11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2. 1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan untuk menelusuri penelitian yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Secara khusus studi
tentang Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito
Timur, Kalimantan Tengah relatif sedikit dikaji oleh para peneliti terdahulu.
Adapun tulisan-tulisan tersebut akan dijadikan rujukan guna mendukung dan
memberi inspirasi dalam penelitian ini.
Dari penelusuran terhadap studi-studi terdahulu tentang balian yang
mempunyai relevansi dengan penelitian ini ada beberapa tulisan yang bisa
dipakai sebagai acuan kajian pustaka, yaitu penelitian Andreas W. Massing
(1982), “Where Medicine Fails: Belian Disease Prevention and Curing Rituals
Among the Lawangan Dayak of East Kalimantan” dalam Borneo Research
Bulletin vol.14. Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Timur di wilayah Benuaq
dan Tanjung. Dalam penelitiannya ini, Massing menyatakan bahwa
kajiannya tidak hanya untuk kalangan antropolog saja, tetapi bisa bermanfaat
juga bagi dokter dan tenaga kesehatan untuk membuat mereka memahami
subjektif keyakinan pasien.
Menurut Massing (1982), tenaga medis atau dokter perlu memahami
tentang asal-usul penyakit, psikologis pasien, dan cara penyembuhannya yang
12
didasarkan pada agama Dayak Lawangan. Tindakan utama yang perlu dilakukan
adalah bagaimana membuat obat medis menjadi lebih efektif dengan tidak
menyatakan keyakinan mereka sebagai sebuah tahayul.
Hasil penelitian Massing ini bersifat deskripsi, memberikan pemahaman
tentang pentingnya ritual balian dalam komunitas Dayak Lawangan, akan tetapi
Massing dalam penelitiannya lebih banyak mengulas dan mengklasifikasikan tipe
balian daripada menyatakan peran ritual balian. Penelitian ini digunakan peneliti
untuk melihat tipe-tipe klasifikasi ritual balian .
Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Isabell Herrmans (2011),
Towards the Breaking Day, An Ethnography of Belian Curing Rituals among the
Luangans of Indonesian Borneo. Penelitian ini mulai dilakukan pada tahun 1983,
kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1996 sampai 1997, dengan mengambil
lokasi penelitian di daerah perbatasan provinsi Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur. Herrmans mengkaji karakteristik yang muncul dari variabel
ritual pertunjukan dalam praktik-praktik sosial penyembuhan, transformasi, dan
representasional. Tulisan Hermans ini digunakan peneliti sebagai acuan untuk
melihat telaah diskursus dialetika yang terjadi terutama pada mitologi yang
menghidupkan hubungan manusia-roh dalam ritual. Kajiannya Herrmans tidak
secara spesifik meneliti tentang balian bawo, karena varian ritual balian
bermacam-macam fungsi dan peruntukannya.
Kedua penelitian terdahulu di atas Massing (1982), Herrmans (2011)
digunakan sebagai acuan pustaka, bahan rujukan dan pembanding. Telaah
penelitian Massing dan Herrmans berbeda paradigma dengan penelitian ini secara
13
bidang keilmuan, jangka waktu, dan lokasi penelitian. Walaupun yang dikaji
tentang balian, tetapi kedua penelitian tersebut lebih fokus dalam masalah ritual
balian pengobatan, sedangkan penelitian ini difokuskan pada masalah eksistensi
balian bawo dalam siklus hidup Dayak Lawangan di Dusun Tengah.
Penelitian yang dilakukan oleh Noerid Haloei Radam (2001) dalam
bukunya yang berjudul “Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi
dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi”. Penelitian ini dilakukan di selama 20 bulan,
yakni dari bulan April 1979 hingga November 1980 dengan lokasi penelitian di
kawasan hulu Amandit, Kalimantan Selatan. Radam dalam penelitian ini
melukiskan kehidupan orang Bukit dengan menghubungkan aspek-aspek ekonomi
dan ekologis perladangan yang erat kaitannya dengan sistem keagamaannya
dengan menggunakan pendekatan strukturalisme fungsional.
Dalam penelitiannya, Radam menyatakan bahwa Orang Bukit meyakini
adanya sejumlah Ilah, roh alam dan roh nenek moyang, yang mempunyai wilayah
kekuasaan dan objek pemeliharaannya masing-masing pada berbagai upacara
yang dilakukan. Hal yang menarik dari penelitian Radam adalah bagaimana
budaya lokal (kosmologi keyakinan mereka) mengalami proses budaya, secara
historis mungkin diadopsi dari kebudayaan orang Banjar Hulu yang banyak
dipengaruhi agama Islam.
Proses-proses budaya yang terjadi pada kehidupan orang Bukit
bersentuhan dengan gagasan dan nilai agama Islam dengan agamanya, yang
disebut agama balian. Proses-proses tersebut terlihat dalam mite penciptaan
Suwara diyakini sebagai Tuhan pencipta cikal bakal alam semesta dan manusia
14
pertama. Kejadian alam semesta terjadi karena perluasan gerakan dan dorongan
biologis Datu Adam dan Datu Tihawa.
Dalam religi orang bukit mengenal pula konsepsi tentang nabi dan
malaikat Jabaril pendamping Suwara mendapat pengaruh agama Islam. Guguhan
atau Suwara itu disebut pula Panglangit (Bapak Langit) juga diyakini sebagai
sumber asal mula yang ada, baik yang hidup di muka bumi maupun yang berada
di alam semesta. Guguhan atau Suwara sebagai Ilahi yang tinggal di kawasan
langit tertinggi yakni di Langit Ing-ingan yang juga dipercaya sebagai tempat
tinggal Indung Hawa dan Adam serta Nining Bahatara. Hal menarik dari tulisan
ini adalah diantara nabi-nabi itu ada yang menjadi balian setelah berguru dengan
pada Balian Asa Mula, yakni Datu Adam.
Radam mengungkapkan penamaan Nining Bahatara diadopsi dari
Hinduisme yang pernah berkembang di Kalimantan Selatan, tetapi tidak
diungkapkan lebih jauh mengenai temuan tersebut. Radam juga tidak
menguraikan mengapa masyarakat orang Bukit menamai agama mereka sebagai
agama Balian.
