BAB IV
BRUNEI DARUSSALAM PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN OMAR ALI SAIFUDDIN 1950-1967
A. Letak Geografi
Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang sangat makmur di
bagian utara Pulau Borneo/ Kalimantan, tepatnya 443 Km disebelah utara garis
equator. Batas sebelah baratnya adalah Laut Cina Selatan. Batas-batas lain
semuanya adalah daerah Sarawak, salah satu dari negara bagian Malaysia. Brunei
memiliki dua bagian wilayah yang dikelilingi dan dipisahkan oleh daratan
Malaysia. Ibukota Brunei adalah Bandar Seri Begawan.
Brunei memiliki empat kota penting yaitu Belait, Brunei/Muara,
Temburong dan Tutong. Kota Brunei/Muara terkenal sebagai kota pelabuhan
memiliki luas 570 Km2. Belait memiliki luas 2727 Km2. Di wilayah Belait
terdapat tambang minyak dan gas serta terdapat Kampung Panaga yaitu kampung
halaman sejumlah ekspatriot. Tutong memiliki luas 1166 Km2. Temburong
memiliki luas 1306 Km2.
Saat ini Brunei dipimpin oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka
Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ibni Al-
Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien Sa’adul Khairi Waddien. Beliau
diangkat menjadi sultan ke-29 pada tahun 1967. Pada masanya, Brunei mencapai
kemedekaan pada tanggal 1 Januari 1984. Pada saat ini, Brunei telah menjadi
salah satu negara maju di kawasan Asia tenggara.
B. Sejarah Singkat Brunei
Kata ”Brunei” berasal dari kata “Barunah” (Brunei Yearbook, 2002: 58)
yaitu kata dalam bahasa Melayu klasik yang berarti tempat yang menakjubkan.
Menakjubkan karena cocok untuk tempat tinggal, aman, mudah diakses dan
sangat kaya dengan sumber daya alam. Barunah kemudian berubah menjadi
Barunai. Barunai dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata Varuna. Dalam
konteks Melayu mengacu pada negara para pelaut dan pedagang. Secara fonetik
terjadi peralihan dari Barunai menjadi Brunei.
Catatan orang Cina dan orang Arab menunjukkan bahwa kerajaan
perdagangan kuno ini ada di muara Sungai Brunei awal abad ke-7 atau ke-8.
Kerajaan ini menguasai daerah Sabah dan Sarawak. Raja Brunei pertama
dipanggil Sang Aji (bahasa Sansekerta) atau Yang Dipertuan. Kerajaan Brunei
pernah ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya pada awal abad ke-9. Namun,
kemudian berhasil direbut oleh Kerajaan Majapahit. Penguasaan Brunei oleh
Kerajaan Majapahit tidak berlangsung lama karena Kerajaan Brunei, dengan
bantuan Kerajaan Cina, berhasil membebaskan diri dan kembali menjadi negara
perdagangan penting.
Penyebaran Islam di Brunei sudah dimulai pada abad 9 Masehi oleh para
pedagang muslim yang menjadi komunitas berpengaruh. Pada tahun 1371 Awang
Alak Betatar, penguasa Kerajaan Brunei, masuk Islam dan mengubah namanya
menjadi Sultan Muhammad Shah dan menikah dengan Puteri penguasa Johor.
Sehingga, Brunei menjadi kerajaan Islam pada abad ini.
Diawal abad ke-15, Kerajaan Malaka dibawah pemerintahan Parameswara
mengambil alih kekuasaan atas perdagangan Brunei. Namun, Penguasaan Malaka
oleh Portugis tahun 1511, menyebabkan sultan dapat mengambil alih kembali
kekuasaan atas perdagangan Brunei. Dari awal abad ke-16 M sampai abad ke-17
M, Brunei sebagai kerajaan Islam mencapai puncak kejayaannya. Hal ini
dibuktikan dengan peranan Brunei yang sangat besar dalam penyebaran agama
Islam, pengaturan perdagangan dikawasan Semenanjung Melayu serta wilayah
kekuasaan Brunei yang pernah sampai Manila.
Gejala kemunduran Kerajaan Brunei mulai tampak pada pertengahan abad
ke-17 M. Dari dalam, muncul konflik internal memperebutkan warisan tahta
kerajaan. Dari luar, pengaruh Eropa masuk dan mendesak corak perdagangan
tradisional Brunei. Kedudukan Inggris melalui pedagang-pedagangnya semakin
kuat dengan dijadikannya James Brooke sebagai Gubernur dan pemimpin
Sarawak atau ”Rajah Sarawak”. Kemunduran Brunei semakin terlihat dengan
disepakatinya berbagai perjanjian antara Brunei dengan perusahaan-perusahaan
Inggris.
Pada tahun 1906, Brunei menjadi negara dibawah protektorat Inggris.
Kekuasaan eksekutif ditangan Residen Inggris yang bertugas menasehati sultan
dalam semua perkara kecuali berkaitan dengan adat istiadat dan agama. Sultan
dan Majlis Mesyuarat Negeri (selanjutnya disingkat MMN) berada dibawah
kekuasaan Residen. MMN terdiri dari sultan, dua orang Vizier (pembantu raja),
dua orang Cheteria (Ksatria), 3 orang menteri, Residen dan Asisten Residen.
Dewan ini bersidang sekali dalam setahun.
Dalam buku Haji Abdul Latif Haji Ibrahim dijelaskan motif pemerintahan
Inggris untuk tidak ikut campur dalam masalah adat istiadat Brunei. Pertama,
supaya pemerintahan Inggris tetap dapat mengawal dan memanipulasi keadaan
politik negeri Brunei. Kedua, secara tidak langsung, memberi kelonggaran waktu
untuk mewujudkan tradisi orang Inggris sendiri. Menurut penulis, adat istiadat
dan agama, khususnya yang berkaitan dengan ibadah ritual, adalah suatu hal yang
sensitif karena melekat dalam jiwa masyarakat setempat, namun kurang
mempengaruhi pertahanan politik negara. Sehingga, Inggris menghindari hal yang
sensitif untuk diubah secara cepat tapi dengan cerdas menguasai aspek pertahanan
politik negara. Disatu sisi, pemerintahan Inggris memang tidak ikut campur dalam
agama –urusan agama yang bersifat individual-, tapi menguasai dan menjadi
penentu kedudukan perundang-undangan Islam yang berlaku.
Terjadi berbagai perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan pada
masa Sistem Residen ini sampai tahun 1940. Dalam bidang keamanan, dibentuk
pasukan Polisi Brunei pada masa Sultan Muhammad Jamalul Alam II. Dalam
bidang pendidikan, didirikan Sekolah Melayu dan mulai tahun 1930 Brunei
mengirimkan 2-3 orang guru ke Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI). Dalam
bidang kesehatan, didirikan Rumah Sakit Bandar Brunei. Dalam bidang
transportasi, dibangun jalan raya dari Brunei ke Tutong pada tahun 1927. Dalam
bidang pertambangan, eksplorasi minyak di Seria.
Tahun 1941, kekuasaan atas Brunei diambil alih oleh Jepang. Langkah
pertama yang diambil pemerintahan Jepang adalah eksploitasi minyak di Seria.
Namun, eksploitasi ini hanya menguntungkan pihak Jepang sedangkan rakyat
Brunei banyak yang kelaparan. Untuk tetap mendapatkan dukungan dari para
pemuda Brunei, Jepang memberikan mereka kesempatan untuk belajar di luar
negeri. Para pemuda ditawari jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan jajahan.
Inggris kembali mengambil alih kekuasaan di Brunei dengan
menggunakan strategi “Lompatan Katak” 10 Juni 1945. Brunei berada dibawah
kekuasaan politik Pesuruhjaya Agung (wakil kerajaan) Inggris di Asia tenggara.,
Malcom McDonald. Terjadi perkembangan menarik pada masa ini yaitu mulai
tumbuhnya nasionalisme dikalangan rakyat Brunei. Sehingga, pernah berdiri
organisasi politik yaitu BARIP (Barisan Pemuda) tahun 1946 yang secara tegas
menyuarakan kemerdekaan untuk Brunei. Tumbuhnya rasa nasionalisme ini
disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, dipicu oleh pengenalan mereka terhadap isu-
isu sosial politik yang sedang dihadapi bangsa Melayu yang mereka dapat di
Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI). Kedua, rasa nasionalisme rakyat Brunei
dipengaruhi siaran Radio Republik Indonesia yang telah ada sejak Agustus 1945
dan siaran Radio Singapura. Berita-berita revolusi yang disiarkan RRI membuka
pemikiran tentang perpolitikan. Ketiga, pengaruh dari bahan-bahan bacaan yang
didapat dari Departemen Penerangan (Jabatan Penerangan Negeri) Singapura
(Semenanjung) dan Indonesia. Majalah-majalah seperti Kenchana, Hiburan,
Waktu dan Hikmat semakin menyuburkan nasionalisme rakyat Brunei.
Pada tahun 1948, Brunei menjadi dibawah kegubernuran Sarawak dan
menerima pegawai-pegawai penting dari Sarawak. Hal ini memberikan gambaran
kepada rakyat Brunei bahwa mereka dijadikan tanah jajahan yang diserahkan dari
Jepang kepada Inggris layaknya Sabah dan Sarawak. Menanggapi kabar bahwa
Sarawak akan diserahkan kepada pihak lain, Sultan Ahmad Tajuddin langsung
mengusulkan kepada pemerintahan Inggris supaya Sarawak diserahkan ke Brunei
saja. Namun, Sultan Ahmad Tajuddin wafat dengan meninggalkan cita-citanya
menyatukan Brunei dengan Sarawak dan Sabah. Kepemimpinan Sultan Ahmad
Tajudin digantikan Sultan Omar Ali Saifuddin III.
C. Dasar Kebijakan Pembaharuan Politik Dalam Negeri Masa Pemerintahan Haji Omar Ali Saifuddin III
Sultan Omar Ali Saifuddin III adalah putra kedua dari Sultan Muhammad
Jamalul Alam II ( 1906-1924) yang senang mempelajari berbagai ilmu. Pada
tahun 1932-1936 beliau belajar di Maktab Melayu, Kuala Kangsar, Perak. Beliau
belajar ilmu undang-undang dari Baba Liam Chong, seorang Cina dari Sambas
dan dari Pangeran Anak Sabtu bin Pangeran Bendahara Kamaludin, belajar ilmu
rancang bangun dari Pehin Udana Laila Inci Awang dari daerah Kampar yaitu
seorang insinyur pertama di Brunei dan belajar sedikit bidang pengobatan dari
Abdul Khan yang berasal dari Pulau Pinang. Selain itu, (Alm.) juga belajar ilmu
perdagangan dari Orang Kaya Tudin, Beliau Kahar (Jerudong), Datu Karna Hj.
Jaya, Datu Ratna, Orang Kaya Harimau dan lain-lain. Sultan Omar Ali Saifuddin
III juga menyukai kesenian. Beliau memiliki keahlian dalam melukis, membuat
syair dan penggemar tarian rakyat dan tradisional. Salah satu syair beliau adalah
syair Perlembagaan Negeri Brunei.
Tabiat senang mempelajari berbagai ilmu dan bertemu dengan para
pemimpin kampung membuat Sultan Omar Ali Saifuddin III terbuka wawasannya
terhadap perkembangan dunia dan perbandingannya dengan kondisi dalam negeri
Brunei. Bangsa-bangsa terjajah mulai lantang menyuarakan dan memperjuangkan
kemerdekaan. Sebagian diantaranya telah mendapat kemerdekaan yang dicita-
citakan. Maka, posisi Brunei pada saat itu adalah kerajaan yang urusan dalam dan
luar negeri masih berada ditangan pemerintahan kolonial Inggris. Sehingga, sultan
menyadari bahwa masalah utama masyarakat Brunei adalah kemerdekaan.
Jalan kemerdekaan yang harus ditempuh bukanlah jalannya sultan-sultan
sebelum Sultan Omar Ali Saifuddin III yang penuh dengan ketundukan kepada
pemerintahan kolonial, tapi jalan baru yang mampu menghantarkan Kesultanan
Brunei secara perlahan pada pintu modernisasi. Jalan baru itu adalah pembaharuan
terutama dalam bidang politik dalam negeri.
Almarhum Sultan Haji Omar Ali Saifuddien Sa’adul Khairi Waddien dikenal sebagai ’Akitek Modern Brunei’ karena menggunakan suasana kemunduran dan kemiskinan dalam berbagai pembangunan ekonomi dan politik Negara Brunei Darussalam sebagai landasan untuk memodernkan negara dan meningkatkan taraf hidup rakyat” (Haji Abdul Latif Haji Ibrahim, 2003: 179).
