1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi merupakan suatu dunia yang terintegrasi secara fisik, dengan
melampaui batas-batas negara, baik ideologis dan lembaga-lembaga politik dunia.
Integrasi ini akan mendorong penghilangan hambatan-hambatan terhadap
perdagangan internasional, sehingga memudahkan arus perdagangan, investasi,
mata uang dan informasi1. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan dipandang
akan menciptakan pasar yang lebih efisien karena akan merujuk pada sistem
perdagangan bebas. Globalisasi ekonomi mengakibatkan semakin banyak negara-
negara di dunia yang terlibat langsung dalam aktifitas perdagangan internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil komoditi terbesar di dunia memiliki
peran penting dalam aktifitas perdagangan global tersebut. Indonesia berperan
sebagai negara produsen yang melakukan ekspor komoditi dan komoditi memiliki
peluang besar dalam pertambahan nilai. Namun, saat ini rantai nilai tertinggi
dipegang oleh negara yang tidak menghasilkan komoditi tersebut.
Permasalahan utama dalam ilmu ekonomi dan sejarah ekonomi adalah bukan
mengapa beberapa negara menjadi kaya, melainkan mengapa negara-negara
lainnya kebanyakan tetap miskin atau hanya sedikit berkembang walaupun
1 Amal, Ichlasul dalam Budi Winarno. 2009. pertarungan negara VS Pasar. Yogyakarta : Media
Pressindo
2
banyak kesempatan baru tercipta oleh perluasan ekonomi dunia dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Memahami sebab-sebab kegagalan ekonomi
adalah mungkin jauh lebih sulit dibandingkan menjelaskan keberhasilan ekonomi.
Salah satu contoh dari upaya tersebut adalah kajian penting yang dilakukan ahli
ekonomi dan ilmu sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, yang diterbitkan pada
tahun 1968. Dalam bukunya, Asian Drama : An Inquiry into the Poverty of
Nations, dia menghasilkan kajian yang rinci, tetapi pesimistis mengenai
perkembangan ekonomi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Dalam pandangan Mydral, kegagalan pembangunan di negara-negara Asia
pascakolonial berakar pada struktur kekuasaan tradisional yang terus bertahan,
sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan berbagai
perencanaan pembangunan modern. negara-negara tersebut tidak dapat
mendisiplinkan warganya karena tidak memiliki tradisi untuk melakukannya.
Fenomena korupsi yang terus berkembang merupakan sebuah gambaran penting
dari negara-negara ‘lembek’ (soft) tersebut, yang menyulitkannya untuk
menjalankan rencana-rencana pembangunan –dan kebijakan publik—menurut
Myrdal, adalah kunci untuk memahami ‘drama Asia’ (Asian drama) tersebut.
Sebagai contoh, dia meragukan apakah perkembangan pesat pertanian, yang
sangat penting artinya bagi peningkatan standar hidup di pedesaan, dapat terjadi
tanpa adanya distribusi tanah dan lahan secara radikal, sementara distribusi tanah
3
tidak mungkin dilakukan oleh negara-negara lembek yang tangannya ditelikung
oleh suatu sistem pembagian kekuasaan dan kekayaan yang mapan.2
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran
penting dalam menunjang peningkatan ekspor nonmigas di Indonesia.
Berdasarkan data Indonesian Coffe Festival (ICF) 2012, Indonesia berada di
peringkat ketiga produsen kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Kolombia.
Dari data yang didapatkan ICF, Indonesia menjadi penghasil kopi Robusta (85
persen) terbanyak, disusul oleh kopi Arabika (15 persen). Dari kedua jenis kopi
tersebut, Indonesia telah memproduksi 600 ribu ton per tahun, dari 1,3 juta
hektare kebun rakyat. Indonesia juga memiliki keunggulan dengan beragam
produk kopi Arabica dan Robusta yang berkualitas tinggi. ICF mencatat, ada
sekitar 100 miliar cangkir kopi, atau sekitar 165,9 ton kopi yang diseduh setiap
hari di seluruh dunia. Potensi kopi di Indonesia sangat beragam mulai dari Aceh,
Sidikalang di Sumatra Utara, Lampung, Jawa, Bali, Flores, Toraja, hingga
Wamena3.
Potensi peningkatan pasokan kopi Indonesia ke pasar global sangat terbuka
karena permintaan kopi di pasar global terus meningkat. Laporan dari
International Coffee Organization (ICO) pada Agustus 2012 menyebutkan
konsumsi kopi pada 2011 sekitar 137,9 juta karung, naik dari 2010 sebesar
137,150 juta karung (1 karung 60 kg). Namun dari sisi produksi samapai saat ini
Indonesia masih pada peringkat ketiga di dunia, sementara dari sisi ekspor
2 Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara Drama dan
Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta : Kompas 3 http://www.bumn.go.id/ptpn12/publikasi/berita/indonesia-peringkat-tiga-produsen-kopi-di-
dunia/ diakses 8 November 2012
4
Indonesia berada di peringkat empat dunia di bawah Brazil, Vietnam dan
Kolombia (ICO, September, 2012). Dari sisi produk, dalam tiga tahun terakhir
terjadi penurunan produksi yang akhirnya berdampak pada realisasi ekspor. Data
Asosiasi Eksportir Indonesia menyebutkan tahun 2011 produksi kopi tercatat
633.900 ton atau turun sekitar 7% dibandingkan dengan produksi tahun 2010.
Tahun 2010 total produksi kopi Indonesia tercatat 684.076. Sementara pada tahun
2011 ekspor kopi tercatat 352.007 ton atau turun 21% dibandingkan dengan tahun
2010. Dibandingkan dengan tahun 2009 ekspor, ekspor kopi tahun 2010 juga
tercatat menurun 11,4%. Tahun 2009 menjadi puncak ekspor kopi Indonesia
selama satu dekade terakhir dengan volume 505.381 ton.
Meskipun Indonesia adalah produsen kopi ketiga di dunia, tetapi ekspor kopi
Indonesia belum menghasilkan devisa yang signifikan. Hal ini terjadi karena
ekspor kopi Indonesia sebagian besar masih pada level biji dan bubuk kopi. Kopi
Indonesia yang berjenis spesialti sangat terkenal di mancanegara sebagai kopi
dengan kualitas tinggi, tetapi Indonesia hanya mengekspor kopi spesialti lima
persen dari total ekspor kopi Indonesia.
