16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini disajikan teori-teori yang dapat dipakai sebagai dasar dalam
menganalisis fenomena–fenomena yang ada. Kajian tersebut mencakup teori dan
kajian empiris tentang kepemimpinan yang bersifat sosial-religius seperti konsep
Astadasa Paramiteng Prabhu, budaya Tri Hita Karana (THK), komitmen
organisasional, serta kinerja organisasi. Pengkajian yang dilakukan tersebut akan
dijadikan acuan untuk membangun model penelitian.
Sebuahorganisasipadadasarnyaakanselalumengalami
perubahankarenaorganisasiadalahsistem terbuka,yangselaluberinteraksi
denganlingkungannya. Adanyaperkembangan diberbagaikehidupan
masyarakatmenuntutsebuahorganisasiuntukselalumenyesuaikannya.
Lingkunganumumorganisasidalam masyarakatmeliputifaktor-
faktorteknologi,ekonomi,hukum,politik,kependudukan,ekologi, dankebudayaan
(Ali,2007).Perubahanyangdirencanakanini
membutuhkanperhatianyangseriusdalam menghadapipermasalahan-
permasalahandantantangandari berbagai pihak. Demikianpula halnya dalam
organisasi–organisasi sosial lainnya seperti
Subakselalumengalamiperubahanmenujusebuahorganisasiyangefektifdenganmeni
ngkatkan kinerjaorganisasinya.
Dalamhalkinerjaorganisasi, terutamadilembaga non-profit seperti
subakseringkaliterjadipenurunan kinerjapara pimpinan subak seperti pekaseh,
17
penyarikan dan pengurus lainnya.Pekasehdatangterlambatatautidak
tepatpadawaktunya,tidak efisien penggunaanwaktu
untuksuatupenyelesaianpekerjaan, produktivitaskerjakurang akibat kekurangan
air/intensitas pengelolaan air yang tidak merata,motivasi berprestasirendah,
kurangmampuberadaptasidenganperubahanbaikdalammetodekerjamaupunfasilitas
kerjayangbaru, seperti kurang berpartisipasi dalampelaksanaan program yang
dicanangkan.Faktor-faktortersebuttentuakanmempengaruhi
kinerjaorganisasisecarakeseluruhan.
Beberapatahunterakhir,upayapembenahan danpenyempurnaan
kinerjaorganisasi,khususnya organisasi
subakmenjadisesuatuhalyangsangatpentinguntuksegeradilakukan.
Halinidisebabkan oleh adanya tuntutanterhadapmutu sebuah organisasi subak
sebagaikonsekuensi langsungdariperkembanganilmupengetahuan
danteknologiyangbegitupesat.Dalamsistempersubakan, kinerja organisasi
merupakanfokus utama yang dilakukan secara musyawarah dengan tujuan
agar semua anggota subak terlayani dengan baik dan tidakmungkinterwujud suatu
tujuan tanpaproseskegiatan dan aktivitas yangbermutu. Prosespendidikan dan
aktivitas yangbermutu tidakmungkintercapaitanpaadanyaorganisasi subak
yangtepat.Olehkarenaituuntukmewujudkan
kinerjaorganisasiyangtepatdanbermutumakadiperlukanadanyakepemimpinan
yangmemadai. Kepemimpinan
tersebutharusmampumemotivasiataumemberisemangatkepadaparastafnyadenganj
alan memberikan
18
inspirasiataumengilhamikreativitasmerekadalambekerja.Kepemimpinan
sendiritidakhanya beradapadaposisipuncakstrukturdalamorganisasi
subaktetapijuga meliputisetiaptingkatdalam
organisasi.Dalamkepemimpinantersebuttentunya
harusmendapatkandukungankomitmendankerjasamadari
berbagaipihakkhususnyaseluruhanggota subak.Dengandemikian dapatdikatakan
bahwakepemimpinan
pekasehmerupakansatuaspekyangpentingdalamsuatuorganisasisubak.
Kepemimpinanmerupakanfaktorpenggerakorganisasimelaluipenangananpe
rubahandanmanajemen yangdilakukannya sehinggakeberadaan
pemimpinbukanhanyasebagaisimbolyangadaatautidaknya,tidak
menjadimasalahmelainkan
keberadaannyamemberidampakpositifbagiperkembangan organisasi(Komariah
danTriatna,2006:40).Mengacupadapendapattersebutmakakeberhasilan
organisasisubakdalam
mencapaitujuanyangingindiraihsangatbergantungkepadakepeminpinan
pekasehyaitu kepemimpinannya yang
mampumenggerakkansemuasumberdayayangdimilikisubaksecaraefektifdanefisien
sertaterpadudenganprosesmanajemenyangdilakukannya sehingga budaya dan
komitmen organisasi dapat ditingkatkan. Dengan
adanyaiklimyangbaik,memungkinkanstafbekerjadengantenang,nyaman,danbergair
ah serta pada gilirannya diperlukan budaya dan komitmen organisasional.
19
2.1. Kinerja Organisasi
2.1.1. Pengertian Kinerja Organisasi
Kinerja sering disebut dengan performance juga disebut dengan result
yang berarti apa yang dihasilkan oleh individu karyawan atau tingkatan prestasi
kerja individu karyawan (Cash and Fissher, 1987; Baron and Greenberg, 1990;
Hellriger and Slocum,1992) kinerja juga disebut dengan human output yang dapat
diukur dengan productivity, absence, turn over, citizenship, dan satisfaction. Tika
(2006:121) mendefinisikan kinerja sebagai hasil hasil fungsi kerja/ kegiatan
seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.
Menurut Robbins (2009) kinerja diartikan fungsi dari interaksi antara
kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan keinginan (obsetion) atau kinerja
= f (A x M x O). Apabila ada yang tidak memadai kinerja akan mempengaruhi
secara negatif, disamping motivasi perlu juga dipertimbangkan kemampuan dan
kapabilitas untuk menjelaskan dan menilai kinerja seorang pegawai. Dengan
motivasi kerja yang tinggi akan mempunyai kinerja tinggi dan sebaliknya.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa faktor motivasi dan kemampuan mempunyai
pengaruh yang positif. Selanjutnya,Tjandra et al. (2005)menjelaskan bahwa
“Kinerja” adalah pencapain cara-cara untuk menghasilkan sesuatu hasil yang
diperoleh dengan aktivitas yang dicapai dengan suatu unjuk kerja.
Konsep yang ditawarkan tersebut dapat dipahami bahwa kinerja adalah
konsep utama organisasi yang menunjukkan seberapa jauh tekad kemampuan
pelaku. Tugas-tugas organisasi dalam rangka pencapian tujuan. Selanjutnya,
20
dikatakannya bahwa kinerja juga dapat berarti prestasi kerja, prestasi
penyelenggaraan sesuatu (performance, how well you do a piece of work or
actifity). Oleh karena itu,dapat dijelaskan bahwa kinerja organisasi adalah hasil
kerja kongkret seseorang atau kelompok, baik kualitas maupun kuantitas dalam
suatu organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi.
2.1.2. Variabel yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi
Sejumlah pendapat menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja organisasi diantaranya Yuwono dkk. (2002:53), mengemukakan faktor
faktor yang mempengaruhi kinerja suatu organisasi meliputi upaya manajemen
dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan organisasi, budaya organisasi,
kualitas sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan kepemimpinan yang
efektif. Sedangkan, Ruky (2001:7), mengidentifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi adalah
sebagai berikut : Teknologi, Kualitasinput, Kualitas lingkungan fisik, budaya
organisasi, kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya manusia.
Sementara itu Soesilo (2000:22) mengemukakan bahwa kinerja suatu
organisasi birokrasi di masa depan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.Struktur
organisasi, Kebijakan pengelolaan, sumber daya manusia, Sistem informasi
manajemen dan Sarana dan prasarana yang dimiliki.Atmosoeprapto (2001:11),
mengemukakan kinerja suatu organisasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor
21
eksternal seperti : Politik, Ekonomi, Sosial, dan Faktor internal yang terdiri
atasTujuan Organisasi, Struktur Organisasi, Sumber daya manusia, dan budaya
organisasi.
2.1.3. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja dalam penelitian ini sengaja digunakan untuk melihat
sejauh mana aktivitas yang selama ini dilakukan dengan membandingkan
outputatau hasil yang telah dicapai dan selama ini terdapat beberapa perbedaan
pendapat pengukuran di antara para ahli.
Menurut Kenerley dan Neely (2002), pengukuran kinerja didefinisikan
sebagai proses menguantifikasikan efisien dan efektivitas dari tindakan-tindakan.
Sedangkan ukuran kinerja didefinisikan suatu matriks yang dapat digunakan
untuk menguantifikasikan efisien dan efektif dari suatu tindakan. Dalam
pandangan Kinerly et al. (2003), sistem pengukuran kinerja adalah suatu sistem
yang terdiri atas 3 (unsur) yang saling berkaitan. Ketiga unsur tersebut ialah:
(1) Ukuran tunggal yang menguantifikasikan pengaruh dari tindakan-tindakan
spesifik;
(2) Suatu kumpulan ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi
secara keseluruhan; dan
(3) Suatu infrastruktur pendukung; data-data dapat diperoleh, disatukan, disortir,
dianalisis, diinterpretasikan, dan disebarkan untuk kepentingan manajemen.
Evaluasi kerja menurut Wibisono (2006) adalah penilaian kinerja yang
diperbandingkan dengan rencana atau standar-standar yang telah disepakati. Pada
22
setiap pengukuran kinerja, harus ditetapkan standar pencapaian sebagai sarana
kaji banding.
Darwis (2007) konsep kinerja meliputi empat dimensi yaitu konsep kinerja
ekonomi, sosial, ekologi, dan spiritual. Kinerja ekonomi berupa kontribusi
perusahaan kepada para stakeholder-nya. Kinerja sosial adalah kontribusi kepada
komunitas dan masyarakat melalui aktivitas pengembangan dan pemberdayaan
komunitas, selain kinerja sosial dan ekonomi, kinerja ekologi adalah berorientasi
pada keberlangsungan ekologi dan semua bentuk-bentuk kehidupan di dalamnya.
Kinerja spiritual adalah kinerja yang dibangun di atas landasan nila-nilai dalam
budaya perusahaan dan nila-nilai normatif. Nilai-nilai dalam budaya perusahaan
meliputi konstribusi perusahaan dalam bidang ekonomi, sosial dan ekologi, dan
sikap mental individu dalam perusahaan dan nilai-nilai normatif yang meliputi
nilai-nilai agama dan etika.
Masih berkaitan dengan pengukuran kinerja, pandangan lain dikemukakan
Moeheriono (2009). Menurutnya, terdapat 6 (enam) indikator pengukuran kinerja
yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a) Efektif; derajat kesesuaian output yang dihasilkan dalam mencapai sesuatu
yang diinginkan;
(b) Efisien; derajat kesesuaian proses menghasilkan output dengan menggunakan
biaya serendah mungkin;
(c) Kualitas; derajat kesesuaian antara kualitas produk atau jasa yang dihasilkan
dengan kebutuhan dan harapan konsumen;
23
(d) Ketepatan waktu; seberapa cepat pekerjaan bisa diselesaikan secara benar dan
tepat waktu;
(e) Produktivitas; tingkat produktivitas suatu organisasi; dan
(f) Keselamatan; mengukur kesehatan organisasi secara keseluruhan serta
lingkungan kerja para karyawannya, ditinjau dari aspek keselamatan.
