BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pemidanaan juga berfungsi untuk
melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana, dimana melalui
program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah
kembali ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat.
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui
beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran No.
KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai proses,
maka pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan
proses yang bersifat terpadu, yaitu :17
Tahap Pertama : Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana
kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk
17
Adi Sujatno. Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri), Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004, hlm. 15-17
20
menentukan perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang
waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana
sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini
masih dilakukan dalam LAPAS dan pengawasannya maksimum security.
Tahap kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan
telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan
menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup
kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada
peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang
bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS
melalui pengawasan medium security.
Tahap ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari
masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai cukup
kemajuan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan Asimilasi yang
pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama dimulai sejak
berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya, tahap kedua
dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 dari masa
pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti
Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum security.
Tahap keempat : Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi
syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan
pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang
21
kemudian disebut Pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan
pembinaan, terdapat acuan program yang harus diikuti.18
Pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas adalah pemenuhan hak dan
kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana adalah mentaati segala
peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka antara lain hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan yang layak,
informasi dan sebagainya. Pemenuhan hak kebutuhan seksual narapidana dalam
Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan melalui mekanisme Cuti Mengunjungi
Keluarga (CMK) bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak
CMK bisa diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan
ketiga dengan pengamanan minimum security.
Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan “Sistem
Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan dengan ini
maka sistem kepenjaraan telah ditinggalkan dan memakai system pemasyarakatan
yang mengedepankan hak-hak narapidana.19
Hak narapidana tersebut antara lain
terdapat pada Pasal 14 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yaitu :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
18
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Cetakan I
Tahun 1990, hlm 10. 19
A.Widiada Gunakarya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 1988, hlm.
56.
22
e. menyampaikan keluhan
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
k. mendapatkan pembebasan bersyarat
l. mendapat cuti menjelang bebas
m. mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terpenuhinya hak-hak narapidana memiliki dampak positif terhadap
perikehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya tata
kehidupan yang aman dan tertib yang pada akhirnya mampu mewujudkan
narapidana yang telah siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang
bermartabat, siap menjalankan perannya di masyarakat dan berbakti terhadap
bangsa dan negara.
B. Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal
148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus,
walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-undang Narkotika bahwa
tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak
perlu disangksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang
tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk
23
pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar
kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat
besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah
sangat membahayakan bagi jiwa manusia.20
Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepetingan-kepentingan
pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin
lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau
menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai
tanaman papaver, koka dan ganja. Menurut Graham Bline, penyalahgunaan
narkotika dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :21
1. Faktor intern (dari dalam dirinya)
a. Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru,
hukum atau instansi berwenang,
b. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual,
c. membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berbahaya dan penuh resiko,
d. Berusaha mendapatkan atau mencari arti daripada hidup,
e. Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman
sensasional dan emosional,
f. Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang
kesibukan,
20
Supramono, G. Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakart, 2001, hlm 39 21
Soedjono Dirjosisworo. Hukum Narkotika Di Indonesia. Citra Aditya bakti, Bandung, 1990.
hlm 40
24
g. Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia
kawan,
h. Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.
2. Faktor Ekstern
a. Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda ke lembah
siksa narkotika,
b. Adanya situasi yang disharmoniskan (broken home) dalam keluarga,
tidak ada rasa kasih sayang (emosional), renggangnya hubungan antara
ayah dan ibu, orang tua dan anak serta antara anak-anaknya sendiri,
c. Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan
menjerumuskan generasi muda atau remaja.
d. Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan
penanggulangan yang serius dan menyeluruh. Penanggulangan dan
pencegahan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu.
Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum, sehingga menjadi
jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi lainnya untuk tidak berbuat.
Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara
preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional.
Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak
pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan
memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan
25
cara mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan
dan mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu narkotika.22
Kebijakan kriminalisasi pada perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah
sebagai berikut :
1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki,
menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam bentuk tanaman atau bukan
tanaman) diatur dalam (Pasal 111 sampai dengan Pasal 112);
2. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
golongan I (Pasal 113);
3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika golongan
I (Pasal 114);
4. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika golongan I
(Pasal 115);
5. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan I untuk digunakan orang lain (Pasal 116);
6. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan narkotika golongan II (Pasal 117);
7. Tanpa hak atau melawan hukum Memproduksi , mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika golongan II (Pasal 118);
8. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika golongan
II (Pasal 119);
9. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika golongan
II (Pasal 120);
10. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan II untuk digunakan orang lain (Pasal 121);
11. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan III (Pasal 122);
12. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan III (Pasal
123);
13. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika dalam golongan III(Pasal 124);
14. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika golongan
III (Pasal 125);
22
AW Widjaja, Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico, Bandung,
1985, hlm 18
26
15. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan III untuk digunakan orang lain (Pasal 126);
16. Setiap penyalah guna : (Pasal 127 Ayat (1))
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri
17. Pecandu Narkotika yang belum cukup umur (Pasal 55 Ayat (1)) yang
sengaja tidak melapor (Pasal 128);
18. Setiap orang tanpa hak melawan hukum : (Pasal 129) 42
a. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya antara lain dikatakan sebagai berikut :
1. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam
waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan
(pencabutanizin usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran
(bagi warga Negara asing).
2. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara
minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup.
3. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif
(terutama penjara dan denda);
4. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal
khusus (penjara maupun denda);
27
5. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan
permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi
dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada
pengulangan (recidive).
Kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkoba tampaknya tidak terlepas
dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :
1. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan
2. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika.23
.
Semua perumusan delik dalam Undang-undang Narkoba terfokus pada
penyalahgunaan dari peredara narkobanya (mulai dari penanaman, produksi,
penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya, termasuk pemakaian
pribadi, bukan pada kekayaan (property/assets) yang diperoleh dari tindak pidana
“narkobanya” nya itu sendiri.
