BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori
keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota
perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (principal) dengan manajemen
(agent). Hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau lebih
pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa
atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan
kepada agen (Jensen dan Meckling, 1976). Keagenan sebagai suatu hubungan
berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk
bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan
mendelegasikan tanggung jawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk
bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan pemilik (Michelson et al.,
1995).
Pemilik dan manajemen diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai
rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat
kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal
ini disebabkan agent juga memiliki kepentingan untuk memaksimalkan
kesejahteraannya. Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan
keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi hasil
sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen untuk
berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan
harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen
(Faozi, 2002).
Mereka para tenaga-tenaga profesional, bertugas untuk kepentingan perusahaan
dan memiliki keleluasaan dalam menjalankan dan mengelola perusahaan. Para
profesional tersebut berperan sebagai agen (manajemen) didalam suatu perusahaan
dan memiliki peran penting dalam memperoleh laba perusahaan yang dikelolanya.
Semakin besar perusahaan yang dikelola memperoleh laba semakin besar pula
keuntungan yang didapatkan agen tersebut, sementara pemilik perusahaan (pemegang
saham) hanya bertugas mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan yang dikelola
oleh manajemen serta mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen
untuk memastikan bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan. Namun pada
sisi lain pemisahan seperti ini juga memiliki segi negatif.
Keleluasaan pengelola manajemen perusahaan untuk memaksimalkan laba
perusahaan bisa mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan pengelolanya
sendiri dengan beban dan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan.
Pemisahan ini dapat pula menimbulkan kurangnya transparansi dalam penggunaan
dan di perusahaan serta keseimbangan yang tepat antara kepentingan-kepentingan
yang ada, misalnya antara pemegang saham dan manajemen perusahaan dan antara
pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas.
Teori keagenan sebagai suatu kontrak dibawah satu atau lebih prinsipal yang
melibatkan agen untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan
melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik
prinsipal maupun agen diasumsikan orang ekonomi rasional dan semata-mata
termotivasi oleh kepentingan pribadi. Agen bertanggung jawab kepada prinsipal
dengan membuat laporan pertanggungjawaban setiap periode tertentu (Jensen dan
Meckling, 1976).
Hubungan antara prinsipal dan agen pada hakekatnya sukar tercipta karena
adanya kepentingan yang saling bertentangan. Kepentingan yang saling bertentangan
tersebut menyebabkan keraguan kepada agen terhadap kewajaran laporan
pertanggung jawaban yang dibuat akibat manipulasi. Untuk meminimalisasi dampak
dari konflik kepentingan dapat dilakukan dengan adanya monitoring dari pihak ketiga
yaitu auditor independen. Auditor melakukan fungsi monitoring pekerjaan manajer
melalui sarana laporan pertanggungjawaban. Tugas auditor adalah memberikan
pendapat atas kewajaran laporan keuangan perusahaan (Badera dan Surya Antari,
2007).
2.1.2 Manajemen Laba
Manajemen laba diungkapkan sebagai, “some ability to increase or decrease
reported net income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha
manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan
laba sesuai dengan keinginan manajer (Copeland, 1968:10), selanjutnya manajemen
laba adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses
penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan,
menaikkan, dan menurunkan laba. Manajemen laba muncul sebagai dampak masalah
keagenan yang terjadi karena adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemegang
saham (principal) dan manajemen perusahaan (agent) (Schipper, 1989).
Manajemen laba adalah tindakan manajer yang menaikkan atau menurunkan
laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak
mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan
dalam jangka panjang (Fischer dan Rozenzwig, 1995) .
Manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi yang
dilakukan manajemen terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan
penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi
sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan dalam laporan
keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggung
jawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai
asset. Manajer juga memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode
penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan
stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika
manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak
luar (Healy dan Wahlen, 1999).
Manajemen laba merupakan upaya manajer untuk mempengaruhi informasi
dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Manajemen laba (earnings management)
dilakukan dengan menyesuaikan komponen-komponen akrual dalam laporan
keuangan, sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan
sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun
laporan keuangan, alasannya komponen akrual merupakan komponen yang tidak
memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya
komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan
perusahaan (Sulistyanto, 2008).
