5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 URAIAN UMUM TENTANG INSTANSI
2.1.1 Apotek
Apotek adalah suatu tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat (Syamsuni, 2006).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/SK/X/2002 Bab 1 pasal 1 tentang perubahan peraturan Menteri
Kesehatan No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang ketentuan tata cara pemberian ijin
apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran perbekalan sediaan farmasi, dan
perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Namun, Kepmenkes No. 1027
tahun 2004 mengubah defenisi apotek menjadi tempat tertentu, tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat (Firmansyah. 2009)
Keberadaan apotek turut membantu pemerintah dalam memelihara dan
menjaga kesehatan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan
RI, sesungguhnya menaruh harapan yang besar kepada peran serta profesi
apoteker (khususnya apoteker pengelola apotek) yang merupakan ujung tombak
dalam pendistribusian perbekalan farmasi kepada masyarakat.
Berikut adalah beberapa definisi apotek :
6
1) Menurut peraturan menteri No.1332/MENKES/SK/X/2002, yang
menyatakan bahwa apotek adalah salah satu tempat tertentu, tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi dan
perbekalan farmasi kepada masyarakat.
2) Menurut UU No. 41 tahun 90 pasal 1 ayat 2, apotek adalah tempat
dilakukannya pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, penyimpanan dan penyerahan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya
3) Menurut PP No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 13 apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker
4) Menurut PP No. 26 tahun 1965 tentang apotek pasal 1 yang dimaksud
dengan apotek dalam peraturan pemerintah ini ialah suatu tempat tertentu
dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan
kefarmasian (anonim, 2002).
2.1.1 Tugas dan Fungsi Apotek
Tugas dan fungsi apotek menurut pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 1980, yaitu:
1) Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
2) Sarana farmasi yang telah melakukan peracikan, perubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan baku obat.
3) Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat
secara luas dan merata (Soekanto, 1990).
7
2.1.2 Personalia
Pengelolaan sumber daya menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker
senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan
yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi,
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan
mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu
memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku tentang Personalia sesuai
Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 adalah sebagai
berikut :
1. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang -
undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia sebagai Apoteker.
2. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat
izin apotek
3. Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek disamping
Apoteker Pengelola Apotek dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu
pada hari buka apotek.
4. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola
Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada di tempat
8
lebih dari 3 bulan secara terus menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK)
dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek lain.
5. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan Perundang -
undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai
Asisten Apoteker (Anonim, 2002)
2.2 PERAN MENEJERIAL APOTEKER DI APOTEK
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Untuk
mencegah pelayanan obat di apotek dilakukan oleh pihak yang tidak kompeten,
PP No. 51 memuat hal-hal yaitu penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan
resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. Dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian, apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menetapkan
Standar Operasional Prosedur (SOP). SOP harus dibuat secara tertulis dan
diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengeatahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan ketentuan perundang-undangan. Keharusan
memperbaharui standar prosedur operasional dimaksudkan agar dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih
baik (Anief, 2008).
Untuk dapat mengelola apotek, seorang apoteker tidak cukup dengan
berbekal ilmu teknis kefarmasian saja, karena mengelola sebuah apotek sama saja
mengelola sebuah perusahaan. Dibutuhkan kemampuan manajerial yang meliputi
9
pengelolaan administrasi, persediaan, sarana, keuangan dan pengelolaan sumber
daya manusia (Anief, 2008).
Biasanya yang dilakukan oleh menejer dapat disingkat menjadi 3-ang, yaitu
barang, uang, orang. Namun secara umum seorang manager itu harus mengelola
resources yang ia miliki. Tidak hanya barang, uang dan orang, tapi juga waktu,
tempat, dan lain-lain (Anief, 2008).
Salah satu kunci sukses pengelolaan persediaan barang disebuah apotek
adalah service level 100%. Artinya apotek mampu memenuhi semua permintaan
akan obat (baik resep maupun non resep), sehingga ratio penolakannya 0%. Untuk
dapat menjamin service level tersebut diperlukan perencanaan (planning) yang
sangat matang, jangan sampai ada penumpukan barang (over stock) atau
persediaan habis (out of stock), itulah tugas seorang apoteker sebagai manager.
