6
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1. Penelitian Terdahulu
Tabel. 2.1
Matrik Penelitian Terdahulu
NO Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Rasma (2019) Analisis Komparatif
Labelisasi Halal pada
Produk Kosmetik dalam
Meningkatkan Minat Beli Masyarakat di Kec. Syiah
Kuala dan Kec. Kuta Alam
Adanya labelisasi halal masyarakat dapat
memilih produk kosmetik sesuai dengan yang
telah dianjurkan oleh agama dan baik bagi
kesehatan. Labelisasi halal mencakup proses pembuatan, penyimpanan, penyiapan,
kebersihan seperti sebelum kadaluarsa tidak mengandung zat pewarna dan lain sebagainya.
2 Ady Syahputra
dan Haroni Doli
Hamoraon (2016)
Pengaruh Labelisasi Halal
Terhadap Keputusan
Masyarakat Kecamatan Perbaungan dalam
Pembelian Produk
Makanan dalam Kemasan
Peran MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam
pengawasan dan sosialisasi terhadap produk
makanan kepada masyarakat di Kecamatan Perbaungan cukup memuaskan. Dengan ada
tercantumnya label halal dalam kemasan
produk makanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen untuk membeli.
3 Sutono (2018) Perilaku Konsumen Muslim dalam
Mengkonsumsi Produk
Halal Food Perspektif Maqasid al- Shari’ah al-
Syatibi (Studi Pada Pasar
Sepanjang–Taman-Sidoarjo)
Konsumen di pasar tradisional Sepanjang memiliki beberapa perilaku dalam
mengkonsumsi produk halal food, yaitu:
perilaku konsumen memiliki keyakinan (aqidah) yang kuat, sikap tawakal,
bertransaksi pada produk yang halal, berlaku
adil dalam menimbang, memiliki kejujuran, selalu tepati janji, memiliki sikap yang ramah
dan rendah hati, tidak saling bersumpah dalam
transaksi, tidak memiliki sikap buruk sangka
dalam transaksi, bisa menunaikan hak dan kewajibannya, memiliki sikap administratif
dalam transaksi, memiliki sikap tolong-
menolong, memiliki sikap manajerial yang baik
4 Tri Widodo
(2015)
Pengaruh Labelisasi Halal
dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian
Konsumen Pada Produk
Indomie
Label halal yang terdapat pada kemasan
produk indomie mempunyai hubungan dan secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap keputusan pembelian produk
indomie, ditunjukkan dengan tingkat signifikan 0.001 <0.05, hal tersebut
membuktikan bahwa keberadaan labelisasi
7
halal pada produk indomie memberikan nilai
positif yang memiliki peluang besar dalam
mempengaruhi keputusan membeli konsumen.
5 Fatkhurohmah
(2015)
Pengaruh Pemahaman
Label Halal dan Faktor Sosial Terhadap Niat
Membeli Produk Makanan
Kemasan Berlabel Halal (Studi Pada Santri
Mahasiswa Pondok
Pesantren Al Barokah)
Terdapat pengaruh secara signifikan
pemahaman label halal terhadap niat membeli makanan kemasan berlabel halal pada santri
mahasiswa pondok pesantren Al Barokah. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai thitung sebesar 2,334 dengan nilai signifikansi sebesar 0,021
dan koefisien regresi (b1) sebesar 0,056.
Karena nilai signifikansi (p) < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
pemahaman label halal terhadap niat membeli makanan kemasan berlabel halal.
6 Eri Agustian H,
dan Sujana
(2013)
Pengaruh Labelisasi Halal
Terhadap Keputusan
Pembelian Konsumen Studi Kasus Pada Produk
Wall’s Conello
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terjadi hubungan yang signifikan dengan
keeratan hubungan yang kuat dan positif antara labelisasi hala terhadap keputusan pembelian konsumen
7 Tengku Putri Lindung Bulan,
dan
Muhammad Rizal (2016)
Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan
Pembelian Sosis di Kuala
Simpang Kabupaten Aceh Tamiang
Labelisasi Halal berpengaruhi positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian
sosis di Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang
8 Mulyani Toyo
(2019)
Labelisasi Halal Terhadap
Perilaku Konsumen dalam
memilh Produk Makanan Sesuai Hukum Islam
Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap perilaku
konsumen memilih produk makanan Syar’i
sangat berpengaruh pada Masyarakat di Kecamatan Tamalate Makassar (Studi kasus kelurahan Mangasa)
9 Sonia Cipta
Wahyurini dan
Nurvita
Trianasari
Analisis Pengaruh Label
Halal dan Harga Terhadap
Keputusan Pembelian
Kosmetik Wardah
Label Halal mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap keputusan pembelian, dan
harga tidak pengaruh positif dan signifikan
terhadap keputusan pembelian kosmetik wardah
10 Dwi Edi Wibowo dan
Benny Diah
Mandusari
(2018)
Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan
Pembelian Oleh
Konsumen Muslim
Terhadap Produk Makanan di Kota
Pekalongan
Labelisasi halal dan harga memunyai hubungan secara simultan mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap keputusan pembelian roduk makanan
8
2.2. Konsep Pemasaran
2.2.1. Pengertian Pemasaran
Pemasaran menurut Kotler dan Keller, adalah sebuah proses
kemasyarakatan di mana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka
butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas
mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan orang lain. Sedangkan
menurut American Marketing Association (AMA) pemasaran adalah aktivitas
serangkaian institusi, dan proses menciptakan mengkomunikasikan,
menyampaikan, dan mempertukarkan tawaran (offerings) yang bernilai bagi
pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat umum.5
Selanjutnya Gary Amstrong (2008) 6 menyatakan pemasaran adalah proses
sosial dan manajerial dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka
butuhkan dan inginkan melalui penciptaan melalui pertukaran nilai dengan yang
lain. Pemasaran menurut Fandy Tjiptono & Anastasia Diana (2016) pemasaran
adalah aktivitas serangkain institusi dan proses penciptaan, mengkomunikasikan,
menyampaikan dan mempertukarkan karyawan (offerings) yang bernilai bagi
pelanggan klien, mitra dan masyarakat umum. Juga pemasaran adalah proses
manajemen yang mengindentifikasi, mengantisipasi, dan menyediakan apa yang
dikehendaki pelanggan secara efesien dan menguntungkan.