Bernardin dan Russel (dalam Triton, 2006:94) menyatakanbahwa kriteria dalam
mengukur kinerjaialah sebagaiberikut:
(a) Quality adalah tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan
mendekati kesempurnaan, atau dengan kata lain, mendekati tujuan yang
diharapkan;
(b) Quantity merupakan jumlah yang dihasilkan dalam aktivitas kerja, misalnya
jumlah rupiah, jumlah unit, dan jumlah siklus kegiatan yang telah
diselesaikan;
(c) Time Liness adalah sejauh mana suatu kegiatan dapat diselesaikan tepat pada
waktu yang dikehendaki dengan memperhatikan koordinasi dengan output
lainnya, serta waktu yang tersedia untuk yang lain;
(d) Cost Effectivenessadalah sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi
(manusia, modal, teknologi dan material) dapat dimaksimalkan untuk
mencapai hasil yang tertinggi atau pengurangan terhadap kerugian dari setiap
unit penggunaan sumber daya;
(e) Need for Supervision merupakan tingkat sejauh mana seorang karyawan
dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan
24
oleh seorang atasan atau supervisor, untuk mencegah dan meminimalkan
tindakan yang tidak diinginkan; dan
(f) Interpersonal Impact adalah tingkat sejauh mana karyawan memelihara
harga diri, nama baik dan kerjasama antara rekan dan bawahan.
Cakupan dan cara mengukur indikator kinerja sangat menentukan apakah suatu
organisasi publik dapat dikatakan berhasil atau tidak, sehingga ketepatan
pengukuran seperti cara atau metode pengumpulan data untuk mengukur kinerja
juga sangat menentukan penilaian akhir kinerja. Pengukuran kinerja merupakan
suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan
pertanggungjawaban. Pengukuran kinerja mempunyai makna ganda, yaitu
pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja, di mana untuk melaksanakan
kedua hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan tujuan dari suatu program
secara jelas. Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan srategis
dengan pertanggungjawaban, sehingga suatu pemerintah daerah dapat dikatakan
berhasil jika terdapat bukti-bukti atau indikator-indikator atau ukuran-ukuran
capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Teknik dan metode yang
digunakan dalam menganalisis kinerja kegiatan, yang pertama-tama dilakukan
adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program dengan
kegiatannya. Program dan kegiatan merupakan program dan kegiatan
sebagaimana yang tertuang dalam perencanaan strategis Pemerintah Daerah yang
bersangkutan.
Veitzal et Al. (2005) menyatakan bahwa evaluasi kinerja (performance
evaluation), yang dikenal juga dengan istilah penilaian kinerja (performance
25
appraisal), performance rating, service rating, pada dasarnya merupakan proses
yang digunakan perusahaan untuk mengevaluasi job performance. Meskipun
penilaian kinerja telah berkembang dengan pesat, tetapi penggunaan penilaian
kinerja dalam organisasi publik belum berkembang sebagaimana yang telah
terjadi dalam sektor swasta. Berdasarkan data empiris menunjukkan bahwa
penilaian terhadap kinerja di organisasi publik belum merupakan tradisi yang
popular dan bahkan terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai kriteria kinerja
pelayanan publik. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh tujuan dan misi
organisasi publik sering kali tidak hanya sangat kabur tetapi juga bersifat multi
dimensional.
Untuk pengukuran kinerja digunakan formulir Pengukuran Kinerja (PK).
Penetapan indikator didasarkan pada masukan (inputs), keluaran (out-put), hasil
(income), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Sependapat dengan hal tersebut,
Mardiasmo (2001) menyatakan bahwa dalam mengukur kinerja suatu program,
tujuan dari masing-masing program harus disertai dengan indikator-indikator
kinerja yang digunakan untuk mengukur kemajuan dalam pencapaian tujuan
tersebut. Indikator didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif
yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan.
2.1.4. Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik
Berkaitan dengan kinerja publik Selim dan Woodward dalam Nawawi
(2013) mengemukakan bahwa ada lima dasar yang dapat dijadikan indikator
26
kinerja sektor publik, antara lain: (i) pelayanan, yang menunjukkan seberapa besar
pelayanan yang diberikan, (ii) ekonomi, yang menunjukkan apakah biaya yang
digunakan lebih murah daripada yang direncanakan, (iii) efisiensi, yang
menunjukkan perbandingan hasil yang seharusnya dengan hasil yang dicapai, dan
(iv) equity, yang menunjukkan tingkat keadilan potensial dan kebijakan yang
dihasilkan. Surya (2009) membagi dalam 3 (tiga) dimensi, yaitu (1) Prestasi
kerja, (2) Keahlian, dan (3) Harapan.
Dwiyanto et al.(2002) mengemukakan beberapa indikator yang dapat
dijadikan sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi publik, yakni: (i)
responsivitas (responsiveness), kemampuan birokrasi untuk mengenal kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, (ii) kualitas layanan
(service quality), merupakan indikator yang relatif tinggi, dan bisa menjadi satu
ukuran kinerja birokrasi publik yang mudah dan murah digunakan. Kepuasan
masyarakat dapat menjadi indikator untuk menilai kinerja birokrasi publik. (iii)
responsibilitas (responsibility), menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan
birokrasi publik itu sesuai dengan prinsip administrasi yang benar dengan
kebijakan birokrasi, baik yang eksplisit maupun implisit, dan (iv) akuntabilitas
(accountability), seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk
kepada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya, para pejabat
politik tersebut dipilih oleh rakyat dengan sendirinya harus memprioritaskan
kepentingan publik.
Dale dan Chase (2002) mengemukakan bahwa indikator pengukuran
kinerja organisasi publik/ non-profit seperti berfokus pada pelanggan,
27
keseimbangan, tepat waktu, keefektifan biaya, dan compatible. Mardiasmo (2002)
menyatakan bahwa dalam pengukuran/penilaian kinerja pemerintahan daerah
menggunakan pengukuran seperti penyimpangan antara realisasi anggaran dengan
target yang telah ditetapkan, efisiensi biaya, efektivitas, program, dan pemerataan
serta keadilan.Lebih lanjut pengukuran kinerja pemerintahan dan organisasi non
profit lainnya sejumlah penulis seperti Palmer (1993) dan Mardiasmo (2002)
menyatakan bahwa perlunya untuk mengukur dari segi ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas.
Upaya meningkatkan pelayanan kepada anggota subak dan kepada
masyarakat, baik secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas, menurut
Mardiasmo (2002) indikator kinerja didasarkan kepada segi ekonomi, efisiensi
dan efektivitas. Adapun pertimbangan menggunakan pengukuran kinerja ini: (1)
Secara praktik sebagai pedoman untuk mengetahui keberhasilan
pimpinan/pekasehdalam mengelola subak sekaligus dijadikan dasar dalam
menentukan penggolongan tingkat keberhasilan subak, (2) Kalau dibandingkan
secara teori ukuran kinerja model yang ada dari sektor publik tidaklah jauh
berbeda, indikator masing-masing perspektif yang dipakai ukuran kinerja dalam
subak juga dipakai indikator pada masing-masing aspek sehingga sangat cocok
dipakai.
2.2. Komitmen Organisasional
2.2.1. Pengertian Komitmen Organisasional
28
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi ialah komitmen
organisasi. Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen organisasional
sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu
serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya
dalam organisasi tersebut.Keterlibatannya terhadap pekerjaan tinggi mempunyai
arti bahwa seorang individu telah melibatkan dirinya kepada aktivitas organisasi,
sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti keberpihakan karyawan
terhadap organisasi secara riil akan dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Steers dan Kuntjoro ( 2002) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan
(kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan
loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan)
yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers (dalam
Sopiah, 2008) berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi
dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran
organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekadar
keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan
untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi
pencapaian tujuan. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekadar
keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan
untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi
pencapaian tujuan.
29
Luthans (2006) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan(1)
Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota dalam suatu organisasi, (2)
Keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi. (3)
Keyakinan tertentu, dan penerimaan nilia-nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata
lain ini merupakan sikap merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan
proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya
terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, komitmen organisasi sebagai derajat di mana karyawan
percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal dan
terlibat dalam pekerjaan atau tidak akan meninggalkan organisasinya dan bahkan
bertanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya.
2.2.2. Variabelyang Mempengaruhi Komitmen Organisasional.
Komitmen pegawai pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui
proses yang cukup panjang dan bertahap. Steers (dalam Sopiah, 2008)
menyatakan tiga faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan, antara
lain(1) Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan
variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan, (2) Ciri
pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan
sekerja, dan (3) Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau
dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya
30
tentang organisasi. Alen dan Meyer membagi komitmen organisasi menjadi 3
bentuk, yaitu (1) Komitmen afektif, (2) Komitmen berkelanjutan, dan (3)
komitmen normatif. Greenberg dan Baron, selain 4 faktor menurut Robert & Hult
terdapat 2 faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi yaitu adanya
kesempatan untuk mendapatkan alternatif pekerjaan dan perlakukan organisasi
terhadap karyawan baru. Variabel yang dipengaruhi oleh komitmen
organisasional yaitu kinerja (Rizal, 2014), efektivitas organisasi (Aldilaimi, 2015),
OCB (Sari et al., 2014), job satisfaction(Setyaningdyah et al., 2013), dan menurut
Porrashidi(2015) ialah kreativitas.
Sopiah (2008) menyatakan bahwa ada tiga aspek komitmen, antara lain (1)
Affective commitment adalah want to. (2) Continuance commitment, adalah
kebutuhan untuk bertahan (need to), dan (3) Normative Commitment, adalah
kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).
2.2.3 Indikator Komitmen Organisasional
Alen dan Meyer (1997) juga membagi aspek-aspek komitmen ke dalam
tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
1) Komitmen Afektif (Affective commitment) adalah keterikatan emosional,
identifikasi dengan organisasi, serta keterlibatan seseorang pada suatu
organisasi. Komitmen ini dipengaruhi dan atau berkembang, jika keterlibatan
dalam organsisasi terbukti menjadi pengalaman yang memuaskan yaitu dapat
31
memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan semakin baik
atau menghasilkan kesempatan untuk mendapatkan skill yang berharga.
2) Komitmen berkelanjutan (Continuance commitment) Komitmen
berkelanjutan adalah komitmen pada organisasi dengan pertimbangan
berbagai macam kerugian apabila keluar dari organisasi. Komitmen ini
dipengaruhi dan atau dikembangkan pada saat individu melakukan investasi,
yang mana investasi tersebut akan hilang atau berkurang nilainya apabila
individu beralih dari organisasinya. Komitmen ini berhubungan dengan
pendekatan side bets atau pendekatan orientasi sisi pertaruhan yang
menunjukan kuatnya tendensi kebutuhan seseorang untuk terus bekerja bagi
orang.
3) Komitmen Normatif (Normative Commitment)Komitmen normatif adalah
komitmen pada organisasi yang mengacu pada perasaan seseorang akan
kewajiban untuk tetap tinggal dalam suatu organisasi. Komitmen normatif
dipengaruhi dan atau berkembang sebagai hasil dari internasionalisasi
tekanan normatif untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu, dan
penerimaan keuntungan yang menimbulkan perasaan akan kewajiban yang
harus dibahas.
Greenverg dan Baron (1995) menambahkan dua faktor lain yang
mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu adanya kesempatan untuk
mendapatkan alternatif pekerjaan dan perlakuan organisasi terhadap karyawan
baru. Kesempatan alternatif pekerjaan berkaitan dengan kesempatan individu
untuk memperoleh pekerjaan lain. Semakin besar persepsi individu mengenai
32
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan lain, semakin rendah tingkat
komitmennya. Perlakuan organisasi terhadap karyawan baru dapat mempengaruhi
komitmen organisasi karena organisasi dapat melakukan berbagai hal untuk
membantu karyawan baru untuk mempelajari seluk beluk perusahaan dan menjadi
anggota yang produktif dalam organisasi.
