8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Bayi
2.1.1 Masa Bayi Awal
Bayi merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan setelah proses
kelahiran. Masa bayi merupakan periode sejak lahir sampai usia 12 bulan,
pada bulan pertama kehidupan merupakan masa kritis karena banyak
mengalami adaptasi terhadap lingkungan, perubahan sirkulasi darah, serta
organ- organ tubuh mulai berfungsi (Ronald, 2011). Masa Janin (Prenatal)
sampai usia 6 bulan termasuk dalam tahap pertama atau masa bayi dini. Bayi
sejak lahir hingga usia 6 bulan mengalami maturasi (kematangan) sistem
organ tubuh secara progresif dan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat
(Wong et al, 2008).
2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi Usia 0 – 6 Bulan
1. Definisi Petumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan satu- kesatuan yang
mencerminkan berbagai perubahan yang terjadi selama proses kehidupan
berlangsung. Pertumbuhan adalah peningkatan jumlah dan ukuran sel pada
saat membelah diri (menghasilkan peningkatan ukuran dan berat seluruh atau
sebagian sel) di seluruh tubuh secara kuantitatif yang dapat diukur.
Perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara bertahap,
perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih tinggi, proses diferensiasi
sel- sel tubuh. Jaringan tubuh memenuhi fungsinya masing- masing serta
9
perkembangan emosi dan intelektual sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya (Wong et al, 2008).
2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastrointestinal Bayi
Fungsi utama traktus gastrointestinal adalah pencernaan dan absorpsi
nutrien dan air, eleminasi produksi sisa, dan sekresi zat yang dibutuhkan
untuk pencernaan. Saat lahir traktus gastrointestinal masih belum sempurna
sampai usia 2 tahun pertama. Karena traktus gastrointestinal belum terbentuk
sempurna maka banyak perbedaan yang terdapat antara traktus digestif bayi
atau anak- anak dan orang dewasa. Contohnya, tonus otot sfingter esofagus
bagian bawah belum dianggap seperti orang dewasa sampai usia 1 bulan.
Kelemahan tonus otot sfingter ini dapat menjelaskan mengapa bayi seringkali
mengalami regurgitasi setelah pemberian makanan (ASI) (Engel, 2009).
Peristaltik pada anak berlangsung cepat, dengan waktu pengosongan
berkisar 2½ sampai 3 jam pada bayi baru lahir dan 3- 6 jam pada bayi yang
lebih besar dan anak- anak. Kapasitas lambung bayi pada neonatus,
dibandingkan dengan 10- 200 ml pada bayi usia 2 tahun, 1500 ml pada remaja
usia 16 tahun, dan 2000- 3000 ml pada orang dewasa. Lambung berbentuk
bulat dan terletak agak horizontal sampai usia 2 tahun. Sel- sel parietal
lambung belum memproduksi asam klorida seperti pada orang dewasa sampai
usia 6 bulan. Refleks gastrokolik atau gerakan isi lambung ke arah kolon,
terjadi cepat pada bayi muda, seperti ditandai dengan frekuensi buang air
besar yang sering. Usus yang berkembang sangat cepat di dalam uterus,
mengalami dorongan pertumbuhan lebih lanjut ketika anak berusia 1- 3 tahun
dan kemudian pada usia 15- 16 tahun. Otot- otot anus pada bayi berkembang
10
setelah lahir karena bayi menjadi lebih tegak kemudian menjadi mampu
mengendalikan defekasi secara volunter (Engel, 2009).
Gambar 2.1 Anatomi Lambung Bayi
2.2 Konsep Teknik Menyusui
2.2.1 Definisi Menyusui
Menyusui adalah memberikan ASI kepada bayi yang baru lahir
atau dikenal juga dengan istilah Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Proses
menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menelan dan
menghisap ASI disebut dengan laktasi. Pemberian ASI eksklusif diberikan
pada bayi baru lahir hingga usia 6 bulan, dan lanjutkan hingga usia 2 tahun
agar anak mendapatkan kekebalan tubuh yang alami dari ASI (Setegn, 2012).
