1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Gejolak politik yang muncul dalam bentuk kekerasan sosial dan berimbas
pada terpuruknya ketahanan ekonomi, religus, sosial dan budaya masyarakat
merupakan sebuah kenyataan faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga
sekarang ini. Bahwa masyarakat kecil menjadi korban kebijakan, keputusan dan
kekuasaan segelintir orang atau sekelompok orang tertentu, bukan lagi menjadi
sebuah wacana yang dirahasiakan tetapi telah menjadi rahasia umum yang
diwacanakan oleh semua kalangan.
Ted Robert Gurr menegaskan bahwa setiap kekerasan yang terjadi dalam
masyarakat merupakan kekerasan politik yang muncul karena ketidaksesuaian antara
keinginan atau harapan dengan kemampuan, atau karena terjadinya kesenjangan di
dalam masyarakat, yang kemudian berkembang dan menimbulkan frustrasi dan
ketidakpuasan kolektif. Menurutnya, betapa pun besarnya perasaan tidak puas dan
frustrasi kolektif tersebut, namun itu tidak akan menjadi kekerasan kolektif jika tidak
terjadi politisasi terhadapnya.1 Melengkapi pandangan ini, Charles Tilly menyatakan
bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari
1 Ted Robert Gurr, dalam John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, 4-5.
2
pusat terjadinya proses-proses politik dalam masyarakat, ketimbang mencerminkan
ketidakpuasan masyarakat tersebut”.2 Jadi berdasarkan pemikiran inilah, tergambar
dengan jelas bahwa kekerasan-kekerasan sosial yang menyebabkan keterpurukan
hidup masyarakat selama ini bukan hanya karena faktor-faktor alamiah dan
masyarakat itu sendiri tetapi juga karena rekayasa kelompok tertentu yang memiliki
kekuasaan atau fasilitas tertentu untuk kepentingan tertentu pula.3 Karena itu, upaya
untuk menuntaskan atau menyelesaikan masalah tersebut tidak mudah untuk
dilakukan dan hal ini terjadi bukan karena masyarakat tidak menyadarinya tetapi
kompleksitasnya akar dan alur4 sebuah masalah yang menyebabkan idealisme untuk
memecahkannya tidak berjalan semudah membalik telapak tangan.
Keprihatinan terhadap hal tersebut juga diungkapkan oleh J.B. Banawiratma,
yang menegaskan bahwa terpuruknya masyarakat kecil disebabkan oleh ketidakadilan
struktural yang terjadi dalam struktur-struktur birokrasi, komunitas (gereja termasuk
2 John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban , 6. 3 Berdasarkan penelitiannya, Charles Tilly menolak menjadikan kekerasan sebagai objek analisisnya, karena menurutnya, insiden kekerasan kolektif sesungguhnya hanyalah merupakan akibat dari proses normal persaingan antar kelompok untuk memperoleh kekuasaan dan tujuan tertentu. Praktek politisasi dan persaingan antar kelompok-kelompok politik dengan tujuan-tujuan kekuasaan yang terjadi pada pusat proses-proses politik dalam masyarakatlah yang mesti menjadi sorotan kajian dan objek analisis. Contohnya adalah konflik sosial yang terjadi di Maluku pada tahun 1999. Meskipun pengungkapan akar persoalannya oleh beberapa ahli masih merupakan sebuah proses yang belum final namun John Pieris menemukan bahwa frustrasi dan ketidakpuasan rakyat Maluku – baik yang beragama Islam maupun Kristen – disebabkan oleh saling interpenetrasi antara faktor persaingan politik kekuasaan, ekonomi dan budaya yang berskala nasional (pusat), yang berimplikasi pada aras lokal (daerah). John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, 6-7. 4 Maksudnya upaya untuk menyelesaikan persoalan (contohnya konflik Maluku tahhun 1999) yang melibatkan berbagai kekuatan politik di aras nasional, regional dan lokal tidak mudah untuk diselesaikan.
3
di dalamnya) dan pasar.5 Jadi masyarakat kecil menjadi korban interaksi yang tidak
adil dari ketiga kekuasaan besar, yang menyebabkan mereka tidak berdaya dan bukan
hanya menyangkut dimensi ekonomi semata tetapi juga sosial, politik, agama dan lain
sebagainya. Karena itu, upaya penanggulangan persoalan mereka tidak boleh hanya
didasarkan pada karya-karya karitatif dan sosial semata, tetepi diperlukan juga karya
pemberdayaan (transformatif). Dan pemberdayaan ini membutuhkan kesadaran kritis
dan kesatuan komunitas yang kuat. Hal ini penting karena yang dihadapi adalah
kekuatan dalam jaringan-jaringan kekuasaan yang sangat kuat (sistem dan struktur
yang tidak adil).6 Sebagai contoh : Kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka. Golongan demikian itu misalnya terdiri dari para
petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya begitu
kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan
keluarganya; kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled laborers);
dan pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah dll.7
Namun harus diakui bahwa selain faktor eksogen8 (faktor alamiah seperti
keadaan alam, iklim dan bencana alam; dan faktor buatan atau struktur seperti
5 Hal ini dikemukakan oleh beliau dalam perkuliahan ’Gereja Dalam Konteks Indonesia’, Program Pasca Sarjana Fakultas Teologi Duta Wacana Yogyakarta, semester gasal (2007) pada bulan Oktober. 6 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif : Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2002, 15. 7 Alfian dkk (ed.), Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai, Yayasan Ilmu–Ilmu Sosial, Jakarta, 1984, 5. 8 Faktor yang berasal dari luar individu.
4
kolonialisme, sifat pemerintahan, sistem ekonomi dan sebagainya) yang
menyebabkan keterpurukan hidup masyarakat kecil tersebut terdapat juga faktor
endogen9 yang ikut membentuk kondisi kehidupan mereka misalnya sifat fatalis,
malas, boros, konformis dan sebagainya.10 Kedua faktor ini saling mempengaruhi
dalam membentuk eksistensi masyarakat Indonesia. Dan pemerintah di semua jenjang
kepemimpinan cukup peka terhadap persoalan yang dihadapi tersebut. Namun
terkadang kondisi masyarakat hanya dijadikan sebagai proyek eksploitasi kekayaan
atau hanya menjadi fasilitas pendukung bagi orang-orang terdekat.11
Gereja adalah persekutuan yang memiliki panggilan untuk menatalayani
kehidupan umat dalam rangka menghadirkan syalom Allam di tengah dunia. Dan
masyarakat kecil juga adalah bagian integral dari pelayanan gereja tersebut yang
perlu mendapat perhatian gereja. Dalam gereja ada persekutuan atau komunitas basis
primer dan basis sekunder12 yang terdiri dari golongan masyarakat lemah dan tidak
berdaya, yang berjuang bersama dalam rangka pemulihan hak-hak hidup mereka. Ini
berarti, sekecil apapun kontribusi gereja bagi masyarakat haruslah menyentuh sisi
pemberdayaan dimensi sosial tersebut. Namun dalam kenyataannya juga, struktur,
birokrasi dan dogma gereja bisa menjadi sebuah kekuatan yang menambah
9 Faktor yang berasal dari dalam individu tersebut 10 Kesimpulan dari pendapat beberapa ahli seperti Bayo Ala (1981), Ndaru Mursito (1981), Koentjaraningrat (1983), Geertz (1983) dan Scoot (1983). Nyanyu Rahmawati, Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan Petani di Pedesaan : Pendekatan melalui dimensi kultural dalam Agro – Ekonomika No. 1 tahun XXIII, Yayasan Agro – Ekonomika, Juni 1993, 69. 11 Alfian dkk (ed.), Kemiskinan Struktural, 10 – 11. 12 Komuitas Basis Primer adalah komunitas basis akar rumput. Sedangkan Komunitas Basis sekunder adalah komunitas kecil yang tidak terdiri dari orang-orang miskin tetapi berorientasi pada pemberdayaan kaum miskin atau pendukung komunitas basis primer, komunitas akar rumput. J. B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, 16.
5
keterpurukan umat tersebut. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa gereja harus terus
melakukan transformasi pada dirinya sendiri sehingga fungsinya dapat dijalankan
secara maksimal dan tertanggung jawab.
