57
BAB IV
ANALISIS DATA
Bab ini merupakan pembahasan mengenai analisa suatu studi tentang peranan
penatalayanan gereja di dalam usaha pencapaian kemandirian gereja dalam bidang dana di
GPIB Kasih Karunia Medan. Penulis akan menganalisis data – data yang diperoleh melalui
hasil penelitian lapangan. Penulis akan menggunakan penjabaran deskriptif, yakni dengan
menjabarkan pelaksanaan penatalayanan dan peranannya terhadap kemandirian gereja dalam
bidang dana. Data – data yang diperoleh tersebut akan ditinjau secara kritis dengan
menggunakan teori – teori yang telah dituliskan pada Bab II. Analisa ini bertujuan untuk
menjawab kedua tujuan penelitian seperti yang tertulis pada Bab I, yakni:
a. Mendeskripsikan peranan penatalayanan terhadap kemandirian dan gereja di
GPIB Kasih Karunia Medan.
b. Mendeskripsikan usaha penatalayanan guna mencapai kemandirian dana
gereja di GPIB Kasih Karunia Medan.
4.1. Seputar Penatalayanan GPIB
GPIB lahir dari lingkungan GPI, yang hadir pada masa pemerintahan Hindia –
Belanda melalui perusahaan dagang VOC. GPI dikenal dan dicirikan sebagai gereja negara
selama pemerintahan Hindia – Belanda, yang mana kehadiran GPI masih sarat dengan
kepentingan politik pemerintahan Hindia – Belanda. GPI dicirikan dengan gereja negara
dikarenakan administrasi dan keuangan gereja menjadi tanggung jawab negara, sehingga
teologi dan eksistensi gereja dibatasi oleh pemerintah pada masa itu.
Masa pendudukan Jepang, gereja – gereja di Indonesia khususnya gereja yang berasal
dari lingkungan GPI mengalami perubahan yang hebat. Gereja – gereja menghadapi
tantangan yang berat dalam melaksanakan tugas pelayanannya. Hubungan yang dibangun
selama masa pendudukan Belanda antara gereja dengan pihak – pihak luar negeri praktis
58
terputus. Demikian juga dengan sumber pemasukan dan pembiayaan gereja, yang tidak lagi
menerima bantuan baik dari pemerintah Hindia – Belanda maupun dari lembaga – lembaga
yang ada di luar negeri. Keadaan ini terus berlanjut hingga pada masa kemerdekaan. Keadaan
ini menjadi titik tolak bagi gereja, sehingga gereja dituntut untuk mandiri dalam segala aspek
(teologi, daya dan dana).
Perubahan situasi yang terjadi di Indonesia membuat gereja untuk dapat
menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Lahirnya GPIB ditandai dengan munculnya
semangat kesadaran akan bergereja pada diri bangsa Indonesia dalam bentuk gereja lokal.
Semangat bergereja ini berbenturan dengan perubahan situasi yang ada, sehingga menuntun
GPIB untuk menata dirinya.. Gereja yang dapat membangun teologinya sendiri, mengatur
dan mengembangkan sumber daya yang dimilikinya, serta dapat membiayai kebutuhannya
dalam bidang dana. Semuanya ini menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh GPIB pada
masa awal pelembagaannya.
Sidang Sinode Am ke – III di Bogor pada 30 Mei – 10 Juni 1948 memberikan tiga
tugas pokok kepada badan pekerja Am dalam mempersiapkan pelembagaan GPIB sebagai
gereja yang baru dan berdiri sendiri. Salah satu tugasnya adalah menyiapkan tata gereja dan
peraturan – peraturan gereja. Tata gereja dan peraturan – peraturan ini bertujuan untuk
mendukung pelaksanaan penatalayanan gereja. Tata gereja merupakan susunan seluruh aturan
gereja yang berfungsi untuk mengatur dan memberikan arah bagi seluruh kegiatan gereja
sehingga terdapat keserasian, keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan bergereja.
Peraturan – peraturan yang dimiliki oleh gereja lahir berdasarkan pada tata gereja, karena
didalamnya terdapat seluruh gagasan dasar GPIB. Semenjak pelembangaannya, tata gereja
dan peraturan – peraturan gereja yang dimiliki oleh GPIB terus mengalami perubahan dengan
maksud agar GPIB dapat menyesuaikan diri dengan konteksnya.
