7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Ketentuan umum dalam Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia
No.44 tahun 2009 tentang rumah sakit, mendefinisikan rumah sakit sebagai
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat
darurat.
2. Klasifikasi Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 Tahun 2016
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Berdasarkan jenis pelayanan yang
diberikan, Rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus. Rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi rumah sakit umum kelas A,
B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, sumber daya
manusia, peralatan dan bangunan prasarana.
Rumah sakit Bhayangkara Tk. III Nganjuk termasuk dalam klasifikasi
rumah sakit umum kelas C. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit umum
kelas C paling sedikit meliputi: pelayanan medik; pelayanan kefarmasian;.
pelayanan keperawatan dan kebidanan; pelayanan penunjang klinik; pelayanan
penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat inap.
Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas: 1 (satu) orang apoteker
sebagai kepala IFRS; 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu
oleh paling sedikit 4 (empat) orang TTK; 4 (empat) orang apoteker di rawat inap
yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) orang TTK; 1 (satu) orang apoteker
sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap
melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu
oleh TTK yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
rumah sakit (Permenkes 56, 2014).
8
3. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Tugas dan fungsi rumah sakit menurut undang-undang No. 44 tahun
2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas tersebut, rumah
sakit mempunyai fungsi: Penyelengaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan
kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna
tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis, penyelengaraan pendidikan dan
pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam
pemberian pelayanan kesehatan, penyelengaraan penelitian dan pengembangan
serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
4. Karakteristik Rumah Sakit
Karakteristik penting yang terdapat dalam organisasi rumah sakit antara
lain, yaitu: Organisasi rumah sakit tidak dapat menghasilkan output secara massal
dan terstandar seperti produksi massal pada perusahaan otomotif, karena
produknya harus disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien dan yang datang
di rumah sakit juga tidak dapat diatur. Aspek kemanusiaan dalam nilai-nilai sosial
menjadi acuan pokok proses menyediakan personalized service ini. Selain itu, ada
juga aspek ekonomi yang mendesak perlu dipertimbangkan; sifat dan volume
pekerjaan di rumah sakit sangat bervariasi, bersifat darurat dan tidak dapat
ditunda, berkaitan dengan banyaknya variasi dan spesialisasi, organisasi rumah
sakit tidak mengenal satu garis komando tunggal (no single authority). Disini
yang terjadi adalah kewenangan bersama diantara para pemilik, dewan komisaris,
administrator dan dokter; kontrol atas beban pekerjaan sulit dilakukan, seperti
pada organisasi non rumah sakit, terutama pekerjaan yang dilakukan oleh dokter
dan teristimewa lagi pekerjaan yang bersifat darurat.
B. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Pengertian IFRS
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit yang
9
dimaksud IFRS adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi, pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, serta pelayanan farmasi
klinik.
Menurut Kemenkes 72 tahun 2016 juga disebutkan bahwa IFRS
merupakan unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian rumah sakit. IFRS harus memenuhi standar akreditasi
dalam PKPO yang meliputi tujuh standar akreditasi yaitu : pengorganisasian,
seleksi dan pengadaan, penyimpanan, peresepan dan penyalinan, persiapan dan
penyerahan, pemberian (administration) obat, serta pemantauan (monitor).
Masing-masing standar PKPO tersebut memiliki maksud dan tujuan serta elemen-
elemen penilaian yang tercantum dalam SNARS edisi 1 yang efektif pada Januari
2018 (KARS, 2017).
2. Tujuan IFRS
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyatakan
bahwa tujuan standar pelayanan farmasi ialah: Meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, melindungi
pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety) (Permenkes 58, 2014).
3. Tugas dan Tanggung Jawab IFRS
Tugas IFRS sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan No 72 tahun 2016
adalah sebagai berikut : Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur, dan
mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan
professional serta sesuai dengan prosedur dan etik profesi; melaksanakan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
efektif, aman, bermutu, dan efisien; melaksanakan pengkajian dan pemantauan
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;
melaksanakan komunikasi, edukasi, dan informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat, dan pasien; berperan aktif dalam tim farmasi
10
dan terapi; melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan
pelayanan kefarmasian; memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar
pengobatan dan formularium rumah sakit (Kemenkes 72, 2016).
4. Fungsi IFRS
Bedasarkan peraturan Menteri Kesehatan No 72 tahun 2016 fungsi IFRS
dibagi menjadi dua yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan
medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik (Kemenkes 72, 2016).
4.1 Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis
pakai, yaitu memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit, merencanakan kebutuhan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan
optimal, mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku, memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit, menerima
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
spesifikasi dan ketentuan yang berlaku, menyimpan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian, mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai ke unit-unit pelayanan di rumah sakit, melaksanakan pelayanan
farmasi satu pintu, melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari,
melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan), mengidentifikasi,
mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai, melakukan pemusnahan dan penarikan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak
dapat digunakan, mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai,melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
4.2. Pelayanan farmasi klinik, yaitu mengkaji dan melaksanakan
pelayanan resep atau permintaan obat, melaksanakan penelusuran riwayat
11
penggunaan obat, melaksanakan rekonsiliasi obat, memberikan informasi dan
edukasi penggunaan obat baik berdasarkan resep maupun obat non resep kepada
pasien/keluarga pasien, mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain, memberikan
konseling pada pasien dan/atau keluarganya, melaksanakan Pemantauan Terapi
Obat (PTO), pemantauan efek terapi obat, pemantauan efek samping obat,
pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD), melaksanakan Evaluasi
Penggunaan Obat (EPO), melaksanakan dispensing sediaan steril, melakukan
pencampuran obat suntik, menyiapkan nutrisi parenteral, melaksanakan
penanganan sediaan sitotoksik, melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril
yang tidak stabil, melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga
kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar rumah sakit,
melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).
5. Pengorganisasian IFRS
Pengorganisasian harus dapat menggambarkan pembagian tugas,
koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab rumah sakit.
Pengorganisasian farmasi rumah sakit juga harus mencakup penyelenggaraan,
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi
sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu (Kemenkes 72, 2016).
