27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kejahatan (Tindak Pidana)
1. Pengertian Kejahatan
Secara etimologis kejahatan adalah perbuatan manusia memiliki
perilaku jahat seperti dalam hal seseorang tersebut melakukan
pembunuhan, perampokan, pencurian, dan hal lainnya. Sutherland
menyatakan bahwa ciri-ciri kejahatan merupakan perilaku yang telah
diatur larangannya oleh pemerintah karena hal ini pperbuatan yang sanagt
merugikan bagi negara dan perbuatan tersebut juga dapatmempengaruhi
atau menimbukan reaksi dari hukum yang berlaku sehingga hal ini berupa
pelanggaran5. Sedangkat secara sosiologis dapat dikatakan bahwa
kejahatan itu berdasarkan dari norma-norma yang berlaku di dalam
masyarakat itu sendiri sehingga dapat dikatakan juga tidak selalu melulu
kaitannya dengan perundang-undangan.6 Arif Gosita merumuskan
kejahtan yakni sebagai berikut :
Yaitu kejahatan merupakan hasil interaksi yang terjadi didalam
pemasyarakatan dan kemudian hal itu saling mempengaruhi, lalu arif
gosita menambahkan bahwa kejahatan bukan hanya meliputi seputar
undang-undang pidana saja tetapi hal tersebut juga dapat menyebabkan
5 Topo Santoso, Kriminologi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 14. 6 Ibid, hal. 100.
28
kerugian serta penderitaan yang sangat dianggap salah dan hal ini pastilah
jahat.
Pengertian Kejahatan diklasifikasikan menjadi 3 pengertian terlepas
dari berbagai pendapat yakni7:
1. Dari sudut pandang Yuridis, berdasarkan dari sudut pandang yuridis
kejahatan merupakan perilaku yang menentang moral-moral
kemanusiaan, merugikan manusia, menimbulkan keresahan pada
masyarakat, dan sudah pasti telah melanggar undang-undang yang
berlaku yang tercakup dalam undang-undang pidana (KUHP).
Dalam KUPH tidak menentukan pengertian kejahatan itu, tetapi
dapat diketahui bahwa segala bentuk kejahatan merupakan semua
tindakan yang telah di rumuskan dalam ketentuan KUHP.
2. Dari sudut pandang sosiologis, berdasarkan dari sudut pandang
sosiologis kejahatan adalah perbuatan manusia yang timbul oleh
masyarakat itu sendiri, atau juga dapat dikatakan kejahatan adalah
segala tingkah laku, perbuatan, ucapan yang dalam hal politis,
ekonomis serta sosio psikis bisa sangat merugikan masyarakat,
menyebabkan ketidakamanan bagi masyarakat, dan melanggar
norma-norma yang ada, baik itu peraturan yang berupa tertulis dalam
unfang-undang maupun yang tidak tertulis).
3. Dari sudut pandang kriminologis, berdasarkan dari sudut pandang
kriminologis kejahatan merupakan semua perilaku manusia di
7 Ibid, hal. 100
29
bidang sosial, polittis, dan ekonomi yang dapat menimbulkan
korban-korban baik perseorangan maupun beberapa orang serta
dapat juga terjadi pada golongan-golongan masyarakat. Hal ini
sanagt merugikan masyarakat.
2. Pengertian Tindak Pidana
Pemberian definisi ataupun pegertian istilah terhadap tindak
pidana merupakan hal yang sulit karena pengertiannya secara
yuridis sama halnya dengan memberikan definisi ataupun
pengertian terhadap istilah hukum. Hukum pidana diperuntukkan
untuk membahas dan memahami pidana itu sendiri sebagai sanksi
atas delik. Pidana merupakan terjemahan dari dari bahasa Belanda
yaitu straf yang berarti hukuman. 8
Hukum Pidana memiliki pengertian dalam kepustakaan
mengenainya yang digunakan dengan istilah delik, dengan kata lain
tindak pidana tidak dapat diartikan begitu saja karena pengertiannya
bersifat abstrak yang dapat saja diambil dari fakta -fakta peristiwa
yang kongkrit yang terjadi lansung di dalam masyarakat tetapi
dengan adanya ini tindak pidana harus diartikan dalam hal mengenai
ilmiah.
Bambang Poernomo mengemukakan pendapat Pompe
mengenai pengertian tindak pidana yang dapat dibedakan menjadi 9
8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Bina Aksara, 1987), hal. 37. 9 http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html, diakses
pada hari Kamis tanggal 21 November pukul 08.55 WIB.
30
a. menurut teori definisi tindak pidana atau “strafbaar feit”
merupakan pelanggaran norma, dilakukan oleh pelanggar
dengan diancam pidana agar t idak terganganggunya ketatana
hukum dan menjaga ketertiban umum.
b. menurut hukum positif definisi tindak pidana atau “straafbaar
feit” merupakan kejadian kejadian sehingga dapat
dirumuskan menjadi peraturan perundang-undangan yang
jika dilanggar mendapatkan sanksi atau untuk dihukum.