Pemasaran secara spesifik dikatakan Kotler (2009) adalah suatu fungsi
organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan
menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan
cara yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya.7 Danang Sunyoto
(2013) menyatakan bahwa pemasaran adalah fungsi bisnis yang mengidentifikasi
kebutuhan dari keinginan konsumen yang harus dipuaskan oleh kegiatan manusia
lain, yang menghasilkan alat pemuas kebutuhan, yang berupa barang maupun jasa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah salah
satu kegiatan antara penjual dan pembeli untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
5 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid 1 dan 2 Edisi. Kedua
Belas, (Jakarta: Erlangga, 2010), 25 6 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 27 7 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 27
9
hari (produk), dalam pemasaran adanya penjual dan pembeli diantaranya terjadi
transaksi tunai atau kredit.
2.2.2. Manajemen Pemasaran.
Dalam sistem pemasaran terdapat manajemen, yang berfungsi mengatur
jalannya proses suatu bentuk pemasaran. Manajemen yang dilakukan sangat
tergantung pada prospek ke depan, dan pola yang dilaksanakan. Seorang pakar
ekonomi, Daft, mengatakan manajemen merupakan upaya pencapaian tujuan-
tujuan organisasional secara efektif dan efisien melalui tahapan perencanaan,
pengelolaan, dan pengendalian sumber daya suatu organisasi. Ia juga mengatakan
setiap perusahaan memerlukan sistem manajemen untuk mencapai tujuannya, salah
satunya yaitu untuk memenuhi kebutuhan konsumen.8 Menurut Kotler Amstrong,9
ada 5 konsep alternatif yang mendasari langkah-langkah organisasi dalam
merancang dan melaksanakan strategi pemasaran: yaitu konsep produksi, konsep
produk, konsep penjualan, konsep pemasaran, dan pemasaran berwawasan sosial.
Di bawah ini akan dijelaskan langkah-langkah atau strategi pemasaran:
a. Konsep produksi.
Konsep ini menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang
tersedia dan harganya terjangkau. Karena itu manajemen harus berfokus
pada peningkatan efisiensi dan distribusi. Konsep ini merupakan salah
satu orientasi tertua yang memandu penjual.
b. Konsep produk.
Konsep ini menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang
menawarkan kualitas, kinerja, dan fitur terbaik oleh karena itu organisasi
harus menguras energinya untuk membuat peningkatan produk yang
berkelanjutan.
c. Konsep penjualan.
Konsep ini menyatakan bahwa konsumen tidak akan membeli produk
perusahaan kecuali sikap produk itu dalam skala penjualan dan usaha
8 Richard Daft. Era Baru Manajemen. Jakarta: Salemba Empat, 2012), 6 9 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 11
10
promosi yang besar. Konsep ini menitikberatkan penciptaan transaksi
penjualan dan bukan pembangunan hubungan pelanggan jangka panjang
yang menguntungkan.
d. Konsep pemasaran.
Konsep ini menyatakan bahwa pencapaian tujuan organisasi tergantung
pada pengetahuan akan kebutuhan dan keinginan target pasar dan
memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih baik daripada
pesaing.
e. Konsep pemasaran berwawasan sosial.
Prinsip pemasaran yang menyatakan bahwa perusahaan harus
mengambil keputusan pemasaran ynag baik dengan memperhatikan
keinginan konsumen, persyaratan perusaahan, kepentingan jangka
panjang konsumen, dan kepentingan jangka panjang masyarakat.
