4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Jembatan merupakan sebuah struktur yang berperan untuk menghubungkan
maupun meneruskan jalur transportasi untuk melewati sebuah halangan. Yang
dimaksud halangan bisa berupa sungai, daerah yang curam (jurang), saluran
drainase, rel kereta api, rawa, danau, laut, ruas jalan tidak sejajar dan yang lainnya.
Jembatan sebuah bagian infrastruktur transportasi darat yang sangat penting dalam
mengendalikan aliran perjalanan (traffic flows). Dengan perkembangan zaman yang
pesat, jembatan tidak hanya berfungsi sebagai penghubung atau penerus jalur
transportasi tetapi juga berfungsi sebagai penyambung urat nadi perekonomian
suatu daerah bahkan bisa juga dijadikan sebuah tempat yang simbolis dari suatu
daerah.
Apabila suatu jembatan kurang lebar untuk melayani kebutuhan jumlah laju
lalu lintas, maka jembatan akan menghambat laju lalu lintas. Dapat dikatakan
jembatan merupakan sebuah pengendali dari sebuah kapasitas lalu lintas yang
dilayani oleh sistem transportasi. Selain itu apabila jembatan runtuh maka system
transportasi akan lumpuh dan perekonomian akan kacau.
Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan jembatan merupakan suatu sistem
transportasi untuk tiga hal, yaitu (Bambang Supriadi, 2007) :
1. Merupakan pengontrol kapasitas dari system
2. Mempunyai biaya tertinggi per mil dari sistem, dan
3. Jika jembatan runtuh, sistem akan lumpuh
Pada perencanaan jembatan ini material yang digunakan adalah beton
prategang yang memiliki mutu diatas beton bertulang. Dimana beton prategang
bekerja dengan pemberian tegangan internal dengan besaran dan distribusi
sedemikian rupa untuk mengimbangi beban yang bekerja dari luar. Yang
membedakan antara beton prategang dengan beton bertulang yaitu material
5
penyusunnya. Material penyusun beton prategang tersusun dari beton mutu tinggi
dan kawat atau tendon baja prategang. Perbedaan lainnya yaitu kombinasi antara
beton mutu tinggi dengan baja mutu tinggi yang digabungkan bekerja secara aktif.
Pemilihan beton prategang sebagai komponen penyusun jembatan ini karena
beton prategang memiliki beberapa kelebihan salah satunya dapat menahan beban
yang lebih besar dibandingkan dengan beton normal. Keunggulan lainnya dari
beton prategang dibandingkan dengan beton bertulang yaitu pada bentang panjang
ukuran penampang lebih kecil, sehingga berat profil lebih ringan dan efisien karena
volume kebutuhan beton dan jumlah baja tulangan dapat diminimalisir. Selain itu
beton prategang juga kedap air dan tahan terhadap korosi karena mutu beton yang
tinggi dan retak terbuka yang minim didaerah tarik.
2.2 Pembebanan Pada Jembatan
SNI 1725:2016 (Standar Pembebanan untuk Jembatan) digunakan sebagai
syarat pembebanan dalam merencanakan struktur jembatan prategang.
Terdapat hal penting yang harus ditinjau dalam sebuah konstruksi
perencanaan struktur seperti dilaksanakannya estimasi pembebanan yang mampu
ditahan oleh sebuah struktur tersebut.
Didalam merencanakan jembatan prategang T-girder ini keseluruhan beban
yang bekerja maupun gaya yang bekerja pada struktur jembatan akan dianalisa
berdasarkan SNI 1725:2016. Terdapat tiga jenis macam pembebanan yang sering
digunakan dalam perencanaan struktur antara lain beban mati, beban hidup, dan
aksi lingkungan.
2.2.1 Beban Mati (Dead Load)
a. Berat Sendiri /Selfweight (MS)
Seluruh berat penampang dan komponen-komponen struktural yang
ditahannya merupakan berat sendiri/selfweight, termasuk juga berat material,
komponen struktural jembatan, serta ditambah komponen non-struktural sebuah
6
jembatan yang dianggap tetap . Untuk nilai faktor beban yang dipakai sebagai berat
sendiri bisa dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri
Tipe
Beban
Faktor Beban((ϒMs)
Keadaan Batas Layan (ϒSMS) Keadaan Batas Ultimit (ϒUMS)
Bahan Biasa Terkurangi
Tetap
Baja 1 1,10 0,90
Alumunium 1 1,10 0,90
Beton Pracetak 1 1,20 0,85
Beton dicor di tempat 1 1,30 0,75
Kayu 1 1,40 0,70
Sumber : SNI 1725:2016
b. Berat mati tambahan/utilitas (MA)
Beban mati tambahan/utilitas ialah seluruh berat material komponen non-
struktural dan komponen ini dapat berganti-ganti sesuai umur jembatan. Untuk
nilai faktor beban mati tambahan/ utilitas yang digunakan dalam analisa
perencanaan jembatan dapat dilihat pada tabel ini
Tabel 2.2 Faktor beban untuk berat mati tambahan
Tipe Beban
Faktor Beban(ϒMA)
Keadaan Batas Layan (ϒSMA) Keadaan Batas Ultimit (ϒU
MA)
Bahan Biasa Terkurangi
Tetap Umum 1,00(1) 2,00 0,70
Khusus (terawasi) 1,00 1,40 0,90
Catatan (1) : Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas
Sumber : SNI 1725:2016
2.2.2 Beban Hidup (Live Load)
a. Beban Lajur “D” (TD)
Beban lajur (D)/Beban lalu lintas terbagi menjadi beban terbagi rata (BTR)
dan beban garis terpusat (BGT). Untuk nilai faktor beban lajur “D” yang digunakan
dalam analisa perencanaan jembatan dapat dilihat pada tabel ini:
7
Tabel 2.3 Faktor beban hidup untuk lajur "D"
Tipe Beban Jembatan
Faktor Beban(ϒTD)
Keadaan Batas
Layan (ϒSTD)
Keadaan Batas
Ultimit (ϒUTD)
Transien Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja 1,00 2,00
Sumber : SNI 1725:2016
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q
tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu seperti berikut:
Jika L ≤ 30 m : 9,0 kPa
Jika L > 30 m : q = 9,0 (0,5 +15
𝐿) kPa
Keterangan:
q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan
(kPa)
L = panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2.1 Beban Lajur “D”
b. Beban Truk “T” (TT)
Beban truk "T" tidak bisa dipakai bersamaan dengan beban "D". Beban truk
“T” bisa dipakai untuk analisa struktur lantai. Untuk nilai faktor beban truk “T”
dapat dilihat pada tabel ini:
Tabel 2.4 Faktor Beban untuk beban “T”
Tipe Beban Jembatan
Faktor Beban(ϒTT)
Keadaan Batas
Layan (ϒSTT)
Keadaan Batas
Ultimit (ϒUTT)
Transien Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja 1,00 2,00
Sumber : SNI 1725:2016
8
Gambar 2.2 Pembebanan Truk “T”
Pembebanan truk "T" tersusun dari kendaraan truk semi-trailer yang
memiliki konfigurasi serta beban gandar seperti yang ditampilkan pada gambar.
Beban pada setiap gandar didistribusikan sama besar menjadi 2 beban merata
dimana merupakan daerah yang bersinggungan langsung antara lantai kendaraan
dengan roda kendaraan. Posisi antara 2 gandar dapat diubah bervariasi dari jarak
4,0 m hingga jarak 9,0 m guna memperoleh dampak terbesar pada arah memanjang
jembatan.
c. Gaya Rem (TB)
Gaya rem yang digunakan diambil nilai paling besar dari:
• 25 % dari berat gandar truk desain atau
• 5% dari beart truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR
Posisi gaya rem harus diletakkan pada seluruh lajur lalu lintas rencana yang
dibebani dan terdapat arah lalu lintas yang sama atau searah. Letak gaya rem ini
diasumsikan sebagai gaya yang bekerja secara horisontal pada setiap arah
memanjang/longitudinal diatas permukaan jalan dengan jarak 1800 mm.