5.1 Instalasi Farmasi. Pengorganisasian harus mencakup
penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis
pakai. Pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat
direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu (Kemenkes 72, 2016).
5.2 Komite/Tim Farmasi dan Terapi. Dalam pengorganisasian rumah
sakit dibentuk komite/tim farmasi dan terapi yang merupakan unit kerja dalam
memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai kebijakan
penggunaan obat di rumah sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker IFRS, serta tenaga
kesehatan lainnya apabila diperlukan.
12
Komite/tim farmasi dan terapi harus dapat membina hubungan kerja
dengan komite lain di dalam rumah sakit yang berhubungan/berkaitan dengan
penggunaan obat. Komite/tim farmasi dan terapi dapat diketuai oleh seorang
dokter atau seorang apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya
adalah apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah
dokter (Kemenkes 72, 2016).
5.3 Komite/tim lain yang terkait. Peran apoteker dalam komite/tim lain
yang terkait penggunaan obat di rumah sakit antara lain: Pengendalian infeksi
rumah sakit, keselamatan pasien rumah sakit, mutu pelayanan kesehatan rumah
sakit, perawatan paliatif dan bebas nyeri, penanggulangan AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndromes), Direct Observed Treatment Shortcourse
(DOTS), program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA), transplantasi,
PKMRS atau terapi rumatan metadon.
6. Struktur Organisasi IFRS
Berdasarkan undang-undang RI nomor 44 tahun 2009 pasal 33 tentang
Rumah Sakit, setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien,
dan akuntabel. Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas kepala rumah
sakit atau direktur rumah sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan.
7. Ruang Lingkup IFRS
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik.
Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan
peralatan. Apoteker dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian tersebut
juga harus mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang disebut dengan
manajemen risiko (Kemenkes 72, 2016).
C. Akreditasi Rumah Sakit
Akreditasi rumah sakit adalah penelitian (assessment) atau pengakuan
terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggaraan
13
akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, setelah dinilai bahwa rumah
sakit tersebut memenuhi standar rumah sakit yang berlaku untuk meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan. Dalam standar ini, status
akreditasi merupakan penetapan yang diberikan oleh KARS sebagai lembaga
yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan akreditasi di Indonesia atas
kepatuhan rumah sakit tersebut dalam memenuhi Standar Nasional Akreditasi
Rumah Sakit yang ditetapkan (KARS, 2017).
Pengaturan akreditasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit dan melindungi keselamatan pasien rumah sakit, meningkatkan
perlindungan bagi masyarakat, sumber daya manusia di rumah sakit dan rumah
sakit sebagai institusi, mendukung program pemerintah di bidang kesehatan dan
meningkatkan profesionalisme rumah sakit Indonesia di mata Internasional
(Kemenkes 34, 2017).
Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1, merupakan standar baru
yang bersifat nasional dan diberlakukan secara nasional di Indonesia. Disebut
dengan edisi 1, karena di Indonesia baru pertama kali di tetapkan standar nasional
untuk akreditasi rumah sakit. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1
berisi 16 bab. Dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1 juga
dijelaskan bagaimana proses penyusunan, penambahan bab penting, referensi dari
setiap bab juga glosarium istilah-istilah penting, termasuk juga kebijakan
pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit (KARS, 2017).
D. Tingkat Kelulusan Akreditasi
Berdasarkan (KARS, 2017) proses akreditasi terdiri dari kegiatan survei
oleh tim surveior. KARS akan memberikan penghargaan kepada rumah sakit
sesuai dengan pemenuhan dan kepatuhan rumah sakit terhadap standar akreditasi.
Pengambilan keputusan oleh KARS tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Tipe Rumah Sakit Berdasarkan Tingkat Pendidikan
1.1 Rumah Sakit Non Pendidikan
a. Tidak lulus akreditasi
Rumah sakit tidak lulus akreditasi bila dari 15 bab yang disurvei,
semua mendapat nilai kurang dari 60%. Bila rumah sakit tidak lulus
14
akreditasi dapat mengajukan akreditasi ulang setelah rekomendasi dari
surveior dilaksanakan.
b. Akreditasi tingkat dasar
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat dasar bila dari 15
bab yang di survei hanya 4 bab yang mendapat minimal 80% dan 12
bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai di bawah 20%.
c. Akreditasi tingkat madya
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat madya bila dari 15
bab yang di survei ada 8 bab yang mendapat nilai minimal 80% dan 7
bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai di bawah 20%.
d. Akreditasi tingkat utama
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat utama bila dari 15
bab yang di survei ada 12 bab mendapat nilai minimal 80% dan 3 bab
lainnya tidak ada yang mendapat nilai di bawah 20%.
e. Akreditasi tingkat paripurna
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat paripurna bila dari
15 bab yang di survei semua bab mendapat nilai minimal 80%.
1.2 Rumah Sakit Pendidikan
a. Tidak lulus akreditasi
Rumah sakit tidak lulus akreditasi bila dari 16 bab yang disurvei
mendapat nilai kurang dari 60%. Bila rumah sakit tidak lulus
akreditasi dapat mengajukan akreditasi ulang setelah rekomendasi dari
surveior dilaksanakan.
b. Akreditasi tingkat dasar
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat dasar bila dari 16
bab yang di survei hanya 4 bab, dimana salah satu babnya adalah
institusi pendidikan pelayanan kesehatan, mendapat nilai minimal
80% dan 12 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai di bawah 20%.
c. Akreditasi tingkat madya
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat madya bila dari 16
bab yang di survei ada 8 bab, dimana salah satu babnya adalah
15
institusi pendidikan pelayanan kesehatan, mendapat nilai minimal
80% dan 8 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai di bawah 20%.
d. Akreditasi tingkat utama
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat utama bila dari 16
bab yang di survei ada 12 bab, dimana salah satu babnya adalah
institusi pendidikan pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80%
dan 4 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai di bawah 20%.
e. Akreditasi tingkat paripurna
Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat paripurna bila dari
16 bab yang di survei mendapat nilai minimal 80%.
2. Masa Berlaku Status Akreditasi
Status akreditasi berlaku selama tiga tahun kecuali ditarik oleh KARS.