Berdasarkan definisi di atas, dapat terlihat adanya kesamaan makna yang
digunakan untuk setiap definisi, yaitu langkah tertentu yang disengaja untuk
mengatur laba, campur tangan dalam penyusun laporan keuangan, kesalahan atau
kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan, tindakan untuk mengatur laba,
fleksibilitas aturan yang digunakan dalam memenuhi target laba, serta menggunakan
kreatifitas manajemen untuk mengubah laporan keuangan walau menggunakan
terminologi yang berbeda, definisi-definisi itu mempunyai kesamaan satu dengan
yang lainnya yaitu menyepakati bahwa manajemen laba merupakan suatu upaya yang
dilakukan oleh manajemen dalam mempengaruhi dan mengintervensi laporan
keuangan.
Pemahaman atas manajemen laba dibagi menjadi dua. Pertama, melihatnya
sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (oportunistic
earnings management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif
efficient contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba
memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan
dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-
pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi
nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat
perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu (Scott,
2000).
2.1.2.1 Pola dalam Manajemen Laba
Menurut Scott (1997) terdapat empat pola atau aktivitas dalam melakukan
manajemen laba yaitu:
1) Taking a bath
Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara melaporkan rugi yang besar
sekaligus jika perusahaan mengalami kerugian sehingga dapat menciptakan
peluang laba yang besar di masa yang akan datang. Pola ini dapat dijelaskan
dalam penelitian mengenai bonus plan hypothesis, dimana manajemen akan
meminimalkan laba karena kondisi perusahaan saat ini rugi.
2) Income minimization
Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada
laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya.
Pola ini serupa dengan taking a bath. Income minimization dilakukan pada
saat tingkat profitabilitas perusahaan cukup tinggi. Contoh penerapan pola ini
adalah pada saat perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari
political cost.
3) Income maximization
Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada
laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya.
Income maximization dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bonus yang
lebih besar, meningkatkan keuntungan, serta untuk menghindari dari
pelanggaran atas kontrak utang jangka panjang. Income maximization
dilakukan dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya
dan memindahkan biaya untuk periode lain.
4) Income smoothing.
Pola ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat laba yang stabil dan
mengurangi fluktuasi naik turunnya laba sehingga perusahaan terlihat stabil.
Dalam hal ini laba akan diturunkan jika terjadi peningkatan yang tajam dan
menaikkan laba jika tingkat laba yang diperoleh berada dibawah tingkat laba
yang ditentukan. Tingkat laba yang stabil membuat pemilik dan kreditor lebih
memiliki kepercayaan terhadap manajer.
2.1.2.2 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba dalam Penelitian ini.
Teori akuntansi positif mengemukakan terdapat tiga hipotesis yang
melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
1) Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya
yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar
berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan.
2) Debt Convenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung
memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba
(Sweeney, 1994). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan
pihak eksternal.
3) Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut
dikarenakan dengan laba perusahaan yang tinggi mengakibatkan pemerintah
akan mengenakan jumlah pajak pendapatan perusahaan sesuai dengan laba
yang diperolehnya.
Sementara itu, Scott (2000:302) mengemukakan beberapa motivasi
terjadinya manajemen laba:
1) Bonus Purposes
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan
laba saat ini (Healy, 1985).
2) Political Motivations
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan
karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan
peraturan yang lebih ketat.
3) Taxation Motivations
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan
jumlah pajak pendapatan yang harus dibayarkan.
4) Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka, dan jika kinerja perusahaan buruk,
mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5) Initital Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan
menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan
manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan
harga saham perusahaan.
6) Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa
perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
2.1.2.3 Kondisi untuk Praktek Manajemen Laba dalam Penelitian ini.
Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa laba telah dijadikan sebagai suatu
target dalam proses penilaian prestasi usaha suatu departemen secara khusus
(manajer) atau perusahaan (organisasi) secara umum. Laba dan tingkat keuntungan
juga merupakan alat untuk mengurangi biaya keagenan (agency costs), dari sisi teori
keagenan. Saat keuntungan dijadikan sebagai patokan dalam pemberian bonus, hal ini
akan menciptakan dorongan kepada manajer untuk memanipulasi data keuangan agar
dapat menerima bonus seperti yang diinginkannya, selain itu, mengingat akan
pentingnya keuntungan atau perolehan secara akuntansi (accounting income) untuk
pembuatan keputusan oleh banyak pihak, misalnya investor (Gumanti, 2000).