Menurut ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan penjelasan
tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van
Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu
definisi yaitu “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau
kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam
rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas
maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang
23
Barda Nawawi Arief, Op, Cit., hlm 28.
28
dengan seseorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang
bersangkutan”.24
Pengertian doen pleger atau yang menyuruh lakukan itu merupakan salah satu
bentuk deelneming yang terdapat di dalam Pasal 55 KUHP. Mengenai pengertian
doen pleger atau yang menyuruh melakukan, Sumaryanti memberikan penjelasan
tentang hal tersebut yaitu “Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), di sini
sedikitnya ada dua orang yaitu yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh
(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi
ia menyuruh orang lain, meskipun ia tetap dipandang dan dihukum sebagai orang
yang melakukan sendiri tindak pidana”.25
C. Pengertian Pengguna Narkotika
Kecanduan narkoba kembali merupakan kondisi yang sangat mungkin terjadi bila
pecandu tidak secara aktif melakukan tindakan pencegahan dengan memperkokoh
kepribadian, disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjalani hidup
yang sehat dan bersih. Kecanduan narkoba memiliki intensitas yang lebih hebat
sehubungan adanya zat-zat kimia yang dikomsumsi berdampak mempengaruhi
cara kerja otak. Sebuah hormon yang mendatangkan kenikmatan dipaksa untuk
keluar dengan zat-zat tertentu dan pada akhirnya mempengaruhi tingkah laku
secara keseluruhan. Ada suatu tradisi panjang yang menghubungkan kepribadian
dengan zat-zat adiktif lainnya.
24
PAF Lamintang, Hukum Penitersier Indonesia. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 556 25
Sumaryanti, Peradilan Koneksitas Di Indonesia Suatu Tinjauan Ringkas. Bina Aksara, Jakarta,
2007, hlm 24
29
Proses pemulihan dari ketergantungan narkoba bukan merupakan yang mudah
dicapai. Proses pemulihan disamping waktu yang lama, juga memerlukan
kesadaran (niat) dari sipemakai narkoba. Kepribadian yang cenderung terhadap
pecandu adalah mereka yang lemah, tidak bisa dipercaya, jahat, keji, tidak
menyenangkan, menakutkan dan sebagainya. Sebab pada prisipnya narkoba
membawa pengaruh terhadap prilaku seseorang pengguna, jika semakin sering
dikomsumsi apalagi dalam jumlah yang berlebihan maka akan merusak kesehatan
tubuh, kejiwaan dan fungsi sosial dalam masyarakat. Proses pecandu untuk
sembuh merupakan sebuah perjuangan berat, namun bukan merupakan akhir dari
sebuah perjalanan panjang yang masih harus ia tempuh. Ini justru sebuah awal
yang baru yang harus ia perjuangkan, bagaimana memperjuangkan pekerjaan
yang layak, memulai karir atau membina keluarganya.
Penegakan terhadap pengguna narkoba yang bersifat ketergantungan, maka
ketergantungan ini dipandang sebagai perbuatan kriminal yang telah
menyalahgunakan pemakaian narkoba. Alasan kriminal yang utama dari tindak
pidana ini terlihat dalam pertimbangan sub c Undang-Undang nomor 9 tahun
1976 tentang Tindak Pidana Narkotika yaitu bahwa perbuatan penyimpangan,
pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang
seksama dan berentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan:26
1. Yang merugikan perorangan dan masyarakat
2. Merupakan bahaya di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya
serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun.
26
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Op Cit, hlm 74
30
Penjelasan undang-undang tersebut antara lain diungkapkan bahwa
penyalahgunaan narkotika itu:27
1. Dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan bagi
perorangan yang dapat menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung
pada narkoba untuk kemudian senantiasa berusaha agar senantiasa
memperoleh narkotika itu dengan segala cara tanpa mengindahkan norma-
norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku.
2. Dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan .
3. Merupakan salah satu sarana dalam rangka kegiatan subversi.
Penyalahgunaan dalam penggunaan narkoba dalam hal ini dapat diartikan dengan
pemakaian obat-obatan atau zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk
pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang
benar. Dalam kondisi yang cukup wajar atau sesuai dengan dosis yang dianjurkan
dalam dunia kedokteran saja maka pengguna narkoba secara terus menerus akan
mengakibatkan ketergantungan, depensi, adiksi dan kecanduan. Akibat dari
ketergantungan ini apabila dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan gejala
fisik dan psikis yang khas. Dalam ilmu kedokteran ketergantungan narkoba adalah
suatu jenis penyakit atau “disease etity”.
Ketergantungan narkoba secara klinis memberi gambaran yang berbeda dan
tergantung dengan banyak faktor-faktor antara lain:
1. Jumlah dan jenis zat yang digunakan
27
Ibid
31
2. Keparahan (severity) gangguan dan sejauh mana level fungsi kepribadian
terganggu
3. Kondisi psikiatri dan medis umum.
4. Kemampuan (strength) pasien dan kepekaannya.
5. Konteks sosial dan lingkungan pasien dimana dia berdomisili dan diharapkan
disembuhkannya.