2.2.2 Teknik Menyusui
Menyusui merupakan proses pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada
bayi dari payudara ibu. Bayi akan menggunakan reflek menghisap (Suckling
Reflex) untuk mendapatkan dan menelan susu. Teknik menyusui yang tidak
tepat dapat menyebabkan komplikasi pada ibu dan bayi yaitu puting susu
11
lecet, payudara bengkak, mastitis dan mengakibatkan bayi mengalami
regurgitasi (Tella et al, 2013).
Gambar 2.2 Teknik Menyusui Tepat dan Tidak Tepat (Tella et al, 2016)
Teknik pelekatan pada proses menyusui sangat berpengaruh pada
keberhasilan menyusui, apabila teknik pelekatan tidak tepat maka udara akan
masuk bersama ASI dan akan mengakibatkan regurgitasi. Teknik menyusui
yang benar Menurut (WHO 2009) adalah: 1.) Hadapkan bayi ke payudara
dengan posisi hidung bayi berhadapan dengan puting payudara. Puting
payudara diatas bibir bayi. Dagu menempel di payudara (Contact Point); 2.)
Beri rangsangan (Rooting Reflex) pada bibir bawah, dagu, atau pipi bayi dengan
12
puting payudara. Tunggu sampai mulut bayi terbuka lebar. Pastikan perut bayi
menempel dengan perut ibu, secara cepat dekatkan bayi ke payudara dengan
cara menekan punggung dan bahu bayi; 3.) ibu memegang payudara dengan
tangan berbentuk C (C hold) puting susu akan menelusuri langit-langit dan
pangkal lidah bayi, perhatikan aerola bagian atas lebih banyak terlihat
daripada bagian bawah. mulut bayi terbuka lebar, bibir bawah bayi terputar
keluar, dan dagu bayi menempel ke payudara; 4.) dagu menempel ke payudara
dan hidung memenuhi payudara. Gerakan rahang dan bunyi tegukan
memastikan ia menyusui dengan teknik yang benar.
Gambar 2.3 Pelekatan Benar (Khasanah, 2011)
Gambar 2.4 Pelekatan Salah (Khasanah, 2011)
Regurgitasi terjadi karena beberapa faktor salah satunya adalah posisi
menyusui yang dilakukan dengan tidak tepat. Menyusui bayi dapat dilakukan
dengan berbagai macam posisi. Adapun posisi menyusui yang tergolong
benar bisa dilakukan dengan cara duduk, berdiri, atau berbaring (Khasanah,
2011).
13
Proses menyusui dengan cara yang tepat yaitu perut bayi menempel
pada perut ibu, posisi hidung dan dagu bayi menghadap ke payudara tetapi
jangan sampai lubang hidung bayi tertutup oleh payudara ibu yang akan
membuat bayi sulit untuk bernafas. Pastikan mulut bayi menangkup seluruh
puting dan areola ibu. Pandangan ibu harus ke arah bayi agar komunikasi dan
ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi dapat terjaga (Khasanah, 2011).
Posisi menyusui yang dapat dilakukan selain posisi di atas diantaranya
sebagai berikut:
a. Baby- led Latching
Baby- led latching adalah posisi menyusui yang sangat mudah dilakukan
oleh bayi yang baru belajar menyusui, posisi ini juga bisa dilakukan
ketika puting susu ibu sedang nyeri. Cara menyusui bayi dengan teknik
baby- led latching adalah: 1.) Susuilah bayi ketika bayi tidak rewel atau
ketika bayi sedang tenang; 2.) Carilah posisi duduk yang nyaman atau
dengan bersandar; 3.) Lakukan kontak kulit dengan meletakkan bayi di
antara kedua payudara ibu; 4.) Bayi akan mencari payudara ibu dengan
menggerakkan kepalanya seperti gerakan memantuk; 5.) Ketika bayi
sudah menemukan payudara ibu maka dagu bayi akan menekan payudara
ibu dan membuka mulutnya; 6.) Posisi menyusui baby- led latching ini
merupakan posisi yang sangat nyaman bagi bayi maupun ibu (Khasanah,
2011).