Teologi adalah salah satu wujud penghayatan iman gereja dalam konteksnya
dan melalui teologi juga, gereja berkiprah untuk membentangkan misinya dalam
rangka pembaharuan dan pemberdayaan ’dunia’. Dan dalam arak-arakan semangat
transformasi inilah maka penulis mencoba untuk mengkaji teks 1 Raja-raja 12 : 1 - 33
dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 dengan menggunakan kritik ideologi berdasarakan
perspektif masyarakat kecil. Dan yang penulis maksudkan dengan masyarakat kecil
dalam tulisan ini adalah masyarakat dalam kerajaan Israel (Israel selatan dan Israel
utara) dan juga bangsa Israel sebagai bagian dari masyarakat dunia yang dari sisi
kuantitas dan kualitas kekuatan eksternal dan internal kerajaannya sangat kecil dan
rapuh dalam pertarungan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan
jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada saat itu. Teks dan perspketif ini
dipilih karena dalam pengamatan penulis terhadap penuturan sejarah yang terdapat
dalam teks-teks tersebut memperlihatkan tiga hal yang penting yaitu :
1. Runtuhnya kerajaan Israel karena kebijakan (pajak) pemerintahan Rehabeam
yang memberatkan dan menyengsarakan rakyat (1 Raja-raja 12 : 3, 4, 12, 15,
16, 20).
2. Munculnya Israel utara dengan pemerintahan yang baru (Yerobeam) dilatar-
belakangi oleh tuntutan demokrasi rakyat yang menginginkan perubahan
6
kebijakan pemerintahan Rehabeam menyangkut pajak tersebut (1 Raja-Raja
12 : 3, 4, 12, 15, 16, 20).
3. Runtuhnya kerajaan Israel utara juga dilatar-belakangi oleh kesalahan
pemerintahnya (Yerobeam - 2 Raja-Raja 17 : 21 – 22).
Ketiga alasan ini dengan tegas memperlihatkan peranan pemerintah dan masyarakat
dalam menciptakan integritas kebangsaan. Dominasi salah satu komponen bangsa
terhadap komponen lain memiliki dampak yang sangat fatal. Karena itu, masyarakat
dan setiap komponen bangsa harus dilibatkan dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan secara adil. Namun sejauh manakah porsi tersebut diberikan kepada
mereka merupakan sebuah tanda tanya besar dalam pergumulan tesis ini.
Di sisi lain, cerita dan data historis yang didapatkan oleh penulis ketika
membaca beberapa literatur tentang keberadaan Israel selatan dan Israel utara
memperlihatkan adanya dua kenyataan yang bertentangan antara satu dengan yang
lain. Penuturan cerita dalam kitab Raja-raja secara keseluruhan terkesan sangat
memihak kepada kerajaan Israel selatan (Yehuda), yang merupakan representasi dari
pemerintahan Daud. Namun data historis tidak mengindikasikan adanya keunggulan
atau kehebatan kerajaan tersebut dari Israel utara tetapi justru sebaliknya.
Pertanyaannya adalah mengapa penulis memakai strategi tersebut? Apakah Israel
selatan sesungguhnya adalah kerajaan kuat yang mendominasi sejarah ataukah
sebaliknya hanya kerajaan lemah yang tepuruk dan memiliki semangat apokaluptik
atau fantasi untuk bangkit dari keterpurukannya tersebut? Apakah Israel utara adalah
kerajaan kuat yang membayangi eksistensi Israel selatan sehingga mereka tidak bisa
7
berbuat apa-apa? Atau sebaliknya Israel utara hanyalah kerajaan kecil yang
eksistensinya dibayang-bayangi oleh Israel selatan? Bagi penulis, masih banyak
kemungkinan pertanyaan lain yang bisa muncul ketika siapa pun membaca teks-teks
tersebut.
Kitab 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 merupakan bagian
yang utuh dari kitab Raja-raja secara keseluruhan yang berbicara tentang munculnya
kerajaan Israel utara dan segala konsekuensi yang mereka alami pada pasca pecahnya
kerajaan Israel di bawah pemerintahan Rehabeam (1 Raja-raja 12).13 Keunikan yang
didapati oleh penulis dalam 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 adalah gambaran bahwa
munculnya Israel utara di bawah kepemimpinan Yerobeam adalah kehendak Tuhan
dan tuntutan demokrasi masyarakat Israel ( 1 Raja-raja 12 : 3, 4, 12, 15, 16, 20)
namun selanjutnya kepentingan Yerobeam-lah (representasi dari kepentingan
pemerintah) yang menjadi ukuran dalam menentukan kebijakan-kebijakan
pemerintahan (bnd. 1 Raja-raja 12 : 25 – 33). Sehingga hilanglah pemerintahan yang
berasal dari rakyat dan untuk rakyat.
Selanjutnya peristiwa penting yang dialami sebagai klimaks dari seluruh
eksistensi kerajaan Israel utara adalah runtuhnya kerajaan tersebut di bawah
pemerintahan Hosea (2 Raja-raja 17 : 7 - 23) dengan tidak ada harapan pemulihan
lagi, berbeda dengan kerajaan Yehuda (kerajaan Israel selatan yang meneruskan
13 Gottwald membagi kitab Raja-raja secara keseluruhan dalam 3 bagian yaitu : A. 1 Raja-raja 1 – 11 berisi tradisi tentang kerajaan yang satu; B. 1 Raja-raja 12 – 2 Raja-raja 17 berisi tradisi tentang kerajaan Israel utara; dan C. 2 Raja-raja 18 – 25 berisi tradisi tentang kerajaan Israel selatan (Yehuda). Lihat Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible : A Social-Literary Introduction, Fortress Press, Philadelphia, 1985, 310, 337, 365.
8
dinasti Daud), yang juga hancur tetapi akhirnya dipulihkan lagi (2 Raja-raja 17 : 18 ;
25). Keruntuhan tersebut diklaim sebagai hukuman Allah bagi mereka karena hidup
menurut dosa yang dilakukan oleh Yerobeam (pemerintah) - 2 Raja-raja 17 : 21, 22.
Pertanyaannya adalah dimana kekritisan masyarakat atau umat terhadap
pemerintah (bandingkan dengan tindakan mereka kepada Rehabeam ketika meminta
keringanan pajak)? Apakah kedekatan dan kenikmatan dalam masa pemerintahan
Yerobeam menyebabkan hilangnya suara tersebut? Ataukah tekanan pemerintahan
yang menjegal suara tersebut sehingga suara kritisnya nyaris tak terdengar?
Mungkinkah pemerintahan Yerobeam adalah pemerintahan yang tidak sesuai dengan
nurani rakyat? Ataukah justru sebaliknya, sehingga membangkitkan kemarahan atau
kecemburuan dari kelompok tertentu yang masih mendambakan pemerintahan di
bawah keturunan Daud?
Keberpihakan sejarah kepada kerajaan Yehuda seperti yang dituturkan dan
diwariskan dalam kitab ini tentunya mengundang sejumlah tanya. Sebab kondisi ini
malah menciptakan interpretasi yang tidak adil dan tidak seimbang di kemudian hari
menyangkut eksistensi kedua kerajaan tersebut. Karena selama ini eksistensi kerajaan
Yehuda sebagai pewaris takhta Daud-lah yang dianggap lebih kuat jika dibandingkan
dengan kerajaan Israel utara. Padahal dalam konteks mikro dari 1 Raja-raja 12 : 1- 33
digambarkan bahwa kerajaan Israel utara adalah kolaborasi dari sepuluh suku Israel
dibanding Yehuda yang hanya terdiri dari satu suku Israel (suku Yehuda, 1 Raja-raja
9
11: 32; 12 : 17, 21).14 Ini mengindikasikan bahwa Israel selatan (Yehuda) hanyalah
kerajaan kecil jika dibandingkan dengan Israel utara15 dan sebagian besar rakyat ingin
terpisah dari pemerintahan pada saat itu yang mungkin saja merugikan mereka selama
ini (bnd. 1 Raja-raja 12 : 16 - 21).16
Namun kebenaran di balik keinginan untuk memisahkan diri dan membangun
pemerintahan sendiri sama sekali tidak diperhitungkan dalam penuturan sejarah yang
terdapat dalam kitab ini. Sebaliknya tindakan mereka dianggap sebagai sebuah ”dosa
ganda” yang mendatangkan kehancuran,17 sehingga setiap raja yang memerintah
kerajaan Israel utara dikutuk, meskipun ada yang setia kepada Tuhan (Yehu - 2 Raja-
raja 10), dan dari sisi ekonomi dan politik mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat
(bnd. Raja Omri).18 Yang terjadi adalah penulis kisah ini semakin menekankan
realitas kepemimpinan Israel utara yang korup dan sewenang-wenang (bnd. Kisah
Raja Ahab dan Nabot dalam 1 Raja-raja 16 - 22), yang seolah-olah melegitimasi
alasan keruntuhan Israel utara tersebut pada pada tahun 722 SM. Bahkan dalam 2
14 Setelah Salomo mati kerajaan terpecah menjadi 2 (1 Raja-raja 12). Bagian utara negeri menjadi kerajaan Israel yang mencakup sepuluh suku dan bagian selatan menjadi kerajaan Yehuda. C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 158. Band. J. Maxwell – John H. Hayes, A History Of Ancient Israel And Judah, Westminster Press, Philadelphia, 1986, 233-234. Di sisi lain, ketika kita membaca teks 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 maka kesan yang muncul menyangkut jumlah suku yang termasuk dalam kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Rehabeam adalah dua suku yaitu Yehuda dan Benyamin. Tetapi apakah kesan tersebut benar atau salah serta apa kepentingannya akan dibuktikan dalam bagian tafsiran nanti. 15 Bnd. John Bright, A History Of Israel : Thoroughly Update and Revised Featuring New Information From Recent Archaeological and Historical Findings Including the Ebla Tablet, Third Edition, Westminster Press, Philadelphia, 1981, 232. 16 Bnd. juga pendapat Gottwald bahwa penyebab pecahnya Kerajaan Israel menjadi dua karena tekanan kebijakan ekonomi dan politik dari Salomo. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, 342. 17 C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158. 18 Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, 344.
