1 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Bahan Bahtsul Masa’il Kesatu
Islam Nusantara Sebagai Alternatif Peradaban Islam di Era Milenial
Saat ini, peradaban Islam jatuh bangun untuk memecah kebuntuan “dark age” Islam sejak
pembubaran Kholifah Utsmani. Sejak perubahan monarki-teokrasi ke demokrasi berbentuk
nation-state (negara-bangsa), Islam belum muncul ke muka untuk memiliki posisi tawar dunia
yang lebih dipandang lebih positif. Organisasi Konferensi Islam (OKI), Liga Arab dan upaya-
upaya dunia Islam dalam mengangkat kembali Islam di antara ideologi dunia belum juga
berhasil.
Hal ini bisa disadari, begitu kuatnya hegemoni Barat untuk tetap mempertahankan ideologi
demokrasinya. Ketika komunisme hancur, Barat mencari ideologi lain untuk menjadi lawan
seimbang, dan Islamlah yang dipilih. Dengan kekuatan yang dimiliki serta tujuan ekonomi
politik atas minyak (black gold), Barat berhasil mengendalikan dunia Islam secara marathon.
Dimulai di Tunisia, kemudian Mesir dan negeri Arab yang sekarang porak poranda seperti
Libia, Afganistan, Suriah dan Irak adalah contoh bagaimana dunia Islam secara sengaja
menjadi medan ajang adu kekuatan demi ideologi dan ekonomi-politik. Dari sini, Arabic
Spring menjadi titik tumpu Islam mati kutu dalam segala dimensi dalam ideologi dunia. Narasi
yang dibangun oleh media mainstream telah mendudukan Islam sebagai ideologi yang “jahat”.
Maka, radikalisme, fundamentalisme, garis keras adalah contoh kata yang dialamatkan kepada
Islam.
Pertanyaannya adalah bagaimana Islam bisa berdamai dengan suasana ini sebagai cara lain
untuk melawan dan menunjukan kepada dunia sebagai ideologi yang damai, aman dan tidak
dengan penuh kebencian. Islam yang dipersepsikan di Timur Tengah sebagai Rahim ideologi
Islam telah terkontaminasi oleh justifikasi Barat akannya. Wajah Islam seperti apa yang mesti
ditawarkan kepada dunia yang sampai saat ini masih memiliki standar ganda untuk melihat
Islam sebagai sebuah Ideologi?
Jawabannya adalah Islam Nusantara. Era Milenial yang memiliki pendekatan post-truth telah
dapat berkelindan dengan Islam Nusantara secara filosofis dan praktis. Nusantara yang telah
berhasil mengubah wajah Islam dengan tagline Islam Rahmatan Lil Alamin telah menunjukan
bahwa Islam bisa bersenyawa dengan demokrasi, bisa menyebar dengan kedamain, bisa
menginfiltrasi budaya agama lain serta mampu mengoreksi kesalahan ideologi lain dengan cara
persuasif. Islam Nusantara juga bisa menjawab standar agama yang dikampanyekan oleh
lembaga internasional seperti bias gender, pluralisme, humanisme, feminisme dan tentu saja
demokrasi. Dari sinilah Islam Nusantara memiliki “kesempatan” untuk mengambil peran di
dunia bahwa Wajah Islam adalah wajah yang bisa menjadi solusi peramsalah milenial yang
semakin komplek.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam Nusantara memiliki masalah dari sudut teologis-
tekstualis? Apakah sinkretisme Islam dan budaya memiliki masalah dari sudut koodifikasi fikih
klasik yang tidak dibenarkan dalam klarifikasi era milenial? Sudut apakah yang membuat Islam
Nusantara harus ditolak? Kalau harus diterima, Teks-teks mana yang membolehkan dan
konteks apa yang tidak melanggar kaidah fikih?
2 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Bahan Bahtsul Masa’il Kedua
Peluang dan Tantangan Lembaga Pendidikan di bawah Al Maarif dalam Kebijakan
Politik Masa Depan
Patut disyukuri, saat ini lembaga pendidikan di bawah NU, baik itu dikdasmen di bawah Al
Maarif maupun lembaga tinggi di bawah LPTNU memiliki gairah yang baik. Indikator
sederhananya adalah bertambahnya animo masyarakat untuk memasukan anak ke lembaga
pendidikan NU.
Namun, secara substantive ada masalah serius di dalam tubuh lembaga NU, baik dalam bingkai
lembaga Jam’iyah maupun lembaga yang dimiliki jama’ah NU. Salah satu yang kental adalah
bagaimana lembaga ini menggunakan prinsip manajemen modern dalam tata kelolanya.
Penggunaan manajemen konvensional-tradisional telah membuat lembaga ini kalah saing
dengan JSIT, Muhammadiyah dan lembaga umum (NGO) yang tidak berafiliasi ke mana pun
terutama lembaga pemerintah.
Dari sudut pemikiran, NU lebih progresif ketimbang Muhammadiyah. Lahirnya pemikiran-
pemikiran anak muda NU serta progresivitas Ansor dan Bansernya yang massif dan terstruktur
patut dibanggakan NU. Namun dalam konteks kemajuan lembaga pendidikan sepertinya NU
belum bisa move-up menjadi leading school yang bisa dibanggakan. Masalah ini bisa
dikarenakan tiga hal utama.
Pertama adalah paradigm lama yang digunakan dalam mengelola pendidikan sehingga sulit
terbuka kepada aspek kebaruan, kedua adalah kemandirian lembaga pendidikan NU yang
menggunakan sentiment agama dan bantuan pemerintah dalam pengembangannya. Dalam
konteks ini, literasi finansial perlu menjadi hal yang perlu digiatkan di NU agar marwah NU
dalam dunia pendidikan lebih tinggi. Ketiga adalah paradigma lama dalam proses belajar
mengajar. Tradisi “rote learning” (hapalan) yang disinyalir termasuk keterampilan tingkat
rendah (LOTS) masih dominan. Namun jiga adanya modernisasi sekolah, maka akan ada
dampak signifikan terhadap kemajuan, dan menghilangkan nilai tradisional yang menjadi ciri
khas NU.
Pertanyaannya adalah bagaimana lembaga pendidikan NU terutama di bawah Al Maarif dapat
bersaing dengan kontestan sejenis dan memenangkan persaingan? Bolehkan modernisasi
manajemen dan pembelajaran dimodifikasi walaupun menyalahi sistem pembejaran tradisional
yang banyak dipraktikan di pesantren? Jika dampak pendidikan modern di NU
diimplementasikan, lalu kemudian nilai moral seperti “takdim”, “pamali”, “kawalat”,
“berkah” hilang dalam sistem pendidikan maka lembaga NU akan musnah atau tidak sesuai
dengan konsep dasar NU? Bagaimana lembaga NU menjaga tradisi sekaligus beradaptasi
dengan kemajuan sesuai dengan kaidah Al Muhafadhotu ala qodim ass sholih wa al ahdu bi
jadid as sholih?
3 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Bahan Pemikiran yang relevan dengan Topik
Islam Nusantara: Menyelami Pemahaman Kelompok Pro dan Kontra
Oleh: Zaki Mubarak
TERUS terang, mengangkat tulisan Islam Nusantara (IN) sudah sejak lama saya pikirkan.
Munculnya tulisan KH Ma’ruf Amin di koran beserta tulisan lain yang deras di WA membuat
saya berenergi untuk menuliskan ulang berbagai pemikiran itu. Mungkin beberapa pendapat
sejalan dengan tulisan ini, beberapa mungkin tidak. Saya pun harus berbagi pemikiran dengan
kelompok yang tidak setuju. Tulisan yang kontra itu, saya coba telaahi dan menarik benang
merahnya. Dari kedua pemahaman (pro-kontra) ini, saya mencoba merenungi apa yang
sesungguhnya diinginkan oleh IN, baik sebagai pemikiran, gerakan maupun amaliyah.
Sejatinya, saya harus mengikuti pemikiran NU sebagai pencetus utamanya di Muktamar NU
ke-33 Jombang. Ini normal, karena jika saya memahami IN sebagai sebuah pemikiran di luar
pencetusnya berarti saya telah masuk kepada perangkap IN sebagai sebuah diskursus “hoax”.
Karena orang yang melahirkan akan lebih tahu dari orang yang hanya mencoba memahami dari
benak “kebenaran” dirinya. Walaupun saya harus akui, banyaknya kontra pemahaman terhadap
IN merupakan berkah besar bagi NU. Satu sisi eksistensi IN lebih populer daripada Islam
Berkemajuan atau moderasi Islam misalnya, di sisi lain pemikiran kontradiktif ini menjadi
bahan yang menarik dari sudut akademik. Ada apa sebenarnya, sehingga IN menjadi diskursus
yang membuat orang mencurahkan energinya untuk berpikir. Semakin diperbincangkan dan
dikritisi, maka semakin “syah” untuk jadi naskah akademik.
Terlepas dari keberpihakan, saya harus mencoba menalar semua pemahaman pro-kontra ini
dalam sebuah pemahaman Islam yang saya pahami. Tentu mungkin keduanya harus saya olah
dengan daya analisis yang saya miliki. Mungkin metode analisis (manhaj) yang saya hasilkan
tidak akan memuaskan semua orang, tapi peling tidak, ini akan membuat pertanyaan banyak
orang yang dilayangkan kepada saya bisa terjawab.
Islam: Komposisi yang Sempurna dengan Hasil yang Beragam
Berbicara Islam sebagai “System of Belief” tentu saja tidak selesai pada tataran ajaran. Dalam
konteks Islam sebagai sebuah “lembaga” maka Islam terdiri dari dua komposisi; ia sebagai
agama (religious) dan ia sebagai keber-agama-an (religiousity). Agama dibangun oleh sumber
pokok yang dalam hal ini Al Qur’an dan Hadits, sedangkan keberagamaan adalah interpretasi
darinya. Karena lebih dari seribu empat ratus tahun perjalanan Islam sampai kini, maka sumber
itu lebih didekati sebagai teks daripada konteks. Teks Qur’an dan Hadits yang diyakini
kebenarannya adalah sebuah sumber faktual yang divine (ilahiah) dan tidak bisa ditolak.
Sayangnya, Teks itu memiliki masalah karena berbagai faktor. Secara ilmiah, tidak ada
kesalahan tata Bahasa, isi atau penyajian dalam kedua sumber Quran dan Hadits (QH) itu, tapi
untuk menginsterpretasikan teks bukanlah tugas yang mudah. (1) faktor Bahasa yang berbeda
memunculkan persepsi yang berbeda terhadap makna QH. Karena Bahasa Arab memiliki nilai
sasatra yang tinggi, maka interpetasi dengan Bahasa lain semisal Bahasa Indonesia akan
menciptakan pemahaman yang berbeda. Padanan kata Arab kadang tidak memiliki kelindan
makna yang sama dengan Bahasa Indonesia. (2) faktor konteks jaman yang berbeda melahirkan
bacaan atau rabaan QH yang berbeda di setiap lokus (daerah) dan tempusnya (jamannya). Ini
normal karena QH sendiri tidak terlepas dari lokus dan tempus saat diturunkan. Makanya, QH
harus diperhatikan asbab-nya walaupun nilainya yang terkandungnya dinilai relevan tak lekang
4 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
oleh waktu dan ruang. Hal ini pula yang memunculkan sistem komodikasi hukum di bawahnya
bernama qiyas, Istihsan, Saddudz Dzariyah, ‘Urf dan maslahah Mursalah.