Status akreditasi berlaku surut sejak hari pertama pelaksanaan survei rumah sakit
atau saat survei ulang. Pada akhir tiga tahun siklus akreditasi rumah sakit, rumah
sakit harus melaksanakan survei ulang untuk perpanjangan status akreditasi
(KARS, 2017).
E. Standar Akreditasi
Standar akreditasi yang dipergunakan mulai 1 Januari 2018 adalah Standar
Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1 yang terdiri dari 16 bab yaitu : Sasaran
Keselamatan Pasien (SKP), akses ke Rumah Sakit dan Kontinuitas pelayanan
(ARK), Hak Pasien dan Keluarga (HPK), Asesmen Pasien (AP) , Pelayanan dan
Asuhan Pasien (PAP), Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB), Pelayanan
Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO), Manajemen Komunikasi dan
Edukasi (MKE), Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP),
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS),
Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK), Kompetensi & Kewenangan Staf
(KKS), Manajemen Informasi dan Rekam Medis (MIRM), Program Nasional
(menurut angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan angka kesehatan ibu
dan bayi, menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS, menurunkan angka kesakitan
16
tuberkulosis, pengendalian resistensi antimikroba dan pelayanan geriatri),
Integrasi Pendidikan Kesehatan dalam Pelayanan Rumah Sakit (IPKP).
Ketentuan penggunaan SNARS edisi 1 adalah rumah sakit pendidikan 16
bab dan rumah sakit non pendidikan 15 bab. Standar akreditasi yang berkaitan
dengan PKPO adalah TKRS, MFK, SKP, PAP, AP, KKS, PPI dan PMKP
(KARS, 2017).
F. Jenis Survei Akreditasi Rumah Sakit
Menurut KARS (2017) survei dilaksanakan sesuai dengan menilai semua
Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1 di seluruh rumah sakit. Bentuk
survei meliputi sebagai berikut :
1. Survei Awal - Survei langsung penuh pertama pada rumah sakit
Survei remedial-evaluasi langsung yang dijadwalkan paling lambat 6 bulan
setelah survei awal untuk mengevaluasi elemen penilaian (EP) yang mendapatkan
nilai "tidak terpenuhi" ("not met") atau "terpenuhi sebagian" ("partially met")
yang mengakibatkan rumah sakit gagal untuk memenuhi persyaratan kelulusan
akreditasi.
2. Survei Ulang - survey rumah sakit setelah siklus akreditasi tiga tahun
Survei remedial-evaluasi langsung yang dijadwalkan paling lambat 6 bulan
setelah survei awal untuk mengevaluasi elemen penilaian (EP) yang mendapatkan
nilai "tidak terpenuhi" ("not met") atau "terpenuhi sebagian" ("partially met")
yang mengakibatkan rumah sakit gagal untuk memenuhi persyaratan kelulusan
akreditasi
3. Survei Verifikasi
Survei verifikasi dilaksanakan satu tahun dan dua tahun setelah survei
akreditasi awal atau survei ulang untuk melakukan verifikasi terhadap
perencanaan perbaikan strategis (PPS).
4. Survei Terfokus
Survei terfokus adalah survei langsung yang terbatas dalam lingkup,
konten, dan lamanya, dan dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang
suatu masalah, standar atau elemen penilaian secara spesifik.
17
G. Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)
Berdasarkan KARS (2017) pelayanan kefarmasian adalah pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dan alat kesehatan dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit
bertujuan untuk menjamin mutu, manfaat, keamanan, serta khasiat sediaan
farmasi dan alat kesehatan: menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian,
melindungi pasien, masyarakat, dan staf dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety), menjamin sistem pelayanan
kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety),
menurunkan angka keselamatan penggunaan obat.
Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat merupakan komponen yang
penting dalam pengobatan simtomatik, preventif, kuratif, paliatif, rehabilitatif
terhadap penyakit dan sebagai kondisi, serta mencakup sistem dan proses yang
digunakan rumah sakit dalam memberikan farmakoterapi kepada kepada pasien.
Pelayanan kefarmasian dilakukan secara multidisiplin dalam koordinasi para staf
di rumah sakit (KARS, 2017).
Rumah sakit menetapkan prinsip rancang proses yang efektif,
implementasi dan peningkatan mutu terhadap seleksi, pengadaan, penyimpanan,
peresepan atau permintaan obat atau instruksi pengobatan, penyalinan
(transcribe), pendistribusian, penyimpanan (dispensing), pemberian,
pendokumentasian, dan pemantauan terapi obat. Praktik penggunaan obat yang
tidak aman (unsafe medication practices) dan kesalahan penggunaan obat
(medication errors) adalah penyebab utama cedera dan bahaya yang dapat
dihindari dalam sistem pelayanan kesehatan diseluruh dunia. Oleh karena itu,
rumah sakit diminta untuk memenuhi peraturan perundang-undangan membuat
sistem pelayanan kefarmasian, dan penggunaan obat yang lebih aman yang
senantiasa berupaya menurunkan kesalahan pemberian obat (KARS, 2017).
Berikut adalah tujuh standar PKPO berdasarkan SNARS edisi 1 oleh
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) versi 2017, yaitu :
18
1. PKPO 1 (Pengorganisasian)
Maksud dan tujuan PKPO 1
Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat merupakan bagian penting
dalam pelayanan pasien sehingga organisasinya harus efektif dan efisien, serta
bukan hanya tanggung jawab apoteker, tetapi juga professional pemberi asuhan
dan staf klinis pemberi asuhan lainnya. Pengaturan pembagian tanggung jawab
bergantung pada struktur organisasi dan staffing. Struktur organisasi dan
operasional sistem pelayanan kefarmasian serta penggunaan obat di rumah sakit
mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Pelayanan kefarmasian dilakukan oleh apoteker yang melakukan
pengawasan dan supervisi semua aktivitas pelayanan kefarmasian serta
penggunaan obat di rumah sakit. Untuk memastikan keefektifannya maka rumah
sakit melakukan kajian sekurang-kurangnya sekali setahun. Kajian tahunan
mengumpulkan semua informasi dan pengalaman yang berhubungan dengan
pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, termasuk angka kesalahan
penggunaan obat serta upaya untuk menurunkannya. Kajian bertujuan membuat
rumah sakit memahami kebutuhan prioritas perbaikan sistem berkelanjutan dalam
hal mutu, keamanan, manfaat, serta khasiat obat dan alat kesehatan.
