22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menjadi Bali tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi jika sebelumnya
telah mengalami keterputusan budaya dari tanah asalnya. Ketidakhadiran di dalam
aktivitas kolektif masa lalu akan mengalami proses pembatinan, kemudian
direproduksi sebagai pengetahuan dan kebenaran di masa kini dan akan datang.
Kondisi itu membeku dan sulit dicairkan meskipun modal genealogis menubuh
dalam wujud kekerabatan, bahasa, agama, dan kebudayaan.
Tesis ini mengkaji tentang pergulatan identitas petani Bali perantau1 yang
kembali ke tanah asal. Mereka adalah orang-orang Bali yang menggantungkan
hidupnya dari hasil pertanian dan memutuskan untuk ikut Program Transmigrasi
Petani Teladan Orde Baru ke Timor Timur sejak 1980-an. Pemberangkatan
dilakukan secara bergelombang hingga 1990-an. Hasil referendum2 yang
diumumkan pada 30 Agustus 1999 dan dimenangkan pihak pro kemerdekaan
1 Penulis menggunakan istilah “petani Bali eks transmigran Timor Timur”
atau lebih ringkas dengan menyebut “pengungsi Bali” atau “petani Bali perantau”. Ketiganya mengandung substansi yang sama yakni orang Bali yang bertransmigrasi ke Timor-Timor dan kembali ke tanah asal pasca referendum.
2 Referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat adalah agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas kekacauan politik yang terjadi di Timor Timur. Hasilnya diumumkan pada 30 Agustus 1999 dan dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan. Dengan demikian, dapat dikatakan sejak pengumuman hasil referendum tersebut Timor Timur telah mendapatkan hak kemerdekaaannya dari Republik Indonesia.
23
mengakibatkan orang - orang Indonesia termasuk transmigran Bali diungsikan ke
daerah asalnya masing-masing.
Ketercerabutan identitas telah menjadikan orang Bali perantau sebagai
“orang lain” dan mendapat penolakan di dalam lingkungan sosial tanah asal. Hal
tersebut disebabkan kehadiran dan usaha untuk mengakrabkan diri dengan tanah
asal bertepatan dengan proses transisi sosial, politik dan kebudayaan Bali dari
Orde Baru menuju reformasi. Perubahan-perubahan itu tidak terlalu bersahabat
dengan identitas yang melekat padanya. Muncul semacam “gagal paham” atau
paling tidak bisa disebut kesenjangan antara apa yang dibayangkan dengan apa
yang menjadi kenyataan.
Ada empat hal yang menandai dinamika Bali pasca Orde Baru dan
menjadi landasan bagi orang Bali ketika mempersepsikan orang lain. Pertama,
Bali pada tahun 1999 mengalami transisi politik, yakni pengalihan kekuasaan dari
kelompok pro Orde Baru kepada kaum Soekarnois yang anti Orde Baru. Beberapa
di antaranya bahkan dilakukan secara berdarah-darah.3 Kedua, adanya penguatan
unsur-unsur lokal. Bila di masa Orde Baru kedudukan adat tidak lebih sebagai
3 Peralihan kekuasaan yang berdarah-darah itu melibatkan dua partai politik, Orde Baru yang direpresentasikan oleh Golkar pada satu sisi dan PNI dalam wujud Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jatuhnya Orde Baru memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok anti Orde Baru yang tergabung ke dalam PDI-P. Golkarisasi yang dilakukan selama 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru menyisakan dendam yang harus dituntaskan. Situasi tersebut kerap memposisikan keduanya dalam perselisihan yang berakhir dengan kekerasan. Dua di antara kasus-kasus kekerasan berlatar kepartaian di Bali pasca Orde Baru bisa dilihat pada kasus desa Petandakan-Buleleng. Lihat I Gede Made Metera, “Epilog Menyuarakan Kebisuan Korban Kekerasan di Pulau Kahyangan,” dalam Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern Bara di Bali Utara, I Ngurah Suryawan, (Jakarta : Prenada, 2010), hlm. 436.
24
legitimasi kebijakan negara berwujud dinas, melalui produk hukum reformasi,
adat memperoleh kekuatan mereposisi tugas dan fungsinya untuk ikut
menentukan arah kebijakan negara.4 Ketiga, penguatan suprastruktur lokal segera
menegaskan diri ke dalam sikap keagamaan orang Bali. Perbedaan pemikiran
terhadap penyebutan istilah “Hindu”5 mengakibatkan kelompok-kelompok
dominan pasca Orde Baru melakukan perubahan-perubahan atas nama pelestarian
kebudayaan Bali. Akibatnya, agama Hindu tidak lagi dipahami sebagai payung
kerohanian berbagai etnis, tetapi telah mengalami penyempitan makna.6 Keempat,
4 Era reformasi telah membawa perubahan nama desa adat menjadi desa pekraman yang dianggap sebagai keputusan politik dan menjadi hukum berdasarkan pertimbangan bahwa Peraturan No.06 1986 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan digantikan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pekraman. Lihat I Wayan Surpha, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, (Denpasar : Pustaka Bali Post, 2004), hal. 9. Jatuhnya rezim Orde Baru dan kemunculan era reformasi memberi ruang bebas bagi penguatan sistem ke-adat-an orang Bali berwujud “desa adat” yang selama ini tumbuh dan berkembang di bawah bayang-bayang “desa dinas”. Selama itu, “desa adat” tidak lebih dari “alat” “desa dinas” di bawah kontrol rezim dalam fungsinya untuk memobilisasi massa. Ketaatan orang Bali terhadap sesuatu yang disebut “adat” dan dilembagakan dalam bentuk suprastruktur “desa adat” menjadi kunci bagi “desa dinas” sebagai perpanjangan tangan rezim untuk mengatur ketertiban dan bahkan kemudian mereproduksi kepatuhan. Lihat Carrol Warren, “Adat Dalam Praktik dan Wacana Orang Bali : Memposisikan Prinsip Kewargaan dan Kesejahteraan Bersama (Commonweal),” dalam Jamie Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (ed), Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta : Obor, 2010), hlm. 190.
5 Lihat Andrea Acri, “A New Perspektif for Balinese Hinduism in the Light of the Pre-Modern Religious Discourse : A Textual-Historical Approach,” dalam The Politics of Religion in Indonesia : Sycretism, Orthodoxy and Religious Contention in Java and Bali, Michel Picard and Remy Madinier, ed. (London and New York : Routledge, 2011), hlm. 146.
6 Agama Hindu yang dipahami oleh kelompok dominan di Bali bergeser dan tidak lagi bermakna universal sebagai pengayom umat secara umum. Hindu pasca Orde Baru mengalami “pembalian” atau keberulangan sebagaimana konsep agama tirtha yang diperjuangkan sebelumnya. Geertz menyebutnya sebagai
25
menguatnya sentimen suku dan agama yang disebabkan oleh beberapa kasus
berlatar suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). Sentimen itu menguat dan
pada akhirnya menggumpal ke dalam sebuah gerakan kultural ajeg Bali pasca
Bom Bali I tahun 2002.
Masalah identitas tidak bisa dilepaskan dari konteks etnis dan agama. Bali
perantau secara genealogis adalah orang Bali. Mereka berbahasa Bali, bernama
Bali dan beragama Hindu. Diskusi panjang melibatkan intelektual organik7
pembatinan agama orang Bali atau “Baliisme”. Lihat Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan. Fransisco Budi Hardiman (penerjemah), (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 137. Hal ini tidak terlepas dari upaya mengantisipasi pengaruh indianisasi dan gerakan reformasi Hindu di India yang dibawa oleh cendikiawan-cendikiawan Bali yang belajar di sana dalam wujud sampradaya seperti Sai Baba, Hare Krishna, Ananda Marga dan lain sebagainya. Lihat Leo Howe, The Changing World of Bali : Religion, Society and Tourism, (London and New York : Routledge, 2005), hlm. 96-99. Pada tahun 2001 misalnya muncul Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) versi Campuhan atau lebih dikenal dengan nama Parisadha Hindu Dharma Bali (PHDB) untuk merespon kinerja PHDI pusat yang dinilai lambat dalam mengayomi umat. Kenyataannya, upaya ini terperosok ke dalam primordialisme agama Hindu yang berporos pada Bali. Etnis-etnis luar Bali yang berkeinginan menjadi Hindu secara tidak langsung dipaksakan menerima agama Hindu yang telah “dibalikan” atau dengan kata lain terjadi Balinisasi terhadap etnis-etnis luar Bali. Lihat Putu Setia, Kebangkitan Hindu Menyongsong Abad ke-21, (Denpasar : Pustaka Manik Geni, 1993), hlm. 6-7 ; Lihat juga Martin Ramstedt, “Menafsirkan Kembali Tata Norma Bali Pasca Orde Baru : Persoalan Tanah dan Kegalauan Makna ke-Bali-an,” dalam Kegalauan Identitas : Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca Orde Baru, Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail, ed. (Jakarta : Grasindo, 2011), hlm. 50-51.
