BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara ekonomi politik, pasar (tradisional) di Indonesia memegang
peranan yang penting terutama bagi para penguasa, pihak yang memiliki
kepentingan langsung terhadap ekonomi, sosial, politik dan budaya di pasar.
Pasar banyak “diincar” para elit politik di pemerintahan dan partai-partai
politik untuk mencari dukungan, terutama pada saat-saat menjelang pemilu.
Demikian pula bagi kaum pengusaha dalam dan luar negeri, mereka
berkepentingan karena potensi pasarnya yang sangat besar. Pendek kata, pasar
bukan hanya berarti tempat dalam pengertian yang sempit bagi bertemunya
penjual dan pembeli, tetapi juga menjadi tempat bertemunya kepentingan
ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pendek kata, mengapa pasar (tradisional)
penting, adalah karena:
Pertama, dilihat dari sisi besarnya jumlah orang yang terlibat dalam
kegiatan perdagangan skala kecil (ritel) di pasar-pasar tersebut. Merujuk data
Kementerian Perdagangan, jumlah pedagang rakyat (tradisional) saat ini
mencapai 12,6 juta lebih dan menempati lebih dari 13.450 pasar yang tersebar
di Indonesia. Jika ditambah dengan pelaku lainnya (toko kelontong, toko
tradisional, warung, Mom and Pop Store) 5 juta, maka jumlahnya menjadi
17,6 juta. Apabila masing-masing pedagang memiliki 4 anggota keluarga,
maka pasar meliputi 68 juta lebih orang. Selanjutnya jika setiap pedagang
memiliki 5 pemasok (supplier) maka pasar juga meliputi 12 juta dikalikan 5
menjadi 60 juta pelaku usaha (petani atau perajin dari desa). Dari sisi
pelanggan, apabila rata-rata pedagang punya 5 pelanggan rumah tangga/buruh
kecil/miskin maka pasar meliputi pula 12 juta kali 5 pelanggan atau 60 juta
2
rumah tangga/buruh menengah bawah Indonesia. Jadi jika dijumlahkan
seluruhnya, sekurang-kurangnya pasar meliputi kegiatan ekonomi dari 188
juta orang, atau 75% dari penduduk Indonesia (Santosa, 2013).
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pasar-pasar tradisional menurut
menurut catatan statistik berjumlah 284 buah dan menjadi tempat jualan bagi
54 ribu lebih pedagang kecil. Angka-angka tersebut tentu saja belum termasuk
para pemasok/bakul, pekerja informal, tukang becak, buruh gendong, dan
lain-lain. Jika penduduk DIY tahun 2012 adalah 3,5 juta orang, maka
diperkirakan 75 % penduduk atau 2,6 juta orang berkepentingan langsung dan
tidak langsung dengan pasar tradisional di DIY. Di kabupaten Bantul,
berdasarkan catatan Kantor Pengelola Pasar (KPP) kabupaten Bantul
berjumlah 29 pasar dengan jumlah pedagang 12 ribu orang lebih. Tentu angka
itu juga belum termasuk pasar-pasar desa yang dikelola oleh desa atau
komunitas yang letaknya di pedesaan yang umumnya beroperasi berdasarkan
hari-hari pasaran. Apabila jumlah penduduk Bantul 927 ribu orang, maka
pasar menjadi tempat atau ruang yang penting bagi kira-kira 700 ribu orang
penduduk Bantul. Angka yang sangat besar ini tentu menjadi daya tarik bagi
siapapun, elit dan partai politik, anggota DPR, pengusaha dalam dan luar
negeri, elit pemerintah, akademisi, budayawan, dan lain-lain. Demikian ketika
pada era politik sekarang, yang menempatkan kuantitas pemilih sebagai unsur
penting dalam ritual politik demokrasi, ruang “becek, sempit, berbau” di
pasar-pasar tetap menjanjikan peluang bagi jalan menuju kekuasaan.
Kedua, dari sisi pemasok lokal atau produsen dari desa, pasar juga
menjadi saluran rantai pemasaran hasil bumi paling utama. Tidak adanya
ketentuan yang rigid atas dasar kuantitas dan kualitas, menyebabkan pasar
mampu menampung hasil produksi petani berapapun besarnya, mulai dari
hitungan kilogram, kwintal, atau ton, semua bisa masuk pasar. Demikian pula,
tidak perlu standarisasi produk yang butuh biaya besar yang tak mampu
dipenuhinya, petani kecil dapat membawa semua barangnya ke pasar. Ia
3
cukup membawa sekarung sayuran hasil panen dari kebun dengan naik sepeda
ke pasar, ditawarkannya di sana, dan pulang ia sudah mendapat uang untuk
keperluan lain. Tidak dibutuhkannya keahlian khusus karena sifat informalitas
dalam tata cara jual beli di pasar menyebabkan sektor perdagangan kecil ini
menjadi alternatif bagi masyarakat kelas bawah dalam penyediaan lapangan
pekerjaan. Kalau perlu, ia cukup datang hanya membawa tenggok, menjual
jasa membawakan dagangan dari penjual atau pembeli, ia sudah bisa pulang
membawa uang untuk keperluan anak atau keluarganya. Menyempitnya lahan
pertanian di desa sementara waktu mereka yang masih longgar, dapat
digunakan untuk mengais rejeki di pasar-pasar, sebagai alternative lain dari
pekerjaan buruh bangunan di perkotaan. Oleh karenanya menurut data
statistik, pasar juga menempati sektor kedua penyerap tenaga kerja nasional
setelah pertanian.
Ketiga, bagi pelanggan atau konsumen, pasar tradisional masih
menjadi tumpuan atau andalan tempat belanja murah bagi masyarakat,
umumnya bagi rumah tangga menengah ke bawah berpendapatan kecil.
Dengan sedikit uang, mereka masih dapat memperoleh beberapa barang untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Memang dibutuhkan kejelian dan
keahlian menawar agar barang-barang yang diperoleh sesuai dengan yang
diinginkan dengan uang terbatas. Bahkan kalau terpaksa tidak ada uang, ia
bisa ngebon (utang) dulu ke pedagang yang sudah lama diakrabinya.
Keempat, bagi pemerintah yang berkepentingan untuk menjaga agar
stabilitas ekonomi dapat terkendali, pasar-pasar juga penting bagi sarana atau
instrumen untuk pengendalian stabilitas harga-harga, sumber informasi
penting terutama menyangkut stabilitas harga-harga pangan, seperti beras,
gula, dan sembako lainnya. Operasi pasar juga sering dilakukan di pasar-pasar
tradisional. Jika pendapatan asli daerah (PAD) dianggap pencerminan
kemandirian daerah, maka retribusi pasar merupakan andalan pendapatan
utama di beberapa daerah.
4
Kelima, secara sosial budaya, pasar tradisional juga menjadi tempat
kumpulan orang-orang kecil (smallholders) yang mandiri, sumber inspirasi
masyarakat dalam berwirausaha, berkreasi, dan berproduksi dengan modal
sendiri, serta menjajakan produk melalui interaksi tawar menawar baik skala
“grosiran” kecil. Informalitas menjadi penanda utama bangun usaha mereka.
Metode pembayaran umumnya jual beli langsung, “ada uang, ada barang”.
Mencermati modal finansial yang digunakan pedagang, mayoritas pedagang
tidak mengandalkan bank karena petugas sering menganggap mereka tidak
layak bank (unbankable). Tentu ada perkecualian, karena sejak
dikembangkannya kredit usaha kecil oleh pemerintah atau cabang bank yang
berkantor di kios beberapa pasar yang tergolong besar atau mereka yang
memiliki agunan, mulai mengenal dan memanfaatkan pembiayaan bank.
Namun mayoritas pedagang jarang yang bisa mengakses layanan lembaga
keuangan formal ini. Survei di 15 pasar di DIY tahun 2012, menunjukkan
bahwa 66,4% pedagang menggunakan modal sendiri, 14,8% meminjam
modal di bank, 4% meminjam ke koperasi, 2,7% meminjam kepada rentenir,
dan 12,1% menggunakan modal konsinyasi (LOS DIY, 2012).
Akhir-akhir ini pasar tradisional mengalami “ancaman” serius
perubahan cepat yang mempengaruhi keberadaan jutaan pedagang bese rta
mereka yang menggantungkan penghidupannya di pasar. Ancaman itu berupa
penetrasi masif toko-toko modern skala dunia (supermarket, hypermarket)
maupun menjamurnya minimarket-minimarket berjejaring. Kehadiran pasar
modern telah dapat menggerogoti pangsa pasar. Kebijakan liberalisasi
ekonomi di sektor perdagangan ritel di awal periode reformasi, telah
menumbuhkan pemain ritel (eceran) baru bermodal besar yang bak menjamur
tumbuh di musim hujan, tumbuh subur di mana-mana. Dalam kurun waktu
yang tidak terlalu lama, pedagang kecil menurun omsetnya, sementara pasar
modern mengalami peningkatan omset berlipat-lipat. Banyak studi
mengungkapkan perubahan itu, salah satu studi yang banyak dijadikan
5
rujukan adalah survey AC Nielsen. Surveinya mengungkap pangsa pasar
pusat perbelanjaan dan ritel modern di Indonesia mengalami peningkatan dari
35% pada tahun 2000, menjadi sebesar 53% pada tahun 2008. Sebaliknya,
omset ritel tradisional menurun dari 65% tahun 2000, menjadi hanya 47% di
tahun 2008 (KPPU, 2009). Kondisi ini misalnya dirasakan oleh pedagang
pasar tradisional di DKI Jakarta yang menurun 60%, di Malang menurun
30%, dan Bandung menurun 40%. Menjamurnya supermarket, minimarket,
dan midi-market juga dirasakan dampaknya oleh para pemasok (bakul) dalam
negeri, distributor lokal, warung-warung kelontong lokal, termasuk pekerja
informal di pasar-pasar (LOS-DIY, 2011).
Pada dimensi yang lain, implikasi dari fenomena di atas juga dirasakan
berdampak kepada kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Sebagaimana
dinyatakan Zuhal, ekspansi ritel modern merupakan satu indikasi stagnasi
sosial jika dilihat dari jenis dan asal produk yang diperdagangkan. Ritel
modern selama ini lebih merupakan etalasi distribusi pabrikan besar yang
dikuasai oleh pemodal besar, termasuk sebagian besar dikuasai (dimiliki)
pemodal luar negeri. Sekalipun pasar jenis ini mampu mendatangkan omset
ratusan trilyun per tahun, ritel-ritel modern tersebut, menurut mantan
Menristek Kabinet Reformasi ini, lebih merupakan fenomena “bubble
economy”. Ia tidak dapat digunakan untuk mengukur produktitas, inovasi,
kemajuan, dan kesejahteraan sebuah bangsa dengan melihat kondisinya
sekarang. Ia juga menyatakan bahwa kegiatan bubble economy, seperti
menjamurnya mal-mal megah, pasar swalayan, hypermarket, rumah makan
cepat saji hingga ke desa-desa, hanya menumbuhkan budaya konsumtif yang
pada gilirannya melemahkan modal sosial masyarakat kita. Campurtangan
pemerintah karenanya perlu dikembangkan untuk menumbuhkan prakarsa
individu/UKM berjiwa entrepreneurship, yaitu sebuah kebijakan
perekonomian rakyat yang dapat menumbuhkan budaya produktif dengan
berbasis kepada ilmu pengetahuan dan teknologi (Zuhal, 2010:42).
