13
BAB II
Tinjauan Pustaka
Dinamika Masyarakat
Masyarakat itu sendiri merupakan suatu paham yang sangat
luas dan dapat dipandang dari berbagai macam sudut dan juga
berbicara tentang dinamika merupakan suatu perubahan ataupun suatu
konsep yang bersifat untuk merubah tanpa menghilangkan
identitasnya. Tetapi semua perubahan tersebut tetap ada kesamaan
hidup dari makhluk-makhluk manusia yang masih terikat suatu aturan
yaitu adat istiadat tertentu (Koenjaraningrat, 1969). Masyarakat yang
terbentuk dari individu-individu dan juga dalam kelompok membuat
keanekaragamana dalam berfikir dan juga persepsi. Dinamika
masyarakat kerap terjadi dalam kehidupan sosial, begitu pula dengan
sebuah komunitas budaya dalam masyarakat, perubahan tersebut
terjadi dari banyaknya komunitas atau paguyuban yang serupa ada
dalam daerah itu, perubahan sistem budaya kerap kali menjadi hal
yang sangat mungkin dalam kebudayaan terutama seni, banyaknya
inovasi dan juga penambahan konsep pagelaran ataupun harga dalam
pementasan menjadi salah satu hal yang wajar dilakukan oleh sebuah
kelompok demi kelangsungan seni dan eksistensi seni tersebut.
Pergeseran penampilan seni ini menjadi salah satu dinamika
masyarakat dalam hal mempertahankan eksistensi seni tersebut, bukan
tanpa alasan mereka melakukan penambahan dan perubahan dalam
seni, tetapi hal ini adalah permintaan dari masyarakat umum sebagai
salah satu hal yang sangat berpengaruh, karena masyarakat
menginginkan tontonan yang segar dan fres, maka dari itu, perubahan
dan tambahan inovasi kerap dilakukan kepada seni sebagai contoh,
Wayang kulit, Ketoprak, Jatilan,Kuda lumping, dan masih banyak lagi.
Menjadi sangat lumrah melihat fenomena tersebut, dinamika dalam
dunia sosial menjadi sangat lumrah terjadi apalagi dalam budaya dan
14
seni. Tanpa menghilangkan nilai dan norma yang ada serta identitas
budaya tersebut seperti yang diungkapkan Koenjoroningrat (1996).
Identitas Kelompok
Pengertian kelompok dari segi persepsi berdasarkan asumsi
bahwa anggota kelompok sadar dan mempunyai persepsi bersama akan
hubungan mereka terhadap anggota lain. Menurut, Smith(1945),
kelompok atau komunitas yang didalamnya terdapat anggota dan juga
memiliki tujuan, menjadi obyek utama dalam ilmu sosiologi, ilmu
sosial sangat aktif menyoroti dinamika sosial melalui interaksi dalam
sebuah kelompok dalam satu kesatuan Masyarakat. Kendati demikan
identitas dalam sebuah kelompok diperlukan dalam upaya
keberlanjutan eksistensi mereka baik dalam bidang sosial, ekonomi dan
juga budaya. Interaksi dalam sebuah kelompok sangat menentukan
terhadap identitas dalam sebuah kelompok, interaksi kelompok bisa
melalui beberapa tahapan antara lain yaitu Tahapan kontak, tahapan
keterlibatan, tahapan keintiman, dan tahapan persepsi social (DeVito
1995), melalui tahapan-tahapan itu maka terbentuk suatu identitas
dalam kelompok dan juga memberikan warna dalam sebuah kelompok
dalam kehidupan sosial.
Kebudayaan Jawa
Kebudayaan dalam arti sempit sering diartikan sebagai
kesenian. Dalam arti luas, kebudayaan setidaknya meliputi tujuh sistem
yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan
organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5)
kesenian, (6) sistem mata pencaharian, dan (7) sistem teknologi dan
peralatan. Menurut Koentjaraningrat (1978: 11-12) yang menunjukkan
identitasnya suatu kebudayaan adalah unsur-unsur yang menonjol dari
kebudayaan itu. Jadi yang menjadi identitas kebudayaan Jawa adalah
unsur yang menonjol dari kebudayaan Jawa yaitu bahasa dan
15
komunikasi, kesenian, dan kesusastraan, keyakinan keagamaan, ritus,
ilmu gaib, dan beberapa pranata dalam organisasi sosial.
