jepretan berhasil dilakukan tanpa mengalami kesulitan, dia tampak sangat lihai
menggunakan kamera.
“Ayah, Ibu, Om sama Tante ikutan juga dong!”
Kak Sakti memasang kamera pada tripod yang telah didirikannya, mengatur angle
yang bisa menangkap gambar kami semua, kemudian berlari kecil untuk bergabung setelah
sebelumnya mengatur timer di kamera.
Klik…
114
Semua senyum bahagia itu telah diabadikan di dalam sebuah gambar. Suatu saat,
gambar itu akan mengingatkanku tentang masa-masa indah yang pernah kulalui di tempat ini.
Saat-saat di mana aku belajar menjadi manusia yang lebih dewasa, bersama semua sahabat
yang telah berjuang bersama. Aku akan merindukan tempat ini.
“Rayhan ke mana?” Tanya Kak Sakti, setelah beberapa menit foto-foto tadi selesai.
“Emm, tadi sih pamit mau nyari Popi.”
Ia mengangguk, “Terus pacarmu mana?”
“Aku nggak punya, Kak. Masih jomblo,” jawabku santai sambil tertawa.
“Masa gadis cantik sepertimu masih jomblo?”
“Begitulah kenyataannya.”
“Kalau gitu kita sama-sama jomblo.” Kak Sakti mengajaku melakukan toast.
Ini sudah 4 minggu sejak wisuda, aku masih belum mendapat panggilan pekerjaan.
Beruntung Kak Sakti menawarkanku untuk membantunya di kafe sampai aku mendapatkan
pekerjaan, setidaknya itu bisa menjadi kegiatanku sambil menunggu panggilan kerja.
Dan kedekatan yang terjadi semakin membawaku terperangkap kepada rasa yang
tidak pernah aku duga, aku jadi merasa membutuhkan sosok Kak Sakti. Aku menyadari, ada
sesuatu yang tumbuh sebagai dampak dari kedekatan yang mulai intens di antara kami.
Malam ini, aku baru saja pulang dari sebuah acara yang diadakan oleh kantor papa,
semacam syukuran karena proyek yang mereka kerjakan berhasil dan memberikan banyak
keuntungan. Acara yang baru berakhir pukul 10 malam itu, membuatku tidak bisa membantu
Kak Sakti di kafe malam ini.
Seperti biasa, aku menopang kepala dengan tanganku di daun jendela, menikmati
bintang, bulan, serta apa pun yang mungkin bisa aku nikmati saat malam hari. Kebiasaan
yang begitu aku sukai.
“Hei!” Suara Rayhan tiba-tiba terdengar dari jendela kamarnya. Dia menunjukkan
kaleng miliknya, membuatku tersenyum. Aku langsung meraih kaleng milikku sendiri.
“Baru pulang?”
Aku mengangguk, “Lihat, bahkan aku belum sempat mengganti gaunku. Takut
bintang-bintangnya keburu hilang,”
“Ada-ada saja. Bagaimana acaranya tadi?”
115
“Membosankan, Rayhan. Hanya orang-orang tua yang ada di sana, teman kerja papa.”
Rayhan tampak tertawa di tempatnya. Lalu sedetik kemudian dia mengambil sebotol
minyak kayu putih, mengoleskan di telapak tangan dan bagian lehernya. Tidak pernah
berubah kebiasaannya itu.
“Apa kabar dengan Popi?”
“Baik, kami sama-sama sedang mengajukan beasiswa S2. Mudah-mudahan bisa
diterima.”
“Syukurlah.”
“Bagaimana denganmu?”
Aku terdiam sejenak, “Mungkin aku akan mencari kerja terlebih dahulu sebelum
memutuskan akan melanjutkan atau tidak.”
“Kita semua mempunyai pilihan,” ujar Rayhan dengan penuh keyakinan.
“Dan kita hanya bisa memilih satu di antara pilihan itu,” aku melanjutkan kalimat
Rayhan.
“Lantas, Kak Sakti?”
Aku tersentak mendapat pertanyaan itu dari Rayhan. Kenapa tiba-tiba dia bertanya
tentang kakaknya sendiri kepadaku.
“Apa maksudmu?”