Cukup beralasan untuk memprediksi bahwa seseorang yang merasa
memiliki komitmen terhadap organisasi akan berbeda dengan seseorang yang
kurang mempunyai komitmen. Beberapa bukti yang berkembang mendukung
pernyataan ini. Komitmen organisasi memiliki beberapa pengaruh terhadap
beberapa aspek perilaku. Seseorang yang tidak puas akan pekerjaannya atau yang
kurang berkomitmen akan terlihat menarik diri dari organisasi, baik melalui
ketidakhadiran maupun masuk keluar.
Berdasarkan penjelasan dan kajian penelitian terdahulu, maka dalam
penelitian ini menggunakan variabel komitmen dengan dimensi afektif yang
diukur dengan indikator rasa memiliki, rasa keterikatan dan bagian dari keluarga.
Dimensi komitmen normatif dengan indikator kewajiban kepada organisasi,
manfaat bagi organisasi, rasa bersalah dan rasa berhutang pada organisasi. Untuk
dimensi komitmen berkelanjutan dengan indikator tetap tinggal dalam organisasi,
keinginan untuk meninggalkan organisasi dan keinginan untuk bekerja di
organisasi lain (Suzzana, 2005).
2.3 Budaya Organisasi
2.3.1 Definisi Budaya Organisasi
33
Berbagai definisi tentang budaya organisasi telah disampaikan dalam
konteks antropologi, psikologi organisasi, dan teori manajemen. Deal dan
Kennedy (1982) menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai dominan yang
dianut oleh organisasi, Kotter dan Heskett (1997) mengemukakan budaya
organisasi merupakan pola perilaku atau gaya yang mendorong anggota baru
untuk mengikutinya. Frost et al. (1985) mengemukakan pentingnya budaya
organisasi bagi anggota organisasi karena menyangkut tentang simbol, ritual,
mitos, cerita dan legenda tentang interpretasi kejadian, ide dan pengalaman yang
dipengaruhi dan dibentuk oleh kelompok orang-orang dimana mereka saling
berinteraksi.
Hofstede (2001) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola pemikiran,
perasaan, dan tindakan dari satu kelompok sosial, yang membedakan dengan
kelompok sosial yang lain. Siagian (2009) memberikan definisi budaya organisasi
mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota
organisasi yang membedakan perusahaan tersebut dengan perusahaan lain.
Dikemukakan pula bahwa budaya organisasi merupakan salah satu variabel
penting bagi seorang pemimpin karena budaya organisasi mencerminkan nilai-
nilai yang diakui dan menjadi pedoman bagi pelaku anggota organisasi. Robbins
dan Judge (2009) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu persepsi
bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi dan menjadi suatu sistem
dari makna bersama. Schein (2004) memilih definisi yang dapat menjelaskan
bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti sekarang
ini, atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi
34
sedang dipertaruhkan. Schein (2004) memberikan definisi bahwa budaya
organisasi merupakan:
“a pattern of basic assumptions that a given group has invented,
discovered, or developed in learning to cope with its problems of external
adaptation and internal integration, and that have worked well enough to be
considered valid, and therefore, to perceive, think and feel in relation to those
problems.“
Pada sisi lain budaya organisasi sering diartikan sebagai filosofi dasar
yang memberikan arahan bagi karyawan dan konsumen. Berdasarkan berbagai
definisi tersebut, hal penting yang perlu ada dalam definisi budaya organisasi
adalah suatu sistem nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh anggota dalam
perusahaan. Selain dipahami, sistem nilai tersebut digunakan sebagai pegangan
sumber daya manusia dalam menjalankan kewajiban dan perilakunya di dalam
organisasi (Susanto et al., 2008).
Dapat dijelaskan bahwa Budaya Organisasi merupakan suatu sistem dari
kepercayaan-kepercayaan dan nilai nilai yang berkembang dalam organisasi dan
mengarahkan perilaku anggotanya. Dalam bisnis, sistem-sistem ini sering
dianggap sebagai budaya organisasi. Tidak ada dua pribadi yang sama, tidak ada
budaya organisasi yang identik.
2.3.2 Karakteristik Budaya Organisasi
Budaya organisasi sebagai suatu nilai atau kebiasaan yang menjadi filosofi
anggota organisasi atau motivasi dalam melaksanakan tugasnya akan mempunyai
35
karakteristik yang berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
Susanto et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat berbagai variasi dalam
penetapan karakteristik budaya organisasi, di mana karakteristik budaya
organisasi tersebut yaitu sebagai berikut:
a) Kepemimpinan, memegang peranan penting dalam budaya organisasi,
terutama pada organisasi yang budaya organisasinya lemah;
b) Inovasi, dalam mengerjakan tugas-tugas lebih berorientasi kepada pola
pendekatan dengan metode-metode yang telah teruji atau memberikan
keleluasaan untuk menerapkan cara baru melalui eksperimen;
c) Inisiatif individu, meliputi derajat tanggung jawab, kebebasan, dan
independansi dari tiap-tiap anggota organisasi;
d) Toleransi terhadap risiko. seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk
lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi risiko;
e) Pengarahan, kejelasan organisasi dalam menentukan objektif dan harapan
terhadap sumber daya manusia dengan hasil kerja yang dilakukan;
f) Integrasi, bagaimana unit-unit di dalam organisasi didorong untuk melakukan
kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik;
g) Dukungan manajemen, seberapa baik manajer memberikan komunikasi yang
jelas dan dukungan terhadap bawahan;
h) Pengawasan, supervisi langsung pihak manajemen untuk melihat secara
keseluruhan dari perilaku anggota organisasi;
i) Identitas, pemahaman anggota organisasi yang memihak kepada organisasi
secara penuh;
36
j) Sistem penghargaan, dikaitkan dengan reward yang didasarkan pada kriteria
hasil kerja anggota organisasi;
k) Toleransi terhadap konflik, mendorong anggota organisasi untuk kritis
terhadap konflik yang terjadi; dan
l) Pola komunikasi, komunikasi yang terbatas pada herarki formal dari setiap
organisasi.
Karakteristik-karakteristik di atas hendaknya dapat menjadi ukuran
kekuatan dari setiap organisasi untuk mencapai sasarannya. Hal ini juga menjadi
ukuran sumber daya manusia dalam melihat organisasi tempat mereka bekerja.
Karakteristik budaya organisasi di atas mencerminkan budaya aktif, baik dalam
organisasi profit maupun non-profit sehingga organisasi diharapkan dapat
memotivasi peran individu untuk secara responsif mengaktualisasikan diri dalam
organisasi.
2.3.3 Relevansi Konsep THKdalam Subak
Keberadaan sistem subak diyakini merupakan pilar kebudayaan Bali yang
sangat penting. Hal itu terjadi karena sebagian besar komunitas Bali telah
terhimpun dalam lembaga tradisional tersebut khususnya, bagi masyarakat yang
bermata pencaharian utama di sektor pertanian, baik yang berada pada kawasan
agraris maupun kawasan wisata. Apabila eksistensi lembaga tradisional subak
tersebut mulai terancam, tidak solid, bahkan tidak berlanjut, maka selain sektor
pertanian akan menghadapi permasalahan, dunia kepariwisataan di Bali juga akan
memulai kehancurannya. Hal ini terjadi karena konsep pembangunan
37
kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali pada saat ini adalah konsep
pariwisata budaya.
Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik
sesioagraris religius, merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi
di lahan pertanian. Karakteristik sosioagraris- religius dikatakan lebih tepat dalam
sistem irigasi subak karena pengertian tersebut cakupannya lebih luas menyangkut
pengertian teknis pertanian dan teknis irigasi (Arif 1999 dalam Pitana 2005).
Kajian yang sama dilakukan oleh Teken (1988); Samudra (1993); Sushila (1993);
dan Geertz 1990; semuanya dalam Wiana(2007) dalam Riana (2010) menyatakan
bahwa sistem irigasi subak yang disebutkan hanya mempunyai gatra fisik dan
sosial sebetulnya tidaklah salah, tetapi dikatakan kajiannya masih kurang lengkap.
Subak merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (Farmer based irigation
system) dan lembaga yang mandiri (self-govermed irigation institution).
Keberadaannya yang sudah hampir satu millenium mengisyaratkan bahwa subak
merupakan sebuah lembaga yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun
diakui, bahwa dengan semakin bergesernya kegiatan masyarakat dari sektor
agraris ke sektor tersier, subak kelihatan kini eksistensinya mulai terancam.
Pusposutardjo dan Arif dalam Pitana (2002) meninjau subak dari sistem
teknologi dari suatu sosio culture masyarakat menyatakan bahwa subak
merupakan suatu proses transformasi sistem culture masyarakat subak pada
dasarnya memiliki tiga subsistem, yaitu (1) subsistem budaya (norma dan nilai),
(2) subsistem sosial (ekonomi), dan (3) subsistem kebendaan (teknologi). Semua
subsistem tersebut memiliki hubungan timbal balik dan keseimbangan dengan
38
lingkungannya. Dengan keterkaitan dan menyatunya ketiga subsistem di atas
maka secara teoritik, konflik antar-anggota dapat dihindari karena antar-subsistem
telah terwujud dalam suatu wadah yang terkoordinasi sehingga memunculkan
harmoni dan kebersamaan.
Sistem subak yang sering diartikan sebagai sistem irigasi pertanian di Bali
pada dasarnya merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis (Windia, 2007).
Sistem sosioteknis dimaksudkan sebagai suatu sistem teknologi yang telah
menyatu dengan sosial culture masyarakat setempat di mana karakter teknologi
tersebut merupakan teknologi yang telah berkembang menjadi budaya
masyarakat. Butir-butir THK yang tercermin dalam sistem subak pada hakekatnya
menunjukan suatu bentuk perwujudan konsep THK dalam sistem subak menurut
Riana (2010) diuraikan sebagai berikut.
(a) Subsistem budaya (nilai) tercermin dari pola pikir pengelolaan sistem irigasi
yang dilakukan dengan landasan harmoni dan kebersamaan. Air dianggap
sangat bernilai dan dihormati serta dianggap sebagai karunia dan ciptaan
Tuhan. Organisasi subak tidak dapat terlepas dengan masalah air. Oleh karena
itulah, subak secara kontinu menyelenggarakan upacara khusus untuk
menghormati keberadaan air yaitu upacara menjemput air (mendak toyo),
melakukan ritual khusus (nagguk merana) apabila sumber air berkurang pada
kemarau panjang atau ada sesuatu yang mengancam petani (misalnya
diserang hama, tikus dan lain-lain). Demikian pula dalam kelompok subak
dibangun tempat pemujaan (pura subak/bedugul) sebagai manefestasi
39
pemujaan Dwi Sri, diikuti dengan melakukan ritual secara berkala (odalan
dan pecaruan) sebagai rasa terima kasih kepada Tuhan.
(b) Subsistem sosial dicerminkan oleh adanya organisasi subak yang disesuaikan
dengan kepentingan organisasi., dan sesuai dengan pola pikir yang dianut.
Organisasi subak biasanya mempunyai struktur organisasi yang berbeda beda
pada setiap subak, bergantung kepada luasnya areal, ketersediaan air irigasi,
dan kegiatan yang harus dilakukan. Aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis (awig-awig dan pareman) diberlakukan berkaitan dengan kepentingan
anggota (jika ada yang melanggar dikenakan sanksi sesuai dengan paswara).
Aturan-aturan yang dibuat berdasarkan atas konsep ketuhanan (parahyangan)
di mana pelaksanaannya sangat dihormati oleh anggota subak.