Karena problematika yang dimunculkan faktor itulah, komposisi Islam melalui QH mengalami
interpretasi yang beragam. Hal ini memunculkan dua kelompok yang berseberangan;
kelompok tekstualis dan kelompok liberalis. Kelompok tekstualis memaksakan komposisi QH
dalam ajaran agama baik itu sebagai agama maupun keber-agama-an. Kelompok ini
menganggap semua yang tidak ditulis dalam QH memiliki kecenderungan keluar dari Islam.
Walaupun mereka membatasi pada dimensi ibadah, tetapi mereka tidak jarang memasuki
wilayah lain untuk membaca konteks dengan teks QH. Bila tidak sesuai maka dianggap tidak
Islam. Mereka pun ingin mendekatkan kehidupan dengan narasi QH, maka tidak jarang
Arabisasi diupayakan dalam praktik kehidupan, walaupun ada padanan local yang sepadan.
Kelompok Liberalis adalah kebalikannya. Mereka lebih bebas untuk berpikir
menginterpretasikan Islam sesuai daya pikirnya. Mereka mengabaikan metode berpikir yang
sudah dirumuskan oleh Ulama terdahulu. Sehingga, hasil pikirnya tidak sedikit nyeleneh dan
dianggap keluar dari Islam mainstream. Belakangan, banyak produk pemikirannya yang
dianggap keluar dari Islam sehingga KH Hasyimm Muzadi beranggapan bahwa kaum Liberal
adalah “Kafir yang belum jadi”. Kelompok ini banyak dipengaruhi oleh metode berpikir
fatalistic (jabbariyah) yang seratus persen mengutamakan “reason” ketimbang teks yang kaku.
Mereka mengkritisi teks QH sesuai dengan kemampuan akal mereka. Hal ini sama seperti Barat
yang telah berhasil melakukannya pada Injil.
Kedua kelompok ini sangat berdasar dan rasional. Yang satu memposisikan agama sebagai
nilai yang harus diwariskan sehingga tidak boleh mengalami perubahan, yang satu menjadikan
Islam sebagai alat untuk dikritisi sehingga memiliki relevansi dengan ruang dan waktu yang
melingkarinya. Namun, keduanya memiliki masalah rumit, yang satu terlalu tekstualis, yang
satu terlalu bebas tafsir. Tektualis akan mendapatkan masalah dalam memaknai konteks yang
diikat oleh ruang dan waktu, sedangkan liberalis akan memiliki masalah “kekafiran” yang
tersembunyi karena pisau analisisnya yang kerap tidak sesuai manhaj yang telah dirumuskan
para ulama terdahulu. Alat ini memiliki otoritas yang tidak bisa diabaikan. Keduanya akan
memiliki masalah ketika agama dan keberagamaan disandingkan secara praktis di masyarakat
muslim.
Dalam mendamaikan keduanya, masyarakat muslim memiliki dua pilihan, apakah melalui
nation-state yakni formalisasi Islam sebagai sebuah sistem kehidupan atau mereka memilih
melalui civil society yakni menggunakan Islam sebagai sebuah nilai yang dipraktikan tanpa
harus diformalkan. Kelompok yang pertama memperjuangakan Islam sebagai sebuah gerakan
politik atau disebut Islam formalis, yang kedua lebih bergerak kepada dakwah Islam yang
mengabaikan politik praktis atau biasa disebut Islam substansialis. Keduanya memiliki dampak
yang berbeda, pilihan pertama berdampak kepada sistem negara yang memformalkan Islam
sebagai sistem tata negara seperti banyak narasi “syariah” dalam kebijakannya, yang pilihan
lainnya berdampak kultural dan massif sesuai dengan kekuatan ajarannya. Bila ia berterima
secara massal, maka ajaran itu akan massif sebagai ajaran yang diterima publik, jika tidak,
maka ajaran itu tidak laku, toh tidak diperkuat dengan kekuatan politik.
Konteks Indonesia, kelompok tekstualis lebih menginginkan formalisasi Islam melalui politik
nation-state sedangan liberalis lebih mempropaganda dalam kultur akademik. Keduanya
memiliki rintangan yang sama, yang satu memiliki musuh dengan kaum nasionalis yang
menginginkan (semi) sekulerisasi tata negara, sedang yang lainnya dimusuhi oleh agamawan
5 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
konservatif yang memegang teguh agama sebagai sebuah nilai turun temurun. Oleh karena itu,
mendamaikan keduanya adalah hal yang paling berterima.
Gerakan civil society yang dikembangkan oleh Islam kultural semacam NU dan
Muhammadiyah adalah pilihan cocok yang berdamai antara formalistic dan subtansialistik.
Teks yang menjadi sumber utama kaum tekstualistik dan sekaligus menjadi objek kritik oleh
liberalistic harus dilengkapi dengan konteks. Konteks inilah yang menjadi perekat keduanya,
ia bisa sebagai tradisi, bisa sebagai nilai, belief, simbol dan bisa juga sebagai local wisdom.
Konteks inilah yang akhirnya membuat Islam kultural menemukan jalan tengah (tawasuth)
dalam memformulasikan ulang Islam sebagai sebuah agama dan keberagamaan.
Dalam pandangan kelompok ini, agama dipandang sebagai prinsip yang dihasilkan dari
interpretasi QH yang dilakukan melalui metode khusus yang secara ijtima (consensus) telah
disepakati oleh ulama terdahulu. QH yang memiliki masalah interpretasi Bahasa dan konteks
ruang-waktu yang melingkunginya, diterjemahkan ajarannya secara substansif dan diupayakan
berkelindan dengan nilai, belief, keyakinan, simbol, kebijaksanaan di masyarakat muslim.
Sepanjang tidak berbenturan dengan substansi Islam, ajaran Islam mengalami sinkretisme
(pencampuran) dengan tujuan dakwah Islam yang akulturatif. Faktanya, dakwah model ini
sangat efektif dan diterima secara terstruktur, sistemik dan massif (TSM) di wilayah Nusantara.
Dakwah model ini pula yang menjadi kesuksesan para wali songo sebagai kritik teerhadap
dakwah purifikasi yang dilakukan sebelumnya.
Dalam konteks Nusantara, kelompok Islam kultural faktanya telah menjadi bagian penting dari
kehidupan Indonesia. Terlepas dari tuduhan Islam di Indonesia yang klenik, sinkretis, penuh
bid’ah dan tidak murni atau sempalan, Islam ini dipandang sebagai Islam yang menjadi khas.
Islam ini mencoba memformulasikan Islam yang damai (Islam, peace, damai), Islam yang
toleran (tasamuh), Islam yang mejadikan rahmat bagi alam (rahmatan lil alamin) dan Islam
yang menghormati tradisi tanpa mengedepankan kekerasan, peperangan dan permusuhan.
Keberhasilan Islam di Indonesia ini telah memantik kekuatan civil society NU mendeklarasikan
IN sebagai sebuah ikon. Hal ini juga berlaku bagi Islam Berkemajuan-nya Muhammadiyah,
dan Moderasi Islam Kementerian Agama. Isinya mirip sama walaupun memiliki fokus yang
beragam. Ketika Arabic Spring yang bergolak dan meluluh lantahkan Timur Tengah sebagai
“Pribumi” Islam, dan semua identitas dan narasi yang diperjuangkannya adalah “atas nama
Islam”, maka semua mata dunia tertuju kepada Islam Indonesia. IN yang diprakarsai oleh NU
dipandang sebagai Islam dengan wajah yang solutif atas kekerasan atas nama agama dengan
kedok terorisme, radikalisme dan narasi sejenisnya. IN disinyalir menjadi Islam yang mampu
menyelesaikan masalah kemanusiaan dan bahkan kebudayaan di negara berpenduduk muslim.
Namun, IN memiliki masalah serius di dalam negeri. Seiring IN sebagai kajian akademis yang
menarik bagi dunia internasional, IN pun memiliki “musuh” ideologis. Hal ini tidak terlepas
dari gelombang “purifikasi” Islam di Indonesia. Interaksi akademisi muslim Indonesia yang
belajar di Timur Tengah sedikit banyak telah merubah peta kekuatan pemikiran Islam
tradisional-kultural. Sekembalinya mereka belajar dari timur tengah, mereka berupaya untuk
“memperbaiki” Islam sesuai dengan Islam yang mereka pahami.
Paling tidak ada beberapa wajah Islam yang mereka boncengi; Islam ala Saudi dengan
Wahabisme dan salafisme sebagai oleh-olehnya dan Islam politik ala Ikhwan Muslimin (IM)
Mesir dengan oleh-oleh Politik Islam dan bahkan Khilafah. Kedua kelompok ini juga ditambah
dengan para jebolan “tersembunyi” dari Iran dengan Syiah sebagai ajarannya dan jebolan Studi
6 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Islam Barat terutama Mc Gill yang lebih menekankan pada aspek liberaliasi pemikiran Islam.
Wajah-wajah itu menjadi antitesa IN sebagai sebuah konsep di satu sisi, tapi di sisi lain menjadi
penguat dan sintesis IN sebagai sebuah gerakan. Dalam praktiknya, ada tambal sulam IN
sebagai sebuah pemikiran ketika berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran impor tersebut.
Interaksi ini membuat NU dan IN memiliki level yang berbeda-beda. Ada yang sangat
mendukung IN sebagai sebuah pemikiran, gerakan dan amaliyah, ada juga yang mendukung
sebatas pemikiran tanpa gerakan dan amaliyah. Level Ke-NU-an seseorang juga berbeda, ada
yang berorientasi pemikiran, gerakan juga amaliyah. Keberpihakan warga NU tergantung dari
orientasinya di jam’iyah NU, ada yang menggunakan untuk kepentingan politik, ummat atau
kepentingan luar yang merasukinya. Semua perlu dibuktikan secara parsial untuk
membuktikan tuduhan-tuduhan luar tentang dinamika pemikiran dan gerakan NU kontemporer
itu.
Pemahaman Kelompok Kontra terhadap Islam Nusantara
Ada beberapa tokoh yang tidak setuju dengan IN. Secara umum ketidak setujuan bisa dicari
jejak digitalnya dan orientasi ketidak sukaannya. Tokoh seperti Habib Riziek dalam videonya
dan juga utamanya adalah tokoh-tokoh medsos yang mengkritisi seperti simpatisan PKS Jonru
Ginting dan lainnya. Bahkan Mamah Dedeh sempat reaktif “mencoret” IN dalam diskursus
Islam. Saya juga melihat ada banyak postingan warganet yang begitu antipati terhadap IN. Ada
yang reaksional tanpa mengetahui jauh tentang IN, ada juga yang nyinyir sebelum tahu IN itu
seperti apa. Narasi-narasi yang saya amati, kebanyakan dari mereka adalah terpengaruhi oleh
agitasi media sosial yang massif tentang penolakan IN sebagai sebuah konsep. Itu normal.
Saya coba bagi penolakan IN ini dengan tiga dimensi; pemikiran, gerakan dan amaliyah. (1)
dari sisi pemikiran ada beberapa hal yang menolak. Saya klasifikasi menjadi beberapa bagian.
