7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Usia Prasekolah
2.1.1 Definisi Anak Usia Prasekolah
Rentang usia antara 4 sampai dengan 6 tahun merupakan tahapan yang disebut
sebagai usia prasekolah. Salah satu ciri khas perkembangan psikologis pada usia ini
adalah mulai meluasnya lingkungan sosial anak. Bila pada tahap usia sebelumnya anak
merasa cukup dengan lingkungan pergaulan dalam keluarga, maka anak usia prasekolah
mulai merasakan adanya kebutuhan untuk memiliki teman bermain, serta memiliki
aktivitas yang teratur di luar lingkungan rumah (Izzaty, 2017).
Umumnya orang tua menganggap masa ini sebagai usia yang bermasalah atau
usia sulit dikarenakan pada masa ini sering terjadi masalah perilaku sebagai akibat dari
anak yang sedang dalam proses perkembangan kepribadian yang unik dan menuntut
kebebasan, yang pada umumnya masih kurang berhasil. Orang tua juga merasa pada
masa ini anak sering kali bersikap bandel, keras kepala, tidak menurut, melawan, dan
marah tanpa alasan. Anak-anak pada masa ini akan mempelajari dasar-dasar perilaku
sosial sebagai persiapa diri saat masuk sekolah dasar (Soetjiningsih, 2012).
2.1.2 Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Pola perkembangan tercipta dari gabungan beberapa proses biologis, sosio-
emosional, dan kognitif. Proses biologis (biological process) menghasilkan perubahan pada
tubuh seseorang. Gen yang diwarisi oleh orang tua, perkembangan otak, berat badan,
pertambahan tinggi, dan perubahan hormon pada saat pubertas. Proses kognitif (cognitive
7 7
8
process) pada perubahan dalam pemikiran, bahasa, dan kecerdasan. Kemampuan
memperhatikan pergerakan yang terjadi, menyusun kalimat, menghafal puisi dan
menyelesaikan soal matematika. Proses sosio-emosional (socioemotional process) meliputi
perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan kepribadian dan
perubahan emosi (Santrock, 2011). Pada perkembangan emosi sosio-emosional pada
masa anak-anak awal atau usia prasekolah dipengaruhi oleh faktor biologis dimana
terdapat temperamen sebagai ekspresi emosi maupun terhadap suatu stimulus (internal
dan eksternal) Waltz (2006, dalam Soetjiningsih 2012).
Anak di usia ini mulai mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah
(mengikuti intruksi, mengenal huruf), serta menghabiskan banyak waktu bermain
bersama dengan teman sebaya. Dengan sosialisasi tersebut anak mulai mengurangi
kelekatan dengan orang tua, mengurangi egosentris, mengurangi sifat irrasional menuju
rasional, dalam pergaulan anak mulai saling mengkritik, mengejek, konflik, pertengkaran
yang diikuti dengan proses pembuatan kompromi, adaptasi norma-norma sosial yang
baru. Masa ini masih diliputi kegiatan bermain sendiri dengan kelompok teman sebaya,
terutama untuk mengembankan kepribadian dan psikomotorik kasar dan halus (Papalia,
2014). Anak memiliki tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab orang tua dengan
harapan orang tua paham dan melakukan intervensi untuk mengarahkan dan membantu
anak, karena harapan yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan anak merupakan
bahaya potensial, yaitu bahaya yang dapat menghambat proses perkembangan anak.
Terutama emosi anak akan berkembang dengan sehat, apabila anak mendapat bimbingan
secara tepat dengan penuh kasih sayang, dan keadaan fisik dan lingkungan yang
mendukung (Soetjiningsih, 2012).
9
Kontrol adalah masalah utama untuk anak mengendalikan banyak aspek di dalam
kehidupannya, anak masih bingung kemana arah tujuan pergi dan berapa lama dapat
bertahan dalam keadaan baru. Ketika anak kehilangan kontrol akan timbul temper
tantrums atau masalah dari temperamen anak yang tidak dapat di kontrol. Tantrums akan
muncul di usia menjelang 1 tahun akhir dan puncaknya terjadi dalam rentan usia 4-6
tahun. Tantrums yang berlangsung lebih dari 15 menit dan terjadi berulang-ulang lebih
dari 3 kali dalam sehari dapat mengidentifikasi masalah medis, emosional atau masalah
sosial (Kliegman, 2011).
Anak usia prasekolah biasanya mengalami masalah yang rumit terhadap orang
tua, berupa perasaan keterkaitan yang kuat dan kepemilikan terhadap orang tua lawan
jenis, kecemburuan, dan ketakutan di abaikan oleh orang tua. Emosi-emosi ini yang
kebanyakan berada diluar kemampuan anak untuk memahami atau menyatakan secara
verbal, dan cenderung memiliki kondisi emosi yang labil. Solusi dari krisis ini adalah
orang tua mencoba untuk memahami keadaan yang tidak bisa dijelaskan oleh anak, yang
tentunya memerlukan waktu bertahun-tahun. Bermain dan bercerita dapat mendorong
perkembangan anak untuk mengontrol emosi dengan anak dapat mengekspresikan
perasaan saat itu (Kliegman, 2011).