(c) Subsistem kebendaan dicerminkan oleh ketersediaan sarana jaringan irigasi
yang sepadan dengan kebutuhan organisasi sehingga jaringan irigasi tersebut
dapat mendistribusikan segala kebutuhan anggota secara adil. Dalam
subsistem kebendaan juga diatur tentang proses pinjam-meminjam dalam
penggunaan saluran irigasi, proses pendistribusian secara cepat sehingga
dapat memenuhi dan melayani kebutuhan seluruh anggota yang ada dengan
cepat. Untuk menjaga saluran irigasi, semua anggota subak diharuskan
menjaga bersama dengan melakukan kegiatan gotong royong sesuai dengan
waktu yang telah disepakati bersama.
2.3.4 Budaya THK dan Budaya Organisasi.
40
Budaya THK merupakan budaya yang bersumber dari kearifan lokal.
Menurut Sobirin (2009) budaya nasional terbentuk oleh alasan-alasan yang
berbeda karena munculnya sebuah negara mempunyai latar belakang yang
berbeda. Oleh karena itu, berbagai faktor (seperti etnis, ekonomi, politik, agama,
ataupun bahasa) memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya nasional.
Schein (2004) mengemukakan bahwa budaya organisasi didasarkan atas
tiga tingkatan, yaitu: pertama, artifacts, sesuatu yang dimodifikasi oleh manusia
untuk tujuan tertentu yang dapat langsung dilihat dari struktur sebuah organisasi
dan proses yang dilakukan dalam organisasi. Artifacts merupakan hal yang paling
mudah ditangkap pada saat kita memasuki sebuah organisasi karena berhubungan
dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan saat berada dalam sebuah
lingkungan organisasi. Kedua, espoused beliefs and values adalah nilai-nilai
pendukung mencakup strategi, tujuan, dan filosofi dasar yang dimiliki oleh
organisasi yang dapat dipahami jika sudah mulai menyelami organisasi tersebut
dengan tinggal lebih lama dalam organisasi. Nilai-nilai pendukung biasanya
dinyatakan secara tertulis dan menjadi acuan bagi setiap langkah yang dilakukan
oleh anggota organisasi. Ketiga, underlying basic assumptions, merupakan
asumsi-asumsi tersirat yang diyakini bersama. Nilai-nilai, kepercayaan, dan
asumsi-asumsi yang digunakan oleh para pendiri yang dianggap sebagai hal
penting dalam membawa organisasi menuju gerbang kesuksesan. Konsep
bangunan budaya Schein (2004) tersebut digambarkan pada Gambar 2.1.
Visible organizational structure and processes
(hand to decipher)
Strategic, goals, philosophis (espoused jushfications)
Artifacts
Espoused Beliefs and Values
41
Sumber: Schein, 2004 (Riana, 2010; 58)
Gambar 2.1
Elemen-Elemen Budaya
Berdasarkan Gambar 2.1 model yang dikembangkan Schein (2004)
membantu mengorganisasi teka-teki budaya dimana artifak merupakan hal yang
paling mudah diamati, sementara asumsi dasar perlu disimpulkan. Untuk
memahami perilaku atau kepercayaan yang dimaksudkan oleh anggota, asumsi
dasar harus diangkat. Asumsi dasar merupakan tingkatan yang paling sulit karena
berada di luar kesadaran. Model Schein (2004) dapat diaplikasikan, baik terhadap
budaya nasional maupun budaya organisasi. Budaya organisasi dapat
memodifikasi pada dua tingkatan, tetapi mempunyai sedikit dampak terhadap
asumsi dasar bilamana dikaitkan dengan budaya nasional. Kondisi ini
menimbulkan tanggapan apakah perilaku, nilai, dan kepercayaan yang ditentukan
oleh budaya nasional semata-mata dipatuhi atau benar-benar dimasukkan di dalam
budaya organisasi (Sathe, 1983 dalam Sangen, 2005).
Kebudayaan selalu dikonsepsikan sebagai hasil dari hubungan yang
dipolakan dari berbagai unsur, seperti teknologi, kepercayaan, nilai, dan aturan
yang berfungsi sebagai pedoman. THK merupakan produk perilaku manusia yang
42
lebih bersifat subjektif dan interpretatif. Oleh sebab itu, simbol-simbol akan
terbangun oleh pemahaman subjektif yang dikaitkan dengan fenomena-fenomena
yang mempunyai konsekuensi objektif. Dalam kaitannya dengan THK,
parahyangan analog dengan subsistem nilai, pawongan analog dengan subsistem
sosial, dan palemahan analog dengan subsistem artefak (Windia dan Dewi 2011).
Keterkaitan antar subsistem tersebut dalam konsep THK nampak seperti Gambar
2.2.
Sumber: Windia (2007)
Gambar 2.2.
Elemen Budaya THK
Berdasarkan Gambar 2.2 elemen-elemen budaya; artifacts, espouse value,
dan basic assumptions (Schein, 2004) dan subsistem pola pikir, subsistem sosial,
artifak (Koentjaraningggat, 2005) tercermin di dalam elemen-elemen budaya
THK, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan. Dengan demikian, dapat
dijelaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam THK telah digunakan
sebagai suatu tata nilai yang digunakan sebagai pegangan anggota organisasi
dalam melaksanakan kewajiban dan berperilaku.
Lingkungan Lingkungan
Palemahan
Sub sistem artefak
Pawongan
Subsistem sosial
Perahyangan
sub sistem nilai
43
Apabila dibuatkan dalam bentuk matriks perbandingan antara teori budaya
Hofstede, Schein, Koentjaraninggrat, dengan Budaya Tri Hita Karana (THK)
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Perbandingan Tingkatan dan Dimensi Budaya THK
THK Koentjaraninggrat Schein Hofstede
Parahyangan Sistem nilai Basic assumption Uncertaity
avoidance
Pawongan Sistem sosial Value system Individualism &
Collectivism
Power distance
Maskulinity &
feminity
Pelemahan Sistem kebendaan Artifact Short term &
long term
Sumber: Riana (2010,60)
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dijelaskan bahwa karakteristik dan dimensi
budaya THK telah tercermin dalam dimensi beberapa konsep budaya
(Koentjaraningrat, Schein, dan Hofstede). Dengan demikian, konsep budaya THK
merupakan konsep budaya di mana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah
mewarnai berbagai kehidupan masyarakat khususnya di Bali, termasuk dalam
melakukan aktivitas bisnis sehingga dapat disebut budaya organisasi.
Di dalam memahami konsep budaya nasional tampaknya tidak dapat lepas
dari hasil karya Hofstede (2001) yang dalam melakukan kajian terhadap budaya
nasional menggunakan konsep dasar nilai dari Kluckhohn (Sobirin, 2009).
Hofstede (2001) memandang budaya nasional merupakan budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah. Untuk
menindaklanjuti hal tersebut, Hofstede telah melakukan penelitian tentang budaya
nasional yang lebih menitikberatkan pada nilai-nilai yang berkaitan dengan
44
pekerjaan. Secara umum perbedaan nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerjaan
dibedakan menjadi lima dimensi, yakni power distance, individualism -
collectivism, masculinity-feminity, uncertainty avoidance, dan short term-long
term orientation.
Selanjutnya, Hofstede (2001) berpendapat bahwa pendekatan terhadap
analisis budaya nasional dan budaya organisasi memiliki suatu perbedaan.
Pendekatan analisis budaya nasional berpegang secara menyeluruh pada tata nilai
dan norma-norma, sedangkan budaya organisasi lebih berpegang pada praktika.
Oleh sebab itu, budaya organisasi merupakan perilaku anggota organisasi sehari-
hari sehingga pengukuran tata nilai dilakukan dengan melihat perilaku anggota
organisasi (Hofstede, 2001). Dengan demikian, sebenarnya Hofstede melakukan
analisis budaya organisasi berdasarkan praktiknya, walaupun membahas budaya
nasional namun latar belakangnya adalah budaya organisasi.
Dengan demikian, konsep Tri Hita Karana dapat menuntun sikap dan
perilaku untuk menjaga integritas melalui: mensyukuri karunia Tuhan dengan
jalan bertakwa kepada-Nya (Ketakwaan), Bekerja sebagai pengorbanan dan
pengabdian (dedikasi) dan sikap Kejujuran sebagai manifestasi dari unsur
parahyangan. Untuk memperoleh kesejahteraan manusia dituntut adanya etos
kerja yang tinggi dalam bentuk: kreativitas, kerja keras tanpa mengenal putus asa,
menghargai waktu, kerja sama yang harmonis, satya wacana, efisiensi yang etis
dan penuh prakarsa sebagai manefestasi dari unsur pawongan. Untuk
memperoleh kesejahteraan manusia dituntut untuk melestarikan lingkungan dalam
45
bentuk membangun, memelihara, dan mengamankan lingkungan sebagai
manifestasi unsur palemahan (Surya, 2014)
Oleh karena itu, maka dapat disajikan bahwa variabel budaya organisasi
dalam penelitian ini mengacu pada konsep falsafah berbasis budaya Bali Tri Hita
Karana yang memiliki tiga dimensi yaitu: unsur parahyangan, unsur pawongan
dan unsur palemahan yang diadopsi sebagai Budaya Organisasi
2.3.5. Indikator Budaya THK
Teori budaya organisasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendapat
Hofstede (2001) mengatakan bahwa pada masyarakat di Asia, nilai-nilai dan
norma agama masih sangat kuat. Di samping itu, konsep budaya Hofstede telah
populer dan dipakai dasar untuk melihat konsep budaya nasional lebih mendalam
tampaknya tidak bisa lepas dari hasil karya Hofstede. Budaya nasional akan
secara terus-menerus mempengaruhi nilai-nilai kerja dalam suatu organisasi,
begitu juga dalam berbagai literatur, khususnya yang mengkaji aspek kehidupan
dan kegiatan manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan Hofstede hampir
selalu menjadi rujukan utama (Sobirin 2009). Demikian juga Taliziduhu (2005)
mengemukakan bahwa budaya organisasi akan selalu dipengaruhi oleh
lingkungan dimana organisasi tersebut berada. Sehingga, budaya nasional
cendrung akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap karyawan daripada
budaya organisasi itu sendiri (Robbins dan Judge 2009).
Berdasarkan kajian di atas maka dimensi parahyangan dalam budaya Tri
Hita Karana yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Dimensi
46
parahyangan ini jika dijastifikasikan ke teori Hofstede identik dengan uncertainty
avoidance, merupakan reaksi dari masing-masing anggota organisasi terhadap
ketidaktahuan dan ketidakpastian. Secara umum uncertainty avoidance
dibedakan menjadi dua yakni: (i) Stronguncertainty avoidance adalah toleransi
yang relatif rendah terhadap situasi ketidakpastian. Rendahnya toleransi ini
mendorong munculnya upaya-upaya yang sangat kuat untuk menghindarinya; (ii)
weak uncertainty avoidance adalah toleransi yang relatif tinggi terhadap situasi
ketidakpastian, cendrung berupaya untuk menghindari ketidakpastian.