Fredrik Ngindra (1999) dalam bukunya “Upacara Agama Bungan Pada
Masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru”, lebih banyak
mendokumentasikan kegiatan keagamaan dan upacara ritual agama lama
masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru, Kecamatan Long Pujungan,
Kalimantan Timur, yang dinamakan agama Bungan. Penelitian Ngindra
menggunakan data yang diperoleh dari responden yang dipilih dalam jangka
waktu yang relatif lama ketika keberadaan rumah panjang masih mudah
15
ditemukan dan respondennya sudah berusia lanjut. Agama Bungan kini tidak
dipraktikkan lagi karena seluruh penduduknya telah menganut agama Kristen.
Dalam penelitian ini, Ngindra mengulas tentang upacara ritual agama
Bungan. Salah satu ritual yang diulas adalah upacara mending yang
menggunakan balian untuk mengusir roh-roh jahat yang menggangu kehidupan
penghuni rumah panjang. Mendiang berarti “mendindingi (semua celah-celah
rumah)”. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai otoritas dan peran balian dalam
agama Bungan selain mengusir roh-roh jahat dan sebagai dukun yang mengobati
orang sakit.
Tulisan Daniel Lawing (1999), “Lagu-lagu dan Alat Musik Dayak
Kenyah Leppo’ Ma’ut”, merupakan hasil penelitian singkat yang dilaksanakan
Lewing di Desa Long Alango di Kecamatan Long Pujungan, Kalimantan Timur.
Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan orang-orang tua yang
menguasai kebudayaan Leppo’ Ma’ut.
Hasil penelitian Lawing (1999) ini merangkum lagu-lagu dan musik
rakyat Leppo’ Ma’ut dengan menggunakan nada pentatonis, yaitu nada terbatas,
hanya ada lima sampai dengan tujuh nada maupun diatonis (untuk lagu yang
menggunakan nada satu oktav penuh). Rima lagu-lagu rakyat Dayak Kenyah
Leppo’ Ma’ut pada umumnya A-A-B-B. Adapun jenis dan kategori lagu yang
ditulis dalam buku tersebut, yaitu: (1) lagu belian, terdiri atas tiga jenis lagu:
belian kenai ndok, belian suket dan belian sakit; (2) lagu silun, terdiri atas tiga
jenis: silun tindau, silun ketena’ dan silun menjaeng; (3) londe; (4) uyon along;
dan (5) melalo.
16
Dari penelitian Ngindra (1999) dan Lawing (1999) ini diketahui bahwa
jenis balian yang diungkapkan berbeda dengan penelitian balian bawo dari
aspek religi, tata cara ritual, maupun bahasa atau mantra yang digunakan. Fokus
penelitan Lawing terutama sastra lisan, lagu-lagu rakyat, dan alat musik
tradisonalnya, sementara penelitian Ngindra mengenai sistem religi.
Penelitian lain yang meneliti tentang kegiatan ritual suku Dayak di
wilayah kabupaten Barito Timur dilakukan oleh Wayan Gepu (2009), “Upacara
Balian Palas Bidan pada Masyarakat Hindu Kaharingan Suku Lawangan di
Desa Putai Kabupaten Barito Timur Kalimantan Tengah (Kajian Bentuk,
Fungsi, dan Makna)”. Upacara balian palas bidan merupakan upacara memohon
anugerah dan berkah kepada Tuhan, dengan tujuan untuk mendapatkan
keselamatan dan kesucian. Upacara balian palas bidan merupakan kewajiban
yang patut dilaksanakan dengan tujuan agar anak yang sudah dilahirkan atau
sudah kepus tali puser menjadi bersih dan suci, serta diizinkan dibawa ke tempat
ibadah.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Gepu (2009) menyimpulkan
pelaksanaan upacara balian palas bidan dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap kegiatan pokok, dan tahap akhir yang dipimpin oleh seorang
belian (balian). Tahap persiapan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan
segala sarana yang digunakan. Sedangkan tahap pokok berisi kegiatan
penyucian atau memandikan bayi yang disaksikan oleh Juwata sebagai
penguasa sungai. Tahap akhir mengantar kembali Mulung Umbo dan Mulung
Uwok kembali ke asalnya, yaitu langit (alam atas).
17
Penelitian Gepu memfokuskan pada prosesi pelaksanaan ritual atau
upacara yang meliputi bentuk pelaksanaan, sarana prasarana, mantra yang
digunakan, tempat, dan waktu pelaksanaannya.
Kuri (2008) “Tradisi Tuyo Hindu Kaharingan di Desa Rodok, Barito
Timur, Kalimantan Tengah (Kajian Teologi Lokal)”, tulisan tentang sebuah
tradisi unik yang ada di Desa Rodok yang disebut tuyo. Dalam penelitiannya,
Kuri menguraikan bahwa pada mulanya sebutan tradisi tuyo itu bervariasi antara
lain disebut bapajem, bekapek, dan nyuli. Pada zaman penjajahan Belanda
banyak pengikut tuyo yang ditangkap karena tradisi tuyo dianggap
menghidupkan manusia yang sudah meninggal dunia untuk melawan penjajah.
Hal menarik lain disebutkan pada tahun 1942 pernah ada orang Jepang bernama
“Tuan Balok Enam Belas” yang ikut melaksanakan tradisi tuyo karena ajaran
tuyo dilihat memiliki kesesuaian dengan kepercayaan orang Jepang yang bersifat
“suci hati”.
Tradisi tuyo merupakan salah satu bentuk pemujaan yang ada pada etnis
Dayak Lawangan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, dan
pembersihan atau penyucian diri kepada Mo Maha Pengewasa Ulun Tinggi
Alam Pengelamen dalam manifestasinya sebagai dewa penjaga delapan penjuru
mata angin.
Tradisi tuyo dalam pelaksanan ritualnya dilakukan dengan tuye (tarian
tuyo) yang diiringi tinga-tinga (doa atau mantra). Menari memutar mengelilingi
tempat dan sarana persembahyangan sebanyak empat atau delapan kali putaran
dari arah kanan. Banyaknya putaran tergantung dengan ketentuan atau instruksi
18
pemimpin sembahyang. Pemimpin sembahyang tradisi tuyo yang disebut belian
tuyo.