6
Di beberapa negara maju (negara produsen) seperti Inggris, Jepang,
dan Korea Selatan, dan lain-lain, pemerintahnya sangat membatasi ekspansi
ritel modern dari luar yang melemahkan budaya produksi sekaligus mengikis
modal sosial. Di negara tersebut ada pembatasan penguasaan asing di sektor
ritel dengan penguasaan pangsa pasar 1 sampai 3 persen. Sedangkan di
Indonesia, penguasaan pangsa pasar ritel asing dan perusahaan besar justru
mencapai di atas 13 persen sehingga tidak ada perlakuan yang adil bagi
pedagang kecil (Santosa, 2011).
Jika dilihat masa yang lebih lampau, fenomena pertarungan antara
kekuatan penetrasi “pasar modern” terhadap “pasar tradisional”, sebenarnya
bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Akar kehadiran kekuatan pasar
modern telah dimulai pada awal lahirnya Orde Baru yang ditandai dengan
diterbitkannya UU PMA No. 1 Tahun 1967. Liberalisasi “awal” tahun 1967
maupun liberalisasi “lanjutan” pada penghujung abad 20, sama-sama
didahului krisis ekonomi dan adanya pergantian rejim penguasa. Kurang lebih
sama, argumentasi yang dibangun untuk membenarkan kebijakan liberalisasi
tersebut, bahwa masuknya investasi (asing) dari luar merupakan suatu
keharusan yang tak terelakkan dalam pembangunan karena investasi akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja atau
mengurangi pengangguran. Gagasan ini mendominasi orientasi pemikiran
para elit pengambil kebijakan di pemerintahan, termasuk dalam hal sektor
perdagangan. Sejak diterbitkannya UU tersebut, dari tahun ke tahun
investasipun meningkat, dan pertumbuhan ekonomi pun mengalami perbaikan
seiring dengan masuknya investor asing di kedua era tersebut. Sekalipun data
empiris BKPM menunjukkan bahwa 70% modal asing dan lokal hanya
mampu menyerap 10-16% angkatan kerja. Sedangkan ILO memaparkan 65%
penduduk Indonesia bergiat di sektor informal, hanya 35% yang bekerja di
sektor formal (Santosa, 2009). FAO menunjukkan bahwa jika pada tahun
1990an penguasaan pasar oleh pasar modern atas ritel makanan masih sangat
7
tipis, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi 30%, atau meningkat
sebesar 15% per tahun. Sementara pangsa pasar ritel tradisional hanya
meningkat 5%. Proyeksi FAO misalnya, pada tahun 2010, supermarket akan
menguasai lebih dari 50 persen pangsa ritel makanan di Indonesia (Mudrajat,
2008).
Yang membedakan antara pemerintah Orde Baru dan Orde Reformasi
adalah dalam hal struktur pemerintahannya, yakni antara pemerintah
sentralistik dan pemerintah desentralisasi. Dalam pemerintahan sentralistik,
segala keputusan menyangkut ekonomi politik perdagangan diputuskan di
level pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya melaksanakan
apa yang sudah diputuskan tersebut. Sedangkan pada era otonomi daerah, ada
pelimpahan wewenang kepada daerah untuk melakukan improvisasi kebijakan
secara otonom (Suyatna, 2012). Meskipun demikian, hubungan
ketergantungan antara pemerintah daerah kepada pemerintah pusat tetap
sangat besar. Desentralisasi keuangan dan fiskal misalnya, tidak mampu
mendorong pemerintah daerah untuk secara otonom membangun sistem pasar
sesuai yang diinginkan daerah.
Fenomena menjamurnya pusat perbelanjaan, supermarket, yang
memarjinalisasi pasar tradisional ternyata juga dialami oleh negara-negara
lain di Asia seperti Thailand, Philiphina, India, Vietnam, China, Bangladesh,
Jepang, dan lain-lain. Seorang antropolog asal Jerman, Kirsten W. Endres
misalnya, menyatakan bahwa dalam dua dekade terakhir ini, pasar
(marketplace) sebagai tempat berlangsungnya pertukaran ekonomi, sosial, dan
budaya, makin menarik bagi para antropolog ekonomi untuk memperbaharui
minat mereka1. Dalam studinya di Vietnam, ia mengungkapkan bahwa:
“runtuhnya komunisme telah melepaskan gelombang pasang bagi pedagang
1 Kirsten W. Endres, “Traders, Markets, and the State in Vietnam: Anthropological
Perspectives”, ASEAS – Austrian Journal of South-East AAsian Studies, 6(2), 356-365.
8
antar-jemput lintas batas skala kecil dan memberikan kontribusi terhadap
menjamurnya pasar pasca-sosialis (bazaar) yang telah sejak (lama) mengalami
berbagai bentuk regulasi negara. Kebijakan baru sejak tahun 2000 dikeluarkan
di bidang perencanaan jaringan distribusi, peraturan tentang pasar-publik,
privatisasi dalam pembangunan kontruksi pasar untuk memperbaharui atau
merenovasi pasar lama. Di ibukota Hanoi, sejumlah pasar ritel publik
dihancurkan dan membangun kembali menjadi pusat perdagangan yang
dilakukan oleh kontraktor swasta. Akibatnya, banyak pedagang pasar skala
kecil, setelah bertahun-tahun berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
di pasar sementara menunggu relokasi. Dan kini mereka menghadapi
konsekuensi dari tarif bulanan yang lebih tinggi, kondisi spasial yang tidak
cocok, dan hilangnya pelanggan.
Hal yang sama juga dialami banyak negara lain di Asia. Di China dan
India misalnya, oleh para kritikus menyatakan bahwa jaringan supermarket
menggunakan isu “ketahanan pangan” sebagai kedok untuk menyingkirkan
fresh market lokal. Demikian pula di Filipina, undang-undang dan peraturan
didorong untuk memprivatisasi pasar tradisional dengan kedok melakukan
pembangunan atau revitalisasi pasar. Pendek kata, privatisasi telah mendorong
banyak pemasok kecil tidak bisa masuk pasar sehingga membatasi akses
mereka terhadap konsumen (Grain, 2014)
Isu-isu lain tentang pasar yang sering mengemuka di Indonesia dan
juga di berbagai negara tersebut adalah ketidakpuasan dan penolakan
pedagang yang menyertai upaya-upaya pembangunan atau pemugaran
bangunan pasar oleh pemerintah. Banyak program revitalitasi pasar yang
berakhir dengan penolakan pedagang untuk menempati pasar baru, yang
notabene tidak lagi kumuh seperti sebelumnya. Di Klaten, Jawa Tengah, ada
pasar yang sudah dibangun kembali, tetapi pedagang tidak mau menempati
dan lebih memilih di tempat relokasi. Bahkan seringkali para pedagang sejak
awal merasa takut dan menolak pasarnya hendak di-revitalisasi. Seolah “niat
9
baik” pemerintah tidak direspon positif, tetapi sebaliknya justru ditanggapi
dengan sikap menolak. Namun biasanya dalam banyak kasus, rencana tetap
dilaksanakan pemerintah dan bangunan pasar harus dipugar sesuai rencana.
Sikap protes dan menolak dari pedagangpun akhirnya sirna. Pasar barupun
kembali beroperasi dan ramai meskipun “lebih banyak pedagangnya
dibanding pembeli”.
Dapat disimpulkan bahwa penetrasi supermarket dan minimarket,
tidak hanya berkaitan dengan isu hubungan pertukaran ekonomi antara
penawaran dan permintaan barang dan jasa dalam masyarakat. Pasar-pasar
dalam kasus di atas juga dipengaruhi oleh pola relasi dengan struktur dan
supra struktur ekonomi politik yang di dalamnya terdapat kekuatan yang
mampu mempengaruhi berjalannya pasar. Pasar dalam hal ini tidak bersifat
otonom sebagaimana dipikirkan pada awal terbentuknya. Perkembangan pasar
tradisional dari masa ke masa nampak selalu berada pada posisi yang
tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan dari lingkungan eksternal. Selain
itu, tidak ada atau belum ada suatu “model” pengembangan pasar (tradisional)
yang dapat dijadikan acuan selain model pasar modern yang bersifat
kapitalistik. Revitalisasi pasar yang banyak dilaksanakan selama beberapa
tahun akhir-akhir ini dapat dimaknai sebagai privatisasi pembangunan
konstruksi pasar.
Model pengembangan pasar tradisional senantiasa menjadi subordinasi
dalam setiap kebijakan sektoral lainnya. Pengembangan pasar selalu dikaitkan
dengan tema di luar “kepentingan” pengembangan pangsa pasar itu sendiri,
seperti program pengembangan “pasar sehat/higienis” oleh kementerian
kesehatan, “pasar wisata” oleh kementerian pariwisata, “pasar desa” oleh
kementerian dalam negeri, dan lain-lain. Demikian pula kepentingan birokrasi
pemerintah kabupaten pada era otonomi daerah yang “mengambilalih”
pengelolaan pasar yang semula dikelola oleh komunitas atau oleh pemerintah
desa, menempatkan pelaku pasar tradisional dalam kerangka subordinasi dari
10
kepentingan di luar pasar, serta tidak berkaitan langsung dengan kondisi dan
permasalahan struktur perdagangan atau kelembagaan pasar. Dalam pada itu,
permasalahan mendasar seperti adanya dominasi dan ketergantungan pada
oligopsonis pasar yang memperlemah pemasok pasar tradisional dan
pedagang kecil, dominasi ketergantungan pada produk pabrikan, dominasi
pemerintah dan kekuatan di luar pasar tradisional yang melemahkan aspek
pengelolaan pasar, informasi asimetris yang berlangsung di pasar, dan lain-
lain, tidak pernah menjadi bahan permasalahan dalam kajian tentang pasar
tradisional (PUSTEK, 2013).
Isu menarik lain menyangkut pasar adalah ketika pasar dijadikan
“obyek” bagi kepentingan politik pada saat menjelang pemilihan umum. Di
masa kampanye, banyak calon pemimpin berbondong mendatangi pasar-
pasar. Mereka ingin memberi kesan kepada pemilih bahwa mereka dekat
dengan rakyat kecil yang ada di pasar. Di pasar-pasar mereka memang dapat
menemui banyak pedagang kecil atau pelaku ekonomi rakyat, yang sangat
dibutuhkan kala ada pemilu lima tahunan. Seiring dengan itu, ada pula
motivasi para calon pemimpin yang pergi ke pasar-pasar, yakni agar ia
dikenal atau dikesankan “dekat dengan pasar” (market friendly). Yang
terakhir ini tentu berbeda makna simboliknya secara politis.