Richardson (1998) menemukan bukti bahwa adanya hubungan antara
ketidakseimbangan informasi dengan manajemen laba. Hipotesis yang diajukan
adalah bahwa tingkat ketidakseimbangan informasi akan mempengaruhi tingkat
manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Manajemen laba terjadi
karena adanya motif dari teori akuntansi positif yang dijelaskan oleh Watt
Zimmerman (1986), dimana dalam penelitian ini kondisi biaya politis yang besar
dalam perusahaan manufaktur yang besar akan mendorong manajemen untuk
menurunkan laba guna menghindari perhatian publik.
2.1.2.4 Model Empiris Manajemen Laba
Model yang digunakan untuk mengukur manajemen laba dalam penelitian ini
adalah modifikasi model Jones karena model ini dianggap lebih baik diantara model
yang lain untuk mengukur manajemen laba karena model ini memisahkan antara non
discretionary accrual dengan discretionary accruals. Penggunaan discretionary
accruals sebagai proksi manajemen laba dihitung dengan menggunakan Modified
Jones Model yang disempurnakan oleh Dechow (1995)
2.1.2.5 Manajemen Laba Akrual
Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam laporan
keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Secara teknis, akrual
merupakan perbedaan antara laba dan kas. Akrual merupakan komponen utama
pembentuk laba dan akrual disusun berdasarkan estimasi-estimasi tertentu.
Manajemen laba akrual dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen
akrual dalam laporan keuangan, sebab pada komponen akrual dapat dilakukan
permainan angka melalui metode akuntansi yang digunakan sesuai dengan keinginan
orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan laporan keuangan (Sulistyanto
(2008) dalam Nuraini (2012).
Komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas
secara fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus
disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan, misalnya saja biaya
depresiasi, untuk mengetahui besarnya biaya ini kita harus mengetahui biaya, umur
manfaat (estimation), dan metode depresiasi yang digunakan. Nilai biaya memang
sudah tetap dan tidak bisa diubah-ubah, namun umur manfaat dan metode depresiasi
bisa diubah sesuai dengan kebijakan manajemen (discretion management).
Secara umum, akrual merupakan produk akuntansi dimana dapat dianggap
memiliki jumlah yang relatif tetap dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan aturan
akuntansi terkait juga tidak mengalami perubahan, oleh karenanya, perubahan akrual
yang terjadi dapat dianggap sebagai hal yang tidak normal (abnormal). Perubahan ini
merupakan hasil penggunaan kebijakan (discretion) manajemen yang berlebihan. Bila
pada saat yang sama manajemen juga memiliki insentif/motif untuk memanipulasi
laba, maka perubahaan akrual yang terjadi dianggap sebagai bentuk manipulasi laba
yang dilakukan manajemen.
Manajemen laba dapat dilakukan dengan cara kebijakan akrual murni (pure
accrual) yaitu dengan discretionary accrual yang tidak memiliki pengaruh terhadap
arus kas secara langsung (Roychowdhury, 2006), namun akrual diskresioner ini tidak
bisa diobservasi langsung dari laporan keuangan. Biasanya manajemen akrual
dilakukan pada akhir periode ketika manajer mengetahui laba sebelum direkayasa
sehingga dapat mengetahui berapa besar manipulasi yang diperlukan agar target laba
tercapai. Oktorina (2008) mengatakan, kebijakan akrual dibatasi oleh GAAP dan
manipulasi akrual di tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan ini dapat terdeteksi oleh
auditor, investor ataupun badan pemerintah sehingga dapat berdampak pada harga
saham bahkan menyebabkan kebangkrutan atau kasus hukum. Salah satu contoh dari
akrual adalah pendapatan yang masih harus diterima, pendapatan diterima di muka,
beban yang masih harus dibayar, beban dibayar di muka, beban depresiasi,
persediaan, serta cadangan kerugian.
Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas
operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu:
1. Nondiscretionary accruals
Nondiscretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba yang wajar dan
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum, serta memiliki hubungan
yang terpola dengan aspek-aspek lain perusahaan seperti total akrual, pendapatan,
piutang, dan aktiva tetap. Banyak dari model estimasi akrual nondiskresioner
perusahaan dari level akrual masa lalu perusahaan sebelum periode ketika tidak
terdapat manajemen laba yang sistematik (Jones, 1991).