Tradisi tuyo saat ini biasa dilaksanakan di lingkungan keluarga yang
dilakukan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 06.00 wib, siang
hari pukul 12.00 wib, dan sore hari pukul 18.00 wib. Di lingkungan umat
dilaksanakan di langar rodok loma bawoo dan langar tudan tuyo (tempat
ibadah) setiap malam Senin dan Kamis. Tradisi tuyo juga dilaksanakan pada hari
tertentu yaitu setiap tanggal 1 Januari tahun baru masehi sebagai ungkapan
syukur atas anugrah tahun sebelumnya dan mendoakan keselamatan pengikut
tuyo pada tahun baru berikutnya.
Perayaan besar lain yang biasa dirayakan adalah ulang tahun tuyo yang
dirayakan tiap tahun pada tanggal 4 Juni, yang sudah dilaksanakan sejak tahun
1959. Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus tradisi tuyo dirayakan pula untuk
mendoakan memohon keselamatan umat manusia, bangsa, dan negara.
Tradisi tuyo berbeda dengan ritual balian bawo walaupun memiliki
persamaan dalam tujuan ritual. Tradisi tuyo lebih menekankan aspek ibadah
dan penyucian diri. Dalam penelitian Kuri tidak dijelaskan lebih mendalam
tentang keunikan teologi tradisi tuyo dan bagaimana agama lokal mengalami
perwujudkan sebagai identitas ideologi lokal.
Hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas dijadikan sebagai sumber
data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap,
sedangkan sumber data primer yang akan digali di lapangan. Sumber data primer
yang paling utama adalah informasi hasil eksplorasi dari para narasumber,
19
terutama penutur utama balian bawo yang masih hidup. Balian bawo
merupakan living traditions. Penelitian ini akan menggali ingatan kolektif yang
tersimpan dalam memori komunitas Dayak Lawangan.
2.2 Konsep
Konsep merupakan sejumlah karateristik yang menjelaskan suatu objek,
kejadian, gejala, kondisi atau situasi yang diyatakan dalam satu istilah atau kata.
Konsep bersifat operasional yang menyatakan seperangkat petunjuk atau kriteria,
atau operasional yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana
mengamati (Silalahi, 1999: 79). Definisi operasional tentang suatu konsep yang
dikemukakan oleh setiap peneliti dapat berbeda meskipun topik atau konsep yang
diteliti sama. Adapun konsep yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu: (a)
eksistensi balian bawo, (b) komunitas Dayak Lawangan, dan (c) kelangkaan dan
kepunahan Budaya.
2.2.1 Eksistensi Balian Bawo
Sistem ritus dan upacara dalam religi berwujud aktivitas dan tindakan
manusia dalam melaksanakan baktinya terhadap Tuhan, Dewa-dewa, roh nenek
moyang, atau makhluk halus lain. Ritus atau upacara religi biasanya terdiri atas
suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau beberapa tindakan, seperti
berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi,
berproses, berseni drama suci, berpuasa, intositasi, bertapa, dan bersemedi
(Koentjarangrat, 1985: 44).
20
Asumsi filosofis ritus adalah manusia sebagai homo religious. Kottak
(dalam Vianey, 2008: 28--29) menegaskan ritus sebagai representasi dan
artikulasi dari religi yang memuat unsur verbal dan non-verbal. Unsur verbal dari
dalam religi dalam ritus antara lain terungkap dalam doa, mitos, ajaran kearifan
hidup berupa tuturan-tuturan ritual berbentuk ungkapan-ungkapan tradisional
yang memuat pernyataan-pernyataan filosofis, teologis, dan moral yang berkaitan
dengan manusia dan Tuhan.
Unsur-unsur non-verbal ritus dapat dilihat dalam proses pelaksanaannya
berupa sarana prasarana yang dihadirkan, sesaji, bahan-bahan ritual, serta waktu
dan tempat yang digunakan untuk mengaktualkan ritual tersebut oleh para
pemimpin upacara serta pembantu-pembantu khususnya dan warga atau umat
yang terlibat.
Dhavamony (1995: 175-176) membedakan ritus menjadi empat macam,
yaitu: (1) tindakan magi, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan
bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya magis; (2) tindakan religius; (3)
ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan
merujuk pada pengertian-pengertian mistik sehingga dengan demikian upacara-
upacara kehidupan menjadi khas; (4) ritual faktif, yakni meningkatkan
produktivitas atau kekuataan, atau permurnian dan perlindungan, atau dengan kata
lain meningkatkan suatu kesejahteraan materi dari suatu kelompok.
Upacara ataupun ritual merupakan sebuah tindakan dan perbuatan manusia
dalam rangka usaha menghubungkan dirinya dengan semua objek yang dipandang
sakral, dikagumi ataupun yang ditakutinya, dengan segala sesuatu yang
21
dipandangnya amat mempengaruhi, dan menentukan kehidupan di masa depan.
Upacara menjadi alat pengukur religi individu ataupun komunitas.
Menurut Hadi (1999: 29-30) ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang
berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat
khusus yang menimbulkan rasa hormat atau rasa luhur yang merupakan
pengalaman yang suci. Sedangkan Endaswara (2003: 175) mengklasifikasi ritual
menjadi dua, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan
dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup
ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup
krisis karena terjadi perubahan tahap hidup, termasuk dalam lingkup ini antara lain
kelahiran, pubertas, dan kematian. Kedua, ritual ganguan, yakni ritual sebagai
negosiasi dengan roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual balian bawo
termasuk dalam semua klasifikasi tersebut.
Ritual balian bawo tidak bisa lepas dari peran balian bawo dan
merupakan satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan hasil wawancara dengan
berbagai narasumber Ririt (wawancara, 24 November 2013); Eben Tube
(wawancara, 25 November 2013); Martan (wawancara, 22 Agustus 2014);
Ardiansyah (wawancara, 18 November 2013); dan Aking Dugoi (wawancara,
22 November 2013), dinyatakan balian bawo mempunyai arti, yaitu: (1)
pimpinan ritual upacara, dukun dan tabib; (2) prosesi ritual balian bawo, (3)
identitas orang yang memimpin ritual disebut balian bawo. Sedangkan arti
kata balian menurut Dusio Moenge mempunyai arti sebagai berikut.
Kata balian artinya orang yang menggantikan, tukang ganti, tukangpengembali. Bali artinya benda, balian itu tukang kembali.