2.2 Pola Asuh Orang Tua
2.2.1 Definisi Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua adalah orang tua tidak dianjurkan untuk menghukum anak,
tetapi sebagai gantinya orang tua dapat mengembangkan aturan untuk anak dan
memberikan kasih sayang kepada anak. Orang tua memberikan penyesuaian perilaku
10
terhadap anak mereka, dan didasarkan atas perkembangan anak. Hal tersebut
dikarenakan masing-masing anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-
beda (Santrock 2011). Dalam memberikan pola asuh pada anak sangat dipengaruhi oleh
kondisi orang tua. Ketika orang tua tidak bisa menyeimbangkan kondisi yang menekan
stabilitas kecemasan dalam memberikan pengasuhan, maka akan mengganggu proses
adaptasi dan menimbulkan masalah seperti anak memiliki rasa rendah diri, sulit
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan cenderung berperilaku yang kurang
normatif misalnya asosial ataupun anti sosial serta dampak buruk yang lain dapat terjadi
dengan penerapan pola asuh yang kurang tepat. Dalam hal ini maka orang tua dituntut
untuk mampu memenuhi kebutuhan anak sehari-harinya seperti dalam hal memberikan
pola asuh yang tepat dan sebagai orang tua harus bisa memahami tentang perkembangan
anak (Atmadayanti et all, 2018).
2.2.2 Jenis dan Ciri Pola Asuh Orang Tua
Menurut Diana Baumrind orang tua tidak boleh menghukum dan menjauhi anak
secara fisik. Orang tua diharuskan mengembangkan aturan-aturan dan menyayangi anak-
anak mereka (Santrock, 2011). Baumrind menggambarkan empat jenis gaya paengasuhan,
sebagai berikut:
1. Authoritarian Parenting (Pengasuhan Otoriter) adalah gaya pola asuh orang tua dengan
cara membatasi, menghukum, dan memaksa anak untuk mengikuti arahan mereka
dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Orang tua otoriter menempatkan
batasan-batasan dan kontrol yang tegas pada anak dan memungkinkan sedikit
diskusi. Orang tua otoriter juga mungkin sering memukul anak mereka, dan
menunjukkan kemarahan kepada anak. Anak-anak dengan orang tua otoriter sering
11
tidak bahagia, takut, dan ingin membandingkan dirinya dengan orang lain, gagal
untuk memulai aktivitas fisik dan memiliki komuknikasi yang lemah. Anak dari orang
tua otoriter dapat memiliki perilaku yang agresif.
2. Authoritative Parenting (Pengasuhan Otoritatif/Demokratis) mendorong anak-anak
untuk menjadi mandiri, tetapi masih memberikan batasan dan kontrol atas tindakan
mereka. Diskusi antara orang tua dan anak masih diperbolehkan, dan orang tua bisa
memperlihatkan kasih sayang kepada anak. Orang tua yang otoritatif menunjukkan
kegembiraan dan dukungan dalam menanggapi perilaku anak-anak yang konstruktif.
Mereka juga menerapkan perilaku yang sesuai untuk anak mereka. Anak-anak dengan
orang tua otoritatif lebih terkendali, mandiri, terlihat bahagia, dan berorientasi pada
prestasi. Mereka cenderung memiliki hubungan baik dengan teman sebaya, dapat
bekerja sama dengan orang dewasa, dan menangani stres dengan baik.
3. Indulgent Parenting (Pengasuhan Permisif) merupakan sebuah gaya pengasuhan ketika
orang tua sangat terlibat dengan hidup anak-anak mereka dengan tuntutan dan
kontrol atas anak-anak mereka. Orang tua permisif cenderung membiarkan anak
mereka untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Hasilnya adalah anak selalu
ingin mendapatkan keinginannya dan kurang mampu mengendalikan perilakunya
sendiri. Beberapa orang tua sengaja membiarkan membesarkan anak mereka dengan
gaya pengasuhan seperti ini karena percaya kombinasi antara keterlibatan kasih
sayang orang tua dan memberikan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang
kreatif dan percaya diri. Namun, anak dengan pengasuhan ini kurang dalam
menghormati orang lain, mengalami kesulitan mengendalikan perilaku, mendominasi,
egosentris, patuh, dan kesulitan dengan teman sebaya.