“Sudahlah, Disya. Aku sudah terlalu mengerti kamu untuk sekadar melihat ada
sesuatu yang lain ketika kamu menatap Kak Sakti. Aku tahu kamu menyukainya.”
Rayhan membuat wajahku memerah, ucapannya memang tepat. Mungkin
persahabatan yang terjalin dengan cukup lama telah membuatnya benar-benar memahami
semua tingkah laku dan gerak gerikku. Aku tahu akan percuma jika membantahnya, Rayhan
sudah sangat mengetahui sifatku.
“Kamu keberatan jika aku menyukai kakakmu?” Tanyaku dengan sedikit malu-malu.
Kudengar Rayhan tertawa dari kamarnya, “Mana mungkin, justru aku akan sangat
mendukung jika itu benar-benar terjadi.”
Aku tersenyum lega.
“Oh iya, Disya. Mungkin Kak Sakti akan berbicara denganmu.”
Lagi-lagi Rayhan membuat keningku berkerut, apa maksud perkataannya barusan?
Kenapa aku merasa dia sedang merencanakan sesuatu sekarang. Ah, membuatku penasaran
saja.
“Disya,”
116
Suara ini, bukan suara Rayhan, meskipun aku mendengarnya melalui telepon kaleng.
Tetapi selama bertahun-tahun berbicara dengan Rayhan membuatku sangat hafal dengan
suaranya. Suara yang baru saja aku dengar itu, milik Kak Sakti.
“I… iya?” Tentu saja aku merasa gugup sekarang. Baru saja aku dan Rayhan
membicarakannya dan tiba-tiba dia sudah menyapaku.
“Aku ingin kamu menjadi istriku.”
Terus terang Kak Sakti membuatku hanya terpaku. Aku berusaha mencerna apa yang
baru saja dia katakan, aku berusaha mengartikannya meskipun semua itu percuma karena aku
tetap mematung walaupun sudah mencoba mencerna satu persatu kalimat tadi.
“Apa kamu bersedia?”
Dan sekarang laki-laki itu menanyakan kesediaanku, jawaban apa yang harus aku
berikan kepadanya? Semua terjadi begitu saja, tanpa menungguku untuk mempersiapkannya.
Aku benar-benar tidak siap menerima pertanyaan itu, meskipun sebenarnya hatiku berbunga-
bunga mendengarnya.
“Kak…”
“Aku tunggu kamu di luar. Aku ingin mendengar jawabanmu langsung, bukan
melalui sebuah kaleng,” Kak Sakti memotong kalimatku.
Aku menuruti perintahnya untuk melangkahkan kaki keluar rumah setelah
sebelumnya meneliti penampilanku di depan cermin. Degup jantung benar-benar tidak
beraturan sekarang, aku benar-benar gugup. Laki-laki itu sudah berdiri di depan gerbang
rumah ketika aku keluar, menanti dengan sebuah senyuman yang membuatku, jatuh cinta.
“Aku serius Disya.” Kak Sakti berlutut, dan dia menunjukkan sebuah cincin di
hadapanku. Aku hanya mampu terdiam, dengan air mata yang tanpa sadar mulai mengalir
dari kedua mataku.
“Will you merry me?”
Aku melirik Rayhan yang tampak mengamati kami berdua dari depan gerbang
rumahnya. Senyum yang mengembang di bibirnya seakan memberikan keyakinan kepadaku.
Benar, aku harus yakin sekarang. Tidak perlu menunggu waktu lama lagi untuk
menjawabnya, aku percaya ini adalah takdir yang telah Tuhan rencanakan untukku.
“Yes, I will.”
Aku tidak akan menyesali atas jawaban yang telah aku berikan kepada Kak Sakti.
Aku percaya aku akan bahagia bersamanya, aku percaya aku memang sudah dipersiapkan
oleh Tuhan untuk menemani hidup Kak Sakti. Tuhan tidak pernah salah.
117
Aku membiarkan ketika Kak Sakti memasangkan cincin pada jari manisku, lalu
membawa ke dalam dekapannya. Nyaman sekali rupanya di dalam sini, sampai tanpa sadar
aku menyandarkan kepalaku kepada dada bidangnya.
Ternyata, orang yang selama ini aku cari justru berada sedekat ini.
