Tesis
64
Bab V Pembahasan
V.1 Karakteristik Umum Batubara
Seam T, R, dan Q yang menjadi objek penelitian, berdasarkan pengukuran nilai
reflektan maseral vitrinitnya adalah termasuk batubara dengan peringkat sub-
bituminous dengan kisaran harga nilai reflektan 0,45 – 0,46. Pada tabel IV.5 dapat
dilihat terdapat sedikit perubahan berupa peningkatan nilai reflektansi vitrinit dari
Seam T, Seam R, dan Seam Q, yang memang secara stratigrafi berurutan dari atas
ke bawah (lihat Tabel II.3) dengan perbedaan ketebalan interburden rata-rata
antara Seam T - Seam R adalah 55 meter dan antara Seam R – Seam Q adalah
17,5 meter, dimana bila dilihat dari kolom tersebut Seam Q telah mengalami
proses diagenesa yang lebih intensif dibandingkan dengan lapisan batubara di
atasnya.
Hasil pengujian kimia batubara (Tabel IV.3 dan Tabel IV.7) dengan keseluruhan
analisis dilakukan dengan basis air dry (adb), menunjukkan kandungan zat
terbang 32, 69 – 39, 69%, karbon padat 38,05 – 44,70%, abu, 1,07 – 6,37%, air
lembab 17,17 – 20,97%, nilai kalor 4.973 – 5.651 kal/gr, dan belerang total 0,18 –
4,79 %. Dilihat dari nilai kadar abu yang > 10%, conto batubara Lati yang ada
tergolong sebagai batubara berkadar abu rendah (Schimdt, 1979).
V.2 Mineralogi
Analisis terhadap mineralogi yang terdapat dalam batubara dalam penelitian ini
dilakukan dengan analisis petrografi dan analisis Scanning Electron Microscope
(SEM).
Analisis petrografi yang dilakukan memperlihatkan kehadiran mineral matter
dalam batubara yang didominasi oleh mineral lempung, pirit, dan karbonat.
Dominasi mineral lempung tampak pada batubara yang berasal dari semua conto
batubara pada proporsi mineral pada setiap conto batubara. Kaolinit, illit, serisit
sebagai mineral lempung hadir dalam batubara yang diindikasikan sebagai akibat
partikel yang terbawa oleh arus air atau angin (felspar dan mika yang terlapukkan)
Tesis
65
kemudian memasuki rawa dan terendapkan bersama-sama. Kenampakan mineral
lempung di bawah mikroskop dicirikan oleh warna coklat-kelabu, hitam berbintik,
dan umumnya menyebar pada komponen maseral vitrinit dan sebagian mengisi
rongga inertinit. Secara genesa dan keterdapatan mineral lempung dalam batubara
dimana asosiasi mineral lempung pada lapisan batubara berupa inklusi halus yang
tersebar dan sebagai pita-pita lempung (tonstein). Selain itu, mineral lempung
masuk ke dalam gambut sudah dalam bentuk mineral lempung atau sebagai
detrital (Ward, 1988).
Mineral sulfida contohnya pirit hadir dalam bentuk framboidal, sedangkan kelas
pirit yang lain terdapat dalam bentuk kristal pirit yang terdapat sebagai inklusi
dalam maseral vitrinit, nodul/konkresi, bentuk tidak teratur (anhedral), dan juga
pirit epigenetik sebagai pengisi rekahan (cleat filling). Mineral ini dapat dengan
mudah dibedakan dengan mineral dan maseral yang lain karena nilai reflektannya
yang tinggi. Gambar V.1 memperlihatkan keterdapatan mineral pirit singenetik
yang memperlihatkan bentuk euhedral.
Mineral karbonat merupakan mineral yang paling sedikit keterdapatannya dalam
batubara hasil pengamatan mikroskop. Jenis karbonat yang terlihat di bawah
mikroskop adalah kalsit (CaCO3). Kenampakannya sendiri diperlihatkan oleh
warna kuning-coklat sampai jingga dengan sinar biasa dan berbentuk konkresi
sebagai pengisi rongga-rongga fusinit dan semifusinit.
Meskipun tidak dapat diperlihatkan oleh analisis mikroskop, hasil analisis SEM
memperlihatkan kehadiran mineral kuarsa di dalam batubara. Mineral kuarsa
tampak berwarna kelabu – hitam, relief tinggi, dan umumnya terdapat sebagai
material pengisi rongga yang berbentuk bulat. Keterdapatan mineral kuarsa juga
hadir dalam batubara sebagai mineral singenetik berupa detrital hasil pelapukan
batuan kaya mineral kuarsa yang kemudian terbawa oleh air atau angin lalu masuk
ke dalam rawa dan terendapkan bersamaan dengan pembentukan gambut. Gambar
V.2 memperlihatkan mineral kuarsa dalam batubara hasil transportasi oleh air,
sehingga memiliki fragmentasi yang berbentuk bulat. Kuarsa juga memungkinkan
Tesis
66
terbentuk dari proses pengerasan larutan yang mengandung ion-ion silika. Ion ini
akan mensubtitusi ion karbon dan menghasilkan petrifikasi dengan reaksi:
SiO2 + H2O Si4+ + H2O
Si4+ + C6H12O6 SiO2 + H2O + CO2
Gambar V.1. Pirit singenetik (G6) yang tertanam pada kelompok maseral vitrinit (kode conto Q-E-2).
Tesis
67
Gambar V.2. Fragmen mineral SiO2 pada conto R-E-1 yang sudah membulat karena terbawa oleh air diantara maseral tellokolinit dan tampak kehadiran micro cleat.
Golongan mineral oksida lain yang teramati sebagai mineral jarang antara lain
PbO, CuO, serta kemungkinan lain golongan mineral lain yang terdapat dalam
conto batubara hadir dalam bentuk mineral hidroksida seperti limonit (Hydrous
Fe-oxides) dan goethite (α-FeO[OH]). Mineral-mineral ini tidak dapat
teridentifikasi dengan jelas karena terdistribusi secara merata dalam batubara
dengan jumlah yang termasuk klasifikasi sebagai mineral jarang.