12
4. Neglectful Parenting (Pengasuhan Lalai/Uninvolved) merupakan gaya asuh dari orang
tua yang sangat tidak terlibat dengan kehidupan anak. Anak-anak dengan orang tua
lalai menganggap bahwa mereka bukan prioritas dari orang tua. Anak-anak dengan
pengasuhan ini cenderung tidak kompeten secara sosial, kurang dalam pengendalian
diri, dan kurang mandiri. Mereka memiliki harga diri yang rendah dan pemalu, dan
merasa terasing di keluarga. Anak dengan pengasuhan ini memungkinkan pada saat
remaja melakukan tindakan bolos sekolah dan kenakalan.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Pada dasarnya hubungan antara anak dan orang tua merupakan hubungan timbal
balik. Dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak
yaitu orang tua dan anak, maka peranan orang tua dan anak sangatlah besar. Hubungan
yang dapat memuaskan hubungan orang tua dan anak ditandai dengan adanya sikap
saling percaya, saling mengerti dan saling menerima (Gunarsa, 2013). Dalam mengasuh
dan mendidik anak, sikap orang tua ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya
ialah:
1. Pengalaman masa lalu yang sangat berhubungan dengan pola asuh atau sikap dari
orang tua. Biasanya dalam mendidik anak, orang tua cenderung untuk mengulangi
sikap atau pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut dirasakan
manfaatnya.
2. Nilai-nilai yang dianut oleh kedua orang tua yang berhubungan dengan segi
intelektual dalam kehidupan dari segi rohani dan lain-lain. Hal ini tentunya akan
berpengaruh dalam usaha untuk mendidik anak.
13
3. Tipe kepribadian dari orang tua berhubungan dengan dampak dari kepribadian yang
dimiliki oleh orang tua. Sebagai contoh orang tua yang selalu cemas dapat
mengakibatkan memiliki sikap yang terlalu melindungi terhadap anak.
4. Kehidupan perkawinan orang tua berhubungan dengan keharmonisan orang tua
dalam berumah tangga.
5. Alasan orang tua mempunyai anak berhubungan dengan kesiapan orang tua dan
tanggung jawab ketika memiliki anak.
2.3 Temperamen Anak
2.3.1 Definisi Temperamen Anak
Temperamen didefinisikan sebagai gaya perilaku individu dengan cara yang khas
dalam merespon emosional, mengacu pada perbedaan respon individu (Santrock, 2011).
Respon ini tidak saja berkaitan dengan cara bereaksi terhadap dunia luar, tetapi juga cara
individu meregulasi fungsi mental, emosional, dan perilakunya. Jika diperhatikan akan
tampak beberapa bayi yang sangat aktif, tenang, mudah menangis, atau merespon dengan
hangat orang lain. Hal tersebut memang merupakan temperamen yang ada pada
seseorang (Soetjiningsih, 2012).
2.3.2 Klasifikasi Temperamen Anak
Buss and Plomin (1984, dalam Tsoi et al, 2018) membagi temperamen menjadi
tiga kecenderungan:
1. Emotionality atau emosionalitas mengacu pada reaksi emosional anak terhadap
rangsangan lingkungan. Dengan kata lain, seorang anak yang sangat emosional dapat
menangis dengan mudah, lebih takut, cepat bersemangat, atau menunjukkan respons
14
emosional yang kuat. Anak yang rendah pada temperamen ini mungkin tampak lebih
santai, rileks, dan kurang tertarik dengan lingkungannya. Sebagai orang dewasa,
emosionalitas tinggi mungkin terkait dengan upaya artistik, hubungan, dan pilihan
karier.
2. Activity atau Aktivitas mengacu pada tingkat energi seorang anak. Mereka yang tinggi
dalam temperamen ini terlihat aktif, lebih memilih aktivitas fisik dan permainan,
mungkin lebih gelisah atau sulit untuk fokus. Sebagai orang dewasa, temperamen ini
untuk kegiatan memainkan peran penting dalam pilihan karir, hobi, dan sosialisasi.
3. Sociability atau sosialisasi berkaitan dengan kenyamanan dan tingkat interaksi
seseorang dengan orang lain. Tentunya mereka yang tinggi dalam temperamen ini
akan lebih memilih kegiatan kelompok, olahraga tim, dan menjadi lebih nyaman
ketika berinteraksi dalam kehidupan sosial. Mereka yang kurang dalam hal
bersosialisasi mungkin lebih memilih aktivitas soliter dan mengalami kecemasan di
sekitar orang asing atau situasi baru. Sebagai orang dewasa, mudah untuk melihat
bagaimana tingkat kemampuan bersosialisasi kita dapat memengaruhi persahabatan,
pilihan karier, dan hobi yang dimiliki.
Pada Kuesioner EAS Temperamen selain emotionality, activity, dan sociability
terdapat kategori shyness. Pada total skoring kuesioner shyness termasuk di dalam kategori
sociability sehingga total terdapat 10 pertanyaan (Tsoi et al, 2018).