14
Gambar 2.5 Bayi mencari puting susu ibu (Priyono, 2010)
b. Cross Cradle Position
Cross Cradle Position merupakan posisi yang biasanya digunakan oleh
ibu yang baru belajar menyusui. Posisi ini diharuskan ibu duduk dengan
tegak, leher dan bahu bayi disangga oleh lengan bawah ibu atau menekuk
pada siku. Ibu harus memperhatikan agar pergerakan kepala bayi tidak
terhalang (Pollard, 2015). Teknik yang digunakan untuk memegang payudara
dengan cara C hold yaitu memegang payudara dengan 2 jari, ibu jari diatas
puting dan jari telunjuk di bawah puting susu ibu. Posisi menyusui ini juga
sering digunakan oleh ibu kepada bayi yang ukurannya kecil atau prematur
(Tella et al, 2015).
16
menyusui anak kembar dalam waktu yang bersamaan. Caranya yaitu ibu
duduk tegak dengan meletakkan bantal dibelakang ibu untuk menyokong
tubuh ibu, kemudian tangan ibu menyokong kepala bayi, dan memegang
payudara dengan cara C hold yaitu memegang payudara dengan 2 jari, ibu jari
diatas puting dan jari telunjuk di bawah puting susu ibu (Mbada et al, 2013).
Gambar 2.8 Posisi Menyusui Football Hold (Umar, 2014)
e. Side-lying hold
Posisi berbaring digunakan ketika ibu dan bayi merasa letih, biasanya
juga digunakan oleh ibu yang baru pulih dari operasi Caesar. Caranya yaitu
posisi ibu berbaring dan sedikit miring ke arah bayi, kemudian tangan ibu
menyokong tubuh dan kepala bayi. Teknik yang digunakan untuk memegang
payudara dengan cara C hold yaitu memegang payudara dengan 2 jari, ibu jari
di atas puting dan jari telunjuk di bawah puting susu ibu (Mbada et al, 2013;
Tella et al, 2015).
Gambar 2.9 Posisi Menyusui Berbaring (Umar, 2014)
17
Menyusui dengan teknik yang tidak tepat mengakibatkan puting
payudara ibu lecet, payudara bengkak, mastitis, dan bayi mengalami
regurgitasi sehingga kebutuhan gizi bayi tidak tercukupi atau bayi akan enggan
untuk menyusu (Tella et al, 2015). Bayi yang telah meminum ASI dengan
benar maka akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut: yang pertama
bayi terlihat tenang, badan bayi menempel ke perut ibu, mulut bayi terbuka
lebar, dagu bayi menempel pada payudara ibu, jika mulut bayi sudah
menempel pada aerola ibu, perhatikan sebagian besar aerola masuk dalam
mulut bayi, bayi akan tampak menghisap kuat hingga terdengar irama
perlahan, ibu tidak merasa nyeri pada puting payudaranya, dan tanda terakhir
yaitu telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus.
2.2.3 Teknik Menyendawakan Bayi
Menurut (WHO, 2009) Bayi yang telah minum ASI jangan segera
ditidurkan, tapi perlu disendawakan terlebih dahulu untuk mengeluarkan
udara yang terperangkap dilambung akibat dari teknik menyusui yang tidak
tepat. Cara menyendawakan bayi dengan benar menurut Lighdale & david
(2013) yaitu:
a. One the shoulder/ over your shoulder. Gendong bayi dalam posisi berdiri dan
letakkan kepala di atas pundak ibu kemudian tepuk punggungnya dengan
halus sampai terdengar suara sendawa agar udara yang ada di lambung bayi
dapat keluar.