Secara umum, pengamatan mikroskopi yang dilakukan pada semua conto
batubara menunjukkan bahwa hampir sebagian besar mineral masih terikat
dengan kelompok maseral vitrinit. Rekahan (cleat) yang berkembang dalam
batubara memungkinkan sebagai media bagi pengisian mineral epigenetik seperti
pirit dan beberapa mineral lempung. Analisis SEM conto kode T-2
memperlihatkan adanya mineral gipsum (CaSO4.H2O) yang berupa mineral
epigenetik yang mengisi rekahan (lihat Lampiran).
Tesis
68
Vasilev dkk., 1996, memperkenalkan rasio mineral detrital dan authigenic pada
batubara dapat diprediksi dari data komposisi kimia abu, dimana mineral detrital
pada umumnya terdiri dari kuarsa, kaolinite, illite, plagioklas, muskovit, rutil,
apatite, dan oksida besi serta alumium. Sedangkan mineral authigenic umumnya
merupakan mineral karbonat, sulfat, fosfat, dan klorida. Indeks detrital-authigenic
dirumuskan sebagai berikut:
I = )(
)(
332
222322
SOCaOMgOOFe
TiOONaOKOAlSiO
Nilai I < 3 menunjukkan mineral authigenic dominan terhadap mineral detrital.
Jika nilai I antara 3 – 8, dapat dikatakan komposisi mineral authigenic seimbang
dengan mineral detrital. Sedangkan untuk I > 8, mineral detrital dominan terhadap
mineral authigenic. Sehingga didapat nilai Indeks untuk conto batubara yang ada
seperti yang terlihat pada Gambar V.3.
Indeks Detrital-Authigenic
0123456789
10
T-1 T-2 T-3R-E
-1R-E
-2R-E
-3
R-W-1
R-W-2
R-W-3
Q-E-1
Q-E-2
Q-E-3
Q-W-1
Q-W-2
Q-W-3
Conto
I =
Ind
eks
Det
rita
l-A
uthi
gen
ic
Gambar V.3. Grafik indeks detrital-authigenic conto batubara.
Dari gambar V.3 terlihat rata-rata indeks detrital-authigenic tergolong rendah (<
3), yang berarti jumlah mineral authigenic pada conto batubara lebih dominan
dibanding dengan mineral detrital, kecuali pada conto T-1. Sehingga dapat
diinterpretasikan pada T-1 banyak mendapat pengaruh dari luar cekungan berupa
Detrital dominan
Authigenic dominan
Tesis
69
akibat banjir atau air limpasan yang membawa banyak material klastis baik
berupa mineral lempung maupun kuarsa.
Secara umum mineral dalam batubara dipengaruhi saat awal pembatubaraan
(sebagai mineral singenetik) maupun selama proses pembatubaraan (sebagai
mineral epigenetik) serta kaitannya dengan fasies lingkungan pengendapan
batubara. Secara genesa dan perilaku, jenis dan fase mineral dalam batubara
sangat bervariasi yang bergantung proses pembatubaraan berlangsung.
Keterdapatan mineral berhubungan erat dengan wilayah regional, kondisi
pengendapan, dan paleoenvironmental endapan batubara. Proses-proses yang
beragam yang terkait dengan perubahan suhu, tekanan, pH, dan Eh, serta
komponen-komponen di dalam maupun dari luar lapisan batubara dapat
menghasilkan variasi kristalisasi, perubahan bentuk, dan pemisahan mineral yang
mempengaruhi komposisi batubara dan kandungan abu (Vassilev dkk., 1996).
Unsur kimia anorganik dalam batubara mencakup unsur dari anorganik dalam
batubara dapat mencakup unsur dari tanaman asal, unsur yang terikat pada
molekul organik sebelum tanaman mati maupun unsur yang terikat dalam molekul
organik atau mengisi lubang antar bahan oganik setelah tanaman mati menjadi
gambut sampai dengan akhir diagenesis batubara (Bouska, 1981).
V.3 Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Interpretasi fasies yang diperoleh dari hasil analisis maseral telah digunakan untuk
mengetahui lingkungan pengendapan pada saat pengendapan gambut. Komponen
maseral dalam batubara dapat menunjukkan material organik penyusun batubara
yang berkontribusi pada pengendapan gambut dan kondisi selama pengendapan.
Kondisi ini termasuk tinggi muka air tanah, pH, pembusukan dari bakteri aerobik
dan anaerobik, serta mekanisme pecahnya material organik yang menunjukkan
transportasi selama pengendapan Variasi komposisi yang terdapat dalam batubara
menunjukkan pula variasi pembatubaraan yang diantaranya memberikan
informasi tentang variasi tipe tumbuhan pembentuknya, kedalaman air (batas
muka air tanah), tingkat dekomposisi, dan kecepatan akumulasi.
Tesis
70
Lingkungan lower delta plain (laut dangkal) umumnya kandungan vitrinit banyak,
sedangkan sebaliknya pada lingkungan upper delta plain (laut dalam) dan
meandering fluvial, bila vitrinit banyak, maka ditafsirkan kecepatan penurunan
cekungan berjalan cepat, artinya muka air tinggi, sedangkan jika vitrinit sedikit
ditafsirkan kecepatan penurunan berjalan pelan, artinya muka air rendah.
Tellocollinit akan banyak terbentuk di bawah kondisi air tawar, sedangkan
desmocollinit akan banyak terbentuk di bawah kondisi marin.
Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan lingkungan pengendapan di daerah
penelitian adalah lingkungan deltaik. Dalam Laporan Akhir Vol. 1, PT. Berau
Coal (1998) dalam Maryanto dkk. (2005) menyebutkan bahwa Formasi Latih
semakin ke utara sedimen delta berubah menjadi sedimen fluviatil dan ke arah
barat mengalami transisi menjadi lingkungan darat. Sedangkan dalam peta geologi
regional daerah Berau, Kalimantan Timur yang dikeluarkan oleh PT. Berau Coal
(1998) menyatakan bahwa Formasi Latih/Formasi Berau mempunyai lingkungan
pengendapan delta plain dimana semakin ke arah atas menjadi upper delta plain
hingga akhirnya fluviatil. Situmorang dan Burhan (1992) dalam Peta Geologi
Tanjung Redeb, Kalimantan menulis bahwa lingkungan pengendapan Formasi
Latih diendapkan dalam lingkungan delta, estuarin, dan laut dangkal.
Fasies dan lingkungan pengendapan batubara dapat ditunjukkan dengan diagram
pengawetan struktur jaringan/Tissue Preservation Index (TPI) dan derajat
gelifikasi/Gelification Index (GI). Harga TPI merupakan suatu indikator terukur
untuk menunjukkan material dengan sisa struktur sel yang menonjol dibandingkan
dengan yang tidak menunjukkan sisa struktur sel (Lamberson, 1991). Modifikasi
formula terhadap penentuan nilai TPI yang sebelumnya didefinisikan oleh
Diessel, 1986, dilakukan oleh Lamberson, 1991, untuk penyesuaian terhadap
batubara berperingkat rendah. Modifikasi ini menghasilkan formula perhitungan
TPI sebagai berikut:
TPI = rinitinertoitdesmokolinrinitvitro
itfuitsemifuinitpseudovitrttelokolinitelinit
detdet
sinsin
Tesis
71
Jika harga TPI > 1, menunjukkan bahwa batubara tersebut lebih cenderung berasal
dari tumbuhan besar/kayu. Sebaliknya, jika nilai TPI < 1 menunjukkan batubara
tersebut lebih cenderung berasal dari tumbuhan kecil/perdu.
Indeks gelifikasi (GI) merupakan perbandingan komponen yang tergelifikasi
terhadap komponen yang terfusinitkan.GI berhubungan dengan kontinuitas
kelembaban gambut. Selain itu harga GI juga mengindikasikan juga tingkat
oksidasi, harga GI yang berkurang akan mengindikasikan kenaikan tingkat
oksidasi. Formula perhitungan GI menurut Diessel, 1986, adalah sebagai berikut:
GI = )(
min
macrinitkecualiInertinit
nitgeloinertiithu
Calder dkk., 1991, menggunakan suatu variabel tidak langsung untuk
merekonstruksi hidrologi suatu moor. Calder menginterpretasikan pengendapan
suatu lapisan batubara dengan menggunakan Groundwater Index (GWI) dan
Vegetation Index (VI). Rumus yang digunakan untuk perbandingan substansi
tersebut adalah sebagai berikut:
GWI = itdesmokolinttelokolinitelinit
eralitcorpokolintgelokolini
min
VI = cutinitsporinitrinitliptorinitinertoitdesmokolin
itresuberinititsemifuitfuttelokolinitelinit
detdet
sinsinsin
Hasil perhitungan nilai TPI – GI (Tabel V.1) berdasar data komposisi maseral
yang didapat dari pengamatan petrografi , kemudian di plot pada diagram TPI –
GI modifikasi Lamberson, 1991 (Gambar V.4).
Tesis
72
Tabel V.1. Hasil perhitungan nilai TPI-GI.
CONTO BATUBARANILAI
T-1 T-2 T-3 R-E-1R-E-2R-E-3R-W-1R-W-2R-W-3Q-E-1Q-E-2Q-E-3Q-W-1Q-W-2Q-W-3TPI 0.620.75 1.90 1.59 1.58 1.33 0.58 0.87 0.96 1.61 1.12 1.48 1.35 0.75 1.64GI 10.778.7415.67 5.11 7.02 20.36 4.05 5.60 31.69 5.76 7.51 5.47 11.87 14.71 5.44
0.10
1.00
10.00
100.00
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00
T-1 T-2 T-3R-E-1 R-E-2 R-E-3R-W-1 R-W-2 R-W-3Q-E-1 Q-E-2 Q-E-3Q-W-1 Q-W-2 Q-W-3
Gambar V.4. Plot nilai TPI-GI pada diagram Lamberson, 1991.
Dari diagram tersebut di atas, tampak terlihat adanya perubahan lingkungan
pengendapan di daerah penelitian. Secara umum conto yang berasal dari bagian
barat dari sayap sinklin Lati, memiliki kecenderungan terendapkan pada
lingkungan fen – swamp lower delta plain. Sedangkan conto yang berasal dari
bagian timur dari sayap sinklin Lati, memiliki kecenderungan tendapkan pada
lingkungan marsh – fen lower delta plain. Harga GI secara umum relatif tinggi
yang mengindikasikan lingkungan pengendapan dalam kondisi lembab/basah
sehingga pembentukan vitrinit akan intensif.
Conto batubara Seam T memperlihatkan perubahan lingkungan pengendapan dari
swamp menjadi fen dengan seiring bertumbuhnya gambut pembentuk batubara,
hal ini mengakibatkan variasi keragaman tumbuhan asalnya. Demikian pula
perubahan lingkungan pengendapan yang diindikasikan juga terjadi pada conto Q-
W dimana menandakan daerah ini merupakan daerah transisi antara lingkungan
VIT>INERTDeg Vit < Struc
VIT<INERTSemifus + fus > indet
VIT<INERTSemifus + fus > indet
LI, CLASTICMarsh
WET FORESTSwamp
DRYMarsh FOREST
Swamp
TPI
GI
VIT>INERTDeg Vit > Struc
limnic
Tesis
73
telmatic dengan limno-telmatic sehingga di daerah merupakan daerah yang kaya
akan jenis tumbuhan.
Hasil perhitungan nilai GWI – VI (Tabel V.2) berdasar data komposisi maseral
yang didapat dari pengamatan petrografi , kemudian di plot pada diagram GWI-
VI, Calder, 1991 (Gambar V.5).
Tabel V.2. Hasil perhitungan nilai GWI-VI.