KEJUJURAN HATI
Tidak Ada yang Aku Sesali, Tidak Ada yang Terlambat. Ini adalah Takdir Cinta dari
Tuhan
Aku berhasil mencintai Popi dengan sepenuh hati, walaupun itu membutuhkan waktu
yang cukup lama. Pada akhirnya, aku benar-benar bisa memberikan segenap perasaan kepada
gadis yang sudah 5 tahun ini menemani setiap hari-hariku. Memberikan warna warni dalam
hidupku dan menjadi pelengkap untuk semua kekuranganku. Perasaanku sudah tidak lagi
terbagi antara Popi dan Disya. Aku sudah menghilangkan semua perasaanku kepadanya.
Popi adalah orang yang menyadarkanku betapa sebuah perasaan bukan untuk
dijadikan sebagai coba-coba, bukan sesuatu untuk dijadikan sebuah mainan yang dengan
mudah dilupakan jika sudah merasa bosan. Popi, yang dengan kesabaran dan ketulusannya
telah membuatku mengerti bahwa sekuat apa pun cinta kita kepada seseorang, akan percuma
jika kita tidak berani memperjuangkannya. Popi membuktikan itu kepadaku, bagaimana dia
berjuang, bagaimana dia terus berusaha untuk membuktikan rasa sayangnya kepadaku.
Sekarang tidak ada yang bisa membuatku ragu. Aku sudah memilih Popi, dan aku
akan menjaga agar senyum manisnya tidak menghilang. Aku akan selalu berusaha
membahagiakannya, aku janji.
Dan Disya, sahabatku itu telah menjadi calon istri dari kakak kandungku. Aku adalah
orang yang paling mendukung hubungan mereka. Tidak perlu lagi ada rasa cemburu yang aku
rasakan, tidak perlu lagi ada rasa sakit hati. Yang ada hanyalah rasa bahagia untuk rencana
pernikahan mereka dua hari lagi.
Malam ini, setelah membantu Ibu menyiapkan beberapa keperluan yang akan
digunakan untuk pernikahan Kak Sakti dan Disya, aku menaiki tangga untuk masuk ke dalam
kamar. Rasa lelah menderaku, otot serta saraf tubuhku butuh untuk diistirahatkan.
118
Kuhempaskan badan di atas ranjang begitu aku telah masuk kamar, lalu menarik
napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Mataku terpejam beberapa detik
sebelum kembali terbuka. Aku merasa begitu lelah, tetapi mata ini enggan untuk membawaku
menuju alam mimpi.
Dengan jengah kuayunkan kaki menuju jendela, mendorongnya lebar-lebar sampai
hembusan angin malam langsung menerpa wajah. Begitu segar kurasakan. Kulirik ke satu
sudut jendela, kaleng itu masih tergeletak pada tempatnya, membuatku tersenyum tanpa arti.
Banyak kenangan yang kulihat pada kaleng bekas itu.
Di langit bintang bertaburan begitu banyaknya, memenuhi malam yang sudah hampir
berjalan separuh. Udara dingin, tapi segar melengkapi sepinya suasana, membuatku benar-
benar menikmati waktu dengan penuh rasa ketentraman dan damai yang kurasakan saat ini.
Aku meraih sebungkus rokok dan lighter dari atas meja, lalu kembali berjalan
mendekati jendela. Kulompati jendela kamar untuk meniti balkon. Aku meletakan pantat
pada lantai semen, lalu menyalakan rokok.
Malam ini, aku ingin menikmati malam ini.
Beberapa hisapan telah menghabiskan satu batang rokok yang tadi kunyalakan. Aku
merenung, menatap kerlipan bintang-bintang yang masih setia untuk menemani rembulan
menghabiskan malam. Mereka tidak pernah berhenti memberikan keindahan dari atas sana,
membuat malam hari tidak pernah membosankan untuk dinikmati.
“Sedang apa kamu?” Pertanyaan itu membuatku menoleh ke asal suara, Disya tampak
bersandar pada daun jendela dengan senyumnya yang masih sama.
“Menikmati malam,” jawabku singkat sebelum kembali mengalihkan pandanganku
menikmati bintang-bintang.
“Kamu belum tidur?” Aku balik bertanya kepada Disya yang sekarang ikut
memandang ke arah langit.