18
2.10 On The Shoulder Technique
b. Tummy down on the lap. Posisikan bayi di pangkuan ibu agar kepala bayi terletak
pada satu kaki dengan perut di sisi lain. Tepuk halus punggung bayi hingga
bayi bersendawa.
2.11 Tummy down on the lap
c. Half-sitting/ half-lying Posisi ini dilakukan saat bayi berumur lebih dari 3 bulan.
Dudukkan bayi dengan tegak di atas paha ibu kemudian sangga perut bayi
dengan tangan dan punggung bayi menyentuh perut ibu, pastikan kepalanya
tidak mendangak ke belakang kemudian tepuk dan usap punggung bayi
dengan lembut. Posisi tersebut akan membuat lambung tertahan sehingga
bayi dapat sendawa dan udara di lambung akan mudah keluar.
19
2.12 Half-sitting/ half-lying
2.3 Konsep Regurgitasi
2.3.1 Definisi Regurgitasi
Regurgitasi adalah aliran balik isi lambung ke dalam esofagus dan
mengeluarkan sebagian susu yang sudah ditelannya melalui mulut dan tidak
disertai kontraksi otot abdomen (Indrio et al, 2009). Cairan yang dikeluarkan
kembali biasanya berupa ASI yang tertelan, dengan volume tidak lebih dari 15
ml (Eveline & Djamaludin, 2010). Regurgitasi merupakan kejadian normal
yang umum terjadi pada bayi dibawah usia 6 bulan, seiring bertambahnya usia
regurgitasi akan semakin jarang terjadi (Badriul et al, 2013). Regurgitasi
merupakan manifestasi klinis dari refluks gastroesofagus (Nursalam, 2013).
Regurgitasi berbeda dengan muntah. Muntah adalah pengosongan
lambung yang lebih sempurna terutama terjadi beberapa waktu setelah
makan. Muntah adalah keluarnya isi lambung sampai ke mulut dengan
kekuatan aktif serta adanya kontraksi yang kuat dari otot abdomen dan
diagfragma (Dwienda, 2014).
20
2.3.2 Etiologi Regurgitasi
Faktor-Faktor yang dapat menyebabkan regurgitasi pada bayi adalah sebagai
berikut :
1. Sfingter esofagus bagian bawah belum berfungsi dengan optimal
Bayi memiliki sfingter esofagus yang belum terbentuk secara
sempurna. Sfingter esofagus bagian bawah pada bayi hingga usia 6 bulan
masih lemah dan belum siap berfungsi secara optimal. Bayi sering
mengalami regurgitasi setelah disusui karena sfingter esofagusnya belum
sempurna (Engel, 2008).
2. Volume lambung masih kecil
Sistem pencernaan bayi baru lahir belum matur dan mengalami
maturasi pada usia 3 bulan (Muscari, 2015). Volume lambung pada
neonatus adalah 10- 20 ml dan 10- 200 ml pada bayi usia 2 bulan.
Volume ASI yang ditelan melebihi kapasitas lambunganya dan bayi yang
menggeliat setelah minum ASI membuat tekanan dalam perut tinggi dan
dapat mengakibatkan regurgitasi (Engel, 2008).
2.3.2 Faktor Penyebab Regurgitasi
1. Teknik Menyusui yang salah
Teknik menyusui merupakan bagian terpenting untuk
keberhasilan proses menyusui bayi, ASI yang diminum oleh bayi akan
masuk ke saluran percernaan atas kemudian masuk ke lambung, diantara
organ tersebut terdapat katup penutup lambung atau sfingter esofagus.
Tonus otot sfingter esofagus dengan posisi terlentang saat disusui akan
mengakibatkan ASI yang diminum masuk kedalam saluran pernafasan
akan menyebabkan bayi mengalami regurgitasi, karena (Susanti, 2013).
21
Posisi menyusui dengan pelekatan yang tidak tepat yaitu mulut bayi tidak
menutup puting dan aerola payudara ibu dengan baik sehingga akan
mengakibatkan udara terhisap bersama ASI. Udara tersebut masuk ke
dalam lambung dan akan mendorong isi lambung sehingga bayi
mengalami regurgitasi (Dwienda, 2014).