Pendapat lain dikemukakan oleh teori ahli psikiatri Stella Chess dan Alexander
Thomas melakukan sebuah penelitian selama 20 tahun yang mengikutsertakan anak-anak
dari populasi yang besar. Luasnya data membuat mereka dapat melihat tingkah laku
individu sejak masa anak-anak sampai masa awal dewasa berinteraksi dengan
15
lingkungannya (Potter & Perry, 2014). Kemudian Chess dan Thomas memperkenalkan 3
tingkat dasar atau klasifikasi temperamen sebagai berikut:
1. The Easy Child (Anak yang mudah) adalah anak-anak yang bertemperamen mudah,
memiliki kebiasaan yang tergolong teratur dan dapat diprediksi. Memiliki pendekatan
positif terhadap stimulus yang baru. Terbuka dan dapat beradaptasi terhadapa
perubahan dan menunjukkan intensitas mood yang bersifat positif. Anak anak
dengan golongan ini biasanya mudah menghadapi lingkungan tanpa terlalu banyak
kesulitan ciri-ciri lain anak-anak ini adalah umumnya selalu gembira, tidak banyak
mengeluh bila ada yang mengganggu, dan tidak mudah frustasi. Thomas & Chess
mengemukakan hasil dari penelitiannya sebanyak 40% anak-anak tergolong mudah
(Soetjiningsih, 2012).
2. The Difficult Child (Anak yang sulit) adalah anak-anak yang bertemperamen sulit
biasanya anak sangat aktif, peka terhadap rangsangan, dan mempunyai kebiasaan
yang tidak teratur. Respon menarik diri yang negatif adalah ciri khas dari anak-anak
dengan temperamen ini, mereka cenderung membutuhkan lingkungan yang lebih
terstruktur. Anak-anak ini lambat beradaptasi dengan rutinitas, atau situasi baru.
Ekspresi mood terlihat jelas terutama mood negatif. mereka sering menangis, dan
frustasi yang bisa menimbulkan kekerasan. Thomas & Chess mengemukakan hasil
dari penelitiannya sebanyak 10% anak-anak tergolong sulit (Soetjiningsih, 2012).
3. The Slow-to-warm-up child (Anak yang lambat) adalah anak-anak dengan reaksi agak
negatif, menunjukkan intensitas suasana hati yang rendah terhadap stimulus baru.
Respon penolakan ringan namun pasif terhadap sesuatu yang baru atau asing dari
rutinitas biasanya. Observasi mengidentifikasikan bahwa anak-anak yang
16
menunjukkan pola perilaku ini rentan mengalami masalah perilaku jika terdapat
ketidaksesuaian antara temperamen dengan lingkungan. Tuntutan untuk perubahan
dan adaptasi yang bertentangan dengan kapasitas anak menjadi sumber dari stress
yang sangat besar. Thomas & Chess mengemukakan hasil dari penelitiannya
sebanyak 15% anak-anak tergolong lambat (Soetjiningsih, 2012).
2.3.3 Apek-aspek dalam Temperamen Anak
Menurut Thomas & Chess mengidentifikasi temperamen menjadi sembilan
variabel yang digunakan dalam pengkajian (Wong, 2009). Sembilan aspek itu adalah
sebagai berikut:
1. Batasan Sensori/Ambang adalah banyaknya rangasangan sensori yang dibutuhkan
anak untuk merespon keadaan sekitar. Pada pengakjian temperamen batasan
sensori/ambang memiliki 2 jenis yaitu batasan sensori/ambang rendah dan batasan
sensori/ambang tinggi. Batasan sensori/ambang rendah adalah bertujuan untuk
menunjukkan intensitas yang tinggi terhadap rangsangan, contohnya ketika anak
mudah bangun hanya karena mendengar suara yang halus. Sedangkan batasan
sensori/ambang tinggi bertujuan untuk menunjukkan intensitas tinggi sampai sedang,
sehingga anak dengan batasan ini memerlukan rangsangan yg lebih dibandingkan
anak yang memiliki batasan sensori/ambang rendah (Dariyo, 2011).
2. Ritmisitas adalah fungsi anak yang dapat diperkirakan dan anak yang tidak dapat
diperkirakan. Pada pengkajian temperamen ritmisitas memiliki 2 jenis yaitu ritmisitas
tinggi dan ritmisitas rendah. Ritmisitas tinggi bertujuan untuk menunjukkan fungsi
tubuh (makan, eliminasi, dan siklus tidur) yang teratur. Sedangkan ritmisitas rendah
bertujuan untuk menunjukkan fungsi tubuh (makan, eliminasi, dan siklus tidur) yang
17
kurang teratur, seperti ketika anak tidak memiliki patokan tidur jam berapa dan hanya
makan di saat dia lapar (Dariyo, 2011).