Ketergantungan disebut sebagai penyakit dan perbuatannya disebut sebagai suatu
pelanggaran hukum atau merupakan kejahatan maka kedua-duanya menjadi suatu
hal yang dilematis yang membutuhkan penanganan yang serius. Sedangkan dilihat
dari pertumbuhan penggunaan narkoba memerlukan perhatian besar dari
pemerintah karena tingkat perkembangan penyalahgunaan narkoba begitu pesat
yang tidak hanya pada orang tertentu saja. Bahkan Sekjen PBB dalam pidatonya
di sidang economic and social council pada tanggal 24 Mei 1985, menyatakan
bahwa sudah tiba waktunya bagi masyarakat internasional untuk memperluas dan
meningkatkan kegiatannya dalam suatu usaha global yang lebih terpadu dan lebih
meluas dibidang ini.28
Hari Sasangka mengutip hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
narkotika (drug abuse) adalah:29
a. Drug Additiction (Kecanduan/Ketagihan Obat)
Drug Addiction yaitu Suatu keadaan yang terjadi setelah penggunaan narkoba
secara berkala dan terus menerus apabila pemberian atau penggunaan obat
28
Cmprehensive multidisciplinary out line (CMO)/Garis Besar Penanggulangan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkoba Secara Komprehensif dan Mulitidisiplin disunting BNN oleh Holil
Sulaiman, Konsultan Ahli BNN, Jakarta, 2006, hlm 8 29
Hari Sasangka, Op Cit, hlm 20
32
terebut dihentikan maka menimbulkan gejala ketergantungan psikis dan
jasmani
b. Drug Habituation (Kebiasan terhadap obat)
Drug Habituation (Kebiasaan terhadap obat) adalah akibat suatu obat yang
digunakan beberapa waktu, organisme menjadi kurang peka terhadap obat
Tertentu. Hari sasangka dalam kutipannya Menurut Tan Hoan Tjai dan Kirana
Raharja habituasi dapat terjadi melalui beberapa cara.
1) Induksi enzim misalnya barbital dan feninbuthazon menstimulir
terbentuknya enzim yang menguraikan obat-obat tersebut.
2) Reseptor-reseptor sekunder yang dibentuk ekstra oleh obat tertentu
misalnya Morfin. Dengan demikian jumlah molekul obat yang menempati
reseptor dimana efek terjadi akan menurun.
Dengan meningkatkan dosis obat terus menerus pasien dapat menderita
keracunan, karena efek sampingnya lebih kuat. Habituasi dapat diatasi dengan
menghentikan pemberian obat dan pada umumnya tidak menimbulkan gejala-
gejala penghentian (Abstinensi) seperti halnya pada adiksi. Juga menurut Tan
Hoan Tjai dan Kirana bahwa Habituasi dan Adiksi berbeda. Adiksi terdapat
ketergantungan jasmaniah dan rohaniah serta penghentian pengobatan
menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental (gejala-gejala abstinensi).
c. Drug Dependence (Ketergantungan obat)
Drug Depedence (ketergantungan obat) adalah suatu keadaan yang timbul
karena penggunaan jenis-jenis narkoba secara berkala dan terus-menerus yang
berakibat merusak diri si pemakai.
33
Ketergantungan narkoba merusak psikis dan pisik secara khas maka kedua-
duanya mempunyai tujuan :
1. Ketergantungan psikis adalah bahwa seseorang menggunakan narkoba adalah
untuk menghindari persolan hidup yang dihadapi, melepaskan diri dari suatu
keadaan atu kesulitan hidup.
2. Ketergantungan fisik menimbulkan gejala-gejala abstinensia (rangkaian suatu
gejala yang hebat) misalnya turunan morfin mengakibatkan ketakutan,
berkeringat, mata berair gangguan lambung dan usus, sakit perut.
Penyalahgunaan narkoba berpengaruh pada tubuh dan mental-emosional para
pemakainya. Jika semakin sering dikomsumsi apalagi dalam jumlah yang
berlebihan maka akan merusak kesehatan tubuh, kesehatan dan fungsi sosial
dalam masyarakat.
Pengaruh narkoba pada remaja bahkan dapat berakibat lebih fatal,karena
menghambat perkembangan kepribadiannya. Narkoba dapat merusak potensi diri
sebab dianggap sebagai cara yang wajar bagi seseorang dalam menghadapi dan
menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari. Penyalahgunaan narkoba
merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik dan harus menjadi
perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang
menyatakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dalam
mengkomsumsi narkoba, tapi hal ini belum memberi angka yang cukup signifikan
dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba.
Penyalahgunaan narkotika bukan karena tidak ada sebab atau faktor yang
mengakibatkan seseorang, bahkan kecenderungan tentang kejahatan pada dekade
34
ke 20 ini bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara individu dan
lingkungan.30
Terdapat 3 (tiga) faktor (alasan) sebagai pemicu seseorang dalam
penyalahgunaan narkoba. Ketiga faktor tersebut adalah faktor diri, faktor
lingkungan dan faktor kesediaan narkoba, antara lain:
1. Faktor diri
a. Keinginan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir panjang
tentang akibatnya di kemudian hari.
b. Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran.
c. Keinginan untuk bersenang-senang.
d. Keinginan untuk dapat diterima (komunitas) atau lingkungan tertentu.
e. Workaholic agar terus beraktifitas maka menggunakan stimulant
(perangsang).
f. Lari dari masalah, kebosanan dan kegetiran hidup
g. Kecenderungan merokok dan minuman keras, dua hal ini merupakan
gerbang kearah penyalahgunaan narkoba
h. Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuas-puasnya
i. Menderita kecemasan dan kegetiran hidup
j. Mengalami kesalahan dan menurunnya semangat belajar
k. Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan dengan
menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan
l. Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima atau tidak disayangi dalam
lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan
m. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan
30
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditama, Bandung, 2007,
hlm 60
35
n. Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan narkoba
o. Pengertian yang salah bahwa mencoba narkoba sekali-kali tidak akan
menimbulkan masalah
p. Tidak mampu menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok
pergaulan untuk menggunakan narkoba.
q. Tidak dapat atau tidak mampu berkata tidak pada narkoba.
2. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan
hidup baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor
keluarga terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau
remaja menjadi penyalahguna napza.
a. Lingkungan keluarga menjadi faktor penyumbang dalam penyalahgunaan
napza. Hal ini dapat terjadi apabila dalam keluarga terdapat beberapa
permasalahan antara lain:
1) Komunikasi orang tua-anak kurang efektif/baik
2) Hubungan keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga
3) Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi.
4) Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh.
5) Orang tua otoriter atau serba melarang.
6) Orang tua yang serba memperbolehkan (permisif)
7) Orang tua kurang perduli atau tidak tahu masalah napza.
8) Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)
9) Kurangnya kehidupan beragama dan menjalankan ibadah dalam keluarga
10) Orang tua atau anggota keluarga menjadi penyalahguna napza.