10
Raja-raja 17 : 7 – 23 itu sendiri, tergambar dengan jelas kesalahan dari kedua
kerajaan tersebut.19
Di sisi lain, sejarah kerajaan Yehuda (Israel selatan) pada umumnya juga
merupakan sejarah kemerosotan dan ketidaksetiaan kepada Allah meskipun terus
diperintahi oleh raja-raja dari keturunan Daud.20 Kebanyakan raja Yehuda tidak setia
kepada Tuhan dan memuja dewa-dewi sehingga menyebabkan mereka juga dikutuk.
Hanya dua raja yang dipuji karena kesetiaannya (Hiskia dan Yosia - 2 Raja-raja 18 :
13; 22 : 2).21 Reputasi pemerintahan yang buruk ini pula yang menyebabkan kerajaan
tersebut hancur (2 Raja-raja 25). Namun bagi penulis kitab Raja-raja, kehancurannya
itu tidak mutlak dan tetap ada harapan atau masa depan bagi keturunan Daud (bnd. 2
Raja-raja 25 : 27 – 30).22 Bahkan Gottwald mengemukakan bahwa23 :
” For the sake of David, the sin of southern kings are viewed as less fatal than the
sins of northern kings, and several southern rulers are given high marks for their
piety : Asa, Jehoshaphat, Joash, Hezekiah and Josiah”.
19 Pada 2 Raja-raja 17 : 7, 8, 9 digambarkan tentang kesalahan Israel selatan yang mendatangkan kehancuran atas mereka yaitu menyembah ilah lain, hidup menurut adat istiadat bangsa lain, menuruti ketetapan yang dibuat oleh raja-raja Israel, mendirikan bukit-bukit pengorbanan, tugu-tugu dan tiang-tiang berhala. Sedangkan pada ayat 23 – 18a digambarkan tentang kesalahan Israel utara yang mendatangkan kehancuran bagi mereka yaitu menolak ketetapan dan perjanjian dengan Tuhan, membuat dua anak lembu tuangan, patung Asyera, sujud menyembah kepada semua tentara langit, beribadah kepada baal, mempersembahkan anak-anaknya sebagai korban dalam api, melakukan tenung, telaah dan memperbudak diri dengan melakukan yang jahat di mata Tuhan. 20 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158-159. 21 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158-159. Bnd juga Gottwald, The Hebrew Bible, 299-300. 22 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158-159. 23 Gottwald, The Hebrew Bible, 299.
11
Bukankah ini adalah sesuatu yang ironis? Apakah ini sebuah keadilan ataukah
ketidakadilan? Bukankah pilihan Israel utara untuk memisahkan diri dari Yehuda
(Israel selatan) dilatar-belakangi oleh alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan?24
Bahkan sebagai bagian dari umat Allah, mereka seharusnya juga diberikan
kesempatan yang sama seperti kerajaan Yehuda untuk pulih setelah masa-masa
kehancurannya tersebut? Fakta teks ini memberikan kesan yang sangat jelas tentang
keberpihakan penulis teks ini kepada kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan
keturunan Daud.25
Michael Fishbane dan Nahum Sarna mengemukakan bahwa 1 Raja-raja 12 -
2 Raja-raja 17 : 41 mengandung sebuah teologi pembenaran tentang pembuangan
kerajaan Israel utara, yang merupakan teks sentral dalam sejarah Deuteronomi (kitab
ulangan).26 Martin Noth mengganggap teks tersebut sebagai sebuah pidato besar yang
sangat ditekankan dalam sejarah Deuteronomi.27 Sedangkan Richard Nelson
mengklaim bahwa teks tersebut menyediakan bukti yang penting untuk memahami
redaksi sejarah Deuteronomi.28 Namun bagi Marc Brettler, para ahli tersebut tidak
24 Bnd. tujuan protes yang dilakukan oleh Yerobeam kepada Rehabeam dalam J. Maxwell – John H. Hayes, A History Of Ancient Israel And Judah, 233. 25 Menurut Gottwald, kitab Raja-raja mesti dilihat sebagi produk dari sejarah Deuteronomi yang pada hakekatnya, disusun sebagai sebuah propaganda untuk reformasi Yosia terhadap kultus dan kebijakan politiknya untuk merestorasi kerajaan Daud pada masa sesudah kemunduran Asyur dan Israel utara. Dalam kerangka pemikiran sejarah Deuteronomi tersebut, kehancuran kerajaan Israel utara merupakan sesuatu yang sudah sepantasnya terjadi. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, 295, 300. 26 Komentar Michael Fishbane dan Nahum Sarna, dalam Marc Brettler, Ideology, History and Theology In 2 Kings XVII 7-23 dalam Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268. 27 Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268. 28 Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268.
12
menyadari kompleksitasnya teks-teks tersebut dan multi ideologi yang terkandung di
dalamnya.29
Pendapat Brettler ini sekaligus mengindikasikan bahwa proses membaca dan
menerjemahkan teks tersebut selama ini sangat dipengaruhi oleh kerangka berpikir
sejarah Deuteronomi, yang bagi Groenen sangat menekankan aspek keagamaan.30
Dimana sumber tersebut tidak bermaksud melapor hal ihwal para raja Israel, yang
dapat memanipulasi sejarahnya sendiri untuk meluhurkan dan memuliakan dirinya.
Tetapi terutama memilih dari bahan yang tersedia, apa yang dapat menyingkapkan
dan menonjolkan rencana Tuhan. Jadi bukan apa yang dari segi politik atau militer
paling penting untuk disajikan oleh mereka, melainkan apa yang penting dari sudut
pandangan agama sejati yang ditonjolkan.31 Berdasarkan kerangka berpikir sejarah
Deuteronomi itulah, semua peristiwa dinilai, dikutuk atau dipuji. Dasar penilaian
terhadap masing-masing raja adalah kesetiaannya kepada Tuhan dan perjanjian
29 Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268. 30 Bnd. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 155 dan John Gray, I and II Kings, Westminster Press, Philadelphia, 1975, 9. 31 Bnd. Menurut Brueggemann, ada tiga unsur yang saling terkait dalam ideologi yang direpresentasikan oleh Salomo. Pertama, keberhasilan diukur dari tingkat kesejahteraan dan kelimpahan materi (1 Raja-raja 4 : 20 - 23); kedua, kesuksesan materi tadi tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya opresif entah untuk menghasilkan kesuksesan materi tersebut seperti dengan meminta pajak yang mencekik, entah untuk mencegah pemberontakan karena terdesaknya mereka yang dijadikan sumber penghasilan materi (1 Raja-raja 5 : 13 - 18, 9 : 15 – 22); dan ketiga adalah unsur yang berkenan dengan agama yakni penerapan hidup keagamaan yang terkontrol dan bersifat statis. Agama hanya boleh mendukung penguasa dan melayani kepentingan penguasa saja. Hubungan segi tiga antara kekayaan, kekuasaan dan agama yang statis ini memiliki peranan yang sangat menentukan bagi kelangsungan ideologi imperialis. Walter Brueggemann, Prophetic Imagination, Fortre Press, United states of America, 1978, 14; Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 9 dan John Gray, I and II Kings, 5.
13
Tuhan dengan umat-Nya, sesuai dengan pandangan kitab Ulangan. Dan ukuran yang
dipakai adalah Raja Daud.32
Persoalannya adalah apakah raja-raja Yehuda (keturunan Daud) secara
keseluruhan adalah mereka yang bisa mempertanggung-jawabkan kepercayaan dan
kesetiaannya kepada Tuhan?33 Dan apakah kepercayaan, kesetiaan dan kebijakan
yang ditempuh oleh raja-raja Israel utara adalah sesuatu yang salah dan tidak bisa
dipertanggung-jawabkan (bnd. 1 Raja-raja 12 : 25 - 33)? Ataukah sebaliknya justru
kebijakan mereka-lah yang benar? Siapa yang bertanggung jawab dalam menyusun
kriteria untuk menilai benar-tidaknya sebuah agama dan seorang raja dalam
pemerintahannya?34 Sebab sepertinya kriteria tersebut hanya mengakomodir
kepentingan para penguasa dari Yehuda dan mengabaikan Israel utara, yang lahir
karena desakan nasib rakyat kecil yang diperlakukan secara tidak adil selama ini.