Kebutuhan kopi saat ini merupakan bagian dari gaya hidup yang terus
meningkat. Kopi tidak hanya dinikmati di warung kopi sederhana, tetapi sudah
banyak menjamur ke gerai Cafe. Berangkat dari gaya hidup dan bertumbuhnya
kelas menengah baru, merk merupakan hal penting yang dapat meningkatkan nilai
dari suatu produk jauh dari bahan dasarnya. Disamping permintaan kopi yang
terus meningkat, prospek bagi Indonesia seharusnya bukan hanya ekspor biji atau
bubuk kopi, namun sudah beranjak pada spesialti kopi menjadi salah satu andalan
5
ekspor. Menurut laporan Investor daily, biji kopi Indonesia merupakan biji kopi
yang terbaik di dunia, namun merek kopi terkenal dimiliki pengusaha dari negara
yang tidak memiliki kebun kopi.
Jatuhnya nilai kopi di tingkat produsen terutama disebabkan oleh kebijakan
korporasi multinasional pengelolaan kopi yang menampung stok kopi dunia untuk
mengontrol harga kopi. Kondisi lain seperti perubahan dalam rantai komoditas
kopi global termasuk dengan bubarnya International Coffee Agreement pada
1989, liberalisasi pasar, meningkatnya produksi dan membanjirnya supply kopi
turut menjadikan harga kopi menjadi terendah selama abad 204. Selain itu, dalam
rantai nilai perdagangan kopi antara negara produsen biji kopi dengan negara
penghasil kopi premium terjadi ketimpangan. Negara penghasil kopi premium
meskipun tidak memiliki kebun kopi tetapi memiliki keuntungan yang berlipat
dari sekedar biji kopi.
Komoditas kopi negara berkembang nilainya terus merosot, sedangkan di
negara-negara maju kopi dijual dengan harga tinggi oleh korporasi-korporasi
pengelola kopi. The Big Five korporasi kopi yang mengontrol 69 persen
perdagangan kopi dunia selama krisis kopi, menangguk untung yang sangat besar.
Ketika harga kopi mencapai titik nadirnya pada tahun 2001, korporasi pemimpin
kopi spesialti Starbucks meraih 41 persen keuntungan dalam tiga bulan
pertamanya. Nestle, menangguk keuntungan sebesar 20 persen dalam periode
yang sama dan 13 persen pada tahun 2003. Harga kopi retail juga meningkat
hingga 240 persen. Secara keseluruhan, industri kopi memperoleh US$ 8 milyar
4 Ponte dalam Christoper Bacon, 2005. Confronting the Coffee Crisis : can Fair Trade, Organic,
and Specialty Coffees reduce Small-Scale Farmer Vulnerability in Northern Nicaragua, Word
Development Vol. 3 No. 3, hal. 497
6
dari munculnya krisis kopi5. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Endriady Edy
Abidin menyebutkan bahwa Starbucks memasarkan kopi Toraja dengan merk
Kopi Kampung sedangkan merk Kopi Toraja sendiri saat ini dipegang oleh Key
Coffee dari Jepang6.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan
sebagai berikut :
1. Bagaimana Indonesia menghadapi structural power dalam perdagangan
kopi spesialti di pasar internasional?
2. Bagaimana strategi Indonesia dalam memenangkan perdagangan kopi
spesialti di pasar internasional?
C. Tinjauan Penelitian
Tinjauan penelitian mengenai perdagangan kopi telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya, baik oleh khasanah akademik dalam negeri maupun luar
negeri, diantaranya dari aspek historis yang ditulis oleh Thee Kian Wee,
Kebijakan Ekonomi di Indonesia selama Periode 1950-1965 Khususnya dalam
Investasi Asing dan penelitian mengenai gambaran perdagangan kopi di Indonesia
telah ditulis oleh Purwadi pada tesis Perilaku Harga Kopi dan Teh. Namun, dari
5 Daniel Jaffee, 2007. Brewing Justice : fair trade coffee sustainability, and survival, california :
University of california Press, hal. 49-50 6 Endriady Edy Abidin. 2011. Kegagalan Implementasi Fair Trade dalam Perdagangan Kopi
Toraja. Tesis S2 Ilmu Hubungan Internasional UGM Yogyakarta
7
berbagai penelitian mengenai perdagangan dan aspek historis perdagangan kopi,
belum ada yang membahas mengenai strategi Indonesia dalam menghadapi
structural power dalam perdagangan kopi spesialti di pasar internasional.
Kebijaksanaan penanaman modal asing di Indonesia selama tahun 1950-an
dan awal tahun 1960-an dibahas dengan latar belakang kebijaksanaan ekonomi
pada umumnya. Sampai tahun 1957 struktur ekonomi kolonial masih bertahan
sehingga mendesak pemimpin Indonesia mendapatkan kontrol atas sektor-sektor
tertentu dari ekonomi nasional seperti perdagangan impor. Dapat dimengerti
pembuat kebijaksanaan ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh gagasan-gagasan
sosialis dan nasionalis mengenai ekonomi daripada kapitalisme liberal. Namun
demikian, beberapa kebijaksanaan ekonomi tidak pernah dilaksanakan karena
berbagai pergolakan politik.
Dalam membahas penanaman modal asing pada periode pasca kolonial, studi-
studi selama seperempat abad yang lalu memfokus hampir hanya pada
pertumbuhan pesat dalam penanaman modal asing (FDI) sejak pemerintah Orde
Baru membuka pintu bagi penanaman modal asing pada taaahun 1967. Fokus ini
hampir tidak mengejutkan karena iklim terhadap investasi asing selama periode
pasca kolonial terutama pada akhir 1950-an menjadi semakin dimusuhi dibakar
oleh nasionalisme ekonomi yang meningkat dan sekaligus permusuhan terhadap
penanaman modal asing. Hasilnya adalah bahwa masalah-masalah yang muncul
dalam kaitan dengan penanaman modal asing lebih bersifat politik daripada
ekonomi.
8
Seperti negara-negara berkembang lain yang baru lepas dari kekuasaan
kolonial, kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di Indonesia pada awal tahun
1950-an sebagian besar dibentuk oleh saling mempengaruhi masalah-masalah
sosial dan ekonomi yang objektif yang menghadapkan negara dan gagasan-
gagasan ekonomi dasar dari para perumus kebijaksanaan ekonomi yang utama.