Adapun dasar pemikirannya yang menjadi pijakan pembaharuan politik
dalam negeri adalah sebagai berikut:
1. Menyelamatkan kekayaan sumber daya alam Brunei demi kesejahteraan
rakyat.
Sesungguhnya potensi sumber daya alam Brunei mampu menjadikan
Brunei sebagai negara makmur dan mandiri. Hal ini bisa dilihat dari hasil ekspor
tahun 1950 mencapai 30.000.000 Barrel. Selain itu, Brunei memiliki kandungan
batu bara yang banyak dan tersebar di empat wilayah Brunei. Ditambah hasil
hutan dan laut.
Keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam Brunei itu belumlah
dinikmati masyarakat Brunei secara merata. Keuntungan terbesar dinikmati oleh
perusahaan-perusahaan asing karena merekalah yang mengolah kekayaan Brunei.
Mereka yang memiliki tenaga ahli dan menguasai teknologi pengolahnya. Rakyat
Brunei hanya bisa menonton kekayaan mereka diangkut ke luar Brunei oleh
berbagai bangsa.
Penjajahan ekonomi atas Brunei haruslah dihentikan dengan menjadikan
negara Brunei sebagai negara merdeka. Ketika sudah merdeka, maka Brunei
memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan menguasai sumber daya alam
untuk kemakmuran rakyat. Legitimasi itu harus tercantum dalam konstitusi
negara, maka penyusunan konstitusi itulah yang menjadi salah satu kebijakan
pembaharuan utama yang harus diperjuangan sultan bersama rakyat.
2. Memberdayakan sumber daya manusia Brunei dalam mengelola negaranya.
Brunei telah memiliki aset sumber daya manusia yang telah memiliki
intelektual dan rasa nasionalisme yang tinggi. Bahkan, nasionalisme itu
diungkapkan dengan mendirikan sebuah organisasi massa untuk menyalurkan
faham nasionalisme yang sedang pesat berkembang pada waktu itu. Diantara
pemuda yang aktif mempelopori gerakan ini adalah mereka yang pernah belajar di
Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI) atau terkenal dengan Sultan Idris Training
College (SITC). Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI) ini dapat dikatakan selain
sebagai lembaga pendidikan bagi calon guru juga sebagai pusat kebangkitan
masyarakat Melayu. Di Maktab inilah para pelajar bangsa Melayu dan Kalimantan
Utara mulai mengenal isu-isu sosial politik yang sedang dihadapi bangsa Melayu.
Orang Brunei yang pernah belajar di Maktab Perguruan Sultan Idris
(MPSI) adalah Awang Marsal bin Maun dan Dato Paduka Awang basir bin
Awang Mohammad Taha, Awang Mohammad bin Haji Mangol, P.M. Yusuf,
Pengiran Ali binPengiran Haji Mohammad Daud, Awang Othman bin Bidin,
Awang Ali bin Awang Tamin, Awang Mohammad Jamil bin Awang Umar dan
Awang Mohammad Salleh bin Haji Awang Masri atau dikenal H. M. Salleh. Pada
akhir 1946, lulusan guru Maktab Perguruan Sultan Idris (MPSI) dan Persekutuan
Guru-Guru Melayu Brunei (PGGMB) mendirikan Barisan Pemuda (BARIP) yaitu
organisasi nasionalis pertama di Brunei untuk memberdayakan kaum intelektual
demi kemuliaan bangsa dan menyuarakan ide kemerdekaan. Dalam waktu singkat
Barisan Pemuda (BARIP) memiiki cabang di Labuan, Jesselton dan Sabah.
Diantara pemimpin Barisan Pemuda (BARIP) yang penting adalah H.M Salleh,
P.M. Yusuf, Awang Mohammad Jamil bin Awang Umar, Awang Abdullah bin
Awang Jaafar, Awang Zainal Abidin bin Putih, Pengiran Hidup bin Pengiran
Hashim, Jassin Affandi dan Awang Hidup bin Haji Awang Besar yang terkenal
dengan H.B. Hidup. Presiden Barisan Pemuda (BARIP) adalah Awang Abdulah
bin Awang Jaafar. Namun, beliau mengundurkan diri setelah lima bulan
mengetuai dan digantikan oleh H. M. Salleh.
Barisan Pemuda (BARIP) mendapatkan dukungan sultan Ahmad Tajuddin
Akhazul Khairi Waddin. Hal ini ditunjukkan dengan sultan menghadiri setahun
usia Barisan Pemuda (BARIP) tahun 1947. Dalam acara itupun hadir Pengiran
Muda Omar Ali Saifuddin III, Pengiran Pemancha Pengiran Anak Haji
Muhammad Yassin, serta residen Inggris W.J. Peel.
Berkembangnya media massa, dimanfaatkan oleh kaum nasionalis Barisan
Pemuda (BARIP) yaitu salah satunya H. M. Salleh dan P. M. Yusuf. Beliau
menyampaikan ide-ide nasionalisme mereka pada surat kabar ”Melayu Raya” dan
majalah mingguan ”Kenchana” dan ”Hiburan”. P.M. Yusuf pernah menulis
tentang sajak ”Merdeka” yang mengungkapkan kehebatan perasaan kaum elit
Brunei terhadap isu kermerdekaan. Berbagai tulisan opini dan kritikan tajam
terhadap penjajahan dari Awang Ibrahim bin Mohammad Said (Adi Kelana).
Semangat nasionalisme juga muncul dari kaum perempuan. Perempuan
Brunei sepakat membentuk Kesatuan Kaum Ibu Melayu Pelita Brunei (KKIMPB).
Dipimpin oleh seorang wanita keturunan Indonesia, Dayang Rodatan Nasrah
Udana Leila. Kesatuan Kaum Ibu Melayu Pelita Brunei (KKIMPB) lebih banyak
bergerak dalam bidang sosial terutama dalam budaya dan pendidikan. Sehingga,
tahun 1948 Kesatuan Kaum Ibu Melayu Pelita Brunei (KKIMPB) berhasil
mengirimkan guru perempuan Melayu pertama ke Maktab Perguruan Melayu
(perempuan) Durian Daun. Persatuan inipun melibatkan istri-istri pejabat yang
antara lain isteri pengiran Pemancha Pengiran Haji Muhammad Yassin, istrei
Pengiran Kerma Indera Pengiran Muhammad, Pengiran Intan, Dayang Miri,
Dayang Masnah binti Abdullah dan Dayang Asiah binti Awang Abdul Rahman.
3. Jiwa zaman memberikan peluang
Nasionalisme, kemerdekaan dan demokrasi adalah jiwa zaman pada saat
Sultan Omar Ali Saifuddin III berkuasa. Tiga jiwa zaman itu mendapat tempat
dihati masyarakat Brunei terutama para pemuda dan menjadi salah satu saran dan
janji pemerintahan kolonial terhadap Kesultanan Brunei. Kesinergisan tersebut
memantapkan Sultan Omar Ali Saifuddin III melakukan pembaharuan politik
dalam negeri.
D. Proses Pembaharuan Politik Dalam Negeri Kesultanan Brunei Darussalam Masa Pemerintahan Sultan Omar Ali Saifuddin III
Diawal menjabat sebagai Sultan Brunei Darussalam ke-28, Sultan Omar
Ali Saifuddin III, mempertanyakan makna kata-kata “nasihat [Resident British]…
mesti diikut dan dijalankan” yang tercantum dalam perjanjian tahun 1906 kepada
pihak pemerintahan Inggris. Kesimpulan Sultan dari diskusinya dengan Residen
Inggris adalah bahwa Sultan Omar Ali Saifuddin III akan senantiasa menjadikan
kepentingan negara dan rakyat Brunei sebagai patokan dalam menafsirkan
perjanjian 1906. Menurut penulis, langkah Sultan Omar Ali Saifuddin III tersebut
adalah untuk memahami kembali posisi kerajaan Brunei dan sultan dalam
Perjanjian 1906.
Pada awal 1953, Sultan Omar Ali Saifuddin III mengusulkan pembuatan
Perlembagaan Bertulis (konstitusi) kepada Kerajaan Inggris. Adapun dasar
pemikiran pembuatan konstitusi Brunei adalah akan menjadikannya sebagai asas
dalam pembentukan Kerajaan Brunei. Selain itu, sebagai jembatan dalam
mencapai kemerdekaan Brunei.
Sultan Omar Ali Saifuddin III memantapkan langkah pembuatan konstitusi
tersebut dengan melakukan diskusi dengan Sir Anthony Abell. Sir Anthony Abell
menyambut usulan Sultan Omar Ali Saifuddin III. Hal ini terlihat dari
ungkapannya, ’...that their young sultan is a wise and progressive ruler who is
prepared to give them a lead in their constitution and practical
developments...’(C.O. 1022/396, Sir Anthony Abell to the Secretary of State for
the Colonies, No. 54, 13 May 1953, h.3 [Pusat Sejarah, PS/ A/ BR/ 26/ 91] dikutip
oleh Haji Awang Mohammad Jamil Al-Sufri, 1992: 66). Maka, sultan segera
membentuk badan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam
penyusunan konstitusi yaitu Jawatankuasa Menyiasat Perlembagaan (JKMP)
yang terdiri dari anggota MMN dan tim yang diketuai oleh Pengiran Maharaja
Lela Pengiran Muda Abdul Kahar bin Pengiran Bendahara Anak Mohammad
Yasin. Anggota badan tersebut adalah Pengiran Haji Muhammad Salleh bin
Pengiran Anak Mohammad (Kadhi Besar Brunei), Pehin Orang Kaya Digadong
Haji Awang Muhammad Yusuf bin Pehin Jawatan Dalam Haji Awang Husain,
Pehin Orangkaya Shahbandar Haji Awang Ahmad bin Muhammad Daud,
Pengiran Muhammad Yusuf bin Pengiran Haji Abdul Rahim (Pengusaha) dan
Awang Haji Abu Bakar bin Awang Jambal. Fungsi jabatan ini adalah meninjau
dan mengumpulkan pendapat rakyat mengenai struktur pemerintahan negeri
Brunei Darussalam. Hal ini dilakukan atas pertimbangan sultan terhadap aspirasi
sebagian kecil rakyat Brunei yang ingin ikut bertanggungjawab dalam struktur
pemerintahan negeri secara berangsur-angsur.
Ketika Jawatankuasa Menyiasat Perlembagaan (JKMP) memasuki
daerah-daerah Brunei, mereka bersama rakyat, ketua-ketua kampung dan
Penghulu, memilih calon anggota (MMPD) yang akan dibentuk oleh sultan.
Tugas Majlis Mesyuarat Penasehat Daerah (MMPD) adalah memberi nasehat
pada kerajaan mengenai permasalahan daerah masing-masing dan sarana
penyaluran pendapat mengenai pelayanan kebutuhan umum. Majelis ini pun
sebagai badan penerangan mengenai hal-hal yang sedang diperbincangkan oleh
kerajaan. Secara tidak langsung majelis ini sebagai sarana latihan bagi rakyat
Brunei agar suatu saat dapat berpartisipasi dalam pemerintahan ketika
kemerdekaan telah tercapai.
Pada akhir tahun 1953, Jawatankuasa Menyiasat Perlembagaan (JKMP)
telah menyelesaikan tugasnya. Belum puas, sultan mengirimkan delegasi dari
Jawatankuasa Menyiasat Perlembagaan (JKMP) untuk melakukan studi banding
konstitusi dengan negeri-negeri di Semenanjung Tanah Melayu. Setelah hasil
studi banding dilaporkan, maka Jawatankuasa Menyiasat Perlembagaan (JKMP)
berubah menjadi Jawatankuasa Penasihat Perlembagaan (JKPP).
Dalam urusan tradisi dan agama, Sultan Omar Ali Saifuddin III
membentuk Majlis Mesyuarat Syari’ah dan sultan sendiri sebagai ketuanya.
Dengan inisiatif Sultan Omar Ali Saifuddin III dan Majlis Mesyuarat Syari’ah,
Jabatan Hal-Ihwal Agama telah dibentuk pada tahun 1954 dan Majlis Agama
Islam pada tahun 1955. Selain itu, Majlis Mesyuarat Syari’ah telah meloloskan
satu undang-undang yang dinamakan Undang-undang Majlis Agama dan
Mahkamah-Mahkamah Kadi, yang mulai dijalankan pada 1 Februari 1956.
