BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Pertanian Tanpa Limbah
Konsep pertanian terpadu atau yang sering disebut sebagai konsep An
Integrated Farming System, menjadi harapan dan arah baru bagi pertanian
masa depan dimana shareholders yang terlibat dapat menikmati hasil yang
sepadan dan berkelanjutan. Integrasi tersebut perlu ditingkatkan menjadi zero
waste sehingga nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi. Konsep An
Integrated Farming With Zero Waste System pada prinsipnya merupakan
integrasi beberapa unit usaha dibidang pertanian, dikelola secara terpadu,
berorientasi ekologis, sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomis, tingkat
efisiensi dan produktifitas yang tinggi. Penerapan sistem pertanian terintegrasi
sering disebut sebagai konsep sistem pertanian tanpa limbah. Limbah yang
dihasilkan dimanfaatkan kembali sebagai sumber energi dan nutrisi. Aplikasi
penerapan sistem pertanian tanpa limbah dapat dimanifestasikan dalam bentuk
pengolahan pupuk organik berbahan limbah pertanian, dan instalasi biogas dari
limbah peternakan (Wahyuni, 2013).
Produk utama tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, tidak
hanya menghasilkan pangan (food) sebagai hasil utama, tetapi juga
menghasilkan sisa hasil. Sisa hasil tersebut dengan cara-cara yang sederhana
dapat diubah menjadi pakan (feed) yang selanjutnya dapat ditransformasi
menjadi pangan yang bermutu (daging, susu dan lain-lain). Ternak selain
menghasilkan produk utama juga menghasilkan hasil samping berupa feces dan
urine. Feces dan urine dengan cara yang sederhana pula dapat diubah menjadi
kompos yang bermutu. Kompos yang bermutu dan berdaya guna akan
dimanfaatkan dalam proses produksi pertanian sehingga seluruh komponen
baik pertanian, peternakan, perikanan mapupun subsektor terkait menjadi lebih
efisien dan tanpa limbah (zero waste).
Konsep An integrated farming with zero waste system dapat dirangkum
sebagai berikut (Nuridinar, 2010) : a). Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
lokal; b). Maksimalisasi daur ulang (zero waste); c). Minimalisasi kerusakan
lingkungan (ramah lingkungan); d). Diversifikasi usaha; e). Pencapaian tingkat
produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang; f). Menciptakan
kemandirian.
Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut
dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan
pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang
dilahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa
limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah
pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman
dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka
memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman
haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga
dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan
keuntungan hasil usaha taninya. Sistem produksi ternak sapi yang dikombinasi
dengan lahan-lahan pertanian harus dapat disesuaikan dengan jenis tanaman
pangan yang diusahakan.
2. Profil Potensi Limbah Padat Pertanian di Indonesia
a. Definisi Biomassa
Definisi Biomassa menurut United Nations Framework Convention
on Climate change (UNFCC, 2005) adalah bahan organik biodegradable
non-fosil yang berasal dari tanaman, hewan dan mikro-organisme.
Biomassa tersebut meliputi produk, produk samping, residu dan limbah
dari pertanian, hasil hutan, dan hasil industri terkait sebagai non-fosil
dan fraksi organik biodegradable dari limbah industri dan kota. Wei
(2005) mendefinisikan biomassa sebagai semua bahan organik yang
merupakan turunan dari tanaman sebagai konversi hasil proses
fotosintesis, tidak termasuk proses fosilisasi. Biomassa terbagi dalam 2
jenis, yaitu biomassa yang bersifat alami dan biomassa yang berasal dari
limbah, seperti pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Jenis- Jenis Biomassa
Murni
Biomassa terrestrial Biomassa hutan, rerumputan,
tanaman yang dibudidayakan
Biomassa perairan Algae, tumbuhan air
Limbah
Limbah perkotaan Limbah padat, limbah, gas buang
Limbah padat pertanian Limbah pertanian, sisa hasil panen
Sisa hutan Kulit kayu, dedaunan
Limbah industri Serbuk gergaji, limbah minyak atau
lemak
Menurut Basu (2010), sumber-sumber biomassa secara umum
adalah:
1). Pertanian : bagas, kulit kacang, tangkai jagung, jerami
2). Hutan : pohon, limbah kayu, serbuk gergaji kayu
3). Kota : endapan lumpur, limbah makanan, limbah kerta
4). Energi : padang rumput, jagung, dan kedelai, kanola.
5). Biologi : kotoran hewan, spesies perairan, limbah biologis
b. Potensi Produksi Limbah Pertanian
1). Jerami dan Sekam Padi
Menurut Nur (2014), perbandingan untuk produksi gabah-jerami
adalah 1:1, sedangkan untuk gabah-sekam 1: 0,24. Berarti setiap ton
gabah yang dihasilkan maka akan menyisakan jerami setara satu ton,
sedangkan sekam yang dihasilkan adalah 0,24 ton. Jika menggunakan
algoritma sederhana tersebut maka dapat digunakan untuk estimasi
produksi jerami dan gabah di Indonesia maupun spesifik lokasi
tertentu.
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis
yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang
saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah
dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan.
Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan
energi atau bahan bakar. Dari proses penggilingan padi biasanya
diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah, dedak antara 8-
12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah.
2). Tongkol atau Janggel Jagung
Pada saat musim panen jagung, biasanya petani membuang atau
membakar janggel karena dirasa tidak berguna dan dianggap sampah.
Jika rerata rendemen jagung yang dihasilkan sekitar 70-80%, maka
jika dilakukan pemipilan atau penggilingan 1 ton (1000 kg) tongkol
jagung, maka akan menghasilkan 700 kg biji jagung dan 300 kg
janggel jagung. Jika satu hektar rata-rata bisa dipanen 10 ton tongkol
jagung, maka sekitar 3 ton janggel akan dibuang atau hanya sedikit
sekali dimanfaatkan untuk keperluan terbatas misalnya langsung
digunakan sebagai kayu bakar.
Tongkol atau janggel jagung mempunyai kandungan selulosa
yang sangat tinggi yaitu sekitar 40%. Kandungan inilah yang saat ini
digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan plastik
biodegradeable atau plastik yang dapat terurai secara alami oleh
mikroorganisme dan terurai lebih cepat dibandingkan plastik sintesis.
Tongkol jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku energi
alternatif, salah satunya biobriket.
3). Kulit Singkong
Menurut Grace (1977), persentase kulit ubi kayu yang
dihasilkan berkisar antara 8-15% dari berat umbi yang dikupas,
dengan kandungan karbohidrat sekitar 50% dari kandungan
karbohidrat bagian umbinya. Menurut Hayati (2008), kulit singkong
memiliki rataan nilai kadar air sebesar 10,06-13,14%, rataan nilai daya
serap air berkisar 82,49%-169,78%, rataan nilai pengembangan tebal
sekitar 35,70-102,30%, dan rataan nilai kerapatannya berkisar 0,86-
0,87g/cm3.
4). Serbuk gergaji kayu
Serbuk gergaji kayu merupakan limbah industri
penggergajian kayu. Jumlah ketersediaan serbuk gergaji sangat besar,
namun tidak semua serbuk gergaji yang ada telah termanfaatkan
secara maksimal, sehingga bila tidak ditangani dengan baik maka
dapat menjadi masalah lingkungan yang serius.
c. Pemanfaatan Limbah Padat Pertanian Saat ini
Biomassa limbah padat pertanian sebagaian besar masih
dikategorikan sebagai energi non komersial. Pemanfaatan terbesar limbah
padat pertanian tersebut masih terbatas. Beberapa jenis limbah biomassa
tidak bisa atau tidak efisien apabila dibakar secara langsung. Sekam (kulit
padi) merupakan hasil samping dari produksi pertanian yang
keberadaannya cukup melimpah di indonesia. Sekam padi adalah bagian
terluar dari padi yang merupakan hasil samping pada saat proses
penggilingan. Sekam padi sebagian besar terdiri dari serat kasar yang
berguna untuk menutupi kariopsis. Sebagian besar sekam terdiri dari
solulosa sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar yang merata dan
stabil.Sekam padi bila telah dibakar salah satu bagiannya merupakan
mineral zeolit. Mineral ini mampu menyerap bau ataupun asap. Ditinjau
dari data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia
penting. Komposisi kimia sekam padi mengandung kadar air sebesar
9,02%, protein kasar sebasar 3,03%, lemak sebesar 1,18%, serat kasar
sebesar 35,68%, kadar abu sebesar 17,17% dan karbohidrat dasar sebesar
33,71%. Sedangkan menurut DTC–IPB, komposisi kimia sekam padi
mengandung karbon (zat arang) sebesar 1,33%, hidrogen sebesar 1,54%,
oksigen sebesar 33,64% dan silika sebesar 16,98%.