2.3. Produk Makanan
2.3.1. Definisi Produk Makanan
Dikatakan produk, adalah sesuatu yang dibuat atau dihasilkan, yang
kemudian diperjual belikan. Menurut Thamrin, produk berarti sesuatu yang
ditawarkan kepada pihak lain atau ke pasar, untuk memperoleh perhatian pembeli,
dibeli, dikonsumsi, atau digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam suatu perencanaan produk, ada beberapa tingkatan. Tingkatan paling
dasar adalah produk inti, yang ditunjukkan untuk menjawab pertanyaan: apa
sebenarnya yang dibeli oleh pembeli? Ini adalah tingkatan utama yang akan dilihat
orang ketika membeli suatu produk.10
Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dari produsen, pihak yang
memproduksi, kepada konsumen, pihak yang membeli atau memperjualbelikan.
Secara konseptual, dikatakan produk yaitu pemahaman subjektif dari produsen atas
sesuatu yang ditawarkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi, melalui
pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, yang sesuai dengan kompetensi
10 Thamrin & Francis Tantri, Manajemen Pemasaran (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 153
11
dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar.11 Karena itu suatu produk, segala
jenis produk, seperti makanan haruslah sesuai dengan keingina konsumen, karena
jika tidak sesuai, produk tersebut tidak akan diminati ol eh masyarakat dan akan
gagal secara periodik. Makanan yang diproduksi adalah pemenuhan kebutuhan
konsumen, dan jika konsumen merasa terpenuhi kebutuhannya maka produk
makanan tersebut sesuai dengan daya beli pasar.
2.3.2. Jenis-jenis Produk
Ada berbagai jenis produk yang bisa disaksikan diperjualbelikan di di pasar.
Namun secara umum produk yang digunakan oleh konsumen dibagi dalam 2
kategori, yaitu:
a. Produk berwujud atau tangibel product.
Produk berwujud disebut barang atau goods. Barang berwujud ini
dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Barang konsumsi, disebut costumer goods, yaitu barang
konsumen untuk memenuhi kebutuhannya dan akan
dikonsumsikannya sendiri beserta anggota keluarga.
2) Barang industri, industri goods, atau barang industrial yaitu
barang yang dibeli oleh konsumen untuk menjalankan
industri atau usaha bisnisnya dan bukan untuk konsumsi
pribadi
b. Produk tak berwujud, atau in-tangible product
Produk ini terdiri dari jasa atau servis. Produk jasa banyak jenisnya
karena kebutuhan masyarakat, dan produsen pun menyediakan
berbagai aneka jasa, seperti jasa pendidikan, kebugaran, kecantikan,
jasa notaris, jasa hiburan, reparasi, dan lain sebagainya.12
11 Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Edisi 3, (Yogyakarta: ANDI, 2008), 95
12 Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Edisi 3, (Yogyakarta, ANDI: 2008), 95
12
2.4. Konsep Label Halal (labeling)
2.4.1. Pengertian Label Halal (labeling)
Kata halal (halal, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam
yang berarti “diizinkan” atau “boleh”. Secara etimologi, halal berarti hal-hal yang
boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-
ketentuan yang melarangnya.13 Istilah halal dalam kehidupan sehari-hari sering
digunakan untuk makanan ataupun minuman yang diperolehkan untuk dikonsumsi
menurut syariat Islam. Sedangkan dalam konteks luas istilah halal merujuk kepada
segala sesuatu baik itu tingkah laku, aktifitas, maupun cara berpakaian dan lain
sebagainya yang diperolehkan atau diizinkan oleh hukum Islam.
Kata “halal” dapat juga berarti lepas atau terikat. Artinya keterikatan pada
sesuatu. Karena dikatakan halal berarti sesuatu yang terlepas dari ikatan bahaya
duniawi, dan ukhrawi. Dalam bahasa Hukum, kata halal juga berarti boleh. Kata
halal sering dikaitkan dengan kata thayyib. Adapun kata thayyib, dari segi bahasa
berarti lezat, baik, sehat dan menentramkan hati, serta paling utama. Dalam hal
makanan dan minuman, thayyib diartikan makanan yang tidak kotor dari segi
dzatnya atau kadaluarsa (rusak) atau dicampuri benda najis.14
Dalam Islam, anjuran mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan
thayyib. Umat Islam sudah lepas kewajibannya karena menggunakan produk halal,
akan tetapi setelah halal juga mengandung bahan-bahan yang thayyib, yaitu unsur
makanan yang sehat, bergizi, proporsional, dan aman dikonsumsi. Untuk itu
seharusnya konsumen harus mampu menilai suatu makanan itu yang diketahui dari
komposisinya.
Di negara kita, konsep halalnya suatu produk ditempel dalam bentuk label.
Label biasanya ditempel atau digantung pada produk kemasan. Label memberikan
informasi merek suatu produk, dan sengaja dibuat secara sederhana ataupun rumit
sebagai bagian dari kemasan. Label memberitahukan berbagai fungsi produk,
diantaranya yaitu:
13 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al Zakah, (Jakarta: Pustaka Nasional, 2007), 5 14 Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah., 2007), 165
13
1. Label memberi identitas produk atau merek, misalnya naman sunkist
yang diletakkan pada jeruk.