Bukankah Allah itu adil dan memihak kepada pembebasan orang-orang yang lemah
dan tertindas? Dan apakah kesetiaan kepada Allah hanya merupakan sebuah kesetiaan
untuk menjalankan kultus, yang terlepas dari implementasinya di tengah-tengah
realitas kehidupan di tengah berbagai dimensi, baik politik, ekonomi, sosial-budaya
dan lain-lain, yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari ketaatan dan kesetiaan
32 C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 9. 33 Jika sumber kitab Raja-raja adalah sejarah Deuteronomi dengan ukuran yang didasarkan pada Raja Daud ini berarti kepentingan dari Daud dan keturunannya sebagai pembuat ukuran atau aturan itulah yang menjadi indikatornya. Dan demi kepentingan tersebut, segala sesuatu bisa dibenarkan atau diabaikan. 34 Menyangkut kriteria tersebut dapat dibaca dalam J. Maxwell – John H. Hayes, A History Of Ancient Israel And Judah, 222.
14
yang sejati itu?35 Apakah dengan demikian sumber dari sejarah Deuteronomis
mengandung ideologi yang perlu dipertanyakan?
Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya adalah apakah penggambaran teks
yang tidak memihak kepada kerajaan Israel utara tersebut sungguh-sungguh
merepresentasikan adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh kerajaan tersebut akibat
tindakan kerajaan Israel selatan? Dan apakah masyarakat kecil tidak terabaikan dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan Israel utara selama ini? Ataukah sebaliknya
upaya untuk menonjolkan posisi Israel selatan (Yehuda) dalam teks Raja-raja pun
kemungkinan mengandung ideologi lain yang lahir dari konteks keterpurukan Israel
selatan tersebut karena tekanan dari Israel utara atau bangsa-bangsa lainya pada saat
itu?
Hal ini menjadi mungkin juga karena seruan-seruan profetis terhadap
kejahatan yang mendatangkan kehancuran bagi kerajaan Israel utara dan Israel
selatan sebagian besar berasal dari para nabi (1 Raja-raja 11 : 29 - 39; 12 : 22 - 24; 13
: 2 - 3; 14 : 1 -16; 17; 18; 19; 20; 21; 22; dan 2 Raja-raja 1 - 25) yang dalam
perspektif masyarakat Israel kuno adalah ’mata dan tangan umat’ (bnd. Yesaya. 29 :
35 Bandingkan pendapat Robert Coote dan Mary Coote bahwa Apa yang paling penting dalam memahami Alkitab adalah bahwa kultus orang kaya dan berkuasa, yang mempunyai keahlian menulis serta memproduksi Kitab Suci, cenderung melegitimasikan institusi negara dan Bait Suci. Karena Kitab Suci ini sama seperti pendukung mereka yang kuat dan kaya. Karena itu, menjadikan perlindungan atas orang miskin sebagai suatu program pokok secara teoritis, yang menyatakan pemihakan Allah pada orang miskin, maka Kitab Suci ini bisa berbalik melawan penguasa-penguasa atau institusi-institusi yang menciptakan mereka, atau mengambil keuntungan setelah kematian mereka. Sebagai hasil pembalikan semacam itu, mengembalikan Kitab Suci dari pihak penguasa ke pihak yang dikuasai, kita mempunyai Akitab. Robert B. Coote dan Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab : Suatu Pengantar (terjemahan Minda Perangin-angin), BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2004, 23.
15
10),36 yang membawa kesejahteraan (Yesaya 30 : 10) dan penghukuman bagi umat
(Yeremia 2 : 30, 26 : 20)37 serta menjadi perantara umat dengan Allah tetapi juga
perwakilan umat di hadapan Allah untuk menyampaikan kehendak Allah kepada
umat serta permohonan umat kepada Allah (Amos 7 : 2, 10 : 4; Hosea 9 : 14).38
Bahkan nabi juga bisa dipanggil oleh raja untuk kepentingan tertentu atau menghadap
raja berdasarkan inisiatifnya yang berdampak besar pada kehidupan politiknya jika
raja mendengar mereka.39 Persoalannya adalah apakah nabi-nabi tersebut bisa
menjaga kemurnian suara profetisnya40 tersebut atau dengan kata lain tidak menjadi
kaki tangan dari para penguasa untuk kepentingannya juga (bnd. 1 Raja-raja 13 : 11-
32)?
Jadi teks Raja-raja ini bisa juga merupakan sebuah ungkapan hati, seruan,
protes dan perjuangan dari masyarakat atau malah upaya untuk melegitimasi
kekuasaan salah satu dari kedua kerajaan tersebut. Dan jika sejarah tersebut adalah
sebuah ungkapan hati, harapan dan fantasi masyarakat yang tertekan dalam tirani
pemerintahan yang membelenggu kehidupan mereka maka, sejauh manakah gereja
memberikan apresiasi dan perhatian bagi harapan atau fantasi tersebut? Apakah
harapan atau fantasi masyarakat yang menderita hanyalah sebuah mimpi di siang
bolong yang tidak memiliki arti apa-apa dalam teologi gereja? Irasionalkah? Ataukan
36 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, Oxford Basil Blackwell MCMLXXIII, London dan Aylesbury, 1962, 203. 37 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, 203. 38 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, 204. 39 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, 203. 40 Artinya mereka bertindak atau bersuara sesuai dengan panggilan mereka dan tidak mengabaikan panggilan tersebut hanya karena kepentingan- kepentingan sesaat yang dikejar.
16
merupakan kekuatan yang menguatkan dan memberikan semangat untuk bertahan
dan berjuang dalam mengatasi penderitaan mereka?41
Berdasarkan hal inilah, maka metode yang akan dipakai dalam tulisan ini
adalah kritik ideologi dari perspektif masyarakat kecil. Maksudnya :
1. Masyarakat Israel utara dan selatan yang terpuruk bukan karena mereka tidak
memiliki kekuatan atau kemampuan tetapi karena struktur-struktur
pemerintahan negara dan agama yang tidak adil atau direkayasa untuk
kepentingan tertentu. Suara mereka tidak diperhitungkan sama sekali dalam
proses pengambilan keputusan. Mereka adalah korban-korban kebijakan dan
strategi politik yang cenderung memihak kepada penguasa atau kaum
mayoritas yang sudah sewajarnya dibela dan dibebaskan.
2. Bangsa Israel (Yehuda) dalam kapasitas sebagai bangsa kecil di tengah
masyarakat dunia pada saat itu karena kondisi keterpurukan yang tidak
memungkinkan mereka untuk mengandalkan kekuatan politik, militer,
ekonomi, sosial, budaya dalam percaturan politik bangsa-bangsa pada saat itu.
41 Bandingkan pendapat Neusner bahwa pengalaman berada dalam ancaman kebinasaan yang datang bertubi-tubi dari bangsa lain, membuat orang Yahudi harus menaruh kepercayaan kepada apa yang ia sebut ” the power of imagination ”. Yang dimaksud dengan imajinasi oleh Neusner adalah berbagai karya seni seperti puisi, drama, musik, tarian dan film dimana orang Yahudi terkenal piawai. Tetapi motivasi mereka bukanlah sekedar melayani kepentingan seni itu sendiri. Mereka memakai seni sebagai sarana untuk melangsungkan kehidupan. Salah satu dari karya seni itu adalah Alkitab. Melalui Alkitab, orang Yahudi ingin menolak segala macam peristiwa yang hendak mengakhiri hidup mereka. Bagi Neusner, imajinasi tidak sama dengan hal yang tidak berguna. Justru sebaliknya, imajinasi berfungsi untuk memberikan harapan akan masa depan. Walter Brueggemann, An Introduction to the Old Testament, The Canon and Christian Imagination, Louisville, London : Westminster John Knox Press, 2003, hal. 346 dan Robert Setio, Teologi Hikmat : Membaca Alkitab Melampaui Kritik Ideologi (Makalah), 2007, hal. 7
17
Idealisme di balik gagasan ini hendak menegaskan bahwa sudut pandang
dalam menulis, membaca dan menafsir sebuah teks oleh umat sangat menentukan
proses implementasinya dalam konteks riil hidup bermasyarakat. Penuturan kisah
dalam kitab Raja-raja sarat dengan ideologi kelompok tertentu, yang jika tidak
disadari dan dikritisi akan menciptakan penilaian yang salah atau berat sebelah.
Pendekatan tafsir yang sengaja dipakai dalam tulisan ini mencoba untuk melakukan
penyeimbangan agar masyarakat Israel tidak selalu disudutkan atau didiskriminasikan
dalam proses penafsiran dengan memberi ruang yang cukup lebar untuk mereka
bersuara tetapi juga memungkinkan adanya apresiasi yang baik terhadap penghayatan
imannya kepada Allah dalam konteksnya pada saat itu.