Dimensi pawongandalam budaya Tri Hita Karana yang merupakan
hubungan manusia dengan manusia. Dimensi pawongan kalau dijastifikasikan ke
teori Hofstede identik dengan: (1) Power distance, merupakan dimensi yang
mengungkapkan jarak hubungan (tingkat ketidaksetaraan) antara bawahan dengan
atasan dengan bawahan, antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan
orang yang berkuasa. Kesetaraan hubungan tersebut dibedakan menjadi dua
yakni: (i) large power distance, dalam batas-batas tertentu karyawan atau
sekelompok karyawan menyadari dirinya adalah orang kecil, tidak memiliki
wewenang, tidak memiliki pengaruh, oleh karena itu mereka rela diberi petunjuk,
diarahkan, diperintah. (ii) small power distance, merupakan dimensi yang
mengungkapkan jarak hubungan (tingkat ketidaksetaraan) antara bawahan dengan
atasan dengan bawahan yang relatif sempit; (2) Individualism dan collectivism.
individualism berkaitan dengan hubungan antar individual begitu renggang, setiap
orang lebih peduli dengan dirinya sendiri dan teman dekatnya. Collectivism,
berkaitan dengan organisasi, dimana seseorang sejak menjadi karyawan
47
merupakan bagian integral dari organisasi tempat mereka bekerja; (3) Masculinity
dan feminity, berkaitan dengan peran gender yang dipresentasikan oleh organisasi.
(i) masculinity, organisasi membedakan secara tegas, dimana karyawan laki-laki
diharapkan lebih assertif, kompetitif, serta lebih dominan dalam melaksanakan
tugas organisasi sedangkan karyawan perempuan lebih lunak dan sedikit
peranannya. (ii) feminity, organisasi yang tidak dengan tegas membedakan peran
masing-masing jender di mana, baik karyawan laki-laki maupun perempuan
dituntut kompetitif tetapipada saat yang sama juga diharapkan koperatif.
Dimensi palemahandalam budaya Tri Hita Karana yang merupakan
hubungan manusia dengan lingkungan. Dimensi palemahan kalau dijastifikasikan
ke teori Hofstede identik dengan short term dan long term orientation merupakan
orientasi terhadap waktu. Short term orientation, organisasi hanya berpikir jangka
pendek dan tidak memperhatikan dan menyesuaikan dengan lingkungan
sekitarnya. Sedangkan long term orientation, organisasi telah berpikir tentang
kehidupan organisasi dalam jangka panjang serta memperhatikan dan
menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya.
2.4 Kepemimpinan
2.4.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah cara seorang pimpinan mempengaruhi perilaku
bawahan, agar mau bekerjasama dan bekerja secara produktif untuk mencapai
tujuan organisasi. Berikut akan disajikan beberapa pendapat dari para pakar
mengenai pengertian atau definisi kepemimpinan.
48
Kepemimpinan adalah Keseluruhan aktivitas dalam rangka mempengaruhi
orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang memang
diinginkan bersama. (Martoyo,2000:176). Kepemimpinan adalah suatu proses
pemberian petunjuk dan pengaruh kepada anggota kelompok atau organisasi
dalam melaksanakan tugas-tugas (Hamalik, 2000:165). Kepemimpinan adalah
sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pada kegiatan-kegiatan dari
sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko,2003:294).
Mengacu kepada Weihrich dan Koontz (1994:490), “Leadership is
definied as influence, that is the art or process of influencing people so that they
wiil strive willingly and anthusiastically toward the achievement of group goals”.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan cara apapun, agar mampu
mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan
kehendaknya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan pada
hakikatnya adalah (1) kemampuan mempengaruhi tatalaku orang lain (bawahan,
rekan sekerja, atasan), (2) adanya pengikut yang dapat dipengaruhi (baik melalui
ajakan, anjuran, bujukan, sugesti, perintah maupun bentuk lain), (3) adanya tujuan
yang hendak dicapai, Handoko (2003:48).
Dengan demikian kepemimpinan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki
oleh setiap pimpinan dalam mempengaruhi dan menggerakkan bawahannya
sedemikian rupa sehingga para bawahannya bekerja dengan rasa bergairah ,
bersedia bekerja sama dan disiplin yang mendorong mereka untuk mencapai
tujuan tertentu secara terorganisir.
49
2.4.2. Mapping Perkembangan Konsep Kepemimpinan
Schein (2004) mengatakan, kepemimpinan telah teridentifikasi sebagai
komponen kritis dan penting dalam membentuk kesuksesan organisasi. Dalam
review literatur, kepemimpinan merupakan konsep yang bersifat
multidimensional. Seringkali, pengertian kepemimpinan dan manajemen
disamakan oleh banyak orang. Namun, ada pula yang membedakan pengertian
keduanya. John Kotter (dalam Robbins, 2007) berpendapat, bahwa kepemimpinan
berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi
kerumitan da masalah. Manajemen yang baik menghasilkan tata tertib dan
konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur
organisasi yang ketat dan memantau hasil liwat pembandingan terhadap rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepemimpinan, sebaliknya berkaitan dengan
hal-hal untuk mengatasi perubahan, dengan pemimpin menetapkan arah dalam
mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian
mengomunikasikannya kepada setiap orang dan mengilhami orang-orang tersebut
dalam menghadapi segala rintangan. Kotter menganggap, baik kepemimpinan
yang kuat maupun manajemen yang kuat, merupakan faktor penting bagi
optimalisasi efektivitas organisasi.
Sebagaimana disebutkan Yukl (1998), bahwa kepemimpinan dapat di-
karakteristikkan menjadi berbagai macam cara, begitu pula dalam mendefinisikan
kepemimpinan itu sendiri. Berbagai definisi tentang kepemimpinan sebelumnya
telah dibahas, tetapi beberapa pandangan penting tentang kepemimpinan yang
lebih spesifik dan sederhana dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
50
Tabel 2.2
Konsep Kepemimpinan dari Masa ke Masa
Penulis/Peneliti (Tahun) Definisi Kepemimpinan
(1) (2)
Fiedler (1967) Kepemimpinan didasarkan pada pengaruh dan kekuatan dari proses
kelompok dan hasil dari beragam tugas
Burns (1978) Kepemimpinan memotivasi dan mencapai tujuan akhir
Kouzes dan Posner (1987)
Kepemimpinan merupakan aturan dari kapabilitas dan skill di mana
individual yang berpengalaman dan yang baru serta dapat
menunjukkan cara untuk mengubah tantangan menjadi ke-sempatan
Bass (1990) Kepemimpinan berperan sebagai tanda/lambang dari organisasi dan
juga sebagai model untuk orang-orang
Yukl (1998)
Kepemimpinan terdiri dari kelompok prosedur yang meng-hasilkan
organisasi dan mengubahnya sesuai kebutuhan untuk menunjuk pada
perubahan situasi yang signifikan
Drucker (1999) Kepemimpinan adalah pekerjaan dari setiap manajer dan setiap
karyawan dalam organisasi
Kotter (1999) Kepemimpinan menguraikan visi dari masa depan, kesempat-an apa
dan bagaimana mengarahkan orang-orang serta menginsiprasi mereka
Bennis (1999)
Kepemimpinan dibuat lewat mengetahui diri sendiri, memiliki visi
masa depan yang dapat dikomunikasikan secara baik, membangun
kepercayaan diantara kolega, membuat keputusan efektif dan
melakukan sesuatu hal untuk mencapai potensi kepemimpinan
seseorang
Goleman (2004) Kepemimpinan adalah menyelesaikan suatu hal lewat sese-orang
Schein (2004) Kepemimpinan membentuk kesuksesan organisasi dalam jangka
pendek dan menengah
Robbins (2003, 2006)
Kepemimpinan yang dinyatakan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok untuk diarahkan kepada pencapaian
tujuan
Greenberg dan Baron (2008)
Kepemimpinan merupakan proses dimana seseorang mem-pengaruhi
anggota kelompok lain lewat pencapaian dari kelompok yang telah
ditentukan atau tujuan organisasi
Colquitt (2009)
Kepemimpinan merupakan penggunaan kekuatan dan peng-aruh untuk
mengarahkan aktivitas dari pengikut terhadap pencapaian tujuan yang
telah ditentukan sebebelumnya
Sumber: Sylvester (2009), Greenberg dan Baron (2008), Colquitt (2009).
Menurut Sylvester (2009), konsekuensi dari berbagai pendapat tersebut
lebih kepada kepemimpinan yang secara efektif lebih dideskripsikan sebagai
kelompok perilaku dan keadaan yang memungkinkan organisasi untuk beradaptasi
pada segala macam perubahan yang signifikan dalam lingkungan. Dengan kata
51
lain, kepemimpinan menegaskan seperti apa masa depan yang terlihat bagi
organisasi, kemudian meluruskan individu yang dipekerjakan pada organisasi
dengan visi dan misi masa depan, dengan menginspirasi mereka untuk membuat
segala perubahan apa pun hambatan yang dihadapi.
Konsep kepemimpinan yang diadopsi dalam penelitian ini ialah filosofi
Asta Brata, yang artinya seorang pemimpin yang memiliki sifat dan perilaku
berlandaskan kehidupan sosial-religius yang harmonis berasaskan Tri Hita
Karana. Manifestasi konsep Asta Brata dalam melaksanakan peran sebagai
seseorang pemimpin, seorang pemimpin wajib memahami konsep-konsep
kepemimpinan yang bersifat sosial-religius yag terkandung di dalam konsep Asta
Brata dan Tri Hita Karana.
2.4.3. Kepemimpinan dalam Agama Hindu
Dalam ajaran Hindu terdapat beberapa ajaran atau prinsip kepemimpinan
(leadership) yang menekankan kepada perilaku seorang pemimpin. Salah satunya
adalah Astadasa Paramiteng Prabhu atau delapan belas prinsip-prinsip utama
kepemimpinan. Suhardana dalam Surya (2014) prinsip-prinsip kepemimpinan ini
termuat dalam Kakawin Gajah Mada. Kakawin ini menguraikan kejayaan
mahapatih Gajah Mada yang terkenal bijaksana. Di dalam kakawin tersebut
terdapat ajaran kepemimpinan di antaranya tentang profil pemimpin, kerja keras,
visioner, cerdik, cermat, tipu daya, melenyapkan gangguan terhadap negara.
Pemimpin dan pandita melaksanakan fungsinya sebagai Brahma, Wisnu, dan
Siva, mewujudkan kesejahtraan, melindungi seluruh wilayah negara,
52
menumbuhkan kesadaran warga negara terhadap tegaknya hukum, mewujudkan
kesucian pribadi melalui pertapaan, dan samadhi. Gajah Mada seorang
negarawan besar dan ajaran kepemimpinan yang diajarkan dan di
implementasikan masih sangat relevan dewasa ini.
Kegemilangan, kesuksesan dan kemampuan Gajah Mada dalam
mempersatukan seluruh Nusantara tentu amat menarik untuk dipelajari. Sejarah
telah mencatat bahwa misteri sukses Gajah Mada itu ternyata terletak pada
kuatnya dalam meyakini dan menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan yang
dinamakan Astadasa Paramiteng Prabhu. Menurut Tandes (2007) secara garis
besar, norma-norma kepemimpinan Gajah Mada yang terdiri atas 18 (astadasa)
prinsip itu dapat diklasifikasikan dalam tiga dimensi :
(a). Dimensi Spiritual:
Dimensi spiritual merupakan dimensi inti dari Astadasa Paramiteng
Prabhu. Dimensi ini membentuk kecerdasan spiritual seorang pemimpin.
Kecerdasan spiritual ini dapat diperoleh dengan mengkhayati dan
mengamalkan apa yang dinamakan Tri Hita Karana atau tiga penyebab
kebahagiaan, yakni adanya hubungan baik dengan Tuhan, hubungan baik
antarsesama manusia dan hubungan baik dengan lingkungan. Selanjutnya
pengkhayatan dan pengamalan Tri Hita Karana secara terus-menerus akan
dapat meningkatkan Tri Kaya Parisudha seorang pemimpin: berpikir yang
baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik. Dengan semakin
meningkatnya Tri Kaya Parisudha itu, maka kemampuan pengendalian
dirinya pun akan meningkat pula.