Menurut Prof. Moeljatno, tindak pidana merupakan perbuatan
yang jelas dilarang oleh hukum yang berlaku serta jika dilanggar
ada ancaman sanksinya bagi si pelanggar aturan tersebut. 10
Tindak Pidana menurut E.Utrech yaitu perbuatan pidana dapat
juga disebut dengan delik, perbuatan (doen positif atau handelen)
atau lalai (natalennegatif), dan akibatnya yaitu timbulnya keadaan
atau peristiwa karena hal yang teah lalai tersebut. 11
Dalam pernyataan Barda Nawawi Arief yakni “tindak pidana
secra umum dapat diartikan baik perbuatan melawan hukum secara
formal ataupun dengan secara materiil12
Terdapat dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif,
unsur objektif yaitu unsur yang berkaitan dengan diri pelaku pidana
10 Ibid, 11 Ibid, 12 Ibid,
31
dan segala yang termasuk didalam hatinya. Sedangkan unsur
objektif yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku seperti
keadaan-keadaan yang harus dilakukan oleh si pelaku. 13
Dalam tindak pidana terdapat unsur subjektif yaitu adalah: 14
1. dolus atau culpa (kesengajaan atau ketidaksengajaan)
2. Voornemen (maksud) yaitu terdapat pada percobaan (pogging) yang
hal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana,
3. Ooogmerk ( berbagai maksud) yitu seperti dalam hal perbuatan
kejahatan misalnya pemalsuan, pencurian, pemerasan, penipuan dan
lainnya;
4. Perencanaan awal (voorbedachte raad) hal ini terdapat di kejahatan
seperti pembunuhan yang temaksud di dalam Pasal 340 KUHP;
5. Yang terdapat didalam Pasal 308 KUHP yang memaksudkan
perasaan takut.
Dalam tindak pidana juga ada unsur objektif yaitu:15
1. Wederrechtelicjkheid (sifat melanggar hukum)
13 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 1997),
hal. 193. 14 Ibid 15 Ibid,
32
2. Kesempatan melakukan tindak pidana seperti keaadaan si pelaku
yang merupakan seorang pegawai hal ini juga merupaka kualitas
dari si pelaku.
3. Penyebab tindak pidana yang menyebabkan akibat dari
perbutanyaanya (kausalitas)
Prof. Moeljatno berpendapat bahwa unsur tindak pidana yaitu:16
a. Perbuatan/tindakan
b. Hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, dan;
c. Ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar peraturan hukum.
R. Tresna berpendapat bahwa tindak pidana memiliki unsur yakni: 17
a. Rangkaian tindakan;
b.Hal-hal yang dapat melanggar undang-undang
c. Adanya tindak penghukuman.
Perbedaan pendapat-pendapat oleh ahli hukum sangatlah terlihat teatpi
tidak pada hakikatnya yang jelas memiliki persamaan dan tidak
memisahkan unsur-unsur tentang tindakan dan tentang orang lain.
Delik formil dan delik materiil juga dikenal di dalam hukum pidana
yaitu delik formil adalah delik yang dirumuskan dengan lebih fokus ke
perbuatan dan tindakan yang dilarang dengan ancaman pidana yang
16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana) , (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 79. 17 Ibid,
33
termasuk di dalam undang-undang. Delik ini lebih melihat ke perbuatan
yang telah jelas dilanggar seperti Pasal 362 tentang pencurian didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan delik materiil yaitu delik yang
dirumuskan lebih fokus kepada akibat yang ditimbulkan dari hal yang telah
dilarang dan dikenakan sanski yang terdapat di dalam undang-undang.
Hukum pidana merupakan pengaturan-pegaturan mengenai kejahtan-
kejahatan yang dapat menganggu ketertiban umum dan kesejahteraan
sosial. Jikalau individu atau kelompok melakukan pelanggaran maka akan
diancam dengan sanksi-sanksi atau hukuman yang bisa menyebabkan
siksaan bagi si pelanggar. Pelanggaran juga memiliki arti lain yaitu dapat
berupa diartikan sebagai pidana yang ringan seperti kurungan ataupun
denda, sedangkan kejahataan itu sendiri adalah tindaka pidana yang
termasuk berat yang sanksi atau hukumannya bukan seperti pidana ringan
sebelumnya tetapi dapat berupa hukuman mati, penjara dan biasanya dapat
ditambahkan lagi hukuman, pencabutan hak tertentu serta penyitaan barang-
barang tertentu.18
Beberapa macam bentuk perbuatan pidana dapat dibedakan yakni: 19
1. Delik Formil, merupakan suatu yang dikenal di dalam hukum
pidana yaitu delik formil adalah delik yang dirumuskan dengan
lebih fokus ke perbuatan dan tindakan yang dilarang dengan
18 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2004),
hal. 60. 19 Ibid, hal. 63.
34
ancaman pidana yang termasuk di dalam undang-undang. Delik
ini lebih melihat ke perbuatan yang telah jelas dilanggar seperti
Pasal 362 tentang pencurian didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
2. Delik Materiil yaitu delik yang dirumuskan lebih fokus kepada
akibat yang ditim bulkan dari hal yang telah dilarang dan
dikenakan sanski yang terdapat di dalam undang-undang.
3. Delik Colus, merupakan perbuatan yang jelas dilakukan dengan
sengaja oleh pelaku pidana seperti halnya di dalam Pasal 338
KUHP tentang pembunuhan berencana
4. Delik Culpa, merupakan perbuatan yang dilakukan dengan tidak
sengaja oleh pelaku pidana, bisa saja dapat berupa kelalaiannya
sehingga dapat menimbulkan akibat kematian seseorang atau
membuat seseorang tersebut terluka, hal ini dimaksudkan di
dalam Pasal 359 KUHP tentang kealpaan/kelalaian.