9
d. Gaya Sentrifugal (TR)
Untuk memperoleh besaran gaya efek guling akibat beban roda atau gaya
radial, dampak gaya sentrifugal akibat beban hidup digunakan untuk hasil kali dari
berat gandar truk rencana dengan faktor C sebagai berikut:
C = fv2
gR i
Keterangan:
v = kecepatan rencana jalan raya (m/detik)
f = faktor dengan nilai 4/3 untuk kombinasi beban selain keadaan
batas fatik dan 1,0 untuk keadaan batas fatik
g = percepatan gravitasi : 9,8 (m/detik2)
Ri = jari-jari kelengkungan lajur lalu lintas (m)
2.2.3 Aksi Lingkungan
a. Beban Angin
Tekanan angin horizontal dapat diasumsikan yang disebabkan oleh angin
rencana dengan kecepatan dasar (VB) sebesar 90 sampai 126 km/jam. Untuk
jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari 10000 mm diatas
permukaan tanah atau permukaan air, kecepatan angin rencana, , harus dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
𝑉𝐷𝑍 = 2,5 𝑉𝑜 (𝑉10
𝑉𝐵
) In𝑍
𝑍𝑜
Keterangan:
VDZ = kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)
V10 = kecepatan angin pada elevasi 10000 mm diatas permukaan tanah
atau diatas permukaan air rencana (km/jam)
VB = kecepatan angin rencana yaitu 90 hingga 126 km/jam pada elevasi
1000 mm
10
Z = elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau dari permukaan
air dimana beban angin dihitung (Z > 10000 mm)
V0 = kecepatan gesekan angin, yang merupakan karakteristik
meteorologi, sebagaimana ditentukan dalam tabel , untuk berbagai
macam tipe permukaan di hulu jembatan (km/jam)
Z0 = panjang gesekan di hulu jembatan, yang merupakan karakteristik
meteorologi,
V10 dapat diperoleh dari:
• grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang,
• survei angin pada lokasi jembatan,
• jika tidak ada data yang lebih baik, perencanaan dapat
mengasumsikan bahwa V10 = VB = 90 s/d 126 km/jam
Tabel 2.5 Nilai Vo dan Vz untuk berbagai variasi kondisi hulu
Kondisi Lahan Terbuka Sub Urban Kota
V0 (km/jam) 13,2 17,6 19,3
Z0 (mm) 70 1000 2500
Sumber : SNI 1725:2016
Arah angin harus diasumsikan horizontal, kecuali ditentukan dalam Pasal
9.6.3 (SNI 1725-2016). Jika terdapat data yang tidak lengkap, tekanan angin
rencana bisa didapatkan dengan menggunakan rumus seperti dibawah ini:
PD = PB (VDZ
VB
)2
Keterangan:
PD = Tekanan angin rencana (MPa)
PB = Tekanan angin dasar (MPa)
VDZ = Kecepan rencana pada elevasi rencana (km/jam)
VB = Kecepatan angin dasar (km/jam)
11
Tabel 2.6 Tekanan angin dasar
Komponen Bangunan Utama Angin Tekan (MPa) Angin Hisap (Mpa)
Rangka, kolom dan pelengkung 0,0024 0,0012
Balok 0,0024 N/A
Permukaan datar 0,0019 N/A
Sumber : SNI 1725:2016
Gaya beban angin total yang dipakai haruslah lebih dari dari 4,4 kN/mm pada
daerah tekan dan 2,2 kN/mm pada daerah hisap pada sistem struktur rangka dan
pelengkung, dan minimal 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.
Apabila beban angin pada struktur atas yang bekerja tidak tegak lurus
terhadaap struktur, sehingga timbulah bermacam sudut serang. Untuk nilai besaran
tekanan angin dasar dengan berbagai macam sudut serang angin dapat dilihat pada
tabel dibawah serta tekanan angin harus diposisikan pada titik berat dari luasan yang
diterjang beban angin. Arah sudut serang diposisikan tegak lurus terhadap arah
longitudinal. Pada elemen jembatan yang direncanakan digunakan nilai pengaruh
yang terburuk akibat arah angin dan tekanan angin haruslah diaplikasikan secara
bersamaan baik arah memanjang maupun arah melintang.
Tabel 2.7 Tekanan angin dasar (PB) untuk berbagai sudut serang
Sudut serang Rangka, kolom dan pelengkung Gelagar
Derajat
Beban
Lateral
Beban
Longitudinal
Beban
Lateral
Beban
Longitudinal
Mpa Mpa Mpa Mpa
0 0,0036 0,0000 0,0024 0
15 0,0034 0,0006 0,0021 0,0003
30 0,0031 0,0013 0,0020 0,0006
45 0,0023 0,0020 0,0016 0,0008
60 0,0011 0,0024 0,0008 0,0009
Sumber : SNI 1725:2016
Gaya angin pada kendaraan (EW1), gaya yang disebabkan tekanan angin
pada kendaraan haruslah mampu ditahan jembatan yang direncanakan, dimana
tekanan angin ini dianggap menjadi tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, dan
bekerja secara tegak lurus terhadap permukaan jalan dengan jarak 1800 mm.
Kecuali apabila sudut serang tekanan angin tidak tegak lurus terhadap permukaan,
maka elemen yang bereaksi secara tegak lurus ataupun secara paralel untuk
12
beragam sudut serang bisa digunakan seperti yang ditentukan dalam tabel dibawah
dimana arah permukaan kendaraan tegak lurus terhadap arah sudut serang yang
diposisikan.
Tabel 2.8 Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan
Sudut Komponen tegak lurus Komponen sejajar
Derajat N/mm N/mm
0 1,46 0,00
15 1,28 0,18
30 1,20 0,35
45 0,96 0,47
60 0,50 0,55
Sumber : SNI 1725:2016
Beban garis memanjang pada jembatan akibat tekanan angin vertikal yang
menggambarkan gaya vertikal angin ke atas dengan besaran 9,6 x 10-4 MPa
dikalikan lebar jembatan, serta paraped dan trotoar harus mampu dipikul oleh
jembatan.
b. Beban Gempa
Perencanaan suatu jembatan harus didesain agar meminimalisir kerusakan
namun tidak runtuh dan tidak mengganggu pelayanan akibat gempa. Beban rencana
gempa yang bekerja secara horisontal dapat ditenrukan dengan rumus sebabagi
berikut :
𝐸𝑄 =𝐶𝑠𝑚
𝑅𝑑
𝑥 𝑊𝑡
Keterangan:
EQ = gaya gempa horizontal statis (kN)
Csm = koefisien respons gempa elastis
Rd = faktor modifikasi respons
Wt = berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang
sesuai (kN)
13
Untuk memperoleh nilai koefisien respon elastik (Csm) perlu mengetahui
periode ulang gempa rencana dan kelas zona wilayah gempa yang disesuaikan
terhadap peta percepatan batuan dasar dan spektra percepatan. Besaran nilai
koefisien percepatan diperoleh dari peta gempa yang telah dikalikan dengan nilai
faktor pembesaran yang sesuai pada kedalam tanah sampai 30 m ke bawah struktur
jembatan.
2.3 Struktur Beton Prategang
Beton merupakan material yang kuat dalam menahan tekan, akan tetapi
lemah pada kondisi tarik. Sedangkan baja merupakan material yang tahan pada
kondisi tarik. Kedua material ini disatukan maka menjadi sebuah beton bertulang
(reinforced concrete) yang mampu menahan gaya tekan ataupun tarik. Akan tetapi
kedua komponen tersebut bekerja secara terpisah, beton menahan gaya tekan,
sedangkan baja menahan gaya tarik. Maka dari itu penampang pada beton bertulang
tidak seutuhnya 100% secara efektif dapat digunakan, sebab pada daerah tarik tidak
direncanankan untuk menahan tegangan.