“Nggak bisa tidur.”
“Memikirkan pernikahanmu?”
“Mungkin itu salah satunya. Hei, hati-hati di tempat itu!”
“Santai saja. Sebaiknya kamu coba sendiri ke sini.” Sudah pasti aku hanya bercanda
saat mengatakannya.
Rasa panik menyergap ketika kulihat Disya naik ke atas daun jendela.
“Hei, apa yang kamu lakukan?” Tanyaku sambil membantunya berjalan meniti
balkon.
119
“Mencoba membuktikan perkataanmu, bahwa menikmati langit dari sini akan lebih
terlihat keindahannya.” Seakan tanpa rasa takut Disya duduk di tepian balkon. Aku menghela
napas melihat tingkah lakunya.
“Nekat kamu.”
“Kamu kan yang nyuruh aku.”
“Aku hanya bercanda.”
“Lalu bagaimana?”
Aku lebih memilih untuk mendesah pelan, daripada harus berdebat dengannya, “Ya
sudahlah.”
Kami berdua terdiam cukup lama, sama-sama menikmati kesunyian yang ditawarkan
oleh malam. Menatap keindahan bintang yang masih setia menjadi penghias langit,
pelengkap sang rembulan. Bintang yang selalu kami berdua kagumi keindahannya sejak dulu.
Sejak kami memulai semua kisah yang tidak pernah bisa kami akhiri berdua.
“Kamu jadi melanjutkan S2 di Bandung?” Disya yang pertama memecah keheningan
di antara kami.
Aku mengangguk, “Seperti yang kubilang dulu, aku akan melihat kota Bandung
dengan mataku sendiri.”
“Aku masih ingat itu, kamu mengucapkannya saat kita berada di TK.”
Kami berdua tertawa bersama-sama mengingat tentang masa kecil yang pernah kami
lewati berdua. Tawa yang cukup singkat, karena selanjutnya keheningan menyergap kembali
di antara aku dan Disya.
Aku kembali mengeluarkan satu batang rokok, membakar ujungnya dengan lighter,
dan menghisapnya pelan. Aku tahu Disya mengamatiku dengan kedua matanya, seakan
menungguku selesai membakar ujung rokok.
“Aku akan menikah.”
Aku tersenyum mendengarnya, “Tentu saja aku tahu itu, selamat untukmu. Aku akan
menjadi orang yang duduk di barisan paling depan saat resepsimu nanti.”
Disya hanya tersenyum. Lagi-lagi diam menjadi musuh utama yang datang secara
tiba-tiba di antara aku dan Disya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi ketika aku
dan dia bersama. Selalu ada hal menarik yang menjadi bahan obrolan kami. Sekarang sudah
berbeda rupanya.
“Dulu.” Disya menggantung kalimatnya, dia menatap kedua mataku sebelum
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku masih menunggu Disya menyelesaikan apa
yang hendak dia katakan.
120
“Dulu aku berharap kamu yang akan mendampingiku di pelaminan. Dan dulu aku
selalu menunggumu.”
Mungkin ini adalah sebuah kejujuran yang telah terungkap setelah sangat lama
dibiarkan terpendam dengan sangat dalam, dan aku tidak terkejut mendengar pengakuan
Disya.
Aku menghisap filter pada batang rokok, lalu mengembuskan asapnya ke udara.
“Maaf, seandainya aku bisa lebih berani mengungkapkan perasaanku mungkin akan
berbeda kisahnya.”
“Maksudmu?” Disya mengerutkan kening.
“Dulu aku pernah mempunyai perasaan lebih dari sekadar sahabat kepadamu.
Mungkin perasaan yang sama sepertimu. Aku sayang kamu, Disya.”
Di tempatnya, Disya masih terpaku mendengarkan pengakuanku. Aku melihat
wajahnya, aku menatap matanya. Tersirat kekecewaan yang begitu dalam dari sorot matanya,
membuat hatiku seakan tertusuk duri. Buru-buru aku menepisnya.
“Tapi sayangnya aku tidak pernah berani berkata jujur kepadamu, aku takut itu hanya
akan merusak persahabatan kita. Mungkin itu keputusan bodoh.”
