-
KONSEP TAWASSUL MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh:
FATIMAH BINTI ABDUL KHADAL
NIM: 301170014
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2019
-
ii
Drs. H. Lahmuddin, M.Ag Jambi, 04 Maret 2019
Nilyati, S.Ag., M.Fil.I
Alamat: Fak Ushuluddin dan Studi Kepada Yth.
Agama UIN STS Jambi Bapak Dekan
Jl. Raya Jambi-Ma Bulian Fak. Ushuluddin dan Studi
Simp. Sungai Duren Agama UIN STS Jambi
Muaro Jambi. di-
JAMBI
NOTA DINAS
Assalamu’alaikumWr. Wb
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan pensyaratan
yang berlaku di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi, maka kami
berpendapat bahwa skripsi saudari Fatimah Binti Abdul Khadal yang berjudul “Konsep
Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an” telah dapat diajukan untuk dimunaqasyahkan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) Jurusan
Ushuluddin dan Studi Agama dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak, semoga bermanfaat
bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Wassalam.
-
iii
-
iv
-
v
MOTTO
ْن الرَِّحْيمِ ِبْسِم اهلِل الرَّْحْم
“[D]an Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal
yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang
yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”. (QS Asy-Syura’: 26)1
1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 388.
-
vi
PERSEMBAHAN
احلمد هلل رب العاملني
Kupersembahkan skripsi ini
Kepada insan-insan yang tersayang
Keluarga Tercinta
Ayahanda, Abdul Khadal dan ibunda, Hasima yang telah mendidik dan mengasuh
anaknda dari kecil hingga dewasa bagai menatang minyak yang penuh. Kakek dan
nenek, Muhamad dan Isah yang tidak jemu menjaga dan membesarkan cucunda
dengan penuh kasih sayang. Tidak lupa juga kakanda Khatijah dan Azizah serta
adinda Darwis Muhyiddin yang selalu memberi galakkan, semangat dan dorongan
agar sentiasa tabah menghadapi ujian dan cabaran sebagai mahasiswa supaya kelak
menjadi seorang manusia yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi
Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat menggapai cita-cita dan impian hidup.
-
vii
ABSTRAK
Terlalu ramai umat Islam pada zaman ini yang ternyata salah dalam memahami
hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu
menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan
atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang sholeh karena tawassul
merupakan sunnah. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada kita
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, terdapat golongan yang menolak
tawassul ini dengan hujah-hujah yang pada hakikatnya tidak mampu diterima akal
dengan mengatakan bahwa tawassul ini sama seperti meminta kepada orang yang
sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan yang sia-sia dan tidak berfaedah.
Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad
yang tidak bernyawa, akan tetapi permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah penelitian
kepustkaan (library research) penelitian yang dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan kitab-kitab tafsir, buku-
buku, dan literature-literatur tentang tawassul serta mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan. Penulis meneliti dan
mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan
pendekatan metode maudhui (tematik).
Hasilnya penulis mendapati bahwa tawassul merupakan suatu pintu dari pintu-
pintu untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang dituju dan diminta asalnya dan
hakikatnya hanya pada Allah SWT., manakala yang menjadi perantara itu adalah jalan
semata-mata untuk menghampirkan diri kepada Allah SWT., karena kecintaan kepada
perkara yang dijadikan wasilah itu dengan berkeyakinan yang utuh bahwa Allah SWT.,
juga mengasihi wasilah itu. Terdapat banyak dalil-dalil mengenai tawassul yang
difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Nabi Saw.
Amalan ini dibolehkan dan diharuskan menurut pendapat ulama. Bentuk-bentuk
tawassul yang dapat dipahami dalam kajian penulis ini adalah bertawassul kepada
Allah SWT., melalui nama-nama dan sifat Allah Yang Maha Agung, bertawassul
kepada-Nya melalui keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul utusan-Nya, bertawassul
kepada Allah SWT., dengan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, bertawassul kepada-
Nya melalui perantara amal-amal saleh dan kebaikan serta bertawassul kepada Allah
SWT., dengan orang-orang saleh atau selain Nabi Saw., sebagaimana yang telah
difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an yang Mulia dan sunnah Nabi-Nya
Muhammad Saw. Akhirnya penulis merekomendasikan kepada ummat Islam agar
menetapkan niat dan menyempurnakan iman terlebih dahulu sebelum mengamalkan
tawassul supaya tidak mengubah maksud dan tujuan dari tawassul tersebut.
-
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tiada henti-hentinya kehadrat Allah SWT., yang
telah menganugerahi penulis dengan sedikit ilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Selawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam, yakni Nabi besar
Muhammad Saw., seorang Nabi yang pernah memberi angin segar kepada ummatnya
disaat ummatnya tenggelam dalam lautan kemusyrikan, hingga menjadi pantai yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun maksud dan tujuan penulis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S.1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Tak lupa pula rasa terima
kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada yang terhormat.
1. Bapak Drs. H. Lahmuddin, M.Ag sebagai pembimbing I dan ibuk Nilyati, S.Ag., M.Fil.I sebagai pembimbing II yang telah sabar membantu dan membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibuk Ermawati Hasan S,Ag., M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. Abdul Ghaffar, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan M. Syam S.Ag., M.Ag, Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc, M.A, serta Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,
Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan dan Keuangan, serta
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Kerjasama Luar Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor UIN STS Jambi. 6. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi Asy’ari MA. Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Ag, dan
Ibu Dr. Hj. Fadhlilah, M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan
Pengembangan Lembaga, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum,
Perencanaan dan Keuangan, dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Dan
Kerjasama.
7. Bapak Ibu Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang memberi ilmu pengetahuan kepada penulis.
8. Bapak dan Ibu karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
9. Bapak Pimpinan Perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta staf-stafnya.
10. Teman-teman seperjuangan, Nor Farah Ain, Nor Farhana, Bintu Afiqah Aiman, Hanisah Zafirah, Muhammad Iqbal, Muhammad Izzuddin dan Muhammad
-
ix
Hambaly serta teman-teman lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan
Pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi dan sahabat-sahabat dari jurusan Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
11. Serta semua pihak yang turut membantu, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT., membalasnya. Akhirnya
penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jambi, 04 Maret 2019
Penulis,
Fatimah Binti Abdul Khadal
IAT301170014
-
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………...... i
NOTA DINAS ........................................................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................ iii
PENGESAHAN ..................................................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ................................................................................................... vi
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Permasalahan ............................................................................. 5 C. Batasan Masalah ........................................................................ 6 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 6 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 7 F. Metode Penelitian ....................................................................... 11 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL
A. Definisi Tawassul / Wasilah ........................................................ 14 B. Sejarah Tawassul ....................................................................... 19 C. Pemahaman Mengenai Konsep Tawassul .................................. 23
BAB III TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM
A. Macam-Macam Tawassul ........................................................... 27 B. Bentuk-bentuk Amalan Tawassul ............................................... 30 C. Pengamalan Tawassul dalam Islam ............................................ 42
BAB IV AL-QUR’AN DAN TAWASSUL
A. Penafsiran Tafsir Jalalain Terhadap Dalil-Dalil Wasilah ......... 45 B. Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di Terhadap Dalil-Dalil
Wasilah ...................................................................................... 47
C. Dalil-Dalil Berkaitan Konsep Tawassul ..................................... 49
D. Pendapat Ulama Mengenai Tawassul ......................................... 57
-
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 62 B. Saran .......................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
-
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط , ا
ẓ ظ b ب
ʻ ع t ت
gh غ th ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dh ذ
n ن r ر
h ه z ز
w و s س
, ء sh ش
y ي ṣ ص
ḍ ض
-
xiii
B. Vokal dan Harkat
Ar
ab
Indone
sia
Ar
ab
Indone
sia
Ar
ab
Indone
sia
ī اِى ā ا a ا َ
aw ا و á ا ى u ا َ
ay ا ى ū ا و i اَِ
C. Tā’ Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam:
1. Tā’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, makan transliterainya
adalah /h/.
Arab Indonesia
Ṣalāh صالة
Mir’āh مراة
2. Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dhammah,
maka transliterasinya adalah /t/.
Arab Indonesia
Wizārat al-Tarbiyah وزارةَالتربية
Mir’āt al-zaman مراةَالزمن
3. Ta Marbutah yang berharakat tanwin maka translitnya adalah /tan/tin/tun.
Arab Indonesia
Faji’tan فجئةَ َ
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dikala modernisasi menerpa umat Islam, pemikiran masyarakat juga semakin
maju seiring dan bertepatan dengan peredaran zaman. Sehingga perkara-perkara yang
asalnya merupakan amalan yang biasa dilakukan di mana terdapat dalil-dalil
mengenainya, mula dipandang sebagai satu perbuatan yang sesat dan bertentangan
dengan akidah Islam bahkan lebih payah dituduh sebagai bid’ah1 yang sesat.
