6
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. ( Smeltzer, Suzanne C. 2001 )
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. ( Mansjoer, Arif. 2000 )
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. ( Reeves,
Charlene J. 2001 )
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi
jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
(Brunner & Suddart, 2000)
Klasifikasi Fraktur
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar:
a. Fraktur tertutup (Closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara
frakmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
7
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (Open/Compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan
kulit yang memungkinkan/potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah.
Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokal fragmen minimal.
2) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
3) Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilangnya jaringan sekitar.
8
2. Menurut derajat kerusakan tulang :
a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan lainnya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang
dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Bila antara patahan tulang masih terjadi hubungan sebagian. Salah satu
sisi patah yang lainnya biasanya hanya bengkok yang sering disebut
green stick.
3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Menurut jumlah garis patahan.
9
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama. ( Smeltzer, Suzanne C. 2001 )
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi
mereka masih mempunyai struktur yang sama. Lapisan yang paling luar
disebut periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan
dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut
benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks
sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun
solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut
Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal
Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut lamellae,
ruangan sempit antara lamellae disebut lakunae (didalamnya terdapat
10
osteosit) dan kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang
menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di
dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang
melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi
untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan
tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya
terdapat Trabekulae (batang) dari tulang. Trabekulae ini terlihat seperti
spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalamnya terdapat
bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini
terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel
darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang
terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa
menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
2. Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang
baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan
osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel
tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-
elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar
(gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan
sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu,
didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang
11
menyebabkan tulang keras, sedangkan aliran darah dalam tulang antara
200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang. (Black,J.M,et al.
1993)
3. Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar
dan sering menahan beban berat. (Ignatavicius, Donna. D. 1995)
Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan
medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya
tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi
seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena
tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari
tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan
bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis.
Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa
pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga
medula (marrow) adalah pusat dari diafisis. (Black, J.M, et al. 1993)
4. Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),
korpus, dan ujung bawah.
a. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan
bagian dari bangunan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang
12
lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas
dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu tuberositas
mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu
tuberositas minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah
tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
b. Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah
benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial
ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf
muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
c. Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi
dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terletak tidak di
sisi sebelah dalam berbentuk gelendong benang tempat persendian
dengan ulna dan disebelah luar terdapat kapitulum yang bersendi
dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus
terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn
C. 1997)
5. Fungsi Tulang
13
a. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
b. Tempat melekatnya otot.
c. Melindungi organ penting (jantung, paru, otak dll)
d. Tempat pembuatan sel darah.
e. Tempat penyimpanan garam mineral.
C. Etiologi/Predisposisi
1. Trauma direk (langsung)
Trauma langsung menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan/trauma itu, misalnya : trauma akibat kecelakaan.
2. Trauma indirek (tidak langsung)
Menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan, yang patah biasanya bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.
3. Patologis
Disebabkan oleh adanya proses patologis misalnya tumor, infeksi atau
osteoporosis tulang karena disebabkan oleh kekuatan tulang yang
berkurang dan disebut patah tulang patologis.
4. Kelelahan/stress
Misalnya pada olahragawan mereka yang baru saja meningkatkan kegiatan
fisik, misalnya pada calon tentara. Dimana ini diakibatkan oleh beban lama
atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur kelelahan.
( Price Sylvia A. 1995)
14
D. Patofisiologi
Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras
akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi
patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi discontinuitas di tulang
tersebut.
Fraktur dapat berupa fraktur terbuka dimana ujung tulang yang patah
menembus keluar dari kulit sehingga berhubungan dengan dunia luar atau
dapat berupa fraktur tertutup dimana ujung tulang yang patah masih berada
didalam kulit. Ujung tulang yang patah sangat tajam dan berbahaya bagi
jaringan disekitarnya, karena saraf dan pembuluh darah berada didekat tulang
sehingga sering kali terkena jika terjadi fraktur. Lesi neurovaskuler ini dapat
terjadi karena laserasi oleh ujung atau karena peningkatan tekanan akibat
pembengkakan atau hematoma.
Fraktur tertutup dapat sama berbahayanya dengan fraktur terbuka
karena jaringan lunak yang cidera sering kali mengeluarkan darah cukup
banyak. Perlu diingat bahwa setiap ada kerusakan kulit didekat daerah fraktur
dapat dianggap sebagai jalan masuk bagi kontaminasi.