59
Dalam rangka menata dan mengembangkan panggilan dan pengutusannya GPIB
didasarkan pada sistem presbiterial sinodal. Pada sistem presbiterial sinodal, para presbiter
menata dan mengembangkan persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Sistem presbiterial
sinodal yang digunakan oleh GPIB, menetapkan bahwa pelaksana penatalayanan adalah
presbiter. Dalam Tata Gereja pada peraturan no. 1 pasal 1 dituliskan, presbiter adalah warga
sidi jemaat GPIB yang menyediakan diri secara khusus melalui proses perupaan untuk
melayani di GPIB, sebagai pemenuhan panggilan dan pengutusan Kristus dalam rangka
mewujudkan gereja missioner. Presbiter terdiri atas: diaken, penatua dan pendeta.
Pada tingkat jemaat, persekutuan kerja dari para presbiter yang merupakan pimpinan
GPIB di lingkup jemaat kemudian disebut dengan majelis jemaat. Adapun tugas – tugas dari
majelis jemaat yang tertuang dalam tata gereja peraturan no. 2 pasal 2 yakni: menjabarkan
keputusan dan ketetapan persidangan sinode GPIB dan tugas – tugas yang dipercayakan oleh
majelis sinode dengan berpedoman pada visi dan misi GPIB; membuat dan menetapkan
program kerja dan anggaran yang mengacu pada PKUPPG (pokok – pokok kebijakan umum
panggilan dan pengutusan gereja); menetapkan penatalayanan jemaat dan mengawasi
pelaksanaannya. Dalam menjalankan tugas – tugasnya tersebut, majelis jemaat dibantu oleh
pelayanan kategorial (pelkat), komisi – komisi maupun unit – unit missioner yang dimiliki
oleh gereja.
Penjelasan Akardy mengenai etika penatalayan, bahwa penatalayan adalah jabatan
yang diberikan, yang didalamnya terdapat wewenang kemudian penatalayan adalah jabatan
yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu, sehingga tugas penatalayanan hanya dapat
dilaksanakan selama masa jabatan itu masih berlaku. Penjelasan Akardy ini sejalan dengan
sistem penatalayanan yang dirumuskan oleh GPIB. Dalam GPIB penatalayan dilaksanakan
oleh presbiter. Presbiter selaku penatalayan memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus
60
dilaksanakan, dan presbiter bertugas dalam jangka waktu yang telah ditetapkan yakni lima
tahun.
GPIB memahami dirinya sebagai gereja misioner, maksudnya gereja yang secara
konsisten menjalankan misi yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus untuk menyebarkan Injil
dalam berbagai bentuk dan pola. Gereja missioner memahami aktivitas misinya dijalankan
sesuai dengan visi gereja, yakni menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi
seluruh ciptaan-Nya. Selaku gereja misioner, GPIB dibawa untuk tidak terjebak dalam sikap
yang statis, melainkan harus jeli melihat lingkungan serta konteks yang menyekitarinya.
Dengan begitu gereja menjalankan misinya di semua tempat dan waktu.
Penulis berpendapat, bahwa secara garis besar GPIB selaku gereja missioner telah
melaksanakan tugas yang dimandatkan oleh Allah untuk mengatur dan mengelola rumah
tangga gereja dengan baik. Secara historis pelembagaan GPIB sebagai gereja yang mandiri
mendapatkan suatu tantangan yang hebat, karena pada masa itu gereja tidak lagi menjadi
tanggung jawab dari pemerintah. Melainkan gereja bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Hal ini terjadi dikarenakan kebijakan dari pemerintah untuk memisahkan administrasi dan
keuangan gereja dari tanggung jawab negara. Penatalayanan yang baik ini salah satunya,
dapat dilihat dari tata gereja yang dirumuskan dan diamandemen pada tahun 2010 untuk
menyesuaikan dengan konteks yang menyekitari gereja dan PKUPPG yang dirumuskan oleh
gereja sebagai acuan jangka panjang untuk pelaksanaan pelayanan dan kesaksian gereja.
4.2. Penatalayanan Gereja Menurut GPIB Kasih Karunia
Sairin menyatakan, rumusan mengenai eksistensi gereja, yakni: gereja bukan dari
dunia ini, namun ia diutus kedunia. Identitas yang dimiliki oleh gereja sebagai suatu lembaga
menjelaskan kehadirannya yang bukan berasal dari dunia ini melainkan atas campur tangan
Allah yang mengutus gereja. Identitas ini yang membedakan gereja dengan lembaga –
lembaga lainnya. Penulis setuju dengan rumusan yang dinyatakan oleh Sairin. Gereja
61
dipahami sebagai persekutuan yang didirikan oleh Allah, dan bersamaan dengan itu gereja
juga diutus untuk berkarya di tengah dunia ini. Tujuan dari gereja ini dimaksudkan untuk
menghadirkan damai sejahtera Allah di dunia. Gereja diutus juga dipahami bahwa gereja
memiliki tugas yang diberikan oleh Allah. Tugas tersebut membawa gereja untuk dapat
memahami konteks yang ada disekitarnya.