Kabupaten Bantul adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang saat
ini tengah mengembangkan pasar-pasar tradisional di wilayahnya. Yang
menarik dari Bantul adalah ketika Bupati menyatakan penolakannya terhadap
pendirian mall, supermarket, atau pusat perbelanjaan. Di tengah kebijakan
pusat yang cenderung mengucapkan selamat datang kepada perkembangan
pusat-pusat perbelanjaan dan toko modern yang menjamur melalui ritel
modern berjejaring, statement Bupati tersebut cenderung “melawan arus” dan
kerenanya tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Namun banyak yang
melihat ini sebagai strategi atau cara untuk mencari popularitas dan dukungan
secara politik. Di lain pihak, sikap menolak pendirian mall dan supermarket,
11
tidak diiringi juga dengan penolakan terhadap menjamurnya toko-toko ritel
modern berjejaring. Menurutnya, “membatasi keberadaan pasar modern bukan
berarti mematikan pasar modern, namun, keberadaan mereka ditekan hingga
titik tertentu. Minimarket di Bantul dibatasi hanya sampai 87 buah (Kompas,
18/6/09). Meskipun dibatasi, tampaknya Bantul tetap tidak mampu
membendung, karena jika dibandingkan dengan kabupaten/kota di DIY,
angka minimarket/waralaba di Bantul adalah yang paling besar ketimbang
kabupaten.kota di DIY. Demikian, kepentingan pemimpin local dan penetrasi
pasar modern, menjadi hal yang menarik untuk dijadikan bahan dalam
penelitian ini.
1.2. Rumusan Masalah
Pasar dalam negeri dari masa ke masa selalu menjadi obyek bagi
kepentingan di luar pasar dan atau menempatkan dalam subordinat
kepentingan ekonomi politik dari luar pasar. Fenomena tersebut juga nampak
makin mengemuka pada dasawarsa terakhir ini. Diawali oleh krisis ekonomi
1998 dan memunculkan gerakan reformasi serta terjadi pergantian rezim
penguasa yang mengubah orientasi dalam kebijakan ekonomi menyangkut
pasar. Perubahan itu ditandai dengan pencabutan pembatasan kepemilikan
asing melalui Keputusan Presiden No. 118 tahun 2000, tentang Bidang Usaha
Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu
Bagi Penanaman Modal.
Kebijakan itu dikenal dengan pencabutan Daftar Negatif Investasi
(DNI) sektor perdagangan ritel, yang semula dicadangkan bagi pemain dalam
negeri. Pada awalnya ritel internasional melakukan penetrasi di perkotaan,
namun dalam perkembangannya peritail besar itu masuk juga ke wilayah
perdesaan melalui pendirian minimarket-minimarket. Bahkan jaring-jaring
kecil juga mereka tebar melalui midi dan sales motorcycle. Kedua, pada arena
12
kebijakan, peran negara yang menyusut di satu pihak, justru menguatkan
peran mekanisme pasar dalam pengambilan kebijakan. Kepentingan rakyat
pada kondisi ini berada pada subordinasi kepentingan elit pengusaha atau elit
pemerintah. Fenomena elit politik yang pada era ini lebih banyak berasal dari
latar belakang pengusaha, menjadi salah satu indikasi adanya dominasi
kepentingan swasta dalam arena kebijakan. Beberapa permasalahan
menyangkut “APBD Pro rakyat” menjadi banyak dipertanyakan. Dalam kasus
di pasar-pasar, muncul pula isu “mafia pasar”, dalam hubungannya dengan
banyaknya proyek APBN dan APBD untuk proyek revitalisasi pasar
tradisional. Kalau dipertanyakan siapa yang paling mendapat untung dari
adanya proyek revitalisasi, maka muncul jawaban sarkastik, “yang paling
diuntungkan adalah perusahaan kontraktornya”.
Ketiga, pada arena institusi pembentukan harga di pasar, dominasi
perdagangan skala besar juga makin mendorong munculnya oligarki di pasar-
pasar. Arena pasar yang semula berfungsi sebagai saluran atau etalase bagi
ribuan atau jutaan produsen skala kecil, kini tidak lagi. Jika para era
sebelumnya institusi negara banyak ikut campurtangan dalam penentuan
harga, terutama dalam kepentingannya menjaga stabilitas harga, kini
fenomena harga menjadi makin fluktuatif dan dominannya oligarki produsen
skala besar cenderung bisa mempermainkan harga untuk mengambil
keuntungan sebesar-besarnya.
Keempat, peran organisasi sosial pedagang dalam arena pasar yang
didominasi kepentingan di luar pasar lebih banyak yang tertinggal dan
tersubordinasi dengan kepentingan luar pasar. Kepentingan asosiasi pedagang
pasar cenderung terkooptasi oleh kepentingan luar pasar, atau bahkan menjadi
pemberi legitimasi meskipun tidak menguntungkan bagi pedagang secara
kolektif. Kelemahan yang ada pada asosiasi/paguyuban justru dimanfaatkan
oleh pihak lain untuk semakin menancapkan pengaruh kepentingan ekonomi,
sosial, dan budaya dari pihak non-pedagang. Sementara koperasi pedagang
13
pasar yang selama ini lemah, karena di masa Orde Baru dimanfaatkan untuk
kepentingan politik penguasa, saat ini secara organisasi juga sangat lemah,
tidak mampu mengemban misi awalnya, di antaranya member solusi atas
permasalahan rentenir yang menjerat pedagang. Pendidikan anggota koperasi
juga tidak berkembang dalam meningkatkan sumber daya pedagang.
Kelima, last but not least, masalah penguasaan ilmu pengetahuan dan
inovasi-inovasi teknologi para pedagang yang lamban, sementara tempat
memproduksi ilmu pengetahuan dan keahlian bisnis ada di lingkungan
terdekat pasar. Sebagai contoh simboliknya adalah koperasi “Rukun Agawe
Santoso” di pasar Kranggan, yang berlokasi di tengah pusat peradaban dan
kota pendidikan. Koperasi yang berdiri sejak lebih dari 15 tahun lalu, kini
melayani simpan pinjam untuk 600 anggota dengan besaran pinjaman 1-3
juta. Koppas yang sehari-hari dikelola oleh 2 orang pengurus tersebut, masih
menggunakan pencatatan manual ala tata buku klasik. Ketua pengurusnya
tidak mengalami perubahan sejak berdirinya. Sementara kantor koperasi
dengan ruang sempit berada di bawah tangga di depan pasar, seolah
menggambarkan posisinya yang selalu terinjak oleh kepentingan lalu-lalang
orang atau lembaga dalam mencari keuntungan di pasar.
Berangkat dari kondisi-kondisi dan permasalahan di atas, penelitian ini
berupaya mengkaji permasalahan pengaruh dominasi elit ekonomi politik
dalam dinamika proses pengembangan pasar rakyat atau pasar tradisional.
1.3. Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan untuk mengkaji proses dan dinamika dalam
pengembangan pasar-pasar rakyat pada era desentralisasi dan otonomi daerah.
Proses dan dinamika pengembangan pasar sering memunculkan berbagai
pertentangan dan perbedaan kepentingan antara pengambil kebijakan maupun
mereka yang terkena dampak dari kebijakan itu. Salah satu kebijakan penting
14
yang diangkat dalam studi ini adalah “revitalisasi pasar”. Selain itu studi ini
berupaya mengungkapkan apakah kebijakan tersebut memiliki
“keberpihakan” terhadap upaya untuk benar-benar mengangkat kepentingan
sosial ekonomi para pedagang kecil, ataukah sebaliknya hanya sekedar
mengikuti arus kecenderungan di lingkungan nasional dan global berikut
kepentingan-kepentingannya.
Lokasi penelitian ini dilakukan di kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Adapun pasar tradisional yang dipilih dalam penelitian ini adalah
pasar Imogiri. Ada beberapa hal menarik tentang kabupaten Bantul dan pasar
Imogiri terkait fenomena menjamurnya pasar modern di Indonesia. Pertama,
melalui Bupati, pemerintah kabupaten Bantul menyatakan menolak daerahnya
didirikan Mall, Supermarket atau Hypermarket. Namun demikian, daerahnya
tidak anti terhadap investor, bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal, “saya
bersedia “ngelapi” membersihkan sepatunya, bagi investor yang masuk ke
Bantul”. Kedua, Bantul juga dikenal dengan daerahnya sentra-sentra pertanian
rakyat dan industri kecil. Pertanian dan perdagangan menyerap lebih dari
separo tenaga kerja di wilayah itu. Oleh karenanya secara politik dan sosial
budaya, kondisi tersebut sangat penting sebagai basis bagi kepemimpin
daerah. Kontradiksi antara kepentingan pasar modern dan pasar tradisional
dapat menjadi dilemma bagi para pemimpin dalam meraih dukungan. Ketiga,
keberhasilan gerakan pedagang pasar Imogiri dalam “menolak” kehadiran
pasar modern di dekat lokasi pasar. Melalui pendekatannya kepada
pamerintah kabupaten Bantul, toko modern yang semula telah berdiri di depan
pasar pada akhirnya ditutup atas desakan pedagang pasar.
Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kondisi usaha, permasalahan pedagang, dan peluang
pengembangan pada era kebijakan libaralisasi pasar ritel
15
2. Mengkaji dan menggambarkan berbagai regulasi yang ada terkait
penataan dan pembinaan pasar di lingkup nasional dan daerah
3. Menggambarkan kedudukan pedagang, asosiasi pedagang, dan
dinamika implementasi kebijakan penataan dan pembinaan dalam
upaya pengembangan pasar tradisional
1.4. Tinjauan Pustaka
1.4.1. Peran Negara di Pasar dari Masa ke Masa
Dalam studi sejarah peradaban, pasar-pasar secara historis-sosiologis
tumbuh “dengan sendirinya” seiring dengan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Kehadiran pasar dimulai ketika individu atau keluarga
berkembang dari kondisi awal subsistensi, menuju pada kondisi sudah tidak
lagi berdiri sendiri meskipun masih bisa tetap mandiri. Individu atau keluarga
mulai berhubungan dengan pasar baik untuk menjual hasil produksinya
maupun untuk membeli berbagai sarana produksi yang dibutuhkan. Dalam
situasi itu, pasar menjadi tempat bertemunya antara penjual dan pembeli
setelah masyarakat mulai berkembang. Pasar berkembang secara alamiah
dalam masyarakat manapun tanpa aturan negara atau pemerintah. Pendek
kata, pasar dalam pengertian asli, ada dan berkembang karena kebutuhan
ribuan individu atau perorangan yang semuanya dapat dikatakan berbeda,
tidak ada yang persis sama atau serupa (Mubyarto, 2000:118).