Undang-undang pengaturan agama Islam dan adat istiadat Melayu Kelantan
dijadikan asas bagi undang-undang ini dan disesuaikan dengan keadaan Brunei.
Tahun 1954, Sultan Omar Ali Saifuddin III mengumumkan pembentukan
Majlis Mesyuarat Penasehat Daerah (MMPD), yaitu, Majlis Mesyuarat
Penasehat Daerah (MMPD) Brunei/Muara, Temburong, Tutong dan Kuala
Belait/ Seria. Anggota Majlis Mesyuarat Penasehat Daerah (MMPD) ini adalah
pegawai kerajaan dan ditunjuk sultan. Kemudian, mereka akan memilih wakil
diantara mereka dari tiap daerah untuk menjadi pemerhati dalam MMN. Daerah
Temburong dan Tutong masing-masing memilih satu orang wakil, Kuala Belait/
Seria dua orang wakil, sedangkan Brunei/Muara memilih tiga orang wakil.
Adapun salah satu keberhasilan Majlis Mesyuarat Penasehat Daerah
(MMPD) adalah MMN telah menyetujui Enakmen Kerajaan Tempatan (Peraturan
Kerajaan Lokal) tahun 1956. Berdasarkan peraturan tersebut, kerajaan harus
membentuk Majlis Bandaran dan Majlis Tempatan. Kedua majelis tersebut
memiliki kewenangan dalam bidang keuangan dan pemerintahan lokal. Ketua
Majlis Bandaran adalah Asisten Residen dan Ketua Majlis Tempatan adalah
pegawai-pegawai daerah masing-masing. Namun, selanjutnya fungsi teknis
majelis ini dibekukan.
Sebenarnya pembentukan Majlis Tempatan adalah usulan dari Gubernur
Sarawak yang masa itu menjadi British High Commissioner. Usulannya
diungkapkan dalam laporannya kepada Sekretaris Negara untuk daerah jajahan
(Secretary of State for the Colonies) sebagai berikut:
...Local government bodies provide the best training ground for representatives of the people and it is an important part of the proposals for a new constitution that half the members of the Legislative Council, who will constitute the main body of ’unofficial member’, shall be drawn from members at Local Authorities. At present local government in Brunei is carried on under the Sanitary Boards Enacment of 1920...(C. O. 1030/113, R eport High Commissioner for Brunei to Secretary of State for the Colonies, No. 47, 23 March 1955, h. 4 dikutip oleh Mohammad Jamil Al-Sufri 1992: 67).
Undang-undang itu disahkan pada 9 Februari 1956, namun, tidak dijalankan oleh
sultan. Hal itu karena Sultan Omar Ali Saifuddin III tidak setuju dengan pihak
Inggris yang menghendaki wakil-wakil dalam Majlis Tempatan itu dipilih dari
warga yang dilindungi oleh Inggris.
Baginda merasa heran dengan banyaknya pegawai-pegawai asing yang
menempati institusi-institusi pemerintahan. Sedangkan, idealnya diisi oleh orang
Brunei sendiri. Pada saat itu, masih banyak insitusi-institusi yang kosong yang
layaknya diisi oleh rakyat Brunei. Sehingga, demi masa depan pemerintahan
Brunei yang mandiri, sultan membentuk Lembaga Perjawatan (Lembaga
Ketenagakerjaan) yang bertujuan mengatur pemakaian pegawai-pegawai luar
yang memohon pekerjaan melalui sistem kontrak. Selain itu, sultan juga meminta
Jawatankuasa Dermasiswa (Badan Penyedia Beasiswa) untuk menyusun program
pengiriman pelajar-pelajar Brunei ke luar negeri untuk mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan yang diperlukan yang sesuai dengan kebutuhan pemerintahan dalam
negeri. Sultan berharap merekalah nanti yang akan mengisi posisi-posisi dalam
struktur pemerintahan.
Pada Maret 1957, sultan menyetujui pengubahan susunan pemerintahan
dalam negeri dengan menambah jumlah anggota tidak resmi MMN sebanyak 10
orang. Anggota tidak resmi dipilih oleh Majelis Daerah yang akan dibentuk.
Sehingga, Brunei akan memiliki lima buah Majlis Perbandaran dan Daerah
sebagai berikut:
1. Majlis Bandaran Brunei: 12 orang dilantik sultan.
2. Majelis Daerah Brunei/ Muara: 32 orang, 16 orang dipilih rakyat.
3. Majelis Daerah Tutong: 6 anggota resmi dipilih rakyat.
4. Majelis Daerah Temburong: 9 anggota tidak resmi dipilih rakyat.
5. Majelis Daerah Kuala Belait/ Seria: 20 anggota, 10 dipilih rakyat.
Masing-masing Majlis Bandaran dan Daerah diatas harus memilih wakil
untuk duduk sebagai anggota tidak resmi MMN. Ketentuannya, Majlis Bandaran
Brunei memilih 2 wakil untuk menjadi anggota tidak resmi MMN, Majelis Daerah
Brunei/ Muara 2 wakil, Tutong 1 wakil, Temburong 1 wakil dan Majelis Kuala
Belait 4 wakil. Sehingga, anggota MMN bertambah jumlahnya dari 13 orang
menjadi 23 orang. Melalui sistem seperti ini Majelis Daerah memiliki peluang dan
tanggung jawab yang besar dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam hal penyusunan dan pengubahan susunan Majelis Daerah dan
MMN, Partai Rakyat Brunei (selanjutnya disingkat PRB) menolak keras sistem
pemilihan bertingkat dalam Majelis Mensyuarat Negeri. Menurut PRB pemilihan
harus dilakukan secara langsung dan rahasia. Bahkan, PRB mengusulkan untuk
membentuk Suruhanjaya Bebas (Badan Independen) yang anggotanya terdiri dari
50% dari PRB, 50% dari pihak kerajaan. Dari titik inilah perselisihan pendapat
antara sultan dan PRB bermula.
Pada bulan April 1957, kerajaan telah mengubah susunan keanggotaan
MMN yaitu empat orang anggota ex-officio, lima orang anggota resmi dan
sembilan orang anggota unofficials (tidak resmi). Anggota ex-officio adalah Duli
Pengiran Bendahara, Duli Pengiran Pemancha, Residen British dan Pegawai
Keuangan Negeri. Anggota resmi yaitu, Pehin Datu Perdana Menteri, Pengiran
Mohammad Yusuf (Pegawai Penerangan), Kadhi Besar, Penasehat Undang-
undang dan Pehin Orang Kaya Syahbandar Haji Awang Ahmad bin Mohammad
Daud. Anggota tidak resmi adalah R.E. Hales (Wakil Syarikat Minyak Shell),
George Newn Ah Foot (Wakil kaum Cina), Pehin Orang Kaya Laksamana Haji
Awang Mohammad Taha bin Pehin Orangkaya Ratna Diraja Haji Awang Husain,
Pehin Jawatan Dalam Haji Awang Mohammad Noor bin Pehin Orangkaya
Laksamana Haji Awang Abdul Razak, Pengiran Ali bin Pengiran Mohammad
Daud, Awang Marsal bin Maun (Pengelola Pelajaran Melayu), Pengiran Ahmad
bin Pengiran Luba (Pegawai Daerah Tutong), Pengiran Abu Bakar Ibni (Alm.)
Pengiran Pemancha Pengiran Anak Muhammad Salleh (Pegawai Daerah
Temburong) dan Pengiran Abu Bakar bin Pengiran Omar Ali (Pegawai Daerah
Kuala Belait).
Ada hal menarik dalam anggota Majlis Mesyuarat Negeri khususnya
anggota resmi yaitu Pehin Orangkaya Shahbandar Awang Haji Ahmad bin
Mohammad Daud. Beliau adalah ayah dari Haji Zaini Haji Ahmad seorang ketua
Departemen Organisasi dalam PRB. Pehin Jawatan Dalam Haji Awang
Muhammad Noor bin Pehin Orangkaya Laksamana Haji Awang Mohammad
Razak. Beliau adalah kakak dari Hafidz Laksamana, Bendahara PRB. Dari kasus
ini banyak pihak menyangka sebagai langkah politik sultan menjegal aktivis-
aktivis PRB melalui keluarganya. Namun, dibantah oleh Haji Zaini Haji Ahmad
sendiri yaitu, sultan menunjuk mereka karena tenaga dan pikiran mereka sangat
diperlukan pihak kerajaan dalam posisi tersebut.
Perundingan penyusunan Konstitusi atau Perlembagaan Bertulis Negeri
Brunei (PBNB) 1959 antara pemerintahan Brunei dengan pemerintahan Inggris
berlangsung di London mulai 30 September 1957. Dalam perundingan tersebut
didiskusikan perihal Melayu Islam Beraja (MIB) sebagai dasar negara Brunei.
Sultan Omar Ali Saifuddin III juga menuntut pelantikan Menteri Besar (Perdana
Menteri) sebagai pengganti Residen Inggris dan diumumkan setelah 6 bulan masa
pelaksanaan Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei (PBNB) 1959 sebagai simbol
kemerdekaan. Adapun isu lain yang diangkat dalam perundingan tersebut adalah
isu kerakyatan, isu kewarganegaraan Brunei, syarat pemilih dalam pemilu untuk
anggota Majelis Daerah.
Seiring dengan perundingan rancangan konstitusi tersebut, PRB
mengajukan memorandum konstitusional kepada Residen Inggris di Brunei. PRB
pun telah bertemu dengan pejabat pemerintahan kolonial untuk menyampaikan
tuntutan PRB yaitu pemilu, sistem pemerintahan berkabinet dan penyatuan Sabah,
Sarawak dan Brunei dalam negara Federasi Kalimantan Utara. Namun,
memorandum konstitusional yang diajukan ditolak dengan alasan bahwa
seharusnya PRB membicarakan pengajuan memorandum konstitusional tersebut
dengan Sultan Omar Ali Saifuddin III terlebih dulu.
Ketika memorandum konstitusional ditolak, PRB terpaksa mengajukan
satu petisi. Petisi itu mengandung penolakan PRB terhadap bab-bab dalam
rancangan konstitusi pemerintah Kerajaan Brunei yang dinilai tidak demokratik.
Diantara bab yang dianggap PRB tidak demokratik adalah hak sultan melantik
dan memecat semua anggota Majlis Mesyuarat Kerajaan, sesuai dengan
kehendak sultan. Selain itu, PRB menolak kalimat dalam konstitusi “…and agrees
to accept the advice of the High Commissioner,” karena dianggap sangat
membatasi partisipasi politik rakyat. Ketikapun rakyat diberi hak memilih, itupun
dalam pemilihan umum tingkat daerah saja.
Dalam perundingan konsitusi tersebut, terdapat pula perbedaan pendapat
antara Sir Anthony Abell dengan Mr. D. C. White mengenai keberlanjutan
penguasaan Inggris atas Brunei setelah Brunei merdeka. Perselisihan itu diakui
oleh pegawai tinggi Inggris di White Hall, London:
…Sir Anthony Abell dan Mr. White berbeda pendapat mengenai perlindungan bagi keselamatan dalam negeri, Sir Anthony Abell berpegang kepada pandangan lama iatu kita mesti mendapat kesemuanya atau tidak langsung. Dia tetap berpegangkuat mengekalkan penguasaan bukan sahaja bagi penempatan pegawai-pegawai ketua polis. Hal ini jika dingati adalah langkah yang terpaksa kami ikuti di Malta, walaupun keadaannya tidak sama. Sebaliknya, Mr. White meragui jika pendirian yang begitu keterlaluan adalah bijak.” (C. O. 1030/ 466, E. Melville’s Minute to the Secretary of State, 1959 dikutip oleh Jamil Al-Sufri, 1992: 77)
Perundingan penyusunan Konstitusi atau Perlembagaan Bertulis Negeri
Brunei (PBNB) 1959 kembali dilanjutkan pada 14 Maret 1959. Kali ini sultan
Omar Ali Saifuddin III didampingi oleh Pengiran Pemancha Pengiran Anak Haji
Mohammad Alam bin Pengiran Bendahara Pengiran Anak Abdul Rahman untuk
berunding dengan Sekretaris Negara Jajahan. Dalam Perundingan ini rombongan
Brunei dibagi menjadi dua komite yaitu Working Committee dan Preliminary
Committee. Anggota Working Commitee terdiri dari semua anggota rombongan
kecuali Sultan Omar Ali Saifuddin III. Tugas Working Committee adalah
membahas dan membuat kesimpulan mengenai usulan yang akan dijadikan isi
dari perlembagaan yang dikemukakan kepada Preliminary Committee, tidak boleh
membuat keputusan final. Anggota Preliminary Committee terdiri dari Sultan
Omar Ali Saifuddin III, Pengiran Pemancha Pengiran Anak Haji Mohammad
Alam, Pehin Datu Perdana Manteri Awang Haji Ibrahim, Mr. Neil Lawson Q. C,
Dato Panglima Bukit Gantang dan semua anggota rombongan. Pihak Kerajaan
Inggris terdiri dari anggota-anggota yang ditentukannya. Tugas Preliminary
Committee ini menentukan keputusan yang disetujui oleh kedua belah pihak dan
point keputusan itu adalah final.