Penatalayanan yang dilakukan oleh gereja merupakan penataan terhadap kasih
karunia yang Allah percayakan kepada gereja. Kasih karunia ini dapat berupa non – materi
maupun materi, yang kemudian oleh penulis disebutkan dengan potensi dan sumber daya.
Potensi adalah kemampuan yang dapat dikembangkan, dan sumber daya adalah faktor
produksi yang bersifat materi maupun non-materi yang dimiliki seperti tanah, sumber daya
manusia, uang, barang dan sebagainya.
Hasil wawancara menggambarkan bahwa penatalayanan merupakan suatu tugas yang
dilaksanakan oleh gereja dalam mengatur dan mengelola rumah tangga gereja, yang ditambah
dengan memberdayakan setiap potensi dan sumber daya yang dimiliki untuk menghadirkan
tujuan dari gereja, yakni menghadirkan damai sejahtera. Tugas penatalayanan ini diikuti
dengan tanggung jawab.
Menurut Ihalauw, pelaksanaan penatalayanan harus berdasarkan pada visi gereja.
Disini Ihalauw ingin menyampaikan bahwa pelaksanaan penatalayanan tidak boleh keluar
dari cita – cita GPIB yakni visi GPIB, sehingga pelaksanaan penatalayanan dapat berjalan
dalam koridor tersebut. Adapun Visi GPIB yakni: menjadi gereja yang mewujudkan damai
sejahtera bagi seluruh cipataan – Nya. Visi ini menjadi cita – cita yang akan
diwujudnyatakan oleh GPIB terkait dengan eksistensinya di tengah – tengah dunia khususnya
di Indonesia. Kehadiran GPIB memiliki tujuan untuk menghadirkan damai sejahtera, bukan
hanya terhadap sesama manusia tetapi bagi seluruh ciptaan – Nya. Untuk itu penatalayanan
62
yang dilaksanakaan oleh gereja, bertujuan untuk mewujudkan visi GPIB yang telah
dirumuskan.
Menurut Evi, penatalayanan gereja dilaksanakan oleh pengurus harian majelis jemaat
(PHMJ), melalui tugas dan tanggung jawabnya masing – masing. Pengurus harian majelis
jemaat1 merupakan suatu struktur kepemimpinan yang bertujuan sebagai pelaksana sehari –
hari dari keputusan sidang majelis jemaat (SMJ). PHMJ dipilih dan ditetapkan untuk
melaksanakan kegiatan gereja sesuai dengan program kerja gereja yang telah diputuskan dan
berdasarkan PKUPPG. PHMJ merupakan representasi harian dari majelis jemaat yang
memiliki masa jabatan selama dua tahun enam bulan.
Penulis tidak sependapat dengan Evi, karena menurut GPIB seperti yang tertuang
pada tata gereja GPIB 2010 peraturan no. 1 pasal 1 ayat 4, yakni: presbiter adalah pelaksana
penatalayanan di dalam gereja dan jemaat. Berdasarkan tata gereja GPIB peraturan no.1
pasal 1 ayat 4 ini, yang dimaksudkan dengan penatalayan adalah presbiter, yakni diaken,
penatua dan pendeta. Kemudian persekutuan dari para presbiter ini disebut dengan majelis
jemaat yang merupakan pimpinan GPIB pada tingkat jemaat. Presbiter yang dimaksudkan
bukanlah presbiter yang berada dalam struktur kepemimpinan PHMJ melainkan keseluruhan
presbiter. PHMJ hanya representasi dari harian dari majelis jemaat.
Menurut David, penatalayanan memiliki pengertian yang sama dengan manajemen.
Sugiyo Wiryoputro memberikan pengertian manajemen adalah ilmu dan seni dari suatu
proses usaha perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan
pengendalian kegiatan penggunaan sumber daya manusia serta benda dalam suatu organisasi
agar tercapainya tujuan dari organisasi tersebut secara efektif dan efisien.2 Sedangkan
pengertian penatalayanan adalah tugas yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia untuk
mengelola setiap sumber daya yang diberikan, yang disertai dengan rasa tanggung jawab.
1 Lihat tugas – tugas PHMJ pada Bab III hal 44. 2 Sugiyanto Wiryoputro, Dasar – Dasar Manajemen Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 2.