Keragaman ideologi di balik sebuah teks ini mestinya disadari oleh Gereja
agar implementasinya dapat dilakukan dengan benar dan tidak ikut menambah
keterpurukan masyarakat kecil. Sebab keterpurukan ini akan tetap lestari dalam hidup
bermasyarakat dan bergereja jika pola berteologi gereja pun tidak memperlihatkan
orientasinya sebagai wujud keberpihakannya kepada para korban tersebut. Apalagi
dalam berhadapan dengan realitas faktual masa kini dimana masyarakat semakin
kritis dalam mengungkapkan ideologi yang terselib pada berbagai persitiwa sejarah
nasional Indonesia yang dipelajarinya selama ini. Contohnya muncul berbagai
keraguan masyarakat terhadap ideologi di balik sejarah tentang Gerakan 30
September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) atau juga sejarah tentang
munculnya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950 di Maluku.
18
Tesis ini tidak bermaksud untuk menelusuri kebenaran sejarah dari peristiwa-
peristiwa tersebut yang disadari oleh penulis sebagai sebuah misteri yang tidak
mudah untuk diungkapkan. Dan juga tidak bermaksud untuk menegaskan bahwa
sejarah tersebut benar atau salah. Tetapi munculnya peristiwa-persitiwa tersebut
sebagai wacana aktual di tengah masyarakat Indonesia saat ini, memperlihatkan
kesadaran dan kepekaan masyarakat tersebut akan ada-tidaknya perbedaan antara
sejarah dan fakta yang mungkin saja telah ditemukan serta siapa yang bertanggung
jawab dalam penulisan dan interpretasi sejarah tersebut di kemudian hari. Apakah
cerita tersebut adalah sebuah kebenaran historis? Atau hanya rekayasa dari seseorang
atau sekelompok orang tertentu yang berkuasa di saat itu untuk kepentingan tertentu
pula (pelangengan kekuasaan mereka)? Apa ukuran yang dipakai dalam proses
penyeleksian peristiwa dalam membentuk sebuah sejarah? Siapa yang menetapkan
ukuran tersebut? Dan apakah ukuran itu adalah sesuatu yang dapat dipertanggung-
jawabkan nilai-nilai kebenaran dan keadilannya? Ataukah sebaliknya? Apalagi
sejarah tersebut telah mengorbankan ”orang, kelompok atau masyarakat tertentu”
yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung di dalamnya. Bahkan
mungkin bukan hanya dalam kaitan dengan peristiwa tersebut, tetapi juga kehidupan
sehari-hari ketika berinteraksi sebagai bagian dari anggota masyarakat, gereja dan
negara. Bukankah ideologi merupakan perwujudan sistem yang ada dalam paraktek
hidup masyarakat sehari-hari?42
42 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, Yale University Press, New Haven and London, 1995, 273.
19
Pentingnya membangun dan mendorong kekritisan umat dan atau masyarakat
terhadap berbagai ideologi yang bisa saja merugikan kepentingan mereka di
kemudian hari, ternyata merupakan sebuah kebutuhan faktual dalam proses
pemberdayaan umat atau masyarakat untuk melakukan transformasi kehidupan
sebagai sebuah sejarah di masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang dalam
rangka menghadirkan syalom Allah di tengah dunia ini. Dan ini sekaligus
mengindikasikan pentingnya kritik ideologi yang berimplikasi pada semua dimensi
kehidupan umat atau masyarakat (agama, sosial-politik).
Jadi, akhirnya tulisan ini diharapkan tidak hanya menjadi sebuah kajian
eksegetis tetapi juga memberi kontribusi dalam rangka menciptakan keseimbangan
dalam proses interpretasi dan implementasi teks-teks Alkitab yang dilakukan oleh
umat dalam realitas hidup berjemaat dan bermasyarakatnya.
B. Perumusan Masalah :
Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah :
1. Mengapa kisah tentang kerajaan Israel selatan dan Israel utara dalam 1 Raja-
raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-Raja 17 : 1 – 41 digambarkan seperti demikian?
a. Teks tersebut lebih banyak didominasi oleh kisah tentang kerajaan
Israel selatan (Yehuda) dari pada Israel utara. Padahal dari sisi historis,
Israel selatan hanya kerajaan kecil jika dibandingkan dengan Israel
utara dan munculnya Israel utara (di bawah kepemimpinan Yerobeam)
20
sebagai sebuah kerajaan baru adalah kehendak Tuhan dan juga
berdasarkan tuntutan demokratis masyarakat Israel akibat tekanan dari
Raja Israel (Rehabeam).
b. Memperlihatkan adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap masyarakat kecil (baik Israel selatan maupun Israel utara)
dalam proses penyelengaraan pemerintahannya.
2. Apa makna 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 jika dikaji
melalui kritik ideologi berdasarkan perspektif masyarakat kecil?
3. Apa relevansi 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 – 41 bagi
masyarakat kecil di Ambon?
C. Tujuan Penulisan :
Tujuan penulisan tesis ini adalah :
1. Mengetahui ideologi yang melatar-belakangi pengisahan cerita tentang
kerajaan Israel selatan dan Israel utara dalam 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2
Raja-raja 17 : 41, sehingga diketahui mengapa teks tersebut lebih didominasi
oleh kisah tentang kerajaan Israel selatan dan lebih banyak mengorbankan
masyarakat kecil.
2. Mengetahui makna 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 jika
dikaji melalui kritik ideologi berdasarkan perspektif masyarakat kecil.
21
3. Untuk mengetahui relevansi 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 – 41
bagi masyarakat kecil di Ambon.
D. Hipotesis :
Diduga bahwa proses penuturan sejarah tentang kerajaan Israel utara dan
Israel selatan yang terdapat dalam 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41,
yang bersumber dari sejarah Deuteronomi sangat didominasi oleh ideologi
sentralisasi kekuasaan yang dipakai pada zaman pemerintahan Yosia, raja Yehuda.
Ideologi ini telah mengkonstruksi sejarah Israel yang diskriminatif terhadap kerajaan
Israel utara dan raja-raja sebelum serta setelah Daud. Dan dalam rangka melegitimasi
ideologi tersebut penulis teks memanipulasi arti kesetiaan kepada Allah sebagai
ukuran untuk menilai data dan peran tokoh-tokoh tertentu dalam sejarah Israel.
E. Metode Penulisan :
Metode yang akan dipakai dalam penulisan tesis ini adalah kritik ideologi dari
perspektif masyarakat kecil.
Ideologi adalah paham, teori dan tujuan yang dimiliki atau konsep bersistem
yang dijadikan sebagai landasan pendapat yang memberi arah dan tujuan hidup bagi
orang, kelompok atau masyarakat tertentu.43 Hal ini juga dipahami oleh Louis
Althusser yang mendefinisikan ideologi sebagai sebuah representasi dari sistem yang
43 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi terbaru, 334.
22
terdapat dalam praktek sehari-hari (terutama ritual) dari suatu masyarakat (pikiran ini
juga diakomodir oleh Fredric Jameson dan Terry Eagleton).44 Secara metaforis,
Eagleton menyebutkan sistem tersebut sebagai ”teks” tentang relasi kekuasaan dari
sebuah masyarakat. Karena itu, salah satu tugas dari kritik ideologi adalah ’membaca’
teks tersebut. Teks tersebut merupakan representasi dan reproduksi dari suatu
ideologi.45 Ideologi juga terdapat dalam relasi wacana dan kekuasaan. Ideologi
ditemukan dalam wacana dari setiap teks, baik apa yang dikatakan dan tidak
dikatakan oleh teks.46 Pusat dari banyak diskusi tentang ideologi dan kritik ideologi
adalah isu tentang kekuasaan dan relasi antara kekuasaan (secara personal, kelompok,
sosial).
Kritik ideologi berkonsentrasi pada teori dan kritik terhadap proses produksi
makna sebagai sebuah realitas sosial dan politik.47 Kritik ideologi mengungkapkan
tiga dimensi perjuangan yang ada dalam produksi makna yaitu :
1). Menyatakan ketegangan relasi antara produksi makna dan bahasa;
2). Menyoroti banyak wacana yang terdapat dalam teks;
3). Membuka kompleksitas relasi kekuasaan yang menghasilkan teks,
membangun konteks dari teks dan penerimanya serta pengaruhnya
terhadap pembaca teks tersebut dalam lokasi sosial tertentu.48
44 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 273. 45 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275. 46 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 274. 47 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 272. 48 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 273.