Berat isi beton bertulang yang cukup besar yaitu 2.400 kg/m3 menjadikan
sebuah kelemahan yang mana timbul tegangan yang cukup besar pada bagian tarik
akibat berat penampang itu sendiri. Untuk menanggulangi hal tersebut seluruh
penampang beton dibuat supaya dalam kondisi tertekan dengan cara memberikan
tekanan diawal sebelum seluruh beban bekerja, hal inilah yang dinamakan sebagai
beton prategang (prestressed concrete).
Perbandingan perbedaan antara beton bertulang dengan beton bertulang :
• Beton bertulang : cara kerja beton bertulang yaitu dengan menggabungkan
sifat antara beton dengan baja tulangan yang mana kedua material ini akan
bekerja sesuai kapasitasnya masing-masing, dimana beton akan memikul
tegangan tekan sedangkan baja tulangan akan memikul tegangan tarik.
Untuk dapat menahan tegangan tekan dan tarik secara bersamaan perlu
sebuah penempatan tulangan yang ideal.
14
Gambar 2.3 Penampang Beton Bertulang
• Beton prategang : pada beton prategang material baja dan beton sama-sama
menggunakan kualitas mutu tinggi yang mana berkeja secara aktif, lalu
untuk beton bertulang akann berkerja secara pasif. Maksud dari berkerja
secara aktif disini ialah baja ditarik dan ditahan oleh beton sehingga
penampang beton dalam kondisi tertekan. Dikarenakan sebelum seluruh
beban bekerja penampang beton sudah dalam kondisi tertekan, maka apabila
terjadi tegangan tarik akan tereliminir sebab tegangan tekan telah terjadi
sebelum seluruh beban bekerja.
Gambar 2.4 Ilustrasi Beton Prategang
2.3.1 Konsep Dasar Beton Prategang
Beton prategang adalah beton yang telah terjadi sebuah tergangan internal
dengan besaran (akibat stressing) dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat
menyeimbangkan hingga batasan tertentu tegangan oleh beban luar (T.Y.Lin,
2000). Baja pada beton prategang terlebih dahulu akan ditarik untuk menghindari
15
pemanjangan baja ketika beban luar bekerja, sedangkan beton akan terlebih dahulu
ditekan guna menghindari retak-retak akibat tegangan tarik.
Sifat beton ialah unggul dalam menahan tegangan tekan dan lemah dalam
menahan tegangan tarik. Untuk mengatasi kelemahan beton dalam menahan
tegangan tarik yaitu dengan cara memberikan tegangan tekan supaya dapat
menyeimbangi tegangan tarik akibat beban yang bekerja. Untuk memberikan
sebuah tegangan tekan pada penampang yaitu dengan cara menambahkan kabel
baja mutu tinggi didalam penampang beton yang telah diberikan gaya prategang
sesuai yang direncanakan. Penampang beton yang telah diberikan gaya prategang
ada yang seluruh bagian penampangnya mengalami tekan atau sebagian saja yang
mengalami tekan sesuai dengan desain perecanaan yang aman.
Terdapat 3 konsep yang bisa digunakan untuk mendefinisikan dan
menganalisa sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh beton prategan atau pratekan:
a. Konsep Pertama
“Sistem Prategang untuk Mengubah Beton menjadi Bahan yang
Elastis”
Eugene Freyssinet mendefinisikan beton yang memiliki sifat getas akan
berubah menjadi material yang elastis dengan cara memberikan gaya tekan terlebih
dahulu (pratekan). Dengan ditariknya baja mutu tinggi maka timbul tekanan pada
beton, sehingga beton yang awalnya getas dan tahan terhadap tekan akan dapat
menahan tegangan tarik dari beban luar yang bekerja. Untuk ilustrasi dari hal
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
16
Gambar 2.5 Konsep Beton Konsentris dan Eksentris
(Sumber : Nawy, 2011)
Pemberian gaya tekan (P) pada pusat penampang beton akan mengakibatkan
tegangan tekan secara merata pada seluruh penampang beton dengan nilai P/A,
yang mana A ialah luas penampang beton. Dampak dari beban yang bersifat merata
termasuk juga berat penampang akan mengakibatkan tegangan tarik dibawah garis
netral penampang serta tegangan tekan diatas garis netral penampang yang nilainya
pada serat paling luar ialah:
Tegangan : f =M x c
I
Dari persamaan diatas tegangan tekan yang terjadi pada serat atas
penampang yang diakibatkan pemberian gaya prategang ditambahkan dengan
akibat dari pembebanan − M x c
I. Dengan pemberian gaya prategang pada pusat
penampang maka kemampuan tahanan tekan penampang akibat beban luar akan
berkurang. Maka dari itu tendon atau baja prategang perlu diletakkan dibawah garis
17
netral penampang supaya pada serat atas terjadi tegangan tarik. Apabila tendon
diposisikan pada eksentrisitas “e” dari pusat penampang yang disebut garis cgc
maka akan timbul momen Pe, sehingga tegangan yang terjadi menjadi:
𝑓𝑡 = −P
A+
Pec
I−
Mc
I
𝑓𝑏 = −P
A−
Pec
I+
Mc
I
Dimana:
ft = tegangan di serat atas
fb = tegangan di serat bawah
I = momen inersia penampang
e = eksentrisitas
c = jarak garis netral ke serat terluar penampang
(Sumber: Nawy, 2001)
Pada konsep ini untuk merencanakan kompoen beton prategang, tegangan
pada beton harus ditinjau dari gaya-gaya luar yang bekerja secara longitudinal
maupun secara transversal. Sehingga didapatkan sebuah persamaan sederhana
untuk menghitung gaya prategang awal dan gaya prategang saat beban bekerja
sebagi berikut:
➢ Hanya gaya prategang
𝑓𝑡 = −Pi
Ac(1 −
𝑒𝑐𝑡
𝑟2)
𝑓𝑏 = −Pi
Ac(1 +
𝑒𝑐𝑏
𝑟2)
Dimana:
Pi = gaya prategang awal
ct = jarak pusat penampang ke serat atas
cb = jarak pusat penampang ke serat bawah
r2 = jari-jari girasi penampang
(Sumber: Nawy, 2001)
18
➢ Berat sendiri ditambah pemberian prategang
Apabila berat sendiri penampang mengakibatkan momen pada penampang
maka persamaan menjadi:
𝑓𝑡 = −Pi
Ac(1 −
𝑒𝑐𝑡
𝑟2) −
𝑀𝐷
𝑆 𝑡
𝑓𝑏 = −Pi
Ac(1 +
𝑒𝑐𝑏
𝑟2) +
𝑀𝐷
𝑆𝑏
Dimana :
Sb = modulus penampang untuk serat bawah
St = modulus penampang untuk serat atas
(Sumber: Nawy, 2001)
➢ Seluruh beban bekerja
Intensitas penuh beban setelah pelaksanaan yang terjadi pada kurun waktu
mengakibatkan hilangnya gaya prategang. Dengan demikian gaya prategang yang
digunakan untuk desain ialah gaya prategang setelah kehilangan gaya prategang
(gaya prategang efektif). Apabila keseluruhan momen yang diakibatkan beban
gravitasi adalah MT maka:
MT = MD + MSD + ML
Dimana:
MD = momen akibat berat sendiri
MSD = momen akbat beban mati tambahan
ML = momen akibat beban hidup
Dengan demikian persamaan menjadi :
𝑓𝑡 = −Pe
Ac(1 −
𝑒𝑐𝑡
𝑟2) −
𝑀𝑇
𝑆 𝑡
𝑓𝑏 = −Pe
Ac(1 +
𝑒𝑐𝑏
𝑟2) +
𝑀𝑇
𝑆𝑏
Dimana:
Pe = gaya prategang efektif
MT = momen total
(Sumber: Nawy, 2001)
19
b. Konsep Kedua
“Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja mutu Tinggi dengan Beton”
Pada konsep ini beton prategang diasumsikan seperti beton bertulang dengan
beton dan baja bekerja secara bersamaan yang mana beton menahan tekan dan baja
menahan tarik. Akibat kombinasi kedua material menghasilkan tahanan sebagai
penahan momen dari luar seperti yang ditampilakan pada gambar ini:
Gambar 2.6 Penampang Beton prategang dan beton Bertulang
Cara kerja pada beton bertulang yaitu dengan ditariknya baja prategang oleh
gaya prategang (T) sehingga akan timbul kopel momen dengan gaya tekan pada
beton (C) yang akan melawan momen yang terjadi akibat beban luar. Apabila baja
mutu tinggi digunakan seperti pada beton bertulang, maka beton pada sekitar baja
akan terjadi retak berat sebab baja mutu tinggi tidak leleh sebelum beton mengalami
retak karena terlalu kuat. Maka dari itu baja mutu tinggi haruslah ditarik terlebih
dahulu sebelumnya.