Mayoritas umat Islam pada jaman ini yang ternyata salah dalam memahami
hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu
menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan
atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang saleh karena tawassul
merupakan sunnah.2
Hakikat keperluan bertawassul ini adalah sebagai wasilah yaitu merupakan
jalan bagi mendapatkan sesuatu yang diperlukan dengan memohon melalui perantaraan
para Nabi, para malaikat, wali, ulama’ dan orang-orang saleh, baik mereka masih hidup
maupun telah meninggal dunia. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada
kita mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bagi melakukan tawassul ini, yang menjadi perantara itu seharusnya
mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT., sebagai syarat untuk
dilaksanakan tawassul. Selain itu, orang yang bertawassul dengan wasilah ini perlu
mempunyai keyakinan bahwa orang yang menjadi wasilah itu adalah orang saleh atau
1 Bid’ah mengerjakan sesuatu yang baru yang ada pada masa Rasulullah Saw. Bi’dah terbagi
menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk). Asep Saifuddin Chalim, Membumikan
ASWAJA Pegangan Para Guru NU (Surabaya: Khalista & PP. Pergunu, 2012), 150-151. 2 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban:
Koperasi As Sofa, 2014), 170.
-
2
wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Allah SWT.,
karena dianggap sebagai paling dekat dengan Allah SWT.
Seiring dengan firman Allah SWT., dalam QS. Al-Ma’idah, ayat 35:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).3
Ahmad Sonhadji Mohamad menafsirkan perkataan wasilah atau jalan
mendekatkan diri kepada Allah SWT., dalam ayat tersebut ialah tiap-tiap perbuatan
ketaatan yang mendekatkan kepada keredhaan Allah SWT., dan memudahkan
mendapat pahala daripada-Nya di akhirat. Wasilah itu merupakan setinggi-tinggi
gedung dalam surga.4
Sebagai contoh, apabila kita berpuasa pada bulan mulia Ramadan, maka
dikatakan bahwa dengan berpuasa merupakan wasilah menuju pengampunan dosa-
dosa dan solat di malam hari pada Lailatul Qadar juga adalah wasilah. Semuanya ini
diharuskan atas dasar iman dan pengharapan kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah SWT., dalam QS. Ali ‘Imran, ayat 185:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
3 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 90. 4 Ahmad Sonhadji Mohamad, Tafsir Al-Qur’an di Radio (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Mizan,
1992), 153-155.
-
3
dimasukkan ke dalam syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS Ali ‘Imran: 185).5
Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala amal saleh adalah
wasilah. Tujuan perbuatan saleh tersebut adalah demi memperoleh redha Allah SWT.,
dan kemenangan di akhirat kelak. Dunia ini hanyalah tipu daya yang mengasyikkan
semata-mata namun tidak pula memberi apa-apa manfaat terhadap manusia.
Selain itu, tawassul kepada Allah SWT., juga boleh disebut sebagai suatu
sarana demi termakbulnya doa. Apabila bertawassul melalui doa kepada Allah SWT.,
orang yang berdoa itu harus mengiringi doanya dengan sesuatu yang menjadi sebab
diterimanya doa tersebut. Di samping itu, orang yang bertawassul haruslah mempunyai
dalil yang mendasari bahwa sesungguhnya ia merupakan penyebab termakbulnya doa.
Perkara tersebut tidaklah diketahui kecuali melalui pensyariatan Allah SWT., yaitu
barangsiapa yang menjadikan suatu perkara sebagai wasilah untuknya agar doanya itu
dikabulkan oleh Allah SWT., tanpa mempunyai dalil syariat sebagai sandaran, maka
sesungguhnya ia adalah perkara yang tidak berasas dan tidak mempunyai ilmu.6
Oleh itu, wasilah merupakan suatu perkara yang diredhai Allah SWT., dan
menjadi sebab termakbulnya doa karena doa itu sendiri adalah sebuah ibadah, yakni
ibadah itu hanya berdasarkan dalil-dalil yang datangnya daripada syariat Allah SWT.,
sendiri yang merupakan panduan dan ikutan dalam melaksanakan perintah-Nya.
Namun, terdapat golongan yang menolak tawassul ini dengan hujah-hujah yang
pada hakikatnya tidak mampu diterima akal dengan mengatakan bahwa tawassul ini
sama seperti meminta kepada orang yang sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan
yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak
menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tidak bernyawa, akan tetapi
permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT.
5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 74. 6 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengkap Tawassul, Diterjemah oleh Muhammad
Iqbal Amrullah (Jakarta: Darul Haq, 2014), 12.
-
4
Justeru, kita memohon syafaat kepada Allah SWT., melalui mereka yang telah
tiada yang diyakini mereka merupakan orang-orang yang saleh juga yang dikasihi
Allah SWT., bukan kepada benda mati dan tidak mempunyai apa-apa manfaat
daripadanya. Jika jasad tidak mampu mendengar dan mengerti kata-kata kita, bukanlah
bererti bahwa ruh suci mereka tidak boleh mendengar dan memahami permohonan
kita.
Imam Taqiyyuddin As Subki berkata: “Ketahuilah, bahwa boleh dan baik sekali
bertawassul, beristighasah, dan memohon syafaat dengan Nabi Saw., untuk memohon
kepada Tuhannya Yang Maha Suci dan Maha Agung. Diperbolehkannya tawassul dan
dianggap bagus adalah karena termasuk hal-hal yang maklum bagi setiap orang yang
beragama, amalan tawassul ini juga termasuk perbuatan para Nabi, Rasul, ulama salaf
(generasi pertama dan terbaik dari ummat Islam, terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah SWT.)7, orang-orang saleh, para ulama dan kaum
muslimin yang masih awam.8
Menurut padangan Muhammad al Maliki Al- Hasani, tawassul termasuk salah
satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah SWT. Jadi yang menjadi
sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya dalam bertawassul adalah Allah SWT.
Sedangkan yang ditawassulkan (al mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah
dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan
demikian, orang yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan
Allah.9
7 Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, “Definisi Salaf, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah”, diakses
melalui alamat https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html,
tanggal 06 September 2018. 8 M. Abror Rosyidin, “Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah SAW”,
diakses melalui alamat https://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullah-
saw/, tanggal 06 September 2018. 9 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 101.
https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.htmlhttps://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullah-saw/https://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullah-saw/
-
5
Sementara, Syed Ahmad Zaini Bin Syed Zaini Dahlan (Mufti Makkah) ada
mengatakan bahwa tawassul adalah sah terbitnya daripada Nabi Saw, para sahabat dan
salafussaleh dulu dan kemudian.10
Mendekatkan diri kepada Allah SWT., mempunyai banyak cara dan kaedah
yang boleh digunakan, namun kesemuanya haruslah dengan cara yang dibenarkan
oleh-Nya dan bermula dari perasaan kebutuhan serta kecintaan terhadap Allah SWT.,
sendiri. Jika seseorang merasakan kebutuhan kepada sesuatu, maka ia pasti berusaha
untuk menempuh segala liku dan dugaan bagi meraih ridha, perhatian dan
menyenangkan siapa yang ia butuhkan itu. Demikian juga sikap manusia yang
senatiasa membutuhkan Allah SWT., dalam hidup mereka.11
Bertitik tolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan
mengangkat permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) dengan
judul “Konsep Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an”.
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, pokok masalah
yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep tawassul yang
terkandung dalam Al-Qur’an? Maka, untuk lebih menajamkan penelitian ini, pokok
masalah ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagaimana
berikut:
1. Bagaimana hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an?
2. Bagaimana bentuk-bentuk amalan tawassul?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang konsep tawassul?
10 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 2 11 Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program
Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), 23
-
6
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang ingin dibahas, maka perlu dilihat sebuah
batasan masalah agar lebih terarah dan tidak melenceng dalam pembahasan ini.
Sehubungan dengan itu, penulis hanya mengkaji tentang konsep tawassul, dalil-dalil
berkaitan dengan konsep tawassul dan penafsirannya serta mengetengahkan pendapat-
pendapat ulama berkaitan dengan konsep tawassul ini.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini, secara umum diupayakan untuk mengetahui hakikat sebenar
konsep bertawassul. Secara khusus, penelitian ini ditujukan:
a. Untuk mengetahui hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an.
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk amalan tawassul.
c. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang konsep tawassul.
2. Kegunaan Penelitian
Lebih jauh, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai kegunaan yang
bersifat teoritis dan juga praktis, yaitu:
a. Sebagai salah satu sumber daya pemikiran dan kematangan iman masyarakat pada
masa kini dalam konsep ibadah kepada Allah SWT.
b. Melalui penelitian yang dilakukan masyarakat dapat menjadikan ia sebagai salah
satu rujukan ilmiah yang bermanfaat untuk memperkasakan lagi ilmu pengetahuan.
c. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah
mengembangkan paradigm keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk
Universitas Islam.
-
7
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kaedah tinjauan pustaka di mana
penulis mencari dan meneliti beberapa buku, kajian ilmiah dan bahan literatur yang
berkait dengan perbahasan dan penelusuran penulis dalam penelitian ini. Penulis
melakukan tinjauan pustaka terhadap kitab-kitab tafsir, buku-buku, kajian ilmiah dan
karya akademik yang terkait dengan permasalahan penelitian yang penulis rangkakan.
