Download - BERITA MEDIA CETAK
Kompasiana.com
Tantangan dan Peluang Media Cetak di 2010Ketika membaca InfoKita (Nov/09), yang merupakan majalah intern karyawan Kompas Gramedia, saya langsung tergugah untuk membaca sebuah artikel dari Research Dept. Group of Magazine. Artikel itu berjudulkan “Melongok Peluang Media Cetak tahun 2010-Berenang di arus Deras-”, yang isinya membahas beberapa fenomena kondisi industri media cetak masa kini di Indonesia secara lebih jernih.
Secara garis besar, artikel itu membahas tentang peluang media cetak untuk bersaing dan mempertahankan diri di tengah gencarnya arus media online. Munculnya portal-portal berita di Indonesia seperti Kompas.com dan Detik di penghujung tahun 90-an dan awal tahun 2000, telah membuat sebagian kecil masyarakat mengakses berita melalui jaringan internet. Kenapa baru sebagian kecil?, karena pada masa itu pengguna jasa internet di Indonesia masih sedikit. Selain munculnya portal-portal berita online, masyarakat juga kerap memanfaatkan media blog sebagai alternatif mencari dan tempat untuk berbagi informasi.
Survei multimedia yang dilakukan Group of Magazine KG tahun 2008 menunjukkan pengguna internet di Indonesia sekitar 30 Juta pengguna. Ini menandakan bahwa arus informasi melalui internet sangat gencar dan menjadi salah satu batu sandungan bagi media cetak (menurut sebagian pendapat).
Di Amerika Serikat (AS) sendiri terdapat beberapa surat kabar yang mengalami kebangkrutan pada tahun lalu dan sekarang. Diduga krisis ekonomi yang melanda AS dan negara lainnya adalah salah satu pemicu tumbangnya beberapa surat kabar ternama di AS, seperti Chicago Tribune, Philadelphia Inquirer, Seattle Post Intelligencer dan The Minneapolis Star (Kompas, 5/9). Selain krisis ekonomi, beberapa pengamat menyimpulkan, bahwa kebangkrutan mereka karena “ditiban” portal berita online sehingga beberapa dari mereka justru “lari” ke media online sebagai jalan keluar agar tetap eksis.
Ilustrasi (shutterstock)
Penjelasan di atas untuk sementara dapat membuktikan bahwa media online secara bertahap telah sedikit banyak menggerus industri media cetak. Namun, dibalik menurunnya performa media cetak di dunia khususnya di Indonesia, bukan hanya karena masifnya portal-portal berita maupun blog yang ikut mewarnai arus informasi, tentunya pasti ada beberapa penyebab masyarakat lebih beralih ke media online untuk mendapatkan informasi.
Media cetak saat ini lebih menyediakan porsi yang besar kepada iklan yang menjadi pemasukan finansial bagi mereka, secara tidak langsung ini menurunkan performa kuantitas dan kualitas berita yang menjadi komoditi utama sebuah media cetak. Bahkan ada beberapa media yang dapat diakomodir oleh suatu kepentingan sehingga tidak independen lagi. Karena faktor itulah yang menyebabkan masyarakat sedikit enggan membaca berita dan informasi melaui media cetak.
Tantangan
Tantangan akan datang ketika di dalamnya terdapat kompetitor yang menciptakan persaingan. Ini terjadi pada media cetak yang saat ini mengganggap media online sebagai batu sandungan mereka. Tantangan terbesar bagi media cetak adalah bukan melawan media online itu sendiri namun menyelaraskan dirinya dengan perkembangan media online yang masif dan “digandrungi” masyarakat dalam memperoleh informasi. Menjadi tantangan tersendiri bagi media cetak ketika harus membuat inovasi dan terobosan baru dengan cara menyelaraskan dengan teknologi internet yang menjadi keunggulan media online.
Kita dapat mengambil contoh media cetak Kompas yang memanfaatkan keunggulan komparatif namun fleksibel, yaitu menyediakan fasilitas QR Code yang memungkinkan pembaca mengakses data digital artikel yang dimaksud. Ramuan cetak dan digital ini cukup menjawab habit multiplatform komunitas pembacanya. (InfoKita, Nov/09)
Peluang
Walaupun media cetak saat ini tengah bersaing dengan media online, peluang mengenai nasib media cetak kedepannya masih ada dan terbuka lebar. Mengingat media cetak merupakan pioneer bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berita. Ada pula faktor lain yang menjadikan peluang media cetak untuk tetap eksis dan menjadi mainstream informasi dan berita, yaitu:
Ilustrasi (shutterstock)
1. Membaca media cetak seperti koran dan majalah sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat sejak dulu. Salah satunya sebagai teman dalam ritual meminum teh atau kopi di pagi hari. Ini menunjukkan bahwa masyarakat membaca media cetak bukan hanya untuk mendapatkan informasi dan berita tapi sudah menjadi suatu kebiasaan rutin.
2. Walaupun telat sehari dalam pemberitaan, keakuratan content informasi dan berita media cetak dinilai lebih unggul dibanding dengan media online. Hal ini disebabkan media cetak lebih matang dalam menyajikan sebuah informasi dan berita karena waktu untuk mengolah dan mendapatkan keakuratan sebuah informasi dan berita lebih banyak. Beda halnya dengan media online yang terkadang hanya mengejar waktu tayang tanpa memedulikan kualitas informasi dan berita yang disajikan. Sehingga masyarakat yang ingin mendapatkan atau mengkonsumsi informasi dan berita yang berkualitas dan akurat akan tetap mengandalkan media cetak sebagai sumber utama.
3. Terkait dengan tantangan media cetak untuk lebih menyelaraskan dengan teknologi internet seperti yang dilakukan KOMPAS dengan QR Code-nya, media cetak akan mendapatkan porsi yang sama dengan porsinya saat ini sebagai sumber ionformasi dan berita. Tentunya dengan inovasi dan terobosan baru.
Namun, Jika sebuah media cetak tetap mempertahankan sifat konvensional seperti yang masih terjadi pada beberapa media cetak di Indonesia, maka tak mustahil jika media online akan menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan sebuah berita dan informasi.
NuruL
KOmpas.com
Survei SPS: Media Cetak Belum Tergantikan
JAKARTA, KOMPAS.com - Kejadian di Amerika Serikat pascakrisis keuangan sejak 2007 yang menyebabkan industri pers ikut jatuh bangkrut, sehingga sejumlah koran berhenti terbit, mengurangi pekerja, dan redesain, tidak berimbas ke Indonesia. Semula sempat mencemaskan, tetapi setelah dilakukan penelitian keberadaan media cetak belum tergantikan.
Peneliti dari Lembaga Penelitian Pendidikan, Penenangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) Indrajid pada presentasi riset Masa Depan Industri Media Cetak di Indonesia dan Economy Outlook 2010, yang digelar Serikat Penerbit Suratkabar, Kamis (12/11) di Jakarta, mengatakan ada 95,9 persen pembaca media cetak yang juga pemirsa TV dan 2,3 persen pendengar radio. "Fakta tersebut menunjukkan bahwa media cetak belum tergantikan. Media cetak punya pembaca yang loyal," tandasnya.
Riset yang dipaparkan tersebut merupakan kerja sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar, dilakukan bulan Juni 2009. Riset pembaca media cetak itu diselenggarakan di 15 kota, yakni di Medan, Pekanbaru, Batam, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Manado, dan Makassar.
Indrajid menjelaskan, ada sekitar 3.000 responden menjadi sample survei yang dibagi secara quota masing-masing 50 persen responden remaja (12-18 tahun) dan responden dewasa (18 tahun ke atas). Ada banyak temuan menarik yang berhasil diungkap, antara lain tentang tren dalam mengkonsumsi media cetak (koran, tabloid, majalah), lama waktu membaca media cetak, rubrik-rubrik yang digemari, waktu yang paling disukai dalam membaca, tren mengkonsumsi internet, hingga daya tarik responden dalam membaca iklan-iklan media cetak.
Tentang media cetak Indrajid mengungkapkan, koran harian, tabloid, dan majalah terus tumbuh, kecuali koran mingguan. "Jumlah tiras juga tumbuh, sekarang sekitar 20 juta eksemplar. Pembaca lebih banyak membaca koran harian, dengan lama waktu 4 jam. Sedangkan orang baca majalah hanya punya waktu 3,5 jam," ujarnya.
Untuk koran, pembaca lebih menyukai membaca rubrik kecelakaan dan atau bencana alam. Sedangkan untuk majalah, rubrik yang paling disukai adalah gaya hidup dan musik. Sebanyak 67 persen pembaca juga baca iklan.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Rofikoh Rokhim, yang mempresentasikan tentang ekonomi, iklan, dan suratkabat mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir 2014 diprediksi mencapai 7,6 persen, meningkat dari pertumbuhan ekonomi yang sekarang 6,3 persen. "Tren iklan akan meningkat, tergantung kejelian kita untuk menawarkannya. Rubrik gaya hidup menjadi lebih disukai, karena kesejahteraan pembaca jauh di atas rata-rata. Yang memiliki kekayaan sekitar Rp 10 miliar ada 3.000 orang, sedangkan yang memiliki kekayaan lebih dari Rp 35 miliar, ada 1.200 orang," papar Rofikoh Rokhim.