Tongkol atau janggel jagung mempunyai kandungan selulosa yang
sangat tinggi yaitu sekitar 40%. Kandungan inilah yang saat ini digunakan
sebagai bahan baku utama pembuatan plastik biodegradeable atau plastik
yang dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme dan terurai lebih
cepat dibandingkan plastik sintesis. Jepang, Jerman dan Amerika
biodegradable, tongkol jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku energi alternatif, salah satunya biobriket.
Sementara itu, kulit ubi kayu masih jarang dimanfaatkan secara
optimal. Menurut Grace (1977), kulit ubi kayu pada umumnya hanya
digunakan sebgai makanan ternak dan sebagai makanan ringan seperti
keripik (dengan cara digoreng). Kulit ubi kayu dengan mudah dapat
dipisahkan dari umbinya dengan ketebalan 2-3 mm. Kulit singkong
mempunyai komposisi yang terdiri dari karbohidrat dan serat. Menurut
Djaeni (1989), kulit ubi kayu mengandung ikatan glikosida sianogenik
yaitu suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun dalam jumlah
0.1% yang dikenal sebagai racun biru (linamarin). Oleh karena itu,
pemanfaatan kulit ubi kayu belum terlalu luas. Namun sebenarnya racun
tersebut dapat dihilangkan dengan cara menguapkannya atau
mengeringkannya pada suhu tinggi.
d. Potensi Limbah Pertanian untuk Mendukung Daur Hara Pertanian
Pemanfaatan sebagai Kompos
Pemakaian pupuk anorganik pada sistem budidaya intensif dalam
jangka waktu tertentu dapat merusak kesuburan tanah dan akhirnya
berdampak pada menurunnya hasil produksi padi. Pemberian pupuk
buatan dalam usaha intensifikasi tanaman padi yang telah diperkenalkan
cenderung mengutamakan pemakaian pupuk nitrogen (N), fosfor (P), dan
kalium (K) dalam bentuk Urea, TSP/SP-36, dan KCl tanpa penambahan
unsur mikro, dan nyaris tidak menggunakan pupuk alam sebagai sumber
bahan organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan lain–
lain. Hal itu mengakibatkan tanah sawah di Indonesia telah kekurangan
bahan organik, sehingga terjadi ketidakseimbangan hara.
Jerami yang merupakan limbah padi, merupakan material yang
potensial dan mudah didapatkan sehingga dapat dimanfaatkan kembali
sebagai sumber pupuk bagi tanaman. Penggunaan jerami padi, juga sangat
berpotensi untuk digalakkan sebagai sumber bahan organik insitu di
lahan persawahan. Namun kadar hara jerami, terutama N sangat rendah,
dan agak sukar lapuk. Akan tetapi jerami mengandung silikat (Si) cukup
tinggi, yang jarang ditambahkan petani ke lahan persawahan serta kurang
didapat pada bahan organik lainnya. Penelitian Darmawan, dkk (2007),
kadar silikat (Si) tanah sawah utama sudah berkurang dari 1,646 ± 581 kg
SiO2 ha-1
menjadi 1,283 ± 533 kg SiO2 ha-1
(-22 %) dari tahun 1970
sampai 2006 di Jawa. Dalam jerami terdapat beberapa unsur hara yang
berguna untuk tanaman seperti Nitrogen dan Kalium sehingga dengan
membakar jerami berarti sama saja dengan membakar uang karena jerami
yang dibakar tersebut sebenarnya dapat membantu menggantikan pupuk
KCl sebanyak 1 zak (50 kg). Dengan mengembalikan jerami padi ke lahan
sawah, petani dapat menghemat biaya pupuk karena tidak perlu lagi
memberikan pupuk KCl.
Kebiasaan petani di lapangan yang biasanya membakar jerami dan
sangat jarang dimanfaatkan oleh petani sebagai sumber bahan organik
merupakan suatu kebiasaan yang salah, selain menyebabkan kerusakan
pada lingkungan ternyata juga menyebabkan kerusakan pada tanah areal
persawahan karena lama kelamaan unsur hara yang terdapat pada tanah
sawah akan selalu berkurang tanpa adanya pengembalian kembali. Dengan
membakar jerami justru akan menghancurkan sebagian bahan organiknya.
Pengolahan jerami membutuhkan tenaga, waktu, dan pekerjaan tambahan
yang banyak, sehingga perlu dicari cara lain agar jerami tersebut dapat
dimanfaatkan oleh para petani. Salah satu alternatif yaitu dengan
pembuatan kompos sebagai salah satu jenis pupuk yang ramah lingkungan.
Selain berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah yang dapat
menigkatkan produksi pertanian, juga sangat aman bagi kelestarian
lingkungan.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa
aspek:
1). Aspek Ekonomi :
- Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah.
- Mengurangi volume/ukuran limbah.
- Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya.
2). Aspek Lingkungan :
- Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah.
- Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan.
Pemanfaatan sebagai Biogas
Salah satu upaya pemanfaatan limbah pertanian yang terintegrasi
dengan sistem peternakan adalah dengan memanfaatkannya untuk
menghasilkan bahan bakar dengan menggunakan teknologi biogas.
Teknologi biogas memberikan peluang bagi petani dan peternak, baik
individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-
hari secara mandiri. Teknologi biogas bukanlah teknologi baru. Teknologi
ini telah banyak dimanfaatkan oleh petani peternak di berbagai negara,
diantaranya India, Cina, bahkan Denmark. Teknologi biogas sederhana
yang dikembangkan di Indonesia berfokus pada aplikasi skala
kecil/menengah yang dapat dimanfaatkan masyarakat pertanian yang
memiliki ternak sapi 2 – 20 ekor. Penerapan teknologi biogas pada daerah
yang memiliki peternakan dapat memberikan keuntungan ekonomis
apabila dilakukan perancangan yang tepat dari segi teknis dan
operasionalnya. Perancangan teknis meliputi: desain biodigester, desain
penyaluran gas dan desain tangki penampung.
Biogas merupakan gas campuran metana (CH4), karbondioksida
(CO2) dan gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian material organik
kotoran hewan oleh bakteri pengurai metanogen pada sebuah biodigester.
Jadi, Untuk menghasilkan biogas, dibutuhkan pembangkit biogas yang
disebut biodigester. Proses penguraian material organik terjadi secara
anaerob (tanpa oksigen). Biogas terbentuk pada hari ke 4-5 sesudah
biodigester terisi penuh, dan mencapai puncak pada hari ke 20-25. Biogas
yang dihasilkan oleh biodigester sebagian besar terdiri dari 50 % – 70 %
metana (CH4), 30 % – 40 % karbondioksida (CO2), dan gas lainnya dalam
jumlah kecil. Ada tiga kelompok bakteri yang berperan dalam proses
pembentukan biogas, yaitu: 1). Kelompok bakteri fermentatif
: Steptococci, Bacteriodes, dan beberapa jenis Enterobactericeae; 2).
Kelompok bakteri asetogenik: Desulfovibrio dan 3). Kelompok bakteri
metana: Mathanobacterium, Mathanobacillus, Methanosacaria,dan Metha
nococcus. Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari urine
sapi.
Beberapa keuntungan yang dimiliki oleh biodigester bagi rumah
tangga dan komunitas : 1). Mengurangi penggunaan bahan bakar dan atau
sumber energi listrik PLN oleh rumah tangga atau komunitas; 2).
Menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi sebagai hasil sampingan;
3). Menjadi metode pengolahan limbah pertanian atau peternakan yang
baik dan mengurangi pembuangan sampah ke lingkungan (aliran
air/sungai); 4). Meningkatkan kualitas udara karena mengurangi asap dan
jumlah karbodioksida akibat pembakaran bahan bakar minyak/kayu bakar;
5). Secara ekonomi, murah dalam instalasi serta menjadi investasi yang
menguntungkan dalam jangka panjang.
e. Potensi Limbah Padat Pertanian sebagai Sumber Energi
Seiring kebutuhan energi yang terus meningkat maka limbah-
limbah biomassa pertanian berpotensial digunakan pembangkit energi.
Upaya meningkatkan kualitas bahan bakar dari biomassa adalah melalui
proses pirolisis. Pirolisis adalah penguraian bahan organik secara termis,
yaitu dengan memberikan panas pada bahan organik hingga
terdekomposisi. Perbedaan dengan pembakaran biasa adalah pada pirolisis
keberadaan oksigen dikontrol atau bahkan ditiadakan. Pirolisis merupakan
salah satu metode untuk mengubah biomassa menjadi bahan bakar stabil.
Keuntungannya adalah bahan bakar yang dihasilkan tidak menimbulkan
asap, bernilai kalor tinggi dan menurunkan biaya transportasi bila
dibandingkan dengan biomassa dalam keadaan awalnya.
Tabel 2. Kandungan Lignin, Selulosa And Hemiselulosa Biomassa
Terseleksi
Bahan Baku Lignin (%) Selulosa (%) Hemiselulosa (%)
(%) Kayu 25–30 35–50 20–30
Tongkol
Jagung
15 50.5 31
Jerami Padi 18 32.1 24 Sumber : Jahirul et al., 2012
Kenaikan nilai kalor didapat pada proses pirolisis ini, sebagai
contoh arang yang dihasilkan dari pirolisis mempunyai nilai kalor 2 kali
nilai kalor kayu bakar pada berat yang sama. Arang dengan komponen
penyusun utamanya berupa karbon dapat digunakan sebagai bahan bakar,
filter atau penjerap dengan diolah menjadi karbon aktif, pewarna dengan
diolah menjadi karbon black, arang briket untuk sumber energi, biochar
untuk aplikasi di pertanian dan berbagai kebutuhan industri kimia lainnya.
Penggunaan arang yang lain sebagai reduktor sebagaimana halnya coke
pada industri logam, karena mengandung karbon bebas yang tinggi
(>70%).
3. Pengembangan Biobriket Berbahan Limbah Biomassa
a. Biobriket
Biobriket adalah briket yang dibuat dari bahan biomassa atau limbah
biomassa. Biobriket banyak diterapkan di negara-negara asia bagian
selatan seperti Indonesia, India, dan Thailand (Bhattacharya et al., 1985).
Briket merupakan suatu hasil pemanfaatan biomassa dengan metode
densifikasi atau pengempaan (Lab. Energi dan Elektrifikasi Pertanian IPB,
2008). Briket merupakan bahan bakar padat dengan dimensi tertentu yang
seragam, diperoleh dari hasil pengempaan bahan berbentuk curah, serbuk,
berukuran relatif kecil atau tidak beraturan sehingga sulit digunakan
sebagai bahan bakar dalam bentuk aslinya (Agustina dan A. Syafrian,
2005).
Pengolahan limbah biomassa sebagai produk-produk bernilai
ekonomi tinggi salah satunya binderless biobriquette, akan memiliki
banyak keuntungan antara lain menghemat bahan bakar fossil, mengurangi
pencemaran lingkungan, dan memperkuat sektor ketahanan energi, serta
menjadi kegiatan produktif bernilai ekonomi dengan mengolah limbah
biomassa yang pada awalnya bernilai ekonomi rendah menjadi produk-
produk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kelestarian
lingkungan.
Biobriket didefinisikan sebagai bahan bakar yang berwujud padat
dan berasal dari sisa-sisa bahan organik yang telah mengalami proses
pemampatan dengan daya tekan tertentu. Biobriket dapat menggantikan
penggunaan kayu bakar yang mulai meningkat konsumsinya. Selain itu
harga biobriket relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat. Biobriket
adalah gumpalan-gumpalan atau batangan-batangan arang yang terbuat
dari bioarang. Bioarang merupakan arang yang dibuat dari aneka macam
bahan hayati atau biomassa, misalnya kayu, ranting, daun-daunan, rumput
jerami, ataupun limbah pertanian lainnya (Saleh, 2013). Prinsip dasar dari
pembuatan briket tanpa perekat ini adalah limbah pertanian mampu
membentuk briket dengan penekanan yang dilakukan oleh mesin pres
bertype screw dan perekat diperoleh dari tar yang dihasilkan dari
pemanasan sampel (Budiana, dkk, 2014).
Terdapat dua golongan perekat dalam pembuatan briket, yaitu
perekat yang berasap (tar, pitch, clay, dan molases) dan perekat yang
kurang berasap (pati, dekstrin, dan tepung beras). Pemakaian tar, pitch,
clay, dan molases sebagai bahan perekat menghasilkan briket yang
berkekuatan tinggi tetapi mengeluarkan banyak asap jika dibakar (Saleh,
2013). Banyaknya asap pada saat pembakaran, disebabkan adanya
komponen yang mudah menguap seperti air, bahan organik, dan lain-ain.
Bahan perekat pati, dekstrin, dan tepung beras akan menghasilkan briket
yang tidak berasap dan tahan lama tetapi nilai kalornya tidak setinggi
arang kayu. Bahan perekat dari tumbuh-tumbuhan seperti pati (tapioka)
memiliki keuntungan dimana jumlah perekat yang dibutuhkan untuk jenis
ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bahan perekat hidrokarbon.
Namun kelemahannya adalah briket yang dihasilkan kurang tahan terhadap
kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air
dari udara.
Di negara-negara empat musim yang mengalami musim dingin
sehingga membutuhkan pemanas ruangan, maka arang dapat digunakan
dengan membakarnya pada tungku. Dengan sebelumnya dibriket sehingga
memiliki bentuk kompak dan ekonomis untuk transportasi. Kelebihan
arang untuk bahan bakar antara lain, tidak berasap, tidak berbau, api tidak
memercik, tidak mengandung belerang, nilai kalor yang tinggi dan sisa
pembakaran berupa abu yang dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Penggunaan lain adalah untuk memasak, membakar daging/barbeque, atau
sisha, karena tidak merusak citarasa masakan. Untuk transportasi dan
distribusi supaya ekonomis maka arang dipadatkan atau ditingkatkan
densitasnya dengan cara dibriket.
Selain untuk pasar lokal, hal ini memungkinkan briket untuk
memenuhi kebutuhan eksport. Beberapa negara tujuan eksport briket arang
dari Indonesia antara lain Eropa, Korea Selatan, Jepang dan negara-negara
Timur Tengah. Dengan dibriket maka waktu nyala akan lebih lama dan
memiliki volume yang kecil. Pembriketan adalah cara meningkatkan
densitas suatu bahan dan sering digunakan perekat untuk membuatnya.