Proses perundingan Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei (PBNB) 1959
ini teratur dengan dibentuk dan difungsikannya dua komite tersebut. Musyawarah
Working Committee diadakan pada pagi hari sedangkan Preliminary Committee di
sore hari. Setelah Working Committee memutuskan perkara dipagi hari, maka
hasil keputusan diserahkan kepada Preliminary Committee. Untuk melancarkan
proses perundingan, empat orang pelajar dari Persekutuan Tanah Melayu yang
sedang menuntut ilmu di London dilantik menjadi penerjemah kertas perundingan
yang telah diputuskan oleh kedua belah pihak.
Dalam perundingan PBNB kali ini, dihasilkan beberapa kesepakatan,
diantaranya:
1. Brunei mempunyai Kerajaan sendiri dan berkuasa dalam negeri sedangkan
nasehat Inggris harus harus diikuti.
2. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi negara.
3. Agama Islam menjadi agama resmi negara.
4. Pertahanan dalam negeri dikuasai oleh Brunei dan luar negeri dikuasai oleh
Inggris.
5. Urusan luar negeri dikuasai Inggris.
6. Satu Majlis Mesyuarat Negeri (MMN) dibentuk dengan tugas membuat
undang-undang.
7. Membentuk Majlis Mesyuarat Kerajaan (MMK) untuk menasehati sultan,
tetapi sultan tidak harus tunduk pada nasehat majelis itu.
8. Membentuk Majlis Mesyuarat Diraja (MMD) yang bertugas memberi nasehat
kepada sultan terhadap hak pengampunan, melantik orang-orang yang naik
pangkat, penganugerahan gelar, kehormatan-kehormatan dan kebesaran adat
istiadat Melayu.
9. Pejabat utama yang disebut dalam konstitusi itu ialah Menteri Besar (Perdana
Menteri). Menteri Besar bertanggungjawab kepada sultan untuk menjalankan
kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan dalam negeri ini. Menteri Besar
dibantu oleh Sekretaris Kerajaan yang menjalankan tugas-tugas urusan
pemerintah.
10. Undang-undang Kewarganegaraan. Alan Lenox Boyd dalam suatu
perundingan mengusulkan perihal kewarganegaraan. Sultan setuju dengan hal
tersebut dan bersedia untuk menyusun Undang-undang Taraf Kerakyatan
(Undang-undang Kewarganegaraan) dengan syarat mereka yang dinyatakan
menjadi rakyat Brunei harus memberikan ketaatan sepenuhnya untuk Brunei
dan sanggup melepaskan kewarganegaraan asal mereka. Kedua belah pihak
memutuskan usulan tersebut dengan kata sepakat. Neil Lawson Q. C dan Dato
Panglima Bukit Gantang ditugaskan menyusun undang-undang tersebut untuk
dibawa ke persidangan yang telah ditentukan. Keputusan tersebut adalah:
a. Bagi orang yang bukan rakyat Brunei asli yang hendak menjadi rakyat,
disyaratkan harus tinggal di Brunei selama dua puluh lima tahun hingga tiga
puluh tahun dan tidak kurang daripada dua puluh lima tahun berada dalam
Negeri Brunei.
b. Bagi rakyat Brunei asli disyaratkan jika ayahnya dan dirinya dilahirkan
di Brunei, maka dengan sendirinya akan menjadi rakyat Brunei asli.
11. Tentara Inggris berlatih di Brunei. Usulan Alan Lenox Boyd mengenai
pengiriman tentara Inggris berlatih di Brunei pada awalnya tidak disetujui,
tapi setelah mendapat penjelasan dari Alan Lenox Boyd bahwa pengiriman
tentara tersebut untuk menjaga keselamatan Brunei, maka Sultan Omar Ali
Saifuddin III menyetujuinya, itupun jika Brunei dalam keadaan kacau dan
Brunei meminta bantuan tentara Inggris dengan bayaran dari Brunei.
12. Pasukanan Keamanan. Alan Lenox Boyd juga mengusulkan supaya pasukan
keamanan dibentuk di Brunei dengan anggota terdiri dari orang-orang yang
ditentukan oleh Inggris dan sultan. Sultan Omar Ali Saifuddin III menjadi
ketuanya. Hal ini disetujui kedua belah pihak.
13. Memberikan kedudukan istimewa kepada agama Islam. Perlembagaan ini
menyatakan sebagai berikut:
The religion of Brunei Darussalam shall be the Muslim Religion according to the Shafei Sect of the religion: Provided that all other religion may be practiced in peace and harmony by the person professing them in any part of Brunei Darussalam. The Head of the religion of Brunei Darussalam shall be His Majesty the Sultan and Yang Dipertuan.
Pulang dari London, rombongan sultan pergi ke Paris untuk istirahat.
Selama masa rehat, sultan menanyakan pendapat rombongan mengenai orang
yang layak menjadi Menteri Besar Brunei. Sultan mendapat suatu kesepakatan
bahwa yang layak menjadi Menteri Besar Brunei adalah Yang Berhormat Pehin
Datu Perdana Menteri Awang Haji Ibrahim. Sehingga, sebelum pulang kembali
ke London, sultan melantik terlebih dulu Yang Berhormat Pehin Datu Perdana
Menteri Awang Haji Ibrahim menjadi Menteri Besar. 9 April 1959 rombongan
sultan yang tiba di Brunei disambut secara besar-besaran.
9 April 1959 rombongan sultan yang tiba di Brunei disambut secara besar-
besaran walaupun PRB berencana untuk memboikot penyambutan. Menurut
Intelligence Report ‘Seruan PRB untuk memboikot penyambutan keberangkatan
balik baginda Sultan sama sekali tidak berhasil, diantara orang ramai yang berada
di Padang Besar pada 9 April 1959 termasuk beberapa orang anggota PRB’
(British State Intelligence Report, 1959 dikutip oleh Al-Sufri, 1992: 82). Adapun
latar belakang pemboikotan tersebut disinggung oleh Akhbar Malaysia yang
mencatat:
…Waktu-waktu yang kebelakangan ini beberapa kesulitan dan ketegangan-ketegangan sesama sendiri baik secara langsung atau tidak langsung telah timbul kerana soal perlembagaan di negeri ini, pihak Kerajaan (telah) mengubah satu perlembagaan baru yang bertulis untuk dijelmakan di negeri ini dan mengharapkan semua rakyat menerimanya… Partai Rakyat Brunei…bersikap membantah (kerana)..perlembagaan baru kerajaan itu seratus persin berbau penjajah…diperdebatkan sesama sendiri hal-hal seperti itu jika berlanjutan hasilnya akan merugikan semata-mata, pucuk pimpinan Partai Rakyat Brunei patut menunjukkan sifat “Sporting Spirit” dalam menghadapi masalah-masalah politik yang akan memberikan kebahagiaan rakyat, kemakmuran dan perkembangan-perkembangan di negeri ini… Berdasarkan pengalaman dan petunjuk-petunjuk yang lalu, kita merasa khawatir perpecahan sesama sendiri –akan mendalam di negeri ini, akhirnya seperti kata pepatah: Arang habis besi binasa- yang menang ialah penjajah…(Budaya Press, 1958: 4 dikutip oleh Al-Sufri, 1992: 82).
Untuk menyempurnakan konstitusi tersebut, Perdana Menteri Awang Haji
Ibrahim telah diperintahkan untuk meminjam seorang anggota dari Kerajaan
Persekutuan Tanah Melayu. Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu telah mengirim
Sufian bin Haji Hashim bersama dengan Mr. James Mitchell. Tugas mereka
diantaranya adalah membagi-bagi kekuasaan Residen Inggris kepada Menteri
Besar, Setiausaha Kerajaan (Sekretaris Kerajaan) dan Pegawai Keuangan Negara,
membuat Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-undang Kerakyatan dan
tugas-tugas khusus bagi ketua jabatan (menteri) pelajaran, pos, pertanian,
kebajikan (kesejahteraan) masyarakat dan kesehatan.
23 April 1959, Sultan Omar Ali Saifuddin III berangkat ke Kuala Lumpur
merundingkan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan oleh Konstitusi atau
Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei (PBNB) 1959. Selama tinggal di sana,
Sultan Omar Ali Saifuddin III berunding dengan Timbalan Perdana Menteri
(Wakil Perdana Menteri) Persekutuan Tanah Melayu, Datuk Abdul Razak bin
Husain mengenai bantuan pinjaman pegawai-pegawai penting untuk menempati
jabatan Setiausaha Kerajaan (Sekretaris Kerajaan), Peguam Negara (Jurubicara
Negara), Pegawai Perhutanan (Menteri Perhutanan), Pegawai Tanah Negara
(Menteri Pertanahan), Jurukur Negara, Pegawai Kesehatan Negara (Menteri
Kesehatan Negara), Pegawai Perjawatan (Menteri Ketenagakerjaan) dan Pegawai
Pelajaran Negara (Menteri Pendidikan Negara). Permohonan Sultan Omar Ali
Saifuddin III dipenuhi, kecuali orang untuk menduduki Setiausaha Kerajaan
(Sekretaris Kerajaan). Sehingga Sultan Omar Ali Saifuddin III harus berunding
pula dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, Tengku Abdul Rahman
Putera Al-Haj dan beliau setuju meminjamkan Wan Ahmad bin Wan Omar,
Setiausaha (Sekretaris) yang berasal dari Kedah menjadi Setiausaha (Sekretaris)
Kerajaan Brunei.
29 September 1959 Sultan Omar Ali Saifuddin III menandatangani
Perjanjian Perlembagaan (PP) 1959 dalam satu upacara adat. Penandatanganan
Perjanjian Perlembagaan (PP) 1959 ini diadakan di Lapau Bandar Brunei antara
Kerajaan Brunei dengan Kerajaan Inggris yang diwakili oleh Sir Robert Scoot,
anggota Komisi Umum Inggris bagi Asia Tenggara. Selesai menandatangi
Perjanjian Perlembagaan (PP) 1959 Sultan Omar Ali Saifuddin III
mengumumkan peresmian Konstitusi atau Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei
(PBNB) 1959 tersebut. Sultan Omar Ali Saifuddin III berpidato diantaranya:
… Perjanjian yang baharu sahaja ditandatangani oleh Tuan Yang Terutama Sir Robert Scott sebagai wakil Seri Baginda Queen dan Beta sendiri adalah perjanjian yang menamatkan satu zaman pemerintahan terus oleh Kerajaan British di dalam Negeri Brunei Ini. Perjanjian yang baru
sahaja ditandatangani ini adalah satu keterangan yang nyata bahawa dasar-dasar yang dipegang oleh Kerajaan Seri Baginda Queen hendak menggalakan dan membesarkan kemajuan Perlembagaan dalam tiap-tiap satu jajahan yang termasuk dalam kawalan dan naungan diri Baginda Queen (Dewan Bahasa & Pustaka, 1971: 43-44 dikutip oleh Al-Sufri, 1992: 84)
Setelah pengumuman peresmian Konstitusi 1959, Yang Berhormat Pehin
Datu Perdana Menteri Awang Haji Ibrahim dilantik menjadi Menteri Besar Brunei
dan Wan Ahmad bin Wan Oman Omar menjadi Setiausaha Kerajaan (Sekretaris
Kerajaan). Karena Sultan Omar Ali Saifuddin III memandang jabatan Setiausaha
Kerajaan merupakan jabatan penting dan perlu diduduki oleh rakyat Brunei maka
Sultan Omar Ali Saifuddin III telah mengangkat Awang Marsal bin Maun sebagai
Timbalan Setiausaha (Wakil Sekretaris) Kerajaan.
Berdasarkan ketetapan Undang-undang PBNB 1959, Bab IV pasal 5 (1)
(2), Bab V Pasal 10, 11 (1), 12 (1) dan Bab VI, Pasal 23, 24, 25, dan 26, pada 10
September 1959, Sultan Omar Ali Saifuddin III telah melantik anggota Majlis
Mesyuarat Diraja, Majlis Mesyuarat Kerajaan, Majlis Mesyuarat Negeri.