Kajian tahunan mengumpulkan data, informasi, dan pengalaman yang
berhubungan dengan pelayanan kefarmasian serta penggunaan obat, termasuk
antara lain: seberapa baik sistem telah bekerja terkait dengan seleksi dan
pengadaan obat, penyimpanan, peresepan/permintaan obat dan instruksi
pengobatan, penyiapan dan penyerahan, dan pemberian obat; pendokumentasian
dan pemantauan efek obat; monitor seluruh angka kesalahan penggunaan obat
(medication error) meliputi kejadian tidak diharapkan, kejadian sentinel, kejadian
nyaris cidera, kejadian tidak cedera dan upaya mencegah dan menurunkannya;
kebutuhan pendidikan dan pelatihan; pertimbangan melakukan kegiatan baru
berbasis bukti (evidence based).
Dengan kajian ini rumah sakit dapat memahami kebutuhan dan prioritas
peningkatan mutu serta keamanan penggunaan obat. Sumber informasi obat yang
tepat harus tersedia semua unit pelayanan (KARS, 2017).
19
2. PKPO 2 (Seleksi dan Pengadaan)
Maksud dan tujuan PKPO 2
Rumah sakit harus menetapkan formularium obat yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan. Formularium ini di dasarkan atas misi rumah
sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan diberikan. Seleksi obat adalah suatu
proses kerjasama yang mempertimbangan baik kebutuhan dan keselamatan pasien
maupun kondisi ekonominya. Apabila terjadi kehabisan obat karena
keterlambatan pengiriman, stok nasional kurang, atau sebab lain yang tidak
diantisipasi sebelumnya maka tenaga kefarmasian harus menginformasikan
kepada profesional pemberi asuhan dan staf klinis pemberi asuhan lainnya tentang
kekosongan obat tersebut serta saran subtitusinya atau mengadakan perjanjian
kerja sama dengan pihak luar (KARS, 2017).
PKPO 2.1 (Proses Pengadaan)
PKPO 2.1.1 (Regulasi Pengadaan Bila Obat Tidak Tersedia)
Maksud dan tujuan PKPO 2.1 sampai dengan PKPO 2.1.1
Rumah sakit menetapkan regulasi dan proses pengadaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Ada kalanya sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai tidak ada dalam stok atau tidak tersedia saat dibutuhkan. Rumah sakit harus
menetapkan regulasi dan proses untuk pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat serta berkhasiat
sesuai dengan peraturan perundang-undang (KARS, 2017).
3. PKPO 3 (Penyimpanan)
Maksud dan tujuan PKPO 3
Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai disimpan di
tempat yang sesuai, dapat digudang logistik, di IFRS, atau di staelit atau di depo
farmasi serta diharuskan memiliki pengawasan di semua lokasi penyimpanan.
PKPO 3.1 (Tata Kelola Bahan Berbahaya, Narkotika, Psikotropika)
Maksud dan tujuan PKPO 3.1
Beberapa macam obat seperti obat radioaktif dan obat yang dibawa pasien
sebelum rawat inap mungkin memiliki resiko keamanan. Obat program
20
pemerintah atau obat darurat dimungkinkan ada kesempatan penyalahgunaan atau
karena ada kandungan khusus (misalnya nutrisi), memerlukan ketentuan khusus
untuk menyimpan dan mengawasi penggunannya. Rumah sakit menetapkan
prosedur yang mengatur tentang penerimaan, identifikasi, tempat penyimpanan
dan distribusi macam obat-obat ini (KARS, 2017).
PKPO 3.2 (Tata Kelola Penyimpanan Elektrolit Konsentrat)
Maksud dan tujuan PKPO 3.2
Jika ada pasien emergency maka akses cepat ke tempat obat yang
diperlukan menjadi sangat penting dan obat harus siap pakai bila sewaktu-waktu
diperlukan. Setiap rumah sakit harus membuat rencana lokasi penyimpanan obat
emergency, contoh troli obat emergency yang tersedia di berbagai unit pelayanan,
obat untuk mengatasi syok anafilatik ditempat penyuntikan, dan obat untuk
pemulihan anestesi ada di kamar operasi. Obat emergency dapat disimpan di
lemari emergency, troli, tas/ransel, kotak, dan lainnya sesuai dengan kebutuhan
ditempat tersebut. Rumah sakit diminta menetapkan prosedur untuk memastikan
ada kemudahan untuk mencapai dengan cepat tempat penyimpanan obat
emergency jika dibutuhkan, termasuk obat selalu harus segera diganti kalau
digunakan, bila rusak atau kadaluarsa selain itu keamanan obat emergency harus
diperhatikan (KARS, 2017).
PKPO 3.3 (Pengaturan Penyimpanan dan Pengawasan Penggunaan Obat
Tertentu)
Maksud dan tujuan PKPO 3.3
Beberapa macam obat memerlukan ketentuan khusus untuk menyimpan
dan mengawasi penggunannya seperti : produk nutrisi ; obat dan bahan radioaktif;
obat yang dibawa pasien sebelum rawat inap mungkin memiliki resiko terhadap
keamanan; obat program atau bantuan pemerintah/pihak lain; obat yang
digunakan untuk penelitian.
Rumah sakit menetapkan prosedur yang mengatur penerimaan identifikasi,
tempat penyimpanan, dan distribusi macam obat-obat ini (KARS, 2017).
21
PKPO 3.4 (Regulasi Untuk Memastikan Penyimpanan Obat Emergency)
Maksud dan tujuan PKPO 3.4
Jika ada pasien emergency maka akses cepat ke tempat obat yang
diperlukan menjadi sangat penting dan obat harus siap dipakai bila sewaktu-waktu
diperlukan. Setiap rumah sakit harus membuat rencana lokasi penyimpanan obat
emergency, contoh troli obat emergency yang tersedia di berbagai unit pelayanan,
obat untuk mengatasi syok anafilatik ditempat penyuntikan, dan obat untuk
pemulihan anestesi ada di kamar operasi. Obat emergency dapat disimpan di
lemari emergency, troli, tas/ransel, kotak, dan lainnya sesuai dengan kebutuhan
ditempat tersebut. Rumah sakit diminta menetapkan prosedur untuk memastikan
ada kemudahan untuk mencapai dengan cepat tempat penyimpanan obat
emergency jika dibutuhkan, termasuk obat selalu harus segera diganti kalau
digunakan, bila rusak atau kadaluarsa. Selain itu keamanan obat emergency harus
diperhatikan (KARS, 2017).