Sesuai dengan kesepakatan perjanjian Indonesia-Belanda yang dicapai dalam
Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, kepentingan-kepentingan
ekonomi Belanda terus mendapat jaminan menyusul pengakuan kemerdekaan
Indonesia, sebagian besar sektor modern Indonesia yang ditaksir Higgins
bertanggungjawab sekitar 25 persen GDP Indonesia dan sekitar 10 persen total
lapangan kerja (Higgins, 1990 : 40), masih dimiliki dan dikontrol oleh Belanda.
Untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan
kegiatan ekonomi yang penting di bawah kontrol nasional, pada tahun 1950
pemerintah memperkenalkan Program Benteng yang memberikan izin-izin dan
kredit impor kepada importir pribumi. Untuk membantu para calon pengusaha
pribumi Indonesia pada awal tahun 1950-an pemerintah Indonesia juga
mendirikan lembaga-lembaga kredit baru seperti : Bank Industri Negara (BIN),
Bank Negara Indonesia 1946 (BNI), dan Yayasan Kredit. Dalam usaha-usaha
untuk mematahkan kontrol Belanda atas perdagangan ekspor dan impor,
pemerintah Indonesia juga mengandalkan pada dua perusahaan dagang negara,
Perusahaan Dagang Pusat (CTC/Central Trading Company) dan Usaha Indonesia
(Usindo), untuk mengekspor produk industri dan pertanian dan mengimpor bahan-
9
bahan mentah untuk bangunan-bangunan industri yang dibiayai oleh BIN
(Robinson, 1986: 41).
Dalam ketiadaan kelas pengusaha pribumi Indonesia yang kuat, usaha-usaha
untuk mempribumikan ekonomi juga mencakup berbagai tindakan untuk
memperluas sektor. Cara ini diantaranya dicapai dengan membeli beberapa
perkebunan dan perusahaan industri Belanda yang berada di bawah Pusat
Perkebunan Negara (PPN) dan BIN. Namun demikian, sampai semua perusahaan
Belanda dinasionalisasi pada akhir tahun 1957 dan akibat sengketa mengenai Irian
Jaya, kedua lembaga ini belum melakukan ekspansi secara mencukupi untuk
membuat beberapa serangan terhadap dominasi Belanda dalam ekonomi atau
mempengaruhi distribusi kekuasaan ekonomi antara Indonesia dan Belanda secara
signifikan (Mackie, 1971: 46).
Diantara berbagai kebijaksanaan ekonomi Indonesia selama tahun 1950-an,
kebijaksanaan yang berhubungan dengan investasi asing merupakan hal yang
sangat menarik. Hal ini karena keteguhan Indonesia untuk memutus masa lampau
kolonialnya barangkali tidak dinyatakan lebih tegas dalam hal lain kecuali dalam
sikap kebijaksanaan yang berkaitan dengan investasi asing (Lindbald, 1991: 198).
Permusuhan Indonesia yang tetap hidup sebegitu jauh terhadap penanaman modal
asing, disebabkan oleh kenyataan bahwa setelah penyerahterimaan kedaulatan
kepada Indonesia pada bulan Desember 1949 semua perusahaan Belanda tidak
hanya diperbolehkan melanjutkan operasinya di Indonesia, tetapi juga
mempertahankan posisi dominan dalam ekonomi Indonesia (Sadli, 1972:201).
Dalam kenyataan, 5 perusahaan dagang besar yakni Jacobsen & Van den Berg,
10
Internatio, Borsumij, Lindetves dan Geo Wehry masih menikmati praktek
monopoli mereka. Tidak mengherankan jika Sumitro mendorong Program
Benteng sebagai satu jalan untuk membangun sebuah perimbangan terhadap
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda (Djojohadikusumo, 1986: 35).
Kehadiran perusahaan-perusahaan Barat dan Belanda yang berlanjut (beberapa
diantaranya sejak awal tahun 1930-an ketika proteksi melalui bea impor dan kuota
menarik perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever, British American
Tobacco (BAT), Bata dan Goodyear mendirikan perusahaan di Indonesia (Thee,
1989: 143), menghadapkan pemerintah Indonesia pada dilema yang sulit.
Pemerintah Indonesia diikat dengan berbagai komitmen perjanjian internasional,
dituntut berkomitmen melindungi hak-hak hukum perusahaan asing, sedangkan
tekanan-tekanan politik yang kuat termasuk dari tingkat desa memaksa
pemerintah mengambil langkah untuk mengakhiri berbagai permintaan nasionalis
yang keras dari beberapa kelompok penekan. Namun demikian, dimanapun
pemerintah merasa berkewajiban di atas dasar-dasar hukum untuk memihak pada
perusahaan-perusahaan asing, pemerintah berhadapan dengan oposisi politik yang
kuat memaksa untuk mundur bahkan dalam sebuah kasus memaksa untuk
berhenti.7
Pada sistem perdagangan internasional yang efisien maka harga antara negara
eksportir dengan harga negara importir maupun antar negara eksportir akan
terintegerasi dan pergerakan harga antar negara akan bersifat paralel (simetri).
Namun dalam kenyataannya Struktur pasar perdagangan internasional komoditas
7 Thee Kian Wee, Kebijakan Ekonomi di Indonesia selama Periode 1950-1965 Khususnya dalam
Investasi Asing dalam J. Thomas Lindblad. 2002. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
11
perkebunan terjadi praktek pasar oligopoli dengan kekuatan pasar (market power)
yang dikendalikan oleh negara produsen sekaligus eksportir utama. Kekuatan
pasar dapat juga dimiliki oleh negara importir utama yang memerankan praktek
oligopsoni karena pangsa pasarnya yang besar. Dalam kenyataan sistem agribisnis
di pasar dunia, perusahaan multinasional pengolah makanan dengan kekuatan
pasar (market power) yang dimiliki berusaha menekan dan mendikte harga.
Kenyataan ini menyebabkan integrasi pasar yang ada masih menunjukkan
transmisi yang asimetri dan tetap menekan harga di tingkat produsen.8
Hasil penelitian Purwadi menunjukkan bahwa harga kopi robusta Indonesia
berperan sebagai price leader pergerakan harga kopi di pasar internasional baik
pergerakan harga di negara eksportir utama Brasilia dan Vietnam maupun
pergerakan harga di negara importir utama USA, Jerman dan Jepang. Pada
keseimbangan jangka panjang harga kopi di Indonesia menjadi acuan pergerakan
harga di pasar internasional. Namun kondisi ini tidak berarti Indonesia mampu
mendikte dan menetapkan harga kopi dii pasar internasional.