(a) IN adalah anti Arab, seperti yang diposting oleh Jonru. Semua yang berhubungan dengan
Arab dianggap bukan IN. Ia harus sangat local dan berupaya untuk meninggalkan dan
mengabaikan segala hal yang berbau Arab. Pesantren NU yang banyak melahirkan tokoh
penting, pelajaran yang pertama mengajarkan Bahasa Arab, sepertinya ini dinafikan. Narasi-
narasi seperti Assalamualaikum, Alhamdulillah, Akhi, Akhwat, Ummi, Abi, adalah beberapa
yang dituduh harus disingkirkan dari Indonesia melalui IN. semua harus di Indonesiakan atau
di-lokalkan.
Beberapa pemikiran Habib Riziek yang menyebut Jemaah Islam Nusantara (JIN) memiliki
kekeliruan pemikiran. IN menganggap (b) Islam adalah agama pendatang yang numpang di
Nusantara. Islam adalah agama orang Arab. (c) pribumisasi Islam adalah tujuan IN, bagaimana
Islam harus tunduk kepada tradisi dan segala sesuatu yang ada di Nusantara. Indonesiasi Islam
adalah prosesnya bukan Islamisasi Indonesia. (d) Menolak Arabisasi, baik dari budaya maupun
nilai yang melekat di dalamnya. Islam harus diambil sebagai substansi, tetapi kulitnya yang
menempel harus dibuang. Derivasi dari menolak arabisasi adalah harus membuang Jilbab,
membuang salam, membuang jenggot, jubah dan sejenisnya, bahkan kain kafan pun diganti
menjadi batik.
Hal yang saya analisis, kebanyakan IN dianggap sebagai sebuah agama (religious) padahal IN
yang dimaksud oleh NU adalah Islam sebagai keber-agama-an (religiosity). “Agama” adalah
ajaran yang secara tekstual telah difinalisasi melalui QH. Menafsirkan QH sebagai ajaran
agama dengan derivasi dan interpretasi yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu adalah
“keberagamaan”. Hal ini berlaku sangat umum, dimana agama itu sama secara prinsip, tapi
7 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
keberagamaan pasti memiliki perbedaan yang parsial. Karena keberagamaan ini beda satu sama
lain, maka agar tidak keluar dari “agama” maka harus menggunakan manhaj berpikir (ijtihad)
dalam menghasilkan produk keberagamaannya. IN adalah produk keberagamaan bukan agama.
Ia bisa sebagai kekhasan, ia bisa sebagai gerakan, tipologi, ia juga bisa sebagai tawaran konsep
akademik.
Jika IN dianggap secara pemikiran adalah sesuatu yang salah karena Islam itu satu dan tak bisa
dipisah-pisahkan atau dikotak-kotakan, maka ketika sejak dahulu ada Islam Kairo, Islam Mesir,
Islam Yaman dan lainnya memiliki kesalahan serupa.
(2) IN sebagai gerakan. Paling tidak ada dua tuduhan IN yang lahir sebagai gerakan dan dikritisi
sebagai hal yang berbahaya. (a) IN dengan NU-nya telah disusupi oleh gerakan spilis. Spilis
adalah akronim yang mengacu pada sekuler, pluralis dan liberalis. Gerakan ini diimpor oleh
Barat yang mengagumi pemikiran liberal sebagai penghancur sendi-sendi keagamaan. (b) IN
disusupi syiah yang mencoba menghancurkan Islam Sunni (Ahlu Sunnah wal Jamaah).
Gerakan mendesakralisasi istilah Islam yang Arab, dicoba dikerdilkan di Indonesia dengan
tujuan akhir nilai Islam yang semakin pudar.
Gerakan IN disinyalir sebagai gerakan yang didukung oleh kaum nasionalis yang
menginginkan adanya sekularisme. Sekularisme sejatinya adalah gerakan politik yang
mencoba memisahkan ruang publik dan ruang privat. Agama yang sifatnya privat tidak bisa
dimunculkan sebagai instrument ruang publik, sehingga semua yang berurusan dengan agama
selesai di kamarnya. Ia sangat pribadi dan negara tidak mengurusi urusan pribadi. IN adalah
sebuah gerakan sekulerisasi dengan mengkanalisasi anti arab. Nomenklatur Islam yang arab
dicoba diruntuhkan agar pada akhirnya Islam bisa dijauhkan dari sumber hukumnya (QH yang
berbahasa Arab).
Bila gerakan IN adalah berbahaya, maka gerakan Islam Terpadu, Islam berkemajuan, Moderasi
Islam, Islam Wasathiyah pun memiliki tingkat keberbahayaan yang sama. Saya kira gerakan
yan gdituduhkan perlu diteliti, walaupun saya meyakini gerakan ini sama dengan gerakan Islam
konservatif, Islam emansipatoris, Islam Progresif, Islam developmentalis, Islam revivalis, dan
sejumlah gerakan Islam lainnya.
(3) dari dimensi amaliyah terutama amaliyah dakwah, IN lebih toleran, berdamai dengan
“kekafiran” dan tidak mencoba memformalisasikan Islam sebagai syariat negara. Hal ini
ditentang oleh gerakan politik Islam yang mencoba mendesain Islam sebagai syariat tata
negara. IN adalah sekumpulan amalan sinkretisme yang jelas-jelas hukumnya haram.
Amaliyah yang tidak memiliki dasar QH diperbolehkan oleh IN, sehingga IN dianggap sebagai
amaliyah yang abu-abu dan tidak berdasar kepada Sunnah yang ditunjukan nabi. Narasi-narasi
ini telah banyak lahir menjadi ghozwatul fikr di Indonesia terutama di dunia maya.
Pandangan Pro terhadap Islam Nusantara
Dari berbagai sudut pandang, IN memiliki alasan logis untuk diproklamirkan menjadi sebuah
konsep. Saya akan mencoba menggambarkan pandangan saya tentang IN. Untuk pandangan
Pro lainnya silahkan baca tulisan yang terdahulu dari paara ahli. Secara singkat IN yang
dimaksud adalah seperti yang dikatakan oleh KH Agil Siradj bahwa IN memiliki empat
semangat; semangat keagamaan, semangat kebangsaan, semangat kebhinekaan dan semangat
kemanusiaan. Empat ini dimanifestasikan ke dalam konsep IN yang menurut saya bangunan
komprehensifnya belum tuntas.
8 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Paling tidak ada beberapa alasan IN harus disetujui kehadirannya; alasan akademis, sosiologis,
politis, dan teologis. (1) secara akademis, sebuah konsep dikaji dalam beberapa dimensi
terutama dimensi filsafat. Ketika parameter filsafat bernama epistemologis, ontologis dan
aksiologis telah terpenuhi, maka konsep itu syah menjadi kajian akademis. Secara akademis,
Islam sebagai Agama memiliki kesamaan prinsip yang qot’i, namun secara keberagamaan
memiliki tipologi. Klasifikasi-klasifikasi Islam dibutuhkan untuk membangun tipologi Islam.
IN adalah sebuah tipologi yang khas. Saya yakin bangunan epistemologisnya perlu dirumuskan
secara sistematis agar tipologi itu menjadi bangunan yang kuat fondasinya. IN telah memiliki
syarat untuk dikaji secara akademis.
(2) secara sosiologis, IN adalah bagian dari konstruksi sosial kemasyarakatan. Tipologi IN
yang bisa memotret social order, akan mampu memetakan tatanan sosial masyarakat nusantara.
dengan ini, kebutuhan, kecenderungan, keinginan, dan relasi kemasyarakatan akan dengan
mudah dipenuhi dengan standar kriteria tipologi IN yang khas. Ini akan sangat membantu
dalam mengkaji masyarakat dengan pendekatan keagamaan.
(3) secara politis, Indonesia tidak memiliki daya tawar dalam konstribusinya di dunia
internasional. Teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia telah kalah oleh negara lain. Salah
satu yang dimiliki Indonesia dan telah terbukti berhasil dalam wacana kehidupan manusia
adalah relasi Islam dan budaya nusantara. IN adalah konsepsi yang bisa ditawarkan kepada
dunia Islam karena terbukti telah mampu mengawinkan Islam dan Tradisi. Ada banyak illat
(dasar alasan) yang bisa menjustifikasi IN adalah Islam yang benar. Secara politis Indonesia
bisa memberikan surri tauladan kepada dunia tentang hubungan agama dengan negara dan
dengan tradisi yang ada. Dunia bisa berkaca pada Indonesia dan IN, baik diambil sebagai kajian
akademik maupun kajian politik. IN membuat Indonesia dilirik dunia.
(4) secara teologis, IN tidak memiliki masalah ajaran. Dengan berabad lamanya Islam hidup di
Nusantara, Islam telah mampu mendamaikan manusia sesuai dengan tujuan Islam itu sendiri.
Masalah kafir-mengkafirkan yang belakangan terjadi adalah batu sandungan yang tidak usah
reaktif. IN harus lebih dewasa dalam bersikap teologis, karena founder-founder IN lebih faqih
(ahli fikih) lebih sastrawan, lebih budayawan, lebih memahami Islam dengan akhlak tasawuf
yang tidak usah dipertanyakan lagi integritasnya. Saya meyakini, IN bukanlah sebuah
pemikiran yang keluar dari basis Islam yang murni. Gerakannya juga tidaklah gerakan yang
“asal beda” dengan Islam lainnya, ia murni mencoba berkonstribusi pada perdamaian dunia.
Amalannya juga tidak neko-neko, ia hanya ingin memunculkan Islam yang nusantara, Islam
yang bisa berdamai dengan tradisi, berdamai dengan perbedaan, berdamai dengan budaya,
berdamai dengan Bahasa dan berdamai dengan consensus para founding father tedahulu. IN
bukan sebagai projek lokalisasi Islam, tapi IN merupakan projek Indonesia sebagai solusi Islam
yang rahmatan lil alamin. IN tidak anti Arab, tidak ingin merubah ajaran, dan bukan pula Islam
yang beda dengan “Islam” lainnya. Wallahu a’lam.
Bumisyafikri, 12/7/2018
9 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Islam dan Ancaman Keruntuhan Indonesia
Oleh: Zaki Mubarak
MERUNUT hasil Pilkada dan statemen beberapa pengamat sosial politik disimpulkan bahwa
Islam dan muslim memiliki peranan penting dalam perpolitikan Indonesia. Bahkan,
primordialisme Islam bisa menjadi satu-satunya yang bisa mengalahkan konstruksi politik
demokrasi bernama elektabilitas, populeritas, figur dan kinerja. Bagi Ummat Islam ini adalah
kemenangan yang perlu dibanggakan, tapi bila kondisi ini dirayakan berlebihan, maka tentu
akan mendapatkan masalah kebangsaan. Saya meyakini, hanya Islam-lah yang pandai
memerankan toleransi, menghormati minoritas dan sangat menghargai perasaan orang lain.
Sejarah telah mengujinya berulang-ulang, walau kadang dengan begitu umat Islam tersingkir
dari arena politik, teknokrat, birokrat bahkan kalah dalam gurita ekonominya sendiri. Itulah
fakta dan itulah masalah kita.
Saya tidak akan bercerita bagaimana ummat Islam tidak memiliki posisi signifikan di negeri
ini kecuali dibutuhkan suaranya di tahun politik. Tapi saya akan mencoba mengungkap banyak
hal tentang Islam di Indonesia yang semakin ke sini semakin memiliki polarisasi hebat.
