53
BAB III
ANALISIS
A. Undang- Undang Pengelolaan Limbah
Undang-undang pengelolaan limbah muncul karena adanya pencemaran
lingkungan hidup. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk melahirkan Undang
- Undang No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut telah mengatur pengelolaan dan pembuangan limbah B3.
Dalam pasal 69 ayat (1) angka f Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang dilarang membuang B3 dan limbah ke media lingkungan hidup 1.
Bagi mereka atau perusahaan yang melanggar ketentuan dalam pebuangan
limbah B3, akan diberi sanksi yang tertuang dalam pasal 69 ayat (1) angka f
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang membuang
B3 dan limbah ke media lingkungan hidup.” telah menyebutkan
pertanggungjawaban pidana bagi setiap orang yang tidak melakukan pengelolaan
limbah B3 diancam pidana, tetapi bunyi pasal tersebut berlaku secara umum tidak
spesifik yang menyebutkan macam-macam limbah B3 yang tidak dikelola terlebih
1 Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5059
54
dahulu. Kemudian pada Pasal 116 Undang-undang No 32 tahun 2009
Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa2:
1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.
2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalama lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama.
Selain melanggar pasal tersebut juga melanggar Pasal 103 Undang-undang
No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menyatakan bahwa 3:
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
2 Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5059 3 Pasal 103 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5059
55
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp,
1.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
B. Limbah B3 dan Pengelolaan Limbah B3
Limbah Medis adalah salah satu jenis limbah yang tergolong kedalam
Limbah bahan berbahaya dan beracun yang biasa disebut dengan Limbah B3.
Dalam Pasal 1 butir 21 dan butir 22 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup didefinisikan B3 sebagai:
“B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat,
konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau merusak lingkungan, dan/atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hiduplain.”
“Limbah bahan berbahaya dan beracun”.
Limbah B3 yang dimaksud didalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 tahun 2014 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang
karena sifat konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia
dan makhluk hidup lain.
Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan
berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun
tidak langsung dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan manusia. Limbah B3 dapat berupa bahan baku yang
56
berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan,
tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan
pengolahan khusus.
Pengelolaan limbah medis B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2014. Pada Pasal 3 ditegaskan bahwa setiap orang
atau badan yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah
B3 yang dihasilkannya. Adapun kegiatan pengelolaan limbah medis di atur dalam
Pasal 1 Ayat 10 yaitu Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan.
C. Limbah Medis (B3) di RSUD Salatiga
1. Macam limbah padat B3 (medis) yang diolah adalah :
1) Limbah padat yang sudah diketahui infeksius atau mengandung
bakteri yang berbahaya.
2) Limbah padat atau benda yang telah kontak dengan cairan tubuh
pasien atau pengobatan pasien.
3) Jaringan tubuh dan specimen laboratorium.
4) Limbah padat B3 yang bersifat toksik.
2. Limbah padat B3 tersebut dihasilkan dari ruangan-
ruangan antara lain: Ruang perawat diantaranya adalah :
1) Ruang Cempaka
57
2) Ruang Edelweis
3) Ruang Teratai
4) Ruang Flamboyan
5) Ruang Bersalin
6) Ruang Anak
7) Ruang Neonatus
Ruang selain ruang peerawat diantaranya adalah:
1) Poli Umum.
2) Poli Kebidanan.
3) Poli Gigi.
4) Poli Bedah.
5) Poli Mata.
6) Poli Ortopedi.
7) Poli Anak.
8) Poli Akupuntur.
9) Laboratorium.
10) Ruang UGD
11) Ruang Radiologi
12) Ruang Operasi
13) Ruang ICU
3. Tujuan pengelolaan.
Mengelola limbah padat B sesuai dengan ketentuan Departemen
58
Kesehatan sehingga tidak mencemari lingkungan yang dapat menjadi
sumber penularan penyakit bagi petugas dan pasien serta dapat
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit.
4. Peraturan.
1) Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang peningktan
pelayanan mutu Rumah Sakit.
2) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun
2008 tentang tata cara pemberian simbol dan label bahan
berbahaya dan beracun.
3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun
2009 tentang tata cara perizinan pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun.
4) Keputusan Kepala Bapedal Nomor 01 Tahun 1995 tentang tata-
cara dan persyaratan teknis penyimpanan teknis penyimpanan dan
pengumpulan limbah B3.
59
5) Keputusan Kepala Bapedal Nomor 03 Tahun 1995 tentang
persyaratan teknis pengolahan limbah bahan berbahaya dan
beracun.
6) Keputusan Kepala Bapedal Nomor 04 Tahun 1995 tentang tata cara
persyaratan teknis penimbunan hasil pengolahan, persyaratan
lokasi bekas pengolahan, dan lokasi bekas penimbunan limbah
bahan berbahaya dan beracun.
7) Keputusan Kepala Bapedal Nomor 05 Tahun 1995 tentang tata cara
pemberian label dan simbol limbah B3.
8) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 228
Tahun 2002 tentang pedoman penyusunan standar pelayanan
minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan daerah.
9) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1204
Tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah
Sakit .
5. Definisi pengelolaan limbah padat B3 (medis)
Adalah penanganan limbah padat B3 (medis) yang dimulai sejak dari
pewadahan dan pengumpulan hingga pengolahan dan
penimbunan/pemusnahan.
6. Standart.
Mengacu pada standar yang berlaku yaitu :
1) Untuk limbah padat B3 (medis) infeksius dan potensial mejadi
berbahaya dimasukkan kontainer anti bocor, anti tusuk dengan lapisan
60
kantong plastik warna kuning dan diikat dengan tali.
2) Untuk limbah padat B3 (medis) logam tajam, benda tajam dimasukkan
dalam kontainer khusus (safety box) dan dilapisi plastik warna merah.
3) Wadah yang digunakan diberi simbol, label dan lapisan kantong
plastik didalam wadah sesuai dengan tabel berikut ini:
No Kategori Warna Kontainer/
Kantong Plastik
Lambang Keterangan
1
Limbah infeksius
jenis benda tajam
dan limbah
infeksius jenis
logam tajam.
Kuning
Wadah plastik
kuat, anti bocor,
atau safety box
2
Limbah infeksius
bukan benda tajam
Kuning
wadah plastik
kuat dan anti
bocor atau
kontainer
3
Limbah farmasi
bersifat toksik
Merah
Wadah plastik
atau kontainer
4) Trolly pengangkutan memakai trolly khusus yang telah terdapat
wadah limbah yang sesuai komposisi limbah padat dan tertutup.
61
5) Limbah padat B3 yang berupa sisa produk farmasi yang meliputi obat-
obatan kadaluarsa bila memungkinkan dikirim kembali ke agen
penyedia.
62
2. Penanggung jawab pengelolaan limbah padat B3 (medis)
1) Penanggung jawab pengelolaan limbah padat B3 (medis) adalah Kepala
Instalasi Olah Limbah.
2) Petugas operasional pengelola limbah padat B3 (medis) adalah petugas
yang sudah ditentukan oleh Kepala Instalasi Olah Limbah.
3) Pembagian tugas dan tanggung jawab Petugas operasional pengelola
limbah padat B3 (medis) ditentukan oleh Kepala Instalasi Olah Limbah.
3. Alur pengelolaan limbah padat B3 (medis).
1) wadah yang ada dimasing-masing ruangan diambil tiap hari atau 2/3
penuh dikumpulkan dalam dua shift, shift 1 dilakukan pada pukul 06.00-
09.00 dan shift 2 dilakukan pada pukul 12.00-15.00 oleh petugas.
2) Pengumpulan yang dilakukan mengikuti rute yang sudah ditentukan.
3) Trolly yang digunakan adalah trolly khusus untuk limbah padat B3 (medis).
4) Kontainer yang kotor langsung dicuci kemudian diganti dengan plastik
yang baru.
5) Trolly yang berisi limbah padat B3 (medis) langsung menuju tempat
penyimpanan sementara untuk bisa dikirim ke pihak rekanan dalam
mengelola limbah.
6) Gudang penyimpanan limbah padat B3 (medis) yang telah terisi limbah
padat B3 (medis) sebelum dikirim ke pihak rekanan ditutup rapat dan
dikunci oleh petugas yang berwenang.
4. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan.
63
1) Petugas wajib menggunakan alat pelindung diri seperti : sarung tangan,
masker, helm dan sepatu kerja setiap akan memulai melakukan tugas.
2) Pengambilan limbah padat B3 (medis) dilakukan tiap hari.
3) Pembersihan kontainer dilakukan tiap hari beserta trollynya.
4) petugas yang tidak mengenakan alat pelindung diri harus mendapat
peringatan atau sangsi yang tegas
5) Pengawasan pelaksana harian meliputi :
- Pengawasan pengambilan limbah padat B3 (medis).
- Pengawasan pembersihan alat.
- Pengawasan gudang penyimpanan limbah padat B3 (medis).
- Pengawasan pemakaian alat pelindung diri.
5. Evaluasi.
Evaluasi dilakukan rutin berkala.
1) Harian, dengan melihat laporan harian pengawasan kerja dari supervisi di
lapangan dengan parameter ada tidaknya sampah yang diangkut,
kecukupan kontainer, keamanan gudang penyimpan limbah padat B3
(medis), kepatuhan petugas yang menggunakan alat pelindung diri.
2) Tiga bulan, melalui rapat rutin Kepala Instalasi limbah dengan supervisi
dan petugas lapangan.
6. Pelaporan.
Pada setiap tiga bulan sekali dilaporkan pada :
1) Kepala rumah Sakit.
64
2) Sekertaris Rumah Sakit
3) Kepala instalasi non perawatan.
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Kota Salatiga
menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan, baik oleh kalangan legislatif, LSM dan
para pemerhati lingkungan hidup, bahkan aparat penegak hukum (APH). Hal ini sangat
wajar, mengingat persoalan terkait pengelolaan limbah B3 selalu saja muncul dan tak
kunjung bisa dituntaskan. Masalah yang satu belum selesai, sudah muncul masalah
lainnya.
Di antaranya masih ditemukan pemanfaatkan limbah B3 masih kurang di
perhatikan dan bahkan dimanfaatkan oleh sejumlah oknum nakal guna untuk
memperkaya diri. Sepertihalnya yang terjadi di RSUD Kota Salatiga, sejumlah oknum
pegawai nakal menjual limbah B3 (limbah medis/botol infuse dan jerigen bekas) ke
pengepul rosok, alhasil kini kasus tersebut tangah ditangani oleh Polres Salatiga.
Selain itu pengelolaan limbah medis B3 di RSUD Salatiga menyalahi aturan
yaitu tidak dioperasikannya mesin incinerator yang dibangun dengan biaya miliaran
rupiah dan pengelolaan yang benar limbah B3. Hal itu terutama dari pengelolanya,
maksudnya pihak ketiga yang mengelola limbah. Dengan tidak di poerasikan alat
mesin incinerator menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan.
65
D. Petusan Pengadilan
1. NOMOR : 163/Pid-B/20/2013/PN-Lgs
a. Kronologis
Dalam hal pengolahan limbah medis cair, pihak RSUD Kota Langsa
juga tidak memiliki Instalasi Pengelohan Air Limbah (IPAL) sebagaimana
ketentuan yang berlaku. Pengolahan libah medis cair RSUD Kota Langsa
dilakukan dengan cara menggunakan system Lagoon yaitu limbah cair dari
ruangan maupun Instalasi yang ada di RSUD dialirkan melalui parit
maupun selokan ke bak penampungan yang mana bak penampungan
berfungsi untuk mengendapkan kotoran pada air selain itu juga dilakukan
kaporisasi pada bak penampungan, setelah itu air dialirkan ke kolam yang
mana proses terakhir di dumping ke sungai tanpa dilakukan pengukuran
baku mutu air terlebih dahulu, dengan alasan bahwa pihak RSUD Kota
Langsa tidak tahu kemana melakukan tes Laboratorium terhadap sampel
limbah cair tersebut. Pendumpingan limbah ke sungai tanpa melakukan
pengukuran baku mutu air terlebih dahulu dilakukan oleh RSUD Kota
Langsa tanpa izin dari pihak yang berwenang dan dapat mengakibatkan
terjadinya penyakit Infeksi kulit dan bila nilai baku mutu air terlalu tinggi
maka dampak yang ditimbulkan akan sangat berbahaya dan terdakwa Dr.
Zahari Bin Muhammad selaku Direktur Rumah Sakit Umum Kota Daerah
Langsa yang tidak melakukan pengelolalan limbah-limbah tersebut.
b. Kaidah Hukum
66
Menyatakan dr. ZAHARI BIN MUHAMMAD secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dumping limbah dan/atau
bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Dakwaan Ketiga
Penuntut Umum melanggar Pasal 104 Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana, maka terdakwa harus pula dibebani untuk membayar biaya perkara
yang besarnya akan disebutkan dalam amar putusan di bawah ini.
Mengingat, pasal 104 Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengololaan Lingkungan Hidup dan 14 a KUHP serta
ketentuan-ketentuan hukum lain yang bersangkutan ;
1. Menyatakan, Terdakwa Dr.ZAHRI BIN MUHAMMAD, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana pidana “ Melakukan, Dumping Limbah dan/atau Bahan ke
Media Lingkungan Hidup,tanpa izin “;
2. Menghukum Terdakwa Dr.ZAHRI BIN MUHAMMAD tersebut
diatas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan
;
3. Memerintahkan agar pidana penjara tersebut tidak usah dijalani,
kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan
67
lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan
pidana sebelum berakhirnya masa percobaan selama 1 (satu) tahun ;
4. Menghukum pula Pidana Denda kepada Terdakwa Dr.ZAHRI BIN
MUHAMMAD tersebut sebesar Rp.1.000.000 ,- ( satu juta Rupiah )
;
5. Menyatakan apabila terdakwa tidak membayar pidana denda
tersebut, maka harus di ganti dengan pidana penjara selama 1 (satu)
bulan ;
2. Putusan Pengadilan Nomor 2097 K/PID.SUS-LH/2016
a. Kronologis
Bahwa ia Terdakwa WURI DIAH HANDAYANI, S.T., pada hari
Kamis tanggal 10 Januari 2013 sekitar pukul 12.30 WIB atau setidak-
tidaknya sekitar waktu itu dalam bulan Januari 2013 bertempat di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo beralamatkan di Jalan
Mojopahit Nomor 667, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo atau
setidak-tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Sidoarjo, namun oleh karena sebagian besar saksi bertempat tinggal di
Surabaya maka berdasarkan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP, Pengadilan Negeri
Surabaya berwenang mengadili perkara ini, menghasilkan limbah B3 dan
tidak melakukan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
sebagai berikut:
68
Bahwa pada tahun 1998, Terdakwa mulai bekerja di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo beralamatkan di Jalan
Mojopahit Nomor 667, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo dan
pada bulan Oktober 2011 Terdakwa diangkat menjadi Kepala Instalansi
Penyehatan Lingkungan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Sidoarjo, selanjutnya tugas dan tanggung jawab Terdakwa
selaku Kepala Instalansi Penyehatan Lingkungan di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo tersebut adalah : Membuat
perencanaan kegiatan instalansi penyehatan lingkungan,
Mengkoordinasi kelancaran kegiatan instalansi penyehatan lingkungan
serta mengevaluasi dan laporan kegiatan instalansi penyehatan
lingkungan kemudian Terdakwa melaporkan pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya kepada Kasubag TU dan RT RSUD Kabupaten
Sidoarjo dan melaporkan kegiatan Drs. BAMBANG SURYONO, S.H.,
M.M. dan saksi Dra. NOER CHOTIMAH, M.Si.AK ;
Bahwa pada hari Kamis tanggal 10 Januari 2013 sekitar pukul 12.30
petugas Kepolisian dari DITRESKRIMSUS Polda Jatim menemukan
adanya pengangkutan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang
keluar dari RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kabupaten Sidoarjo
alamat di Jalan Mojopahit Nomor 667, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten
Sidoarjo dengan menggunakan kendaraan truk Nomor Polisi : L-8044-
69
JA dikemudikan oleh SENAIN, selanjutnya petugas melakukan
surveillance / pembuntutan terhadap truk tersebut yang akhirnya
berhenti di sebuah lahan di Dusun Kedungturi, Desa Kedungboto,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo dan setelah dilakukan
pemeriksaan kegiatan pengangkutan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun) yang berasal dari RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah)
Kabupaten Sidoarjo tersebut tidak disertai dengan dokumen kemudian
petugas Kepolisian dari Ditreskrimsus Polda Jatim melakukan
pengamanan kendaraan truk beserta isinya dan setelah dilakukan
pemeriksaan terhadap dokumen yang terkait dengan pengolahan
limbah, ternyata Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
Sidoarjo belum memiliki perizinan untuk pengelolaan limbah dan
belum memiliki Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) serta belum
memijiki Izin Tempat Penyimpanan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun).
b. Kaidah Hukum
Berdasarkan hal tersebut, amar putusan Pengadilan Tinggi Surabaya
Nomor 606/Pid.Sus/2015/PT.Sby tanggal 16 Desember 2015 yang
memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY tanggal 13 Mei 2015, sekedar mengenai pidana
yang dijatuhkan sehingga berbunyi sebagai berikut:
70
Menyatakan Terdakwa WURI DIAH HANDAYANI, S.T. tersebut di
atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Tidak melakukan pengelolaan limbah B3 sesuai peraturan”.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1
(satu) bulan;
Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian
hari ada putusan Hakim yang menentukan lain karena Terpidana
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua)
tahun berakhir.
2) Pertanggungjawaban RSUD Salatiga dalam Pengelolaan Limbah Medis
(B3)
Berdasarkan kasus RSUD Salatiga dalam pengelolaan limbah medis B3,
pertanggungjawaban Pidana Pengurus Rumah sakit Terkait Dengan Tindak Pidana
Lingkungan Hidup Yang Dilakukan Pegawai Rumah Sakit Umum (RSUD) Salatiga.
Menurut Pasal 2 Kode Etik rumah sakit, rumah sakit harus dapat mengawasi serta
bertanggungjawab terhadap semua kejadian di rumah sakit. Selanjutnya yang
dimaksud dengan tanggungjawab rumah sakit adalah:
71
1. Tanggungjawab umum adalah merupakan kewajiban pemimpin rumah
sakit menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan-
permasalahan, peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit.
2. Tanggungjawab khusus meliputi tanggungjawab hukum, etik, dan tata tertib
atau disiplin muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar
kaedahkaedah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib ataupun
disiplin.
Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban di rumah sakit secara yuridis di
kelompokan dalam:
1. Menajemen rumah sakit yang diwakili oleh Kepala rumah
sakit/Direktur/CEO
2. Para dikter yang bekerja di rumah sakit
3. Para perawat
4. Tenaga kesehatan dan tenaga non kesehata (administrasi, keamanan,
kebersihan, dll).
Menurut lampiran PERMENKES No.147 Tahun 2010, rumah sakit harus
berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya bergerak di bidang perumahsakitan.
Badan hukum dapat berupa yayasan, PT. Untuk memperoleh izin mendirikan rumah
sakit terdapat pula syarat pengolahan limbah yang meliputi upaya kesehatan
lingkungan (UKL), upaya pemantauan lingkungan (UPL) dan analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL) yang dilaksanakan sesuai jenis dan klasifikasi rumah
sakit yang di atur dalam UU No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit. Akan tetapi
72
apabila rumah sakit tidak memiliki izin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) maka akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan Pasal 62 yang berbunyi “
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan rumah sakit tidak memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 2
tahun dan denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima milliar rupiah).
Salah satu bentuk pelanggaran prosedur pembuangan dan pengelolaan limbah
medis dan B3 di RSUD Salatiga yang diduga mengakibatkan pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh limbah rumah sakit tersebut. Keadaan tersebut dapat
membahayakan kesehatan masyarakat Salatiga, dengan pencemaran lingkungan
dengan tidak di poerasikan alat mesin incinerator menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan dan akan berpotensi memicu berbagai penyakit.
Pada kasus ini bahwa RSUD Salatiga sebagai penghasil limbah yang
mencemari lingkungan patut ditindak tegas karena telah mencemari dan merusak
lingkungan karena rumah sakit tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
limbah medisnya dan tidak memiliki izin pengolahan limbah medis. RSUD Salatiga
dapat dituntut karena melangggar UUPPLH yaitu Pasal 98 yang berbunyi: “Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
4.000.000.000,00 (empat milliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua
belas milliar rupiah).
73
Apabila terjadi pencemaran lingkungan terkait dengan limbah rumah sakit
maka pertanggungjawaban pengurus RSUD Salatiga terkait dengan tindak pidana
lingkungan hidup sesuai dengan Pasal 117 yang menyatakan bahwa jika tuntutan
pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana yang dalam hal
ini adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, maka
ancaman pidana dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan
sepertiga.
Ketentuan Pasal 117 UUPPLH, menetapkan bahwa terhadap orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh,
untuk dan atas nama badan usaha, ancaman pidana berupa penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
lingkungan atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana yaitu
mereka-mereka merupakan atau sebagai pengurus dari badan usaha tersebut. Pengurus
badan usaha yang menjalankan kepengurusan badan usaha yang bersangkutan sesuai
dengan anggaran dasarnya. Pengurus korporasi/badan usaha merupakan individu-
individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, dalam lingkup perusahaan
tempat mereka bekerja.
Mereka-mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu:
1. Mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan
kepengurusan badan usaha;
74
2. Mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan
pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan
perbuatan yang mengikat badan usaha secara hukum berdasarkan:
Pengangakatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan
pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas
ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu
untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau
Pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagai dimaksud 1 untuk
dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha.
3. Oleh orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf a
dan b.
Rumusan Pasal 117 UUPPLH yang menetapkan bahwa ancaman pidana kepada
pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana diperberat dengan sepertiga, maka yang
dituntut dan dijatuhi hukuman adalah pengurus. Pengurus badan usaha berdasarkan
Pasal 117 UUPPLH dituntut dan dijatuhi hukum berdasarkan pertanggungjawabannya
secara pribadi atau merupakan tanggungjawab individual dari pengurus tersebut. Dan
Pasal 117 yang didakwakan adalah pribadi pengurus sebagai pertanggungjawaban
individual dari pengurus dari badan usaha tersebut yang ancaman hukuman yang
dijatuhkan kepada pengurus sebagai pertanggungjawaban individual yaitu berupa
penjara dan denda. Pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal mereka:
75
1. Telah mendorong, membantu, bersengkongkol, menyarankan dan
menyebabkan terjadinya pelanggaran atau mengetahui dan memberi izin
atau terlibat sepengetahuannya yang menyangkut dirinya dalam
pelanggaran tersebut
2. Telah lalai atau ceroboh yang menyebabkan pelanggaran.
3. Mengetahui pelanggaran tersebut, tetapi tidak mencegah terjadinya
pelanggaran atau untuk memperbaiki keadaan sedangkan dia memiliki
wewenang untuk itu.
Berdasarkan jenis pertanggungjawaban rumah sakit diatas terlihat bahwa
RSUD Salatiga dapat dimintai pertanggungjawaban. dalam bukanya yang berjudul
buku kedokteran, Danny Wiradharma menyebutkan bahwa doktrin vicarious
responsibility atau yang dalam bukunya di sebut tanggungjawab terhadap personalia
yaitu berdasarkan hubungan ‘Majikan-Karyawan’ dapat diterapkan dalam hubungan
rumah sakit dengan karyawannya, yang dalam hal ini berarti yang juga sebagai organ
yang mengerakkan rumah sakit tidak dapat diminta pertanggungjawaban.
Doktrin vicarious responsibility berarti terdapat pertanggungjawaban
pengganti, apabila pegawai melakukan suatu kesalahan akan tetapi masih dalam
lingkup kewenangannya yang bedasarkan perintah dari atasan (yang dalam hal ini
adalah pengurus), maka pegawai tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sehingga
pihak yang seharusnya dapat dimintai pertanggumgjawaban adalah pengurus. Pengurus
76
atau pemberi perintah didalam suatu perusahaan karena yang bersangkutan mempunyai
kendali terhadap arah dan jalannya perusahaan.
Apabila orang tersebut melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan
perusahaannya maka sudah sepantasnya yang bersangkutan dibedakan beratnya
hukuman pidana dibanding dengan orang yang diberi perintah. Bahwa mengetahuinya
secara nyata bukan prasyarat pemidanaan terhadap pengurus berarti telah
mempersempit upaya pembelaan diri pengurus dalam hal terjadinya tindak pencemaran
atau perusakan lingkungan oleh badan hukum atau korporasi, Karena pengurus tidak
dapat dengan mudah menggunakan ketidaktahuannya sebagai alasan pembelaan diri.
Selanjutnya untuk memenuhi kriteria “memimpin secara nyata atau pemberi
perintah”, tidak diisyaratkan bahwa hanya orang yang bersangkutanlah dengan
mengecualikan orang-orang lain yang mempunyai kekuasaan ditangannya sendiri.
Meskipun didalam perusahaan terdapat pembidangan tugas kepemimpinan, pimpinan
sebuah perusahaan secara bersama-sama dapat dipidana tanpa harus menggunakan
konstruksi hukum penyertaan.18 Bahwa berdasarkan GSO tentang ketentuan dapat
dihukumnya pengurus suatu badan usaha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 (1),
(2), (3), dan (4) GSO. Dari tuntutan Pasal (3) ayat (3) GSO dapat diketahui bahwa
pengurus dapat dipersalahkan jika mereka mengetahui tentang terjadinya tindak pidana
dan sebaliknya pula. Penjelasan ini dapat diberikan melalui kajian perbandingan
terhadap perkembangan hukum Belanda dan Amerika serikat yang telah melahirkan
makna tentang “mengetahui” sebagai unsur dapat dipidananya pengurus badan usaha.
77
Berdasarkan putusan H.R. faktor penting yang menentukan apakah seorang
pengurus bertanggungjawab atas tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh badan
hukum adalah “jika pengurus tidak melakukan upaya-upaya untuk memcegah
terjadinya pelanggaran hukum oleh perusahaannya, sedangkan mereka mempunyai
kewenangan utuk mengambil langkah-langkah itu, mereka berarti secara sadar
membiarkan pelanggaran itu terjadi, sehingga mereka dipersalahkan dan
bertanggungjawab secara pidana.