36
b. Lingkungan sekolah dapat menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan
narkoba adalah sebagai berikut :
1) Sekolah yang kurang disiplin
2) Sekolah yang terletak dekat dengan tempat hiburan atau penjual napza.
3) Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri sendiri secara kreatif dan positif
4) Adanya murid pengguna napza.
5) Lingkungan teman sebaya juga menjadi penyebab penyalahgunaan
narkoba apabila berteman dengan penyalahguna dan tekanan atau ancaman
dari teman kelompok atau pengedar.
6) Lingkungan masyarakat/sosial terjadi apabila penegakan hukum lemah,
situasi politik dan ekonomi yang kurang mendukung.
3. Faktor Ketersediaan Narkoba.
Mudahnya mendapatkan napza dan dengan harga murah memberi kesempatan
yang baik bagi pengguna. Selain itu banyak iklan-iklan minuman beralkohol dan
rokok yang menarik untuk dicoba. Khasiat napza yang menenangkan,
menghilangkan rasa nyeri, menidurkan, membuat euphoria/fly/tone/high/teller
memang tidak selalu membuat seseorang menjadi penyalahguna napza akan
tetapi besar kemungkinan menjadikan seseorang penyalahguna napza. Penyebab
penyalahgunaan narkotika harus dipelajari kasus demi kasus sehingga untuk
melaksanakan upaya penanggulangan dengan pelayanan terapi dan rehabilitasi
lebih mudah dilaksanakan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.
37
D. Akibat Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan dalam bahasa Inggris disebut “Abuse“ yang artinya pemakaian
yang tidak semestinya. Sehingga penyalahgunaan obat dalam bahasa Inggris
disebut dengan “Drug Abuse”. Drug Abuse dapat dikategorikan sebagai berikut :31
1. Misuse yaitu menggunakan obat yang tidak sesuai dengan fungsinya.
2. Overuse yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan atau berlebih-
lebihan.
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah dimulai tahun 1968. Meluasnya
peredaran narkoba di Indonesia tidak terlepas dari dampak globalisasi yang
memicu perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi tanpa batas khususnya
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi dan transportasi di
dunia secara luas yang memudahkan peredaran narkoba dengan cara
penyeludupan ke negara lain termasuk Indonesia. Dengan kondisi seperti ini
Indonesia bukan lagi sebagai Negara transit penyeludupan tetapi menjadikan
negara peredaran gelap narkotika.
Indonesia diperhadapkan dengan keadaan yang mengkwatirkan akibat dari
semakin maraknya peredaran gelap narkotika. Ancaman terhadap generasi muda
dan bahkan dikalangan tanpa batas bagi bangsa Indonesia menjadi permasalahan
yang penuh perhatian dari semua pihak karena akibat penyalahgunaan narkotika
sangat berbahaya. Dalam dosis yang wajar saja/sesuai dengan dosis yang
dianjurkan oleh dokter, tetapi penggunaan yang terus menerus dapat
mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi dan kecanduan.Penyalahgunaan
31
Hari Sasangka, Op Cit, hlm 21
38
narkoba juga berpengaruh pada tubuh dan mental emosional para pemakainya.
Jika semakin sering dikomsumsi, apalagi dalam jumlah yang berlebihan maka
akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan fungsi sosial di dalam masyarakat.32
Pengaruh narkoba pada remaja bahkan dapat berakibat fatal. Karena menghambat
perkembangan kepribadiannya. Narkoba dapat merusak potensi diri sebab
dianggap secara wajar bagi seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan
permasalahannya. Walaupun sudah banyak dampak negatif dari penyalahgunaan
narkoba, namun belum memberi angka yang signifikan dalam penanggulangan
peredaran gelap narkoba untuk mengurangi tingkat penyalahgunaan.
Penyalahgunaan bukan hanya membawa akibat terhadap individu sendiri, tetapi
juga memberi akibat bagi masyarakat.33
1. Akibat-Akibat Narkoba Terhadap Individu.
a. Euphoria ialah suatu perasaan riang gembira (well being) yang dapat
ditimbulkan oleh narkoba yang abnormal dan tidak sesuai dengan keadaan
jasmani atau rohani si pemakai yang sebenarnya. Efek ini ditimbulkan
oleh dosis yang begitu tinggi.
b. Delirium yaitu menurunnya kesadaran mental sipemakai disertai
kegelisahan yang agak hebat yang terjadi secara mendadak yang dapat
menyebabkan gangguan kordinasi otot-otot gerak motorik (Mal
Kordination). Efek delirium ini ditimbulkan oleh pemakai dosis yang lebih
tinggi di banding dosis pada euphoria.
32
Modul Pelatihan Petuas Rehabilitasi Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center (OSC). Op
Cit, hlm 7 33
Hari Sasangka, Op Cit, hlm 24
39
c. Halusinasi yaitu kesalahan persepsi panca indra sehingga apa yang dilihat,
apa yang didengar tidak menjadi kenyataan sesungguhnya.
d. Weakness yaitu suatu kelemahan jasmani atau rohani atau keduannya
yang terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan narkoba.
e. Drowsiness yaitu kesadaran yang menurun atau keadaan antara sadar dan
tidak sadar seperti keadaan setengah tidur disertai pikiran yang sangat
kacau dan kusut.
f. Collapsi yaitu keadaan pingsan dan jika sipemakai over dosis dapat
mengakibatkan kematian.
Akibat-akibat lain yang bisa terjadi pada pemakai narkoba adalah :
a. Terjadi keracunan (Toxicity).
b. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak normal (Mal function).
c. Terjadi kekurangan gizi (Mal nutrition).
d. Kesulitan penyesuaian diri.
e. Kematian.
2. Akibat Pemakai Narkoba Bagi Masyarakat.
Disamping berpengaruh terhadap individu penyalahgunaan narkoba juga
berpengaruh pula bagi masyarakat luas. Pengaruh pemakaian narkoba terhadap
masyarakat luas antara lain :
a. Meningkatkan kriminalitas atau gangguan kamtib masyarakat
b. Menyebabkan timbulnya kekerasan baik terhadap perorangan atau kelompok.
c. Timbulnya usaha-usaha yang bersifat illegal dalam masyarakat misalnya pasar
gelap narkotika.