5. Delik Aduan merupakan perbuatan yang dapat diketahui dari
laporan/pengaduan orang yang mengadukan tersebut. Dengan ini
dimaksudkan bahwa apabila tidak ada laporan/pengaduan maka
belum bisa dikatakan bahwa itu adalah delik, hal ini termaktub
dalam Pasl 310 tentang penghinaan dan Pasal 284 tentang
perzinaan.
6. Delik Politik, merupakan perbuatan yang kaitannya lansung
dengan segala ketertiban dan keamanan suatu negara.
35
B. Penyebab Tindak Pidana (Teori Kriminologi)
Berikut adanya beberapa teori-teori yang dipaparkan oleh Arbintoro
Prakoso20 mengenai beberapa unsur yang menjadi penyebab terjadinya
tindak pidana yaitu:
Teori Kriminologi Moderen
a. Differential Association Theory atau teori asosiasi diferensial yang
dinyatakan oleh Gabriel yang memaparkan bahwa peniruan
terhadap kejahatan-kejahatan yang telah ada di dalam masyarakat.
Dalam teori ini juga Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa
tindakan seorang krim inal dalam hal sikap, motif, teknik kejahtan,
serta dorongan di ketahui oleh kriminal dengan melanggar apa yang
telah berlaku di masyarakat.
b. Strain Theory atau teori anomi atau tegang, teori ini dipaparkan oleh
Emile Durkheim yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang
dilakukan kriminal karena krim inal berada di bawah kondisi sosial
tertentu bisa saja berupa norma-norma tradisonal masyaraakat.
Robert K. Merton juga menyatakan hal dalam pelanggaran sudah
merupakan bawahan dari manusia itu sendiri yang selalu melanggar
ketentuan yang ada disebabkan karena pelaku melihat adanya
keinginan yang cara untuk tercapainya merupakan hal yang cukup
20 Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal. 97.
36
sulit sehingga dengan melakukan tindak pidana dapat saja menjadi
cara ia dengan mudah mendapatkan hal yang diinginkan tersebut.
c. Social contro theori atau Teori kontrol sosial, teori ini merupakan
teori yang menganggap kejahatan atau perbuatan pidana itu berasal
dari ketidakmampuan manusia itu snediri dalam hal mengontrol
pengendalian dirinya dikarenakan bisa disebabkan oleh beberapa
fakoto seperti faktor pendidikan ataupun faktor keluarga. Travis
Hirschi menyatakan bahwa sikap tidak bisanya manusia melakukan
pengendalian karena manusia hidup dengan bersosial sehingga
apabila seseorang tersebut tidak memiliki ikatan lagi terhadap sosial
atau masyarakat maka ia akan merasa bebas untuk melakukan
perilaku-perilaku yang dapat menimbulkan tindak pidana.
d. Sub culture theory atau teori sub budaya, teroi ini dpaparkan oleh
Albert K.Cohen, yang menyatakan bahwa contoh dalam perilaku
menyimpang yang dilakukan anak nakal di lingkungannya hal itu
menunjukkan karena si anak merasa ia tidak cukup puasa terhadap
aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya itu.
e. The self theories atau Teori-teori sendiri yang dipaparkan oleh Carl
Roger yang menyatakan bahwa teori ini lebih berfokus ke tindak si
pelaku kriminal sebagai orang yang memiliki penafsiran sendiri
terhadap pelaku tersebut.
f. Psycho analitic theory atau teori psikoanalis, yaitu teoti yang dimana
pelaku tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada pada
37
dirinya seperti kebutuhan akan dirinya yang harus ia penuhi
sehingga dapat menjadi kriminalitas .
g. the techniques of netralization atau teori netralisasi, teori ini
berpendapat bahwa seorang individual memiliki pikiran-pikiran
yang ingin dicapainya dan karena manusia hidup bersosial selalu
adanya persetujuan-persetujuan yang merujuk kepada hal yang baik
di dalam kehidupan sosial itu dan mecari cara untuk mencapai tujuan
tersebut.
h. Social learning theory ata teori pembelajaran sosial, teori ini
berpendapat bahwa pengharapan individual terkahadp kehidupan
bermasyarakat yang disertai dengan nilai-nilai serta pengalaman
yang telah di lalui individu itu sendiri dapat mempengaruhinya.
i. Opportunity theory yang dipaparkan oleh Richard A. Cloward dan
Lloyd E. Ohlin yang menyatakan dpaat terjadnya tindak pidana
ataupun kejahatan dapat disebabakan karena adanya kesempatan-
kesempatan baik itu kesempatan terhadap norma-norma yang
berlaku atau kesempatan untuk melanggar ketentuan aturan.
j. Interactionist theory atau teori interaksionis yang dipapaprkan oleh
Goode yang menyatakan bahwa perbuatan pidana atau kejahatan
terjadi karena adanya hubungan antar orang yang satu denga orang
yang lainnya hubungan ini ada karena hubungan yang dekat dan
interaksi yang dilakukan akan serin terus-menerus berkembang
tergantuan dengan kondisi.