7 Istilah intelektual organik digunakan untuk membedakannya dengan pengertian intelektual secara umum. Konsep intelektual organik yang digunakan mengacu pada Gramsci yang membagi intelektual menjadi dua yakni tradisional dan organik. Intelektual organik adalah intelektual yang kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat yakni kelompok atau kelas yang mereka wakili. Mereka tampil sebagai fungsionaris atau deputi kelompok penguasa yang aktivitas intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori politik maupun ekonomi dan sebagainya. Sementara intelektual tradisional adalah semua orang yang menunjukkan aktivitas keintelektualan. Lihat Antonio Gramsci, Selection From The Prison Notebook,
26
maupun tradisional tentang Bali pasca Orde Baru menghasilkan satu pemikiran
bahwa untuk bisa diakui sebagai Bali, identitas keagamaan sangat penting dan
menjadi penanda awal.8 Menjadi Bali wajib menjadi Hindu. Tetapi menjadi Hindu
belum bisa diakui sebagai Bali. Oleh karena itu, perlu dimaknai terlebih dahulu
kata “Bali” dalam kedudukan dan fungsinya ketika menjelaskan identitas
kebalian.9 Warren mendefinisikan “Bali” sebagai produk kebudayaan yang
edited and translated by Quintin Hoare and Geofrey Nowell Smith (New York : International Publisher, 1971), hlm. 5, 9, dan 12.
8 Michel Picard, “What’s in a Name? Agama Hindu Bali in The Making” dalam Hinduism in Modern Indonesia: Minority Religion Between Local, National and Global Interest, Martin Ramstedt, ed. (London&New York : RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 64-65.
9 Kebalian adalah wacana politik representasi orang Bali pasca Orde Baru untuk menegaskan posisi mereka ketika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi luar Bali. Sebelumnya, orang Bali tidak menghadirkan dirinya sebagai Bali, tetapi lebih pada identitas yang dibenturkan dalam lingkup etnisitas. Contoh, antara siapa yang disebut Bali aga dan siapa yang disebut Bali Majapahit. Lihat Thomas A. Reuter, “Mythical Centres and Modern Margins : A Short History of Encounters, Crises, Marginality and Social Change in Highland Bali,” dalam Inequality, Crisis and Social Change in Indonesia : The Muted Worlds of Bali, Thomas A. Reuter, ed. (London and New York : RouledgeCurzon, 2003), hlm. 169-170. Di era Majapahit dan berlanjut hingga era kolonial Belanda, mencari Bali yang “asli” muncul dalam benturan-benturan kewangsaan antara dua kelompok yakni Surya Kanta yang beranggotakan jabawangsa dan Bali Adnyana yang beranggotakan triwangsa. Lihat AAGN Ari Dwipayana, Kelas Kasta : Pergulatan Identitas Kelas Menengah Bali, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001), hlm. 228-232. Lihat juga penjelasan Henk Scholte Nordholt, “From Wangsa to Bangsa : Subaltern Voices and Personal Ambivalences in 1930s Colonial Bali” dalam To Change Bali : Essay in Honour of Gusti Ngurah Bagus, Adrian Vickers, I Nyoman Darma Putra dan Michele Ford, ed. (Denpasar : Bali Post, 2000), hlm. 74-75. Pada masa perjuangan kemerdekaan muncul identitas pembeda kebalian dalam wujud gerakan dari golongan republikan yang pro dengan konsep nasionalisme Soekarno dan Negara Kesatuan Republik Indonesia-nya serta golongan regional yang pro dengan konsep negara federal. Lihat Putu Sastra Wingarta, Meboya : Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya, (Yogyakarta : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 91.
27
berpusat di desa adat.10 Alasannya, di dalam jejaring sosial desa adat-lah,
pembali-hinduan dilakukan untuk pertama kali.11 Dengan begitu, menjadi bagian
terintegral dari desa adat secara tidak langsung akan memberi pengakuan kebalian
sekaligus perlindungan dan rasa aman atas dasar solidaritas etnis dan agama.
Berdasarkan hal tersebut, kesadaran identitas ke-“Bali” an orang Bali
perantau telah muncul dengan sendirinya ketika mereka tiba di tanah asal pada
September 1999 dan menjadi saksi sekaligus korban amuk massa satu bulan
kemudian. Oleh sebab itu, menjadi bagian desa adat merupakan satu kebutuhan
yang tidak bisa ditawar-tawar. Persoalannya, desa adat asal bukan lagi tempat
yang aman dan nyaman karena dinamika politik Bali pasca Orde Baru. Dua
kelompok yang berselisih antara yang pro Orde Baru dan anti Orde Baru tidak
hanya berlangsung di tingkat elit politik, melainkan telah merambah domain adat.
Di masa Orde Baru, orang atau kelompok yang ditempatkan sebagai pengambil
keputusan di dalam struktur kepengurusan desa adat adalah pihak yang loyal
dengan pemerintah, sedangkan yang antipemerintah dipinggirkan. Keruntuhan
Orde Baru adalah nilai positif bagi kelompok terpinggir ini untuk bersuara dan
memperlihatkan eksistensinya.
10 Carol Warren, “Adat and Dinas : Village and State in Contemporary Bali” dalam State and Society in Bali, Hildred Geertz, ed. (Leiden : KITLV Press, 1991), hlm. 213-214.
11 Keluarga atau kuren (dalam bahasa antroplogi berarti keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari ayah ibu dan anak) adalah ruang pertama dan utama yang memegang peranan penting dalam proses pembali-hinduan. Alasannya, di dalam keluargalah proses belajar “menjadi” (becoming) itu intensif dilakukan dan dimulai dengan penyelenggaraan siklus kehidupan manusia Bali dari dalam kandungan hingga kematian.
28
Suksesi kekuasaan pada tingkat adat bersamaan dengan keinginan orang
Bali perantau untuk menjadi bagian desa adat asal. Namun, phobia berlebihan
yang diperlihatkan elit adat baru terhadap “bahaya laten” Orde Baru diwujudkan
dalam penolakan kehadiran Bali perantau. Alasan berupa adanya hubungan
kekerabatan dan emosional dengan kelompok pro Orde Baru dibungkus dalam
selubung kebudayaan, beban ekonomi dan aspek psikologis yang saling
berkelindan.
Menolak retransmigrasi yang ditawarkan pemerintah dengan beberapa
pertimbangan dan lebih memilih direlokasi ke kawasan Bali barat12 menyisakan
beberapa permasalahan. Namun, jika jawaban yang dicari berasal dari pemerintah
dan isinya menyatakan bahwa Bali barat adalah tanah negara, tentu saja proses
pengerjaan tesis ini telah selesai. Hal yang lebih penting dari itu bahwa kawasan
Bali barat secara geografis dan historis menggambarkan terra incognita.13. Ada
wacana-wacana tersembunyi yang menjadi perlu untuk diungkapkan.
Secara geografis, Bali barat jauh dari akses politik dan ekonomi. Selain
itu, kawasan ini bukan diperuntukan pertanian lahan basah. J.L Swellengrebel
12 Kawasan Bali barat yang dimaksud adalah kawasan yang menjadi batas wilayah kabupaten Buleleng dan kabupaten Jembrana. Lebih tepat disebut sebagai Bali utara bagian barat karena secara administratif merupakan wilayah terluar dari Bali utara atau kabupaten Buleleng yang berbatasan langsung dengan kabupaten Jembrana. Jadi, istilah “Bali barat” dipilih untuk menyebut wilayah ini untuk efisiensi kata dan kalimat. Jauh di masa kerajaan hingga saat ini, imajinasi orang Bali tentang kawasan Bali barat ini relatif sama. Penjelasan yang lebih mendalam akan dibahas pada Bab II.
13 Terra Incognita berarti tanah yang tidak terketahui (the unknown land). Istilah ini sengaja penulis pilih untuk mendeskripsikan kawasan Bali barat sebagai kawasan “pinggiran” Bali.
29
mengatakan basis kebudayaan Bali adalah sawah, sehingga pusat-pusat
kebudayaan Bali lebih banyak ditemukan di Bali selatan, tengah, timur, dan
beberapa daerah Bali utara yang memiliki sumber air dengan tekstur tanah yang
subur.14 Dengan demikian, bisa dikatakan Bali barat bukan salah satu pusat dari
kebudayaan Bali melainkan daerah “pinggiran” ketika membicarakan Bali pada
konteks kebudayaan.