40
d. Banyaknya kecelakaan lalu lintas
e. Menyebabkab penyakit tertentu lewat jarum suntik yang dipakai pecandu
misalnya: Hepatitis B, hepatitis C dan HIV/AIDS.
Kalau dilihat menurut efeknya pada sistim saraf pusat pemakai narkoba dan zat
adiktif lainnya dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:34
1) Depresan.
Obat jenis ini yang dapat menekan atau memperlambat fungsi sistim saraf
pusat sehingga dapat mengurangi aktifitas fungional tubuh. Obat anti depresan
ini dapat membuat pemakai merasa tenang, memberi rasa melambung tinggi,
memberi rasa bahagia dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan
diri. Contoh Opida/opiate (opium, morfin, heroin, kodein), alkohol dan obat
tidur transkuiliser atau obat penenang. Obat penenang depresan yang
tergolong pada kelompok obat yang disebut “benzodiazepine” obat-obat ini
diresepkan oleh para dokter untuk mengurangi stress, kecemasan, untuk
membantu orang tidur dan kegunaan kedokteran lainnya. Biasanya obat ini
berbentuk kapsul atau tablet. Beberapa orang menggunakan obat penenang
karena efeknya menenangkan. Pengaruh obat penenang terhadap tiap orang
berbeda-beda tergantung besarnya dosis, berat tubuh, umur seseorang,
bagaimana obat itu dipakai dan suasana hati sipemakai.
2) Stimulan.
Berbagai jenis zat yang dapat merangsang sistim saraf pusat dan dapat
meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran. Obat ini
dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan,
34
Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan, BNN, 2009, hlm 34
41
mempercepat detak jantung, tekanan darah dan pernafasan, mengerutkan urat
nadi serta memperbesar biji mata.
3) Halusinogen.
Merupakan obat-obatan alamiah ataupun sintetik yang memiliki kemampuan
ataupun memproduksi zat yang dapat mengubah rangsangan indera yang jelas
serta merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau
halusinasi.
E. Pengertian dan Tujuan Rehabilitasi
1. Pengertian Rehabilitasi.
Program rehabilitasi dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way
Huwi meliputi aspek rehabilitasi medis, sosial, kerohanian dan ketrampilan.
Program ini dilaksanakan untuk membantu Warga Binaan terlepas dari
ketergantungan narkotika dan psikotropika, dengan rehabilitasi ini menjadikan
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika pusat penangulangan terpadu dalam satu
atap atau One Stop Center (OSP). Sebagai one stop center petugas Lapas
Narkotika harus mampu memberi kesadaran terhadap narapidana supaya tidak
kembali terhadap perbuatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Proses pelayanan dan rehabilitasi terpadu bagi penyalahguna narkotika baik
rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial, harus memenuhi sumber daya
manusia yang memenuhi persyaratan ataupun kriteria, karena untuk
42
penangulangan penyalahguna narkoba bukanlah hal yang mudah, dengan
demikian dibutuhkan ketrampilan dan keahlian secara khusus.35
Pelaksanaan terapi terhadap penyalahguna narkotika disesuaikan dengan
permasalahan kelompok tingkat kecanduannya. Menurut Nalini Muhi, ada
kelompok yang potensial yang mudah terpengaruh narkoba:36
a. Kelompok primair yaitu kelompok yang mengalami masalah kejiwaan,
penyebabnya bisa karena kecemasan, depresi dan ketidakmampuan menerima
kenyataan hidup yang dijalani. Hal ini diperparah lagi karena mereka ini
biasanya orang yang memiliki kepribadian introfet atau tertutup. Dengan
jalan mengkomsumsi obat-obatan atau sesuatu yang diyakini bisa membuat
terlepas dari masalah kendati hanya sementara waktu. Kelompok primair
sangat mudah dipengaruhi untuk mencoba narkoba jika lingkungan
pergaulannya menunjang dia memakai narkoba.
b. Kelompok sekunder yaitu kelompok mereka yang mempunyai sifat anti sosial.
Kepribadiannya selalu bertentangan degan norma-norma masyarakat. Sifat
egosentris sangat kental dalam dirinya. Akibatnya dia melakukan apa saja
semaunya. Perilaku ini disamping sebagai konsumen juga dapat sebagai
pengedar. Ini merupakan pencerminan pribadi yang ingin mempengaruhi dan
tidak senang jika ada orang lain merasa kebahagiaan, kelompok ini harus
diwaspadai.
c. Kelompok tersier adalah kelompok ketergantungan yang bersifat reaktif,
biasanya terjadi pada remaja yang labil dan mudah terpengaruh dengan
35
Modul Pelatihan Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan One Stop Center (OSC), BNN
RI, Pusat Laboratorium Terapi dan Rehabilitasi, Jakarta, 2006, hlm 72 36
Hari Sasangka, Op Cit, hlm 10
43
kondisi lingkungannya, juga pada mereka yang kebingungan untuk mencari
identitas diri selain mungkin adanya ancaman dari pihak tertentu untuk ikut
mengkonsumsi narkoba.
Kelompok pertama dan ketiga dapat dilakukan dengan terapi yang serius dan
intensif, sedangkan untuk kelompok kedua selain terapi juga harus menjalani
pidana penjara sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Apabila
pengedar narkoba hanya di terapi, akan kecil sekali sembuhnya. Pengedar adalah
kelompok yang paling berbahaya terhadap penyebaran narkoba.
Pelaksanaan terapi disini adalah bertujuan untuk mendapat kesembuhan bagi
narapidana supaya lepas dari ketergantungan Napza sebagaimana dalam tujuan
pengobatan adalah untuk mendapat efek pengobatan (efek terapeutik) yang
diinginkan. Efek terapeutik merupakan tujuan agar pasien menjadi sembuh.