Indonesia yang dibangun oleh energi Islam, baik dari lapangan perang maupun dokumen yang
disajikan “atas berkat rahmat Allah swt”, memiliki masalah serius jika Islamnya memiliki
masalah. Bukan berarti faktor lain tidak penting, namun faktor ideologis-laten Islam bisa
mampu membangun negara sekaligus memporakporandakannya. Melalui banyaknya
instrument yang mengganggu Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan, maka kegoyahan
Islam terlihat kentara terutama alat politik yang merajalela.
Tulisan ini pun saya sengaja tulis agar menjadi alasan tersurat atas pemilihan saya terhadap
sikap keberagamaan. Ada beberapa pihak yang mencap saya sebagai liberal, bahkan menuduh
saya “si kerdil yang usil”. Selama pen-cap-an itu berdasar dan mampu mengalahkan logika dan
analisis saya, saya terima sebagai sebuah resiko. Namun bila reason saya tak bisa menerima
alasannya, saya kadang tidak mengerti pikiran-pikiran dan tuduhan itu. Emosi-emosi yang
dikanalisasi dengan merk agama meluncur dengan begitu deras, ya liberal-lah, sekular-lah,
pluralis-lah dan seterusnya. Saya yang santri dan mencintai kondisi Islam di Indonesia sedikit
paham kenapa ini terjadi. Dengan begitu saya akan tuliskan kenapa saya bersikap demikian.
Indonesia dalam Kerangka Dunia
Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar muslim dan memiliki berjuta kekayaan
terbarukan sangat seksi untuk direbut. Tiga puluh tahun yang akan datang, ketika energi fosil
yang kebanyakan hadir di Timur Tengah (Dunia Islam yang lainnya) habis, Indonesia akan
menjadi primadona energi. Pencarian energi alternatif terbarukan dibahas di forum ilmiah, dan
salah satu negara yang berpotensi besar adalah negeri khatulistiwa. Indonesia adalah salah satu
negeri diantara negeri makmur lainnya seperti Brazil dan negara tropis lainnya. Inilah fakta
yang tidak bisa dibantah.
Dengan demikian, beberapa model untuk mempengaruhi Indonesia sangat beragam. (1) Barat
yang diwakili AS mencoba mengimpor budaya liberalnya. Budaya ini menjelma sebagai
kekuatan tak tertandingi bahkan bisa mengalahkan budaya Indonesia terdahulu. Salah satu
yang paling prestisius adalah budaya demokrasi liberal yang sedang berlaku di bumi pertiwi.
Setiap politisi saat ini diam manakala Pancasila sila ke-empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” tidak dilaksanakan dan diganti
oleh “one man one vote”. Pancasila tidak diamandemen, tapi hasil pemikiran pendiri bangsa
10 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
ini telah diabaikan oleh para politisi dengan kebanggaan ketika disebut negeri demokrasi kedua
di dunia. Narasi yang disampaikan oleh Barat atas kesuksesan demokrasi liberal ini begitu
membanggakan, padahal itu semua adalah fatamorgana.
Dampak dari demokrasi ini ternyata sangat luar biasa mahalnya. Ongkos politik yang sangat
mahal karena harga Profesor sama dengan (maaf) tukang becak adalah sama, begitupun harga
ulama dengan dukun pun sama; satu. Orang yang berpendidikan mungkin paham akan
bagaimana kepemimpinan yang baik, namun sebaliknya mereka yang acuh dan tidak
memperhatikan dengan seksama, tidak peduli atas pilihannya. Yang penting ada kepentingan
pragmatis yang didapatkan. Ujungnya, uang menjadi berkuasa dan korupsi adalah dampak dari
ongkos yang mahal itu. “One man” harus dibiayai oleh politik demi “one vote”. Derivasi dari
korupsi menjalar kemana-mana, bukan saja korupsi tingkat elit, sekarangpun korupsi menjalar
di tingkat desa. Penjara penuh dengan koruptor, Isu yang digelorakan media massa pun adalah
isu negatif tentang prilaku pemimpin yang korup, dan juga semua orang berpikir keras untuk
menyelesaikannya. Tapi tidak ada dosis yang tepat untuk itu.
(2) China yang sedang menggurita kehebatan ekonominya sedang mencoba membangun
kekuatan militernya melalu one ring silk road (ORSR, satu jalur cincin sutra). Mereka sedang
mempersiapkan kekuatan utama militer untuk perang global. Jalur ini telah sukses berabad
lamanya sejak dinasti China terdahulu. Diaspora bangsa China yang telah menyebar seluruh
dunia telah membantu negaranya dalam projek ini, dan Indonesia menjadi bagian penting.
Pinjaman demi pinjaman digelontorkan dengan skema yang menguntungkan mereka. Material
dan pekerjanya pun harus dari mereka. Upaya membuat pelabuhan pun diproyeksikan sebagai
rencana pangkalan militer gratis masa depan.
Tidak sampai menggelontorkan pinjaman dan berharap Indonesia terlilit utang semacam
Zimbabwe, Turkistan dan negeri serupa lainnya, Indonesia pun digedor dengan perang candu.
Pabrik narkoba yang sengaja dibuat di China diperuntukan negara-negara di luarnya. Jutaan
narkoba dikirim sepaket dengan material China dan sengaja diselundupkan dengan gratis ke
negeri ini. generasi muda dicoba di-candu-i agar lemah. Bahkan reklamasi DKI yang membuat
rumah di pinggir laut diupayaan agar segala penyelundupan bisa langsung tanpa intervensi
negara. Langsung ke halaman rumah. Tanah ini pun telah diiklankan di Hongkong dan kota-
kota metropolitan di China.
(3) Iran yang memiliki kepentingan akan ideologi Syiah-nya ingin mencoba berkontestasi
dengan Islam sunni di Indonesia. Demi menyebarkan ideologi Syiah ini, Iran mencoba
mengaburkan berbagai ajarannya dan mencoba bergabung dengan banyak ormas keislaman.
Dengan sejarah Persia yang sangat tangguh zaman dahulu dan hampir menguasai setengah bola
dunia, Iran ingin mencobanya kembali dengan kunci syiah sebagai ideologi. Indonesia menjadi
bagian penting dari komunitas Muslim, dan bila pensyiahan terjadi maka Syiah bisa
mengalahkan Sunni dengan efektif dan efisien. Ujungnya Persia akan berkibar kembali di
dunia.
Indonesia dalam Kerangka Dunia Islam
Sejarah Arab Spring dimulai pembakaran diri Muhammad Bouazizi di Tunisia Desember 2010.
Seorang penjual buah di pinggir jalan yang menyesal menjadi warga Tunisia yang monarki dan
negara tidak membantu kehidupann miskinnya membakar dirinya sebagai sebuah protes di
Kota Bouazizi. Hal ini menyulut para pengangguran di sana untuk melakukan gelombang
protes kepada pemerintah. Terinspirasi di Tunisia, seorang warga Al Jazair melakukan
11 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
pembakaran diri sebagai protes kepada negaranya. Hal ini pun memantik pergerakan protes di
Libanon dan Lybia. Presiden Ben Ali di Tunisi mengundurkan diri dan itu memantik
gelombang protes di Yordania. Aksi membakar diri pun terjadi di Meuretania dan memantik
gelombang protes di Yaman. Eskalasi protes menjadi kerusuhan besar di sini. Hal ini pun
menginspirasi protes kepada kerajaan Saudi Arabia dan Mesir sampai melahirkan revolusi
mesir.
Kelanjutan dari berbagai protes dan kerusuhan itupun terjadi di Suriah melalui aksi bunuh diri
Januari 2011. Djibaouti sebagai negara tanduk Afrika pun mengalami hal yang sama, rakyat
melakukan protes atas kinerja pemerintahannya. Tak sampai di sana, aksi bakar di Maroko
terinspirasi oleh Bouazizi dan menyebabkan gelombang protes. Di Irak, protespun terjadi
meluas. Seorang warga membakar diri atas protes kehidupan ekonomi yang mencekik. Bahrain
mengalami hal yang sama. Gejolak ini sangat kental dengan syiah-nya yang menyebabkan
Arab Saudi mengirimkan pasukan dengan dibantu AS. Keributan semakin menjadi ketika
melibatkan militer atas nama agama. Kuwait mendapatkan giliran dengan kerusuhan kecil dan
Suriah dengan rezim Basyar sampai kini mengalami kerusuhan. Perebutan Sunni-Syiah begitu
kental. Kubu GCC yang dinahkodai Saudi berhadapan dengan Iran yang Syiah. Revolusi Islam
Iran telah menjadikan negara Persia itu kuat dan menjadi penantang Sunni yang matang.
Kekacauan Tanah Arab pun kian menguat dengan dimunculkan konsep Khilafah. Gerakan
khilafah di timur tengah adalah gerakan untuk mencoba mengikat ideologi Islam dalam konsep
satu kepemimpinan. Walaupun secara literature Islam, konsep ini belum established secara
history. Pencarian bentuk ini mengalami penentangan. Penentangan inilah yang membuat
konseptornya untuk melakukan perlawanan sporadis melalui senjata perang. Maka muncul
ISIS, yang gerakannya melawan arus utama perdamaian. Terlepas dari bagusnya konsep,
praktiknya khilafah telah memantik perang dingin antara ormas Islam dan negara. Hal ini pun
terjadi di Indonesia. Gerakan-gerakannya sangat impresif dan pemerintah yang pro “nation
state” harus berhadapan dengan mereka yang inginnya “global-ideological-state”.
Lantas, bagaimana di Indonesia? Indonesia sebagai negeri muslim tentu saja seksi untuk ditarik
kepada kepentingan “Islam” Timur tengah dengan segala derivasinya. Memberikan beasiswa
oleh pihak Saudi dan Iran adalah beberapa pendekatan akademis-ideologis agar Indonesia
memiliki SDM yang berpolapikir sama dengan negara asal dimana mereka belajar. Kepulangan
mereka dari universitasnya membuat perbedaan pandangan keagamaan. Pola Islam Wahabi
yang dipromosikan oleh Saudi berbenturan dengan Iran yang Syi’i. walaupun di Indonesia
Syiah tidak diterima dengan luas, tapi gerakannya massif dan terstruktur. Kalangan Islam yang
“sama” dengan Indonesia adalah Mesir dan negara Afrika lainnya, tapi dalam beberapa hal
mereka beda dengan Indonesia. Mereka juga berkonstribusi dalam pemikiran gerakan yang
diadopsi dari keberagamaan negara asalnya. Sebut saja gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir
dan lainnya.
Kedatangan mereka dari tempat belajarnya menimbulkan “progress”. Ada dua makna progress
yang dimaksud bisa positif bisa negatif. (1) positif, progress dinarasikan sebagai gelombang
purifikasi (pemurnian) Islam lanjutan. Islam di Indonesia dalam konteks polapikir Islam
“Puritan” dipandang memiliki masalah. Akar masalahnya ada pada sinkretisme Islam dengan
budaya setempat. Hal ini bisa diakui, karena Islam di Indonesia menghadapi tingkat
kebudayaan Majapahit yang sangat tinggi. Sehingga pendekatan budaya adalah salah satu yang
paling memungkinkan, bukan pendekatan peperangan. Munculah walisongo sebagai aktor
utamanya. Namun, dalam beberapa pandangan, keberagamaan Islam yang disebarkan dinilai
12 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
tidak puritan (murni). Sehingga gelombang purifikasi adalah salah satu metode untuk
“menyelamatkan” Islam.