Tujuannya adalah supaya perputaran persediaan atau Inventory Turn Over
maksimal, risiko over stock dan out of stock diminimalisir. Bila sudah demikian
akan menambah kepuasan pelanggan karena permintaan akan obat selalu
terpenuhi. Kepuasan pelanggan akan berimbas kepada loyalitas pelanggan dan
juga menambah pelanggan-pelanggan baru. Tidak hanya barang, uang juga harus
dikelola karena uang merupakan hal yang krusial dalam bisnis. Sebaiknya uang
hasil penjualan satu hari tidak digabung dengan uang untuk keperluan operasional
apotek. Dan uang hasil penjualan satu hari harus sama dengan jumlah barang yang
keluar. Apoteker di sebuah apotek harus menjadi pemimpin yang baik bagi
pegawai yang lain. Memelihara rasa kekeluargaan antar pegawai, memberikan
contoh yang baik dan mampu membina pegawainya supaya lebih baik. Apoteker
10
juga harus bersikap profesional dalam hal ini, lebih bagus lagi menerapkan
reward and punishment sehingga apotek dapat maju dengan pegawai-pegawainya
yang berkualitas (bukan hanya kuantitas) (Anief, 2008).
2.3 PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL
Perlu di ingat bahwa disamping dapat menyembuhkan penyakit, obat juga
dapat menimbulkan dampak negatif, baik pada si pemakai obat (pasien) maupun
pada masyarakat pada umumnya. Pada si pemakai obat dapat menimbulkan
bahaya terjadinya reaksi-reaksi yang tidak diinginkan berupa efek samping dan
efek toksik yang dapat serius dan mematikan. Oleh karena itu, obat dapat di
misalkan sebagai pisau bermata dua, di satu sisi mempunyai efek yang
menyembuhkan penyakit, sedangkan di sisi lain merupakan racun yang
berbahaya. Pemanfaatannya tergantung pada yang menggunakannya (Anonim,
2004).
Defenisi penggunaan obat secara rasional adalah mensyaratkan bahwa
penderita menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinik, dalam dosis yang
memenuhi keperluan individual sendiri, untuk periode waktu yang memadai dan
harga yang terendah bagi mereka dan komunitas mereka (Siregar, 2003).
Konsep penggunaan obat yang rasional pertama kali dicetuskan dalam
konferensi tentang pengobatan obat yang rasional di Nairobi pada tahun 1985
yang diprakarsai oleh WHO. Kerangka konsepsional tentang penggunaan obat
yang rasional itu dirumuskan berdasarkan kenyataan bahwa dari hasil hasil survey
11
penyediaan dan penggunaan obat di berbagai negara terdapat masalah penyediaan
dan penggunaan obat yang meliputi:
1. Bertambah banyaknya jenis dan jumlah obat baru yang beredar
2. Harga obat yang tidak terjangkau
3. Penggunaan obat yang berlebihan, tanpa indikasi yang jelas
4. Beredarnya obat-obat yang tidak efektif dan tidak aman
5. Distribusi obat yang tidak merata
6. Promosi obat yang berlebihan
7. Pengetahuan dan sikap tentang pengadaan dan penggunaan obat yang kurang
memadai (Anonim, 2004).
Penggunaan obat secara rasional memerlukan beberapa kriteria di antaranya
ialah:
1. Indikasi yang tepat. Untuk diperlukan penentuan diagnosis penyakit dengan
tepat.
2. Pemilihan obat yang tepat. Hal ini memerlukan beberapa pertimbangan
yaitu:
a. Manfaat (mutu obat telah terbukti secara pasti)
b. Resiko pengobatan yang dipilih yang paling kecil untuk pasien dan
imbang dengan manfaat yang diperoleh
c. Harga dan biaya obat
d. Jenis obat yang dipilih tersedia di pasaran dan mudah didapat
e. Obat tunggal atau sedikit kombinasi obatnnya.