Hingga kini keadaan pasar masih menunjukkan ciri dan karakteristik
awalnya antara lain melalui penyebutan nama-nama pasaran (di Jawa), Pon,
Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Di Kalimantan, “pasar apung” juga masih dapat
kita lihat di beberapa tempat di hilir sungai-sungai di sekitar perkampungan
penduduk. Di Sumatera, kota Bukittinggi berkembang sebelum era kolonial
bermula dari sebuah pasar. Selain itu, pasar tradisional juga dapat dikenali
dari barang-barang yang dipasarkan, yang pada umumnya adalah hasil
16
pertanian dan industri kecil yang diproduksi di lingkungan sekitar pasar yang
bersangkutan. Pasar tumbuh sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat, bukan dibentuk by-design. Jika di awal mereka tidak terorganisir,
namun seiring dengan perkembangan waktu dan jumlah peserta yang
bergabung, mau tidak mau harus menjalankan semacam norma dan aturan
yang terbentuk dan melembaga. Didukung oleh perkembangan sistem sosial
budaya yang ada atau terbentuk di wilayah tersebut, termasuk masuknya
sistem budaya lain karena adanya perkembangan sistem pertukaran dengan
“orang luar”, akhirnya menghasilkan bentuk komunitas pasar yang “unik”.
Pasar merupakan wilayah “publik”, sehingga berbagai aturan diputuskan ala
pasar berdasarkan dialektika yang berkembang sepanjang waktu. “Jasa” yang
ditawarkan pemerintah setempat kepada pasar biasanya mencakup tanah,
pengelolaan bangunan, air, penerangan, sampah, dan lain-lain.
Di era setelah terbentuknya “negara”, birokrasi pemerintahan
tradisional (kerajaan) dan modern mulai terlibat langsung atau tidak langsung
dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pasar. Di mulai dari pemerintah
dusun/desa, karena kewenangannya untuk membentuk ketertiban, campur
tangan mereka makin lama makin besar. Mereka menetapkan “peraturan” dan
menarik “pajak/retribusi”, serta mengupayakan agar pasar komunitas berjalan
dengan tertib sesuai peraturan dan norma-norma yang ada di desa. Di desa,
pasar biasanya menempati tanah bersama (the common) atau tanah “kas desa”,
yang berarti “milik” seluruh rakyat, atau setidaknya, keputusan menyangkut
tanah desa diputuskan melalui mekanisme demokrasi yang berkembang di
desa, bukan atas kepentingan pribadi-pribadi atau privat. Pada awalnya
pemerintah setingkat desa berupaya menfasilitasi pasar dengan menyediakan
tanah desa termasuk beberapa fasilitas yang mendukung terselenggaranya
pasar. Untuk “jasa”nya itu pemerintah memungut iuran dan uang jasa, agar
penyelenggaraan pasar dapat berlangsung dengan kontinue, tertib, dan aman.
17
Infrastruktur juga disediakan seperti air, tempat sampah, dan keamanan, kalau
perlu pemerintah menugasi jajarannya dengan gaji/upah tertentu.
Pada era itu pula, dikenal juga pasar khusus atau pasar rojokoyo, yang
dikelola oleh desa untuk tempat berdagang hewan-hewan atau ternak. Ada
pula pasar ikan di daerah-daerah pesisir. Dalam perkembangannya, birokrasi
pemerintah kabupaten, yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih
besar, juga berkepentingan agar pasar juga semakin berkembang. Terutama
pada era otonomi daerah, pemerintah kabupaten berlomba untuk dapat
meningkatkan “pundi-pundi” kas daerahnya. Dalam banyak kasus, perbedaan
kepentingan antar pemerintahan desa dan pemerintahan di atas desa, sering
juga menimbulkan persoalan tarik-menarik kepentingan di antara keduanya.
Demikian pula pada era globalisasi sekarang ini, perbedaan kepentingan
antara pedagang dan birokrasi pemerintahan yang secara normatif bertugas
menjaga eksistensi pasar, seringkali berujung kepada pola hubungan yang
kurang harmonis. Kepentingan pedagang pasar dalam mengembangkan usaha
dagangnya untuk kesejahteraan keluarga mereka, seringkali berbenturan
dengan kepentingan pengelola dan penguasa atas nama negara di pasar-pasar
tradisional.
Dalam sistem dimana negara yang berperan sangat dominan, segala
sesuatu direncanakan secara terpusat seperti Vietnam atau Uni Soviet sebelum
“bubar” misalnya, sistem pasar juga tetap berkembang. Yang “direncanakan
dan diatur” secara terpusat oleh negara sebenarnya (atau seharusnya secara
teoritis) terbatas pada besaran-besaran perencanaan indikatif makro
(indicative planning) khususnya investasi yang menyangkut kepentingan
masyarakat banyak. Perubahan sosial yang masif pada abad 20, telah
membawa transformasi yang tidak diharapkan. Sistem komunis menghentikan
perencanaan sentral bagi ekonomi mereka dan mencoba mengembangkan
sistem pasar. China membebaskan petaninya untuk memproduksi dan menjual
untuk keuntungan (sell for profit) ketimbang menjalankan instruksi dari
18
negara. Selain itu, China maupun Soviet juga membebaskan industri mereka
dari “belenggu” sistem target yang ditetapkan negara (Lindblom, 2001:1).
Jauh-jauh hari lebih awal, negara-negara demokrasi di Eropa Barat,
kaum sosialisnya telah meninggalkan permusuhan ideologis tradisional
mereka dengan sistem pasar. Bahkan sebaliknya, kaum sosialis di Perancis,
Italia, dan Inggris, menganjurkan sistem pasar jenis baru, perusahaan negara
bercorak swasta. Tapi sebagaimana dinyatakan Lindblom, kondisi ini tidak
lama, mereka mulai kembali lagi akrab dengan perusahaan swasta kapitalis,
sementara aspirasi sosialis mereka difokuskan pada program redistribusi dan
sosial melalui welfare state. Demikian pula Partai Buruh di Inggris akhir-
akhir ini, mereka tidak banyak bicara tentang perusahaan negara tetapi dengan
“jalan ketiga”, suatu istilah/cara yang tidak jelas tetapi dalam banyak kasus
memalukan sistem pasar (Lindblom, 2001).
Gambaran yang terlalu eropasentris di atas tentu problematis jika
harus dipakai untuk menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Setelah Indonesia merdeka di masa Orde Lama, pola negara memang tampak
seperti mendominasi sistem pasar, sehingga segala upaya dilakukan untuk
menciptakan iklim agar sistem pasar yang berkembang di negara bekas
jajahan ini sesuai dengan arah yang dirancang secara makro dengan target-
target tertentu. Berbagai kebijakan dan program menyangkut sistem pasar di
Indonesia diarahkan secara “terpimpin”, perusahaan negara dirancang agar
berperan tidak hanya berfungsi sebagai perusahaan dengan manajemen ala
pasar, tetapi juga diharapkan dapat berperan sesuai rancangan makro tertentu
berdampak pada perbaikan sistem dengan indikatif terukur.
Banyak studi yang dilakukan untuk menjelaskan tentang implikasi
surutnya peran negara dalam sistem “pasar tradisional”, khususnya yang
terjadi pada satu dasawarsa terakhir. Seperti yang dilakukan Endres dan
beberapa antropolog dari Jerman, menyatakan bahwa berbagai perubahan
terjadi di pasar-pasar tradisional (marketplace), tempat terjadinya pertukaran
19
ekonomi, sosial, dan budaya, telah menarik kembali perhatian para ahli
antropolog ekonomi untuk melakukan penelitian dan investigasi. Dimulai
dengan terjadinya “krisis-krisis ekonomi” di berbagai belahan bumi, di
negara-negara maju maupun berkembang, yang seolah “memaksa”
pemerintahan-pemerintahan dan masyarakat untuk menyesuaikan diri dan
melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam regulasi menyangkut pasar-pasar
di negaranya masing-masing. Di negara-negara komunis, muncul fenomena
menjamurnya pasar “post-sosialis” yang sejak lama mengalami berbagai
bentuk regulasi negara. Di tempat lain, ada juga pasar tradisional (traditional
marketplace), yang dipromosikan untuk memuaskan turis-turis dari Barat
untuk menjelajahi pengalaman di pasar yang otentik (Endres, 2013: 356).
Bahkan di tempat lain dengan konteks yang berbeda, banyak negara –
termasuk Indonesia, yang seolah ingin mengganti dengan supermarket
modern atau shopping malls, atau ada pula mengganti sebutan “pasar
tradisional” dengan “pasar semi-modern”. Sebaliknya, ada yang berbeda
tentang apa yang terjadi di negara-negara post-sosialis dan negara-negara di
Asia, para perencana di Barat justru sekarang ini punya minat dan perhatian
besar pada upaya untuk mendorong pengembangan pasar-pasar komunitas,
meningkatkan atau memperluas kehidupan publik, dan meningkatkan
hubungan masyarakat (Endres, 2013).
Apabila penelusuran tentang pasar tradisional ditarik ke belakang,
beberapa penjelasan dapat ditarik dari perjalanan sejarah perkembangan
negara. Beberapa studi menyangkut sejarah pasar misalnya dimulai dari
terbentuknya negara kerajaan feodal maupun negara modern, dimana pasar
mengalami pelembagaan dengan corak tertentu dan perkembangan sesuai
dengan kondisi lingkungan negara yang terbentuk pada masa itu. Dalam
periode itu, pasar bisa dianggap sebagai bukan lahir alamiah, tapi bisa pula
dibentuk by design, atau merupakan gabungan antara kepentingan negara dan
kepentingan pasar “lokal”. Pengaturan tata-kota juga menempatkan bangunan
20
pasar pada tempat yang khusus, dilengkapi fasilitas-fasilitas pendukung,
termasuk mempertimbangkan arus transportasi, dan lain sebagainya. Interaksi
di pasar mulai “diatur” atau dirancang sedemikian rupa oleh otoritas untuk
menjaga ketertiban seperti melalui penciptaan administrasi pemerintahan
urusan pasar hingga mengangkat lurah pasar sebagai kepanjangan tangan dari
penguasa yang memegang otoritas ekonomi, politik, dan sosial budaya di
wilayah tertentu.
Pada era abad 19, kondisi di pasar-pasar dapat digambarkan sebagai
arena pertarungan kepentingan politik ekonomi para penguasa kolonial
maupun kerajaan. Namun jika dilihat mana yang lebih berpengaruh dari
kepentingan penguasa kolonial atau lokal, maka kepentingan elit lokal lebih
menonjol. Hal ini dapat dilihat dari interaksi penguasa lokal dengan pelaku di
pasar-pasar, mulai dari penyelenggaraan pasar, rekrutmen pengurus pasar, dan
kebijakan yang ada di pasar. Pada masa itu, kepentingan kolonial masih lebih
banyak fokus kepada komoditas-komoditas industri perkebunan melalui
pembuatan kontrak-kontrak dengan penguasa, yang tidak secara langsung
berhubungan dengan pasar-pasar lokal. Pendek kata, pasar-pasar tradisional
masih menjadi “domain” para penguasa lokal, dan dari tangan-tangan
penguasa inilah yang mewarnai bentuk dan corak perkembangan pasar-pasar.