(2) negatif, menimbulkan peperangan “ghazwatul fikr” pemikiran. Pemikiran ini mencoba
mengambil Islam ajaran Timur tengah yang berbeda dengan Islam Indonesia sebelumnya. Bila
itu Ahlussunah wal jamaah, maka yang menjadi perbedaan madhab menjadi perdebatan.
Indonesia yang mayoritas Fikih Syafi’iyah Tauhid As’ariyah-Maturidiyah dibentrokan dengan
Wahabi yang Hambaliyah atau Maroko yang Malikiah. Khilafiyah ini semakin menajam
manakala ada narasi “bid’ah” di dalam prosesnya. Tidak cukup bid’ah, takfiri (pengkafiran)
terhadap sesama muslim pun menjadi kian meluas terutama di dunia digital. Dampaknya, ada
tiga kelompok Islam yang terpolarisasi.
(a) Kelompok pro purifikasi dengan mencari titik lemah Islam Indonesia terdahulu. Segala hal
yang “keluar” dari Islam tekstual dianggap sebagai senjata serang. Penyerangan ini sangat
sporadis bahkan menimpa kaum intelektual yang baru mengenal Islam. Dengan sangat
bersemangat mereka belajar Islam dari mentornya dan dunia digital, sehingga “ketidak
benaran” Islam menjadi semangat baru untuk menyerang kelompok Islam lainnya. Kelompok
ini ingin diperhatikan sangat oleh masyarakat, maka strateginya adalah meletakan pola pikirnya
di hadapan Islam terdahulu yang sudah besar.
Analoginya, jika kita ingin bertarung tinju agar supaya naik daun, populer dan dikenal orang,
janganlah mengambil lawan yang ecek-ecek. Tantanglah Mike Tyson di ring, walaupun kita
tahu akan kalah tapi keterkenalan dan status kita akan seimbang dengan Tyson sang Leher
Beton. Kelompok Islam ini telah mengambil posisi “lawan” terhadap Islam tradisional yang
jumlah dan kekuatannya sudah besar. Alasannya adalah agar mereka memiliki status besar.
Kesalahan Kelompok Islam tradisional adalah melayani mereka.
(b) kelompok anti-purifikasi. Sejatinya bukan anti purifikasi dalam definisi hitam putih.
Karena, definisi purifikasi juga mengalami masalah besar. Pemurnian Islam yang dimaksud
tidak dalam konteks purifikasi Prinsip islam yang “qot’i tsubut”. Tidak ada perdebatan Islam
tentang prinsip itu, purifikasi di sini lebih didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak sama dengan
Dunia Islam di Arab. Jadi, anti-purifikasi lebih diterjemahkan kepada kelompok yang tidak
ingin adanya perubahan tradisi Islam yang sudah menjadi definisi Islam di Indonesia. PBNU
menyebutnya Islam Nusantara walau kelompok pertama menuduhnya sebagai perwujudan
baru dari liberalism dan Syiah. Wallahu a’lam. Ketika Arab Spring terjadi, maka kelompok ini
merasa bahwa Islam di Indonesia lebih bisa jadi solusi ketimbang pemikiran Timur Tengah
yang bergolak hebat. Destinasi Pendidikan Islam pun ditawarkan di Indonesia daripada Timur
Tengah.
Ada tujuan besar yang hadir dalam kelompok Islam ini. Kelompok Islam yang berjuang
mendirikan negara dan diletakan sebagai sejarah panjang bangsa dan NKRI merasa NKRI
adalah final. Melestarikannya adalah harga mati, sehingga hal yang menjadikan bangsa
terpecah belah baik dalam isu SARA atau Isu internal Islam sekalipun akan dihindari.
Kelompok pertama yang pro-“purifikasi” dinilai telah mencederai nilai kebangsaan dan
keIslaman. Perlawanan itu pun digempur kembali oleh kelompok pertama dengan tuduhan
syiah, liberalism, pluralism, sekularisme dan isme negatif lainnya. Bagi ulama kelompok
kedua, hal ini sudah biasa, tapi bagi kaum muda ini menjadi kebingungan, sehingga tidak jarang
serangan kelompok pertama menjadi “pemenang” untuk diikuti oleh generasi muda, sekalipun
mereka harus beda dengan orang tuanya.
13 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
(c) kelompok tengah yang tidak mempermasalahkan pergerakan tadi. Mereka fokus kepada
kemajuan bangsa dan ummat. Ghazwatul fikr yang terjadi dianggap fenomena biasa dan kontra
produktif untuk kemajuan. Mereka membiarkan saudaranya “bertempur” dan ia fokus untuk
mengembangkan keislaman, atau saya menyebut mereka sebagai Islam developmentalis.
Kelompok ini diisi oleh Muslim yang melek agama dan ilmu pengetahuan umum. Para
intelektual ini lebih melihat Islam ke depan daripada rusuh dengan tek-tek bengek yang bagi
kelompok kesatu dan kedua adalah hal penting. Saya melihat kelompok inilah yang bisa
menjadi masa depan kemajuan bangsa, walaupun dalam beberapa isu kelompok ini pun larut
dalam pertempuran kontra produktif tersebut.
Akankah Indonesia hancur karena Islam? Kita setuju bahwa Islam mendirikan dan membangun
negeri ini. Namun, saya pun yakin Islam pula yang bisa meruntuhkan negeri ini. Jika pola pikir
yang diimpor dan tidak berkelindan dengan masyarakat Indonesia ini terus digelorakan, maka
tidak mustahil Indonesia bisa bubar. Semisal gelora khilafah yang anti negara, hal ini akan
menjadi pemantik formal ketatanegaraan. Juga pemikiran-pemikiran yang dibentrokan juga
akan menajam dan meluas. Polarisasi massa akan berdampak kepada kelemahan kita sebagai
sebuah bangsa. Bentrokan ini pula bisa jadi menjadi pintu pembubaran Indonesia secara
menyeluruh.
Dalam konteks pilpres, saya kira ini tidak masalah. Keberpihakan kepada politik tertentu
adalah hal wajar dalam kontestasi politik. Narasi “cebong” versus “kampret” adalah narasi
normal dalam sebuah politik. Namun, saya melihat hal ini bukan hanya di pilpres. Ada grand
desain besar di atas segalanya. Entah itu Barat yang ingin meluluh lantahkan bangsa ini, atau
China yang ingin mencaplok atau mengendalikan negara ini. Atau bisa jadi Syiah berperan
untuk meruntuhkan dominasi sunni di sini. Semua perlu dikaji secara serius dan jujur. Bagi
saya, hal ini menarik. Di samping kajian parsial tentang “pertempuran” internal Islam, sangat
layak dikaji untuk menarik benang merah desain besar di belakangnya.{}
Bumisyafikri, 27/7/201
14 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Memetakan Israel dan NU di Panggung Konflik Dunia
Oleh: Zaki Mubarak
SEBELUM analisis yang harus dituliskan, saya harus akui bahwa saya bukanlah akademisi
yang ahli di bidang kawasan Timur Tengah atau studi interelasi agama yang saat ini lagi heboh.
Saya juga bukan orang yang mendukung ataupun menolak KH Yahya Cholil Staquf (YCS)
dalam pidatonya pada America Jewish Committee (AJC). Saya hanya ingin mengkabarkan
kepada orang yang berseteru untuk lebih bersatu padu menjadi muslim. Tinggalkan keegoisan
atas ketidak sepahaman, tinggalkan tuduhan keji dalam dimensi pemahaman yang tunggal,
abaikan provokasi-provokasi yang membuat kita saling benci. Mari kita lebih dewasa
memahami kasus dengan sebaik-baiknya cara.
Tulisan ini benar-benar ingin diletakan atas dasar pemikiran yang moderat. Tidak menggebu
untuk menyerang, tidak juga bertahan untuk membela membabi buta. Tulisan ini hanya sekedar
ingin mengajak kita sadar atas apa yang terjadi di sekitar kita, terutama kasus penyerangan dan
pembelaan terhadap YCS di media sosial yang bikin merinding. Terus terang saya sangat sedih
melihat anak bangsa diadu narasi menjadi konflik diametral yang sesungguhnya menunjukan
kualitas Islam kita di pentas dunia.
Dunia Yang Kita Ributkan
Dari sejak dahulu, bumi dan isinya yang kita sebut “dunia” tak luput dari kekuatan-kekuatan
utama. Pada saat perang dunia ketiga terdapat dua superpower; Amerika dan sekutunya dengan
Uni Soviet. Pun sebelumnya, dunia dikuasai oleh pihak timur yang dikuasai oleh Persia dan
Eropa yang diwakili oleh Roma. Peperangan untuk mempertahankan kekuasaannya kerap
terjadi dan sepertinya itulah satu-satunya instrument untuk tetap kokoh berdiri. Pun demikian
masa sebelumnya, kekuasaan Islam versus Kristen terjadi. Ini pun menghasilkan perang besar
bernama Perang Salib.
Sejak Komunisme dikalahkan oleh kekuatan Sekulerisme-Liberalisme dan Kapitalisme
(sepilis), Uni Soviet dan China sebagai wakil negara komunis tiarap. Perang dingin yang
dimenangkan oleh Amerika- pengagum Liberalisme- membuat kedua negara itu membangun
dirinya untuk bangkit. Atheisme yang menjadi keyakinan komunisme harus kalah oleh Yahudi-
Kristen yang menjadi keyakinan pihak Amerika dan sekutunya (yang selanjutnya disebut
“Barat”).
Sebagai kekuatan tunggal, tentu saja Barat mencari musuh baru. Islam adalah targetnya.
Kenapa? Karena Islam memiliki pengikut terbesar kedua setelah Kristen dan ideologinya
cenderung solid dan memiliki instrument yang kuat akan akidahnya. Bila Kristen melakukan
ibadah kebaktian cukup satu kali satu minggu, Islam harus melakukannya lima kali dalam
sehari. Ini membuat soliditas Islam lebih kuat ketimbang agama lain di dunia.
Karena kondisi Islam yang solid dan tidak mudah dirasuki oleh idiologi di luarnya, maka projek
untuk meruntuhkan dominasi Islam khususnya di Timur Tengah (saya gunakan Timur Tengah
hanya untuk mempermudah saja, karena konon katanya penggunaan istilah ini adalah sebagai
cara untuk memecah belah melalui penjajahan Eropa) disusun dan dilaksanakan. Perang teluk
dengan tuduhan Baghdad yang memiliki nuklir dipropagandakan sehingga membuka Barat
untuk menjajah negara bagian Persia itu. Semua kebudayaan yang dibangun di Baghdad hancur
lebur. Tak sampai di sana, Afganistan, Lybia, Suriah dan negara-negara lemah lainnya dibidik
15 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
untuk dijadikan medan pertempuran. Tujuannya satu yakni supaya kawasan Timur Tengah
tidak stabil dan tidak aman.
Ketidak stabilan ini membuat negara lain takut dan meminta jaminan keamanan pada Barat.