Secara historis, kawasan Bali barat adalah “tumbal politik” kebijakan
kolonial Belanda yang menolak hasrat kapitalisme swasta Eropa untuk
mendirikan perkebunan di Bali selatan. Sebagai gantinya diberikan wilayah Bali
barat yang secara demografi jarang penduduk dan bukan berorientasi pada jenis
pertanian sawah karena tidak memiliki sumber mata air. Liefrinck15 beranggapan
jika keinginan swasta Eropa mendirikan perkebunan di Bali selatan diloloskan
akan berdampak negatif pada keberlangsungan kebudayaan Bali. pada waktu yang
bersamaan, di tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda sedang merealisasikan
program politik “Balisering”,16 yakni sebuah program mem-“Bali” kan orang Bali
dan menjadikannya “museum” hidup sekaligus melindungi dari hal-hal yang
14 Lihat J.L Swellengrebel, “Introduction” dalam Bali : Studies in Life, Thought and Ritual, Dutch Scholars, ed. (Amsterdam : The Royal Tropical Institute, 1969), hlm. 1-2.
15 Liefricnk merupakan residen Bali dan Lombok antara tahun 1896-1901. Kembali ke Bali tahun 1906 dan mempublikasi tulisan-tulisannya tentang Bali periode 1910-1921.
16 Kajian “Baliseering” secara mendalam bisa dilihat pada Tessel Pollman, “Bali Kolonial Cultuurservant in Ons Indie”, dalam De Gids, 154, No. 5/6 (Mei/Juni 1991), hlm, 1-35.
30
dianggap memberi dampak negatif bagi keberlangsungannya seperti dakwah
Islam, missi dan zending ke-Kristen-an Barat.
Desa di mana Bali perantau direlokasi sejak tahun 2000 yakni desa
Sumberklampok merupakan wilayah eks perkebunan kolonial Belanda dengan
hasil utamanya berupa kelapa. Perubahan rezim mengakibatkan adanya pergantian
kepemilikan dan berubah menjadi sengketa lahan antara negara dengan penduduk
setempat yang mengklaim diri sebagai keturunan eks pekerja perkebunan kolonial
Belanda yang terdiri dari tiga etnis besar yakni Bali, Madura dan Jawa.
Keberadaan Hutan Taman Nasional Bali Barat dengan satwa endemik Jalak Bali
sering menjadi alat bagi negara untuk melakukan rehutanisasi kawasan ini dan
mengirim penghuninya ke daerah lain melalui program transmigrasi atau
dikembalikan ke daerah asal.17 Namun, usaha itu tidak pernah berhasil, sebab
selalu mendapat penolakan dari penduduk dengan alasan bahwa tanah kawasan
telah menjadi “tumpah darah” dan merasa memiliki hak hidup sebagai keturunan
pekerja eks perkebunan Belanda.18
Hal yang menjadi persoalan terhadap pergulatan identitas Bali perantau di
kawasan ini bahwa penduduk setempat yang terdiri dari tiga etnis tersebut
memiliki ikatan kuat terhadap perjanjian masa lalu yang dituangkan ke dalam
cerita babad, yakni babad cendek. Faktor ini menjadi perekat integrasi sosial
antaretnis dan antaragama untuk memperjuangkan kepemilikan tanah sejak 1967.
Kehadiran orang-orang Bali perantau memunculkan dikotomi antara siapa yang
17 Lihat “Siapa Pencuri Jalak Bali”, Editor No.29/THN.IV/Maret 1991.
18 Lihat “Sumberklampok Desa Tanpa Wilayah”, Harian Nusa Tenggara,
3 Februari 1991.
31
pantas disebut penduduk “asli” dan siapa yang disebut “pendatang” walaupun
penanda-penanda kebalian19 seperti banjar adat telah dibentuk sejak tahun 2002.
1.2 Rumusan Masalah
Tesis ini memberi perhatian khusus pada dimensi politik, sosial, dan
kebudayaan di Bali pada awal reformasi sebagai landasan untuk melihat
perubahan persepsi orang Bali. Pasca Orde Baru, adat menguat dan mulai
mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai dampak diterapkannya produk hukum
reformasi, yakni UU No.22 tahun 1999. Legitimasi yang dibangun merupakan
stimulus produk hukum pasca Orde Baru yang disakralkan dan disahkan dengan
menarik garis masa lalu bahkan jauh ke belakang.20 Namun demikian, upaya
untuk menutupi keterputusan ikatan dengan Orde Baru yang dibenci dan dicaci
justru menghadirkan konsep adat yang dibangun di atas puing-puing rezim yang
telah runtuh. Dengan kata lain, orangnya diganti, tetapi sistemnya tetap berjalan
19 Istilah kebalian tanpa tanda (-) digunakan untuk melihat pem-benda-an
terhadap kebudayaan Bali pasca Orde Baru dari perspektif yang umum berkembang dan disebarkan melalui media massa dan tayangan televisi. Pada sisi yang lain, penggunaan tanda baca dan istilah ke-“Bali” an berfungsi memposisikan diri ketika melakukan kritik terhadap konsep ajeg Bali.
20 Salah satu contoh misalnya dengan menghilangkan kata “adat” pada “desa adat” dan menggantikannya dengan kata “pakraman atau pekraman”. Istilah adat berasal dari Arab, sedangkan “pekraman” dipilih karena dianggap memiliki unsur bahasa Sansekerta. Hal ini sejalan dengan kata “desa” yang juga berasal dari bahasa Sansekerta sehingga keduanya sesuai dengan jiwa zamannya. Dengan pemberlakuan itu, maka semua desa adat di Bali memiliki label “pekraman” di belakangnya. Contoh Desa Pekraman Pejarakan.
32
dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan.21 Redefinisi ke-
“Bali” an yang berfondasikan adat itu pada akhirnya terjebak ke dalam persoalan
politik dan ideologi kepartaian yang mengkotak-kotakkan orang Bali pasca Orde
Baru.22
Pada periode ini petani Bali perantau datang berstatus pengungsi.
Ketidakhadirannya dalam ruang sosial orang Bali dan direproduksi sebagai
pengetahuan ketika menjadi Petani Teladan menghasilkan “periode
kekosongan”.23 Alasan itu digunakan sebagai senjata untuk meminggirkan karena
mereka adalah beban baru yang tidak diharapkan dalam proses mental orang Bali
21 Pada masa Orde Baru, desa adat di Bali sering dijadikan penggerak massa atau melancarkan program-program pemerintah. Oleh karena itu, petinggi-petinggi desa adat harus diisi oleh orang-orang yang pro pemerintah selain mendudukkannya di bawah desa dinas. Pasca Orde Baru, kelompok anti pemerintah mulai memperlihatkan keberadaannya bahkan pada tingkat desa adat. Mereka adalah kelompok yang terpinggirkan yang membatinkan diskriminasi yang dilakukan negara terhadapnya. Dengan segera, mereka mengganti petinggi-petinggi desa adat yang pro Orde Baru. Di beberapa tempat di Bali, proses itu bahkan berlangsung secara berdarah-darah. 22 Bali utara atau kabupaten Buleleng merupakan salah satu daerah di Bali yang memperlihatkan dinamika penuh gejolak pasca Orde Baru berkaitan dengan politisasi adat dibandingkan daerah lainnya. Sebagai contoh ketika memilih bupati, masyarakat Buleleng tidak terpecah hanya karena dari keturunan (baca : biasanya merujuk pada kawitan mana calon bupati bersangkutan berasal, keberpihakan lebih disebabkan oleh faktor ideologi kepartaian. Ada dua partai besar yang memiliki pengaruh, massa dan masa lalu yang kuat di Buleleng yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini lumrah melihat kondisi masyarakat Buleleng yang egaliter, heterogen dan daerah pertama yang menerima modernitas Belanda sejak tahun 1849 pasca puputan Jagaraga. 23 Periode kekosongan meliputi waktu antara 1980-an – 1999 yakni waktu keberangkatan dan waktu kehadiran. Periode kekosongan mengakibatkan orang Bali perantau absen di dalam aktivitas orang Bali beberapa waktu. Apalagi jika aktivitas sosial itu menyangkut kehidupan kolektif di dalam desa adat. Menegosiasikan antara kondisi sosial dan upaya untuk menyatu ke dalam adat merupakan hal yang sulit dilakukan dalam waktu singkat.
33
ketika sedang menentukan format baru atas dirinya. Ketercerabutan identitas adat
menjadi sebuah fakta sosial di masa lalu yang tidak bisa diganggu gugat dan hadir
sebagai kebekuan yang sulit dicairkan.
Berdasarkan persoalan di atas, penelitian ini berusaha untuk menjawab dua
pertanyaan pokok. Pertama, mengapa muncul penolakan terhadap kehadiran
petani Bali eks transmigran Timor Timur di tanah asalnya?. Pertanyaan pokok
tersebut menghasilkan beberapa pertanyaan turunan yakni sejauh mana dan dalam
hal apa transisi pada masyarakat Bali memberikan pengaruh untuk menentukan
cara pandang ke-“Bali” an kepada petani Bali eks transmigran Timor Timur?. Apa
yang terjadi pada petani Bali perantau di tengah transisi masyarakat Bali itu?.
Lalu bagaimana keduanya, baik orang Bali sendiri dan petani Bali eks transmigran
Timor Timur merespon masalah-masalah yang berkaitan dengan format identitas
kebalian?.