Sedangkan Direktur Eksekutif Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto memprediksikan oplah media cetak akan sangat tinggi, karena di Indonesia hampir tiap tahun ada pilkada. "Tahun depan ada tujuh pilkada di level provinsi," katanya.
PERUBAHAN MEDIA CETAK DALAM MENGIMBANGI
PERKEMBANGAN MEDIA ONLINE
Oleh: Fauzan Al-Rasyid
(NPM: 0806346060)
ABSTRAK
Dewasa ini perkembangan media online semakin terus berkembang. Sementara itu, perkembangan beberapa media lama tidak seimbang dengan perkembangan media online sebagai media baru. Media cetak pun sebagai salah satu media lama mulai terkena dampak dari hadirnya media online. Atas dasar inilah kemudian mulai terjadi beberapa inovasi dalam media cetak. Perubahan-perubahan serta inovasi dalam media cetak seakan diharapkan dapat mengimbangi perkembangan media online yang terus berkembang.
Namun, kemudian muncul pertanyaan, sejauh mana tingkat efektifitas perubahan dan inovasi dalam media cetak dalam mengimbangi perkembangan media online yang jauh lebih canggih dan jauh lebih cepat berkembang? Tentunya ini menjadi tantangan bagi para “pejuang” media lama untuk tetap mempertahankan eksistensi media cetak khususnya di dunia teknologi komunikasi manusia. Dan oleh karena itulah penulis mencoba untuk menguraikan berbagai masalah dan analisis dari topik ini.
Tujuan dari penulisan paper dengan judul “Perubahan Media Cetak dalam Mengimbangi Perkembangan Media Online” ini adalah untuk mengulas mengenai perubahan serta berbagai inovasi yang terjadi pada media cetak dewasa ini dalam rangka mengimbangi perkembangan media online yang
sangat pesat, serta untuk memenuhi sebagian tugas mata kuliah Perkembangan Teknologi Komunikasi (PTK) tahun 2010. Dengan dibuatnya paper ini pula diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan kontribusi positif bagi ilmu komunikasi terutama di bidang perkembangan teknologi komunikasi. Selain itu diharapkan pula dapat memberi masukan pada para mahasiswa ilmu komunikasi yang berminat terjun ke media cetak sehingga dapat mengambil langkah-langkah strategis terkait dengan semakin berkembangnya media online.
Dalam paper ini penulis menggunakan kerangka konsep Mediamorphosis oleh Roger Fidler dalam menganalisis kasus. Konsep ini mengatakan bahwa ada tiga mediamorfosis dalam komunikasi manusia: bahasa tutur, bahasa tulis, dan bahasa digital. Dalam prinsipnya, ada enam poin yang digarisbawahi dalam konsep ini, yaitu: coevolution dan coexistence, propagation, survival, opportunity dan need, serta delayed adoption. Pada dasarnya semua bentuk media komunikasi hadir dan berevolusi secara bersamaan dengan pengembangan dan sistem adaptasi yang kompleks. Berbagai media baru tidak hadir begitu saja melainkan secara bertahap.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Dengan demikian data yang diperoleh berasal dari berbagai sumber bacaan, baik dari referensi media cetak maupun media online, yang merupakan bahan acuan utama dalam penulisan.
Berdasarkan hasil analisis penulis, dalam perkembangannya, media cetak melakukan beberapa inovasi yang membuat media cetak tidak benar-benar “cetak” seutuhnya. Media cetak menggabungkan beberapa teknologi, seperti QR code misalnya, untuk membuat media cetak lebih menarik dan tidak kalah dengan media online.
Sebagai penutup, di akhir bab, penulis menuliskan kesimpulan terhadap hasil analisis dan juga beberapa saran atau rekomendasi seputar inovasi-inovasi media cetak dalam mengimbangi perkembangan media online yang sangat pesat. Banyak orang percaya bahwa media cetak tidak akan mati. Hal itu tentunya bisa terjadi jika media cetak tetap inovatif.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan media online semakin terus berkembang. Sementara itu,
perkembangan beberapa media lama tidak seimbang dengan perkembangan media online sebagai
media baru. Media cetak pun sebagai salah satu media lama mulai terkena dampak dari hadirnya
media online. Media online memiliki banyak kelebihan dibandingkan media cetak lama, seperti
surat kabar atau majalah. Media online dapat menyajikan berita secara cepat dan real time. Ini
merupakan suatu keunggulan yang memang tidak akan bisa ditandingi oleh media cetak. Oleh
karena itu untuk bisa bertahan, media cetak harus membuat berbagai perubahan. Perubahan ini
dapat dilakukan misalnya dengan mengubah ukuran koran menjadi lebih kecil atau lebih
bewarna untuk menarik minat sekaligus memudahkan konsumen membacanya.
Isu mengenai kemungkinan punahnya media cetak akibat berkembangnya media online
memang telah muncul sejak lama. Di Amerika Serikat, contohnya, pengelola dua surat kabar
utama di kota Detroit, Detroit Free Press dan Detroit News, mengurangi layanan antar koran ke
rumah hingga menjadi tiga kali dalam sepekan akibat turunnya penjualan koran.[1] Di saat yang
sama, dua surat kabar tersebut akan menerbitkan koran dengan ukuran yang lebih kecil serta
berkonsentrasi pada layanan edisi online. Padahal selama ini Detroit Free Press menempati
peringkat 20 dalam daftar sirkulasi surat kabar di AS dengan mencetak hampir dari 300 ribu
eksemplar per hari, dan jumlahnya bisa dua kali lipat lebih banyak pada edisi Minggu, sedangkan
Detroit News, yang tidak punya edisi Minggu, hanya mencetak lebih dari 170 ribu eksemplar per
hari pada akhir September 2008.
Menurut David Hunke, penerbit Detroit Free Press dan Chief Executive Officer Detroit
Media Partnership, keputusan untuk membatasi layanan pengantaran koran ke rumah menjadi
tiga hari dalam sepekan menggambarkan realitas bahwa pasar surat kabar utama tengah
menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Akibatnya, jika koran tetap diantar ke pelanggan
setiap hari, situasi akan semakin berat karena pendapatan iklan di tengah situasi ekonomi saat ini
sedang turun dan sementara itu biaya pun terus naik.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Jonathan Wolman, pemimpin redaksi dan
penerbit Detroit News. Wolman mengatakan bahwa kebiasaan membaca di Amerika saat ini
mulai berubah. Orang-orang kini lebih suka melihat layar komputer daripada membaca kertas
koran.
Selain itu, para pengelola surat kabar di Amerika Serikat juga menerapkan berbagai
strategi baru demi menjaga kelangsungan hidup perusahaannya. Perubahan strategi para
pengelola surat kabar di Amerika Serikat selain mengurangi penerbitan versi cetak, adalah
mengubah karakter organisasi-organisasi jurnalis di negara tersebut. Saat ini mulai banyak
organisasi yang akan menghilangkan kata “paper” (koran) dari nama institusi tersebut.
Contohnya, The American Society of Newspapers Editors (ASNE) yang berbasis Virginia. Pada
tahun 2008, para pengurus perkumpulan para editor surat kabar tersebut mengusulkan perubahan
nama menjadi “The American Society of News Editors” dengan tidak lagi menggunakan kata
“paper.”
Lantas, apa dampak atau efeknya terhadap kelangsungan hidup perusahaan media
tersebut? Dengan nama baru tersebut, keanggotaan organisasi jurnalis yang telah berdiri sejak
1922 tersebut tidak lagi hanya berasal dari surat kabar. Pemimpin redaksi atau editor dari media
online juga bisa bergabung seiring dengan semakin banyaknya media yang muncul di dunia
maya. Tentunya gagasan terhadap perubahan nama tersebut tidak semata-mata diubah begitu saja
tanpa adanya pertimbangan yang matang. Menurut Presiden ASNE Charlotte Hall, ide perubahan
nama organisasi tersebut berdasarkan berbagai usulan dan juga berdasarkan perkembangan tren
media di AS. Selain bermunculannya beragam media online, tidak sedikit penerbit koran yang
mengubah strategi dengan ikut meramaikan kompetisi bisnis media online dengan membuat situs
koran tersebut. Bahkan ada pula surat kabar seperti The Christian Science Monitor yang
sepenuhnya beralih dari media cetak menjadi media online sejak April 2009.
Gejolak perpindahan media cetak ke media online serta perubahan sikap masyarakat
terhadap media cetak dan media online tentunya diperhatikan pula oleh para pengiklan. Iklan
sebagai sumber pendapatan media yang terbesar tentunya juga berperan dalam “mematikan”
bisnis surat kabar bila para iklan pada akhirnya secara besar-besaran pindah ke media online.
Menurut VOAnews, di tahun 2010 ini untuk pertama kalinya, para pengiklan di Amerika Serikat
mengeluarkan dana lebih banyak untuk iklan di internet daripada di surat kabar.