Tentu saja “There is no free lunch” tidak ada makan siang gratis. Mereka membuat
kesepakatan-kesepakatan untuk tidak mengganggu satu sama lain termasuk di dalamnya tidak
boleh mengganggu “kenakalan” Barat atas keinginannya di kawasan luar mereka. Bila negeri
yang belum melakukan kesepakatan dengan Barat, maka dengan massif dan terstruktur mereka
melakukan “hit and carrot” sekaligus menawarkan “standar ganda” untuk memperdayainya.
Negeri yang tidak mengambil carrot (wortel, ilustrasi hadiah semu) Barat akan mendapatkan
hit (serangan militer) secara brutal. Kawasan Timur Tengah menjadi kacau, karena setiap
negara tidak memiliki pilihan yang sama. Yang ngambil carrot, ia akan menjadi “hamba” Barat
dan yang memilih hit terpaksa bertahan diri untuk menjaga kedaulatannya. Apa yang terjadi,
peperangan terjadi di sana sini. Barat dengan kelicikannya memukul Timur Tengah dari dalam
ideologi dasarnya; Islam. Ia membentuk ISIS untuk membuat Timur Tengah semakin kacau,
dan Islam dilegitimasi sebagai agama tidak baik “agama terror”.
Peperangan Israel Palestina dalam Peta Konflik Dunia
Amerika sebagai pemimpin Barat yang Kristen dan Yahudi memiliki kepentingan khusus bagi
ketidak amanan kawasan Timur Tengah. Sebagai negara yang membutuhkan energi fosil
bernama minyak bumi atau “emas hitam” mereka pasti meraup untung atas upeti-upeti negara
“carrot” Timur Tengah. Sebenarnya, Amerika memiliki cadangan minyak terbesar di dunia,
tetapi mereka ingin memastikan dahulu cadangan minyak di luar dirinya habis. Tujuannya
jelas, ingin menguasai pasar minyak dunia. Setelah yang lain habis, mereka akan menjadi
pemain tunggal.
Salah satu hal yang dipandang mampu untuk menggoyang kestabilan Timur Tengah adalah
konflik Israel dan Palestina. Sejak Palestina merdeka dan mereka memiliki kawasan yang luas
di negerinya, Israel datang dengan satu pemahaman ideologi “tanah yang dijanjikan dalam
Kitab Taurat. Dengan cara yang manis, Israel datang dengan projek besarnya “Zionist”. Karena
Islam adalah agama yang sangat menghargai dan memuliakan kemanusiaan, mereka menerima
bani Israel dengan tangan terbuka.
Namun, apa yang terjadi setelah mereka menaklukan beberapa daerah Palestina? Seluruh
Yahudi di Barat mulai memiliki harapan baru tentang “tanah yang dijanjikan” itu. Semua
Yahudi berbondong-bondong pindah ke Palestina. Mereka percaya bahwa di bawah Mesjid Al
Quds, Al Aqsa adalah tempat dimana King Solomon Temple dibangun. Mereka juga percaya
bahwa Messiah akan turun di Jerussalem ketika tanahnya menjadi hijau, maka mereka
menanam pohon Gorqod. Mereka juga percaya, Messiah akan turun manakala semua Yahudi
datang di tanah yang dijanjikan dan tidak dicampuri oleh darah-darah non-yahudi. Mereka juga
percaya bahwa yahudi telah dibantai habis-habisan oleh bangsa Persia melalui tangan
Abukadnezar. Dan kini saatnya untuk membalas bangsa Arab dan Persia.
Zionis adalah gerakan politik untuk mencapai kekuasaan. Karena tanah untuk mereka kuasai
telah dikuasai oleh Palestina, maka atas nama agama Yahudi, mereka mulai menjajah Palestina.
Palestina yang merupakan negara Arab tidak memiliki koneksi yang baik dengan negara-
negaara arab lainnya. Palestina lebih percaya Indonesia ketimbang Arab. Negeri Arab yang
sudah dikotak-kotakan tidak mampu berbuat banyak untuk Palestina walaupun sekelas OKI-
16 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
pun. Itulah sebabnya, semakin hari kekuasaan tanah Israel semakin merangsek ke jalur gaza.
Dan Hari ini, Al Aqsa sudah dikuasainya.
Israel adalah nama negara dari derivasi “Bani Israel”. Agama mereka Yahudi. Sebenarnya
yahudi itu adalah agama sekaligus nama bangsa Israel. Tapi dalam perkembangannya Israel
sekarang sudah menjadi negara dimana di dalamnya ada banyak suku-suku lain termasuk Arab
dan muslim di dalamnya. Jadi Israel itu bukan hanya tentang Yahudi, tapi ini adalah sebuah
negara dimana kekuatan utamanya adalah “politik”.
Nah, bisa dibedakan antara yahudi dan Israel dalam konteks ini. Tetapi, karena Israel dan
Yahudi adalah istilah yang rumit dipisahkan, maka ketika menyebut Israel maka akan terselip
agama mayoritasnya; Yahudi. Ketika Israel melakukan penjajahan untuk kepentingan
politiknya, maka Yahudi tidak bisa keluar dari narasi Israel. Mereka menjadi satu, baik untuk
narasi positif maupun negatif.
Hal inilah yang membuat konflik menjadi kepanjangan. Seperti ada konflik agama di sana.
Memang tidak bisa dihindari bahwa perebutan Palestina melalui projek Zionis adalah missi
agama Yahudi atas tanah yang dijanjikan Tuhan. Mereka selalu mengatakan atas nama Yahudi
(Jews) untuk melakukan kegiatan politiknya. Namun, apa yang terjadi? Praktik peperangannya
tidak sama dengan ajaran keyahudiannya. Mereka banyak membunuh dengan ambisius dan
menggenosida Arab di tanah Palestina. Ajaran Yahudi mereka hanya sebatas ajaran yang
diketahui oleh Rabbi-rabbi mereka di kuil tidak sampai kepada militer yang keras dan kejam
itu.
Nah, di sinilah letak konflik Palestina-Israel yang berkepanjangan. Politisasi agama menjadi
bagian tidak terpisahkan dalam konflik yang sudah dinash dalam Al Qur’an itu. Walan tardho
anka alyahudi wala annashoro hatta tattabia’a millatahum- tidak akan suka yahudi dan nasrani
hingga kalian mengikuti millah (agama) mereka. Padahal, dalam konteks nash-nash agama,
baik Islam dan Yahudi, tidak ada satupun ayat yang menghalalkan pembunuhan, kekerasan dan
menghilangkan nurani kemanusian.
Karena konfliknya sudah mengikutsertakan agama, maka konflik ini akan mengakar dan rumit.
Tidak mudah menyelesaikan konflik agama, bahkan rasanya tidak mungkin. Rohingya, Patani,
Maluku, adalah beberapa konflik agama lainnya selain yang paling populer di dunia: Palestina-
Israel. Bagi Barat, ini sangat penting dan membahagiakan. Satu sisi Israel adalah wakil mereka
di Timur Tengah yang menjadi adik kandung ideologi, di sisi lain hanya Israel adalah negara
yang didirikan oleh Yahudi yang memiliki bisnis menggurita di Amerikan dan negara Barat
lainnya. Pendek kata, Israel adalah anak kandung yang paling produktif dalam kemajuan Barat.
Jadi Barat memiliki dua keuntungan; minyak Timur Tengah dan Membantu Israel anak
kandungnya.
NU dalam Pandangan Saya
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di dunia. Beberapa media
menyebutkan sekitar 40 juta merupakan anggota ormas bersimbol bola dunia dengan Sembilan
bintang itu. Sebenarnya jumlah itu adalah jumlah NU kultural, karena NU struktural tidak
mencapai ribuan. Palestina sangat menghargai Indonesia sebagai “kakak angkat” (karena azam,
non-arab) dalam perjuangan kemerdekaannya. NU dan ormas lain bahu membahu memberikan
dukungan moril, diplomatic dan material kepada Palestina untuk merdeka dari jajahan Israel.
Palestina merasa Indonesia sebagai negara yang paling simpati atas perjuangan mereka.
17 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Dalam konteks konflik Palestina-Israel, NU sebenarnya harus berterimakasih pada Gusdur.
Melalui pikiran-pikiran beliaulah, Indonesia terseret pada konflik Palestina-Israel. Berbagai
pemikiran Gusdur, Israel masih tetap mengingatnya sebagai guru interfaith (antar iman)
mereka. Harmonisasi Islam-Yahudi adalah sesuatu yang niscaya untuk dipadukan dalam
pemikiran Gusdur. Sehingga, Gusdur membawa NU ke tingkat dunia dalam menyelesaikan
konflik-konflik keagamaan, termasuk Palestina-Israel.
Karena NU adalah ormas yang memandang Islam subtansialis ketimbang formalis, maka NU
sangat adaptif dan dinamis dalam memandang kehidupan manusia, termasuk memandang non-
Islam. sesuai dengan perkembangan sejarah Islam di Indonesia, NU merupakan representasi
Islam kultural (bukan struktural) yang mampu memenangkan perang Islam-Hindu secara
senyap dan berterima. Hanya Islam Indonesia yang mampu melakukan itu jika dibandingkan
Islam di awal nubuwah, tabiin atau Islam jaman dinasti Ummayah-Abasiah-Usmaniyah.
NU yang berkembang di Indonesia terdiri dari Islam yang mencoba mengambil saripati ajaran
tauhid, fikih dan seterusnya untuk bisa berkelindan dengan budaya setempat. Islamnya begitu
lentur selentur Kristen yang Berjaya di Eropa mengalahkan paganism. Islam ini, yang
belakangan dipromosikan oleh kementerian agama dengan Islam Nusantara dan Moderasi
Islam, diterima secara menyeluruh tanpa ada peperangan yang menumpahkan darah. Kalaupun
ada, peperangannya tidak sebesar dan serumit “Arabic Spring” yang saat ini terjadi di Timur
Tengah.
Karena karakternya yang anti kekerasan, maka NU lebih dinamis dalam memandang ajaran.
Bila saja Islam itu berbentuk wahyu yang Tekstual, maka NU menafsirkannya dengan ayat-
ayat kontekstual. Kadang, untuk memenangkan peperangan “ghozwatul fikr”, NU lebih
menekankan konteks ketimbang teks. Maka dalam tubuh NU, memaknai fikih harus menguasai
ushul fikih terlebih dahulu, menguasai Qur’an harus menguasai balaghoh dahulu dan
seterusnya. NU lebih menafsirkan Islam sebagai sebuah ajaran yang substansial ketimbang
formal. Adopsi dan adaptasi Islam di Jawa, misalnya, melalui proses akulturasi yang halus.
Tidak ada ustad, yang ada kyai, tidak ada maktab yang ada pesantren, tidak ada sholat yang
ada sembahyang, tidak ada kalimat syahadat yang ada kalimatusada, dan seterusnya.
Jadi dalam konteks akademik, NU lebih modern dalam berpikir tentang kontekstualisasi ayat
dan membumikan Islam di Indonesia. Ormas lain yang lebih formalis, kadang memiliki
kerumitan keberterimaan di masyarakat dan tak secepat NU dalam perkembangannya. Itulah
NU, ormas yang kadang bisa dinyatakan kampungan, sarungan, penuh bid’ah, churafat dan
seterusnya.