CONTO BATUBARANILAI
T-1 T-2 T-3 R-E-1R-E-2R-E-3R-W-1R-W-2R-W-3Q-E-1Q-E-2Q-E-3Q-W-1Q-W-2Q-W-3GWI 0.270.15 0.18 0.18 0.13 0.14 0.28 0.24 0.35 0.17 0.23 0.15 0.31 0.23 0.18
VI 1.051.19 2.79 2.17 2.07 2.09 0.83 1.16 1.80 1.86 1.68 2.30 1.74 1.07 1.94
Gambar V.5. Plot nilai GWI-VI pada diagram Calder, 1991.
Dengan melihat diagram hubungan GWI-VI, maka terlihat bahwa pengendapan
batubara diawali dengan terbentuknya lapisan gambut pada suatu daerah bog
ombrotrophic. Dampak dari iklim tropis dengan curah hujan tinggi akan
Tesis
74
mempengaruhi pertumbuhan vegetasi berlangsung cepat. Air hujan ini merupakan
satu-satunya sumber nutrisi oleh tumbuhan.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa komposisi maseral juga dapat
menunjukkan variasi tipe tumbuhan pembentuknya. Maseral yang diinterpretasi
berasal dari tumbuhan kayu ditunjukkan oleh kandungan telovitrinite, fusinit, dan
semifusinit yang tinggi, dalam hal ini suberinit dan resinit adalah sebagai maseral
penyerta. Sedangkan maseral yang diinterpretasikan berasal dari tumbuhan perdu
ditunjukkan oleh detrovitrinite, inertodetrinit, liptodetrinit, alginit, sporinit, dan
cutinit (Teichmuller, 1989).
Gambar V.6. Komposisi maseral yang berasal dari kayu dan perdu pada conto batubara Seam T, R, dan Q.
T
0 20 40 60 80
T-1
T-2
T-3
Con
to
% Volume
Kayu
Perdu
R-W
0 10 20 30 40 50
R-W-1
R-W-2
R-W-3
Con
to
% Volume
Kayu
Perdu
R-E
0 10 20 30 40 50 60
R-E-1
R-E-2
R-E-3
Con
to
% Volume
Kayu
Perdu
Q -W
0 10 20 30 40 50 60
Q-W-1
Q-W-2
Q-W-3
Con
to
% Volume
Kayu
Perdu
Q -E
0 10 20 30 40 50 60
Q-E-1
Q-E-2
Q-E-3
Con
to
% Volume
Kayu
Perdu
Tesis
75
Dari gambar V.6, hampir sebagian besar conto menunjukkan adanya perubahan
lingkungan pengendapan pada tahap penggambutan pada lapisan batubara yang
sama. Untuk Seam T memberikan gambaran gradasi tahap penggambutan dari
mesotrofi – oligotrofi (dominasi tumbuhan kayu) menjadi eutrofi dengan
berkembangnya rawa gambut yang melimpah dengan tumbuhan air. Hal ini sesuai
dengan litologi penyusun batuan yang ada dimana lapisan batuan yang mengapit
bagian atas Seam T adalah batulempung yang dapat terjadi melalui proses
sedimentasi pada lingkungan di bawah air. Pada bagian timur daerah penyelidikan
yang direpresentasikan oleh conto R-E dan Q-E memperlihatkan perkembangan
tumbuhan kayu yang relatif baik dimana dapat diinterpretasikan bahwa lokasi
tersebut merupakan bagian dari tepi cekungan yang akan cenderung berkembang
jenis kayu selama proses pengendapan gambut (Anggayana, K., dan Widayat.,
A.H., 2006).
Hasil rekonstruksi yang telah dilakukan menunjukkan asal pengaruh laut purba
berasal dari arah timurlaut. Pengaruh laut purba yang berasal dari timur laut sesuai
dengan kondisi Kalimantan Timur yang letak lautnya berada di sebelah timur.
V.4 Perilaku Natrium dalam Batubara Seam T, R, dan Q
Berdasarkan klasifikasi dan komposisi sedimen, unsur natrium (Na) termasuk
dalam kelas evaporit yang di dalamnya tergabung juga unsur-unsur Ca, Mg, dan
K. Hasil analisis kadar natrium dalam abu batubara tergolong cukup tinggi (8,52%
adb) dibanding kadar rata-rata natrium dalam abu batubara secara umum yaitu
sekitar 0,5 – 2% (Bouska, 1981). Hasil analisis interpretasi fasies dan lingkungan
pengendapan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa batubara Lati Berau
dipengaruhi oleh kesetimbangan tektonik yaitu berupa kenaikan muka air laut
yang berarti endapan batubara ini mengalami penurunan di bawah permukaan air
laut.
Tesis
76
Dengan menggunakan mikroskop optis untuk analisis petrografi, mineralisasi
natrium di dalam batubara tidak dapat diamati karena pembesaran objek hanya
mampu mengamati hingga perbesaran 500 x, sedangkan kristal – kristal mineral
natrium yang terbentuk adalah sangat kecil. Pada analisis ini, objek yang teramati
hanya jenis maseral dan mineral utama (pirit, lempung, dan karbonat). Pada
analisis Scanning Electron Microscope (SEM) yang mempunyai perbesaran
sampai 30.000 x mampu mengidentifikasi kristal – kristal di dalam batubara
walaupun sedikit sulit karena kristal - kristal tersebut sangat kecil dan terintegrasi
dengan maseral (bisa terbentuk pada rongga -rongga sklerotinit atau berasosiasi
dengan vitrinit).