3. Pendekatan dan penarikan diri adalah respon awal dari anak terhadap stimulus yang
baru. Dilihat dari bagaimana respon anak terhadap menu makanan baru, teman baru,
atau pengalaman baru seperti hari pertama disekolah. Pada pengkajian ini terbagi
menjadi 2 jenis yaitu pendekatan dan penarikan diri. Pendekatan merupakan respon
positif dari berupa anak tersenyum dan berani menanggapi stimulus baru yang
diberikan. Sedangkan penarikan adalah respon negatif dari anak berupa anak
menangis, rewel, dan menjauhi stimulus baru yang diberikan (Dariyo, 2011).
4. Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan anak untuk menyesuaikan rutinitas
pada situasi baru. Hampir menyerupai pendekatan dan penarikan diri tetapi pada
pengkajian ini menekankan pada respon awal. Pada pengkajian ini terbagi menjadi 2
jenis yaitu kemampuan adaptasi tinggi dan kemampuan adaptasi rendah.
Kemampuan adaptasi tinggi menunjukkan kemampuan anak untuk tenang, dan
mampu menyesuaikan rutinitas yang baru. Sedangkan, Kemampuan adaptasi rendah
menunjukkan anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rutinitas
yang baru (Dariyo, 2011).
5. Intensitas adalah tingkatan energi atau respons dan kualitas yang dihasilkan, berkaitan
dengan stimulus sensori, objek lingkungan dan kontak sosial. pada pengkajian ini
terbagi menjadi 2 jenis yaitu intensitas tinggi dan intensitas rendah. Intensitas tinggi
merujuk pada reaksi dan kepekaan anak terhadap sesuatu, seperti anak bisa menangis
keras atau tertawa terhadap stimulus yang diberikan. Sedangkan, Intensitas rendah
18
merujuk pada anak berupa reaksi rewel atau merengek terhadap stimulu yang
diberikan (Dariyo, 2011).
6. Suasana hati/Perasaan adalah bagaimana jumlah kebahagiaan dan perilaku senang
dibandingkan kesedihan dan perilaku menangis atau merengek. Pada pengkajian ini
terbagi menjadi 2 jenis yaitu suasana hati yang positif dan suasana hati yang negatif.
Suasana hati positif merupakan anak dengan tingkat kooperatif yang tinggi dan
terlihat ceria. Sedangkan, Suasana hati negatif merupakan anak dengan tingkat
kooperatif lebih rendah cenderung terlihat rewel dan suka mengeluh (Dariyo, 2011).
7. Ketekunan/Perhatian menetap adalah bagaimana fokus anak terhadap aktifitas yang
dilakukan meskipun terdapat hambatan. Pada pengkajian ini terbagi menjadi 2 jenis,
yaitu perhatian lama dan menetap dan perhatian singkat. Perhatian lama dan
menetap, menggambarkan anak yang dapat memperhatikan sesuatu dengan waktu
yang lama dan konsisten. Sedangkan, Perhatian singkat, menggambarkan anak
kesulitan dalam hal memperhatikan dan kesulitan fokus, cenderung lebih mudah
menyerah (Dariyo, 2011).
8. Distrakbilitas dan Ketidakpedulian adalah keefektifitan rangsangan luar dan dalam
untuk mengalihkan perilaku atau perhatian anak. Pada pengkajian ini terbagi menjadi
2 jenis, yaitu distrakbilitas rendah dan distrakbilitas tinggi. Distrakbilitas rendah
merujuk pada anak yang tidak mudah dialihkan perhatiannya. Distrakbilitas tinggi
merujuk pada anak yang mudah dialihkan perhatiannya (Dariyo, 2011).
9. Tingkat aktivitas adalah kegiatan anak sehari-hari berupa tidur, makan, bermain,
belajar dll. Pada pengkajian ini tebagi menjadi 2 jenis yaitu aktivitas tinggi dan
aktivitas rendah. Aktivitas tinggi merupakan aktivitas motorik pada anak yang
19
cenderung terlihat aktif seperti menyukai bergerak dibandingkan berdiam diri.
Sedangkan, Aktivitas rendah merupakan gambaran aktivitas motorik anak yang lebih
rendah, anak lebih menyukai duduk diam dan lebih tenang (Dariyo, 2011).
2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Temperamen Anak
Temperamen yang dimiliki setiap orang pasti akan berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya, hal tersebut tergantung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan temperamen yang dimiliki
sesorang anak adalah sebagai berikut :
1. Pengaruh Biologis dan Hereditas
Secara khusus temperamen yang terlambat dapat dikatikan dengan pola fisiologi
unik yang meliputi denyut jantung yang tinggi, tingginya hormon kortisol, dan
aktivitas yang tinggi di lobus frontal otak bagian kanan. Pola ini memungkinkan
terikat dengan mudahnya amigdala atau sebuah struktur otak yang memainkan
peranan penting dalam ketakutan dan hambatan yang terstimulasi. Sebuah
temperamen yang afektif atau negatif juga dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat
neurotransmitter serotonin yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap
ketakutan dan frustasi. Dalam studi kembar dan adopsi menunjukkan bahwa
hereditas mempunyai efek sedang terhadap perbedaan temperamen dalam
sekelompok orang (Santrock, 2011).