Alat berupa hidrolik press maupun ekstruder biasa digunakan untuk
membuat briket arang ini. Hal ini tergantung pada bahan baku dan bentuk
briket yang diinginkan. Untuk jenis briket yang menggunakan perekat
maka pemilihan perekat adalah hal penting karena akan mempengaruhi
mutu briketnya. Penggunaan perekat yang tepat membuat briket tidak
berbau dan merusak citarasa ketika digunakan, pati adalah bahan perekat
yang biasa digunakan sebagai perekat briket.
b. Keuntungan dan Kerugian Pembriketan
Beberapa keuntungan briket biomassa atau limbah pertanian antara lain
(Maninder et al. ,2012) :
a). Briket yang dihasilkan dari briket biomassa bisa digunakan sebagai
pengganti (konversi) batubara, lignit dan kayu bakar.
b). Menjadi salah satu metode alternatif untuk menghemat konsumsi dan
mengurangi ketergantungan terhadap kayu bakar.
c). Dengan densitas yang telah direkayasa memudahkan proses
transportasi dan penjualan.
d). Ukurannya relatif bisa seragam baik dalam ukuran maupun kualitas.
e). Proses ini membantu memecahkan problem pembuangan residual.
f). Proses pembriketan membantu pengurangan penggunaan kayu bakar
dan penggundulan hutan.
g). Memberikan penghasilan tambahan bagi petani dan menciptakan
lapangan kerja baru.
h). Biobriket relatif lebih murah daripada batu bara, minyak atau lignit.
i). Sangat minim atau bahkan tidak ada sulfur (S) dalam briket.
j). Tidak ada fly ash ketika membakar briket.
k). Briket memiliki kualitas yang konsisten, memiliki efisiensi
pembakaran yang tinggi, dan idealnya ukuran untuk pembakaran
sempurna.
Sementara itu, kekurangan dari biobriket biomassa antara lain :
a). Biaya investasi dan masukan konsumsi energi untuk proses yang
sangat tinggi
b). Karakteristik pembakaran yang tidak diinginkan sering terlihat
misalnya, sulit menyalakan, asap, dan sebagainya.
c). Kecenderungan briket untuk lembek atau melonggar densitasnya
apabila terkena air atau berada pada kelembaban tinggi.
4. Teknologi Pembriketan
a. Mesin Pencetak Biobriket
Berdasarkan proses pembuatannya, mesin pencetak biobriket
dikelompokkan menjadi dua yakni piston/ram type yang dibuat dengan
piston atau mechanical press dengan tekanan tinggi; sedangkan screw
type dibuat screw extruder dimana biomasa akan mengalami ekstrusi
secara kontinyu dengan ujung die-nya dipanasi. Pada ram/piston press
keausan mesin yang berkontak dengan biomasa lebih kecil dibandingkan
dengan screw extruder. Konsumsi energi untuk ram/piston type juga lebih
kecil dibandingkan dengan screw extruder type. Tetapi dalam hal kualitas
dan prosedur produksi screw extruder type superior dibandingkan
teknologi piston press. Adanya lubang ditengah-tengah briquette pada
screw type membuat pembakaran lebih seragam dan efisien dan juga
briquette tipe bisa dikarbonisasi menjadi charcoal briquette.
Tabel 3. Perbandingan Mesin Cetak Piston dan Screw Extruder
Uraian Mesin Cetak
Piston
Screw Extruder
Moisture content optimum pada bahan
baku
10-15 % 8-9 %
Keausan pada bagian yang saling kontak Rendah Tinggi
Output dari mesin langkah piston Kontinyu
Tenaga yang diperlukan 50 kWh/ton 60 kWh/ton
Densitas briket 1-1,2 gram/cm3 1-1,4 gram/cm
3
Karbonisasi Tidak mungkin Hasilnya bagus
Homogenitas Tidak homogen Homogen
Performa pembakaran briket Tidak bagus Bagus
Biaya perawatan Tinggi Rendah
Sumber : Grover dan Mishra, 1996
Tipe mesin heated die screw extruder merupakan salah satu jenis
mesin pembriket yang dibuat dengan metode cetak panas tanpa perekat
yaitu dengan meniadakan perekat berpelarut air selama proses
pembuatan briket. Tujuan pemanasan adalah untuk memanasi bahan
baku agar kandungan lignin (salah satu zat yang terdapat dalam bahan
baku adalah lignin, karena lignin bersifat termoplastik sehingga
mampu digunakan sebagai bahan perekat) yang terdapat pada serbuk
kayu pinus mencair, kandungan lignin pada mampu mencair pada
temperatur 80 oC–120
oC dan akan mengeras kembali pada temperatur
kamar. Sifat termoplastik yang terdapat dalam bahan baku
dimanfaatkan sebagai bahan perekat dalam pembuatan briket.
Tabel 4. Keunggulan dan Kelemahan Teknologi Pembriketan
No Proses Keunggulan Kelemahan
1. Pengepresan
piston tanpa
pemanasan
Kualitas lebih baik dari
pembriketan dengan
press biasa karena
densitasnya lebih tinggi
Perlu pengarangan dahulu
Harga mahal
Briket kurang kuat
dibandingkan dengan
sistem screw
Sulit pemeliharaan mesin
No Proses Keunggulan Kelemahan
2. Pembriketan
dengan screw
extruder
disertai panas
Tidak perlu pengarangan
dahulu
Tidak memerlukan bahan
pembantu
Tidak menimbulkan asap dan
bau
Harga jual baik (berpeluang
ekspor)
Mudah pengoperasiannya
Screw mudah aus
Harga mahal
Sumber : Angga Pratama, 2008
b. Kelebihan Binderless Biobriquette
Hasil analisis visual menunjukkan pengaruh temperatur cetakan
terhadap sifat fisis briket adalah sebagai berikut (Danang,dkk., 2012) :
1). Terbentuknya lapisan film yang kuat pada permukaan briket sehingga
briket lebih tahan terhadap gesekan dan getaran/goncangan.
2). Meniadakan penggunaan air sebagai bahan dasar perekat sehingga
briket dapat langsung digunakan tanpa melalui proses pengeringan
terlebih dahulu
3). Mampu mempertahankan nilai kalor bahan baku (tidak ada bahan
tambahan lain).
c. Pirolisis Limbah Padat Pertanian (Biomassa)
Karbonasi atau disebut juga sebagai Pirolisis ekstrim merupakan
proses penguraian biomassa karena panas (Hayati, dkk., 2008). Pirolisis
dapat berlangsung melalui panas yang dihasilkan yaitu pada suhu lebih
dari 150oC. Pirolisis mempunyai manfaat untuk meningkatkan nilai kalor,
mengurangi asap saat pembakaran, menurunkan kadar air dan
mempermudah pemyimpanan dan pendistribusian. Berdasarkan tingkatan
proses pirolisis yang dilakukan, proses pirolisis dapat digolongkan menjadi
pirolisa primer dan pirolisa sekunder. Pirolisa primer adalah proses yang
terjadi secara langsung terhadap bahan bakunya. Pirolisa sekunder adalah
proses yang terjadi pada bahan partikel yang merupakan kelanjutan dari
hasil gas atau uap sebagai hasil dari pirolisa primer. Pirolisis juga dapat
diartikan sebagai proses penguraian panas tanpa melibatkan gas oksigen
dari udara secara langsung. Hasil pirolisis dikenal sebagai arang. Beberapa
keuntungan proses pirolisis antara lain memiliki rasio konversi yang
tinggi, produk-produknya memiliki kandungan energi yang tinggi, produk-
produk yang dihasilkan dapat ditingkatkan menjadi bahan dasar keperluan
lain serta pengontrolan proses yang lebih mudah bila dibandingkan dengan
proses insenerasi (Himawanto, dkk.2011).
Pirolisis adalah dekomposisi termokimia untuk menghasilkan
produk yang berguna, dan proses yang terjadi adalah tanpa menggunakan
oksigen, proses tersebut disebut dengan pirolisis (Basu, 2010). Selama
pirolisis molekul hidrokarbon kompleks dari biomassa akan mengalami
penguraian menjadi molekul yang lebih kecil dan akan menghasilkan
molekul sederhana berupa gas, char, dan cairan (bio-oil).
Gambar 1. Pirolisis Partikel Biomassa (Basu, 2010)
Produk dari pirolisis berasal dari gas yang terkondensasi dan char
yang padat. Gas yang terkondensasi akan mengalami pemutusan ikatan
menjadi gas yang tidak bisa tekondensasi (CO, CO2, CH4, dan H2).