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(NAPZA) atau istilah yang popular dikenal masyarakat sebagai narkoba
(Narkotika dan Bahan/obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks
yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan
kerja sama multidisipliner dan peran serta masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.37
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika adalah salah satu Lembaga
Pemasyarakatan Khusus untuk penyalahguna narkotika, maka tugas Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika adalah untuk membina narapidana khusus narkotika.
Secara ideal Lapas Narkotika mengandung makna berperan “memasyarakatkan
37
Ibid.
44
kembali “ para narapidana yang telah melanggar aturan hukum dan norma-norma
yang dianut masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika melaksanakan
pembinaan secara konfrehensif, baik rehabilitasi terpadu sosial maupun
rehabilitasi medis.38
Pengertian rehabilitasi sosial adalah merupakan suatu kegiatan pembinaan yang
bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan
dan prososial supaya dapat meninggalkan tingkah laku terhadap penyalahgunaan
narkoba dan diharapkan dapat kembali kemasyarakat. Pengertian rehabilitasi
medis adalah bentuk pemulihan narapidana dari penyalahgunaan narkoba dengan
memberikan perawatan terhadap narapidana. Bentuk perawatan dilaksanakan di
Lapas Narkotika sebagai berikut:
a. Pemeriksaan kesehatan pada saat menjadi Warga Binaan di Lapas Narkotika
b. Pemeriksaan darah dan urin untuk mengetahui secara dini terjangkitnya
penyakit HIV, AIDS dan Hevatitis
c. Kontrol kebersihan ke Blok hunian narapidana
d. Perawatan kesehatan rutin narapidana
e. Pelayanan rawat inap dan rawat jalan ke RSU Pemerintah
f. Kerjasama dengan para medis dan dokter setempat
2. Tujuan Rehabilitasi
Terus meningkatnya jumlah korban penyalahguna narkoba membuat peran terapi
dan rehabilitasi bagi korban narkoba menjadi penting dan strategis. Untuk itu
bidang terapi dan rehabilitasi diminta untuk proaktif terus mencari terobosan agar
38
David J cooke, Pamela J Baldwin dan Jaqueline howison, Menyingkap Dunia Gelap Penjara,
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama , 2008), hlm 1
45
perannya menjadi efektif. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada
unsur penjeraan dan penggunaan titik tolak pandangannya terhadap narapidana
sebagai individu, semata-mata dipandang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.39
Bagi manusia pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi
sekadar aspek penjeraan belaka, tetapi juga sebagai suatu usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial, serta melahirkan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggaran
hukum yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan
dapat diumpamakan sebagai sebuah “sanggar” yaitu suatu rumah atau ruangan
yang diatur baik-baik untuk mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu di dalam
sebuah sanggar mempunyai cirri-ciri atau sifat-sifat rehabilitatif, korektif,
edukatif, dan integratif. Dengan dirubahnya sangkar menjadi sanggar, karena
hanya di dalam “Sanggar Pengayoman” pembinaan terpidana berdasarkan sistem
pemasyarakatan dan proses-proses pemasyarakatan dapat terwujud.40
Bentuk rehabilitasi yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
merupakan wujud dari sistem pemasyarakatan yang pelaksanaannya adalah
bersifat rehabilitasi terpadu. Berdasarkan pengertian diatas bahwa tujuan
rehabilitasi adalah juga tujuan daripada pembinaan. Hal ini dapat dipertegas
bahwa yang menjadi pedoman di Lapas-Lapas lain juga sama pedoman di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang UUP dan Peraturan-peraturan yang lain.
39
Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi
Manusia Mandiri, Teraju, Jakarta, 2008, hlm 123. 40
Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara, cetakan I, Montas Ad, Jakarta, 2001, hlm 14.
46
Arti penting diperlukannya terapi dan rehabilitasi di Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan di sebabkan oleh :41
a. Dampak negatif narkoba dalam jangka panjang.
b. Peningkatan angka kematian rata-rata akibat penyakit penyerta sebagai
dampak buruk penyalahgunaan narkoba seperti TB, HIV-AIDS dan Hevatitis.
c. Mengurangi penularan penyakit TB, HIV-AIDS dan Hevatitis.
Untuk mencapai tujuan rehabilitasi sebagai tahap pemulihan bagi penyalahguna
narkoba dilaksanakan dengan pembinaan. Hal ini sejalan dengan pemikiran-
pemikiran baru tentang fungsi pemidanaan yang tidak lagi bersifat penjeraan
tetapi telah berubah menjadi suatu usaha yang rehabilitatif dan reintegratif dengan
tujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak mengulangi tindak pidana
lagi dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi
diri, keluarga dan masyarakat serta berguna bagi nusa dan bangsa.
Strategi rehabilitasi ini dilakukan untuk mengobati para penyalahguna narkoba,
dengan melakukan pengobatan secara medis, sosial dan spiritual serta upaya
untuk mencegah menjalarnya penyakit HIV/AIDS karena pemakai jarum suntk
oleh penyalahguna narkoba secara bergantian. Agar mereka yang sudah diberikan
habiltasi tidak menjadi penyalahguna lagi, perlu dilakukan upaya pencegahan
lebih lanjut.
Penyalaguna narkoba merupakan bagian dari masyarakat yang harus ditolong dan
diberikan kasih sayang dalam mempercepat proses penyembuhan. Perlu diberikan
pengobatan dan rehabilitasi secara gratis kepada penyalahguna yang tidak mampu
41
Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara Dari Sangkar Menuju Sanggar Menuju Manusia
Mandiri, Op., Cit, hlm 15.
47
melalui subsidi pemerintah dan sumbangan para donatur, kaena pengobatan dan
rehabilitasi terhadap penyalahguna narkoba memerlukan waktu dan biaya yang
cukup besar.