12
3. Dosis dan cara pemakaian yang tepat. Cara pemberian obat memerlukan
pertimbangan farmakokinetik, yaitu cara pemberian, besar dosis, frrekuensi
pemberian dan lama pemberian sampai ke pemilihan cara pemakaian yang
mudah di ikuti pasien, aman, dan efektif untuk pasien
4. Pasien yang tepat berarti mencakup pertimbangan apakah ada kontra-
indikasi atau ada kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian
dosis secara individual. Juga mempertimbangkan apakah ada faktor
konstitusi terjadinya efek samping obat pada penderita (Anonim, 2004).
2.4 MUTU OBAT
2.4.1 Pengendalian Mutu Obat
Prinsip pengendalian mutu obat adalah bahwa obat yang paling bermanfaat
dengan resiko efek samping yang minimal yang digunakan untuk pelayanan
pasien. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu pemahaman terhadap proses
pengembangan preparat obat, mulai dari penelitian pra klinik, sampai penggunaan
dalam sistem pelayanan kesehatan dan pada sistem pelaporan penggunaan obat di
unit pelayanan kesehatan (Adnyana, 2003).
Pemeliharaan mutu obat, mulai dari pengadaan, produksi, sampai dengan
penggunaan. Dalam memproduksi obat, menggunakan cara produksi obat yang
baik (CPOB), yaitu suatu bagian (terbesar) dari sistem pemastian/jaminan mutu,
yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk dibuat sesuai mutu yang benar
secara konsisten (Adnyana, 2003).
13
Jadi dalam CPOB, mutu suatu obat sesuai dengan tujuannya bila produk itu
tepat, memiliki potensi yang tepat, bebas kontaminasi, mutu tidak merosot,
berkurang/menghilang dalam wadah yang tepat, dengan penandaan yang benar,
ditutup atau disegel dalam wadahnya serta terlindung terhadap kerusakan dan
kontaminasi. Untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan
dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna,
biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan
dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat maka diterapkan
konsep obat esensial (Adnyana, 2003).
2.4.2 Pengamatan Mutu Obat
Mutu obat yang disimpan di gudang dapat mengalami perubahan baik
karena faktor fisik maupun kimiawi. Perubahan mutu obat dapat diamati secara
visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat
ditetapkan dengan cara organoleptik, maka harus dilakukan sampling untuk
pengujian laboratorium (Adnyana, 2003).
Adapun tanda-tanda perubahan mutu obat sesuai standar yang ditetapkan
yaitu:
1) Tablet.
a) Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
b) Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah, retak
dan atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
c) Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
2) Kapsul.
14
a) Perubahan warna isi kapsul
b) Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya
3) Tablet salut.
a) Pecah-pecah, terjadi perubahan warna dan lengket satu dengan yang lainnya
b) Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
4) Cairan.
a) Menjadi keruh atau timbul endapan.
b) Konsistensi berubah
c) Warna atau rasa berubah
d) Botol-botol plastik rusak atau bocor
5) Salep.
a) Warna berubah
b) Konsistensi berubah
c) Pot atau tube rusak atau bocor
d) Bau berubah
6) Injeksi.
a) Kebocoran wadah (vial, ampul)
b) Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
c) Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
d) Warna larutan berubah (Anonim, 2007)
15
2.5 PENGELOLAAN APOTEK
2.5.1 Sarana dan Prasarana
Berdasarkan KEPMENKES No. 278 tahun 1981 pasal 4 dan 5 bangunan
apotek memiliki persyaratan: luas bangunan apotek sekurang-kurangnya 50 M2
.
persyaratan apotek juga di atur dalam KEPMENKES No 278 tahun 1981 yang
meliputi:
1. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat.
Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota
masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang
terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini
berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta
mengurangi resiko kesalahan penyerahan.
2. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker
untuk memperoleh informasi dan konseling.
3. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya.
4. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga. Apotek memiliki suplai
listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
5. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
6. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan
brosur/ materi informasi.
7. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja
dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
16
8. Ruang racikan.
9. Tempat pencucian alat.
10. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan
obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari
debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi
ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan (anonim, 2006).