Secara sederhana dapat dilihat dari diagram benda bebas berikut :
Gambar 2.7 Diagram benda beba untuk mencari garis C (pusat tekanan)
20
Garis C atau garis tekanan pusat, terletak pada jarak yang bervariasi a dari
garis T. Momenya dinyatakan dengan :
M = Ca = Ta
Sedangkan eksentrisitas diketahui atau ditetapkan terlebih dahulu.
e’ = a – e
Karena C = T, maka a =M/T, sehingga
𝑒′ =𝑀
𝑇− 𝑒
Dari gambar diatas diperoleh:
𝑓𝑡 = −C
Ac−
Ce′ct
Ic
𝑓𝑏 = −C
Ac+
Ce′cb
Ic
Akan tetapi, di tendon gaya T sama dengan gaya prategang Pe sehingga,
𝑓𝑡 = −Pe
Ac−
Pee′ct
Ic
𝑓𝑏 = −Pe
Ac+
Pee′cb
Ic
Karena Ic = Ac r2, maka persamaan dapat disederhanakan menjadi:
𝑓𝑡 = −Pe
Ac(1 −
e′ct
𝑟2)
𝑓𝑏 = −Pe
Ac(1 +
e′cb
𝑟2)
Dimana:
ft = tegangan pada serat atas
fb = tegangan pada serat bawah
Pe = gaya prategang efektif
e’ = selisih jarak antara garis C dan T (a) dengan eksentrisitas (e)
(Sumber: Nawy, 2001)
21
c. Konsep Ketiga
“Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban”
Pada konsep ini beton prategang dianggap memiliki keseimbangan berat
sendiri, yang mengakibatkan batang yang biasanya mengalami lendutan seperti
balok, gelagar dan plat diasumsikan tidak mengalami tegangan lentur pada saat
pembebanan terjadi. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh gambar berikut:
Gambar 2.8 Konsep Kesetimbangan Beban
Penggunaan konsep ini tendon digantikan oleh gaya-gaya yang bekerja pada
sepanjang batang dan beton diasumsikan sebagai benda-bebas.
Gambar 2.9 Tendon yang mengalami intensitas beban transversal
22
Pada gambar diatas beban akan didistribusikan secara merata kearah atas
akibat gaya prategang dinyatakan:
T =𝑞𝑙2
8𝑎
Jika tendon mempunyai bentuk parabolik pada balok prategangdan gaya
prategang ditulis dengan P, maka intensitas beban akan seimbang dan persamaan
menjadi:
Wb =8Pa
L2
Dimana:
Wb = beban merata keatas, akibat gaya prategang
a = tinggi parabola lintasan kabel
L = bentang balok
P = gaya prategang
(Sumber: Nawy, 2001)
2.3.2 Jenis Penegangan Beton Prategang
Terdapat dua jenis macam penegangan beton prategang yaitu:
a. Sistem Pratarik (Pretension)
Dalam cara ini, tendon akan ditarik dahulu lalu beton akan dicetak atau dicor
setelah tendon ditarik. Setelah beton bereaksi dan cukup keras lalu dilakukan
pemotongan tendon maka terjadi penyaluran gaya prategang pada tendon. Metode
pemberian tegangan pratarik sangat tepat untuk produksi massal. Setelah tahap
pengecoran selesai kemudian dilanjutkan dengan pemberian tegangan pada baja
prategang terhadap angkur diujung penampang. Pemberian gaya pratarik pada
metode ini dilakukan pada baja prateganya bukan pada baloknya.
23
Gambar 2.10 Prinsip Pratarik (Pretension)
Langkah 1
Tendon atau kabel baja dilakukan penarikan guna memberikan gaya
prategang lalu diangkur pada abutmen agar tetap pada kondisi tertarik (gambar 2.10
A).
Langkah 2
Beton kemudian dicetak atau dicor pada begesting atau cetakan hingga terisi
penuh sampai seluruh beton menutup kabel baja yang telah ditarik sebelumnya dan
hingga beton kering (gambar 2.10 B).
Langkah 3
Langkah selanjutnya kabel baja akan dipotong setelah beton kering serta dari
segi umur perecenaan mencukupi dan dapat menahan gaya prategang. Pada tahap
ini terjadi proses penyaluran gaya prategang pada beton (gambar 2.10 C).
Balok tersebut akan melendut keatas karena pemberian gaya prategang dan
belum menerima beban kerja. Setelah beban bekerja maka balok akan rata.
24
b. Sistem Pascatarik (Posttension)
Dalam metode pascatarik tendon akan ditarik setelah beton dicor dan
mengering. Supaya tendon dapat ditarik setelah beton kering maka perlu sebuah
selongsong yang dipasang didalam beton. Selongsong tendon dipasang dahulu
sebelum dilakukan pencetakan beton. Selanjutnya setelah selongsong dipasang
dilakukan pengecoran beton. Ketika sudah mencapai umur rencana dan kekuatan
yang direncanakana maka dapat dilanjutkan dengan pemasangan kabel baja dan
penarikan kabel baja sesuai dengan perencanaan. Ketika kabel baja sudah ditarik
sesuai kebutuhan selanjutnya selongsong diisi atau disuntikan dengan bahan
grouting supaya tidak ada ruang antara selongsong dan kabel baja.
Gambar 2.11 Prinsip Pascatarik (Post-tension)
Langkah 1
Beton sebelum dicetak terlebih dahulu dipasang selubung/saluran tendon
prategang sebagai alur kabel baja dengan posisi melengkung supaya terjadi momen
untuk melawan beban kerja. Setelah selubung terpasang beton kemudian dicetak
(gambar 2.11 A).
25
Langkah 2
Setelah beton yang dicetak sudah sesuai dengan umur perencanaan dan
mampu menahan gaya prategang yang direncanakan maka kabel baja atau tendon
dapat dimasukkan kedalam selongsong, lalu kabel baja yang dimasukkan ditarik
hingga mencapai gaya prategang yang direncanakan. Pada metode pascatarik ini
penarikan kabel baja dapat dilakukan disalah satu ujungnnya sedangkan ujung yang
lain diangker. Selain itu juga ada metode dengan penarikan secara bersamaan
dikedua ujungnya. Setelah penarikan selesai kemudian selubung digrouting untuk
mengisi ruang antara selubung dan kabel baja supaya kabel baja tidak berpindah
posisi ketika beban bekerja (gambar 2.11 B).
Langkah 3
Setelah penarikan kabel dan pengangkuran kabel maka balok akan
mengalami gaya tekan hal ini disebabkan oleh gaya prategang yang ditransfer ke
balok. Penarikan kabel baja mengakibatkan gaya prategang sehingga terjadi beban
merata ke atas pada seluruh balok. Hal ini bisa terjadi karena kabel baja dipasang
secara parabola sehingga apabila ditarik balok akan melengkung ke atas (gambar
2.11 C).
2.3.3 Persyaratan Material
a. Beton Mutu Tinggi
Material beton yang digunakan pada beton prategang adalah beton mutu
tinggi yang berdasarkan ACI 318 beton mutu harus memiliki kuat tekan silindier
melebihi 6000 psi atau 41,4 MPa. Beton mutu tinggi diperlukan supaya dapat
menahan tegangan tekan dan tidak terjadi keretakan pada saat penarikan tendon.