Pembukaan resmi persidangan Majlis Mesyuarat Negeri pertama diadakan 21
Oktober 1959, Sultan Omar Ali Saifuddin III berpidato diantaranya:
…Pada saat yang bersejarah ini, Beta, bersyukur kehadrat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, kerana dengan izin-Nya tuan-tuan semua telah berkumpul pada hari ini untuk mengadakan mesyuarat Majlis Mesyuarat Negeri yang pertama dibawah Perlembagaan baru. Dan Beta tersangat berhutang budi kepada sekalian ahli-ahli yang tidak rasmi sama ada diangkat atau dipilih, yang telah bersetuju untuk berkhidmat di Majlis Mesyuarat ini. Dan Beta yakin bahawa tuan-tuan semua akan menjalankan kewajipan-kewajipan tuan-tuan yang berat ini dengan keadaan yang sebenar dan sesuai menurut semangat dan perkataan perlembagaan…(Dewan Bahasa & Pustaka, 1971: 53 dikutip oleh Al-Sufri, 1992: 85)
Setelah peresmian Majlis Mensyuarat Negeri, semua permasalahan
pemerintahan dan rakyat Kerajaan Brunei dibicarakankan dan diputuskan dalam
MMN untuk kepentingan rakyat dan negara bukan kepentingan tertentu.
Ketetapan yang disyahkan dalam MMN pada 22 Desember 1960 antara lain:
1. MMN menyetujui supaya Kerajaan Brunei menetapkan pada 29 September
1965 sebagai tahun Kemerdekaan Negeri Brunei dan melakukan persiapan.
2. MMN ini menyetujui supaya Kerajaan Brunei mempersiapkan pengadaan
cadangan gas dari Seria ke Bandar Brunei untuk mengatasi segala
kemungkinan.
3. MMN ini mensyahkan satu badan bebas (independen) yang
bertanggungjawab kepada kerajaan untuk memeriksa hal-hal yang
berhubungan dengan perkembangan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi
seperti yang dikehendaki dalam konstitusi.
4. MMN mensyahkan supaya tempat pengolahan minyak dari Seria yang ada di
Lutong, harus dipindahkan ke dalam kawasan Negeri Brunei.
Meskipun Konstitusi 1959 telah disyahkan dan mulai dijalankan, PRB
tetap melancarkan penolakan-penolakannya. Diantara penolakannya yaitu Bab 12
(1) yang dalam bahasa Melayu ‘bahawa setiap ahli selain daripada Pemangku
Raja atau Ahli kerana Jawatan (ex-officio) hendaklah menduduki kerusinya di
dalam Majlis Mesyuarat Menteri-menteri ini Cuma selama disukai oleh sultan’
dianggap sebagai salah satu unsur ‘absolute monarchy’. Selain itu, PRB juga
meluncurkan propaganda penolakan berkaitan dengan isi konstitusi mengenai
kewarganegaraan. Menurut Konstitusi 1959, penduduk pribumi yang diakui hanya
Suku Belait, Tutong, Bisaya, Dusun, Murut, Kedayan dan Melayu. Berarti
konstitusi tidak mengakui kaum Dayak sebagai salah satu kaum pribumi. Padahal
mereka juga telah bertempat tinggal lama di Brunei. Maka, seharusnya Suku
Dayak (Melayu-Iban) harus juga diakui sebagai kaum pribumi Brunei.
Menurut Konstitusi 1959, pemilihan umum harus diadakan dua tahun
setelah peresmiannya. Bahkan sultan menyanggupi untuk mengadakannya kurang
dari dua tahun., tetapi sebelum pemilu diadakan, ada dua masalah yang harus
diselesaikan. Pertama yaitu mengenai pembentukan Panitia Pemilihan Umum.
Kedua, perlunya pengubahan rancangan undang-undang untuk menentukan
kewarganegaraan Brunei.
Panitia Pemilihan Umum baru berhasil dibentuk pada Desember 1961,
yaitu dengan dilantiknya seorang ketua dan tiga orang anggota. Diikuti sebulan
kemudian dengan pengesahan Undang-Undang Taraf Kerakyatan Brunei
(Undang-undang Kewarganegaraan) 1961. Dibawah kekuasaan undang-undang
ini, Brunei mempunyai tiga kategori kerakyatan, yaitu:
(a) menjadi rakyat dengan Pengesahan Mutlak Undang-undang;
(b) menjadi rakyat setelah diberi izin pendaftaran; dan
(c) menjadi rakyat setelah diberi izin pengakuan kewarganegaraan.
Setiap orang Melayu Asli Brunei yang dilahirkan sebelum ataupun setelah
hari yang ditetapkan berhak menjadi rakyat Brunei dibawah kategori pertama.
Bagi pribumi lainnya juga berhak menjadi rakyat Brunei dibawah kategori
pertama itu atas syarat Ibu dan Bapak mereka dilahirkan di Brunei pada atau
sesudah hari yang ditetapkan. Seorang bangsa asing yang telah cukup umur dan
dilahirkan di Brunei sebelum, pada atau sesudah hari yang ditetapkan boleh
menjadi rakyat Brunei dengan mengikuti kategori kedua, tetapi dia harus
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Bagi seseorang
yang bukan rakyat Brunei, masih boleh menjadi rakyat dibawah kategori ketiga.
Dia hendaklah mengajukan permohonan dan memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Undang-undang Taraf Kerakyatan Brunei (Undang-undang
Kewarganegaraan) 1961.
Oleh karena proses penyusunan Undang-undang Taraf Kerakyatan Brunei
(Undang-undang Kewarganegaraan) membutuhkan waktu yang lama, maka,
pemilu yang seharusnya dilaksanakan 29 September 1961 terpaksa ditunda.
Kerajaan mengeluarkan pernyataan berhubungan dengan penundaan jadwal
Pemilihan Umum. Menurut Jurubicara Kerajaan, bahwa pengunduran itu bukan
karena Kerajaan Brunei ingin meniadakan pemilihan umum tapi karena
pembentukan panitia pemilihan umum dan penyusunan Undang-undang Taraf
Kerakyatan benar-benar membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, juga
karena kerajaan disibukkan dengan konsep Persekutuan Malaysia yang mulai
menjadi isu penting bagi Brunei.
Wacana penundaan pemilu ini menjadi propaganda penting bagi PRB
untuk menuduh kerajaan tidak jujur dan tidak berniat menepati janji. Sebagai
bentuk kekecewaan atas pernyataan tersebut, PRB mengadakan rapat umum
secara besar-besaran untuk membuktikan kepada kerajaan bahwa tindakan politik
PRB mendapat sokongan kuat dari rakyat. Namun, dipihak lain, PRB, yang
menyadari bahwa aksi-aksi politiknya diluar parlemen yang selama ini gagal
mempengaruhi kebijakan pemerintahan Brunei, punya lebih banyak waktu
mempersiapkan partai untuk masuk dalam institusi pemerintahan melalui pemilu
pertama di Brunei ini.
Setelah Undang-undang Taraf Kerakyatan Brunei disyahkan tanggal 1
Januari 1961, maka pada 30 Agustus 1962 harus diadakan pemilu di Brunei untuk
memilih wakil yang akan duduk di kursi Majlis Mesyuarat Daerah dan MMN
yang akan dipilih untuk dilantik menjadi anggota Majlis Mesyuarat Kerajaan
(MMK). Persiapan pemilu dimulai pada tanggal 21 Juli 1962 dengan dibukanya
pendaftaran calon peserta pemilu. Pada hari itu, sebanyak 81 orang calon telah
mendaftarkan diri untuk bertanding. PRB mengumumkan sebanyak 55 orang
calon, Brunei National Organisation (BNO) sebanyak 8 orang, Perikatan Brunei
Bersatu (PBB) seorang dan 17 orang calon bebas (independen).
30 Agustus 1962 adalah hari pemilihan umum. Dalam pemilu itu, PRB
memenangkan semua kursi daerah Brunei, Muara, Tutong serta Belait kecuali
daerah Temburong. Calon bebas (independen) dari Kawasan Labu Estate,
Temburong, Awang Metusin bin Ali Akbar berhasil mengalahkan calon dari PRB,
Awang Hidup bin Zakaria. Dengan demikian PRB telah memenangkan 54 kursi
dari 55 kursi yang diperebutkan.
Haji Zaini Haji Ahmad memberikan analisis atas penyebab kekalahan
partai lawan PRB dan calon independen dalam pemilu 30 Agustus 1962.
Kekalahan calon-calon Brunei National Organisation (BNO) dan Perikatan Brunei
Bersatu (PBB) ditangan calon PRB adalah karena mereka menunjukkan sikap pro-
Malaysia dan mempersoalkan cita-cita PRB untuk memerdekakan Brunei pada
tahun 1963, serta menyatukan Sarawak, Brunei dan Sabah dalam bentuk sebuah
negara kesatuan dengan Sultan Brunei menjadi kepala negara yang berkonstitusi.
Sedangkan, kekalahan calon-calon bebas adalah karena mereka tidak mempunyai
organisasi dan infrastruktur politik yang bisa melancarkan serangan-serangan
terhadap pemimpin dan calon-calon PRB.
Setelah pemilihan umum, musyawarah Majelis Daerah diadakan, para
anggotanya memilih sebanyak 16 orang wakil untuk menjadi anggota Majelis
Musyawarah Negeri disamping 17 orang anggota yang dilantik oleh sultan. 16
orang anggota tersebut adalah dari PRB. Anggota-anggota PRB yang menjadi
anggota Majelis Musyawarah Negeri yang pertama dipilih rakyat adalah sebagai
berikut:
1. Awang Hapidz Laksamana – PRB (Kawasan Daerah Brunei Muara).
2. Pengiran Metussin bin Pg. Haji Lampoh - PRB (Kawasan Brunei Muara).
3. Awang Mahmud bin Mohammad Salleh – PRB (Kawasan Daerah Brunei
Muara).
4. Pengiran Yusuf bin PG. Limbang – PRB (Kawasan Daerah Brunei Muara).
5. Awang Mohammad Yasin bin Awang Abdul Rahman (Jassin Afandi) – PRB
(Kawasan Daerah Brunei Muara).
6. Awang Tengah bin Hasip - PRB (Kawasan Daerah Brunei Muara).
7. Awang Othman bin Abdul Latif - PRB (Kawasan Daerah Brunei Muara).
8. Awang Zaini bin Awang Haji Ahmad - PRB (Kawasan Daerah Brunei Muara).
9. Awang Mohammad Akip bin Imam Ghani - PRB (Kawasan Daerah Tutong).
10. Awang Mohammad Idris bin Imam Said - PRB (Kawasan Daerah Tutong).
11. Awang Abdul Wahab bin OKSN Safar - PRB (Kawasan Daerah Tutong).
12. Awang Mohammad Delli bin Metassim - PRB (Kawasan DaerahBelait/Seria).
13. Awang Momin bin Ahmad - PRB (Kawasan Daerah Belait/Seria).
14. Awang Ibrahim bin Abdul Ghani - PRB (Kawasan Daerah Belait/Seria).
15. Awang Lamzi bin Idris - PRB (Kawasan Daerah Belait/Seria).
16. Awang Mesir bin Keruddin - PRB (Kawasan Daerah Temburong).
Dari 16 orang diatas, sebanyak 6 orang dilantik Sultan Omar Ali Saifuddin III
menjadi anggota Majelis Musyawarah Kerajaan (Executive Councillors). Mereka
adalah Pengiran Yusuf bin Pengiran Limbang, Awang Mahmud bin Mohammad
Saleh, Awang Hapidz Laksamana, Awang Mohammad Deli bin Mettasim, Awang
Mohammad Akip bin Imam Ghani dan Awang Mesir bin Keruddin.
Anggota Majelis Musyawarah Negeri yang dipilih dalam pemilihan umum
itu direncanakan melakukan sidang pada 5 dan 6 Desember 1962. PRB telah
mengarahkan semua wakilnya dalam majelis untuk mengemukakan beberapa usul
diantaranya mengenai Malaysia, kemerdekaan dan penyatuan Kalimantan Utara.
Usul mengenai Malaysia dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum, Awang Hapidz
Laksamana. Usul ini berbunyi:
Bahawa Majelis Mesyuarat Negeri yang bersidang hari ini mengambil keputusan menuntut Kerajaan British membatalkan konsep Malaysia yang dirancangkan akan diwujudkan pada bulan Ogos 1963; kerana tindakan Kerajaan British yang demikian adalah merupakan penganiayaan atas hak asas rakyat dalam menentukan nasib sendiri. (JMN 26/62/111, 1962:--- dikutip oleh Zaini Haji Ahmad, 2004: 83).