NU dalam Peta Konflik Palestina dan Israel
Karena karakter NU yang memandang agama dan ideologi lain sebagai “teman”, maka Gusdur
dengan berbagai konstribusi pemikiran memberikan warna Islam di dunia. Mungkin bagi Barat,
NU adalah solusi lain atas nomenklatur Islam di pusat perkembangannya; Arab. NU diyakini
menjadi penengah atas segala konflik agama yang mengikut sertakan Islam. begitupun bagi
Israel, NU dipandang sebagai jalan penengah konflik Yahudi-Islam, tapi bukan konflik Israel-
Palestina. Keduanya harus diletakan berbeda.
Gusdur telah memviruskan pemikiran interfaith-nya kepada murid-murid ideologinya. Salah
satunya adalah bagaimana agama Islam diletakan sebagai ajaran yang tidak statis dan “halal”
18 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
untuk diinterpretasikan ulang. Islam terdiri dari yang qot’I sebagi prisip juga terdiri dari dhonni
yang sangat dinamis. Hal ini berkembang biak kepada anak-anak muda NU. Termasuk murid
didalamnya adalah YCS yang membawa “kritik luwes” kepada Israel dalam dialog AJC.
Ia menawarkan konflik Palestina-Israel menjadi konflik Islam-Yahudi yang bisa diselesaikan
dengan pendekatan interpretasi kedua agama atas kemanusiaan. Jika pendekatan yang biasa
adalah menggunakan politik dan kekerasan militer, maka ide brilian Gusdur adalah
menggunakan pendekatan interpretasi agama masing-masing dalam memandang kemanusiaan.
Hal ini diakui oleh Yahudi, bahwa “Rahmah” (kasih sayang kemanusiaan) adalah ajaran yang
sama dengan Yahudi bahkan Rahim juga demikian. Yahudi memiliki keyakinan, bila
interpretasi ayat yang direkonstruksi ulang, maka akan ada sepemahaman keyakinan bersama.
Namun, apakah ini berlaku untuk Militer dan politik Israel (bukan Yahudi)?
Inilah masalahnya. Saya melihat politik Israel tidak berkelindan dengan Yahudinya. Ummat
Yahudi di dunia sebenarnya mengutuk Israel dalam hal menangani konflik politik
berkepanjangan dengan Palestina. Namun, atas egoism, keserakahan dan “tanah yang
dijanjikan Tuhan” itu pulalah Israel tidak mendengarkan yahudi mereka. Mereka sengaja
membuat standar ganda untuk kemanusiaan seperti layak kakaknya Amerika. Mereka juga
membuat genosida untuk merampas tanah Palestina dan membuat penjara terbesar di dunia:
Jalur Gaza.
Sesungguhnya, konstribusi NU tidak seberapa dibanding dengan prilaku menyimpang Israel
atas kemanusiaan di Palestina. Pemikiran Gusdur tidaklah berdampak signifikan terhadap
politik Israel yang sangat kejam. Tapi dengan datangnya Gusdur dan baru-baru ini YCS, Israel
masih mau mendengar Islam sebagai agama yang dibantainya. Memang dalam konteks ini, ada
dua polarisasi massa atas respon kasus ini.
(1) mereka yang mengkritisi bahkan menyerang NU sebagai ormas yang munafik. Bagi NU ini
sudah biasa, dan para tokoh NU sudah merasa biasa untuk diserang habis-habisan oleh
“kompetitornya”. Walaupun Ketua PBNU dan tokoh MUI mengatakan bahwa YCS bukan atas
nama NU dan Indonesia, tetapi tetap saja Israel dan dunia internasional memiliki persepsi yang
sama bahwa Indonesia dan NU dapat menghadiri AJC. Inilah yang saya takutkan, kedatangan
YCS dapat melegitimasi mereka dalam menumpahkan darah Palestina.
(2) mereka membela YCS. Atas nama “kyai” dan lembaga “NU” yang sacral, mereka akan
membela mati-matian untuk sakralitas kyai dan NU-nya. Bagi mereka, menjaga kyai adalah
sebuah kewajiban dan menjaga fitnah-fitnah terhadap NU adalah sebuah kebaikan. Apapun
yang terjadi, Kyai dan NU adalah instrument pertama dan utama dalam menjaga keutuhan
bangsa Indonesia.
Bagi saya, dua kelompok itu tidak penting. Yang urgent bagi saya adalah bagaimana ummat
Islam di Indonesia jangan terpolarisasi oleh pemikiran-pemikiran dangkal tentang sebuah
kasus. Yang penting bagi akademisi model saya adalah bagaimana menjelaskan kepada ummat
arti sebuah fenomena dan menggalinya secara radix. Tujuannya satu, agar ummat bijaksana
dalam bersikap. Agar mereka menghindari narasi yang penuh dengan kebencian, agar mereka
mengabaikan provokasi-provokasi kontraproduktif.
Saya meyakini, NU dalam logika terbaliknya dan melawan arus mayoritas ingin melakukan
sebuah upaya solusi konflik Palestina-Israel dengan cara yang lain. Kalau saja upaya kita
dengan berdo’a, mengirimkan bantuan, berteriak di depan kedutaan, berdemo dijalanan,
19 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
meninggikan simbol-simbol perlawanan di negeri ini belum juga menghasilakan kemerdekaan
Palestina, kenapa kita menyerang cara lain yang lebih lembut bernada diplomasi? Bila itu juga
belum bisa meredakan penjajahan Israel, kita hanya bisa menerka kapan azab Allah itu datang
kepada bangsa Israel terlaknat itu?{}
Bumimertua, 13/6/18
20 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Strategi Madrasah untuk Lebih Baik
Oleh: Zaki Mubarak
MADRASAH adalah sekolah yang memiliki ciri khas Islam. Secara sederhana, kekhasan ini
ditampilkan dalam pemecahan materi Pendidikan Agama Islam (PAI) menjadi empat mata
pelajaran plus satu. Keempat ini adalah tentang (1) Al-Qur’an dan Hadits, (2) Akidah Akhlak,
(3) Fikih dan Ushul Fikih, dan (4) Sejarah Kebudayaan Islam. Plusnya adalah ditambah dengan
(5) Bahasa Arab. Dalam konteks rumpun, Bahasa Arab merupakan ilmu humaniora yang tidak
memiliki kaitan keilmuan dengan PAI, namun karena sumber pembelajaran PAI ditulis dalam
Bahasa Arab, maka Bahasa Arab adalah mata pelajaran yang mutlak dibutuhkan, bahkan
banyak yang tidak bisa membedakan Bahasa Arab dan PAI.
Di samping madrasah memiliki masalah serius dalam desain lembaganya karena tidak greget
dan selalu di belakang sekolah, madrasah pun harus mulai memikirkan kontestan sejenis yang
sudah mendesain ulang pendidikan Islam secara lebih modern. Karena madrasah didesain oleh
para ulama tradisional dan masih dalam “ongoing process” dalam pengembangannya, maka
tidak salah jika kita memikirkan ulang bagaimana madrasah menjadi lebih baik dari saat ini
yang kita kenal.
Madrasah dalam Kontestasi dengan Persekolahan
Sebenarnya, madrasah sejajar dengan persekolahan. Namun, sesuai dengan perjalanan sejarah
yang panjang terutama sejarah beda keberpihakan pemerintah terhadap sekolah dan madrasah,
madrasah dinilai menjadi “kelas kedua”. Bukan saja karena system pengelolaan yang mayoritas
dikelola mandiri dan swadaya oleh masyarakat (swasta), madrasah pun memiliki sejumlah
serius dalam beban kementerian agama yang sangat berat. Bisa dibayangkan, Kementerian
Agama harus mengelola banyak hal dan sangat nyata dan mengikat dalam tradisi masyarakat
kita. Urusan perkawinan, wakaf, pesantren, haji, zakat, pendidikan agama dan seluruh urusan
agama yang resmi menjadi beban yang begitu besar di pundak Kementerian Agama.
Jadi, sangat wajar bila madrasah tidak memiliki citra sebaik persekolah. Mereka diurus secara
fokus oleh Kementerian Pendidikan Nasional yang memiliki anggaran yang cukup tanpa
dibagi-bagi kepada urusan lainnya. Bahkan, saking PAI yang diselenggarakan di sekolah
(PAIS) dan ber”home base” di Kementerian Agama harus mensejajarkan dengan kualitas
persekolahan, Kementerian harus lebih banyak fokus untuk meningkatkan kualitas PAIS.
Kadang, anggaran ini lebih besar dari peningkatan madrasah secara umum. Jadi kementerian
agama harus rela berjuang untuk meningkatkan PAIS dan “mengabaikan” madrasah.
Dalam konteks ini, tidak salah apabila penggiat persekolahan yang memilih Islam sebagai
fondasi tujuan tidak memilih sistem madrasah untuk jadi modelnya. Mereka menggunakan
nama “sekolah” sebagai basis system maupun pemasarannya. Sebut saja Jaringan Sekolah
Islam terpadu (JSIT) yang menawarkan konsep Sekolah Islam Terpadu (SIT). Sesungguhnya
SIT adalah Madrasah, namun identitas ini disamarkan karena berbagai macam alasan. Bisa
alasan citra madrasah yang kurang menjual, bisa alasan pengelola karena sekolah lebih fokus
dibantu oleh Kementerian Pendidikan, bisa juga karena wajah Islam mereka bukan Islam
tradisional. Islam tradisional sudah mengklaim bahwa madrasah adalah warisan tradisi mereka,
sedangkan Islam modern lebih memilih sekolah dan menghindar dari klaim-klaim itu,
walaupun itu tidak mutlak.
21 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Sebagai kasus madrasah berkontestasi dengan SIT dari JSIT, ada banyak persamaan dan
adapula perbedaan hasil dari modifikasi. Perbedaan yang sifatnya distingtif dan memajukan
sejatinya harus segera diadopsi oleh madrasah sebagai bagian dari strategi memajukan.
Persamaan yang kental antara madrasah dan SIT adalah Islam sebagai ruh dari aktivitasnya.
Dimensi ibadah yang menjadi penciri madrasah lahir di SIT dengan berbagai modifikasi yang
berbeda. Seperti sholat dhuha, baca qur’an dan seterusnya adalah indikator kesamaan antara
madrasah dan SIT.
Perbedaan yang mencolok adalah dalam beberapa bidang. (1) bidang manajemen. Manajemen
madrasah adalah manajemen tradisional yang menggunakan pengetahuan warisan untuk
mengelola secara konvensional. Rasa humanisme yang tinggi, kebersamaan dan “seala
kadarnya” menjadi hal yang biasa hadir dalam pengelolaan madrasah. Hal ini dipicu oleh biaya
yang sangat rendah dan dikelola swadaya oleh masyarakat. “Ikhlas Beramal” yang menjadi
logo Kementerian Agama yang mengurusinya benar-benar teramalkan di madrasah, sehingga
dampak yang paling signifikan adalah “beramal se-ikhlasnya”. Dengan itu pula, manajemen
madrasah tidak dikelola dengan professional.
Berbeda dengan madrasah, SIT mengambil identitas baru dari komunitas madrasah.