PKPO 3.5 (Sistem Penarikan Kembali/recall, Pemusnahan)
Rumah sakit memiliki sistem penarikan kembali (recall), pemusnahan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan tidak layak
digunakan karena rusak, mutu substandard, atau kadaluarsa.
Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan identifikasi dalam proses
penarikan kembali (recall) oleh pemerintah, pabrik, atau pemasok.
Rumah sakit juga harus menjamin bahwa sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai yang tidak layak dipakai karena rusak, mutu
substandard atau kadaluarsa tidak digunakan serta dimusnahkan (KARS, 2017)
4. PKPO 4 (Peresepan dan Penyalinan)
Maksud dan tujuan PKPO 4
Rumah sakit menetapkan staf medis yang kompeten dan berwenang untuk
melakukan peresepan/permintaan obat serta instruksi pengobatan. Staf medis
dilatih untuk peresepan/permintaan obat dan instruksi pengobatan dengan benar.
Peresepan/permintaan obat dan instruksi pengobatan yang tidak benar, tidak
terbaca, dan tidak lengkap dapat membahayakan pasien serta menunda kegiatan
asuhan pasien. Rumah sakit memiliki regulasi peresepan/permintaan obat serta
22
instruksi pengobatan dengan benar, lengkap, dan terbaca tulisannya (KARS,
2017).
Rumah sakit menetapkan proses rekonsiliasi obat, yaitu proses
membandingkan daftar obat yang dipergunakan oleh pasien sebelum dirawat inap
dengan peresepan/permintaan obat dan instruksi pengobatan yang dibuat pertama
kali sejak pasien masuk, saat pemindahan pasien antar unit pelayanan (transfer)
dan sebelum pasien pulang.
PKPO 4.1 (Regulasi Kelengkapan Resep dan Permintaan Obat)
Maksud dan tujuan PKPO 4.1
Untuk menghindari keragaman dan menjaga keselamatan pasien maka
rumah sakit menetapkan persyaratan atau elemen penting kelengkapan suatu resep
atau permintaan obat dan instruksi pengobatan. Persyaratan atau elemen
kelengkapan penting sedikit meliputi : data identitas pasien secara akurat (dengan
stiker); elemen pokok di semua resep atau permintaan obat atau instruksi
pengobatan; kapan diharuskan menggunakan nama dagang atau generik; kapan
diperlukan penggunaan indikasi seperti pada prn (pro re nata atau “jika perlu”)
atau instruksi pengobatan lain; jenis instruksi pengobatan yang berdasar atas berat
badan seperti untuk anak-anak, lansia yang rapuh, dan populasi khusus sejenis
lainnya; kecepatan pemberian (jika berupa infus); instruksi khusus, sebagai contoh
: titrasi, tapering, rentang dosis (KARS, 2017).
Ditetapkan proses untuk menangani atau mengelola hal-hal berikut : resep
atau permintaan obat dan instruksi pengobatan yang tidak benar, tidak lengkap,
dan tidak terbaca: resep atau permintaan obat dan instruksi pengobatan yang
NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) atau LASA (Look Alike Sound Alike);
jenis resep khusus, seperti emergency, cito, berhenti otomatis (automatic stop
order) tapering, dan lainnya; instruksi pengobatan secara lisan atau melalui
telepon wajib dilakukan tulis lengkap, baca ulang dan meminta konfirmasi.
Standar ini berlaku untuk resep atau permintaan obat dan instruksi
pengobatan di semua unit pelayanan di rumah sakit. Rumah sakit diminta
23
memiliki proses untuk menjamin penulisan resep atau permintaan obat dan
instruksi pengobatan sesuai dengan kriteria (KARS, 2017).
PKPO 4.2 (Kewenangan Individu yang Kompeten Untuk Menulis Resep)
Maksud dan tujuan PKPO 4.2
Untuk memilih dan menentukan obat yang dibutuhkan pasien diperlukan
pengetahuan dan pengalaman spesifik. Rumah sakit bertanggung jawab
menentukan staf medis dengan pengalaman cukup dan pengetahuan spesifik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diberi izin membuat/menulis
resep atau membuat permintaan obat.
Rumah sakit membatasi penulisan resep meliputi jenis dan jumlah obat
oleh staf medis, misalnya obat resep berbahaya, obat kemoterapi, obat radioaktif,
dan obat untuk keperluan investigasi. Staf medis yang kompeten dan diberi
kewenangan membuat atau menulis resep harus dikenal dan diketahui oleh unit
layanan farmasi atau lainnya yang memberikan atau menyalurkan obat.
Dalam situasi darurat maka rumah sakit menentukan tambahan
professional pemberi asuhan (PPA) yang diberi izin untuk membuat atau menulis
resep atau permintaan obat dan instruksi pengobatan (KARS, 2017).
PKPO 4.3 (Obat Yang Diresepkan dan Diberikan Tercatat di Rekam Medis)
Maksud dan tujuan PKPO 4.3
Rekam medis pasien memuat daftar obat yang diinstruksikan yang memuat
identitas pasien, nama obat, dosis, rute pemberian, waktu pemberian, nama dan
tanda tangan dokter serta keterangan billa perlu tapering off, titrasi, dan rentang
dosis.
Pencatatan juga termasuk obat yang diberikan “jika perlu”/prorenata.
Pencatatan dibuat di formulir obat yang tersendiri dan dimasukkan ke dalam
berkas rekam medis serta disertakan pada waktu pasien pulang dari rumah sakit
atau dipindahkan (KARS, 2017).