63
Penatalayanan merupakan tugas yang Allah mandatkan sedangkan manajemen adalah ilmu
atau seni untuk mengatur dan mengelolah suatu organisasi untuk mencapai tujuan dari
organisasi. Dengan begitu penulis tidak sependapat dengan David yang menyamakan
penatalayanan dengan manajemen. Menurut penulis, pokok utama yang membedakan antara
penatalayanan dengan manajemen adalah mengenai pemahaman terhadap kepemilikan dan
tanggung jawab. Penulis memahami bahwa manajemen tidak dapat disamakan dengan
penatalayanan, tetapi dalam praksis penatalayanan memerlukan ilmu manajemen.
Penatalayanan gereja harus dipahami bahwa penatalayanan yang dilakukan oleh
gereja merupakan kepercayaan yang Allah berikan kepada gereja untuk melaksanakan
pekerjaanNya. Sehingga pelaksanaan penatalayanan berpedoman pada Firman Tuhan. Cooper
White mengatakan bahwa pelaksanaan penatalayanan harus didasari dengan spiritualitas,
dengan artian bahwa penatalayanan disertai dengan memikul salib Tuhan. Tujuannya agar
penatalayan tidak keluar dari identitasnya sebagai murid Tuhan. Penulis setuju dengan
gagasan Cooper White mengenai hal ini. Menurut penulis, apabila penatalayanan tidak
didasari pada spiritualitas maka penatalayan yang mengurus rumah tangga gereja akan
berpatokan pada kehendaknya sendiri, bukan pada kehendak tuannya yakni Allah.
Penulis disini melihat, GPIB Kasih Karunia Medan melalui para narasumber yang
menjadi representasi telah memiliki pemahaman yang masih kurang akan makna dan
pelaksanaan penatalayanan gereja. Dapat dilihat dalam pernyataan – pernyataan yang
dikeluarkan oleh narasumber. Menurut penulis, hal ini terjadi karena sebagian narasumber
(dua orang) tidak memiliki latar belakang pendidikan teologi. Sehingga sulit bagi narasumber
untuk menjelaskan terminologi penatalayanan secara akurat. Tetapi secara garis besar
narasumber dapat memahami penatalayanan dan bagaimana penatalayanan itu.
64
4.3. Peranan dan Usaha Penatalayanan dalam Kemandirian dana GPIB Kasih
Karunia
Praksis penatalayanan gereja tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawab untuk
mengatur atau menggunakan potensi dan sumber daya yang ada, melainkan gereja juga
memiliki tanggung jawab untuk mengelola potensi dan sumber daya tersebut. Gereja
dipanggil untuk menjalankan tanggung jawabnya selaku penatalayan dengan
memberdayakan, memanfaatkan, mengelola dan memperbanyak setiap sumber daya yang
dimiliki, untuk pelaksanaan pelayanan dan kesaksian di dalam dunia ini.
Kemandirian gereja menurut LDKG adalah suatu upaya bersama yang dilakukan
secara terus menerus memperkembangkan segala kemampuan atau potensi yang dimilikinya
dan dipergunakan secara bebas dan bertanggung jawab bagi persekutuan, pelayanan dan
kesaksian. Dapat dipahami melalui pengertian kemandirian yang dijabarkan oleh LDKG
bahwa kemandirian gereja merupakan suatu usaha yang dilakukan secara berkelanjutan, tidak
dapat berhenti. Maksudnya adalah kemandirian merupakan suatu keadaan yang dipengaruhi
oleh ruang dan waktu, sehingga kemandirian bukanlah suatu keadaan yang absolut, yang
bilamana telah mencapai suatu keadaan yang mandiri akan tetap bertahan sampai selamanya.
Menurut penulis, pemahaman kemandirian yang seperti diatas adalah kekeliruan karena
suatu keadaan yang mandiri dapat berubah jika usaha yang dilakukan berhenti.
Kemandirian gereja adalah faktor penting yang memungkinkan gereja untuk dapat
melaksanakan tugas panggilannya secara bertanggung jawab. Dengan demikian, kemandirian
merupakan suatu pra-syarat penting untuk menjelaskan identitas gereja sebagai tubuh Kristus.
Sehingga usaha kemandirian gereja adalah tugas yang tidak dapat dikesampingkan.