Penulis menemukan banyak para ulama yang sudah memberikan pengetahuan tentang
masalah amalan tawassul ini. Antaranya buku ilmiah yang merupakan karya tulis
popular seperti Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir,
Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim oleh Muhammad Al-Maliki Al-Hasani. Beliau
menyatakan bahwa amalan bertawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu
pintu untuk menghadap Allah SWT. Maka yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang
sebenar dalam bertawassul adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawassuli (al-
mutawassal bih) hanya sekadar perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT12 Selain itu, Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani dalam karyanya,
Agamamu dalam Bahaya menerangkan bahwa sesungguhnya tawassul adalah
bertawajjuh yaitu menghadapkan permohonan kepada Allah dalam doa dengan
kedudukan atau kemulian seseorang Nabi atau seorang hamba yang saleh karena
tawassul merupakan sunnah.13 Buku ini telah menerangkan mengenai konsep-konsep
tawassul yang menjadi persoalan dan titik perbahasan dalam kalangan masyarakat pada
masa hari ini.
Selanjutnya, penulis telah melakukan kajian ilmiah di perpustakaan bagi
dijadikan bahan tinjauan pustaka bagi penelitian penulis. Penulis menemukan sebuah
jurnal yang berkaitan tawassul karya Udah Mohsin berjudul Tawassul: Antara yang
disyariatkan dan yang dipertikaikan. Dalam jurnal ini diterangkan bahwa makna
12 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim, 101. 13 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 170.
-
8
tawassul kepada Allah SWT., melalui sesuatu adalah menghampiri dan menyampaikan
sesuatu kepada Allah SWT., melalui sesuatu perkara dan juga berarti kedudukan dan
taraf qurbah (pendekatan) yang khusus. Tawassul yang disyariatkan mempunyai dalil-
dalil yang jelas daripada Al-Qura’n atau Al-Sunnah atau kedua-duanya sekali.14
Penelitian yang dikaji dalam karya di atas merupakan pembahasan secara umum
mengenai hakikat tawassul sedangkan penulis melakukan pengkajian khusus tentang
konsep tawassul menurut Al-Qur’an.
Selain itu, penulis juga menemukan jurnal dalam Google yang berjudul “The
Islamic Rulling On Tawassul” yang ditulis oleh Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql. Jurnal
ini mengupas tentang penyebaran banyak inovasi, mitos, dan amalan musyrik telah
meningkat pada zaman kita disebabkan ketidaktahuan orang ramai akibat dari
meninggalkan perintah-perintah Allah SWT. Salah satu amalan yang tersebar secara
meluas adalah memuliakan orang yang disebut Wali (orang yang shaleh) dan memohon
kepada mereka daripada memohon kepada Allah SWT. Banyak orang memegang
keyakinan bahwa mereka boleh mendatangkan bahaya atau manfaat kepada orang lain,
maka mereka memuliakan golongan shaleh itu dan mengelilingi makam mereka.
Orang-orang itu mendakwa memohon kepada Wali sebagai kaedah untuk memenuhi
keperluan mereka dan melepaskan penderitaan mereka semasa kesukaran, tetapi jika
orang-orang jahil ini merujuk kepada Al-Qur'an dan sunnah dan memahami apa yang
ada di dalamnya mengenai doa, mereka akan mempunyai memahami makna sebenar
tawassul yang diperkenankan (mendekatkan diri kepada Allah). Tawassul yang
dibenarkan adalah sesuatu yang dilakukan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
dengan melakukan perbuatan yang benar dan menahan larangan-larangan, serta berdoa
kepada Allah SWT. berdasarkan nama-Nya Yang Indah dan Yang Mulia. Ini adalah
cara untuk mencapai kesenangan dan rahmat Allah SWT. 15 Jurnal ini mengupas
14 Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal
Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 35-36. 15 Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql, “The Islamic Rulling on Tawassul”, Artikel (Daar Al-Watan
Publishing House: 12 Disember 2004), 2-3, https://en.islamway.net/book/177/islamic-ruling-on-
tawassul, Diunduh tanggal 08 Oktober 2018.
-
9
tentang kesalahan dalam amalan tawassul yang dilakukan oleh ummat Islam pada masa
kini manakala penulis hanya mengkaji konsep tawassul secara umum melalui
perspektif Al-Qur’an dan pendapat ulama’ tentang amalan ini.
Sementara itu, di dalam jurnal penulisan 'Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi
berjudul Tawassul16, kupasan beliau menyimpulkan bahwa kontroversi tentang isu
tawassul bukanlah perpecahan antara ummat Islam, namun ia merupakan sebuah
percanggahan pendapat antara pengikut aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aliran
Salafiyyah. Tawassul melalui doa dengan penuh penghayatan kepada Nabi Muhammad
Saw., dan orang-orang saleh ini menjadi perbahasan dan perdebatan yang tiada
sudahnya setelah kemunculan Ibnu Taimiyyah. Polemik ini semakin meruncing dengan
kemunculan kumpulan yang menyebarkan fahaman dan pemikiran Ibnu Taimiyyah
tersebut dengan lebih esktrem dan syadid sehingga menjadi ikutan manusia serta
terkenal diserata dunia iaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Terdapat puisi tawassul di
dalam karya imam-imam yang terkemuka dan terkenal dalam kalangan ahli sufi dan
falsafah seperti Syeikh Sa’di, Khalid Naqshabandi dan Shaikh Muhyi al-Din Ibn al-
'Arabi . Golongan Salfiyyah ini mahu mendapatkan penerangan hanya dengan
berpandukan Al-Qur’an dan hadis secara zahir tanpa bijak dalam mendalami dan
mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perihal kepentingan bertawassul ini.
Kupasan dalam jurnal ini merupakan perbedaan pemahaman amalan tawassul dalam
kalangan Ahluss Sunnah Wal Jamaah dan Salafiyyah sementara kajian penulis adalah
tentang konsep tawassul menurut Al-Qur’an.
Penulis juga telah menemukan skripsi yang berjudul “Ayat-Ayat Tawassul
dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab” karya Lailatul Badriyah, Fakultas
Ushuluddin, Institus Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.17 Beliau membahas
tentang padangan Muhammad Bin Abdul Wahhab bahwa tawassul yang disyariatkan
adalah tawassul kepada Allah SWT. Menurutnya, orang yang bertawassul kepada
16 ‘Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi, “Tawassul”, Message of Thaqalayn, Vol 5, No 4 (2000), 25. 17 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”,
Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009).
-
10
orang saleh maupun kepada para kekasih Allah SWT., dianggap sama dengan sikap
orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada
Allah SWT. Menurutnya lagi, Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang
berdoa kepada Nya. Jika Allah Maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa
memerlukan sekat antara kita dan Allah. Skripsi ini hanya mengemukan pendapat
Muhammad Bin Abdul Wahhad dalam penelitiannya terhadap masalah pengamalan
tawassul. Manakala penulis pula lebih kepada merungkai pendapat-pendapat ulama
dan tokoh Islam terhadap pengamalan tawassul dalam kehidupan.
Skripsi kedua yang penulis temukan adalah “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”
yang karang oleh Muchammad Chaidar, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.18 Beliau membuat kesimpulan, redaksi hadis- hadis
tawassul yang ditelitinya bisa dipahami secara kontekstual, bahwa Nabi membolehkan
bertawassul dengan kemuliaan al-muqarrabin dengan kecintaannya. Hadis-hadis
tentang tawassul tersebut tidak boleh dimaknai sempit, yaitu hanya bisa bertawassul di
hadapan muqarrabin yang masih hidup saja, namun bisa juga dimaknai secara luas,
yakni bisa bertawassul pada yang telah wafat. Sebab pada prinsipnya, hakikat wasilah
dari tawassul kepada muqarrabin bukanlah keberadaan sosoknya, melainkan
kemuliaan dan amal saleh beliau. Maka dapatlah di fahami bahwa penelitian tersebut
lebih terarah kepada kajian hadis-hadis namun dalam kajian penulis, penulis
melakukan penelitian dan kajian tentang konsep tawassul menurut persepektif Al-
Qur’an.
Sebagaimana terlihat dari studi pustaka ini, penulis belum menemukan kajian-
kajian yang membahas tentang konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an. Dalam
arti lainnya, karya penulis ini tidaklah sama dengan karya-karya di atas, penulis
menyoroti konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an, penulis juga menggunakan
kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di untuk dijadikan
18 Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program
Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)
-
11
sebagai dokongan yang kuat dalam penelitian ini. Selain itu, penulis mengemukan
pendapat-pendapat ulama mengenai pandangan mereka terhadap konsep pengamalan
tawassul. Dengan demikian, penelitian penulis adalah berbeda dan dapat
ditindaklanjuti lebih jauh sebagai bahan kajian yang menarik. Penulis meneliti dan
mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan
pendekatan metode tahlily (analisis).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Yang dimaksudkan dengan metodologi penelitian adalah suatu kaedah atau
jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam
suatu penelitian, untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang
dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan
dengan kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literature-literatur tentang tawassul serta
mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum
dipublikasikan.
2. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam
penelitian ini adalah data-data sumber tulisan dari buku ilmiah, jurnal atau berbagai
artikel yang berkaitan dengan pembahasan yang terkaitan dengan judul ini.
a. Data Primer yakni merupakan data literature yang secara langsung memiliki
keterkaitan dan behubungan secara langsung dengan topik perbahasan penelitian.