Pertanyaan pokok kedua adalah mengapa Bali barat dipilih sebagai tempat
relokasi ratusan kepala keluarga petani Bali eks transmigran Timor Timur?.
Pertanyaan pokok ini menghasilkan beberapa pertanyaan turunan yakni gambaran
seperti apa yang melatarbelakangi pemilihan relokasi Bali barat?. Usaha-usaha
apa yang dilakukan untuk memulihkan identitas seperti semula?. Mengapa usaha-
usaha itu mengalami kegagalan?. Masalah-masalah seperti apa yang dihadapi
selain usaha-usaha pemulihan identitas?. Lalu apa hubungan peminggiran mereka
ke Bali barat dengan wacana kebalian yang menggumpal pasca Bom Bali I ?.
34
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penulisan tesis ini berkisar pada mempertanyakan identitas
ke-“Bali ” an pengungsi Bali di tanah asal. Periode yang dipakai dalam penelitian
ini dimulai dari 1999 sampai 2005. Tahun 1999 dipakai sebagai awalan dengan
alasan bahwa kedatangan petani Bali eks transmigran Timor Timur di tanah asal
bertepatan dengan transisi sosial, politik, dan kebudayaan manusia Bali. Berposisi
sebagai korban sekaligus saksi peristiwa amuk massa Bali Oktober 1999
mengakibatkan kebutuhan menjadi bagian dari desa adat begitu penting, sebab
adat akan memberikan pengakuan di samping pemulihan identitas karena
ketercerabutan serta rasa aman atas dasar etnis dan agama. Namun, keinginan itu
terbentur dengan suksesi kekuasaan di dalam tubuh adat. Mereka tidak saja
dianggap beban limpahan pemerintah dan adanya konflik bipolar melibatkan dua
kelompok yang berselisih, tetapi juga dicap memiliki hubungan kekerabatan dan
emosional dengan kelompok pro Orde Baru. Salah satu sikap menolak kehadiran
adalah tidak dilakukannya proses penjemputan orang Bali perantau yang telah
ditempatkan di kantor-kantor pemerintahan. Padahal, ketika tiba di Bali antara 14-
17 September 1999, telah diinstruksikan dari Pemerintah Provinsi Bali kepada
pihak bupati daerah asal serta desa adat setempat untuk mengambil warganya dan
dibawa ke desa masing-masing.
Keinginan menjadi Bali adalah sebuah proses yang tidak bisa dibatasi oleh
ruang dan waktu. Selalu ada negosiasi yang berproses menjadi (becoming). Tahun
2005 dipakai sebagai batas akhir dari tesis ini dengan alasan bahwa usaha
meredefinisi ke-“Bali” an di Bali barat telah mengalami perubahan yang berarti.
35
Hal yang dipikirkan dan dilakukan bukan lagi sekedar apa yang tampak sebagai
citra diri terlihat baik bagi orang lain melainkan lebih kepada penguatan dari
dalam diri yang ditandai dengan semakin berkurangnya gejolak di dalam tubuh
komunitas petani Bali. Tujuan utamanya adalah mencairkan dikotomi “asli” dan
“tidak asli”. Di samping hal tersebut, tahun 2005 menjadi awal kevakuman
aktivitas menuntut hak tanah, sebab, setelah tahun 2005 tidak ada lagi gerakan
massa besar yang dilakukan seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Cakupan temporal yang dipakai tidak secara langsung menunjukkan
periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada awal maupun
akhir24. Biarpun terikat pada suatu cakupan temporal, tesis ini ini tidak akan
disusun menggunakan pembagian waktu yang jelas dan tajam atas dasar
peristiwa-peristiwa penting seperti yang umum digunakan dalam sejarah politik,
melainkan pembagian berdasarkan tema-tema.25 Setiap tema ditulis secara
melingkar, artinya berangkat dari masa kini26 untuk kembali ke masa lampau
24 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Machmoed Effendhie dan Punang Amaripudja penerjemah, (Yogyakarta, Matabangsa, 2002, hlm.1.
25 Dikembangkan dari pemikiran Sartono Kartodirdjo, “Kata Pengantar” dalam Nusa Jawa, Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu I, II, III, Denys Lombard. (Jakarta : PT Gramedia, 1996), hlm.xv.
26 Metode penulisan sejarah yang berangkat dari peristiwa kekinian merupakan anjuran dari James Vernon, sejarawan Inggris untuk menghadapi serbuan kaum posmodernisme. Sejak tahun 1980-an, pendukung teori posmodernisme menyatakan bahwa tulisan sejarah hanya sebuah wacana. Mereka menyerang pandangan sejarah ilmiah yang ditulis berdasarkan data primer. Pertanyaan mereka bukan “apa itu sejarah”, melainkan “apakah mungkin sejarawan menyusun sejarah secara utuh”. Dalan upaya menghadapi serangan itu, James Vernon menganjurkan sejarawan mengerjakan sejarah intelektual zaman
36
sebagai lacakan bukan fokus kajian (historical comparative),27 lalu berjalan secara
linear menuju ke titik tolak masa kini. Melalui cara penulisan sejarah yang
tematis, akan ditemukan alasan penolakan kehadiran dan penempatan di Bali barat
yang multidimensional.
Tesis ini terbagi ke dalam dua wilayah penelitian. Wilayah pertama
mencakup pulau Bali. Penulis memfokuskan pembahasan mengenai beberapa
peristiwa yang terjadi di Bali antara 1999-2000 dan pada saat yang bersamaan
petani Bali eks transmigran Timor Timur tiba di tanah asal. Wilayah kedua
mencakup kawasan Bali barat, yakni tempat direlokasinya petani Bali eks
transmigran Timor Timur dengan mengambil rentang waktu antara 2000-2005.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Pemilihan tema tesis ini dimotivasi oleh dua hal. Pertama, tema ini
merupakan tema baru dan belum ada satu akademisi Bali atau luar Bali pun yang
mengkajinya. Beberapa karya akademisi Bali maupun luar Bali pasca Orde Baru
yang ditemukan tidak ada yang menyinggung persoalan ini. Keberadaan petani
Bali eks transmigran Timor Timur yang bertepatan dengan transisi masyarakat
Bali terlewatkan dan tenggelam dalam cerita bisu dari mulut ke mulut di tengah
tertujunya perhatian orang Bali pada reifikasi kebalian dalam wujud gerakan
mereka sendiri, yaitu sejarah yang berdasarkan ide-ide. Lihat J. Evans Richard, In defence of History (London : Granta Book, 1997), hlm.5.
27 Dalam batas-batas tertentu studi ini menjadi serupa dengan model yang digunakan oleh Denys Lombard (1996).
37
kultural ajeg Bali.28 Dengan kata lain, kajian ini memiliki kebaruan akademis dan
persinggungannya dengan konteks identitas dalam tema besar ajeg Bali sehingga
menjadi pintu masuk untuk memahami proses mental politik representasi atas Bali
pasca Orde Baru dari perspektif orang-orang “pinggiran”.
Kedua, persoalan identitas, khususnya di Bali, diidentikkan sebagai
wilayah kerja antropolog, sosiolog, dan budayawan. Sejarawan sebagai kelompok
kepentingan yang bertugas melakukan penyadaran masa lalu cenderung
melewatkan dan menafikan tema-tema tersebut. Padahal, dalam isu penguatan
etnonasionalisme, tema identitas sedang hangat diperbincangkan pasca Orde Baru
dan masih relevan sampai saat ini.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tujuan penelitian ini meliputi lima hal.
Pertama, menjelaskan penolakan kehadiran petani Bali di tanah asal yang
bertepatan dengan transisi masyarakat Bali dibungkus dalam selubung
kebudayaan dan dipengaruhi oleh dinamika sosial dan politik di Bali pasca Orde
Baru. Pembentukan identitas pada diri eks transmigran Timor Timur tidak saja
sebagai akibat dari ketercerabutan tanah asal dan adanya reifikasi kebalian, tetapi
juga persepsi atas label politis di masa lalu.
Kedua, menjelaskan bahwa proses mental di masa lalu dari orang Bali
memiliki kecenderungan menjadi kebenaran dan pengetahuan untuk
mempersepsikan orang lain. Proses itu membeku seiring dengan usaha
28 Bom Bali I atau dikenal dengan sebutan Bom Kuta karena meledak di kawasan pariwisata Kuta (Pady’s and Sari’s Club) terjadi pada Sabtu, 12 Oktober 2002.
38
memformat Bali melalui ajeg Bali. Produk mental di masa lalu seperti mitos,
legenda dan babad mengakibatkan dikotomi “asli” dan “tidak asli” menjadi jelas.
Ketiga, menunjukkan bahwa penempatan petani Bali eks transmigran
Timor Timur di Bali barat memiliki alasan multidimensional. Secara politis
merupakan usaha orang Bali menutupi “catatan hitam” sejarah perpolitikan pasca
Orde Baru. Secara sosial dan kebudayaan adalah upaya untuk bangkit dari
keterpurukan citra Bali pasca peristiwa amuk massa Oktober 1999.