Tetapi usul tersebut tidak diterima oleh Ketua Majelis karena urusan tersebut
adalah urusan antara Kerajan British dengan Malaya dan tidak berkaitan dengan
Kerajaan Brunei.
Usul kedua dikemukakan oleh Setiausaha Agung (Sekretaris Umum) PRB,
Awang Mohammad Yassin bin Awang Abdul Rahman (Jassin Affandi). Beliau
menuntut supaya Majlis Mesyuarat Negeri Brunei memberi mandat kepada PRB
untuk membawa isu perjuangan rakyat Brunei ke forum Persatuan Bangsa-Bangsa.
Usul itupun tidak dapat dibawa ke Majlis Mesyuarat Negeri sebab hal tersebut
berkaitan dengan permasalahan luar negeri Brunei yang ketika itu diwakilkan
kepada Kerajaan Inggris untuk mengurusnya secara mutlak menurut Perjanjian
Persahabatan Brunei-Inggris 1959.
Usul PRB yang dapat dikatakan langkah strategis adalah menghalangi
pembentukan Malaysia yang dikemukakan oleh Pengiran Mettusin bin Pengiran
Haji Lampoh. Usul tersebut berbunyi:
Bahawa Majlis Mesyuarat Negeri yang bersidang hari ini mengambil keputusan mendesak Kerajaan British untuk mengembalikan kedaulatan Seri Baginda Maulana Al-Sultan Brunei di seluruh Kalimantan Utara sebagai raja yang berperlembagaan dan berparlimen dalam bentuk Negara Kesatuan Kalimantan Utara yang bercorak demokrasi seratus peratus dan memberikan kemerdekaan penuh pada TM 1963.” (Zaini Haji Ahmad, 1989: 91 dikutip oleh Zaini Haji Ahmad, 2004: 84).
Usul tersebut juga ditolak secara keseluruhan. Penolakan itu, menurut Jamil Al-
Sufri, karena Ketua Majelis hanya menerima usul yang akan membawa pada
perbaikan Negeri Brunei bukan pada usul yang membawa kekacauan kepada
Negeri Brunei.
Usul lainnya adalah mengenai masalah yang berkaitan dengan penyatuan
dan pengaturan atas penanaman modal dari kelebihan uang simpanan Brunei,
kenaikan gaji polisi, pembentukan gerakan koperasi untuk rakyat, mata pelajaran
yang sesuai dengan perkembangan zaman, pengubahan dasar perburuhan yang
dapat menjamin masa depan kaum buruh. Ada satu usul yang mendesak Kerajaan
Brunei ‘Supaya mendatangkan Ungku Abdul Azis bin Abdul Hamid dosen
ekonomi di Universitas Malaya’ untuk membuat strategi dan penyelidikan
terhadap kehidupan kaum tani dan nelayan diseluruh negeri serta mengemukakan
solusi-solusi untuk perbaikan taraf hidup mereka.
Bagi PRB berbagai penolakan atas bantahannya terhadap Konstitusi 1959,
baik sebelum maupun sesudah PRB berpartisipasi dalam pemerintahan,
mengakibatkan ketidakpercayaan kader-kader PRB terhadap pemerintah Brunei.
Ketidakpercayaan ini mendorong sayap militer PRB yaitu Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU) untuk melancarkan aksi revolusi yang mereka sepakati
tanggal 8 Desember 1962. Namun, aksi ini gagal karena Sultan Omar Ali
Saifuddin III menolak untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Brunei
yang merupakan bagian dari rangkaian acara aksi revolusi tersebut. Sehingga, aksi
revolusi menjadi seperti aksi kudeta yang membuahkan kecaman banyak pihak.
Pemulihan keamanan dalam negeri Brunei tidak lepas dari peranan
Kerajaan Inggris dalam mengerahkan angkatan bersenjatanya dalam lima
gelombang mulai 8 – 12 Desember 1962. Gelombang pertama, satu Pleton Polisi
Hutan dari Sabah. Pasukan ini banyak memberikan bantuan moral dan material
kepada pasukan tentara Brunei dalam mempertahankan ibukotanya. Gelombang
kedua, pasukan tentara Inggris dari Singapura yaitu Batalion King Edward 1 dan
Gurkha Rifles yang dipimpin oleh Leftenan Kolonel H. G. W. Shakespeare.
Pasukan ini mendarat di Lapangan Terbang Berakas pada 9 Desember 1962
malam. Pada 10 Desember 1962, datang tentara bantuan Batalion Queen’s Own
Highlanders yang dipimpin Leftenan Kolonel W. G. McHardy. Gelombang
ketiga, dari Singapura dikerahkan kapal perusak Cavalier seberat 2.020 ton
bersama dua buah Mine- Sweeper, Chawton dan Finkerton. Gelombang keempat,
dikirim kapal perang komando Albion dan Bulwark. Pada hari yang sama, dikirim
kapal pembawa minyak Gold Ranger, sebuah kapal logistik Woodbridges Haven,
dua kapal Mine-Sweeper, Wilkieston dan Woolaston dan dua kapal pendarat yang
membawa kereta perisai. Gelombang kelima, dari Singapura telah dikirimkan 17
pesawat terbang pengangkut ke lapangan-lapangan terbang Labuan, Brunei dan
Anduki yang membawa perlengkapan perang.
Pemulihan kemananan dalam negeri Brunei seiring dengan pemulihan
kondisi politik dalam negeri. Pemerintahan Brunei melalui Menteri Besar telah
mengeluarkan pernyataan resmi mengenai pembubaran Partai Rakyat Brunei
(PRB) sebagai organisasi politik pada 10 Desember 1963. Pada tanggal yang
sama, sultan juga mengumumkan keadaan darurat diseluruh Negeri Brunei.
Pemberlakuan keadaan darurat ini memberikan kekuasaan kepada sultan
sebagai ketua Dewan Eksekutif untuk membubarkan Majlis Mesyuarat Kerajaan,
Majlis Mesyuarat Negeri dan Majlis Daerah yang dipilih rakyat. Sebagai gantinya
sultan membentuk Majlis Mesyuarat Dharurat yang mempunyai 14 anggota.
Majelis ini diketuai oleh Sultan Omar Ali Saifuddin III dan beranggotakan
mantan anggota Majlis Mesyuarat Negeri yang telah dibubarkan. Sultan juga
melantik Jawatankuasa Kerja Dharurat. Badan ini diketuai oleh Menteri Besar,
Dato Marsal bin Maun dan anggotanya adalah Pesuruhjaya Tinggi British (D. C.
White), Awang Othman bin Bidin, Newn Ah Foot, Pengiran Abu Bakar bin
Pengiran Omar Ali dan W. I. Glass. Jawatankuasa Kerja Dharurat bertugas
mengurusi administrasi, bertanggungjawab memberikan bantuan keuangan
kepada keluarga pelaku pemberontakan yang ditahan dan menyediakan
kemudahan penempatan tentara Inggris.
Hal yang sangat penting bagi pemerintahan darurat Brunei adalah
pembentukan Dewan Kementrian. Dewan Kementrian ini terdiri dari sebelas
anggota yaitu enam anggota ex-officio, High Commissioner dan empat anggota
unofficial. Enam anggota ex-officio yaitu Menteri Besar, Deputy Menteri Besar,
Sekretaris Negara, Pengacara Umum, Pegawai Keuangan Negara dan Penasehat
Agama. Semua anggota ex-officio dan unofficial ini ditunjuk sultan. Sedangkan,
penunjukkan Pengacara umum dan Pegawai Keuangan Negara dilakukan oleh
Sultan bekerjasama dengan Pemerintahan Inggris.
Menteri Besar memiliki kewajiban merealisasikan keputusan Dewan
Kementrian, namun, ia berhak mendelegasikan tugasnya kepada tiga pegawai
senior, Sekretaris Negara, Pengacara umum dan Pegawai Keuangan Negara.
Sekretaris negara mengontrol semua urusan administrasi -Sekretaris Negara
membawahi semua kepala departemen dan empat pegawai daerah. Empat
pegawai daerah membawahi Penghulu dan Ketua Kampung-. Pegawai Keuangan
Negara adalah kepala kementrian keuangan dan Pengacara Umum adalah
penasehat dalam semua urusan kehakiman.
Pemulihan kondisi politik dalam negeri semakin dimantapkan dengan
pengikraran janji ketaatan kembali dari berbagai golongan rakyat Brunei terhadap
Sultan Omar Ali Saifuddin III. Adapun rakyat Brunei yang mengikrarkan
kembali janji setianya terutama dari kalangan Wazir-wazir, Cheteria-cheteria,
Pehin-pehin Manteri, Penghulu-penghulu dan Ketua-ketua Kampung. Sedangkan,
kalangan Cina mengikrarkan janji ketaatannya kepada sultan dan Negeri pada 19
Desember 1962. Tidak ketinggalan, Partai Perikatan Rakyat Brunei dan Brunei
National Organisation (BNO) berjanji akan bekerjasama dengan pihak kerajaan
memulihkan keamanan dalam negeri.
Awal tahun 1963, pemerintahan Kerajaan Brunei kembali serius
menindaklanjuti usulan Tengku Abdul Rahman Putera Al-Haj, pada bulan Juni
1960, agar Brunei bergabung dalam Persekutuan Malaysia. Keseriusan itu
ditunjukkan dengan kehadiran sultan dan rombongan perwakilan Brunei dalam
perundingan pembentukan Persekutuan Malaysia. Hal ini diberitakan dalam
Pelita Brunei (6 Januari 1963, hal.6) yang dikutip oleh Jamil Al-Sufri (1992: 167)
yaitu,
Perwakilan Brunei ini pergi ke Kuala Lumpur pada 3 Februari 1963. Mereka terdiri daripada Yang Berhormat Pengiran Dato Setia Haji Mohd. Ali (Ketua), Yang Berhormat Mr. Idris Talog Davies, Yang Berhormat Pengiran Dato Setia Haji Mohd. Yusof, Yang Amat Mulia Pengiran Kerma Indera Pengiran Haji Muhammad, Yang Berhormat Haji Awang Mohd. Jamil, dan Dato Paduka Niel Lawsom, Q. C.
Sampai 24 Maret 1963, perundingan belum menghasilkan keputusan
apapun. Hal ini karena sultan tidak setuju jika Brunei harus membayar voluntary
donation sebesar 10 juta ringgit setiap tahun ketika Brunei menjadi bagian dari
Persekutuan Malaysia. Sultan hanya sanggup membayar empat juta ringgit setiap
tahun. Begitupun dengan perundingan bulan Juni, masalah keuangan tetap
menjadi masalah utama bagi Kerajaan Brunei. Ketikapun Tengku Abdul Rahman
Putera Al-Haj mengusulkan supaya istilah voluntary donation diganti menjadi
pemberian sukarela, jumlah pemberian sukarela yang harus dibayar Brunei
menjadi empat juta ringgit pertahun dan setelah sepuluh tahun dikaji kembali,
sultan tetap menolak dengan alasan pemberian sukarela bermakna ufti yang
berarti Brunei adalah negara dibawah jajahan Persekutuan Malaysia.
Menanggapi sikap sultan, Tengku Abdul Rahman Putera Al-Haj
memberikan tempo 48 jam kepada Brunei untuk memutuskan apakah Brunei akan
masuk dalam Persekutuan Malaysia atau tidak. Tanpa menunggu tempo 48 jam,
sultan dan rombongan kembali ke Brunei. Menurut Wakil Ketua Partai Rakyat
Malaya (PRM), Nadzir Nong, bahwa pemberian tempo 48 jam oleh Tengku
Abdul Rahman Al-Hajj tersebut bersifat memaksa dengan tidak mempedulikan
rakyat Brunei. Namun, dalam pernyataan resmi pemerintah Kerajaan Brunei pada
21 Juni 1963, Sultan Omar Ali Saifuddin III masih memberi kesempatan bagi
Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu (KPTM) untuk merundingkan
permasalahan pembentukan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi Brunei
sebelum menjadi bagian Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu (KPTM).