2. Bayi Menangis
Bayi menangis mengakibatkan udara terhisap dan masuk ke
dalam lambung sehingga bayi kembung dan tekanan udara tersebut akan
mendorong ASI sehingga bayi mengalami regurgitasi (Danuatmadja &
Meiliasari 2007). Udara dapat masuk saat bayi menangis saat menyusui
karena aerola payudara tidak masuk seluruhnya kedalam mulut bayi
sehingga udara akan ikut terhisap. Udara akan mendorong makanan atau
susu sehingga ikut keluar dari dalam esofagus (Susanti, 2013).
3. Konsumsi makanan ibu
Regurgitasi pada bayi bisa terjadi karena makanan yang
dikonsumsi oleh ibu. Makanan yang dikonsumsi ibu akan berperngaruh
pada komposisi ASI yang akan diminum oleh bayi. Makanan yang
menyebabkan bayi mengalami regurgitasi dikonsumsi oleh ibu, akan
masuk kedalam sistem percernaan melalui ASI yang diminum bayi,
sehingga menjadi sistem pencernaan bayi terganggu dan menyebabkan
regurgitasi pada bayi. Contoh makanan dan minuman yang
menyebabkan ibu mengalami bayi mengalami regurgitasi adalah: 1)
alkholol, 2) Susu bubuk skim khusus ibu menyusui, 3) minuman dan
makanan yang mengandung kafein (Lee et al, 2012).
22
2.3.3 Klasifikasi Regurgitasi
a. Regurgitasi Fisiologis
Regurgitasi merupakan kejadian normal yang umum terjadi pada bayi
dibawah usia 6 bulan, seiring bertambahnya usia regurgitasi akan semakin
jarang terjadi. Regurgitasi pada bayi dikatakan normal apabila volume yang
keluar dan masuk seimbang. Frekuensi regurgitasi yang terjadi pada bayi tidak
lebih dari 5 kali dalam sehari, tidak lebih dari 15 ml (Badriul et al, 2013).
Regurgitasi terjadi beberapa saat setelah minum ASI, bayi tidak rewel,
regurgitasi yang terjadi pada bayi tidak bercampur darah, dan bayi tidak
menolak untuk minum ASI. Bayi yang mengalami regurgitasi namun tidak
mengalami masalah dalam penurunan berat badan maka regurgitasi tidak
perlu dipermasalahkan karena itu masih dalam hal yang wajar (Dwienda,
2014).
b. Regurgitasi Patologis
Regurgitasi yang tejadi lebih dari 5 kali dalam sehari dan lebih dari 15
ml, bayi menangis berlebihan setelah minum ASI dan mengalami penurunan
berat badan perlu diwaspadai adanya gangguan pada organ pencernaan.
Frekuensi dan volume regurgitasi yang berlebihan akan menjadi patologis
karena asam lambung mengalir ke dalam esofagus dan menyebabkan
kerusakan lapisan dinding esofagus yang akan mengakibatkan esofagitis,
akibatnya bayi akan rewel karena rasa sakit ditenggorokan (Hegar &
Vandenplas, 2011)
Regurgitasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat
mengganggu pertumbuhan bayi. Regurgitasi terjadi tidak hanya setelah
minum ASI tetapi juga saat tidur meskipun minum ASI telah dilakukan 3 jam
23
yang lalu. Manifestasi klinis regurgitasi patologis pada bayi yaitu bayi sering
rewel saat dan setelah minum ASI, selain itu bayi juga menolak untuk minum
ASI kembali, berat badan bayi tidak naik, dan regurgitasi disertai darah
(Dwienda, 2014).