Proses dekomposisi ini melalui reaksi homogenisasi fase gas. Pada reaksi
fase gas, uap yang terkondensasi akan terurai menjadi molekul yang lebih
sederhana. Berdasarkan gambar 1, pada reaksi dekomposisi dari biomassa,
maka akan menghasilkan gas, char, dan cairan (bio-oil). Reaksi pirolisis
yang berasal dari biomassa adalah sebagai berikut :
CnHmOp Σliquid CxHyOz + Σ gas CaHbOc+H2O+C(char)
Proses pirolisis biomassa dan polimer akan mengalami pemutusan
ikatan membentuk molekul-molekul dengan ukuran dan stuktur yang lebih
ringkas. Pirolisis biomassa secara umum merupakan dekomposisi bahan
organik menghasilkan bahan padat berupa arang aktif, gas dan uap serta
aerosol. Gas yang dapat dikondensasikan sebagai bahan cair dan stabil
pada temperatur kamar merupakan senyawa hidrokarbon yang dikenal
sebagai biofuel atau biooil. Istilah tersebut digunakan karena senyawa
organik dalam asam cair secara kimia dapat menggantikan keberadaan
bahan bakar yang bersumber dari minyak bumi. Sedangkan fasa gas yang
dihasilkan dari proses pirolisis bisa berupa uap air atau gas sintetis seperti
hidrogen yang lebih lanjut dapat digunakan sebagai biogas. Secara umum,
komposisi biofuel hasil konversi biomassa adalah sekitar 70% biooil, 15%
karbon aktif, dan 15% gas tak terkondensasikan, tentu saja proses tesebut
sangat tergantung pada metode pirolisis, jenis reaktor, kapasitas, dan
beberapa kondisi operasi. Reaksi pirolisis tentu saja bersifat endotermis.
Panas yang dibutuhkan untuk termolisis adalah panas total yang
disediakan untuk semua proses yang berlangsung meliputi reaksi dan
radiasi. Secara tradisional, pirolisis kayu dapat disebut sebagai distillasi
kayu, dan digunakan untuk menghasilkan metanol, asam asetat, aseton,
terpentin, fenol dan ter kayu. Pemanasan pada kayu hingga temperatur
lebih dari 100o C akan menyebabkan beberapa peruraian termal. Pada
sekitar 270 oC pemuaian termal ini tidak membutuhkan sumber panas
eksternal lagi, karena proses degradasi merupakan proses eksotermis.
Secara bertahap, kayu akan mengalami devolatilisasi :
1. Hemiselulosa terdegradasi pada 200 oC sampai 260
oC.
2. Selulosa pada 240 oC sampai 350
oC.
3. Lignin pada 280 oC sampai 500
oC.
Hemiselulosa yaitu polisakarida yang mengisi ruang antara serat-
serat selulosa dalam dinding sel tumbuhan. Secara biokimiawi,
hemiselulosa adalah semua polisakarida yang dapat diekstraksi dalah
larutan basa (alkalis). Namanya berasal dari anggapan, yang ternyata
diketahui tidak benar, bahwa hemiselulosa merupakan senyawa prekursor
(pembentuk) selulosa. Hemiselulosa dapat dijumpai misal pada lendir
tumbuhan. Monomer penyusun hemiselulosa biasanya adalah rantai D-
glukosa, ditambah dengan berbagai bentuk monosakarida yang terikat
pada rantai, baik sebagai cabang atau mata rantai, seperti D-mannosa, D-
galaktosa, D-fukosa, dan pentosa-pentosa seperti D-xilosa dan L-
arabinosa. Komponen utama hemiselulosa pada Dicotyledoneae
didominasi oleh xiloglukan, sementara pada Monocotyledoneae komposisi
hemiselulosa lebih bervariasi. Pada gandum, ia didominasi oleh
arabinoksilan, sedangkan pada jelai dan haver didominasi oleh beta-
glukan.
Gambar 2 . Struktur Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin
Selulosa merupakan polisakarida dengan rumus (C6H10O5)n. tidak
larut dalam air, air mendidih, asam dan alkali encer, serta KOH pekat.
Dengan H2SO4 pekat dihidrolisa menjadi glukosa. Oleh enzim selulase
diubah menjadi glukosa dan fruktosa. Selulosa (C6H10O5)n adalah polimer
berantai panjang polisakarida karbohidrat, dari beta-glukosa. Selulosa
merupakan komponen struktural utama dari tumbuhan
Lignin adalah zat kayu yang terdapat pada dinding sel yang telah
mengkayu. Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun
tumbuhan. Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung
jenisnya. Lignin terutama terakumulasi pada batang tumbuhan berbentuk
pohon dan semak. Pada batang, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat
komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak
(seperti semen pada sebuah batang beton).
5. Uji Karakteristik Biobriket
Pengujian sampel briket adalah tahapan penting dalam matarantai proses
pengembangan biobriket berbahan limbah pertanian dalam skala yang lebih
besar. Analisis karakteristik pengujian briket akan sangat penting artinya
sebagai bahan evaluasi dan preparasi proses pengembangan selanjutnya,
misalnya ketika akan dilakukan scale-up produksi.
a. Uji Proximate briket
Analisis proksimasi adalah analisis bahan bakar padat yaitu berasal dari
bahan biomassa yang menghasilkan fraksi massa dari kadar air (moisture
content), kadar abu (ash), zat yang mudah menguap (voltille matter) dan
kadar karbon tetap (fixed carbon).
1). Analisis kadar air (Moisture Content)
Air yang terkandung dalam bahan biomassa limbah pertanian
dinyatakan sebagai kadar air. Kadar air briket ialah perbandingan
berat air yang terkandung dalam briket dengan berat kering briket
tersebut. Kadar air briket dapat digunakan untuk menghitung
parameter sifat – sifat briket. Prosedur pengujiannya, sampel bahan
bakar dihaluskan dan diambil sebesar 2 gram, lalu dikeringkan dalam
oven dengan suhu antara 102 oC -103
oC selama 2 jam. Kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Penimbangan dilakukan
sampai diperoleh massa konstan. Kadar air merupakan kehilangan
massa karena pemanasan dibagi dengan massa semula dikalikan 100%
sesuai dengan standar ASTM D-3173.
2). Analisis kadar abu
Abu terdiri dari bahan mineral seperti lempung, silika, kalsium,
serta magnesium oksida dan lain – lain, merupakan bahan yang tidak
dapat terbakar. Abu adalah bahan yang tersisa apabila kayu
dipanaskan hingga berat konstan. Salah satu unsur utama yang
terkandung dalam abu adalah silika dan pengaruhnya kurang baik
terhadap nilai kalor yang dihasilkan.
Prosedur pengujian kadar abu mengikuti standar ASTM D-3174
yaitu menguji sampel bahan bakar padat sebesar 2 gram untuk
diabukan pada cawan pengabuan yang dipanskan pada oven yang
bertemperatur 600 0C selama 4 jam. Setelah asap berhenti yang berarti
karbon hilang, tutup oven dibuka selama 1 menit untuk
menyempurnakan proses pengabuan. Kemudian sampel dimasukkan
dalam desikator dan ditimbang. Massa sampel yang tersisa merupakan
massa abu yang terbentuk.
3). Analisis zat yang mudah menguap (Volatile Matter)
Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti
hidrogen, karbon monoksida (CO), dan metana (CH4), tetapi kadang-
kadang terdapat juga gas-gas yang tidak terbakar seperti CO2 dan
H2O. Volatile matter atau yang sering disebut zat terbang,
berpengaruh terhadap pambakaran briket. Kandungan Volatile
matter mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api.
Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara
kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut
dengan rasio bahan baker (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel
ratio maka jumlah karbon didalam briket yang tidak terbakar juga
semakin banyak.
Prosedur pengujian kadar zat yang mudah menguap dilakukan
sesuai dengan standar pengujian ASTM D-3175 yaitu memanaskan
sampel bahan bakar sebesar 2 gram pada oven hingga temperatur oven
sebesar 900 0C. Setelah temperatur tercapai, cawan dan isinya
dibiarkan terlebih dahulu dalam oven, kemudian didinginkan di
desikator untuk ditimbang. Kehilangan massa ini dikurangi oleh
massa kandungan air merupakan massa zat yang mudah menguap.