5. PKPO 5 (Persiapan dan Penyerahan)
Maksud dan Tujuan PKPO 5
Menurut KARS (2017) untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat, dan
khasiat obat yang disiapkan dan diserahkan pada pasien maka rumah sakit diminta
24
menyiapkan dan menyerahkan obat dalam lingkungan yang aman bagi pasien,
petugas, dan lingkungan serta untuk mencegah kontaminasi tempat penyiapan
obat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan praktik profesi :
a. Pencampuran obat kemoterapi harus dilakukan di dalam ruang yang bersih
(clean room) yang dilengkapi dengan cytotoxic handling drug safety cabinet
dengan petugas sudah terlatih dengan teknik aseptik serta menggunakan alat
perlindungan diri yang sesuai.
b. Pencampuran obat intravena, epidural, dan nutrisi parenteral serta pengemasan
kembali obat suntik harus dilakukan dalam ruang yang bersih (clean room)
yang dilengkapi dengan laminary airflow cabinet dan petugas sudah terlatih
dengan teknik aseptik serta menggunakan alat perlindungan diri yang sesuai.
c. Staf yang menyiapkan prodeuk steril terlatih dengan prinsip penyiapan obat
dan teknik aseptik.
PKPO 5.1 (Regulasi Permintaan Obat)
Maksud dan Tujuan PKPO 5.1
Manajemen obat yang baik melakukan dua hal untuk dinilai disetiap resep
atau setiap ada pesanan obat. Pengkajian resep untuk menilai ketepatan baik
administratif, klinis maupun farmasetik obat untuk pasien dan kebutuhan
klinisnya pada saat resep dibuat atau obat dipesan.
Pengkajian resep dilakukan oleh apoteker meliputi: ketepatan identitas
pasien, obat, dosis, frekuensi, aturan minum/makan obat, dan waktu pemberian;
duplikasi pengobatan; potensi alergi dan sensitivitas; interaksi antara obat dan
obat yang lain atau dengan makanan; variasi kriteria penggunaan dari rumah sakit;
berat badan pasien dan atau informasi fisiologi lainnya; kontra indikasi.
Telaah obat dilakukan terhadap obat yang telah siap dan telaah dilakukan
meliputi lima informasi, yaitu identitas pasien, ketepatan obat, dosis, rute
pemberian, dan waktu pemberian (KARS, 2017).
6. PKPO 6 (Pemberian Obat)
Maksud dan Tujuan PKPO 6
Pemberian obat untuk pengobatan pasien memerlukan pengetahuan
spesifik dan pengalaman. Rumah sakit bertanggung jawab menetapkan staf klinis
25
dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan, memiliki izin, dan
sertifikat berdasarkan atas peraturan perundang-undangan untuk memberikan
obat. Rumah sakit dapat membatasi kewenangan individu dalam melakukan
pemberian obat, seperti pemberiaan obat narkotika dan psikotropika, radioaktif,
atau obat penelitian. Dalam keadaan darurat maka rumah sakit dapat menetapkan
tambahan staf klinis yang diberi izin memberikan obat (KARS, 2017).
PKPO 6.1 (Proses Verifikasi Obat Sesuai Resep)
Maksud dan Tujuan PKPO 6.1
Agar obat diserahkan pada orang yang tepat, dosis yang tepat dan waktu
yang tepat maka sebelum pemberian obat kepada pasien dilakukan verifikasi
kesesuaian obat dengan instrusi pengobatan yang meliputi identitas pasien, nama
obat, dosis, rute pemberian, dan waktu pemberian.
Rumah sakit menetapkan ketentuan yang digunakan untuk verifikasi
pemberian obat. Jika obat disiapkan dan diserahkan di unit rawat inap pasien
maka verifikasi harus juga dilakukan oleh orang yang kompeten. Terhadap obat
yang harus diwaspadai (high alert) harus dilakukan double check oleh minimal
dua orang.
PKPO 6.2 (Regulasi Tentang Obat yang Dibawa Pasien ke Rumah Sakit
Untuk Digunakan Sendiri)
Maksud dan tujuan PKPO 6.2
Rumah sakit harus mengetahui sumber dan penggunaan obat yang tidak
diadakan dari IFRS seperti obat yang dibawa oleh pasien dan keluarganya. Obat
semacam itu harus diketahui oleh dokter yang merawat dan dicatat direkam
medik. Pemberian obat pasien sendiri, baik yang dibawa sendiri atau yang
diresepkan dari rumah sakit harus diketahui oleh dokter yang merawat dan dicatat
direkam medis pasien (KARS, 2017).
7. PKPO 7 (Pemantauan/Monitor)
Maksud dan Tujuan PKPO 7
Standar ini bertujuan agar apabila timbul efek samping obat dapat
dilaporlan oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA) kepada tim farmasi dan terapi
yang selanjutnya dilaporkan pada pusat Meso Nasional. Apoteker mengevaluasi
efek obat untuk memantau secara ketat respons pasien dengan melakukan
26
Pemantauan Terapi Obat (PTO). Apoteker bekerjasama dengan pasien, dokter,
perawat, dan tenaga kesehatan lainnya untuk memantau pasien yang diberi obat.
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk efek samping obat yang harus dicatat dan
dilaporkan.
PKPO 7.1 (Proses Pelaporan Kesalahan Penggunaan Obat)
Maksud dan Tujuan PKPO 7.1
Rumah sakit menetapkan proses identikasi dan pelaporan bila terjadi
kesalahan penggunaan obat (medication error), kejadian yang tidak diharapkan
(KTD) termasuk kejadian sentinel, serta kejadian tidak cedera (KTC) maupun
kejadian nyaris cedera (KNC). Proses pelaporan kesalahan penggunaan obat
(medication error) menjadi bagian program kendali mutu dan keselamatan pasien
rumah sakit. Laporan ditujukan kepada tim keselamatan pasien rumah sakit dan
laporan ini digunakan untuk mencegah kesalahan di kemudian hari. Terdapat
tindak lanjut dan pelatihan dalam rangka upaya perbaikan untuk mencegah
kesalahan obat agar obat tidak terjadi kesalahan di kemudian hari. PPA
berpartisipasi dalam pelatihan ini (KARS, 2017).