Terdapat sifat fisik yang dibutuhkan beton mutu tinggi antara lain:
• Memiliki kemampuan tekan yang tinggi supaya dapat menahan gaya
prategang dan beban luar yang bekerja. Untuk beton pascatarik kuat
tekan (f’c) beton minimumnya adalah 30 MPa sedangkan untuk pratarik
kuat tekan (f’c) minimum nya adalah 40 MPa.
• Nilai susut dan rangkak rendah supaya kehilangan prategang kecil.
• Kemampuan lekat beton yang baik terutama dalam metode pratarik.
26
b. Tendon Baja Prategang
Kabel baja atau tendon yang digunakan memiliki mutu yang tinggi yaitu
sampai 270.000 psi (1862 MPa) atau bahkan lebih supaya dapat meminimalisir
kehilangan prategang akibat susut dan rangkak beton. Baja dengan mutu tinggi
memiliki porsi tegangan sisa yang bisa menahan gaya prategang dan dapat
mengatasi kehilangan gaya prategang disekitar baja. Nilai kehilangan prategang
normal dapat diasumsikan besarnya antara 35.000 sampai dengan 60.000 psi atau
241 sampai dengan 414 MPa. Terdapat sifat fisik yang dibutuhkan baja mutu tinggi
antara lain:
• Baja memiliki kuat tarik tinggi
• Modulus elastis yang kecil
• Nilai batas elastis besar
• Relasasi kecil
• Dapat menahan korosi
Bentuk baja prategang dapat berwujud kawat tunggal, strands yang tersusun
dari kumpulan beberapa kawat yang dipuntir menjadi komponen tunggal dan
batang dengan mutu tinggi.
(a) Strands (7 wire strand) (b) Kawat tunggal
(c) High-strength bar
Gambar 2.12 Jenis-jenis tulangan prategang
27
Tabel 2.9 Jenis dan Spesifikasi Tendon Baja Prategang
Jenis Material
Nominal
Diameter
(mm)
Luas (mm2)
Gaya
Putus
Minimum
(kN)
Tegangan Tarik
Minimum, fpes
(Mpa)
Kawat (wire)
5 19,6 30,4 1550
5 19,6 33,3 1700
7 38,5 65,5 1700
7-wire strand
super grade
9,3 54,7 102 1860
12,7 100 184 1860
15,2 143 250 1750
7-wire strand
regular grade 12,7 95,3 165 1750
Bar
23 415 450 1080
26 530 570 1080
29 660 710 1080
32 804 870 1080
38 1140 1230 1080
(Sumber: Nawy, 2001)
c. Selongsong Tendon (Duct)
Selubung atau selongsong adalah sebuah saluran guna meletakkan kabel baja
yang tetap pada tempat dan memiliki lapisan pelindung. Material yang digunakan
harus mampu ditembus oleh pasta semen, dapat menyalurkan tegangan lekat yang
diperlukan dan dapat mempertahankan posisi dan bentuknya.
Terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki selongsong dalam metode
pascatarik antara lain:
• Kedap terhadap mortar
• Tidak bereaksi dengan material disekitarnya (baja prategang, beton atau
bahan grouting yang digunakan).
Selongsong yang digunakan pada pelaksanaan grouting harus berdiameter 6
mm lebih besar dari diameter tendon atau memiliki luas minimal 2 kali luas tendon.
28
Gambar 2.13 Selongsong Tendon (Duct)
d. Angkur
Angkur yang dipakai harus memiliki kualitas mutu sesuai dengan spesifikasi
teknik dan harus dijamin oleh pembuat/fabrikator angkur, serta apabila perlu
dilakukan pengetestan angkur. Penjangkaran serta penarikan tendon dilakukan
diujung balok dan diletakkan pada angkur. Fungsi angkur sendiri yaitu untuk
mengikat tendon setelah penarikan supaya tetap pada kondisi tertarik. Terdapat dua
jenis pengangkuran pada sistem prategang yaitu angkur hidup dan angkur mati.
Gambar 2.14 Angkur Hidup dan Angkur Mati
e. Penyambung (Coupler)
Penyambung (coupler) yaitu sebuah alat untuk menyambung kabel baja
apabila kabel baja kurang panjang. Penyampung haruslah dapat menahan gaya
minimal sama dengan kuat tarik batas komponen yang akan dihubungkan.
Penyambung diletakkan pada posisi yang sedemikia rupa untuk dapat terjadinya
gerakan yang direncanakan.
29
Gambar 2.15 Penyambung Multistrand
2.4 Jembatan T-Girder (Deck Bulb Tee)
Jembatan T-Girder merupakan gelagar serbaguna yang menggabungkan
keuntungan dari I-girder dan slab deck/lantai kendaraan , dimana memiliki profil
penampang berbentuk “T”. Bentuk “T” dari T-Girder berguna untuk mentransfer
beban dalam bentuk beban sendiri girder, beban lalu lintas dan beban-beban lainnya
yang kemudian ditransfer menuju struktur bawah supaya dapat ditahan dan tidak
timbul simpangan gaya atau beban. Terdapat beberapa macam profil T-girder yang
umum digunakan seperti bulb tee, deck bulb tee, dan double tees.
(a) Bulb Tee (b) Deck Bulb Tee
(c) Double Tees
Gambar 2.16 Macam-macam profil T-Girder
30
T-Girder tipe deck bulb tee memiliki bentang efektif 40 ft – 160 ft dan lebar
dapat bervariasi dari 4 ft – 8 ft. Untuk bagian atas memiliki ketebalan minimal 6
inch yang berfungsi sebagai deck slab (lantai kendaraan).
Keuntungan dari profil deck bulb tee yaitu durasi pelaksanaan konstruksi
lebih cepat dan efisien karena plat lantai kendaraan sudah menjadi satu dengan
gelagar jembatan. Selain sebagai lantai kendaraan, bagian atas pada deck bulb tee
juga berfungsi menahan gaya lateral pada jembatan sehingga lebih stabil.
2.4.1 Perencanaan Awal Desain
Berdasarkan Buku Desain Struktur Beton Prategang dari TY Lin dan H
Burns untuk menentukan tinggi desain awal sebuah balok digunakan sebuah rumus
pendekatan yaitu h = 1
17L −
1
25 L . Sedangkan untuk kriteria penampang yang lain
didesain berdasarkan AASHTO Standard Spesifications of Highway Bridge 17th
edition. Berikut ini parameter kriteria penampangnya:
Gambar 2.17 Parameter desain perencanaan awal
a. Tebal Sayap Atas (flange thickness)
Untuk tebal sayap atas diatur dengan ketebalan minimum yaitu 5 inch dan
tebal sayap atas tidak boleh kurang dari setengah dari lebar web.
• ts min = 5 inch
• ts ≥ 0,5 bw
31
b. Lebar Sayap Atas (flange width)
Untuk lebar sayap atas yang menggantung disamping web tidak boleh
melebihi dari enam kali tebal sayap atas atau setengah dari jarak antar web dan lebar
sayap atas tidak boleh lebih dari empat kali dari lebar web.
• b ≤ 6 ts atau b ≤ 0,5 S
• b ≤ 4 bw
c. Tebal Web
Berdasarkan pernyataan sebelumnya (ts ≥ 0,5 bw) dapat dikatakan untuk
tebal web haruslah dua kali lebih tebal dari tebal sayap atas.
• bw ≥ 2 ts
d. Sayap Bawah
Pada bagian sayap bawah untuk lebar dan tebal dapat diasumsikan sendiri
sesuai kebutuhan. Untuk lebar sayap bawah bervariasi antara 1,5 ft – 2 ft.
Sedangkan untuk tebal sayap bawah bervariasi antara 6 inch – 9 inch.