Harga kopi dan teh di pasar internasional berfluktuasi dalam ekuilibrium
dinamis jangka panjang. Kenaikan dan penurunann harga merupakan proses
alamiah, terkait dengan keseimbangan penawaran dan permintaan. Namun
demikian dalam penetapan harga diduga terdapat praktek tidak fair dengan
peraturan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional pengolah kopi dan teh.
Indonesia sendiri tidak akan mampu mempengaruhi harga di pasar internasional.
Beberpa kebijakan yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan
8 Purwadi, 2006, Perilaku Harga Kopi dan teh di Pasar Internasional, Disertasi Ilmu Pertanian,
UGM, Yogyakarta, Hal. 136
12
perkebunan kopi dan teh di Indonesia adalah : Pertama, pasar kopi dan teh
cenderung dikuasian oleh perusahaan multinasional yang secara terselubung
memiliki kekuatan pasar untuk mempengaruhi harga di pasar dunia. Kedua,
kemampuan bersaing di pasar internasional akan sangat tergantung efisiensi biaya
produksi di masing-masing negara. Pesaing utama kopi robusta Indonesia adalah
Vietnam dimana pemerintahnya memberikan insentif baik subsidi maupun
kemudahan dalam pengembangan agribisnis kopi. 9
D. Landasan Teori
Sejarah mengenai perdagangan internasional tidak terlepas dari pembagian
kerja antar negara dengan kegiatan ekspor impor. Hal ini terjadi karena tidak
semua kebutuhan domestik dapat terpenuhi dengan sumber daya masing-masing
negara. Oleh karena itu, surplus sumber daya dalam negeri dapat di ekspor ke luar
negeri dengan tujuan untuk mencari keuntungan yang maksimal dari sumber daya
tersebut. Namun, aktifitas perdagangan internasional ini tidak berjalan dengan
mulus karena terdapat berbagai kepentingan dari masing-masing aktor. Diantara
penyebab ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan internasional adalah
kebanyakan negara berkembang sebagai negara penghasil sumber daya alam
justru kalah bersaing dengan negara maju yang tidak memiliki sumber daya alam
tersebut.
Dalam perdagangan kopi spesialti di pasar global, negara yang memiliki
sumber daya alam berupa perkebunan kopi spesialti belum mendapatkan
keuntungan yang maksimal, karena rantai tertinggi dalam perdagangan kopi
9 Ibid hal. 143
13
spesialti dipegang oleh negara-negara maju yang hanya mengolah biji kopi yang
berasal dari negara penghasil kopi. Ketimpangan yang terjadi antara negara
penghasil kopi (produsen) dengan negara konsumen pada dasarnya dilandasi atas
ketergantungan satu sama lain (interdependensi). Namun, posisi negara penghasil
kopi lemah dalam arena perdagangan internasional. Ketimpangan dalam
perdagangan kopi spesialti di pasar global ini terjadi karena adanya structure
power yang terbentuk sehingga negara penghasil kopi spesialti belum
mendapatkan keuntungan yang maksimal dari perdagangan kopi spesialti tersebut.
Diskusi mengenai ketimpangan pembangunan antara negara maju dan negara
miskin telah kembali dalam hubungan kekuatan (power) diantara keduanya, dan
bekerja pada munculnya saling ketergantungan antar bangsa saat ini telah
difokuskan pada pertumbuhan perusahaan multinasional dan kurs melintasi batas-
batas nasional. Wallerstain menggambarkan penciptaan fitur utama struktural dari
sistem dunia modern. Pertama adalah pembagian wilayah kerja meliputi satu set
entitas politik yang disebut world economy. Kedua, pembagiann wilayah kerja
yang dicakup oleh struktur politik tunggal yang disebut world empire.10
10
Christopher Chase-Dunn and Richard Rubinson. Toward a Structural Perspective on The World System.
14
Struktur yang terbentuk dalam perdagangan kopi spesialti dapat
digambarkan melalui ilustrasi berikut :
Gambar 1
Sejak tahun 50-an, Sumitro telah mengemukakan pandangan bahwa proses
pembangunan ekonomi harus merupakan proses pembebasan, yaitu pembebasan
rakyat dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi dan pembebasan negara-negara
berkembang dari belenggu tata kekuatan ekonomi dunia. Dalam buku “Persoalan
Ekonomi di Indonesia” (1953), beliau mengatakan : “Negara kita sebagai akibat
sejarah penjajahan adalah negara yang terutama, dalam struktur ekonomi
Konsumen:
Didominasi oleh
Negara maju
Perusahaan
Multinasional
Produsen : didominasi
oleh Negara
Berkembang
15
merupakan penghasil dan penjual bahan-bahan mentah untuk kebutuhan negara-
negara industri dan sebaliknya merupakan pasar pemakai untuk buatan negara-
negara industri tersebut. Produksi dan kegiatan ekonomi dengan berat sebelah
ditunjukan ke arah menghasilkan bahan-bahan mentah yang diperlukan untuk
kepentingan-kepentingan industri di negara-negara lain. Sebagian terbesar dari
penghasilan (agraria) ditujukan untuk ekspor ke pasar dunia”.
Walaupun perekonomian Indonesia pincang sebagai akibat penjajahan,
Sumitro tidak semata-mata menyalahkan penjajahan sebagai faktor eksternal,
sebab dari segi internal kita juga memiliki banyak kelemahan. Sumitro tidak mau
Indonesia tetap sebagai negara agraris dan menghasilkan produk-produk untuk
ekspor yang akan dimanfaatkan oleh negara-negara maju agar bisa mendapatkan
nilai tambah dengan mengolah produk-produk primer tersebut menjadi barang
jadi.11
Dalam perdagangan kopi spesialti, apa yang diharapkan Sumitro terhadap
perdagangan ini adalah agar Indonesia mampu memegang rantai tertinggi dalam
perdagangan kopi spesialti. Sebagai negara produsen, seharusnya mampu
bertanggungjawab untuk terus mengembangkan komoditas ini sehingga Indonesia
mampu menjadi salah satu ikon kopi spesialti di pasar global.