Analisis SEM terhadap 16 conto batubara, berhasil mengidentifikasi 2 conto
batubara yang mengandung mineral pembawa natrium yaitu dengan kode conto
R-E-1 dan R-E-2. Kedua conto tersebut memang memiliki kandungan Na2O
dalam abu batubara secara relatif lebih banyak dibandingkan dengan conto-conto
yang lainnya (lihat Tabel IV.6). Kehadiran natrium dalam kedua conto tersebut
teramati sebagai kelompok mineral silikat berupa mineral Aegerine/Acmite
(NaFe3+[Si2O6]) yang berasosiasi dengan kelompok maseral vitrinit dengan
bentuk sub-angular (Gambar V.7 dan V.8). Mineral ini dapat dengan mudah
terbentuk sebagai hasil sintensis dari reaksi kesetimbangan molekul dari SiO2,
Fe2O3, dan Na2CO3.H2O yang bereaksi dengan NaCl yang berasal dari air laut
(Deer dkk., 1992).
Dari hasil pengamatan SEM dengan area mapping dengan perbesaran 5.000 x
juga memperlihatkan sebaran unsur natrium dalam batubara tersebar secara
merata di dalam batubara tanpa memperlihatkan dengan jelas tendensi
pengelompokan pada titik-titik tertentu sebagaimana diindikasikan sebagai
mineral singenetik, yang bercampur dengan maseral di dalam batubara yang
berhasil teridentifikasi pada conto R-E-1 dan R-E-2 (Gambar V.9 dan V.10).
Kandungan natrium tersebut terbentuk dari air laut yang masuk ke dalam pori –
pori batubara kemudian menyatu dengan dengan material organik (maseral) pada
saat peatification. Kesimpulan ini didukung juga dari hasil analisis lingkungan
Tesis
77
pengendapan yang menyebutkan bahwa batubara Lati – Berau diendapkan pada
daerah delta dan payau yang setiap saat dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(PT.Berau Coal).
Gambar V.7. Mineral Aegerin (G5) yang terdapat diantara maseral tellokolinit pada conto R-E-1
Tesis
78
Gambar V.8. Mineral Aegerin (H5) yang terdapat diantara maseral tellokolinit pada conto R-E-2.
Tesis
79
.
Gambar V.9. Hasil analisis SEM dengan area mapping, memperlihatkan distribusi unsur Na dalam batubara secara merata dalam batubara pada kode conto R-E-1.
Tesis
80
Gambar V.10. Hasil analisis SEM dengan area mapping, memperlihatkan disribusi unsur Na dalam batubara secara merata dalam batubara pada kode conto R-E-2.
Tesis
81
V.4.1. Disribusi Natrium Secara Horizontal
Dari data sekunder berupa hasil analisis kualitas komposisi abu batubara yang
telah dilakukan oleh PT. Berau Coal yang diambil dari conto pemboran dalam
kurun waktu tahun 2001 – 2003 dilakukan analisis terhadap sebaran natrium
(ekivalen dengan kandungan Na2O dalam abu batubara) untuk mengetahui
perilaku sebaran secara regional.
Kadar natrium dalam Seam T berkisar antara 0,16 % - 14,38 % (adb) dengan rata-
rata 1,91 % dalam abu batubara(Gambar V.11). Distribusi penyebaran natrium
pada seam T tidak merata dalam artian penyebaran natrium tidak terlalu
menunjukkan adanya kecenderungan ke arah tertentu (Gambar V.14). Namun dari
hasil interpolasi berupa modelling sebaran data kualitas dalam bentuk peta,
menunjukkan adanya tendesi peningkatan kadar natrium ke arah tengah dari
struktur sinklin. Selain itu juga data sebaran menunjukkan adanya puncak-puncak
kontur pada beberapa lokasi. Hal itu menggambarkan adanya lokasi-lokasi yang
memiliki kadar yang lebih tinggi daripada daerah di sekitarnya. Pada bagian timur
daerah penelitian terdapat perubahan tingkat kerapatan yang mengakibatkan
variasi dan tingkat kerapatannya lebih heterogen ketimbang pada bagian barat dari
sayap sinklin.
Berdasarkan rekonstruksi paleoenvironmental yang telah dilakukan oleh
penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa pengaruh laut purba berasal dari timur
laut daerah penelitian yang sesuai juga kondisi saat ini yakni posisi laut berada di
bagian timur daerah penelitian, serta hasil interpretasi fasies dan lingkungan
pengendapan yang telah dilakukan yang menunjukkan variasi komposisi maseral
dan variasi horisontal kandungan sulfur total yang lebih bervariasi ke arah timur
laut (N 0500 E) (Anggayana, K. dan Widayat, AH, 2006) menunjukkan
kesesuaian terhadap distribusi natrium Seam T secara lateral.
Kadar rata-rata natrium pada Seam T ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan
Seam R dan Seam P akibat mobilitas ion natrium yang cukup tinggi yang
Tesis
82
dikontrol oleh struktur dan mudah larut dalam air jika dalam bentuk garam halit
sehingga dalam mengalami pelindian oleh aktifitas air tanah.
Na2O Seam T
Mean 1.91 Standard Error 0.15 Median 1.02 Mode 0.29 Standard Deviation 2.32 Skewness 2.53 Range 14.22 Minimum 0.16 Maximum 14.38 Count 228
(a) (b)
Gambar V.11. a) Statistik deskriptif univarian dan; b) Histogram kadar Na2O dalam abu batubara Seam T.
Kadar natrium dalam abu batubara pada Seam R berkisar antara 0,03 – 23,33 %
(adb) dengan rata-rata 5,01 % (Gambar V.11). Distribusi penyebaran natrium
pada Seam R tidak merata (Gambar V.14). Penyebaran natrium pada seam ini
juga tidak menunjukkan adanya kecenderungan ke arah tertentu. Modelling yang
dilakukan menunjukkan adanya puncak kontur yang menandakan kenaikan kadar
pada beberapa lokasi tertentu. Sebarannya memperlihatkan juga adanya tendensi
peningkatan kadar natrium ke arah tengah cekungan sinklin sehingga daerah
pinggir mendekati singkapan batubara memiliki kadar natrium yang relatif lebih
rendah. Penelitian sebelumnya dengan melakukan estimasi sebaran kadar natriun
Seam R dengan pendekatan geostatistika oleh Heriawan dkk., 2007,
memperlihatkan kecenderungan peningkatan kadar natrium pada tengah struktur
sinklin dibandingkan dengan pinggir sayap sinklin.