38
k. Rational choice theory atau Teori pilihan rasional, teori i ni
dipaparkan oleh Gary Becker yang menyatakan bahwa pelaku tindak
pidana melakukan perbuatnnya karena telah menetpakan keputusan
bahwa dirinya melihat adanya peluang yang bisa didapatkan
olehnya.
l. Labeling theory atau teori pemberian nama, teori ini dinyatakan
bahwa masyarakat dapat menjadi sebab akan hal terjadinya
perbuatan pidana karena melakukan pelabelan terhadap individu
yang diketahui oleh masyarakat.
m. Conflict theories atau teori-teori konflik, teori ini dipaparkan oleh
George B. Volt yang menyatakan bahwa segala adanya hukum
merupakan bentuk dari hasil kepentingan pihak-pihak tertentu untuk
mendapatkan kekuasaan dan kewenangan akan negara tersebut.
n. Reintegrative shaming theory atau teori pembangkit rasa malu, teori
ini dipaparkan oleh John Braithwaite yang menyatakan bahwa
reaksi-reaksi dari masyarakat dapat menimbulkan perbuatan pidana
atau kejahatan.
o. Radical Criminology atau teori krim inologi kritis, teori ini
menyatakan bahwa sebelumnya yang memegang kekuasaan telah
merumuskan perbuatan-perbuatan pidana.
39
C. Pengaturan Tindak Pidana Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin
Edar/Ilegal
1. Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin Edar/Ilegal
Kosmetik yang berarti alat kecantikan wanita yang berasal dari
bahasa inggris cosmetic. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) kosmetik merupakan segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan wajah wanita seperti mengenai kulit wajah, bahan-bahan obat
untuk mempermulus wajah, serta produk-produk untuk kesehatan
rambut dan lainnya. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
merumuskan definisi kosmetik itu sendiri yaitu kosmetik adalah
campuran kandungan bahan-bahan obat yang dipergunakan untuk
kepentinga tubuh bagian luar seperti bibir, kuku, gigi dan kelamin luar,
dan segala alat dan bahan untuk merubah tampilan seseorang agar
dalam keadaan yang baik. 21
Kosmeti pada sekarang ini bisa dikatakan merupakan kebutuhan
primer manusia terlebih terhadap wanita, dan karena kebutuhan yang
besar tersebut terdapatnya kosmetik yang muncul dalam beragam
tampilan dan design untuk menarik konsumen serta industr-industri
dalam bidang kosmetik lebih mengembangkan teknologologi tidak
hanya itu tetapi juga terus mengembangkan kepergunaannya dan terus
mengikuti perkembangan yang hidup di masyarakat. 22
21 https:jdih.pom.go.od/ diakses pada hari Senin, 1 November 2019, pukul 18.30 WIB 22 Retno Iswari Tranggono dan Fatma Latifah, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007).
40
Departemen Kesehatan dan BPOM menyatakan bahwa pelaku usaha
tidak bertanggung jawab seringnya memasukkan kandungan bahan-
bahan berbahaya kedalam kosmetik yang tidak memiliki izin edar
seperti bukti yang paling terbaru dipaparkan lansung oleh kepala
BPOM yaitu Dr. Ir. Penny K. Lukito yang menyatakan bahwa se lama
penagwasan masih banyaknya ditemukan berbagai macam merek
kosmetik yang masih saja mengandung baha-bahan kimia obat
terlarang untuk dimasukkan kedalam kosmetik. Bahan-bahan kimia
obat tersebut dapat berupa Zat warna Rhodamin B, Merkury (Hg) dan
Hidroquinon serta pewarna merak K3. Hasil-hasil temuan ini
ditemukan selama pengawasan dari tahun 2017 yang dilakukan oleh
BPOM hinga saat ini. 23
Beredarnya kosmetik yang tidak memiliki izin edar/ilegal di market-
market merupakan hal yang sanagt berbahaya dan sangat menimbulkan
kerugian bagi konsumen yang membeli serta memakainya. Efek
samping dari penggunaan kosmetik yang mengandung bahan
berbahaya ini sebaiknya dihindara mulai dari dri karena hal ini sangat
berbaha bagi kesehatan konsumen baik itu dapat menimbulkan alergi,
kegagalan jantung hingga kanker. Bahan-bahan kimia berbahaya
penggunaannya dalam kosmetik sangat bisa dibilang dapat
menimbulkan banyaknya resiko kesehatan bagi konsumen. Hal ini
23 https://www.pom.go.id/new/view/direct/head diakses pada hari Senin, 1 November 2019, pukul
20.00 WIB.
41
karena juga awamnya pengetahuan orang-orang mengenai kosmetik
yang tidak sadar ia membeli kosmetik yang yang mengandung bahan
berbahaya dan menggunakanannya sangatlah menimbulkan resiko
sperti dalam penggunaancat kuku atau kuteks yang diketahui tanpa
sadar dapat masuk kedalam tubuh melalui kulit yang terkena. Dalam
hal pencernaan juga dapat disebabkan oleh bahan kimia yang tanpa
sadar masuk melalui pori-pori kulit ini merupaka hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh BPOM yang terus mengingatkan akan bahaya
kandungan kosmetik yang tidak memiliki izin edar/ilegal, terlebih lagi
kosmetik-kosmetik yang mengandung banyak bahan kimia merkury
2. PengaturanMengenai Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin Edar/Ilegal
1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Mengenai Tindak Pidana
Peredaran Kosmetik yang Tidal Memiliki Izin Edar/ilegal
Kosmetik adalah salah satu bagian dari farmasi karena
pembuatannya sampai peredarannya telah ditetapkan harus memenuhi
segala standar dan mengikuti berbagai aturan terhadap hal tersebut. UU
No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan salah satu peraturan
yang juga mengatur mengenai permasaahan kosmetik yang dimana
didalamya memasukkan kosmetik sebagai golongan bagian dari
farmasi yang penjualan/peredarannya produk pelaku usaha harus patuh
sesuai dengan standar keamanan yang telah ditetapkan.