Keempat, menunjukkan adanya kesenjangan imajinasi mengenai Bali
antara orang Bali dan Bali perantau dalam beberapa hal. Kesenjangan itu
disebabkan oleh transformasi politik, sosial dan kebudayaan masyarakat Bali
pasca Orde Baru.
Kelima, menunjukkan bahwa ketika mendefinisikan tentang “Bali” dalam
konteks etnis dan agama, semua berpusat di desa adat. Untuk bisa disebut “Bali”,
seseorang atau kelompok harus masuk ke dalam struktur adat. Dapat dikatakan
bahwa desa adat adalah pusat kebudayaan dan representasi Bali sebagai produk
orang Bali di masa lalu. Oleh sebab itu, adat adalah kebutuhan manusia Bali yang
memiliki keinginan untuk mendapat pengakuan dan perlindungan atas dasar etnis
dan agama.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Menyangkut manfaat, ada empat hal yang bisa diraih dari studi ini.
Pertama memberikan inspirasi bagi sejarawan berikutnya untuk lebih menekuni
sejarah sosial dan mental terutama yang berkaitan dengan benturan-benturan
39
identitas. Kedua, memberikan pengetahuan sejarah kepada para pengambil
kebijakan untuk lebih memantapkan perumusan strategi kependudukan dalam
bingkai kebudayaan terutama menyangkut persoalan transmigrasi. Ketiga,
menyumbangkan gambaran mengenai dampak benturan berbagai kepentingan
terhadap kondisi sosial, politik, dan kebudayaan Bali sehingga bisa dijadikan
sebagai bahan pertimbangan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam
menyusun kebijakan. Keempat, memberikan pemahaman kepada masyarakat luas
mengenai benturan budaya yang berdampak positif maupun negatif.
1.5 Tinjauan Pustaka
Petani Bali eks transmigran Timor-Timur hadir pada periode ketika
wacana kebalian menjadi diskusi sentral orang Bali. Mereka dipaksa untuk
“akrab” dengan format Bali asli sebagai rujukan proses mental dan pengalaman
kolektif orang Bali. Perbedaan bayangan tentang Bali antara orang Bali dengan
orang Bali perantau mengakibatkan petani Bali eks transmigran Timor Timur
diposisikan sebagai orang “lain”. Dalam konteks ini, ke-“Bali” an bukan saja
gerakan kebudayaan untuk membedakan Bali dengan orang bukan Bali, tetapi
juga menegaskan formasi Bali asli sesama orang Bali.
Melihat persoalan tersebut, kajian ini merupakan tema baru dalam upaya
penulisan sejarah Bali kontemporer yang menjadikan orang Bali perantau sebagai
objeknya. Belum ada kajian sejarah sejenis yang menguraikan benturan identitas
antara orang Bali dengan orang Bali perantau. Pada sisi yang lain, konteks
pergulatan identitas yang diusungnya berada di dalam kuali besar bernama ajeg
40
Bali. Oleh karena itu, penulis merujuk pada beberapa studi dari wilayah keilmuan
berbeda yang relevan dengan tesis ini. Berikut ini penulis sajikan beberapa karya
lokal maupun luar yang akan menjadi kerangka berpikir ketika orang Bali melihat
dirinya dan mempersepsikan orang lain.
Henk Scholte Nordholt menyebut Bali sebagai “benteng terbuka” yang
menerima pengaruh luar negeri sambil berjuang melindungi diri darinya. Bali
seharusnya bukan lagi dilihat sebagai pulau yang tertutup dan terisolir, melainkan
medan pertarungan terbuka dari relasi kuasa berbagai kekuatan ekonomi politik
nasional maupun global.29 Bali membutuhkan dunia luar (wisatawan, modal, dan
tenaga kerja murah), tetapi rakyat pulau ini merasa terancam oleh kekuatan luar
(investor besar, dekadensi Barat, dan Islam). Henk menggambarkan orang Bali
bersikap ambivalen, antara membutuhkan dan meniadakan, mencintai sekaligus
membenci.30
29 Henk Schulte Nordholt, Bali Benteng Terbuka, Arif B. Prasetyo
(penerjemah), (Yogyakarta : Pustaka Larasan, 2010) atau dalam Renegotiating Boundaries : Local Politic in Post Suharto Indonesia, Henk Schulte Nordholt & Garry van Klinken, ed. (Leiden : KITLV Press, 2007), hal. 389-416; Politik Lokal di Indonesia, Henk Schulte Nordholt & Garry van Klinken, ed. (Jakarta : KITLV, 2007), hlm. 5005-542.
30 Mengutip pernyataan Putu Wijaya, seorang seniman Bali dalam sebuah
artikelnya berjudul “Bali” dalam Bali dan Masa Depannya, (Denpasar : Bali Post, 1999), hlm. 183 yang menyatakan bahwa untuk bisa dan tidak sesat bicara tentang Bali, kita mesti terlebih dahulu memahami, paling sedikit memberi batasan tentang apa yang kita sebut dengan Bali. Bagi saya Bali adalah sebuah lempung yang sudah mengeras, padat bagaikan batu granit tetapi anehnya masih terus berproses membentuk dirinya. Ia mengalir dalam kesolidannya sehingga berbagai hal yang kontradiktif menyatu dalam setiap fenomena Bali.
41
Ulasan-ulasan Michel Picard31, Adrian Vickers32 dan Jean Couteau33 bisa
digunakan untuk memperdalam konsep yang ditawarkan Henk. Picard fokus pada
turisfikasi yang mengubah struktur masyarakat Bali dari dalam. Bersama Leo
Howe34, Picard meramu teoritisi kebalian sebagai produk adat dan agama yang
dilokalkan. Sedangkan Vickers dan Couteau menterjemahkan sikap ambivalen
orang Bali sebagai beban masa lalu atas proyek puja-puji kolonial Belanda yang
bermata dua. Pada satu sisi mem-Bali-kan dan berusaha melindunginya dari
modernisasi, Islam dan Kristen melalui proyek Balinisasi, tetapi di sisi lain
memasukkan modernitas Barat melalui sistem pendidikan.35 Kekurangan Picard
dalam menguraikan perubahan struktur masyarakat Bali dari dalam ditutupi oleh
Nengah Bawa Atmadja.36 Ia menunjukkan bahwa tanpa kehadiran pendatang yang
dikonotasikan sebagai orang Jawa beragama Islam, struktur masyarakat Bali telah
31 Lihat Michel Picard, "The Discourse of Kebalian: Transcultural Constructions of Balinese Identity," dalam In Staying Local in the Global Village, R. Rubinstein and L. H. Connor, ed. (Honolulu: University of Hawai'i Press, 1999), hlm. 49
32 Lihat Adrian Vickers, Bali : A Paradise Created, (Australia : Ringwood Penguin Books,1989).
33 Lihat Jean Couteau, “Bali : Crise en Paradis”, Archipel. Volume 64, 2002, hlm.254.
34 Lihat Leo Howe, Hinduism and Hierarchy in Bali, World Anthropology, (Oxford : School of American Research Press, 2001), hlm. 138.
35 Lihat Frances Gauda, Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, Jugiarie penerjemah, (Jakarta : Serambi, 2007), hlm.161.
36 Lihat Nengah Bawa Atmadja, Ajeg Bali : Gerakan Identitas Kultural dan Globalisasi, (Yogyakarta : LKiS, 2009).
42
memperlihatkan kerapuhannya ketika berhadapan dengan gelombang yang lebih
besar, yakni globalisasi.
Degung Santikarma mengkritisi dinamika politik identitas kebalian pasca
Orde Baru. Ia tidak menulis dalam bentuk buku, tetapi artikel-artikelnya di media
cetak berupa koran cukup banyak dijumpai seperti “Kisah Bali dengan Keakraban
Dalam Kekerasan”,37 “Bali Sebagai Dekonstruksi”,38 “Monumen, Dokumen dan
Kekerasan Massal”,39 “Sweeping Bali Sekala Niskala”. Artikel-artikel tersebut
memberi perhatian khusus kepada “ajeg Bali” sebagai konsep yang masih kabur.
Ia juga melakukan gugatan atas desain konsep yang dibuat Picard apakah menjadi
Bali harus menjadi Hindu atau sebaliknya menjadi Hindu untuk bisa disebut
Bali?. Ia menunjukkan bahwa mempertanyakan Bali yang “asli” dan “tidak asli”
tidak lagi relevan pada kondisi Bali yang telah menjadi milik dunia. Jika ingin
dilacak, lalu seperti apa format Bali asli?.