Berdasarkan pengertian tentang kebudayaan seperti di atas,
sifat khas suatu kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam
unsur-unsur terbatas terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara.
Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk mengidentifikasikan
kebudayaan Jawa dapat ditilik dari bahasanya, keseniannya, dan
kesenian tradisionalnya maka kebudayaan Jawa menurut H. Karkono
Kamajaya Partokusumo (1986: 85) adalah pancaran atau
pengejowantahan budi manusia Jawa yang merangkum kemampuan,
cita-cita, ide maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan,
keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin.
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang Jawa. Kebudayaan Jawa meliputi daerah yang luas yaitu
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan orang Jawa yang tinggal di
pulau lain merupakan sub variasi kebudayaan Jawa yang berbeda
karena mereka tetap mempertahankan kebudayaannya.
Selanjutnya dikemukakan bahwa hanya ada satu unsur
kebudayaan yang dapat menonjolkan sifat khas dan mutu yang tinggi
yaitu kesenian. Masyarakat Jawa juga mempunyai kesenian yang
bermacam-macan ragamnya dari berbagai daerah di Jawa yaitu seni
musik, seni tari, seni bangunan. Kesenian tersebut mempunyai ciri
khas yang menunjukkan identitas masyarakat Jawa yang membedakan
dengan kesenian daerah lainnya.
Konsep Kearifan Lokal
Adat istiadat dan norma dalam kehidupan masyarakat memang
sudah menjadi bagian dari perkembangan masyarakat Indonesia, yang
mendasarkan pada ketaatan dan kepatuhan terhadap adat istiadat dan
norma serta nilai di setiap daerah yang mereka tempati dan menjadi
keharusan bagi mereka untuk menjaga dan melestarikan konsep
kearifan local tersebut. Dalam era global yang sekarang ini menjadi
16
suatu hal yang sangat riskan bagi kelangsungan kearifan local suatu
daerah, banyaknya pemikiran dan doktrin dari media masa terhadap
masyarakat sangatlah gencar terjadi di Negara kita. Dinamika ini sangat
lumprah dalam pernyataan dari Gidden tentang Globalisasi dan
perputaran dunia. Bagaimana perputaran dunia yang disebabkan oleh
beberapa Negara maju dengan konsep media massa sebagai salah satu
alat untuk menguasai perkembangan dunia, jadi konsep
fundamentalisme seperti kearifan local akan sedikit tergerus dan
menjadi tantangan tersendiri bagi Negara-negara berkembang.
Adapun demikian bukan berarti tidak ada upaya untuk
mencegah tergerusnya kearifan local akibat era global, suatu
pernyataan dari Gidden menggungkapkan adanya hubungan erat
antara Globalisasi dengan resiko, kita akan mampu menguasai sejarah
kita sendiri, namun kita harus dapat menemukan jalan untuk
mewujudkan dunia kita yang terus berputar (Gidden 2000). Dengan
mewujudkan sejarah dan juga mencari jalan untuk bisa mengatasi
resiko akibat era global adalah menyandingkan kegiatan pariwisata
yang berbasis kearifan local, memberi suatu kontribusi dengan
menginformasikan tradisi dan budaya yang kita punya, untuk
dinikmati khalayak umum serta mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi didalamnya, untuk memberikan suguhan baru di era
global ini, dengan suguhan pariwisata dengan basis kearifan local
sebagai Counter Culture terhadap resiko yang akan di akibatkan oleh
era Globalisasi ini.
Konsep Modal Sosial
Pieere Bourdieu
Menurut Bourdieu ada 3 dimensi modal yang berhubungan
dengan kelas sosial yaitu: modal ekonomi, modal kultural, dan modal
sosial. Bourdieu adalah ilmuan sosial dari aliran Neo -Marxis yang
mengaitkan modal sosial dengan konflik kelas. Modal sosial bagi
Bourdieu adalah relasi sosial yang dapat dimanfaatkan seorang aktor
dalam rangka mengejar kepentingannya. Dengan demikian modal
17
sosial bisa menjadi alat perjuangan kelas. Bourdieu (1986). Dalam
kaitannya dengan teori dari Pieere Bourdieu yang coba akan dikaitkan
dengan fenomena lapangan ini adalah peranan dalam masyarakat yang
erat kaitannya dengan ke 3 Modal tersebut yaitu
1. Modal Sosial: melihat sejauh mana masyarakat Desa
Kandangan membentuk suatu jejaring dan juga pola
komunikasi terhadap suatu Kesenian ini, dan juga bagaimana
memperkuat kesenian ini, serta apa saja yang dilakaukan
masyarakat untuk membuat kesenian ini tetap eksis sebagai
salah satu warisan alkuturasi budaya yang ada di daerah
Mereka.