Maka sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah al-Qur’an.
b. Data sekunder adalah data yang mendukung dan memperkuat data primer. Data ini
bersumber dari literatur-literatur yang ada relevansinya dengan masalah yang
dibahas. Diantaranya kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli khususnya ahli tafsir
-
12
seperti Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuti serta Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di karangan Syaikh
Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di. Antara buku-buku yang dijadikan bahan
rujukan kajian penulis adalah Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah,
Syafa’at, Takfir, Tasawuf, Tawasul, dan Ta’zhim yang ditulis oleh Muhammad Al-
Maliki Al-Hasani, Agamamu dalam Bahaya karya Al Allamah Abu Abdullah
‘Alawi Al Yamani, Khilafiah Persoalan & Penjelasan oleh Muhadir Bin Haji Joll,
Hakikat Tawassul dan Wasilah yang ditulis oleh Musa Muhammad Ali dan buku-
buku lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode tahlily (analisis).
Metode ini menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi sesuai
dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufassir mencakup pengertian
umum kosa kata ayat dan makna global ayat yang ditafsirkan. 19
4. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dianalisi melalui metode tahlily. Metode tahlily ini
digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang
tawassul dan yang berkaitan dengannya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam metode ini mencakup pengertian umum kosa kata, Munasabah/hubungan ayat
dengan ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna ayat global, hukum yang
dapat ditarik, yang tidak jarang menghidang aneka pendapat ulama mazhab dan
menambahkan uraian tentang aneka Qira’at , I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta
keistimewaan susunan kata-katanya.20
19 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2015), 5. 20 Ibid, 377.
-
13
G. Sistematika Penulisan
Sistematika disini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi pokok
bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan
mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut adalah
sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk menyatakan
keseluruhan isi skripsi dengan sepintas, kemudian dirinci ke dalam sub bab yang terdiri
dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian
kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan landasan teori dan tinjauan umum dari penelitian ini,
dalam bab ini penulis menguraikan tentang definisi, sejarah dan pemahaman tentang
amalan tawassul.
Bab ketiga pula penulis melakukan pembahasan mengenai tawassul dalam
keilmuan Islam yakni mengupas tentang macam-macam tawassul, bentuk-bentuk
amalan tawassul serta pengamalan tawassul dalam Islam.
Bab keempat merupakan analisis tentang Al-Qur’an dan tawassul yang
dilakukan untuk mengetahui pemaknaan, pemahaman dan interpretasi tentang hujah
dan dalil-dalil berkaitan tawassul. Bab ini merupakan hasil dan bahasan inti daripada
penelitian ini dengan mengeluarkan ayat-ayat tawassul dalam Al-Qur’an yang berkait
tentang tawassul, penafsiran kitab tafsir terhadap ayat-ayat tersebut pendapat ulama
terhadap konsep tawassul itu.
Bab kelima yaitu penutup dalam penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir yang menjawab matlamat penelitian, saran-saran serta harapan yang
sebaiknya dilakukan untuk lebih mengembangkan penelitian mengenai tema ini.
-
14
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL
Tawassul adalah satu amalan yang berasal dari kata wasilah (suatu jalan)
yang mana ia merupakan isu hangat yang menjadi perbincangan dan perbahasan
dalam kalangan ilmuan agama maupun masyarakat awam yang merangkumi bidang
ilmu akidah yakni kepercayaan ummat Islam. Sesungguhnya pujian hanya milik
Allah SWT., kita memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan memohon
keampunan dari-Nya. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., niscaya
tidak ada yang sesat, dan barangsiapa yang tersesat niscaya tidak ada yang memberi
petunjuk kepadanya selain Allah SWT.
اْوا مَ َتِضل : تَ رَْكُت ِفْيُكْم أَْمَرْيِن َلنْ bَعْن َماِلِك، أَنَّهُ بَ َلَغُه، َأنَّ َرُسوَل اهلِل ََ ََّّْكُُْم ِِِ : ا ََ ِكَُاَب اهلِل َو ُسنََّة نَِبيِِّه.
“Dari Malik, sesungguhnya hadis tersebut sampai padanya, sesungguhnya
Rasulullah Saw., bersabda: Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, iaitu Kitab
Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.”. (Riwayat Yahya Bin Yahya al- Laitsi)1
Oleh itu, sebagai ummat Islam yang berpaksikan kehidupan berlandaskan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, haruslah kita mengetahui hakikat dan kaidah dalam
membezakan tawassul yang disyariatkan dengan tawassul yang menjadi pertikaian
para ulama’. Tawassul yang disyariatkan akan menjadi pegangan dan prinsip kita
manakala tawassul yang dipertikaikan itu perlu dijadikan renungan bahwa boleh
melakukan dan menerimanya atau menolak dan meninggalkannya.
A. Definisi Tawassul / Wasilah
Dalam memahami makna kepada perkataan tawassul yang banyak disalah-
artikan, kita seharusnya memahami apa itu tawassul terlebih dahulu. Bahwasanya
1 Abu Abdillah Malik Bin Anas, Al-Muwatho' bi Riwayati Yahya bin Yahya al-Laitsi, Bab
Jami’, No 1619 (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiah, 1984), 502.
-
15
tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdoa dan merupakan salah satu
pintu dari pintu-pintu menghadap Allah SWT. Orang-orang yang bertawassul
dengan perantara adalah karena ada rasa cinta kepada perkara yang dijadikan
sebagai perantara tersebut dan juga yakin bahwa Allah SWT., juga mencintai
perkara itu. Selain itu, setiap orang yang berkeyakinan bahwa perantara itu dapat
mendatangkan manfaat atau mudarat persis seperti Allah SWT. atau tanpa kemauan
Allah SWT., maka sesungguhnya ia telah pun berbuat musyrik. Tawassul bukanlah
suatu keharusan atau perkara yang sangat perlu malah terkabulnya doa adalah tidak
sepenuhnya bergantung pada perkara yang menjadi perantara tetapi prinsip berdoa
itu sendiri yakni berdoa secara mutlak hanya kepada Allah SWT.2
1. Tinjauan Etimologi
Tawassul arti bahasa adalah al-qurbah atau al-taqarrub, yaitu mendekatkan
diri dengan suatu perataraan (wasilah). Wasilah bermaksud mendekatkan diri dan
mengharapkan. Dan dari kata itu terbentuk suatu pemahaman yakni sesuatu yang
bisa mendekatkan diri pada hal yang lain. Maka dari kata wasilah itulah masyarakat
kita lebih mengenal dengan kata tawassul. Jadi tawassul adalah mendekatkan diri
dengan suatu perantaraan (wasilah) atau menjadikan sesuatu yang menurut Allah
SWT., mempunyai nilai, derajat dan kedudukan yang tinggi, untuk dijadikan
sebagai perantaraan (wasilah) agar doa dapat dikabulkan. Sedangkan untuk orang
yang melakukan tawassul disebut dengan mutawassil. Dari kata-kata itulah
kemudian praktek tentang wasilah biasa pula dikenal dengan istilah tawassul. Jadi,
jika kata tawassul disebutkan, maka ia jelas memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kata wasilah,3
Selain itu, terdapat beberapa tokoh yang mengklasifikasikan makna
tawassul itu kepada beberapa bentuk. Bagi Al-Fairuz, تَ ْوِسْيًل َوسََّل إِلَْيِه تَ َعاََل : “Berperantara kepada-Nya dengan suatu perantara, yaitu melakukan suatu
2 Siti Asifah, “Tawassul Menurut Al Qur’an”, Skripsi (Surabaya: Program Sarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 1998), 22-23. 3 Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW”,
Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 18.
-
16
perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT., sebagai satu tawassul.”
Menurut pendapat Ar-Raghib Al-Ashfahani pula: “Hakikat dari al-wasilah kepada
Allah SWT., adalah melalui jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah, serta menjejaki
kemuliaan syariat seperti taqarrub. Dalam pandangan Al-Fayumi, beliau
mengatakan َلة Bertawassul kepada-Nya dengan sesuatu“ :َوتَ َوسََّل ِإََل َربِِّه ِبَوِسي ْwasilah iaitu mendekati-Nya dengan suatu amal.4
Secara lughawi (bahasa), dan penunjukan (dalalah)nya yang asli, kata
tawassul berasal dari bahasa Arab asli, disebutkan di dalam Al-Qur’an, hadits,
pembicaraan orang Arab, syair dan natsr (prosa), yang artinya mendekat (taqorrub)
kepada yang dituju dan mencapainya dengan keimanan keras. Tawassul berasal dari
kata الوسيلة yaitu suatu sebab yang dapat mengantarkan pada tercapainya tujuan. Wasilah juga mempunyai makna yang lain, yaitu kedudukan di sisi raja, atau derajat
dan kedekatan.5
Maka dapatlah disimpulkan bahawa makna tawassul itu diambil daripada
kata al-wasilah atau al-washilah, lalu الُوسل dengan الُوصل memiliki makna yang
berhampiran , kerana huruf sin (س) dan sod (ص) saling mewakili antara satu sama
lain dan kerana itulah kita boleh membaca firman Allah SWT. ِاْهِدنَا الصِّرَاَط
ََُُّْقْيَم،َت َعَلْيِهمْ امل َْ ََُُّْقْيَم، ِسرَاَط atau dibaca seperti ِصرَاَط الَِّذْيَن أَنَع
ِاْهِدنَا الَِّّرَاَط امل
َت َْ َعَلْيِهْم الَِّذْيَن أَنَع dengan huruf sin dan kedua-dua bacaan ini merupakan salah
satu daripada tujuh jenis bacaan al-Quran (القراءة الَّبعة). Oleh itu, الُوسل dan
4 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq,
2014), 7-8. 5 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul
Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13.