53
Untuk meningkatkan kualitas spiritualnya, Gajah Mada selalu mendidik
dirinya dengan menjalankan secara terus-menerus apa yang dinamakan
Sadguna Wiweka dengan selalu berjuang memerangi Sad Ripu atau enam
musuh yang ada dalam dirinya (kama/nafsu, lobha/tamak, krodha/marah,
moha/bingung, mada/mabuk dan matasarya/irihati). Dengan menggembleng
diri seperti itu, maka seorang pemimpin akan mampu memancarkan tiga
prinsip dimensi spritual itu.
Dimensi spiritual kepemimpinan Gajah Mada itu terdiri atas tiga prinsip,
yaitu sebagai berikut.
1) Wijaya artinya tenang, sabar dan bijaksana. Seorang pemimpin
hendaknya selalu sabar, selalu tenang dan bijaksana dalam menghadapi
berbagai persoalan. Seorang pemimpin karena itu harus pandai
mengendalikan diri, mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya.
2) Masihi Samasta Bhuwana atau harmonis dengan alam. Seorang
pemimpin harus mengerti bahwa alam semesta dengan segenap isinya ini
adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, alam semesta termasuk semua
makhluk dan tumbuh-tumbuhan harus disayangi. Pemimpin tidak boleh
merusak alam sekitar dan tidak boleh menyakiti makhluk lain.
3) Prasaja artinya hidup sederhana. Seorang pemimpin tidak boleh hidup
dengan penuh kemegahan dan kemewahan, sebab hal itu bisa menyakiti
hati rakyat. Pemimpin harus bisa menjadi suri tauladan bagi seluruh
rakyatnya agar hidup bersahaja, hidup sederhana.
(b). Dimensi Moral:
54
Dimensi Moral kepemimpinan Gajah Mada terdiri atas enam prinsip, yaitu
sebagai berikut.
1) Mantriwira artinya seorang pemimpin harus berani membela dan
menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh tekanan dari
pihak lain. Menegakkan keadilan dan kebenaran merupakan prinsip
utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tetapi memegang
teguh prinsip Mantriwira ini memerlukan Kawiryan artinya keberanian
yang luar biasa dengan prinsip berani karena benar dan takut karena
salah. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh seorang pemimpin yang
mempunyai kualitas Atma Sampad artinya mempunyai integritas tinggi
dan moral yang luhur serta objektif dalam memandang segala sesuatu.
Sedangkan,Kawiryan hanya dapat dipunyai oleh para pemimpin yang
sudah mengisi diri dengan sifat luhur.Ngesti Giri artinya kuat imannya,
teguh, tangguh dalam menegakkan kebenaran serta tabah dan tegar dalam
menghadapi risiko.
2) Sarjawa Upasama. Seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh
sombong atau congkak dan tidak mentang-mentang karena menjadi
pemimpin atau janganlah sok kuasa. Jangan pula sewenang-wenang
dengan kekuasaan yang dipunyai. Seorang pemimpin hendaknya tidak
berperilaku adhigang adhigung adhiguna, artinya bersandar kepada
kekuatan, kekuasaan dan kepandaian. Pemimpin yang sombong dan sok
kuasa, tidak akan memperoleh simpati dari bawahannya. Loyalitas yang
mungkin diperolehnya akan bersifat semu. Seorang pemimpin harus
55
memahami bahwa antara pemimpin dan bawahan itu saling
membutuhkan. Oleh karena kedua pihak harus bersinergi untuk mencapai
tujuan bersama.
3) Tan Satresna. Seorang pemimpin harus berdiri diatas semua golongan. Ia
tidak boleh memihak kepada salah satu pihak manapun juga. Ini berarti
bahwa seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih. Seorang pemimpin
harus mampu mengatasi segala paham golongan dan harus dapat
mempersatukannya menjadi satu potensi untuk mengatasi masalah
bersama, guna mensukseskan cita-cita bersama. Cara berpikir dan
bertindak seorang pemimpin hendaklah adil dan objektif dan tidak
memihak pada kelompok tertentu. Dengan prinsip inilah Gajah Mada
berhasil mempersatukan Indonesia yang terdiri atas banyak pulau,
banyak suku bangsa dan ras dengan bahasa yang berbeda-beda pula,
demikian pula dengan agama yang tidak sama. Gajah Mada pun berhasil
melaksanakan Bheda dan Danda. Bedha artinya memberikan perlakuan
yang sama dan adil untuk semua orang tanpa melihat aliran atau
golongannya. Danda artinya memberi hukuman secara adil kepada siapa
saja yang berbuat salah satu melanggar hukum tanpa pandang bulu.
4) Sumantri. Seorang pemimpin haruslah tegas, jujur, bersih, dan
berwibawa. Tegas artinya mantap, tidak ragu, objektif serta berlaku sama
dan adil untuk semua orang berdasarkan kebenaran, moral, etika dan
hukum. Setiap keputusan juga harus didasarkan kepada kriteria
kebenaran, moral, etika, dan hukum itu. Agar dapat berbuat tegas, maka
56
seorang pemimpin haruslah jujur dan bersih. Bersih berarti berpikir,
berkata dan berbuat sesuai dengan kebenaran, moral, etika, dan hukum.
Sikap yang tegas akan melahirkan Wibawa Sulaksanaartinya mempunyai
kewibawaan terhadap bawahan, sehingga setiap perintahnya dituruti dan
dilaksanakan serta semua rencananya dapat terealisasi.
5) Sih Samasta Bhuwana atau dicintai dan mencintai rakyat. Seorang
pemimpin hendaknya mencintai rakyaknya. Sebaliknya rakyatnyapun
akan mencintai pemimpinnya. Pemimpin yang pantas dicintai oleh
rakyatnya adalah pemimpin yang: Abhikamika artinya seorang pemimpin
yang tampil simpatik, beroirentasi ke bawah dan mengutamakan rakyat
banyak. Ngesti Priambada artinya yang selalu memberikan rasa bahagia,
tenteram dan damai lahir batin kepada masyarakat. Kaprihatining Praja
artinya yang mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan dan
berusaha memperbaiki nasibnya.
6) Nagara Gineng Pratijna. Seorang pemimpin hendaknya mengutamakan
kepentingan negara dan bangsa dari pada kepentingan pribadi, golongan
maupun keluarga. Seorang pemimpin semestinyalah mencintai tanah air,
negara dan bangsanya. Nagara Gineng Pratijna inilah yang menjiwai
Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara ke dalam Negara
Majapahit yang mencakup bukan saja Jawa dan Sumatra, melainkan juga
Semenanjung Melayu, Sulawesi, Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku,
Papua, dan lain-lain.
(c). Dimensi Managerial:
57
Dimensi Managerial kepemimpinan Gajah Mada terdiri atas sembilan prinsip,
yaitu sebagai berikut.
1) Matangguan. Raihlah kepercayaan masyarakat dan jagalah. Seorang
pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakatnya. Kemudian
kepercayaan itu harus dijaga, sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Guna merebut hati rakyatnya, maka seorang pemimpin harus melakukan:
Laku Hambeging Bhatara Bayu. Seorang pemimpin harus selalu berada
di tengah-tengah rakyatnya. Pemimpin harus selalu turun ke bawah untuk
benar-benar mengenal denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Dengan
melakukan ini, maka seorang pemimpin akan mempunyai kemampuan :
Siddhi Wisesa atau kemampuan untuk menjalin hubungan baik dengan
masyarakat. Selanjutnya seorang pemimpin haruslah juga: Madhya
Hanyakrabawa artinya harus selalu berada di tengah-tengah
masyarakatnya, berkonsolidasi, memberikan bimbingan dan mengambil
keputusan dengan musyawarah dan mufakat, yang mengutamakan
kepentingan masyarakatnya.Ngarso Hanyakrabawa artinya senantiasa
memberikan contoh yang baik, sehingga dapat dijadikan suri teladan bagi
masyarakatnya. Ngarso Dana Upaya artinya selalu berada di barisan
terdepan dalam mengorbankan tenaga, waktu, biaya, materi pikiran,
bahkan jiwanya sekalipun demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup
masyarakat. Wikrama Wyasa artinya berusaha sekuat tenaga untuk
melaksanakan program-programnya demi mencapai tujuan yang telah
dicanangkan.
58
2) Satya Bhakti Prabhu. Seorang pemimpin harus loyal kepada kepentingan
yang lebih tinggi. Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada
kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan
demi nusa dan bangsa. Loyalitas sangat penting dalam meniti karier
sampai puncak. Loyalitas disini bukanlah loyalitas yang membabi buta,
melainkan loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi, seperti
loyalitas kepada negara dan bangsa.
3) Wagmi wak. Seorang pemimpin haruslah menjadi komunikator yang
baik. Oleh karena itu, harus mempunyai kemampuan untuk
mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang
tertib dan sopan, serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.
Komunikasi itu harus dilakukan dengan efektif dan efisien, tetapi harus
menghindari adanya salah pengertian atau kesalahpahaman. Sukses
seorang pemimpin sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
berkomunikasi. Dengan komunikasi yang efektif, maka semua ide,
pendapat dan gagasan yang disampaikan oleh pemimpin dapat dipahami
dan ditangkap oleh semua pihak. Apabila ingin sukses berkomunikasi
seorang pemimpin harus menguasai kata-kata yang tepat untuk
menyatakan pikiran dan perasaannya. Pemimpin sebagai komunikator
harus bertutur kata tertib, dengan pilihan kata-kata yang tepat dan tidak
berbelit-belit dan disampaikan dengan bahasa yang baik, sehingga mudah
dipahami oleh semua orang.
59
4) Wicaksaneng Naya. Untuk mencapai tujuan, seorang pemimpin perlu
mengatur strategi yang tepat. Pengaturan strategi itu diperlukan untuk
dapat melawan musuh dengan baik. Di samping itu juga agar dapat diatur
skala prioritasnya. Strategi dibentuk berdasarkan visi yang baik. Hanya
dengan visi yang baik seorang pemimpin dapat menetukan arah yang
benar untuk maju dan berkembang. Strategi itu tentu harus dilandasi
dengan pondasi yang kokoh dari kebijakan yang bersumber pada nilai-
nilai fundamental bersama.
5) Dhirotsaha. Seorang pemimpin harus bekerja dengan target yang jelas,
terukur dan berbatas waktu. Pemimpin adalah pengarah organisasi untuk
mencapai tujuan bersama. Seorang pemimpin dituntut untuk terus belajar
memberi dan peduli kepada organisasi, teman-teman, komunitas,
masyarakat dan sesama umat manusia.
6) Dibyacitta. Seorang pemimpin harus akomodatif dan aspiratif.
Memimpin sebuah organisasi sebuah kerja bersama yang melibatkan
banyak orang. Pemimpin harus mampu mengarahkan semua pihak dan
terlibat dalam proses untuk bekerja dalam rangka mencapai tujuan
bersama. Pemimpin harus mampu membuat anggotanya merasa ikut
memiliki, sehingga semua merasa bertanggung jawab atas kesuksesan
atau kegagalan. Pemimpin harus memberi peran kepada bawahan untuk
turut memajukan organisasi. Pemimpin hendaknya mempercayai
bawahan dan memperlakukan mereka sebagai bagian tidak terpisahkan
dari organisasi. Pemimpin harus bersikap terbuka untuk mau dan mampu
60
menangkap masukan dari bawahan, baik berupa saran maupun kritik,
keluhan atau usul dan pendapat.
7) Nayaken Musuh. Seorang pemimpin harus mampu menundukkan musuh-
musuhnya dengan baik yang ada di dalam dirinya sendiri atau yang
datang dari luar. Musuh-musuh itu dapat berupa kendala, rintangan atau
hambatan bagi organisasi.