Pada era kolonial di pulau jawa misalnya, gambaran tentang pola dan
perkembangan pasar menunjukkan konstruksi konfigurasi politik penguasa
kerajaan pada waktu itu. Kerajaan-kerajaan seperti Kasultanan Yogyakarta,
misalnya, memiliki struktur organisasi dan pejabat ditugasi untuk mengelola
pasar-pasar yang ada di Kasultanan Yogyakarta. Demikian pula Kasunanan
Surakarta maupun Mangkunegaran. Organ ini membentuk semacam “badan
usaha” dikepalai oleh pejabat/manajer atau otoritas yang menyediakan
layanan penyelenggaraan pasar. Seiring dengan berjalannya politik etis oleh
Belanda, maka dilakukan upaya pembaharuan di lingkungan kerajaan di
Mangkunegaran dengan membentuk dinas-dinas, di antaranya adalah
21
pemberian wewenang kepengurusan semua pasar oleh Praja Mangkunegaran
dengan membentuk Kabupaten Parimpuna (Marktwezen) pada tahun 1917.
Dinas ini dipimpin oleh seorang Kliwon Inspektur yang membawahi para
kepala pasar di wilayah Mangkunegaran (Wasino:2012,39). Demikian pula di
Yogyakarta, pemegang tampuk kendali pasar-pasar di wilayah kekuasaan
dipegang oleh anak dari RM Putro yang memperoleh gelar Gusti Pangeran
Swargi. Ia memiliki dua putra Pangeran Pakuningrat dan Pangeran
Cakraningrat. Pangeran Cakraningrat kelak menjadi kepala urusan pasar di
Kesultanan Yogyakarta (Sesana: 2010).
Pada waktu itu Sultan-sultan di Jawa menjalin hubungan dengan
orang-orang Belanda yang tergabung dalam Persekutuan Dagang Hindia
Timur (Vereenigde Oost Indixche Compagni disingkat VOC) melalui kontrak-
kontrak dagang dan politik yang berakibat pada terhegemoninya sultan-sultan
di Jawa oleh kekuasaan asing. Jika sebelum abad ke XIX pola hubungan
hanya terbatas pada kerajaan, namun setelah itu seiring dengan pengaruh dan
perembesan kebudayaan sampai ke tingkat kabupaten dan desa.
“Modernisasi” yang dilakukan melalui sistem pemerintahan, ekonomi, tatanan
sosial, dan budaya, ikut pula mengubah tatanan masyarakat Jawa hingga ke
tingkat desa (Burger, 1983, Boeke,1953, dalam Wasino, 2012, 26-27), yang
pada masa itu sedikit banyak masih dalam kerangka kepanjangan tangan
penguasa kerajaan. Pada era itu, desa-desa juga menyelenggarakan “badan
usaha” pasar di atas tanah milik, diangkat seorang juru tulis untuk melakukan
pencatatan dan penarikan uang jasa fasilitas yang kelak dinamai retribusi.
Di wilayah-wilayah yang tergolong pelosok perdesaan, pasar
umumnya dikelola atau dikendalikan oleh pemegang kekuasaan di wilayah itu
yaitu Bupati, Wedana, hingga sampai kepala desa atau lurah. Karena berada di
wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan, pasar-pasarnya lebih kecil
ketimbang yang ada di pusat pemerintahan (perkotaan), namun jumlahnya
jauh lebih banyak. Meskipun demikian, ada pula pasar-pasar di wilayah yang
22
jauh dari pusat pemerintahan, namun pasarnya lebih ramai. Ini terjadi karena
lokasi yang relatif strategis yang antara lain ditunjang oleh infrastruktur jalan
raya atau jalan kereta api, sebagaimana digambarkan Alice Dewey di pasar
Mojokuto, Jawa Timur. Sayangnya Dewey tidak mencoba menjelaskan pola
relasi antara penguasa lokal dengan pasar dalam bukunya. Untuk
menyelenggarakan pasar, pemerintah desa juga membuat struktur organisasi
seperti yang ada di pusat dengan membentuk pula urusan pasar.
Penyelenggaraan pasarnya juga masih terbatas pada waktu itu, ada
kesepakatan di antara beberapa pemerintah desa yang berdekatan untuk
bersepakat menggunakan hari pasaran tertentu. Di lingkungan yang
penduduknya lebih padat, hari pasaran memang tidak terlalu diperhitungkan,
pasar tetap hidup setiap hari, namun pada hari-hari tertentu tetap jauh lebih
ramai ketimbang biasanya. Pengaturan pada era itu, misalnya pasar
ditempatkan dalam setting kekuasaan kerajaan yang sisa-sisa bangunan dan
strukturnya masih dapat dilihat pada masa sekarang. Bentuk pasar pada
akhirnya juga dibentuk secara berjenjang, mulai pasar di pusat kerajaan atau
pemerintahan, umumnya lebih besar ketimbang yang ada di daerah atau
wilayah kekuasaan yang masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Pada era pasca kemerdekaan, pasar-pasar mulai berangsur-angsur
ditata setelah terbantuknya pemerintah Republik Indonesia serta membentuk
peraturan/undang-undang pemerintah daerah, yang di dalamnya mencakup
juga tentang desa. Istilah-istilah seperti kota-kecil, nagari, dan lain-lain masih
dipakai dalam penjelasan, namun yang pasti sistem pemerintahan dibentuk ke
dalam tiga kategori/tingkatan, yakni: provinsi, kabupaten/kota, dan
desa/nagari/marga. Kewenangan untuk mengelola pasar-pasar juga mengalami
perubahan di sana sini sesuai dengan kondisi obyektif yang ada di daerah-
daerah. Sedangkan pemerintahan desa sebelum kemerdekaan sebenarnya
sudah memiliki semacam otonomi dalam mengelola pasar-pasar desa, pada
akhirnya juga menyesuaikan peraturan itu. Menurut catatan Sutardjo
23
Kartohadikoesoemo dalam buku berjudul Desa yang terbit tahun 1967, pasar
desa merupakan perusahaan desa yang terpenting, selain lumbung desa, bank
desa. Hanya lumbung desa dan bank desa tidak ditempatkan secara langsung
dibawah kekuasaan pemerintah desa, tetapi pada saat tertentu mendapatkan
bagian dari hasil perusahaan itu. Sedangkan pasar desa, menurut gubernur
pertama Jawa Barat tersebut, dikelola langsung oleh pemerintah desa, baik
pengelolaan maupun administrasi keuangannya menjadi satu bagian dalam
anggaran desa yang dipertanggungjawabkan setiap tahun dalam sidang
“dewan desa” (Kartohadikoesoemo, 1967).
Kondisi era Orde Baru, diwarnai oleh era dimana kepentingan
ekonomi politik didorong untuk menempatkan negara sebagai berperan
penting dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam pengelolaan pasar-
pasar tradisional. Legitimasi pemerintah dibangun pada kesuksesannya
mengelola negara yang diharapkan dapat mendorong ke arah
“kemajuan/pembangunan”. Kebijakan ekonomi politik pun dibangun secara
sentralistik. Penguasa dengan latar belakang militer, yang bercirikan
sentralistik dicoba untuk diterapkan dalam berbagai kehidupan
kemasyarakatan. Kebijakan-kebijakan pembangunan di era pemerintahan
sentralistik ini pada gilirannya membentuk kebijakan yang lebih berorientasi
top down, uniformitas dan mengurangi partipasi masyarakat. Pemerintah pusat
cenderung tidak memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk
menginisiasi kebijakan-kebijakan pembangunan sendiri karena inisiatif selalu
berasal dari pemerintah pusat. Sistem pemerintahan dengan model komando
terlihat dominan di era pemerintahan Orde Baru. Hal ini menyebabkan
pemerintah daerah akhirnya lebih banyak sekedar menjalankan kebijakan-
kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
(Hempri, 2013). Kebijakan-kebijakan menyangkut pasar tradisional yang
muncul pada waktu itu juga lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat.
24
Pada era 1970an, pengembangan pasar-pasar oleh pemerintah antara
lain dilakukan dengan mekanisme INPRES, yang setiap tahunnya rata-rata
dikucurkan bantuan dana untuk merehabilitasi atau membangun pasar-pasar di
seluruh penjuru wilayah Indonesia. INPRES-nya berbunyi “Bantuan Kredit
Pembangunan dan Pemugaran Pasar”, bertujuan untuk menyediakan tempat
berjualan yang wajar dan terjangkau oleh para pedagang golongan
ekonomi lemah. Tahun 1976/77 bagi setiap Pemerintah Daerah Tingkat II
telah disediakan kredit tanpa bunga melalui Inpres Pembangunan dan Pe-
mugaran Pasar. Selain itu, sejak tahun 1979 disediakan kredit melalui Inpres
Pertokoan bagi Pemerintah Daerah Tingkat II yang akan membangun
dan atau memugar pusat pertokoan/perbelanjaan/perdagangan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dalam Repelita III terus dilanjutkan
sedang pelaksanaannya dalam tahun 1983/84 semakin dimantapkan
(BAPPENAS).
Dalam rangka meningkatkan akses pasar dan pangsa pasar usaha
kecil dan menengah dilakukan kegiatan promosi/pameran hasil produksi
usaha kecil baik di dalam maupun di luar negeri, penyebarluasan informasi
pasar, pendidikan dan pelatihan ekspor, peningkatan efektivitas
pelaksanaan kebijaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah
(Keppres No. 16 Tahun 1994 jo Keppres No. 24 Tahun 1995) dan
kebijaksanaan pencadangan bidang usaha melalui daftar negatif investasi
(DNI).
Pada era pasca reformasi, kebijakan negara menyangkut pasar
tradisional ditandai dengan liberalisasi sebagaimana disinggung dimuka.
Meskipun belakangan muncul peraturan yang mengatur keberadaan toko-toko
modern, namun kemunculannya terkesan setelah berbagai dampak dari
kebijakan sebelumnya setelah menuai banyak protes dan penolakan.