23
J.B. Thompson mengemukakan bahwa ideologi ”memiliki arti dalam
pelayanan kekuasaan” dan kekuasaan yang dimaksudkan tidak hanya berkaitan
dengan isu dominasi kelas, tetapi juga seks, ras, etnis dan gender.49 Dari sudut padang
tersebut maka tujuan utama dari kritik ideologi adalah mengungkapkan dan
memetakan struktur dan dinamika relasi kekuasaan tersebut dalam ekspresi bahasa,
konflik ideologi yang terdapat dalam wacana, dan di dalam daging dan darah
pembaca teks dari konteks sosial mereka yang nyata dan hubungan-hubungannya.
Ketika menegaskan bahwa setiap pembacaan teks mengandung ideologi
berarti mengemukakan dasar dari tindakan pembacaan tersebut yaitu persoalan etis.
Kekuatan etis ini terdapat dalam konsep Althusser tentang ideologi sebagai sebuah
”praktek material” yaitu ”relasi kehidupan antara orang-orang dengan dunia mereka”.
Karena itu, pertanyaan etis termasuk dalam jantung diskusi ideologi.50 ”Relasi
Kehidupan” antara orang-orang tersebut bertujuan untuk mengungkapkan dan
menegaskan perbedaan serta konflik dari relasi-relasi manusia tersebut sebagai
sebuah sistem dan realitas kerja sama, yaitu sesuatu yang lebih dari tindakan dan
keinginan individual.
Sebagai sebuah praktek yang signifikan, ideologi dari sebuah teks dikaitkan
secara struktural kepada dorongan etis dan interpretasi penuh. Akhirnya kritik
ideologi, boleh disimpulkan bahwa pada dasarnya harus dilakukan dengan karakter
49 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 273 50 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275.
24
etis dan sebagai respons terhadap teks dan relasi kehidupan mereka yang diwakili
serta yang dihasilkan ketika membaca teks.
Sementara itu, Emmanuel Levinas mengemukakan bahwa ketika membaca
teks Alkitab serta bagaimana harus memahami wacana ideologi, pergumulan dan
konflik yang ada dalam Alkitab, pembaca diperhadapkan pada tantangan dan
tanggung jawab terhadap pertanyaan dan tindakan etis.51 Terhadap hal ini, Robert
Setio mengemukakan bahwa kecenderungan untuk bergerak lebih jauh dalam hal
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan nilai-nilai etis yang dipahami
sekarang belum terlalu banyak dilakukan. Kecenderungan yang muncul adalah ketika
diperhadapkan dengan ide-ide yang sebenarnya bermasalah secara etis, maka kita
mencoba untuk memperlunak kesan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis
yang kita yakini melalui berbagai cara. Jika yang mempunyai masalah itu adalah
sesuatu yang berasal dari teks Alkitab sendiri maka cara untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan mencari teks lain yang pada akhirnya dapat
mengubah kesan adanya permasalahan etis tersebut.52 Sebagai contoh : teks Paulin
tertentu yang berbias gender (I Korintus 11 : 1 – 16) karena menempatkan perempuan
pada posisi inferior dibandingkan laki-laki. Teks tersebut dijelaskan sedemikian rupa
dan kesan anti perempuan menjadi kabur sehingga tujuannya tidak diarahkan kepada
semua perempuan tetapi perempuan tertentu saja yaitu mereka yang banyak berbicara
51 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275. 52 Robert Setio, ”Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja”, dalam PENUNTUN : Jurnal Teologi dan Gereja, volume 5 - no. 20, Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, Jawa Barat, 2004, 384.
25
dan rambutnya acak-acakan (mereka yang menjadi imam dan tugasnya memimpin
ritus). Namun hal tersebut tidak dapat menghilangkan kesan inferior perempuan
dalam pikiran-pikiran Paulus. Dan dewasa ini, bukan hanya kaum feminis saja yang
memperjuangkan nasibnya akibat ketidakadilan yang dirasakan. Tetapi juga kaum
marginal lainnya seperti orang-orang hitam, orang-orang Asia, anak-anak dan lain-
lain. Atau yang dalam istilah Daniel Patte ”kaum advokasi”.53 Ia memakai istilah
dalam dunia peradilan ini untuk menggambarkan situasi yang terdapat dalam
penafsiran Alkitab.
Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Patte, maka masyarakat kecil juga
adalah bagian dari kaum advokasi yang perlu diberikan tempat dalam proses
penafsiran Alkitab tersebut. Karena hak-hak mereka juga sering terabaikan dan
bahkan diekploitasi (kemiskinan dan kekayaan masyarakat) untuk kepentingan
tertentu. Bagi Patte, adalah tidak etis untuk menganggap bahwa hasil-hasil tafsir yang
selama ini sudah kita peroleh mewakili semua kaum. Bahkan Sheila Briggs
menegaskan bahwa ”Alkitab menjadi sebuah benda ideologi yang di dalamnya
keinginan-keinginan darurat kelas menengah dilukiskan”.54 Jadi kritik ideologi yang
dilakukan tersebut, di satu sisi hendak mengakui keunggulan dari alasan dan budaya
53 Para advokat bekerja untuk membela mereka yang secara hukum sedang dikenai tuduhan atau dirugikan. Artinya mereka yang perlu dibela itu adalah mereka yang lemah secara hukum. Entah dengan membebaskan yang tidak bersalah, atau meringankan hukuman yang bersalah. Patokannya adalah keadilan. Robert Setio, ”Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja”, dalam PENUNTUN : Jurnal Teologi dan Gereja, volume 5 - no. 20, 385. 54 Sheila Briggs,” The Deceit of the sublime : An Investigation into the origin of ideological criticism of the Bible in the early nineteenth-century German Biblical studies “, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA No. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, Scholars Press, Society of Biblical Literature, Atlanta, 1992, 1.
26
dari kelas menengah tetapi juga di sisi lain menyadari sumber kegelisahan dari kelas
tersebut.55 Dengan cara tersebut kritik ideologi melakukan penilaian yang seimbang
terhadap teks untuk menghasilkan interpretasi yang seimbang pula.
Pernyataan Patte dan Briggs mengindikasikan bahwa penulisan dan penafsiran
Alkitab yang tidak dilakukan secara hati-hati (tanpa menyadari ideologi yang
terkandung di dalamnya) oleh umat bisa melahirkan pemahaman dan tindakan umat
yang tidak adil dan tidak seimbang di kemudian hari sehingga rantai ketidakadilan
tidak dapat diputuskan. Apalagi konteks umat yang dihadapi dewasa ini adalah
konteks dimana Alkitab itu sendiri hanya diterima sebagai instrumen keagamaan
yang memiliki nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat bahkan menjadi standar etis
untuk mengukur setiap pemahaman dan tindakan masyarakat tertentu. Berbeda
dengan dunia barat dimana Alkitab selain digunakan di gereja-gereja, juga digunakan
sebagai objek penelitian akademis. Ini menujukkan bahwa menjadikan Alkitab
sebagai objek kritikan sama sekali tidak mengurangi kadar iman umat tetapi
sebaliknya semakin menambah cakrawala berpikir umat tentang isi Alkitab itu sendiri
sebab menambah kegelisahan umat untuk mengeksplorasi lebih dalam kekayaan
makna dari Alkitab itu sendiri. Dan kekritisan tersebut tidak bisa dibatasi dalam
ukuran atau model tertentu. Atau sama seperti yang dikatakan oleh Briggs, tidak
boleh mengikuti perspektif kaum elite atau menengah saja sebab itu bisa menciptakan
55 Sheila Briggs, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA No. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts,1.
27
ketidakadilan. Tetapi menurut Patte, harus terbuka juga terhadap model-model
penafsiran kaum yang dimarginalkan. 56
Salah satu contoh penerapan kritik ideologi terhadap teks Alkitab misalnya
nampak dalam tulisan Renita J. Weems.57 Ia mencoba menelusuri ideologi yang
terkandung dalam Keluaran 1 : 8 – 22. Menurutnya, studi terhadap Keluaran 1 : 8 –
22 yang dilakukan selama ini tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap
konflik ideologi dalam teks tersebut terutama yang berkaitan dengan hubungan para
budak dan tuannya serta antara perempuan dan laki-laki yang muncul dalam karakter
Firaun dan para bidan (Shiprah dan Puah). Dan konflik ideologi yang terdapat dalam
teks tersebut berhubungan dengan konteks sosial ketika teks tersebut dihasilkan.
Maksudnya adalah teks tersebut merupakan produksi sosial yaitu mereka yang
berasal dari kondisi sosial yang sangat khusus dan sejumlah material serta hasilnya
bertujuan untuk memelihara dan mengusulkan sejumlah pandangan tentang hubungan
antara kekuasaan dan identitas sosial.58 Jadi, teks-teks Alkitab mengambil bagian
dari perdebatan ideologi, perdebatan yang selalu menjadi pusat dari isu-isu kekuasaan
dimana sastra menjadi sebuah bentuk wacana publik yang berusaha menantang atau
mempertahankan keberadaan seseorang secara sosial. Ini berarti, beberapa
56 Robert Setio, ” Metode Tafisr Ideologis dan Relevansinya Bagi Pembangunan Teologi Politis, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana : Teologi dan Politik, no. 59, Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, 2004, 85; dan Robert Setio,” Manfaat Kritik Ideologi bagi Pelayanan Gereja”, dalam PENUNTUN : Jurnal Teologi dan Gereja, volume 5, no. 20, 386. 57 Renita J. Weems, “ The Hebrew Women Are Not Like The Egyptian Women : The Ideology Of Race, Gender And Sexual Reproduction In Exodus 1”, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA, no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 25 – 33. 58 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA No. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 26.