Pada 2 Juli 1963, sultan dan rombongan kembali melanjutkan perundingan
pembentukan Persekutuan Malaysia di London. Perundingan kali ini adalah
perundingan terakhir yang mengharuskan adanya keputusan masuk tidaknya
Brunei dalam Persekutuan Malaysia. Sebelum perundingan dibuka, Lee Kuan
Yew mengatakan kepada sultan bahwa Singapura tidak akan bergabung dengan
Persekutuan Malaysia. Begitu juga sultan mengatakan bahwa Brunei tidak akan
bergabung dengan Persekutuan Malaysia. Namun, setelah perundingan hari itu
selesai, Lee Kuan Yew mengatakan kepada sultan bahwa Singapura memutuskan
bergabung dengan Persekutuan Malaysia dengan syarat Malaysia tidak boleh
mengambil harta Singapura. Sedangkan, sultan tetap pada keputusan bahwa
Brunei tidak akan bergabung dalam Persekutuan Malaysia. Sampai pada beberapa
jam sebelum penandatanganan perjanjian Persekutuan Malaysia, sultan masih
ditawari bergabung dengan Persekutuan Malaysia, namun, sultan tetap pada
keputusannya.
Setelah Persekutuan Malaysia dibentuk tanggal 30 Agustus 1963, Tengku
Abdul Rahman Putera Al-Haj mengirimkan surat kepada Sultan Omar Ali
Saifuddin III bahwa Kerajaan Malaysia akan menarik pegawai-pegawai yang
dipinjamkan kepada Kerajaan Brunei dan pegawai-pegawai kontrak. Sultan setuju
mengembalikan pegawai-pegawai pinjaman yang bekerja dalam instansi-instansi
pemerintahan Brunei, namun, untuk pegawai-pegawai kontrak, dikembalikan
keputusannya pada pegawai kontrak itu sendiri. Mengingat rakyat Brunei masih
terbatas kemampuan dan pengalamannya dalam memegang jabatan dalam struktur
pemerintahan Brunei, maka sultan melakukan perundingan dengan Kerajaan
Inggris untuk mendapatkan pegawai-pegawai pinjaman. Namun, kondisi ini tidak
berlangsung lama, karena sultan memberikan peluang bagi rakyat Brunei yang
lulus dari Perguruan Tinggi untuk menempati posisi dalam struktur pemerintahan
Kerajaan Brunei dengan bimbingan pegawai (Inggris) terlebih dahulu.
Pada bulan April 1967, Kerajaan Inggris akan menarik tentaranya dari
Singapura dan menutup pangkalan dan markas-markas militernya di Malaysia dan
Singapura dalam jangka waktu tiga tahun. Jika rencana ini termasuk penarikan
tentara Inggris dari Brunei maka hal ini tidak sesuai dengan Konstitusi 1959.
Menanggapi hal ini sultan segera menemui Mr. Dennis Healey untuk meminta
Kerajaan Inggris mempertahankan Tentara Inggris dan Pasukan Gurkha Rifles
(PGR) yang ada di Brunei.
Pada 4 Oktober 1967, di Istana Darul Hana Sultan Omar Ali Saifuddin III
mengumumkan bahwa dirinya turun dari tahta Kerajaan Brunei. Tahta Kerajaan
diserahkan kepada putera Sultan Omar Ali Saifuddin III yaitu Pengiran Muda
Hassanal Bolkiah. Dalam pertemuan tersebut hadir Wazir-wazir, Cheteria-
cheteria, Pehin-pehin Manteri termasuk Manteri-manteri Agama, Manteri-
manteri Bertauliah dan Manteri-manteri Pendalaman. Ketika Sultan Omar Ali
Saifuddin III telah turun tahta, beliau tetap berpartisipasi aktif dalam
perundingan-perundingan baik di dalam negeri maupun di London.
C. Respon Partai Politik Terhadap Pembaharuan Politik Dalam Negeri Masa Pemerintahan Haji Omar Ali Saifuddin III
Peristiwa politik demi peristiwa politik yang terjadi di Brunei
mengakibatkan perubahan tertentu pada kehidupan politik Kerajaan Brunei.
Dinamika politik ini dilatarbelakangi cita-cita Kerajaan Brunei untuk hidup dalam
sebuah negara yang memiliki kemerdekaan penuh. Merdeka dalam mengurus
urusan dalam dan luar negeri. Merdeka dalam mengolah sumber daya alam yang
dimilikinya. Merdeka dalam mencerdaskan sumber daya manusianya. Merdeka
dalam menetapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Adapun arah dinamika politik dalam negeri Brunei Darussalam terdiri dari
dua target. Target jangka pendek yaitu demokratisasi dan target jangka panjang
yaitu kemerdekaan. Dua target ini saling berhubungan. Jika demokratisasi
berjalan lancar dan sukses, maka Kerajaan Brunei siap menerima kemerdekaan
penuh dari Kerajaan Inggris.
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat
yang pada saat itu dianggap bentuk sistem pemerintahan modern. Tidak dikatakan
telah terjadi reformasi jika tidak berubah kearah demokrasi atau menjadi negara
demokrasi. Sedangkan, kemerdekaan adalah hak asasi setiap negara.
Kemerdekaan adalah hadiah yang pantas untuk segala bentuk ketundukan Brunei
kepada pemerintahan kolonial Inggris selama kurang lebih 78 tahun.
Perjalanan demokratisasi dalam kesultanan banyak menghadapi kendala,
terutama berasal dari dalam negeri yaitu Partai Rakyat Brunei. Walaupun Brunei
memiliki dua partai yang bersikap lunak yaitu Brunei National Organization
(BNO) dan Perikatan Brunei Bersatu (PBB), namun oposisi Partai Rakyat Brunei
(PRB) sempat mengguncang jalur demokratisasi yang disediakan sultan.
Pertentangan yang kentara antara Partai Rakyat Brunei (PRB) dengan
pemerintahan Brunei disebabkan perbedaan visi dan misi mengenai
ketatanegaraan. Mulai dari isi konstitusi, bentuk negara, struktur pemerintahan
sampai jenis demokrasi yang dijalankan. Lebih dari itu, penentangan Partai
Rakyat Brunei (PRB) semakin sengit tatkala menyadari realita demokrasi yang
dijalankan seperti berikut:
1. Partisipasi politik rakyat semu
Partisipasi politik menurut ilmuwan politik Samuel Huntington dan Joan
M. Nelson adalah kegiatan warga negara swasta yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik
dikatakan otonom jika pelakunya bermaksud mempengaruhi keputusan
pemerintah dengan perilakunya itu. Partisipasi politik dikatakan digerakan, kalau
tindakan itu dilakukan oleh orang lain yang bukan pelakunya yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi kebijakan.
Partisipasi politik rakyat Brunei diantaranya memilih dan dipilih menjadi
para anggota Majelis Daerah melalui pemilihan umum yang telah ditetapkan
dalam Konstitusi 1959. Pemilu tersebut sukses dilaksanakan pada 30 Agustus
1962 dengan Partai Rakyat Brunei sebagai pemenang pemilu dengan 54 kursi
yang berhasil diraih. Sedangkan satu kursi diraih oleh calon independen.
Partisipasi politik secara langsung pun tampak dalam badan pemerintah
yaitu Majlis Mesyuarah Negeri. Anggota MMN ini terdiri dari rakyat Brunei baik
dipilih oleh sultan maupun dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Dalam MMN inilah
dibicarakan berbagai permasalahan rakyat dan solusinya. Selain sebagai anggota
MMN, partisipasi rakyatpun terlihat dari dijabatnya berbagai posisi tinggi dalam
pemerintahan Kerajaan Brunei oleh seorang penduduk asli Brunei.
Jika dilihat secara kuantitas, maka terjadi peningkatan partisipasi politik.
Namun, jika dilihat secara kualitas maka peningkatan partisipasi politik rakyat
tidak diikuti oleh peningkatan pengaruh partisipan (rakyat) dalam menentukan
arah kebijakan pemerintah. Hal ini karena saran yang tidak dapat ditolak sultan
bukanlah saran dari rakyat tapi saran dari perwakilan Kerajaan Inggris. Sehingga,
PRB menyebut bangunan baru pemerintahan Brunei sebagai sebuah “administrasi
tipe kolonial”. Hal ini berarti bahwa apa yang telah dicapai Brunei adalah “self-
administration” bukan “self government”. Sebagai bukti bisa kita lihat pada tabel
dibawah ini.
Perbandingan Partisipasi Politik Rakyat Brunei dalam MMN MMN 1906 MMN
sebelum Maret 1957
MMN Maret 1957
MMN April 1957
MMN September 1962
1. Sultan 1 orang
1. Sultan 1 orang
1. Sultan 1 orang
11. exofficio* 4 o orang
11. exofficio 4 orang
2. Vizier* 2 orang
2. Vizier 2 orang
2. Vizier 2 orang
2. Anggota resmi* 5 orang
2. Anggota resmi 5 orang
3. Cheteria* 2 orang
3. Cheteria 2 orang
3. Cheteria 2 orang
3. unofficial* 9 orang
3. unofficial 9 orang
4. Menteri* 3 orang
4. Menteri 3 orang
4. Menteri 3 orang
4. Anggota hasil pemilu daerah 16 orang
5. Residen* 1 orang
5. Residen 1 orang
5. Residen 1 orang
6. Asisten Residen* 1 orang
6. Asisten Residen 1 orang
6. Asisten Residen 1 orang
7. Anggota tidak resmi* 3 orang
7. Anggota tidak resmi 10 orang
Jumlah: 10 orang
Jumlah: 13 orang
Jumlah: 23 orang
Jumlah: 18 orang
Jumlah: 34 orang
Keterangan:
a. Vizier dari kata Wazir yaitu pembantu raja. Ditunjuk dan diangkat oleh
Sultan. Direkrut dari kalangan bangsawan tinggi.
b. Cheteria dari kata Kshatriya. Direkrut dari kalangan bangsawan tinggi dan
bangsawan biasa.
c. Menteri adalah kepala daerah yang direkrut dari non-bangsawan.
Mengimplementasi kebijakan-kebijakan Sultan.
d. Residen adalah perwakilan Kerajaan Inggris yang mengontrol
pemerintahan dalam negeri Brunei dan mengurusi urusan luar negeri
Kerajaan Brunei.
e. Asisten Residen adalah pembantu Residen.
f. Anggota unofficial/ tidak resmi adalah anggota MMN terdiri dari
perwakilan golongan pengusaha dan para Kepala Daerah.
g. Anggota exofficial: mantan anggota MMN Maret 1957.
h. Anggota resmi adalah anggota baru MMN yang ditunjuk Sultan dan terdiri
dari tokoh-tokoh kerajaan.
2. Demokrasi Permukaan (Facade Democratic)
‘Telah diterima secara luas bahwa tekanan internasional membantu
meyakinkan kebanyakan pemerintahan dunia ketiga yang non-demokratis untuk
mengadakan pemilihan yang kompetitif’ (Huntington 1991; Bratton 1994a;
Pridham 1994; Moore 1995 dikutip oleh Haynes 2000: 129). Faktor kedua yang
mengarah kepada transisi demokrasi adalah tekanan dari masyarakat sipil dalam
negeri.
Brunei telah sukses mengadakan pemilu yang kompetitif, namun, para
wakil rakyat belum bisa menempatkan kepentingan rakyat dalam agenda politik.
Hal ini karena terdapat perbedaan antara ide yang diusung pihak rezim yang
berkuasa (konservatif) dengan para wakil rakyat (modernis), walaupun kedua-
duanya mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Konservatif adalah kelompok monarki-aristokratis dengan pandangan
kolot, mencoba mengangkat kepemimpinan nasional melalui sebuah program
demokrasi yang dipandu oleh kebijakan paternalisitik. Konservatif menginginkan
Brunei bangkit dari tidurnya dibawah Sistem Residen dan menginginkan
pengubahan konstitusi yang bertahap dalam mencapai pemerintahan sendiri tetapi
dikendalikan oleh sultan sebagai pemegang kebijakan satu-satunya. Sehingga
demokrasi yang berjalan adalah demokrasi yang terkendali oleh sultan. Sedangkan
PRB (kaum modernis) menginginkan kepemimpinan nasional melalui program
demokrasi yang mandiri dengan pengubahan konstitusi yang cepat.