-
17
memiliki makna yang sangat berdekatan sekali dan wasilah menjadi الُوصلpenyebab yang menyampaikan kepada tujuan dan hakikat sesuatu yang diinginkan.6
Selain itu, tawassul ialah memohon atau berdoa kepada Allah SWT., dengan
perantaraan seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan.7 Tawassul juga
merupakan jalan menuju kepada Allah SWT., atau jalan yang paling cepat untuk
mendekati Allah SWT. Sesetengah ahli bahasa mengatakan tawassul ialah jalan
untuk mencapai suatu tujuan atau suatu maksud. Tawassul dan wasilah ialah
mendekat diri kepada Allah SWT., dengan melakukan sesuatu amalan baik yang
diredhai-Nya seperti mentaati-Nya, melakukan amar maaruf dan meninggalkan
munkar dan seumpamanya.8
2. Tinjaun Epistomologi
Makna kepada perkataan tawassul adalah salah satu daripada cara berdoa
dan pintu untuk bertawajjuh (menghadapkan sesuatu permintaan) kepada Allah
SWT., kerana tujuan asal tawassul yang sebenar ialah Allah SWT. Manakala orang
yang dijadikan sebagai perkara bertawassul hanyalah sebagai perantara dan jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul tidaklah
bertawassul dengan wasilah ini melainkan kerana perasaan kasihnya terhadap
wasilah tersebut dan kepercayaannya bahawa Allah SWT., mengasihi wasilah
tersebut.9
Tawassul ialah berdoa kepada Allah SWT., dengan wasilah yaitu
memperingati sesuatu yang dikasihi Allah SWT. Sekiranya dicontohkan kepada
situasi keduniaan, umpamanya kita akan meminta pekerjaan kepada sesuatu
jawatan, tetapi kita tidak begitu dikenali oleh ketua pejabat itu, maka kita lalu
mencari jalan, yaitu menghubungi sahabat kita yang bekerja pada pejabat itu dan
6 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 8. 7 Muhadir Haji Joll, “Q&A Bersama Tuan Guru Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-
Banjari Al-Makki” (Selangor: PNS Pblications Sdn Bhd, 2012), 40. 8 Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala
Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 3. 9 Dede Ridwanullah, “Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang
Tawassul”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012), 3
-
18
dengan pertolongannya permintaan kita untuk bekerja menjadi terkabul. Ini
merupakan contoh permohonan dengan wasilah.10
Hakikatnya, tawassul adalah “mengambil atau menggunakan sebab-sebab
yang dengan sebab itu akan menyampaikan kepada keridhaan Allah SWT. Sebab-
sebab itu pula barangkali sesuatu yang dharuri (mustahak) seperti makan dan
minum dan barangkali ghari dharuri (tidak mustahak) seperti bergantung atau
bersandar kepada kekasih-kekasih Allah SWT., dari kalangan orang-orang saleh.
Allah SWT., menggelarkan mereka sebagai muqarrabin (sentiasa beribadah dan
mencari ridha-Nya) yang dikurniakan nikmat bagi sesiapa yang duduk bersama
mereka.11
Defisini tawassul yang lainnya adalah berdoa meminta sesuatu hajat kepada
Allah SWT., disertai dengan mengingatkan sesuatu yang dikasihi dan diredhai
Allah SWT. Jika bertawassul dengan Rasulullah Saw., motif utamanya ialah untuk
mendapat syafaat Rasulullah Saw., manakala jika bertawassul dengan orang alim
dengan motif semoga Allah SWT., memberikan keberkatan mereka pada
urusannya. Maka dengan syafaat dan keberkatan itu terlahir sebuah pengharapan
bahwa doanya akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah SWT., atas kemuliaan
orang yang dijadikan perantara doa itu.12
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi tawassul adalah mengambil perantara bagi
mencapai sesuatu tujuan. Sesuatu tujuan itu tidak dapat dicapai melainkan dengan
perantaraan yang betul. Tawassul kepada Allah SWT., adalah bertawassul bagi
mendapat keridhaan dan ganjaran yang baik. Keridhaan ini diperoleh oleh semua
orang yang beriman kepada Allah SWT., yaitu dengan mengambil semua cara dan
sebab yang dapat mencapai ke arah keridhaan itu. Sebagaimana dijelaskan Allah
SWT., dalam Al-Qur’an surah al-Mai’dah ayat 35. Perantara atau wasilah yang
dinyatakan dalam ayat tersebut adalah kaedah bagi mendekatkan diri kepada Allah
10 Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7 11 Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan Al Hasani, Fitnah Wahabi (Ampang: Sofa Production,
2009), 18-19. 12 Jahid Sidek, “Doa Tawassul Meminta Bukan Kepada Mahkluk”, Al Islam, Bil. 481,
Tahun 37, Februari 2014, 18.
-
19
SWT., melalui cara yang disukai dan diridhai-Nya, yakni melalui percakapan,
perbuatan, dan niat yang betul.13
Maka dapatlah dipahami bahwa tawassul boleh diartikan dengan maksud
ibadah yang dengannya dimaksudkan tercapainya rihda Allah SWT., dan surga. Ini
bermakna bahwa tawassul adalah pendekatan diri kepada Allah SWT., dengan
suatu amal. Karena itulah seluruh ibadah adalah wasilah menuju keselamatan dari
api neraka dan kebahagiaan masuk surga.14
Kata wasilah juga disinggung dalam hadis Rasulullah Saw., sebagaimana
sabda beliau: “Mohonlah untukku wasilah kepada Allah SWT., sesungguhnya ia
(wasilah) adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak diberikan kecuali kepada
salah seorang hamba Allah SWT. Dan aku menggharap akulah hamba itu. Maka
barangsiapa memohonkan wasilah untukku dari Allah SWT., maka ia akan
mendapatkan syafa’atKu di hari kiamat”. Tawassul melalui Nabi Saw., menurut
para sahabat adalah bertawassul dengan doa dan syafa’at beliau. Sedangkan wasilah
menurut ulama mutaakhirin adalah bersumpah dan memohon dengan nama Nabi
Saw., seperti yang mereka terdahulu bersumpah dengan nama Nabi-nabi, para
salehin dan orang-orang yang dianggap baik .15
B. Sejarah Tawassul
Istilah atau perbuatan tawassul ini bukan sesuatu yang baru atau rekaan
semata-mata, namun istilah dan perbuatan tawassul ini telah wujud dari dahulu lagi.
Berikut beberapa hadis Rasulullah Saw., dan atsar (peninggalan) sahabat yang
memperjelas cakupan umum tentang amalan tawassul. Dengan perhatian penuh
terhadap hadis-hadis dan atsar, akan terlihat bahwa telah terjadi tawassul kepada
Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw., sebelum
wujud kelahirannya, ketika hidup di dunia, juga sesudah wafatnya di alam barzakh,
13 Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul dalam Perspektif Hadis Nabi Saw”,
Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 23 14 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq,
2014), 8-9. 15 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul
Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13-14.
-
20
demikian pula ketika manusia telah dibangkitkan sebelum diputuskan segala
urusannya di hari kiamat.
1. Bertawassul dengan Perantara Nabi Muhammad Saw., Sebelum
Kelahiranya
Terdapat hadis yang menceritakan tentang Nabi Adam a.s., bertawassul
kepada Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw.:
رَ َعنْ ََ طَّابِ ْبنِ ُع مَ َوَسلَّ َوآلِهِ َعَلْيهِ اللَّهُ َصلَّى اللَّهِ َرُسولُ قَالَ : قَالَ ، َعْنهُ اللَّهُ َرِضيَ اْلَْا اف ْ : ََ ا َغَفْرتَ َُ َرَف آَدُم اَْلِطيئَ َل ََ ََّد ِل فَ َقاَل اهلُل : َِل َة َقاَل : يَا َربِّ َأْسأَُلَك ِِبَقِّ ُُمَ
ًدا وَلَْ أَ ََّ ا َخَلْقَُِِ بَ يَ َربِّ ! ِلَ ْخَلْقُه؟ فَ َقاَل : يَايَا آَدُم وََكْيَف َعَرْفَت ُُمَ ََّ َك دِ نََّك َلٌد ِإَّلَّ ُُوبًا آ إَِلهَ ِم الَعْرِش َمكْ رَْاِسي فَ رَاَْيُت َعَلى قَ َوائِ ِمْن ُرْوِحَك رفَ ْعُت َونَ َفْختَ ََّ اهللَ ُُمَ
ُت أَنََّك ََلْ تُ َرُسوُل َْ َك ، فَ َقاَل اهللُ : َصَدْقتَ يْ ِق أِلَ لْ ِضْف ِإََل اْسَِْك ِإَّلَّ َأَحبَّ اْلَ اهللِ فَ َعِلََّدٌ َوَلو كَ ، فَ َقْد َغَفْرُت لَ ِِ َِبَقِّهِ بَّ اْللِق َعَلىَّ ، أُْدعُ حَ يَا آَدُم ِإنَّهُ ِلَ َُُك.قْ َما َخلَ ََّل َُمَ
“Daripada Saidina Umar bin al-Khattab r.a., bhawa beliau berkata: Rasulullah
Saw., telah bersabda: “Ketika Adam a.s., melakukan kesalahan lalu baginda
berkata: “Wahai Tuhan, saya memohon dengan hak Muhammad, tidakkah
kamu sudi mengampuniku?” Allah SWT., lalu berfirman: “Wahai Adam,
bagaimana kamu kenal Muhammad sedangkan aku belum menciptakannya
lagi?” Beliau menjawab: “Wahai Tuhan. Ia karena, ketika Engkau
menciptakanku dengan yadd (kekuasaan)-Mu, lalu Engkau tiupkan padaku
daripada roh-Mu, lalu aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat di atas
tiang-tiang Arasy telah tertulis “La ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’.