22
Mengembalikan segala sesuatu yang tidak diinginkan dan menukarkanatau ganti diri dengan sajian hampatung (sajen) supaya tetap serasi sepertiasalnya. Mengharmoniskan alam semesta tidak ada saling iblis setan itumenggangu. Mengembalikan roh-roh yang tidak diinginkan (wawancara,10 September 2013).
Istilah kata balian dalam peyebutan bervariasi, Massing (1982) dan
Herrmans (2011) menggunakan kata belian bawo. Dalam penelitian ini
menggunkan istilah balian bawo berdasarkan informasi dari para balian bawo
Dusun Tengah. Namun, untuk membatasi dan memudahkan pemahaman antara
balian bawo sebagai individu dan balian bawo sebagai ritual. Dalam penelitian ini
dilakukan pembatasan. Peneliti menggunakan istilah “balian atau balian bawo”
untuk konotasi yang merujuk individu, sedangkan istilah “ritual balian bawo”
untuk hal yang merujuk ritual.
Pelaksanaan ritual-ritual dalam siklus hidup komunitas etnis Dayak
Lawangan dipimpin oleh balian bawo. Balian bawo bertugas sebagai mediator
dan komunikator dengan Tuhan, alam semesta, dan mahluk lainnya, yang
keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata. Menurut Randam (2001: 2),
balian adalah perantara (medium, syaman) antara komunitas religius maupun yang
magis dengan Ilahi-ilahi, Hyang, dan roh yang diyakini menguasai kehidupan
orang banyak. Komunitas Dayak Lawangan percaya balian bawo memiliki
kemampuan istimewa yang tidak dimiliki oleh setiap orang.
Kemampuan para balian tidak terbagi dalam spesialisasi ritual yang
akan ditangani. Para balian secara individual mampu melaksanakan ritual
dalam semua siklus hidup Dayak Lawangan. Jumlah para balian ketika
menjalankan ritual bervariasi mulai dari hanya satu orang sampai tiga orang
23
tergantung dari jenis ritual dan permintaan warga yang menyelenggarakan
ritual tersebut. Ritualnya bersifat terbuka yang dapat ditonton warga setempat.
Eksistensi berasal dari kata latin existere dari kata ex yang artinya keluar
dan kata sitere yang bermakna membuat sendiri. Dengan demikian, artinya apa
yang ada, ada yang memiliki aktualitas, apa yang dialami. Dalam konteks ini
menekankan bahwa sesuatu itu ada (Sutrisno, 1993: 355). Eksistensi adalah
merupakan pangkal dari eksistensialisme. Menurut pandangan Harun Hadiwiyono
(dalam Salam, 1996: 207-208) eksistensi adalah; (1) cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ada pada manusia. Oleh karena
itu, bersifat humanistis, (2) bereksistensi harus diartikan secara dinamis.
Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti
berbuat, menjadi dan merencanakan, (3) dalam filsafat eksistensialisme, manusia
dipandang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus
dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia manusia, (4) filsafat
eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongkret,
pengalaman yang eksistensial.
Eksistensi adalah keadaan kesadaran manusia yang mampu melampaui
situasi-situasi yang melingkari, mampu mengatasi apa yang fakum dan datum
dalam proses transendensi melampaui pagar-pagar yang membatasi alam yang
mendukungnya (Sutrisno, 1993: 355). Eksistensi adalah hal-ihwal, sedang esensi
adalah apa-nya (Adian, 2005: 161). Ketika peneliti bertanya apa itu balian bawo,
sesungguhnya peneliti bertanya tentang esensi, sedang eksistensi adalah
kenyataan bahwa balian bawo ‘ada’. Dalam penelitian ini eksistensi yang
24
dimaksud adalah eksistensi balian Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Jadi,
eksistensi adalah keberadaan, wujud, yang tampak, dan yang memiliki aktualitas.
2.2.2 Komunitas Dayak Lawangan
Komunitas menurut Suparlan (2004: 117) adalah satuan kehidupan yang
lebih kecil dari masyarakat, hidup dalam sebuah wilayah tertentu, dengan batas-
batas wilayah yang jelas. Anggotanya saling terkait satu sama lain melalui
jaringan sosial dan jaringan kekerabatan, karena garis keturunan dari satu nenek
moyang yang sama atau karena melalui hubungan perkawinan. Sebuah komunitas
mempunyai aturan, pengetahuan, nilai, dan norma yang dipakai sebagai acuan
pedoman untuk bertindak dan memahami lingkungan hidupnya. Komunitas yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah orang Dayak Lawangan dengan budaya,
tradisi, norma, nilai dan mitologi yang mengiringinya sebagai suku bangsa.
Koentjaraningrat (dalam Hardiman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai
suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan
budaya, yang sering dikuatkan oleh kesatuan kebudayaan dan tradisi. Kesatuan
kebudayaan dan tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh
orang luar, tetapi berdasarkan konversi para anggotanya.
Banyak pernyataan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal-usul
nama etnis Dayak. Menurut O.K Rahmant dan R. Sunardi (dalam Riwut, 2003:
57) Dayak merupakan suatu perkataan untuk menamakan stam-stam yang tidak
beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan. Pendapat yang hampir
sama dinyatakan oleh King (dalam Maunati, 2006: 8) istilah Dayak paling umum
25
digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-muslim atau non-melayu yang
tinggal di Pulau Kalimantan. “Dayak” literally means people of the interior, and
is a collective name for a diverse group of tribal peoples who differ in language,
art forms and many elements of culture and social organization (MacKinnon,
dkk., 1986: 358). Nama Dayak berasal dari bahasa Malay yaitu dari kata aja yang
berarti asli (Scharer, 1963: 1).
Menurut Riwut (2003: 59) Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku.
Masyarakat Dayak secara umum saat ini dibedakan menjadi enam kelompok
besar. Enam kelompok besar tersebut yaitu: Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum,
Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Suku-suku tersebut terbagi lagi menjadi
beberapa sub suku: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Ma’anyan, Dayak
Lawangan, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak
Sampit, OT Danum, Dayak Kotawaringin dan Dayak Taboyan (Riwut, 2003: 61).
Sedangkan penyataan Sillander (1995: 71) sebagai berikut.
If someone were asked to mention one or a few Dayak groups,Luangan would unlikely be among those that first came to mind. On thecontrary, few have ever heard about them even in Kalimantan. Still, theLuangan are distributed over a vast territory, located between two of themajor rivers of Borneo - east of the middle reaches of the Barito, andsouth of the middle Mahakam - and their population is among the largestin Borneo - it exceeds 50,000 even by a very conservative count, and itapproximates 100.000, if all potential candidates for subgroups areincluded.