4). Analisis kadar karbon tetap (Fixed Carbon)
Komponen yang bila terbakar tidak membentuk gas adalah
FC (fixed carbon). Kandungan FC (fixed carbon) adalah kandungan
karbon tetap yang terdapat pada briket yang berupa arang (char).
Prosedur pengujian kadar karbon tetap dilakukan sesuai standar
pengujian ASTM D-3172 yaitu dengan cara mengurangkan massa
semula sampel bahan bakar dengan massa kadar air, zat yang mudah
menguap dan kandungan abu.
b. Uji Nilai Kalor
Nilai kalor adalah satuan panas yang dihasilkan persatuan bobot bahan
yang mudah terbakar pada proses pembakaran yang cukup oksigen. Nilai
kalor berhubungan langsung dengan kadar Cdan H yang dikandung oleh
bahan bakar padat. Semakin besar kadar keduanya semakin besar nilai
kalor yang dikandung. Menariknya, dengan proses charing (pembuatan
arang), nilai kalor arang yang dihasilkan akan semakin meningkat tajam
(Suyitno, 2011). Pengujian nilai kalor suatu bahan bakar dilakukan sesuai
standar ASTM 2015 yaitu dengan mengambil sampel bahan bakar sebesar
± 1 gram untuk diujikan di bom kalorimeter untuk dianalisa kandungan
kalornya.
c. Uji Thermogravimetri
Thermogravimetric Analysis (TGA) adalah salah satu metode analisis
termal yang dapat digunakan untuk berbagai jenis material. Metode TGA
dilakukan dengan mengukur besar dan laju perubahan massa benda uji
sebagai fungsi dari temperatur atau waktu pada kondisi lingkungan yang
dijaga konstan. Dimana pada pengujian ini akan didapatkan hubungan
antara waktu, temperature dan penurunan massa. Metode ini dapat
digunakan untuk menganalisis karakteristik pembakaran sampel biobriket
dengan massa sampel sekitar 20 gram. Analisa termogravimetry (TGA)
digunakan untuk menentukan stabilitas termal dan fraksi volatile dari suatu
bahan dengan mengamati perubahan massa selama bahan tersebut dipanasi.
Biasanya pengukuran dilakukan dalam atmosfer udara atau inert atmosfer
seperti helium atau argon, massa dicatat sebagai fungsi dari kenaikan
temperatur. Pada kebanyakan kasus TGA dilakukan dalam atmosfer
oksidatif (udara atau oksigen dan campuaran gas inert) dengan kenaikan
temperatur yang linear dan landai. Temperatur akhir ditentukan hingga
massa bahan stabil yang secara tidak langsung menunjukan bahwa reaksi
sudah selesai secara keseluruhan.
Prinsip dasar analisis TGA ialah pemanasan suatu cuplikan bahan
pada tempat khusus dengan temperatur dan waktu tertentu, hingga
mengalami penurunan pada massanya. Dari grafik penurunan massa
terhadap waktu inilah yang nantinya dapat menunjukkan karakteristik dari
bahan yang dipanaskan.
Persamaan umum yang akan digunakan adalah turunan dari persamaan
Arrhenius, yaitu :
Dimana :
dY : Penurunan fraksi massa
A : Faktor eksponensial
E : Energi Aktivasi bahan (J/mol)
T : Temperatur (K)
Dt : Perubahan waktu
e : Bilangan alami (2,71828)
R : Konstanta gas (8,31 J/mol K)
Y dapat diperoleh dari pembagian massa sesaat (mt) dengan massa awal
sampel (mo)
Persamaan tersebut kemudian diubah menjadi :
(
) =
Data hasil penelitian yang diperoleh pertama kali adalah mo , mt dan
temperatur untuk setiap waktu yang kemudian dapat dikonversi menjadi
dY/dt. Dengan membuat ln dari dY/dt maka didapat ln (dY/dt) yang
hasilnya kemudian dibuat grafik hubungan antara ln (dY/dt) dengan
1/Tsolid). Grafik yang terbentuk kemudian dicari persamaan garis lurusnya
melalui regresi linier. Grafik logaritma alami penurunan fraksi terhadap 1/T
menghasilkan persamaan linier.
y=ax + c
(
) =
Sehingga diperoleh :
Y = (
)
ax =
sehingga E = -aR
Secara detail, proses pembakaran bahan bakar padat secara proses fisis
meliputi tiga tahapan, yaitu tahap pengeringan, tahap devolatilisasi, tahap
pembakaran arang, dan akan tersisa abu.
Gambar 3. Tahapan Dalam Proses Pembakaran Bahan Bakar Padat
Pada reaksi pembakaran, kinetika degradasi lignoselulosa yang terjadi lebih
rapat, sehingga penguraian yang terjadi seakan-akan hanya satu komponen
saja. Karakteristik pembakaran yang ditentukan adalah :
a. Peak temperature (PT) yaitu temperatur dimana laju pengurangan
massa adalah maksimum. Untuk PT yang tinggi menunjukkan bahwa
bahan bakar biobriket mempunyai reaktivitas yang rendah.
b. Initial Temperature Volatile Matter (ITVM) yaitu temperatur awal
pertama dimana massa mulai turun. ITVM menandakan adanya
permulaaan lepasnya volatil dari dalam bahan bakar padat.
c. Initial Temperature Fixed Carbon (ITFC) yaitu temperatir kedua
dimana laju pengurangan massa dipercepat akibat permulaan
pembakaran.
PT, ITVM dan ITFC diperoleh dari grafik DTD (diferensial
thermogravimetri). ITVM diperoleh pada saat dY/dt pertama kali
mengalami nilai terendah. ITFC diperoleh pada bahu kurva dY/dt dimana
kemiringan dari kurva dY/dt terhadap T mulai membesar. T diperoleh pada
puncak dY/dt.
6. Kriteria dan Standard Biobriket
a. Kriteria Preferensi Biobriket
Syarat biobriket yang baik adalah biobriket yang permukaannya
halus dan tidak meninggalkan bekas hitam di tangan. Selain itu, sebagai
bahan bakar, briket juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Saleh,
2013) :
a. Mudah dinyalakan
b. Tidak mengeluarkan asap
c. Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun
d. Kadar air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada
waktu lama
e. Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan
suhu pembakaran) yang baik.
Secara umum beberapa spesifikasi briket yang dibutuhkan oleh konsumen
adalah sebagai berikut :
a. Daya tahan briket.
b. Ukuran dan bentuk yang sesuai untuk penggunaannya.
c. Bersih (tidak berasap), terutama untuk sektor rumah tangga.
d. Bebas gas-gas berbahaya.
e. Sifat pembakaran yang sesuai dengan kebutuhan (kemudahan dibakar,
efisiensi energi, pembakaran yang stabil).
Tabel 5. Sifat briket arang buatan Jepang, Amerika, Inggris dan Indonesia
No Sifat (Properties) Jepang
(Japan)
Amerika
(USA)
Inggris
(Great
Britain)
Indonesia
(Indonesia) 1. Kadar air (Moisture content), % 6 – 8 6,2 3,6 7,57
2. Kadar abu (Ash content), % 3 – 6 8,3 5,9 5,51
3. Kadar zat mudah menguap
(Volatile matter), %
15 – 30 19 - 28 16,4 16,14
4. Kadar karbon terikat
(Fixed carbon), %
60 – 80 60 75,3 78,35
5. Kerapatan (Density), g/cm3 1,0 - 1,2 1 0,48 0,44
6. Keteguhan tekan
(Compressive streght), kg/cm
60 – 65 62 12,7 -
7. Nilai kalor bakar (Calor value),
kal/g
6.000 -
7.000
6.230 7.289 6.814
Sumber : Hendra dan Winarni (2003)
Tabel 6. Sifat Fisik dan Kimia Arang Kayu dan Briket Arang Kayu
No Sifat (Properties) Arang Kayu Briket Arang
Kayu
1. Kadar air (Moisture content), % 0,39 4,19
2. Kadar abu (Ash content), % 2,77 2,66
3. Kadar zat mudah menguap
(Volatile matter), %
23,01 18,62
4. Kadar karbon terikat
(Fixed carbon), %
74,22 74,51
5. Nilai kalor (Calor value), kal/g 5945 6648
Sumber : Hendra (2003)
7. Asas Lingkungan Terkait
Asas 1. Semua energi yang memasuki sebuah organisma (hidup) populasi atau
ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau
terlepaskan. Energi dapat diubah dari bentuk satu ke bentuk yang
lain, tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan, atau diciptakan.