Di dalam Ayat 1 Pasal 98 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
disebutkan bahwa “sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
42
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.” Lalu ayat (2)
menyebutkan, “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah,
mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat
obat.” Kemudian ayat ayat (3) menyebutkan, “ketentuan mengenai
pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan
farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Serta ayat 4
menyatakan, “pemerintah berkewajiban membina, mengatur,
mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi,
dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”
Di dalam Pasal 196 UU NO. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan telah
mengatur bagaimana saksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggra
pasal 98 aturan tersebut berbuyi “setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak hanya Pasal 196 saja tetapi juga telah diatur di dalam Pasal
106 dan Pasal 197 mengenai ancaman hukuman bagi si pelanggar.
Pasal 106:
43
1. Dapat diedarkannya alat-alat kesehatan dan farmasi setelah
mendapatkan izin edar dari BPOM
2. Dalam penglabelan produk alat kesehatan dan farmasi harus
dicantumkannya dengan memenuhii a turan persyraatan dan tidak
dengan penipuan.
3. Dilakukannya pencabutan izin edar oelh pihak pemerintah
berwenang apabila ditemukannya bukti bahwa produk terebut tidak
memnuhi persyaratan yang ada dan dapat dilakukannya penyitaan
dan pemusnahaan berdasarakan aturan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 197 :
Barang siapa yang dengan senagaj memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memiliki iz in edar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
2) UU Perlindungan Konsumen (UUPK)
Undang-undang perlindungan konsumen telah menetapkan
aturan-aturan agar dapat menghindarkan kaibat-akibat negatif yang
ditimbulakn oleh pemakaina produk-produk atau jasa yang
merupakan larangan bagi pelaku usaha, hal ini diatur dalam Pasal 10
44
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UUPK itu sendiri
memiliki tujuan agar konsumen mendapatkan perlindungan hukum
apabila ia telah terkena akibat negatif dari perbuatan pealku usaha
yang tidak bertanggung jawab. UUPK merumuskannya untuk
menghindarkan konsumen yang diatur sebagai berikut: 24
1. Adanya tarif atau harga dari barang ataupun jasa
2. Penggunaan jasa ataupun barang
3. hak, tanggugan, jaminan serta kondisi ganti rugi atas suatu jasa
ataupu barang
4. Diskon-diskon yang dapat enarik konsumen
5. Pengguanaan berbahaya terhadap jasa ataaupun barang.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Iz in Produksi
Kosmetika Pasal 16 produsen dilarang menciptakan ataupun
memproduk mebuat serta mengedarkan bahn-bahn kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya serta segala bahan-bbahan yang telah
ditetapkan sebagai berbahaya di dalam aturan undang-undang.
Produsen juga dilarang melakukan segala bentuk promosi
sebagiamana dalam Pasal 30 apabila belum mendapatkan izin edar
sesuai dengan ketentuan di dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI no. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.
24 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta: PT. Rajawali Pers,
2011), hal. 63.
45
D. Upaya Penanggulangan
Upaya perlindungan masyarakat serta upaya untu mencapai
ketertiban umu merupakan kebijakan dalam hal penanggulanangna tindak
pidana atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan dari kebijakan yang telah
dibentuk untuk mencapai tujuan memberikan perlindungan terhadap
masyarakan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Muladi yang menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang
ada baik itu kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan adalah
masalah yang terjadi di dalam kemanusian serta dapat berupa menjadi
masalah sosial yang memiliki pengertian berbeda. Kejahatan yang timbul
dalam masyarakat ini memiliki kaitan dengan struktur masyarakan itu
sendiri.25
Criminal Politic atau Politik kriminal merupakan salah satu bentuk
usaha-usaha yang rasional agar dapat menangulangi kejahatan-kejahatan.
Politik kriminal ini memiliki tujuan utama ialah dalam hal perlindungan
masyarakat. Kemudian dari seluruh bagian kebijakan sosial merupakan
perncanaaan dari perlindungan masyarakat. Pendekatan kebijakan sangat
diperlukan dalam hal penangulangan kejahatan ini seperti yang bearti: 26
1. Adanya keterkaitan antara politik sosial dan politik krim inal
2. Adanya hubungan antara kebijakan upaya penanggulangan yang
dilakukan secara penal maupun non penal.
25 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2. 26 Ibid, hal.75.
46
Menanggulangi kejahatan melalui upaya penal ini lebih berfokus
kepada sifat represif yang bermaksud dilakukan dengan cara
pemberantasan atau penindakan lansung setelah terjadinya kejahatanm,
sedangkan menanggulangi kejahatan melalui upaya non penal lebih
berfokus pada sifat preventif atau yang dimaksud dengan penangkalan
ataupun pencegahan sebelum adanya kejahatan yang telah dilakukan.