Disya tertawa kecil, lebih terdengar seperti tawa penyesalan di telingaku, “Ternyata
yang kita pikirkan sama, Rayhan. Aku juga berpikir tidak seharusnya ada perasaan lebih di
antara sahabat.”
“Tapi sekarang aku sadar, kalau seharusnya sebuah perasaan itu harus diungkapkan.
Entah membawa kebaikan atau keburukan, itu lebih baik daripada memendamnya dengan
sangat lama. Karena hanya rasa sakit yang akan kita dapatkan.”
“Aku setuju,” Disya memeluk kedua lututnya sendiri, “Aku setuju dengan
pendapatmu. Karena sekarang aku merasa sangat lega telah mengatakan yang sebenarnya
tentang perasaanku padamu dulu,” lanjutnya.
Aku mengangguk, “Bukankah cinta tidak harus memiliki?”
“Itu salah, Rayhan. Tidak ada cinta yang tidak harus memiliki, semua cinta harus
memiliki seseorang yang dia cintai. Bagaimana mungkin kita hidup dengan terus menyimpan
cinta buat seseorang yang tidak bisa kita miliki?”
Disya tampak serius dengan ucapannya. Aku hanya diam mendengarkan penuturan
yang dikeluarkan oleh gadis itu.
“Ketika tidak bisa memiliki, seharusnya cinta itu juga harus dihilangkan, kan?
Bagaimana dengan Popi jika kamu masih menyimpan cintamu buatku? Bagaimana dengan
Kak Sakti jika aku masih menyimpan cinta untukmu?”
121
“Kamu benar, Disya. Dulu aku mencintaimu, tetapi aku tidak bisa memilikimu, tidak
mungkin aku terus menyimpan cinta untukmu sementara aku bersama Popi.”
“Berikan cintamu kepada orang yang bisa kamu miliki, dan orang itu adalah Popi.”
Senyum sama-sama mengembang di bibir kami. Sebuah perasaan yang akhirnya
menemukan waktu yang tepat untuk diungkapkan. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah
perasaan, tidak harus memiliki, tidak perlu. Karena rasa sayang yang tulus memiliki
keikhlasan untuk membiarkan orang yang kita sayang bahagia bersama orang lain.
Cinta selalu hanya untuk orang yang pantas memilikinya.
“Kamu menyesal?” Disya melontarkan pertanyaan yang menghadirkan senyum di
bibirku.
“Tidak, tidak sama sekali. Kamu sudah bersama orang yang tepat sekarang. Aku
yakin Kak Sakti bisa membuatmu bahagia, dia bisa diandalkan untuk menjagamu.”
“Syukurlah, karena aku akan sangat marah kalau sampai kamu merasa menyesal. Aku
ngantuk. Aku harus kembali ke kamar sekarang,” tutur Disya seraya bangkit dari duduknya.
“Duluan aja, aku masih ingin di sini.”
Disya mengangguk dan mulai melangkah. Dia melarangku ketika aku hendak
membantunya, membuat kedua mataku hanya mengikuti langkah kakinya yang berjalan
dengan begitu hati-hati menuju jendela kamarnya.
“Terima kasih untuk semua kisah yang kamu hadirkan dalam hidupku, Rayhan.
Selamat malam.”
“Selamat malam juga,” jawabku sebelum Disya menutup rapat jendela kamar.
Senyum lega mengembang di bibirku setelah itu,
Aku tidak menyesal, Disya. Karena sekarang aku juga sudah bersama orang yang
tepat untukku.
Bisikku dalam hati.
-The End-
122
Biodata Penulis
Tegar Setiadi Dwi Amrulloh, lahir di Banyumas pada 17 Juli 1989. Tegar adalah
lulusan S1 Fakultas Ilmu Keolahragaan di Universitas Negeri Semarang yang mempunyai
hobi berolahraga dan tentu saja menulis.
Sekarang, Tegar merupakan guru olahraga di salah satu sekolah kejuruan negeri di
Purwokerto dan bertempat tinggal di desa Tambasogra, Rt 03/05, Kab. Banyumas, Jawa
Tengah. Tegar bisa dihubungi melalui email di [email protected] atau add akun
Facebook-nya di Tegar Setiadi dan instagram di tegarrsetiadi.