2. Label memberikan identifikasi produk, misalnya buah pecah
kalenegan diberi peringkat A, B dan C
3. Label menjelaskan produk, yaitu siapa yang membuatnya, dimana
dibuat, kapan dinbuat, apa isiua, bagaimana penggunaannya, dan
lain sebagainya.
4. Label juga mempromosikan produk melalui grafis atau iklan
Ada berbagai label yang dapat dilihat pada kemasan produk. Kadang
menggambarkan secara detail komposisi, ada juga dijelaskan cara penggunaan,
serta takaran-takaran dalam komposisinya. Misalkan saja pada suatu produk ada
label takaran nilai gizi, berat netto, nomor register, Kemenkes. Ada juga label
diartikan sebagai informasi penjualannya. Tipe-tipe label antara lain; pertama, label
merek (a brand label). Yaitu label yang diletakkan pada kemasan yang semata-mata
berfungsi sebagai merek atau nama produk. Kedua, label tingkat kualtias (grand
label) melambangkan kualitas produk melalui angka misalnya hurud, angkat atau
abjad. Dan ketiga, deskriptif label, yaitu label yang memberikan info terkait cara
penggunaan, pemeliharaan, penampilan dan ciri-ciri lainnya.
Terkait label atau pelabelan kemasan, juga diattur dalam peraturan
pemerintah No.69 tahun 1999, tentang label halal dan iklan pangan menyebutkan
label halal adalah setiap keterangan mengenai label yang berbentuk tulisan, gambar,
gambar dan tulisan, atau bentuk-bentuk lainnya, yang ditempelkan pada atau
merupakan bagian dari kemasan pangan. Peraturan lainnya yaitu keputusan menteri
dan UU-RI No 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal yaitu:
a) Nama produknya
b) Daftar bahan yang digunakan
c) Berat bersih
d) Keterangan tempat produksi di wilayah Indonesia
e) Adanya label halal
f) Keterangan masa produksi dan kadaluarsanya.
14
Selain keterangan di atas, menurut klasifikasi label diberikan oleh Stanton,
yang penulis kutip dari Ahsin, maka label halal masuk dalam klasifikasi Descriptive
label yang menginformasikan tentang:
a. Konstruksi atau pembuatan produk sesuai dengan standar halal.
b. Bahan baku produk yang sesuai dengan standar halal.
c. Efek yang ditimbulkan (other characteristic) produk yang sesuai dengan
standar halal.15
Agama Islam merupakan agama yang sangat bijak dalam mengatur umatnya
agar tidak memakan makanan yang haram dengan menjelaskan semua yang halal
dimakan maupun yang diharamkan. Allah telah menciptakan bumi lengkap dengan
isinya agar manusia dapat memilih dan tidak mengikuti langkah-langkah syaitan
yang selalu menggoda umat manusia untuk mengikuti jalannya.16 Label halal
merupakan pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk
menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.
2.4.2. Macam-Macam label halal
Terdapat beberapa macam label yang digunakan oleh suatu perusahaan
ketika menerbitkan produk, yaitu:
a. Keterangan yang mencantumkan ciri suatu barang secara umum, disebut
grade label.
b. Pembuatan keterangan-keterangan yang menjelaskan secara rinci seperti
unsur kimia, warnanya, presentase campuran, penggunaan produk dan
sejenisnya, disebut deskriptive label.
c. Keterangan lengkap pada kemasan label, disebut informative label.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa label adalah
tulisan ataupun keterangan yang ditulis di kemasan sebuah produk untuk
memberikan informasi terkait cara penggunaan suatu produk, bahannya, tanggal
15 Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan .. 16 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al Zakah ...53
15
produksi dan masa kadaluarsa, dan informasi lainnya terkati produk tersebut.
Dalam hal ini, halal adalah label yang dicantumkan pada kemasan.
2.4.3. Syarat untuk Produk Halal.
Label halal yang dicantumkan hari ini pada suatu kemasan atau barang
menandakan produk tersebut telah memperoleh sertifikat halal dari lembaga
penjamin. Sertifikat halal diterbitkan secara tertulis oleh Majelis Permusyawaratan
Ulama, karena lembaga ini resmi dalam legalitas perundang-undangan Indonesia,
dan sesuai dengan syariat Islam. Dengan kata lain label halal adalah sertifikasi halal
dari lembaga yang berwenang, dengan mencantumkan nama lembaga itu
menandakan produk tersebut sudah layak dikonsumsi oleh publik.
Adapun pengertian produk halal adalah memenuhi ketentuan kehalalannya
sebagaimana digarikkan dalam sumber hukum Islam. Syarat-syaratnya yaitu:
a. Produk tersebut tidak mengandung unsur babi di dalamnya.
b. Selain itu tidak mengandung bahan yang diharamkan dalam Islam
untuk dikonsumsi, seperti bahan yang berasal dari organ manusia,
kotoran, darah dan lain sebagainya.
c. Jika bahan dari hewan, maka hewan tersebut disembelih menurut
tata cara syariat Islam.
d. Barang tersebut disimpan pada tempat yang halal, yang tidak
mengandung unsur yang haram. bahkan tempat tersebut harus
dibersihkan secara syariat Islam.
e. Produk tersebut tidak mengandung khamar.