I Ngurah Suryawan40 bisa dianggap sebagai penerus Degung.41 Dengan
nada berapi-api, ia menunjukkan adanya misi tertentu di balik politik pencitraan
37 Kompas edisi 1 September 2000. 38 Nusa Tenggara edisi 22 Oktober 1994. 39 Kompas edisi 1 Agustus 2003. 40 Trilogi buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata :
Suara Perlawanan dan Pelenyapan, (Malang : Kepel Ekspres, 2005); Bali Antahberantah Refleksi di Dunia Makna Hampa Pariwisata, (Malang : Intrans Publishing, 2010) ; Sisi di Balik Bali, Politik Identitas Kekerasan dan Interkoneksi Global (Bali : Udayana Press, 2012) memiliki isi yang hampir sama yakni menggugat kebalian disertai genealogi sejarah kekerasan. Masing-masing memiliki orientasi yang berbeda namun substansi yang sama.
41 Ngurah Suryawan dan Degung Santi Karma sama-sama melakukan
kritik terhadap politik representasi atas Bali. Keduanya memiliki perbedaan ketika
43
dan rasa pesimisnya terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Pada sebuah tulisan
berjudul “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia”, John Rosa mengkritik
tulisan Ngurah dan mengatakan bahwa ia pandai menuliskan dengan gaya tajuk
rencana surat kabar tetapi tidak tahu cara melakukan penelitian yang dapat
menyingkap temuan-temuan baru mengenai kejadian-kejadian di masa lalu.
Ungkapan empati menyemburkan banyak panas tetapi hanya sedikit sinar.42
Nyoman Wijaya43 menawarkan konsep “rajeg” untuk menggantikan
“ajeg”. Rajeg lebih tepat untuk memproyeksikan dinamika kehidupan orang Bali
yang disepadankan dengan konsep ke-“Jawa” an dan ke-“Bali” an tentang
cakraning manggiling prawerthi yakni gerak spiral ke arah kanan dan bukan
berputar pada sumbunya.44 Ia menunjukkan semangat mengajegkan Bali sudah
ada sepanjang sejarah Bali dengan nama dan perwujudan yang berbeda-beda.
Semangat itu selalu dibangkitkan kembali oleh para intelektual organik dari
berbagai golongan dengan cara memanfaatkan atau mengelola sedemikian rupa
wacana-wacana yang dianggap dapat mengikis identitas kebalian.
menyampaikan analisisnya. Ngurah dengan gaya berapi-api, sedangkan Degung dengan ciri khas penyampaian yang terbilang sinis dan dingin.
42 Lihat John Rosa dan Ayu Ratih, “Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subjektivitas” dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Henk Scholte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed. (Jakarta dan Denpasar : KITLV, Obor, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm.195.
43 Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”, Disertasi UGM tahun 2009. Tidak diterbitkan.
44 Ibid., hlm.647-649.
44
Ulasan Thomas A. Reuter45 tentang etnografi orang Bali pegunungan, I
Gede Pitana46 mengenai klan pasek serta Jean Francois Guermonprez47 tentang
klan pande berguna untuk menjelaskan konstruksi identitas Bali aga dan Bali
Majapahit. AAGN Ari Dwipayana48 dan I.B.G.Y Triguna49 membantu memahami
struktur-struktur sosial di dalam kajian diakronis Wijaya khususnya mengenai
konflik kasta, mobilitas sosial, konflik di era kolonial Belanda dan Bali pasca
Orde Baru.
Terakhir adalah tulisan dari Bali Post pada tahun 2004, “Ajeg Bali :
Sebuah Cita-Cita”. Isinya adalah hal-hal yang bersifat normatif mengenai tuntutan
bagaimana seharusnya menjadi orang Bali yang diikat oleh adat dan agama, cara-
45 Lihat Thomas A. Reuter, Custodians of The Sacred Mountains : Budaya
dan Masyarakat di Pegunungan Bali, I Nyoman Darma Putra penyunting. (Jakarta : Obor, 2005).
46 Lihat I Gede Pitana, “In Search of Difference : Origin Group, Status and Identity in Contemporary Bali”. Disertasi pada Universitas Nasional Australia tahun 1997. Tidak diterbitkan.
47 Lihat Jean Francois Guermonprez, Soroh Pande di Bali : Pembentukan Kasta dan Nilai Gelar, Syamsul Alam Paturusi penerjemah. (Denpasar : Udayana University Press, 2012).
48 Ada dua tulisan AAGN Ari Dwipayana yang bisa digunakan untuk membaca kekurangan dari analisis Wijaya mengenai struktur di era kolonial Belanda dan pasca Orde Baru yakni Kelas Kasta : Pergulatan Kelas Menengah Bali dan sudah penulis jadikan catatan kaki pada latar belakang di atas dan karya kedua yakni Globalism : Pergulatan Politik Representasi Atas Bali, (Denpasar : Uluangkep Press, 2005).
49 Lihat Ida Bagus Gede Yuda Triguna, “Mobilitas Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali”. Disertasi Sosiologi-Antropologi pada Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung tahun 1997. Tidak diterbitkan.
45
cara memperlakukan pendatang yang dianggap sebagai aktor utama yang merusak
tatanan lokal, budaya serta lingkungan Bali.50
Kebanyakan tulisan yang disebutkan di atas baru muncul setelah tahun
2000-an, terutama yang melihat persoalan identitas kebalian. Padahal, pergulatan
identitas orang Bali perantau telah dimulai sejak awal kedatangan di tanah asal
pada September 1999. Pemberitaan tentang Bali perantau oleh media berupa
koran lebih banyak menonjolkan basis kesadaran material seperti tuntutan tanah
dan ganti rugi kepada negara, sedangkan harapan dan keinginan menjadi Bali
melalui proses integrasi ke dalam desa adat terlewatkan. Kisah hidup sebagai
saksi dan korban dalam peristiwa “amuk massa” Oktober 1999 di tempat
pengungsian juga luput dari pemberitaan. Penempatan orang Bali perantau di Bali
barat yang notabene jauh dari akses politik, ekonomi dan kebudayaan
mengakibatkan kisah tentangnya menguap dan tidak mampu dilacak oleh usaha
cendikiawan Bali ketika berusaha merumuskan persoalan identitas orang Bali.
Kajian ini fokus pada celah yang tidak tersentuh dari beberapa tulisan di
atas. Ragam wajah kebalian pasca Orde Baru tidak saja menghasilkan dikotomi
“asli” dan “pendatang” antara orang Bali dan orang luar Bali, melainkan telah
50 Bali Post, Ajeg Bali: Sebuah Cita-Cita, (Denpasar : Bali Post Press, 2004). Pada halaman 46-47 dijelaskan konsep ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran meliputi tataran individu, tataran lingkungan kultural, dan tataran proses kultural. Tataran individu memaknai ajeg Bali sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (cultural confidence). Tataran lingkungan kultural memaknai ajeg Bali sebagai pencipta ruang hidup budaya Bali yang inklusif, multikultur dan selektif. Tataran proses kultural adalah interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali guna melahirkan produk budaya baru melalui proses nilai-nilai moderat, non-dikotomis, berbasis nilai budaya dan kearifan lokal serta memiliki kesadaran ruang dan waktu yang mendalam.
46
menciptakan batas-batas sesama orang Bali yang cenderung kaku dan tidak bisa
dinegosiasikan. Tesis ini akan menempatkan orang Bali perantau dengan segala
identitas yang melekat padanya sebagai entitas monolitik dan tunggal ketika
berhadapan dengan reifikasi kebalian. Perjumpaan keduanya memperlihatkan
kuatnya jejak kuasa politik pada proses pembentukan identitas kebalian pasca
Orde Baru.
1.6 Kerangka Konseptual
Bali pasca Orde Baru tidak saja memperlihatkan perubahan struktur
kemasyarakatan atas dasar etnis dan agama, melainkan juga mental dalam
membentuk persepsi terhadap “diri” dan orang lain. Proses itu tidak bisa
mengesampingkan peran politik, sebab politik memberi jalan bagi perubahan yang
sedang berlangsung. Dengan demikian, aspek sosial, kebudayaan dan politik
membentuk mata rantai tentang realitas Bali pada tahun-tahun selanjutnya.
Wacana kebalian51 adalah produk pengalaman masa lalu orang Bali di
mana di dalamnya terkandung realitas sosial, politik dan kebudayaan menjadi
51 Wacana kebalian muncul sebagai romantisme masa lalu yang merujuk pada era kekuasaan raja-raja Bali Majapahit. Orang Bali membayangkan era ini sebagai zaman keemasan dan kejayaan. Pasca keruntuhan Majapahit, Bali berdiri sebagai kerajaan besar yang menguasai Blambangan dan Lombok. Blambangan dikuasai selain sebagai daerah impor hasil alam (baca : Bali miskin hasil alam), secara politik dijadikan benteng menahan laju kekuasaan Mataram Islam era Sultan Agung yang berkeinginan meluaskan daerahnya hingga ke bagian timur pulau Jawa. Lihat Sri Margana, Ujung Timur Jawa, 1763-1813 : Perebutan Hegemoni Blambangan, (Yogyakarta : Pustaka Ifada, 2012), hlm. 42. Begitu juga penguasan Lombok oleh kerajaan Karangasem dimaksudkan untuk menahan laju kekuasaan kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Lihat Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 50-52.