H. Penentuan Prioritas dengan Metode Hanlon
Metode Hanlon dikembangkan oleh J.J. Hanlon untuk memprioritaskan
suatu masalah kesehatan secara objektif dan mempertimbangkan kriteria yang
didapat secara eksplisit dan faktor kelayakan. Metode yang kompleks dengan
memprioritaskan berdasarkan data dasar dan nilai-nilai numerik.
Langkah-langkah instruksi :
1. Tingkat terhadap kriteria yang ditentukan
Metode Hanlon merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan untuk
menetapkan prioritas masalah dengan menggunakan 4 kelompok kriteria, yakni :
a. Besarnya masalah (magnitude)
b. Kegawatan masalah (emergency)
c. Kemudahan penanggulangan masalah (causability)
d. Faktor yang menentukan dapat tidaknya program dilaksanakan (PEARL
faktor)
27
2. Terapkan Test PEARL
Setelah masalah kesehatan telah dinilai dengan kriteria, gunakan PEARL
test, untuk menyaring masalah kesehatan berdasarkan faktor-faktor kelayakan
berikut :
a. Kesesuaian (Propierity), yaitu kesesuaian masalah dengan prioritas berbagai
kebijakan/program/kegiatan instansi/organisasi terkait.
b. Murah secara ekonomi (Economic Feasibility), yaitu kelayakan dari segi
pembiayaan.
c. Dapat diterima (Acceptability), yaitu situasi penerimaan masyarakat dan
instansi terkait/instansi lainnya.
d. Ketersediaan sumber daya manusia (Resource availability), ketersediaan
sumber daya untuk memecahkan masalah (tenaga, sarana/peralatan, waktu).
e. Legalitas (Legality), dukungan aspek hukum/perundang-
undangan/juknis/protap.
Uji setiap masalah dengan faktor PEARL hanya 2 jawaban “Ya” = 1 dan
“Tidak” = 0
Metode ini memiliki 3 tujuan utama, yaitu : agar pembuat keputusan dapat
mengidentifikasikan faktor-faktor eksplisit untuk dapat dipertimbangkan dalam
menetapkan prioritas, untuk mengelola faktor-faktor tersebut kedalam kelompok-
kelompok yang dianggap relative sama satu dengan yang lainnya, agar faktor-
faktor tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan dinilai secara
individu.
3. Hitung nilai prioritas
Hanlon JJ, (2010) mempunyai tiga kriteria peringkat ditugaskan untuk
setiap masalah kesehatan di langkah 1 dari Metode Hanlon, menghitung nilai
prioritas dengan menggunakan rumus berikut :
D = [A + (2 x B)] x C
Dimana :
D = Prioritas Skor
A = Ukuran peringkat masalah kesehatan
B = Keseriusan peringkat masalah kesehatan
C = Efektifitas peringkat intervensi
28
4. Peringkat masalah kesehatan
Berdasarkan nilai prioritas dihitung pada langkah 3 dari Metode Hanlon,
menetapkan peringkat ke masalah kesehatan dengan skor prioritas tertinggi
mendapat nilai "1", prioritas tinggi berikutnya mendapat nilai "2" dan sebagainya.
Departemen Kesehatan McLean Country - Contoh Metode Hanlon:
Sebagai bagian dari Proyek Illinois untuk Penilaian Kebutuhan lokak (IPLAN),
penilaian kesehatan masyarakat dan proses perencanaan, Metode Hanlon
digunakan Departemen Kesehatan McLean Country (MCHD) untuk
memprioritaskan masalah kesehatan di masyarakat. Setelah menentukan delapan
masalah kesehatan dari data penilaian kesehatan masyarakat, MCHD digunakan
Metode Hanlon untuk membuat tiga fokus lembaga daerah. Langkah-langkah
berikut diambil untuk melaksanakan proses prioritas: Tingkat terhadap kriteria
yang ditentukan untuk mempertimbangkan setiap kriteria Hanlon.
4.1 Ukuran masalah, persentase penduduk dengan masalah, dengan
penekanan pada persentase penduduk berisiko yang bermasalah, keseriusan
masalah - tingkat mordibitas, angka kematian, kerugian ekonomi, dan sejauh
mana ada urgensi untuk intervensi, efektifitas intervensi - sejauh mana intervensi
tersedia untuk mengatasi masalah kesehatan.
4.2 Terapkan tes 'PEARL', setelah diskusi panjang, semua delapan
masalah kesehatan lulus uji 'PEARL' sebagai intervensi untuk setiap masalah yang
dinilai tidak tepat, ekonomis, diterima, layak berdasarkan sumber daya yang
tersedia, dan hukum.
4.3 Hitung nilai prioritas, skor Prioritas dihitung dengan cara
menghubungkannya dalam peringkat dari Kolom A sampai B ke dalam rumus di
Kolom D. Perhitungan dari tiga proiritas utama skor diilustrasikan dalam tabel.
Tabel 1. Contoh MCHD Penilaian Prioritas Hanlon
Masalah A B C D Rangking
Kesehatan Ukuran Keseriusan Efektifitas Prioritas
dari Skor
intervensi (A+2B) C
Kanker 8 10 6 168 3 Penyakit 7 9 7 175 2
Serebrovaskular
Penyakit 10 10 7 210 1
Jantung
29
I. Landasan Teori
Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk
pelayanan farmasi klinik. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan
farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug
oriented) ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi Pharmaceutical
Care (pelayanan Kefarmasian). Sejalan dengan tuntutan masyarakat tersebut maka
pemerintah lewat UU Nomor 44 Tahun 2009 mengamanatkan akreditasi kepada
seluruh rumah sakit di Indonesia, dengan tujuan memberikan jaminan kepada
masyarakat terhadap mutu pelayanan yang paripurna, termasuk pelayanan
kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan rumah sakit yang sangat
penting.
Menurut UU Nomor 44 tahun 2009 menyatakan bahwa IFRS yang
merupakan bagian dari rumah sakit memiliki tugas dan tanggung jawab yaitu
menyelenggarakan, melakukan koordinasi, serta mengatur dan mengawasi seluruh
bagian yang menyangkut kegiatan pelayanan kefarmasian selain itu bertugas pula
untuk melakukan pembinaan atau pelatihan teknis kepada kefarmasian rumah
sakit.