2. Discretionary accruals
Discretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba yang bervariasi
sesuai dengan kebijakan yang diambil manajemen. Akrual diskresioner tidak bisa
diobservasi langsung dari laporan keuangan, maka harus diestimasi melalui beberapa
model. Model tersebut membentuk ekspektasi pada level akrual non diskresioner dan
jumlah deviasi yang diobservasi secara aktual, hal ini diasumsikan sebagai akrual
nondiskresioner. Sehingga akrual diskresioner didefinisikan sebagai akrual melalui
model yang digunakan.
2.1.2.6 Discretionary Accrual
Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari
manajemen laba yang dilakukan manajer. Sistem akuntansi akrual sebagaimana yang
ada pada prinsip akuntansi, dapat memberikan keleluasaan kepada manajemen
mempengaruhi tingkat pendapatan perusahaan. Manajemen dapat mempengaruhi laba
dengan komponen discretionary accruals (Halim, 2005).
Menurut akuntansi basis kas, pendapatan dicatat hanya pada saat kas diterima
dan beban dicatat pada saat kas keluar, sedangkan pada akuntansi berbasis akrual,
transaksi-transaksi yang mempengaruhi laporan keuangan perusahaan dicatat pada
periode di mana transaksi tersebut terjadi bukan pada saat kas diterima atau
dikeluarkan.
Informasi yang disajikan pada basis akrual mengungkapkan hubungan yang
mungkin penting dalam memprediksi masa depan sehingga dapat lebih bermanfaat
untuk tujuan pengambilan keputusan, oleh karena itu basis akrual yang banyak
dipakai dan sesuai dengan prinsip akuntansi.
Cara menghitung akrual diskresioner (DA) dengan menggunakan Modified
Jones model, yaitu menaksir akrual total dideflasi dengan aset total awal tahun untuk
mengurangi heteroskedastisitas. Model tersebut adalah sebagai berikut:
TAit/Ait-1 = α(1/Ait-1)+β1((ΔREVit-ΔRECit)/Ait-1)+β2(PPEit/Ait-1)+εit
Keterangan:
ΔREVit = pendapatan perusahaan i pada periode t dikurangi pendapatan pada periode
t-1.
ΔRECit = piutang perusahaan i pada periode t dikurangi piutang pada periode t-1.
PPEit = property, plan and equipment (aset tetap berwujud kotor) perusahaan i pada
periode t.
Ait-1 = aset total perusahaan i pada periode t-1 (awal tahun).
α & β1 = nilai koefisien perusahaan
2.1.3 International Financial Reporting Standards (IFRS)
IFRS merupakan standar yang pada konsepnya berbasis principles based dan
pengukurannya menggunakan fair value, hal ini tentu sangat berbeda dengan GAAP
yang pada konsepnya berbasis rules based dan pengukurannya menggunakan
historical cost. Pengukuran menggunakan historical cost sekarang ini mulai
ditinggalkan karena dalam beberapa situasi dipertimbangkan tidak mencerminkan
kondisi yang sesungguhnya.
Keunggulan dari historical cost adalah bahwa historical cost lebih objektif
dan lebih bisa diverifikasi karena didasarkan pada transaksi. Sedangkan kelemahan
historical cost tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya, dengan demikian pihak
manajemen bisa memanfaatkan kelemahan historical cost untuk melakukan
manajemen laba, misalnya pada saat kinerja perusahaan sedang buruk apabila nilai
wajar aset pada tanggal pelaporan lebih besar dari nilai tercatatnya maka pihak
manajemen akan menjual aset tersebut sehingga ada keuntungan yang terjadi diakui
di dalam laporan laba rugi (Cahyati, 2011).
IFRS yang pada pengukurannya lebih menggunakan fair value diharapkan
mampu mencerminkan kondisi yang sesungguhnya dimana pos-pos aset dan liabilitas
yang dimiliki lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya pada tanggal laporan
keuangan. Namun demikian terdapat beberapa pendapat yang menolak fair value
karena dapat menyebabkan volatilitas dalam laporan keuangan dan mengurangi
prediksi dari laba (Siregar, 2010 dalam Qomariah, 2013).