2. Gender, dan Budaya
Gender merupakan faktor penting pembentuk konteks yang dapat
mempengaruhi hasil akhir temperamen. Reaksi orang tua berbeda terhadap
temperamen yang dimiliki oleh bayi, bergantung dari apakah bayi tersebut
20
perempuan atau laki-laki. Ibu cenderung lebih responsif terhadap tangisan anak
perempuan dibandingkan anak laki-laki. Peran gender sendiri adalah saperangkat
ekspektasi dari lingkungan sosial yang menentukan bagaimana perempuan dan laki-
laki seharusnya dalam bertindak, berpikir, dan merasa (Santrock 2011).
Kebudayaan dapat diartikan sebagai regulasi (aturan) dalam kehidupan dari mulai
hidup sampai mati. Baik disadari maupun tidak kebudayaan dapat mempengaruh
pola perilaku-perilaku tertentu, termauk temperamen seseorang. Setiap kelompok
masyarakat (bangsa, ras, atau suku) memiliki tradisi/adat yang khas. Hal tersebut
memberikan pengaruh terhadap setiap warganya, baik cara berpikir dan berperilaku.
Pengaruh kebudayaan terhadap perilaku sesorang juga dapat dilihat dari perbedaan
masyarakat modern yang budayanya cenderung lebih maju dibandingkan masyarakat
primitif yang budayanya lebih sederhana (Kluckhohn, dalam Yusuf 2012).
3. Goodness of Fit dan Pengasuhan
Goodness of fit lebih mengacu pada tuntutan lingkungan yang harus dihadapi oleh
anak yang dapat menyebabkan perbedaan temperamen yang dimiliki oleh anak. Akan
timbul masalah penyesuaian ketika dua temperamen berbeda dihadapkan pada situasi
baru. Sejumlah karakteristik temperamen tertentu dapat menimbulkan tantangan
yang berbeda-beda kepada orang tua. Meskipun demikian, dukungan dan perhatian
berupa gaya pengasuhan yang lebih dari orang tua dapat memberikan interaksi yang
lebih baik (Santrock, 2011).
Gaya Pengasuhan atau yang sering disebut sebagai pola asuh mengacu kepada
orang tua dan keluarga, guru, dan teman sebaya yang berperan dalam pencapaian
21
perkembangan emosi-sosial yang baik pada masa kanak-kanak awal. Utamanya relasi
awal dengan orang tua merupakan pondasi dicapainya kompetensi sosial dan
hubungan dengan teman sebaya pada anak. Seiring dengan beranjaknya anak menjadi
pribadi yang mandiri proses yang terjadi menjadi tantangan yang kompleks bagi
orang tua. Orang tua harus berinteraksi dengan menunjukkan kasih sayang,
memahami keinginan dan kebutuhannya, memahami perasaan anak, mengekpresikan
minat anak dalam aktivitas sehari-hari, bangga atas pencapaian anak, memberi
semangat dan dukungan saat anak mengalami masalah (Soetjiningsih, 2012).
2.3.5 Strategi Pengasuhan Anak Temperamen
Terdapat strategi pengasuhan yang berhubungan dengan temperamen yang
dimiliki oleh anak. Menurut Sanson & Rothbart strategi pengasuhan terbaik yang
berkaitan dengan temperamen anak (Santrock, 2011). Strategi tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penataan pada lingkungan anak
Lingkungan dapat mempengaruhi temperamen pada anak. Anak dengan
temperamen sulit lebih merasa terganggu dengan lingkungan yang bising dan asing.
Pada anak yang pemalu dan pendiam mengenalkan lingkungan baru secara perlahan
lebih membuat anak tersebut nyaman.
2. Memberi perhatian dan menghargai individu
Keberhasilan seorang tua dalam pengasuhan anak dapat berbeda-beda sesuai
dengan temperamen pada anak. Maka dari itu sangat dibutuhkan kepekaan dan
fleksibilitas dalam pengasuhan orang tua terhadap reaksi dan kebutuhan anak.
22
3. Anak bertemperamen sulit dan program pola pengasuhan
Seringkali anak dengan temperamen sulit akan diperlakukan dengan cara tertentu
sehingga dapat mendorong timbulnya perilaku sulit tersebut. Dengan begitu
pentingnya memahami karakteristik anak dan memberikan pola pengasuhan yang
tepat.
2.4 Teori Hubungan Pola Asuh orang tua dengan Temperamen
Beberapa karakteristik dari temperamen memberikan tantangan yang lebih besar
bagi orang tua dibandingkan dengan karakteristik lain, terutama di budaya barat.