Sebaran natrium pada Seam R juga memperlihatkan homogenitas yang relatif
bervariasi pada arah relatif tegak lurus sumbu sinklin sebagaimana kecenderungan
variasi penyebaran horisontal komposisi maseral dan kandungan sulfur total pada
arah relatif tegak lurus sumbu sinklin.
HISTOGRAM KADAR Na2O
DALAM ABU BATUBARA SEAM T
0
20
40
60
80
10 0
12 0
BinF
requ
ency
Frequency
Tesis
83
Na2O Seam R
Mean 5.01Standard Error 0.18Median 3.50Mode 0.47Standard Deviation 4.80Skewness 0.79Range 23.30Minimum 0.03Maximum 23.33Count 724
(a) (b)
Gambar V.12. a) Statistik deskriptif univarian dan; b) Histogram kadar Na2O dalam abu batubara Seam R.
Kadar natrium dalam abu batubara pada seam Q berkisar antara 0,1 – 21,4 %
(adb) dengan rata-rata 5,29 % (Gambar V.13) . Bila dilihat dari rata –rata nilai
kandungan natrium pada seam ini memiliki nilai yang sedikit lebih besar
dibandingkan dengan seam-seam di atasnya (Seam T dan Seam R), dimana hal ini
dapat diakibatkan oleh pengkayaan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dimana
pada lapisan batubara Lati yang telah dipengaruhi oleh struktur sinklin
mengakibatkan adanya perlipatan dapat menyebabkan timbulnya rekahan-rekahan
pada lapisan batubara. Rekahan-rekahan tersebut memberikan kesempatan pada
air, baik air tanah maupun air hujan untuk meresap masuk kembali ke dalam
lapisan batubara. Air-air tersebut dapat menguraikan garam-garam yang telah
terendapkan dalam lapisan batubara dan mengendapkannnya kembali di sisi lain
lapisan batubara termasuk lapisan di bawahnya.
Distribusi penyebaran natrium tidak merata pada Seam Q (Gambar V.15).
Penyebaran natrium pada seam ini juga tidak menunjukkan adanya
kecenderungan ke arah tertentu. Modelling yang dilakukan menunjukkan adanya
puncak kontur yang memperlihatkan kenaikan kadar pada beberapa lokasi
tertentu. Sebarannya memperlihatkan juga adanya tendensi peningkatan kadar
natrium ke arah tengah cekungan sinklin sehingga daerah pinggir mendekati
singkapan batubara memiliki kadar natrium yang relatif lebih rendah.
HISTOGRAM KADAR Na2O
DALAM ABU BATUBARA SEAM R
0
100
200
300
1 4 7 10 13 16 19 22
Bin
Fre
que
ncy
Frequency
Tesis
84
Na2O Seam Q
Mean 5.29Standard Error 0.21Median 3.12Mode 0.74Standard Deviation 5.23Skewness 0.83Range 21.3Minimum 0.1Maximum 21.4Count 644
(a) (b)
Gambar V.10. a) Statistik deskriptif univarian dan; b) Histogram kadar Na2O dalam abu batubara Seam Q.
HISTOGRAM KADAR Na2O
DALAM ABU BATUBARA SEAM Q
0
50
100
150
200
250
Bin
Fre
qu
ency
Frequency
Tesis
85
a. b. 559000 560000 561000 562000 563000 564000 565000 566000 567000250000
251000
252000
253000
254000
255000
256000
257000
258000
259000
260000
261000
262000
263000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Gambar V.11. a) Sebaran titik kadar Na2O tinggi > 1 % dan kadar Na2O rendah < 1 %; b) Peta penyebaran kadar Na2O dalam abu batubara Seam T.
®Keterangan:
") Kadar tinggi (Na2O > 1%)
") Kadar rendah (Na2O < 1%)
®
Kadar (%)
Tesis
86
a. b. 559000 560000 561000 562000 563000 564000 565000 566000 567000250000
251000
252000
253000
254000
255000
256000
257000
258000
259000
260000
261000
262000
263000
012345678910111213141516171819
Gambar V.12. a) Sebaran titik kadar Na2O tinggi > 1 % dan kadar Na2O rendah < 1 %; b) Peta penyebaran kadar Na2O dalam abu batubara Seam R.
®Keterangan:
") Kadar tinggi (Na2O > 1%)
") Kadar rendah (Na2O < 1%)
®
Kadar (%)
Tesis
87
559000 560000 561000 562000 563000 564000 565000 566000 567000250000
251000
252000
253000
254000
255000
256000
257000
258000
259000
260000
261000
262000
263000
012345678910111213141516171819
Gambar V.13. a) Sebaran titik kadar Na2O tinggi > 1 % dan kadar Na2O rendah < 1 %; b) Peta penyebaran kadar Na2O dalam abu batubara Seam Q.
Kadar (%)
®Keterangan:
") Kadar tinggi (Na2O > 1%)
") Kadar rendah (Na2O < 1%)
®
Tesis
88
V.4.2 Disribusi Natrium Secara Vertikal
Ditinjau dari hasil analisis interpretasi terhadap pengaruh paleoenvironmental
yang telah dilakukan sebelumnya, unsur alkali tidak memberikan pola penyebaran
secara lateral yang baik untuk mengetahui darimana arah pengaruh laut purba
(Purba, A, 2006). Demikian pula dari distribusi secara vertikal yang dilakukan
pada Seam T, Seam R, dan Seam Q berdasarkan perbedaan kenampakan
makroskopi, kandungan natrium tidak memberikan adanya kecenderungan
penyebaran tertentu (Gambar V.17). Hal ini dapat dipengaruhi oleh karena unsur
alkali di dalam air laut terdapat dalam bentuk ion dan memiliki sifat yang mobile.
Gambar V.17. Distribusi kandungan Na2O dalam batubara secara vertikal.