2.3.4 Patofisiologi Regurgitasi
Regurgitasi merupakan kejadian normal yang umum terjadi pada bayi
dibawah usia 6 bulan, seiring bertambahnya usia regurgitasi akan semakin
jarang terjadi (Badriul et al, 2013). Regurgitasi terjadi karena pada saat proses
menyusui berlangsung pada udara yang terhisap bersama ASI, udara tersebut
masuk kedalam lambung lalu mendorong isi lambung sehingga cairan naik ke
esofagus dan keluar melalui mulut pada sudut-sudut bibir tanpa adanya
kontraksi pada perut. Regurgitasi terjadi karena lower esophagus spincter (LES)
pada bayi belum sempurna sehingga belum berfungsi dengan optimal dan
ASI yang diminum oleh bayi sudah melebihi kapasitas lambung, lambung
tidak bisa menampung ASI sehingga sfingter esofagus terbuka, cairan akan
naik ke esofagus dan bayi mengalami regurgitasi (Van Howe & Stroms, 2010).
2.13 Patofisiologi Regurgitasi
24
2.3.5 Komplikasi Regurgitasi
Regurgitasi atau gumoh merupakan gejala klinis dari refluks gastro-
esofagus. Kondisi ini normal terjadi pada bayi baru lahir dan akan menurun
pada usia 6 bulan ke atas (Hegar & Vandenplas, 2011). Regurgitasi yang
berlebihan dan tidak segera ditangani dapat menyebabkan komplikasi yang
dapat mengganggu pertumbuhan bayi bila volume regurgitasi yang keluar
tidak seimbang dengan ASI yang masuk. Bayi yang mengalami regurgitasi
berlebih dapat menolak minum ASI kembali karena bayi menganggap ASI
atau makanan sebagai hal yang tidak enak sehingga bayi cenderung untuk
menolak minum ASI (Hegar et al, 2013).
Komplikasi akibat regurgitasi adalah sebagai berikut :
1. Esofagitis
Cairan asam lambung yang naik ke esofagus secara terus menerus
akan mengiritasi mukosa esofagus karena bersifat korosif. Asam lambung
yang terus- menerus dapat mengiritasi mukosa esofagus tersebut akan
menimbulkan inflamasi yang disebut dengan esofagitis. Esofagitis yang tidak
segera ditangani akan berkembang menjadi luka yang disebut dengan ulkus
esofagus. Luka tersebut apabila sudah sembuh akan menimbulkan scar dan
dinding esofagus di daerah luka tersebut akan menjai jaringan fibrosis
(Straumann, 2013).
25
Gambar 2.14 Esofagitis (Straumann, 2013)
Endoskopi Esofagus (a) normal esofagus, (b dan c) esofagitis, (d)
divertikulosis esofagus
2. Stiktur Esofagus
Ulkus Esofagus yang telah sembuh dapat menimbulkan jaringan parut
(bekas luka), dimana dinding esofagus di daerah luka itu akan berubah
menjadi jaringan fibrosis. Keadaan ini membentuk stritura (penyempitan)
pada esofagus. Striktur esofagus adalah penyempitan dinding esofagus
(biasanya terletak pada 2/3 bawah) sering diakibatkan karena refluks
esofagitis. Striktur esofagus merupakan penyempitan lumen karena fibrosis
dinding esofagus. Proses striktur terjadi akibat reaksi inflamasi dan nekrosis
esofagitis (Priyanto & Lestari, 2008). Striktur ini dapat membentuk kelainan
berupa disfagia, gangguan gerakan peristaltik pada esofagus yang dapat
menimbulkan terjadinya akalasia (Sukri, 2009).
Gambar 2.15 Sriktur Esofagus
26
3. Akalasia
Gangguan gerakan peristaltik pada esofagus yang terjadi akibat
striktur esofagus dapat mengakibatkan terjadinya akalasia (Sukri, 2009).
Akalasia adalah terjadinya spasme sfingter esofagus bagian bawah atau
penutupan esofagus bagian bawah akibat mengerucutnya otot- otot sfingter
esofagus. Peristaltik korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus
bagian bawah tidak dapat berelaksasi secara sempurna pada saat menelan
makanan (Priyanto & Lestari, 2008).