Dapat dikatan dua upaya dalam menanggulangi kejahatan ini sanagtlah
berbeda karena penindakan secara represif dapat merupakakn
penindkaan secara preventif dengan maksud yang lebih luas.27
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa menguti dari G.P
Hoefnagels yaitu upaya penanggulanagan perbuatan pidana dapat
dilakukan dengan cara:
1. Criminal law application atau penerapan hukum pidana
2. Prevention without punishment atau pencegahan tanpa pidana.
3. Influencing viewa of society on crime and punishment or mass
media atau menggunakan media massa untuk mempengaruhi sudut
pandang masyarakata terkait dengan perbutaan pidana . 28
Berdasarkan hal tersebut upaya dalam menanggulangi perbuatan
pidana atau kejahatan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu melalui
penal dan melalui dencara non penal.
27 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 188 28 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar
Interpra tama, 2011), hal. 45.
47
1. Menanggulangi Kejahatan Melalui Upaya Penal (Represif)
Barda Nawawi Arief29 berpendapat bahwa uapaya dalam
menanggulangi kejahatan melalui upaya represif atau upaya penal dapat
dikatakan sebagai upaya yang dialkukan secara dengan menggunakan
hukum pidana. Upaya ini adalah upaya dalam menanggulangi yang
lebih berfokus pada sifat represif yaitu penindakan lansung yang
dilakukan setelah adanya kejahatan dengan menetapkan ancaman
hukuman serta penegakan hukum yang berlaku terhadap pelaku yang
telah melakukan kejahatan tersebut. Daripada itu melalui cara represif
ini penindakan yang akan dilakukan dalam hal penanggulangan
perbuatan pidana hingga penindakan rehabilitisai ataupun pembinaan.
Strafrechtpolitik, aau Penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah
alur dalam menegakkan jalur penal dalam hal keseluruhan. Hal-hal
yang berhubungan lansung denga kebijakan hukum pidana yakni: 30
a. Bagaimana hukum pidana (penal) sebagai upaya pemerintahan
dalam menanggulangi perbuatan pidana/kejahatan
b. Apakah kondisi masyrakat telah sesuai dengan hukum pidana
(penal) yang telah dirumuskan.
c. Hukum pidana (penal) bagaimana kebijakan dalam menagtur
masyarakat oleh pemerintah.
29 Ibid, hal. 46. 30 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, (Bandung:
Alumni, 2008), hal. 390.
48
d. Apakah penegakan hukum pidana (penal) dalam hal mengatur
masyarakat akan mendapatkan tujuan yang lebih luas.
Upaya penanggulangan secara represif pada hakikatnya juga
terdapat didalamnya unsur preventif dikarenakan dirumuskannyanya
penjatuhan hukuman dan ancaman pidana diinginkannya ada efek
penanggulannya yang mencegah tindak pidana tersebut terjadi.
Kebijakan upaya penanggulangan yang bersifa represif juga,
dikarenakan sikap masyarakat yang tidak menyukai di harapkan akan
menajdi bentuk perlindungan sosial. Maka dari itu dinyatakannya
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan dari
masyarakat itu sendiri.31
Roeslan Saleh juga menyatakan bahwa masih adanya beberapa yang
dapat menjadi lasan masih digunakannyanya hukum pidana yang
ditanyatakan seper ti berikut:
a. Dibutuhkannya hukum pidana tidak dilihat dari persoalan akan
tujuan yang akan dicapai tetapi melihat dimana letak permasalahan
yang dapat dicapai dengan diperlukannya paksaan,
permasalahannya juga bukan dari hal tersebut tetapi dari individual
masig-masing yang mengetahui hasil dari batasan-batasan tersebut.
31 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 182.
49
b. Terdapatnya hasil kepada si pelaku pidana dengan usaha terhadap
perawatan serta perbaikan dan tidak hanay itu pelanggaran yang
telah dilakukan oleh pelaku akan menimbulkan reaksi terhadap
norma yang telah berlaku dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.
c. Masyarakat juga merupakan yang harus mendapatkan pengaruh
terhadap dirum uskannya hukum pidana, jadi tidak hanya kepada
pelaku pidana itu saja yang dapat pengaruh dari adanya hukum
pidana.32
Dari pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan yaitu
hukum pidana digunakan dalam hal penanggulangan kejahatan pada
saat ini sanagtlah diperlukan, mengetahui yakni hukum pidana selain
memiliki sifat represif dan juga sifat preventif untuk melakukan
pencegahan supaya masyarakat yang mengetahui hukum yang berlaku
tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran dan akan berpikir
lebih rasioanl jikalau hendak melakukan perbuatan pidana/kejahatan.
Barda Nawawi Arief juga berpendapat, bahwa efektifnya hukuma n
pidana penjara dapat ditunjukkan akan dua aspek yaitu tujuan
pemidaan penjara itu sendiri dan perbaikan si pelanggaran hukum.
Yang dimaksud Barda Nawawi yaitu perlindungan terhadap
masyarakat sudah termasuk di dalamnya bagaimana memulihkan,
mengendalikan tindak pidana dan apa tujuan mencegah dari hukum
32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung:
Alumni, 2010), hal. 153
50
pidana, seperti setelah menyelesaikan konflik pastilah timbulnya rasa
aman di masyrakat, meperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada serta
mengembalikan norma-norma yang hidup di masyarakat. Sedangkan
yang dimaksud Barda Nawawi dengan bentuk perbaikan si pelaku
pidana dalam hal melakukan pengembalian nilai, memsyarakatkan
kembali si pelaku dan melakukan perlindungan dari tindakan
sewenang-wenang.33
Jadi penjatuhan hukuman pidana dapat dikatakan telah efektif
apabila pidana itu sendiri dapat digunakan untuk penanggulangan dan
mengurangi perbuatan pidana/kejahatan yang terjadi. Jadi keefektifan
pidana dapat dilihat dari kriteria kejahatan. 34
Barda Nawawii Arief berpendapat bahwa penelitian-penelitian yang
telah dilakukan selama ini dapat dinyatkanan bulum bisa membuktikan
hukuman pidana penjara itu efektif atau sebaliknya. Apalagi diketahui
permasalahan-permasalahan pidana berkaitan dengan beberapa faktor.