T
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20
T-1
T-2
T-3
Con
to
( %)
R-E
12.00 14.00 16.00 18.00
R-E-1
R-E-2
R-E-3
Con
to
(%)
R-W
0.00 5.00 10.00 15.00
R-W-1
R-W-2
R-W-3
( %)
Q-E
10.50 11.00 11.50 12.00
R-E-1
R-E-2
R-E-3
Con
to
(%)
Q-W
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00
R-E-1
R-E-2
R-E-3
Con
to
(%)
Tesis
89
Unsur alkali di dalam batubara terdapat dalam bentuk garam. Garam memiliki
sifat yang mudah larut. Jika garam-garam di dalam batubara tersebut tidak
mengalami gangguan, maka unsur jejak yang ditinggalkan pada lapisan batubara
akan memilki pola penyebaran secara lateral. Namun karena terdapat gangguan
maka unsur alkali tidak memberikan pola penyebaran. Gangguan tersebut dapat
berupa arus laut ataupun kegiatan tektonik. Arus laut yang bolak-balik yang
dialami lapisan batubara tentu saja dapat mempengaruhi penyebaran unsur alkali
di dalam lapisan batubara. Garam-garam yang telah terendapkan di dalam
batubara, mengingat sifatnya yang mudah larut dan mobile, ketika terdapat arus
laut yang menghantam lapisan batubara, maka garam-garam yang sudah
terendapkan akan terurai kembali dan diendapkan kembali di sisi lain dari lapisan
batubara. Kejadian tersebut terjadi berulang kali. Oleh karena itu unsur alkali di
dalam batubara tidak memberikan pola penyebaran yang baik.
Kejadian lain yang memungkinkan hal tersebut adalah kegiatan tektonik. Adanya
perlipatan dapat menyebabkan timbulnya rekahan-rekahan pada lapisan batubara.
Rekahan-rekahan tersebut memberikan kesempatan pada air, baik air tanah
maupun air hujan untuk meresap masuk kembali ke dalam lapisan batubara. Air-
air tersebut dapat menguraikan garam-garam yang telah terendapkan dalam
lapisan batubara dan mengendapkannnya kembali di sisi lain lapisan batubara.
Oleh karena itu unsur alkali tidak memberikan penyebaran yang baik.
Selain itu pula, batubara memiliki kemampuan sebagai penukar ion karena
batubara mempunyai struktur berongga yang mengandung ion-ion alkali dan
alkali tanah yang tidak terikat kuat terhadap rongga tersebut sehingga dapat
dipertukarkan dengan ion-ion lain yang terdapat dalam larutan. Menurut Fathi
Habashi (1969), batubara merupakan salah satu material yang dapat dijadikan
sebagai jenis penukar kation organik. Batubara juga terdiri dari sebuah jaringan
rantai hidrokarbon tiga dimensi elastis yang membawa group ion bermuatan tetap.
Muatan group ini diimbangi oleh ion-ion lawan (counter ion) yang bergerak
Tesis
90
bebas. Disamping berbentuk garam dan bagian dari mineral silikat, atom Na pada
batubara juga berikatan dalam senyawa organik batubara.
Dari kondisi ini dapat diketahui bahwa pembentukan natrium tersebut selain
dipengaruhi oleh kondisi air laut juga dipengaruhi oleh proses tektonik yang
terjadi pada saat pembentukan gambut.
V.5. Hubungan Keterdapatan Natrium dengan Mineral Lain
Di beberapa bagian, batubara Lati – Berau juga mempunyai kandungan sulfur
yang cukup tinggi. Hal ini diperkirakan terbentuk dari pengaruh air laut pada saat
pembentukan gambut, terutama sulfur piritik. Pirit dalam batubara dapat menjadi
salah satu petunjuk untuk melakukan interpretasi fasies dan lingkungan
pengendapan pada batubara.
Pada proses pembakaran batubara sulfur pirit akan terdekomposisi dan teruapkan,
sedangkan sisanya menjadi oksida Fe2O3 dan SO3. Hasil analisis kimia
laboratorium rata – rata kandungan oksida Fe2O3 dan SO3 di dalam abu batubara
Lati – Berau cukup tinggi yaitu masing – masing 12,03% dan 18,82%.
y = 1.4468x + 5.7772
R2 = 0.4064
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00
Kadar Na2O (%)
Kad
ar S
O3
(%)
Gambar V.18. Grafik hubungan antara kandungan Na2O dan SO3 pada batubara Lati-Berau
Tesis
91
Gambar V.18 memperlihatkan hubungan yang linier positif antara kandungan
natrium (Na2O) dan sulfat (SO3) pada batubara Lati – Berau. Pada umumnya
batubara yang mempunyai kandungan natrium tinggi juga mempunyai kandungan
sulfat tinggi. Hal ini menandakan bahwa kedua oksida tersebut memiliki genesa
yang sama yaitu dari pengendapan air laut, dimana natrium dapat berasal dari ion
Na dalam air laut yang bereaksi dengan unsur lain, sedangkan sulfat dapat berasal
dari sulfur piritik. Pengkayaan unsur S dan Na dalam air laut juga tergolong tinggi
sehingga secara genesa menunjukan kesesuaian perilaku antara kandungan
natrium dan sulfat yang ada.
Gambar V.19. Distribusi kandungan unsur Na dan S Total dalam batubara secara vertikal.
Dari hasil analisis kandungan abu yang merupakan oksida logam dalam hal ini
Na2O, kemudian dilakukan perhitungan secara matematis untuk menghitung kadar
unsur natrium dalam batubara menurut perbandingan berat atom relatif terhadap
berat molekul relatif. Sehingga untuk selanjutnya akan didapat data kadar unsur
T
0 0.5 1
T-1
T-3Con
to
(%)Kadar Na
Kadar S Total
R-E
0 2 4 6 8
R-E-1
R-E-2
R-E-3
Con
to
(%)
Kadar Na
Kadar S Total
Q-E
0 1 2 3 4 5 6
Q-E-1
Q-E-2
Q-E-3
Con
to
(%)
Kadar Na
Kadar S Total
R-W
0 2 4 6
R-W-1
R-W-3
( %)
Kadar Na
Kadar S Tot a l
Q-W
0 1 2 3 4
Q-W-1
Q-W-2
Q-W-3
( %)
Kada r Na
Kada r S Tot a l
Tesis
92
natrium yang akan dilihat kecenderungan kesesuaian variasi vertikal dengan unsur
belerang dalam bentuk belerang total .