F. Bentuk Rehabilitasi
Indonesia semenjak tahun 1971 telah memulai tindakan-tindakan yang bertujuan
kepada penanggulangan bahaya narkoba dengan menerbitkan instruksi Presiden
nomor 6/1971 yang mengintruksikan kepada KABAKIN untuk mendirikan Badan
Kordinasi (Bakolak Inpres 6/1971 yang menangani 6 (enam) masalah nasional
yang salah satunya adalah masalah narkotika. Namun perkembangan
permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap yang semakin meningkat
maka pada tahun 1999 pemerintah Indonesa membentuk lembaga baru yaitu
Badan Koordinasi Narkotika Nasional melalui Keppres Nomor 116 tahun 1999
tentang Pembentukan Badan Kordinasi Narkotika Nasional. Dalam
perkembangannya lembaga ini yang hanya bersifat koordinatif, lembaga ini
dinilai kurang efektif.42
Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 22 Maret 2002
diubah menjadi Badan Narkotika Nasional yang terdiri dari Departemen serta
Lembaga Pemerintah terkait. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika
Nasional jumlah kasus dan tersangka pelaku tindak kejahatan narkoba yang
terungkap dan jumlah penyalahguna yang terdeteksi menunjukan peningkatan
tajam diseluruh wilayah tanah air. Terus meningkatnya jumlah korban
penyalahgunaan narkoba membuat peran terapi dan rehabilitasi bagi korban
42
Modul Pelatiahn Petugas Rehabilitsi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center
(OSC), Op Cit, hlm 7
48
narkoba menjadi penting dan strategis. Untuk itu bidang terapi dan rehabilitasi (T
dan R) diminta untuk proaktif untuk mencari terobosan agar perannya menjadi
efektif. Korban penyalahguna narkotika masih dipandang sebagai kriminal.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN mengatur tentang
pengobatan dan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika pada bab IX
dari Pasal 53 sampai dengan Pasal 59. Pasal 54 tentang UUN tersebut
menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Akibatnya mereka dijauhi
keluarga, padahal sesungguhnya mereka perlu pertolongan untuk mendapat
kesembuhan. Untuk memenuhi kewajiban tersebut Pasal 103 pada Undang-
Undang yang sama menyebutkan :
1. Hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat :
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika
tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Supaya penyalahguna narkotika itu dapat menjalani pengobatan dan perawatan di
pusat terapi dan rehabilitasi, penyalahguna tersebut harus dapat membuktikan atau
terbukti sebagai korban penyalahguna narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal
127 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN. Terapi dan
Rehabilitasi yang dijalani oleh korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu
49
narkotika diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Mahkmah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi dan Rehabilitasi.
Pandangan masyarakat yang menganggap seorang pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika adalah suatu pasien yang harus ditolong dengan
pengobatan dan perawatan dan bukan sebagai kriminal yang harus dihukum.
Pendapat ini membuat pusat terapi dan rehabilitasi semakin berperan dan sebagai
sarana untuk mengatasi korban narkoba. Faktor inilah yang menyebabkan
sebagian besar komunitas praktisi rehabilitasi dan bekas pecandu menyukai
pandangan ini, karena martabat mereka dikembalikan sehingga setara dengan
anggota masyarakat manapun. Mereka diperlakukan sebagai orang sakit yang
perlu ditolong dan bukan sebagai sampah masyarakat yang harus dikembalikan
kejalan yang benar. Upaya pelayanan terapi dan rehabilitasi bagi pecandu narkoba
harus menyeluruh meliputi unsur medik-psikososial-multidisipliner dengan
mengikuti sertakan peran aktif masyarakat secara berkesinambungan.43
Penjelasan Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Pasal
56 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah misalnya Lembaga
Pemasyarakatan narkotika dan Pemerintah daerah. Katentuan ini
menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu Narkotika
pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah
43
Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Bagi Pecandu Narkoba Dilihat Dari Sisi Psikososial,
Op, Cit, hlm 18
50
penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawalan ketat
Departemen Kesehatan.
Sebagai implementasi pelaksanaan penjelasan Undang-Undang Narkotika tersebut
telah terbentuk Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang menampung narapidana
khusus penyalahguna narkotika. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ini dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI
No.M.04.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Way Huwi, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung,
Nusakambangan, Madiun, Pamekasan, Martapura, Bangli, Maros dan Jayapura.
Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN
bahwa yang ditetapkan untuk masuk ke pusat terapi dan rehabilitasi adalah
pecandu narkotika yang wajib dapat dibuktikan sebagai pecandu. Menjalani terapi
dan rehabilitasi bukan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika akan tetapi
menurut Undang-Undang disini adalah Pusat Terapi dan Rehabilitasi apabila
dibuktikan sebagai pecandu.
Di pusat terapi dan rehabilitasi di khususkan hanya kepada pecandu yang tidak
terbukti tindak pidananya. Maka dengan ini pengguna dan pengedar yamg
terindikasi dengan tindak pidana tidak dimasukkan ke pusat terapi dan
rehabilitasi sesuai dengan Undang-Undang Numor 35 Tahun 2009 tentang UUN
tapi adalah menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Penjelasan
Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN
menyebutkan bahwa :
51
a. Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi pecandu
narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika
mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis
(hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan.
b. ketentuan ini menegaskan bahwa pengunaan kata menetapkan bagi pecandu
narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika
mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan.
Pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan oleh intansi terkait, dalam hal ini yang
disebut instansi terkait adalah Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan
Departemen Kesehatan (rumah sakit). Lembaga Pemayarakatan Narkotika sebagai
instansi pelayanan rehabilitasi sekaligus sebagai pelaksanaan pembinaan, maka
rehabilitasi sosial, rehabilitasi mental, rehabilitasi rohani dan rehabiltasi medis
dilaksanakan sebagai satu kesatuan tugas dan fungsi yang disebut dengan
pelayanan terpadu dalam satu atap. Berbeda dengan pusat terapi dan rehabilitasi
yang banyak melaksanakan pengobatan untuk melepaskan penyalahguna dari
ketergantungan selain itu juga untuk mencegah terjadinya penularan dari penyakit
yang membahayakan akibat penyalahgunaan narkotika.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN bahwa
rehabilitasi dilaksanakan seiring dengan terapi (pengobatan) untuk melepaskan
pecandu dari ketergantungan dan pengobatan dari penyakit menular akibat dari
penggunaan melalui jarum suntik seperti penyakit HIV/AIDS, Hepatitis B dan
TBC Biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lengkap dengan tes
darah dan urin untuk mendeteksi penyakit atau kelainan para pecandu narkoba.