Manajemen yang dikelola dicitrakan sebagai manajemen modern. Rasa humanistik yang
toleran terhadap masyarakat miskin seperti yang terjadi di madrasah tidak dijadikan patokan,
toh itu pasarnya madrasah. Biaya yang sangat mahal untuk masuk adalah salah satu cara untuk
meningkatkan “rating” citra di masyarakat bahwa SIT adalah “madrasah” untuk kalangan
ekonomi menengah ke atas. Dengan cara itu juga, SIT membedakan dirinya dengan madrasah.
Profesionalisme yang terdampak dari biaya tinggi diusahakan professional dan memenuhi
standar. Pendek kata pangsa pasar dan pola manajemen madrasah untuk ekonomi middle-low
sedangkan SIT sebaliknya, middle-up.
(2) bidang mata pelajaran. Walaupun secara substantif mata pelajaran madrasah dan SIT ada
penekanan pada PAI sebagai pengkayaan dan kekhasan, namun tetap model mata pelajarannya
diupayakan berbeda. Seperti dalam membaca Qur’an, madrasah menggunakan Iqro atau
metode Talaqqi, tapi SIT menggunakan buku “ummi” sebagai rujukannya. Di madrasah nama
mata pelajaran membaca dan menulis Quran adalah Baca Tulis Qur’an (BTQ) sedangkan di
SIT bernama Tahsin dan Tahfidz Qur’an (TTQ). Jika di madrasah tidak mengenal PAI karena
sudah dipecah menjadi berbagai mata pelajaran, di SIT PAI masih ada seperti layaknya
kurikulum persekolahan namun dengan penekanan pada distingsi tahfidz dan praktik ibadah
dasar. Jadi sejatinya, dalam konteks mata pelajaran madrasah dan SIT memiliki perbedaan
yang signifikan, terutama dalam penamaan.
(3) tujuan institusional. Ketika “isi” kurikulum berbeda, tentu saja itu merupakan dampak dari
desain tujuan institusinya. SIT memiliki hasrat untuk memiliki perbedaan dengan madrasah.
Jika madrasah adalah persekolahan yang mirip dengan persekolahan umum dengan modifikasi
beberapa materi pelajaran PAI, maka SIT tidak serta merta mengekor kepada madrasah dan
sekolah. SIT mendesain institusinya dengan tawaran khas seperti tahfidz qur’an,
pengembangan Bahasa, sain atau distingsi lainnya. JSIT sepertinya mengambil kavling tahfidz
karena “market” ini terbukti paling digandrungi oleh masyarakat Indonesia yang haus akan
hufadz Qur’an. Jika madrasah fokus bertujuan sama dengan persekolahan biasa tanpa distingsi
signifikan, maka SIT mencoba menawarkan hal baru yang “marketable” kepada masyarakat.
Ujungnya madrasah dan SIT terlihat beda.
22 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
(4) sistem waktu. Madrasah yang dikelola secara mentradisi melakukan penyesuain sejak
kelahirannya. Seperti hari libur jum’at disesuaikan dengan persekolahan yang libur dihari
minggu. Pun jumlah hari yang digunakan adalah enam hari seminggu dan masih tetap
dilakukan. Hal ini berbeda dengan SIT yang menggunakan system Fuldays School (FDS) yang
terdefinisikan sebagai system waktu full 8 jam sehari dan lima hari satu minggu. FDS ini
memiliki sisi berbeda dilihat dari kecenderungan pengelolanya. Madrasah mayoritas
dikembangkan oleh pesantren tradisional yang mewajibkan atau tidak mewajibkan siswanya
mondok di pesantren. Sedangkan, SIT lahir dari (sebagian) pesantren modern yang
pengelolaannya dominan mewajibkan santri di tingkat SMP/SMA untuk tinggal di pesantren.
Jadi waktu (belajar) sekolah SIT tidak lebih banyak pelajaran formal di sekolah ketimbang
madrasah untuk kelompok usia SMP/SMA.
Strategi Madrasah untuk Meningkatkan Kualitas
Melihat sepak terjang SIT yang “lebih” dari pada madrasah, maka madrasah harus bisa belajar
banyak dari SIT. Beberapa hal yang bisa menjadi strategi madrasah untuk lebih ditingkatkan.
(1) madrasah harus mengelola lembaga secara professional. Hal klasik yang akan menjadi
pertanyaan adalah “tidak ada dana”. Madrasah bisa saja mengadopsi sistem pembayaran yang
mahal ala SIT, tapi sisi humanistik yang sudah menjadi bagian “pengabdian” madrasah kepada
rakyat “jelata” tidak boleh dihentikan. Ada sistem pendanaan yang bisa menjadi solusi yaitu
dengan sistem wakaf uang produktif untuk sekolah. Saya sudah menuliskannya pada artikel
lain. Lihat https://zakimu.com/wakaf.
Profesionalisme yang dimaksud adalah bukan hanya pada tatanan sumber daya manusia yang
lebih baik, tapi perumusan standar pengelolaan yang harus dirumuskan ulang sesuai dengan
pakem manajemen modern. Seperti halnya delapan standar pendidikan yang dikeluarkan oleh
kementerian pendidikan, harus diupayakan dilengkapi dan dilakukan secara professional
dengan tidak mengandung “kebohongan-kebohongan” yang kurang membaikan lembaga.
(2) madrasah harus mencoba melihat pangsa pasar dan kecenderungan trend masyarakat yang
bisa menarik sebanyak-banyaknya input siswa. Hal ini penting untuk meningkatkan animo
masyarakat yang ujungnya berdampak kepada citra madrasah itu sendiri. Semakin diminati,
maka citranya semakin baik. Paling tidak ada ada empat pilihan yang bisa menjadi strategi
distingtif untuk madrasah sesuai dengan fungsinya.
(a) distingsi pada bidang Quran. Bila SIT mengambil bidang tahfidz sebagai senjata utama
untuk menarik minat masyarakat, madrasah juga bisa mereflikasinya. Namun ada yang lain
bila ingin berbeda. Madrasah bisa menggunakan kekuatan untuk mencari beda dengan SIT.
Sebut saja madrasah memiliki kemampuan untuk mencetak siswa yang pandai qiroah qur’an.
Dengan membangun citra penghasil qiroah dengan suara yang bagus dan baik bacaannya bisa
“dijual” menjadi distingsi yang sangat laku. Di samping itu, bidang penulisan Qur’an pun bisa
menjadi distingsi lain yaitu penghasil kaligrafer qur’an yang baik. Hal ini sangat
memungkinkan, dimana kaligrafi adalah hal yang sangat jarang tapi bisa menjadi seni qur’an
yang sangat diminati di masa depan. Bila saja sekarang Lemka (lembaga kaligrafi di Bandung)
menjadi pemain utama, maka madrasah bisa menjadi mitra paling cocok.
(b) distingsi pada bidang Bahasa. Madrasah bisa mengadopsi kemampuan Bahasa asing seperti
yang ditunjukan oleh Gontor menjadi distingsi utama. Jika Bahasa Arab dan atau Bahasa
Inggris menjadi distingsi utama, maka madrasah akan menjadi pilihan terbaik masyarakat.
Kenapa orang berbondong-bondong ke Gontor atau ke sekolah Internasional yang mahal?
23 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
Salah satunya adalah karena factor Bahasa. Karena factor ini menjadi sentiment laku dalam
dunia komunikasi saat ini, dimana Bahasa adalah instrumen utama dalam kehidupan dan
kecakapan hidup.
(c) distingsi pada bidang sain. Sain yang dimaksud bisa memiliki dua makna, soft science dan
hard science. Yang pertama adalah sain sosial yang sifatnya humaniora, sain kedua
berhubungan dengan pengetahuan alam yang sifatnya eksak dan teknik. Madrasah bisa
“menjual” sain ke masyarakat untuk meningkatkan animo masuk ke madrasah. Madrasah pun
bisa melatih lembaganya menjadi bagian penting dari kemajuan bangsa di bidang sain yang
saat ini tidak banyak sekolah yang mengambil atau fokus di dalamnya. Seperti robotic yang
lahir di MI UIN Jakarta adalah salah satu bagaimana madrasah bisa menjual sain untuk
peningkatan madrasahnya.
(d) Distingsi di bidang agama. Untuk madrasah tingkat atas, membangun distingsi madrasah
dengan menggunakan determinasi agama sepertinya sangat cocok. Seperti yang dahulu
dilakukan oleh MAPK, distingsi ini sangat berarti dan lulusannya lebih berkualitas ketimbang
MA sekarang. Sekarang ada sistem Madrasah Aliah Kejuruan (Keagamaan), namun sepertinya
konsepnya tidak diminati. Jika madrasah fokus kepada kajian keagamaan, seperti fokus ke
fikih-ushul fikih, fokus ke akidah-akhlak, fokus kepada literature Islam, fokus kepada kajian
timur tengah, fokus kepada studi Islam Indonesia, maka madrasah akan memiliki kekuatan
utama dalam membedakan dengan persekolahan dan SIT. Bisa jadi madrasah akan benar-benar
melahirkan ulama yang fakih yang saat ini sudah sangat jarang.
Prasyarat Peningakatan Kualitas
Untuk mengimplementasikan strategi distingtif (perbedaan), madrasah harus
mempertimbangkan beberapa prasyaratnya. (1) Studi analisis kebutuhan (need analysis).
Madrasah harus menganalisis SWOT apa yang akan dijadikan fondasi pengembangan
madrasah. Distingsi apa yang paling memungkinkan bisa besar dan membesarkan madrasah.
Pilihan yang diputuskan harus berdasarkan pada pemikiran yang matang dan memiliki
keberlanjutan yang panjang. Jangan sampai, pengembangan desain yang dipilih tidak laku dan
menjadi hal sia-sia. Hal ini dibutuhkan konsultan pendidikan yang melakukan research and
development (R and D) untuk pengembangan madrasah.
(2) ketika studi telah dilakukan, maka prasyarat selanjutnya adalah mempersiapkan
insfrastruktur. Ada dua hal yang penting yang perlu dipersiapkan yaitu SDM dan Sarana
Prasarana. Hasil studi itu akan berdampak kepada SDM seperti apa yang dibutuhkan, sehingga
SDM bisa dipersiapkan dan dilatih secara berkelanjutan. Sarana dan prasaran juga akan
menjadi dampak selanjutnya dalam pembangunan madrasah yang memiliki distingsi.
(3) prasyarat selanjutnya adalah harus fokus. Madrasah yang sudah menentukan distingsi harus
berupaya sekeras-kerasnya untuk fokus pada distingsi madrasah. Semua kegiatan diarahkan
untuk mendorong kemampuan distingsi yang menjadi arus utamanya. Jika ada hal lain yang
dikira penting bagi siswa, tidak dijadikan arus utama tapi menjadi arus penyeimbang.
Syaratnya tidak boleh kehilangan fokus distingsi.
(4) kemampuan madrasah pasti ada batasnya. Untuk itu, fokus madrasah tidak boleh melebihi
kapasitasnya. Jika mampu dua fokus misalkan tahfidz dan qiroa’ah, maka fokus lainnya tidak
diambil. Semakin banyak fokus, maka semakin bias pula distingsi yang bisa dijual kepada
24 | Bahan Bahtsul Masa’il PC NU
masyarakat. Mungkin distingsi lainnya bisa dikembangkan oleh madrasah lainnya. Itung-itung
bagi-bagi kue keIslaman untuk ragam siswa dan keinginan orang tua yang variatif.
Bumisyafikri, 16/11/2018