Fraktur terbuka memiliki resiko terjadinya kontaminasi disamping
hilangnya darah. Jika fragmen tulang yang keluar atau menembus kulit
dimasukan lagi, maka ujung tulang yang telah terkontaminasi bakteri akan
menyebabkan bakteri ikut masuk kedalam jaringan sehingga dapat
menyebabkan infeksi. Infeksi ini akan menyebabkan sulitnya penyembuhan
15
tulang dan dapat menyebabkan komplikasi sepsis. ( Diklat Ambulan Gawat
Darurat 118. 2007)
E. Manifestasi Klinik
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Pemendekan tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
bawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan /edema
6. Kurang/hilang sensasi
7. Pergerakan abnormal. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT-scan / MRI: Memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan sel darah putih adalah respon stres normal
setelah trauma.
4. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
( Doenges, M.1999)
16
G. Penatalaksanaan
Empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu:
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, harus jelas untuk mentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi / Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup,
traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
17
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi dan kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi. ( Price Sylvia A. 1995 )
H. Proses Penyembuhan Tulang
1. Fase Hematoma
Proses terjadinya hematoma dalam 24 jam. Apabila terjadi fraktur
pada tulang panunjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati
kanalikuli dalam sistem haversian mengalami robekan pada daerah luka
dan akan membentuk hematoma diantar kedua sisi fraktur.
2. Fase Proliferasi/ Fibrosa
Terjadi dalam waktu sekitar 5 hari. Pada saat ini terjadi reaksi
jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan, karena
adanya sel-sel osteogenik yang berpoliferasi dari periosteum untuk
membentuk kalus eksternal serta pada daerah endosteum membentuk kalus
internal sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
3. Fase Pembentukkan Kalus
18
Waktu pembentukan kalus 3-4 minggu. Setelah pembentukan
jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal
dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
4. Fase Osifikasi
Pembentukan halus mulai mengalami perulangan dalam 2-3
minggu, patah tulang melalui proses penulangan endokondrol, mineral
terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan
keras.
5. Fase Remodeling
Waktu pembentukan 4-6 bulan. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi
reabsorbsi secara eosteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada
tulang dan kalus eksternal secara perlahan-lahan menghilang. ( Smeltzer,
Suzanne C. 2001 )
I. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Shock
Shock hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan ( banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi ) dan kehilangan cairan ekstrasel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstermitas, toraks,
pelvis dan vertebra.
b. Sindrom Emboli Lemak
19
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi
stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
c. Sindrom Kompartemen
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartemen otot karena edema
atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misal : iskemi,
cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
20
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
f. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. ( Smeltzer, Suzanne C.
2001 )
2. Komplikasi dalam waktu lama
a. Malunion
Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed Union adalah proses penyembuhan yang terus
berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal. Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Nonunion
21
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang. ( Price Sylvia A. 1995 )
J. Pengkajian Fokus
1. Aktifitas/Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan
jaringan, nyeri).
2. Sirkulasi
a. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takikardia (respon stress, hipovolemia)
c. Penurunan/ tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian
kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
d. Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
3. Neurosensori
a. Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot
b. Kebas/ kesemutan (parestesia)
c. Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit ) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
22
d. Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
4. Nyeri/ kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf
b. Spasme/ kram otot
5. Keamanan
a. Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
( Doenges, M.1999 )
K. Pathways Keperawatan
Trauma (langsung atau tidak langsung), Patologi, Kelelahan
23
L. Fokus Intervensi dan Rasional
Fraktur Tertutup
Kehilangan Volume
Cairan
Syok
HipovolemikSindroma kompartemen
keterbatasan aktifitas
Perubahan fragmen tulang
kerusakan pada jaringan dan
pembuluh darah
Perdarahan
Hematoma pada daerah
fraktur
Aliran darah ke daerah distal
berkurang atau terhambat
(warna jaringan pucat, nadi
lemah, cianosis, kesemutan)
Resiko Disfungsi
Neurovaskuler
Gangguan
Mobilitas Fisik
Ujung tulang menembus otot,
kulit dan pembuluh darah
LukaGangguan
Intergritas Kulit
Kuman mudah masuk
Resiko Tinggi
Infeksi
Fraktur
Fraktur Terbuka
Diskontinuitas tulang
Defisit
Perawatan diri
Pergeseran Frarmen TulangNyeri
Gangguan Fungsi
24
1. Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman nyeri terpenuhi.
Kriteria hasil: Mengatakan nyeri berkurang atau menghilang, pasien dapat
mengekspresikan rasa nyeri yang minimal, ekspresi wajah pasien rileks,
mampu melakukan tehnik relaksasi dan distraksi.