2. Modal Ekonomi: berkaitan dengan modal ekonomi seperti apa
yang telah dikatakan oleh Pieere Bouedieu bagaimana
penempatan modal dalam suatu daerah yang berhubungan
dengan keberlangsungan setiap kegiatan atau cara hidup. Dan
ini menjadi bagian penting dalam setiap kesenian daerah
terutama yang berhubungan dengan swasembada masyarakat,
karena keberlangsungan setiap seni di Indonesia sangan
bergantung pada minat masyarakat untuk menggelar
hajatan,kitanan, syukuran panen, dan hal itu tidak menentu.
Dalam hal ini bagaimana masyarakat desa Kandangan
menyikapi ini di liat dari Modal Ekonomi.
3. Modal Kultural: Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-
tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Dalam
pergerakannya modal cultural atau budaya sering dihubungkan
erat dengan suatu kekuatan dalam pengetahuhan obyektif
dalam sebuah seni dan penguasaaan budaya(Bourdieu, 1979).
Modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:
a. Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
b. Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
c. Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan
praktis.
18
d. Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat
perbedaan antara yang baik dan buruk
Dalam kaitannya dengan suatu seni yang ada di daerah
Kandangan ini, munculnya sebuah pranata baru atau bentuk budaya
baru yang ada di daerah ini. Salah satu bentuk alkuturasi budaya, yang
menggabungkan kesenian asli daerah dengan sentuhan Gandrung
Banyuwangi dan juga budaya dari Bali. Hal ini menjadi daya tarik
tersendiri sebagai salah satu bentuk modal cultural yang dimiliki oleh
seni tersebut dan bagaimana mereka menyatukan itu menjadi bahasan
yang menarik dilihat dari pandangan Modal – Modal yang telah di
berikan oleh sang Sosiolog Pieere Bourdieu.
Kebijakan publik
Menurut Nurcholis (2005) dalam bukunya Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.Kebijakan Publik merupakan
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang-orang banyak pada
tataran strategis atau yang bersifat garis besar yang dibuat oleh
pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik
tersebut, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik,
yaitu mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak,
pada umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas
nama rakyat banyak.
Kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara
yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama dari kebijakan
publik dalam negara modern yaitu pelayanan publik, yang merupakan
segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang
banyak. Menyeimbangkan peran negara yang memiliki kewajiban
dalam menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak
dan retribusi. Pada sisi yang lain menyeimbangkan berbagai kelompok
di dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan, serta untuk
mencapai amanat konstitusi.
19
Proses Kebijakan Publik menurut Younis, Proses Kebijakan
Publik dibagi menjadi 3 tahap yaitu formasi dan desain kebijakan,
implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Gortner menjelaskan ada 5 proses kebijakan publik, yaitu identifikasi
masalah, formulasi, legitimasi, aplikasi dan evaluasi.
Menurut Starling (2005), terdapat 5 proses kebijakan publik yaitu :
1. Identification of needs, yaitu mengidentifikasikan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dalam pembangunan dengan mengikuti
beberapa kriteria antara lain : menganalisisi data, sampel, data
statistik, model-model simulasi, analisis sebab-akibat dan teknik-
teknik peramalan.
2. Formulasi usulan kebijakan yang mencakup faktor-faktor strategik,
alternatif-alternatif yang bersifat umum, kemantapan teknologi
dan analisis dampak lingkungan.
3. Adopsi yang mencakup analisis kelayakan politik, gabungan
beberapa teori politik dan penggunaan teknik-teknik
penganggaran.
4. Pelaksanaan program yang mencakup bentuk-bentuk
organisasinya, model penjadwalan, penjabatan keputusan-
keputusan, keputusan-keputusan penetapan harga, dan sekenario
pelaksanaannya.
5. Evaluasi yang mencakup penggunaan metode-metode
eksperimental, sistem informasi, auditing dan evaluasi mendadak.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Rondinelli (1983) mengatakan bahwa desentralisasi adalah
transfer kegiatan perencanaan, pengambilan keputusan, atau
kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi-
nya di lapangan, unit administratif lokal, semi otonom dan organi-
sasi parastatal. Sementara itu, Koswara (2000) melihat otonomi
daerah sebagai landasan untuk berekspresi dalam menyelenggara-
20
kan pemerintahan daerah sesuai dengan aspirasi dan keanekara-
gaman daerah. Otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang
merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang
membagi kekuasan secara vertikal.