Teori dependensia menjelaskan ketergantungan dimana dalam hubungan
ketergantungan ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang dominan dan yang
bergantung (dependent). Dalam menjelaskan ketergantungan ini, Andre Gunder
frank mengumpamakan hubungan antara negara-negara industri barat dengan
11
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta : Erlangga
16
negara-negara non industri dunia ketiga laksana rangkaian hubungan dominasi
dan eksploitasi antara metropolis dan satelit.
Menurut Frank, hubungan ketergantungan umumnya, dan hubungan
metropolis-satelit dalam suatu sistem kapitalisme dunia khususnya, dicirikan oleh
sifat monopolistik dan ekstraktif. Metropolis memiliki kontrol monopolistik atas
hubungan ekonomi dan perdagangan di negara-negara satelit. Dominasi
monopolistik dalam suatu pasar jelas merupakan sebuah posisi kekuasaan. Posisi
kekuasaan ini memungkinkan negara-negara metropolis mengeruk surplus
ekonomi dari negara-negara satelit.
Theotonio Dos Santos (1973) mengembangkan argumentasi Andre Gunder
Frank dengan mengatakan bahwa titik berat proses ketergantungan tidak hanya
merupakan faktor eksternal semata, melainkan juga dipengaruhi faktor internal.
Faktor-faktor internal tersebut antara lain diawali oleh ketergantungan industri
dan finansial pada era pascakemerdekaan. Sehubungan dengan hal ini Dos Santos
mengklasifikasikan tiga jenis ketergantungan :
1. Ketergantungan kolonial, yang ditandai oleh bentuk perdagangan luar
negeri era kolonial yang bersifat monopoli dan diikuti monopoli sumber
daya lainnya oleh pemerintah kolonial.
2. Ketergantungan industri-finansial, ditandai oleh dominasi modal besar di
negara-negara kolonial melalui investasi produksi bahan mentah primer
untuk tujuan konsumsi di negara-negara penjajah.
17
3. Ketergantungan teknologi industri, yang terjadi setelah Perang Dunia II
sebagai dampak operasi perusahaan-perusahaan multinasional yang
melakukan investasi di negara-negara berkembang.
Kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin, tetapi
sebaliknya sangat berhasil mengintroduksi semua ketimpangan ekonomi dan
sosial yang melekat pada sistem kapitalis. Lebih dari itu, kapitalisme juga telah
mengubah orientasi pertanian dari pola pemenuhan kebutuhan sendiri ke arah pola
produksi komoditas ekspor. Menurut Baran, ini yang menyebabkan bangkitnya
nasionalisme di negara-negara produsen.
Ada dua strategi yang dapat digunakan untuk memacu industrialisasi, yaitu
strategi substitusi impor dan strategi promosi ekspor. Strategi substitusi impor
lebih bersifat inward looking (berfokus ke dalam), yang lebih menekankan pada
pengembangan industri yang berorientasi pada pasar domestik dengan membuat
barang-barang yang menggantikan impor. Disisi lain, strategi promosi ekspor
lebih bersifat outward looking (berfokus keluar), lebih berfokus ke pasar
internasional dalam usaha pengembangan industri dalam negeri.
Seperti yang dilakukan di negara-negara berkembang Amerika Latin, negara-
negara berkembang di Asia pada awalnya juga menerapkan strategi substitusi
impor. Strategi ini ternyata memiliki banyak kelemahan. Salah satu diantaranya
ialah bahwa proteksi yang berlebihan membuat pengusaha manja. Akibantnya
infant industry tak pernah dewasa dan selalu meminta pertolongan dan fasilitas.
Kelemahan lain ialah alokasi sumber daya tidak efisien; daya saing jadi lemah,
18
ekonomi berbiaya tinggi, serta penggunaan teknologi padat modal dan skala besar
menyebabkan tingginya angka pengangguran dan matinya perusahaan-perusahaan
skala kecil dan menengah. Karena strategi susbtitusi impor banyak kelemahannya,
sebagian negara berkembang (termasuk Indonesia) beralih ke strategi promosi
ekspor.
A simple geographical division of labour: core and periphery in the global
economy
Materials etc.
Manufactures
Gambar 2
Untuk memenangkan persaingan dalam perdagangan internasional di era
globalisasi ini, negara-negara harus mampu melihat peluang dan ancaman yang
dihasilkan oleh dampak globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Susan Strange
menyatakan bahwa dalam merespon globalisasi terdapat dua pandangan yaitu
constraint theory yang berpendapat bahwa kehadiran globalisasi justru membatasi
Core
Production of
manufactured
goods
Periphery
Source of raw
materials and
foodstuffs. Market for
manufactured goods
19
kapasitas negara dalam mengejar tujuan dan kepentingan domestiknya. Adapula
pandangan political logic, yang melihat globalisasi justru memberikan dampak
positif bagi Negara. Ketika dihadapkan dengan persaingan global, maka setiap
negara akan waspada dengan negara-negara yang menjadi pesaingnya. Dengan
adanya kewaspadaan tersebut maka pemerintah akan memberikan kemudahan dan
keringanan bagi keberlanjutan usaha domestiknya, dan akan memberikan insentif
untuk mendorong agar produk domestiknya mampu bersaing dengan produk-
produk dari negara lain.12
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan sumber
daya alam dan diantaranya menjadi salah satu produsen kopi terbesar di dunia.
Meskipun menjadi salah satu produsen kopi terbesar di dunia, namun hal ini akan
menjadi ironi apabila aktifitas perdagangan internasional sebagian besar hanya
mengekspor bahan mentah dan bahan baku. Sedangkan nilai tambah dari kopi
dimanfaatkan oleh Negara lain dan mereka mendapatkan keuntungan maksimal
dari nilai tambah kopi tersebut. Hal yang menjadi ironi berikutnya adalah dalam
perkembangan perdagangan komoditas primer di pasar internasional cenderung
tidak stabil dan sangat bergantung pada negara-negara konsumen.