Maka, aku ketahui bahawa Engkau tidak akan menggandingkan sesuatu kepada
nama-Mu melainkan seseorang yang kamu paling sayang dalam kalangan
makhluk-Mu di sisi-Mu.” Lalu Allah SWT., berfirman: “Benar wahai Adam,
sesungguhnya Baginda adalah makhluk yang paling disayangi pada sisi-Ku.
Berdoalah kepada-Ku dengan hak Baginda. Maka sesungguhnya, Aku telah
ampunkan kamu. Jika bukan kerana Muhammad, nescaya Aku tidak
menciptakan kamu.”
Meninjau dari periwayatan hadis ini, ramai ulama dan terdahulu dan
mutaakhir yang membenarkan dan meriwayatkan hadis ini. Antara ulama terdahulu
adalah seperti Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak dan hadis ini telah
dishohihkan olehnya [Jilid 2 halaman 615] dan Al Hafiz al Suyuti dalam kitab
-
21
beliau al Khasois al Nabawiyyah dan telah dishohihkannya [Jilid 1 halaman 27]. Al
Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini dalam karyanya Dalailun Nubuwwah [Jilid 5
halaman 489] dan beliau tidak meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ (palsu)
sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah kitabnya dan juga dishahihkan
oleh al Qastalani dalam kitab penulisannya al Mawahib al Laduniyyah [Jilid 1
halaman 82]. Manakala ulama mutaakhir pula adalah Syeikhul Islam Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan dalam al Durrar al Saniah [halaman 33-35] dan juga Al
Muhaddith Al Mufassir al Allamah Syeikh Yusuf al Dijwi, salah seorang Anggota
Ulama Besar al Azhar menerusi majalah An Nur terbitan Syawal 1350 Hijrah dalam
makalah berjudul “Kalimaat Lil Wahhabiah”.16
Hadis di atas didukung oleh ayat Al-Qur’an sebagaimana firman Allah
SWT., dalam QS Al-Baqarah ayat 37:
“Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat (kata-kata untuk bertaubat)
daripada Tuhan-Nya, maka Allah menerima tobatnya. Sungguhnya, Allah
Maha Penerima Tobat, lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Baqarah: 37).17
As-Syed Abdullah As-Siddiq Al-Hasani Al-Ghimari, salah seorang ulama
hadis yang terkenal dalam kitabnya Ittahaful Azkia’ Bi Jawazi At-Tawassul Bil
Anbiya’ Wa Auliya’ mengatakan bahwa Ibn Munzir telah meriwayatkan bahwa
malaikat Jibril a.s., telah mengajarkan Nabi Adam a.s., bertawassul dengan Nabi
Muhammad Saw. Maka jelas dalam hadis ini bahwa Nabi Adam a.s., berdoa kepada
Allah SWT., dengan bertawassulkan Nabi Muhammad Saw., yang belum
dilahirkan lagi pada ketika itu. Perbuatan Nabi Adam a.s., dan cara berdoanya
beliau diterangkan oleh Rasulullah Saw., dalam haditsnya karena doa semacam ini
dikabulkan oleh Allah SWT.18
16 Muhammad Fuad Kamaludin, Benarkah Hadith Tawassul Nabi Adam A.S. Palsu???
(Selangor: Abnak Production, 2002), 9-11. 17 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 7. 18 Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur, 13-18.
-
22
2. Bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW ketika Masih Hidup dan
Sesudah Wafatnya
Hadith Rasulullah Saw., daripada Uthman bin Hunaif r.a., bahwa seorang
laki-laki buta telah datang kepada Nabi Saw.,:
اَن ْبِن َحِنْيف ََ َعَلْيِه َوَسلََّم: فَ َقاَل َأنَّ َرُجًل َضرِيَر اْلَبَصِر أََتى النَِّبَّ َصلَّى اهللُ َعْن ُعْث اْدعُع اهلَل َأْن يُ َعافُ َيِِن.
“Dari Usman Bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang buta matanya telah datang menemui Nabi Saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah saw, doakan pada
Allah agar menyembuhkan aku.19
Maka Rasulullah Saw., bersabda kepadanya dan dia menjawab: “Ya
Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun, ini berat bagiku”. Nabi Saw., bersabda
kembali:
ٌر َلَك ، َوِإْن ِشْئَت َدَعْوتَ َأََّل َتْصِبُ ؟ . ِإْن ِشْئَت َأخَّْرُت َذِلِك فَ ُهَو َخي ْ“Mengapa engkau tidak bersabar? Bila kamu berkenan, maka aku menunda hal
itu dan itu lebih baik bagimu, namun bila kamu berkenan, maka aku berdoa
(untuk kesembuhanmu)”.20
Dan kemudian laki-laki itu menyuruh Rasulullah saw., berdoa. Maka sabda
Rasulullah saw., : “Pergilah berwudhu’ dengan baik dan solatlah dua rakaat.
Kemudian bacalah doa ini:
ََّد ِإِّنِّ ََّد َنِبِّ الرَّْْحَِة يَا ُُمَ تَ َوجَّْهُت ِبَك ِإََل اللَُّهمَّ ِإِّنِّ َأْسأَُلَك َوأَتَ َوجَُّه إِلَْيَك بَِنِبيَِّك ُُمَ . َرِّبِّ ِف َحاَجِِت َهِذِه لُُِ ْقَضى ِلَ، اللَُّهمَّ َفَشفِّْعُه ِفَّ
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon dan bertawajjuh kepadaMu dengan
(kemualiaan) Nabiku, Muhammad saw: Nabi pembawa rahmat, wahai
Muhammad! Sesungguhnya aku memohon syafa’at denganmu ke atas Tuhanku
19 Ibid. 20 Syaikh Muhammad Bin Ahmad, Rahsia & Mukjizat Tawassul (Jakarta: Pustaka Imam
Bonjol, 2017), 6.
-
23
agar penglihatan mataku dikembalikan. Maka syafa’atkanlah diriku dan
syafa’atkanlah Nabiku dalam mengembalikan penglihatanku”. 21
Rasulullah Saw., bersabda:
َوِإْن َكاَنْت َلَك َحاَجٌة فَاف َْعْل ِمْثَل َذِلكَ “Sekiranya kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti itu”.22
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di mana beliau mengatakan
hadis ini adalah hadis hasan yang sahih dan juga diriwayatkan oleh al-Nasaii dan
al-Hakim. Manakala, Ibnu Abi Khaithamah r.a juga meriwayatkannya dalam kitab
hadis beliau berjudul Tarikh. Bahkan Imam al-Tabarani dan ulama lain
meriwayatkan bahwa Uthman bin Hunaif ra mengajar seorang laki-laki supaya
berdoa dengan doa ini selepas kewafatan Rasulullah saw tatkala mempunyai
sesuatu hajat, maka hajat laki-laki tersebut tertunai. Imam Al-Tabrani telah
mensahihkan kisah ini dan diperakui oleh al-Munziri dalam al-Targhib wa al
Tarhib. Demikian juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-Haithami di dalam Majma’ al-
Zawaid.23
Ini membuktikan bahwa doa juga merupakan sebahgian daripada cara
bertawassul dan doa yang diajarkan Rasulullah Saw., ini, menunjukkan keharusan
bertawassul dengan Baginda Saw., ketika hayat Baginda Saw., maupun selepas
kewafatan Baginda Saw., khususnya melalui perkataan Baginda Saw.,: “Sekiranya
kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti ini”.
C. Kepahaman Mengenai Tawassul
Terdapat sebahgian golongan yang menafsirkan ayat-ayat tawassul hanya
didasari akal fikiran dan hawa nafsu semata-mata. Sehingga munculah pelbagai
golongan yang mengklasifikasikan tawassul sebagai sebuah amalan berupa
21 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban:
Koperasi As Sofa, 2014), 171. 22 Ibid. 23 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 171.
-
24
kesyirikkan yang besar. Ini disebabakan karena mereka tidak memahami makna
tawassul dari sisi bahasa maupun istilahnya. Sehingga mengakibatkan kesalahan
dalam memahami jalan menempuh ridha Allah SWT.