2.5 Tahapan Pembebanan
Ada Dalam proses pembebanan pada beton prategang terdapata dua jenis
tahap pembebanan yaitu :
a. Tahap Transfer
Dalam tahap ini beban akan mulai bekerja ketika beton sudah kering dan
telah dilakukan penarikan baja prategang. Beban yang bekerja pada tahapan ini
hanyalah beban sendiri dari struktur. Pada kondisi ini (transfer) momen yang terjadi
minimum karena belum terjadi beban hidup, sedangkan gaya prategang yang terjadi
adalah maksimum karena belum terjadi kehilangan gaya prategang.
b. Tahap Service
Pada tahap service beton prategang sudah pada kondisi elemen struktur
karena beban luar sudah mulai bekerja seperti beban hidup, beban angin dan beban
gempa. Pada tahap service seluruh kehilangan gaya prategang yang diperhitungkan
akan terjadi. Pada situasi ini beban luar menimbulkan momen yang maksimal dan
gaya prategang yang ada mendekati nilai minimum karena sudah terjadi kehilangan
gaya prategang.
32
2.6 Kehilangan Gaya Prategang
Dalam pemberian gaya prategang diawal akan mengalami penurunan
kekuatan gaya prategang secara progesif selama kurang lebih lima tahun hal ini
disebut kehilangan gaya prategang. Terdapat beberapa jenis kehilangan gaya
prategang antara lain :
a. Kehilangan elastis segera (immedietly elastic losse)
Kehilangan ini merupakan jenis kehilangan gaya prategang secara langsung
atau segera yang terjadi setelah proses pemberian gaya prategang. Penyebab
kehilangan gaya prategang ini antara lain:
• Perpendekan elastis beton (ES)
• Friksi atau gesekan (FR)
• Slip akibat pengangkuran (ANC)
b. Kehilangan bergantung waktu (time dependent losses)
• Rangkak (CR)
• Penyusutan pada beton (SH)
• Relaksasi baja (R)
2.6.1 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Perpendekan Elastis Beton (ES)
Ketika gaya prategang bekerja, beton akan mengalami tekan yang
menyebabkan beton memendek dan secara langsung tendon pada sekitar beton akan
terjadi pemendekan. Hal ini mengakibatkan sebagian gaya prategang yang
diberikan pada tendon hilang. Kehilangan gaya prategang akibat perpendekan
elastis beton pada sistem pratarik dan sistem pascatarik berbeda.
Pada sistem pra-tarik perubahan regangan pada baja prategang yang
diakibatkan oleh perpendekan elastis beton adalah sama dengan regangan beton
pada baja prategang tersebut.
a. Sistem pra-tarik
Perpendekan elastis beton yang terjadi mengakibatkan perubahan regangan
pada baja maupun beton prategang. Pada sistem pratarik regangan pada baja
prategang adalah sama dengan regangan pada beton prategang. Kehilangan
33
tegangan yang terjadi juga dipengaruhi dengan rasio antara modulus elastisistas
beton dengan tegangan beton serta bisa dinyatakan menggunakan persamaan:
∆fpES = nfcs
Dimana :
- 𝑛 = 𝐸𝑠
𝐸𝑐𝑖
- 𝑓𝑐𝑠 = −𝑃𝑖
𝐴𝑐(1 +
𝑒2
𝑟2 ) +𝑀𝐷 𝑒𝑏
𝐼𝑐
b. Sistem pasca-tarik
Dalam metode pascatarik apabila digunakan kabel tunggal maka tidak akan
ada kehilangan gaya prategang akibat perpendekan elastis beton, sebab setelah
terjadi perpendekan elastis gaya prategang dapat diketahui. Apabila lebih dari satu
kabel prategang yang digunakan, maka nilai kehilangan prategang bergantung dari
penarikan kabel yang pertama dan menggunakan nilai setengahnya untuk
memperoleh nilai rata-rata keseluruhan kabel. Dalam metode pascatarik kehilangan
gaya prategang akibat perpendekan elastis dapat digunakan persamaan sebagai
berikut:
∆fpES = 0,5 x ∆fpES
2.6.2 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Friksi (F)
Ketika penarikan baja prategang yang dipasang secara parabolik tegangan
yang terbaca pada alat ukur akan lebih besar daripada tegangan pada tendon.
Fenomena ini disebabkan karena terjadi gesekan antara angkur dengan sistem
penarik (jacking). Hal yang mempengaruhi kehilangan gaya prategang akibat
gesekan antara lain:
• Ketidaksempurnaan posisi selongsong kabel prategang, disebut
koefisien wobble K
• Faktor kelengkungan kabel prategang, disebut koefisien gesekan μ
34
Alinyemen tendon akan berpengaruh terhadap efek kelengkungan,
sedangkan ketidaksempurnaan peletakan selubung yang tidak sengaja dan tidak
dapat dihindari merupakan penyebab terjadi efek wobble.
∆fpF = f1 (μα + KL)
Dimana :
- 𝛼 = 8𝑦
𝑥
- Nilai K dan L terdapat pada table
Tabel 2.10 Koefisien Kelengkungan dan Wobble
Jenis Tendon Koefisien wobble, K
per foot
Koefisien
kelengkungan,
μ
Tendon yang diselubungi metal fleksibel
Tendon kawat 0,0010-0,0015 0,15-0,25
Strand 7 kawat 0,0005-0,0020 0,15-0,25
Batang mutu tinggi 0,0001-0,0006 0,08-0,30
Tendon disaluran metal yang rigid
Strand 7 kawat 0,0002 0,15-0,25
Tendon yang dilapisi mastic
Tendon kawat dan strand 7 kawat 0,0010-0,00020 0,05-0,15
Tendon yang dilumasi dahulu
Tendon kawat dan strand 7 kawat 0,0003-0,0020 0,05-0,15
( Sumber: Nawy, 2001)
2.6.3 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Pengangkuran (A)
Pada metode pascatarik kehilangan gaya prategang pada angker disebabkan
karena terdapat blok-blok pada angker ketika gaya pendongkrakan disalurkan
menuju angker. Pada metode pratarik kehilangan ini juga terjadi ketika dilakukakan
penyesusain gaya prategang yang kemudian disalurkan ke landasan.
∆𝑓𝑝𝐴 = ∆𝐴
𝐿𝑥𝐸𝑝𝑠
Dimana :
- ∆A = besar gelincir
- L = panjang tendon
- Eps = modulus kawat prategang
35
2.6.4 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Rangkak pada Beton (CR)
Perubahan bentuk (deformasi) atau aliran lateral pada material yang
disebabkan oleh tegangan longitudinal atau beban yang bekerja sepanjang waktu
adalah rangkak (creep). Regangan elastis merupakan perubahan bentuk awal akibat
beban yang bekerja, sedangkan regangan rangkak merupakan tambahan beban yang
bekerja secara terus menerus dengan nilai yang sama.
∆fpCR = n KCR (fcs – fcsd)
Dimana :
- KCR = 2,0 untuk struktur pratarik
= 1,6 untuk struktur pasca Tarik
- fcs = tegangan di beton pada level pusat berat baja segera setelah
transfer
- fcsd = tegangan dibeton pada level pusat berat baja akibat semua beban
mati tambahan yang bekerja setelah prategang diberikan
- n = rasio modulus
2.6.5 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Susut (SH)
Nilai besarnya kehilangan prategang akibat susut beton dipengaruhi
beberapa hal. Bebarapa hal yang mempengaruhi susut beton meliputi waktu antara
pemberian prategang dengan akhir perawatan eksternal, jenis semen, jenis agregat,
perbandingan campuran, waktu perawatan, ukuran bagian struktur dan kondisi
lingkungan. Pada metode pascatarik sebelm pemberian pascatarik susut terjadi
terlebih dahulu yang mengakibatkan kehilangan prategang yang disebabkan susut
lebih kecil.