Sebuah perusahaan riset pemasaran eMarketer menyatakan bahwa belanja Amerika
Serikat untuk iklan online akan berjumlah mendekati 26 miliar dollar AS tahun ini, dibandingkan
dengan pengeluaran total kurang dari 23 miliar dollar bagi iklan di surat-surat kabar.[2]
eMarketer juga memperkirakan bahwa akan terjadi kesenjangan pendapatan iklan internet dan
surat kabar yang naik tajam tahun depan. Pendapatan untuk iklan di internet ini meningkat
selama beberapa tahun karena khalayak semakin banyak meninggalkan media tradisional dan
beralih ke sumber-sumber berita dan hiburan di internet. Jika para pengiklan pada akhirnya lebih
memilih untuk beriklan di media online, bagaimanakah kelanjutan “hidup” perusahaan-
perusahaan media cetak yang notabene salah satu penghasilan terbesarnya berasal dari iklan-
iklan yang di pasang di surat kabar tersebut? Tentunya hal ini menjadi permasalahan yang besar
dan juga tantangan bagi seluruh industri media cetak.
Media cetak harus membuat terobosan dan inovasi baru jika memang tidak mau “mati”
ditelan media online. Memang, di tengah kekhawatiran terhadap semakin redupnya industri
media cetak, masih ada keyakinan bahwa media cetak tidak akan punah. Hal ini tentunya
dilandasi oleh kasus masa lalu ketika munculnya media televise. Saat itu radio sebagai teknologi
yang hanya mampu memberikan unsur audio saja ternyata tidak ditinggalkan pendengarnya.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan media cetak suatu saat nanti memang
akan sepenuhnya digantikan oleh media online. Hal ini tentu sejalan dengan semakin maju dan
murahnya teknologi pendukung media online. Artinya, jika teknologi nantinya semakin murah,
orang-orang pun dapat mengakses segala hal termasuk berita, cukup melalui telepon selularnya
saja. Atas dasar alasan-alasan dan beberapa contoh kasus di atas kemudian mulai terjadi
beberapa inovasi dalam media cetak. Perubahan-perubahan serta inovasi dalam media cetak
seakan diharapkan dapat mengimbangi perkembangan media online yang terus berkembang.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, penulis membuat sebuah pengamatan kepada
masalah ini, yaitu mengenai perubahan media cetak di era berkembangnya media online yang
sangat pesat, dengan harapan dapat menambah pengetahuan mengenai berbagai strategi dan
inovasi diterapkan oleh industri media cetak demi berlangsungnya “hidup” perusahaan media
cetak tersebut. Oleh karena itu, penulis memberi judul makalah ini “Perubahan Media Cetak
dalam Mengimbangi Perkembangan Media Online”.
1.2. Rumusan Masalah
Sejauh mana tingkat efektifitas perubahan dan inovasi dalam media cetak dalam mengimbangi
perkembangan media online yang jauh lebih canggih dan jauh lebih cepat berkembang?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan paper dengan judul “Perubahan Media Cetak dalam Mengimbangi
Perkembangan Media Online” ini adalah untuk mengulas mengenai perubahan serta berbagai inovasi
yang terjadi pada media cetak dewasa ini dalam rangka mengimbangi perkembangan media online yang
sangat pesat, serta untuk memenuhi sebagian tugas mata kuliah Perkembangan Teknologi Komunikasi
(PTK) tahun 2010.
Dengan dibuatnya paper ini pula diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan kontribusi
positif bagi ilmu komunikasi terutama di bidang perkembangan teknologi komunikasi. Selain itu
diharapkan pula dapat memberi masukan pada para mahasiswa ilmu komunikasi yang berminat terjun
ke media cetak sehingga dapat mengambil langkah-langkah strategis terkait dengan semakin
berkembangnya media online.
1.4. Metodologi
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Dengan demikian
data yang diperoleh berasal dari berbagai sumber bacaan, baik dari referensi media cetak maupun
media online, yang merupakan bahan acuan utama dalam penulisan.
BAB II
KERANGKA TEORI
II.1. Kerangka Teori
II.1.1. Teori Difusi
Hukum 30 tahun yang dikemukakan Saffo memasukkan unsur-unsur dari karya akademisi
media Everett Rogers awal 1980-an. Selaku guru besar Stanford, Rogers memformulasikan sebuah
penjelasan tentang proses bagaimana berbagai inovasi diadopsi dan diimplementasikan dalam
sebuah masyarakat, yang disebutnya sebagai teori difusi (diffusion theory). Dia mengemukakan
bahwa ciri-ciri sebuah inovasi sebagaimana yang dirasakan para anggota masyarakat menentukan
tingkat pengadopsiannya[3]. Ada lima sifat inovasi yang ditekankan oleh Rogers, yaitu: (1)
keuntungan relatif, (2) kesesuaian, (3) kompleksitas, (4) ketepercayaan, dan (5) kelaziman[4].
Namun, teori difusi hanya dapat menjelaskan sebagian tentang mengapa teknologi media baru
dalam sekejap menyebar ke konsumen umum dan mencapai posisi yang dominan. Para pengguna
awal bisa saja menganjurkan orang lain untuk mencoba teknologi baru, tapi mereka sendiri terlihat
tidak mempunyai tenaga yang dibutuhkan untuk membuat akselerasi yang cepat atau memiliki
pengaruh yang memadai untuk mendorong pengenalan dan penyebaran teknologi secara
signifikan.
Winston memadukan perspektif kebudayaan yang kuat dengan sejarah teknologi-teknologi
media untuk sampai pada suatu penjelasan yang komprehensif tentang bagaimana media baru lahir
dan berkembang, seperti keyakinan terhadap berbagai penemuan dan inovasi tidak diadopsi secara
luas lantaran keterbatasan teknologi itu sendiri, serta adanya kekuatan-kekuatan ekonomi, politik,
dan sosial yang memainkan peran besar dalam perkembangan teknologi-teknologi baru. Dalam
pandangannya, akselerator yang mendorong perkembangan berbagai teknologi baru adalah apa
yang ia sebut sebagai kebutuhan sosial yang muncul akibat perubahan (supervening social
necessities). Ia mendefinisikan hal ini sebagai “hubungan timbal balik antara masyarakat dan
teknologi” (Rogers, 2003). Kebutuhan ini berasal dari kebutuhan perusahaan, tuntutan akan
teknologi-teknologi lain, penetapan regulasi atau hukum, dan kekuatan-kekuatan sosial yang
muncul pada tahun 1960-an, memenuhi kategori tersebut.
II.1.2. Mediamorfosis
Teori Mediamorfosis mengatakan bahwa ada tiga mediamorfosis dalam komunikasi manusia:
bahasa tutur, bahasa tulis, dan bahasa digital. Dalam prinsipnya, ada enam poin yang digarisbawahi
dalam konsep ini, yaitu: coevolution dan coexistence, propagation, survival, opportunity dan need,
serta delayed adoption. Pada dasarnya semua bentuk media komunikasi hadir dan berevolusi
secara bersamaan dengan pengembangan dan sistem adaptasi yang kompleks. Berbagai media
baru tidak hadir begitu saja melainkan secara bertahap. Mediamorfosis bukanlah sekedar teori
sebagai cara berpikir yang terpadu tentang evolusi teknologi media komunikasi. Mediamorfosis
mendorong kita untuk memahami semua bentuk sebagai bagian dari sebuah sistem yang saling
terkait dan mencatat berbagai kesamaan dan hubungan yang ada antara bentuk-bentuk yang
muncul di masa lalu, masa kini, dan yang sedang dalam proses kemunculannya.
Sebagai contoh, kecepatan penyebaran media online menyebabkan perubahan yang signifikan
dalam industri surat kabar dan majalah. Kedua medium ini menyatakan sekarat karena tidak
memiliki kemampuan bersaing dengan kecepatan penyampaian berita oleh media online. Namun,
pada kenyataannya masing-masing terbukti semakin ulet dan dapat beradaptasi daripada yang
diperkirakan. Hal ini juga menggambarkan akibat wajar yang penting dalam prinsip metamorfosis:
bentuk-bentuk media komunikasi yang ada harus berubah dalam menanggapi kemunculan medium
baru–satu-satunya pilihan lain adalah mati. Prinsip metamorfosis dan beberapa prinsip kunci
mediamorfosis lainnya berasal dari tiga konsep–koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas.
Bentuk-bentuk khusus media, seperti halnya dengan makhluk hidup, mempunyai siklus
kehidupan dan pada akhirnya akan benar-benar punah. Namun, sebagian besar sifat dasarnya akan
selalu tetap menjadi bagian dari sistem. Sama seperti ciri-ciri biologis yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya melalui kode-kode genetik, sifat-sifat dasar media diwujudkan dan
diteruskan melalui kode-kode komunikasi yang kita sebut dengan bahasa. Bahasa telah menjadi
agen perubahan yang paling berpengaruh dalam rangkaian evolusi manusia. Perkembangan bahasa
lisan dan tulis melahirkan dua transformasi besar atau mediamorfosis dalam sistem komunikasi
manusia.
Dengan menyadari bahwa sistem komunikasi manusia pada kenyataannya merupakan sistem
yang adaptif dan kompleks, kita dapat melihat bahwa semua bentuk media hidup dalam dunia yang
dinamis dan saling tergantung. Ketika muncul tekanan-tekanan eksternal dan penemuan-
penemuan baru diperkenalkan, setiap bentuk komunikasi dipengaruhi oleh proses
pengorganisasian diri yang bersifat intrinsik, yang muncul secara spontan dalam sistem tersebut.