52
Jika dalam pemeriksaan ditemukan penyakit tersebut biasanya dilakukan
pengobatan medis terlebih dahulu kemudian dilanjutkan rehabilitasi non medis.
Cara ini untuk mencegah terjadinya penularan penyakit kepada para penderita
yang lain, tenaga kesehatan dan petugas rehabilitasi.
Prinsip perawatan setiap rumah sakit rehabilitasi narkoba yang ada di Indonesia
sangat beragam, ada yang menekankan pengobatan hanya pada prinsip medis, ada
pula yang lebih menekan pada prinsip rohani atau memadukan pendekatan
tersebut dengan posisi yang seimbang. Model terapi rahabilitasi yang dapat
dilakukan untuk membantu sesorang melepaskan diri dari kecanduan dan
merubah prilakunya menjadi lebih baik:
Model ini sangat umum dikenal masyarakat dan serta biaanya dilakukan
dengan pendekatan agama/moral yang menekankan tentang dosa dan
kelemahn individu. Model terapi ini sangat tepat diterapkan pada
lingkungan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai
keagamaan dan moralitas ditempat asalnya karena model ini berjalan
bersamaan dengan konsep baik dan buruk yang diajarkan oleh agama
2. Model terapi sosial.
Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas dimana adiksi terhadap
obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan sosial (social disorder).
Tujuan dari model terapi ini adalah mengarahkan prilaku yang menyimpang
tersebut kearah prilaku yang lebih layak. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa
kebanyakan pecandu narkoba terlibat dalam tindakan yang a-sosial termasuk
53
tindakan kriminal. Praktek dapat dilakukan melalui ceramah, seminar dan terapi
kelompok (encounter group).44
3. Model terapi medis
Model terapi ini ada dua:
a. Konsep menyembuhkan kecanduan dengan menggunakan obat lain. Contoh :
Terapi metadon untuk pecandu obat.
b. Konsep menyembuhkan kecanduan obat dengan cara memandang adiksi obat
sebagai suatu penyakit. Dari konsep teori ini lahirlah konsep “disease” atau
disebut penyakit . Terapi ini memandang kecanduan itu sebagai penyakit
bukan penyimpangan maka pecandu dianggap sebagai pasien dimana mereka
akan dibina dan diawasi ketat oleh tim dokter.
4. Model terapi psikologis.
Model ini diadaptasi dari teori Mc.Lellin yang menyebutkan bahwa prilaku adiksi
obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya karena terjadi
konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk meringankan atau
melepaskan beban psikologis itu.45
Model ini mementingkan penyembuhan
emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan. Apabila emosinya dapat
dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai masalah lagi dengan obat-
obatan.
5. Model terapi budaya.
Model ini menyatakan bahwa prilaku adiksi obat adalah hasil sosialisasi seumur
hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini keluarga
44
Ibid 45
Ibid
54
dan lingkungan dapat dikategorikan sebagai lingkungan sosial dan kebudayaan
tertentu.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba Ke Dalam Panti Terapi Dan Rehabilitasi yang
menyebutkan dalam angka 5 sebagai berikut :46
Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhitungkan kondisi atau tarap kecanduan terdakwa sehingga wajib
diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan
rehabilitasi adalah sebagai berikut :
a. Detoxifiksi lamanya 1 (satu) bulan
b. Primari Program lamanya 6 (enam) bulan
c. Re-entry program lamanya 6 (enam) bulan
Pada dasarnya ada 3 (tiga) tahapan pokok di dalam pengobatan ketergantungan
narkoba:47
a. Tahap Detoksifikasi.
Tahap ini adalah merupakan tahapan untuk menghilangkan racun akibat
narkoba yang dikomsumsi oleh pemakai narkoba (junky) dari dalam tubuh.
Upaya ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan penggunaannya (dengan
resiko gejala putus obat) mengurangi pemakaian narkoba yang dikomsumsi
atau menggantikannya dengan obat yang lain yang mempunyai efek serupa,
tetapi kurang menimbulkan kenikmatan dan ketagihan.
46
Ibid 47
Hari Sasangka, Op Cit, hlm 27
55
b. Tahap Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan pada pemakai narkoba baik secara phisik dan mental.
Dalam tahap ini dokter, psikiater, psikolog berusaha untuk merehabilitasi
secara intensip agar pemakai narkoba sehat seperti semula. Tahap ini disebut
tahap rehabilitasi non medis.
c. Tahap tindak lanjut (follow up)
Tahap ini merupakan pembinaan khusus setelah pemakai keluar dari panti
rehabilitasi/tempat perawatan. Hal ini perlu kerja sama antara orang tua,
pekerja sosial dan lingkungan dimana pemakai narkoba tinggal. Pecandu
diberikan kegiatan sesuai denngan minat , dapat sekolah dan kembali ke
tempat kerjanya sambil tetap di bawah pengawasan.
Berdasarkan matriks program pembangunan nasional tahun 2007 telah
menetapkan beberapa kebijakan di bidang terapi dan rehabilitasi korban
penyalahguna narkoba sebagai berikut :
a. Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sosial kepada
b. penyalahguna/korban narkoba dan napza.
c. Penyusunan standarisasi pelayanan terapi dan rehablitasi kepada
penyalahguna/korban narkoba
d. Pembangunan/peningkatan sarana dan prasarana pelayanan bidang terapi dan
rehabilitasi korban narkoba.
e. Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam rangka pelayanan
terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna/korban narkoba.