8) Ambek Paramartha. Seorang pemimpin hendaknya memusatkan
perhatiannya kepada sasaran atau target. Untuk itu seorang pemimpin
harus pandai menentukan skala prioritas, artinya mana yang perlu
didahulukan. Skala prioritas perlu dibuat karena pada hakikatnya seorang
pemimpin mempunyai tugas untuk mengelola sumber daya: waktu,
tenaga manusia, semangat, ilmu pengetahuan dan modal yang jumlahnya
serba terbatas. Seorang pemimpin harus pandai menentukan prioritas
atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan
kepentingan umum.
9) Waspada Purwartha. Seorang pemimpin organisasi harus selalu
mengadakan evaluasi dan perbaikan yang terus-menerus. Dia juga harus
waspada dan mawas diri guna melakukan perbaikan. Untuk keperluan
perbaikan secara kontinyu, seorang pemimpin hendaknya secara periodik
mengadakan evaluasi, baik terhadap kinerja maupun pencapaian sasaran.
Untuk dapat melakukan evaluasi dengan baik dan benar, maka seorang
pemimpin hendaknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkaitan dengan hal-hal yang dievaluasinya.
61
Demikianlah Gajah Mada telah melaksanakan ajaran kepemimpinan Asta dasa
Paramiteng Prabhu dengan seksama, yang kiranya perlu dijadikan panutan oleh
pemimpin umat Hindu. Secara garis besar kaidah kepemimpinan Gajah Mada
dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi yakni dimensi spiritual, dimensi moral
dan dimensi manajerial. Dalam dimensi spiritual mencakup sikap atau perilaku
sabar, tenang dan bijaksana, kemudian hidup sederhana dan harmonis dengan
alam semesta. Dalam dimensi moral meliputi penegakan kebenaran dan keadilan,
sikap rendah hati, adil dan objektif, dengan selalu tegas, jujur, bersih, dan
berwibawa, serta cinta tanah air, bangsa dan negara. Sedangkan, dalam dimensi
managerial mencakup berbagai hal seperti bekerja dengan sasaran dan strategi
yang jelas dengan berbatas waktu, selalu menjaga kepercayaan rakyat,
pelaksanaan tugas yang terfokus kepada pencapaian tujuan dan diakhiri dengan
evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan.
Penelitian ini akan menggunakan konsep pendekatan situasional
(contingency) yang dipaparkan oleh Fiedler (1987) yang dikembangkan oleh Paul
dan Blanchard (1992). Adapun pertimbangan memakai pendekatan ini: (1) Secara
filosofis fundamental kepemimpinan situasional mengatakan tidak adanya gaya
kepemimpinan yang terbaik. Kepemimpinan yang efektif adalah bergantung
kepada relevansi tugas, dan hampir semua pemimpin yang sukses selalu
mengadaptasi gaya kepemimpinan yang tepat, (2) Efektivitas kepemimpinan
bukan hanya soal pengaruh terhadap individu dan kelompok tetapi bergantung
kepada tugas, pekerjaan atau fungsi yang dibutuhkan secara keseluruhan, (3)
Fokus kepemimpinan situasional pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu
62
situasi yang unik, (4) Kepemimpinan memiliki batas-batas budaya, artinya para
pemimpin perlu menyesuaikan gaya mereka dengan aspek-aspek kultural yang
unik dari suatu negara (Robbins, 2009).
Pada pendekatan situasional terdapat 3 variabel situasi utama yang
cenderung menentukan apakah suatu situasi tertentu menguntungkan bagi
pemimpin, yaitu (1) Hubungan pribadi mereka dengan para anggota kelompok
(hubungan pemimpin-anggota), (2) Kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada
kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas), dan (3) Kuasa dan wewenang
posisi yang dipunyai (kuasa posisi).
Untuk mengimplikasikan ajaran kepemimpinan dalam agama hindu asta
dasa paramiteng prabhu dengan menggunakan konsep pendekatan situasional
yang dipaparkan oleh Fiedler terlebih dahulu akan dijastifikasikan. Untuk dimensi
spritual dan moral identik dengan hubungan pemimpin anggota, sedangkan untuk
dimensi manajerial identik dengan struktrur tugas dan kuasa posisi. Adapun
secara lengkap jastifikasi masing-masing indikator dan item seperti tersaji dalam
Tabel 2.3
Berdasarkan Tabel 2.3Dimensi manajerial dalam asta dasa paramiteng
prabhu, pemimpin ialah seorang yang dipercaya oleh masyarakat untuk
memegang amanah sebagai pemegang komando, pengarah, dan pengorganisir
dalam usaha mencapai apa yang disepakti dalam mencapai tujuan bersama.
Dimensi manajerial ini ada 9 butir yaitu: mendapat kepercayaan rakyat, memiliki
loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan sanggup bertindak dengan
penuh kesetiaan demi negaranya, pandai mengutarakan pendapatnya, pandai
63
berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan,perlu mengatur strategi yang
tepat,rajin dan tekun bekerja., harus memusatkan cipta, rasa, karsa dan karyanya
untuk mengabdi kepada negara dan rakyatnya, toleran terhadap pendirian orang
lain, selalu dapat memperdaya musuh baik dari dalam maupun dari luar termasuk
musuh yang ada dalam diri sendiri, pandai memilih prioritas atau mendahulukan
hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan umum, dan selalu
waspada/introspeksi.
Tabel 2.3
Jastifikasi Konsep Kepemimpinan Fiedler (Pendekatan Situsional
Kontingensi) dengan Ajaran Kepemimpinan Hindu ( Asta Dasa Paramiteng
Prabhu)
FIEDLER ASTA DASA PARAMITENG PRABHU
I.Struktur Tugas:
1. Kadar struktur tugas yang
ditugaskan kepada kelompok
untuk dilaksanakan
2. Karyawan terlibat dalam
pengambilan keputusan
3. Prosedur kerja yang jelas
I. Manajerial:
1. Matangguan: mendapat kepercayaan rakyat.
2. Satya bhakti prabhu: memiliki loyalitas
kepada kepentingan yang lebih tinggi dan
sanggup bertindak dengan penuh kesetiaan
demi negaranya.
3. Wagmi Wak: pandai mengutarakan
pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur
kata yang tertib dan sopan serta
II. Kuasa Posisi:
1. Kuasa dan wewenang posisi yang
dimiliki
2. Upaya pimpinan memberikan
penghargaan
3. Upaya pimpinan memberikan
sangsi
4. Wicaksaneng naya: untuk mencapai tujuan
seorang pemimpin perlu mengatur strategi
yang tepat.
5. Dirotsaha: rajin dan tekun bekerja.
Pemimpin harus memusatkan cipta, rasa,
karsa dan karyanya untuk menmgabdi
kepada Negara dan rakyatnya .
6. Dibya Cita: toleran terhadap pendirian orang
lain.
7. Anayaken Musuh: selalu dapat memperdaya
musuh baik dari dalam maupun dari luar
termasuk musuh yang ada dalam diri sendiri.
8. Ambek Paramartha: pandai memilih
prioritas atau mendahulukan hal-hal yang
lebih penting bagi kesejahteraan umum.
9. Waspada Purwartha: selalu waspada
/introspeksi
64
II.Hubungan Pemimpin-Anggota:
1. Membuka lebar saluran
komunikasi
2. Menyediakan dukungan sosio-
emosional
3. Pendekatan-pendekatan
psikologis dan pemudahan
perilaku
II Spiritual :
1. Wijaya: bersikap tenang, sabar dan bijaksana
serta tidak cepat panik dalam menghadapi
berbagai macam persoalan.
2. Masihi Samasta Bhuwana: mencintai alam
semesta, harus melestarikan lingkungan hidup
sebagai karunia Tuhan.
3. Prasaja: hidup sederhana.
III.Moral :
1. Mantri Wira: berani membela dan
menegakkan kebenaran dan keadilan.
2. Sarja Upasama;selalu bersikap rendah hati
tidak boleh congkak mentang-mentang jadi
pemimpin.
3. Tan Satresna: tidak boleh memihak salah satu
golongan atau memihak sanak saudara, tetapi
harus mampu mengatasi segala paham
golongan.
4. Sumantri: tegas dan jujur.
5. Sih Samasta Bhuwana: mencintai dan dicintai
rakyat.
6. Negara Ginang Pratidnya: selalu mengabdi dan
mendahulukan kepentingan Negara dari pada
kepentingan pribadi maupun golongan
Sumber: Fidler(1987); Tandes (2007); Suhardana (2008); Surya (2014)
Dimensimanajerial ini kalau dijastifikasikan ke teori Fidler identik dengan:
(i) Struktur tugas yaitu kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok
untuk dilaksanakan, karyawan terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
prosedur kerja yang jelas, (ii) Kuasa posisi yaitu kuasa dan wewenang posisi yang
dimiliki, upaya pimpinan memberikan penghargaan, dan (iii) Upaya pimpinan
memberikan sanksi.
Dimensi spiritual dan moral dalam asta dasa paramiteng prabhu,
merupakan pembentuk kecerdasan spiritual (SQ) seorang pemimpin. Kecerdasan
spiritual dapat diperoleh dari proses penghayatan dan pengamalan Tri Hita
Karana (ajaran tiga keharmonisan). Stabilitas moral merupakan hal utama yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
65
Dimensi spiritual dan moral ada 9 butir: bersikap tenang, sabar, dan bijaksana,
mencintai alam semesta, melestarikan lingkungan, hidup sederhana, berani
membela dan menegakkan keadilan, selalu bersikap rendah hati, tidak boleh
memihak satu golongan, tegas dan jujur, mencintai dan dicintai rakyat, serta
mendahulukan kepentingan negara.Dimensi spiritual dan moral jika
dijastifikasikan ke teori Fidler identik dengan hubungan pemimpin-anggota yaitu
hubungan pribadi mereka dengan kelompok: membuka lebar saluran komunikasi,
menyediakan dukungan sosio-emosional, dan pendekatan-pendekatan psikologis
dan pemudahan perilaku.
2.4.4. IndikatorNilai Kepemimpinan
Penelitian nilai kepemimpinan akan menggunakan konsep pendekatan ajaran
kepemimpinan dalam agama Hindu asta dasa paramiteng prabhu dengan
menggunakan indikator yang terdiri atas indikator: spiritualadalah tanggapan
responden terhadap implementasi mengenai kadar kecerdasan spiritual
kepemimpinan, moraladalah tanggapan responden terhadap implementasi
mengenai kadar upaya pemimpin membina hubungan dengan organ Subak,dan
manajerial adalah tanggapan responden terhadap implementasi mengenai
kekuasaan dan upaya pemimpin memberikan penghargaan dan sanksi.
2.5. Kajian Empiris
Kajian empiris sebagai dasar dalam menentukan rancangan penelitian
berikutnya,sebab dalam penelitian terdahulu akan didapatkan research gap.
66
Dengan kesenjangan penelitian tersebut, maka akan didapatkan celah-celah yang
dapat dimasukkan untuk menghasilkan penelitian ilmiah yang dikembangkan
meski hanya sedikit.
2.5.1. Pengaruh Budaya Organisasi dengan Kinerja Organisasi
Kotler dan Heskett (1992) dalam penelitiannya menemukan bahwa budaya
perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kinerja perusahaan secara
finansial dalam jangka panjang. Budaya perusahaan dapat merupakan faktor yang
lebih penting dalam menentukan sukses atau kegagalan perusahaan. Hasil
penelitian Davidson (2000) terhadap 327 orang pekerja bank investasi di Afrika
menemukan adanya hubungan yang kuat dan positif antara budaya organisasi
terhadap kinerja keuangan.Gunawan (2009) melakukan penelitian pada Lembaga
Perkreditan Desa di Bali. Temuan penelitian bahwa budaya organisasi
berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Penelitian ini mendukung teori yang ada
yang menyatakan bahwa budaya organisasi dapat meningkatkan efektivitas
organisasi (Denison 1991).