Sama seperti suatu spesies yang berkembang demi kelangsungan hidup yang lebih baik, demikian
jugalah yang dilakukan bentuk-bentuk komunikasi dan perusahaan-perusahaan media yang ada.
Proses inilah yang menjadi esensi mediamorfosis.
Berikut ini adalah enam prinsip dasar mediamorfosis yang bersumber dari hipotesis-hipotesis
yang dikemukakan oleh Roger Fidler (2003).
1. Koevolusi dan koeksistensi
Semua bentuk media komunikasi hadir dan berkembang bersama dalam sistem yang adaptif
dan kompleks, yang terus meluas. Begitu muncul dan berkembang, setiap bentuk baru, dalam
beberapa waktu hingga tingkat yang beraneka ragam, memengaruhi perkembangan setiap
bentuk yang lain.
2. Metamorfosis
Media baru tidak muncul begitu saja dan terlepas dari yang lain–semuanya muncul secara
bertahap dari metamorfosis media terdahulu. Ketika bentuk-bentuk yang lebih baru muncul,
bentuk-bentuk terdahulu cenderung beradaptasi dan terus berkembang, bukan mati.
3. Pewarisan
Bentuk-bentuk media komunikasi yang bermunculan mewarisi sifat-sifat dominan dari bentuk-
bentuk sebelumnya. Sifat-sifat ini terus berlanjut dan menyebar melalui kode-kode komunikasi
yang disebut bahasa.
4. Kemampuan bertahan
Semua bentuk media komunikasi dan perusahaan media dipaksa untuk beradaptasi dan
berkembang agar tetap dapat bertahan dalam lingkungan yang berubah. Satu-satunya pilihan
lain adalah mati.
5. Peluang dan kebutuhan
Media baru tidak dapat diadopsi secara luas lantaran keterbatasan-keterbatasan teknologi itu
sendiri. Pasti selalu ada kesempatan dan alasan-alasan sosial, politik, dan/atau ekonomi yang
mendorong suatu teknologi media baru untuk terus berkembang.
6. Pengadopsian yang tertunda
Teknologi-teknologi media baru selalu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada yang
diperkirakan untuk mencapai kesuksesan bisnis. Teknologi-teknologi itu cenderung
membutuhkan sedikitnya satu generasi manusia (20–30 tahun) untuk bergerak maju dari
rancangan konsep hingga perluasannya pengadopsian atasnya.
II.2. Media Cetak
Definisi media cetak adalah suatu media yang statis dan mengutamakan pesan-pesan visual,
media ini terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambar, atau foto, dalam tatawarna dan halaman
putih yang fungsi utamanya memberi informasi dan menghibur.[5] Dalam media cetak, kita kenal
bermacam-macam jenis media cetak, tapi secara garis besar terdiri dari surat kabar dan majalah.
II.3. Media Online
Media online secara sederhana adalah media massa yang dapat kita temukan di internet (situs
web). Media online juga didefinisikan sebagai jaringan luas komputer, yang dengan perizinan dapat
terkoneksi satu sama lain untuk menyebarluaskan dan membagikan file-file digital, serta
memperpendek jarak antarnegara. Tidak seperti radio dan televisi yang disiarkan dari satu lokasi untuk
diterima di daerah sekitarnya, internet mampu mengoneksikan antara satu komputer dengan komputer
lain, sekaligus sebagai broadcaster dan receiver (Perebinossoff, 2005).
BAB III
HASIL ANALISIS
III.1. Revolousi Media Online
Revolusi media online secara drastis mengubah wajah media massa di berbagai belahan dunia.
Media-media yang tidak menyesuaikan diri akan mati, tapi beberapa media masih juga ada yang
berusaha menunggu sebelum akhirnya masuk ke ranah online. Meskipun sejarah membuktikan bahwa
semenjak lahirnya media baru, selama berabad-abad tidak ada perubahan. Dulu radio tetap hidup
walaupun televisi lahir dengan berbagai macam keunggulan yang tidak dimiliki radio. Media cetak tetap
pun ternyata tetao hidup walaupun televisi lahir. Ini berarti sebenarnya tidak ada perubahan, hanya saja
bisnisnya menjadi berbeda dan perilaku media dan khalayak pun berubah. Namun, berbeda dengan
lahirnya media internet. Kehadiran internet membuat perubahan yang sangat signifikan, khususnya bagi
media cetak.
Di tengah derasnya arus informasi global saat ini, internet hadir sebagai suatu jawaban untuk
mengakomodasi masalah tersebut. Internet berbeda dengan televisi atau radio yang hanya bisa
menjangkau suatu wilayah tertentu. Artinya, siaran televisi di Indonesia tidak bisa ditonton di negara
lain, sedangkan internet, arus informasi yang masuk di internet dapat melewati batas-batas tersebut.
Hadirnya internet tentunya membuat akses untuk mendapatkan informasi menjadi lebih mudah dan
lebih cepat didapat dibandingkan dengan media lain seperti televisi, radio, bahkan media cetak.
Dalam perkembangan dunia beberapa tahun belakangan ini, industri media cetak di Amerika
Serikat pun sempat gempar pada pertengahan 2009 lalu. Beberapa surat kabar terkemuka dan berusia
tua di kota-kota besar pun akhirnya colaps. Jumlah pembaca menurun drastis dan mengakibatkan angka
pemasukan dari iklan merosot tajam. Sebaliknya, biaya operasional pun semakin tinggi. Perusahaan-
perusahaan media cetak pun tidak mampu bertahan dan akhirnya terpaksa gulung tikar. Hal ini terjadi
karena masyarakat mulai beralih ke media online. Tidak seperti media-media konvensional, internet
mampu menyediakan informasi dan layanan persis seperti halnya media cetak. Ibaratanya hanya
memindahkan media dari kertas biasa menjadi halaman-halaman menarik di internet melalui komputer
atau perangkat elektronik lain yang makin canggih. Artinya, konsumen tak perlu lagi repot-repot
membuka-buka lembaran demi lembaran koran.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat kini mulai menyebar ke berbagai belahan dunia. Para
penerbit koran-koran di Eropa pun sudah mulai khawatir terhadap “serangan” media online. Demikian
pula di Asia, termasuk Indonesia. Data dari AC Nielsen menunjukkan adanya tren penurunan jumlah
pembaca surat kabar. Masyarakat lebih menyukai media elektronik, terutama televisi dan juga mulai
menuju internet. Angka pengguna internet di Indonesia meningkat sangat pesat. Pada tahun 2008 lalu
baru mencapai 5%–10% dari total jumlah penduduk, tapi kini berdasarkan data Kementrian Komunikasi
dan Informasi, angkanya sudah mencapai 50 juta pengguna, atau sekitar 20%.[6]
Berdasarkan hasil penelitian Virtual Consulting, sebuah perusahaan konsultan media dan
internet di Jakarta, rata-rata orang di Indonesia menghabiskan waktu 2,3 jam perhari untuk menonton
televisi, mengakses internet 2 jam, sementara membaca koran hanya 34 menit.[7] Berbeda dengan pola
media yang terjadi di Amerika Serikat akibat berkembangnya media online, di Indonesia sekarang ini
walau jumlah penjualan koran tidak menurun, tetapi pola baca masyarakat menjadi berubah. Pembaca
tidak lagi mencari berita-berita utama karena dia sudah tahu bahwa berita itu adalah kejadian kemarin
yang sudah dapat dia ketahui kemarin melalui media online. Yang dibaca masyarakat adalah opini,
tokoh, atau sosok. Jadi, menurut penelitian, berita-berita utama sudah kurang mendapat perhatian
pembaca. Oleh karena itu, menurut hasil penelitian tersebut, media cetak yang tidak memanfaatkan
internet sebagai outlet untuk menjual produknya pada akhirnya akan redup.
III.2. Jawa Pos Tetap Sama
Jawa Pos merupakan salah satu kelompok media cetak terbesar di Indonesia. Namun, kelompok
Jawa Pos masih belum sepenuhnya beralih media online. Jawa Pos masih mengandalkan media cetak
untuk menjadi sarana bagi pembaca untuk mengetahui perkembangan terbaru setiap hari. Jawa Pos
memang sudah memiliki situs internet, tetapi berita-berita yang sudah muncul di koran, baru diperbarui
di internet mulai pukul 09.00 pagi.
Berbeda dengan perusahan media cetak lainnya, Jawa Pos juga tidak memperbarui berita setiap
saat, seperti yang dilakukan oleh kelompok media lain seperti Kompas, Media Indonesia, dan
sebagainya. Lantas, mengapa mereka memilih kebijakan seperti itu? Menurut Pemimpin Redaksi Jawa
Pos Leak Kustiya, mereka beranggapan bahwa bisnis yang utama adalah koran dan oleh karena itu perlu
perhatian khusus.