Durasid (1990: 47) menyatakan sebagai berikut.
Kelompok Barito itu dibagi atas tiga subkelompok, yaitu BaritoBarat, yang terdiri atas bahasa Kahayan dan Dohoi, Barito Timur yangterdiri atas bahasa Maanyan dan subkelompok Lawangan-Dusun Deyah(yang terpisah menjadi bahasa Lawangan dan Duson Deyah), dan Barito –Mahakam, di sini diwakili bahasa Tunjung… penutur bahasa Lawanganbermukim di kabupaten administratif Barito Timur dan sekitarnya yang
26
berpusat di kecamatan Dusun Tengah dengan ibukota kecamatan Ampah.Bahasa Lawangan berbatas langsung dengan bahasa Maanyan dan terjadihubungan langsung. Jumlah penuturnya diperkirakan 120.000 orang.
Perdebatan penggunaan istilah Luangan dan Lawangan, dalam kajian
Weinstock (1983: 72--77) istilah Luangan berdasarkan pertemuannya dengan
orang-orang yang berasal dari Sungai Luang, anak Sungai Teweh di Kalimantan
Tengah. Istilah Luangan Weinstock dianggap sebagai kesalahan otografi oleh
Mallinckrodt (1927). Perbedaan Mallinckrodt dengan istilah Lawangan dan
Weinstock dengan istilah Luangan berfungsi untuk menerangkan hetrogenitas
atau variasi pengunaan istilah bukan secara etimologi. Peneliti dalam kajian ini
menggunakan istilah Lawangan atau Dayak Lawangan berdasarkan pernyataan
komunitas Dusun Tengah untuk menamai identitas dirinya. Selain bahasa,
kelompok Dayak Lawangan juga memiliki banyak unsur-unsur budaya yang
sama. Menurut Sillander (1995: 71) hal yang paling penting seperti kutipan
berikut ini.
The most important of these are religious beliefs; adherence to theofficially recognized Hindu-Kaharingan religion (and a high percentageof members who have not converted to Christianitys) sets these groupsapart from other Dayaks. Elaborate secondary mortuary cermonies(kwangkei, gombok, ijambé, tiwah) are characteristic of these peoples,and frequent curing rituals (belian, balian, wadian) play an importantpart in their everyday Life. Regarding other commonalities socialorganization is more fluid than among many other Dayaks, especiallyamong the Luangan. Longhouses are and were uncommon or small incomparison to central and northern Borneo. Headhunting was also lessimportant, and among some groups it may not have been practised atSome form of stratification seems to have existed among all BaritoDayaks, but rank probably had only minor significance as a sociallyorganizing principle.
Dalam penelitian eksistensi balian bawo ini, sub suku Dayak yang diteliti
adalah komunitas Dayak Lawangan yang berdomisili di Kecamatan Dusun
27
Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah yang memiliki keyakinan
Kaharingan atau dikenal luas di Kalimantan Tengah sebagai Hindu Kaharingan.
Seperti halnya etnis-etnis lain, etnis Dayak Lawangan juga memiliki budaya
tersendiri yang berbeda dengan budaya etnis lainnya, yang di dalamnya terdapat
seperangkat nilai, tradisi, dan pengetahuan. Sosok budaya komunitas Dayak
Lawangan tercermin dengan eksistensi balian bawo dan pelaksanaan ritual balian
bawo yang mereka laksanakan dalam siklus kehidupannya.
2.2.3 Kelangkaan dan Kepunahan Budaya
Warisan budaya mempuyai cakupan pengertian yang luas, meliputi budaya
yang bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba
(intangible). Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup didalamanya
hal-hal yang bisa ditangkap panca indera lain diluar peradaban, seperti musik,
pembacaan sastra maupun bahasa lisan (Sedyawati, 2008: 207). Budaya akan
tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya. Masyarakat
sebagai ahli waris sekaligus pelaku menuju terciptanya situasi yang disebut sadar
budaya. Sadar budaya adalah kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat
sebagai individu yang berada di tengah tatanan pergaulan, posisinya tidak pernah
singular, melainkan plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu
menjaga eksistensinya dan menghayati budayanya sendiri apabila tidak bergaul
dengan masyarakat lain (Sayuti, 2008: 25-26).
Masalah yang dihadapi masyarakat pemilik tradisi dewasa ini adalah
makin memudarnya kekuataan religi, para penutur, dan komunitas tradisi lisan.
28
Intensitas penyelenggaraan ritual balian bawo dan upacara tradisonal lainnya,
yang sesungguhnya merupakan kekuataan masyarakat di daerah-daerah sebagai
perekat kebersamaan. Menghidupkan budaya lokal sama artinya dengan
menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279).
Tradisi lisan mempunyai peluang bertahan, berkembang atau bisa juga
punah. Kepunahan itu disebabkan terlalu lama tidak diingat oleh masyarakat dan
tidak pernah diperdengarkan lagi (Sukarman, 2009: 13). Menurut Ali (2000: 15-
16), kepunahan tradisi lisan bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain, yaitu:
(1) dampak keberhasilan pembangunan diiringi merambahnya mediapandang dengar sehingga membuat anak-anak melupakan tradisi lisan;(2) tidak ada alih cerita dan penutur generasi tua banyak yang meninggaldunia dan generasi muda enggan mewarisi tradisi karena dianggap kuno;dan (3) kurangnya kesadaraan dari pemerintah maupun masyarakat akanpentingnya fungsi tradisi lisan sebagai sarana pendidikan, yakni sebagaisarana penyampaian nilai luhur bangsa.
Kepunahan tradisi terjadi karena faktor internal maupun faktor eksternal yang
terjadi di dalam masyarakat tersebut. Akibat dari situasi dan kondisi kelangkaan
tradisi tersebut membuat manusia tidak dapat memuaskan semua kebutuhan
subjektifnya. Kebutuhan subjektif meliputi kebutuhan keadaan alam, agama dan
kepercayaan, dan adat istiadat. Manusia menginterpretasikan pemenuhan
kebutuhan dan keinginan untuk mencapai kebahagiaan dengan berusaha
menyelaraskan dan menyeimbangkan dua sisi kehidupan duniawi dan religi.