Pada dasarnya, biomassa limbah pertanian merupakan sumber energi
yang dapat dimanfaatkan melalui teknologi konversi yang sesuai.
Asas 2. Tak Ada Sistem Pengubah Energi yang Betul-Betul Efisien. Energi
berubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain, dengan proses
pengubahan yang tidak efisien.
Biomassa limbah pertanian sebagai residu hasil pertanian masih
menyimpan potensi energi. Pengubahan energi selalu menimbulkan
residu lain yang perlu dilakukan pengendalian, agar dampaknya dapat
diminimalkan.
Asas 3. Materi, Energi, Ruang, Waktu, dan Keanakaragaman, Semuanya
Termasuk Kategori Alam.
Semakin banyak jenis biomassa yang dimanfaatkan sebagai sumber
pangan maupun energy, semakin banyak preferensi yang dapat dipilih.
Gambar 4. Bagan Asas-Asas Lingkungan
Sumber Alam adalah
segala sesuatu yang
memungkinkan
organisme hidup
untuk meningkatkan
pengubahan energi
ASAS 5 Dua jenis sumber
alam dasar yaitu
yang merangsang
dan tidak dapat
merangsang
penggunaan lebih
lanjut
ASAS 11 Sistem yang sudah
mantap (dewasa)
akan
mengeksploitasi
sistem yang belum
mantap (belum
dewasa)
ASAS 14 Derajat pola
keteraturan
fluktuasi populasi
bergantung pd
sejarah populasi itu
sendiri
ASAS 3
Materi, energi,
ruang waktu dan
keanekaragaman
adalah kategori
sumber alam
ASAS 1
Energi tak pernah
hilang, hanya
berubah bentuk
ASAS 2
Semua Proses
pengubahan tidak
cermat
ASAS 4 Mengenai
kejenuhan dan
ketidakjenuhan
ASAS 6 Genotip dengan daya
pembiakan tertinggi,
sering terjadi pada
generasi berikutnya
ASAS 9 Keanekaragaman
sebanding dengan
biomassa dibagi
produktivitasnya
ASAS 8 Sebuah habitat
dapat jenuh atau
tidak oleh
keanekaragaman
takson, bergantung
pada kemampuan
nicia memisahkan
takson tersebut
dalamlingkungan
hidup.
ASAS 7 Kemantapan
keanekaragaman
komunitas lebih
tinggi pada
lingkungan yang
mudah diramal
ASAS 10 Perbandingan
biomassa dibagi
produktivitas
meningkat dalam
lingkungan yang
stabil
ASAS 13 Lingkungan yang
secara fisik mantap
memungkinkan
peningkatan
keanekaragaman
biologi dan
stabilitas populasi
ASAS 12 Kesempurnaan
adaptasi suatu
sifat/tabiat
bergantung pada
kepentingan
relatifnya dalam
lingkungan hidup.
28
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang biobriket berbahan baku limbah biomassa telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu baik yang tertuang dalam
berbagai publikasi, jurnal nasional maupun jurnal internasional dengan ragam variasi bahan, tujuan, data maupun metode yang digunakan.
Tabel 7. Penelitian Terkait yang Telah Dilakukan oleh Peneliti Sebelumnya
No Judul Peneliti Tahun Metode Hasil
1. Rekayasa Heated Die Screw
Extruder Untuk Pembuatan
Binderless Biobriquette
Eko Prasetyo
Budiana, Dwi
Aries
Himawanto , D.
Danardono,
DPT, Purwadi
Joko Widodo
2014 Eksperimental Penelitian bertujuan melakukan rekayasa peralatan
heated die screw extruder guna menghasilkan briket
tanpa perekat (binderless biobriquette) berbahan baku
limbah pertanian potensial.
Hasil pengujian peralatan menunjukkan bahwa terdapat
keterkaitan antara kecepatan putar dari screw dengan
suhu die, semakin rendah kecepatan putar screw maka
suhu untuk memanaskan die guna mengeluarkan tar
sebagai perekat alami semakin rendah pula.
Ditemukan bahwa pemilihan komposisi kecepatan
putar screw dan suhu die yang tidak tepat dapat
menyebabkan heated die screw extruder mengalami
blocking.
2. A study of lignocellulosic
biomass pyrolisis via the
pyrolisis of cellulose,
hemicellulose and lignin
Stylianos, D.,
Kalogiannis,
Konstantinos,
G., Iliopoulou,
Eleni.F.,
2013 Eksperimental Penelitian tentang studi dari lignocellulosic pirolisis
biomassa dengan pirolisis dari selulosa, hemiselulosa
dan lignin berdasarkan kurva penurunan berat dan
turunan penurunan berat sampel biomasa terseleksi.
Selulosa terurai dengan kisaran suhu antara 280 oC dan
29
No Judul Peneliti Tahun Metode Hasil
Michailof,
Chrysoula.M.,
Pilavachi,
Petros.A.,
Lappas,
Angelos.A
360 oC dengan laju penguraian tertinggi yang sedang di
amati terjadi pada suhu 339 oC dan untuk total residu
padatan pada 500 oC dan 800
oC masing-masing antara
10,7 dan 7,4% berat.
Lignin terurai diatas kisaran suhu yang sangat lebar
yaitu dari 140 oC sampai 600
oC, dengan intensitas
rendah puncak sekitar suhu 380 oC. Residu lignin pada
suhu 500 oC tertinggi pada saat diamati, sekitar 53,4%
berat dan pada suhu 800 oC residu memiliki berat
41,2% berat. Hasil residu yang tinggi ini disebabkan
pada struktur lignin, yang mana terdiri dari jaringan
kompleks dari senyawa aromatik adalah sangat sulit
untuk terdekomposisi dan oleh karena itu memiliki
stabilitas termal yang tinggi.
3. Karakterisasi Briket Dari
Limbah Pengolahan Kayu
Sengon Dengan Metode
Cetak Panas
Danang Dwi
Saputro, Widi
Widayat,
Rusiyanto,
Harwin
Saptoadi, Fauzun
2012 Eksperimental Konversi biomassa menjadi briket mampu menaikkan
gross calorific value, mampu menaikkan sifat fisis
bahan baku (densitas, nilai kalor, kadar air), semakin
tinggi tekanan kompaksi mampu menaikkan densitas,
compression strength, durability dan stability.
Besarnya tekanan kompaksi tidak berpengaruh
terhadap kandungan energi per satuan massa, nilai
kalor bahan bakar dipengaruhi oleh seberapa besar
kandungan kadar karbon terikat yang terdapat dalam
bahan baku, meningkatnya kandungan kadar karbon
30
No Judul Peneliti Tahun Metode Hasil
terikat suatu bahan seiring dengan meningkatnya nilai
kalor.
Hubungan antara densitas dengan nilai kalor
menunjukkan kandungan energi per volume,
kandungan energi per volume naik seiring dengan
naiknya densitas briket.
Penelitian juga menyebutkan bahwa densitas naik
seiring dengan naiknya tekanan kompaksi tetapi tidak
berpengaruh terhadap nilai kalor briket.
Tekanan kompaksi berpengaruh terhadap energi
densitas yang terkandung dalam briket, semakin tinggi
tekanan kompaksi energi densitas naik.
Pemanasan cetakan mempunyai keuntungan dalam
pembuatan briket yaitu mampu mencairkan kandungan
lignin yang terdapat dalam bahan baku sehingga
mampu menjadi perekat dalam pembuatan briket.
Pembuatan briket dengan metode cetak panas mampu
untuk meniadakan bahan perekat berbahan dasar air
sehingga proses pembuatan briket lebih cepat, briket
langsung dapat digunakan tanpa proses pengeringan
dan mampu mempertahankan nilai kalor bahan baku.