Menurut Leak, arus atau sirkulasi koran dapat diukur hingga detail, seperti biaya peliputan, biaya
cetak, biaya peralatan, dan sebagainya. Dari semua itu, kemudian dapat ditentukan berapa harga koran
yang akan dijual. Sementara itu, dari sisi bisnis, Jawa Pos belum bisa mengukur dengan pasti bisnis lewat
internet. Lagipula berita yang diperoleh para wartawan untuk dimuat di situs Jawa Pos, menurut Leak
Kustiya, belum bisa ditentukan model bisnisnya. Menurutnya, saat ini Jawa Pos belum mendapatkan
gambaran mengenai keuntungan apa yang akan didapatkan ketika suatu berita dimuat di internet.
Dalam hal ini terkait dengan pandangan Jawa Pos, akses berita di internet yang memungkinkan
siapa pun yang memiliki sambungan internet dan komputer bisa melakukannya tanpa membayar untuk
mendapatkan isi atau kontennya masih tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh media cetak
seperti Jawa Pos itu sendiri untuk mendapatkan berita. Ini berarti bahwa Jawa Pos masih bertahan
dengan pola media tradisional, sambil menunggu perkembangan pasar dan terus mempelajari manfaat
dari adanya media online. Jawa Pos sebagai perusahaan media cetak belum “berani” mengambil langkah
untuk berubah ke media online karena juga melihat pada karakteristik target khalayaknya yang belum
sepenuhnya beralih ke media online.
III.3 Inovasi pada Kompas
Sebagai salah satu media paling tua dan terbesar di Indonesia, sejak sepuluh tahun yang lalu,
Kompas sudah memikirkan rancangan dalam menghadapi serangan internet. Kompas yang berdiri sejak
tahun 1965 merupakan salah satu media cetak yang menjadi pioneer dalam meluncurkan versi online-
nya di Indonesia. Informasi yang tampil di website tersebut pun hampir sama dengan versi cetaknya,
bahkan lebih up-to-date.
Selain membangun portal informasi, Kompas terus melakukan beragam inovasi. Kompas bahkan
juga menyediakan Kompas cetak versi internet yang sama persis seperti aslinya, hanya saja tanpa iklan.
Bahkan, sejak Juli 2009, perusahaan milik Gramedia Grup ini membuka layanan baru bernama Kompas
e-Paper yang tampilannya sama dengan versi cetak dengan lembaran-lembaran khas koran yang
nyaman dibaca. Dengan langkah ini, secara perlahan Kompas mengarahkan para pembacanya, agar
tetap setia. Jika suatu saat mereka meninggalkan versi cetak maka pembaca mereka tidak akan lari dari
Kompas.
Sejak awal berdiri hingga sekarang, Kompas terus bergerak walaupun tidak pernah sepi pesaing.
Berbagai inovasi yang Kompas lakukan mulai dari perubahan format, ukuran, tampilan, sampai
teknologi, terbukti mampu menyelamatkan Kompas dari ancaman “gulung tikar”. Ketika koran lain
cukup kesulitan dalam hal biaya operasional, Kompas justru tetap mendapatkan pendapatan iklan yang
luar biasa. Pengiklan bahkan harus antre untuk mendapatkan jatah halaman di koran Kompas. Namun,
ancaman dan tantangan terhadap media online pun masih terus ada. Sejauh ini, inovasi teknologi
informasi Kompas, seperti adanya QR Code di koran-koran Kompas saat ini yang dapat di-scan dengan
aplikasi di ponsel tertentu menjadi daya tarik dan mampu menjadikan mereka tetap eksis di tengah
terpaan media online di era ini.
III.4. Masa Depan Media Cetak
Di Amerika Serikat, beberapa media cetak terutama sudah menghentikan penerbitan cetak
mereka dan berkonsentrasi sepenuhnya ke media online. Sementara itu di Indonesia, Serikat Penerbit
Surat Kabar Indonesia juga mulai mengkhawatirkan bahwa hal tersebut pada satu saat bisa terjadi di
Indonesia. Oleh karena itu, pada bulan September 2009 lalu mereka melakukan survei untuk
mengetahui media mana yang masih menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia.
Ternyata, hasilnya pun cukup mengejutkan. Dari survei yang dilakukan, diketahui bahwa 60%
masyarakat Indonesia masih mengandalkan media cetak sebagai sumber informasi utama. Sementara
media eletronik, seperti televisi dan radio masih menduduki peringkat teratas, sebesar 90%, dan
internet di tempat ketiga dengan jumlah 34%.
Sementara itu, diketahui pula bahwa jumlah media cetak yang terbit di Indonesia meningkat
dalam tiga tahun terakhir. Di tahun 2006 terdapat 251 penerbitan, 269 di tahun 2007, dan 290 di tahun
2008. Namun, menurut Burhan Abe, salah seorang penggagas media kuliner Appetite Journey dan situs
portal perempuan.com dan Nukman Lufthie dari Virtual Consulting sepakat bahwa media cetak yang
tidak berkembang atau tidak beradaptasi menjadi multimedia–yang melibatkan internet–pada akhirnya
nanti akan tertinggal dan kemudian hilang dari peredaran. Menurut Virtual Consulting, seharusnya sejak
lima tahun lalu media cetak di Indonesia sudah merambah ke dunia online agar tidak tertinggal,
khususnya guna menarik generasi muda masa kini yang hampir sudah tidak mengenal lagi media cetak
sebagai media informasi utama mereka. Remaja generasi sekarang hampir tidak pernah membaca
koran, tapi mereka hampir rata-rata memiliki koneksi internet. Akibatnya mereka tidak pernah terbiasa
dengan koran cetak. Jika kemudian suatu saat koran-koran cetak tidak pindah ke online, koram-koran ini
pun semakin tidak diketahui dan akhirnya akan mati.
Memang, keadaan di Indonesia berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat. Media online di
Indonesia masih didominasi oleh media online yang berasal dari media cetak tradisional, seperti
kompas.com, suaramerdeka.com, liputan6.com atau thejakartapost.com. Media online di Indonesia pun
belum berdampak pada gulung tikarnya suatu perusahaan media cetak seperti yang terjadi pada
Chicago Tribune di Amerika Serikat yang pada akhirnya harus gulung tikar dan memutuskan untuk hanya
menerbitkan versi online-nya saja. Media online di Indonesia yang berdiri tanpa bantuan media
tradisional sampai saaat ini masih terbatas pada media online penyedia berita stright news, seperti
detik.com dan okezone.com.
BAB IV
KESIMPULAN
Saat ini di abad XXI, internet telah tumbuh dan berkembang menjadi media yang mampu
menyebarkan berita lebih cepat dan real time. Dengan banyaknya sumber daya di internet yang tersedia
dengan gratis, orang-orang pun dapat dengan mudah mendapatkan informasi dengan hanya
menggunakan mesin pencari (search engine) untuk menjelajah melalui Internet. Akibatnya, berbagai
perusahaan media pun mulai khawatir bahwa internet akan mengancam kelangsungan hidup media
cetak, seperti surat kabar. Banyak perusahaan media cetak di negara-negara di Eropa dan bahkan di
Amerika Serikat yang pada akhirnya harus kalah saing dengan media online. Namun, dalam kaitannya
dengan perkembangan media online di Indonesia, memang masih terlalu dini bila dikatakan bahwa
dalam waktu dekat Indonesia pun akan mengikuti jejak Amerika. Hal ini disebabkan oleh perkembangan
teknologi internet di Indonesia yang belum sepesat Amerika. Pengguna internet juga masih terbatas
yaitu sekitar 20% dari total penduduk Indonesia.
Namun, tentunya kita juga tidak boleh terlalu optimis bahwa media cetak di Indonesia akan
terus eksis. Saat ini tanda-tanda pergeseran dari penggunaan media cetak menjadi online di Indonesia
juga semakin terlihat jelas. Kita sudah melihat bahwa kini sudah muncul berbagai aplikasi atau tools
penunjang media online, seperti e-mobile, e-paper dan hampir semua media cetak besar di Indonesia
sudah memiliki website. Surat kabar seperti Kompas misalnya sudah memikirkan rancangan dalam
menghadapi serangan internet sejak sepuluh tahun lalu. Kompas pun kini tetap terus bergerak
walaupun tetap tidak pernah sepi dari para pesaing media cetak nasional lainnya. Kompas melakukan
banyak inovasi mulai dari perubahan format, ukuran, tampilan, sampai teknologi QR Code yang tidak
asing lagi kita lihat di lembaran-lembaran koran Kompas, terbukti mampu menyelamatkan Kompas dari
ancaman “gulung tikar”. Ketika koran lain cukup kesulitan dalam hal biaya operasional, Kompas justru
tetap mendapatkan pendapatan iklan yang luar biasa. Para pengiklan bahkan harus antre untuk
mendapatkan jatah halaman di koran Kompas.
Beda halnya dengan Jawa Pos. Jawa Pos masih bertahan dengan pola media tradisional.
Kelompok ini masih menunggu perkembangan pasar dan terus mempelajari manfaat dari adanya media
online. Jawa Pos sebagai perusahaan media cetak masih belum “berani” mengambil langkah untuk
berubah ke media online karena juga melihat pada karakteristik target khalayaknya yang belum
sepenuhnya beralih ke media online. Hal ini pun tidak lepas dari hasil survei yang menunjukka bahwa
60% masyarakat Indonesia masih mengandalkan media cetak sebagai sumber informasi utama
walaupun waktu yang digunakan untuk membaca koran itu sendiri hanya selama 34 menit.