Kebijakan yang “reaktif” itu misalnya Peraturan Presiden No 112 tahun 2007
dan Permendag No 53 tahun 2008, pada akhirnya menjadi rujukan yang
25
dipakai oleh semua pihak termasuk pemerintah daerah dalam menyikapi
terhadap perkembangan yang terjadi menyangkut pasar tradisional. Selain itu,
pemerintah Indonesia juga menyusun program-program “pemberdayaan”
untuk meningkatkan kekuatan pasar tradisional dalam persaingan. Setidaknya
ada 9 kementerian yang memiliki proyek dengan biaya APBN untuk
pengembangan pasar yang disesuaikan dengan sudutpandang kementerian
masing-masing. Kementerian Perdagangan memiliki Program “Revitalisasi
Pasar”, Kementerian Dalam Negeri memiliki program “Pengelolaan
Profesional Pasar Tradisional”, Kementerian Kesehatan dengan Program
“Pasar Sehat”; Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki Program
“Pasar Ikan Higienis”, Kementerian Budaya dan Pariwisata memiliki Program
“Pasar Wisata”, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki Program “Pasar
Berseri Ramah Lingkungan”, Kementerian UKM dan Koperasi memiliki
program “Revitalisasi pasar Koppas”, Kementerian Pertanian memiliki
program “Pasar Ternak”, dan Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal
punya program “Pasar Desa” (Litbang PU, 2012). Meskipun demikian,
program-program kementerian tersebut lebih banyak dikembangkan dengan
menitikberatkan kepada aspek fisik. Pedagang tetap ditempatkan dalam
subordinan, sehingga partisipasi yang diharapkan dari pedagang lebih kepada
upaya untuk “mendukung” program semata.
Selain itu sebagaimana dijelaskan di muka, kebijakan menyangkut
pasar tradisional di Indonesia mengalami perubahan penting sejak satu
dasawarsa lebih, terutama diawali oleh krisis ekonomi 1998 dan dilanjutkan
dengan munculnya gerakan reformasi. Pada saat yang sama, arah kebijakan
ekonomi politik nasional tetap menggunakan pola rejim sebelumnya, yaitu
mendasarkan kepada gagasan model pertumbuhan ekonomi melalui dorongan
investasi modal terutama dari modal luar negeri. Dimulai dengan pencabutan
pembatasan kepemilikan asing dalam penanaman modal asing melalui
Keputusan Presiden No. 118 tahun 2000, tentang Bidang Usaha Yang
26
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi
Penanaman Modal. Di bidang perdagangan, kebijakan itu dilakukan dengan
menghapus Daftar Negatif Investasi sehingga berbondong-bondong para
pemodal internasional masuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Pada
awalnya perusahaan ritel internasional itu hanya melakukan penetrasi
pasarnya di perkotaan, melalui pendirian pusat perbelanjaan dan mall, namun
dalam perkembangannya peritail besar itu masuk juga ke wilayah perdesaan
melalui pendirian minimarket-minimarket berjejaring. Bahkan dalam
perkembangannya juga menggunakan jaringan yang lebih kecil, seperti midi
dan sales motorcycle. Implikasi dari menjamurnya pasar modern itu adalah
makin terpinggirkannya pelaku usaha ekonomi kecil yang tidak hanya di
pasar-pasar tradisional, tetapi juga toko-toko kelontong tradisional di
perkampungan.
Demikian pula bagi pemerintah daerah, selain peranan pasar-pasar
pada era otonomi daerah menjadi salah satu sumber PAD yang sangat penting,
pemerintah daerahlah yang sering “kena batunya”, karena demonstrasi atau
protes yang dilakukan oleh pedagang dan komponen lain di masyarakat sering
ditujukan kepada instansi-instansi di daerah. Bekerjasama dengan pemerintah
pusat, pemerintah daerah melakukan revitalisasi pasar-pasar yang menjadi
wilayah kewenangannya. Selama lima tahun terakhir misalnya, pemerintah
Kabupaten Bantul telah merevitalisasi pasar besar dan kecil, memperbaiki
atau membangun kembali bangunan pasar yang telah rusak dimakan usia atau
karena sebab lain. Peristiwa bencana gempa bumi di Bantul pada tahun 2006,
yang telah banyak merobohkan bangunan-bangunan pasar, oleh pemerintah
daerah diupayakan untuk dibangun kembali melalui program revitalisasi
pasar.
27
1.4.2. Teorisasi dan Model Ideal Pasar
Pada subbab terdahulu sudah dijelaskan tentang peran negara dalam
pengembangan pasar dari masa ke masa, sejak periode kolonial hingga akhir-
akhir ini. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa peran negara dari
masa ke masa mengalami transformasi, dimulai dari negara pra-
kolonial/kolonial dan periode kemerdekaan. Demikian pula pada periode
kemerdekaan, terjadi pula perubahan besar menyangkut peran negara, yang
dalam uraian di atas ditunjukkan melalui periode Orde Lama, Orde Baru, dan
Orde Reformasi. Di masing-masing periode tersebut, peran negara mengalami
pasang surut sesuai dengan gagasan besar yang diwujudkan dalam kebijakan,
termasuk dalam kebijakan yang menyangkut pasar-pasar di Indonesia. Jika
boleh dibilang bahwa konstruksi di atas sebagai wujud “makro” yang
melandasi proses-proses sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang muncul
dalam kebijakan menyangkut pasar, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana
pasar tradisional seharusnya dikembangkan dalam konteks “mikro”?
Penelitian ini tidak berupaya untuk mengembangkan model yang
seharusnya untuk pasar tradisional, karena setiap pasar memiliki karakteristik
yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sejarah, kondisi sosial
budaya masyarakat setempat. Namun demikian, untuk keperluan analisis
dalam penelitian ini tetap diperlukan model untuk melihat indikator-indikator
maupun kriteria sebagai instrumen untuk menjelaskan gambaran dan
pemahaman tentang apa yang terjadi di pasar-pasar yang menjadi bahan
dalam penelitian ini. Sekurang-kurangnya berdasarkan studi model, ada tiga
model pasar, yaitu: model “Tradisional-Modern” (TM), model “Publik-
Swasta” (PS), dan model “Pasar Mandiri”(PM).
Dalam model PS, pasar diasumsikan sebagai tempat (marketplace)
yang dapat dilihat aspek-aspek fisiknya dari berbagai aspek yaitu mulai dari
jenis barang dagangan, harga, kualitas produk, rantai pemasaran, lokasi,
konsep pasar, kepemilikan, dan lain-lain. Sedangkan pembagian pasar
28
menurut pola pengelolaannya dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni:
pasar tradisional, pasar semi-modern, dan pasar modern. Dalam model ini,
argumen yang dibangun memang cenderung mengundang kritik. Misalnya
penyebutan kata “tradisional” yang dilekatkan dan sering dilawankan dengan
“pasar modern” misalnya, sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar tentang
relevansinya, apakah nantinya pasar tradisional akan dikembangkan menjadi
“pasar modern”, dengan pasar “semi-modern” sebagai sasaran antara.
Pendekatan ini pernah digunakan untuk merevitalisasi pasar-pasar di berbagai
daerah. Muncullah istilah-istilah pasar semi-modern untuk menunjukkan
bahwa pasar yang dibangun akan diarahkan menjadi pasar modern.
Belakangan istilah pasar tradisional mulai dihilangkan dalam regulasi
pemerintah dan diganti dengan istilah “pasar rakyat”. Bayu Krisnamurthi2
mencoba mengajak untuk mempopulerkan istilah “pasar rakyat” dan “pasar
swasta”, ketika ia berupaya untuk menjelaskan pasar atas dasar
“kepemilikan”. Pada uraiannya, ia juga mencoba untuk menegaskan bahwa
“dua-duanya” baik pasar rakyat maupun pasar swasta, boleh berkembang di
Indonesia. Menurutnya, pasar rakyat adalah pasar yang “dimiliki” secara
kolektif oleh negara/pemerintah atau komunitas atau milik publik, sedangkan
pasar swasta dimiliki oleh swasta atau individu-individu. Dengan
menggunakan definisi ini maka baik pasar rakyat maupun pasar swasta dapat
dikelola secara “modern” atau sebaliknya secara “tradisional”.
Secara terinci aspek-aspek yang digunakan dalam model PS dapat
dilihat pada table berikut :
2 Rekaman film yang menunjukkan diskusi “Sekolah Pasar” dengan Bayu Krisnamurthi (Wakil
Menteri Perdagangan Kabinet SBY) di Pasar Kranggan, Yogyakarta, 24 September 2012.
Belakangan, istilah pasar tradisional hilang dari naskah-naskah peraturan
pemerintah/kementerian perdagangan termasuk dalam Undang-Undang Perdagangan yang
terbit tahun 2014.
29
Tabel 1.1 Model Pasar Tradisional-SemiModern-Modern
Aspek Pasar tradisional Pasar Semi-Modern Pasar modern
Jenis barang
dagangan
Variatif namun sortasi,
grading dan
spesialisasi rendah
Variatif, sudah akukan
sortasi, grading dan
spesialisasi
Variatif dan sudah
sortasi, grading dan
spesialisasi tinggi
Harga Stabil Relatif stabil Fluktuasi relatif tinggi
Mutu produk Tidak ada standar Sebagian standar Memiliki standar
Rantai pasar Panjang Pendek Pendek
Lokasi Relatif lebih dekat Lebih jauh, memiliki
jarak tertentu
Lebih jauh, memiliki
jarak tertentu
Konsep pasar Ruang sosial lintas
strata
Ruang sosial lintas strata Konsumtif
Kepemilikan Pemerintah Pemerintah dan atau
dengan swasta
Swasta
Tawar menawar Ada Sebagian ada Tidak ada
Keragaman
barang
Lengkap Tidak lengkap Tidak lengkap
Area penjualan Luas Relatif sempit Sempit
Landasan
hokum
Perda masing-masing
provinsi
Perda masing-masing
provinsi
Perda masing-masing
provinsi
Landasan
operasional
Perda, SK Kepala
Daerah atau Dinas
Perda, SK Kepala Daerah
atau Dinas
RUPS, arahan dewan
komisaris
Lokasi Setiap sistem jaringan
jalan
Hanya sistem jaringan
jalan arteri primer atau
sekunder
Hanya sistem jaringan
jalan arteri primer atau
sekunder
Image - Bangunan tak
memenuhi syarat
- Perilaku buruk,
premanis
- Kualitas rendah
- Tidak professional
- Bangunan relatif baik
& bersih
- Kualitas barang
sedang dan tinggi
- Semi-profesional
- Bangunan baik &
bersih
- Kualitas barang tinggi
- Dikelola profesional
Kekurangan - Desain/tampilan
- Tata ruang, lletak
- Promosi, jam
operasi terbatas
- Kombinasi layanan
umum dan bisnis
- Produk dari petani
kecil kalah bersaing
dengan produk impor
- Orientasi
bisnis/Layanan umum
minimal
- kalah bersaing dengan
produk impor
Permasalahan
umum - Kesadaran usaha
rendah
- Lahan Pemda/ Desa
- Penetrasi pasar
modern
- Tidak beroperasi
maksimal
- Kesadaran retribusi
rendah
- Operasi pada hari
pasaran
- Kesadaran usahamasih
rendah
- Lahan PemdaDesa
- Berkembangnya pasar-
pasar modern
- Kesadaran untuk
membayar retribusi
relatif rendah
- Operasional pasar
masih terbatas
- Akses pedagang kecil
sangat rendah
- Memerlukan modal
yang besar
- Biaya operasional
tinggi
- Kontinuitas barang
berkualitas dan
perubahan selera
konsumen cepat
Sumber: (PSEKP, 2011)
30
Model kedua adalah Model Pengelolaan Publik-Swasta (PS), yang
melihat pasar dari aspek pengelolaannya didasarkan kepada 6 kriteria, yaitu:
struktur dan fungsi lembaga, SDM pengelola, pendanaan dan pengelolaan
asset, inovasi pengelolaan, layanan produk dan akses pedagang, serta ukuran
keberhasilan. Berdasarkan criteria itu, terdapat tiga tipe pengelola, yaitu
UPTD/SKPD, Perusda (Perusahaan Daerah) atau sering disebut dengan
BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), dan Swasta. Berdasarkan tipe
pengelola, maka dari criteria struktur dan fungsi lembaga pasar, dapat dilihat
dari orientasi pengelolaan pasar. Berdasarkan orientasi pasar, pada model ini
melihat bahwa orientasi pengelola UPTD/SKPD adalah pelayanan, sedangkan
untuk Perusda orientasi lembaga selain pelayanan juga berorientasi kepada
profit atau keuntungan. Berbeda dengan kedua tipe sebelumnya, maka
pengelola pasar oleh swasta lebih berorientasi kepada keuntungan semata.