Intervensi :
a. Pertahankan imobilisasi pada bagian yang patah dengan tirah baring,
gips, spalek, traksi
Rasional: Mengurangi nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang dan
perluasan luka pada jaringan.
b. Tinggikan posisi ektermitas yang terkena
Rasional: Meningkatkan aliran darah, mengurangi edema dan
mengurangi rasa nyeri
c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif
Rasional: Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler
d. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama
e. Evaluasi keluhan nyeri ( catat lokasi nyeri, karakteristik, sifat,
intensitas, skala dan tanda-tanda nyeri non verbal ).
25
Rasional: Mempengaruhi penilaian intervensi, tingkat kegelisahan
mungkin akibat dari presepsi/reaksi terhadap nyeri
f. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Rasional: Diberikan obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri yang
hebat
2. Diagnosa II : Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan tidak terjadi disfungsi
neurovaskuler perifer
Kreteria hasil : Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh
terabanya nadi, kulit hangat/kering, sensasi normal, tanda vital stabil dan
ahluaran urine adekuat
Intervensi :
a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi
b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu
ketat.
Rasional: Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya
penyesuaian keketatan bebat/spalk
c. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
26
Rasional: Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali
pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi
d. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
Rasional: Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.
e. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan
kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Rasional: Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya
intervensi sesuai keadaan klien
3. Diagnosa III : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka/tulang neuromuskuler.
Tujuan : Ekstremitas yang rusak dapat digerakkan.
Kreteria hasil : Pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri
Intervensi :
a. Kaji tingkat mobilitas yang bisa dilakukan pasien
Rasional: Mengetahui kemandirian pasien dalam mobilisasi
b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan
c. Pertahankan penggunaan spalek dan elastis verban
27
Rasional: Mempertahankan imobilisasi pada tulang yang patah.
d. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan
klien.
Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien
e. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia)
f. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
Rasional: Mempertahankan hidrasi tubuh, men-cegah komplikasi
urinarius dan konstipasi
g. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi
Rasional: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual
h. Kolaborasi pemberian diet TKTP
Rasional: Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh
i. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien.
4. Diagnosa IV : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial,
edema paru, kongesti)
28
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien bisa
bernapas secara normal
Kreteria hasil : Mempertahankan fungsi pernapasan adekuat, tidak terjadi
Dispneu/sianosis, frekuensi pernapasan 16-24 x/mnt
Intervensi :
a. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
Rasional: Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi
b. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
Rasional: Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan
kongesti paru
c. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan
kortikosteroid sesuai indikasi.
Rasional: Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan
tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak
d. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan
trombosit
Rasional: Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan
gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan
kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan
dengan emboli lemak
29
e. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya
stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan
sianosis sentral
Rasional: Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan
tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya
emboli paru tahap awal
5. Diagnosa V : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan
pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur
invasif/traksi tulang)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
adanya infeksi
Kreteria hasil : Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti : rubor,
tumor, dolor, kolor. luka bersih, kering dan tidak berbau.
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.
Rasional: Mengetahui keadaan umum pasien dan dugaan adanya infeksi
b. Ganti balutan luka secara septik aseptik setiap hari
Rasional: Meminimalkan infeksi sekunder dari alat yang digunakan.
c. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protocol
Rasional: Mencegah infeksi sekunder dan mempercepat penyembuhan
luka.
d. Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan dan mempertahankan
sterilitas insersi pen
30
Rasional: Untuk mencegah kontaminasi adanya infeksi.
e. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Rasional: Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan
secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus.
f. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
Rasional: Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis.
6. Diagnosa VI : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur
terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
gangguan integritas kulit
Kreteria hasil : Pasien tidak merasakan gatal, nyeri, dan lebih merasa
nyaman, pertumbuhan luka sesuai dengan waktunya.
Intervensi :
a. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
Rasional: Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas
b. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan
kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi
31
c. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
Rasional: Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat
kontaminasi fekal.
d. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi
pen/traksi.
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien. ( Doenges, M.1999 )
Daftar Pustaka
32
Price, Sylvia Anderson. ( 1995 ). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – ProsesPenyakit. Jakarta; EGC.
Smeltzer, Suzanne C. ( 2001 ). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunnerdan Suddarth. Jakarta; EGC.
Doenges, Marilynn E. ( 1999 ). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawat Pasien. Jakarta; EGC.
Diklat Ambulan Gawat Darurat 118. ( 2007 ). BTCLS ( Basic Trauma andCardiac Life Support ). Jakarta; Ambulan Gawat Darurat 118
Reeves, Charlene J. ( 2001 ). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta; SalembaMedika