Berdasarkan syarat halal di atas, menurut klasifikasi oleh Stanton, yang
disebut dalam Afifuddin,17 label halal dimasukkan dalam kategori descriptive label,
karena memberikan keterangan tentang:
1) Proses produksi sesuai standard kehalalan.
2) Bahan bakunya juga standard halal.
3) Karakteristik lain dalam produk standar halal.
17 Afifuddin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 45
16
Namun perlu diakui, sebenarnya tidak akan kewajiban untuk
mencantumkan label halal pada kemasan di perusahaan manapun. Ketika produk
itu masuk ke Indonesia, maka saat itulah diwajibkan ada label halal dikarenakan
mayoritas penduduk negara Indonesia beragama muslim. Maka pihak produsen
berkewajiban mencantumkan label halal untuk menjamin keabsahan produknya.
Dengan adanya kewajiban ini, pihak pemasar pun akan mempertimbangkan untuk
membuat suatu produk, yang secara otomatis disesuaikan dengan konsumen yang
muslim, dalam artian menggunakan logo halal yang dikeluarkan oleh MUI. Dengan
adanya label halal, kaum muslimin juga mempercayai bahwa produk tersebut bisa
dikonsumsi, karena sudah sesuai syariat Islam.
Zuliana, dengan mengutip peraturan kehalalan di MUI menulis bahwa
syarat kehalalan suatu produk menurut syariat Islam yaitu:18
1) Zatnya halal, artinya halal menurut sumber hukum Islam
2) Cara memperolehnya juga halal, misalnya bukan atas dasar pencurian.
3) Prosesnya halal, artinya tidak mencampurkan dengan barang haram dan
menyebut asma Allah dalam proses menyembelih binatang.
4) Tempat penyimpanan halal, yaitu tidak pada tempat yang mengandung
unsur haram.
5) Penyajiannya halal, artinya tidak mengandung unsur yang haram
sedikitpun.
Label halal suatu produk telah memenuhi kriteria kehalalan menurut ajaran
Islam. Dan label halal memiliki beberapa indikator sebagai informasi bagi
konsumen, sebagaimana disebut oleh Utami,19 bahwa produk yang telah
tersertifikasi halal akan mencantumkan logo di atas pada kemasannya. Sertifikasi
menjamin kehalalan produk dari segi bahan, komposisi dan proses pengolahan.
Perusahaan yang telah disertifikasi berarti telah menerapkan manajemen
penjaminan produk agar tetap halal (Sistem Jaminan Halal).
MUI telah membuat logo halal dan sistem pemasaran halal di Indonesia
mempergunakan logo tersebut, dalam artian telah dikonfirmasi oleh MUI.
18 Zuliana dan Irwan Padli, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 12 19 Christina Widhya Utami, Manajemen Ritel, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), 43
17
Gambar 2.1 label halal resmi MUI (sumber:www.halalmui.org)
2.4.4. Makanan Halal dalam Islam
Kehidupan manusia tidak pernah hening dari persoalan halal-haram. Al-
Qur’an-Hadis sebagai way of life kaum muslimin tentu menjelaskan persoalan ini,
memang, Allah secara normatif telah menjelaskannya, seperti apa yang tersurat
dalam ayat 119 dari surat al-An’am, yang menyatakan bahwa
(... 119 و قد فص ل لكم ما حرم عليكم .... )الأنعام :
Artinya:
“...sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu,..(Al-An’am:119)
Ayat ini mengandung maksud bahwa Allah telah menjelaskan dan memerinci
hal-hal yang telah diharamkan bagi manusia, yang rinciannya banyak dijelaskan
dalam berbagai ayat yang lainnya. Secara sederhana, makanan halal adalah
makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia yang dibenarkan oleh syariat Islam,
sehingga makanan yang diharamkan oleh Islam tidak boleh dikonsumsi oleh
manusia.
Menurut imam al-Ghazali, halal adalah istilah yang digunakan untuk menilai
tindakan, tingkah laku, yang dibolehkan dalam ajaran Islam. pada persoalan
makanan, maka halal yaitu ada kebolehan yang diperintahkan untik mengkonsumsi,
begitu sebaliknya.20
Secara arti kata, halal berasal dari Bahasa Arab yang terambil dari akar kata
ha-la-la ( ل -ح ل ). Kata ini mashdar dari halla-yahullu, hillan, wa halalan. Secara
20 Al-Ghazali, Iḥya `Ulūm ad-Dīn, h. 127.
18
arti bahasa yaitu keluar dari suatu aktivitas, halal, berhenti singgah atau menetap
(berdiam) di suatu tempat, melepaskan atau menguraikan ikatan atau menguraikan
kata-kata, menimpa (terjadi suatu peristiwa), mewajibkan, menetapkan,
membebaskan, misalnya membebaskan (seseorang) dari kaffarat sumpah, dan lain-
lain.21 Kata ini diartikan juga sebagai thaba atau baik (ṭayyib).22 Ungkapan ini
menjadi sinonim dengan kata halal disebutkan di dalam dengan kata ṭayyibat.23
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halal memiliki makna 1. Diizinkan (tidak
dilarang oleh Syara‟) 2. Yang diperoleh atau diperbuat dengan sah, 3. Izin;
ampun.24
Bila mengacu pada definisi oleh Kementerian Agama, makanan halal adalah
suatu barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum manusia dan serta
bahan yang digunakannya adalah halal. Dengan demikian halal dalam makanan
adalah karena telah diperbolehkan dalam agama.