2.5.2 Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan lainnya
Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan
sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku meliputi: perencanaan,
pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem FIFO
(first in first out) dan FEFO (first expire first out) (Anonim, 2007).
1. Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
diperhatikan, pola penyakit, kemampuan masyarakat, dan budaya masyarakat.
2. Pengadaan.Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
persediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Penyimpanan.
1) Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah
lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah
2) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
3) Wadah baru. Wadah sekurang kurangnya memuat nama obat, nomor batch
dan tanggal kadaluarsa.
17
4) Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin kestabilan bahan.
Penyimpanan obat di golongkan berdasarkan bentuk bahan baku,
seperti bahan padat, dipisahkan dari bahan yang cair atau bahan yang
setengah padat. Dan juga penyimpanan obat obat narkotika di simpan dalam
almari khusus sesuai dengan PERMENKES No 28 tahun 1978 untuk
menghindarkan dari hal hal yang tidak diinginkan seperti penyalahgunaan
obat-obat narkotika ( Sheina, 2010).
4. Administrasi. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu
dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi:
1) Administrasi umum: pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika,
psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2) Administrasi pelayanan: pengarsipan resep, pengarsipan catatan
pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat
(Anonim, 2007).
2.5.3 Pelayanan
1. Pelayanan Resep
Skrining resep apoteker melakukan skrining resep meliputi :
1) Persyaratan administratif:
(1) Nama, SIP dan alamat dokter
(2) Tanggal penulisan resep
2) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
18
3) Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian
(dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada keraguan terhadap resep
hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan
pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan
setelah pemberitahuan (Syamsuni 2006).
2. Penyiapan obat.
1) Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan
peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan
dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
2) Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
3) Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam
kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
4) Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan
pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.
Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat
dan konseling kepada pasien.
5) Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan
mudah di mengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi
obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi (Sulasmono, 1990).
19
6) Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari
bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita
penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit
kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan
(Anonim, 2006).
7) Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien,
apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk
pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit
kronis lainnya.
3. Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia
dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini
apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record)
(Anonim, 2006).
4. Promosi dan Edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan
edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu
20
diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster,
penyuluhan, dan lain lainnya (Anonim, 2006).
2.6 HAK – HAK PASIEN/KONSUMEN
Pada awalnya isu tentang hak-hak pasien muncul berdasarkan berbagai
peristiwa yang merugikan pasien dan melanggar martabat pasien sebagai manusia.
Hak-hak pasien yang dilanggar misalnya pada saat pasien mengalami cedera
karena kesalahan penanganan medis, pelanggaran consent, pasien diberi obat
tanpa sepengetahuan mereka, apa nama obat dan efek sampingnya atau pasien
tidak mengetahui bahasa Indonesia, diminta menandatangani informed consent
tanpa tahu dan tanpa penjelasan tentang apa sebenarnya penyataan yang di tanda
tangani dan apa konsekuensinya (Priharjo, 1995).
Menurut UU kesehatan No 23 Tahun 1992 dalam Bab Penjelasan dari Pasal
53 ayat 2, hak-hak pasien meliputi:
1. Hak untuk memperoleh informasi. Informasi yang berhak diterima pasien
antara lain informasi mengenai: penyakit yang diderita, tindakan medik yang
hendak dilakukan, informasi obat, sebagai akibat tindakan tersebut dan
tindakan untuk mengatasinya, prognosanya, serta perkiraan biaya
pengobatan.
2. Hak untuk memberikan persetujuan. Hak memberikan persetujuan
maksudnya bahwa pasien berhak memberikan ijin ataupun menolak atas
tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang
dideritanya. Pasien juga berhak mengakhiri pengobatan serta perawatan atas
21
tanggung jawab sendiri setelah memperoleh informasi yang jelas mengenai
penyakitnya.
3. Hak atas rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran bisa berupa kerahasiaan
penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya, dan privasinya.
4. Hak atas pendapat kedua (second opinion). Hak mendapatkan second opinion
(pendapat kedua) memberikan kebebasan kepada pasien untuk berkonsultasi
kepada dokter atau tenaga kesehatan kompeten lainnya (Sulasmono, 1990).