Kebanyakan orang tua tidak percaya dengan pentingnya memahami temperamen sampai
kelahiran anak kedua mereka. Orang tua menganggap perilaku anak pertama mereka
adalah hasil dari bagaimana memperlakukan anak tersebut. Orang tua mulai menyadari
ada beberapa strategi yang berhasil pada anak pertama namun tidak efektif pada anak
kedua. Perbedaan-perbedaan memiliki implikasi penting terhadap interaksi orang tua dan
anak (Santrock 2011).
Beberapa pola asuh memiliki dampak berbeda-beda bagi setiap individu anak.
Pola asuh otoriter ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang cenderung menetapkan
standar mutlak harus dituruti, menuntut kepatuhan, mendikte, kaku, dan keras memiliki
dampak kepada perilaku anak berupa munculnya perilaku agresif yang sangat tinggi atau
sangat rendah, mudah cemas dan putus asa, tertutup, berkepribadian yang lemah, tingkah
laku pasif dan cenderung menarik diri, sehingga membuat anak tidak mandiri. Pola asuh
otoratif adalah perilaku orang tua yang menuntut tetapi lebih bersikap hangat kepada
anak, adanya komunikasi dua arah antara orang tua dan anak yang dilakukan secara
23
rasional, dan kontrol positif dampaknya anak memperlihatkan perilaku berani, dapat
mengontrol diri, memiliki hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, dan
kooperatif terhadap orang lain. Sedangkan pola asuh permisif, bersifat children centered
yaitu cara orang tua memperlakukan anak sesuai dengan kemauan anak atau keputusan
berada di tangan anak dampaknya anak menjadi kurang mandiri, impulsif, manja, kurang
bertanggung jawab dan menjadi cenderung anti sosial (Sunarty, 2016).
Apakah implikasi dari variasi temperamen terhadap pola asuh orang tua?
Meskipun jawaban terhadap pertanyaan ini masih bersifat spekulatif, kesimpulan-
kesimpulan berikut mengenai strategi pengasuhan terbaik berkaitan dengan temperamen
anak berhasil dicapai oleh ahli bidang temperamen Ann Sanson dan Mary Rothbart
(2002, dalam Santrock 2011):
1. Perhatian dan menghargai individualitas. Implikasinya adalah dengan tidak hanya
menyebutkan satu cara pola asuh sebagai pola asuh terbaik. Tujuan dapat dicapai
dengan cara tertentu pada anak tertentu dan dapat tercapai dengan cara yang lain
pada anak lain, tergantung temperamen yang dimiliki anak. Dibutuhkan tingkat
sensitifitas dan fleksibel dari orang tua terhadap kebutuhan bayi.
2. Penyesuaian lingkungan disekitar anak. Lingkungan yang bising dapat menyebabkan
masalah yang lebih besar pada beberapa anak (contohnya anak dengan temperamen
dificult) dibandingkan dengan anak yang mudah. Ketika anak menjadi cenderung
penakut dan mengalami inhibisi akan lebih nyaman bila diperkenalkan secara pelan-
pelan pada sesuatu yang baru.
3. Memahami karakteristik anak. Program pelatihan pola asuh untuk orang tua sering
kali berfokus kepada bagaimana menghadapi anak dengan temperamen difficult.
24
Perlu diingat bahwa bagaimana sebuah karakteristik dinilai bergantung dengan
kesesuaian dengan lingkungan. Ketika lingkungan memberikan label bahwa seorang
anak adalah anak yang sulit, hal ini dapat mengakibatkan timbulnya “self-fullfilling
prophecy” atau suatu gejala yang terjadi ketika seseorang tanpa sadar membuat suatu
prediksi menjadi kenyataan.
2.5 Gangguan Perilaku
2.5.1 Definisi Gangguan Perilaku
Gangguan perilaku disebut juga sebagai Conduct Disorder didefinisikan sebagai
perilaku berulang dan pola perilaku menetap berupa pelanggaran hak-hak orang lain yang
tidak seusai dengan norma-norma dan aturan masyarakat. Seseorang dikatakan memiliki
gangguan perilaku apabila memiliki kriteria berupa 3 gejala spesifik sekurang-kurangnya
12 bulan dan paling tidak 1 gejala muncul selama lebih dari 6 bulan terakhir. Gejala
tersebut adalah agresi terhadap orang atau binatang, merusak barang-barang, suka
berbohong atau mencuri dan melanggar aturan (Kearney, dalam Anisah 2015).