Desentralisasi terbagi menjadi dua yaitu desentralisasi
teritorial (kewilayahan) dan desentralisasi fungsional. Desentraliasi
kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada daerah di dalam negara. Desentralisasi fungsional berarti
pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (teknis) yang
secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Jadi dengan
demikian desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari pusat
ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun
kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari organisasi pemerintahan (struktur birokrasi).
Desentralisasi atau otonomi merupakan kewenangan daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi atau desentralisasi bukanlah semata-mata
bernuansa technical administration atau practical administration,
tetapi harus dilihat sebagai process of political interaction, yang
sangat berkaitan dengan demokrasi pada tingkal lokal.Otonomi
adalah derivat dari desentralisasi. Daerah otonom adalah daerah
yang mandiri dengan tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat
desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi derajat
desentralisasi semakin tinggi tingkat otonomi daerah. Ada beberapa
perbedaan tentang konsep otonomi daerah diantaranya: 1) otonomi
daerah sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan regional
sesuai riwayat, adat istiadat, dan sifat-sifatnya dalam negara
kesatuan 2) otonomi sebagai upaya berperspektif ekonomi politik
dimana daerah diberi peluang untuk berdemokrasi dan berprakarsa
memenuhi kepentingannya, 3) otonomi sebagai kemerdekaan
dalam segala urusan yang menjadi hak daerah, 4) otonomi sebagai
21
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam memenuhi
kepentingan masyarakat lokal, 5) otonomi daerah sebagai suatu
mekanisme empowerment (Keban, 2000).Pemberian otonomi yang
diwujudkan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25
tahun 1999 merupakan manifestasi dari proses pemberdayaan
rakyat dalam kerangka demokrasi di mana daerah Kabupaten/Kota
yang merupakan unit pemerintahan terdekat dengan rakyat
diberikan keleluasaan untuk berekspresi menyangkut kebutuhan
daerahnya sendiri guna memperlancar pembangunan daerah.
Konsep Identitas
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam
bukunya, The Power of Identity (Suryo, 2002), mengemukakan teori
tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil
interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer,
faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif. Faktor pertama,
mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang sejenisnya. Bagi
bangsa Indonesia yang tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa,
agama wilayah serta bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan
meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing. Kesatuan
tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan hal inilah yang
di kenal dengan Bhineka Tunggal Ika.
Faktor kedua, meliputi pembangunan komunikasi dan
teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan
lainnya dalam kehidupan Negara. Dalam hubungan ini bagi suatu
bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan
negara dan bangsanya juga merupakan suatu identitas nasional yang
bersifat dinamis. Pembentukan identitas nasional yang dinamis ini
sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa
Indonesia dalam membangun bangsa dan negaranya. Dalam hubungan
ini sangat diperlukan persatuan dan kesatuan bangsa, serta langkah
yang sama dalam memajukan bangsa dan Negara Indonesia. Faktor
ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi,
22
tumbuhnya birokrasi dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Bagi
bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa persatuan dan
kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah merupakan bahasa
resmi negara dan bangsa Indonesia. Demikian pula menyangkut
biroraksi serta pendidikan nasional telah dikembangkan sedemikian
rupa meskipun sampai saat ini masih senantiasa dikembangkan. Faktor
keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas
alternatif melalui memori kolektif rakyat.
Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai
oleh bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat
melalui memori kolektif rakyat Indonesia. Penderitaan, dan keseng-
saraan hidup serta semangat bersama dalam memperjuangkan kemer-
dekaan merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk
memori kolektif rakyat. Semangat perjuangan, pengorbanan,
menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses
pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah
berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerde-
kaan dari penjajahan bangsa ini. Oleh karena itu pembentukan identi-
tas nasional Indonesia melekat erat dengan unsur-unsur lainnya seperti
sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama serta geografis, yang saling
berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses yang cukup panjang
Media Pembangunan Pariwisata
Semakin banyak daerah yang memiliki potensi berusaha
melakukan pencitraan dengan menggunakan penguatan terhadap
symbol atau penanda tertentu. Demikian yang dilakaukan pemerintah
daerah tertentu untuk menunjukkan symbol dalam perihal
pengembangan pariwisata daerah yang berbasis kearifan local.