2.5.2. Pengaruh Budaya Organisasi dengan Komitmen Organisasi
Menurut Schein (2004), budaya berperan penting dalam mendorong terciptanya
efektivitas organisasi. Secara spesifik budaya berperan dalam menciptakan jati
diri, ikatan emosional, komitmen, dan landasan berperilaku. Budaya kuat, akan
meningkatkan kinerja bisnis karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar
67
biasa dalam diri karyawan. Motivasi yang tinggi inilah yang menumbuhkan
komitmen dan loyalitas yang tinggi pada Organisasi.
Robbins (2002:52) mengidentifikasi fungsi-fungsi budaya organisasi yaitu
menetapkan batas antara perusahaan yang artinya bahwa budaya menciptakan
perbedaan yang jelas antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, budaya
dapat mempermudah adanya komitmen bersama terhadap sesuatu yang lebih luas
daripada hanya sekadar mengutamakan kepentingan individu, melainkan juga
budaya dapat meningkatkan kemampuan sistem sosial.
Menurut Moeljono (2005), agar menghasilkan karyawan yang profesional
dengan integritas yang tinggi, diperlukan adanya acuan baku yang diberlakukan
oleh suatu perusahaan. Acuan baku tersebut adalah budaya organisasi yang secara
sistematis menuntut para karyawan untuk meningkatkan komitmen kerjanya bagi
perusahaan.
2.5.3. Pengaruh Komitmen Organisasional dan Kinerja Organisasi.
Menurut Greenberg dan Baron (1993), karyawan yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkan.
Beberapa penelitian yang menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap
kinerja organisasi berhasil membuktikan adanya pengaruh yang signifikan
komitmen organisasi terhadap kinerja organisasi (Sudiro 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Rashid,et. al.(2003); Shaw,et.Al. (2003)
terhadap pekerja pendatang dan pekerja asli/warga Arab di UEA yang menguji
68
pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja organisasi, hasilnya komitmen
organisasi dan kinerja organisasi tidak mempunyai hubungan yang kuat di antara
pekerja pendatang tetapi untuk pekerja/warga Arab hubungan ini berpengaruh
positif dan signifikan , hal ini disebabkan oleh responden yang tidak mengerti
dengan item pertanyaan pada kuesioner yang berbahasa Inggris, disarankan untuk
penelitian yang akan datang menggunakan peribahasa yang dapat dimengerti.
Fakta akan menjadi lain jika pekerja pendatang mengerti dengan item kuesioner
yang disebar.
Berdasarkan penelitian Ali, et.Al. (1991) di UEA juga menemukan bahwa
para eksekutif Arab meletakkan loyalitas kepada organisasi sedemikian penting
dan kuat dibandingkan dengan loyalitas personal.Komitmen organisasional yang
positif akan memberikan manfaat seperti kinerja yang tinggi, rendahnya absensi,
dan rendahnya keinginan pegawai untuk keluar dari organisasi yang bersangkutan.
2.5.4. Pengaruh Kepemimpinan dan Komitmen
Beberapa teori mendukung hubungan kepemimpinan dan budaya
organisasi, diantaranya disampaikan oleh Bass dan Avolio (1993) yang
menyatakan kepemimpinan khususnya kepemimpinan transformasional dapat
membangun inovasi yang lebih tinggi dan budaya organisasi yang
memuaskan.Budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpinnya, pemimpin-
pemimpin diciptakan oleh budaya. Berdasarkan perspektif teori, budaya muncul
melalui 3 proses yaitu (1) Socio Dynamic Theory, (2) Leadership Theory,dan (3)
Organizational Learning ( Schein 1991) .
69
Budaya-budaya yang terkemuka pada saat ini tidaklah terbentuk begitu
saja. Dasar-dasar budaya tersebut diletakkan oleh individu-individu yang
menjalankan kepemimpinan personal, yang meyakini bahwa sistem keyakinan
yang ditetapkan mampu membuat maju. Contohnya Bill Hewlett dan Dave
Packard pendiri Hewlett dan Packard (HP) mereka mengakui bahwa organisasi
akan menghasilkan kinerja terbaik manakala pemimpinnya mampu
mengakomodasi kebutuhan dan cita-citanya. Mereka yakin bahwa dengan
memelihara budaya yang kuat dan sesuai, maka loyalitas karyawan dapat
ditumbuhkan dan dipertahankan. Keyakinan keyakinan ini mampu mengantarkan
HP menjadi perusahaan berkelas dunia (Susanto,2008). Dengan demikian budaya
diciptakan oleh pemimpinnya (Schien, 2004).
Fenomena dapat berbalik, artinya dapatmenjadi pemimpin diciptakan oleh
budaya organisasi manakala pemimpin tersebut lahir sebagai penerus (succesion),
sedangkan budaya organisasi telah mengakar dan telah menjadi bagian dari
kehidupan organisasi tersebut. Lahirnya seorang pemimpin baru sebagai generasi
penerus pemimpin sebelumnya akan melanjutkan asumsi dasar tersebut sehingga
pemimpin baru sebagai penerus berpegang dan melestarikan asumsi dasar dari
budaya organisasi maka pemimpin baru tersebut dikatakan terciptakan oleh
budaya organisasi (Subroto, 2009). Pemikiran ini dibuktikan oleh Kuchinks
(1999) dari hasil penelitiannya menemukan beberapa nilai budaya dapat
memprediksi gaya kepemimpinan.
Schien (2004) menyatakan bahwa dinamika proses dan lahirnya budaya
organisasi dan manajemen adalah esensi dari kepemimpinan, ini membuat
70
kepemimpinan dan budaya organisasi itu bagaikan dua sisi mata uang yang sama.
Ia juga menyatakan bahwa kepemimpinan dan budaya adalah sinonim. Hampir
mustahil untuk membandingkan satu sama lainnya antara kepemimpinan dan
budaya organisasi. Lebih lanjut bahwa budaya organisasi juga merupakan faktor
kunci untuk berjalannya manajemen pengetahuan, kreativitas, partisipatif dan
kepemimpinan.
2.5.5. PengaruhNilai Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi
Liebersson dan Connor (1997) menyatakan, bahwa pemimpin seringkali
mempunyai pengaruh yang substansial pada kinerja organisasi yang dipimpinnya.
Beberapa penelitian empiris telah berulang-ulang dilakukan dan menunjukkan
bahwa pemimpin memegang peranan pentingdalam mempengaruhi anggota dalam
organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan organisasi yaitu mendapatkan
kinerja organisasi yang baik (Lee and Yu, 2004) dan Byarwati (2008)).Penelitian
lain menyebutkan bahwa kepemimpinan dicatat mempunyai proporsi yang
signifikan pada peningkatan kinerja organisasi. Wasseman (2001) menyatakan
kepemimpinan mempunyai efek yang nyata dengan kinerja yang dicapai
organisasi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, secara teoritis dapat diinventarisir
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi, seperti terlihat pada
Tabel 2.4. berikut
71
Tabel 2.4.
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi
No Faktor-Faktor Perspektif/
Pendekatan Referensi
1 Tujuan Organisasi Proses Yuwono (2002, Atmosoeprapto
(2001)
2 Budaya Organisasi Proses Yuwono (2002), Susanto (2000)
3 Sumber Daya Manusia Proses Yuwono (2002), Ruky(2001),
Soesilo (2000)
4 Kepemimpinan Proses Joedono (1974) ,Yuwono (2002),
Soesilo (2000), Ruky (2001),
Liebersson dan connor (1997)
Northnouse (2001)
5 Koordinasi Proses Susanto (2000)
6 Teknologi Proses Joedono (1974) ,Ruky(2001),
7 Raw Materials Proses Ruky(2001),
8 Lingkungan
Fisik/Sarana Prasarana
Proses Ruky(2001), Soesilo (2000)
9 Budaya Organisasi Proses Ruky(2001), Atmosoeprapto (2001)
10 Struktur Organisasi Proses Joedono (1974) ,Soesilo (2000),
Atmosoeprapto (2001)
11 Strategi Metode Soesilo (2000)
12 Sistem Informasi Metode Soesilo (2000)
13 Politik Sistem Atmosoeprapto (2001)
14 Ekonomi Sistem Atmosoeprapto (2001)
15 Sosial Sistem Atmosoeprapto (2001)
16 Kualitas SDM Proses Joedono (1974)
17 Komitmen Organisasi Proses Richard M. Steers (Sri Kuntjoro,
2002)
Berdasarkan Tabel 2.4. di atas dapat dipaparkan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kinerja suatu organisasi publik. Faktor manakah yang
relevan untuk diteliti sebagai faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi, sangat
tergantung pada jenis, karakteristik dan tujuan pembentukan organisasi itu sendiri.
2.5.6. Peran Komitmen Organisasionalmemediasi Hubungan Nilai
Kepemimpinan dengan Kinerja.
Komitemn organizational sebagai full mediation antara kepemimpinan
72
terhadap kinerja, (Mappamiring, 2015).Komitmen organisasional sebagai
pemediasi parsial antara kepemimpinan dengan kinerja.(Yeh dan Hong, 2012).
Komitemn organisasional sebagai full mediation antara kepemimpinan terhadap
kinerja, (Ghalid et Al., 2014).Komitmen organisasional sebagai pemediasi
pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja, (Pangestutiet Al., 2014). Komitmen
organisasional sebagai pemediasi pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
kinerja(Almutairi, 2016). Terdapat hubungan tidak langsung yang positif
signifikan antara kepemimpinan dengan kinerja melalui komitmen organisasional
(Kala Lembang,at.Al., 2015). Pengaruh Kepemimpinan terhadap kinerja tidak
secara signifikan dimediasi oleh komitmen organisasional(Trang et Al., 2013).
2.5.7. Peran Mediasi Komitmen Organisasionaldalam Hubungan Budaya
THK dengan Kinerja Subak.
Komitmen organisasional mampu memediasi budaya organisasi terhadap
kinerja organisasi (Patulak, 2013), Putri Ana (2015) menyatakan bahwa komitmen
organisasional sebagai full mediation antara organization culture dengan
performance. Komitmen organisasional secara siginfikan memediasi budaya
organisasi terhadap kinerja (Handoko et Al., 2011).Komitmen organisasional
sebagai pemediasi parsial antara budaya organisasi dengan
kinerja(Widianingrum,ME, 2011).Komitmen organisasional tidak secara signifikan
sebagai pemediasi antara budaya organisasi terhadap kinerja (Sriekarningsih dan
Setiadi, 2015).Komitmen organisasional secara signifikan sebagai pemediasi
antara budaya organisasi dengan kinerja (Hakim, 2015). Budaya organisasi secara
73
signifikan dimediasi oleh komitmen organisasi terhadap kinerja (Syauta et Al.,
2012).
2.5.8. Rancangan Model Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian mengenai hubungan nilai
kepemimpinan, budaya organisasi terhadap komitmen organisasional dan efeknya
terhadap kinerja organisasi maka dapat ditunjukkan kerangka model penelitian
dalam Gambar 2.1. berikut dan selanjutnya dalam bentuk matrik kajian teori dan
penelitian yang relevan seperti dalam lampiran 1.
Gambar: 2.1 Kerangka Model Penelitian
Nilai Kepemimpinan
Komitmen
organisasional Kinerja
Budaya THK
H5
H2
H3
H1
H6
H7 H4