47
satu. Ia muncul ketika konstelasi politik Bali pasca Orde Baru memberi ruang
bertumbuh melalui produk hukum reformasi, yakni UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Desa kepada suprastruktur lokal selaku pusat kebudayaan
Bali. Orang-orang di dalamnya, baik intelektual organik maupun tradisional mulai
melakukan penilaian dan interpretasi. Akan tetapi, pengalaman sosial masa lalu
orang Bali masa Orde Baru yang membentuk realitas masa kini dibatinkan dan
menghasilkan “warna” lain pada makna ke-“Bali” an. Bali sebagai produk
kebudayaan yang menghasilkan ke-“Bali” an lalu dibendakan dan menjadikannya
alat politik untuk membentuk wacana identitas orang Bali. Akibatnya, ke-“Bali”
an terjebak pada pada kekakuan makna dan eksklusivisme atas dasar etnis dan
agama.
Ketika ke-“Bali” an menjadi alat politik, ia berubah menjadi regime of
truth52 yang tidak saja digunakan untuk meminggirkan si “lain”, melainkan juga
ingin mengukur kadar ke-“Bali” an seseorang atau sebuah kelompok melalui
format yang telah ditentukan. Akibatnya, ia tidak saja memaksa orang Bali
berkaca menggunakan “cermin” kebalian, namun juga mendisiplinkan53 yang
52 Regim of truth atau rezim kebenaran merujuk pada konsepsi Foucault
tentang kekuasaan. Ia menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil perkawinan antara kekuasaan dengan pengetahuan melalui wacana. Tiada kekuasaan tanpa pengetahuan dan begitu juga sebaliknya. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta : LKiS, 2001), hlm. 66-67.
53 Kebalian merupakan seperangkat wacana yang mendisiplinkan dan memaksa orang Bali berkaca dengan format identitas “asli” yang telah ditentukan sebelumnya melalui normalisasi dan regulasi. Kebalian bisa dianalogikan sebagai pengawas (baca : panoptic prison) yang mengawasi orang Bali agar tetap menjaga identitasnya. Gagasan untuk menyimpang dikalahkan oleh pikiran tentang beratnya hukuman. Dengan kata lain, bukan lagi fisik yang disentuh kuasa,
48
“lain”. Bali perantau berada pada situasi dan periode yang bertepatan dengan
proses pem-“benda” an terhadap Bali. Mereka “dipaksa” bercermin kebalian,
sedangkan format-formatnya ditentukan orang Bali sendiri. Identitas mereka
dipertanyakan karena ketercerabutan dengan tanah asal di masa lalu telah
menciptakan periode “kekosongan” di samping label-label politis masa lalu.
Ketercerabutan mengakibatkan Bali perantau melewatkan beberapa hal yang
mungkin saja berisikan peristiwa-peristiwa penting dan pengalaman kolektif
lainnya. Ketidakhadiran masa lalu menjadi akar keraguan bahwa pengalaman
kolektif yang terlewatkan dan telah menghasilkan persepsi jati diri tentang Bali
tidak membatin seutuhnya. Henk menyebut cerita masa lalu orang Bali sebagai
babad54 dan merujuk pada kawitan.55 Keduanya merupakan penghubung antara
nenek moyang dan masa kini serta menjadi wahana identitas kelompok.56
Identitas yang terbentuk akibat reifikasi ke-“Bali” an menjadi persoalan
yang membedakan sekaligus memisahkan orang Bali dengan Bali perantau dalam
hal cara pandang. Beberapa ahli sepakat bahwa identitas adalah sesuatu yang cair
melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di tubuh masyarakat. Lihat Gary Gutting, Foucault : A Very Short Introduction, (USA : Oxford University Press, 2005), hlm. 79-81. 54 Babad merupakan sejenis teks dari Jawa dan Bali yang berhubungan dengan sejarah yang menjabarkan pikiran para budayawan pada zamannya. Sebagian dari pikiran tersebut tetap hidup dan berkembang dan terlihat kegiatan mencatat sejarah hidup berupa silsilah atau garis keturunan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
55 Kawitan berasal dari kata “wit” yang berarti “asal mula”. Biasanya merujuk pada raja atau tokoh-tokoh besar yang diteladani.
56 Henk Scholte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas Dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 78.
49
dan bisa dinegosiasikan. Stuart Hall57 menyatakan bahwa identitas adalah proses
yang terbentuk melalui sistem bawah sadar. Sistem bawah sadar berjalan melalui
waktu dan membentuk bayangan imajiner yang tidak pernah menemui titik akhir.
Ia sampai pada kesimpulan bahwa identitas adalah sesuatu yang berproses
(becoming) daripada nilai baku yang taken for granted. Stella Ting-Toomey58
menegaskan teori negosiasi identitasnya bahwa identitas atau konsepsi diri
refleksif dipandang sebagai mekanisme eksplanatori bagi proses komunikasi
antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi,
dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam
satu situasi interaksi tertentu. Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses
interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya
mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang atau mendukung
citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Mengurai masalah
identitas diri dan identitas kultural ini.
Peter Burke & Jan Stets menyatakan bahwa identitas adalah seperangkat
makna yang menentukan siapa seseorang ketika ia menjalani peran tertentu dalam
masyarakat, menjadi anggota dari suatu kelompok, atau mendaku karakteristik
57 Stuart Hall, “Who Need Identity” dalam Stuart Hall & Paul du Guy (ed), Question of Cultural Identity (Cet. II. London : Sage Publition, 2003), hlm 1-17. Dalam mengelaborasikan pemaknaan terhadap kata kunci identitas, Hall tidak menafikan peran pencetus teori ‘interaksi simbolik’ dalam mengkaji interkasi sosial di masyarakat, salah satunya adalah George Herbert Mead, lihat Herbert Blumer (ed), George Herbert Mead and Human Conduct (Cet. I .USA : AltaMira Press, 2004) ; David L. Milner (ed), George Herbert Mead : Self, Language and The World (cet. I. USA : Texas University Press, 1973).
58 Stella Ting-Toomey, Communicating Accros Cultural (Cet. I . USA : Guilford Press, 1999)., hal 25-26.
50
tertentu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pribadi yang unik. Dalam
batasan tersebut maka identitas sebenarnya adalah pertautan dinamis antara
agency and social structure. Seperti dilanjutkan oleh Burke & Stets masyarakat
(struktur sosial) diciptakan melalui tindakan-tindakan individual, kendati diakui
bahwa tindakan-tindakan tersebut diproduksi dalam suatu konteks struktur sosial.
Sekelumit pernyataan Burke & Stets di atas pada gilirannya membuka celah
interpretatif bahwa apa yang disebut dengan “pengalaman” itu sendiri sebenarnya
adalah ruang-ruang realitas yang mendorong terjadinya negosiasi budaya dan
identitas dalam sebuah arena kontekstual. Negosiasi tersebut berlangsung secara
trialektik yaitu “externalisasi-internalisasi-objektifikasi”. Ia akan mengerucut
pada sebuah tindakan yang disepakati atau tidak disepakati bersama.59
Berkaca dari pemahaman di atas, Bali perantau dengan identitas yang
tercerabut dari tanah asal tengah berhadapan dengan orang Bali yang sedang
melakukan proses mem-“benda” kan format Bali “asli” melalui wacana ke-“Bali”
an. Perbedaan persepsi ini mengakibatkan benturan identitas sesama orang Bali.
Namun, secara kuantitas dan kualitas Bali perantau yang lebih kecil dan adanya
keinginan untuk mengintegralkan diri sebagai Bali melalui desa adat,
menjadikannya “kelompok minoritas” yang bersedia untuk di-“disiplin-kan”.
59 Peter Burke & Jan E. Stets, Identity Theory (Cet. I. London : Oxford University Press, 2009)., hal. 62 ; lihat juga Michael Bumberg, anna De Vina &Deborah Schiffrin, “Discourse and Identity Construction” dalam Seth J. Schwartz (ed), Handbook of Identity Theory and Research Volume I Structures and proccses (Cet I . New York : Springer, 2011)., hal 8.
51
Manuel Castells60 menyebut kondisi yang dialami Bali perantau sebagai resistensi
atau resistance identity, yakni proses bertahannya identitas sebagai bentuk
perlawanan atau dalam hal ini dihasilkan oleh mereka yang sedang dalam posisi
yang lemah karena stigma dari pihak yang mendominasi dan biasanya digunakan
lebih mengarah kepada kegunaan politik identitas. Hal tersebut berpengaruh pada
pembentukan komunitas sehingga melalui perlawanan kolektif terhadap tekanan
dapat memunculkan jaringan yang kuat dan solid. Homi K. Babha61 menyebut
resistance identity sebagai keterlibatan dan penyesuaian seseorang atau kelompok
inferior ke dalam identitas kelompok superior atau dominan ke dalam lembaga
yang memiliki fungsi memformat ulang identitas sebelumnya. Dalam hal ini,
lembaga tersebut adalah desa adat.