Segala hal mengenai perubahan media di era masa kini kembali lagi pada Teori Mediamorfosis
oleh Roger Fidler. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa semua bentuk media komunikasi hadir dan
berkembang bersama dalam sistem yang adaptif dan kompleks, yang terus meluas. Begitu muncul dan
berkembangnya media baru akan memengaruhi perkembangan setiap media yang lain, seperti halnya
perusahaan-perusahaan media cetak yang harus beradaptasi akibat munculnya media online.
Selain itu, media baru, seperti media online, tidak muncul begitu saja dan terlepas dari yang
lain–semuanya muncul secara bertahap dari metamorfosis media terdahulu. Ketika bentuk-bentuk yang
lebih baru muncul, bentuk-bentuk terdahulu cenderung beradaptasi dan terus berkembang, bukan mati.
Poin ini menjadi penting karena media cetak artinya tidak akan mati melainkan berkembang mengikuti
perkembangan media online itu sendiri.
Pada akhirnya semua bentuk media komunikasi dan perusahaan media dipaksa untuk
beradaptasi dan berkembang agar tetap dapat bertahan dalam lingkungan yang berubah, atau satu-
satunya pilihan lain adalah mati. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan media
cetak besar yang telah bertahan hidup selama puluhan bahkan ratusan tahun pada akhirnya harus
“kalah” dengan media online dan memutuskan untuk beralih ke ranah online demi melanjutkan
kelangsungan “hidup” perusahaan tersebut. Oleh karena itu, selain beralih ke media online, media cetak
perlu melakukan berbagai inovasi termasuk melakukan konvergensi media untuk mengimbangi
perkembangan media online yang sangat pesat. Banyak orang percaya bahwa media cetak tidak akan
mati. Namun, tidak sedikit pula yang percaya bahwa pada akhirnya media cetak pun akan punah.
Bagaimana masa depan media cetak nantinya tentu bergantung pada perusahaan media cetak itu
sendiri dan jika media cetak tetap melakukan inovasi-inovasi, tentu tidak akan kalah bersaing dari media
online sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA
Khazali, R. (1992). Manajemen Periklanan, Konsep, dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
M. Rogers, E. (1986). Communication Technology: The New Media in Society. New York: Free Press.Rogers, F. (2003). Mediamorfosis: Memahami Media Baru. Yogyakarta: Bentang Budaya.Straubhaar, J., & LaRose, R. (2006). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology Fifth
Edition. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
http://bataviase.co.id/node/141478
http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-51405091-11446-detik_com-chapter2.pdf
http://dunia.vivanews.com/news/read/16305-dua_surat_kabar_di_as_kurangi__antar_koran
http://dunia.vivanews.com/news/read/16327-organisasi_jurnalis_rangkul_media_online
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewFile/16042/16034
http://reporter.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=64:masa-depan-media-
cetak-di-indonesia-&catid=5:media-cetak&Itemid=6
http://teknopreneur.com/content/media-online-pesaing-media-cetak
http://warungkopi.forumotion.net/breaking-news-f10/pembaca-media-cetak-menurun-t2044.htm
http://www.anneahira.com/kompas-354.htm
http://www.bandungwebs.com/2008/12/media-internet-ancam-keberadaan-media.html
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/03/100312_mediainternet.shtml
http://www.bunyu-online.com/2010/01/persaingan-media-cetak-vs-media-online.html
http://www.detikinet.com/read/2008/03/09/101649/905445/398/media-cetak-lokal-akan-digilas-
media-online
http://www.detiknews.com/read/2008/11/27/193522/1044226/10/new-media-ancaman-bagi-media-
cetak
http://www.fisip.undip.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=280&Itemid=1
http://www.tempointeraktif.com/hg/it/2010/01/26/brk,20100126-221476,id.html
http://www.triwibowo.com/media-cetak-vs-internet
http://www.voanews.com/indonesian/news/Iklan-di-Internet-Lampaui-Iklan-di-Media-112236044.html
http://www.voanews.com/indonesian/news/lifestyle/DigitalMedia-91952999.html
[1] http://dunia.vivanews.com/news/read/16305-dua_surat_kabar_di_as_kurangi__antar_koran
[2] http://www.voanews.com/indonesian/news/Iklan-di-Internet-Lampaui-Iklan-di-Media-112236044.html
[3] Rogers, F. (2003). Mediamorfosis: Memahami Media Baru. Yogyakarta: Bentang Budaya.
[4] M. Rogers, E. (1986). Communication Technology: The New Media in Society. New York: Free Press.
[5] Khazali, R. (1992). Manajemen Periklanan, Konsep, dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
[6] http://www.anneahira.com/kompas-354.htm
[7] http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/03/100312_mediainternet.shtml
bincangmedia.wordpress.com
Memotret Industri Majalah Bersegmen di Indonesia
Iwan Awaluddin Yusuf[1]
Di tengah gempuran media-media yang mengedepankan teknologi terbaru, sampai saat ini majalah tetap eksis dengan jurus lama: menjual segmentasi, mengupayakan kemasan yang eye cathing, permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai selling point. Namun, majalah tidak bisa lagi selalu dituntut layaknya sebuah “toko serba ada” yang menyediakan beragam kebutuhan informasi. Berbeda dengan suratkabar, majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau khalayak atau target audiens tertentu.
Dalam sejarah penerbitan pers Indonesia, penerbitan majalah-majalah dengan segmen khusus sebenarnya sudah sempat dikenal sejak zaman pra-kemerdekaan, meskipun tidak berkelanjutan. Pada sekitar tahun 1939, di Banjarmasin, pernah terbit majalah bernama Perintis, sebuah majalah yang diterbitkan oleh dan untuk kalangan sopir. Majalah itu terbit sebagai dwimingguan. Bahkan, jauh sebelum itu, pada sekitar tahun 1914, juga pernah terbit majalah bernama De Cranie, yakni majalah pembawa suara kaum kerani atau juru tulis kebun (Junaedhie, 1995: 195). Namun, majalah-majalah khusus yang terbit pada masa itu berbeda motivasi penerbitannya dengan penerbitan majalah-majalah khusus pada masa kini. Jika pada masa lampau alasan penerbitannya lebih karena faktor idealisme semata, maka pada tahun-tahun belakangan, selain faktor idealisme, kepentingan bisnis juga turut berperan dominan di dalam pembentukan majalah (Juanedhie, 1995: 195).
Bila melihat sejarah penerbitan pers di Indonesia, gejala segmentasi majalah sebenarnya mulai tampak pada akhir tahun 1970-an. Pada waktu itu, telah terbit sejumlah media cetak yang membahas masalah spesifik dengan pembaca khusus. Segmentasi itu tampak dari spesialisasi tema majalah seperti majalah khusus ekonomi, keagamaan, kesehatan, anak-anak, remaja, wanita, keluarga, pertanian, otomotif, iptek, sastra/budaya, psikologi, hukum & kriminal, tata boga, manajemen/perbankan, pariwisata, interior, olahraga, kesehatan, industri, ketenagakerjaan, komputer, pertanian, arsitektur, fotografi, komputer, handphone, hobi dan hiburan (musik, film, game, komik, mainan), dll. Beberapa grup konglomerasi penerbitan majalah sebagai pemain besar antara lain Gramedia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Femina, MRA, Media Indonesia, dan Pinpoint.
Jauh sebelum majalah segmentasi merebak, Jakob Oetama (direksi grup PT Kompas Gramedia), dalam seminar ”Penerbitan Majalah Menyongsong Tahun 2000” pada awal tahun 1990-an mengatakan, pangsa pasar majalah umum di tahun 2000 akan mengalami kejenuhan. ”Pangsa pasar yang terbuka nantinya adalah untuk majalah khusus,” katanya (Junaedhie, 1995: 194). Majalah-majalah semakin fokus dengan segmentasi dan target pasar yang sangat spesifik. Teknologi desktop publishing yang semakin cannggih dengan sistem komputerisasi memudahkan proses editting dan lay-out sehingga memudahkan, mempercepat, dan meminimalkan kesalahan pencetakan (Vivian, 2002). Selain itu industri majalah-majalah juga diwarnai dengan sistem waralaba (franchaise), yakni terjemahan ke dalam berbagai bahasa, baik
yang seluruhnya merupakan adaptasi dari versi aslinya maupun yang sebagian disesuaikan dengan konteks lokal dan citarasa negara lain.