31
Tabel 1.2. Model Pengelolaan “Publik–Swasta”
KRITERIA UPTD/SKPD PERUSDA SWASTA
1. Struktur dan Fungsi Lembaga
- Orientasi lembaga Pelayanan Pelayanan dan Profit Profit
- Proses pembentukan Relatif mudah Rumit Agak rumit
- Pengendalian Mudah Relatif sulit Sulit
- Bentuk Organisasi Terikat Regulasi Fleksibel Fleksibel
- Pengambilan
Keputusan
Birokratis,kurang efisien Relatif Efisien Efisien
- Kerentanan Intervensi
Politik
Tinggi Tinggi Rendah
2. SDM Pengelola
- Penilaian Kinerja Kurang Terukur Reward & Punishment Reward & Punish
- Rekrutmen Penempatan Kompetensi dan
Intervensi Tinggi
Kompetensi dan
Spesialisasi Tinggi 3. Pendanaan dan Pengelolaan Aset
- Sumber Pendanaan APBD APBD Investor/Pribadi
- Pengalihan Aset Sulit Agak Sulit Mudah
- Pengelolaan fas.
Pendukung
Cenderung Parsial Terpadu Terpadu
4. Inovasi
Pengelolaan
- Promosi . Rendah Relatif Tinggi Tinggi
- Kegiatan Pendukung Rendah Relatif Tinggi Tinggi
5. Layanan Produk & Akses Pedagang
- Produk yang
Ditawarkan
Beragam Beragam Terseleksi
- Orientasi Produk
Lokal
Tinggi Relatif Tinggi Rendah
- Kualitas Produk Beragam Beragam Relatif Seragam
- Akses Pedagang
Kecil dan UMKM
Luas/ Terbuka Relatif Terbuka Selaktif dan Terbatas
- Interaksi Sosial dan
tawar menawar
Terbuka Relatif Terbuka Terbatas
6. Ukuran Keberhasilan
Besarnya Retribusi Besarnya
keuntungan/profit
Besarnya
keuntungan/profit Sumber: (PSEKP, 2011)
Model ketiga adalah model Pasar Mandiri (PM). Dalam model ini,
pasar sebagai tempat terjadinya proses jual beli dapat dilihat dari 6 (enam)
unsur/elemen pasar, yaitu struktur perdagangan, produk, kelembagaan,
pengelolaan, mode transaksi dan layanan, serta informasi dan pengetahuan.
Berdasarkan enam elemen pasar tersebut maka permasalahan pasar yang ada
saat ini dapat dilihat indikasi dan permasalahannya, serta bagaimana pasar
dapat didorong menjadi pasar mandiri. Dari struktur perdagangannya, kondisi
yang dihadapi pasar-pasar hari ini adalah adanya dominasi dan
32
ketergantungan oligopsonis pasar, yang mengakibatkan terjadinya pelemahan
terhadap para pemasok dari desa dan pedagang kecil. Oleh karenanya, pasar
harus berupaya membangun kemitraan antara pedagang kecil dengan pemasok
lokal melalui mode pembelian secara kolektif.
Tabel 1.3. Model Pasar Mandiri
No Elemen
Pasar
Indikasi dan Problem
Ketidakmandirian Pasar
Indikasi dan Solusi Model Pasar
Mandiri
1 Struktur
perdagangan
Dominasi dan ketergantungan
pada oligopsonis pasar
memperlemah pemasok dari desa
dan pedagang kecil di pasar
tradisional
Kemitraan pedagang kecil dengan
pemasok lokal (desa) dengan mode
pembelian kolektif
2 Produk Dominasi dan ketergantungan
pada produk pabrikan dari luar
desa (luar daerah/luar negeri),
maraknya iklan pabrikan luar
negeri
Dominasi produksi lokal (desa), pasar
sebagai etalasi desa dan bebas dari iklan
pabrikan luar negeri
3 Kelembagaan Dominasi pemerintah, parpol,
partikelir, dan lemah atau
lambatnya pergerakan organisasi
ekonomi rakyat (koperasi)
Peran vital koperasi pasar yang
keanggotaannya terbuka agar dapat
mempersatukan stakeholder pasar
(pedagang, pemasok, pengecer,
konsumen, dan pekerja informal)
4 Pengelolaan Dominasi pengelolaan pasar dan
partisinya (parkir, sampah,
mushola, TPA, dsb) oleh
pemerintah, parpol, dan partikelir
Termasuk pengelolaan kebersihan
dan kerindangan dikelola oleh
Dinas Pasar
Pengelolaan pasar kemitraan antara
pemerintah dan koperasi pasar,
pengelolaan fasilitas pasar oleh koperasi
pasar, pasar menghasilkan energi
alternatif (biogas sampah).
5 Mode
transaksi dan
layanan
Tawar menawar dengan informasi
yang tidak simetris dan patokan
harga tidak jelas, konsumen
membutuhkan mode transaksi dan
layanan baru
Peningkatan “status” dari sekedar
pelanggan menjadi anggota (membership)
melalui keikutsertaan konsumen dalam
koperasi pasar sehingga transaksi lebih
terbuka dan adil (dirintis “member card”)
6 Informasi dan
pengetahuan
Dominasi informasi dan
pengetahuan oleh elit regulator
pasar
Pasar tersedia media informasi (misal
tentang Perda Pasar) dan peningkatan
pengetahuan (keahlian) kemitraan
perguruan tinggi dengan koperasi pasar
Sumber: (LOS-DIY & PUSTEK, 2012)
Berdasarkan ketiga model yang diidealkan di atas, maka penelitian ini
mencoba menerapkannya di lapangan yang menjadi lokasi penelitian ini. Oleh
karenanya model di atas disusun berdasarkan generalisasi-generalisasi melalui
berbagai disiplin, maka cenderung lebih melihat pasar yang diteliti dari
33
kacamata “orang luar”. Oleh karena itu untuk menggambarkan proses-proses
yang terjadi di lapangan, selain model-model di atas, dibutuhkan teori-teori
yang diharapkan dapat membantu peneliti dalam melihat permasalahan dan
dinamika yang terjadi di pasar kasus. Dalam ilmu antropologi dikenal
perspektif teori ekonomi politik, yang melihat adanya hubungan-hubungan
antara ekonomi dan politik yang terjelma dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan pasar. Misalnya kebijakan tentang pengembangan pasar
tradisional dapat dimaknai dalam perspektif ini sebagai relasi kepentingan-
kepentingan aktor luar pasar, yang berharap mendapatkan keuntungan-
keuntungan tertentu atas yang terjadi di dalam pasar. Misalnya kebijakan
revitalisasi pasar, dalam pandangan elit politik berpeluang untuk menjadi
sumber-sumber dukungan politik sehingga proses yang terjadi sering lebih
bersifat politis ketimbang ekonomi.
Selanjutnya untuk melihat dinamika yang terjadi di pasar, terutama
para pelaku yang terlibat di dalamnya, termasuk pelaku-pelaku kepentingan
ekonomi, sosial, dan budaya dari luar pasar, peneliti akan menggunakan
perspektif yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Tujuannya adalah untuk
melihat gambaran yang utuh struktur dan peran yang dimainkan oleh para
pelaku atau agen yang mewarnai dinamika di pasar kasus. Dalam kasus pasar
Imogiri, maka arena pasar akan diwarnai oleh kepentingan dari agen ulai dari
pedagang, pemerintah, pelaku usaha besar, lembaga keuangan/perbankan,
partai politik, dan lain-lain
Menurut Bourdieu, praktek kehidupan nyata dapat dilihat sebagai
akibat dari hubungan dialektis antara struktur dengan agensi. Praktik tidak
ditentukan secara objektif dan bukan merupakan produk dari kehendak bebas
(Bourdieu dalam Suyatna, 2012: 25-35). Bourdieu juga melihat bahwa
kekuasaan seringkali menyebar dan bersembunyi di dalam cara-cara melihat
dan menggambarkan dunia yang diterima luas oleh masyarakat dan seringkali
tidak dipertanyakan benar atau tidaknya. Penyebaran kekuasaan atau simbol
34
ini berkaitan erat dengan kekuasaan ekonomi dan politik sehingga fakta
penyebarannya juga berfungsi sebagai alat legitimasi yang sama kokohnya
dengan kekuasaan ekonomi dan politik itu sendiri. Dalam teorinya, Bourdieu
mengembangkan konsep arena (fields) atau ranah, habitus, modal dan
kekerasan simbolik. Arena di definisikan sebagai ruang yang terstruktur
dengan kaidah-kaidah keberfungsian sendiri dengan relasi kekuasaanya
sendiri. Di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam
posisi tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam
kompetisi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas
dalam arena bersangkutan.
Habitus merupakan sistem disposisi-disposisi (skema persepsi, pikiran,
dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama, bisa dialihpindahkan dan
merupakan struktur yang distrukturkan). Habitus merupakan hasil
pembelajaran melalui pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan
masyarakat dalam arti luas. Agen-agen mengembangkan disposisi mengikuti
kondisi sosial obyektif dan akhirnya mampu melahirkan praktik-praktik yang
sesuai dengan situasi khusus dan tertentu. Para pelaku sosial yang menempati
posisi dominan dalam suatu ranah adalah mereka yang ‟diberkahi‟ atau
mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis modal.
Modal ini meliputi modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik dan modal
budaya. Modal merupakan energi sosial yang hanya ada dan membuahkan
hasil-hasil dalam ranah perjuangan dimana modal memproduksi dan
mereproduksi. Modal memiliki beberapa ciri penting yaitu terakumulasi
melalui investasi, bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan dan dapat
memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh
pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Haryatmoko, 2003 dalam
Suyatna, 2012).