12
Linda Weiss
20
Tabel 1
Kebijakan Industri Nasional Kelompok Industri Kopi berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 13
:
Jangka Menengah Jangka Panjang
Meningkatkan mutu dan
diverisifikasi produk olahan kopi
Meningkatkan ekspor dan pasar
domestik
Meningkatkan kemitraan antara
petani, industri dan perdagangan
kopi (stake holders)
Mengamankan kepentingan
Indonesia dalam fórum
internasional
Meningkatkan kualitas dan
kompetensi SDM
Meningkatkan kualitas
pengemasan produk kopi
Menerapkan GMP, HACCP dan
ISO
Menerapkan SNI dalam inovasi
dan diversifikasi produk
pengolahan kopi Indonesia
Melakukan diversifikasi produk
olahan kopi (Antara lain coffee
blend)
Menodrong peningkatan
produksi biji kopi Arabika
Mengembangkan litbang
turunan kopi non-pangan.
Mengembangkan industri
berbasis kopi pangan dan non
pangan.
Melakukan pendalaman struktur
industri kopi
13
www.bphn.go.id/data/documents/08pr028.doc diakses 12 Mei 2014
21
Melihat Kebijakan Industri Nasional Kelompok Industri Kopi berdasarkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 diperlukan strategi untuk
mengembangkan industri kopi spesialti Indonesia melalui analisa rantai nilai (value chains).
Rantai nilai (Value Chains) menggambarkan berbagai macam kegiatan dimana
perusahaan dan pekerja lakukan untuk membawa produk dari konsepsi hingga
penggunaan akhir dan seterusnya. Ini termasuk kegiatan seperti desain, produksi,
pemasaran, distribusi dan dukungan kepada konsumen akhir.
Kegiatan yang terdiri dari rantai nilai dapat terkandung dalam satu perusahaan
atau dibagi di antara perusahaan yang berbeda. Nilai kegiatan rantai dapat menghasilkan
barang atau jasa, dan dapat terkandung dalam satu lokasi geografis atau tersebar di
wilayah yang lebih luas. Inisiatif GVC secara khusus sangat tertarik dalam memahami
rantai nilai yang terbagi diantara banyak perusahaan dan menyebar luas ruang geografis,
maka istilah "rantai nilai global14
Konsep rantai nilai telah digunakan pada tahun 1960-an oleh para analis
untuk memetakan garis edar pengembangan ekspor mineral. Konsep ini juga
digunakan pada akhir tahun 1970-an awaltahun 1980-an untuk menggambarkan
perceived need kemampuan industry di Perancis. Ide dari rantai nilai didasarkan
pada pandangan proses organisasi ide melihat manufaktur (atau jasa) organisasi
sebagai suatu sistem, terdiri dari subsistem masing-masing dengan input, proses
transformasi dan output. Input, proses transformasi dan output melibatkan akuisisi
14 http://www.globalvaluechains.org/concepts.html diakses 12 Februari 2012
22
dan konsumsi sumber daya-uang, tenaga kerja, bahan, peralatan, bangunan, tanah,
administrasi dan manajemen.
Dalam perkembangannya, Michael Porter memberikan sumbangan penting
terhadap konsep rantai nilai ini, yaitu pemikiran bahwa beberapa rantai yang ada
dalam rantai nilai menjadi kunci untuk mengupgrade aktifitas-aktifitas dalam
mata rantai individual dan mengkoordinasikan interaksi Antara berbagai rantai
nilai. Rantai nilai merupakan konsepsi penting untuk memahami distribusi
keuntungan yang dihasilkan dari proses desain, produksi, pemasaran dan
recycling produk atau jasa. Secara esensial, keuntungan akan bertambah bila
perusahaan mampu memproteksi dirinya dari para kompetitornya kemampuan
untuk memproteksi diri dan memperoleh keuntungan ini dapat dirangkum dalam
konsep rent yang dihasilkan dari kepemilikan sumber daya langka dan terkait
dengan barrier to entry. Rent ini dalam kebanyakan literature disebut economic
rent. Ada beberapa bentuk economies rentdalam rantai nilai sebagai berikut;15
Economic rent timbul ketika terjadi produktifitas faktor produksi dan
barrier to entry.
Terdapat berbagai bentuk rent dalam ekonomi global, diantaranya
endogenous rent yang terbentuk dalam perusahaan (classical
Schumpetarian rent) yang meliputi;
o Technology rents - mempunyai teknologi langka
o Human resource rents –mempunyai akses yang lebih baik terhadap
SDM terampil dibandingkan dengan pesaingnya.
15
Kaplinsky and Morris, A Handbook for Value Chain research, 2000. Hal. 28
23
o Organizational rents – memiliki organisasi internal yang unggul.
o Marketing rents – mempunyai marketing yang lebih baik dan atau
merek yang berharga.
Bentuk endogenous rents lain yang terbentuk dalam kelompok perusahaan
adalah : relation rents, yaitu mempunyai kualitas hubungan yang unggul
dengan para pemasok dan pelanggan.
endogenous rents yang timbul dari karunia alam, yaitu : resource rents –
akses terhadap sumberdaya alam yang langka.
Rents yang disediakan oleh pihak yang berada di luar rantai nilai :
Policy rents – membangun barrier to entry
Infrastructural rents – akses terhadap input berupa infrastruktur
berkualitas tinggi seperti telekomunikasi.
Financial rents –akses lebih baik terhadap system dibandingkan para
pesaingnya.
Rents bersifat dinamis – rents baru akan bertambah sepanjang waktu dan
area rents akan semakin tererosi karena adanya persaingan.
Menurut Dolan dan Humphrey ada dua faktor yang menjelaskan mengapa
rantai komoditas harus diatur. Pertama, peningkatan lapangan kerja strategi
diferensiasi produk di pasar negara maju menunjukkan bahwa pengecer
mendapatkan keunggulan kompetitif ketika mereka menjual produk non-standar
yang tidak umum tersedia di pasar. Oleh karena kompetisi tidak hanya didasarkan
pada harga tetapi pada keandalan, produk, kualitas produk dan kecepatan berbagai
24
inovatif. Strategi kompetitif menyebabkan peningkatan kebutuhan pemerintahan
rantai suplai.
Faktor kedua menyatakan bahwa ketika produsen negara berkembang
mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan pasar negara maju peningkatan
tata kelola rantai nilai diperlukan. Kesulitan-kesulitan ini timbul karena produk
yang dibuat di negara berkembag berbeda dari produk yang setara di negara maju.