Secara lateral kandungan sulfur total lebih bervariasi ke arah timur laut sedangkan
secara vertikal tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara
(Anggayana, K. dan Widayat, AH, 2006). Meskipun ada korelasi secara genesa
pengendapan mineralisasi sulfur dan natrium dalam batubara, namun demikian
penyebaran vertikal dalam batubara memberikan kecenderungan yang berbeda.
Gambar V.19 memperlihatkan adanya kesesuaian variasi belerang menurut
penelitian sebelumnya, namun pada unsur natrium tidak memperlihatkan adanya
kecenderungan menurut arah tertentu.
Penyebaran sulfur yang rata-rata terkonsentrasi pada bagian atas dan bagian
bawah dari lapisan batubara disebabkan ketika proses diagenesa batubara,
pengaruh lapisan pengapit bawah (underburden) akan tertekan dan masuk ke
lapisan gambut, dengan demikian adanya tambahan kandungan sulfat pada bagian
bawah gambut. Pada tahap selanjutnya akan terendapkan gambut yang
mengandung lebih sedikit sulfur organik daripada lapisan yang dekat
underburden. Kemudian dengan berakhirnya fase pengendapan gambut maka
pada lapisan di atasnya akan terendapkan sedimen laut yang akan memberikan
tambahan sulfat. Sehingga dihasilkan peningkatan kadar sulfur pada bagian atas
dan bawah dari batubara (Anggayana, K. dan Widayat, AH, 2006).
Sedangkan penyebaran natrium secara vertikal mengindikasikan tidak adanya
pengaruh dari lapisan pengapit batubara terhadap pengkayaan kandungan natrium,
dimana lebih ditentukan oleh keadaan awal pembentukan gambut dan lebih
merupakan mineral singenetik yang proses selanjutnya dapat dikontrol oleh
struktur geologi dan pengaruh air laut yang tidak stabil.
Tesis
93
y = -0.1387x + 1.3911R2 = 0.1057
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00
Na (%)
S-O
rgan
ik (
%)
Gambar V.20. Grafik hubungan antara kandungan Na dan belerang organik pada batubara Lati-Berau
Gambar V.20 memperlihatkan hubungan antara unsur Na dengan belerang
organik untuk mengetahui hubungan antara kemungkinan asal natrium dari
organik. Namun hasil korelasi tidak dapat memperlihatkan adanya korelasi antara
kedua unsur tersebut. Dengan kata lain kemungkinan bentuk Na yang ada tidak
terlalu dipengaruhi oleh natrium organik.
Demikian pula hasil analisis komposisi abu lapisan pengotor (parting) yang
mempunyai kandungan Na2O hanya 0,34 % pada parting yang terdapat pada
Seam Q dan 0,38 % pada parting yang terdapat pada Seam R. Masing-masing
parting berupa lempung karbonan. Natrium sekunder pada umumnya terbentuk
sebagai urat – urat tipis pengisi rekahan atau berasosiasi dengan parting.
Sedangkan pada lapisan bawah (underburden) Seam R berupa batulanau hasil
analisis kandungan Na2O hanya 0,44 %.
Secara regional penyebaran natrium dalam batubara dipengaruhi oleh kondisi
geologi yang dikontrol oleh struktur geologi yang berkembang. Struktur geologi
yang berkembang di daerah Lati dan sekitarnya adalah struktur geologi yang
berarah relatif baratlaut-tenggara yaitu Sesar Naik, Sinklin Lati dan Antiklin Lati.
Tesis
94
Pola struktur geologi daerah Lati yang cukup berkembang ditandai oleh bentuk
geometris lipatan.
Proses penurunan kadar kandungan natrium jenis primer akan sulit dilakukan
karena natrium tersebut menyatu dengan maseral pada batubara. Metode
penurunan yang disarankan adalah dengan steam-drying menggunakan otoklaf,
ion exchange menggunakan larutan kimia (dengan biaya yang mahal) atau metode
pencucian manual dengan variasi ukuran butir, temperatur dan waktu tinggal.
V.6. Rekomendasi Eksplorasi dan Penambangan
Dengan keterdapatan tendensi peningkatan kadar natrium pada arah cekungan
sinklin sehingga perlu diperhatikan kegiatan ekplorasi khususnya dalam hal
evaluasi perhitungan cadangan yang memperhatikan kualitas batubara. Evaluasi
ini secara langsung akan memberikan implikasi terhadap perencanaan
penambangan yang akan dilakukan untuk tetap dapat memberikan produk
batubara sesuai dengan spesifikasi kualitas yang diinginkan yang berkaitan
melalui proses pencampuran (blending) yang dilakukan di plant processing.
Hasil uji kualitas yang telah dilakukan memberikan kandungan Na2O yang
ekivalen dengan kandungan natrium dalam batubara Seam T yang relatif lebih
baik dibandingkan seam-seam lainnya, sehingga dapat dipergunakan untuk
keperluan blending (pencampuran) untuk menjaga spesifikasi produk yang sesuai.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih mengingat penyebaran Seam T
yang relatif lebih sedikit dibandingkan Seam R dan Seam Q. Selain itu juga
bahwa penyebaran batubara yang memiliki kandungan natrium yang relatif rendah
terdapat pada bagian-bagian singkapan (cropline) batubara sedangkan kegiatan
pertambangan lebih menyukai kemajuan tambang berawal dari arah singkapan
batubara ke arah down dip yang akan mengalami peningkatan kandungan natrium
sehingga diperlukan perencanaan (schedulling) tambang yang baik.