Memperhatikan halal haram suatu makanan merupakan salah satu bentuk
ketaatan hamba kepada Allah. Dalam beberapa ayat al-Qur‘an, Allah Swt secara
tegas memerintahkan manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal. Berikut ini
beberapa ayat al-Quran dan Hadits tentang makanan halal:
بعوا خطوات الشيطان إنه ل كم عدو ا في الأرض حلالا طيبا ولا تت يا أيها الناس كلوا مم
مبين
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al-Baqarah:168)
Allah juga menjelaskan dalam surat al-Baqarah tentang makanan yang halal,
sebagaimana ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 172:
إن كنتم إياه يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناك عبدون ت م واشكروا لل
21 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
91. 22 Louis Ma‟luf, Munjid fi al-lughah wa al-A lām (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), 146-147
dan 150.. 23 Q.S. Al-A‟rāf/7: 157 24 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 383
19
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu menyembah. (Qs. Al-Baqarah: 172)
2.5. Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam
Dalam kajian ekonomi ada istilah permintaan dan penawaran, yang
kemudian menjadi suatu manajemen dalam pemasaran. Pembahasan ini ditentukan
pada perilaku individu sebagai pelaku ekonomi yang berperan menentukan tingkat
harga dalam proses mekanisme pasar. Mekanisme pasar itu sendiri adalah interaksi
yang terjadi antara permintaan dari sisi konsumen dan penawaran dari sisi
produsen, sehingga harga yang diciptakan merupakan perpaduan darikekautan
masing-masing pihak tersebut. Menurut N.Gregory Mankiw dalam bukunya
berjudul “pengantar mikro ekonomi” menyebutkan bahwa permintaan adalah
sejumlah barang yang diinginkan dan dapat dibeli oleh pembeli.25
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa, yang penulis kutip
dari artikel Fattach di Jurnal Penelitian dan Ilmu Manajemen, menjelaskan bahwa
hal-hal yang mempengaruhi permintaan suatu barang antara lain:
1) keinginan atau selera masyarakat terhadap suatu barang yang
berbeda dan selalu berubah-ubah. Dimana ketika masyarakat telah
memiliki selera terhadap suatu barang maka hal ini akan
mempengaruhi jumlah permintaan barang tersebut.
2) jumlah para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat
yang menginginkan barang tersebut semakin banyak, maka harga
barang tersebut semakin meningkat.
3) kualitas pembeli. dimana tingkat pendapatan merupakan salah satu
ciri kualitas pembeli yang baik. semakin besar tingkat pendapatan,
semakin tinggi kualitas masyarakat untuk membeli
25 N. Gregory Mankiw, Principle of Micro Ekonomic, Jilid 1, (Jakarta: Salemba, 2012),
34
20
4) lemah atau kuatnya kebutuhan suatu barang. Apabila kebutuhan
terhadap suatu barang tinggi, maka permintaan terhadap barang itu
juga akan tinggi.
5) cara pembayaran (tunai atau angsuran). Jika pembelian barang
tersebut dengan transaksi tunai, biasanya permintaah lebih tinggi.26
Konsep permintaan dalam Islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa)
tidak semuanya dikonsumsi maupun digunakan, karena dibedakan antara yang halal
dengan yang haram.27 Oleh karena itu dalam teori permintaan barang dalam Islam,
membahas permintaan barang halal. Norma-norma Islam yang selalu menemani
manusia berkaitan dengan transaksi adalah halal dan haram.
Adapun penawaran (supply) dalam ekonomi adalah banyaknya barang atau
jasa yang tersedia dan dapat ditawarkan oleh produsen kepada konsumen pada
setiap waktu tertentu. Jadi penawaran dapat didefinisikan yaitu banyaknya barang
yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan
pada tingkat harga tertentu.28 Dalam Islam, penawaran juga harus memperhatikan
kehalalan. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada
norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas manusia pada hakikatnya adalah barang-
barang yang halal dan tidak berbahaya bagi manusia.
Permintaan terhadap barang halal sama dengan permintaan ekonomi pada
umumnya, yaitu berbanding terbalik pada harga. Namun masyarakat Islam pada
umumnya memperhatikan barang halal terlebih dahulu sebelum menilai pada harga.
Jika pun harga tinggi namun bukan halal, konsekuensi logis masyarakat juga tidak
membelinya. Karena masyarakat tidak membelinya, penawaran terhadap
barangpun berkurang, dan pada akhirnya penjual juga menawarkan barang-barang
yang halal untuk masyarakat untuk menjaga keseimbangan pemasarannya.