Dasar pentingnya desa adat untuk menunjukkan praktik-praktik etnis dan
agama merujuk pada konsep yang dikemukakan Fredrik Barth mengenai batas-
batas etnis. Hal yang dinilai bukan seberapa banyak perbedaan objektif, tetapi
perbedaan mana yang dianggap penting oleh kelompok kepentingan.62 Untuk
membaca persoalan itu, ia merumuskan 4 hal sebuah kelompok bisa mendapat
pengakuan dari kelompok lainnya. Pertama, mampu berkembangbiak, kedua,
60 Manuel Castells, The Information Age : Economy, Society and Culture ; The Power of Identity (Cet. I. United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd., 2010)., hal 6-8.
61 Homi K. Babha, The Location of Culture, (London & New York :
Routledge, 1994), hlm.36.
62 Lihat Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Nining I. Soesilo penerjemah. (Jakarta : UI Press, 1988), hlm. 15.
52
memiliki nilai budaya yang sama, ketiga membentuk jaringan komunikasi dan
keempat menentukan ciri kelompok yang diterima oleh yang lainnya.
Menubuhnya atribut sebagai Bali tidak mampu mencairkan batas-batas
etnisitas dan agama sebagai fakta sosial. Gejala itu terlihat pada prilaku menolak
kehadiran dalam ruang sosial budaya sehingga Bali perantau merasa “asing”.
Melakukan mobilitas vertikal bisa mengatasi persoalan dan alat untuk
mencapainya adalah tanah atau ruang sosial baru. Tanah adalah modal identitas
pertama dan utama yang bisa digunakan untuk mengekspresikan aktivitas kolektif
dan memperagakan praktik-praktik kebalian yang dipersyaratkan. Tanah menjadi
semacam media untuk mempelihatkan penanda-penanda etnisitas itu tetap melekat
sehingga meminimalisasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Berdasarkan situasi di atas dan untuk menjelaskan unsur sinkronik, tesis
ini menggunakan tiga dimensi yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
Dimensi pertama yakni dimensi sosial yang berguna melihat kedudukan tanah
dalam konteks sosial orang Bali perantau dan berguna sebagai alat untuk memutus
rantai kemiskinan. Hanya dengan memiliki tanah mereka bisa melakukan
mobilitas sosial vertikal. Kedua, dimensi budaya dengan memposisikan desa adat
sebagai lembaga yang memiliki otoritas menentukan kebalian. Desa adat adalah
kebutuhan mendesak karena menjadi penghubung dengan segala hal yang
berhubungan dengan pembali-hinduan.63 Menjadi bagian dari adat berarti
memberi pengakuan terhadap kebalian karena di dalam desa adatlah pembali-
63 Ritual ke-“Bali” an merujuk pada siklus kehidupan orang Bali mulai dari dalam kandungan hingga kematian dan hal tersebut menjadi domain desa adat.
53
hinduan itu dilakukan. Ketiga, dimensi mental yakni segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengalaman yang dibatinkan oleh orang Bali dan dijadikan
rujukan pembenar atas segala tindakan terhadap dirinya dan orang lain.
Konsep dan teori di atas dibingkai dengan jenis sejarah yang dianggap
mampu digunakan untuk mengorganisasi tulisan ini supaya tidak keluar dari jalur
penulisan sejarah. Jenis tulisan sejarah yang dianggap paling tepat mengemban
tugas ini adalah sejarah sosial yang dipadukan dengan sejarah mental. Michele
Vovelle menyebut sejarah mental sebagai sejarah ketidaksadaran kolektif yakni
sejarah tentang mentalitas yang pra verbal dan pra refleksif.64 Untuk mencapai
uraian tentang itu, sejarah mentalitas menyediakan dua cara. Pertama, verstehen
yakni jalan untuk memahami karena aktor sejarah adalah manusia yang berpikir
dan merasa. Oleh karena itu harus ditemukan subjective mind, makna subjektif
dan tafsir subjektif yang prosesnya melalui dua tahapan yakni empati ; menyatu
rasa oleh dua pihak antara pemakna dan yang dimakna, dan to relive ; hidup
dalam makna subjektif sehingga bisa memahami cinta, permainan dan
ketakutan.65 Kedua, imajinasi sejarah yakni kamera yang sanggup membuat
gambar seperti aslinya mempunyai kekuatan evocatif, bukan ornamental tetapi
struktural.66
64 Kuntowijoyo, Metologi Sejarah Edisi Kedua, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003), hlm.240.
65 Ibid., hlm. 246.
66 Ibid., hlm. 247.
54
1.7 Metode Penelitian dan Sumber Data
Melihat sifat kajian yang kontemporer sedangkan saksi peristiwa masih
hidup, sumber-sumber primer tesis ini didapatkan dengan melakukan wawancara
terhadap komunitas petani Bali perantau yang bermukim di Bali barat. Demi
menghilangkan kesan formal dan kaku ketika melakukan wawancara, penulis
melakukan observasi partisipatif di lokasi pemukiman.67 Tujuannya adalah
mencairkan jarak kritis yang ditimbulkan antara pewawancara dengan yang
diwawancarai. Untuk meminimalisasi keberpihakan atau empati yang terlalu besar
terhadap objek kajian, penulis juga melakukan wawancara dengan penduduk
setempat dan beberapa pejabat desa sehingga informasi yang didapat berimbang.
Persoalan wawancara yang menitikberatkan pada aktivitas mengingat
sehingga cenderung yang diwawancarai mengeluarkan emosi, perasaan, fantasi
dan bahkan subjektivitas berlebihan serta hanya mampu mengingat hal-hal
penting mengenai diri atau kelompoknya sedangkan masalah lain terlewatkan,
maka hasil wawancara akan dilengkapi dengan sumber-sumber lain dalam bentuk
dokumen tertulis68 atau informasi lain sehingga merestorasi teks ke dalam versi
67 Observasi partisipatif dilakukan dengan cara tinggal di lokasi pemukiman petani Bali perantau selama beberapa bulan serta mengikuti aktivitasnya sehari-hari (baca : biasanya berhubungan dengan aktivitas siklus hidup manusia Bali). Kegiatan itu sudah dilakukan sejak tahun 2011. Data lapangan tambahan didapat pada 2012. Beberapa orang yang memegang jabatan adat seperti ketua banjar adat telah memberikan informasi-informasi memadai terkait dengan tema tesis ini.
68 Lihat Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta : Ombak, 2006), hlm. 73-74.
55
asli untuk membentuk perspektif khusus tentang masa lalu yang dihasilkan oleh
dokumen lisan.69
Sumber tertulis atau informasi lain itu adalah sumber-sumber sekunder
dalam bentuk koran, majalah, catatan administrasi pemerintah, laporan kerja suatu
lembaga dan sebagainya. Sumber-sumber penunjang seperti buku, artikel dan
jurnal didapatkan melalui Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan
Pusat UGM, Perpustakaan Pasca Sarjana UGM, Perpustakaan Asia Tenggara
UGM, Perpustakaan Pedesaan UGM, Perpustakaan Daerah Yogyakarta,
Perpustakaan Daerah Bali, Perpustakaan Gedong Kertya Buleleng, Perpustakaan
Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan KITLV.
1.8 Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I terdiri dari latar belakang
penelitian, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat,
tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode dan sumber, dan sistematika
penulisan.
Bab II membahas proses ketercerabutan petani Bali eks transmigran
Timor Timur dari tanah asalnya. Bab ini dilengkapi dengan transisi politik, sosial,
ekonomi, budaya dan agama di Bali pasca Orde Baru. Selain itu akan dijelaskan
mengenai kondisi geografis, sosial, dan sejarah kawasan Bali barat sebagai
pemukiman baru.
69 Ibid., hlm. 75.
56
Bab III membahas keterasingan petani Bali perantau di tanah asal.
Kehadiran mereka ditolak adat dan menjadi korban dalam peristiwa amuk massa
Bali 1999. Beban masa depan dan rasa malu yang mereka maknai sebagai
“demam panggung” menegaskan diri sebagai rasa bersalah yang dilabelkan oleh
transisi masyarakat Bali karena hubungan-hubungan masa lalu dengan Orde Baru
yang telah tumbang.
Bab IV membahas pergulatan identitas dan respon atas kekalahan petani
Bali perantau di tempat relokasi. Mempertanyakan identitas adalah salah satu
upaya adaptasi dengan lingkungan baru karena ketidakhadiran di masa lalu yang
dilegitimasi oleh tradisi lisan. Benturan antara kemiskinan dan aktivitas
memulihkan identitas menghasilkan prilaku merabas hutan lindung untuk
kebutuhan lahan garapan. Dengan kata lain, prilaku tersebut mengalami benturan
juga dengan konservasi lingkungan.
Bab V merupakan penutup yang memuat kesimpulan penelitian.