Tabel 1. Majalah Waralaba di Indonesia
No Tahun Terbit Media Segmen Penerbit1 April 1973 Bobo Anak-anak Gramedia2 1997 CHIP Komputer Elex Media3 September 1997 Cosmopolitan Wanita/Lifestyle Grup MRA4 2000 Health Today Kesehatan Infomaster5 Mei 2000 F1 Racing
IndonesiaOlahraga Quadra Media
Publicia6 Mei 2000 Herpers BAZAAR Wanita/Lifestyle Media Insani Abadi7 Juni 2000 Autocar Otomotif Grup MRA8 Agustus 2000 Female Indonesia Wanita/Lifestyle Mediamilenia9 Oktober 2000 Her World
IndonesiaWanita/Lifestyle Media Ikrar Abadi
10 November 2000 Lisa Wanita Pin Point11 Maret 2001 Golf Digest Olahraga Media Golfindo12 April 2001 Komputer Aktif Komputer/TI Gramedia13 Agustus 2001 Men’s Health Kesehatan Grup Femina14 Agustus 2001 Rally XS Olahraga Quadra Media15 September 2001 Motorriders Otomotif/Olahraga Grup MRA16 Oktober 2001 Cosmo Girl Remaja Putri Grup MRA17 November 2001 Seventeen Remaja Putri Grup Femina18 2001 T3 Indonesia Komputer/TI Tri Teknologi Tunggal
Sumber: Hersinta, Tesis, Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (2002).
Berkembangnya kembali penerbitan majalah khusus pada saat ini dapat dikatakan sebagai akibat euforia kebebasan pers pada awal tahun 2000 berujung pada munculnya sejumlah penerbitan yang menerbitkan berbagai jenis format media massa Dalam lingkup media cetak, muncul sejumlah penerbitan koran, majalah, tabloid, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan jika jumlah penerbitan yang terdaftar oleh Departemen Penerangan di Indonesia melonjak dari 282 penerbitan pada tahun 1997 menjadi 1675 penerbitan pada akhir tahun 1999 (Direktori Pers Indonesia, 2002-2003). Angka ini terus menanjak. Menurut Dewan Pers, pada tahun 2001, jumlah penerbitan media cetak meningkat lagi menjadi 2033 penerbitan. Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2000-2001 juga mencatat perkembangan media lokal di sejumlah daerah pasca kebebasan pers.
Khusus kategori majalah, persentase penerbitan majalah di Pulau Jawa bahkan lebih besar, yaitu sebesar 86,3% dari total 219 buah penerbitan majalah dalam berbagai jenis di Indonesia. Secara provinsi, pasar majalah memang tetap berpusat di Jakarta dengan mengkontribusi 152 penerbitan, diikuti oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (13 penerbitan), Jawa Timur (12
penerbitan), Jawa Barat (8 penerbitan), Sumatera Selatan (7 penerbitan), dan Jawa Tengah (6 penerbitan) (Direktori Pers Indonesia, 2002-2003). Adapun menurut perkiraan SPS, kue iklan untuk majalah yang dikuasai oleh penerbitan di Jakarta saat ini berkisar antara 70-80%, yang diperebutkan oleh sekitar 150 pemain majalah yang beredar dengan aneka ragam frekuensi terbit tersebut.
Untuk menyiasati persaingan yang timbul akibat semakin banyaknya jumlah media massa yang muncul, beberapa penerbit mengambil langkah antisipasi dengan menerbitkan jenis media yang lebih tersegmentasi dan lebih terfokus. Pilihan membangun media lokal, bahkan lokalitas yang lebih sempit, seperti kompleks permukiman dan kawasan bisnis, merupakan upaya menggarap pasar yang selama ini tidak tertangani secara optimal oleh media nasional. Kondisi tersebut mendorong lahirnya media berskala lokal yang lingkup pembahasan dan cakupan area peliputannya lebih sempit, yang dikenal dengan nama media komunitas.
Menurut Mahtoem Mastum-Direksi grup Penerbitan Pers PT Wahana Semesta– anak perusahaan kelompok Jawa Pos- Media cetak komunitas merupakan pilihan terbaik bagi investor untuk membuat media cetak. Pasalnya, kendati ruang lingkupnya sempit, media komunitas memiliki pembaca loyal yang berasal dari kalangan komunitasnya (Mastum, 2006). Sebagai konsep baru dalam media massa, media komunitas dibentuk untuk melayani kebutuhan informasi masyarakat dalam sebuah komunitas. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Hermawan Kartajaya dalam buku Marketing in Venus. Menurutnya, komunitas adalah saluran penjualan yang kredibel dan dapat dipercaya karena lingkungan di dalam komunitas bersifat egaliter dan peer to peer. Orang-orang di dalam komunitas adalah pembeli sekaligus penjual.
Pada akhirnya, sejak tahun 2000 awal, penerbitan media cetak komunitas memang kian giat. Sebuah media komunitas dapat mengambil format bentuk berbagai macam, antara lain adalah radio, televisi, dan juga media cetak, berupa koran ataupun majalah (Jankowski, 2001). Di Jakarta, media komunitas beredar di kawasan pemukiman elit Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di kawasan permukiman yang sekaligus juga kawasan bisnis tersebut, beredar majalah Info Kelapa Gading dan Famili Gading. Majalah ini terbut bulanan dan dibagikan gratis kepada komunitasnya. Meski beroperasi pada komunitas yang sama, kedua majalah tersebut memiliki konten rubrik yang berbeda disesuaikan oleh segmentasi dan positioning masing-masing. Majalah Info Kelapa Gading lebih ditujukan kepada pebisnis sedangkan Famili Gading mengambil format sebuah majalah keluarga. Di kawasan Sunter, Jakarta Utara, ada majalah bulanan Sunter yang juga dibagikan gratis.
Hal serupa terjadi di kawasan pemukiman Bintaro Jaya di Jakarta Selatan. Pengelola permukiman Bintaro Jaya berinisiatif menerbitkan sebuah media yang diperuntukkan bagi warga Bintaro. Kicau Bintaro yang terbit bulanan berisi informasi tentang kegiatan yang diadakan di lingkungan Bintaro serta mengangkat profil sejumlah tokoh masyarakat Bintaro secara bergantian. Formatnya kurang lebih serupa dengan Famili Gading yang merupakan majalah keluarga. Di kawasan pemukiman Bumi Serpong Damai (BSD)- Tangerang, dikenal Tabloid Suara BSD City yang diterbitkan oleh pengelola kawasan permukiman BSD City. Sejumlah media komunitas lain yang menyusul diterbitkan di kawasan Serpong antara lain adalah Tabloid Metro Cipasera, Ad Info, Tabloid Serpong Karawaci, Tabloid Helps! Offline, serta Majalah Info
Serpong. Rata-rata, media cetak yang beredar di kawasan komunitas tersebut dibagikan secara gratis kepada para penghuni kawasan tempat tinggal yang menjadi sasaran.
Selain di kawasan permukiman warga, ada pula media komunitas yang lahir di kawasan perkantoran dan pusat perdagangan. Kelompok Jawa Pos menggarap pusat perdagangan elektronik Glodok–Jakarta Barat dengan koran Sinar Glodok. Sementara itu di kawasan perkantoran segitiga emas Kuningan, Thamrin, dan Sudirman, hadir majalah Segitiga Emas. Namun, majalah Segitiga Emas itu kemudian berhenti terbit. Media bagi komunitas yang ada di kawasan perdagangan dan masih terbit hingga kini adalah majalah yang beredar di kawasan pertokoan Plaza Senayan, bernama majalah ps:. Majalah ini berisi informasi seputar produk-produk yang dijual oleh para tenant yang menempati area pertokoan Plaza Senayan. Selain itu juga ada tabloid yang beredar di kawasan pertokoan ITC Mangga Dua dan sejumlah lokasi ITC lainnya.
Mayoritas media komunitas tersebut didistribusikan gratis secara langsung dari rumah ke rumah, sehingga pembaca tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan contoh eksemplar dari media komunitas tersebut. Dengan demikian, akses pembaca menuju media komunitas semakin mudah. Atas dasar pertimbangan tersebut, semakin banyak saja jumlah pemegang iklan yang mempercayakan pemasaran produknya kepada media komunitas.
Bukan hanya di Jakarta, media cetak komunitas juga berkembang di luar Jakarta. Di Surabaya, sejak akhir tahun 2000, Media Watch mencatat ada 4 media komunitas yang berkembang, yaitu Warta Darmo, Jurnal YeKP, Galaxi Media, serta Darmo Insight. Keempat media cetak ini bermain di wilayah yang cukup sempit, yakni sebuah kawasan hunian dan bisnis yang cukup padat. Warta Darmo dan Darmo Insight merupakan media komunitas yang membahas satu kawasan yang sama, yaitu warga kawasan Darmo. Selain berguna sebagai langkah alternatif dalam menghadapi kompetisi dengan majalah nasional serta sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat akan informasi yang lebih spesifik, sebenarnya sebuah media komunitas memiliki peran lain yang lebih mendasar dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dibandingkan suratkabar, pembaca majalah memang relatif lebih sedikit, namun demikian majalah memiliki pasar yang lebih mengelompok. Dari sisi isi informasinya, isi majalah tidak seaktual suratkabar namun ulasannya jauh lebih mendalam dan diwarnai dengan latar belakang plus analisis masalahnya. Kebanyakan majalah memuat iklan berlingkup nasional karena umumnya majalah yang beredar di Tanah Air berpusat di Jakarta. Bila dibandingkan belanja iklan antara surat kabar dengan majalah maka dapat dilihat pada tahun 2004 misalnya, persentase iklan koran lebih besar yaitu Rp 5.235,8 milyar dan majalah hanya Rp 997,6 milyar (Nielsen Media Research – Advertising Media Service, 2005).