∆𝑓pSH = 8,2 x 10−6 KSH Eps(1 − 0,06v
s)(100 − 𝑅𝐻)
Dimana :
- RH = kelembapan relative
- V/S = rasio volume per permukaan
- Nilai KSH = 1,0 (komponen struktur pratarik)
36
Tabel 2.11 Nilai KSH Komponen Pascatarik
Waktu Dari Akhir Perawatan Basah
Hingga Pemberian Prategang (Hari) 1 3 5 7 10 20 30 60
KSH 0,92 0,85 0,8 0,77 0,73 0,63 0,58 0,45
( Sumber: Nawy, 2001)
2.6.6 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Relaksasi Baja (R)
Perpanjangan konstan akibat waktu menyebabkan tendon stress-relieved
mengalami kehilangan gaya prategangnya. Nilai kehilangan gaya prategang tidak
hanya dipengaruhi oleh berapa durasi gaya prategang yang mampu dipikul, tetapi
juag dipengaruhi oleh perbandingan antara gaya prategagn awal dengan kuat leleh
baja prategang (𝑓𝑝𝑖
𝑓𝑝𝑦
). Untuk lebih mudahnya dapat digunakan persamaan berikut:
∆fpR = f ′pi (
log t2 − log t1
10) (
f ′pi
fpy
− 0,55)
Dimana :
- f’pi = tegangan awal di baja yang dialami elemen beton
- fpy = kuat leleh baja prategang, yang dapat dihitung dari
= 0,80 fpu (batang prategang)
= 0,85 fpu (tendon stress-relieved)
= 0,90 fpu (tendon relaksasi rendah)
- t1 = waktu pada awal suatu interval dihitung dari saat pendongkaran
- t2 = waktu akhir di interval dihitung dari saat pendongkaran
2.7 Lintasan Tendon/Kabel Baja
Lintasan tendon merupakan wilayah sepanjang bentang yang mana titik
berat baja-baja prategang (center gravity of steel/CGC) melintas dan terbentuk
lintasan yang lurus. Penaikkan lintasan baja prategang secara mendadak terjadi
pada tengah bentang (harping) dan penaikkan secara perlahan-lahan pada tengah
bentang mengakibatkan bentuk lintasan menjadi parabolik (draped). Untuk
37
mengetahui letak titik kordinat pada lintasan tendon parabolik dapat digunakan
persamaan berikut:
Gambar 2.18 Layout Tendon Parabolik
Yi = 4 f 𝑋𝑖 (𝐿 − 𝑋𝑖)
𝐿2
Dimana :
Yi = Ordinat tendon yang ditinjau
Xi = Absis tendon yang ditinjau
L = Panjang bentang
f = es = tinggi parabola maksimum
2.8 Daerah Aman Kabel
Daerah aman kabel baja prategang berfungsi sebagai batasan atau zona aman
eksentrisitas tendon pada gelagar sederhana. Perlu ditetapkan sebuah batasan aman
tendon untuk dapat melihat desain yang digunakan apakah diizinkan terjadi tarik
pada batas ordinat minimal dan maksimal dari selubung atas ke selubung bawah
terhadap kern atas maupun kern bawah.
Apabila MD merupakan momen akibat beban sendiri/mati dan MT
merupakan momen total akibat dari seluruh beban yang bekerja secara transversal
maka lengan dari kopel antara garis pusat tendon prategang (garis cgs) dengan pusat
garis tekan (garis C) yang disebabkan oleh MD dan MT adalah amin dan amax.
Selubung lengan cgs bawah. Lengan minimum dari kopel tendon adalah
amin = MD
Pi
Dimana Pi adalah gaya prategang awal
38
Pada persamaan ini garis C direncanakan sedemikian supaya tidak terletak
dibawah garis kern bawah dan batas maksimal dibawah kern bawah dapat
ditentukan. Hal ini dapat mencegah tegangan tarik pada serat ekstrim atas. Oleh
karena itu batas eksentrisitas bawah dapat ditulis:
eb = (amin + kb)
Diamana 𝑘𝑏 =𝑟2
𝑐𝑡
- r2 adalah kuadrat jari-jari girasi
- ct adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah atas
Selubung lengan cgs atas. Lengan minimum dari kopel tendon adalah
amax = MT
P𝑒
Persamaan tersebut mendefinisikan jarak minimal di bawah kern atas yang
mana garis pusat baja (cgs) direncanakan sedemikian rupa sampai garis C tidak
berada di atas garis kern atas. Hal ini dapat mencegah tegangan tarik pada serat
ekstrim bawah. Oleh karena itu batas eksentrisitas atas dapat ditulis:
Et = (amax – kt)
Diamana 𝑘𝑡 =𝑟2
𝑐𝑏
- r2 adalah kuadrat jari-jari girasi
- cb adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah
bawah
Gambar 2.19 Daerah aman kabel
39
2.9 Blok Ujung (End Block)
Gaya prategang yang besar mengakibatkan terjadinya pemusatan tegangan
tekan yang cukup besar di arah longitudinal yang terjadi serta diterima oleh segmen
kecil pada penampang tumpuan diujung balok. Penyaluran beban yang terpusat oleh
pemberian gaya prategang pada balok jenis pratarik terjadi pada seluruh bentang
luas penampang tumpuan secara berangsur-angsur hingga pada akhirnya menjadi
seragam. Untuk balok jenis pascatarik penyaluran beban yang terpusat oleh
pemberian gaya prategang tidak mungkin terjadi secara berangsur-angsur sebab
pemberian gaya prategang bekerja langsung pada angker dan plat tumpu di ujung
penampang 𝑙𝑡 (𝑙𝑡 =1
1000(
𝑓𝑝𝑒
3) 𝑑𝑏). Luas penampang pada ujung yang semakin
medekati tumpuan terkadang perlu diperbesar dengan cara lebar badan dibuat sama
besar dengan lebar sayapnya supaya dapat menampung tendon yang dinaikkan.
Akan tetapi penambahan luas penampang ini tidak dapat mencegah retak spalling
atau bursting dan tidak dapat mereduksi pengurangang tari pada beton. Zona angker
tendon yang terlekat dapat divisualisasikan sebagai berikut :
Gambar 2.20 Transisi Daerah Solid ke Tumpuan
Gambar 2.21 Zona Ujung, Retak Bursting dan Retak Spalling
40
Oleh karena itu agar tidak terjadi retak spalling dan bursting maka
diperlukan sebuah perkuatan pengangkuran pada daerah penyaluran beban dalam
wujud tulang tertutupm sengkang atau alat-alat penjangkaran yang dapat
menyelimuti seluruh daerah pemberian prategang utama serta tulangan memanjang
non-prategang. Salah satu persamaan yang disarankann untuk mengetahui nilai
gaya tarik memecah (bursting) yaitu :
Fbst = 0,3 x Pj x [(1-(ypo/ yo)0,58]
Dimana :
Pj = Gaya jacking diagkur
ypo/yo = Perbandingan Dsitribusi
2ypo = Tinggi pelat angkur
2yo = Tinggi prisma ekuivalen
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tegangan izin bantalan,
seperti rasio antara luas bantalan dengan luas total, luas permukaan tulangan pada
angkur dan metode perhitungan tegangan. Untuk menghitung tegangan tumpuan
rata-rata pada beton dapat gunakan persamaan berikut :
Pada beban peralihan (transfer) :
• 𝜎𝑏𝑖 = 0,8 𝑓′𝑐𝑖√(𝐴2
𝐴1− 0,2) ≤ 1,25𝑓′𝑐𝑖
Pada beban bekerja (service):
• 𝜎𝑏 = 0,6 𝑓′𝑐√𝐴1
𝐴2≤ 𝑓′𝑐
2.10 Tulangan Geser
Tulangan geser adalah tulangan yang berguna sebagai pencegah retak
diagonal terjadi pada elemen struktur prategang. Secara prinsipnya tulangan geser
memiliki empat fungsi pokok antara lain :
1. Sebagian gaya geser luar terfaktor (Vu) dapat dipikul
2. Sebagai pembatas rambatan retak diagonal
41
3. Penahan supaya tulangan utama longitudinal tidak berpindah posisi dan
dapat memberikan pengikatan dengan beton pada daerah tekan apabila
digunakan sengkang tertutup.