Qomariah (2013) menjelaskan bahwa US GAAP merupakan standar rules
based yang akan meningkatkan konsistensi dan keterbandingan antar perusahaan dan
antar waktu, namun di sisi lain mungkin kurang relevan karena ketidakmampuan
standar merefleksi kejadian ekonomi yang sebenarnya dari entitas yang berbeda antar
perusahaan dan antar waktu, serta semakin kompleksnya aturan akan semakin
memberikan celah manajer untuk melakukan kecurangan.
IFRS yang lebih menggunakan principal based memungkinkan manajer
memilih perlakuan akuntasi yang merefleksikan transaksi atau kejadian ekonomi
yang sebenarnya, namun IFRS akan lebih membutuhkan penalaran, judgement, dan
pemahaman yang cukup mendalam dari aturan dalam menerapkannya.
Kerangka konseptual pada IFRS yang paling menarik adalah persyaratan
pengungkapan yang lebih banyak (full disclosure) dibanding dengan standar
akuntansi GAAP, dengan adanya pengungkapan yang lebih banyak tersebut akan
berdampak pada penurunan asimetri informasi, sehingga manajer akan cenderung
lebih sulit untuk melakukan kecurangan.
Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan
bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini
bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga
laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah
digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain.
Exposure Draft PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan telah
diterbitkan. ED PSAK 1 merupakan adopsi IAS 1 Presentation Financial Statement,
proses adopsi ini merupakan salah satu program konvergensi IFRS yang sedang
dilakukan oleh Dewan Standar Akuntansi keuangan (DSAK IAI).
ED PSAK 1 ini menetapkan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan
bertujuan umum (general purpose financial statements) yang selanjutnya disebut
laporan keuangan agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan periode
sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas lain. Pernyataan ini mengatur
persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan
persyaratan minimum isi laporan keuangan.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 21 April 2009
kemarin telah menyetujui Exposure Draft (ED) PSAK 1 (revisi 2009) tentang
Penyajian Laporan Keuangan untuk disebarluaskan dan ditanggapi oleh kalangan
anggota IAI, Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan
tinggi dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat.
ED PSAK 1 (Revisi 2009) merupakan penyajian laporan keuangan yang
merupakan adopsi dari IAS 1, yaitu Presentation of Financial Statements merevisi
PSAK 1 (1998) tentang penyajian laporan keuangan. ED PSAK 1 (Revisi 2009)
mengatur mengenai kepatuhan terhadap SAK, ED PSAK 1 (revisi 2009) mengatur
bahwa entitas membuat pernyataan kepatuhan atas SAK dalam laporan keuangan
mengenai penggunaan standar IFRS.
Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi,
yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh
IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh
negara-negara maju, sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara
bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara – negara berkembang seperti Indonesia.
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1. Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi
ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap
PSAK yang berlaku.
2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian
terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan, selanjutnya dilakukan
penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK
& IFRS secara bertahap, kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak
penerapan PSAK secara komprehensif.
Indonesia merupakan bagian dari IFAC (International Federation of
Accountant) yang harus tunduk pada SMO (Statement Membership Obligation), salah
satunya adalah dengan menggunakan IFRS sebagai accounting standard.
Konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai
anggota G20 forum.
2.1.3.1 Dampak Implementasi IFRS
Implementasi IFRS dapat memberikan dampak positif dan negatif dalam
dunia bisnis dan jasa audit di Indonesia. Berikut ini adalah berbagai dampak dalam
penerapan IFRS :
1. Akses ke pendanaan internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan
akan lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.
2. Relevansi laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak
menggunakan nilai wajar.
3. Kinerja keuangan (laporan laba rugi) akan lebih fluktuatif apabila harga-harga
fluktuatif.
4. Smoothing income menjadi semakin sulit dengan penggunaan balance sheet
approach dan fair value.
5. Principle-based standards mungkin menyebabkan keterbandingan laporan
keuangan sedikit menurun yakni bila penggunaan professional judgment
ditumpangi dengan kepentingan untuk mengatur laba (earning management).