26 An’im Fattach, Teori Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam, Jurnal
Penelitian Ilmu Manajemen, Vol.II, No.3 2017, 450 27 An’im Fattach, Teori Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam ..453 28 An’im Fattach, Teori Permintaan dan Penawaran dalam Ekonomi Islam, ..
21
2.6. Keputusan dan Faktor Pembelian Konsumen
Kotler dan Armstrong adalah pakar yang banyak dirujuk untuk menjelaskan
tentang keputusan pembeli. Menurutnya, disebut keputusan pembeli karena
perilaku konsumen yang membeli produk untuk keperluan pribadi ataupun keluarga
untuk dikonsumsi. Keputusan konsumen adalah proses dimana seseorang
memutuskan membeli sesuatu melalui tahapan-tahapan tertentu, yang pertama
adalah niat individu, dan kedua karena pengaruh orang lain.29
Menurut Kotler dan Armstrong, perilaku pembelian konsumen dipengaruhi
oleh tiga faktor, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Budaya
Faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku
pembelian konsumen dalam faktor kebudayaan ini terdapat beberapa
komponen antara lain: Budaya, budaya merupakan faktor penentu yang
paling mendasar dari segi keinginan dan perilaku seseorang karena
kebudayaan menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Menurut
kotler kebudayaan adalah determinan paling fundamental dari keinginan
dan perilaku konsumen. Sub-budaya, sub budaya terdiri dari kebangsaan,
agama, kelompok ras, dan daerah geografis.
Selain itu, budaya juga didefinisikan sebagai himpunan kepercayaan,
sikap, pola pikir, dan pola perilaku (kebiasaan dan tradisi) yang dimiliki
oleh anggota-anggota suatu masyarakat dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya melalui sosialisasi. Kepercayaan dan kebudayaan
biasanya relatif stabil sepanjang masa, tapi bisa berubah dari satu
generasi ke generasi berikutnya sehubungan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.30
29 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 194 30Boyd, Harper W, dkk. Manajemen Pemasaran: Suatu Pendekatan Strategis dengan
Orientasi Global. (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2000), 141-142
22
2. Faktor Sosial.
Faktor sosial, dapat dikatakan seseorang membeli dipengaruhi oleh
faktor diluar dirinya. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Adanya kelompok yang dijadikan acuan. Kelompok ini dapat
diartikan bahwa sebagian orang memberikan pengaruh kepada orang
lain, baik secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung
misalnya memberikan informasi langsung, atau tidak langsung
melalui media.
b. Adanya pengaruh keluarga. Pengaruh ini cukup terasa karena orang
membelikan sesuatu adanya permintaan keluarganya, misalnya
keperluan istri, ataupun anak-anaknya.
c. Status sosial. Yaitu adanya orang berpengaruh dalam suatu
komunitas yang dapat memnerikan pengaruh kepada orang lain
sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Biasanya orang tersebut
adalah publik figur atau orang yang dituakan dalam suatu entitas
masyarakat.
d. Keinginan pribadi. Misalnya keinginan pribadi, yang sangat
tergantung pada profesinya, hobinya, dan keadaan ekonominya.
Gaya hidup termasuk faktor pribadi ini, dan berbeda pada setiap
tahapan usia.
3. Faktor psikologis.
Menurut Kotler, keadaan psikis seseorang turut mempengaruhi
keputusannya dalam pembelian. Beberapa faktor yang tergolong psikis
ini yaitu:
a) Keadaan motivasi: keadaan ini muncul karena adanya keadaan
lapar, haus, ketidaknyamanan, dan lain sebagainya. Hal yang
termasuk motivasi ini juga berasal dari tekanan luar, misalnya ia
ingin diakui oleh orang lain makanya dia membeli produk
tersebur. Hal in sangat tergantung pada kebutuhan, pengakuan,
dan pengakuan orang lain.
23
b) Berkaitan dengan persepsi. Persepsi seseorang memberikan
pengaruh ataupun motivasinya terhadap sesuatu.
c) Proses pembelajaran, adanya perilaku individu yang timbul dari
pengalaman.
Selanjutnya Kotler dan Armstrong juga mengutarakan bahwasanya
keputusan pembeli memiliki beberapa tahapan yaitu, pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif, dan keputusan.
Tahap pengenalan kebutuhan, dimana pembeli menyadari kebutuhannya.
Kemudian mencari informasi, terhadap produk yang akan dibeli. Setelah itu ada
evaluasi alternatif, ia akan menkroscek beberapa data barang dan tempat yang akan
dibeli. Dan terakhir keputusan membeli, yaitu adanya peringkat merek, sesuai
ekpektasi, yang mempengaruhi konsumen.31
4. Faktor agama.
Suatu konsekuensi logis jika seseorang telah masuk dalam agama Islam,
maka ia harus mentaati anjuran yang terdapat dalam Islam. Seperti dalam
memilih makanan dan minuman, tentu yang dihalalkan dalam agama.