Akreditasi rumah sakit dilaksanakan untuk menilai kepatutan rumah sakit
terhadap standar akreditasi. Akreditasi dilakukan secara ketat dan professional
dimana penyelenggaraannya melibatkan pihak ketiga yang independen. Karena itu
akreditasi dapat dirasakan dampaknya dalam peningkatan mutu pelayanan serta
adanya perubahan dan pengembangan di berbagai unit rumah sakit. Namun
demikian sifat akreditasi yang birokratis sering mendatangkan permasalahan
dimana proses akreditasi yang memiliki jangka waktu yang sangat lama, selain itu
permasalahan juga datang dari tenaga professional seperti dokter yang merasa
bahwa akreditasi merupakan beban (Greenfield, 2008).
Dengan adanya standar akreditasi pelayanan di rumah sakit diharapkan
dapat meningkatkan dan menjawab persoalan-persoalan manajemen dan mutu.
30
Namun demikian tidaklah menjamin bahwa tidak akan terjadi permasalahan-
permasalahan di rumah sakit, melainkan banyak masalah yang harus diselesaikan.
Dengan demikian akreditasi diperlukan sebagai cara efektif untuk mengevaluasi
mutu dan mengukur prestasi kerja suatu rumah sakit, yang sekaligus berperan
sebagai sarana manajemen.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Metode Hanlon yang
merupakan metode yang digunakan untuk membandingkan berbagai masalah
kesehatan yang berbeda dengan relative dan bukan absolute, framework, seadil
mungkin dan objektif. Cara yang digunakan untuk menentukan prioritas masalah
dengan menggunakan empat kelompok krtiteria yakni besarnya masalah,
kegawatan masalah, kemudahan penanggulangan masalah dan faktor yang
menentukan dapat tidaknya program dilakasanakan.
Umul (2016) meneliti tentang strategi pengembangan IFRS berbasis
evaluasi akreditasi dengan metode Hanlon di RSUD Gambiran Kediri dengan 32
responden yang terdiri dari apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (TTK) dengan
deskripsi kuantitatif dan kualitatif, instrument penelitian berupa kuesioner
dianalisis menggunakan metode Hanlon dengan hasil yaitu : perlu perbaikan
koordinasi antara Direktur dan kepala IFRS supaya pelayanan dapat maksimal,
penambahan tenaga kefarmasian khususnya apoteker, melakukan monitoring
dalam beberapa standart akreditasi, menerapkan farmasi klinis dan kerjasama
yang baik dengan tenaga medis yang lain.
Menurut Noval (2016) dengan penelitian strategi pengembangan IFRS
berbasis evaluasi akreditasi manajemen penggunaan obat (MPO) dengan metode
Hanlon di IFRS PKU Muhammadiyah Surakarta dengan 46 responden terdiri dari
apoteker dan TTK, deskripsi penelitian kuantitatif dan kualitatif, dari 24 elemen
penelitian standar MPO yang dilakukan ada 7 yang masih belum memenuhi
standar maksimal dan memiliki sedikit kekurangan dengan analisis prioritas
masalah elemen penilaian menggunakan metode Hanlon, menyimpulkan bahwa
prioritas pertama elemen penilaian identifikasi petugas untuk memberikan obat,
kedua monitoring efek obat, ketiga, identifikasi kompeten, keempat pelayanan
penggunaan informasi obat, kelima penyimpanan produk nutrisi, keenam
31
penyimpanan produk steril dan yang ketujuh pencatatan atau pelaporan obat yang
diharapkan dalam status pasien.
Desi (2018) meneliti tentang strategi perbaikan PKPO berbasis akreditasi
dengan metode Matriks di IFRS Aulia Lodoyo Blitar dengan 15 responden terdiri
dari apoteker dan TTK, menyimpulkan bahwa prioritas pertama pemantauan efek
obat, kedua seleksi dan pengadaan, ketiga pengorganisasian dalam melakukan
supervise sesuai dengan penugasannya, keempat persiapan dan penyerahan obat,
kelima peresepan dan penyalinan, keenam penyimpanan obat dan ketujuh adalah
pemberian obat.
Akreditasi harus dilakukan proses evaluasi dan ditinjau ulang sekurang-
kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah sakit
memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan
penggunaan obat yang berkelanjutan sesuai dengan standar akreditasi (Permenkes
72, 2016).
32
J. Kerangka Konsep
Bagan kerangka konsep dari penelitian ini pada gambar 1 sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Akreditasi rumah sakit
TKRS
MFK
SKP
PAP PMKP
KKS
AP
PPI
PKPO
Standar PKPO SNARS:
1. Pengorganisasian
2. Seleksi dan pengadaan
3. Penyimpanan
4. Peresepan dan penyalinan
5. Persiapan dan penyerahan
6. Pemberian obat
7. Pemantauan (monitor)
Capaian Skor Simulasi RS :
1. Pengorganisasian 85 %
2. Seleksi dan pengadaan 82 %
3. Penyimpanan 89 %
4. Peresepan dan penyalinan 83 %
5. Persiapan dan penyerahan 84 %
6. Pemberian obat 84 %
7. Pemantauan (monitor) 93 %
Analisis kesesuaian
Strategi pengembangan
33
Keterangan :
SKP = Sasaran Keselamatan Pasien
AP = Asesmen Pasien
PAP = Pelayanan dan Asuhan Pasien
PKPO = Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat
PMKP = Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
PPI = Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
TKRS = Tata Kelola Rumah Sakit
MFK = Manajemen Fasilitas dan Keselamatan
KKS = Kompetensi & Kewenangan Staf
K. Kerangka Empiris
1. Tingkat kesesuaian PKPO terhadap standar akreditasi SNARS Edisi 1 di IFRS
Bhayangkara Tk.III Nganjuk yang meliputi : standar pengorganisasian, standar
seleksi dan pengadaan, standar penyimpanan, standar peresepan dan
penyalinan, standar persiapan dan penyerahan, standar pemberian obat, dan
standar pemantauan (monitor).
2. Dapat disusun strategi pengembangan PKPO di IFRS Bhayangkara Tk.III
Nganjuk dengan skala prioritas masalah menggunakan salah satu metode yaitu
analisis Hanlon.