4. Penurunan Berat badan
Cairan asam lambung yang naik ke esofagus secara terus- menerus
akan mengiritasi mukosa esofagus karena bersifat korosif. Asam lambung
yang terus- menerus dapat mengiritasi mukosa esofagus tersebut akan
mengakibatkan rasa sakit di tenggorokan. Iritasi tersebut dapat membuat bayi
rewel, sulit menelan (disfagia) dan menolak minum ASI sehingga dapat
mengakibatkan malnutrisi atau penurunan berat badan (Salvotore &
Vandenplas, 2012).
2.4 Hubungan Teknik menyusui dengan Frekuensi Regurgitasi Pada Bayi
Usia 0- 6 Bulan.
Menyusui (breast feeding) yang dikategorikan ASI eklusif adalah
koordinasi antara gerakan mengisap dan menelan dari mulut sang bayi.
Volume setiap isapan bayi adalah 0,14-0,01 cc lama isapan kurang lebih 2
detik (Sitepoe, 2013), dan setiap bayi mempunyai frekuensi menyusui lebih
dari 8 kali per hari (Badriul Hegar et al, 2013). Pemberian ASI atau menyusui
hendaknya dilakukan seketika setelah bayi baru lahir yang dikenal dengan
nama Inisiasi Menyusui Dini (IMD) (WHO, 2009). Proses menyusui harus
27
dilakukan dengan teknik yang tepat dan benar, produksi ASI seorang ibu akan
cukup sebagai makanan tunggal bagi bayi normal untuk memperoleh manfaat
terbesar dari bayi. Volume produksi ASI rata- rata 500cc/24 jam. Seorang
bayi berusia 1 bulan mengonsumsi sekitar 18- 21 ons ASI, dan akan
meningkat selama 6 bulan pertama dan menurun setelah pengenalan makanan
padat (Sitepoe, 2013).
Teknik menyusui merupakan hal yang harus di perhatikan oleh ibu agar
proses menyusui bisa dilakukan dengan tepat. Salah satu faktor keberhasilan
dalam menyusui adalah posisi dan pelekatan yang tepat pada teknik menyusui
(Mbada et al, 2013). Teknik menyusui yang tepat akan bermanfaat bagi ibu dan
bayi jika teknik menyusui dilakukan dengan tidak tepat akan berakibat pada ibu
dan bayi yaitu ibu akan mengalami lecet pada puting payudara, payudara
bengkak, dan mastitis, sedangkan bayi akan mengalami regurgitasi dan
pertumbuhan bayi akan terganggu (Tella et al, 2015)
Regurgitasi merupakan kejadian normal yang umum terjadi pada bayi
dibawah usia 6 bulan, seiring bertambahnya usia regurgitasi akan semakin
jarang terjadi (Badriul et al, 2013). Regurgitasi adalah aliran balik isi lambung ke
dalam esofagus dan keluar melalui mulut dan tidak disertai kontraksi otot
abdomen (Indrio et al, 2009). Regurgitasi dianggap abnormal apabila terjadi
terlalu sering atau hampir setiap saat, juga apabila terjadi tidak hanya setelah
makan dan minum tetapi pada saat tidur, selain itu juga regurgitasi yang
bercampur darah (Dwinda, 2014).
Proses menyusui harus dilakukan dengan teknik yang tepat, karena
melalui proses menyusui ASI yang merupakan makanan tunggal bayi dapat
diterima dengan baik. Menggunakan teknik menyusui dengan tepat akan
28
berpengaruh pada keberhasilan proses menyusui sehingga dapat bermanfaat
bagi ibu dan bayi. Ketepatan dalam teknik menyusui dapat mengurangi
kejadian lecet pada payudara ibu, pembengkakan pada payudara, abses
payudara dan kejadian regurgitasi pada bayi yang dapat berdampak pada
tumbuh kembang bayi (Tella et al, 2016).