Tabel 2. Perolehan Iklan Majalah di Indonesia Tahun 2001-2004 (Rp Miliar)
No Majalah Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2003
Tahun 2004
1 Femina 56.464 63.871 59.824 67.6882 Tempo 38.983 46.431 46.986 58.9833 Cosmopolitan 24.612 33.611 32.366 44.672
4 Kartini 5.751 17.881 21.271 25.1365 Ayahbunda 11.764 13.025 17.105 22.5086 Aneka Yess 12.573 16.449 16.782 20.8797 Gatra 22.502 23.111 16.709 20.7128 Bussiness Week - - 10.288 20.0809 Dewi 14.150 16.773 17.059 19.75110 Gadis 13.683 15.998 16.326 18.662
Sumber: Nielsen Media Research 2004 dan Media Scene 2004-2005 dalam Media Directory Pers Indonesia 2006
Pembahasan mengenai kegiatan periklanan di majalah selalu mempertimbangkan tipe majalah yang terkait dengan target audiens yang diinginkan. Menurut www.eswias.com, kategori majalah dapat dipilah-pilah dalam beberapa jenis, meliputi:
a. Geografi
Berkaitan dengan distribusi majalah apakah nasional, lokal ataukah regional atau bahkan internasional (Panjebar Semangat, Tempo, Time)
b. Demografi
Adalah kategori majalah dalam bentuk kelompok umur (Bobo), Pekerjaan (Cakram), jenis kelamin (Matra, Femina, Cosmopolitan, Mens Health), status sosial (Tempo, Intisari, Misteri, Maestro)
c. Editorial Content
Pembagian majalah dari segi isi apakah berita umum (Tempo, Gatra), informasi wanita (Cosmopolitan), Bisnis (Swa), interert khusus (Cinemagz, ASRI), dsb
d. Ukuran fisik
Ukuran fisik majalah umumnya adalah 8,5 x 11 inchi atau 6 x 9 inchi. Saat ini ukuran majalah terus mengecil agar mudah dibawa kemana-mana.
e. Frekuensi Penerbitan
Umumnya majalah di Indonesia terbit mingguan, namun ada yang terbit dwi mingguan, bulanan, tiga kali sebulan dan ada pula yang terbit tiga bulan sekali.
Sebagai medium beriklan majalah memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.
Kekuatan Majalah sebagai Media Iklan
1. Khalayak sasaran untuk iklannya lebih tersegmentasi, sehingga majalah dengan special interest akan disukai pengiklan karena dianggap memiliki captive market.
2. Penerimaan khalayak; memiliki kemampuan mengangkat produk yang diiklankan sejajar dengan persepsi khalayak sasaran.
3. Long life span; usia edar majalah adalah panjang dan sering disimpan sebagai referensi. Umumnya pembaca majalah membaca satu majalah rata-rata 60–90 menit dan sering diulang-ulang. Oleh karenanya iklan yang ada dalam majalah dapat memuat naskah iklan yang panjang dan lebih rinci sekaligus juga unsur kreatif kreasi pesan iklan yang disampaikan.
4. Kualitas visual; karena umumnya dicetak dengan kertas berkualitas tinggi, maka menjajikan kualitas foto, gambar, tulisan yang lebih indah dan menarik perhatian.
5. Dapat digunakan sekaligus sebagai sarana sales promotions; misal pemberian kupon, sampel produk, bonus dan sebagainya
6. Creativity flexibility: karena kualitas visualnya maka iklan di majalah penerapan artwork dan strategi kreatifnya dapat dimaksimalkan dan lebih bervariasi
Kelemahan Majalah sebagai Media Iklan
1. Fleksibilitas terbatas; artinya pengiklan harus menyerahkan final artwork iklannya jauh-jauh hari. Untuk pemesanan iklan pada halaman tertentu diperlukan perencanaan dan pesanan lebih dahulu.
2. Biaya tinggi; untuk beriklan pada majalah diperlukan dana yang relatif mahal3. Distribusi; jaringan distribusi majalah tidak sebanyak surat kabar dan penyebarluasannya
relatif lebih lambat bahkan kadang–kadang di suatu daerah tidak ada distribusinya.
Di Amerika serikat, pasar untuk media cetak dikenal melalui hubungan simbiosis antara penerbit dan pemasang iklan. Hubungan antara penerbit dan pemasang iklan terlihat dari harga kolom iklan. Dalam menggali hubungan ini, perlu diingat bahwa majalah sangat dipertimbangkan pemetaan keberagaman pembaca. Contohnya Teen People pembacanya sebagian besar adalah pembaca muda, sementara pembaca Time meliputi wilayah pembaca yang lebih luas.
Pertumbuhan ekonomi, iklim keterbukaan dan kebebasan pers membawa semangat berbagai perusahaan untuk menerbitkan majalah bersegmen yang berorientasi memenuhi kebutuhan khalayak pembaca. Persaingan yang ketat mendominasi industri majalah sehingga setiap pemilik suratkabar berlomba-lomba menguasai pangsa pasar dengan menjual segmentasi. Dalam pasar oligopoli ini, majalah yang tidak memperoleh iklan dan pembaca yang memadai akan gulung tikar. Fluktuasi jumlah pengiklan dan pembaca majalah tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor. Persaingan dengan pendatang baru, baik majalah dalam negeri maupun majalah waralaba menjadi faktor yang menentukan.
Sejarah Kelahiran Majalah
Secara umum, majalah mulai berkembang di Inggris Raya pada tahun 1700-an dengan menampilkan materi fiksi dan nonfiksi. Majalah pertama di negara itu adalah Gentleman’s Magazine yang muncul pada tahun 1731 dan menampilkan tulisan-tulisan tentang politik, biografi, dan kritik (Straubhaar & La Rose, 2006).
Di Amerika, majalah pertama adalah American Magazine (William Bradford) yang dicetak di Philadelphia pada tahun 1741. Disusul berikutnya General Magazine (Ben Franklin). Selama Revolusi Amerika, majalah-majalah di Amerika muncul dengan mengusung topik-topik seputar dunia politik. Pada tahun 1820an, majalah dengan isu-isu umum mulai muncul, seperti Saturday Evening Post (1821-1969). Jumlah majalah meningkat tajam selama Perang Sipil dan mulai menjangkau pembaca yang lebih luas. Pada tahun tahun 1879, undang-undang pos menyebabkan biaya distribusi majalah menjadi lebih murah (Straubhaar & La Rose, 2006).
Pada tahun 1900an majalah bergenre mucraking journalism muncul, yakni majalah-majalah yang memfokuskan pada berita-berita investigasi mengenai skandal, misalnya korupsi di pemerintahan atau perusahaan. Majalah mucracking ini misalnya diwakili oleh McClure’s dan Collier’s. Selain itu ada The Nation dan Washington Monthly yang fokus meliput skandal yang terjadi di pemerintahan
Setelah tahun 1900an, majalah dengan berbagai genre bermunculan dan menyasar target audiens yang spesifik sert mengangkat isu-isu kehidupan modern atau gaya hidup. Strategi ni dilakukan untuk mengimbangi kemunculan-media lain yang lebih atraktif, yakni radio dan film. Salah satu formula majalah yang paling sukses adalah mengombinasikan foto dan berita. Diawali dari majalah Life yang lebih banyak menonjolkan foto. Akhirnya pada dekade-dekade berikutnya kesuksesan Life menurun karena tidak mampu menghadapi persaingan dengan televisi. Sejarah kesuksesan Life digantikan oleh Time dan Newsweek. Kedua majalah ini berhasil karena menampilkan foto dan berita secara seimbang.
Di Indonesia, keberadaan majalah mulai dikenal pada masa menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Panja Raja pimpinan Markoem Djojo Hadisoeparto. Pada masa awal kemerdekaan, lahir Majalah Revue Indonesia yang diterbitkan oleh Soemanang, SH. Kehadiran majalah ini telah mengemukakan gagasannya perlunya koordinasi penerbitan majalah dan suratkabar yang jumlahnya sudah mencapai ratusan dengan satu tujuan, yaitu menghancurakan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional utnuk keabadian kemerdekaan bangsa, dan penegakan kedaulatan rakyat. Pada zaman Orde Lama, Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Pada masa ini perkembangan majalah tidak begitu baik, karena relatif sedikit majalah yang terbit. Pada zaman Orde Baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya. Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju (http://oliviadwiayu.wordpress.com/2006/11/03/ bentuk2-media-massa/). Meski demikian, pada masa ini sempat diwarnai pembredielan beberapa majalah dan pengekangan kebebasan pers oleh pemerintah, salah satunya lewat prosedur perizinan (SIUPP).
Pada perkembangan mutakhir, majalah-majalah semakin fokus dengan segmentasi dan target pasar yang sangat spesifik. Teknologi publishing yang semakin cannggih dengan sistem komputerisasi memudahkan proses editting dan lay-out sehingga memudahkan, mempercepat, dan meminimalkan kesalahan pencetakan (Vivian, 2002). Selain itu industri majalah-majalah juga diwarnai dengan sistem waralaba (franchaise), yakni terjemahan ke dalam berbagai bahasa,
baik yang seluruhnya merupakan terjemahan dari versi aslinya maupun yang sebagian disesuaikan dengan konteks lokal dan citarasa negara lain.