4. Natural binders and solid
bridge type binding
mechanisms in briquettes and
pellets made from corn stover
Kaliyan N.,
Morey R. V
2010 Eksperimental Pembuatan briket dengan dapat dilakukan dengan
metode cetak panas dengan menggunakan bahan baku
biomassa yang belum dikarbonisasi. Tujuan pemanasan
untuk mengaktifkan perekat alami (lignin &
31
No Judul Peneliti Tahun Metode Hasil
and switchgrass Factors
affecting strength and
durability of densified
biomass products
hemiselullosa) yang terdapat pada bahan baku. Perekat
alami yang terdapat dalam biomassa dapat diaktifkan
dengan cara menaikan temperature.
Aktivasi perekat alami dengan tekanan kompaksi tinggi
dan menaikkan temperatur mampu untuk memproduksi
briket dan pellet yang mempunyai durabilitas tinggi.
5. Peningkatan Kualitas
Pembakaran Biomassa
Limbah Tongkol Jagung
sebagai Bahan Bakar
Alternatif dengan Proses
Karbonisasi dan
Pembriketan
Untoro Budi
Surono
2010 Eksperimental Proses karbonisasi yang dilakukan dapat meningkatkan
kandungan karbon dan nilai kalor briket dari tongkol
jagung.
Kondisi operasi karbonisasi terbaik diperoleh pada
suhu 380°C, sementara untuk pembriketan dilakukan
pada 97,6 MPa yang dapat menaikkan kadar karbon
sampai 67% dan nilai kalor sampai 65%.
6. Uji Kualitas Fisik dan Uji
Kinetika Pembakaran Briket
Jerami Padi Dengan dan
Tanpa Bahan Pengikat
Sugeng Riyanto 2009 Eksperimental Briket biomasa jerami padi memiliki kualitas optimum
pada tekanan pembriketan 1000 kg/cm2 untuk variasi
tanpa menggunakan pengikat maupun dengan
menggunakan pengikat.
Secara umum, penggunaan pengikat dalam briket
biomasa jerami padi menyebabkan penurunan sifat-
sifat fisik, hal ini terlihat pada sifat densitas, relaksasi,
dan ketahanan.
7. Karakteristik Kuat Tekan dan
Pembakaran Briket Kayu
Glugu dan Sekam Padi
Erpan Bintarpo 2005 Eksperimental Briket kayu glugu dan sekam padi lebih reaktif dari
batubara karena memiliki harga ITVM dan PT yang
lebih rendah. Laju pembakaran briket kayu glugu dan
32
No Judul Peneliti Tahun Metode Hasil
sekam padi lebih besar dari briket batubara tetapi
waktu tinggalnya (residence time) lebih singkat dari
briket batubara.
Tidak ada korelasi antara energi aktivasi dengan
reaktivitas briket. Kadar CO tertinggi terjadi pada
proses devolatilisasi. Briket kayu glugu memiliki kadar
emisi CO lebih besar dibandingkan briket batubara.
8. Kajian Teknis Dan Ekonomis
Pengolahan Briket Bungkil
Biji Jarak Pagar Sebagai
Bahan Bakar Tungku
Djajeng
Sumangat dan
Wisnu Broto/
Balai Besar
Penelitian dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian
2009 Eksperimental
dan Observasi
Lapang
Meneliti jenis dan konsentrasi perekat yang sesuai
untuk briket bungkil dan menentukan keragaan briket
bungkil biji jarak pagar sebagai bahan bakar serta
mengkaji kelayakan ekonomisnya sebagai bahan bakar
pengganti minyak tanah.
Penggunaan tapioka dan gaplek sebagai perekat briket
bungkil biji jarak tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap semua parameter uji kecuali pada kadar
air. Sedangkan konsentrasi perekat tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap semua parameter uji.
9. Penelitian Nilai Kalor Briket
Tongkol Jagung Dengan
Berbagai Perbandingan Sekam
Padi
Andi Mangkau,
Abdul Rahman &
Glendi Bintaro
(Fakultas Teknik,
Unhas)
2011 Eksperimental Penelitian tentang pembuatan briket limbah tongkol
jagung dan sekam padi dengan berbagai perbandingan
dan melakukan pengujian nilai kalor atas (HHV) serta
menentukan sifat termal yaitu nilai kalor, kandungan
air, kadar abu, kandungan volatile matters dan fixed
carbon.
33
C. Kerangka Pemikiran
Biomassa limbah padat pertanian berupa sekam padi, jerami padi, tongkol jagung,
kulit singkong dan serbuk gergaji kayu sengon potensial untuk dikembangkan menjadi
energi alternatif khususnya di sekitar kawasan atau sentra-sentra produksi utama.
Pemanfaatan tersebut dalam rangka mendukung upaya mengurangi emisi gas rumah kaca,
keberlanjutan sistem budidaya pertanian serta mendukung eksplorasi dan pengembangan
sumber energi terbarukan. Seiring dengan makin menyusutnya cadangan bahan bakar
fosil, perlu terus dilakukan penelitian dan pengembangan sumber-sumber energi alternatif
yang terbarukan. Perlu dilakukan penelitian lapang untuk mengeksplorasi data ragam
pemanfaatan limbah padat pertanian di tingkat petani, untuk kemudian dapat dipetakan
potensi ketersediaan bahan baku yang memungkinkan untuk digunakan sebagai pupuk
dan bahan bakar (biogas dan biobriket). Sementara itu, penelitian skala laboratorium
bertujuan untuk membuat sampel biobriket yang dibuat melalui mesin screw extruder
sekaligus menguji karakteristik pembakaran dari berbagai jenis sampel terseleksi.
Analisis uji pembakaran sampel biobriket baik yang belum dikarbonisasi maupun yang
telah terkarbonisasi, penting artinya sebagai dasar evalusi dan/atau preparasi
pengembangan atau produksi dalam skala yang lebih besar. Perhitungan ekonomis
diperlukan sebagai melengkapi ilustrasi kelayakan pemanfaatan limbah padat pertanian
dalam skala komersial. Analisis lingkungan ditekankan pada bentuk-bentuk mitigasi
dan/atau adaptasi dari pemanfaatan limbah padat pertanian, baik sebagai pupuk organik,
biogas maupun binderless bio-briquette.
D. Hipotesis
1. Limbah padat pertanian berupa sekam padi, jerami padi, tongkol jagung, kulit
singkong dan serbuk gergaji sengon belum dimanfaatkan secara optimal di tingkat
kelompoktani.
2. Teknologi pembriketan dengan mesin tipe screw extruder dan pirolisis (karbonisasi)
akan meningkatkan kualitas termal dan karakteristik pembakaran biobriket limbah
padat pertanian.
Potensi Limbah Padat
Pertanian
Pemanfaatan kembali
(reuse)
Visi Pertanian
Berkelanjutan
(Pertanian Tanpa
Limbah)
34
Penelitian terdahulu
dilakukan terhadap bahan
baku tunggal dan teknologi
produksi yang berbeda.
Penelitian terkait belum
melibatkan aspek sosial
ekonomi dan lingkungan
secara komprehensif
Penelitian Eksperimen
(Laboratorium)
Produksi Sampel
Biobriket Limbah
Padat Pertanian (15
varians)
Penelitian Observasi
Lapang
Terdapat Potensi Sebagai
Pupuk Organik dan
Sumber Energi Alternatif
Perlu penelitian lapang untuk
mengetahui profil dan ragam
pemanfaatan existing termasuk
untuk pupuk organik&biogas
Perlu dilakukan penelitian
eksperimental pemanfaatan
limbah padat pertanian sebagai
energi alternatif biobriket
Uji Karakteristik
bahan dan
Pembakaran Sampel
Biobriket
Aspek Sosial-
Ekonomi dan
Lingkungan
terkait
Analisis Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Padat Pertanian
Pemanfaatan
sebagai Pupuk
Organik&biogas
Gambar 5. Bagan Kerangka Umum Pemikiran Penelitian