Oleh karena itu, produsen perlu mendapatkan informasi tentang pasar
dikembangkan untuk menyesuaikan produk mereka. 16
Berikut rantai sederhana dalam pengolahan hingga perdagangan kopi17
:
Pengolahan kopi
Kopi ditanam di daerah tropis dan subtropis di seluruh khatulistiwa . Kedua jenis
tanaman kopi banyak dibudidayakan adalah Robusta dan Arabika. Buah kopi
matang yang dipanen secara manual mengalami pengolahan primer di negara
produsen sebelum diekspor. Pengolahan primer dilakukan untuk memisahkan biji
kopi dari kulit dan pulp, dan ada dua metode untuk melakukan hal ini. Dalam
metode basah, buah matang yang dipanen pulp, difermentasi dan dicuci,
dikeringkan , dikupas dan dipoles. Dalam metode kering buah matang dikeringkan
dan dikuliti. Produk akhir dari kedua metode adalah biji kopi, sebagaimana
dimaksud dalam perdagangan sebagai "Hijau" kopi. Pengolahan basah
16
Gereffi dikutip dari UNCTAD, Coffee Cooperation and Competition, A Comparative Study of Columbia and Vietnam, hal. 15 17 http://www.teacoffeecocoa.org/tcc/Commodities/Coffee/Value-Chain
25
menghasilkan "Mild" kopi, biasanya dari jenis Arabika, dan cara kering
menghasilkan "Hard coffee", baik Arabika ataupun Robusta. Perbedaan ini
penting sebagai Arabica Mild , hard Arabica dan hard Robusta, kopi
diperdagangkan secara terpisah .
Perdagangan kopi
Sebagian besar kopi yang dihasilkan dikonsumsi di negara-negara berpenghasilan
tinggi. Oleh karena itu , lebih dari 80 persen dari produksi yang diperdagangkan
secara internasional sebagai kopi hijau, umumnya dikemas dalam karung 60 kg .
Kopi hijau tersedia untuk pembeli baik secara langsung atau melalui pasar di AS
dan Eropa. Pembeli internasional umumnya berkaitan dengan keseragaman dan
konsistensi kopi hijau dan mereka memerlukan informasi tentang jenis kopi , jenis
pengolahan primer, negara asal dan standar resmi kelas .
Pemanggangan Kopi
Analisis panggang dan pengujian cangkir dilakukan untuk memeriksa
ketidakrataan panggang dan mencari setiap cacat seperti kelebihan pengeringan
atau kelebihan fermentasi. Setelah kiriman tiba di pelabuhan tujuan kopi
dibersihkan lagi sebelum itu dijual. Pedagang internasional mungkin menjual
langsung ke pemanggang,atau ke makelar. Pemanggang menyampur kopi yang
berbeda, panggang campuran, dan menggilingnya. Arabika digunakan untuk
campuran kopi berkualitas tinggi dengan rasa ringan. Robusta digunakan terutama
untuk kopi instan dan dalam campuran dengan rasa sedang - kuat. Kopi instan
diproduksi oleh proses yang terpisah .
26
Pemasaran kopi
Secara global , kopi untuk konsumsi rumah sebagian besar dibeli di
supermarket. Sektor ritel makanan sangat terkonsentrasi di AS, Inggris dan Eropa
Utara dan memainkan peran yang dominan dalam rantai pemasaran makanan.
Tergantung pada merek atau gerai harga kopi konvensional bervariasi. Semua
supermarket menggunakan kopi konvensional sebagai penglaris, dan
menawarkannya dengan harga yang sangat rendah untuk menarik konsumen ke
toko mereka
Rantai nilai tidak langsung merupakan interaksi hubungan antar mata rantai.
Peranan pemerintah adalah menjamin agar interaksi antar perusahaan dalam rantai
nilai memperlihatkan suatu kesatuan/organisasi. Ada tiga bentuk peranan
pemerintah terhadap rantai nilai Antara lain :
Pertama, legislative governance yang berfungsi sebagai pembuat aturan.
Kedua, judicial governance, yaitu mengaudit kinerja dan memeriksa
pemenuhan terhadap aturan-aturan. Untuk memenuhi peran ini diperlukan
bantuan proaktif pemerintah (yang disebut excecutive governance)
dengan menyediakan bantuan kepada para partisipan rantai nilai dalam
memenuhi aturan. Intervensi tersebut dapat bersifat langsung dan tidak
langsung.
Ketiga, legitimacy elemen ini menggambarkan tingkat kepercaayaan
berbagai pihak kepada pemerintah.
27
Berkaitan dengan konsep fungsi pemerintaah, Geraffi membuat dua tipe rantai
nilai, yaitu;
Producer-driven commodity chains. Pada umumnya merupakan
perusahaan transnasional dan manufaktur yang memainkan peran sentral
dalam mengkoordinasikan jaringan kerja (backward dan foreward
linkages) serta biasanya menguasai teknologi vital dalam rantai nilai.
Produser bertanggungjawab membantu pemasok dan pelanggan untuk
meningkatkan efisiensinya. Tipe ini mempunyai karakteristik : industri
modal dan teknologi intensif.
Buyer-driven commodity chains. Tipe ini dicirikan oleh peran pembeli di
ujung mata rantai dari rantai nilai. Pada umumnya industri retail,
pemasaran dan manufaktur yang mempunyai merek dan memainkan peran
sangat penting dalam menyusun jaringan produksi khususnya di negara
ketiga. Karakteristiknya labor intensive.
Menurut Fitter dan Kaplisnky, globalisasi telah memaksa produsen untuk
meningkatkan produksi mereka, karena produk utama yang diproduksi serta,
melalui diferensiasi produk mereka. Gereffi mendefinisikan upgrade dalam rantai
nilai sebagai proses dimana industri di negara-negara berkembang memperoleh
keterampilan baru melalui manufaktur ekspor dan menciptakan hubungan dengan
rantai komoditas baru yang dapat menggunakan keterampilan.
Upgrade juga dapat dilihat sebagai inovasi dalam rangka untuk menerima
peningkatan nilai tambah. Namun, upgrade tidak sama dengan inovasi. Dalam
28
rangka untuk meningkatkan kecepatan inovasi relative terhadap kompetisi harus
diperhitungkan upgrade dapat terjadi pada proses, produk, tingkat fungsional atau
lintas sektoral. Upgrade produk ini merujuk pada perpindahan ke lebih baris
produk olahan dengan nilai tambah meningkat. Proses upgrade melibatkan input
berubah menjadi output dengan efisiensi meningkat dengan reorganisasi proses
produksi atau menggunakan teknologi yang unggul. Mengenai upgrade
fungsional, perusahaan bergerak sepanjang rantai nilai dalam rangka mewujudkan
fungsi yang berbeda dari yang sebelumnya. Upgrade intersektoral atau rantai
mengacu pada pergerakan perusahaan dari satu sektor ke sektor lain sehingga
berpartisipasi dalam beberapa rantai nilai.