Mereka menyamakan amalan tawassul ini seperti dengan golongan
plytheist24 yang mana mereka menyembah tuhan-tuhan selain Allah SWT.
Golongan tersebut menyatakan bahwa mereka mencipta tuhan-tuhan mereka
sebagai tempat meminta syafaat dan menyembahnya bagi mendekatkan diri kepada
Allah SWT., seperti firman Allah SWT., pada QS Yunus ayat 18:
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah, apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan
mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’.
Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak
diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)”. (QS Yunus: 18).25
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah Agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
24 Gelaran bagi golongan musyrikin. 25 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 167.
-
25
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (QS Az-
Zumar: 3).26
Menurut ayat-ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
golongan yang mengatakan tawassul merupakan syirik adalah disebabkan mereka
menyamakan orang yang bertawassul itu sama seperti kaum musyrikin karena
apabila seseorang itu mempercayai penunaian hajat secara bertawassul, maka ia
adalah sama seperti memohon kepada patung-patung yang tidak bernyawa. Mereka
menyamakan orang-orang saleh yang telah meninggal dunia ibarat patung-patung
berhala yang tiada fungsi dan tidak mampu melakukan apa-apa kerana tidak
bernyawa.27
Ini adalah pendapat yang tidak berasas dan satu bentuk pengadilan yang
dilakukan bukan pada tempatnya. Ini karena ayat di atas jelas menzahirkan kutukan
Allah SWT., ke atas puak musyrikin yang menyembah berhala, menjadikan berhala
sebagai tuhan selain Allah SWT., dan melakukan syirik dengan mendakwa bahwa
penyembahan terhadap berhala bertujuan menghampirkan diri kepada Allah SWT.
Mereka percaya bahwa patung berhala wujud sifat ketuhanan yang mampu memberi
manfaat dan menolak mudarat. Sekalipun mereka tidak menganggap patung berhala
boleh mencipta, memberi rezeki dan mentadbir urusan-urusan besar tetapi mereka
beranggapan dengan meyakini bahwa syafaat yang dipohon terhadap berhala itu
akan ditunaikan Allah SWT., karena kedudukan berhala sebagai sekutu dengan
Allah SWT.28
Jika amalan tawassul ini merupakan syirik sebagaimana yang dikatakan oleh
sebahgian golongan itu, maka tidaklah wujud doa tawassul yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw., kepada para sahabatnya dan menyuruh mereka mengamalkannya:
ُلَك ِِبَقِّ الََّّائِِلْْيَ إِلَْيكَ اَللَُّهمَّ ِإِّنِّ َأْسأَ
26 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 336. 27 Adika Mianoki, Tawassul Syar’i VS Tawassul Syirik, diakses melalui alamat
https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html, tanggal 01 Januari
2019. 28 Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd,
2014), 175-177.
https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html
-
26
“Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang
memohon kepada-Mu”.29
Maka, amalan tawassul dengan perantara termasuk dalam perantara iman
dan masyru’ (dibolehkan). Antara perantara kategori ini adalah para Rasul, para
Nabi, para Malaikat dan setiap yang kita merujuk sebagai wasilah dan
bertawassulkannya kepada Allah SWT., adalah dengan cara kasih dan bukan
sembah. Termasuk dalam kategori ini adalah amalan tawassul yang mengEsakan
Allah SWT dengan menjadikan para Nabi dan orang-orang saleh sebagai perantara
kepada Allah SWT untuk memperoleh suatu hajat dan mendapat syafaat. 30
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon
kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan
bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat
dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini
kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul kafir dan musyrik.
Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya
manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT.,
dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.31
Mereka tidak melakukan semua itu dengan niat menyembah pengantara itu,
tidak juga dengan menganggap wasilah itu sebagai Tuhan atau ada orang lain yang
mampu menunaikan atau menghalang sesuatu. Namun, mereka hanya menganggap
wasilah hanya sebagai jalan untuk memohon doa dan syafaat dari Allah SWT.
Mereka ini hanya menyembah Allah SWT dan menyakini bahwa Allah SWT sahaja
yang mampu mendatangkan kemudaratan dan manfaat.32
29 Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan, Fitnah Wahabi, 24-25. 30 Al-Syayid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah, 177-178. 31 Muhammad Idrus Ramli, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi (Surabaya: Bina
ASWAJA, 2010), 63. 32 Ibid.
-
27
BAB III
TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM
A. Macam-Macam Tawassul
Dalam keilmuan Islam, ulama sepakat membagikan tawassul kepada beberapa
jenis yang utama. Ada sebagian ulama yang mengharuskan tawassul. Disamping itu,
ada ulama lain yang juga berselisih dalam pengalaman tawassul ini. Oleh itu, tawassul
dapat dibagi kepada dua jenis yaitu tawassul yang disepakati dan tawassul yang
dipertikaikan.
1. Tawassul yang disepakati
Ibn Taimiyah dan pengikutnya hanya membenarkan tawassul pada tiga keadaan
sahaja. Tiga keadaan atau bahagian itu merupakan yang ditunjukkan oleh nas-nas Al-
Qur’an, As-Sunnah, amalan salafussoleh dan ijmak muslimin yakni yang pertama
adalah tawassul dengan salah satu daripada nama-nama Allah SWT., atau salah satu
dari sifat Allah SWT. Keduanya pula ialah tawassul dengan amal saleh yang dikerjakan
oleh orang yang meminta dan yang terakhir adalah tawassul dengan doa orang-orang
saleh.1
Menurut Noriza Salleh2 dalam penulisannya pula, tawassul yang disepakati
oleh ulama-ulama Islam bermakna tawassul dengan cara yang tidak menyalahi atau
bertentangan dengan syarak dan mempunyai dalil-dalil yang jelas dan nyata daripada
Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kedua-duanya sekali. Ia juga dikenali sebagai wasilah
al-syar’iyyah. Pada lazimnya, tawassul ini hanya bertujuan untuk mencapai sesuatu
maksud dengan cara yang tidak membawa syirik kepada Allah SWT. Maka, kaedah-
kaedah tawassul tersebut ialah melalui keimanan kepada Allah dan Rasul serta taat
pada-Nya, menggunakan namanama atau sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna dan
1 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,
Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7-8. 2 Noriza Salleh, Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 5, No. 3 (2013),
36.
-
28
Agung, amal-amal soleh dan memohon pertolongan kepada orang-orang soleh untuk
mendoakannya.
Seterusnya, tawassul yang katogerikan sebagai tawassul yang disyariatkan
adalah tawassul yang mempunyai dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah
atau kedua-duanya sekali di mana ulama tidak mempertikaikan kebenaran amalan
tawassul ini. Ianya merangkumi amalan tawassul seperti tawassul kepada Allah SWT.,
dengan beriman kepada Nabi Muhammad Saw., dan taat kepadanya, tawassul kepada
Allah SWT., melalui nama dan sifat-sifat-Nya. Selain itu, tawassul kepada Allah
SWT., melalui doa dan syafaat Rasulullah Saw., tawassul kepada Allah SWT., melalui
amal-amal saleh dan tawassul kepada Allah SWT., melalui doa daripada orang saleh.3
2. Tawassul yang dipertikaikan
Tawassul yang dipertikaikan adalah tawassul yang menjadi perselsihan dalam
kalangan ulama yang mana ada yang mengharuskannya tetapi ada juga yang
melarangnya. Tawassul ini adalah tawassul dengan makhluk, atau dengan makna lain
bertawassul dengan Rasulullah Saw., para anbiya’ atau orang saleh. Imam Ahmad
mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., sahaja tidak yang lain. Manakala
Imam al-Shawkani mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., dan para anbiya’
yang lain seterusnya orang saleh yang lain.4
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa adapun yang
dipertentangkan di antara ummat Islam adalah masalah bertawassul kepada Allah SWT
lewat perantara berbentuk benda dengan perantaraan manusia. Misalnya dikatakan:
“Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan kesalehan Abu Bakar
Shiddiq r.a., atau dengan Umar bin Khattab r.a., atau dengan perantaraan Usman r.a.,
atau dengan perantaraan kemuliaan Ali r.a.” Namun sebetulnya tawassul seperti ini
merupakan tawassul yang disepakati karena orang yang bertawassul kepada Allah
3 Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal
Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 36. 4 Ibid, 38.
-
29
SWT., dengan perantara seseorang itu dikarenakan ia mencintai orang tersebut. Mereka
berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh, yakin bahwa perantara itu
mencintai Allah SWT., dan berjihad di jalan-Nya dan Allah SWT., juga mencintai
orang tersebut.5
Namun, sebenarnya bertawassul sesama manusia itu tiada larangan dalam ayat
Al-Qur’an dan hadis bahwa tawassul kepada Allah SWT., melalui orang-orang yang
dekat dengan Allah SWT., umpama bertawassul kepada para Nabi, para Rasul, para
sahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, para syuhada, dan para ulama salehin. Ini
disebabkan oleh karena walaupun kita bertawassul kepada orang-orang yang hampir
dengan Allah SWT., namun pastinya kita memohon kepada Allah SWT., karena Allah
SWT., sahajalah tempat kita meminta. 6
Jika dilihat dari sudut golongan yang menghukum amalan ini tidak benar, maka
semua manusia telah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah SWT. Nabi
Muhammad Saw., mengambil Al-Qur’an melalui perantaraan malaikat Jibril a.s. Maka
malaikat Jibril a.s., adalah pengantara bagi Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad
Saw., pula ialah pengantara tersebar bagi para sahabat pada ketika itu. Dalam setiap
kesulitan yang menimpa, para sahabat sentiasa mengadu kepada Rasulullah Saw.,
mereka bertawassul dengan Baginda Saw., kepada Allah SWT., dan memohon doa
daripada Nabi Saw . Tidak pula Rasulullah Saw., berkata bahawa para sahabat telah
jatuh kufur atau syirik kerana mengadu dan memohon kepada Rasulullah Saw.