David dan Ryan mempunyai pemahaman yang sama akan kemandirian gereja dalam
bidang dana. Mereka berpendapat kemandirian dalam bidang dana merupakan suatu
kemampuan gereja untuk mendapatkan dana guna membiayai segala kebutuhannya. Gereja
65
merupakan suatu organisasi atau lembaga yang membutuhkan dana untuk menjalankan roda
organisasinya. Selaku gereja yang mandiri, kebutuhan gereja akan dana dapat terpenuhi oleh
gereja itu sendiri tanpa meminta bantuan dari yang lain. Ryan menambahkan, bahwa sumber
– sumber dana yang dimiliki oleh gereja berasal dari warga jemaat melalui persembahan,
perpuluhan maupun sumbangan yang diberikan kepada gereja. Disisi yang lain, David
berpendapat bahwa gereja yang mandiri adalah gereja yang dapat mengusahakan kebutuhan
dananya sendiri. Jadi pemasukan dana gereja tidak lagi bergantung dari pemberian warga
jemaat. Maksudnya, gereja dapat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya akan dana.
Banyak sedikitnya pemberian jemaat, tidak menjadi permasalahan bagi gereja, karena gereja
dapat mencukupkan kebutuhannya atas hasil usahanya. Hal serupa juga diutarakan oleh
Ryan, bahwa melalui penatalayanannya gereja dapat berusaha menghasilkan sumber
pemasukan yang baru selain dari pemberian jemaat.
David dan Ryan mengatakan, kemandirian gereja dalam bidang dana dapat tercapai
bilamana gereja mau mengembangkan dan memberdayakan sumber daya yang dimilikinya
agar dapat menghasilkan sumber pemasukan yang baru, dengan kata lain gereja dituntut
untuk berusaha. David menambahkan bahwa usaha yang gereja lakukan bukanlah usaha yang
bersifat sementara melainkan usaha yang berkelanjutan sehingga sumber pemasukan melalui
hasil usaha gereja tetap ada. Tujuan dari usaha yang dilakukan oleh gereja bukanlah semata –
mata untuk memperkaya gereja, melainkan dana yang dihasilkan melalui hasil usaha tersebut
dapat dipergunakan untuk melaksanakan misi dan pelayanan gereja. Sehingga gereja dapat
tertantang untuk melakukan pelayanan yang lebih besar lain. Hal yang sama diutarakan oleh
Ryan, usaha yang dilakukan oleh gereja ini harus tetap berjalan dalam koridornya.
Edgar Walz juga menyampaikan hal yang sama terkait dengan peranan uang dalam
gereja. Gereja yang memahami misinya akan memandang uang sebagai alat untuk digunakan
dalam pelaksanaan misi gereja. Sehingga kemampuan gereja untuk mendapatkan atau
66
menghasilkan dana dalam jumlah yang lebih besar akan dijadikan sebagai tantangan bagi
gereja untuk membuat kegiatan pelayanan dan kesaksian yang lebih besar lagi.
Menurut Evi, sumber pemasukan dana yang utama di Kasih Karunia berasal dari
warga jemaat selain itu gereja juga dituntut untuk berusaha agar dapat menghasilkan sumber
pemasukan dana yang baru guna mendukung pelaksanaan misi dan pelayanan gereja. Evi
memiliki pendapat yang hampir mirip dengan David dan Ryan. Evi juga menyatakan bahwa
gereja juga harus berusaha sehingga memiliki sumber pemasukan dana yang lain selain dari
pemberian jemaat. Tetapi pendapat Evi selanjutnya sangat berbeda dengan dua narasumber
tersebut, ia berpendapat bahwa kemandirian dalam bidang dana merupakan tugas dari ketua
IV PHMJ. Sehingga kemandirian dana gereja dapat terwujud jika didukung dengan peran
aktif dari ketua IV PHMJ.
Pandangan Ihalauw terkait dengan penatalayanan dan kemandirian dalam bidang
dana, disampaikan dengan sangat keras. Menurut Ihalauw banyak orang menilai bahwa
peranan penatalayanan terkait dengan keuangan hanyalah mengenai pengaturan. Jika hal
seperti ini terjadi maka warga jemaat akan menjadi korban. Karena gereja hanya mengatur
keluar masuknya keuangannya. Dan bilamana gereja membutuhkan dana maka gereja akan
meminta kepada warga jemaatnya atau menaikkan iuran persembahan tetap bulanan atau
menerapkan perpuluhan, kesemuanya ini dilakukan karena sumber pemasukan keuangan
gereja hanya berasal dari pemberian warga jemaat. Beliau juga menyampaikan bahwa di
GPIB Kasih Karunia praksis penatalayanan terkait dengan kemandirian dalam bidang dana
belum berjalan dengan baik dan semestinya. Karena, pada saat ini gereja masih
mengharapkan pemberian warga jemaat untuk mencukupkan kebutuhannya.