6. Penggunaan off balance sheet semakin terbatas.
2.2 Pembahasan Penelitian Sebelumnya
Sejumlah penelitian seperti penelitian oleh Barth et al., (2008) yang meneliti
kualitas akuntansi sebelum dan sesudah dikenalkannya IFRS dengan menggunakan
sampel sebanyak 327 perusahaan di 21 negara yang telah mengadopsi IAS secara
sukarela antara tahun 1994 dan 2003. Dalam penelitian ini ditemukan bukti bahwa
setelah diperkenalkannya IFRS, tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah,
relevansi nilai menjadi lebih tinggi, dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat
waktu, dibandingkan dengan masa sebelum transisi di mana akuntansi masih
berdasarkan local GAAP.
Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas
laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan
penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba, selanjutnya
penelitian oleh Anggraita (2012) yang menemukan adanya penurunan manajemen
laba pada masa setelah adopsi IFRS.
Penelitian ini didukung oleh Chen et al., (2010) dan Armstrong et al., (2010).
Chen et al. (2010) juga menemukan bukti empiris bahwa dengan adopsi IFRS secara
wajib dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan menurunkan manajemen
laba dibandingkan sebelum mengadopsi IFRS.
2.3 Rumusan Hipotesis
2.3.1 Perbedaan Manajemen Laba Sebelum dan Setelah Penerapan IFRS pada
Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
Pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi
domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat
kredibilitas tinggi. Standar akuntansi IFRS meminta persyaratan akan item-item
pengungkapan yang semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi
dan manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan
perusahaan. Standar akuntansi IFRS menjanjikan laporan lebih akurat, laporan
keuangan yang lebih komprehensif dan tepat waktu, sehingga beberapa negara di
Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS
(Ball dalam Ismail et al 2013). IFRS dengan pendekatan principled based-nya
dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen dengan pengetatan aturan dan pendekatan fair value dalam penyajian
laporan keuangannya.
Standar akuntansi merupakan pedoman dalam penyusunan dan penyajian
laporan keuangan, setelah kejatuhan perekonomian Amerika Serikat mulai dari kasus
manipulasi Enron hingga kegagalan investasi properti di sana yang menyebabkan
krisis ekonomi global beberapa tahun lalu, nampaknya kepercayaan dunia akan
standar akuntansi Amerika (US. GAAP) ikut memudar. Hal ini dapat dilihat dari
pengadopsian standar Internasional (IFRS) yang membudaya baik Negara maju
maupun berkembang di kawasan Eropa, Asia, Afrika dan lainnya. Pendekatan
principled based yang diusung oleh Standar IFRS dipercaya dapat lebih
meningkatkan kualitas informasi dalam laporan keuangan dengan cara mempersempit
celah manajemen untuk melakukan tindakan manajemen laba. Faktor-faktor lain
seperti ukuran perusahaan, financial leverage, market to book ratio dan institutional
investor juga perlu diperhatikan dalam meneliti manajemen laba tersebut (Rudra,
2012).
Sejumlah penelitian seperti Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS
akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini
ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi
nilai laba. Bao dan Bao (2004) dalam Ismail (2013) menyatakan bahwa jika kualitas
laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan
akan meningkat, sebaliknya jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai
perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun.
Penelitian oleh Barth et al., (2008) yang meneliti kualitas akuntansi sebelum
dan sesudah dikenalkannya IFRS dengan menggunakan sampel sebanyak 327
perusahaan di 21 negara yang telah mengadopsi IAS secara sukarela antara tahun
1994 dan 2003. Dalam penelitian ini ditemukan bukti bahwa setelah
diperkenalkannya IFRS, tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, relevansi nilai
menjadi lebih tinggi, dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu,
dibandingkan dengan masa sebelum transisi di mana akuntansi masih berdasarkan
local GAAP.
Penelitian ini didukung oleh Chen et al., (2010) dan Armstrong et al., (2010).
Chen et al., (2010) juga menemukan bukti empiris bahwa dengan adopsi IFRS secara
wajib dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan menurunkan manajemen
laba dibandingkan sebelum mengadopsi IFRS. Callao dan Jarne (2010)
membandingkan diskresioneri akrual perusahaan yang listing di 11 pasar saham eropa
sesaat setelah pengadopsian IFRS. Mereka menemukan bahwa IFRS mendukung
diskresioneri akuntansi dan perilaku oportunistik.