28
konfigurasi relasi kekuasaan pada masa produksinya tidak hanya dikuasai oleh
penulis, tetapi keduanya melekat di dalam teks. Jadi cerita konfrontasi antara para
bidan dan Firaun dalam kitab Keluaran tidak hanya memelihara kenangan tentang
perempuan dan budak Ibrani yang berada dalam situasi sosial di masa lampau. Cerita
tersebut juga mengadvokasi hal-hal lainnya, seperti kesamaan atau perbedaan strata
sosial bagi perempuan dan budak-budak Ibrani di masa kini. Karena itu Weems
berusaha menganalisa bagaimana asumsi tentang ras dan gender yang secara khusus
dikonstruksikan dalam perjuangan ideologi pada Keluaran 1 : 8 - 22.
Weems memulainya dengan menganalisa ideologi yang terkandung dalam
Keluaran 1 : 8 - 22 dengan secara serius memperhatikan suara cerita dan perspektif
ideologi yang tergambar di dalam teks. Dari sudut pandang siapakah cerita tersebut
diceritakan? Kepentingan kelas, gender dan etika siapakah yang dilindungi dan
menjadi komoditi cerita tersebut? Apakah penulisnya adalah seorang Ibrani ataukah
seseorang yang sangat simpatik dengan nasib orang Ibrani nampak dengan jelas. Bisa
juga, cerita tersebut berisi kepentingan narator Mesir untuk memelihara cerita tentang
tantangan para bidan atau jalan keluar yang dipakai oleh orang-orang Ibrani dari
perbudakan.59
Simpati politik dari penulis relevan karena sebagai para pembaca, kita harus
mengingat bahwa kita berbicara tentang orang-orang Mesir dalam kitab Keluaran
tidak berasal dari perspektif orang-orang Mesir. Tetapi berasal dari seorang Ibrani
59 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 26.
29
atau seseorang yang simpati terhadap orang Ibrani. Jadi sejak nasib orang Ibrani dan
Mesir berada di tangan narator Ibrani, orang-orang Mesir bertahan dalam cerita ini
hanya sebagai sejumlah kekuatan yang diijinkan oleh narator.60 Dalam pengisahannya
tersebut, narator sering kali menduga bahwa ia cukup mengenal kondisi sosial dan
nilai-nilai budaya serta intelektual, politik, dan latar belakang kepercayaan orang-
orang Ibrani yang ideal untuk berkomunikasi dengan mereka. Dan sama seperti
retorika yang baik, narator membingkai ceritanya sedemikian rupa untuk
menghilangkan prasangka, menggantikan, menguatkan, memilih, menertawakan,
membongkar atau membangun di atas prasangkanya tentang pembacanya yang
ideal.61
Menurut Weems,62 perjuangan ideologi yang tergambar dalam Keluaran 1 : 8
- 22 sebagai berikut : cerita dalam Keluaran 1 : 8 - 22 menawarkan beberapa petunjuk
penting mengenai kondisi material, konfigurasi kekuatan sosial, dan efek dari
pemerintahan kelas di Mesir pada masa itu. Dan perbudakan adalah sentral untuk
perkembangannya. Cerita tersebut mengidentifikasi kondisi ekonomi dan politik yang
khusus dimana identitas sosial, politik dan keagamaan Israel terlupakan. Juga menjadi
tanda bagi para pembaca bahwa konflik dan kekuasaan merupakan basis dari cerita
ini – juga identitas orang-orang Ibrani itu sendiri.
60 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 27. 61 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 27. 62 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 27.
30
Berdasarkan sudut pandang narator, Keluaran 1 : 8 - 22 merupakan
representasi dari sebuah usaha untuk memelihara kenangan tentang konsekuensi
sosial dan politik dari perbudakan, serta untuk mengingat tindakan politik dan
ekonomi yang sekali-kali dilakukan untuk menghambat warisan kepercayaan Israel
yang unik. Lembaga perbudakan secara tidak langsung mengidentifikasi dalam teks,
mereka yang memiliki kekuasaan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Juga
pemilik dari para budak dan membedakan mereka yang menggunakan kekuasaan
untuk mendefinisi realitas dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Singkatnya,
perbudakan membangun konteks bagi ketegangan dalam teks antara penindas dan
yang ditindas.
Tema-tema tentang ras, gender dan reproduksi seksual dibangun dalam teks
sedemikian rupa untuk menyediakan kerangka bagi sebuah pengujian perdebatan
ideologi yang ada dalam teks. Rincian perdebatan tersebut disimpulkan dalam cara
penulis menggambarkan asumsi-asumsi Firaun tentang perbedaan antara orang-orang
Mesir dan Ibrani.
Cerita Keluaran dimulai ketika cerita Kejadian berakhir. Prolognya dimulai
dari Keluaran 1 : 1 - 2 : 25 yaitu daftar anak-anak Yakub yang karena kelaparan di
Kanaan telah migrasi ke Mesir ( Keluaran 1 : 1 - 5). Dua belas anak tersebut adalah
representasi suku-suku atau bangsa Israel, yang merupakan generasi pertama yang
hidup di luar Kanaan, Mesir. Keberuntungan politik dan ekonomi suku-suku Israel
sangat aman pada masa Yusuf masih hidup, yang diangkat oleh Firaun sebagai
Gubernur. Namun sejak Yusuf dan kesebelas saudaranya meninggal, nasib orang-
31
orang Israel tidak menentu. Meskipun demikian kematian tidak menjadi akhir dari
bangsa Israel tersebut. Generasi tersebut semakin bertambah banyak (Keluaran 1 : 7).
Hal sebaliknya tidak terjadi pada identitas keagamaan, status sosial dan politik
mereka yang semakin memburuk. Firaun baru menduduki takhta, dan dalam satu
generasi, status orang-orang Ibrani berubah dari para pengungsi menjadi budak.63 Dia
melakukan banyak strategi untuk menekan keberadaan orang-orang Ibrani dalam
Keluaran 1 : 9 - 11, 12 - 14, 15 - 21.
Di sisi lain, cerita keluaran juga menjadi sebuah cerita perempuan.
Persetujuan Firaun dengan bidan Shiprah dan Puah dalam Keluaran 1 : 15 - 22
menjadi bagian penting dalam tulisan ini. Dalam Keluaran 1 : 16, Firaun menyuruh
bidan-bidan tersebut untuk membunuh bayi laki-laki orang Ibrani dan membiarkan
bayi perempuan Ibrani hidup ketika mereka dilahirkan. Ia berasumsi bahwa kelahiran
anak laki-laki dan perempuan memiliki beberapa hal yang sangat berbeda dalam
implikasi sosial dan politik. Dimana anak laki-laki merupakan ancaman psikologi
yang lebih mengerikan terhadap kerajaan dari pada anak perempuan. Bentuk ancaman
ada dua macam yaitu dari sisi militer dan politik, mereka dapat berkoalisi dengan
musuh Mesir untuk menghancurkannya (Keluaran 1:10); sedangkan dari sudut
pandang biologis, anak laki-laki akan melahirkan keturunan laki-laki pula. Berbeda
dengan perempuan yang lebih penurut.
63Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 28.
32
Namun perintah Firaun ini tidak ditaati oleh para bidan tersebut (Keluaran 1 :
17) dan mereka malah membohonginya (Keluaran 1 : 19). Bagi Weems, cara tersebut
adalah senjata tradisonal orang-orang lemah, khususnya perempuan dalam Perjanjian
Lama untuk melawan mereka yang memiliki kekuasaan : senjata penipuan ketika
”kebenaran” tidak diartikan oleh kekuasaan, tetapi menjadi prioritas klas bawah untuk
interpretasi dan menentukannya sesuai realitas mereka sendiri. Penolakan untuk
menceritakan ”kebenaran” menjadi serupa dengan penolakan untuk taat. Dan
penolakan untuk taat adalah penolakan untuk mengakui tuntutan hegemoni.64 Karena
itu, penolakan untuk taat terbukti menjadi sesuatu yang lebih efektif dalam
menghadapi ideologi Mesir (karena para bidan takut Tuhan dan oleh sebab itu, tidak
taat kepada Firaun – Keluaran 1 : 21).