Berdasarkan pendapat Ihalauw, dapat dilihat bahwa peranan penatalayanan penting
dalam pencapaian kemandirian dalam bidang dana. Pemahaman dan penerapan praksis
penatalayanan yang salah oleh gereja akan berdampak pada warga jemaat yang menjadi
67
korban. Penatalayanan dalam kaitan dengan kemandirian dalam bidang dana harus dipahami
sebagai suatu kemampuan gereja untuk menggali sumber – sumber kekayaan dan untuk
melipatgandakan, mengamankan dan menggunakannya secara tepat-guna harta benda yang
diberikan oleh Tuhan untuk pelaksanaan misi gereja.
Hasil temuan penulis dalam penelitiannya, yakni: jikalau melihat pemasukan
keuangan gereja yang tertulis dalam program kerja gereja, maka dapat dilihat gereja memiliki
dua sumber pemasukan yakni: pemasukan dari sektor rutin dan sektor program. Sumber
pemasukan rutin diperoleh melalui persembahan syukur, persembahan tetap bulanan, kolekte,
sumbangan dan pengembalian piutang gereja. Sedangkan sumber pemasukan program
diperoleh melalui usaha dana yang dilakukan oleh panitia/ komisi maupun pelkat yang
sifatnya accidentaly. GPIB memahami sumber pemasukan keuangan gereja berasal dari tiga
sumber, yakni: melalui sektor rutin, program dan proyek. Dengan hanya terdapatnya dua
sumber tersebut maka GPIB Kasih Karunia belum memiliki sumber pemasukan keuangan
dari sektor proyek, yang dapat diperoleh melalui usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh
gereja terhadap potensi dan sumber daya yang ada.
Berdasarkan rencana program dan anggaran GPIB Kasih Karunia: 92,90% pemasukan
dana gereja berasal dari warga jemaat yakni persembahan dan kolekte; 3,46% pemasukan
dana gereja berasal dari penerimaan rutin yakni dalam bentuk pengembalian pinjaman
pegawai dan jasa giro/ bunga bank; sedangkan 3,64% berasal dari hasil usaha dana komisi –
komisi, penjualan kalender dan keranjang kasih untuk persidangan, yang kesemuanya
merupakan kegiatan yang bersifat sementara. Yang dimaksudkan dengan persembahan adalah
persembahan tetap bulanan (PTB), dan persembahan syukur. Kolekte berasal dari kolekte
ibadah minggu, perjamuan kudus, ibadah jumat agung, ibadah natal, tahun baru, hari
nasional, ibadah syukur, ibadah keluarga dan ibadah pelayanan kategorial (Pelkat).
68
Dengan melihat data rencana program dan anggaran GPIB Kasih Karunia ini, maka
pemasukan keuangan GPIB Kasih Karunia Medan masih mengandalkan dari warga
jemaatnya. Gereja masih bersikap pasif, dalam artian bahwa gereja hanya menerima dan
mengatur penerimaan itu tanpa berusaha untuk melakukan tindakan yang lebih jauh terhadap
penerimaan tersebut. Maksudnya adalah gereja tidak memperlihatkan suatu usaha yang lain
untuk memungkinkan gereja agar tidak bergantung dari pemberian warga jemaat. Gereja
melupakan aspek produktivitas melalui hasil usaha yang dilakukan.
Tata gereja GPIB tidak melarang gereja untuk melakukan suatu usaha yang dapat
menghasilkan pemasukan yang baru bagi gereja. Malahan tata gereja memberikan jalan bagi
gereja untuk memiliki suatu usaha. Hal ini terdapat dalam tata gereja no. 12 pasal 1, badan
usaha milik gereja (BUMG) adalah badan hukum GPIB yang merupakan badan pelaksana
kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan semangat gerejawi dan bermanfaat sebagai
saran pendukung yang menunjang dan menumbuh kembangkan kemandirian GPIB. BUMG
dapat menjadi alat bagi gereja yang dapat dipakai untuk kepentingan mendukung pelayanan
gereja. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMG akan memberikan sumber pemasukan
keuangan yang baru bagi gereja.