Hak Pasien berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 Hak Pasien. Setiap pasien mempunyai
hak :
1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit
2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien
3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi.
4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional
5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi
6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan
7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit
22
8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik didalam maupun di luar
Rumah Sakit.
9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-
data medisnya
10. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan.
11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya
12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama
hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
Rumah Sakit
15. Mengajukan usul, saran, perbaikan, atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya
16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya
17. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana
23
18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan.
Pasien yang datang ke apotek untuk membeli obat atau menebus resep,
dengan demikian memiliki hak-haknya secara hukum baik sebagai pasien maupun
sebagai konsumen. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dari farmasis di
apotek untuk dapat memenuhinya, sebagaimana telah diatur dalam Undang-
Undang Kesehatan No 23/1992, yang menyatakan bahwa “Tenaga kesehatan
dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien”.
Hak-hak pasien yang lain tetap berlaku terhadap pelayanan di apotek.
Seperti hak mendapatkan persetujuan, misalnya apakah resep akan diambil semua
ataukah tidak, pasien minta obat generik, dan menerima atau menolak
rekomendasi dari farmasis. Hak pasien atas kerahasiaan kedokteran, mewajibkan
pihak apotek untuk merahasiakan penyakit dan sebagainya yang berkaitan dengan
privasi pasien. Sedangkan hak terhadap pendapat kedua (second opinion),
memberikan kebebasan kepada pasien untuk berkonsultasi dengan farmasis
lainnya. Apabila pasien semakin menyadari akan hak-haknya, dan tenaga
kesehatan mematuhi standar profesinya, maka dapat diharapkan proses
pengobatan kepada pasien menjadi lebih optimal. Pemberdayaan masyarakat di
bidang kesehatan perlu terus dilakukan untuk mendorong terciptanya pelayanan
kesehatan yang berorientasi kepada masyarakat (Priharjo, 1995).
24
2.7 URAIAN TENTANG APOTEK MULIA
2.7.1 Sejarah Apotek Mulia
Apotek Mulia merupakan apotek swasta. Apotek Mulia didirikan pada
tanggal 31 Juli 2001 berdasarkan Peraturan Menteri tahun 1996, dan pada saat itu
pegawai di apotek baru memiliki 3 orang karyawan. Apotek Mulia terletak di
Jalan Ahmad Yani No. 12 Gorontalo. Apotek Mulia telah berkembang dengan
baik, serta dapat memberikan pelayanan perbekalan farmasi yang memuaskan
kepada masyarakat. Apotek Mulia dikepalai oleh seorang Apoteker Pengelola
Apotek (APA) yaitu Ibu Dra Jeanne Tanzil, Apt. Bangunan Apotek Mulia
merupakan milik dari Bapak Danny T. Makarau, ST., suami dari Ibu Dra Jeanne
Tanzil, Apt. Nama Apotek Mulia diambil karena apotek ini memiliki tujuan yang
mulia dalam melayani konsumen atau pelanggan. Jika ada konsumen yang kurang
mampu untuk membayar obat, maka apoteker atau karyawan di apotek
memberikan obat generik yang mempunyai kandungan yang sama dengan obat
yang diminta.
2.7.2 Struktur Organisasi Apotek Mulia
Untuk mencegah tumpang tindih kewajiban serta wewenang maka dengan
adanya suatu struktur organisasi sebuah Apotek akan memperjelas posisi
hubungan antar elemen orang. Struktur organisasi dapat dikembangkan dalam tiga
tingkat, yaitu: tingkat puncak, tingkat menengah, dan garis depan (Siregar. 2003).
25
Struktur Apotek Mulia
Gambar 1: sturktur organisasi
KARYAWAN APOTEK MULIA
Penjualan
MEMY, AMA,
IKA
Juru Resep
NINGSIHYUY
UN,
Gudang
INA, INGO,
ANE
Sarjana
Farmasi
FADLUN
Keuangan/
Pembelian
LIONG
Apoteker Pengelola Apotek (APA)
Dra Jeanne Tanzil, Apt
Pemilik Sarana Apotek (PSA)
Danny T. Makarau, ST