Dikatakan efektif jika tujuan dari pemidanaan itu telah dicapai yang
dinginkan. Diketahui juga pidana penjara dikatakan tidak bisa efektif
apabila disebabkan karena pidana denadanya dapat diwakilkan orang
lain, dan dalam perolehan uang untuk membayar denda tersebut dapat
dikum pulkan oleh pelaku yang didenda dari pihak mana saja.
33 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 224. 34 Ibid, hal. 225
51
Terkait dengan hal efektif dan tidak efektifnya, Soerjono Soekanto
berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang bisa menjadi rujukan
dalam hal keefektifan hukuman pidana itu. Faktor-faktor tersbut
adalah:35
a. Hakekat atau kakateristik dari pidana itu.
b. Sudut pandang masyarakat dalam hal menanggung suatu resiko
c. Periode penerapan pidana negatif itu sendiri.
d. Karakteristik pelaku pidana yang dijatuhkan hukuman
e. Kebudayaan masyarakat yang meberi peluang-peluang
f. pengendalian dan pengawasan terhadap karakteristik pelaku pidana
g. Dukungan sosial perilaku keinginan masyarakat
Sudarto berpendapat bahwa terjadinya perbutan pidana/kejahatan
disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks seperti jauh diluar
hukum pidana, maka dari itu hukum pidana memiliki batasan-batasan
kemampuan dalam hal penanggulangan dan menurut Sudarto hukum
pidana adalah bentuk cara menanggulangi suatu gejalan dan bukan
merupakan cara penyelesaian dengan meniadakan faktor-faktor
penyebabnya. Terbatasnya hukum pidana selama ini juga disebabkan
karena hakikat dan tujuan dari hukum pidana, karena penjatuhan
hukuman bukan merupakan obat untuk mengatasi faktor-faktor
penyebab terjadinya suatu penyakit, malah dikatakan hanya untuk
35 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.
108.
52
mengatasi gejala dari penyakit itu. Jadi yang dimaksud hukum pidana
bukan sebagai penyembuh dari penyakit tersebut melainkan masih
memiliki banyak kekurangan, maka dari itu sampai saat ini keefektifan
dalam hukum pidana masih menjadi persoalaan. 36
2. Menanggulangi Kejahatan Melalui Upaya Non Penal (Preventif)
Barda Nawawi Arief berpenfapat, bahwa upaya dalam
menanggulangi kejahatan dengan melalui non penal ini dapat dikatakan
sebagai penanggulangan secara di luar hukum pidana. Upaya ini adalah
upaya yang menanggulangi yang lebih berfokus dalam hal bersifat
preventif yaitu penanggulangan yang dilakukan seblum terjadinya
perbuatan pidana. Dengan upaya preventif ini dengan menanggulangi
faktor-faktor atau kondisi-kondisi masyarakat yang dilihat apakah dapat
menimbulkan permasalahan atau mengembangkan kejahatan. 37
Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui cara non penal atau
diluar hukum pidana merupakan kebijakan non penal. Bentuk
penanggulangan yang bersifat preventif ini dapat dilakukan dalam
bentuk beberpaa kegiatan seperti: peningkatan usaha -usaha
kesejahteraan anak dan rem aja; pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat;
penyantunan, agama, dan kegiatan patroli dan pengawasan lainnya
secara terstruktuk oleh aparatur negara seperti polisi. Penanggulangan
36 Ibid, hal. 72 37 Ibid, hal. 46.
53
dalam bentuk preventif ini dapat berupa hal-hal yang sangat luas
jangkauannya dalam bagian sosial, penanggulangan cara preventif ini
merupaka cara pokok utama yang harus di efektifkan karena merupakan
tujuan utama dalam politik kriminal.38
Upaya penanggulangan secara preventif ini juga bisa didapatkan
dari berbagai sumber manapun, contohnya dengan melalui media massa
atau media pers dengan bantuaan kemajuaan teknologi dan pemanfaatan
aparatur penegak hukum. Sudarto juga menyatakan bahwa kegiatan
pengawasan yang dilakukan oleh kepolisian harus berkelanjutan.
Berkaitan dengan hal ini kegiatan operasi rutin yang dilakukan oleh polisi
di tempat tertentu dan berfokus ke kegiatan-kegiatan dalam masyarakat
dengan melakukan yang lebih komunikatif serta edukatif di dalam
masyarakat, dengan cara preventif juga memerlukan keefektifitasan. 39
Yang telah dipaparkan diatas pada dasanya mempertegas bahwa
upaya penanggulangan dengan cara preventif (non penal) yang paling
strategis seperti upaya untuk membentuk masyarakat menjadi memiliki
lingkungan yang bersosial dan lingkungan yang sehat. Hal ini berarti,
bagian dari keseluruhan politik krimanal yang memercai bahwa
mayarsakat dapat menjadi faktor pencegah dengan seluruh potensinya.