Acuan jangka panjang PKUPPG (2006 – 2026) merumuskan tugas misinya sebagai
berikut, memantapkan spiritualitas umat untuk membangun dan mengembangkan GPIB
sebagai gereja misioner yang membawa damai sejahtera Yesus Kristus di tengah – tengah
masyarakat dan dunia. Eksistensi dari BUMG yang terdapat dalam tata gereja, diharapkan
terwujud dalam acuan jangka panjang PKUPPG sebagai strategi untuk mencapai sasaran
tersebut. Beberapa sasaran yang hendak dicapai oleh GPIB dalam bidang dana dalam
kaitannya dengan jemaat, yakni: badan usaha milik gereja sudah berperan untuk membantu
majelis jemaat, tersedianya sumber dana yang dapat membiayai seluruh kebutuhan pos – pos
Pelkes, tersedianya sumber daya dan dana yang optimal yang dapat digunakan dan dikelola
69
secara teratur dalam koridor hukum yang ditaati bersama oleh semua unsur – unsur dalam
sistem GPIB. Salah satu strategi untuk mencapai sasaran tersebut adalah gereja didorong
untuk memanfaatkan aset yang tidak aktif untuk dijadikan modal bagi BUMG.
Pandangan Pipper dalam penatalayanan gereja, uang diikutsertakan dalam pengabdian
kepada Tuhan. Uang tidak lagi diutamakan fungsi materinya, melainkan fungsi rohaninya.
Pipper sejalan dengan Edgar Walz yang mengatakan, melalui uang gereja akan dipanggil
untuk melayani maksud dan kehendak Allah. Sehingga uang dipakai sebagai alat untuk
mengungkapkan kasih dan pelayanan serta menjadi alat untuk memuliakan Allah. Penulis
sependapat dengan Pipper maupun Walz, dengan uang gereja dapat melaksanakan pelayanan
yang lebih besar. Melihat fungsi rohani dari uang, maka gereja dapat melihat betapa
pentingnya posisi uang sebagai alat dalam melaksanakan pelayanan dan kesaksian gereja.
Dengan mengutamakan fungsi rohani dari uang tersebut, maka gereja akan melihat bahwa
kemandirian dalam bidang dana dan memiliki sumber pemasukan baru yang berasal atas hasil
usaha gereja menjadi penting untuk diwujudkan melalui penatalayanan gereja.
Penulis berpendapat bahwa GPIB Kasih Karunia Medan belum dapat dikatakan
sepenuhnya mandiri dalam bidang dana, berdasarkan pemahaman kemandirian dana yang
dirumuskan dalam LDKG. Adapun kemandirian dana menurut LDKG adalah kemampuan
gereja untuk menggali sumber – sumber kekayaan dan untuk melipatgandakan,
mengamankan dan menggunakan secara tepat guna harta benda yang diberikan Tuhan untuk
pelaksanaan misi gereja. Dalam GPIB Kasih Karunia, sumber pemasukan keuangan gereja
masih mengandalkan pemberian dari warga jemaat. Sedangkan kegiatan pelipatgandaan,
ataupun usaha yang dilakukan oleh gereja melalui BUMG nya belum terjuwud-nyata.
Ketergantungan gereja terhadap pemberian warga jemaat dapat berdampak buruk bagi
keberlangsungan gereja. Dengan keadaan seperti ini penulis berpendapat bahwa berkaitan
dengan kemandirian dana, peranan penatalayanan belum dilaksanakan secara maksimal.
70
Usaha – usaha maupun peranan penatalayanan dalam pencapaian kemandirian dana
pada GPIB Kasih Karunia Medan masih bersifat konvensional. Konvensial maksudnya
sumber pemasukan dana yang dimiliki oleh gereja masih mengandalkan pemberian dari
warga jemaat. Pentalayanan masih sebatas pengaturan keluar masuknya keuangan, dan belum
sampai pada tahapan untuk memberdayakan dana yang dimiliki oleh gereja. Penulis setuju
dengan teori Cunningham, penatalayanan ketika dipahami secara benar maka akan
menyediakan sebuah model yang unik untuk hidup yang kreatif. Teori Cunningham ini
mendukung pendapat – pendapat para narasumber, bahwa untuk mencapai kemandirian dana
maka gereja harus memiliki suatu usaha dengan memberdayakan segala potensi dan sumber
daya yang ada pada gereja sehingga dapat menghasilkan sumber pemasukan keuangan yang
baru.
4.4. Bisnis Sebagai Suatu Alternatif
Gereja tidak dapat terus bergantung pada pemasukan keuangan yang bersifat
konvensional, sehingga penulis memberikan gagasan bahwa gereja juga dapat memikirkan
pemasukan keuangan yang bersifat inkonvensional yakni sumber pemasukan keuangan yang
tidak berasal dari pemberian jemaat atau dalam GPIB disebut dengan sumber pemasukan dari
sektor proyek. Sumber pemasukan proyek merupakan pemasukan keuangan yang diperoleh
melalui usaha pemberdayaan terhadap potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh gereja
sehingga dapat menghasilkan pemasukan bagi gereja.