Agama memiliki pengaruh yang besar terhadap pola perilaku konsumsi. Karena
pada dasarnya agama mengatur mengenai apa yang diperbolehkan maupun mana
yang tidak, seperti ketentuan untuk mengkonsumsi produk (makanan) yang akan
dikonsumsi. Agama adalah indikator yang penting bagi pengambilan
keputusan apapun, dimana agama adalah fondasi yang membentuk
kepribadian seseorang untuk berperilaku sesuai hukum dan budaya.32
Mengemas produk makanan dan minuman dengan label halal memberikan
isyarat bahwa produk tersebut boleh dikonsumsi oleh muslim. Norma
religius mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang. Konsumen
memiliki kewajiban memilih produk halal karena sudah dianjurkan dalam
agama, namun demikian tidak semua orang muslim memperhatikan dengan
baik kehalalalan ini, ada yang melanggarnya. Karena itu, faktor agama
31 Philip Kotler & Garry Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, 298 32 Rahim, A, Nazahah., 2012, The Halal Product Acceptance Model For The Religious
Society, Business & Management Quarterly Review Vol. 3, pp, 17-25
24
adalah alasan utama sebenarnya bagi konsumen dalam memilih produk
halal.
Perilaku pembelian konsumen akan dipengaruhi oleh sub budaya-agama.
Menurut Yunos, logo halal yang dicantumkan pada produk merupakan
indikator khusus bagi umat Islam bahwa makanan tersebut dapat
dikonsumsi.33 Faktor logo halal telah diatur oleh pemerintah Indonesia
untuk menyusun strategi dalam pasar halal. Salah satu strategi yang sudah
dilakukan adalah sertifikasi makanan halal yang dilakukan oleh Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Agama
Republik Indonesia.
Selain halal, dalam Islam juga dianjurkan untuk mengkonsumsi produk
makanan yang baik (thayyibah). Pengambilan keputusan pembelian untuk
membelanjakan harta juga harus seimbang dan sederhana. Dalam
memenuhi keinginan tidak menimbulkan israf (boros/ berlebihan), dalam
Islam harus mengendalikan keinginan tersebut. Keinginan yang
dikendalikan akan diarahkan sehingga menimbulkan kemanfaatan
(maslahah), bukan kemudharatan.34 Selain memiliki keinginan tidak
berlebihan, dalam Islam juga dianjurkan untuk menjauhi sifat mubazir.35
Sifat mubazir merupakan sifat yang dibenci oleh Allah Swt.
Dalam urusan memilih barang, Islam memperbolehkan jual beli dan
keinginan untuk memperoleh suatu barang, namun harus diperhatikan
kehalalannya. Selain faktor halalnya baranga, dalam Islam barang yang
akan dikonsumsi juga tidak membawa kemudharatan, meskipun barang itu
halal. Jadi faktor keputusan pembelian dalam Islam juaa dipengaruhi oleh
maslahah, israf, dan tidak mubazir.
33 Yunos, R. M., Mahmood, CFC., Mansor, NHA. 2014. Understanding Mechanisms to
Promote Halal Industry- The Stakeholders’ Views. Social and Behavioral Sciences. 130(15): 160 –
166. 34 Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Surakarta: PT Gelora Pratama, 2012),
95 35 Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, ..96
25
2.7. Kerangka Teori
Kecamatan Syiah Kuala merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota
Banda Aceh, masyarakat Kecamatan Syiah Kuala merupakan masyarakat yang
pada umumnya beragama Islam, sehingga dalam memilih makanan sangat
memperhatikan makanan yang telah dilabel-halalkan oleh MUI. Dalam produk
makanana halal terdapat 2 macam, yakni makanan siap saji dan makanan mentah
yang perlu diolah.
Dalam memenuhi kebutuhannya sering mejadi alasan dalam memutuskan
pembelian produk makanan didasari oleh faktor budaya, hal ini menjadi suatu
kebiasaan dalam masyarakat, selain itu faktor sosial yang sudah melekat dalam
kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya, yang meliputi keadaan dirinya dengan
orang lain, keluarga, dan lain sebagainya. Kemudian faktor agama, adalah suatu
konsekuensi bagi muslim dalam memilih produk makanan, karena dalam Islam
wajib seorang muslim makan dan minum yang halal.
Selain halal, sebagaimana dijelaskan di atas, faktor keputusan pembelian
dalam Islam sebaiknya juga memperhatikan tidak mubazir, membawa
kemaslahatan, tidak berlebihan, dan sesuai keinginan. Karena itu faktor budaya,
sosial, psikologis dan agama menjadi landasan teori dalam penelitian ini. Gambar
2.2 di bawah ini dijelaskan secara matrik tentang kerangka teori penelitian ini.
Gambar 2.2 kerangka teori penelitian
Keputusan Pembelian
Produk Halal
Landasan teori keputusan
pembelian produk halal
1. Faktor budaya
2. Faktor Sosial
3. Faktor Psikologis
4. Faktor agama
Hasil Penelitian
Faktor agama
Membawa maslahah
Tidak berlebihan (israf)
Thayyib
Tidak mubazir