Untuk persoalan perbedaan. Orang Mesir berasumsi bahwa orang Ibrani
berbeda dari mereka sehingga perlu ditakuti. Di akhir cerita, asumsi bahwa anak laki-
laki lebih berbahaya dari pada anak perempuan; serta mengancam kerajaan lebih dari
anak perempuan, tidak hanya diungkapkan tetapi juga ditertawakan. Jadi inti
keseluruhan cerita bertumpuh pada asumsi tentang perbedaan. Karena perbedaan
melekat pada kultur cerita serta memanifestasikan dirinya dalam relasi kekuasaan
yaitu perbedaan antara Mesir dan Ibrani, budak dan tuan, anak laki-laki dan
perempuan, serta laki laki dan perempuan.
64 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 29.
33
Keluaran 1 dalam konteks ideologi dari kisah Keluaran. Keluaran 1 : 8 – 22
adalah bagian dari prolog (Keluaran 1 : 1 – 2 : 22) dan bagian berikutnya (Keluaran 1
: 15 - 22) berfungsi sebagai bagian pertama dari tiga konfrontasi antara Ibrani dan
raja Mesir. Masing-masingnya dan kombinasi kekuatan dari ketiga kisah tersebut
diangkat secara bersama-sama untuk mengungkapkan klaim Firaun sebagai penguasa
yang illegitimate dan bodoh. Mereka melakukan sesuatu secara bertahap tetapi
sistematis untuk mendemitologisasikan reputasi Firaun sebagai perwujudan
kepemimpinan Ilahi. Kenyataannya, tiga adegan konfrontasi tersebut
mempertanyakan tiga prinsip dasar yang di atasnya diduga bahwa dominasi hegemoni
penguasa yaitu kebijaksanaan Ilahi, otoritas dan kekuasaan.65
Adegan konfrontasi yang pertama terdapat dalam prolog, meluncurkan
penyerangan pertama dalam melawan hegemoni Mesir; khususnya Keluaran 1 : 15 –
2 : 10, menantang ide Firaun sebagai pemimpin yang bijaksana. Melalui konstruksi
cerita dimana ide Firaun sebagai personifikasi kebijaksanaan Ilahi diruntuhkan,
narator memulai proses dekonstruksi ideologi Mesir. Kebijaksanaan Firaun tersebut
dipertanyakan : pertama, perempuan dipakainya, kemungkinan yang tidak
berpendidikan dan rendah dalam status sosialnya sebagai bidan kepada perempuan
Ibrani dan memperdayakannya. Kemudian anak perempuan Mesirnya sendiri bekerja
sama dengan budak Ibrani dan mengangkat anak laki-laki Ibrani sebagai asuhannya
(dimana Firaun, seperti pembaca tidak menyadarinya).
65 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 31.
34
Cerita ’Tulah’ dalam Keluaran 7 - 11 memperlihatkan adegan konfrontasi
yang kedua. Pada masa itu, otoritas Firaun ditantang. Pertanyaannya dalam Keluaran
5 : 2 (Siapa itu Yahwe?) menjadi pentas bagi kehancuran ideologinya dalam adegan
ini. Firaun tetap tidak mengakui otoritas Yahwe meskipun sudah berhadapan dengan
tindakan-tindakan Musa dan Harun (Keluaran 10 : 7).
Perjuangan ideologi antara para budak dan tuannya mencapai klimaks dalam
bagian ketiga dan merupakan akhir adegan konfrontasi. Dalam keluaran 14, dalam
adegan Laut Merah, hak untuk mementukan nasib Ibrani terletak pada kekuatan
militer Mesir (Keluaran 14 : 7 - 8) adalah pengungkapan terakhir terhadap klaim yang
curang tersebut. Di Laut Merah, dengan 600 kereta tempur dan pasukan pilihan,
Firaun tidak bisa menandingi para budak dan tuannya, Yahwe. Kekuatan Ilahi
melawan kekuatan Mesir dan akhirnya dikalahkan.
Dampak sosial dari Keluaran 1. Cerita dalam Keluaran 1 merupakan
kesaksian kepada dan produk dari konflik sosial. Teks tersebut memelihara memori
perjuangan antara penguasa (Mesir) dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan
(Ibrani). Ia menggambarkan usaha dari penguasa untuk mendominasi dan kekuatan
dari yang tidak memiliki kekuasaan untuk bertahan : kekuatan penguasa untuk
mengartikan realitas dan kekuatan dari yang tidak memiliki kekuasaan untuk
mendefinisikan kembali realitas tersebut. Kekuatan penguasa untuk mengeksploitasi
tenaga manusia dan kekuatan dari yang tidak memiliki kekuasaan untuk menolak.
Karena itu, Keluaran 1 adalah cerita yang tidak sederhana, innoncent dan naif. Teks
tersebut berusaha untuk mempengaruhi pembaca Ibraninya. Ia mengundang
35
pembacanya untuk berefleksi di atas pemahaman apa artinya menjadi Ibrani di luar
tanah Kanaan. Ia mengundang mereka untuk berefleksi pada apa artinya menjadi
seorang perempuan Ibrani dan ibu di Mesir selama waktu itu. Ia menantang mereka
bahkan untuk menegaskan kembali atau meninggalkan sikap yang ada atau norma-
norma budaya dalam sudut pandang cerita (seperti interaksi dengan Mesir, beberapa
aturan penguasa dan keberadaan peran perempuan dan laki-laki).
Membaca secara ideologi adalah sebuah usaha yang disengajakan untuk
melawan arus – dari teks, dari norma-norma kedisiplinan, dari tradisi dan dari
budaya. Ini merupakan sebuah cara membaca yang mengganggu karena kritik
ideologi membutuhkan kesadaran diri yang sangat tinggi dan meminta penjelasan
yang eksplisit dan terus terang akan keadilan. Dan karena keadilan menjadi standar
dalam usaha tersebut maka setiap bangunan ideologi harus dikonfrontasikan
denganya.66
Berdasarkan uraian di atas maka boleh disimpulkan bahwa kritik ideologi
berasumsi bahwa baik teks maupun pembaca yang berusaha untuk memahami teks
tidak bebas dari ideologi. Oleh karenanya, keduanya perlu menjadi sasaran analisa
ideologi.67 Tujuan dari analisa atau kritik ideologi adalah mengungkapkan :
1). Ideologi yang melatar-belakangi pengarang/ penulis/ redaksi teks;
2). Ideologi yang melatar-belakangi pembaca (penafsir) teks;
3). Ideologi yang hendak dibentuk melalui teks; dan
66 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275. 67 Robert setio, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana : Teologi dan Politik, no. 59, 93.
36
4). Ideologi yang hendak dibentuk oleh suatu tafsir.
Briggs menegaskan bahwa kritik ideologi berusaha untuk melakukan
transparansi terhadap praktek-praktek ideologi tersebut. Dan kebenaran, nilai moral
dan kualitas sastra dari Alkitab kemudian dinilai berdasarkan kriteria atau prinsip-
prinsip modern.68 Dalam kaitan dengan tesis ini, yang mencoba memakai perspektif
masyarakat kecil dalam membaca teks 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 -
41 maka ideologi yang ditemukan dalam penggalian terhadap teks dan pembacanya
akhirnya akan dikonfrontasikan dengan nilai yang terkadung dalam pertanyaan
sebagai berikut : apakah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di dalam
sebuah negara, kepentingan dan keterlibatan masyarakat kecil juga diperhitungkan?
Dan apakah mereka sudah diperlakukan secara benar dan adil? Atau sebaliknya hanya
menjadi objek eksploitasi kekuasaan sesorang atau sekelompok orang tertentu dan
untuk tujuan tertentu pula? Di sisi lain, masyarakat kecil pun tidak terlepas dari kritik
yang sama sebab masyarakat juga bisa saja terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam praktek-praktek ketidakadilan dengan membiarkan dan menikmati
keuntungan dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang ditetapkan. Keseimbangan
peran dan kontrol antara pemerintah dan masyarakat dalam proses penyelenggaraan
sebuah negera adalah hal penting dalam menghadirkan tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang harmonis, adil dan benar.
68 Sheila Briggs, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 1.
37
Prinsip-prinsip ini juga sekaligus memperlihatkan bahwa penulis pun
memiliki ideologi tertentu di balik perspektif yang digunakan dalam penulisan tesis
ini dan karena itu pun tidak bebas terhadap kritikan namun pada akhirnya tesis ini
bermaksud untuk menciptakan keseimbangan dalam hasil penafsiran dan
implementasinya dalam kehidupan umat dewasa ini.
F. Sistematika Penulisan :
Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman terhadap tesis ini maka
sistematika penulisan yang direncanakan adalah sebagai berikut :
BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan, hipotesa, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Berisi ideologi dalam 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17
: 1 - 41.
BAB III Berisi relevansi dari 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 :
1 – 41 bagi masyarakat kecil di Ambon.
BAB IV Berisi kesimpulan dari seluruh uraian tesis ini.