Untuk memenangkan persaingan dalam perdagangan di pasar internasional,
seharusnya Indonesia tidak lagi mengekspor biji kopi atau bahan mentah, namun
sudah beralih kepada kopi yang telah diproses dan mendapatkan nilai tambah
yang tinggi.
Ada empat kategori upgrading yang menyebabkan perusahaan dapat mengejar
sasaran upgrading, yaitu :
Process upgrading : meningkatkan efisiensi proses internal seperti bahwa
secara signifikan lebih baik daipada pesaing, baik di dalam link individu
dalam rantai dan Antara link dalam rantai.
Product upgrading : memperkenalkan produk baru atau memperbaiki
produk lama lebih cepat daripada pesaing. Hal ini melibatkan perubahan
29
proses pengembangan produk baru baik dalam link individual dalam rantai
nilai dan hubungan Antara berbagai rantai link.
Functional upgrading : peningkatan nilai tambah dengan mengubah
campuran kegiatan dilakukan dalam perusahaan atau memindahkan lokus
kegiatan untuk jaringan yang berbeda dalam rantai nilai.
Chain upgrading : perpindahan ke rantai nilai baru.
Berdasarkan teori diatas, untuk menghadapi structural power Indonesia harus
mampu memiliki strategi yang berfokus kedalam (inward looking strategy) dan
strategi yang berfokus keluar (outward looking strategy). Strategi tersebut dapat
dilakukan melalaui analisa rantai nilai dengan pengembangan-pengembangan
pada rantai nilai industri pengolahan kopi spesialti.
E. Argumen Utama
Argumen yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa globalisasi dan
pasar bebas memproduksi structural power dalam perdagangan kopi oleh aktor
internasional. Structural power tersebut menghasilkan ketidakseimbangan antara
negara penghasil biji kopi dengan negara konsumen. Rantai tertinggi perdagangan
kopi spesialti dalam perdagangan kopi internasional belum memihak kepada
negara-negara penghasil biji kopi termasuk Indonesia. Hal ini menyebabkan
negara-negara penghasil biji kopi belum bisa memimpin dalam perdagangan kopi
spesialti di pasar internasional. Posisi kopi Indonesia dalam perdagangan kopi
spesialti masih lemah karena sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di
dunia, Indonesia belum mampu menjadi salah satu market leader dalam
30
perdagangan kopi internasional. Market leader perdagangan kopi masih dipegang
oleh negara konsumen ataupun perusahaan multinasional dan transnasional.
Melihat maraknya kedai kopi milik perusahaan multinasional yang menjadi
ikon kopi global, terdapat unsur-unsur yang dikuasai perusahaan multinasional
yang menyebabkan kedai kopi milik perusahaan multinasional yang asal
negaranya tidak menghasilkan biji kopi namun bisa sukses di negara penghasil
biji kopi. Artinya, masyarakat Indonesia yang negaranya merupakan penghasil biji
kopi, namun mereka menikmati kopi yang sebenarnya dihasilkan oleh beberapa
wilayah di negaranya melalui tahap-tahap yang telah dikuasai oleh struktur yang
dimiliki oleh perusahaan multinasional. Unsur-unsur yang dikuasai oleh
perusahaan multinasional tersebut menjadikan kopi milik mereka berhasil menjadi
sebuah tren dalam menikmati kopi di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, modernisasi dan perkembangan masyarakat
tentunya menjadikan negara-negara produsen kopi akan terus berusaha untuk
menjadikan kopi spesialti mereka sebagai komoditi unggulan dengan menambah
rantai nilai. Untuk menghadapi structural power, harus ada strategi dalam
perdagangan kopi spesialti yang dapat muncul baik melalui inisiatif individu
maupun suatu kelompok masyarakat agar keuntungan tertinggi dapat diraih oleh
negara produsen kopi spesialti. Strategi yang harus dilakukan Indonesia sebagai
negara produsen harus dapat memanfaatkan mulai dari hulu hingga hilir dalam
pengelolaan kopi. Strategi mengembangkan industri hulu harus dilakukan karena
potensi kopi spesialti Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain, sedangkan
pengembangan industri hilir juga harus dilakukan untuk mendapatkan
31
penambahan nilai pada rantai tertinggi dalam upaya melawan structural power.
Dengan mengembangkan strategi pengembangan industri kopi mulai dari hulu
hingga hilir melalui analisis rantai nilai, kopi Indonesia akan lepas dari
ketertinggalan dan menjadi pemenang dalam perdagangan kopi internasional.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Metode kualitatif adalah metode penelitian ilmu sosial yang bersifat deskriptif dan
berusaha untuk menginterpretasikan gejala yang terjadi pada sebuah konteks
sosial. Penelitian ini menekankan penggalian data secara mendalam melalui
sumber-sumber yang tertulis. Harapan dari setiap penelitian kualitatif adalah
berusaha untuk mendapatkan data-data menyeluruh tentang situasi yang sedang
dipelajari oleh peneliti.18
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini akan
dilakukan melalui pengumpulan data dari media online (internet), jurnal, buku,
laporan program kerja dan laporan penelitian.
G. Sistematika Penelitian
Bab satu dalam Tesis ini merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang, pertanyaan penelitian, tinjauan literatur, landasan teori, argumen
utama, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian Bab dua
membahas mengenai gambaran umum perdagang kopi Indonesia. Selanjutnya,
Bab tiga merupakan bagian dari tesis yang akan menjawab pertanyaan penelitian
18
R.Bogdan dan Steven J. Taylor (eds), 1975. Introduction to Qualitative Research Methods, New York : Wiley
32
dengan mengulas Posisi Indonesia menghadapi structural power dalam
perdagangan kopi di pasar internasional. Bab empat merupakan bab yang akan
membahas mengenai pertanyaan penelitian kedua yakni strategi Indonesia dalam
menghadapi structural power dalam perdagangan kopi di pasar internasional.
Terakhir, bab lima merupakan bab dalam penelitian tesis ini yang akan membahas
kesimpulan penelitian.