38 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , (Bandung: Alumni, 2010),
hal. 159. 39 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan , (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 48
54
IS Heru Permana berpendapat,40 antara lain dibanding kebijakan
represif, penanggulanagan perbuatan pidana sangat jauh lebih baik
dilakukan dengan kebijakan preventif. Denagan upaya-upaya sosial
masyarakat dalam hal bidang pendidikan serta perbaikan taraf hidup
setiap masyarakat.
Upaya preventif adalah penanggulangan tindak pidana, dimana
upaya penanggulangan ini dilakukan sebelum tindak pidana itu terjadi,
W.A. Bonger juga menyatakan bahwa efektifitas upaya
penanggulangan tindak pidana secara preventif jauh lebih baik daripada
upaya penanggulangan yang bersifat represif.
Upaya penanggulangan melalui cara preventif ini juga memiliki
banyak kelebihan dalam hal penanggulangan kejahatan karena lansung
ke pokok permasalahan suatau masalah yakni penyebab kejahatan
tersebut. Upaya preventif ini mencakup bidang yang sangat luas.41
E. Pengertian Penegakan Hukum
Penyelenggaraan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak
hukum merupakan penegakan hukum dan penegakannya sesuai dengan
kepentingan dan kewenangannya dengan aturan-aturan yang telah berlaku.
Penegakan hukum pidana memiliki beberapa alur dalam prosesnya yaitu
pertama dengan dilakukannya penyidikan, lalu penangkapan, kemudian
40 IS Heru Permana, Politik Kriminal, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), hal.12 41 Sudarto, Op. Cit, hal. 113-116
55
penahanan, setelah itu dilakukannya peradilan terdakwa dan yang terakhir
dengan memasyarakatkan kembali pelaku pidana tersebut.
Soerjono Soekanto berpendapat yang menyatakan bahwa penegakan
hukum merupakan tindakan meyelaraskan hubungan norma-norma yang
telah memiliki kaidah yang cukup baik dan dilakukannya penjabaran akan
hal tersebut. Hal ini untuk tercpainya kedamaian dan kepentingan umum di
dalam masyarakat.42 Penegakan ini terbilang penegkan hukum yang
kongkrit yang dilakukan lansung oleh kepolisian.
Dengan demikian penegakan hukum adalah hal yang bersangkutan
denga penyelarasan antara norma dan kaidah-kaidah pada manusia dan
perilakunya. Perilaku tersebut yang membedakan mana tindakan yang
dianggap baik atau mengharuskan, perilaku itu juga memiliki fungsi untuk
menciptakan ketertiban umum serta menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Moeljatno berpendapat bahwa penegakan hukum merupakan segala
sesuatu yang menjadi sebab adanya unsur da n atura-aturan sebagai
berikut:43
a. Dibuatnya ancaman atau hukuman sanksi bagi siapa saja yang
melanggar perbuatan-perbuatna yang telah dilarang.
b. Dijatuhkannya pidana kepada si pelanggar sesuai dengan dalam hal apa
yang dilanggarnya dari aturan-aturan yang berlaku.
42 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , (Jakarta:
Rajawali,1983) hal. 35. 43 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Surabaya: Putra Harsa,1993). hal. 23.
56
c. Melaksanakan penjatuhan hukuman pidana dengan cara yang telah
ditentukan kepada pelaku yang telah melanggar aturan-aturan larangan
tersebut.
F. Faktor-Faktor yang dapat Mempengaruhi Penegakan Hukum
(Kendala-Kendala)
Di dalam masyarakat adanya peraturan-peraturan yang berlaku dan
peraturan itu harus ditegakkan serta dilaksanakan oleh masyarakat,
sehingga segala bentuk perwujudan dari penegakan hukum tersebut dari
yang masih bersifat tidak jelas menajdi nyata. Proses penegakan hukum
tidak dapat jalan dengan sendirinya tentuny adanaya keterlibatan lansung
masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dengan demikian hukum
tidak lebih berupa konsep ataupun ide yang didalamnya terdapat seperti hal
ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum yang telah termasuk di dalam
undang-undang dengan memiliki tujuan tertentu. Peraturan-peraturan
hukum tidaklah lengkap dan belumlah sempurna sehingga memerlukan
penyempurnaan dengan terkaitnya beberapa hal seperti keprofesionalisme
aparatur penegak hukum yang memiliki keterampilan serta kemampuan
dalam memahami baik atura perundang-undangan maupun dalam hal di
lapangannya.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa pelaksanaan perundang-
undangan saja tidak dapat dikatakan penegakan hukum, karena masih
banyaknya beberap penyebab/alasan yang dapat mempengaruhinya yaitu
sebagai berikut:
57
1. Dikarenakan hukum itu sendiri.
2. Dikarenakan yang membuat atau menetapkan hukum itu dan
penerapannya.
3. Dikarenakan sarana pra sarana maupun fasilitas dalam penegakan
hukum yang mendukung
4. Dikarenakan masyarakat itu sendiri, yaitu diberlakukan dan
diterapkannya sesuai atau sebaliknya dengan faktor lingkungan
5. Dikarenakan culture yang terdapat di dalam masyarakat seperti rasa
dan hasil karya di dalam kehidupan bermasyarakat 44
Kelima alasan tersebut dan menjadi penyebab atau alasan
ditemukannya faktor yang dapat menghambat dan mendorong
penegakan hukum atau pelaksanaan tugas aparatur negara.
44 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 5.