Gambar 2.22 Sengkang Vertikal
Kekuatan geser batas beton (Vc) adalah tahanan geser nominal beton polos
dibagian badan dapat dihitung berdasarkan nilai terkecil dari persamaan pada saat
retak geser terlentur (Vci) dan kondisi retak geser bagian badan (Vcw) berikut ini :
𝑉𝑐𝑖 = (1
20√𝑓 ′𝑐 x 𝑏𝑤x 𝑑𝑝) + 𝑉𝑑 +
𝑉𝑖
𝑀𝑚𝑎𝑘𝑠
(𝑀𝑐𝑟)
𝑉𝑐𝑤 = [0,3 (√𝑓 ′𝑐
+ 𝑓𝑝𝑐)] x 𝑏𝑤 x 𝑑𝑝 + 𝑉𝑑
Sedangkan jarak antar sengkang :
𝑠 = 𝐴𝑣 𝑓𝑦𝑑
(Vuϕ ) − 𝑉𝑐
=𝐴𝑣 ϕ𝑓𝑦𝑑
Vu − ϕ𝑉𝑐
Dimana :
f’c = kuat tekan beton
bw = lebar badan (web)
dp = jarak dari serat terluar ke titik berat tulangan prategang
Vd = gaya geser pada penampang akibat beban mati
Vi = gaya geser terfaktor pada penampang akibat beban luar
Mmaks =momen maksimum terfaktor pada penampang yang ditinjau
Mcr = momen akibat beban luar yang menyebabkan retak lentur
42
Av = luas satu sengkang
fpc = tegangan tekan rata-rata beton akibat gaya prategang
Vp = komponen vertikal dari gaya prategang
d = jarak dari serat ekstrim ke pusat berat penulangan
nonprategang
fy = kuat leleh baja
s = jarak antar sengkang
Vs = tahanan geser nominal baja
Batasan jarak maksimal antara sengkang vertikal harus direncanakan dengan
kriteria sebagai berikut :
(a) smax ≤ 3/4 h ≤ 24 in, dimana h adalah tinggi total penampang
(b) Jika Vs > 4λ√𝑓c′ bw dp, jarak maksimum di (a) harus dibagi dua
(c) Jika Vs > 8λ√𝑓c′ bw dp, perbesar penampang
(d) Jika Vu = ϕVn > 1/2 ϕVc, luas miminum tulangan geser harus
digunakan dengan rumus :
𝐴𝑣 = 50𝑏𝑤𝑠
𝑓𝑦
Gambar 2.23 Jarak Tulangan Badan
43
2.11 Sambungan Antar Segmen (Shear Key)
Pemasangan girder secara segmental rawan akan timbul geser pada titik-titik
sambunganya. Maka dari itu dibutuhkan sebuah desain pengikat atau pengunci
supaya geser tidak terjadi. Shear key atau sistem pengunci geser umumnya
dirancang menggunakan jenis sambungan kering (dry join) dan sambungan basah
(wet join). Yang mana kekuatan geser yang diberikan oleh sambung kering murni
dipengaruhi oleh pengunci segmenya, sedangkan untuk sambungan basah gaya
ditambahkan bahan perekat (lem) sebagai perkuatan.
Gambar 2.24 Jenis Konfigurasi Shear Key (a) Male-Female (b) Female-Female (c) Dapped
(d) Flat (e) Mechanical
Berdasarkan fungsi sambungan geser dapat dipastikan bahwa gaya geser
yang disalurkan sambungan geser pada struktur dapat mempengaruhi kapasitas
geser struktur. Untuk mendapatkan nilai tegangan geser pada sambungan dapat
digunakan persaman sebagai berikut :
τ =Vc
Ag
Dimana :
τ = tegangan geser pada sambungan
Vc = gaya geser yang terjadi
Ag = luas bidang geser
2.12 Lendutan Jembatan
Karena eksentrisitas tendon prategang serta kecilnya beban luar yang
diterima ketika kondisi transfer mengakibatkan gelagar prategang melendut ke atas
(camber). Sedangkan pada kondisi service seluruh beban luar akan bekerja dengan
44
maksimal yang menimbulka gelagar prategang melendut ke bawah. Untuk dapat
menentukan besarnya lendutan pada gelagar dapat digunakan persamaan berikut :
• Lendutan camber akibat prategang :
a = −5𝑃𝑒𝐿2
48𝐸𝐼
• Lendutan akibat beban mati dan hidup merata :
∆ = 5𝑞 𝐿4
384𝐸𝐼
2.13 Metode Pelaksanaan Konstruksi
a. Prinsip Konstruksi
Metode pelaksanaan jembatan beton umumnya dibedakan menjadi dua
macam yaitu pengecoran langsung di lokasi (cast in site) dan pengecoran di pabrik
(precast segmental). Pada setiap metode pelaksanaan terdapat beberapa lagi jenis
seperti yang ditunjukkan pada tabel dibawah:
Tabel 2.12 Jenis Metode Pelaksanaan Jembatan Beton Prategang
Metode Pelaksanaan Jenis
Cast in situ
MSS (Moveable Scaffolding System)
ILM (Increamental Launching Method)
Balanced Cantilever dengan Form Traveller
Cable Stayed dengan Form Traveler
Precast Segmental
Balanced Cantilever Erection with Launching Gantry
Balanced Cantilever Erection with Lifting Frames
Span by Span Erection with Launching Gantry
Balanced Cantilever erection with Cranes
Pada penulisan ini metode yang dipilih dan dirasa paling sesusai dengan
judul adalah metode Span by Span Erection. Pada metode span by span atau bisa
disebut bentang per bentang, pelaksanaan pemasangan jembatan precast segmental
dilakukan satu pemasangan bentang hingga selesai lalu dilanjutkan pemasangan
bentang selajutnya hingga seluruh gelagar jembatan terpasang. Yang menjadi
sedikit berbeda pada metode ini alat Launching Gantry diganti menggunakan
cranes karena profil T-Girder akan dirakit atau dilakukan penarikan kabel tidak
diatas abutmen atau diluar lokasi proyek dan setelah penarikan akan diangkat ke
abutmen. Penggunaan cranes lebih ekonomis sebab biaya sewa lebih murah dan
ketersediaan alat tinggi.
45
Gambar 2.25 Metode Span by Span with Cranes
b. Pemasangan Kabel Prategang
Sebelum kabel prategang dipasang terlebih dahulu keseluruhan segmen
jembatan diletakkan pada elevasi yang sama serta posisi shear key juga disesuaikan.
Setelah keseluruhan segmen jembatan diatur pada elevasi yang sama dan rapat
maka kabel baja dapat dipasang secara manual dan dapat dilakukan penarikan.
c. Penarikan Kabel Prategang
Setelah seluruh kabel prategang terpasang maka penarikan bisa dilakukan.
Untuk menarik kabel prategang dibutuhkan sebuah dongkrak yang mampu
memberikan gaya jacking (PJ) yang sesuai dengan perencanaan serta
pendongkrakan atau jacking dilakukan dengan bergantian pada angkur hidup di
setiap ujung gelagar jembatan.
d. Pekerjaan Grouting
Pekerjaan ini dilakukan ketika selongsong kabel sudah dibersihakan dahulu
menggunakan aliran air bersih melewati lubang inlet. Penyaluran air bersih ini
dimaksudkan supaya dipastikan tidak ada lubang inlet dan outlet yang tesumbat.
Material yang dipakai untuk grouting harus tersusun oleh semen portland dan air
yang telah diatur sesuai dengan kebutuhan teknis. Material-material grouting perlu
diaduk menggunakan alat yang dapat mencampur secara sempurna dan diaduk
secara menerus hingga diperoleh komposisi material yang seragam dan merata.
Langkah selanjutkan campuran material grouting disalurkan melewati filter lalu di
pompa melalui lubang inlet yang akan mengisi rongga-rongga selubung tendon
hingga penuh.