Sejumlah penelitian seperti Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS
akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini
ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi
nilai laba. Bao dan Bao (2004) dalam Ismail (2013) menyatakan bahwa jika kualitas
laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan
akan meningkat sebaliknya, jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai
perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun.
Alasan pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar
akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat
kredibilitas tinggi. Standar akuntansi IFRS meminta persyaratan akan item-item
pengungkapan yang semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi
dan manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan
perusahaan. Standar akuntansi IFRS menjanjikan laporan lebih akurat, laporan
keuangan yang lebih komprehensif dan tepat waktu, sehingga beberapa negara di
Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS
(Ball dalam Ismail et al 2013). IFRS dengan pendekatan principled based-nya
dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen dengan pengetatan aturan dan pendekatan fair value dalam penyajian
laporan keuangannya.
Penelitian oleh Anggraita (2012) yang menemukan adanya penurunan
manajemen laba pada masa setelah adopsi IFRS khususnya pada komponen
Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebagai salah satu komponen proksi
manajemen laba. Mengacu pada pernyataan IAI tahun 2009 yang menyebutkan
bahwa IFRS dapat mempersulit tindakan manajemen laba melalui penerapan fair
value dan balance sheet approach, maka asumsi dalam penelitian ini adalah
perusahaan yang mengadopsi IFRS secara penuh cenderung memiliki tingkat
manajemen laba yang lebih kecil. Wang dan Campbell (2012) yang menyatakan
adopsi IFRS menurunkan manajemen laba tetapi bukti ini belum cukup kuat dan
masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian Rudra dan Bhattacharjee
(2012) mengenai apakah adopsi IFRS mempengaruhi manajemen laba pada
perusahaan di India mendapatkan hasil bahwa adopsi IFRS berpengaruh secara positif
terhadap manajemen laba, namun penelitian lebih lanjut akan dilakukan demi
mendapatkan bukti yang lebih kuat.
Penelitian yang dilakukan oleh Krismiaji et al. (2013) menemukan bahwa
adopsi IFRS berpengaruh secara positif terhadap relevansi informasi dan reliabilitas
informasi. Rohaeni dan Titik (2011) dalam pembahasannya menjelaskan bahwa
selama periode ketika perusahaan mengadopsi IFRS, perusahaan lebih sedikit
melakukan income smoothing, karena penerapan IFRS akan berdampak kepada
semakin sedikitnya pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 1 yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
H1 : Terdapat perbedaan manajemen laba sebelum dan setelah penerapan IFRS pada
perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
2.3.2 Perbedaan Manajemen Laba antara Perusahaan Manufaktur yang
Tergolong Perusahaan Besar dan Kecil Pasca IFRS.
Berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori
akuntansi positif (positive accounting theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi
manajemen laba yang dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh
perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Tiga hipotesis menurut Watts dan
Zimmerman (1986) antara lain hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis),
hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis), serta hipotesis biaya politik
(the political cost hypotesis).
Dalam hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dinyatakan bahwa
semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula
kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi
laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat
perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan
menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya
politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi,
dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.
Perusahaan manufaktur yang tergolong besar terindikasi tindakan manajemen
laba yang tinggi pula. Berdasarkan hipotesis dari Watts dan Zimmerman (1986) yang
menjelaskan salah satunya hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dimana
semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula
kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi
laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat
perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan
menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya
politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi,
dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis, oleh karena
itu penerapan IFRS juga cenderung lebih berpengaruh terhadap perusahaan yang
tergolong besar daripada perusahaan yang tergolong kecil.
Motivasi dilakukannya manajemen laba untuk menghindari pajak. Taxation
Motivations yaitu motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba
yang paling nyata (Scott, 2000). Berbagai metoda akuntansi digunakan dengan tujuan
penghematan jumlah pajak pendapatan yang harus dibayarkan. Manajemen
perusahaan besar dengan laba tinggi cenderung melakukan manajemen laba untuk
menghindari pajak, sehingga mendorong hipotesis jika perusahaan besar akan lebih
merasakan dampak diterapkannya IFRS karena perusahaan yang tergolong
perusahaan besar masih memiliki tingkat manajemen laba yang lebih tinggi.
H2 : Terdapat perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang
tergolong perusahaan besar dan perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan
kecil pasca penerapan IFRS.