Menurut penulis, bisnis dapat dijadikan suatu alternatif bagi gereja yang
mendatangkan pemasukan keuangan yang bersifat inkonvensional. Pemasukan keuangan dari
sektor inkonvensional tidak dapat terpisahkan dari pemasukan konvensional. Maksudnya,
usaha inkonvensional yang dilakukan oleh gereja harus dilaksanakan sebagai cara
pengelolahan yang kreatif dan produktif atas pemberian jemaat (persembahan, kolekte dan
lain – lain).
71
Menurut Eka Darmaputera, tradisi Kristen memiliki pandangan yang dualistik tentang
bisnis. Disatu sisi, gereja dan bisnis seringkali dilihat dalam bingkai dikotomi sakral – profan.
Gereja dianggap sebagai yang rohani dan suci serta terdapat citra akan kesalehan, kejujuran
dan moral baik, sedangkan bisnis itu duniawi dan kotor serta melekat tipu daya dan moral
jahat. Sedangkan disisi lain, kegiatan bisnis dianggap sebagai sumber pemasukan dana
inkonvensional bagi gereja dan berguna untuk mendukung misi dan pelayanan gereja.3
Bisnis yang dilaksanakan oleh gereja dipandang sebagai alat yang dipakai oleh gereja
yang dapat dipakai untuk mendukung pelayanan dan misi gereja. Bisnis dapat menjadi rohani
jika dilaksanakan sesuai dengan nilai – nilai Kristiani. Sedgwick dalam Mastra
mengemukakan atribut – atribut yang diperlukan untuk keberhasilan bisnis, seperti kreatifitas,
inovasi, inisiatif, kemampuan meyakinkan orang, pengambilan resiko, kemampuan
menganalisa dan kebebasan yang bertanggung jawab, yang kesemuanya itu dilaksanakan
dengan tidak bertentangan dengan nilai – nilai Kristiani.4
Iman Kristen kaya akan nilai – nilai yang sangat fundamental dalam melaksanakan
bisnis. Visi bisnis yang hanya semata – mata mengejar laba tanpa memperdulikan
lingkungan, mengeksploitasi tenaga manusia tanpa memperhatikan kesehatan pekerja,
memakai segala cara termasuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), menjual barang dengan
kualitas rendah, dan menggunakan segala cara untuk mematikan bisnis orang lain yang
menjadi kompetitornya, kesemua visi bisnis yang seperti ini bertolak belakang dengan iman
Kristen. Eka darmaputera menekankan bahwa bisnis dilaksanakan dalam iman Kristen dan
menjadikan ajaran Kristus sebagai dasarnya. Bisnis sarat dengan dimensi etika dan moral
3 Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 19. 4 Made Gunaraksawati Mastra, Teologi Kewirausahaan, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan UKDW, 2009), 127 – 128.
72
yang terkait dengan iman Kristen. Oleh karena itu, bisnis yang dijalankan oleh gereja diikuti
dengan pengaplikasian iman Kristen secara utuh.5
Adapun penulis mencoba untuk memberikan suatu alternatif terhadap bisnis yang
dapat dilaksanakan oleh gereja, yakni: usaha katering dan toko buku Kristen. Pertama, usaha
katering yang diusulkan oleh penulis bertujuan untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan
dalam hal santapan makan seperti snack, nasi kotak maupun prasmanan pada masyarakat
umum dan khususnya kepada warga jemaat serta gereja. Kedua, usaha toko buku Kristiani
yang diusulkan oleh penulis bertujuan untuk memenuhi literatur – literatur Kristiani yang
bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman teologi umat Kristen,
khususnya warga jemaat dan para presbiter.
Usaha – usaha yang dilakukan oleh gereja ini bukan sekedar untuk mencari laba,
tetapi juga dapat meningkatkan ekonomi jemaat dengan terbukanya lapangan pekerjaan.
Hasil dari keuntungan dari usaha – usaha dari badan usaha milik gereja ini dapat digunakan
untuk menunjang program dan kegiatan pelayanan gereja. Melalui kegiatan usaha ini gereja
telah mengupayakan sumber pemasukan melalui sektor program dalam pemahaman GPIB
atau sektor inkonvensional dalam pemahaman penulis.
5 Adji Ageng Sutama et.al., Bergumul Dalam Pengharapan: Buku Penghargaan Untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 318 – 320.