Sebaliknya Rasulullah Saw., hanya berdoa dan memohon kepada Allah Saw., untuk
sahabat Rasulullah Saw., padahal mereka benar-benar yakin bahawa yang memberi dan
menghalang sesuatu, yang menurunkan dan meluaskan rezeki pada hakikatnya
hanyalah Allah SWT., sahaja. Rasulullah Saw., mampu memberi tetapi melalui
5 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,
Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 103-104. 6 Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan (Kuala Lumpur: Inteam Publishing
Sdn. Bhd., 2015), 234-235.
-
30
keizinan dan kurnia dari Allah Saw., sendiri dan Rasulullah Saw., pernah bersabda
bahawa Rasulullah Saw., hanyalah pembahagi dan pemberi adalah Allah SWT.7
Perselisihan ini hanya pada zahir dan bukan pada hakikatnya kerana perkara
yang menjadi perselisihan dalam kalangan ulama’ hanyalah mengenai keharusan
bertawassul semasa hayat seseorang wasilah dan selepas kewafatan wasilah tersebut.
Amalan bertawassul adalah dengan memohon dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT., bukan kepada wasilah. Wasilah tersebut hanya sebagai kaedah dan perantara
bagi menyampaikan kita kepada Allah SWT. Maka sebagai umat Islam, seharusnya
kita menyakini bahawa yang diharuskan bertawassul adalah melalui amalan soleh
orang yang dijadikan wasilah di mana wasilah tersebut merupakan seseorang yang
mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT.8
B. Bentuk-Bentuk Amalan Tawassul
1. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Nama dan Sifat-Sifat-Nya
Tawassul dalam bentuk ini merupakan firman daripada Allah SWT., dalam QS
Al-A’raf ayat 180:
“Hanya Milik Allah al-Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut Al-Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf: 180)9
7 Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd, 2014),
178. 8 Fatimah Binti Abdul Khadal, “Tawassul: Kebenaran atau Kebatilan?”, Skripsi (Ampang:
Program Diploma Kolej Islam As Sofa, 2016), 59-60. 9 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 138.
-
31
Ayat ini Allah SWT., memberi peransang kepada setiap orang Islam supaya
selalu berdoa kepada Allah SWT., dengan perantara Nama-nama-Nya Yang Husna,
dengan harapan supaya doa itu dimakbulkan oleh Allah SWT.
Mihjan Ibnu Adra’ r.a., menceritakan bahwa Rasulullah Saw., masuk ke dalam
masjid, ketika itu Rasulullah Saw., mendapati seorang laki-laki hampir menyelesaikan
solatnya, yaitu sedang dalam tasyahhud akhir, laki-laki itu membaca doa: “Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, Ya Allah, Yang Maha Esa, Tuhan Yang
Maha Tunggal, Yang dapat memenuhi hajat segala hamba-Nya, Yang tidak beranak
dan tidak dilahirkan dan tiada bagi-Nya suatu apa pun yang dapat dijadikan
perbandingan, Aku memohon ampunan dari segala dosa-dosaku, sesungguhnya hanya
Engkau Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Maka Rasululllah Saw., pun
bersabda10:
ْد ُغِفَر َلُه .َقْد ُغِفَر َلُه ، َقْد ُغِفَر َلُه ، قَ “Sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah
diampuni”. (HR Abi Daud: 985)11
Imam Abu Hanifah mengatakan tidak patut bagi seorang Muslim berdoa
dengan tidak menggunakan Nama Allah SWT. Imam Abu Yusuf ada memetik
pendapat Imam Abu Hanifah yang berkata: Tidak sayugia (tidak sepatutnya) bagi
seorang Muslim berdoa kepada Allah SWT., melainkan dengan melalui perantaraan
Nama-Nama Allah SWT., itu sendiri. Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang
menunjukkan bahwa Nabi Allah Ibrahim juga bertawassul dengan menggunakan
Nama-Nama Allah SWT., dan sifat-sifat-Nya Yang Mulia. Sebelum baginda
mengemukakan doa dan permohonan, terlebih dahulu baginda bertawassul dengan
beberapa sifat Allah SWT., yaitu yang pertama dengan Ilmu Allah SWT., yang meliputi
segala perkara dan tidak bersembunyi sesuatu jua pun sama ada di langit atau di bumi.
10 Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, (Jakarta: Darul Haq, 2016), 45. 11 Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Riyadh: Maktabah Al-
Ma’arif, 2007), 171.
-
32
Keduanya bertawassul dengan sifat Wahhab yakni Allah SWT., memberi kepadanya
dua orang anak: Ismail dan Ishak walaupun baginda telah lanjut usianya. Dan ketiganya
pula dengan sifat Sama’ yang dapat mendengar segala permohonan doa hamba-
hamban-Nya. Selepas menyebut sifat-sifat tersebut barulah Nabi Ibrahim memohon
doa kepada Allah SWT.,12 seperti firman Allah SWT., dalam QS Ibrahim ayat 38-41:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui akan apa yang kami
sembunyikan dan apa yang kami lahirkan dan tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala
puji bagi Allah yang telah mengurniakan kepadaku di hari tuaku, Isma’il dan Ishaq.
Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (Memperkenankan) doa.
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan
solat, ya kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan ami, beri ampunlah aku dan bagi
kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang Mukmin pada hari terjadinya hisab
(hari kiamat)”. (QS Ibrahim: 38-41).13
2. Tawassul kepada Allah SWT., dengan Beriman kepada-Nya dan kepada
Rasul-Nya.
Bertawassul kepada Allah SWT., dengan beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya
apabila kita menyatakan َاَلَلُهمَّ بِِإْْيَاِنْ ِبَك َوِبَرُسوِلَك َأْسأَُلك"" yang bermaksud: “Ya Allah,
12 Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala Lumpur:
Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 18-19. 13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, 207-208.
-
33
dengan keimananku kepada-MU dan kepada Rasul-Mu saya memohon kepada-
Mu…”14
Firman Allah SWT., dalam QS Ali ‘Imran ayat 193:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya
Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti.” (QS Ali-‘Imran: 193)15
Terdapat juga firman Allah SWT., dalam QS Al-Mu’minun ayat 109:
“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa (di dunia), ‘Ya
Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat,
dan Engkau adalah Pemberi Rahmat yang Paling Baik”. (QS Al-Mu’minun:109)16
Makna bertawassul dalam dalil-dalil di atas adalah yang pertamanya, karena
sebab keimanan kepada Rasul-Mu maka mereka memohon diampunkan. Maka
dijadikan keimanan kepada Rasul sebagai wasilah untuk mendapatkan ampunan.
Selain itu, ayat dia atas menunjukkan tawassul dengan keimanan kepada Allah SWT.,
dan keimanan kepada Rasul-Nyamdan bertawassul dengan kecintaan kepada Allah
SWT., dan kecintaan kepada Rasul-Nya, adalah boleh hukumnya karena keimanan dan
14 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq, 2014),
23. 15 Ibid, 60. 16 Ibid, 278.
-
34
kecintaan kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya adalah sebab yang menyampaikan
kepada ampunan. Karena itu bertawassul kepada Allah SWT., dengan hal tersebut
adalah benar.17
Perkara ini merupakan asas Iman dan Islam, tanpanya seseorang itu tidak akan
dinamakan sebagai seorang Mukmin. Maka mereka meminta kepada Allah SWT.,
keampunan dosa-dosa mereka, penghapusan segala kesalahan mereka dan mati
bersama-sama dengan orang baik, melalui keimanan mereka kepada Nabi Muhammad
Saw.18
Tawassul kepada Allah SWT., boleh juga dilakukan dengan beristighfar
memohon kemapunan atas dosa yang dilakukan. Sayyidul istighfar ialah bahawa
seorang hamba mengucapkan: “Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada yang
disembah selain Engkau. Engkau telah menjadikan aku dan aku adalah hamba-Mu.
Aku tetap di atas perjanjian kepadaMu (untuk tidak mengabdikan diri selain kepada-
Mu) seboleh yang terdaya olehku. Aku berlindung kepadaMu daripada kejahatan yang
aku buat sendiri. Aku mengakui segala kenikmatan yang Engkau telah berikan
kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku”.19
3. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Rasulullah Saw.
Tawassul kepada Allah SWT., juga adalah dengan melalui Rasulullah Saw.,
yang juga pemberi syafaat kepada ummat Islam. Firman Allah SWT dalam QS An-
Nisa’ ayat 64: