6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia memiliki luasan mangrove sekitar 24% dari total ekosistem
mangrove di dunia, yaitu sekitar ± 3,7 juta ha. Ekosistem hutan mangrove di
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tertinggi di dunia, terdapat sekitar 89
jenis. Sehingga, Indonesia mempunyai potensi ekosistem mangrove yang sangat
besar (FAO 1992).
Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar
dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut
antara lain disebabkan oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan,
pemukiman, dan industri, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam
menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme akuatik.
Keseimbangan ekologis lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila
keberadaan mangrove dipertahankan, karena mangrove dapat berfungsi sebagai
biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat
hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan
plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami.
2.1 Kondisi Umum Tempat Penelitian
Kabupaten Indramayu adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,
Indonesia (Lampiran 1). Kabupaten Indramayu berbatasan dengan Laut Jawa di
utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten
Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31
kecamatan, 313 desa dan kelurahan.
Letak geografis Kabupaten Indramayu pada 107° 52 ° - 108° 36 ° Bujur
Timur dan 6° 15 ° - 6° 40 ° Lintang Selatan. Berdasarkan topografisnya sebagian
besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata
0 – 2 %. Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan cukup
tinggi, maka di daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air. Kabupaten
Indramayu terletak di pesisir utara Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan
7
laut dengan panjang garis pantai 114,1 km. Kabupaten Indramayu memiliki luas
wilayah 2.040,11 km2.
Indramayu dilintasi jalur pantura, yakni salah satu jalur terpadat di Pulau
Jawa, terutama pada musim mudik. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api
lintas utara Pulau Jawa, dengan stasiun terbesar di Jatibarang. Penduduk
Indramayu di wilayah pesisir pada umumnya menggunakan Bahasa Indramayu
yang digunakan adalah dialek Dermayon. Sedangkan di bagian selatan,
menggunakan Bahasa Sunda. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah
pantai utara Jawa Barat yang sangat strategis dan berkembang sebagai daerah
penyangga kawasan industri yang mempunyai sumberdaya alam dan jalur
infrastruktur transportasi utama dari Cirebon ke Jakarta.
2.1.2 Potensi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Indramayu
Hutan mangrove di Indramayu terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Hutan mangrove di dalam kawasan hutan lindung: tersebar di 10 desa yaitu
Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur, Desa Cemara Kecamatan
Losarang, Desa Cangkring dan Lamarantarung Kecamatan Cantigi, Desa
Babadan Kecamatan Sindang dan Desa Karanganyar, Pasekan, Pagirikan,
Totoran dan Pabean Ilir Kecamatan Pasekan.
b. Hutan Mangrove di luar kawasan hutan lindung: tersebar di 22 Desa
diantaranya yaitu Ujung Gebang Kecamatan Sukra, Desa Ilir, Bulak
Kecamatan Kandanghaur, Desa Cemara Kecamatan Losarang, Desa Cangkring
dan Lamarantarung Kecamatan Cantigi, Desa Brondong, Karanganyar, Totoran
dan Pabean Ilir Kecamatan Pasekan, Desa Pabean Udik, Karangsong dan
Singaraja Kecamatan Indramayu, Desa Benda Kecamatan Karangampel, Desa
Juntinyuat Kecamatan Juntinyuat, Desa Tanjakan, Kalianyar, Luwung Gesik,
Krangkeng dan Singakerta Kecamatan Krangkeng (Gambar 2 dan 3)
(Dishutbun 2009).
8
Gambar 2. Peta sebaran mangrove di pesisir Kab. Indramayu tahun 2005
(Sumber : Dishutbun 2005)
Gambar 3. Peta Sebaran Mangrove tahun 2010
(Sumber : Bappeda Kabupaten Indramayu 2010)
Ket : Tanda hijau pada peta merupakan daerah tempat tumbuh ekosistem
mangrove
9
2.2 Definisi Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah
pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut
(Peraturan Menteri Kehutanan 2004). Hutan mangrove merupakan ekosistem
yang paling produktif dan merupakan sumber hara untuk perikanan pantai.
Mangrove menyokong kehidupan sejumlah besar spesies binatang dengan
menyediakan tempat berbiak, berpijah dan makan. Spesies tersebut meliputi
berbagai jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti udang, kepiting (Mastra
1999).
2.2.1 Ciri dan Karakteristik Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik.
Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan
ciri-ciri ekologis sebagai berikut:
(a). Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan
yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
(b). Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya
tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan akan menentukan
komposisi vegetasi ekosistem mangrove;
(c). Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air
tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur
hara dan lumpur;
(d). Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata
di bulan terdingin lebih dari 20ºC;
(e). Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai
38 ppt;
(f). Arus laut tidak terlalu deras;
(g). Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak
yang kuat;
(h). Topografis pantai datar/landai.
10
2.2.2 Fungsi Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi
produktivitasnya (Snedaker 1978) dan memberikan kontribusi terhadap
produktivitas ekosistem pesisir (Harger 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi
ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
a) Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari
makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea,
ikan, burung, biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit
dan parasit;
b) Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin
kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
c) Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga biota
perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan;
d) Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan
pengolahan limbah organik;
e) Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan untuk tujuan budidaya ikan, udang
dan kepiting bakau dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran
sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
f) Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
g) Ekosistem mangrove berpotensi sebagai sarana pendidikan dan rekreasi .
2.2.3 Struktur dan Adaptasi Pohon Mangrove
Pada kebanyakan spesies pohon mangrove terdapat ciri-ciri khas yang
memberikan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang pada substrat
yang terdiri dari sedimen halus yang sering anoksik (tidak mengandung oksigen)
dan bersifat asam. Untuk adaptasi pada substrat seperti ini kebanyakan spesies
mangrove :
a) Dilengkapi dengan struktur perakaran yang khas.
b) Menerapkan cara-cara khas untuk mendapatkan oksigen serta mencegah
masuknya garam dalam jaringan pohon atau mengeluarkan garam yang masuk
ke dalam jaringan pohon.
11
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap
lingkungan. Bengen (2001) dan Onrizal (2005) menyatakan bahwa :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, mangrove memiliki bentuk
perakaran yang khas, yaitu :
(a) Bertipe cakar ayam (Akar napas) yang muncul di permukaan tanah untuk
aerasi dan mempunyai pneumatofora (untuk mengambil oksigen dari udara)
misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.
(b) Bertipe penyangga/tongkat (Akar tunjang) yang berbentuk seperti jangkar,
berguna untuk menopang pohon dan mempunyai lentisel. Misalnya:
Rhyzophora spp..
(c) Akar lutut yang memberikan kesempatan bagi oksigen masuk ke sistem
perakaran. Misalnya: Bruguiera sp..
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
a) Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan
garam.
b) Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur
keseimbangan garam.
c) Daun memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan
cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia, Acanthus dan Aegiceras
memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi garam dalam cairan biasanya tinggi,
sekitar 10% dari air laut. Hal ini bisa dirasakan dengan mengecap daun tumbuhan
mangrove (Nybakken 1992).
Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora
sp., dan Sonneratia sp. tidak memiliki alat ekskresi garam, membran sel di
permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara
selektif menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi. Kelebihan garam
12
yang terserap dibuang melalui transpirasi lewat stomata atau disimpan dalam
daun, batang dan akar, sehingga seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki
kadar garam sangat tinggi (Nontji 2005).
Tumbuhan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan
air laut dengan perbandingan seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya
bukan prasyarat untuk tumbuhnya mangrove, beberapa spesies mangrove dapat
tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera
cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar, sedangkan di Kebun
Raya Bogor Bruguiera sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada lingkungan
air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke lingkungan perairan tawar
tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies lain,
sehingga mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, sedangkan
tumbuhan lain tidak mampu bertahan (Gosalam 2000).
2.2.4 Zonasi Penyebaran Mangrove
Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu
pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah
(lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas
serta pengaruh pasang surut (Dahuri 2003).
Menurut Bengen (2002), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi
yang paling umum, yaitu:
a. Daerah yang paling dekat dengan laut dan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp.. Avicennia spp. biasanya berasosiasi dengan
Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada substrat lumpur dalam yang kaya
bahan organik.
b. Lebih ke arah darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh jenis
Rhizophora spp.. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus
spp..
c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah, ditumbuhi
Nypa fruticants dan beberapa jenis palem lainnya.
13
Gambar 4. Zonasi penyebaran jenis pohon mangrove (Bengen 2001)
2.3 Moluska
Moluska merupakan salah satu filum dari kingdom Animalia yang
didalamnya terdapat kelas terbesar yaitu bivalvia dan gastropoda (Dharma 1992).
Di Indonesia tercatat sekitar 3400 jenis moluska dan diperkirakan lebih dari 20
jenis bernilai ekonomis, dan beberapa jenis diantaranya telah dapat
dibudidayakan. Jenis-jenis tersebut sebagian besar masuk ke dalam kelas bivalvia
(Sulistijo et al. 1980). Bivalvia dan gastropoda mempunyai bentuk tubuh dan
ukuran cangkang yang beraneka ragam. Bentuk cangkang ini sangat penting
dalam menentukan spesies ke dua kelas tersebut (Nurdin et al. 2008).
Anggota kelas bivalvia dapat hidup pada semua tipe perairan, yaitu air tawar,
estuari dan perairan laut, memiliki sepasang cangkang dengan otot yang kuat,
kepala tidak berkembang baik, dan kaki berbentuk kapak. Kelas gastropoda dapat
hidup di semua tipe perairan dari terrestrial (daratan) sampai lautan, memiliki
cangkang tunggal, berulir dan memiliki kepala yang berkembang baik (Dharma
1992). Bivalvia dan gastropoda dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan
sumber protein, pakan ternak, bahan industri, perhiasan, bahan dasar kosmetik,
obat-obatan, dan bahan pupuk.
Di alam kelimpahan dan distribusi gastropoda maupun bivalvia dipengaruhi
oleh beberapa faktor abiotik dan biotik seperti: kondisi lingkungan, ketersediaan
makanan, pemangsaan oleh predator dan kompetisi. Tekanan dan perubahan
lingkungan juga dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan struktur dari
gastropoda dan bivalvia (Susiana 2011). Keanekaragaman bivalvia dan
14
gastropoda tidak hanya menunjukkan keanekaragaman jumlah spesies, tetapi juga
menunjukkan struktur, tingkatan tropik, dan keanekaragaman makro-mikro
habitat (Hendrickx et al. 2007).
Menurut Dobson dan Frid (1998) komunitas benthos adalah organisme yang
hidup di dasar perairan terdiri dari epifauna dan infauna. Epifauna adalah fauna
yang hidup di atas permukaan pantai, sedangkan infauna hidup di dalam partikel
sedimen. Berdasarkan ukurannya fauna benthos dibagi menjadi makrofauna (> 0,5
mm), meiofauna (10-500 μm) dan mikrofauna (< 10 μm).
Menurut Nybakken (1988) kelompok organisme dominan yang menyusun
makrofauna di dasar lunak terbagi dalam empat kelompok, yaitu Polychaeta,
Crustacea, Echinodermata dan Moluska. Berdasarkan pola makanannya, fauna
benthos dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, pemakan suspensi (suspension
feeder) yang memperoleh makanannya dengan cara menyaring partikel-partikel
melayang di perairan. Ke dua, pemakan deposit (deposit feeder) yang mencari
makanan pada sedimen dan mengasimilasikan bahan organik yang dapat dicerna
dari sedimen. Ke tiga, pemakan detritus (detritus feeder) yang hanya makan
detritus. Moluska utama di habitat mangrove terdiri dari bivalvia dan gastropoda.
Menurut Giesen et al. (2006), moluska melimpah di mangrove Asia Tenggara.
Budiman (1985) menyatakan bahwa 91 jenis moluska di Seram yang terdiri atas
organisme infauna, epifauna dan melekat pada tumbuhan. Organisme yang
melekat pada tumbuhan terdiri atas fauna sessile (sebagian besar bivalvia) dan
jenis yang bersifat mobile. Gastropoda umumnya adalah epifauna dan herbivora,
sedangkan bivalvia biasanya infauna dan filter feeder (Printrakoon et al. 2008).
Moluska berperan penting dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi
bahan organik.
Komunitas moluska sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimiawi
lingkungan. Kelimpahan jenis meningkat dengan meningkatnya salinitas (Jiang
dan Li 1995). Skilleter (1996) menyatakan bahwa komposisi moluska dapat untuk
menilai kesehatan hutan mangrove kota, karena sensitivitas moluska pada
lingkungan fisika dan kimiawi sehingga menjadi bioindikator yang baik.
15
Bivalvia, Geloina erosa dan G. expansa, kadang-kadang mengeluarkan
lembaran organik tipis di bagian dalam cangkang. Pembentukan lembaran
merupakan respon terhadap kerusakan cangkang di lingkungan mangrove yang
asam, lembaran organik hanya terdapat pada spesimen-spesimen yang sudah
mengalami kerusakan cangkang yang luas (Isaji 1993).
Beberapa jenis moluska bersifat kritis pada ekosistem dasar hutan mangrove.
Gastropoda mangrove Thais kiosquiformis memegang peran utama dalam
memelihara fungsi dan produktivitas mangrove dengan membersihkan teritip dari
sistem perakaran mangrove (Koch dan Wolff 1996). Gastropoda detritivorous
Terebralia palustris membantu daur unsur hara di hutan mangrove dengan
pengolahan serasah mangrove (Slim et al. 1997).
2.3.1. Faktor lingkungan yang mempengaruhi Moluska
2.3.1.1 Sedimen
Daerah pantai merupakan zona campuran atau perbatasan yang mengalami
perubahan, baik perubahan luas areal daratan karena sedimentasi maupun
pengurangan luas areal karena pengikisan (Carter 1988 dalam Ikrab 1998).
Pembagian zona dapat pula dicirikan menurut kategori fisik (darat dan laut),
biologis atau kultur (budaya masyarakat).
Mappa dan Kaharuddin (1991) dalam Ihlas (2001), menyatakan bahwa pantai
merupakan daerah interaksi antara laut dan daratan (daerah daratan yang termasuk
pantai yang masih dipengaruhi oleh daratan seperti pengaruh sedimentasi, sungai
dan salinitas yang relative rendah (<32%) untuk daerah tropis). Dasar
pembentukan pantai berbeda-beda, ada yang terdiri dari batuan-batuan, lumpur,
tanah liat, pasir dan kerikil, atau campuran antara dua atau lebih secara bersama-
sama.
Pantai berpasir terdiri dari bagian yang paling banyak dan paling keras adalah
sisa-sisa pelapukan batu gunung didaerah tertentu dan sisa pecahan terumbu
karang. Pantai berpasir dibatasi hanya pada daerah gerakan air yang kuat
mengangkut partikel yang halus dan ringan (Dahuri et al. 1996).
16
Nybakken (1988) menyatakan bahwa substrat dasar merupakan salah satu
faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos.
Penyebaran makrobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat.
Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung
melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang
mengandung bahan organik yang tinggi. Odum (1993) menyatakan bahwa
substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi
kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan
dan komposisi jenis dari hewan benthos. Correa dan Uieda (2008) menyatakan
bahwa komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan
mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat.
2.3.1.2 Suhu
Suhu air permukaan diperairan nusantara umumnya berkisar antara 28-31°C,
dan suhu air didekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada dilepas pantai
(Nontji 2005). Hewan laut yang hidup pada batas suhu tertentu, ada yang
mempunyai toleransi luas terhadap perubahan suhu, disebut euriterm, sebaliknya
ada pula toleransinya sangat sempit disebut bersifat stenoterm. Hewan yang hidup
pada zona pasang surut dan sering mengalami kekeringan mempunyai daya tahan
yang besar terhadap perubahan suhu.
Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa daerah intertidal sangat
berbahaya karena suhu tinggi akibat pemanasan dari sinar matahari. Hal ini yang
paling sering adalah resiko kemungkinan besarnya kehilangan cairan tubuh yang
cepat kehilangan air akibat penguapan.
2.3.1.3 Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. (Odum 1993).
Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna
menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile
17
akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi
2000). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu
mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah
15 - 35‰.
2.3.1.4 Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan faktor pembatas bagi organisme yang
hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan
mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum 1993).
Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam
air. Derajat keasaman (pH) penting sebagai informasi dasar karena perubahan pH
yang terjadi di air berasal dari masukan asam atau basa dari suatu perairan, namun
perubahan pH juga dapat dikarenakan adanya aktivitas metabolik dari biota dalam
suatu perairan.
Derajat keasaman yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai untuk
menguraikan serasah mangrove. Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dengan kisaran sekitar 7 – 8,5.
2.3.2 Hubungan Moluska dengan hutan mangrove
Menurut Hogarth (2007) invertebrata yang hidup di ekosistem mangrove
diwakili beberapa filum, termasuk Moluska, Arthropoda, Sipuncula, Nematoda,
Nemertean, Platyhelminthes, dan Annelida. Kennish (1990) dalam Fitriana (2006)
menyatakan bahwa Moluska dan Crustacea mendominasi komunitas fauna
benthik pada kebanyakan ekosistem mangrove. Menurut Hogarth (2007)
Crustacea yang paling berlimpah dan beragam adalah Brachyura, atau kepiting
sejati, dan di antara jenis Brachyura mangrove yang dominan adalah famili
Grapsidae dan Ocypodidae.
Golongan invertebrata merupakan komponen penting ekosistem mangrove,
menyediakan berbagai sumber makanan bagi hewan lain yang lebih tinggi tingkat
trofiknya (Chaudhuri dan Choudhury 1994). Fungsi ekologis invertebrata benthos
dapat dilihat dari produksi larva invertebrata dalam bentuk meroplankton (hidup
18
sebagai plankton hanya pada stadium larva), larva ini merupakan sumber
makanan bagi ikan. Disamping itu, invertebrata benthos juga menjaga
keseimbangan ekosistem dengan membuat lubang pada substrat, sehingga air dan
udara dapat masuk ke dalam substrat sehingga dapat menambah oksigen dan
unsur hara ke dalam substrat.
2.4 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
Odum, 1971 menyatakan bahwa dalam stuktur komunitas terdapat 5
karakteristik yang dapat diukur yaitu, keanekaragaman, keseragaman, dominansi,
kelimpahan, relatif dan pola pertumbuhan. Keanekaragaman dan keseragaman
selain merupakan kekayaan jenis, juga keseimbangan pembagian jumlah individu
tiap jenis. Pengertian keanekaragaman jenis bukan hanya sinonim dari banyaknya
jenis, melainkan sifat komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis serta
kemerataan hidup individu tiap jenis.
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis adalah dengan menghitung
kelimpahan relatif masing-masing jenis dalam suatu komunitas (South-World
1976 dalam Ina 1989). Nilai indeks keanekaragaman (H’) terbesar didapatkan jika
semua individu yang didapatkan berasal dari jenis yang berbeda-beda dan
keanekaragaman mempunyai nilai kecil atau sama dengan 0, jika suatu individu
berasal dari satu jenis.
Komposisi hewan makrozoobenthos yang meliputi keanekaragaman,
keseragaman dan kelimpahan, erat hubungannya dengan kualitas suatu perairan.
Kategori yang dikemukakan oleh Shannon-Wiener (1949) dalam Dahuri (1994)
Bahwa bila :
a) H’ < 1 : Keanekaragaman spesiesnya rendah, penebaran jumlah individu
tiap spesies rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan perairan
tercemar berat.
b) 1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang penyebaran jumlah individu tiap spesies
atau genera sedang, kestabilan komunitas sedang dan keadaan perairan
tercemar sedang.
19
c) H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies
atau genera tinggi dan perairannya masih bersih/ belum tercemar.
Dahuri (1994) menyatakan bahwa indeks keseragaman (E) digunakan untuk
melihat apakah didalam komunitas jasad akuatik yang diamati, terdapat pola
dominansi oleh satu atau beberapa kelompok jenis. Apabilah nilai E mendekati 1,
maka sebaran individu-individu antar (spesies) relatif merata. Tetapi jika nilai E
mendekati 0, terdapat sekelompok jenis spesies tertentu yang jumlahnya relatif
berlimpah dari pada jenis lainnya.
Menurut Daget (1976) dalam Dahuri (1994) mengelompokan nilai indeks
kesamaan komunitas sebagai berikut :
a) 0,00 < E ≤ 0,50 : komunitas berada pada kondisi tertekan
b) 0,50 < E ≤ 0,75 : komunitas berada pada kondisi labil
c) 0,75 < E ≤ 1,00 : komunitas berada pada kondisi stabil
Keseragaman hewan benthos dalam suatu perairan dapat diketahui dari indeks
keseragamannya. Semakin kecil nilai suatu indeks keseragaman (E) semakin kecil
pula keseragaman jenis dalam komunitas, artinya penyebaran jumlah individu
tidak sama ada kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu (Odum 1971).