Melalui perspektif ini dapat dilihat lebih jauh bagaimana sebuah
modus operandi kekuasaan bekerja yang didalamnya terselebung praktik
35
simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai
sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan. Kekuatan simbol
mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah
persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya
magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan
kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan logika
simbol. Dalam memproduksi serta menaikkan nilai simbolik, yang
mendominasi memakai strategi perbedaan (distinction) dalam arti mereka
berupaya membedakan dirinya dari kelompok sosial yang berada dibawahnya
(Saptandari, 2007). Pemahaman terhadap konsep arena, habitus, modal dan
kekerasan simbolik sangat penting dalam rangka menganalisis bagaimana
struktur kekuasaan bekerja dalam kebijakan di pasar tradisional.
Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistik menuju desentralistik
membawa perubahan pula pada proses kebijakan di pasar. Pergeseran tersebut
tentunya juga akan mengubah pola interaksi antar aktor yang bersifat
hierarkhis atau korporatis, kepada pola interaksi yang baru kemudian lebih
banyak diwarnai oleh munculnya pola jejaring kolaboratif yang tidak stabil
dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks kebijakan revitalisasi
pasar di Bantul misalnya, aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan adalah
pedagang di pasar sebagai penerima manfaat, penguasa (bupati dan birokrasi
pemerintahan yang ada di bawahnya), anggota DPRD, elite pengusaha dan
elite-elite politik dan pihak-pihak lainnya seperti asosiasi bisnis, perusahaan
trading dan perbankan. Aktor-aktor tersebut memiliki kepentingan berbeda-
beda. Penguasa memiliki kepentingan untuk memperoleh legitimasi dan
dukungan atas kebijakan industri kecil yang dibuat. Elite pengusaha,
perusahaan trading dan perbankan memiliki kepentingan untuk
mengembangkan ekspansi usaha sehingga jangan sampai kebijakan yang ada
merugikan mereka. Pengusaha industri kecil memiliki kepentingan agar usaha
yang mereka miliki dapat berkembang. Sedangkan elite-elite politik memiliki
36
kepentingan terhadap kebijakan selain untuk meningkatkan popularitasnya di
mata masyarakat dan juga dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan
dengan penguasa. Meskipun memiliki kepentingan yang berbeda-beda akan
tetapi kepentingan mereka sama yaitu memperbesar kekuasaan yang telah
mereka peroleh saat ini. Perbedaan kepentingan inilah yang menyebabkan
proses pertarungan di antara mereka menarik untuk dicermati. Masing-masing
aktor akan melakukan berbagai strategi dan manuver untuk memenangkan
pertarungan dalam proses penyusunan dan implementasi kebijakan industri
kecil sehingga kebijakan yang ada memberikan kemanfaatan untuk
memperbesar kekuasaan yang telah mereka peroleh saat ini.
Meskipun teori Bourdieu ini relevan untuk dijadikan sebagai
perspektif kritis dalam penelitian ini, namun harus diakui bahwa
pemikirannya juga tidak lepas dari kritik. Gagasannya mengenai ranah
sebagai arena pertarungan dianggap telah mereduksi ”dunia kehidupan” pada
pertarungan semata. Padahal ranah sosial budaya bukan saja arena kompetisi
melainkan juga tempat bagi para pelaku untuk mendapatkan makna hidup
seperti solidaritas, kerjasama, kasih sayang dan sebagainya. Selain itu,
Bourdieu juga dikritik telah menggunakan kekerasan simbolik dalam
gagasannya seperti habitus dan field (arena). Ide-ide yang ia ciptakan
dianggap sebagai praktik kekerasan simbolik yang sedang dijalankannya.
Alih-alih menjauhi mekanisme kekerasan simbolik, Bourdieu malah
menggunakannya dalam menyebarluaskan gagasan-gagasannya (Fashri
dikutip Hempry, 2012:30). Meskipun ada berbagai kritik tersebut, namun
menurut peneliti pemikiran Bourdieu tersebut tetap relevan untuk dijadikan
sebagai perspektif teoritis dalam penelitian ini. Hal ini mengingat, kebijakan
menyangkut pasar-pasar di daerah merupakan arena politis, sehingga
kepentingan-kepentingan aktor dari luar pasar, berupaya untuk memperbesar
kekuasaan atau untuk mencari legitimasi atas kekuasaan mereka.
37
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Pasar Imogiri, Kabupaten Bantul.
Pemilihan lokasi sengaja dipilih karena pasar Imogiri merupakan pasar yang
telah berdiri sejak lama berabad-abad yang lalu dan telah mengalami banyak
perubahan dari zaman ke zaman. Pasar Imogiri juga bisa dianggap sebagai
pasar yang sampai saat ini masih menjadi andalan utama bagi masyarakat
sekitar, tidak hanya di pusat kota Imogiri Bantul, tetapi juga bagi daerah-
daerah atau desa-desa lain di sekitarnya. Sebagai pasar “terbesar” dari sisi
jumlah pedagangnya di wilayah selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, pasar
Imogiri juga menunjukkan adanya peran aktif dari pedagang melalui asosiasi
pedagang, yang relative diakui oleh penguasa untuk dapat menyalurkan
aspirasi ekonomi politik mereka, sehingga proses dialektika dan dinamika
yang terjadi mewarnai berbagai proses yang ada.
Pengumpulan data di lapangan dilakukan sepanjang bulan Maret 2014
– September 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan metode diskusi
terfokus dengan wakil-wakil pedagang yang tergabung dalam asosiasi
pedagang (APPSI) maupun individu pedagang, serta wawancara mendalam
(indept interview) melalui wawancara tidak terstruktur dan pengamatan
terlibat (participant observation). Tujuan pengumpulan data di lapangan
adalah untuk mendapatkan informasi baik yang tertulis maupun tidak, untuk
mendapatkan pemahaman tentang proses-proses ekonomi, politik, sosial, dan
budaya, yang terjadi di pasar Imogiri. Penulis beruntung karena di pasar
Imogiri telah terbiasa menerima peneliti-peneliti lain, sehingga interaksi yang
terjadi antara peneliti dan tineliti relative tidak mengalami hambatan.
Meskipun demikian, agar tidak terjebak kepada perulangan-perulangan
jawaban dari tineliti melalui teknik wawancara melingkar dan melakukan
38
cross-check atas informasi yang didapat dengan informan-informan yang
lain3.
Pada masa kini, penggunaan perangkat audio-visual sudah banyak
digunakan untuk merekam berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Penulis
cukup beruntung karena banyak terbantu dengan “dokumen” yang
menggunakan perangkat audiovisual, seperti contohnya adalah film
dokumenter yang diproduksi oleh Etnoreflika, yang menggambarkan proses
relokasi pedagang Imogiri. Demikian juga film-film rekaman yang
menunjukkan kegiatan APPSI dalam kegiatan Syawalan, yang dihadiri oleh
pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.
Setelah terkumpul berbagai informasi, berupa data kuantitatif dan
kualitatif, kemudian dipilah-pilah berdasarkan kategorisasi untuk kebutuhan
analisis. Hasil analisis dituliskan secara deskriptif dimulai dari hal-hal yang
paling mendasar sampai kepada gambaran “mikro” yang disesuaikan dengan
konteks gambaran mendasar berupa gambaran ekonomi politik kebijakan
menyangkut pasar tradisional yang mempengaruhi struktur dan pola relasi
dalam pengelolaan pasar maupun aktivitas pedagang sehari-hari.
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam 6 (enam) bab dengan
rincian sebagai berikut : Bab I memaparkan pendahuluan yang berisi antara
lain : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka (peran negara dari masa ke masa, dan teorisasi dan model ideal pasar)
pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II masuk pada
3 Penulis juga beruntung karena sejak tiga tahun terakhir (sejak 2011) tengah terlibat dalam
gerakan sosial “Sekolah Pasar” di 7 pasar di Jawa Tengah dan DIY. Program ini digagas
sebagai gerakan perubahan melalui pengembangan pendidikan untuk pedagang yang terfokus
pada peningkatan modal intelektual, melalui pertemuan-pertemuan “kelas” dan
pendampingan pedagang. Selengkapnya bisa dilihat di www.sekolahpasar.org
39
penjelasan tentang lokasi penelitian menyangkut gambaran ekonomi, sosial
dan budaya, yang mempengaruhi proses-proses ekonomi politik di lokasi
penelitian, termasuk dalam hubungannya dengan pasar-pasar yang ada di
lokasi penelitian. Gambaran lebih detil juga diuraikan melalui gambaran
struktur perekonomian masyarakat Bantul melalui beberapa ukuran, seperti
sejauhmana partisipasi masyarakat dalam proses produksi, partisipasi dalam
investasi, termasuk partisipasi masyarakat dalam penguasaan faktor produksi.
Berdasarkan gambaran tersebut akan diketahui sejauhmana gambaran
masyarakat termasuk para pedagang di pasar-pasar dalam proses ekonomi di
kabupaten Bantul.
Bab III menjelaskan tentang peran negara dan kebijakan pengelolaan
pasar di kabupaten Bantul. Secara kronologis akan dikemukakan bagaimana
kebijakan negara dalam pengembangan pasar-pasar rakyat di masa sebelum
liberalisasi ekonomi, maupun pada era setelah liberalisasi pasar pada era
2000an. Bagaimana penetrasi pasar modern dalam kasus Bantul direspon oleh
pemerintah maupun elemen-elemen lain yang berkepentingan terhadap
kebijakan menyangkut pasar tradisional. Bagaimana kebijakan yang seolah
melawan arus “anti Supermarket” dimainkan oleh pemerintah maupun elit
politik di kabupaten Bantul, termasuk benarkah penetrasi ala pasar modern
dapat dihambat melalui kebijakan tersebut.
Bab IV selanjutnya bab ini akan menguraikan aspek-aspek
pengembangan pasar di lingkungan pasar-pasar rakyat, khususnya pada era
liberalisasi. Beberapa aspek yang dibahas dalam arena pengembangan pasar
mencakup aspek sumk pemasaran produk lokal, aspek harga, aspek berdaya
manusia, aspek lokasi atau tempat berjualan. Dari uraian mengenai aspek-
aspek pengembangan pasar tersebut, bagaimana posisi elit polirik ekonomi
sebagai pemegang kekuasaan menempatkan pedagang pasar, apakah
berdampak kepada kemajuan atau justru sebaliknya. Selain itu pada level
sistem perekonomian, bab ini juga akan menguraikan bagaimana tata kelola
40
dan pola relasi peran swasta dan negara dalam pengembangan pasar rakyat
khususnya di pasar Imogiri dan sekitarnya. Peran asosiasi pedagang pasar
juga diuraikan dalam bab ini, untuk melihat sejauhmana peran asosiasi dalam
konstelasi kepentingan negara dan swasta. Pada bab terakhir yaitu Bab V
merupakan bab penutup yang menegaskan kesimpulan yang menjadi temuan
dari studi dan catatan penutup dan rekomendasi strategi pengembangan peran
pedagang dalam pengelolaan pasar.