Demikian juga seperti yang diungkapkan oleh antony Gidden, yang
memberikan pemikiran dan pengertian terhadap Globalisasi,
bagaimana Globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali
23
kebangkitan budaya local di belahan dunia (Gidden 2001). Pariwisata
tidak bisa dilepaskan dari Globalisasi, karena pariwisata adalah proses
dari globalisasi, karena dalam kenyataanya kebudayaan dan kearifan
local seperti yang diungkapkan oleh Gidden, memberi refrensi yang
signifikan kalau ditinjau pada era sekarang ini. pariwisata berbasis
budaya dan kearifan lokal sekarang menjadi salah satu tolak ukur
tersendiri dalam setiap pembangunan daerah dalam hal
memperkenalkan daerahnya.
Dominasi media massa dikuasai oleh sebagian besar Negara-
negara maju, sedangkan Negara berkembang lebih menggunakan daya
tarik terhadap kearifan lokal dan kebudayaannya, sebagai dasar
perkembangan budaya di era global ini sebagai suatu wadah yang
disebut dengan counter culture (Fakih 2005), dari rujukan dan
pemikiran tersebut, munculnya peranan media pariwisata dalam
Negara berkembang seperti Indonesia, sangat mungkin terjadi dan
memungkinkan untuk memberi sentuhan baru dalam konsep
pembangunan berkelanjutan yang berbasis Media pariwisata budaya,
sebagai salah satu bentuk identitas, kekuatan, dan pengembangan
daerah maupun Nasional.
Pembangunan Sosial, Budaya, Ekonomi
Pembangunan dalam tataran ilmu sosial memang berhubungan
dengan banyak aspek di dekatnya seperti sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Semua berkaitan dengan konsep pembangunan yang terstuktur
dan berkelanjutan. Kaitan-kaitan ini menjadi salah satu obyek yang
sangat dekat dengan ilmu sosial dalam memaparkan peranan
masyarakat didalam pembangunan, dan bagaimana pembangunan itu
terjadi, pembangunan secara materi, atau pembangunan secara SDM,
dan juga pembangunan yang berlevel makro. Pembangunan dalam
konteks daerah memiliki prosedur dan kekhasan tersendiri dalam
mewujudkan pembangunan dalam daerah tersebut.
Mengutip dari gagasan Coleman, tentang pendekatan
rasionalitas, yaitu basis utama dari sistem tindakan sosial adalah dua
24
orang actor yang memiliki control atas sumber daya kepentingan satu
sama lain, yang memiliki tujuan dan melibatkan satu sama lain, yang
pada akirnya akan memberikan karakter pada tindakan mereka
masing-masing (Coleman 1990). Pada dasarnya pembangunan diawali
dari masyarakat sendiri, bagaimana masyarakat atau para actor bisa
berfikir rasional dan saling melibatkan satu sama lain, atau
memberikan ruang partisipasi ke pada masyarakat, sehingga karakter
dari pada daerah mulai timbul dan tujuan mulai ada sehingga
pembangunan itu berawal dari pemikiran rasional para masyarakat
yang diamplikasikan melalui kehidupan sosial dan jejaring mereka,
sehingga akan memberikan warna terhadap karakter masyarakat
daerah itu sendiri demi mewujudkan pembangunan daerah yang
berdasarkan ekonomi, politik maupun budaya.
Kerangka Pikir
Strategi
Pelestarian
Kebudayaan
Daerah
1. Paguyuban Krida
Taruna
2. Paguyuban Wahyu
Turonggo Panuntun
(Temanggung)
Dinas Kebudayaan
Kab. Temanggung
Pembentukan Identitas Daerah
Pembentukan Kebudayaan sebagai Identitas Daerah yang
Terintegrasi dalam Pembangunan Pariwisata Daerah
25
Keterangan:
Dari bagan kerangga berpikir di atas, penulis mengangkat seni Kuda
Lumping di Temanggung dan bagaimana peranan pemerintah dalam hal ini
adalah Dinas Kebudayaan di Temanggung untuk menggangkat seni kuda
lumping menjadi identitas Kebudayaan Daerah dan proses pembangunan
pariwisata daerah dengan mengacu pada aspek-aspek sosial, ekonomi, dan
budaya.