Benturan dua kekuatan ini melahirkan Demokrasi Permukaan (Façade
Democratic). Tampak luarnya memang demokrasi tetapi sama sekali tidak
memiliki substansi demokrasi. Demokrasi semacam ini dianggap umum di dunia
ketiga. Banyak rezim memiliki kepercayaan demokratis yang tipis dengan kuat
didorong oleh pihak Barat untuk meneruskan sistem politik mereka sebagai
benteng menghadapi komunisme. ‘Akibatnya adalah terdapat aliansi antara pelaku
kelas dalam negeri dengan pelaku internasional yang mendukung suatu bentuk
demokrasi di dunia ketiga yang terbatas’ (Gills dkk 1993 dikutip oleh Haynes
2000:141). Hasilnya, demokratisasi hanya polesan yang jika tidak demikian
seakan-akan tidak ada reformasi. Kekuasaan tetap berada ditangan yang sama
seperti sebelumnya. Siasat ini digunakan pemerintah-pemerintah negara barat
sebagai kekuatan eksternal sehingga dapat terus mendikte dan mengendalikan
proses perubahan politik di dunia ketiga demi tujuan mereka sendiri yang
dikaitkan dengan berlanjutnya kendali ekonomi. Fakta lain adalah pemerintah
barat mempunyai dua tujuan di dunia ketiga: mereka ingin melihat perkembangan
demokrasi sedikit banyak sebagai sesuatu abstrak yang ‘bagus’, dihubungkan
dengan melekatnya pemerintah yang ’bagus’, sebaliknya, mereka pun lebih
menyukai pemerintahan non demokratis dengan beberapa keadaan tertentu.
Demokrasi permukaan yang penuh dengan manipulasi negara-negara barat
yang secara langsung mengubah cara pandang masyarakat Brunei khususnya dan
masyarakat dunia ketiga umumnya bahwa sistem demokrasi itu modern
sedangkan selain sistem demokrasi, termasuk sistem pemerintahan monarki,
adalah kuno. Namun, masalah cabangnya adalah, jika demokrasi modern tersebut
benar-benar terealisasi dalam kehidupan pemerintahan dalam negeri maka
keluarga penguasa tradisional akan tersingkir sedikit demi sedikit. Sehingga,
sistem pemerintahan demokrasi tidak akan pernah diusahakan benar-benar hidup,
apalagi tumbuh, dalam sistem pemerintahan monarki. Hal ini karena secara
prinsip sistem demokrasi dengan sistem monarki sangat bertentangan.
Realita diatas melahirkan kesadaran dalam tubuh Partai Rakyat Brunei
(PRB) bahwa demokratisasi sistem pemerintahan Brunei dan unsur-unsur
kemodernan didalam institusi Kesultanan bukan berarti mengancam hak sultan
secara turun temurun. Sehingga “Safeguard the position of the sultan and his
heirs” menjadi salah satu Manifesto PRB. Manifesto ini memberikan pilihan
mengalah bagi PRB mulai dari pembentukannya sampai pelarangannya sebagai
organisasi politik. PRB harus mengubah undang-undang organisasinya dalam hal
cakupan aktivitas politiknya sebagai syarat diizinkannya PRB sebagai partai
politik. Usulan PRB baik memorandum konstitusional maupun petisi kepada
pemerintahan kolonial Inggris maupun pemerintahan Kerajaan Brunei harus
disimpan demi Konstitusi 1959 yang oleh PRB sendiri dinilai tidak demokratis.
PRB pun masih harus mengalah ketika usulan beberapa anggota yang duduk
sebagai Majelis Musyawarah Negeri (MMN) ditolak karena menurut Jamil Al-
Sufri tidak akan membawa kebaikan bagi rakyat Brunei. Semakin jelas kekalahan
bagi PRB ketika pemerintahan Brunei ‘…pada dasarnya…’ (Al-Sufri, 1992:162)
tertarik pada usulan Persukutuan Melayu.
Akumulasi kemarahan atas kekalahan PRB memberikan rasa tidak percaya
kepada jalan kompromi dengan pemerintah Kerajaan Brunei, dikalangan tokoh
Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Bagi PRB, tidak ada demokrasi
berarti tak ada pilihan lain kecuali revolusi. Sehingga pada tanggal 4 Desember
1962, Panitia Persiapan Perang Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU)
menetapkan tanggal pemberontakan yaitu 8 Desember 1962.
Keberadaan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) beserta
persiapan perangnya sebenarnya sudah tercium sejak awal. Hal itu dengan
diketahui adanya latihan rahasia bercorak tentara, penyelundupan senjata-senjata
dan peluru yang terdengar di Lawas, Limbang, Miri, Serikei dan Sarawak.
Didapatkan pula berita bahwa sampan-sampan Indonesia didapati di daerah pesisir
pantai di sebelah divisi tiga dan helikopter telah mendarat disana. Pihak
pemerintahan memperoleh bukti yang menggambarkan adanya kegiatan tentara di
Sarawak. Di Serikei, polisi menangkap beberapa orang yang terlibat dalam
aktivitas-aktivitas yang dilarang. Pada awal Desember mereka telah berhasil
menemukan dua kemah tempat latihan tentara dan tiga puluh lima helai pakaian
hijau bertanda Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) dan beberapa
dokumen mengenai pergerakan terlarang pasukan bersenjata. Lebih dari itu,
tanggal pemberontakan yang ditetapkan pun sudah diketahui terlebih dahulu oleh
Mr. Richard Morris pada 6 Desember 1962.
Pemberontakan dilancarkan pada tanggal 8 Desember 1962 mulai jam dua
pagi. Menurut aturan, proklamasi harus berlangsung di hadapan mesjid Omar Ali
Saifuddin, Bandar Brunei. Peresmian dilakukan oleh Sultan Omar Ali Saifuddin
Sa’adul Khairi Waddin sebagai Seri Mahkota Negara, pada jam 08.00 pagi, 8
Desember 1962, yakni enam jam setelah pemberontakan. Menurut rencana, sultan
akan dijemput oleh Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) ke pekarangan
mesjid. Timbalan Perdana Menteri (Wakil Perdana Menteri), Jassin Affandi dan
Menteri Buruh, Awang Hafidz Laksamana, diutus untuk mempersembahkan teks
proklamasi kepada Sri Mahkota Negara. Selesai upacara proklamasi dibacakan
kepada umum, rencananya Sri Mahkota Negara dan semua anggota Kabinet
Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU) akan mundur ke perbatasan.
Sementara Syeik Othman bin Sheikh Mahmud yang bertanggungjawab bertahan
di Bandar Brunei akan pindah markas ke Serdang, sebuah kampung nelayan kira-
kira enam kilometer di Kuala Sungai Brunei. Strategi ini disusun setelah
mempertimbangkan serangan balasan yang mungkin diambil oleh pihak kolonial
Inggris terhadap Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) dan PRB.
Aksi penguasaan beberapa kota dan institusi penting berjalan sesuai
rencana. Namun, rencana pembacaan teks proklamasi oleh Sultan Omar Ali
Saifuddin III tidak berjalan. Hal ini karena adanya aksi yang dijalankan oleh tokoh
PRB yang tidak mengetahui apapun. Selain itu, ketika Sultan Omar Ali Saifuddin
III dijemput pihak PRB untuk membacakan teks proklamasi, sultan menolak.
Maka, ketika teks proklamasi tidak berhasil dibacakan sultan, revolusi dianggap
gagal. Bahkan, revolusi yang tadinya ingin “Safeguard the position of the sultan
and his heirs” malah seperti pemberontakan ingin merebut kekuasaan sultan
seperti yang diberitakan beberapa media massa dan dikemukakan oleh sultan,
…Beta sangat berdukacita di atas kejadian-kejadian rusuhan yang telah berlaku semalam, iatu 8 Desember 1962, … di dalam rusuhan ini beberapa orang telah tertembak mati dan beberapa orang lagi telah ditahan oleh Polis … tujuan tentera ini bukanlah lain daripada merampas Kerajaan Beta. Ini adalah perbuatan yang bukan sahaja di tegah oleh undang-undang tetapi juga dikutuk oleh Tuhan. … Oleh yang demikian bahawa Kerajaan terpaksa bertindak dengan sekeras-kerasnya bagi memusnahkan perbuatan untuk keselamatan rakyat seluruhnya. Dan orang-orang menganjurkan perbuatan ini, maka terpaksalah Kerajaan akan menghukum dengan seberat-beratnya mengikut undang-undang. Penganjur-penganjur ini telah membuat dakyah yang palsu dan dusta dengan mengatakan bahawa tentera ini mendapat sokongan dari Beta. Ini adalah semata-mata palsu belaka. Sebagaimana Beta dipercaya. Mereka ialah merampas kuasa bagi pihak Kerajaan dan bersimpati dengan perbuatan-perbuatan yang sangat-sangat tidak diingini…(Dewan Bahasa & Pustaka, 1971: 147-148 dikutip oleh Al-Sufri, 1992: 115-116).
Pemberontakan PRB berhasil ditumpas dengan bantuan tentara Inggris.
Selain itu, pasukan bantuan datang dari Sabah diketuai ASP Dato Haji
Mohammad Yusof bin Habib Muhammad. Tengku Haji Abdul Rahman pun
menawarkan bantuan pasukan kepada Sultan Omar Ali Saifuddin III tapi dengan
syarat Brunei mau bergabung dengan Persekutuan Malaysia. Penumpasan
pemberontakan diakhiri dengan penumpasan PRB sebagai organisasi politik
melalui pernyataan resmi Menteri besar pada 10 desember 1962.
Banyak pihak menyayangkan pemberontakan tersebut. Bagaimanapun
pemberontakan tersebut terjadi ditengah perjuangan PRB yang sedang memuncak.
Tapi, harus kandas oleh pemikiran pendek yang dilandasi kemarahan sebagian
tokoh PRB dari kalangan Panitia Persiapan Perang Tentara Nasional Kalimantan
Utara (TNKU). Awang Mettasim bin Haji Jibah (1988: 18) yang dikutip oleh Al-
Sufri (1992: 93) menyatakan:
…Penderhakaan ( dilakukan oleh PRB) pada 8 bulan Desember 1962 itu bukan sahaja telah menghancurkan kewibawaan kepemimpinan partai tersebut untuk mendapatkan kemerdekaan secara berperlembagaan tetapi juga membunuh tunas demokrasi (yang disytiharkan oleh Baginda SOAS III dalam tahun 1950an) tahun 1960an itu…
Selama beratus-ratus tahun Islam memberikan dasar yang kuat bagi rakyat
untuk taat kepada ‘Amir atau sultan. Islam juga memberikan aturan bahwa untuk
hal-hal yang telah jelas diatur oleh Syariat Islam, maka pendapat apapun termasuk
pendapat sultan harus terikat dengan aturan dari Allah. Permasalahan yang
membutuhkan keahlian, penyelesaiannya diselesaikan kepada para ahli.
Musyawarah mufakat akan dilaksanakan dalam permasalahan yang tidak dirinci
oleh Syariat Islam dan pada dasarnya mampu dipikirkan oleh manusia karena
berkaitan dengan kemaslahatan umum. Sedangkan, demokrasi mengandung
empat prinsip kebebasan (liberlisme) yang salah satunya adalah kebebasan
berpendapat. Artinya, baik sultan maupun PRB bahkan rakyat dijamin untuk
dapat berpendapat tentang apapun dan harus dihargai pendapatnya. Masalah yang
muncul adalah terusiknya jiwa patriarki sultan dan pejabat Kerajaan. Karena,
dalan sistem Kerajaan, perubahan apapun harus muncul dari atas. Keputusan
politik apapun harus atas persetujuan sultan. Maka, kekacauan proses demokrasi
tidak bisa dielakkan.
Kekacauan yang berakhir pada stagnasi demokrasi dipicu oleh
ketidakpercayaan salah satu pihak terhadap proses demokrasi semu yang sedang
berlangsung. Bentuk ketidakpercayaan itu diungkapkan dengan revolusi. Namun,
karena revolusi ini diwarnai ketidaksiapan dan ketidakmatangan strategi maka
aksi revolusi berubah seperti aksi kudeta terhadap sultan. Kondisi ini memberikan
legitimasi bagi sultan untuk mengembalikan jalur dinamika politik dalam negeri
Brunei pada jalur sebelum demokratisasi. Jalur sebelum demokrasi adalah
Monarki yang memiliki penguasa yang lebih berkuasa yaitu pemerintahan
kolonial Inggris.
Sesungguhnya berbagai pembaharuan politik dalam negeri Brunei masa
pemerintahan Sultan Omar Ali Saifuddin III memberikan dampak positif kepada
rakyat Brunei baik ketika pembaharuan itu sedang berlangsung maupun telah
berakhir. Setidaknya, sultan pernah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
merasakan suasana demokrasi. Sultanpun pernah memberikan kesempatan kepada
organisasi politik untuk ikut memikirkan rancangan masa depan yang lebih baik
bagi rakyat dan Kerajaan Brunei dalam kerangka demokrasi. Maka, pengalaman
itu dapat dijadikan pelajaran bagi pemerintah kerajaan, rakyat dan organisasi
politik Brunei dalam memilih sistem kehidupan yang mampu menjadi landasan
pembangunan Kerajaan Brunei menjadi lebih baik.