Balian bawo merupakan kebutuhan subjektif bagi komunitas Dayak Lawangan.
29
2.3 Landasan Teori
Pada hakikatnya teori digunakan untuk menjelaskan mengapa sesuatu
terjadi yang berlaku dalam kenyataan, teori melaksanakan fungsi ganda, yaitu
pertama, menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan kedua, membuka celah
pandangan baru untuk menemukan fakta baru. Apabila kejadian yang sama
ditafsirkan dalam konteks teoretis berbeda, akan muncul jenis-jenis fakta yang
berlainan pula (Kaplan, 2002: 15). Teori sebagai panduan menganalisis dan
mengembangkan pikiran dalam upaya menjawab masalah yang dikaji. Dalam
penelitian ini digunakan sejumlah teori, yaitu (a) teori genealogi, kekuasaan
dan pengetahuan, (b) teori praktik sosial, dan (c) teori semiotika.
2.3.1 Teori Genealogi, Kekuasaan dan Pengetahuan
Teori genealogi, kekuasaan dan pengetahuan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Michael Foucault, yang lahir di Poitiers Prancis, 15
Oktober 1926 dan meninggal 25 Juni 1984 (Foucault, 2002: 5-6). Foucault
adalah figur sentral dalam filsafat Prancis abad ke-20 yang ide-idenya sering
diasosiasikan dengan aliran pascastruktural. Pemikirannya amat memengaruhi
perkembangan kajian budaya kontemporer. Pemikiran Michael Foucault kental
dipengaruhi Nietzsche. Michael Foucault berikhtiar untuk mengidentifikasikan
kondisi-kondisi historis dan sejumlah aturan yang berkontribusi dalam
pembentukan pelbagai wacana sekaligus bekerjanya model kekuasaan
pengetahuan dalam praktik sosial (Barker, 2014: 101).
Dalam karyanya The Archaeplogi of Knowledge and the Discourse of
30
Language, Foucault mengembangkan pemikirannya pada pendekatan arkeologi
(Ritzer, 2010: 67). Michael Foucault juga mengembangkan kajiannya ke arah
genealogi (sisilah) kekuasaan (Edkins-Williams, 2010: 211). Dalam kajian
budaya, konsep genealogi mendapatkan makna yang khas bila dikaitkan dengan
karya Foucault yang menggunakan konsep ini untuk meneliti relasi kekuasaan
serta kesinambungan (Barker, 2014: 106).
Genealogi Michael Foucault memfokuskan asal usul perkembangan
rezim-rezim kekuasaan dan ilmu pengetahuan (Ritzer, 2010: 78). Genealogi
Michael Foucault memaparkan bagaimana klaim-klaim kebenaran mempunyai
keterkaitan histories dengan akar-akar institusional tertentu dalam sejarah.
Genealogi Michael Foucault diilhami oleh Frederich Nietzche dalam karya
genealogi of morals (1887). Genealogi berhubungan dengan sejarah. Dalam
genealogi Foucault mengungkapkan perhatiannya pada hubungan timbal balik
antara sistem kebenaran dan mekanisme kuasa. Genealogi tidak mencari asal usul
melainkan menemukan awal-awal dari pembentukan diskursus, menganalisis
pluralitas sejarah kemunculan mereka secara faktual, dan melepaskan diri dari
ilusi identitas (Hadiyanta, 1997: 14).
Genealogi berkaitan dengan keturunan dan kesinambungan serta
ketidaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam
kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tereduksi (Barker, 2005: 512).
Lebih lanjut Foucault (1984: 76) menyatakan bahwa:
[genealogi] must record the singularity of events outside of anymonoton ous finality. It must be sensitive to their recurrence, not in orderto trance the gradual curve of their evolution, but isolate the differentscenes where they engage in different role.
31
Genealogi Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan
dan pengetahuan berjalan untuk menguasai dan mengontrol. Pada tahap ini
Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Pengetahuan
dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan pengetahuan
akan menimbulkan efek kekuasaan (Eriyanto, 2003: 65).
Michael Foucault juga berbicara tentang relasi antara pengetahuan dan
kekuasaan. Dalam konteks ini, pandangan Michael Foucault (dalam Sarup, 2003),
kekuasaan dapat menciptakan realitas serta objek dan ritual kebenaraan yang
dijunjung tinggi, dibekukan, dan diwariskan dalam relasi kekuasaan. Karena itu
kemudian praktik kekuasaan dapat melahirkan objek pengetahuan baru yang
menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan.
Lebih detil Michael Foucault mengungkapkan berikut ini.
Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakandomain objek dan ritual kebenaran. Pelaksanaan kekuasaan itu sendirimenciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya,pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpapengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidakmungkin tidak melahirkan kekuasaan (dalam Sarup, 2003: 124--128).
Menurut Foucault kekuasaan terartikulasi ke dalam pengetahuan dan sebaliknya
pengetahuan terartikulasi ke dalam kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tidak
hanya punya relasi dengan pengetahuan, melainkan kekuasaan terdiri atas
pengetahuan, sebagaimana halnya pengetahuan juga terdiri atas kekuasaan (dalam
Suryawan, 2010: 121).
Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah, kemampuan
seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.
Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan
32
perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Menurut Haryomoko
(2002: 8--21) sebagai berikut ini.
Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasidaripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapatatau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruhan posisistrategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi.Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentumenjadi milik seseorang. Kekuasaan itu ada di mana-di mana menyebardalam hubungan-hubungan masyarakat.
Bertens (2014: 311--314) menyimpulkan, teorities kuasa Michael Foucault
dapat dibagi dalam empat perspektif penting, sebagai berikut.
Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan strategi. Kuasa tidakdimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyakposisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasamengalami pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapiterdapat di mana-mana. Menurut Foucault strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Ketiga, kuasatidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutamamelalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktifmelainkan produktif. Kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkansesuatu. Kuasa itu produktif, kuasa memungkinkan segala sesuatu.Menolak kuasa termasuk strategi kuasa itu sendiri.
Menurut Foucault (dalam Suryawan, 2010: 121) kuasa tidak bersifat subjektif.
Inilah salah satu alasan mengapa Michael Foucault menolak Marxistis; kuasa
tidak dapat dilihat sebagai suatu proses dialektis di mana si A menguasai si B dan
kemudian (sesudah beberapa syarat telah terpenuhi) si B menguasai si A. Kuasa
juga tidak bekerja dengan negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan
produktif. Pandangan Foucault (dalam Bartens, 2014: 313) sebagai berikut ini.
Kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan caranegatif: seolah-olah kuasa ‘meniadakan’, ‘merepresi’, ‘mensensor’,‘mengabstrakkan’,‘menyelubungi’,‘menyembunyikan’.Pada kenyataannyakuasa memproduksi. Kuasa memproduksi realitas; kuasa memproduksi
33
lingkup objek dan ritus-ritus kebenaran. Baik manusia perorangan maupunpengetahuan yang dapat diperoleh daripadanya, termasuk produksi ini.
Menurut Foucault (2002a: 23), pengetahuan selalu berkaitan dengan
kekuasaan. Keduanya saling menguatkan satu sama lain, misalnya berbekal
pengetahuan psikologi seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi
kondisi mental orang lain. Pengetahuan terbentuk di dalam praktik kekuasaan
dan membangun perkembangan, perbaikan dan profilerasi teknik baru
kekuasaan (Barker, 2004: 83).
Bahasa dan praktik mengacu kepada produksi pengetahuan bahasa yang
memberikan makna kepada objek matrial dan praktik sosial. Diskursus
mengkontruksikan, mendefinisikan, dan menghasilkan objek pengetahuan
dengan cara yang dapat dipahami sambil mengesampingkan bentuk penalaran
lain sebagai suatu yang tidak dapat dipahami (Barker, 2004: 81). Foucault
(2002: 9) menegaskan bahwa diskursus adalah cara menghasilkan
pengetahuan, berserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas
yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan
praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini.
Teori Genealogi, kekuasaan dan pengetahuan dipergunakan dalam
penelitian ini untuk melihat kaitan antara mitologi, silsilah atau sejarah dan proses
menjadi balian bawo terkait dengan pengetahuan balian bawo mempunyai punya
efek kuasa. Balian bawo memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan.
Pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Relasi tercipta antara
balian bawo dengan komunitas Dayak Lawangan. Tanpa pengetahuannya, balian
bawo tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Produksi
34
pengetahuan yang dilakukan balian bawo melandasi kekuasaannya karena setiap
kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan. Eksistensi
balian bawo menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang
menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan
timbal balik.
2.3.2 Teori Praktik Sosial
Teori praktik sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Pierre-Felix Bourdieu, seorang pemikir Prancis terkemuka yang lahir di Denguin
Distrik Pyrenees-Altantigues barat daya Prancis, 1 Agustus 1930 dan meninggal
di rumah sakit Saint-Antoine Paris, 23 Januari 2002. Dalam teori praktik sosial,
Bourdieu merumuskan bahwa praktik adalah gabungan habitus, modal, dan ranah
(Harker dkk, 2009).
Teori praktik sosial ini dikembangkan untuk memahami kompleksitas
realitas sosial. Dalam teori ini mengajukan analisis dialektis atas kehidupan
praktis dan menawarkan kesanggupan untuk menunjukkan hubungan saling
memengaruhi antara praktik personal dan praktik sosial eksternal. Praktik sosial
merupakan akumulasi proses habitus manusia, pola pikir maupun tingkah laku.
Bourdieu memahami praktik-praktik sosial sebagai kegiatan reflektif dan
reproduktif, baik dalam hal relasi-relasi sosial yang objektif maupun interpretasi-
interpretasi subjektif (dalam Soeriadiredja, 2012: 8).
Pierre Bourdieu (dalam Harker, 2009: 13) menyatakan rumus generatif,
yakni (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik. Habitus adalah struktur kognitif
35
yang memerantarai individu dan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur
subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu
lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang sosial. Habitus
diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari
benda-benda dalam realitas sosial.
Menurut Takwin (2003: 114), skema habitus tersebut membentuk struktur
kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam
setiap keseharian mereka. Habitus juga dapat dinyatakan ketidaksadaran kultural,
yakni pengaruh sejarah yang disadari dianggap alamiah. Pembelajaran yang
dilakukan terkadang tidak disadari secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang
wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau berasal dari sananya.
Habitus (Jenkins, 2004: 109) merupakan hasil pembelajaran melalui
pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti
luas. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai
dunia yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Habitus juga
berubah-ubah yang mengupayakan adanya kompromi dan kondisi material. Hal
ini akan memunculkan kontribusi baru untuk membangun suatu prinsip baru
untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu.
Sementara itu, modal budaya (cultural capital) menurut Bourdieu (dalam
Herwanto, 2005: 181-182), ada tiga modal yang berperan dalam masyarakat yang
menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial. Pertama, modal
ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa
hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi
36
kepentingannya sendiri. Ketiga, modal budaya yang memiliki beberapa dimensi
seperti: (a) pengetahuan objektif tentang seni dan budaya; (b) cita rasa budaya
(cultural tastes) dan preferensi; (c) kualifikasi-kualifikasi formal; (d) kemampuan-
kemampuan budayawi (cultural skills) dan pengetahuan praktis (savoir-faire atau
know-how seperti kemampuan memainkan alat musik), serta (e) kemampuan
untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan yang buruk.
Modal budaya sebagai dimensi yang lebih luas dari habitus, sekaligus
menunjukkan lingkungan sosial pemiliknya dan modal budaya yang dapat
berubah-ubah. Modul budaya terbentuk selama bertahun-tahun hingga
terinternalisasikan dalam diri seseorang (Soeriadiredja, 2012: 10). Komunitas
Dayak Lawangan sebagai orang-orang yang memiliki habitus-nya sendiri dan
modal budaya, bergerak secara aktif di dalam ranah-ranah, sehingga
menghasilkan praktik sosial. Dalam arenanya komunitas Dayak Lawangan, hal
ini terjadi di dalam arena konflik yang melibatkan modal budaya, peran
balian bawo dan generasi mudanya.
Teori Praktik sosial, pertama digunakan untuk mengamati tentang struktur
objektif Dayak Lawangan yang terinternalisasi oleh ritual balian bawo
terhubung dengan keyakinan mereka. Kedua, digunakan untuk mencari struktur
subjektif peran di dalam internal komunitas Dayak Lawangan. Ketiga, untuk
menemukan pola-pola praktik sosial yang diyakini orang Dayak Lawangan untuk
memproduksi struktur objektif maupun struktur subjektif yang bermunculan di
sekitar mereka. Keempat, bagaimana balian bawo dipakai sebagai bagian dari
praktik sosial ritualnya sekaligus mengidentifikasi praktik sosial sebagai
37
kebutuhan subjektif.