2.5.2 Faktor-Faktor Gangguan perilaku
Pada kebanyakan kasus-kasus gangguan perilaku penyebabnya sangat kompleks
dan saling berkaitan, pada kebanyakan kasus terdapat kaitan antara interaksi genetic atau
factor neurologis dengan lingkungan keluarga yang disfungsional (Kearney, dalam
Anisah 2015). Berikut akan dipaparkan secara lebih terperinci factor-faktor yang
mempengaruhi gangguan perilaku :
25
1. Karakteristik Kepribadian
Penderita gangguan perilaku cenderung overestimate akan kemampuan diri sendiri,
merasa superior dan kurang dalam hal ekspektasi social, cenderung sangat disorganisasi
dalam pekerjaan sehari-hari dan sulit diprediksi situasi kehidupan mereka selanjutnya.
Selain itu penderita gangguan perilaku merasa tidak nyaman dengan situasi keluarga juga
dengan pola asuh yang mereka dapatkan, karena keluarga danggap memiliki banyak
kekacauan. Kurang percaya diri di lingkungan sekolah dan cenderung tidak peduli
terhadap orang lain dikarenakan ada kesenjangan antara apa yang mereka harapkan
tentang diri mereka dengan kenyataan (Holocomb & Kashani, dalam Anisah 2015).
2. Temperamen dan Karakter
Temperamen merupakan salah satu resiko awal untuk terjadinya gangguan perilaku.
Penderita dengan gangguan perilaku pada masa kecil cenderung memiliki temperamen
yang keras. Temperamen didefinisikan sebagai perbedaan-perbedaan individual yang
menetap dalam kualitas dan intensitas reaksi emosional, tngkat aktifitas dan perhatian
serta pengaturan emosional. Hal ini menjadi wajib dihadapi oleh orang tua. Jika orang tua
tidak siap menghadapi ini dapat menjadi factor resiko yang mengganggu fase awal
perkembangan (Conley, dalam Anisah).
3. Fungsi Kognitif
Hubungan antara fungsi kognitif dengan gangguan perilaku sangat kompleks. Fungsi
kognitif merupakan proses berpikir seseorang atau pola/cara berpikirnya, dan sebuah
proses perkembangan yang berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup. Pada
masa anak terdapat masa-masa dimana proses perkembangan melalui tahapan kritis, hal
26
tersebut dikarenakan ada tugas-tugas tertentu yang harus dikembangkan dalam fase ini.
Untuk dapat mengatasi hal ini diperlukan tindakan untuk mengatasi proses-proses
komples dalam menginterpretasi pesan-pesan dalam lingkungan sekitar dalam pola yang
membutuhkan fleksibelitas dan kepercayaan (Matthys, dalam Anisah 2015)
4. Organik dan Neurologis
Suatu model perkembangan yang juga penting untuk diperhatikan secara berimbang
yaitu factor neurologis dan hal-hal yang berkaitan dengan otak (organ otak). Terdapat
pemahaman yang terbatas mengenai hubungan fungsi otak dengan gangguan perilaku.
Sebuah bahan kimia dalam otak yang disebut Neurotransmitter dapat terganggu dimana
keadaan seorang anak mengalami kekerasan, dan penolakan terhadap pola asuh atau
perawatan yang lain. Gangguan-gangguan yang terjadi pada masa awal kehidupan akan
lebih berakibat negative pada anak. Oleh karena itu, stres pada masa anak akan
mengganggu fungsi normalsistem syaraf pusat lalu menimbulkan efek negative pada
perkembangan social dan perilakunya (Galvin, dalam Anisah 2015).
5. Dinamika Keluarga
Pada beberapa anak dan orang dewasa yang memiliki gangguan perilaku cenderung
memiliki pengalaman penolakan, kekerasan, kemiskinan, pelecehan seksual dan
sebagainya. Dengan demikian, diperlukan menelaah lebih jauh tentang pola
komprehensif antara individu dan keluarganya dengan cara mempertimbangkan perlunya
melihat keadaan suatu generasi (Abrams, dalam Anisah 2015).
6. Faktor Sosial dan Lingkungan
Sosial/Kondisi lingkungan tidak hanya dalam satu arah mempengaruhi masalah
perilaku, kognitif dan emosional. Tapi secara timbal balik gangguan perilaku tersebut
27
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Seorang anak dan remaja
yang mengalami gangguan perilaku akan menghabiskan dana social yang besar, ini
disebabkan karena orangorang yang mengalami gangguan perilaku rendah
produktivitasnya, tidak dapat bermanfaat secara langsung bagi masyarakat, khususnya
pelanggaran hukum, masalah keluarga, perawatan kesehatan dan ancaman terhadap
orang lain. Hal ini selanjutnya menimbulkan permasalahan sosial, krisis kepercayaan
terhadap mereka yang mengalami gangguan perilaku. Masyarakat akan mulai menyimpan
kemarahan/perasaan tidak suka terhadap mereka yang mengalami gangguan perilaku dan
membuat mereka tergerak untuk menjaga jarak terhadap mereka. Ini akan mengganggu
perkembangan anak yang mengalami gangguan perilaku (Werry, dalam Anisah 2015).