2.3.3 Teori Semiotika
Semiotika mempunyai satu pandangan global bahwa apabila di dalam
setiap praktik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan keagaamaan
digunakan tanda-tanda dalam berbagai bentuk, maka semua praktik
pertandaan (signifying practice) dapat dibaca melalui semiotika (Piliang,
2012: 249). Menurut Hoed (2011: 3), semiotika adalah ilmu yang mengkaji
tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan
dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.
Pendekatan semiotika atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa
tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna asalkan
tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan
pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut.
Di mana ada tanda di situlah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam
berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74).
Elemen dasar semiotika adalah tanda (penanda dan petanda), aksi tanda
(sintagma dan sistem), tingkatan tanda (denotasi dan konotasi), serta relasi tanda
(metafora dan metonimi) (Piliang, 2012: 301). Semiotika terkait dengan
permasalahan penelitian ini, khususnya tentang eksistensi balian bawo Dayak
Lawangan di Dusun Tengah. Dalam kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap
balian bawo meliputi analisis penanda, untuk mengindentifikasi pelibat balian
bawo¸ petanda untuk memahami pelibatan eksistensinya.
38
Ritual Balian bawo merupakan penanda bentuk atau ekspresi dari
komunitas Dayak Lawangan, sedangkan petanda-nya menjelaskan konsep
ideologi dan makna ritual balian bawo bagi mereka. Balian bawo tidak bisa
dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya
dengan tanda-tanda yang lain terkait masyarakat pendukungnya. Analisis
tanda berdasarkan sistem kepercayaan mereka.
Roland Barthes (2012: 90) mengembangkan dua tingkatan petanda
(stagered systems), yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah
tingkat petanda yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan yang
ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal ini adalah makna
yang tampak (Piliang, 2012: 304). Apa saja yang terkandung secara eksplisit
secara pasti dan langsung dari kelangkaan balian bawo. Apakah kelangkaan
balian bawo akibat keenganan generasi mudanya untuk terlibat ataukah
faktor internal dan faktor eksternal di dalam komunitas mereka.
Metode analisis teks semiotika interpretatif pada dasarnya beroperasi
pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual, misalnya
jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual.
Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan
tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai teks (Piliang, 2012: 313).
Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat-kalimat yang diucapkan penutur
balian bawo atau unsur-unsur atribut balian bawo yang digunakannya. Unsur-
unsur aktribut balian bawo dapat dianggap kumpulan tanda-tanda, dengan kode
39
dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Sistem
budaya sebagai sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya
manusia.
Ketika teks dan konteks dilihat dalam dimensi sosialnya, maka diperlukan
analisis yang menghubungkan teks dengan struktur mikro, yaitu mitos dan
ideologinya. Pada tataran analisis makronya menyangkut pengalaman langsung
dalam kehidupan keseharian komunitas Dayak Lawangan berhadapan dengan
ideologi religi balian bawo dan tradisi maupun sistem pewarisannya. Jadi,
eksistensi balian bawo adalah sebuah teks dan konteks, bagaimana relasi
pranata sosial budaya, faktor dan implikasi yang terdapat dalam balian bawo bagi
komunitas Dayak Lawangan.
2.3 Model Penelitian
Model penelitian Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun
Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah tampak dalam gambar 2.1 Model
Penelitian berikut ini.
40
Gambar 2.1 Model Penelitian
Sumber: Konstruksi Ervantia, 2013
Keterangan:
: Hubungan memengaruhi secara langsung
Model penelitian pada gambar di atas mengimplementasikan globalisasi
merambah di segala segi kehidupan. Globalisasi secara langsung maupun tidak
langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru.
Pengaruh modernisasi, kapitalisme, teknologi, dan rasionalitas memberikan
pengaruh yang intens bagi masyarakat. Semakin intens masyarakat lokal
mentrasformasi kultural, dapat berdampak pada identitas, nilai, dan tradisi yang
GLOBALISASI
Praktik balian bawo& relasinya denganpranata kehidupanDayak Lawangan
TemuanPenelitian
Implikasi kelangkaanbalian bawo
EKSISTENSIBALIAN BAWO
DAYAK LAWANGANDI DUSUN TENGAH
- Kapitalisme- Teknologi- Rasionalitas
Penyebab utama yangmemengaruhikelangkaanbalian bawo
KEBUDAYAANLOKAL
- Kosmologi- Sistem Ritual- Kepercayaan Magis
TEMUANPENELITIAN
41
akan memengaruhi dan mengubah paradigma berpikir, bersikap, motivasi maupun
tindakan. Globalisasi dapat memperteguh, memperkuat kebudayaan lokal, tetapi
juga dapat menihilkan kebudayaan lokal tersebut.
Di satu sisi kebudayaan lokal tetap mempertahankan kebudayaan sebagai
bagian kosmologi, sistem ritual, dan kepercayaan magis. Keberadaan balian bawo
belakangan ini semakin langka tereduksi oleh modernisasi. Dalam kehidupan
masyarakat etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah setiap fase siklus hidup
komunitas mereka tidak bisa dilepaskan dari balian bawo. Dalam Praktiknya,
balian bawo dominan dalam segala aspek kehidupan mereka. Pergulatan tersebut
menjadi problematika bagi eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun
Tengah. Oleh sebab itu, diperlukaan perlindungan dan pelestarian demi
kelangsungan sebuah komunitas Dayak Lawangan sebagai pemilik kebudayaan
balian bawo.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting eksplorasi eksistensi
balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Hal ini akan bermanfaat
bagi keberlangsungan kehidupan Dayak Lawangan. Tradisi sebagai
kekuataan kultural merupakan pembentukan peradabaan, jangan sampai
balian bawo hanya menjadi sekadar cerita yang pernah ada dan tidak dikenal
oleh generasi yang akan datang. Penelitian ini harus segera dilakukan karena
suatu tradisi budaya sebagai bentuk kebudayaan untuk dimanfaatkan,
dikembangkan, direvitalisasi, dan perlu dijaga dari kepunahannya.